2018
ISSN 2442-7659
Kementerian Kesehatan RI
Pusat Data dan Informasi
Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9
Jakarta Selatan
Situasi Campak dan Rubella di Indonesia
I. Kematian Bayi dan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di Indonesia di negara-negara berisiko tinggi telah divaksinasi melalui program imunisasi, sehingga pada
tahun 2012 kematian akibat Campak telah mengalami penurunan sebesar 78% secara global.
Derajat kesehatan masyarakat sebuah negara ditentukan oleh beberapa indikator. Beberapa Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara dengan kasus Campak terbanyak
indikator yang dianggap signifikan dalam menggambarkan derajat tersebut antara lain, di dunia.
kematian ibu, kematian bayi, dan status gizi. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB) di Indonesia masih dianggap sensitif dalam mendeteksi ada atau tidaknya Masa penularan penyakit Campak terjadi pada 4 hari sebelum rash sampai 4 hari setelah timbul
perbaikan pada sektor pelayanan kesehatan. Angka Kematian Bayi menggambarkan rash. Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama
banyaknya kejadian kematian pada anak usia 0-11 bulan per 1.000 kelahiran hidup di populasi. sakit. Masa Inkubasi terjadi pada 7 – 18 hari. Gejala Campak ditandai dengan :
o
Indikator ini diperoleh berdasarkan hasil survey atau sensus yang dilakukan secara periodik 1. Demam dengan suhu badan biasanya > 38 C selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu
pada tahun tertentu. Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang atau lebih gejala batuk, pilek, mata merah atau mata berair.
dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik menujukkan peningkatan. Namun demikian 2. Bercak kemerahan/rash yang dimulai dari belakang telinga.
peningkatan tersebut masih dianggap “on track”, yang artinya AKB masih berpeluang dapat 3. Gejala pada tubuh berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih yang pada kisaran
diturunkan. 4-7 hari menjalar keseluruh tubuh.
4. Khas (Patognomonis) ditemukan Koplik's spot atau bercak putih keabuan dengan dasar
GAMBAR 1. TREN ANGKA KEMATIAN NEONATAL, BAYI, DAN BALITA
TAHUN 1991 – 2017 DI INDONESIA merah di pipi bagian dalam.
120 Angka Kematian Neonatal Penyebab Rubella adalah togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan virus RNA. Virus
97 Angka Kematian Bayi dapat berkembang biak di nasofaring dan kelenjar getah bening regional, dan viremia terjadi
100
81 Angka Kematian Balita pada 4 – 7 hari setelah virus masuk tubuh. Virus tersebut dapat melalui sawar plasenta
80 sehingga menginfeksi janin dan dapat mengakibatkan abortus atau Congenital Rubella
58 Syndrome/CRS. Masa penularan diperkirakan terjadi pada 7 hari sebelum hingga 7 hari setelah
60 46 44
68 40 rash. Masa inkubasi Rubella berkisar antara 14 – 21 hari. Gejala Rubella ditandai dengan
40 57 32
46 demam (37,2°C) dan bercak merah/rash makulopapuler disertai pembesaran kelenjar limfe di
35 34 32
20 32 24 belakang telinga, leher belakang dan sub occipital.
30 26
20 19 15
19
0
1991 1995 1999 2003 2007 2012 2017 Virus penyakit Campak dan Rubella penyebarannya sama melalui batuk dan bersin, serta
kontak langsung dengan penderita. Virus Campak dan Rubella cepat mati oleh sinar ultra
Sumber: SDKI tahun 1991-2017 violet, bahan kimia, bahan asam dan pemanasan. Untuk memastikan diagnosis penyakit
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa angka kematian neonatal, angka kematian bayi, Campak dan Rubella, diperlukan konfirmasi laboratorium dengan melakukan pemeriksaan
dan angka kematian balita menunjukkan kecenderungan penurunan dari tahun 1991 sampai serologis (pengambilan darah pasien/serum darah) atau virologis (pengambilan urin pasien).
dengan tahun 2015. Kematian bayi dan balita dapat disebabkan oleh infeksi, asfiksia, dan PD3I. Rubella pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan tanpa gejala
sehingga sering tidak terlaporkan. Sedangkan Rubella pada wanita dewasa sering
menimbulkan arthritis atau arthralgia.
II. Definisi Kasus Campak dan Rubella
Rubella pada wanita hamil terutama pada kehamilan trimester 1 dapat mengakibatkan abortus
Salah satu penyakit yang termasuk ke dalam golongan PD3I adalah Campak. Penyakit Campak atau bayi lahir dengan CRS. Bentuk kelainan pada CRS :
dikenal juga sebagai Morbili atau Measles, merupakan penyakit yang sangat menular 1. Kelainan jantung : Patent ductus arteriosus, Defek septum atrial, Defek septum ventrikel,
(infeksius) dari genus Morbillivirus dan termasuk golongan virus RNA. Manusia diperkirakan Stenosis katup pulmonal ;
satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat terinfeksi tetapi tidak berperan dalam 2. Kelainan pada mata : Katarak kongenital, Glaukoma kongenital, Pigmentary Retinopati ;
penularan. Pada tahun 1980, sebelum imunisasi dilakukan secara luas, diperkirakan lebih 3. Kelainan pendengaran ;
20 juta orang di dunia terkena Campak dengan 2,6 juta kematian setiap tahun yang sebagian 4. Kelainan pada sistim saraf pusat : Retardasi mental, Mikrocephalia, Meningoensefalitis ;
besar adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Sejak tahun 2000, lebih dari satu miliar anak 5. Kelainan lain : Purpura, Splenomegali, Ikterik yang muncul dalam 24 jam setelah lahir,
Radioluscent bone.
1 2
III. Gambaran Kasus GAMBAR 3. DISTRIBUSI KASUS CAMPAK TAHUN 2015-2017
4000
Kegiatan surveilans yang dilakukan setiap tahun melaporkan lebih dari 11.000 kasus suspect
3500
Frekuensi KLB
Campak. Hasil konfirmasi laboratorium terhadap kasus tersebut, diketahui bahwa 12 – 39%
di antaranya adalah Campak pasti (confirmed), dan sebanyak 16–43% adalah Rubella pasti. 3000
2500
Dalam kurun waktu tahun 2010-2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus Campak dan 30.463 2000
kasus Rubella. Jumlah kasus ini diperkirakan masih rendah dibanding angka sebenarnya 1500
di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus yang tidak terlaporkan, terutama dari 1000
pelayanan swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah. 500
0
Jumlah kasus Campak yang dilaporkan dapat dibandingkan antara satu wilayah dengan
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Sulawesi Selatan
Banten
Sulawesi Utara
Sulawesi Barat
Gorontalo
Aceh
Riau
Jambi
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
NTB
NTT
wilayah lainnya dengan menggunakan Incidence Rate. Incidence Rate Campak diperoleh
dengan membagi jumlah kasus Campak dengan jumlah penduduk di wilayah tertentu lalu
dikalikan dengan konstanta 100.000. Incidence rate Campak menggambarkan rate penderita
Campak di tiap 100.000 penduduk.
GAMBAR 2. INCIDENCE RATE CAMPAK PER 100.000 PEDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2011-2017 2015 2016 2017
Pada saat tertentu adanya peningkatan kasus di suatu wilayah menyebabkan penetapan status
Kejadian Luar Biasa (KLB) pada wilayah tersebut. KLB suspect Campak terjadi ketika ditemukan
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 5 atau lebih suspect Campak dalam waktu 4 minggu berturut-turut, terjadi mengelompok dan
memiliki hubungan epidemiologi. KLB Campak pasti terjadi ketika ada KLB suspect Campak
Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
dengan hasil laboratorium > 2 IgM Campak. KLB Rubella pasti terjadi ketika terdapat KLB
suspect Campak dengan hasil laboratorium > IgM Rubella.
Incidence Rate Campak per 100.000 penduduk di Indonesia pada tahun 2011-2017
menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 9,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk. Namun
demikian, Incidence rate cenderung naik dari tahun 2015 sampai dengan 2017, yaitu Kasus Campak pada pelaporan rutin dan kasus pada Kejadian Luar Biasa dilaporkan tiap bulan.
dari 3,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk. Kedua jenis kasus tersebut menunjukkan peningkatan pada bulan-bulan tertentu, namun pola
yang ditunjukkan tidak sama dalam tiga tahun terakhir (2015-2017).
Kasus Campak dalam tiga tahun terakhir juga menunjukkan peningkatan dibeberapa provinsi.
Namun ada juga beberapa provinsi yang mengalami penurunan.
3 4
GAMBAR 4. JUMLAH KASUS CAMPAK MENURUT BULAN TAHUN 2015-2017 GAMBAR 5. SEBARAN KASUS DAN FREKUENSI KLB CAMPAK TAHUN 2015-2017
2.500
2.000
1.500
2015
Frekuensi KLB : 282
Kasus saat KLB : 2.246
1.000
Jumlah Provinsi : 27
500
2015
0
Jan
1.495
Feb
1.422
Mar
1.446
Apr
1.194
Mei
1.046
Jun
952
Jul
563
Ags
735
Sep
923
Okt
1.346
Nov
1.802
Des
966
2016
Frekuensi KLB : 351
2015 (KLB)
Kasus saat KLB : 5.502
205 328 219 247 129 55 52 198 317 238 216 35
Jumlah Provinsi : 29
2016 1.222 759 769 685 565 395 278 735 677 474 562 339
2016 (KLB) 245 109 128 116 165 76 117 647 365 485 193 112
2017 2.461 2.071 1.850 1.586 1.457 981 903 1.100 971 647 406 206
2017 (KLB) 497 458 255 254 188 123 243 480 306 279 117 23 2017
Frekuensi KLB : 349
Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
Kasus saat KLB : 3.143
Jumlah Provinsi : 30
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa kasus Campak tidak tergantung musim. Pola yang
Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
dapat diidentifikasi adalah jika terjadi peningkatan kasus, maka akan diiringi dengan
peningkatan kasus pada KLB. Dalam kurun waktu 2015-2017 juga terjadi KLB Rubella di beberapa provinsi di Indonesia. KLB
Rubella pada tahun 2017 dilaporkan di 19 provinsi dengan frekuensi sebanyak 79 kali.
Pemerintah melaksanakan imunisasi Campak tambahan pada bulan Agustus 2016, dan GAMBAR 6. SEBARAN KASUS DAN FREKUENSI KLB RUBELLA TAHUN 2015-2017
imunisasi Campak Rubella (MR) di provinsi di Pulau Jawa pada Bulan Agustus sampai dengan
September 2017. Kampanye imunisasi tersebut bertujuan untuk untuk memberikan kekebalan
tambahan terhadap Campak dan Rubella sehingga dapat mengurangi kasus dan kejadian KLB
Campak. Hal ini dibuktikan adanya penurunan kasus dan tidak adanya laporan KLB Campak
pada bulan Oktober 2017 sampai dengan Maret 2018 di wilayah pelaksanaan imunisasi. 2015
Frekuensi KLB : 84
KLB Campak dalam tiga tahun terakhir hampir di setiap provinsi dengan jumlah provinsi Kasus saat KLB : 688
Jumlah Provinsi : 16
melaporkan KLB meningkat dari 27 provinsi tahun 2015 menjadi 30 provinsi tahun 2017.
Peningkatan ini di antaranya disebabkan perbaikan kewaspadaan dini terhadap kasus Campak,
yaitu petugas lebih cepat menangkap adanya peningkatan kasus. Kecepatan dalam
mendeteksi kasus ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan, antara lain melalui
kampanye Campak Rubella (MR) pada bulan Agustus dan September tahun 2017 yang sangat
2016
Frekuensi KLB : 36
signifikan mempengaruhi terjadinya penurunan KLB. Kasus saat KLB : 332
Jumlah Provinsi : 11
2017
Frekuensi KLB : 79
Kasus saat KLB : 753
Jumlah Provinsi : 19
Meskipun Campak sangat menular dan bisa menyebabkan kematian, penyakit ini dapat
dicegah melalui program Imunisasi. Pengendalian Campak di Indonesia diawali pada tahun
%
1982. Program Imunisasi Nasional diperluas dan mulai menerapkan jadwal standar untuk
imunisasi rutin yang mencakup dosis vaksin Campak diberikan pada usia 9 bulan. Cakupan
imunisasi Campak semakin meningkat sehingga pada tahun 1990 dapat mencapai lebih dari
90%. Pada tahun 2000, dalam rangka mengatasi KLB dan memberikan kesempatan kedua bagi
anak yang belum diimunisasi atau pun yang belum terbentuk kekebalannya, maka ditetapkan
3 strategi pengendalian Campak: 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
· Crash program Campak untuk anak balita di daerah risiko tinggi Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
· Catch-up campaign Campak untuk anak sekolah
· Introduksi pemberian dosis kedua melalui kegiatan rutin BIAS untuk kelas satu SD pada Gambaran cakupan imunisasi di tiap provinsi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan
tahun berikutnya setelah catch-up campaign. beberapa provinsi yang mengalami peningkatan maupun penurunan.
Frekuensi KLB
tahun 2020. 100
80
Pada tahun 2014 untuk lebih meningkatkan kekebalan pada anak-anak, maka dikeluarkan
kebijakan pemberian imunisasi Campak lanjutan pada anak usia 24 bulan dan sesuai dengan 60
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 pemberian imunisasi Campak lanjutan 40
dosis ke-2 diberikan pada anak usia 18 bulan.
20
Selain pelaksanaan imunisasi, salah satu strategi untuk mencapai eliminasi dan pengendalian 0
Campak di Indonesia adalah pelaksanaan surveilans Campak Rubella berbasis individu yang
Sumatera Utara
Sumatera Barat
Sumatera Selatan
Banten
Sulawesi Utara
Sulawesi Selatan
Sulawesi Barat
Gorontalo
Aceh
Riau
Jambi
Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara
Sulawesi Tengah
Sulawesi Tenggara
Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
NTB
NTT
dikenal juga dengan CBMS (case based measles surveillance). Pelaksanaan surveilans ini jika
ditemukan setiap satu kasus dengan gejala demam, rash/bintik merah pada tubuh, disertai
salah satu gejala atau lebih batuk/pilek/mata merah, maka diambil spesimen darah/serum
diperiksa di laboratorium rujukan nasional yaitu Badan Litbangkes Kemenkes, Bio Farma,
BBLK Surabaya dan BLK Yogyakarta untuk memastikan diagnosis Campak atau Rubella.
2015 2016 2017
Cakupan Imunisasi Rutin Campak Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
Cakupan Imunisasi Campak menunjukkan kecenderungan peningkatan pada tahun 2008 Gambar di atas menunjukkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan dan Jambi memiliki cakupan
sampai dengan tahun 2012. Namun kecenderungan penurunan terjadi dari tahun 2012 imunisasi Campak tertinggi dibandingkan provinsi lainnya. Sebanyak 21 provinsi (61,8%)
sebesar 99,3% menjadi 89,8% pada tahun 2017. mengalami penurunan cakupan dari tahun 2015 sampai 2017.
7 8
Kampanye Imunisasi Measles Rubella GAMBAR 9. PELAKSANAAN IMUNISASI MEASLES DAN RUBELLA (MR)
FASE-1 TAHUN 2017
Berdasarkan data surveilans dan cakupan imunisasi, maka imunisasi Campak rutin saja belum
cukup untuk mencapai target eliminasi Campak. Sedangkan untuk akselerasi pengendalian
Rubella/CRS maka perlu dilakukan kampanye imunisasi tambahan sebelum introduksi vaksin
MR ke dalam imunisasi rutin.
Oleh karena itu, diperlukan kampanye pemberian imunisasi MR pada anak usia 9 bulan sampai
dengan <15 tahun. Pemberian imunisasi MR pada usia 9 bulan sampai dengan <15 tahun
dengan cakupan tinggi (minimal 95%) dan merata diharapkan akan membentuk imunitas
kelompok (herd immunity), sehingga dapat mengurangi transmisi virus ke usia yang lebih
dewasa dan melindungi kelompok tersebut ketika memasuki usia reproduksi.
Pelaksanaan kampanye vaksin MR pada anak usia 9 bulan hingga 15 tahun dilaksanakan secara
bertahap dalam 2 fase sebagai berikut :
1. Fase 1 bulan Agustus-September 2017 di seluruh Pulau Jawa
2. Fase 2 bulan Agustus-September 2018 di seluruh Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan,
Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua
Kampanye Imunisasi Measles Rubella (MR) Fase II akan dilaksanakan pada bulan
Agustus – September 2018 dengan jumlah sasaran anak usia 9 bulan sampai dengan < 15
tahun sebesar 31.963.154 di 28 provinsi di luar Pulau Jawa. Semua upaya yang dilakukan
tersebut ditujukan untuk memperoleh herd imunity (kekebalan kelompok) yang dapat
menangkal kasus infeksi Campak dan Rubella. Penurunan kasus Campak dan Rubella
diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan angka kematian neonatal, bayi dan balita
di Indonesia. Anak anak yang sehat dan terbebas dari penyakit adalah asset bangsa dalam
menyongsong bonus demografi yang berpotensi untuk diperoleh Indonesia di masa depan.
9 10
HALAMAN SAMPUL
Diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan RI
Pengarah
Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Pembina
dr. Achmad Yurianto (Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit);
dr. Bambang Wibowo, Sp.OG (K), Mars (Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kemkes);
dr. Kirana Pritasari, MQIH (Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemkes);
Prof. dr. Abdul Kadir, Ph.D, Sp. THT-KL (K), MARS (Kepala Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan dan Plt. Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kemkes);
Brigjen TNI (Pur.) dr. Alexander K Ginting S.Sp.P, FCCP (Staf Khusus Menkes Bidang
Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan);
Mayjen TNI (Pur.) dr. Daniel Tjen,Sp.S (Staf Khusus Menkes Bidang Tata Kelola
Pemerintahan);
Brigjen TNI (Pur.) dr. Jajang Edi Priyatno, Sp.B MARS (Staf Khusus Menkes Bidang
Peningkatan Pelayanan);
dr. Mariya Mubarika (Staf Khusus Menkes Bidang Peningkatan Sumber Daya Manusia
Kesehatan).
Penanggung Jawab
dr. H. Budi Hidayat, M.Kes (Sesditjen P2P)
drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid (Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan);
dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML);
dr. Tri Hesty Widyastoeti M, Sp.M, MPH (Direktur Yankes Rujukan);
drg. Saraswati, MPH (Direktur Yankes Primer);
drg. Kartini Rustandi, M.Kes (Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga);
Dr. dr. Vivi Setyawaty, MBiomed (Kepala Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan);
Sundoyo, SH, MKM, M.Hum (Kepala Biro Hukum dan Organisasi);
drg. Widyawati MKM (Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat);
dr. Riskiyana S. Putra, M.Kes (Direktur Promkes dan Pemberdayaan Masyarakat;
Dr. dr. Ina Rosalina D, Sp.A(K), M.Kes, MH.Kes (Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional);
dr. Budi Sylvana, MARS (Pusat Krisis Kesehatan).
Penyusun
dr. Anung Sugihantono, M.Kes;
dr. Erlina Burhan, Sp.P (K)., M.Sc., Ph.D (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P (K), FISR, FAPSR (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
Dr. Triya Damayanti, PhD,Sp.P(K) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P (K) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
dr. Prasenohadi, Sp.P, KIC, Ph.D (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
dr. Erlang Samuedro, Sp.P (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K), FISR (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
Prof. DR. Dr. Aryati, MS., Sp.PK (K) (Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik);
dr. Weny Rinawati, Sp.PK, MARS (Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik);
dr. Aditya Susilo, Sp.PD, KPTI, FINASIM (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia - PAPDI);
Editor
dr. Listiana Aziza, Sp.KP; Adistikah Aqmarina, SKM; Maulidiah Ihsan, SKM
Design
Galih Alestya Timur; Pra Setiadi, SKM
Alamat Sekretariat
Sub Direktorat Penyakit Infeksi Emerging, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan,
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI.
Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9 Gedung A Lantai 6, Jakarta Selatan 12950 Telp/Fax.
(021) 5201590
Email/Website Sekretariat
subdit.pie@yahoo.com; https://infeksiemerging.kemkes.go.id
13
1. 1. Latar Belakang
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2
merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada
manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit
yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi
COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan
sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari.
Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom
pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.
Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada
tanggal 7 Januari 2020, China mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis baru
coronavirus. Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO menetapkan kejadian tersebut sebagai
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health
Emergency of International Concern (PHEIC) dan pada tanggal 11 Maret 2020, WHO
sudah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.
Dilihat dari situasi penyebaran COVID-19 yang sudah hampir menjangkau seluruh
wilayah provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian semakin
meningkat dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia, Pemerintah Indonesia telah
menetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Keputusan Presiden tersebut menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit yang
menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dan menetapkan KKM
COVID-19 di Indonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain itu, atas pertimbangan penyebaran COVID-19
berdampak pada meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya
cakupan wilayah terdampak, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi
yang luas di Indonesia, telah dikeluarkan juga Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun
2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.
Sampai saat ini, situasi COVID-19 di tingkat global maupun nasional masih dalam
risiko sangat tinggi. Selama pengembangan vaksin masih dalam proses, dunia
dihadapkan pada kenyataan untuk mempersiapkan diri hidup berdampingan dengan
COVID-19. Oleh karenanya diperlukan pedoman dalam upaya pencegahan dan
pengendalian COVID-19 untuk memberikan panduan bagi petugas kesehatan agar tetap
sehat, aman, dan produktif, dan seluruh penduduk Indonesia mendapatkan pelayanan
yang sesuai standar. Pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 disusun
berdasarkan rekomendasi WHO yang disesuaikan dengan perkembangan pandemi
COVID-19, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. 2. Tujuan Pedoman
1. 2. 1. Tujuan Umum
Melaksanakan pencegahan dan pengendalian COVID-19 di Indonesia.
1. 2. 2. Tujuan Khusus
a. Memahami strategi dan indikator penanggulangan
b. Melaksanakan surveilans epidemiologi
c. Melaksanakan diagnosis laboratorium
d. Melaksanakan manajemen klinis
e. Melaksanakan pencegahan dan pengendalian penularan
f. Melaksanakan komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat
g. Melaksanakan penyediaan sumber daya
h. Melaksanakan pelayanan kesehatan esensial
1. 3. Ruang Lingkup
Pedoman ini meliputi beberapa pokok bahasan yaitu: strategi dan indikator
penanggulangan, surveilans epidemiologi, diagnosis laboratorium, manajemen klinis,
pencegahan dan pengendalian penularan, komunikasi risiko dan pemberdayaan
masyarakat, penyediaan sumber daya, dan pelayanan kesehatan esensial.
1. 4. Gambaran Umum
1. 4. 1. Epidemiologi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya
kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir
1. 4. 2. Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus.
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu: protein
N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S (spike),
protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga
Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau
manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus,
gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6
jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E
1. 4. 3. Penularan
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet
cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang
menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.
Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari
namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari
pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi.
Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam
sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah
onset gejala. Sebuah studi Du Z et. al, (2020) melaporkan bahwa 12,6%
menunjukkan penularan presimptomatik. Penting untuk mengetahui periode
presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet atau
kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa
terdapat kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko
penularan sangat rendah akan tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk
terjadi penularan.
1. 4. 4. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara
bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun
dan tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam,
rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri
dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit
tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit.
Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40%
kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang
termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5%
kasus akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan
sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-
organ, termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat
kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang
sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan
paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan.
1. 4. 5. Diagnosis
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang
terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi
molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT-
PCR.
1. 4. 6. Tata Laksana
Hingga saat ini, belum ada vaksin dan obat yang spesifik untuk mencegah atau
mengobati COVID-19. Pengobatan ditujukan sebagai terapi simptomatis dan
suportif. Ada beberapa kandidat vaksin dan obat tertentu yang masih diteliti
melalui uji klinis.
Tingkat Tidak terdapat kasus yang Satu atau lebih kasus, kasus bisa Dominasi penularan lokal yang berkaitan Tidak diketahui sumber rantai penularan dengan
Penularan terlaporkan import maupun lokal tapi belum terbukti dengan rantai penyebaran jumlah kasus yang besar atau peningkatan kasus
adanya penularan lokal dengan test positif melalui sampel sentinel
(pengujian sampel secara massif dari
laboratorium yang kompeten)
Tujuan Menghentikan penularan Menghentikan penularan dan Menghentikan penularan dan mencegah Menghambat penularan, mengurangi jumlah
penanggulangan dan mencegah mencegah penyebaran penyebaran kasus, mengakhiri wabah di komunitas
penyebaran
Pilar Penanggulangan
Surveilans 1. Penemuan Kasus 1. Penemuan Kasus Secara Aktif dan 1. Mengintensifkan Penemuan Kasus 1. Terus melanjutkan penemuan kasus dan isoasi
Epidemiologi Secara Aktif dan isolasi, karantina kontak dan isolasi jika memungkinkan khususnya pada daerah
dan Upaya isolasi. yang baru melaporkan kasus
2. Melaksanakan pelacakan kontak 2. Mengintensifkan pelacakan kontak
Penemuan 2. Menyiapkan 2. Terus melanjutkan pelacakan kontak dan
dan monitoring serta karantina dan monitoring serta karantina
Kasus Secara menghadapi lonjakan monitoring jika memungkinkan serta karantina
kontak kontak
Aktif kebutuhan pelacakan kontak
kontak 3. Pelaksanaan surveilans COVID-19 3. Memperluas surveilans COVID-19 3. Isolasi mandiri pada kasus yang bergejala
3. Melaksanakan melalui surveilans berbasis melalui surveilans berbasis ringan
pemeriksaan komunitas, surveilans ILI, SARI, komunitas, surveilans ILI, SARI, 4. Memantau perkembangan COVID-19
surveilans COVID-19 pneumoni, Event Base surveillance ISPA dan Pneumonia di FKTP dan surveilans sentinel yang ada
melalui surveilans baik FKTP dan FKRTL FKRTL 5. Melaksanakan surveilans di fasilitas tertutup
berbasis komunitas, dan kelompok rentan
4. Melaksanakan surveilans di 4. Melaksanakan surveilans di fasilitas
surveilans ILI, SARI,
pneumoni, Event Base fasilitas tertutup dan kelompok tertutup dan kelompok rentan
surveillance baik rentan
FKTP dan FKRTL
4. Melaksanakan
surveilans di fasilitas
tertutup dan kelompok
rentan
Pemeriksaan Pemeriksaan RT-PCR Pemeriksaan RT-PCR untuk Suspek Pemeriksaan RT-PCR untuk Suspek dan Apabila kapasitas diagnostik tidak mencukupi,
laboratorium untuk Suspek dan dan sampling pada kasus yang sampling pada kasus yang terdeteksi lakukan langkah prioritas untuk mengurangi
*Evaluasi melalui tren tetap dibutuhkan dan tidak terjadi perubahan pada uji lab atau
strategi pengukuran
**Masa 2 minggu berhubungan degan masa inkubasi terpanjang dan periode tersingkat
untuk menilai perubahan tren
2. Sistem kesehatan mampu mengatasi lonjakan kasus yang mungkin timbul setelah
penyesuaian (pelonggaran PSBB)
Ukuran kunci: Jumlah kasus baru yang membutuhkan rawat inap lebih kecil dari
perkiraan kapasitas maksimum rumah sakit dan tempat tidur ICU (Sistem
kesehatan dapat mengatasi rawat inap baru dan pemberian pelayanan kesehatan
esensial lainnya).
Jika tidak ada informasi ini, penilaian kualitatif berdasarkan kriteria berikut dapat
digunakan.
Sistem pelayanan kesehatan dapat Ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan dapat
mengatasi peningkatan lebih dari 20% berjalan ketika harus mengatasi lonjakan kasus
kasus COVID-19 saat melonggarnya pembatasan sosial. Indikator
ini termasuk staf, peralatan, tempat tidur, dan lain-
lain yang jumlahnya memadai.
Seluruh fasyankes dapat melakukan Hal ini untuk meyakinkan bahwa seluruh pasien
skrining terhadap COVID-19 yang datang ke fasyankes di skrining untuk gejala
COVID-19 untuk mencegah infeksi di fasyankes
Setiap kasus baru dapat diidentifikasi, Ada sistem surveilans COVID-19 yang
dilaporkan dan dianalisis kurang dari 24 mencakup keseluruhan wilayah dan semua
jam. orang serta komunitas yang berisiko. Surveilans
Penemuan kasus baru dilaporkan kepada yang komprehensif mencakup surveilans di
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tingkat masyarakat, tingkat pelayanan
(notifikasi) sesuai dengan formulir kesehatan primer, di rumah sakit, dan pada
notifikasi penemuan kasus COVID-19 di wilayah yang memiliki surveilans sentinel
Fasyankes sebagaimana terlampir. ILI/SARI dan penyakit-penyakit saluran
pernapasan lain.
90% kasus suspek diisolasi dan dilakukan Ini menunjukkan bahwa investigasi dan isolasi
pengambilan spesimen dalam waktu kasus baru dilakukan cukup cepat untuk
kurang dari 48 jam sejak munculnya meminimalkan timbulnya kasus sekunder.
gejala
Lama hasil pemeriksaan Lab. keluar sejak Kriteria ini harus ditetapkan untuk memperbaiki
spesimen dikirimkan dan diterima sistem manajemen pemeriksaan spesimen.
hasilnya adalah 3x24 jam
>80% kontak dari kasus baru dipantau Kontak harus dipantau setiap hari selama 14 hari
selama 14 hari sejak kontak terakhir dan idealnya umpan balik tidak boleh terlewat
selama lebih dari dua hari.
Menggunakan sistem informasi dan Sementara pelacakan data kontak dapat diolah
manajemen data tersedia untuk manual pada skala kecil, pelacakan kontak skala
mengelola pelacakan kontak dan data besar dapat didukung oleh perangkat elektronik.
terkait lainnya
3. 1. Tujuan Surveilans
Tujuan umum kegiatan surveilans antara lain:
1. Memantau tren penularan COVID-19 pada tingkat nasional dan global.
2. Melakukan deteksi cepat pada wilayah tanpa transmisi virus dan monitoring kasus
pada wilayah dengan transmisi virus termasuk pada populasi rentan.
3. Memberikan informasi epidemiologi untuk melakukan penilaian risiko tingkat
nasional, regional, dan global.
4. Memberikan informasi epidemiologi sebagai acuan kesiapsiasiagaan dan respon
penanggulangan.
5. Melakukan evaluasi terhadap dampak pandemi pada sistem pelayanan kesehatan
dan sosial.
3. 2. Definisi Operasional
Pada bagian ini, dijelaskan definisi operasional kasus COVID-19 yaitu Kasus
Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku Perjalanan, Discarded,
Selesai Isolasi, dan Kematian. Untuk Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi,
Kontak Erat, istilah yang digunakan pada pedoman sebelumnya adalah Orang Dalam
Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG).
3. 2. 1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)* DAN pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal**.
b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA* DAN pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable COVID-19.
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat*** yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan.
3. 2. 2. Kasus Probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS***/meninggal dengan gambaran klinis
yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan laboratorium
RT-PCR.
3. 2. 3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)
3. 2. 5. Pelaku Perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik) maupun
luar negeri pada 14 hari terakhir.
3. 2. 6. Discarded
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-
PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24
jam.
b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa
karantina selama 14 hari.
3. 2. 7. Selesai Isolasi
Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan
3. 2. 8. Kematian
Kematian COVID-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus
konfirmasi/probable COVID-19 yang meninggal.
3. 3. Penemuan Kasus
Kegiatan penemuan kasus dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk
mengidentifikasi ada atau tidaknya kasus suspek, probable, konfirmasi dan kontak erat
dan melakukan respon adekuat. Dalam melakukan penemuan kasus tidak terpisahkan
dari upaya kewaspadaan dini. Sumber informasi yang dapat digunakan untuk
melakukan pemutakhiran perkembangan informasi terkini melalui:
• Situs resmi WHO (https://www.who.int/) untuk mengetahui negara terjangkit dan
wilayah yang sedang terjadi KLB COVID-19.
• Sumber lain yang terpercaya dari pemerintah www.infeksiemerging.kemkes.go.id,
www.covid19.kemkes.go.id, www.covid19.go.id dan lain-lain.
• Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai rumor atau berita
yang berkembang terkait dengan COVID-19.
e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kontak erat
berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan penularan,
tatalaksana lanjut jika muncul gejala, dan lain-lain.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 51
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
f. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan ketika kontak erat mengalami
perkembangan gejala sesuai kriteria kasus suspek/konfirmasi.
Pelibatan masyarakat juga sangat penting untuk memastikan tidak adanya stigma
yang muncul pada orang-orang yang masuk kategori kontak erat. Komunikasi yang baik
dan jelas dengan mengharapkan kesukarelaan pada kontak erat untuk dilakukan
wawancara, melakukan karantina mandiri, pemeriksaan swab, pemantauan (atau
melaporkan ada/tidaknya gejala setiap hari) dan untuk dilakukan isolasi jika muncul
gejala.
Tahapan pelacakan kontak erat terdiri dari 3 komponen utama yaitu identifikasi
kontak (contact identification), pencatatan detil kontak (contact listing) dan tindak lanjut
kontak (contact follow up).
1. Identifikasi Kontak
Identifikasi kontak sudah dimulai sejak ditemukannya kasus suspek, kasus
probable dan/kasus konfirmasi COVID-19. Identifikasi kontak erat ini bisa berasal
dari kasus yang masih hidup ataupun kasus yang sudah meninggal. Proses
identifikasi kontak merupakan proses kasus mengingat kembali orang-orang yang
pernah berkontak dengan kasus dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan
hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Konsep epidemiologi: waktu, tempat
dan orang diterapkan disini.
3. 7. Penilaian Risiko
Berdasarkan informasi dari penyelidikan epidemiologi maka dilakukan penilaian
risiko cepat meliputi analisis bahaya, paparan/kerentanan dan kapasitas untuk
melakukan karakteristik risiko berdasarkan kemungkinan dan dampak. Hasil dari
penilaian risiko ini diharapakan dapat digunakan untuk rekomendasi dan rencana
operasi penanggulangan kasus COVID-19. Penilaian risiko ini dilakukan secara berkala
sesuai dengan perkembangan penyakit. Penjelasan lengkap mengenai penilaian risiko
cepat dapat mengacu pada pedoman WHO Rapid Risk Assessment of Acute Public
Health.
a. Puskesmas
b. Rumah sakit
c. Klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lainnya
d. Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
e. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
1) Kasus di Wilayah
Kasus yang baru diterima oleh Fasyankes (Puskesmas, RS, Klinik,
atau fasyankes lain) dan atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, baik
dari kunjungan pasien atau hasil penelusuran kontak erat, harus
dicatat dan dilaporkan dalam formulir notifikasi penemuan kasus
COVID-19 sebagaimana terlampir.
Sedangkan hasil penyajian informasi dari data agregat laporan harian, dapat
langsung dimanfaatkan untuk mengkaji indikator epidemiologi di wilayah
yang bersangkutan sesuai dengan tujuan analisisnya.
Pengambilan dan pemeriksaan spesimen dari pasien yang memenuhi definisi kasus
suspek COVID-19 merupakan prioritas untuk manajemen klinis/pengendalian wabah, harus
dilakukan secara cepat. Spesimen tersebut dilakukan pemeriksaan dengan metode deteksi
molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti RT-PCR (termasuk Tes Cepat
Molekuler/TCM yang digunakan untuk pemeriksaan TB dan mesin PCR Program HIV AIDS
dan PIMS yang digunakan untuk memeriksa Viral Load HIV).
Hasil tes pemeriksaan negatif pada spesimen tunggal, terutama jika spesimen berasal
dari saluran pernapasan atas, tidak menyingkirkan kemungkinan tidak adanya infeksi.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hasil negatif pada pasien yang terinfeksi meliputi:
1. kualitas spesimen yang tidak baik, mengandung sedikit material virus
2. spesimen yang diambil pada masa akhir infeksi atau masih sangat awal
3. spesimen tidak dikelola dan tidak dikirim dengan transportasi yang tepat
4. kendala teknis yang dapat menghambat pemeriksaan RT-PCR (seperti mutasi pada
virus)
Jika hasil negatif didapatkan dari pasien dengan kecurigaan tinggi suspek terinfeksi
virus COVID-19 maka perlu dilakukan pengambilan dan pengujian spesimen berikutnya,
termasuk spesimen saluran pernapasan bagian bawah (lower respiratory tract). Koinfeksi
dapat terjadi sehingga pasien yang memenuhi kriteria suspek harus di lakukan pemeriksaan
COVID-19 meskipun patogen lain ditemukan.
4. 1. Jenis Spesimen
Tabel 4. 1. Jenis Spesimen Pasien COVID-19
Liur)
steril. (2
Serum Serum 2-8oC ≤5 hari: 2-8 °C Pengambilan 2 WAJIB
sampel yaitu separator sampel: DIAMBIL
akut dan tubes >5 hari: -70 °C
konvalesen) (Dewasa 3-5 (dry ice) o Akut minggu
UNTUK ml whole pertama saat
SEROLOGI Blood) sakit
o Konvalesen
2-3 minggu
setelahnya
Keterangan: *Stabilitas virus COVID-19 di dalam Saline Steril atau VTM dapat bertahan selama 14 hari
pada suhu 2-8oC. Sebagai pengganti Saline Steril dapat digunakan PBS (Phospate Buffer Saline).
4. 2. Pengambilan Spesimen
Sebelum kegiatan pengambilan spesimen dilaksanakan, harus
memperhatikan universal precaution atau kewaspadaan universal untuk mencegah
terjadinya penularan penyakit dari pasien ke paramedis maupun lingkungan sekitar.
j. Pastikan label kode spesimen sesuai dengan kode yang ada di formulir
penyelidikan epidemiologi.
k. Cryotube kemudian dililit parafilm dan masukkan ke dalam Plastik Klip.
Jika ada lebih dari 1 pasien, maka Plastik Klip dibedakan/terpisah. Untuk
menghindari kontaminasi silang.
4. 3. Pengepakan Spesimen
Spesimen dikonfirmasi harus dilakukan tata laksana sebagai UN3373, "Substansi
Biologis, Kategori B", ketika akan diangkut/ditransportasikan dengan tujuan diagnostik
atau investigasi. Semua spesimen harus dikemas untuk mencegah kerusakan dan
tumpahan. Adapun sistem yang digunakan adalah dengan menggunakan tiga lapis
(Three Layer Pacakging) sesuai dengan pedoman dari WHO dan International Air
Transport Association (IATA).
Spesimen dari suspek COVID-19, harus disimpan dan dikirim pada suhu yang
sesuai (lihat Tabel 4.1). Spesimen harus tiba di laboratorium segera setelah
pengambilan. Penanganan spesimen dengan tepat saat pengiriman adalah hal yang
sangat penting. Sangat disarankan agar pada saat pengiriman spesimen tersebut
ditempatkan di dalam cool box dengan kondisi suhu 2-8 oC atau bila diperkirakan lama
4. 4. Pengiriman Spesimen
Pengiriman spesimen kasus suspek COVID-19 maupun kontak erat dilakukan
oleh petugas Dinas Kesehatan dengan menyertakan formulir penyelidikan epidemiologi
terlampir. Pengiriman spesimen ditujukan ke laboratorium pemeriksa yang telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan atau pejabat yang
ditunjuk.
Suspek Sesuai dengan tabel hari ke-1 dan ke-2 dengan Laboratorium
4.1 Jenis spesimen selang waktu >24 jam Pemeriksa COVID-19
pasien COVID-19 serta bila ada perburukan. (daftar terlampir)
Manajemen klinis adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan
tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosis, melaksanakan tata laksana pengobatan dan
tindakan terhadap pasien COVID-19 sesuai indikasi klinis. Tenaga medis yang terlibat
sebagai Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) adalah dokter spesialis paru, dokter
penyakit dalam, dokter sub spesialis penyakit dalam paru, dokter sub spesialis penyakit dalam
tropik infeksi, dokter anak, dokter anak sub spesialis paru, dan dokter spesialis lain atau dokter
sub spesialis lain sesuai dengan kebutuhan medis. Dalam hal di rumah sakit tidak terdapat
dokter spesialis, maka dokter umum dapat merawat pasien COVID-19 sesuai dengan
kewenangannya. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan COVID-19 adalah
perawat dan tenaga kesehatan lainnya sesuai kebutuhan medis pasien.
Manajemen klinis merupakan tugas melaksanakan tata kelola klinis secara optimal dan
berkualitas, supaya pasien mendapatkan pelayanan yang komprehensif berfokus pada pasien
(patien centered care) secara berkesinambungan sesuai kebutuhan medis pasien, berbasis
keselamatan pasien.
Adapun ruang lingkup manajemen klinis meliputi:
a. Pelayanan COVID-19 di fasyankes baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
maupun di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) meliputi triase awal,
anamnesis secara komprehensif, mulai dari keluhan yang disesuaikan dengan gejala
klinis, riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit penyerta, termasuk latar
belakang contact tracing, surveillance di daerahnya, pemeriksaan fisik didukung dengan
pemeriksaan penunjang yang distandarkan sebagai penunjang diagnosis, sampai
pasien mendapatkan terapi, serta pemulangan dengan kriteria sembuh, atau belum
sembuh, sehingga pasien dapat melanjutkan isolasi mandiri.
b. Menjelaskan kriteria pasien masuk rawat inap dan kriteria pasien pulang rawat, pada
pasien dengan kriteria dan pasien kondisi tertentu (dengan penyakit penyerta, dengan
co-insidens dan dengan komplikasi).
Deteksi dini manifestasi klinis (tabel 5.1) akan memberikan kesempatan yang
cukup untuk penerapan tatalaksana dan PPI yang tepat.
Mayoritas pasien dengan gejala ringan tidak memerlukan rawat inap kecuali
ada kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya perburukan yang cepat dan
sesuai dengan pertimbangan medis. Pasien yang berusia lanjut dan memiliki
penyakit komorbid (contohnya: penyakit kardiovaskuler dan diabetes) memiliki
resiko lebih besar untuk mengalami gejala yang lebih berat dan mengalami
kematian, sehingga dapat dipertimbangkan untuk mendapat perawatan.
Deteksi cepat COVID-19 diselenggarakan sesuai manifestasi klinis dan sesuai
definisi operasional surveilans COVID-19.
Pasien dengan gejala ringan, sedang atau berat/kritis dapat dirawat di rumah
sakit rujukan COVID-19 atau rumah sakit lain yang memiliki fasilitas sesuai
standar pelayanan yang telah ditentukan, sementara itu pasien dengan gejala
ringan hingga sedang dapat juga dirawat di Rumah Sakit Lapangan/Rumah
Sakit Darurat terutama bagi pasien yang dapat mandiri/self handling selama
dirawat.
Tabel 5. 1 Kriteria Gejala Klinis Dan Manifestasi Klinis Yang Berhubungan Dengan Infeksi
COVID-19
Sakit ringan Sakit ringan Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk,
tanpa nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala,
komplikasi nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan
imunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas.
Sakit Sedang Pneumonia Pasien Remaja atau Dewasa dengan tanda klinis pneumonia
ringan (demam, batuk, dyspnea, napas cepat) dan tidak ada tanda
pneumonia berat.
Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau
kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas: <2 bulan,
≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit
dan tidak ada tanda pneumonia berat.
Sakit Berat Pneumonia Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam
berat / ISPA pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari:
berat frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau
saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar.
Sakit Kritis Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu minggu.
Penyebab Gagal napas yang tidak dapat dijelaskan oleh gagal jantung
edema atau kelebihan cairan (fluid overload)
POPULASI KHUSUS :
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, penyebab edema, dan radiologis sama seperti di atas,
jantung disertai perburukan oksigenasi akut yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit jantung
sianotik dasar
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema sama seperti diatas, disertai
paru kronis gambaran radiologis konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan oksigenasi akut
dari nilai sebelumnya, yang sesuai dengan kriteria oksgenasi di atas
Disfungsi Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema, dengan gambaran radiologis
ventrikel konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan oksigenasi akut, yang memenuhi
kiri kriteria di atas, namun tidak dapat dijelaskan oleh disfungsi ventrikel kiri
Syok septik Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi
cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial
pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau >2 SD di bawah normal usia) atau
terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia
atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR <70x/menit
atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2
detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau
ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.`
Keterangan:
* Jika fasyankes berlokasi di ketinggian lebih dari 1000 meter d.p.l., maka faktor koreksi harus
dihitung sebagai berikut: PaO2 / FiO2 x Tekanan barometrik / 760.
* Skor SOFA nilainya berkisar dari 0 - 24 dengan menilai 6 sistem organ yaitu pernapasan
(hipoksemia didefinisikan oleh PaO2 / FiO2 rendah), koagulasi (trombosit rendah), hati (bilirubin
tinggi), kardiovaskular (hipotensi), sistem saraf pusat (penurunan tingkat kesadaran dengan
Glasgow Coma Scale), dan ginjal (urin output rendah atau kreatinin tinggi). Diindikasikan sebagai
5. 1. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan manifestasi klinis, antara
lain:
a. Laboratorium: Darah lengkap/Darah rutin, LED, Gula Darah, Ureum,
Creatinin, SGOT, SGPT, Natrium, Kalium, Chlorida, Analisa Gas Darah,
Procalcitonin, PT, APTT, Waktu perdarahan, Bilirubin Direct, Bilirubin
Indirect, Bilirubin Total, pemeriksaan laboratorium RT-PCR, dan/atau
semua jenis kultur MO (aerob) dengan resistensi Anti HIV.
b. Radiologi: Thorax AP/PA
5. 1. 4. Komplikasi
a. Komplikasi akibat penggunaan ventilasi mekanik invasif (IMV) yang lama
b. ventilator-associated pneumonia (VAP)
c. tromboemboli vena
d. catheter-related bloodstream
e. stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan
f. kelemahan akibat perawatan di ICU
g. komplikasi lainnya selama perawatan pasien
5. 1. 5. Komorbid
a. Diabetes Mellitus
1) Diabetes Mellitus Tipe 1
2) Diabetes Mellitus Tipe 2
3) Glucocorticoid-associated diabetes
b. Penyakit terkait Geriatri
c. Penyakit terkait Autoimun
d. Penyakit Ginjal
e. ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
f. Non-ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
g. Hipertensi
h. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
i. Tuberculosis
1 2 3 4 5 6 7 8 9 …
(sesuai klinis)
X X X x
Keterangan :
• Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis
• Bila terjadi perbaikan klinis, maka untuk follow-up pasien dengan gejala berat/kritis,
dilakukan pengambilan swab 1 kali yaitu pada hari ke-7 untuk menilai kesembuhan
Pasien dengan dengan status Suspek atau Probabel yang di curigai sebagai
COVID-19 dengan kriteria sakit ringan, sakit sedang, sakit berat atau kondisi kritis
ditatalaksana seperti pasien terkonfirmasi COVID-19 sampai terbukti bukan
COVID-19.
5. 5. Pencegahan Komplikasi
Terapkan tindakan berikut untuk mencegah komplikasi pada pasien dengan gejala
berat/kritis terdapat pada tabel 5.3 dibawah.
5. 7. 1. Selesai Isolasi
Kriteria pasien konfirmasi yang dinyatakan selesai isolasi, sebagai berikut:
5. 7. 3. Sembuh
Pasien konfirmasi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, dan gejala
berat/kritis dinyatakan sembuh apabila telah memenuhi kriteria selesai isolasi
dan dikeluarkan surat pernyataan selesai pemantauan, berdasarkan penilaian
dokter di fasyankes tempat dilakukan pemantauan atau oleh DPJP.
5. 7. 4. Pemulangan Pasien
Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi
kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
a. Hasil assesmen klinis menyeluruh termasuk diantaranya gambaran
radiologis menunjukkan perbaikan, pemeriksaan darah menunjukan
perbaikan, yang dilakukan oleh DPJP menyatakan pasien diperbolehkan
untuk pulang.
b. Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien, baik terkait
sakit COVID-19 ataupun masalah kesehatan lain yang dialami pasien.
DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan kembali pasien dalam
rangka masa pemulihan.
5. 7. 5. Pindah ke RS Rujukan
Pindah ke RS Rujukan apabila pasien memerlukan rujukan ke RS lain dengan
alasan yang terkait dengan tatalaksana COVID-19. Pelaporan hasil akhir
5. 7. 6. Meninggal
a. Meninggal di rumah sakit selama perawatan COVID-19 pasien konfirmasi
atau probable maka pemulasaraan jenazah diberlakukan tatalaksana
COVID-19.
b. Meninggal di luar rumah sakit/Death on Arrival (DOA)
Bila pasien memiliki riwayat kontak erat dengan orang/pasien
terkonfirmasi COVID-19 maka pemulasaraan jenazah diberlakukan
tatalaksana COVID-19.
c) Kebersihan Pernafasan
(1) Perhatikan etika batuk atau bersin
(2) Gunakan masker kain /masker bedah apabila
mengalami ganguan system pernafasan.
(3) Apabila tidak ada masker, maka tutup mulut dan hidung
menggunakan tissue / menggunakan lengan atas
bagian dalam saat batuk atau bersn. Tissue segera
buang ke tempat sampah tertutup
(4) lakukan kebersihan tangan setelah kontak dengan
sekret pernafasan
(5) Pisahkan penderita dengan infeksi pernafasan idealnya
> 1meter di ruang tunggu Fasyankes
d) Kebersihan Lingkungan
(1) Lakukan prosedur pembersihan dan desinfeksi seara
rutin sekitar lingkungan dengan cara mengelap seluruh
permukaan lingkungan ruangan dan pengepelan lantai
ruangan dengan menggunakan cairan detergen
kemudian bersihkan dengan air bersih selanjutnya
menggunakan klorin 0.05 %. Cairan pembersih harus
diganti setelah digunakan di area perawatan pasien
COVID-19.
2) Kewaspadaan Transmisi
Kewaspadaan transmisi dapat dibagi menjadi tiga yaitu: droplet,
b. Pengendalian Administratif
1) Memastikan penerapan jaga jarak minimal 1 meter dapat
diterapkan di semua area fasyankes.
2) Melakukan pelarangan pengunjung dan penunggu pada pasien
dewasa kasus suspek, kasus probable atau terkonfirmasi positif
COVID-19.
3) Mengorganisir logistik APD agar persediaan digunakan dengan
benar.
4) Membuat kebijakan tentang kesehatan dan perlindungan petugas
kesehatan seperti:
a) Petugas kesehatan dalam keadaan sehat, apabila sakit
tidak boleh bekerja.
b) Pengaturan waktu kerja maksimal 40 jam seminggu dengan
waktu kerja harian 7-8 jam dan tidak melebihi 12 jam.
c) Memantau aspek kesehatan pekerja dengan penekanan
pada surveilans ISPA pada petugas kesehatan.
d) Pemantauan kesehatan pada petugas kesehatan secara
berkala sesuai indikasi medis.
e) Melakukan penilaian kelaikan kerja untuk petugas dengan
komorbid dan kondisi khusus seperti kehamilan, sebelum
ditugaskan memberikan pelayanan pasien COVID-19.
f) Melakukan penilaian kembali bekerja (return to work) pada
petugas pasca sakit.
g) Memastikan adanya jaminan kesehatan dan jaminan
kecelakaan kerja bagi petugas di fasyankes.
h) Melakukan penentuan Penyakit Akibat Kerja (PAK) pada
petugas yang terkena COVID-19 akibat kerja (sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.
HK.01.07/Menkes/327/2020 tentang Penetapan COVID-19
• Jenazah suspek dari dalam rumah sakit sebelum keluar hasil swab.
Penanganan
jenazah diruang V V V V V
isolasi
Memindahkan
jenazah dari
ruang V V V V V
rawat/ruang
isolasi
Pemulasaraan
/perawatan V V V V V
jenazah
Otopsi jenazah V V V V V
Petugas
V V
pemakaman
Sumber: (PAHO, WHO, Dead body management in the context of the novel coronavirus (COVID-
19),2020)
KRPM yang diadaptasi dari panduan dan pelatihan Risk Communication and
Community Engagement, WHO, bertujuan untuk:
1. Menyiapkan strategi komunikasi dengan informasi dan ketidakpastian yang belum
diketahui (pemantauan berita/isu di media massa dan media sosial, talking
point/standby statement pimpinan/juru bicara, siaran pers, temu media, media KIE
untuk informasi dan Frequently Asked Question/FAQ, dan lain-lain).
2. Mengkaji kapasitas komunikasi nasional dan sub-nasional (individu dan sumberdaya).
3. Mengidentifikasi aktor utama dan membentuk kemitraan dengan organisasi
masyarakat, komunitas, perguruan tinggi, dunia usaha dan pelaku media.
4. Merencanakan aktivasi dan implementasi rencana kegiatan KRPM
5. Melatih anggota Tim Komunikasi Risiko (yang terdiri dari Humas/Kominfo dan Promosi
Kesehatan) sebagai bagian TGC dan staf potensial lainnya tentang rencana dan
prosedur KRPM.
Selain itu, perubahan perilaku yang diharapkan dengan KRPM, dibutuhkan juga
tindakan engineering atau rekayasa. Dalam konteks pencegahan dan pengendalian penyakit
COVID-19 saat ini, rekayasa dapat berbentuk modifikasi atau pengaturan tertentu agar
masyarakat tidak berkerumun, tetap menjaga jarak atau tetap di rumah saja, sebagaimana
yang dilakukan dengan cara PSBB yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia.
KRPM digunakan untuk mengatasi hambatan menuju perubahan norma dan sosial.
Perubahan perilaku akan lebih berkelanjutan bila didukung oleh empat unsur ini:
1. Kebijakan
Yaitu adanya protokol, sumberdaya, regulasi, kepemimpinan dan sebagainya yang
menjadi panduan dalam melaksanakan perubahan sosial.
2. Sistem dan produk layanan kesehatan
Dalam situasi pandemi COVID-19, diperlukan standar dan ketersediaan layanan,
sistem rujukan serta suplai barang yang terjamin ketersediaannya.
3. Norma masyarakat
Norma yang berlaku di kalangan keluarga, teman sebaya, pasangan seringkali menjadi
faktor utama pertimbangan individu dalam mengadopsi pengetahuan dan atau perilaku
baru.
4. Individu
Pada tingkat individu, mereka membutuhkan pengetahuan memadai, perhitungan
untung rugi, keterampilan dan kemampuan untuk mengukur diri apakah sanggup atau
tidak melakukan perilaku baru yang disarankan. Secara umum tujuan kampanye
adalah meningkatkan pemahaman, persepsi, sikap atas risiko, penyebab, gejala,
pencegahan penularan COVID-19 bagi setiap pemangku kepentingan yang terlibat.
7. 5. Protokol Kesehatan
Beberapa protokol dan panduan kesehatan terkait COVID-19 sudah diterbitkan, antara
lain:
1. Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam
Rangka Pencegahan COVID-19 dapat di unduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-kesehatan-bagi-
masyarakat-di-tempat-dan-fasilitas-umum-dalam-rangka-pencegahan-covid-19
Keterangan:
1. Gambar virus berwarna abu di sebelah kiri menunjukkan virus yang mati.
2. Garis kurva berwarna gradasi dari merah menuju hijau menunjukkan bahwa kurva kasus
COVID-19 menurun dari zona merah menuju zona aman jika kita mau berubah.
3. Anak panah berwarna merah mengilustrasikan perubahan perilaku sebagai anak panah
yang akan mampu menekan dan membunuh virus.
Inti Pesan C o n t o h M e d i a
Pesan di Situasi
Adaptasi
Kebiasaan Baru
Video Motion
Grafis
Adaptasi
Kebiasaan
Baru
Pesan Kunci :
Cuci Tangan
Pakai Sabun
Pesan Kunci :
Jaga Jarak
Pesan Kunci :
Bijak Memakai
Masker dan
Etika Batuk
Pesan
Pendukung: Tidak
Mudik
Pesan
Pendukung:
Beribadah
Ramadhan di
Rumah
8. 3. Penyimpanan Logistik
Mengingat barang logistik dalam permasalah ini adalah adalah logistik kesehatan maka
perlu diperhatikan mengenai menyimpanan adalah:
1. Kemudahan akses, hal ini perlu di perhatikan karena tempat penyimpanan ini akan
menjadi Posko Logistik sehingga perlu perhatikan ukuran jalan apakah dapat
dilewati kendaraan besar, kontur jalan, akses dekat dengan jalan utama, dan
sebagainya.
2. Keamanan, Mengingat permasalah Pandemi COVID-19 ini bukan hanya
berdampak pada kesehatan tetapi sangat berpontensial akan berimbas ke sektor
ekonomi hal diakibatkan karenakan strategi untuk memutuskan rantai penularan
COVID-19 dengan cara PSBB sehingga banyak kebijakan perusahaan yang
merumahkan atau memberhentikan sementara pegawainya sehingga ini
berdampak pada masalah ekonomi. Hal ini berpotensi menyebabkan masalah
sosial sehingga perlu pertimbangan masalah keamanan lokasi tempat
penyimpanan logistik.
3. Kondisi dan kapasitas. Untuk logistik kesehatan perlu di perhatikan mengenai
suhu di tempat penyimpanan dikarenakan ada beberapa barang kesehatan yang
memerlukan suhu dengan temperatur tertentu sepeti reagen dan sebagainya.
4. Pencatatan, administrasi dan dokumentasi. Dalam manajemen logistik prinsip
First In First Out (FIFO) harus tetap menjadi landasan. Sehingga untuk barang
yang mempunyai kedaluarsa bisa termanfaatkan lebih dahulu dan pastikan semua
8. 4. Distribusi Logistik
Setelah melakukan perencanaan untuk perhitungan distribusi yang sudah dibahas
dibab sebelumnya maka point ini akan membahas mengenai distribusi. Pada prinsipnya
distribusi adalah mencari skema yang paling cepat, efektif dan efisien Ada beberapa
skema distribusi yang bisa gunakan antara lain:
1. Pizza Delivery, dalam skema ini logistik langsung diantar ke objek yang akan di
distribusi, kendalanya adalah dalam kondisi darurat SDM maupun fasilitas
kendaraan angkut akan sangat terbatas. Skema ini efektif jika lokasi dekat dengan
Posko Logistik.
2. Drive Thru, dalam skema ini objek yang akan didistribukasikan, diinfomasikan
untuk dapat mengambil logistik sendiri di posko, skema ini relatif efisien, cepat
dan efektif. Tetapi untuk jarak yang jauh dan harus menggunakan angkutan udara
skema ini menjadi sebaliknya.
3. Military Cooperation, dalam Skema ini berkoordinasi dengan pihak Militer untuk
dapat mengerahkan Alat Utama Sistem Pertahanan (ALUTSISTA) dalam hal ini
alat angkut untuk dapat membantu dalam mendistribusikan logistik.
Permasalahan yang perlu di perhatikan adalah koordinasi mengenai administasi
dan dokumentasi dalam pengiriman.
4. Private Expedition, dalam skema ini pengiriman logistik akan dilaksanakan
manggunakan pihak swasta sehingga dalam skema ini perlu diperhatikan
anggaran untuk pengirimannya dan juga tidak lupa koordinasi mengenai
administasi dan dokumentasi dalam pengiriman.
Dalam melakukan identifikasi dan prioritas pelayanan kesehatan tersebut, juga untuk
mencegah tidak bertambahnya angka kesakitan dan kematian yang dapat membebani
sistem kesehatan. Pelayanan tersebut dikategorikan sebagai pelayanan esensial,
antara lain:
Untuk pelayanan imunisasi, jika kapasitas sistem kesehatan masih utuh dan pelayanan
kesehatan rutin masih bisa dipertahankan seperti biasa serta didukung dengan masih
memadainya tenaga kesehatan dan pasokan vaksin, pelayanan imunisasi di fasyankes
harus dilaksanakan dengan tetap menjalankan langkah-langkah pengendalian infeksi
sesuai dengan protokol. Surveilans untuk PD3I juga harus terus dilakukan untuk
mempertahankan deteksi dan penanganan kejadian PD3I secara lebih awal untuk
mencegah terjadinya KLB. Jika memungkinan, dilakukan integrasi antara surveilans
PD3I dengan surveilans COVID-19. Jika pelayanan imunisasi terdampak, maka perlu
direncanakan strategi untuk mengejar ketinggalan vaksinasi serta untuk menjalankan
pemulihan program imunisasi. Karena adanya rekomendasi pembatasan sosial selama
pandemi COVID19, pelaksanaan imunisasi masal tidak dianjurkan.
Untuk penyakit tidak menular kronis atau penyakit-penyakit lainnya yang membutuhkan
pengobatan jangka panjang seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler, TB dan HIV/
AIDS, penguatan rantai pasokan untuk memastikan kesinambungan rejimen
pengobatan dan pemberian stok obat kepada pasien untuk jangka waktu yang
diperpanjang dapat menjadi strategi pencegahan eksaserbasi akut serta mengurangi
kebutuhan kunjungan ke fasyankes. Penggunaan teknologi digital dapat diintensifkan
untuk mendukung pasien melalui komunikasi, konseling, dan manajemen informasi.
Khusus untuk TB, menemukan dan mengobati orang dengan TB tetap menjadi pilar
dasar pencegahan dan perawatan TB. Namun disadari bahwa hal ini menjadi tantangan
dan memerlukan strategi khusus.
Dalam situasi respon pandemi COVID-19 dimana ada anjuran pembatasan sosial, maka
kunjungan rumah dari kader kesehatan dapat menjadi ujung tombak pemberian
pelayanan kesehatan esensial. Peran mereka dapat dioptimalkan dengan pemberian
training tambahan untuk melakukan beberapa jenis pelayanan kesehatan sekaligus.
Dalam pelaksanaannya, keselamatan para kader juga harus dijaga melalui penyediaan
alat perlindungan diri dan dukungan umum lainnya untuk tenaga kesehatan. Peran
sektor swasta termasuk LSM juga berpotensi untuk lebih ditingkatkan guna memberikan
pelayanan kesehatan esensial selama pandemi berlangsung. Fasyankes milik swasta
atau LSM dapat diminta untuk dijadikan lokasi pemberian pelayanan kesehatan rutin
yang tidak bisa diberikan di fasyankes publik yang dijadikan lokasi perawatan pasien
COVID-19.
Keselamatan baik pasien maupun tenaga kesehatan ketika pasien datang untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rutin perlu menjadi perhatian. Ketika pasien datang,
Kapasitas skrining dan triase untuk semua pasien serta isolasi untuk pasien COVID-19
juga perlu diperkuat, termasuk pengaturan ruangan dan alur pasien serta tempat
penyimpanan alat pelindung diri dan produk-produk pencegahan dan pengendalian
infeksi. Sebaiknya waktu konsultasi bisa dijadwalkan, untuk menghindari kerumunan
pasien di ruang tunggu. Ruang tunggu juga sebaiknya ditata ulang untuk memastikan
jarak fisik. Jumlah pengunjung dan waktu kunjungan sebaiknya dibatasi. Jika
memungkinkan, penataan ulang ruangan untuk menciptakan aliran pasien satu arah
sebaiknya dilakukan untuk meminimalkan kontak yang tidak perlu antara pasien dan
tenaga kesehatan.
Untuk mengetahui ketersediaan fasyankes yang bisa dilibatkan baik untuk pemenuhan
respon pandemi maupun mempertahankan pelayanan kesehatan rutin, sebaiknya
dilakukan pemetaan fasyankes, baik yang ada di sektor publik, swasta, maupun yang
dimiliki oleh TNI/ Polri. Demikian juga untuk memastikan ketersediaan tenaga
kesehatan, maka perlu dilakukan pemetaan kebutuhan tenaga kesehatan berdasarkan
empat skenario transmisi COVID-19 dan dikoordinasikan dengan rencana operasional
respon COVID-19. Kekurangan tenaga kesehatan dapat diantisipasi dengan beberapa
cara sebagai berikut:
Berbagai indikator di atas perlu dipantau dan dilaporkan selama periode tertentu
(mingguan atau bulanan).
1. Burke RM, Midgley CM, Dratch A, Fenstersheib M, Haupt T, Holshue M, et al. Active
monitoring of persons exposed to patients with confirmed COVID-19 — United States,
January–February 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020 doi :
10.15585/mmwr.mm6909e1external icon
2. Backer J, Backer J, Klinkenberg D, Wallinga J. 2020, Incubation period of 2019 novel
coronavirus (2019-nCoV) infections among travellers from Wuhan, China, 20–28 January
2020.https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.5.200
0062.
3. Byambasuren, O., Cardona, M., Bell, K., Clark, J., McLaws, M.-L., Glasziou, P., 2020.
Estimating the extent of true asymptomatic COVID-19 and its potential for community
transmission: systematic review and metaanalysis (preprint). Infectious Diseases (except
HIV/AIDS). MedRxiv.[preprint].(https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.0
5.10.20097543v1
4. Epidemiology Group of the New Coronavirus Pneumonia Emergency Response
Mechanism of the Chinese Center for Disease Control and Prevention. Epidemiological
characteristics of the new coronavirus pneumonia [J / OL]. Chinese Journal of
Epidemiology, 2020,41 (2020-02-17) .http: //rs.yiigle.com/yufabiao/1181998.htm. DOI:
10.3760 / cma.j.issn.0254-6450.2020.02.003
5. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Supplement: Community
Containment Measures, Including Non Hospitasl Isolation and Quarantine.
https://www.cdc.gov/sars/guidance/d-quarantine/app3.html
6. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020.
Coronavirus. https://www.cdc.gov/coronavirus/index.html.
7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Symptom and
diagnosis.https://www.cdc.gov/coronavirus/about/symptoms.html.
8. Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, Dulebohn SC, Napoli. RD. 2020. Features, Evaluation
and Treatment Coronavirus (COVID-19). https://www.ncbi.nlm.nih.gov
/books/NBK554776/?report=classic
9. CDC.2020. Human virus types. https://www.cdc.gov/coronavirus/types.html
10. Chen, et al. 2020. Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel
coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7.
11. Du Z, Xu X, Wu Y, Wang L, Cowling BJ, Meyers LA. Serial interval of COVID-19 among
publicly reported confirmed cases. Emerging infectious diseases. 2020;26(6).
12. Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN, et al.
2020. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1. N
Engl J Med. 2020 Apr 16;382(16):1564-1567. doi: 10.1056/NEJMc2004973. Epub 2020
Mar 17.
13. ECDC. 2020. Contact tracing: Public health management of persons, including healthcare
workers, having had contact with COVID-19 cases in the European Union – first update.
Tersedia pada: https://www.ecdc.europa.eu/sites/default/files/documents/Public-health-
management-persons-contact-novel-coronavirus-cases-2020-03-31.pdf
14. European Centre for Disease Prevention and Control. 2020. Risk assessment guidelines
for infectious diseases transmitted on aircraft (RAGIDA) Middle East Respiratory
Berangkat dari
Nomor Alamat Lokasi Status (diisi
No. Nama Nomor Paspor Umur L/P (negara asal
Seat Tinggal (lengkap) suspek/kontak)
kedatangan)
Keterangan: Form ini diisi oleh Petugas KKP dan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan setempat serta ditembuskan ke PHEOC.
Hasil
Tgl Pemeriksaan
Tanggal dan hasil Jenis
kontak Penunjang
pemantauan *) spesimen & Ket (diisi upaya
terakhir (jika berubah
No. tgl yang
Nama JK Umur Telfon (diisi status)
Pengambilan dilakukan, tempat
untuk
(jika berubah Lab rujukan kasus, dll)
kontak
erat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
dst..
status) (darah, Ro’
sputum)
Keterangan: Form ini diisi oleh Petugas Kesehatan di tempat pemantauan dan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan setempat
serta ditembuskan ke PHEOC
Riwayat Status
Gejala
Alamat (perjalanan / Epidemiologi Tindakan
Alamat No. Tgl. (terkait
No Nama NIK Umur JK sesuai (suspek/ (rujuk/rawat/is Ket
(domisili) HP Onset COVID- kontak / tidak
Identitas probable/ olasi mandiri)
19) ada konfirmasi)
Keterangan:
- Form ini diisi oleh fasyankes yang menemukan kasus terkait COVID-19, yaitu Puskesmas, Rumah Sakit, Klinik dan fasyankes lainnya.
- Rumah Sakit yang sudah terdaftar pada SIRS-Online, harus memastikan data kasus yang dinotifikasi tersebut ke dalam aplikasi SIRS-Online.
- Fasyankes yang melakukan pengambilan spesimen, selain membuat notifikasi kasus, harus melakukan entri data kasus ke dalam All Record TC-
19.
- Form notifikasi ini disampaikan setiap hari kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dilakukan rekapitulasi laporan harian.
- Kolom alamat wajib diisi secara lengkap hingga kecamatan dan kelurahan. Untuk alamat domisili diisi dengan alamat tinggal kasus dalam 14 hari
terakhir.
- Penting untuk melengkapi alamat domisili karena menjadi dasar penentuan lokasi asal ditemukannya kasus dan berkaitan dengan area fokus
penyelidikan epidemiologi.
- Kolom keterangan diisi dengan; tanggal rujuk, tanggal rawat, tanggal mulai isolasi mandiri, tanggal dilakukan PE.
5. PEMERIKSAAN RT-PCR
Jumlah kasus diambil specimen/swab #
6. SURVEILANS SEROLOGI
Jumlah rapid test
Jumlah rapid test reaktif
Jumlah reaktif periksa RTPCR
Jumlah reaktif dengan RTPCR (+)
Rumah tangga dan • Kontak tatap muka dengan seorang kasus • Wawancara langsung dengan pasien
komunitas/ kontak dengan jarak 1 meter atau kurang selama > 15 COVID-19 dan/atau pemberi
sosial menit rawatnya. Wawancara ini dapat
• Kontak fisik langsung dengan seorang pasien dilakukan secara tatap muka atau
COVID-19 melalui telepon
• Memberi perawatan langsung kepada pasien
COVID-19 di rumah tanpa APD yang tepat
• Setiap orang yang tinggal di dalam rumah
tangga tersebut
Tempat tertutup, • Kontak tatap muka dengan seorang kasus • Wawancara langsung dengan pasien
seperti fasilitas dengan jarak 1 meter atau kurang selama > 15 COVID-19 dan/atau pemberi rawatnya
perawatan jangka menit • Mendata penghuni, pengunjung, dan
panjang dan • Kontak fisik langsung dengan seorang pasien semua anggota staf yang bekerja
tempat tinggal COVID-19 dengan jadwal yang relevan
padat/tertutup yang • Memberi perawatan langsung kepada pasien • Wawancara dengan koordinator atau
berisiko tinggi COVID-19 di rumah tanpa APD yang tepat pengelola fasilitas
lainnya (lembaga • Menggunakan kamar yang sama, makan
pemasyarakatan, bersama, atau menggunakan ruang bersama
penampungan, dengan seorang pasien konfirmasi
pondokan) • Jika kejadian di mana kontak berlangsung sulit
dikaji, definisi yang lebih luas dapat digunakan
untuk memastikan bahwa semua orang
penghuni, terutama penghuni yang berisiko
tinggi, serta staf dipantau dan diskrining.
Fasilitas pelayanan • Tenaga kesehatan: setiap anggota staf yang • Identifikasi semua anggota staf yang
kesehatan berkontak langsung dengan seorang pasien telah berkontak langsung dengan
COVID-19, di mana APD tidak dipatuhi dengan pasien COVID-19 atau yang mungkin
ketat. telah berada dalam jarak 1 meter dari
• Kontak-kontak yang terpapar selama perawatan pasien COVID-19 tanpa APD selama
di rumah sakit: setiap pasien yang dirawat di > 15 menit tanpa kontak langsung
kamar yang sama atau menggunakan kamar (seperti rohaniwan fasilitas)
mandi yang sama dengan pasien COVID-19, • Kaji daftar pasien yang dirawat di
orang yang menjenguk pasien COVID-19, atau kamar yang sama atau kamar dengan
orang yang menjenguk pasien lain di kamar kamar mandi yang sama
yang sama; situasi-situasi lain sesuai penilaian • Data pengunjung yang menjenguk
risiko pasien atau pasien lain di kamar yang
• Kontak yang terpapar selama kunjungan rawat sama di waktu yang relevan
jalan: Setiap orang yang berada di ruang tunggu • Jalankan penilaian risiko lokal untuk
atau lingkungan tertutup lain yang berfungsi menentukan apakah jenis-jenis
setara pada waktu yang sama dengan pasien paparan lain dapat menjadi relevan,
COVID-19 harus didaftar sebagai kontak seperti fasilitas tempat makan
• Setiap orang dalam jarak 1 meter dari pasien bersama
COVID-19 di bagian rumah sakit mana pun
selama > 15 menit
Transportasi umum • Setiap orang dalam jarak 1 meter dengan • Identifikasi kontak umumnya hanya
atau bersama pasien COVID-19 selama > 15 menit dapat dilakukan jika tempat duduk
• Kontak fisik langsung dengan pasien COVID-19 ditentukan
• Setiap orang yang duduk dalam jarak 2 baris • Maskapai/otoritas perhubungan harus
dari pasien COVID-19 selama > 15 menit dan dimintai detail pesawat dan manifes
setiap anggota staf (seperti kru pesawat atau penerbangan
kereta) yang berkontak langsung dengan kasus • Untuk transportasi umum atau
bersama yang daftar penumpangnya
tidak tersedia atau tempat duduknya
tidak diatur, mungkin diperlukan
siaran media yang meminta para
penumpang untuk mengidentifikasi
diri. Siaran media dapat menjelaskan
tanggal, jam, lokasi penjemputan dan
kedatangan/tujuan, dan titik-titik
pemberhentian di sepanjang jalan,
meminta orang untuk mengidentifikasi
diri sebagai kemungkinan kontak
Tempat dan • Setiap orang dalam jarak 1 meter dengan • Jalankan penilaian risiko lokal dan
perkumpulan pasien COVID-19 selama > 15 menit gandeng penyelenggara/pimpinan
tertentu lain yang • Kontak fisik langsung dengan pasien COVID-19 untuk secara aktif atau pasif memberi
jelas (tempat • Jika acaranya sulit dikaji, setiap orang yang tahu kontak (misalnya, melalui pesan-
ibadah, tempat berada di lingkungan yang dekat dan tertutup pesan peringatan dan informasi
kerja, sekolah, yang sama dengan pasien COVID-19 dapat (‘warm and inform’) kepada calon
acara sosial dianggap sebagai kontak menurut penilaian hadirin)
pribadi) risiko lokal • Komunikasi dengan focal point seperti
pemimpin keagamaan tentang
kemungkinan kejadian penularan
untuk meningkatkan kesadaran
(‘warm and inform’)
• Untuk acara sosial pribadi, mulai
pelacakan dari daftar tamu dan daftar
undangan
• Jika perlu, pertimbangkan
memberikan siaran media yang
menjelaskan tanggal dan jam acara
serta yang meminta orang-orang
untuk mengidentifikasi diri sebagai
kemungkinan kontak
LOGO INSTANSI*
bahwa:
Nama :
Tanggal lahir :
Alamat :
Pekerjaan :
Mengetahui,
Nama Nama
SIP NIP
* Surat Ini dikeluarkan oleh Instansi yang merawat atau melakukan pemantauan kasus
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Nomor HP :
Alamat :
( ) ( )
Mengetahui,
Koordinator
Lapangan
( )
LOGO INSTANSI
Bulan/ Tahun:
Nama RS/ Puskesmas :
I. Identitas Jenazah
1. Nama Lengkap : 5. Jenis Kelamin:
2. NIK: 6. Agama:
3. Tempat/Tanggal lahir:
4. Alamat Tempat Tinggal:
II. Keterangan Khusus Kasus Kematian di Rumah atau Lainnya (termasuk DOA)
1. Status Jenazah : a. Belum dimakamkan /Belum dikremasi
b.Telah dimakamkan/Telah dikremasi, Tanggal....Bulan....Tahun....
2. Nama Pemeriksa Jenazah : ................... Kualifikasi Pemeriksa: a. Medis b. Paramedis
3. Waktu Pemeriksa Jenazah : Tanggal .............. Bulan............ Tahun................
b. Ramuan 2
➢ Bahan
• Kunyit: 1 ruas ibu jari
• Lengkuas: 1 ruas ibu jari
• Jeruk Nipis : 1 buah
• Air : 3 Cangkir
• Gula merah: secukupnya
➢ Cara Pembuatan
Cuci bersih semua bahan, kunyit dan lengkuas digeprek. Kemudian rebus
air hingga mendidih, kecilkan api dan masukan semua bahan, tunggu kira –
kira hingga setengahnya dan matikan, saring dalam keadaan dingin.
➢ Cara Pemakaian
Ramuan diminum 2 x sehari sebanyak 1 ½ cangkir.
c. Ramuan 3
➢ Bahan
• Pegagan : 10 lembar
• Jahe merah: 1 ruas ibu jari
• Temulawak : 1 iris
• Gula aren : secukupnya
• Air: 1,5 gelas
➢ Cara Pembuatan
Pegagan dicuci sampai bersih, kemudian rebus air sampai mendidih,
setelah mendidih kecilkan api dan masukan Jahe merah dan temulawak,
selanjutnya dimasukkan pegagan. Tunggu sampai air tersisa kira - kira
setengahnyanya dan matikan.
➢ Cara Pemakaian
Diminum 2 x sehari 1 gelas
e. Ramuan 5
➢ Bahan
• Daun Kelor: 2 genggam
• Air: 2 cangkir
➢ Cara Pembuatan
Rebus air sampai mendidih, masukan daun kelor lalu matikan api dan saring
sesudah dingin.
➢ Cara Pemakaian
Dewasa : 2 kali sehari 1 cangkir
Anak: 2 kali sehari ½ cangkir
f. Ramuan 6
➢ Bahan
• Lemon: 1 buah
• Madu: 2 sdm
➢ Cara Pembuatan
Cuci bersih jeruk lemon, kemudian diperas dan campurkan dengan 2 sdm
madu dan aduk sampai tercampur
➢ Cara Pemakaian
Ramuan diminum 2 kali sehari secukupnya
Jumlah
Total
Reagen Sisa Sumber Total Total
No. Masa Sampel
No Nama Reagen Yang Reagen Pengadaan Sampel Sampel
LOT Kadaluarsa Error /
Diterima (Tes) Reagen Positif Negatif
Inconclusive
(Tes)
1 ABBOTT
RealTime
SARS-CoV-2
Amplification
Reagent Kit
2 ABBOTT
Msample
PREPARATION
SYSTEMDNA
3 VTM
Ket: Laporan dikirim Setiap Hari Senin ke Kemenkes RI dan tembusan ke Dinkes
Kabupaten/Kota maupun Dinkes Provinsi
Tempat Karantina
Fasilitas Khusus/ Isolasi
Keterangan Karantina/
RS Darurat COVID-19/ RS/ RS Rujukan
Isolasi Mandiri
RS
Status • Kontak erat • Suspek gejala ringan/Kasus • Suspek dengan
• Kasus konfirmasi konfirmasi tanpa gejala/ Kontak komorbid yang tidak
tanpa gejala erat dengan penyakit penyerta terkontrol
• Kasus konfirmasi yang terkontrol • Suspek dengan gejala
gejala ringan tanpa • Suspek gejala ringan/Kasus berat
komorbid konfirmasi tanpa gejala/ Kontak • Probable
erat yang berusia diatas 60 tahun • Kasus konfirmasi gejala
• Suspek /Kasus konfirmasi sedang dengan
gejala ringan tanpa fasilitas komorbid yang tidak
karantina rumah yang memadai terkontrol
• Kasus konfirmasi tanpa gejala • Kasus konfirmasi gejala
tanpa fasilitas karantina rumah berat
yang memadai
Tempat - Rumah sendiri - Tempat yang disediakan 1. Rumah Sakit
- fasilitas sendiri Pemerintah pusat/daerah 2. Rumah Sakit
- fasilitas khusus - Rumah Sakit darurat COVID-19 Rujukan
yang difasilitasi - Rumah Sakit
tempat kerja
Pengawasan • Dokter, perawat • Dokter, perawat dan/atau Dokter, perawat dan/atau
dan/atau tenaga tenaga kesehatan lain tenaga kesehatan lain
kesehatan lain
• Dapat dibantu
oleh
Bhabinkabtibnas,
Babinsa, kader
dan/atau
Relawan/pengelola
tempat kerja
Pembiayaan • Mandiri • Pemerintah: BNPB, • Pemerintah: BNPB,
• Pihak lain yang bisa Gubernur, Bupati, Gubernur, Bupati,
membantu Walikota, Camat dan Kades Walikota, Camat
(filantropi) • Sumber lain dan Kades
• Sumber lain
Untuk Anak:
• Perawatan suportif (obat-obatan simtomatis)
Perawatan simptomatis
Isolasi dan Pemantauan
• Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-
19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
• Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-
19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
Sakit Sedang • Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak tanggal
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak
lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan
pernapasan
Non Farmakologis
- NIV
▪ Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus
menggunakan respirator (PAPR, N95).
▪ Lakukan pemberian NIV selama 1 jam,
kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien
mengalami perbaikan dan mencapai kriteria
ventilasi aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg,
tidak ada gejala kegagalan pernapasan atau
peningkatan FiO2/PEEP) maka lanjutkan
ventilasi dan lakukan penilaian ulang 2 jam
kemudian.
▪ Pada kasus ARDS berat, disarankan untuk
dilakukan ventilasi invasif.
▪ Jangan gunakan NIV pada pasien dengan
syok.
Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2 kali
sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi
kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.
Hindari penggunaan strategi ini pada ARDS berat.19
Farmakologis
• Antivirus
• Pengobatan suportif
• Pengobatan simtomatis seperti paracetamol bila
demam
• Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh
karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik
disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan
faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan
kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan
kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut
dipertimbangkan.
Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada
Keterangan :
• Terapi farmakologi pada anak, sbb.:
- diterapkan pada pasien konfirmasi dan Suspek
- dosis pada anak harus disesuaikan
• Pasien dengan komorbid kardiovaskular perlu diberikan penjelasan informasi terkait
indikasi dan efek samping yang dapat terjadi pada pengobatan
• Untuk gejala ringan, bila terdapat komorbid terutama yang terkait jantung sebaiknya
pasien dirawat
• Pemilihan obat disesuaikan pada :
1. ketersediaan obat
2. Kemampuan Pemantauan efek samping obat
3. Keputusan DPJP
4. Transfer pasien suspek dan konfirmasi gejala ringan dan sedang ke rumah
sakit, APD Minimal pada saat melakukan :
- Masker bedah
- Baju dinas/scrub
- Google/ face shield
- Handscoen
Catatan Tambahan :
2) Hindari prosedur yang menimbulkan aerosol seperti ; nebulizer, suction, BVM dan
intubasi
3) Setelah petugas selesai melakukan evakuasi, petugas harus membersihkan diri dan
mengganti baju dinas/scurb untuk di sterilisasi
Catatan tambahan :
1) Setelah petugas selesai melakukan evakuasi, petugas harus membersihkan diri dan
mengganti baju dinas untuk di sterilisasi dan membuang semua APD sekali pakai ke
sampah infeksius
2. Disinfeksi ambulans :
- Ambulans harus dibersihkan dan didisinfeksikan dengan bahan hipoklorin
yang berlabel “EPA-APPROVED” pada seluruh permukaan yang kontak
dengan pasien. Cara pembuatan dengan melarutkan 100 cc hipoklorin ke
dalam 900cc air.
- Jika ambulans melakukan transfer dengan pasien yang diperlukan tindakan
medis yang menyebabkan aerosol menyebar (nebulisasi, bagging, intubasi,
ventilator mekanis), maka dilakukan disinfeksi dengan Dry Mist dengan bahan
H202.
- Untuk linen seperti sprei, selimut yang tidak sekali pakai, dilakukan pencucian
dengan detergen ditambah air dengan suhu 600 C – 900 C dan di jemur kering.
- Petugas yang membersihkan menggunakan APD (masker bedah, baju cover,
sarung tangan, google dan sepatu boot).
D. TRANSFER PASIEN
Langkah langkah yang harus dilakukan selama proses transfer untuk pencegahan dan
pengendalian infeksi dalam ambulans:
Di dalam ambulans =
3 Gaun/Gown buah/pieces
6 Celemek/Apron buah/pieces
(Nama Lengkap)
Keterangan:
* jumlah kasus dalam satuan orang
** Satuan untuk logistik:
a. Masker, gaun, pelindung wajah, pelindung mata, pelindung kepala, apron dalam
satuan buah/pieces.
b. Sarung tangan dan sepatu dalam satuan pasangan/pairs
c. Antiseptik/desinfektan dalam satuan liter (L)
2
KATA SAMBUTAN
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas terbitnya buku
Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue edisi tahun 2017 ini, untuk
melengkapi atau menyempurnakan edisi sebelumnya.
Secara khusus permasalahan penyakit menular ditandai dengan adanya
kecenderungan penyakit baru (New Emerging Diseases), adanya penyakit
menular yang muncul kembali (Reemerging Diseases) dan adanya penyakit
menular lokal spesifik (Local Specific Diseases) yang terjadi di beberapa daerah
di tanah air. Semua itu harus mendapat perhatian dari kita semua.
Penyebaran penyakit tular vektor antara lain Demam Berdarah Dengue
(DBD) terkait erat dengan kepadatan penduduk, mobilitas, pengetahuan,
sikap, perilaku dan peran serta masyarakat serta kondisi iklim. Faktor lain
yang mungkin turut mempengaruhi antara lain permasalahan pengelolaan
lingkungan yang kurang baik sehingga menyebabkan tingginya habitat
perkembangbiakan nyamuk penular DBD, disamping masalah mutasi virus,
resistensi vektor akibat penggunaan insektisida secara berlebihan dan terus-
menerus. Ditambah lagi kondisi ketersediaan sarana prasarana, tenaga
kesehatan berkualitas, pembiayaan, dan peraturan perundang-undangan
yang mendukung juga harus menjadi perhatian. Permasalahan ini akan bisa
diatasi bersama dengan melakukan integrasi berbagai kegiatan program serta
peningkatan kerjasama lintas sektor terkait.
Perkembangan ilmu dan teknologi bidang kesehatan di dunia telah
melahirkan salah satu produk vaksin dengue oleh salah satu produsen vaksin
terkemuka, hal ini tentu dapat menjadi alternatif dalam upaya pengendalian
DBD di dunia dan Indonesia khususnya. Namun hal itu tidak berarti bahwa kita
3
harus meninggalkan metode lain dalam upaya mengendalikan DBD di tanah
air. Bagaimanapun juga metode pengendalian vektor melalui peningkatan
pemberdayaan dan peran serta masyarakat masih dianggap sebagai prioritas
dalam program pengendalian DBD serta penyakit arbovirosis lain di tanah
air. Melalui pendekatan Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik dalam rangka
optimalisasi pembudayaan PSN 3M Plus diharapkan dapat menjadi solusi
untuk meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam pencegahan dan
pengendalian DBD di Indonesia.
Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue ini diharapkan dapat
menjadi bahan pembelajaran dan acuan bagi seluruh SDM kesehatan di
Indonesia dalam upaya pengendalian DBD serta faktor-faktor risiko yang
mempengaruhinya.
Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.
4
KATA PENGANTAR
5
Upaya peningkatan pemberdayaan dan peran serta masyarakat masih
menjadi strategi prioritas dalam upaya pencegahan dan pengendalian DBD.
Oleh karena itu Kementerian Kesehatan telah meluncurkan Gerakan Satu
Rumah Satu Jumantik dalam rangka optimalisasi pembudayaan PSN 3M
Plus di masyarakat.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya dalam bidang kesehatan terkait penyakit Demam Berdarah Dengue,
maka pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunan Pedoman Pengendalian Demam
Berdarah Dengue edisi tahun 2017 ini. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi
bahan pembelajaran dan acuan bagi seluruh SDM kesehatan di Indonesia
untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengendalian DBD.
Kritik, saran dan masukan sangat kami harapkan guna perbaikan di masa yang
akan datang.
6
DAFTAR ISI
7
KONTRIBUTOR
8
BAB 1
PENDAHULUAN
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditandai demam 2 – 7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya
hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit,
asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Dapat disertai gejala-gejala tidak khas
seperti nyeri kepala, nyeri otot & tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola
mata.
Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi
DBD berat. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh
dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit
(asimtomatik). Sebagian lagi akan menderita demam dengue saja yang tidak
menimbulkan kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian.
Dalam 3 dekade terakhir penyakit ini meningkat insidennya di berbagai
belahan dunia terutama daerah tropis dan sub-tropis, banyak ditemukan di
wilayah urban dan semi-urban. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes yang mengandung virus dengue.
Di Indonesia kasus DBD berfluktuasi setiap tahunnya dan cenderung
semakin meningkat angka kesakitannya dan sebaran wilayah yang terjangkit
semakin luas. Pada tahun 2016, DBD berjangkit di 463 kabupaten/kota dengan
angka. kesakitan sebesar 78,13 per 100.000 penduduk, namun angka kematian
dapat ditekan di bawah 1 persen, yaitu 0,79 persen. KLB DBD terjadi hampir
setiap tahun di tempat yang berbeda dan kejadiannya sulit diduga.
9
DBD diperkirakan akan masih cenderung meningkat dan meluas
sebarannya. Hal ini karena vektor penular DBD tersebar luas baik di tempat
pemukiman maupun ditempat umum. Selain itu kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk, urbanisasi yang semakin meningkat terutama sejak 3
dekade yang terakhir.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyebar luasan DBD antara lain
adalah
• Perilaku masyarakat
• Perubahan iklim (climate change) global
• Pertumbuhan ekonomi
• Ketersediaan air bersih
Sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang spesifik, tetapi bila
pasien berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya
kasus-kasus penyakit ini dapat diselamatkan.
Cara yang dapat dilakukan saat ini dengan menghindari atau mencegah
gigitan nyamuk penular DBD. Oleh karena itu upaya pengendalian DBD yang
penting pada saat ini adalah melalui upaya pengendalian nyamuk penular
dan upaya membatasi kematian karena DBD. Atas dasar itu maka upaya
pengendalian DBD memerlukan kerjasama dengan program dan sektor terkait
serta peran serta masyarakat.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka Visi, Misi, Strategi dan Tujuan
Pengendalian DBD adalah sebagai berikut :
a. Visi
Terwujudnya individu dan masyarakat yang mandiri dalam mencegah dan
melindungi diri dari penularan DBD melalui optimalisasi kegiatan PSN
3M Plus disamping meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas.
10
b. Misi
1) Pengendalian DBD mengedepankan aspek pemberdayaan dan peran
serta masyarakat serta kemitraan multisektor
2) Pengendalian DBD dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu
dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta aspek kesehatan lingkungan.
c. Strategi
1) Pengendalian vektor penular DBD dengan mengedepankan upaya
pemberdayaan masyarakat dan peran serta masyarakat dalam PSN
3M Plus melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik.
2) Penguatan sistim surveilans untuk deteksi dini, pencegahan &
pengendalian kasus serta KLB DBD
3) Penguatan diagnostik dan penatalaksanaan penderita secara adekuat
di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencegah kematian
4) Pengembangan dan pemanfaatan vaksin dan teknologi tepat guna
lainnya dalam upaya pencegahan dan pengendalian DBD.
d. Tujuan
1) Meningkatkan persentase kabupaten/kota yang mencapai angka
kesakitan DBD kurang dari atau sama dengan 49 per 100.000
penduduk
2) Menurunkan angka kematian akibat DBD menjadi kurang dari 1 %.
3) Membatasi penularan DBD dengan mengendalikan populasi vektor
sehingga angka bebas jentik (ABJ) di atas atau sama dengan 95%.
11
BAB 2
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA
12
tidak diperlukan yang akan merugikan baik bagi pasien maupun
dalam peningkatan beban kerja rumah sakit.
Berdasar petunjuk klinis tersebut dibuat kriteria diagnosis klinis,
yang terdiri atas kriteria diagnosis klinis Demam Dengue (DD),
Demam Berdarah Dengue (DBD), Demam Berdarah Dengue dengan
syok (Sindrom Syok Dengue/SSD), dan Expanded Dengue Syndrome
(unusual manifestation). (UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI, 2014)
1. Demam Dengue (DD)
Demam tinggi mendadak (biasanya ≥ 39º) ditambah 2 atau
lebih gejala/tanda penyerta:
- Nyeri kepala
- Nyeri belakang bola mata
- Nyeri otot & tulang
- Ruam kulit
- Manifestasi perdarahan
- Leukopenia (Lekosit ≤ 5000 /mm³)
- Trombositopenia (Trombosit < 150.000 /mm³ )
- Peningkatan hematokrit 5 – 10 %
2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
1) Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi
berikut:
a. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-
menerus
b. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan
seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena;
maupun berupa uji tourniquet positif.
c. Trombositopnia (Trombosit ≤ 100.000/mm³)
d. Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) akibat dari
peningkatan permeabilitas vaskular yang ditandai salah
satu atau lebih tanda berikut:
• Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi ≥ 20%
dari nilai baseline atau penurunan sebesar itu pada
fase konvalesens
13
• Efusi pleura, asites atau hipoproteinemia/
hipoalbuminemia
2) Karakteristik gejala dan tanda utama DBD sebagai berikut:
a. Demam
• Demam tinggi yang mendadak, terus menerus,
berlangsung 2-7 hari.
• Akhir fase demam setelah hari ke-3 saat demam
mulai menurun, hati-hati karena pada fase
tersebut dapat terjadi syok. Demam Hari ke-3
sampai ke-6, adalah fase kritis terjadinya syok.
b. Tanda-tanda perdarahan
• Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah
vaskulopati, trombositopenia dan gangguan fungsi
trombosit, serta koagulasi intravaskular yang
menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak
adalah perdarahan kulit seperti uji Tourniquet
positif (uji Rumple Leed/ uji bendung), petekie,
purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva.
Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama
demam tetapi dapat pula dijumpai setelah hari
ke-3 demam.
• Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas
gigitan nyamuk, untuk membedakannya: lakukan
penekanan pada bintik merah yang dicurigai
dengan kaca obyek atau penggaris plastik
transparan, atau dengan meregangkan kulit.
Jika bintik merah menghilang saat penekanan/
peregangan kulit berarti bukan petekie. Perdarahan
lain yaitu epitaksis, perdarahan gusi, melena dan
hematemesis. Pada anak yang belum pernah
mengalami mimisan, maka mimisan merupakan
tanda penting. Kadang-kadang dijumpai pula
perdarahan konjungtiva atau hematuria.
14
• Uji Bendung (Tourniquet Test) sebagai tanda perdarahan ringan, dapat
dinilai sebagai presumptif test (dugaan kuat).
• Pada hari ke-2 demam, uji Tourniquet memiliki sensitivitas 90,6% dan
spesifisitas 77,8%,dan pada hari ke-3 demam nilai sensitivitas 98,7%
dan spesifisitas 74,2%.
• Uji Tourniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie
pada area 1 inci persegi (2,5 cm x 2,5 cm) di lengan bawah bagian
depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fossa cubiti).
15
• Hasil Uji Tourniquet dinyatakan positif (+) bila
ditemukan ≥ 10 bintik perdarahan (petekia), pada luas
1 inci persegi ( 2,5 cm2.)
c. Hepatomegali (pembesaran hati)
• Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan
pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar
dapat diraba ( just palpable) sampai 2-4 cm di bawah
lengkungan iga kanan dan dibawah procesus Xifoideus
• Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi
teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD.
Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya
penyakit, namun nyeri tekan di hipokondrium kanan
disebabkan oleh karena peregangan kapsul hati. Nyeri
perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada
anak kecil.
d. Syok
Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya syok pada penderita Demam
Berdarah Dengue dapat dilihat pada Boks A
16
Demam Berdarah Dengue dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/
SSD)
• Memenuhi kriteria Demam Berdarah Dengue
• Ditemukan adanya tanda dan gejala syok hipovolemik baik
yang terkompensasi maupun yang dekompensasi
17
• Kelebihan cairan
• Gangguan elektrolit
• Ensefalopati
• Ensefalitis
• Perdarahan hebat
• Gagal ginjal akut
• Haemolytic Uremic Syndrome
• Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis
• Infeksi ganda
18
C. Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita infeksi
dengue antara lain:
1) Hematologi
a. Leukosit
• Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan
dominasi sel neutrofil.
• Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma
biru (LPB) > 4% di darah tepi yang biasanya dijumpai pada
hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh.
b. Trombosit
Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan cara:
• Semi kuantitatif (tidak langsung)
• Langsung (Rees-Ecker)
• Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
Jumlah trombosit ≤100.000/μl biasanya ditemukan diantara
hari ke 3-7 sakit. Pemeriksaan trombosit perlu diulang
setiap 4-6 jam sampai terbuktibahwa jumlah trombosit
dalam batas normal atau keadaan klinis penderita sudah
membaik.
c. Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran
pembuluh darah. Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator
yang peka akan terjadinya perembesan plasma, sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada
umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan
hematokrit. Hemokonsertrasi dengan peningkatan hematokrit >
20% (misalnya nilai Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma.
Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi
oleh penggantian cairan atau perdarahan.
19
Namun perhitungan selisih nilai hematokrit tertinggi dan
terendah baru dapat dihitung setelah mendapatkan nilai Ht
saat akut dan konvalescen (hari ke-7). Pemeriksaan hematrokrit
antara lain dengan mikro-hematokrit centrifuge
Nilai normal hematokrit:
• Anak-anak : 33 - 38 vol%
• Dewasa laki-laki : 40 - 48 vol%
• Dewasa perempuan : 37 - 43 vol%
Untuk puskesmas yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht,
dapat dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
2) Radiologi
Pada foto toraks posisi “Right Lateral Decubitus” dapat mendeteksi
adanya efusi pleura minimal pada paru kanan. Sedangkan asites,
penebalan dinding kandung empedu dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG).
3) Serologis
Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada
penderita terinfeksi virus Dengue.
a. Uji Serologi Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination Inhibition
Test)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas
(gold standard). Namun pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel
darah (serum) dimana spesimen harus diambil pada fase akut
dan fase konvalensen (penyembuhan), sehingga tidak dapat
memberikan hasil yang cepat.
b. ELISA (IgM/IgG)
Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau
sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengue IgM
terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG,
uji tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu
20
sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat
didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test (misalnya Dengue
Rapid Strip Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA.
c. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dengue Rapid Test
Dengue Rapid Test mendiagnosis infeksi virus primer dan
sekunder melalui penentuan cut-off kadar IgM dan IgG dimana
cut-off IgM ditentukan untuk dapat mendeteksi antibodi IgM
yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue primer dan
sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG ditentukan hanya
mendeteksi antibodi kadar tinggi yang secara khas muncul pada
infeksi virus dengue sekunder (biasanya IgG ini mulai terdeteksi
pada hari ke-2 demam) dan disetarakan dengan titer HI > 1:2560
(tes HI sekunder) sesuai standar WHO. Hanya respons antibodi
IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi, sedangkan IgG
infeksi primer atau infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada infeksi
primer IgG muncul pada setelah hari ke-14, namun pada infeksi
sekunder IgG timbul pada hari ke-2.
Interpretasi hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM
dan kontrol tanpa garis IgG, maka Positif Infeksi Dengue Primer
(DD). Sedangkan apabila muncul tiga garis pada kontrol, IgM,
dan IgG dinyatakan sebagai Positif Infeksi Sekunder (DBD).
Beberapa kasus dengue sekunder tidak muncul garis IgM, jadi
hanya muncul garis kontrol dan IgG saja. Pemeriksaan dinyatakan
negatif apabila hanya garis kontrol yang terlihat. Ulangi
pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala klinis kearah
DBD. Pemeriksaan dinyatakan invalid apabila garis kontrol tidak
terlihat dan hanya terlihat garis pada IgM dan/atau IgG saja.
21
II. Tatalaksana Infeksi Dengue
Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue bersifat simtomatis dan
suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat
jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini
dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak
lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Kunci keberhasilan tatalaksana
DBD/SSD terletak pada ketrampilan para petugas medis dan paramedis untuk
dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik.
A. Pertolongan Pertama Penderita
Pada awal perjalanan DBD gejala dan tanda tidak spesifik, oleh karena itu
masyarakat/keluarga diharapkan waspada jika terdapat gejala dan tanda
yang mungkin merupakan awal perjalanan penyakit tersebut. Gejala dan
tanda awal DBD dapat berupa panas tinggi tanpa sebab jelas yang timbul
mendadak, terus-menerus selama 2-7 hari, badan lemah/lesu, nyeri
ulu hati, tampak bintik-bintik merah pada kulit seperti bekas gigitan
nyamuk disebabkan pecahnya pembuluh darah kapiler di kulit. Untuk
membedakannya kulit diregangkan bila bintik merah itu hilang, bukan
tanda penyakit DBD.
Apabila keluarga/masyarakat menemukan gejala dan tanda di atas, maka
pertolongan pertama oleh keluarga adalah sebagai berikut:
a. Tirah baring selama demam
b. Antipiretik (parasetamol) 3 kali 1 tablet untuk dewasa, 10-15 mg/kgBB/
kali untuk anak. Asetosal, salisilat, ibuprofen jangan dipergunakan
karena dapat menyebabkan nyeri ulu hati akibat gastritis atau
perdarahan.
c. Kompres hangat
22
d. Minum banyak (1-2 liter/hari), semua cairan berkalori diperbolehkan
kecuali cairan yang berwarna coklat dan merah (susu coklat, sirup
merah).
e. Bila terjadi kejang ( jaga lidah agar tidak tergigit, longgarkan pakaian,
tidak memberikan apapun lewat mulut selama kejang)
Jika dalam 2-3 hari panas tidak turun atau panas turun disertai
timbulnya gejala dan tanda lanjut seperti perdarahan di kulit (seperti
bekas gigitan nyamuk), muntah-muntah, gelisah, mimisan dianjurkan
segera dibawa berobat/periksakan ke dokter atau ke unit pelayanan
kesehatan untuk segera mendapat pemeriksaan dan pertolongan.
B. Tatalaksana Demam Dengue (DD)
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat inap. Pada fase demam
pasien dianjurkan:
1) Tirah baring, selama masih demam.
2) Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
3) Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian
parase-tamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh
karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
4) Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop,
susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama
2 hari.
5) Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase
konvalesens.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi
terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah
suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit
membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan
akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
23
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan
sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa
disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati
bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat
perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,
apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan
tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah
sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu
turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera
pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).
24
khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus
menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/μl. Secara umum
pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di puskesmas, rumah sakit
kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.
Secara umum perjalanan penyakit DBD dibagi menjadi 3 fase yaitu
fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan (konvalesens):
a) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana
DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan
oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan
perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi
perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada DBD.
b) Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada
umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat
terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium
yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya
terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan
nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit
ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat
dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.
25
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase
syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan
harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan
cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada
kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila:
1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat
terjadinya syok,
2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan
berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari
derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan
cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat
asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2 ml/kgBB
intravena bolus perlahan-lahan.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI
0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%,
6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital, diuresis setiap jam
dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya
evaluasi 12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu
anak nampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah
stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun
minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka
tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam
26
observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan
dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan
dihentikan setelah 24-48 jam.
Jenis Cairan
- Kristaloid: Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA),
Larutan garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer
laktat (D5/RL), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/
RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/ 1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA,
tidak boleh larutan yang mengandung dekstosa)
- Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%,
gelafundin
a) Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen/ sekunder
akan muncul pada daerah esktremitas. Perembesan
plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat
terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam
intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi,
akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan
distres pernafasan.
Gambar 2.3 : Ruam di kulit yang menyeluruh dengan bercak- bercak putih (halo)
27
2. Tatalaksana DBD dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/ SSD)
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti (volume
replacement) adalah pengobatan yang utama, berguna untuk
memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak cepat
mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48
jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda
syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis,
oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20mmHg) atau
hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau
kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi
cairan intravena.Pada penderita SRD dengan tensi tak terukur dan
tekanan nadi ≤20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak
20 ml/kg BB selama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10
ml/kgBB/jam.
Tatalaksana DBD dengan Syok meliputi:
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Cairan resusitasi awal adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB
secara intravena dalam 30 menit. Pada anak dengan berat badan
lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur, bila tidak ada
perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.
Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan
cairan koloid 10-20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada
umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30ml/kgBB/hari
atau maksimal pemberian koloid 1500ml/hari, dan sebaiknya
tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan
kadar hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan
internal. Maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar/
komponen sel darah merah. Apabila nilai hematokrit tetap
tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam)
dapat diulang sampai 30ml/kgBB/24jam, Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis
dan kadar hematokrit.
28
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian
Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital
telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera
diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan
tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48
jam.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah
turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin 1ml/kgBB/
jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan dapat dihentikan setelah 48
jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih
pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai
dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan
rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan
akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit
pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang
kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
c) Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien
DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus
selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi,
akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium
bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
29
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen.
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembeku
trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna
untuk pasien dengan KID(Koagulasi Intravascular Disseminata)
dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan
menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan
kematian.
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi
secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang
harus diperhatikan pada monitoring adalah :
(1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat
setiap 15-30menit atau lebih sering, sampai syok dapat
teratasi.
(2) Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai
keadaan klinispasien stabil.
30
(3) Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,
mengenai jenis cairan,jumlah, dan tetesan, untuk
menentukan apakah cairan yang diberikan sudahmencukupi.
(4) Jumlah dan frekuensi diuresis
Pada pengobatan renjatan/ syok, kita harus yakin benar bahwa
penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi
dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1ml/kgBB/jam, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan
tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Jika pasien
sudah stabil, maka bisa dirujuk ke RS rujukan.
g) Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien
DBD seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi
dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus
tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk
memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang
tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting
dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu
oleh orang tua/ keluarga pasien untuk mencatat jumlah cairan
baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena,
serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.
h) Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan
dibawah ini:
(1) Tampak perbaikan secara klinis
(2) Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
(3) Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi
pleura atau asidosis)
(4) Hematokrit stabil
(5) Jumlah trombosit >50.000/μl dan menunjukan
kecenderungan meningkat
31
(6) Tiga hari setelah syok teratasi (hemodinamik stabil)
(7) Nafsu makan membaik
32
Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan hipotonis
yang tidak adekuat. Apabila ada kejang diberikan Natrium 3%,
apabila tidak ada kejang cukup diberikan cairan dekstrose 5%-NaCl
0,9%.
Hipokalsemia disebabkan perembesan kalsium yang mengikuti
albumin masuk ke cairan pleura atau peritoneal. Direkomendasikan
diberikan kalsium glukonas 10% dengan dosis 1 mL/kgBB/dosis
(maksimum 10 mL) diencerkan dengan aquadest, diberikan setiap
6 jam hanya untuk kasus SSD dekompensasi atau pasien dengan
kelebihan cairan.
Tidak diperlukan pemberian kalsium untuk kasus dengue tanpa
komplikasi dan tanpa gejala.
3. Tatalaksana Ensefalopati
Pada ensefalopati dengue, paling sering berhubungan dengan
gangguan fungsi hati, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan
serebral sekunder akibat syok, gangguan elektrolit, atau perdarahan
intrakranial. Penyebab ensefalopati harus dicari dan diberi pengobatan
sesuai penyebab.
Pada pasien ensefalopati harus diperiksa kadar amoniak, enzim
transaminase (SGOT dan SGPT), PT, APTT dan albumin untuk
memantau fungsi hati. Kadar elektrolit harus diperiksa dan segera
dilakukan koreksi bila ditemukan kelainan. Pemeriksaan radiologi
kepala (CT-scan/MRI) direkomendasikan untuk menyingkirkan
perdarahan intrakranial.
Tata laksana ensepalopati meliputi:
• Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen.
• Mencegah/mengurangi tekanan intrakranial dengan cara
sebagai berikut.
- Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi
(restriksi), tidak lebih dari 80% kebutuhan rumatan
- Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila hematokrit masih
tetap tinggi
33
- Pemberian diuretik segera pada kasus kelebihan cairan
- Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 30
derajat lebih tinggi dari tubuh
- Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia
dan mempertahankan jalan napas
- Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6–8
jam, untuk mengurangi tekanan intrakranial (apabila tidak
ada perdarahan )
• Mengurangi produksi amoniak berikan laktulosa 5–10 mL setiap
6 jam.
• Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit
(hipo/hipernatremia, hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan
asidois. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur <1 tahun, 5 mg
untuk umur <5 tahun, dan 10 mg untuk umur >5 tahun atau
dewasa.
• Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital,
dilantin, atau diazepam intravena.
• Transfusi darah, bila diperlukan, sebaiknya fresh red packed cell.
Komponen darah yang lain seperti suspensi trombosit dan FFP
tidak dianjurkan karena menyebabkan kelebihan cairan dan
meningkatkan tekanan intrakranial.
• Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjadi
infeksi bakteri sekunder.
• Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh
karena pada umumnya obat dimetabolisme di dalam hati.
• Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therapy
diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal.
4. Tatalaksana Perdarahan Masif
• Apabila sumber perdarahan tampak secara klinis, segera lakukan
tindakan untuk menghentikannya, misalnya mimisan berat dapat
dihentikan dengan tampon nasal. Tranfusi darah harus segera
34
diberikan, apabila kadar hematokrit menurun. Apabila volume
darah yang keluar dapat diukur maka ganti dengan volume
yang sama. Namun, apabila sulit diukur berikan darah segar
10 mL/kgBB atau 5 mL/kgBB fresh packed red cell, kemudian
diperiksa ulang 3 jam pasca transfusi untuk menentukan apakah
diperlukan transfusi lagi atau tidak.
• Pada perdarahan gastrointestinal, pemberian H2 antagonis dan
proton pump inhibitor, kurang efektif.
• Tidak ada bukti nyata khasiat pemberian komponen darah seperti
suspensi trombosit, fresh frozen plasma, atau cryoprecipitate,
malah dapat menyebabkan sindrom kelebihan cairan.
• Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus dengan
perdarahan masif tanpa gagal organ memberi hasil baik, namun
selain harganya sangat mahal juga sulit didapat.
5. Tatalaksana Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut dapat terjadi oleh karena hipoperfusi dalam SSD.
Plasmaferesis atau hemodialisis atau renal replacement therapy dapat
dilakukan pada pasien dengan keadaan gagal ginjal yang semakin
memburuk.
6. Tatalaksana Sindrom Gangguan Pernapasan Akut
Kerusakan pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS) yang memerlukan ventilator.
Kelebihan cairan harus dihindari untuk mencegah terjadinya edema
paru.
7. Tatalaksana Ensefalitis Dengue
Tata laksana umum ensefalitis virus meliputi pemantauan dan
pemeliharaan jalan napas dan oksigenasi yang memadai, hidrasi, dan
nutrisi. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah teratasi, fase kritis
telah dilewati dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila trombosit
<50.000/uL). Kejang dapat dikontrol dengan obat antikonvulsi, dan
35
peningkatan tekanan intrakranial dengan manitol, dan steroid. Jika
dicurigai kemungkinan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka
antibiotik empiris sesuai dengan antibiogram lokal harus diberikan.
Di daerah endemis, kemungkinan penyakit yang dapat menimbulkan
infeksi susunan syaraf pusat seperti malaria serebral, toksoplasmosis,
human immunodeficiency virus (HIV), tuberkulosis, dan Japanese-
ensefalitis, sudah harus disingkirkan.
8. Tatalaksana Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien
DBD yang mengalami syok berkepanjangan. Pada umumnya
disebabkan oleh asidosis metabolik dan hipokalsemia. Sehingga
tata laksana miokarditis dengue selain memberikan obat-obatan
untuk miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemia.
Miokarditis jarang didapatkan pada pasien anak di bawah 10 tahun
dan pada umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien DBD.
Namun beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan
dapat mengalami miokarditis. Sehingga jika kecurigaan terhadap
miokarditis terjadi pada pasien, pemberian cairan harus berhati-hati.
9. Tatalaksana Pasien dengan Risiko Tinggi
Obesitas, bayi, diabetes melitus, ibu hamil, hipertensi, dalam terapi
antikoagulan, penyakit hemolitik dan hemoglobinopati, penyakit
jantung bawaan dan kelainan jantung sistemik, serta pasien dalam
pengobatan steroid memperburuk prognosis demam berdarah
dengue.
• Obesitas. Pasien obese mempunyai cadangan respirasi yang
kurang dibandingkan anak dengan berat badan ideal, pemberian
cairan harus hati-hati karena lebih mudah terjadi kelebihan
cairan. Volume cairan resusitasi dihitung berdasarkan kebutuhan
sesuai berat badan ideal.
• Bayi. Bayi juga mempunyai cadangan respirasi yang kurang
dan lebih rentan terhadap gangguan hati serta keseimbangan
elektrolit. Pada bayi perembesan plasma berlangsung relatif
36
lebih pendek dan pada umumnya memberikan respons yang
cepat terhadap resusitasi cairan. Oleh karena itu pada bayi harus
dilakukan pemantauan yang lebih sering terhadap kemampuan
minum dan jumlah diuresis, bila minum sudah baik dan diuresis
baik jumlah intravena harus segera dikurangi.
• Diabetes melitus. Pada pasien DM yang mengalami infeksi
dengue, pada umumnya diperlukan pemberian insulin intravena.
Cairan kristaloid yang diberikan harus tidak mengandung
glukosa.
• Ibu hamil. Ibu hamil yang menderita infeksi dengue harus
dirawat untuk dilakukan pemantauan lebih ketat. Kerja sama
antara dokter spesialis kebidanan,spesialis anak, spesialis
penyakit dalam dan dokter umum sangat diperlukan. Jumlah
cairan yang diberikan pada ibu hamil sama dengan ibu tidak
hamil, dengan pedoman berat badan sebelum hamil.
Konseling terhadap keluarga harus diberikan terutama bila
keadaan umum memburuk.
• Hipertensi. Penderita hipertensi umumnya sedang minum obat
anti hipertensi, hal ini menyamarkan respon kardiovaskuler
dalam keadaan syok. Oleh karena itu diperlukan data dasar
tekanan darah sehari-hari dalam pengobatan.
• Terapi antikoagulan. Pada keadaan kritis, obat antikoagulan
harus dihentikan.
• Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati. Pasien hemolitik
dan hemoglobinopati mempunyai risiko untuk memperberat
terjadinya hemolisis, maka sering kali memerlukan transfusi
darah. Perhatikan jangan sampai terjadi kelebihan cairan dan
hipokalsemia.
• Penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung iskemik.
Pemberian cairan harus berhati-hati karena dapat menyebabkan
gagal jantung akibat kelebihan cairan.
37
• Pasien dalam pengobatan steroid.
Kortikosteroid tetap diberikan, hanya rute
pemberian-nya diubah.
Laporan kasus/tersangka infeksi dengue dari Puskesmas dan
Rumah Sakit Perawatan menggunakan formulir KDRS dikirimkan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dengan tembusan
kepada Puskesmas sesuai dengan domisili (tempat tinggal) pasien
yang bersangkutan. Pelaporan dilakukan 24 jam setelah diagnosis
kerja ditegakkan. Pelaporan hasil pemeriksaan laboratorium DBD
dilakukan oleh Balai Laboratorium Kesehatan/Bagian Mikrobiologi/
bag.laboratorium RS setempat.
38
BAB 3
EPIDEMIOLOGI
I. Gambaran Epidemiologi
A. Pengertian
Epidemiologi berasal dari kata Epi, demos dan logos. Epi berarti atas,
demos berarti masyarakat, logos berarti ilmu, sehingga epidemiologi
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang distribusi penyakit
di masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (determinan).
Epidemiologi Infeksi Dengue adalah ilmu yang mempelajari tentang
kejadian dan distribusi frekuensi Infeksi Dengue (Demam Dengue/DD,
Demam Berdarah Dengue/DBD dan Expanded Dengue Syndrome/EDS)
menurut variabel epidemiologi (orang, tempat dan waktu) dan berupaya
menentukan faktor resiko (determinan) kejadian tersebut pada suatu
kelompok populasi. Distribusi yang dimaksud diatas adalah distribusi
berdasarkan unsur orang, tempat dan waktu; sedangkan frekwensi dalam
hal ini adalah angka kesakitan, angka kematian dll. Determinan faktor
risiko berarti faktor yang mempengaruhi atau faktor yang memberi risiko
atas kejadian penyakit Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan
Expanded Dengue Syndrome.
B. Penyebaran
1. Situasi Global
KLB Dengue pertama kali terjadi tahun 1653 di Frech West Indies
(Kepulauan Karibia), meskipun penyakitnya sendiri sudah telah
39
dilaporkan di Cina pada permulaan tahun 992 SM. Di Australia
serangan penyakit Dengue pertama kali dilaporkan pada tahun 1897,
serta di Italia dan Taiwan pada tahun 1931. KLB di Filipina terjadi pada
tahun 1953-1954, sejak saat itu serangan penyakit ini disertai tingkat
kematian yang tinggi melanda beberapa negara di wilayah Asia
Tenggara termasuk India, Indonesia, Kepulauan Maladewa, Myanmar,
Srilangka, Thailand, Singapura, Kamboja, Malaysia, New Caledonia,
Filipina, Tahiti dan Vietnam.
Selama dua puluh tahun kemudian, terjadi peningkatan kasus dan
wilayah penyebaran yang luar biasa hebatnya, dan saat ini KLB
muncul setiap tahunnya di beberapa negara di Asia Tenggara.
Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa negara tropis.
Di Asia, penyakit infeksi Dengue endemis di China Selatan, Hainan,
Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri
Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Negara dengan
endemisitas rendah di Papua New Guinea, Bangladesh, Nepal, Taiwan
dan sebagian besar negara Pasifik. Kasus Infeksi Dengue sejak tahun
1981 ditemukan di Queensland, Australia Utara. Serotipe Virus
Dengue 1,2,3, dan 4 endemis di Afrika. Di pantai Timur Afrika mulai
dari Mozambik sampai ke Etiopia dan di kepulauan lepas pantai seperti
Seychelles dan Komoro. Saudi Arabia pernah melaporkan kasus yang
diduga DBD. Di Amerika, ke-4 serotipe virus dengue menyebar di
Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan hingga Texas (1977-
1997). Tahun 1990 terjadi KLB di Meksiko, Karibia, Amerika Tengah,
Kolombia, Bolivia, Ekuador, Peru, Venezuela, Guyana, Suriname, Brazil,
Paraguay dan Argentina.
Grafik 3.1 : Distribusi Kasus Dengue Di Dunia Tahun 2004-2010 (sumber : WHO)
40
2. Situasi Nasional
Penyakit Dengue pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta
dan Surabaya. Pada tahun 2010 penyakit dengue telah tersebar
di 33 provinsi, 440 Kab./Kota. Sejak ditemukan pertama kali kasus
DBD cenderung meningkat terus bahkan sejak tahun 2004 kasus
meningkat sangat tajam.
Kenaikan kasus DBD berbanding terbalik dengan angka kematian
(CFR) akibat DBD, dimana pada awal dilaporkan di Surabaya dan
Jakarta angka kematian (CFR) DBD berkisar 41,3% kemudian
menunjukan penurunan dan pada tahun 2014 telah mencapai 0,90%.
Grafik 3.2 Tren Angka Kesakitan (IR) dan Angka Kematian (CFR) DBD
Tahun 1968-2014
Target Angka Kesakitan/ Incidence Rate (IR) DBD tahun 2014 sebesar
≤ 51 per 100.000 penduduk, secara nasional hasil capaian tahun
2014 telah melampaui target dengan IR nasional sebesar 39,76 per
100.000 penduduk, namun masih ada 8 propinsi yang IR nya berada
di atas 51 per 100.000 penduduk, yaitu Provinsi Bali, Kalimantan
Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, DKI
Jakarta, DI Yogyakarta dan Sulawesi Utara.
41
Grafik 3.3 Profil Angka Kesakitan (IR) DBD Per Provinsi Tahun 2014
42
bersangkutan. Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai
daya antigenisitas yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan
proteksi silang meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah
satu dari mereka.
Sumber: https://cameronwebb.files.wordpress.com/2013/01/aedes_aegypti_doggett.jpg
Gambar 3.2 : Nyamuk Ae.aegypti
43
Nyamuk penular dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia,
kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut.
Pengertian Vektor DBD adalah nyamuk yang dapat menularkan,
memindahkan dan/atau menjadi sumber penular DBD. Di Indonesia
teridentifikasi ada 3 jenis nyamuk yang bisa menularkan virus dengue
yaitu : Aedes aegypti, Aedes albopictus dan Aedes scutellaris. Sebenarnya
yang dikenal sebagai Vektor DBD adalah nyamuk Aedes betina. Perbedaan
morfologi antara nyamuk aedes aegypti yang betina dengan yang jantan
terletak pada perbedaan morfologi antenanya, Aedes aegypti jantan
memiliki antena berbulu lebat sedangkan yang betina berbulu agak
jarang/ tidak lebat. Seseorang yang di dalam darahnya mengandung
virus Dengue merupakan sumber penular Demam Berdarah Dengue
(DBD). Virus Dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari
sebelum demam. Berikut ini uraian tentang morfologi, siklus hidup, dan
siklus hidup lingkungan hidup, tempat perkembangbiakan, perilaku,
penyebaran, variasi musiman, ukuran kepadatan dan cara melakukan
survei jentik.
1. Morfologi
Morfologi tahapan Aedes aegypti sebagai berikut:
a. Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm, berbentuk oval
yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih,
atau menempel pada dinding tempat penampung air. Telur
dapat bertahan sampai ± 6 bulan di tempat kering.
44
b. Jentik (larva)
Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan pertumbuhan
larva tersebut, yaitu:
1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
2) Instar II : 2,5-3,8 mm
3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm
Sumber: http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/aedes_aegypti_larvae2.jpg
Gambar 3.4 : Larva Ae. aegypti
c. Pupa
Pupa berbentuk seperti ’koma’. Bentuknya lebih besar namun
lebih ramping dibanding larva ( jentik)nya. Pupa Aedes aegypti
berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa
nyamuk lain.
Sumber: http://entomology.ifas.ufl.edu/creatures/aquatic/aedes_aegypti12.jpg
Gambar 3.5 : Pupa Ae.aegypti
45
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan
rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam
dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.
Sumber: http://jauhar.my/wp-content/uploads/2014/06/daur-hidup-aedes-aegypti.jpg
Gambar 3.7 : Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti
46
3. Habitat Perkembangbiakan
Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang
dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta
tempat-tempat umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,
seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan
ember.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari
seperti: tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut,
bak kontrol pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/
dispenser, talang air yang tersumbat, barang-barang bekas
(contoh : ban, kaleng, botol, plastik, dll).
3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon,
lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang
dan potongan bambu dan tempurung coklat/karet, dll.
4. Perilaku Nyamuk Dewasa
Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk
sementara waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi
kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk
Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga
untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah.
Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan
(bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur,
agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai
telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu
tersebut disebut dengan siklus gonotropik (Gambar 10).
Aktivitas menggigit nyamuk Aedes aegypti biasanya mulai pagi dan
petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -10.00
dan 16.00 -17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap
47
darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi
lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat
efektif sebagai penular penyakit.
Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang
gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan
habitat perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk
menunggu proses pematangan telurnya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai,
nyamuk betina akan meletakkan telurnya di atas permukaan air,
kemudian telur menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat
perkembangbiakannya. Pada umumnya telur akan menetas menjadi
jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Setiap kali bertelur nyamuk betina
dapat menghasilkan telur sebanyak ±100 butir. Telur itu di tempat
yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6 bulan, jika tempat-tempat
tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka
telur dapat menetas lebih cepat.
48
6. Variasi Musiman
Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat karena
telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika
habitat perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan
alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan
populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan
penularan penyakit Dengue.
C. Pejamu (Host)
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari primata
rendah. Tubuh manusia adalah reservoir utama bagi virus tersebut,
meskipun studi yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa
monyet dapat terinfeksi oleh virus dengue sehingga dapat berfungsi
sebagai host reservoir. Semua orang rentan terhadap penyakit ini, pada
anak-anak biasanya menunjukkan gejala lebih ringan dibandingkan
dengan orang dewasa. Penderita yang sembuh dari infeksi dengan satu
jenis serotipe akan memberikan imunitas homolog seumur hidup tetapi
tidak memberikan perlindungan terhadap terhadap infeksi serotipe lain
dan dapat terjadi infeksi lagi oleh serotipe lainnya.
49
terhadap munculnya KLB DBD. Sebagai contoh adanya kenaikan Index
Curah Hujan (ICH) di beberapa provinsi yaitu NTT, DKI dan Kalimantan
Timur selalu diikuti dengan kenaikan kasus DBD.
E. Siklus Penularan
Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat dia
menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut
(viraemia) yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Nyamuk menjadi infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah penderita
yang sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama
hidupnya Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar
ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan
ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke
dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh
manusia selama 3 – 14 hari (rata-rata selama 4-7 hari) timbul gejala awal
penyakit secara mendadak, yang ditandai demam, pusing, myalgia (nyeri
otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai tanda atau gejala lainnya.
Viremia biasanya muncul pada saat atau sebelum gejala awal penyakit
tampak dan berlangsung selama kurang lebih lima hari. Saat-saat
tersebut penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk
yang berperan dalam siklus penularan, jika penderita tidak terlindung
terhadap kemungkinan digigit nyamuk. Hal tersebut merupakan bukti
pola penularan virus secara vertikal dari nyamuk-nyamuk betina yang
terinfeksi ke generasi berikutnya.
50
III. Ukuran Epidemiologi
Ukuran (parameter) frekuensi penyakit yang paling sederhana adalah
ukuran yang menghitung jumlah individu yang sakit pada suatu populasi
yang bermanfaat bagi petugas kesehatan dalam mengalokasikan dana
atau kegiatan.
Ukuran-ukuran epidemiologi yang sering digunakan dalam kegiatan
pengendalian DBD adalah Insidens Rate (IR), Angka Kematian (CFR),
Attack Rate (AR) dan Angka Bebas Jentik (ABJ)
A. Angka Kesakitan/ Incidence Rate (IR)
Angka Kesakitan adalah angka yang menunjukkan proporsi kasus/ kejadian
(baru) penyakit dalam suatu populasi. Angka Kesakitan merupakan jumlah
orang yang menderita penyakit dibagi jumlah total populasi dalam kurun
waktu tertentu dikalikan konstanta.
Jumlah kematian
CFR = ––––––––––––––––– x 100%
Jumlah kasus
Jumlah kasus
AR = ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– x Konstanta
Jumlah populasi berisiko pada waktu terjadi KLB
51
D. Angka Bebas Jentik (ABJ)
ABJ adalah persentase jumlah rumah/bangunan yang tidak terdapat
jentik.
52
BAB 4
SURVEILANS KASUS
I. Pengertian
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, yang dimaksud surveilans kesehatan
adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit
atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna
mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan
efisien.
Surveilans Dengue adalah proses pengamatan, pengumpulan,
pengolahan, analisis, dan interpretasi data, serta penyajian informasi kepada
pemegang kebijakan, penyelenggara program kesehatan, dan stakeholders
terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi penyakit dengue
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit tersebut (determinan) agar dapat dilakukan tindakan pengendalian
secara efektif dan efisien
II. Tujuan
A. Tujuan Umum
Secara umum tujuan surveilans dengue adalah tersedianya data dan
informasi epidemiologi penyakit dengue sebagai dasar manajemen kesehatan
untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,
53
evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon
kejadian luar biasa yang cepat dan tepat.
B. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan surveilans dengue adalah :
1. Memantau kecenderungan/ tren penyakit dengue
2. Kewaspadaan dini kejadian luar biasa (KLB) dengue serta
penanggulangannya
54
D. Expanded Dengue Syndrome (EDS) adalah infeksi dengue yang disertai
manifestasi klinis yang tidak biasa (unusual manifestation) yang ditandai
dengan kegagalan organ berat seperti hati, ginjal, otak dan jantung.
55
2. Proses Surveilans Dengue
a. Pengumpulan data.
Pengumpulan data kasus dilaksanakan secara berjenjang mulai dari
Pukesmas dan jejaringnya (community based) atau Rumah Sakit
(hospital based), dengan menggunakan form pelaporan demam
berdarah yang dikoordinasi oleh dinas kesehatan kab/kota di tingkat
kab/kota atau di dinas kesehatan provinsi di tingkat provinsi sampai
Kementerian Kesehatan RI.
b. Pengolahan dan penyimpanan data
c. Dilaksanakan di setiap tingkat unit pelaksana surveilans yang
disajikan dalam bentuk tabel, grafik ataupun peta.
d. Analisis data
e. Analisis deskriptif dan analitik dilakukan di setiap unit pelaksana
surveilans. Analisis deskriptif berupa gambaran distribusi kasus
berdasarkan variabel epidemiologi (waktu, tempat dan orang).
Sedangkan analisis analitik merupakan gambaran hubungan antara
kejadian DBD dengan variabel lainnya seperti curah hujan, kepadatan
penduduk, kepadatan jentik (ABJ) dan faktor risiko lainnya.
f. Penyebarluasan/ penyajian informasi
g. Dilaksanakan di setiap unit pelaksana surveilans kepada pihak yang
membutuhkan data tersebut baik lintas program dan lintas sektor
terkait. Bentuk penyebarluasan informasi dapat menggunakan
media cetak termasuk buletin dan media elektronik, pertemuan rutin
bulanan, seminar, workshop dan lainnya.
56
4. Data angka bebas jentik (ABJ) kecamatan, kabupaten/kota, provinsi yang
dihasilkan dari kegiatan pemantauan jentik.
57
D. Sistim Pelaporan Kasus/ Penyakit Dengue
Ditjen PP & PL
Kementerian
Kesehatan RI
Laporan Kasus
Perbulan -K-DBD
Umpanbali
Dinas Kesehatan
Provinsi
Umpanbalik
-Lap Kasus -K-DBD
per Bulan -W1
RS Pemerintah&Swasta
Puskesmas
KD/RS-DBD (tembusan)
Laporan
Masyarakat
58
1. Surveilans Dengue Tingkat Pusat
a. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
1. Pengaturan penyelenggaraan surveilans kasus DBD nasional
2. Menyusun pedoman pelaksanaan surveilans kasus DBD nasional
3. Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus DBD nasional
4. Melakukan kegiatan surveilans kasus DBD nasional termasuk
SKD-KLB
5. Pembinaan dan asistensi teknis
6. Monitoring dan evaluasi
7. Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan nasional
8. Pengembangan pemanfaatan teknologi surveilans kasus DBD
9. Pengembangan metodologi surveilans epidemiologi
10. Pengembangan kompetensi sumber daya manusia surveilans
epidemiologi
11. Menjalin kerjasama nasional dan internasional secara teknis dan
sumber-sumber dana.
12. Menjadi pusat rujukan surveilans kasus DBD regional dan
nasional.
13. Kerjasama surveilans kasus DBD dengan provinsi, nasional dan
internasional.
59
c. Balai Teknis Kesehatan Lingkungan
1) Melakukan kegiatan surveilans, penelitian dan pengembangan
teknologi dan metode surveilans kasus, virologi dan vektor DBD
2) Melakukan kegiatan surveilans, penelitian lebih lanjut terhadap
temuan dan atau rekomendasi surveilans kasus, virologi dan
vektor DBD
3) Melakukan kajian/penyelidikan epidemiologi dan kajian
kapasitas vektorial terhadap kejadian luar biasa (KLB) DBD
d. Pusat Data dan Informasi
1) Koordinasi pengelolaan sumber data dan informasi kasus DBD
nasional
2) Koordinasi kajian strategis dan penyajian informasi kasus DBD
3) Asistensi teknologi informasi
e. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
1) Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dan
metode surveilans kasus dan vektor DBD
2) Melakukan penelitian lebih lanjut terhadap temuan dan atau
rekomendasi surveilans kasus dan vektor DBD
60
b. Pengolahan dan Penyajian Data
1) Pemantauan situasi DD, DBD dan EDS bulanan menurut
kabupaten/kota
2) Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD dan EDS
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
3) Laporan bulanan
i. Jumlahkan penderita/kematian DD, DBD dan EDS
termasuk beberapa kegiatan pokok pemberantasan/
penanggulangannya setiap bulan
ii. Laporkan ke Subdit Pengendalian Arbovirosis, Ditjen PP dan
PL dengan formulir K-DBD dan Form P-DBD
4) Penentuan stratifikasi endemisitas kabupaten/kota
Cara menentukan stratifikasi kabupaten/kota:
a) Buatlah tabel kabupaten/kota dengan menjumlahkan
penderita DD, DBD dan EDS dalam 3 (tiga) tahun terakhir
b) Tentukan stratifikasi masing-masing kabupaten/kota,
seperti ketentuan sebagai berikut :
i. Wilayah Endemis adalah kecamatan/kelurahan/desa
yang dalam 3 tahun terakhir ditemukan kasus pada
setiap tahunnya.
ii. Wilayah Sporadis adalah kecamatan/kelurahan/desa
yang dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus tetapi tidak
setiap tahun.
iii. Wilayah Potensial adalah kecamatan/kelurahan/desa
yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ada kasus,
tetapi persentase rumah yang ditemukan jentik lebih
atau sama dengan 5%.
iv. Wilayah Bebas yaitu kecamatan/kelurahan/desa yang
tidak pernah ada kasus selama 3 tahun terakhir dan
persentase rumah yang ditemukan jentik kurang dari
5%.
61
c. Indikator Kinerja Surveilans
Kinerja surveilans dinas kesehatan provinsi dinilai baik jika memenuhi
indikator berikut ini :
1) Persentasi kelengkapan pengiriman laporan Kabupaten/Kota (
K-DBD) ke Dinas Kesehatan Provinsi adalah ≥ 80 %. Kelengkapan
laporan adalah persentase jumlah unit pelapor (Dinkes
Kabupaten/Kota) yang mengirimkan laporan ke Dinkes Provinsi
setiap bulan.
2) Persentasi ketepatan laporan Kabupaten/Kota ( K-DBD) ke Dinas
Kesehatan Provinsi adalah ≥ 80 %. Ketepatan laporan adalah
persentase jumlah unit pelapor (Dinkes Kabupaten/Kota) yang
mengirimkan laporan tepat waktu (sesuai kesepakatan) dalam
setiap bulan.
3) Tersedia data endemisitas dan distribusi kasus per Kabupaten/
Kota (tabel, grafik, mapping).
4) Tersedia data penanggulangan kasus per kabupaten/kota (form
P-DBD)
5) Dapat menentukan saat terjadinya musim penularan di
kabupaten/kota berdasarkan analisis data DBD yang tersedia.
6) Dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di kabupaten/kota
berdasarkan analisis data yang tersedia.
7) Tersedianya data demografi dan geografi kabupaten/kota (dari
BPS dan BMG).
3. Surveilans Dengue di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
a. Sumber data:
1) Laporan mingguan DBD (W2) dari puskesmas
2) Laporan rutin bulanan (K-DBD) dari puskesmas
3) Laporan data dasar perorangan (DP-DBD) dari puskesmas
4) Laporan W1
5) Laporan hasil surveilans aktif
6) Laporan KDRS ( Menggunakan Form KDRS)
62
b. Pengolahan dan Penyajian Data
1) Pemantauan situasi DD, DBD, EDS bulanan menurut Puskesmas
2) Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, EDS
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
3) Laporan bulanan
i. Jumlahkan penderita/kematian DD, DBD, EDS
termasuk beberapa kegiatan pokok pemberantasan/
penanggulangannya setiap bulan
ii. Laporkan ke Dinkes Provinsi dengan formulir K-DBD dan
P-DBD
4) Penentuan stratifikasi Endemisitas DBD Tingkat Kecamatan
Cara menentukan stratifikasi Kecamatan:
a. Buatlah tabel Kecamatan dengan menjumlahkan penderita
DBD, SRD dan EDS dalam 3 (tiga) tahun terakhir
b. Tentukan stratifikasi masing-masing Kecamatan, seperti
ketentuan sebagai berikut :
i. Kecamatan Endemis adalah kecamatan yang dalam 3
tahun terakhir ditemukan kasus pada setiap tahunnya.
ii. Kecamatan Sporadis adalah kecamatan yang dalam 3
tahun terakhir terdapat kasus tetapi tidak setiap tahun.
iii. Kecamatan Potensial adalah kecamatan yang dalam 3
tahun terakhir tidak pernah ada kasus, tetapi persentase
rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan
5%.
iv. Kecamatan Bebas yaitu kecamatan yang tidak pernah
ada kasus selama 3 tahun terakhir dan persentase
rumah yang ditemukan jentik kurang dari 5%.
c. Indikator Kinerja Surveilans
Kinerja surveilans dengue dinas kesehatan kabupaten/kota dinilai
baik jika memenuhi indikator berikut ini :
1) Persentasi kelengkapan pengiriman laporan puskesmas ( K-DBD,
DP-DBD, W2 DBD) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah 90
63
%. Kelengkapan laporan adalah persentase jumlah unit pelapor
(Puskesmas) yang mengirimkan laporan ke Dinkes Kabupaten/
Kota setiap bulan.
2) Persentasi ketepatan laporan puskesmas ( K-DBD, DP-DBD,
W2 DBD) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah 80
%. Ketepatan laporan adalah persentase jumlah unit pelapor
(Puskesmas) yang mengirimkan laporan tepat waktu (sesuai
kesepakatan) ke Dinkes Kabupaten/Kota dalam setiap bulan.
3) Tersedia data endemisitas dan distribusi kasus per Puskesmas
(tabel, grafik, mapping).
4) Tersedia data penanggulangan kasus per kecamatan (form
P-DBD)
5) Dapat menentukan saat terjadinya musim penularan di
Puskesmas berdasarkan analisis data DBD yang tersedia.
6) Dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di Puskesmas
berdasarkan analisis data yang tersedia.
7) Tersedianya data demografi dan geografi Puskesmas (dari BPS
dan BMG).
4. Surveilans Dengue di Puskesmas
a. Sumber data:
1) Laporan mingguan (W2) dari Puskesmas Pembantu/Polindes
2) Data kunjungan pasien infeksi dengue di Puskesmas
3) Laporan masyarakat.
b. Pengolahan dan Penyajian Data
1) Jumlahkan masing-masing penderita DD, DBD, EDS per minggu
2) Berdasarkan data mingguan (setelah dilakukan penggabungan
jumlah penderita DBD, SRD dan EDS untuk setiap minggunya)
dapat diketahui adanya KLB DBD atau keadaan yang menjurus
pada KLB DBD.
64
3) Bila terjadi KLB, maka lakukan tindakan sesuai dengan prosedur
penanggulangan KLB DBD dan laporkan segera ke Dinkes
Kabupaten/Kota menggunakan Formulir W1.
c. Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SRD, EDS
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
d. Laporan bulanan
1) Jumlahkan penderita/kematian DD, DBD, SRD, EDS termasuk
beberapa kegiatan pokok pemberantasan/penanggulangannya
setiap bulan
2) Laporkan ke Dinkes Kabupaten/Kota dengan formulir K-DBD
e. Penentuan stratifikasi Endemisitas DBD Tingkat Kelurahan/Desa.
Cara menentukan stratifikasi Kelurahan/Desa:
1) Buatlah tabel Kelurahan/Desa dengan menjumlahkan penderita
DBD, SRD dan EDS dalam 3 (tiga) tahun terakhir
2) Tentukan stratifikasi masing-masing Kecamatan, seperti
ketentuan sebagai berikut :
i. Kelurahan/Desa Endemis adalah kelurahan/desa yang
dalam 3 tahun terakhir ditemukan kasus pada setiap
tahunnya.
ii. Kelurahan/Desa Sporadis adalah kelurahan/desa yang
dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus tetapi tidak setiap
tahun.
iii. Kelurahan/Desa Potensial adalah kelurahan/desa yang
dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ada kasus, tetapi
persentase rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama
dengan 5%.
iv. Kelurahan/Desa Bebas yaitu kelurahan/desa yang tidak
pernah ada kasus selama 3 tahun terakhir dan persentase
rumah yang ditemukan jentik kurang dari 5%.
65
f. Indikator Kinerja Surveilans
1) Kinerja surveilans dengue puskesmas dinilai baik jika memenuhi
indikator berikut ini :
2) Tersedianya data kasus infeksi dengue perorangan termasuk
data kegiatan penanggulangannya (DP-DBD)
3) Tersedia data endemisitas dan distribusi kasus per kelurahan/
desa (tabel, grafik, mapping).
4) Dapat menentukan saat terjadinya musim penularan di
keluarahan/ desa berdasarkan analisis data DBD yang tersedia.
5) Dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di keluarahan/ desa
berdasarkan analisis data yang tersedia.
66
BAB 5
PENGENDALIAN VEKTOR
I. Surveilans Vektor
A. Pengertian
Surveilans Vektor DBD adalah proses pengamatan, pengumpulan,
pencatatan, pengolahan, analisis dan interpretasi data vektor serta
penyebarluasan informasi kepada pihak lintas program dan instansi terkait
secara sistematis dan terus-menerus. Surveilans vektor diperlukan dalam
pengambilan keputusan/kebijakan dan menentukan tindak lanjut dari data
yang diperoleh dalam rangka menentukan tindakan pengendalian vektor
secara efisien dan efektif.
Adapun tujuan dilaksanakan surveilans vektor DBD adalah:
1. Untuk mengetahui kepadatan vektor DBD
2. Untuk mengetahui tempat perkembangbiakan potensial vektor DBD
3. Untuk mengetahui jenis larva/jentik vektor DBD
4. Untuk mengukur indek-indek larva/jentik (ABJ, CI, HI, dan BI)
5. Untuk mencari cara pengendalian vektor DBD yang tepat
6. Untuk menilai hasil pengendalian vektor
7. Untuk mengetahui tingkat kerentananvektor DBD terhadapinsektisida.
67
1. Permukiman penduduk,
2. Tempat-tempat umum (pasar, terminal angkutan umum, rumah makan/
restoran, hotel/losmen, sekolah,tempat ibadah, perkantoran dan
sebagainya).
3. Wilayah endemis DBD.
4. Wilayah yang pernah terjadi KLB DBD.
5. Wilayah yang menjadi sasaran pengendalian vektor DBD.
C. Metode Survei
Metode suvei vektor DBD dapat dilakukan dengan cara suvei telur, survei
jentik dan survei nyamuk serta survei/ uji kerentanan nyamuk.
1. Survei Telur
Survei telur dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap)
berupa potongan bambu, kaleng dan gelas platik/kaca yang dinding
dalamnya dicat hitam dan diberi air 1/2 - 2/3 nya. Ovitrap diletakkan
satu di dalam dan satu di luar rumah, dengan jumlah minimal 3 rumah.
Padel (berupa potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar
dan berwarna gelap) dimasukkan ke dalam ovitrap yang berfungsi
sebagai tempat melekatnya telur nyamuk. Setelah 1 minggu dilakukan
pemeriksaan ada atau tidaknya telur nyamuk di padel, kemudian dihitung
ovitrap index (OI).
Rumus: OI = PT/ PD
Keterangan :
OI = Ovitrap Index
PT = Jumlah padel dengan telur
PD = Jumlah padel yang diperiksa
68
Gambar 5.1 Ovitrap
Keterangan :
ABJ = Angka bebas jentik
HI = House index
CI = Container index
BI = Breteau index
RJ = Jumlah rumah/bangunan ditemukan jentik
RTJ = Jumlah rumah/bangunan tidak ditemukan jentik
RD = Jumlah rumah yang diperiksa
CJ = Jumlah container ditemukan jentik
CD = Jumlah container diperiksa
69
3. Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara menangkap nyamuk yang hinggap
di badan (human landing collection/HLC) dan hinggap di dinding dalam
rumah atau tempat lainnya seperti baju yang menggantung, kelambu,
horden lemari dan sebagainya. Hasil penangkapan nyamuk dianalisis
angka kepadatan nyamuk perorang perjam (man hour density/MHD),
angka kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/MBR) dan
angka hingga di dinging (resting rate/RR).
MHD=Jumlah nyamuk (Aedes betina) yang tertangkap per orang per jam
Rumus:
Keterangan:
MHD = Angka kepadatan nyamuk perorang perjam
MBR = Angka kepadatan nyamuk per orang perhari
RR = Angka kepadatan nyamuk perdinding perumah perjam
NTJ = Jumlah nyamuk (Aedes betina) yang tertangkap per jam
PJ = Jumlah penangkap perjam
NTH = Jumlah nyamuk (Aedes betina) tertangkap perhari
PH = Jumlah penangkap perhari
NTD = Jumlah nyamuk (Aedes betina) tertangkap di dinding perjam
70
Survei kerentanan dilakukan terhadap larva dan nyamuk dewasa, hasil
survei dianalisis status kerentanan nyamuk sebagai berikut :
- Nyamuk dinyatakan rentan apabila kematian nyamuk uji > 98%.
- Nyamuk dinyatakan toleran apabila kematian nyamuk uji 80-98%
- Nyamuk dinyatakan resisten apabila kematian nyamuk uji < 80%.
71
Yang menjadi sasaran kegiatan PSN 3M adalah semua tempat potensial
perkembangbiakan nyamuk Aedes, antara lain tempat penampungan air
(TPA) untuk keperluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan untuk
keperluan sehari-hari (non-TPA) dan tempat penampungan air alamiah.
PSN 3M dilakukan dengan cara, antara lain :
1. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti
bak mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/
tempayan, dan lain-lain (M2)
3. Memanfaatkan atau mendaur ulangn barang-barang bekas yang
dapat menampung air hujan (M3).
PSN 3M diiringi dengan kegiatan Plus lainya, antara lain :
• Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-
tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali.
• Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
• Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan
lain-lain (dengan tanah, dan lain-lain).
• Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang
sulit dikuras atau di daerah yang sulit air
• Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan
air
• Memasang kawat kasa
• Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
• Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
• Menggunakan kelambu
• Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
• Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.
72
C. Pengendalian Secara Biologi
Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi antara lain:
1. Predator/pemangsa jentik (hewan, serangga, parasit) sebagai musuh
alami stadium pra dewasa nyamuk. Jenis predator yang digunakan
adalah ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll),
sedangkan larva Capung (nympha), Toxorrhyncites, Mesocyclops
dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode
yang lazim untuk pengendalian vektor DBD.
2. Insektisida biologi untuk pengendalian DBD, diantaranya:
Insect Growth Regulator (IGR) dan Bacillus Thuringiensis Israelensis
(BTI) ditujukan untuk pengendalian stadium pra dewasa yang
diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.
a. IGR mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di masa pra
dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin
synthesis selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan
proses perubahan pupae dan nyamuk dewasa. IGRs memiliki
tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia (nilai LD50
untuk keracunan akut pada methoprene adalah 34.600 mg/kg ).
b. BTI sebagai salah satu pembasmi jentik nyamuk/larvasida
yang ramah lingkungan. BTI terbukti aman bagi manusia bila
digunakan dalam air minum pada dosis normal. Keunggulan
BTI adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang
predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTI cenderung
secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan
pemakaian yang berulang kali.
73
maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping
itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan
syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor.
Aplikasi insektisida yang berulang dalam jangka waktu lama di satuan
ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi. Insektisida tidak dapat
digunakan apabila nyamuk resisten/kebal terhadap insektisida.
Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD, antara lain :
1. Sasaran dewasa (nyamuk) antara lain : Organophospat (Malathion,
methylpirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, Lamda-cyhalotrine,
Cyflutrine, Permethrine, S-Bioalethrine dan lain-lain). Yang ditujukan
untuk stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan
panas/fogging dan pengabutan dingin/ULV
2. Sasaran pra dewasa ( jentik)/ larvasida antara lain: Organophospat
(temephos), Piriproxifen dan lain-lain.
74
III. Kegiatan Pengendalian Vektor Sesuai Tingkat Administrasi
Kegiatan Pengendalian Vektor memberikan beban yang berbeda disetiap
level administratif institusi kesehatan pemerintah yaitu :
1. Pusat
Sesuai dengan tupoksi pusat, maka kegiatan pengendalian vektor (PV)
lebih diutamakan pada kegiatan penetapan kebijakan pengendalian
vektor, penyusunan standarisasi, modul/juklak/juknis, monitoring dan
evaluasi pengendalian vektor nasional, serta pembinaan/ pengawasan
kegiatan pengendalian vektor nasional.
2. Provinsi
Di Tingkat Propinsi, kegiatan pengendalian vektor adalah : pelaksanaan
kebijakan nasional pengendalian vektor, merencanakan kebutuhan alat,
bahan dan operasional PV, Monev PV, pembinaan/pengawasan kegiatan
PV kabupaten/kota.
3. Kabupaten / Kota
Otonomi daerah memberikan peran yang lebih luas kepada kabupaten/
kota untuk secara aktif dan mandiri melakukan kegiatan PV di wilayahnya
sesuai dengan kondisi spesifik lokal daerah. Untuk itu selain melaksanakan
juklak/juknis dan pedoman pengendalian vektor, merupakan tugas
kabupaten untuk merencanakan dan mengadakan alat, bahan operasional
PV, Monev kegiatan PV DBD, pembinaan/pengawasan kegiatan PV DBD di
tingkat Puskesmas.
4. Kecamatan/ Puskesmas
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bertugas
menjaga kesinambungan kegiatan PV oleh masyarakat di wilayahnya,
menggerakkan peran serta masyarakat melalui kader, tokoh masyarakat,
serta melakukan kegiatan PV secara langsung di masyarakat.
75
IV. Pelaporan dan Evaluasi Hasil Pengendalian Vektor
Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang tepat, maka perlu dilakukan
survei pendahuluan untuk membandingkan dengan kondisi pasca intervensi.
Evaluasi hasil pengendalian vektor terdiri dari :
A. Efektifitas
Efektifitas untuk menilai dampak keberhasilan kegiatan PV, yang diukur
dengan larva survey (survei jentik) menggunakan indikator Index Larva,
yaitu: House Index (HI), Container Index (CI) dan Breateu Index (BI) serta
Angka Bebas Jentik (ABJ). Survei Jentik ini lazimnya dikombinasi dengan
survei PSP (Pengetahuan, Sikap dan Perilaku).
B. Operasional :
1. Bioassay, dengan menggunakan pengetesan dengan spesimen hidup
pada saat penyemprotan dilakukan.
2. Cakupan, dengan mengukur luas area dan atau jumlah rumah yang
diintervensi.
3. Dosis, dengan mengukur luas area atau jumlah rumah dengan dosis
atau jumlah insektisida yang digunakan.
C. Langkah – Langkah Pengendalian Vektor
1. Perencanaan Pengendalian Vektor
a. Analisis data kasus
b. Penentuan daerah sasaran intervensi
c. Pemilihan metoda PV disesuaikan dengan permasalahan dan
kondisi setempat
d. Perencanaan ketersediaan bahan, peralatan, SDM, dan biaya.
2. Operasional Pengendalian Vektor
a. Koordinasi dengan daerah sasaran
b. Penyuluhan PV termasuk penggerakan Peran serta masyarakat
c. Pengorganisasian, termasuk pembagian tugas.
d. Implementasi lapangan
76
Upaya pemberantasan DBD hanya dapat berhasil apabila seluruh
masyarakat berperan secara aktif dalam PSN 3M Plus. Gerakan PSN
3M Plus merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan upaya
pemberantasan DBD oleh keluarga/ masyarakat.
Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa pemberantasan jentik
melalui kegiatan PSN dapat mengendalikan populasi nyamuk Aedes,
sehingga penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
Bentuk pelaksanaan kegiatan PSN 3M Plus disesuaikan dengan situasi
dan kondisi masing-masing daerah (kearifan lokal). Pembinaan peran
serta masyarakat dalam PSN 3M Plus antara lain dapat dikoordinasikan
oleh kelompok kerja (Pokja) DBD kelurahan/desa dan kelompok kerja
operasional (Pokjanal) DBD kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.
77
Peralatan yang digunakan dalam pengendalian vektor DBD adalah mesin
pengkabut panas (Hot Fogger), mesin pengkabut dingin (Aerosol / ULV)
yang dioperasikan di atas kendaraan pengangkut. Modul ini membahas
cara pengoperasian, perawatan dan perbaikanalat pengendalian vektor
tersebut. Bahan yang digunakan dalam upaya pengendalian vektor
DBD berupa insektisida, baik sasaran terhadap nyamuk vektor dewasa
maupunterhadap larva/jentik nyamuk.
78
2) Fungsi Alat
Mesin pengkabutan panas (thermal fogging) digunakan untuk
membunuh nyamuk dewasa untuk memutuskan penularan
penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.
3) Spesifikasi Alat
Spesifikasi alat pengkabutan panas (thermal fogging) yang
dimaksud dalam buku ini adalah spesifikasi teknis alat yang
memenuhi standar yang ditetapkan oleh peraturan menteri
kesehatan.
b. Insektisida
1) Jenis dan Dosis
Jenis insektisida yang digunakan sebagaimana dalam tabel 5.1
di bawah ini.
Tabel 5.1. Jenis Insektisida Thermal Fogging
Dosispemakaian- Dosispemakaian-
dalamrumah (g AI/ luarrumah (g AI/
1000m3 ) ha)
Deltametrhrin UL 0,05 0,5 – 1,0
Deltamethrin EW 0,05 -
Lambda-cyhalothrin EC - 2
Malathion EW dan UL - 112 - 600
Permethrin (25 cis: 75 0,73 -
trans; 10,35%w/w) +
S-bio allethrin (0.14w/w)
+ piperonylbutoxide
(9.85% w/w) EW
d-d, trans-cyphenothrin 0,2 3.5 – 4.0
EC
Sumber : WHO, 2012
Selain jenis insektisida pada tabel 5.1, dapat juga menggunakan insektisida jenis lain yang sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku
79
2) Pengenceran
Pengenceran insektisida dilakukan dalam wadah khusus sejumlah
kelipatan 10 liter campuran siap pakai per hektar atau 50 rumah
dengan asumsi 200 meter persegi luas per rumah dan halaman.
Dosis pengenceran sesuai dengan petunjuk yang tertera pada
label produk.
c. Pelaksanaan Pengoperasian Alat
1) Persiapan Sebelum Pengoperasian
a) Penyemprotan (fogging fokus) dilaksanakan atas dasar
Surat Perintah Kerja yang diterbitkan oleh pejabat Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setelah mempertimbangkan
hasil Penyelidikkan Epidemiologi (PE).
b) Masyarakat di wilayah penyemprotan telah diberitahukan
sebelumnya secara tertulis melalui Kepala Desa / Lurah,
Ketua RW / RT .
c) Pastikan warga masyarakat di dalam wilayah yang akan
disemprot berpartisipasi dalam penanggulangan fokus
dengan melakukan pembersihan sarang nyamuk (PSN) dan
larvasidasi.
d) Pastikan petugas pelaksana telah mendapat pelatihan.
e) Tetapkan wilayah yang akan disemprot seluas radius
200 meter dari rumah yang terkena DBD dan dipetakan,
jumlah bangunan, lahan dan penduduk dicatat, kebutuhan
bahan bakar mesin, minyak solar pengencer dan insektisida
dihitung dan disediakan.
f) Aksi tanggap darurat kecelakaan kerja, kotak pertolongan
pertama pada kecelakaan (P3K), alat pemadam api ringan
(APAR), penanggulangan ceceran/tumpahan insektisida,
dan daftar alamat dan nomor telepon Pos Pemadam
Kebakaran, rumah sakit dan kepolisian terdekat disediakan.
g) Nozzle dengan output sebesar 10 liter/jam telah terpasang
pada mesin pengasap panas.
80
h) Mesin pengkabut panas telah diuji kinerja dan dipastikan
dapat beroperasi dengan lancar, bebas dari kotoran, tidak
ada kebocoran, tali sandang layak dan terpasang dengan
baik, suku cadang tertentu yang sering rusak, perkakas,
corong bersaring, tersedia.
i) Insektisida, bahan bakar dan pengencer dalam wadah
tertutup, berlabel dengan jumlah yang cukup untuk luasan
wilayah penyemprotan tersedia.
j) Alat pelindung diri (APD) perorangan dengan kondisi layak
dan jumlah yang cukup tersedia.
k) Tetapkan pembagian tugas para pelaksana, dengan minimal:
i. Pemimpin regu penyemprotan bertugas memastikan
bangunan yang akan disemprot sudah aman dan
mengarahkan rute dan giliran bangunan yang
akan disemprot, membuat laporan pelaksanaan
penyemprotan.
ii. Tenaga penyemprot 1, bertugas melakukan
penyemprotan sesuai arahan pemimpin regu.
iii. Tenaga penyemprot 2, bertugas pengelola insektisida,
pengencer dan bahan bakar, melakukan pencampuran
dan pengisian serta memindahkannya agar selalu dekat
dengan mesin untuk pengisian.
iv. Tenaga penyemprot 1 dan 2 bertukar peran setiap kali
jeda pengisian bahan bakar
2) Pengoperasian
a) Pra pengoperasian
i. Cek mesin pengkabutan panas (thermal fogging) serta
perlengkapannya sudah terpasang semua atau belum.
ii. Masukkan batu baterai 1,5 volt 4 (empat) buah dengan
melepas baut yang ada dibawah tangki larutan. Setelah
itu pasang kotak baterai tersebut pada kedudukannya
dan kencangkan.
81
iii. Pasang dan kencangkan flow control jet pada mesin
sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.
iv. Isi tangki bahan bakar dengan bensin murni yang bersih
dengan menggunakan corong yang bersih. Kemudian
tutup dengan rapat cukup dengan tangan.
v. Isi tangki larutan dengan larutan yang dikehendaki.
Gunakan selalu corong yang bersaring lalu pasang
kembali tutup tangki larutan, eratkan cukup dengan
tangan.
b) Cara menghidupkan mesin
i. Periksa apakah bensin/premium sudah terisi penuh
ii. Periksa letak pemasangan batu baterai
iii. Isi tangki larutan insektisida sampai penuh
iv. Kencangkan tutup tangki bensin dan tangki larutan
insektisida
v. Pastikan bagian-bagian mesin seperti pipa larutan,
air intake, tabung pengasap, soket pengasap sudah
terpasang dengan benar, kencangkan semua mur
dengan baut.
vi. Buka stop button/kran bensin secukupnya, kemudian
pompa perlahan-lahan sambil menekan tombol start,
apabila mesin dalam keadaan baik akan segera hidup.
vii. Tunggu beberapa saat, sampai mesin hidup dengan
sempurna.
viii. Mesin siap dipergunakan.
c) Cara pengoperasian mesin
1) Biarkan mesin hidup selama ± 2 menit dengan
maksud untuk mencapai temperatur yang cukup untuk
mengubah larutan menjadi asap secara penuh.
2) Buka solution tap (kran larutan), maka larutan akan
mengalir dan segera tersembur dalam bentuk asap.
3) Pengasapan dimulai dari rumah bagan belakang lalu
depan.
82
4) Untuk rumah bertingkat mulai dari lantai atas.
5) Selanjutnya diluar rumah jangan melawan arah angin.
6) Penyemprotan dilakukan 2 siklus interval 5-7 hari.
d) Cara mematikan mesin
1) Tutup solution tap/kran larutan insektisida dan biarkan
beberapa saat hingga asap benar-benar habis.
2) Tutup stap botton/kran bensin dengan memutar
tombolnya kearah stop, maka mesin akan segera mati.
3) Buang tekanan dalam tangki larutan insektisida
dengan membuka tutup tangki insektisida kemudian
kencangkan kembali.
4) Demikian pula untuk tanki bahan bakar
5) Biarkan mesin dingin kembali.
e) Laporan pelaksanaan penyemprotan dibuat oleh petugas
penyenprotan dan disampaikan kepada pejabat yang
menerbitkan Surat Perintah Kerja paling lambat 24 jam
setelah pekerjaan selesai.
f) Hal-hal yang harus diperhatikan
i. Lakukan temu bahas masalah (TBM), pastikan semua
anggota tim penyemprot dan wakil masyarakat di
wilayah penyemprotan mengerti tentang target
penyelesaian pekerjaan, faktor kritis penyemprotan,
pembagian tugas kerja, rencana tanggap darurat
ii. Tetapkan jadwal penyemprotan dilakukan pada pagi
hari antara pukul 07.00 s.d 10.00 dan / atau sore hari
antara pukul 16.00 s.d 18.00.
iii. Pastikan bangunan yang akan disemprot sudah
dalam keadaan kosong penghuni, barang berharga
dan perhiasan serta makanan sudah disimpan oleh
pemiliknya, kompor dan peralatan listrik sudah
dimatikan,
iv. hewan peliharaan dijauhkan/diamankan dari paparan
insektisida,
83
v. semua jendela dalam keadaan tertutup, pintu
penghubung antar ruangan dalam keadaan terbuka.
vi. Pakai APD secara lengkap sesuai peruntukannnya.
vii. Pastikan kecepatan angin tidak melebihi 15 Km/jam
dan tidak hujan.
viii. Pengasapan dimulai dari rumah bagian belakang lalu
depan.
ix. Untuk rumah bertingkat mulai dari lantai atas.
x. Selanjutnya di luar rumah jangan melawan arah angin.
xi. Penyemprotan dilakukan 2 siklus interval 5-7 hari.
d. Perawatan Alat dan Cara Mengatasi Gangguan Mesin Pengkabutan
Panas (Thermal Fogging)
1) Perawatan alat
Perawatan mesin pengkabutan panas (thermal fogging)
pada umumnya adalah mengganti suku cadang yang rusak,
mengeratkan mur atau baut yang kendor serta mengembalikan
komponen kepada bentuk semula, misal solution pipe yang
bengkok, guard, jaket dan bagian luar mesin yang penyok atau
bocor. Jangan perbaiki mesin dalam keadaan masih panas dan
tanki larutan belum dikeringkan.
a) Perawatan setiap selesai digunakan, antara lain :
i. Setelah mesin dingin, keluarkan sisa bensin dalam
tengki dan sisa larutan insektisida dalam tangki
insektisida.
ii. Bersihkan bodi bagian luar mesin.
iii. Keringkan dan disimpan untuk segera dapat
dipergunakan kembali.
b) Perawatan/pemeliharaan untuk disimpan dalam waktu yang
cukup lama, bilamana operasi penyemprotan sudah selesai
dan mesin akan disimpan kembali dalam waktu yang cukup
lama. Lakukan perawatan/pemeliharaan sebagai berikut:
i. Kuras atau kosongkan bensin dari tangkinya.
84
ii. Keluarkan batu baterai.
iii. Biarkan tutup tanki larutan dan tangki bahan bakar
terpasang dengan kendur.
iv. Simpan mesin didalam kotaknya atau ditempat yang
telindung dengan terlebih dahulu diberi alas papan
dan ditutup terpal atau plastik.
v. Sangat dianjurkan setiap bulan dilakukan pembersihan
dan mesin dihidupkan cukup 5 menit.
c. Perawatan mesin secara berkala perlu dilakukan, untuk
menghindari terjadinya hambatan-hambatan pada waktu
fogging atau pengkabutan. Bagian mesin yang perlu
dibersihkan/dirawat:
i. Bagian ujung resonator, bersihkan dari kerak yang
melekat
ii. Bersihkan solution socket.
iii. Bersihkan nozzle, solution pipe dan kran larutan
iv. Bersihkan air intake, kalau diafragmanya rusak perlu
diganti
v. Kosongkan tangki larutan, isi dengan minyak solar
sebanyak ¼ kapasitasnya, kocok untuk membilas
bagian dalam tangki. Semprotkan sampai minyak solar
pembersih habis.
vi. Kosongkan tangki bahan bakar, hidupkan mesin
sampai mati dengan sendirinya kehabisan bahan bakar.
Keluarkan baterai. Prosedur nomor 3 ini berlaku apabila
mesin pengkabut panas tidak akan digunakan lagi atau
tidak diketahui jadwal pastinya selama 7 hari ke depan
vii. Bersihkan seluruh bagian mesin fog dan keringkan.
vii. Simpan mesin pengkabut panas di tempat yang kering
dan aman.
2) Cara mengatasi gangguan mesin
Gangguan mesin harus segera diatasi pada saat gangguan
timbul.
85
a) Mesin tidak mau hidup, cara mengatasi sebagai berikut :
i. Periksa dan pastikan bahan bakar cukup dan mengalir
lancar ke ruang bakar. Lakukan perbaikan bila perlu.
ii. Periksa dan pastikan pompa bekerja dengan baik,
lakukan perbaikan bila perlu.
iii. Periksa dan pastikan penutup tangki bahan bakar
terpasang sempurna, betulkan atau ganti gasket bila
perlu.
iv. Periksa dan pastikan tenaga listrik baterai cukup, ganti
baterai bila kurang.
v. Periksa dan pastikan kinerja coil, kabel penghubung
dan busi baik. perbaiki dan ganti busi dan / atau coil
bila perlu.
vi. Periksa dan pastikan saluran udara masuk lancar.
Perbaiki dan hilangkan hambatan bila perlu.
vii. Periksa dan pastikan klep karburator terpasang baik
dan tidak rusak, perbaiki atau ganti klep bila perlu.
b) Mesin hidup tapi sering mati mendadak, cara mengatasi
sebagai berikut :
i. Periksa dan pastikan resonator bersih dari sumbatan
atau kerak. Bersihkan dengan sikat pembersih bila
perlu.
ii. Periksa dan pastikan ruang pembakaran bersih.
c) Mesin hidup tapi tidak keluar asap, cara mengatasi sebagai
berikut :
i. Periksa dan pastikan tangki formulasi mempunyai
tekanan. Rapatkan tutup, perbaiki atau ganti gasket,
lancarkan saluran udara penekan bila perlu.
ii. Periksa dan pastikan kran larutan bekerja baik tanpa
sumbatan. Perbaiki dan lancarkan bila perlu.
iii. Periksa dan pastikan pipa saluran formulasi, saringan
dan nozzle mengalirkan formulasi dengan lancar.
Bersihkan dan hilangkan sumbatan bila perlu.
86
Apabila gangguan mesin masih belum teratasi dengan
langkah-langkah tersebut di atas, mesin perlu perbaikan
intensif, untuk itu :
a) Mesin pengkabut panas yang buruk kinerja diberi
label kuning dan dipisahkan dari mesin lain yang siap
digunakan dan harus segera di perbaiki.
b) Mesin yang tidak dapat lagi digunakan dan menunggu
ijin pemusnahan diberi label merah dan dipisahkan
penyimpanannya dari mesin-mesin yang siap digunakan
dan mesin-mesin yang sedang dalam perbaikan.
87
dalam bentuk kabut dingin yang terbentuk dari pemecahan
larutan insektisida secara mekanik oleh pusaran angin yang
dihasilkan dari blower. Mesin ini tersedia dengan ukuran jinjing
(handheld), portable, backpack dan truck mounted.
88
Komponen mesin pengkabut dingin (ULV) terdiri dari tangki
bahan bakar, motor penggerak, tangki insektisida, vortical
nozzle, blower unit, dan komponen pendukung lainnya.
2) Fungsi Alat
Mesin pengkabut dingin (ULV) ini digunakan untuk membunuh
nyamuk dewasa untuk memutuskan penularan penyakit yang
ditularkan oleh nyamuk.
3) Spesifikasi Alat
Spesifikasi alat yang dimaksud dalam buku ini adalah spesifikasi
teknis alat yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh
peraturan menteri kesehatan.
b. Insektisida
1) Jenis dan Dosis
Jenis insektisida yang digunakan sebagaimana dalam tabel 5.2
berikut ini.:
Tabel 5.2. Jenis Insektisida Cold Fogging/ Ultra Low Volume (ULV)
Dosis pemakaian
Dosis pemakaian luar
Jenis Insektisida dalam rumah (g AI/
rumah (g AI/ha)
1000m3 )
Deltametrhrin UL 0,5 0,5 – 1,0
Deltamethrin EW - 1
Lambda-cyhalothrin EC - 1-2
Malathion EW dan UL - 112 - 600
Permethrin (25 cis: 75
trans; 10,35%w/w) + S-bio
allethrin (0.14w/w) + 0,55 -
piperonyl butoxide (9.85%
w/w) EW
d-d, trans-cyphenothrin EC 0,1 - 0,2 3,5 - 4,00
Sumber : WHO, 2012
89
Selain jenis insektisida pada tabel 5.2, dapat juga menggunakan
insektisida jenis lain yang sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
2. Pengenceran
Pengenceran insektisida dilakukan dalam wadah khusus sejumlah
kebutuhan penyemprotan pada hari operasi. Untuk insektisida
yang tidak membutuhkan pengenceran langsung dituangkan
kedalam tangki formulasi. Kecepatan mobil/ kendaraan 5 km/
jam dengan application rate sebesar 500 ml/hektar dengan laju
semburan 200 ml/ menit.
c. Pelaksanaan Pengoperasian Alat
1) Persiapan Sebelum Pengoperasian
a) Letakkan mesin ULV dikendaraan bak terbuka
b) Cek oli mesin dan oli blower
c) Isi tangki bahan bakar
d) Isi tangki insektisida
e) Periksa semua mur dan baut, bila perlu kencangkan
f) Arahkan head nozzle ke arah samping kiri kendaraan
pengangkut mesin ULV dan setel head nozzle (dengan
memperhatikan dan memperhitungkan kecepatan angin)
sebagaimana tabel 5.3.
Tabel 5.3. Kriteria Kecepatan Angin dan Sudut Head Nozzle pada
Pelaksanaan Mesin Pengkabut Dingin (ULV)
90
2) Pengoperasian Alat
a) Cara menghidupkan mesin
Hidupkan mesin dengan urutan sebagai berikut
i. Geser switch kontak ke posisi on
ii. Tekan kontak starter (bila mesin keadaan baik mesin
akan langsung hidup)
b) Cara pengoperasian mesin
i. Atur tekanan udara dengan cara menggeser tuas
gas sampai 3-4,5 (dapat dibaca di barometer panel
pengontrol), kemudian geser swich fog keposisi on
ii. Atur flow meter sampai laju semburan insektisida
siap pakai mencapai 200ml/menit dengan
mempertimbangkan keadaan suhu untuk insektisida
malathion.
iii. Atur arah nozzle menghadap kesebelah kiri kendaraan/
mobil dengan asumsi arah angin sebelah kanan.
iv. Mesin dioperasikan oleh operator yang duduk
disamping pengemudi untuk mengendalikan remote
controle dan sambil terus memastikan flow meter
sesuai dengan pengaturan.
v. Jalankan kendaraan pengangkut ULV dengan kecepatan
5 km/jam.
c. Cara mematikan mesin
i. Putar tuas control ke kanan sampai maksimal
ii. Geser switch fog ke off (tunggu sampai insektisida
benar-benar habis)
iii. Geser switch mesin ke off, mesin akan langsung mati
d. Perawatan Alat dan Cara Mengatasi Gangguan Mesin Pengkabutan
Dingin (Cold Fogging/ ULV)
1) Perawatan Setelah Pengoperasian Mesin
a) Perawatan Alat Setelah Pemakaian
i. Lepaskan pipa insektisida dari tangkinya, celupkan
kedalam jerigen berisi solar/alkohol sebanyak 1 liter
91
ii. Kendurkan tutup tangki insektisida
iii. Hidupkan mesin
iv. Geser swicth fog ke posisi on
v. Biarkan solar/alkohol mengalir dan membilas semua
pipa larutan
vi. Matikan mesin, kemudian periksa semua mur dan baut
vii. Bersihkan mesin dari kotoran dan insektisida
viii. Ganti oli mesin setiap 25 jam kerja (1 minggu)
b) Untuk mesin ULV yang akan disimpan dalam waktu yang
lama, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. Sebelum disimpan lumasi komponen blower dan ruang
bakarmesin dengan oli SAE 40
ii. Bersihkan mesin dari kotoran dan insektisida serta
kosongkan tangki insektisida dan tangki bensin
iii. Simpan diruang tertutup, selimuti dengan kain atau
plastik
iv. Sebulan sekali putar-putar as mesin dengan tangan
supaya mesin tidak macet
v. Bersihkan mesin dari debu atau kotoran lain.
2) Cara Mengatasi Gangguan Mesin
Perbaikan mesin ULV pada umumnya harus dilakukan oleh
montir atau teknisi yang sudah berpengalaman, keculai untuk
kerusakan kecil seperti:
a) Mengganti busi
b) Mengganti selang larutan insektisida dan selang tekanan
Jika mesin susah dihidupkan kemungkinannya adalah sebagai
berikut:
a) Jika bahan bakar belum naik ke karburator, maka tuas
karburator perlu ditarik agar bahan bakar cepat naik
b) Jika sistim pengapian terganggu, maka lakukan pemeriksaan
terhadap busi, bila kotor bersihkan/ ganti dengan yang baru
Jika tetap tidak ada pengapian, maka periksa coil, kemudian atur
coilnya, bila rusak, ganti yang baru.
92
3) Hal-hal yang harus diperhatikan
a) Lakukan Temu Bahas Masalah (TBM), pastikan semua
anggota team penyemprot dan wakil masyarakat di wilayah
penyemprotan mengerti target penyelesaian pekerjaan,
faktor kritis penyemprotan, pembagian tugas kerja, rencana
tanggap darurat
b) Selama pengoperasian lampu hazard dinyalakan
c) Semua jendela dan pintu rumah harus dibuka
d) Penghuni rumah menyingkir ke area diluar wilayah
semprotan
e) Tetapkan jadwal penyemprotan dilakukan pada pagi hari
antara pukul 07.00 – 10.00 dan / atau sore hari antara pukul
16.00 – 18.00.
f) Pastikan bangunan yang akan disemprot sudah dalam
keadaan kosong penghuni, makanan sudah disimpan oleh
pemiliknya, kompor sudah dimatikan,
g) hewan peliharaan dijauhkan /diamankan dari paparan
insektisida,
h) Pakai APD secara lengkap sesuai peruntukannnya.
i) Pastikan kecepatan angin tidak melebihi 15 Km / Jam dan
tidak hujan
e. Alat Pelindung Diri (APD)
Setiap melakukan pengoperasian mesin ULV harus menggunakan
APD secara lengkap sesuai peruntukannnya. APD Perorangan dengan
kondisi layak dan jumlah yang cukup tersedia, minimum berupa :
1) Alat pelindung kepala,
2) Kacamata pelindung
3) Masker type disposable Oil Resistant-N95,
4) Wearpack (baju kerja),
5) Sarung tangan karet untuk pencampuran konsentrat insektisida,
6) Sarung tangan katun yang berlapis karet pada bagian telapak
untuk pengoperasian mesin,
7) Penutup telinga (ear plug), dan
8) Safety shoes
93
BAB 6
KEWASPADAAN DINI DAN PENANGGULANGAN KEJADIAN
LUAR BIASA (KLB)
I. Kewaspadaan Dini
A. Kewaspadaan dini DBD ialah suatu upaya yang meliputi kegiatan
pemantauan/ surveilans dan upaya pencegahan/ penanggulangan
terhadap kemungkinan terjadinya peningkatan kasus/ kejadian luar
biasa (KLB)/ wabah dan/atau peningkatan faktor resiko DBD.
B. Laporan kewaspadaan dini DBD adalah laporan hasil pemantauan/
surveilans kasus dan faktor resiko DBD.
C. Penanggulangan kasus adalah upaya pemutusan rantai penularan
DBD yang meliputi kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan
penanggulangan fokus (PF)
94
B. Tujuan Penyelidikan Epidemiologi
1) Tujuan Umum: Mengetahui potensi penularan dan penyebaran
DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu
dilakukan di wilayah sekitar tempat tinggal penderita/ fokus
penularan.
2) Tujuan khusus:
a) Mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya
b) Mengetahui ada /tidaknya jentik nyamuk penular DBD
c) Menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang
akan dilakukan
C. Langkah-Langkah Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan
Epidemiologi:
1. Setelah menemukan/menerima laporan adanya penderita DBD,
petugas Puskesmas/ Koordinator DBD segera mencatat dalam
Buku catatan Harian Penderita DBD.
2. Menyiapkan peralatan survei, seperti: tensimeter, termometer,
senter, formulir PE, dan surat tugas.
3. Memberitahukan kepada Kades/Lurah dan Ketua RW/RT
setempat bahwa di wilayahnya ada penderita DBD dan akan
dilaksanakan PE.
4. Masyarakat di lokasi tempat tinggal penderita membantu
kelancaran pelaksanaan PE.
5. Pelaksanaan PE sebagai berikut:
a) Petugas Puskesmas memperkenalkan diri dan selanjutnya
melakukan wawancara dengan keluarga, untuk mengetahui
ada tidaknya penderita infeksi dengue lainnya (sudah ada
konfirmasi dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan
lainnya), dan penderita demam saat itu dalam kurun waktu
1 minggu sebelumnya.
b) Bila ditemukan penderita demam tanpa sebab yang jelas,
dilakukan pemeriksaan kulit (petekie), dan uji torniquet
95
untuk mencari kemungkinan adanya kasus suspek infeksi
dengue.
c) Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan
air (TPA) dan tempat-tempat lain yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes baik di dalam maupun di
luar rumah/bangunan.
d) Kegiatan PE dilakukan dalam radius 100 meter dari lokasi
tempat tinggal penderita.
e) Bila penderita adalah siswa sekolah dan pekerja, maka selain
dilakukan di rumah penderita tersebut, PE juga dilakukan di
sekolah/ tempat kerja penderita oleh puskesmas setempat.
f) Hasil pemeriksaan adanya penderita infeksi dengue lainnya
dan hasil pemeriksaan terhadap penderita suspek infeksi
dengue dan pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir PE (
lampiran 1)
g) Hasil PE segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota (lampiran 2), untuk tindak lanjut lapangan
dikoordinasikan dengan Kades/Lurah setempat ( lampiran
3)
h) Bila hasil PE positif (Ditemukan 1 atau lebih penderita
infeksi dengue lainnya dan/atau ≥ 3 penderita suspek
infeksi dengue, dan ditemukan jentik (≥5%), dilakukan
penanggulangan fokus (fogging fokus, penyuluhan, PSN
3Mplus dan larvasidasi selektif), sedangkan bila negatif
dilakukan penyuluhan, PSN 3Mplus dan larvasidasi selektif.
96
demam berdarah dengue (PSN 3Mplus), larvasidasi selektif,
penyuluhan dan/atau pengabutan panas (pengasapan/ fogging)
dan/atau pengabutan dingin (ULV) menggunakan insektisida yang
masih berlaku dan efektif sesuai rekomendasi WHOPES dan/atau
Komisi Pestisida.
B. Tujuan Penanggulangan Fokus
Penanggulangan fokus dilaksanakan untuk membatasi/memutus
rantai penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat
tinggal penderita dan rumah/ bangunan sekitar serta tempat-tempat
umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebih lanjut.
C. Tindak lanjut hasil PE adalah sebagai berikut :
1. Bila ditemukan penderita infeksi dengue lainnya (1 atau lebih)
dan/atau ditemukan 3 atau lebih penderita demam tanpa sebab
yang jelas/ suspek infeksi dengue dan ditemukan jentik ≥ 5 % dari
rumah/bangunan yang diperiksa, maka dilakukan penggerakan
masyarakat dalam PSN 3Mplus, larvasidasi selektif, penyuluhan
dan pengasapan dengan insektisida di rumah penderita dan
rumah/ bangunan sekitarnya dalam radius minimal 200 meter,
pengasapan dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu
2. Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut di atas,
tetapi ditemukan jentik, maka dilakukan penggerakan masyarakat
dalam PSN 3Mplus, larvasidasi selektif dan penyuluhan
3. Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut di atas
dan tidak ditemukan jentik, maka dilakukan penyuluhan kepada
masyarakat.
D. Langkah- Langkah Pelaksanaan Kegiatan:
1. Setelah kades/lurah menerima laporan hasil PE dari Puskesmas
dan rencana koordinasi penanggulangan fokus, meminta
ketua RW/RT agar warga membantu kelancaran pelaksanaan
penanggulangan fokus
97
2. Ketua RW/RT menyampaikan jadwal kegiatan yang diterima
dari petugas puskesmas setempat dan mengajak warga untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan fokus.
3. Kegiatan penanggulangan fokus sesuai hasil PE:
a. Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD dan larvasidasi
1) Ketua RW/RT, Toma (tokoh masyarakat) dan kader
memberikan pengarahan langsung kepada warga pada
waktu pelaksanaan PSN DBD
2) Penyuluhan dan penggerakkan masyarakat PSN
DBD dan larvasidasi dilaksanakan sebelum dilakukan
pengabutan dengan insektisida. (teknis pemberian
larvasida agar dicantumkan)
b. Penyuluhan
Penyuluhan dilaksanakan oleh petugas kesehatan/
kader atau kelompok kerja (Pokja) DBD Desa/Kelurahan
berkoordinasi dengan petugas puskesmas, dengan materi
antara lain:
1) Situasi DBD di wilayahnya
2) Cara-cara pencegahan DBD yang dapat dilaksanakan
oleh individu, keluarga dan masyarakat disesuaikan
dengan kondisi setempat.
c. Pengabutan dengan insektisida
1) Dilakukan oleh petugas puskesmas atau bekerjasama
dengan dinas kesehatan kabupaten/kota. Petugas
penyemprot adalah petugas puskesmas atau petugas
harian lepas terlatih.
2) Ketua RT, Toma atau kader mendampingi petugas
dalam kegiatan pengabutan. (di lapangan tidak hanya
mendampingi tapi juga melakukan penyuluhan)
4. Hasil pelaksanaan penanggulangan fokus dilaporkan oleh
puskesmas kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dengan
tembusan kepada camat dan kades/lurah setempat.
98
5. Hasil kegiatan pengendalian DBD dilaporkan oleh puskesmas
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setiap bulan dengan
menggunakan formulir K-DBD
Positif : Negatif :
• Bila ditemukan 1 atau lebih penderita • Jika tidak memenuhi 2 kriteria
infeksi denguelainnya dan/atau ≥ 3 positif
penderitademam tanpa sebab yang
jelas dan
• Ditemukan jentik (HI) ≥ 5 %
Pada area radius minimal 200 m Pada area radius minimal 200 m
dilakukan tindakan : dilakukan tindakan
1. Intensifikasi PSN 1. Intensifikasi PSN
2. Larvasidasi 2. Larvasidasi
3. Penyuluhan 3. Penyuluhan
4. Fogging fokus (2 siklus interval 1
minggu)
99
IV. Pengendalian Sebelum Musim Penularan
A. Sebelum Musim Penularan (SMP) adalah periode bulan yang
berdasarkan analisis data kasus rata-rata perbulan selama 3-5 tahun
terakhir memiliki jumlah rata-rata kasus paling rendah di suatu
wilayah. Periode Sebelum Musim Penularan biasanya terjadi sebelum
memasuki musim penghujan/ musim penularan DBD.
B. Pengendalian Sebelum Musim Penularan meliputi kegiatan
penyuluhan kepada masyarakat, Bulan Bakti Gerakan (BBG) PSN
3Mplus secara serentak dan larvasidasi.
1. Penyuluhan kepada masyarakat dapat dilakukan melalui
penyuluhan langsung dan/atau melalui media cetak dan/atau
media elektronik.
2. Bulan Bakti Gerakan (BBG) PSN 3Mplus dilaksanakan secara
serentak dengan melibatkan kepala daerah, seluruh satuan kerja
pemerintah daerah (SKPD) setempat beserta seluruh lapisan
masyarakat.
3. Larvasidasi dilakukan secara selektif pada tempat-tempat
penampungan air (TPA) dan tempat-tempat non TPA yang
berpotensi menjadi tempat perindukan jentik nyamuk Aedes.
100
Tujuan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa adalah membatasi
penularan/ penyebaran KLB DBD, sehingga KLB yang terjadi di
suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya dan mencegah/
meminimalkan terjadinya kematian akibat DBD.
B. Penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Sesuai Permenkes Nomor 1501 tahun 2010 disebutkan 7 kriteria
KLB, tetapi dalam upaya pengendalian DBD ada 3 kriteria yang
direkomendasikan yaitu:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu (DBD) yang
sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Jumlah penderita baru (kasus DBD) dalam periode waktu satu
bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
3. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam
1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima
puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian
kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu
yang sama.
C. Langkah-langkah pelaksanaan penanggulangan KLB
Bila terjadi KLB/wabah, dilakukan pengasapan dengan insektisida (2
siklus dengan interval 1 minggu), PSN 3Mplus , larvasidasi, penyuluhan
di seluruh wilayah terjangkit KLB, dan kegiatan penanggulangan
lainnya yang diperlukan, seperti: pembentukan posko pengobatan
dan posko penangggulangan, penyelidikan KLB, pengumpulan dan
pemeriksaan spesimen serta peningkatan kegiatan surveilans kasus
dan vektor, dan lain-lain.
1. Pengobatan dan Perawatan Penderita
Penderita DBD derajat 1 dan 2 dapat dirawat di puskesmas yang
mempunyai fasilitas perawatan dan laboratorium memadai,
sedangkan DBD derajat 3 dan 4 harus segera dirujuk ke Rumah
Sakit.
101
2. Pemberantasan Vektor
a. Penyemprotan insektisida (pengasapan / pengabutan)
Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota,
puskesmas, dan tenaga lain yang telah dilatih.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis
Alat : hot fogger/mesin pengabut dan/atau ULV
Cara : Fogging/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan
interval satu minggu
b. Pemberantasan sarang jentik/nyamuk (PSN 3Mplus)
Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan
wilayah sekitarnya yang merupakan satu
kesatuan epidemiologis
Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan
nyamuk: tempat penampungan air, barang
bekas ( botol aqua, pecahan gelas,ban bekas,
dll) lubang pohon/tiang pagar/pelepah
pisang, tempat minum burung, alas pot,
dispenser, tempat penampungan air di bawah
kulkas, dibelakang kulkas dsb, di rumah/
bangunan dan tempat umum
Cara : Melakukan kegiatan PSN 3Mplus.
Kegiatan PSN 3M Plus meliputi :
• Menguras dan menyikat TPA (tempat penampungan
air)
• Menutup TPA
• Memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas yang
berpotensi menjadi TPA atau membuangnya ke tempat
pembuangan sampah tertutup
102
PLUS :
• Menaburkan bubuk larvasida
• Memelihara ikan pemakan jentik
• Menanam pohon pengusir nyamuk (sereh, zodia,
lavender, geranium, dll)
• Memakai obat anti nyamuk (semprot, bakar maupun
oles),
• Menggunakan kelambu, pasang kawat kasa, dan lain-
lain
• Menggunakan cara lain disesuaikan dengan kearifan
lokal.
c. Larvasidasi
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan
petugas puskesmas/ dinas kesehatan
kabupaten/ kota
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Tempat Penampungan Air (TPA) di rumah dan
Tempat-Tempat Umum (TTU)
Larvasida : Sesuai dengan dosis
Cara : larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah
KLB
3. Penyuluhan
Penyuluhan dapat dilakukan oleh segenap tenaga kesehatan
dengan melibatkan kader jumantik ( juru pemantau jentik) yang
dikoordinasikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.
103
secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk
pengabutan, larvasidasi dan penyuluhan. Pada kunjungan
tersebut dilakukan wawancara apakah rumah sudah dilakukan
pengabutan, larvasidasi dan pemeriksaan jentik serta
penyuluhan.
104
BAB 7
PENYULUHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
I. Penyuluhan
Kegiatan pemberdayaan dan peningkatan peran serta untuk meningkatkan
program pengendalian Demam Berdarah Dengue yang dilaksanakan
di masyarakat selalu melibatkan proses komunikasi. Salah satu yang
menentukan keberhasilan komunikasi adalah metode dan teknik yang
digunakan.
Metode dan teknik dalam menyampaikan informasi memang sangat
beragam, namun dalam pemilihannya harus dipertimbangkan secara
cermat dengan memperhatikan kemasan informasinya. Keadaan penerima
informasi termasuk sosial budaya dan hal lain yang merupakan lingkungan
komunikasi seperti tempat, ruang dan waktu. Dengan demikian, metode
dan teknik untuk menyampaikan informasi merupakan hal yang sangat
penting, sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik, efektif dan
tepat sasaran.
105
Sasaran :
Pasien dan keluarga
Metodenya :
1. Penyuluhan perorangan
2. Penyuluhan kelompok
3. Penyuluhan massa
Tujuan :
1. Individu, kelompok dan massa dapat mengetahui cara penularan
DBD dan cara pencegahan DBD.
2. Individu, kelompok dan massa mengetahui tindakan yang
dilakukan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dalam
penanganan DBD.
B. Penyuluhan di Sekolah
Penyuluhan di sekolah dilakukan oleh guru, petugas puskesmas atau
tenaga kesehatan lainnya, melalui program UKS (Jumantik Anak
Sekolah, Dokter Kecil) ataupun melalui penugasan khusus yang
berkaitan dengan Pencegahan DBD.
Sasaran :
Siswa-siswi sekolah
Metodenya :
1. Penyuluhan pada kelompok anak sekolah
2. Penugasan khusus (Misalnya : pengumpulan jentik nyamuk yang
ditemukan dirumah, dll).
Tujuan :
1. Murid – murid mengetahui cara penularan DBD dan pencegahan
DBD.
2. Dapat menyebarluasan informasi mengenai DBD ke keluarga
dan teman – teman sebaya.
106
C. Penyuluhan di Pemukiman
Dapat dilakukan melalui penyuluhan secara perorangan, kelompok
dan massa.
1. Penyuluhan Perorangan
Penyuluhan perorangan dilakukan melalui kunjungan rumah dan
pemantauan kartu rumah oleh kader kesehatan/kader jumantik
atau dasawisma.
Sasaran :
Individu dan keluarga
Metode :
Metode yang digunakan dalam melakukan penyuluhan
perorangan adalah wawancara/tatap muka dan atau demonstrasi
atau peragaan.
Tujuan :
Individu dan keluarga mengetahui tentang cara penularan dan
cara pencegahan DBD.
2. Penyuluhan Kelompok
Penyuluhan kelompok dilakukan oleh kader kesehatan/kader
jumantik, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tenaga kesehatan
Sasaran :
Kelompok tani, kelompok arisan, kelompo agama, kelompok
PKK dan sebaginya.
Metode :
Metode yang digunakan dalam melakukan penyuluhan
perorangan adalah wawancara/tatap muka dan atau demonstrasi
atau peragaan.
107
Tujuan :
a. Kelompok mengetahui tentang cara penularan, cara
pencegahan DBD serta cara pertolongan pertama penyakit
DBD.
b. Dapat memberikan informasi tentang DBD kepada keluarga
dan masyarakat sekitarnya.
3. Penyuluhan Melaui Media Massa
Penyuluhan yang dilakukan melalui TV, Radio dan Koran. Pada
penyuluhan melalui media massa biasanya tidak terjadi tanya
jawab (komunikasi satu arah).
Sasaran :
Masyarakat luas.
Metode :
Melalui TV, Radio, Koran.
Tujuan :
Masyarakat luas mengetahui informasi tentang cara penularan
dan pencegahan DBD serta bagaimana cara pertolongan
pertama pada penyakit DBD.
108
II. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan menunjukkan bahwa
peran serta dibutuhkan untuk mengembangkan sinergi dalam hubungan
antara pemerintah dan masyarakat maupun sinergi dalam ”jejaring
komunitas”.
Peran serta masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan
kepedulian serta tanggungjawab masyarakat terhadap pentingnya
pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka.
Artinya melalui peran serta yang diberikan berarti benar-benar menyadari
bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus
dijalankan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi menuntut keterlibatan
masyarakat yang akan diperbaiki mutu hidupnya.
Pemberdayaan masyarakat dalam PSN 3M Plus dilaksanakan melalui
pendekatan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik.
109
Plus serta menjaga kebersihan di lingkungannya masing-masing
secara rutin sekurang-kurangnya seminggu sekali sehingga bebas dari
jentik nyamuk Aedes dan melakukan pencatatan hasil pemantauan
jentik tiap minggu pada kartu pemeriksaan jentik (Kartu Jentik).
Di samping itu para pengelola tempat-tempat umum/ institusi (TTU/
TTI) harus menunjuk/ menugaskan seorang/ lebih yang bertanggung
jawab untuk memantau dan melaksanakan PSN 3M Plus di tempat
kerjanya, sekaligus melakukan pencatatan hasil pemantauan jentik
pada kartu pemeriksaan jentik (kartu jentik), petugas pemantau
pada TTU/TTI ini selanjutnya disebut Jumantik Lingkungan.
Selain itu melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik diharapkan semua
keluarga :
1. Melaksanakan kegiatan pemantauan jentik dan PSN 3M Plus
secara rutin sekurangnya seminggu sekali.
2. Melakukan pencatatan hasil pemantauan jentik di rumah pada
kartu jentik.
3. Mengenal tanda dan gejala DBD sehingga segera melakukan
pemeriksaan kepada petugas kesehatan jika ada anggota
keluarga yang diduga menderita penyakit DBD.
4. Melaporkan kepada RT/RW, Kepala Desa/Kelurahan, jika
ada anggota keluarga yang diduga menderita penyakit DBD,
agar dilakukan penggerakan masyarakat di sekitarnya guna
mencegah meluasnya penularan penyakit ini.
5. Membantu kelancaran pengendalian vektor penyakit DBD yang
dilakukan oleh petugas kesehatan.
Gerakan PSN 3M Plus dilaksanakan dengan cara memotivasi
masyarakat (keluarga dan pengelola TTU) untuk melaksanakan
kegiatan pemberantasan jentik nyamuk di rumah dan lingkungannya
masing-masing.
Pelaksana motivasi kepada keluarga adalah kader dari masyarakat
setempat yang telah dilatih dalam melakukan pemeriksaan jentik,
110
kader ini disebut Koordinator Jumantik. Motivasi dilakukan dengan
cara melakukan kunjungan rumah secara berkala untuk memeriksa
tempat-tempat potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes
dan memberikan penyuluhan tentang DBD/ PSN 3M Plus. Ketua RT/
RW dapat menugaskan seorang/lebih kader sebagai Koordinator
Jumantik di tiap-tiap RT.
Kegiatan PSN 3M Plus di tingkat desa/kelurahan dikoordinasikan
oleh kelompok kerja pengendalian DBD atau disingkat POKJA DBD,
yang merupakan forum koordinasi kegiatan pengendalian DBD
dalam wadah LKMD. Tiap-tiap POKJA DBD di tiap desa/ kelurahan
menugaskan seorang/ lebih petugas Supervisor Jumantik yang
bertanggungjawab melakukan pembinaan/ pemantauan/ sosialisasi
kegiatan PSN 3M Plus kepada seluruh Koordinator Jumantik
dan Jumantik Rumah/ Jumantik Lingkungan di wilayahnya.
Pembinaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan PSN 3M
Plus melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik dilakukan oleh Kelompok
Kerja Operasional pengendalian DBD atau disingkat POKJANAL DBD
tingkat Kecamatan yang di koordinir oleh puskesmas setempat,
POKJANAL DBD tingkat kabupaten/kota, POKJANAL DBD tingkat
provinsi dan POKJANAL DBD tingkat Pusat secara berjenjang.
B. Advokasi
Untuk memperoleh hasil pengerakan peran serta masyarakat
yang berkesinambungan, perlu adanya upaya pendekatan melalui
advokasi kepada para pengambil kebijakan kepada Kepala Wilayah
(Bupati/Walikota, Camat, Lurah/Kepala Desa).
Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk
mempengaruhi pimpinan, pembuat/penentu kebijakan, keputusan
dan penyandang dana dan pimpinan media massa agar proaktif
dan mendukung berbagai kegiatan promosi penanggulangan
Penanggulangan DBD sesuai dengan bidang dan keahlian masing-
masing. Sementara itu ada pendapat populer bahwa advokasi adalah
melakukan kampanye pada media massa atau melakukan upaya
komunikasi, informasi dan edukasi.
111
Tujuan advokasi untuk mempengaruhi pimpinan/pengambil
keputusan dan penyandang dana dalam penyelengaraan program
Pengendalian DBD, sedangkan sasaran advokasi adalah:
1. Pimpinan legislatif (Komisi DPRD)
2. Pimpinan eksekutif (Gubernur, Bupati, Bappeda)
3. Penyandang dana
4. Pimpinan media massa
5. Pimpinan institusi lintas sektoral
6. Tokoh Agama/Masyarakat/PKK, organisasi profesi dan lain-lain.
Metode Advokasi:
1. Lobbi
2. Pendekatan Informal
3. Penggunaan media massa
Materi Pesan
1. Harus diketahui jumlah kasus DBD di wilayahnya
2. Program cara pencegahan dan pengendalian DBD
3. Kebijakan dalam pengendalian DBD (menyiapkan tenaga
kesehatan, dan lintas sektor lain untuk melaksanakan program
bebas DBD.
Hasil yang diharapkan:
1. Adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya
(SDM, dana dan sumber daya lainnya) dalam penanggulangan
DBD.
2. Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang
beranggotakan lembaga pemerintah, swasta, LSM, Dunia Usaha,
untuk membahas dan memberi masukan dalam penanggulangan
DBD
112
Kegiatan pokok dari penggerakan PSN DBD, terdiri dari :
1. Penggerakan PSN 3M Plus di Rumah (Tempat Permukiman)
Sasaran penggerakan PSN di desa/kelurahan adalah “keluarga”
yaitu dilaksanakannya PSN di rumah-rumah secara berkala dan
terus menerus.
Kegiatan Pokja DBD yang dilakukan di desa/kelurahan meliputi:
a. Kegiatan oleh masyarakat:
1) Juru pemantau jentik (Jumantik)/Kader yang telah
dilatih oleh Puskesmas di tingkat RT/RW melakukan
pemeriksaan jentik dan penyuluhan di tingkat RT/RW
setiap minggu..
2) Ketua RW/RT sekurang-kurangnya setiap bulan
melakukan pertemuan dengan PKK/Ketua Dasa Wisma
dan tokoh masyarakat untuk membahas pelaksanaan
dan hasil pemeriksaan jentik oleh Jumantik. Hasil
pertemuan dilaporkan kepada kepada desa/lurah.
3) Kepala Desa/Lurah membahas hasil laporan Ketua RW
dalam berbagai kesempatan pertemuan dan membahas
tindak lanjut umpan balik Pemeriksaan Jentik Berkala
(PJB) dari Puskesmas.
Kegiatan lain yang dapat diselenggarakan di desa/kelurahan
dalam penggerakan PSN DBD antara lain:
1) Masyarakat bergotong royong melakukan PSN DBD
dan kerja bakti membersihkan lingkungan seperti
Gerakan Jumat Bersih, atau kegiatan sejenis seminggu
sekali.
2) Penyuluhan kelompok masyarakat oleh kader dan tokoh
masyarakat antara lain di Posyandu, tempat ibadah dan
dalam pertemuan-pertemuan warga masyarakat.
b. Kegiatan oleh Puskesmas
1) Petugas Puskesmas melakukan bimbingan teknis
kepada Pokja DBD Desa/Kelurahan.
113
2) Petugas Puskesmas melakukan pemantauan jentik
berkala (PJB) setiap 3 bulan dengan cara memeriksa
100 rumah yang dipilih secara acak (random sampling)
untuk mengetahui hasil penggerakan PSN DBD oleh
desa/kelurahan (Jumantik). Hasil PJB dianalisis dengan
menggunakan indikator angka bebas jentik (ABJ) yaitu
persentasi jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik
Aedes dibagi jumlah rumah yang diperiksa. Hasil PJB
(ABJ) ini dilaporkan kepada Camat dan diumpanbalikkan
kepada Kepala Desa/Lurah untuk tindak lanjut upaya
penggerakan PSN DBD di wilayahnya.
114
c. Puskesmas
i. Petugas Puskesmas melakukan bimbingan teknis
kepada Sekolah melalui kegiatan Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS) dan kepada TTU melalui kegiatan rutin
pengawasan lingkungan TTU.
ii. Petugas Puskesmas melakukan pemantauan jentik
berkala (PJB) terhadap semua sekolah yang ada di
wilayah kerja puskesmas setiap 3 bulan dengan cara
memeriksa setiap tempat-tempat potensial untuk
perkembangbiakan nyamuk Aedes. Hasil PJB dilaporkan
kepada Camat dan diumpanbalikkan kepada Kepala
Sekolah
iii. Petugas Puskesmas melakukan pemantauan jentik
berkala (PJB) terhadap semua TTU lainnya yang
ada di wilayah kerjanya setiap 3 bulan dengan cara
memeriksa setiap tempat-tempat potensial untuk
perkembangbiakan nyamuk Aedes. Hasil PJB dilaporkan
ke Camat dan diumpanbalikkan kepada Penanggung
jawab TTU.
115
D. Pemantauan Dan Evaluasi Penggerakan PSN 3M Plus
1. Pemantauan dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan jentik
berkala (PJB) pada sejumlah sampel rumah, sekolah dan tempat
umum lainnya. Sebagai indikator keberhasilan penggerakan PSN
DBD di tempat pemukiman digunakan angka bebas jentik (ABJ)
≥ 95%.
2. Pemantauan penggerakan PSN DBD dilakukan oleh tim lintas
sektor yang diketuai oleh Kepala Daerah/Wilayah (POKJANAL
DBD) setiap 3 bulan secara berjenjang sbb:
3. Pemantauan oleh POKJANAL DBD tingkat Kecamatan
4. Hasil penggerakan PSN DBD di kelurahan/desa dipantau oleh
tim lintas sektor kecamatan (Pokjanal DBD tingkat Kecamatan)
yang dibentuk dan diketuai oleh Camat dengan sekretaris Kepala
Puskesmas. Anggota tim terdiri dari Kasi Kesra, kantor Depag
Kecamatan, UPTD terkait antara lain Dikbud, Dinsos, PKK, LKMD,
dll.
5. Indikator yang dipantau adalah ABJ di tiap-tiap kelurahan dan
ada tidaknya jentik Aedes di sekolah dan TTU lainnya. Indikator
tersebut disampaikan dalam pertemuan Pokjanal DBD tingkat
Kecamatan setiap 3 bulan dan dibahas rencana tindak lanjutnya.
6. Pemantauan oleh POKJANAL DBD tingkat Kab/Kota
7. Hasil penggerakan PSN DBD di wilayah kecamatan dipantau oleh
tim lintas sektor tingkat Kab/Kota (Pokjanal DBD tingkat Kab/
Kota) yang dibentuk dan diketuai oleh Bupati/Walikota dengan
sekretaris Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota. Anggota tim terdiri
dari Kabag Kesra, Kandepag Kab/Kota, SKPD terkait antara lain
Dikbud, Dinsos, PKK, LKMD, dll.
8. Pemantauan oleh POKJANAL DBD tingkat Provinsi
9. Hasil penggerakan PSN DBD di wilayah Kab/Kota dipantau oleh
tim lintas sektor tingkat Provinsi (Pokjanal DBD tingkat Provinsi)
yang dibentuk dan diketuai oleh Gubernur dengan sekretaris
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Anggota tim terdiri dari Kabag
116
Kesra, Kanwil Depag Provinsi, SKPD terkait antara lain Dikbud,
Dinsos, PKK, LKMD, dll.
10. Pemantauan Pokjanal DBD tingkat Pusat
11. Hasil penggerakan PSN DBD di Provinsi dipantau oleh tim lintas
sektor tingkat Pusat (Pokjanal DBD tingkat Pusat) yang dibentuk
dan diketuai oleh Direktur PPBB dengan sekretaris Kasubdit
Arbovirosis. Anggota tim terdiri dari Kesra, Depag, Dikbud,
Dinsos, PKK, LKMD, dll.
12. Indikator yang dipantau adalah:
13. ABJ Kecamatan yaitu rata-rata ABJ Desa/Kel di wilayah Kecamatan
yang bersangkutan
14. ABJ Sekolah (persentase sekolah yang tidak terdapat jentik Aedes
di wilayah Kab/Kota). ABJ Sekolah ini diperoleh dari rekapitulasi
hasil PJB di sekolah-sekolah yang dilaporkan oleh Puskesmas.
15. ABJ TTU lainnya (Persentase TTU lainnya yang terdapat jentik
Aedes dari sejumlah sampel TTU di wilayah Kab/Kota). ABJ TTU
ini diperoleh dari survei jentik yang dilakukan oleh Dinkes Kab/
Kota selama periode 3 bulan terakhir. Ada tidaknya jentik Aedes
diuraikan menurut jenis TTU, misalnya TTU tempat ibadah, pasar,
terminal, dll, dengan Indikator TTU adalah bebas jentik Aedes.
16. Hasil PJB disampaikan dalam pertemuan Pokjanal DBD tingkat
Kabupaten/Kota setiap 3 bulan dan dibahas rencana tindak
lanjutnya, serta melaporkan hasilnya kepada Pokjanal tingkat
provinsi.
17. Pokjanal tingkat provinsi melakukan pertemuan 3 bulan sekali
membahas hasil Pokjanak Kabupaten/Kota, serta melaporkan
hasilnya kepada Pokjanal tingkat pusat.
18. Pokjanal tingkat pusat melakukan pertemuan 3 bulan sekali
membahas hasil Pokjanal Provinsi
117
BAB 8
MONITORING DAN EVALUASI
118
atau tujuan, atau ketika program tidak mengalami kemajuan. Evaluasi
dilakukan secara sistematis dan mencakup semua unsur dalam program.
Evaluasi bertujuan untuk menentukan apakah program sudah berjalan
sebagaimana mestinya, juga untuk mengidentifikasi adanya kebutuhan-
kebutuhan seperti SDM, biaya, logistik, peralatan, bahan KIE dan lain
sebagainya. Evaluasi harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
• Evaluasi kebutuhan
• Evaluasi perencanaan
• Evaluasi pelaksanaan
• Evaluasi hasil
• Evaluasi dampak
Dalam merencana suatu evaluasi maka harus mencakup hal-hal sebagai
berikut:
• Tujuan evaluasi yang jelas, yang disetujui oleh semua pihak yang
berkepentingan
• Identifikasi dari sumber daya yang tersedia.
• Jenis evaluasi yang akan dilakukan
• Penetapan indikator: indikator yang baik berhubungan dengan
kegiatan program dan hasil.
• Rencana evaluasi yang terperinci termasuk tujuan, metodologi,
prosedur pengambilan sampel, sumber data dan metode analisa
data, pembiayaan dan adminitrasi. Juga harus dirinci tentang tugas
dan tanggung jawab masing-masing petugas, mekanisme pelaporan
dan strategi untuk memastikan bahwa hasil evaluasi akan dilakukan
untuk melakukan perbaikan.
• Pengumpulan data
• Interpretasi dan analisa data
• Perencanaan kembali
Aspek program yang dapat dievaluasi:
119
Lampiran 1
(Formulir PE)
Kesimpulan: Ya Tidak
Petugas pelaksana PE
(.....................................................)
120
Lampiran 2 (Form Pemberitahuan Hasil PE DBD)
PUSKESMAS ……………………….
DINAS KESEHATAN KEBAPATEN/KOTA*) …………………………..
…………………., ……………..Tahun…..
Nomor : ………………….
Hal: Hasil Penyelidikan Epidemiologis DBD
Lampiran : Formulir PE
Kepada
Yth : Kepala Dinas Kesehatan ...............................
di-
Tempat
Dengan hormat,
Bersama ini kami beritahukan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan kami di lokasi
penderita dan bangunan di sekitar tempat tinggal penderita DBD:
Nama Penderita: ………………………………………………………………….
Umur : …………………………………………………………………….
Nama KK : …………………………………………………………………….
Alamat : …………………………………………………………………….
RT : …………. RW : …………. Kel/Desa : ……….......……….
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, mohon agar Bapak/Ibu dapat berperan serta dan
membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut.
121
Lampiran 3 (Form Kegiatan Penanggulangan Fokus DBD)
PUSKESMAS …………………….
DINAS KESEHATAN KABUPATEN /KOTA*) ………………………
Kepada
Yth. Lurah/Kades........
di-
Tempat
Dengan hormat,
Sehubungan dengan hal tersebut di atas, mohon agar Bapak/Ibu dapat berperan serta dan
membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut
(………….................………………….)
NIP.
Tembusan Kepada Yth.
Kadinkes Kab/Kota........
Camat ……………………
Ketua RT/RW.................
122
Lampiran 4.a (Form K-DBD/ Laporan Kasus DBD Per Bulan Tingkat Provinsi)
IR Jumlahkasus
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nov Des Total (Kasus per CFR yangdi Jumlah
No. Kab/Kota 100.000 (%) konfirmasidgn kasus
pddk) RDT di PE
IgG/IgM NS1
P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M
JUMLAH
Mengetahui
Kepala...... PengelolaProgram
Lampiran 4.b (Form laporan bulanan Kasus DBD berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur)
DATAKASUSDBDPERGOLONGANUMUR
PROVINSI:
TAHUN:
Bulan:
Golongan Umur Jumlah
total
kasus
< 1 th 1 - 4 th 5 - 14 th 15 - 44 th > 44 th
No Kab/Kota
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
P M
P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M
JUMLAH
Mengetahui
Kepala...... PengelolaProgram
123
Lampiran 5.a (Form K-DBD/ Laporan Kasus DBD Per Bulan Tingkat Kab/Kota)
IR Jumlahkasus
Jan Feb. Maret April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nov Des Total (Kasus per CFR yangdi Jumlah
No. Kecamatan 100.000 (%) konfirmasidgn kasus
pddk) RDT di PE
IgG/IgM NS1
P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M
JUMLAH
Mengetahui
Kepala......
PengelolaProgram
Lampiran 5.b(Form laporan bulanan Kasus DBD berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur)
DATAKASUSDBDPERGOLONGANUMUR
KABUPATEN/KOTA:
TAHUN:
Bulan:
Golongan Umur Jumlah
total
kasus
< 1 th 1 - 4 th 5 - 14 th 15 - 44 th > 44 th
No PUSKESMAS
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
P M
P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M
JUMLAH
Mengetahui
Kepala...... PengelolaProgram
124
Lampiran 6 (Form P- DBD/ Laporan Penanggulangan DBD Tingkat Provinsi)
No Kegiatan
Jumlahkasusdi JumlahKasus JumlahKasus ABJ
Kabupaten/Kota
PE diFogging DiLarvasidasi
Fokus
Jumlah
Mengetahui
Kepala................. PengelolaProgram
125
No Kegiatan
Jumlahkasusdi JumlahKasus JumlahKasus ABJ
Kecamatan
PE diFogging DiLarvasidasi
Fokus
Jumlah
Mengetahui
Kepala................. PengelolaProgram
126
127
KEPUSTAKAAN
128
Buku Saku
Petugas Kesehatan
Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
2011
Publikasi ini dibuat oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dengan dukungan
C-Change (Communication for Change), sebuah proyek yang dikelola oleh Academy
for Educational Development (AED) dan didanai oleh U.S. Agency for International
Development (USAID).
Pendapat yang tertuang dalam publikasi ini tidak merefleksikan pendapat USAID atau
pemerintah Amerika Serikat.
Penerbit
Departemen Kesehatan RI
edisi 2011
I
Daftar Isi
5. Diare .............................................................. 1
8. Rangkuman ................................................... 33
II
KATA PENGANTAR
Penyakit Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia, karena angka kesakitan dan kematian yang masih
tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut Departemen Kesehatan
telah menerbitkan buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
dengan nomor 1216/MENKES/SK/XI/2001.
Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTMH & DTCE
NIP. 19550903 198012 1 001
III
Penjelasan tentang Logo
IV
DIARE
1
1. Apa yang dimaksud dengan diare?
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang
buang air besar dengan konsistensi lembek atau
cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya
lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam
satu hari.
2
b) Diare dengan dehidrasi ringan/ sedang
c) Diare dengan Dehidrasi berat.
Tanya:
- Berapa lama anak sudah mengalami diare?
- Berapa kali anak buang air besar dalam satu hari?
- Apakah tinjanya ada darah?
- Apakah dia muntah?
- Apakah ada penyakit lainnya?
Lihat:
- Bagaimana keadaaan umum anak?
- Sadar atau tidak sadar?
- Lemas atau terlihat sangat mengantuk?
- Apakah anak gelisah?
- Berikan minum, apakah dia mau minum?
Jika iya, apakah ketika minum ia tampak sangat
haus atau malas minum?
- Apakah matanya cekung atau tidak cekung?
- Lakukan cubitan kulit perut (turgor).
Apakah kulitnya kembali segera, lambat, atau
sangat lambat (lebih dari 2 detik) ?
3
Klasiffikasikan tanda-tanda tersebut sesuai
dengan tabel derajat dehidrasi di bawah.
Diare
Gejala/ Diare
Diare tanpa dehidrasi
derajat dehidrasi
dehidrasi Ringan/
dehidrasi Berat
Sedang
4
7. Bagaimana cara mencegah dehidrasi sebelum
anak dibawa ke sarana kesehatan?
Berikan oralit, bila tidak tersedia berikan cairan
rumah tangga misalnya air tajin, kuah sayur,
sari buah, air teh, air matang dll.
5
RENCANA TERAPI A
6
Diare tanpa dehidrasi
Bila terdapat dua tanda atau lebih
Keadaan Umum baik, sadar
Mata tidak cekung
A
minum biasa, tidak haus
Cubitan kulit perut / turgor kembali segera
RENCANA TERAPI A
UNTUK TERAPI DIARE TANPA DEHIDRASI
MENERANGKAN 5 LANGKAH TERAPI DIARE DI RUMAH
1. BERI CAIRAN LEBIH BANYAK DARI BIASANYA
• Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama
• Anak yang mendapat ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai tambahan
• Anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri susu yang biasa diminum dan oralit atau
cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah sayur, air tajin, air matang, dsb)
• Beri Oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan dilanjutkan sedikit
demi sedikit.
- Umur < 1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali berak
- Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak.
• Anak harus diberi 6 bungkus oralit (200 ml) di rumah bila:
- Telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C.
- Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan jika diare memburuk.
• Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oralit.
2. BERI OBAT ZINC
Beri Zinc 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat diberikan dengan cara
dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air matang atau ASI.
- Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) per hari
- Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari.
3. BERI ANAK MAKANAN UNTUK MENCEGAH KURANG GIZI
• Beri makan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat
• Tambahkan 1-2 sendok teh minyak sayur setiap porsi makan
• Beri makanan kaya Kalium seperti sari buah segar, pisang, air kelapa hijau.
• Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil (setiap 3-4 jam)
• Setelah diare berhenti, beri makanan yang sama dan makanan tambahan selama 2 minggu
4. ANTIBIOTIK HANYA DIBERIKAN SESUAI INDIKASI. MISAL: DISENTERI, KOLERA dll
5. NASIHATI IBU/ PENGASUH
Untuk membawa anak kembali ke petugas kesehatan bila :
• Berak cair lebih sering
• Muntah berulang
• Sangat haus
• Makan dan minum sangat sedikit
• Timbul demam
• Berak berdarah
• Tidak membaik dalam 3 hari
7
RENCANA TERAPI B
8
Diare dehidrasi Ringan/ Sedang
Bila terdapat dua tanda atau lebih
Gelisah, rewel
Mata cekung
B
Ingin minum terus, ada rasa haus
Cubitan kulit perut / turgor kembali lambat
RENCANA TERAPI B
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI RINGAN/SEDANG
JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA DI SARANA KESEHATAN
ORALIT yang diberikan =
75 ml x BERAT BADAN anak
• Bila BB tidak diketahui berikan oralit sesuai tabel di bawah ini:
UmurSampai 4 bulan 4 -12 bulan 12-24 bulan 2-5 tahun
Berat Badan < 6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg
Jumlah cairan 200-400 400-700 700-900 900-1400
• Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah.
• Bujuk ibu untuk meneruskan ASI.
• Untuk bayi < 6 bulan yang tidak mendapat ASI berikan juga 100-200 ml air masak selama masa ini.
• Untuk anak > 6 bulan, tunda pemberian makan selama 3 jam kecuali ASI dan oralit
• Beri obat Zinc selama 10 hari berturut-turut
AMATI ANAK DENGAN SEKSAMA DAN BANTU IBU MEMBERIKAN ORALIT:
• Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan.
• Berikan sedikit demi sedikit tapi sering dari gelas.
• Periksa dari waktu ke waktu bila ada masalah.
• Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan berikan air masak atau ASI.
Beri oralit sesuai Rencana Terapi A bila pembengkakan telah hilang.
SETELAH 3-4 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN PENILAIAN, KEMUDIAN
PILIH RENCANA TERAPI A, B ATAU C UNTUK MELANJUTKAN TERAPI
• Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke Rencana Terapi A. Bila dehidrasi telah hilang, anak biasanya
kencing kemudian mengantuk dan tidur.
• Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang, ulangi Rencana Terapi B
• Anak mulai diberi makanan, susu dan sari buah.
• Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan Rencana Terapi C
9
RENCANA TERAPI C
10
Diare dehidrasi Berat
Bila terdapat dua tanda atau lebih
Lesu, lunglai / tidak sadar
Mata cekung
C
Malas minum
Cubitan kulit perut / turgor kembali sangat lambat
RENCANA TERAPI C
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI BERAT DI SARANA KESEHATAN
Catatan :
• Bila mungkin amati penderita sedikitnya 6 jam setelah rehidrasi untuk
Segera rujuk anak untuk memastikan bahwa ibu dapat menjaga mengembalikan cairan yang
rehidrasi melalui
Nasogastrik/Orogastrik atau
hilang dengan memberi oralit.
Intravena. • Bila umur anak di atas 2 tahun dan kolera baru saja berjangkit di
daerah Saudara, pikirkan kemungkinan kolera dan beri antibiotika yang
tepat secara oral begitu anak sadar.
11
Cara Pemberian Obat Zinc
• Pastikan semua anak yang menderita Diare
mendapat obat Zinc selama 10 hari berturut-turut
12
Lintas Diare
Tanya jawab seputar Lima Langkah Tuntaskan diare
(LINTAS DIARE)
13
1. Berikan oralit + O R A L I T
15
Oralit lama Oralit formula baru
No
(WHO/UNICEF 1978) (WHO/UNICEF 2004)
Dengan Osmolaritas
1 Na+ : 90 mEq/l Na+ : 75 mEq/l
2 K+ : 20 mEq/l K+ : 20 mEq/l
3 HCO3 : 30 mEq/l Citrate : 10 mmol/l
4 Cl- : 80 mEq/l Cl- : 65 mEq/l
5 Glucose : 111 mmol/l Glucose : 75 mmol/l
Osmolar. 331 mmol/l Osmolar. 245 mmol/l
16
berkurang, pemberian ASI tidak terganggu, dan
orangtua akan menghemat biaya.
17
II. Berikan Zinc selama 10 hari Z i n c
Z
berturut-turut Z I N C
20
5. Apakah oralit dan zinc aman dikonsumsi
bersamaan?
Zinc aman dikonsumsi bersamaan dengan
oralit. Zinc diberikan satu kali sehari sampai
semua tablet habis (selama 10 hari) sedangkan
oralit diberikan setiap kali anak buang air besar
sampai diare berhenti.
22
Ketika memberikan konseling pada ibu, petugas
kesehatan harus menekankan pentingnya
pemberian dosis penuh selama 10 hari dengan
menyampaikan pada ibu tentang manfaat
jangka pendek dan panjang zinc, termasuk
mengurangi lamanya diare, menurunkan
keparahan diare, membantu anak melawan
episode diare dalam 2-3 bulan selanjutnya
setelah perawatan. Selama itu juga zinc dapat
membantu pertumbuhan anak lebih baik dan
meningkatkan nafsu makan.
23
13. Bagaimana jika anak minum lebih dari satu
tablet zinc?
Kelebihan satu atau dua tablet karena tidak
sengaja tidak akan membahayakan anak. Jika
anak mengkonsumsi terlalu banyak tablet, dia
mungkin akan memuntahkannya. Dan dengan
memuntahkannya maka kelebihan zinc dalam
tubuh sudah dinetralisir. Zinc dianjurkan hanya
dikonsumsi satu tablet saja dalam sehari. Maka
anjurkan ibu untuk menyimpan zinc jauh dari
jangkauan anak-anak di rumah untuk mencegah
hal ini. Bila dikonsumsi secara berlebihan, Zinc
dapat menggangu metabolisme tubuh dan
bahkan dapat mengurangi ketahanan tubuh.
25
III. Teruskan ASI dan pemberian makan
27
IV. Berikan antibiotik secara selektif X
29
V. Berikan Nasihat pada ibu/pengasuh
30
PENGELOLAAN
LOGISTIK
TARGET PENDERITA DIARE
31
PERHITUNGAN KEBUTUHAN ORALIT & ZINC
ORALIT = Target Penderita Diare x 6 bungkus + Cadangan – Stok
ZINC = Jumlah Penderita Diare Balita x 10 Tablet
Keterangan :
Cadangan adalah perkiraan obat yang rusak biasanya 10 % dari
jumlah kebutuhan.
Stok adalah jumlah obat diakhir tahun, misalnya 1.000 bungkus.
Jumlah Penderita Diare Balita
Jumlah Balita x Episodeà (10 % x Jumlah Penduduk x 2 kali)
Angka 10 % adalah Proporsi Jumlah Balita.
32
Rangkuman
LINTAS DIARE
(Lima langkah tuntaskan diare)
1. Oralit, berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan
mengatasi dehidrasi.
2. ZINC diberikan selama 10 hari berturut-turut, mengurangi
lama dan beratnya diare, mencegah berulangnya diare
selama 2-3 bulan. ZINC juga dapat mengembalikan nafsu
makan anak.
3. ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan
menu yang sama pada waktu anak sehat, untuk mencegah
kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang.
4. Antibiotik hanya diberikan pada diare berdarah, kolera dan
diare dengan masalah lain.
5. Segera kembali ke petugas kesehatan jika ada demam, tinja
berdarah, muntah berulang, makan atau minum sedikit,
sangat haus diare makin sering atau belum membaik dalam
3 hari.
33
31
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena
morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun
2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000
penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi
KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24
Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB
diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %.)
Salah satu langkah dalam pencapaian target MDG’s (Goal ke-4) adalah menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari
tahun 1990 sampai pada 2015. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan
Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Penyebab
utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat.
Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta
(4,2%). Beberapa provinsi mempunyai prevalensi diare klinis >9% (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,
Papua Barat dan Papua) yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
1
Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur dengan prevalensi tertinggi terdeteksi pada anak balita
(1-4 tahun) yaitu 16,7%. Sedangkan menurut jenis kelamin prevalensi laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada
laki-laki dan 9,1% pada perempuan. Prevalensi diare menurut kelompok umur dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Prevalensi diare lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan, yaitu sebesar 10% di perdesaan dan 7,4 % di perkotaan.
Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah dan bekerja sebagai petani/nelayan dan buruh yang dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
2
Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi
3,5%. Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-3 setelah TB dan Pneumo-
nia. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Juga didapatkan bahwa penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%) dan pneumonia
(23,8%). Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%) dan pnemonia
(15,5%).
SDKI
Pada SDKI tahun 2007 dibahas mengenai prevalensi dan pengobatan penyakit pada anak. SDKI mengumpulkan data
beberapa penyakit infeksi utama pada anak umur di bawah lima tahun (balita), seperti infeksi saluran pernafasan atas (ISPA),
pneumonia, diare, dan gejala demam.
Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare dalam waktu dua minggu sebelum survei, 3% lebih tinggi dari
temuan SDKI 2002-2003 (11 persen). Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti umur 6-11 bulan
dan umur 23-45 bulan seperti pada Gambar 5. Dengan demikian seperti yang diprediksi, diare banyak diderita oleh kelompok
umur 6-35 bulan karena anak mulai aktif bermain dan berisiko terkena infeksi.
3
Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%) dibandingkan dengan anak perempuan (12,5%) dan lebih tinggi
pada balita di perdesaan (14,9%) dibandingkan dengan perkotaan (12,0%).
Ada hubungan negatif antara kejadian diare dengan tingkat pendidikan ibu dan indeks kekayaan kuantil. Semakin pendidikan
ibu meningkat dan semakin tinggi indeks kekayaan kuantil rumah tangga, semakin rendah prevalensi diare. Tidak ada pola yang
khas antara prevalensi diare dan sumber air minum serta fasilitas kakus. Terlihat bahwa persentase diare lebih rendah pada
anak yang tinggal di rumah dengan fasilitas kakus sendiri. Seperti yang diprediksi prevalensi diare paling tinggi terjadi pada
anak yang tinggal di rumah tanpa akses air bersih, yaitu yang memakai fasilitas kakus di sungai/kolam/danau (18,4%).
4
Sumber : SDKI tahun 2007
Gambar 9. Persentase balita yang diare dua minggu sebelum survei, berdasarkan fasilitas kakus
Untuk angka kesakitan diare balita Tahun 2000-2010 tidak menunjukkan pola kenaikan maupun pola penurunan (berfluktuasi).
Pada tahun 2000 angka kesakitan balita 1.278 per 1000 turun menjadi 1.100 per 1000 pada tahun 2003 dan naik lagi pada
tahun 2006 kemudian turun pada tahun 2010 yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
5
Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6 – 11 bulan yaitu
sebesar 21,65% lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%, kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%, sedangkan
proporsi terkecil pada kelompok umur 54 – 59 bulan yaitu 2,06%.
Tabel 2. Distribusi Umur Penderita Diare Balita Tahun 2010
Sebagian besar penderita diare tidak datang berobat ke sarana kesehatan. Ada yang mengobati sendiri, ada yang berobat ke
praktek dokter swasta, ada ke Puskesmas, Rumah Sakit, dan ada yang tidak kemana-mana seperti terlihat pada gambar di
bawah ini.
Sumber : Survei Morbiditas diare tahun 2000, 2006, 2010 oleh Subdit Diare Kemenkes RI
Gambar 12. Gambaran tempat pengobatan penderita diare balita tahun 2000, 2006 dan 2010
6
Data Laporan Puskesmas
Data mengenai diare yang bisa didapatkan dari laporan puskesmas berupa data jumlah penderita yang datang ke puskesmas,
cakupan pelayanan penderita diare KLB diare.
Jumlah penderita diare yang datang ke sarana kesehatan tahun 2000 s/d 2009 ( dalam ribuan )sebagai berikut :
Sumber : Laporan P2 diare yang diterima di Subdit Pengendalian Diare, dan Infeksi Saluran Pencernaan
tahun 2000 s/d 2009
Gambar 13. Jumlah Penderita Diare yang Datang ke Puskesmas Tahun 2000-2009 (dalam ribuan)
KLB diare masih sering terjadi dengan jumlah penderita dan kematian yang banyak. Rendahnya cakupan higiene sanitasi dan
perilaku yang rendah sering menjadi faktor risiko terjadinya KLB diare.
Sumber : Laporan Penanggulangan KLB Diare tahun 2002 s/d Desember 2010. Subdit Pengendalian Diare,
dan Infeksi Saluran Pencernaan
Gambar 14. Jumlah Penderita Diare Saat KLB Tahun 2001-2010
Sumber : Laporan Penanggulangan KLB Diare 2000 - 2010. Subdit Pengendalian Diare, dan Infeksi Saluran
Pencernaan
Gambar 15. CFR KLB Diare dari tahun 2000 s/d 2010
7
Data Laporan Subdit Surveilans dan Respon KLB
Penyakit diare termasuk dalam 10 penyakit yang sering menimbulkan kejadian luar biasa. Berdasarkan laporan Surveilans
Terpadu Penyakit bersumber data KLB (STP KLB) tahun 2010, diare menempati urutan ke 6 frekuensi KLB terbanyak setelah
DBD, Chikungunya, Keracunan makanan, Difteri dan Campak. Keadaan ini tidak berbeda jauh dengan tahun 2009, menurut
data STP KLB 2009 , KLB diare penyakit ke 7 terbanyak yang menimbulkan KLB.
Kelengkapan laporan secara umum dapat terbagi menjadi kelengkapan berdasarkan waktu (frekuensi) pelaporan yaitu mulai
Januari hingga Desember tahun bersangkutan dan kelengkapan berdasarkan jumlah unit pelapor misalnya jumlah puskesmas
sampai jumlah kabupaten/kota. Kelengkapan laporan STP KLB 2008-2010 menurut frekuensi waktu pelaporan mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Grafik di bawah ini menunjukkan kelengkapan laporan STP KLB 2010 mencapai 89%.
Peta di bawah ini menggambarkan kelengkapan data STP KLB tahun 2010 menurut provinsi. Sebagian besar provinsi (82%)
sudah memiliki kelengkapan data sebesar 100%, sebagian kecil memiliki kelengkapan < 90% (3 provinsi dengan kelengkapan
data antara 60-89% dan 1 provinsi dengan kelengkapan data 0,1-59 %). Dua provinsi yang tidak melaporkan STP KLB yaitu
provinsi Jawa Tengah dan provinsi Papua. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai masalah antara lain tidak adanya format
yang sesuai standar, perbedaan format pelaporan KLB antara provinsi dengan kabupaten dan lain-lain.
Berdasarkan laporan STP KLB 2009-2010, secara keseluruhan provinsi yang sering mengalami KLB pada tahun 2009 dan 2010
adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten, walaupun provinsi yang mengalami KLB terbanyak (urutan pertama) tersebut
setiap tahunnya berbeda (grafik di sebelah).
8
Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL
Gambar 18. Frekwensi KLB berdasarkan Provinsi Tahun 2009
9
Grafik di bawah ini menggambarkan frekuensi KLB diare pada tahun 2010, lebih banyak terjadi di provinsi Sulawesi Tengah (27
kali) dan Jawa Timur (21 kali). Hal ini berbeda dengan tahun 2009 dimana KLB diare lebih banyak terjadi di provinsi Jawa Barat
(33 kali) dan Jawa TImur (5 kali).
Jumlah kasus KLB Diare pada tahun 2010 sebanyak 2.580 dengan kematian sebesar 77 kasus (CFR 2.98%). Hasil ini berbeda
dengan tahun 2009 dimana kasus pada KLB diare sebanyak 3.037 kasus, kematian sebanyak 21 kasus (CFR 0.69%). Perbe-
daan ini tentu saja perlu dilihat dari berbagai faktor, terutama kelengkapan laporannya. Selain itu faktor perilaku kesadaran dan
pengetahuan masyarakat, ketersediaan sumber air bersih, ketersediaan jamban keluarga dan jangkauan layanan kesehatan
perlu dipertimbangkan juga sebagai faktor yang mempengaruhi kejadian luar biasa diare.
10
Kasus KLB diare berdasarkan provinsi tahun 2010, kasus terbanyak terjadi di Sulawesi Tengah, namun CFR terbanyak terjadi di
provinsi Lampung. Hal ini berbeda dengan tahun 2009, kasus terbanyak di provinsi Jawa Barat tapi CFR terbesar terjadi di
provinsi Sulawesi Tenggara (gambar 25).
Di bawah ini adalah peta sebaran kematian KLB diare tahun 2010. Kematian terbanyak terjadi di provinsi Sulawesi Tengah,
Jawa Timur kemudian disusul Sulawesi Selatan, Banten, Sulawesi Tenggara dan Bengkulu.
11
Pada grafik di bawah ini menggambarkan kasus KLB diare tahun 2009 lebih banyak terjadi pada bulan Agustus sedangkan CFR
lebih banyak terjadi pada bulan Februari. Hal ini berbeda dengan tahun 2010, kasus terbanyak terjadi pada bulan Februari dan
CFR terbesar terjadi pada bulan September. Dari gambar di bawah ini tampak puncak KLB diare dan CFR nya tidak terjadi
pada priode yang sama, sehingga kemungkinan ada faktor lain yang mempengaruhi.
Bila dilihat berdasarkan golongan umur, kasus pada KLB diare lebih banyak terjadi pada golongan umur 1-4 tahun kemudian
golongan 20-44 tahun. Hal ini merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan terutama diare yang umumnya diderita
oleh balita dan menjadi penyumbang kematian pada balita. Faktor hygiene dan sanitasi lingkungan, kesadaran orang tua balita
untuk berperilaku hidup bersih dan sehat serta pemberian ASI menjadi faktor yang penting dalam menurunkan angka kesakitan
diare pada balita (grafik di bawah).
Sedangkan bila dilihat dari jenis kelamin, kasus KLB diare pada tahun 2010 tidak berbeda jauh antar laki-laki (51%) dengan
perempuan (49%). Hal senada juga terjadi pada tahun 2009, tidak ada perbedaan yang signifikan kasus KLB diare antara
perempuan (51%) dengan laki-laki (49%). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyakit yang tidak dipenga-
ruhi oleh jenis kelamin.
12
GAMBARAN SITUASI UPAYA PENCEGAHAN DAN TATA LAKSANA DIARE DI INDONESIA
A. SDKI
Cakupan Pemberian Oralit di Masyarakat
Menurut hasil SDKI tahun 2007, 51% anak balita yang diare dalam dua minggu sebelum survei dibawa ke fasilitas atau tenaga
kesehatan, sama seperti temuan dalam SDKI 2002-2003. Pengobatan diare beragam menurut umur anak, bayi di bawah umur
6 bulan cenderung tidak dibawa ke fasilitas atau tenaga kesehatan dibanding kelompok umur lainnya. Anak laki-laki sedikit lebih
banyak yang dibawa ke fasilitas kesehatan dibanding anak perempuan. Ada hubungan antara pengobatan diare dengan
pendidikan ibu dan status ekonomi rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan ibu dan semakin tinggi tingkat ekonomi rumah
tangga, semakin tinggi persentase anak yang diare yang mendapat perawatan dari tenaga kesehatan dibanding dengan anak
lainnya.
Walaupun lebih dari 90 persen ibu mengetahui tentang paket oralit, hanya satu dari tiga (35%) anak yang menderita diare diberi
oralit, hasil tersebut sama dengan temuan SDKI 2002-2003. Pada 30 % anak yang diare diberi minuman lebih banyak, 22 %
diberi Larutan Gula Garam (LGG), dan 61 % diberi sirup/pil, sementara 14 % diberi obat tradisonal atau lainnya. Sedangkan 17
% anak yang menderita diare tidak mendapatkan pengobatan sama sekali.
B. Survei Morbiditas
Tabel 4. Gambaran Tata Laksana Diare Balita di Rumah Tangga Tahun 2003, 2006, dan 2010
PENANGANAN DIARE TAHUN TAHUN TAHUN
BALITA DI RUMAH 2000 2006 2010 Ket
TANGGA (%) (%) (%)
13
2. Pemberian ASI (periode sakit 2 minggu terakhir)
Tabel 5. Distribusi Penderita < 2 Tahun Yang Mendapat ASI, Survey Morbiditas Tahun 2010
SEBELUM DIARE SEWAKTU DIARE
Mendapat Jumlah % Jumlah %
ASI 196 78,72 Diteruskan 186 94,90
Dikurangi 8 4,08
Dihentikan 2 1,02
Tidak 53 21,28
Mendapat
ASI
JUMLAH 249 100
Sumber : Survei morbiditas diare tahun 2010
Tabel di atas memperlihatkan bahwa dari 249 orang penderita diare umur < 2 tahun, 196 orang (78,72%) mendapatkan ASI
sebelum diare, sedangkan sebanyak 53 orang (21,28%) tidak mendapatkan ASI. Dari sejumlah 196 orang penderita diare umur
< 2 tahun yang mendapatkan ASI sebelum diare, sebanyak 186 orang (94,90%) terus mendapatkan ASI sewaktu diare,
sebanyak 8 orang (1,22%) mengurangi ASI sewaktu diare dan 2 orang (1,02%) yang menghentikan ASI. Hal ini menunjukkan
sudah adanya pengetahuan para ibu bahwa ASI harus tetap diberikan pada anak yang menderita diare.
Tabel 6. Distribusi Penderita Yang Mendapatkan Oralit & Obat Lainnya Tahun 2010
JUMLAH PENDERITA %
Oralit 188 37,0
LGG 37 7,28
Obat-obatan 159 31,30
Ramuan/Jamu 38 7,48
Tidak diberi apa-apa 128 25,20
Lain-lain 29 5,71
Jumlah 508 100,00
Sumber : Hasil Survei Morbiditas Diare Tahun 2010
Pada tabel di atas diketahui bahwa dari 508 penderita, sebanyak 188 orang (37,0%) diberikan oralit, 159 orang (31,30%)
diberikan obat-obatan, 128 orang (25,20%) tidak diberikan apa-apa, 38 orang (7,48%) diberikan ramuan/jamu, 37 orang (7,28%)
diberi LGG dan 29 orang (5,71%) di berikan lain-lain.
Tabel 7.Distribusi Penderita Yang Memberikan Makanan Padat/Lunak & Kualitas Pemberian Makan Tahun 2010
SEBELUM DIARE SEWAKTU DIARE
Jumlah % Jumlah %
Ditambah 90 18,0
Dihentikan 9 1,8
Pada tabel di atas dapat diketahui dari 508 balita yang menderita diare terdapat 500 penderita yang mendapatkan makanan
padat/lunak sebelum diare dan 8 penderita (1,57%) tidak mendapatkan makanan padat/lunak. Dari sejumlah 500 penderita
diare yang mendapatkan makanan padat/lunak, ternyata sewaktu diare terdapat 318 penderita (63,6%) tetap diberikan makanan
padat/lunak seperti biasa, 90 penderita (18,0%) pemberian makanan padat/lunak ditambah pemberiannya, 83 penderita (16,6%)
pemberian makanan lunak/padat dikurangi dan 9 penderita (1,8%) pemberian makanan padat/lunak dihentikan.
14
D. Laporan Rutin Program
Pada gambar di atas dapat kita lihat bahwa proporsi penderita diberi oralit yang terkecil adalah di provinsi DKI Jakarta sebesar
10,6 %. Sedangkan proporsi penderita diberi oralit yang mencapai 100% ada di provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT, Babel.
Sumber : Hasil Pemantauan cakupan dan kualitas tatalaksana diare tahun 2009
Gambar 33.Penggunaan antibiotika tanpa indikasi (Tidak rasional) pada penderita Diare propinsi tahun 2009
15
Pada gambar di atas dapat kita lihat bahwa provinsi yang jumlah penderita diarenya diberi antibiotik, tertinggi adalah Aceh,
Lampung, dan Irjabar masing-masing sebesar 100%. Sedangkan provinsi dengan jumlah penderita diare diberi antibiotik
terendah adalah Sumatera Barat (45,6%).
4. Pengetahuan petugas dalam tata laksana diare tahun 2006, 2007, dan 2009
Hasil pemantauan tata laksana diare dari tahun ke tahun terlihat bahwa pengetahuan petugas dalam tata laksana diare juga
masih rendah. Berikut ini adalah gambaran pengetahuan petugas dalam tata laksana diare tahun 2006 – 2009.
Tabel 8. Pengetahuan petugas dalam tata laksana diare tahun 2006, 2007, dan 2009
1. Mengetahui anamnesa penderita diare 43,3 48,8 43,7 Tahun 2008 tidak dilakukan
dengan benar. pemantauan pengetahuan
2. Tahu menetapkan klasifikasi derajat 41 43,2 29,9 petugas
dehidrasi
3. Tahu tata laksana diare tanpa 58,9 63,0 33,3
dehidrasi
4. Tahu tata laksana diare dehidrasi 35,9 40,9 12,6
ringan /sedang
5. Tahu tatalaksana diare dehidrasi berat 16,9 25 14,9
Sumber : Laporan Hasil Pemantauan Cakupan dan kualitas tata laksana diare tahun 2006, 2007, dan 2009
oleh Subdit Pengendalian Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Kemenkes RI
Pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa persentase petugas kesehatan yang memiliki pengetahuan yang benar mengenai tata
laksana diare masih rendah.Terbukti pada tabel diatas persentase petugas yang tahu mengenai anamnesa diare, tahu
menetapkan klarifikasi derajat dehidrasi, tahu tata laksana diare tanpa dehidrasi, tahu tata laksana diare dengan dehidrasi
ringan dan berat pada tahun 2006-2009 masih di bawah 50%.
Tata laksana diare yang sesuai standar di Puskesmas juga masih rendah. Oralit belum seluruhnya diberikan pada penderita
diare. Penggunaan antibiotika masih berlebihan. Anti diare walaupun tidak direkomendasikan tetapi masih sering diberikan bagi
penderita diare balita. Berikut ini adalah gambaran pemberian obat bagi penderita diare yang diambil dari catatan medik di Pus-
kesmas.
Sumber : Laporan rutin Puskesmas-Subdit Pengendalian Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Kemenkes RI
Gambar 34. Kualitas tata laksana diare pada Balita di Puskesmas tahun 2006 s/d 2009 ( %)
16
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
1. Berdasarkan Riskesdas
1. Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (4,2%) dan terendah di DI
Yogyakarta (18,9%)
2. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi diare terjadi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%.
3. Prevalensi laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada perempuan
4. Prevalensi diare lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan, yaitu sebesar 10% di perdesaan dan 7,4 % di
perkotaan.
5. Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah dan bekerja sebagai petani/nelayan dan buruh yang
6. Penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%).
7. Penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%)
2. Berdasarkan SDKI
1. Persentase balita yang mengalami diare adalah 13,7%.
2. Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan yaitu 20,7%.
3. Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8 %) dibandingkan dengan anak perempuan (12,5 %).
4. Prevalensi diare lebih tinggi pada balita di perdesaan (14,9 %) dibandingkan dengan perkotaan (12,0 %).
5. Persentase anak balita yang diare dalam 2 minggu sebelum survei dibawa ke fasilitas atau tenaga kesehatan adalah 51%.
6. Hanya satu dari tiga (35%) anak yang menderita diare diberi oralit.
7. Persentase anak yang menderita diare tidak mendapatkan pengobatan sama sekali adalah 17 % anak.
8. Penderita diare yang mendapatkan makanan padat/lunak, sewaktu diare terdapat 63,6% tetap diberikan makanan padat/
lunak seperti biasa, 18,0% pemberian makanan padat/lunak ditambah pemberiannya, 16,6% pemberian makanan lunak/
padat dikurangi dan 1,8% pemberian makanan padat/lunak dihentikan.
17
DAFTAR PUSTAKA
Buku Saku Lintas Diare untuk Petugas Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta : 2010.
Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta : 2009
Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Jakarta : 2009
Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009
Riskesdas 2007
Survei Morbiditas Diare Tahun 2010
SDKI Tahun 2007
Pedoman Pengendalian Penyakit Diare, Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Jakarta : 2010.
Rekapitulasi Laporan rutin P2 Diare
Hasil Pemantauan Cakupan dan Kualitas tatalaksana Diare
18
Kebijakan pengendalian penyakit diare di Indonesia LINTAS Diare ( Lima Langkah Tuntaskan Diare )
bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka 1. Berikan Oralit
kematian karena diare bersama lintas program dan lintas
sektor terkait. Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan
mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam menurunkan osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan
angka kesakitan dan kematian karena diare adalah cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air
sebagai berikut : matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah
Melaksanakan tata laksana penderita diare yang oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah,
sesuai standar, baik di sarana kesehatan maupun di yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit
rumah tangga merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare
Melaksanakan surveilans epidemiologi & untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita
Penanggulan Kejadian Luar Biasa tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana
Mengembangkan Pedoman Pengendalian Penyakit kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui
Diare infus.
Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas
dalam pengelolaan program yang meliputi aspek Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi :
manejerial dan teknis medis. a) Diare tanpa dehidrasi
Mengembangkan jejaring lintas sektor dan lintas Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda
program di bawah ini atau lebih :
Pembinaan teknis dan monitoring pelaksanaan - Keadaan Umum : baik
pengendalian penyakit diare. - Mata : Normal
Melaksanakan evaluasi sabagai dasar perencanaan - Rasa haus : Normal, minum biasa
selanjutnya. - Turgor kulit : kembali cepat
Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi
pemerintah adalah : sbb :
1. Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali
standar di sarana kesehatan melalui lima langkah anak mencret
tuntaskan diare ( LINTAS Diare). Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali
2. Meningkatkan tata laksana penderita diare di rumah anak mencret
tangga yang tepat dan benar. Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali
3. Meningkatkan SKD dan penanggulangan KLB diare. anak mencret
4. Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang b) Diare dehidrasi Ringan/Sedang
efektif. Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila
5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi. terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
Keadaan Umum : Gelisah, rewel
Mata : Cekung
Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
Turgor kulit : Kembali lambat
19
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum
diteruskan dengan pemberian oralit seperti Asi harus lebih sering di beri ASI. Anak yang minum
diare tanpa dehidrasi. susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya.
Anak uis 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah
c) Diare dehidrasi berat mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit
bawah ini atau lebih: dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian
Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk
sadar membantu pemulihan berat badan.
Mata : Cekung
Rasa haus : Tidak bisa minum atau 4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
malas minum
Turgor kulit : Kembali sangat lambat Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena
(lebih dari 2 detik) kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan
oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada
Penderita diare yang tidak dapat minum harus penderita diare dengan darah (sebagian besar karena
segera dirujuk ke Puskesmas untuk di infus. shigellosis), suspek kolera.
2. Berikan obat Zinc Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting anak yang menderita diare karena terbukti tidak
dalam tubuh. Zinc dapat menghambat enzim INOS bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali
(Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak,
hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping
epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan yang bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti
morfologi dan fungsi selama kejadian diare. protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh
parasit (amuba, giardia).
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu
mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, 5. Pemberian Nasehat
mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi
volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan
diare pada 3 bulan berikutnya.(Black, 2003). balita harus diberi nasehat tentang :
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc 1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11 2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas
% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa kesehatan bila :
Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 % Diare lebih sering
(Hidayat 1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti Muntah berulang
ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat Sangat haus
anak mengalami diare. Makan/minum sedikit
Dosis pemberian Zinc pada balita:
Timbul demam
- Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari
Tinja berdarah
selama 10 hari
- Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari Tidak membaik dalam 3 hari.
selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare SISTEM KEWASPADAAN DINI (SKD)
sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc : A. DEFINISI
Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang
atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare. SKD merupakan kewaspadaan terhadap penyakit
berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang
3. Pemberian ASI / Makanan : mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi
surveilan epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkat-
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk kan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya dan tindak
memberikan gizi pada penderita terutama pada anak
20
-an penanggulangan kejadian luar biasa yang cepat dan d. Hasil penyelidikan yang telah dilakukan
tepat (Permenkes RI No.949/MENKES/SK/VIII/2004). e. Hasil penanggulangan KLB dan rencana tindak
lanjut
B. TUJUAN
c. Pengumpulan data melalui studi kasus
1. Menumbuhkan sikap tanggap terhadap adanya
Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun
perubahan dalam masyarakat yang berkaitan
sekali, misalnya pada pertengahan atau akhir tahun.
dengan kesakitan dan kematian.
Tujuannya untuk mengetahui “base line data”
2. Mengarahkan sikap tanggap tersebut terhadap sebelum atau setelah program dilaksanakan dan
tindakan penanggulangan secara cepat dan hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk
tepat untuk mengurangi/mencegah kesakitan/ perencanaan di tahun yang akan datang.
kematian.
2. Pengolahan, Analisis, dan Interpretasi
3. Memperoleh informasi secara cepat, tepat dan
akurat. Data-data yang telah dikumpulkan diolah dan ditampil-
kan dalam bentuk tabel-tabel atau grafik, kemudian
C. PROSEDUR dianalisis dan diinterpretasi. Analisis ini sebaiknya dila-
kukan berjenjang dari Puskesmas hingga Pusat, se-
1. Pengumpulan Data Diare hingga kalau terdapat permasalahan segera dapat
Ada tiga cara pengumpulan data diare, yaitu diketahui dan diambil tindakan pemecahannya.
melalui :
3. Penyebarluasan Hasil Interpretasi
a. Laporan Rutin
Dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit Hasil analisis dan interpretasi terhadap data yang telah
melalui SP2TP (LB), SPRS (RL), STP dan dikumpulkan, diumpanbalikkan kepada pihak-pihak
rekapitulasi diare. Karena diare termasuk pen- yang berkepentingan yaitu kepada pimpinan di daerah
yakit yang dapat menimbulkan wabah maka (kecamatan hingga Dinkes Propinsi) untuk mendapat-
perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk da- kan tanggapan dan dukungan penangganannya.
pat membuat laporan rutin perlu pencatatan
setiap hari (register) penderita diare yang datang
ke sarana kesehatan, posyandu atau kader agar
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
dapat dideteksi tanda–tanda akan terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu timbulnya atau meningkat-
KLB/wabah sehingga dapat segera dilakukan
nya kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna
tindakan penanggulangan secepatnya. Laporan
secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
rutin ini dikompilasi oleh petugas RR/Diare di
tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus
Puskesmas kemudian dilaporkan ke Tingkat
pada terjadinya wabah (Permenkes RI No.949/Menkes/SK/
Kabupaten/Kota melalui laporan bulanan (LB)
VIII/2004).
dan STP setiap bulan.
Kriteria KLB Diare, sesuai Permenkes RI no.1501/
Petugas/Pengelola Diare Kabupaten/Kota mem-
MENKES/PER/X/2010:
buat rekapitulasi dari masing-masing Puskesmas
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagai-
dan secara rutin (bulanan) dikirim ke tingkat
mana dimaksud pada pasal 4 Permenkes RI No. 1501/
Propinsi dengan menggunakan formulir rekapitu-
MENKES/PER/2010.(Konfirmasi kolera) yang sebelum-
lasi diare. Dari tingkat Propinsi direkap berdasar-
nya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
kan kabupaten/kota secara rutin (bulanan) dan
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama
dikirim ke Pusat .
3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari, atau minggu
berturut turut.
b. Laporan KLB Diare
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih
Setiap terjadi KLB/wabah harus dilaporkan
dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam
dalam periode 24 jam (W1) dan dilanjutkan den-
kurun waktu jam, hari atau minggu.
gan laporan khusus yang meliputi :
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu)
a. Kronologi terjadinya KLB
bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih di-
b. Cara penyebaran serta faktor-faktor yang
bandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam
mempengaruhinya
tahun sebelumnya.
c. Keadaan epidemiologis penderita
21
5. Rata rata jumlah kejadian kesakitan perbulan selama b. Tahapan penyelidikan KLB :
1(satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau
1) Mengumpulkan, mengolah dan menganalisis
lebih dibandingkan dengan rata rata jumlah kejadian
informasi termasuk faktor risiko yang ditemukan.
kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus (CFR) dalam 1(satu) kurun 2) Membuat kesimpulan berdasarkan :
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus pada a) Faktor tempat yang digambarkan dalam
suatu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang suatu peta (spotmap) atau tabel tentang :
sama. Kemungkinan risiko yang menjadi sumber
penularan.
Manajemen KLB Diare Keadaan lingkungan biologis (agen,
penderita), fisik dan sosial ekonomi.
Manajemen KLB/Wabah diare dapat dibagi tiga fase yaitu
Cuaca
pra-KLB/Wabah, saat KLB/Wabah dan pasca KLB/Wabah.
Ekologi
Pra-KLB/Wabah
Adat kebiasaan
Persiapan yang perlu diperhatikan pada pra KLB/Wabah
Sumber air minum dan sebagainya.
adalah:
1. Kab/Kota, Propinsi dan Pusat perlu membuat surat b) Faktor waktu yang digambarkan dalam grafik
edaran atau instruksi kesiapsiagaan di setiap histogram yang menggambarkan hubungan
tingkat waktu (harian), masa tunas serta agen. Sete-
lah dibuat grafiknya dapat diinterpretasikan :
2. Meningkatkan kewaspadaan dini (SKD) di wilayah
Puskesmas terutama di Desa rawan KLB Kemungkinan penyebab KLB
3. Mempersiapkan tenaga dan logistik yang cukup di Kecenderungan perkembangan KLB
Puskesmas, Kabupaten/Kota dan Propinsi dengan Lamanya KLB
membentuk Tim TGC.
c) Faktor orang yang terdiri dari : umur, jenis
4. Meningkatkan upaya promosi kesehatan kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
suku bangsa, adat istiadat, agama/
5. Meningkatkan kegiatan lintas program dan sektor
kepercayaan dan sosial ekonomi.
Saat KLB/Wabah
2. Pemutusan rantai penularan meliputi :
Kegiatan saat KLB :
a. Peningkatan kualitas kesehatan lingkungan yang
1. Penyelidikan KLB mencakup : air bersih, jamban, pembuangan sam-
pah dan air limbah.
a. Tujuan :
b. Promosi kesehatan yang mencakup : pemanfaatan
1) Memutus rantai penularan jamban, air bersih dan minum air yang sudah dima-
sak, pengendalian serangga/lalat.
2) Menegakkan diagnosa penderita yang
dilaporkan
3. Penanggulangan KLB
3) Mengidentifikasi etiologi diare.
a. Mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC)
4) Memastikan terjadinya KLB Diare TCG terdiri dari unsur lintas program dan lintas
5) Mengetahui distribusi penderita menurut waktu, sektor.
tempat dan orang.
b. Pembetukan Pusat Rehidrasi (Posko KLB Diare)
6) Mengidentifikasi sumber dan cara penularan
Pusat Rehidrasi dibentuk dengan maksud untuk
penyakit diare menampung penderita diare yang memerlukan
7) Mengidentifikasi populasi rentan perawatan dan pengobatan. Pusat Rehidrasi
dipimpin oleh seorang dokter dan dibantu oleh
22
tenaga kesehatan yang dapat melakukan Pra dan Saat KLB
tatalaksana kepada penderita diare. Tempat yang
Setelah KLB/wabah tenang, beberapa kegiatan yang perlu
dapat dijadikan sebagai Pusat Rehidrasi adalah
dilakukan :
tempat yang terdekat dari lokasi KLB diare dan
terpisah dari pemukiman. a. Pengamatan intensif masih dilakukan selama 2
minggu berturut-turut (2 kali masa inkubasi
terpanjang), untuk melihat kemungkinan timbulnya
Tugas-tugas di Pusat Rehidrasi :
kasus baru.
1) Memberikan pengobatan penderita diare
b. Perbaikan sarana lingkungan yang diduga
sesuai dengan tatalaksana standar serta
penyebab penularan.
mencatat perkembangan penderita
c. Promosi kesehatan tentang PHBS
2) Melakukan pencatatan penderita : nama, umur,
jenis kelamin, alamat lengkap, masa inkubasi,
gejala, diagnosa/klasifikasi dan lain-lain. PENCEGAHAN DIARE
3) Mengatur logistik obat–obatan dan lain lain. Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan
efektif yang dapat dilakukan adalah :
4) Pengambilan sampel usap dubur penderita
sebelum diterapi.
Perilaku Sehat
5) Penyuluhan kesehatan kepada penderita dan
1. Pemberian ASI
keluarganya.
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi.
6) Menjaga agar Pusat Rehidrasi tidak menjadi
Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang
sumber penularan (dengan mengawasi
ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
pengunjung, isolasi dan desinfeksi).
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk
7) Membuat laporan harian/mingguan penderita menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak
diare baik rawat jalan maupun rawat inap. ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.
8) Sistem rujukan
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain
seperti susu formula atau cairan lain yang disiapkan
c. Penemuan penderita Diare secara aktif untuk dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi
mencegah kematian di masyarakat, dengan dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa
kegiatan : cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan
1) Penyuluhan intensif agar penderita segera botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan
mencari pertolongan. organisme lain yang akan menyebabkan diare.
2) Mengaktifkan Posyandu sebagai Pos Oralit. Keadaan seperti ini di sebut disusui secara penuh
(memberikan ASI Eksklusif).
3) Melibatkan Kepala Desa/RW/RT atau tokoh
masyarakat untuk membagikan oralit kepada
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka
warganya yang diare berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan dari kehidupannya,
pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan
d. Analisis tatalaksana penderita untuk memperoleh dengan makanan lain (proses menyapih).
gambaran :
1) Ratio pengunaan obat (oralit, Zinc, RL, ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik
antibiotika) dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang
dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan
2) Proporsi derajat dehidrasi terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian
3) Proporsi penderita yang dirawat di Pusat ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih
Rehidrasi. besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang
disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi
4) Dan lain-lain yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab
botol untuk susu formula, berisiko tinggi menyebabkan
diare yang dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk.
23
2. Makanan Pendamping ASI Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi a. Ambil air dari sumber air yang bersih
secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan
b. Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup
orang dewasa. Perilaku pemberian makanan
serta gunakan gayung khusus untuk mengambil air.
pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap
kapan, apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI c. Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang
diberikan. dan untuk mandi anak-anak
d. Minum air yang sudah matang (dimasak sampai
Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian mendidih)
makanan pendamping ASI, yaitu: e. Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan
a. Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur dengan air yang bersih dan cukup.
6 bulan dan dapat teruskan pemberian ASI.
Tambahkan macam makanan setelah anak 4. Mencuci Tangan
berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih
sering (4x sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan
berikan semua makanan yang dimasak dengan perorangan yang penting dalam penularan kuman
diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
baik, 4-6 x sehari, serta teruskan pemberian ASI
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah
bila mungkin.
membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,
b. Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
nasi /bubur dan biji-bijian untuk energi. Tambahkan mempunyai dampak dalam kejadian diare
hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang- ( Menurunkan angka kejadian diare sebesar 47%).
kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna
hijau ke dalam makanannya.
c. Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan 5. Menggunakan Jamban
meyuapi anak. Suapi anak dengan sendok yang Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa
bersih. upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang
d. Masak makanan dengan benar, simpan sisanya besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit diare.
Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus
pada tempat yang dingin dan panaskan dengan
membuat jamban dan keluarga harus buang air besar
benar sebelum diberikan kepada anak.
di jamban.
24
Yang harus diperhatikan oleh keluarga: 3. Sarana Pembuangan Air Limbah
a. Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di jamban Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga
harus dikelola sedemikian rupa agar tidak menjadi
b. Bantu anak buang air besar di tempat yang bersih
sumber penularan penyakit.
dan mudah di jangkau olehnya.
Sarana pembuangan air limbah yang tidak memenuhi
c. Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk
syarat akan menimbulkan bau, mengganggu estetika
membuang tinja seperti di dalam lubang atau di
dan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk dan
kebun kemudian ditimbun.
bersarangnya tikus, kondisi ini dapat berpotensi
d. Bersihkan dengan benar setelah buang air besar menularkan penyakit seperti leptospirosis, filariasis
dan cuci tangan dengan sabun. untuk daerah yang endemis filaria. Bila ada saluran
pembuangan air limbah di halaman, secara rutin harus
dibersihkan, agar air limbah dapat mengalir, sehingga
7. Pemberian Imunisasi Campak tidak menimbulkan bau yang tidak sedap dan tidak
menjadi tempat perindukan nyamuk.
Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting
untuk mencegah agar bayi tidak terkena penyakit
campak. Anak yang sakit campak sering disertai diare,
sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat
mencegah diare. Oleh karena itu berilah imunisasi
campak segera setelah bayi berumur 9 bulan.
PENYEHATAN LINGKUNGAN
1. Penyediaan Air Bersih
Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat
ditularkan melalui air antara lain adalah diare, kolera,
disentri, hepatitis, penyakit kulit, penyakit mata, dan
berbagai penyakit lainnya, maka penyediaan air bersih
baik secara kuantitas dan kualitas mutlak diperlukan
dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk
untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Untuk
mencegah terjadinya penyakit tersebut, penyediaan air
bersih yang cukup disetiap rumah tangga harus
tersedia. Disamping itu perilaku hidup bersih harus
tetap dilaksanakan.
2. Pengelolaan Sampah
Sumber: Buku Panduan Lintas Diare, www.promosikesehatan.com
25
Abstract
Diarrhoeal disease is still a major problem in the world wide, especially in the developing countries. In the 1970 and 1980, the
international community committed itself to reduce child mortality from diarrhea by scaling up the use of oral rehydration therapy-
a low-cost and highly effective solution-coupled with programmes to educate caregivers on its appropriate use. The effort met
with great success. The figure has changed little since 2000. On the other hand, the morbidity of diarrhoeal has increased. This
paper is to review the morbidity and mortality of diarrhoeal disease, since year 2000 -2007, based on data of health services and
community.
The morbidity and mortality diarrhea disease are shown to increase in all age groups, with leading cause of overall morbidity
and leading cause of under five and infant mortality. Diarrhoeal disease affects rich and poor, old and young, and those in de-
veloped and developing countries alike, yet a strong relationship exists between poverty, an unhygienic environment, access to
clean water, health and hygiene behavior
Suggest to develop integrated between program and among related institutions to improve unsanitary environments, availability
suplay and access to clean water, and strategy that ensures all people especially children in need receive critical prevention
and treatment measures.
Keywords : diarrhea, prevalence, incidence rate, mortality rate, morbidity rate, children under 5 years
Pendahuluan
Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan derajat kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai negara teru-
tama di negara berkembang, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian anak di dunia.
Secara umum, diperkirakan lebih dari 10 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahunnya, sekitar 20 % me-
ninggal karena infeksi diare.1,2,3,4 Kematian yang disebabkan diare di antara anak – anak terlihat menurun dalam kurun waktu
lebih dari 50 tahun.4 Meskipun mortalitas dari diare dapat diturunkan dengan program rehidrasi/terapi cairan namun angka ke-
sakitannya masih tetap tinggi. Pada saat ini angka kematian yang disebabkan diare adalah 3,8 per 1000 per tahun, median
insidens secara keseluruhan pada anak usia dibawah 5 tahun adalah 3,2 episode anak per tahun. 4
Setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar kejadian diare pada anak balita, dan hampir tidak ada perubahan dalam dua dekade tera-
khir. Diare pada balita tersebut lebih dari separohnya terjadi di Afrika dan Asia Selatan, dapat mengakibatkan kematian atau
keadaan berat lainnya. Insidens diare bervariasi menurut musim dan umur. Anak-anak adalah kelompok usia rentan terhadap
diare, insiden diare tertinggi pada kelompok anak usia dibawah dua tahun, dan menurun dengan bertambahnya usia anak. 4
The Millenium Development Goals (MDG’s) menargetkan untuk menurunkan dua per tiga kematian anak dalam periode 1990-
2015. Diare menduduki urutan kedua penyebab kematian pada anak 5, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya
angka kematian anak di dunia4,5
Di Indonesia berdasarkan data laporan Surveilan Terpadu Penyakit (STP) puskesmas dan rumah sakit (RS) secara keseluruhan
angka insidens Diare selama kurun waktu lima tahun dari tahun 2002 sampai tahun 2006 cenderung berfluktuasi dari 6,7 per
1000 pada tahun 2002 menjadi 9,6 per 1000 pada tahun 2006 ( angka insiden bervariasi antara 4,5- 25,7 per 1000).6
Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 penyakit diare menduduki urutan ke dua dari penyakit infeksi den-
26
gan angka morbiditas sebesar 4,0% dan mortalitas 3,8%.7 Dilaporkan pula bahwa penyakit Diare menempati urutan tertinggi
penyebab kematian (9,4%) dari seluruh kematian bayi.8
Dari data riset kesehatan dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007, dilaporkan bahwa prevalensi Diare 9,0%, dan diantara
33 provinsi bervariasi antara 4,2% - 18,9%.9
Adanya kesepakatan Internasional pada tahun 1970 dan 1980 untuk menurunkan angka kematian anak akibat Diare meng-
gunakan Oral Rehydration Salts (ORS), merupakan solusi yang efektif dan harga terjangkau. Saat ini hanya 39 % anak-anak
dengan Diare di negara berkembang yang menerima ORS, diteruskan dengan tetap mendapatkan asupan ASI/makanan.
Demikian pula pencapaian MDG’s dalam menurunkan angka kematian anak, dimana dilaporkan bahwa Diare merupakan salah
satu penyebab tingginya angka kematian pada anak. Meskipun mortalitas dari Diare dapat diturunkan dengan program re-
hidrasi/terapi cairan namun angka kesakitannya masih tetap tinggi, serta adanya tujuh rancangan pengendalian Diare dari
UNICEF dan WHO, maka dalam tulisan ini disampaikan kajian morbiditas dan mortalitas diare pada balita dan bayi di Indonesia
dari berbagai penelitian setelah tahun 2000, yang dapat bermanfaat sebagai informasi dalam perencanaan dan pengembang-
an upaya pengendalian Diare di Indonesia.
Morbiditas Diare
Diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan penularan
nya secara fekal-oral. Diare dapat mengenai semua kelompok umur dan berbagai golongan sosial, baik di negara maju mau-
pun di negara berkembang, dan erat hubungannya dengan kemiskinan serta lingkungan yang tidak higienis. 10
Di Indonesia, Diare merupakan penyakit endemis terdapat disepanjang tahun, dan puncak tertinggi pada peralihan musim
peghujan dan kemarau.11
Dari Gambar 1, data berbasis pelayanan kesehatan, setelah tahun 2000 insidens Diare pada semua kelompok umur terlihat
cenderung menurun pada tahun 2002, kemudian terjadi peningkatan dan penurunan yang bervariasi. Fluktuasi angka insidens
ini disebabkan persentasi kelengkapan laporan dari puskesmas dan rumah sakit (RS) yang bervariasi pula dari tahun ke tahun.
Perbedaan ini disebabkan data tidak dikirim ke pusat atau data yang dikirim kurang lengkap, mungkin karena adanya kebijakan
desentralisasi dari pusat termasuk bidang kesehatan pada tahun 2002. Dilaporkan oleh Ditjen PPM&PL, persentase kelengkap-
an laporan dari puskesmas dari tahun 2001-2004 berkisar 13,6%-24,4%, dan dari RS berkisar 15,4%-14,7%.12 Pada tahun
2008, tiga provinsi tidak mengirimkan laporan/data. Dari data STP Puskesmas yang diterima, kasus yang terbanyak adalah
pada kelompok umur 1- 4 tahun.13
Sumber: Data Surveilans 2000-2004 Direktorak Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI 2005;
Buku Data 2006 Subdit. Surveilans Epidemiologi Dit. SEPIM KESMA Ditjen. PP & PL Depkes RI 2007;
Buku Data 2008 Subdit. Surveilans Epidemiologi Dit. SEPIM KESMA Ditjen. PP & PL Depkes RI 2009
Gambar 1: Insidens Diare pada semua kelompok umur tahun 2000-2008
27
Prevalensi Diare pada Balita
Penelitian yang berbasis masyarakat, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan di 33 provinsi pada tahun 2007,
melaporkan bahwa angka nasional prevalensi klinis Diare 9,0%, dengan rentang 4,2% - 18,9%. Beberapa provinsi mempunyai
prevalensi Diare klinis diatas angka nasional (9%) di 14 provinsi, prevalensi tertinggi di NAD dan terendah di DI Yogyakarta.9
Terlihat ada kecenderungan peningkatan prevalensi Diare bila dibandingkan dengan SKRT 2001. Prevalensi Diare pada SKRT
tahun 2001 yaitu 4,0%, pada Riskesdas 2007 dilaporkan prevalensi Diare 9.0%. Prevalensi Diare berdasarkan kelompok umur,
dari SKRT 2001 prevalensi diare pada balita (1-4 tahun) 9,4% dan terlihat tinggi pada Riskesdas 2007 yaitu 16,7%. Demikian
pula pada bayi (<1 tahun), yaitu dari SKRT tahun 2001 prevalensi diare pada balita 9,4%, sedangkan pada Riskesdas 2007
dilaporkan 16,5%.9 Tingginya perbedaan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dilaporkan bahwa Diare berkait an erat
dengan sanitasi, akses terhadap air bersih dan perilaku hidup sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat.
Meningkatkan pengetahuan masyarakat termasuk pengetahuan tentang hygiene kesehatan dan perilaku cuci tangan yang
benar, dapat mengurangi angka kesakitan Diare sebesar 45%.4 Dari Riskesdas 2007, meskipun terdapat 68,9% rumah tangga
memiliki jamban leher angsa, dan angka ini terlihat meningkat tinggi dibanding temuan Susenas tahun 2004 (49,3%) 14 , namun
menurut Joint Monitoring Program WHO/UNICEF, akses sanitasi disebut “baik” yaitu bila rumah tangga menggunakan sarana
pembuangan kotoran sendiri dengan jenis sarana jamban leher angsa hanya 43,0%. Demikian pula penduduk yang berperilaku
benar dalam BAB 71,1% dan mencuci tangan dengan benar 23,2%.9
Menurut Lee Yong-Wok, dengan meningkatkan suplai air bersih dapat mengurangi angka kesakitan Diare 6% - 25%, termasuk
memperhatikan faktor-faktor terkait lainnya.4 Di Indonesia, secara nasional terdapat 16,2% rumah tangga yang pemakaian air
bersihnya masih rendah yaitu 5,4% tidak memiliki akses pada air bersih dan 10,8% akses terhadap air bersih masih kurang,
berarti mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan kesehatan/penyakit.9
Dehidrasi merupakan salah satu komplikasi penyakit diare yang dapat menyebabkan kematian. 5,10,15 Secara nasional, respon-
den diare klinis yang mendapat oralit adalah 42,2%. Dua belas provinsi mempunyai proporsi pemberian oralit kurang dari pro-
porsi nasional, terendah ditemukan di provinsi Banten.9
28
Sumber : RISKESDAS 2007
Gambar 3: Proporsi penderita diare yang mendapat Oralit di Indonesia.
Adanya komitmen secara Internasional untuk menggunakan Oral rehydration salts (ORS) dalam pengendalian Diare secara
efektif dan harga terjangkau, yang telah sukses menurunkan angka kematian balita akibat Diare secara global, namun setelah
tahun 2000 terlihat statis, saat hanya 39% anak balita yang mendapatkan ORS dan dilanjutkan dengan tetap mendapatkan
asupan ASI/makanan hanya terlihat sangat sedikit semenjak tahun 2000.5
Dari Riskesdas 2007, terlihat penggunaan oralit pada Diare ditemukan pada semua kelompok umur, tertinggi pada balita dan
bayi. Kelompok balita dan bayi dengan prevalensi Diare tinggi, tidak selalu diberi oralit. Proporsi yang mendapat oralit pada
kedua kelompok tersebut berturut-turut balita 55,5% dan bayi 52,8%.
29
Penyakit Diare erat hubungannya dengan status ekonomi. 5,10,15 Pada Tabel 1, terlihat prevalensi diare cenderung lebih tinggi
pada kelompok dengan pengeluaran rumah tangga (RT) lebih rendah. Sedangkan yang menggunakan oralit hampir tidak ada
perbedaan diantara kelompok pengeluaran (RT) per kapita. Keadaan ini mungkin kurangnya pemanfaatan pelayanan kese-
hatan bagi masyarakat dengan pengeluaran (RT) rendah.
Tabel 1. Prevalensi responden diare yang menggunakan oralit berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita
Tingkat pengeluaran
per kapita Diare Menggunakan Oralit
Kuintil.1 10,0% 41,8%
Kuintil.2 9,5% 43,0%
Kuintil.3 9,0% 41,5%
Kuintil.4 8,6% 42,2%
Kuintil.5 7,9% 41,9%
Sumber: RISKESDAS 2007
Mortalitas Diare
WHO melaporkan bahwa penyebab utama kematian pada balita adalah Diare (post neonatal) 14% dan Pneumonia (post neo-
natal) 14% kemudian Malaria 8%, penyakit tidak menular (post neonatal) 4% injuri (post neonatal) 3%, HIVAIDS 2%, campak
1% , dan lainnya 13%, dan kematian yang bayi <1 bulan (newborns death) 41%. Kematian pada bayi umur <1 bulan akibat
Diare yaitu 2%.16 Terlihat bahwa Diare sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kematian anak di dunia 4 .
Di Indonesia, penyebab kematian akibat Diare pada semua kelompok umur, dari SKRT tahun 2001 (17%) menduduki urutan ke
2; dari SKRT tahun 2003 (19%) menduduki urutan pertama dan dari Riskesdas 2007 pada penyakit menular (13,2%) men-
duduki urutan ke 4.17 Namun penyebab kematian akibat Diare pada balita pada SKRT 2003 (19%), angka ini ditemukan lebih
tinggi pada Riskesdas 2007 yaitu 25,2% dan menduduki urutan pertama / tertinggi. Demikian pula kelompok umur 29 hari-11
bulan (31,4%), juga menduduki urutan pertama/ tertinggi. Dalam hal ini ditemukan adanya peningkatan yang cukup tinggi pro-
porsi kematian balita akibat Diare. Peningkatan proporsi dapat dikatakan masih kurangnya pemanfaatan sarana pelayanan
kesehatan ( RS, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek dan bidan praktek) oleh masyarakat karena jaraknya jauh
dan waktu tempuh yang lama yaitu masih besarnya proporsi rumah tangga dengan jarak >5 km ke sarana pelayanan kesehatan
di pedesaan , demikian pula proporsi rumah tangga dengan >30 menit. Meskipun di pedesaan proporsi jarak rumah tangga ke
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) jauh lebih besar yaitu 78,9%, yang memanfaatkan posyandu hanya 27,3%. 9
Terlihat masih kurangnya pengetahuan dan perhatian masyarakat terhadap kesehatan.
30
Kesimpulan
Angka insidens Diare berbasis pelayanan kesehatan berfluktuasi dari tahun ke tahun, data yang diperoleh berdasarkan laporan
yang dikirimkan dari RS dan puskesmas. Masih ada daerah yang tidak mengirimkan laporan ke pusat, juga adanya data yang
dikirimkan kurang lengkap.
Berdasarkan informasi berbasis masyarakat yaitu SKRT dan Riskesdas ditemukan prevalensi Diare dari tahun 2001-2007
cenderung meningkat pada semua kelompok umur. Berdasarkan kelompok umur ditemukan peningkatan yang cukup tinggi baik
pada bayi maupun pada balita.
Penggunaan oralit pada Diare ditemukan pada semua kelompok umur, tertinggi pada balita dan bayi. Kelompok balita dan bayi
dengan prevalensi Diare tinggi, tidak selalu diberi oralit. Proporsi yang mendapat oralit pada kedua kelompok tersebut berturut-
turut balita 55,5% dan bayi 52,8%. Hampir tidak ada perbedaan penggunaan oralit berdasarkan pengeluaran rumah tangga per
kapita.
Penyakit Diare erat hubungannya dengan status ekonomi. Prevalensi Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan
pengeluaran rumah tangga (RT) per kapita yang lebih rendah.
Penyebab kematian akibat Diare masih menduduki urutan pertama dibanding penyakit menular lainnya, baik pada bayi maupun
balita.
Saran
Adanya program lintas program dan lintas sektor disertai adanya komitmen dari pemangku jabatan dengan memperhatikan
faktor-faktor terkait. Meningkatkan pengetahuan masyarakat termasuk pengetahuan tentang hygiene kesehatan, termasuk
berperilaku benar dan sehat, terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap suplai air bersih, sarana pembuangan kotoran
sendiri. Adanya sarana dan prasarana dalam pengendalian kejadian Diare di masyarakat.
Mengingat Indonesia adalah daerah endemis Diare, diperlukan sistem data yang sederhana namun mencakup aspek-aspek
yang erat hubungannya dengan Diare dalam upaya perencanaan dan pengembangan upaya pengendalian morbiditas dan mor-
talitas Diare pada masyarakat.
Perlu dilakukan penelitian mengenai mikrobiologi penyebab Diare termasuk epidemiologi Diare sesuai situasi dan kondisi
setempat. Serta pengembangan laboratorium setempat untuk mengetahui mikrobiologi penyebab Diare. Dalam upaya mening-
katkan kualitas pelayanan, dan penentuan terapi yang tepat bagi masyarakat.
31
Daftar Pustaka
1. Black, R.E., Morris, S.S., and Bryce, JWhere and why are 10 million children dying
every year? Lancet . 2003, 361: 2226-2234.
2. Kosek, M., Bern, C., and Guerrant, R.L. The global burden of diarrhoeal disease, as
estimated from studies published between 1992 and 2000. Bull World Health Organ. 2003, 81: 197-204.
3. LEE Jong-wook, Director-General, World Health Organization. Water, sanitation and hygiene
links to health. Facts and figures updated November 2004
4. Parashar, U.D., Hummelman, E.G., Bresee, J.S., Miller, M.A., and Glass, R.I. (2003) Global
illness and deaths caused by rotavirus disease in children. Emerg Infect Dis 9: 565-572.
5. UNICEF-WHO. Diarhoea: Why children are still dying and what can be done. 2009
6. Ditjen.PP & PL. Departeman Kesehatan RI. Dit.Sepim Kesma. Buku data 2006
7. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Survei Kesehatan Rumah tangga 2001.
Laporan Studi mortalitas 2001: Pola Penyebab Kematian di Indonesia. 2002.
8. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Survei
Kesehatan Rumah tangga 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan Disabilitas 2002.
9. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) . 2007.
10. Gerald T. Keusch, Olivier Fontaine, Alok Bhargava. dkk. Diarrheal Diseases. di unduh dari Disease Control Priorities
Project. http://www.dcp2.org/pubs/DCP/19/, 15 Desember 2009
11. Magdarina D Agtini, Rooswanti Soeharno, Murad Lesmana, dkk. The burden of diarrhoea,
shigellosis, and cholera in North Jakarta, Indonesia: findings from 24 months surveillance.
BMC Infectious Diseases 2005, 5:89
12. Ditjen.PPM & PL. Departeman Kesehatan RI. Dit.Sepim Kesma. Data Surveilans 2000- 2004.
13. Ditjen.PPM & PL. Departeman Kesehatan RI. Dit.Sepim Kesma.Buku Data 2008
14. Badan Litbangkes Dep Kes RI. Susenas 2004.
15. WHO. Diarrhoeal disease . August 2009, diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/index.html. 4
Maret 2011
16. Badan Litbangkes Dep Kes RI. SKRT 2003
17. WHO. World Health Statistics 2010: Causes of death .
32
PENDAHULUAN
Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan diare sebagai kejadian buang air besar dengan konsistensi lebih cair dari
biasanya, dengan frekuensi kali atau lebih selama 1 hari atau lebih. Definisi ini lebih menekankan pada konsistensi tinja
daripada frekuensinya. Jika frekuensi BAB meningkat namun konsistensi tinja padat, maka tidak disebut sebagai diare. Bayi
yang menerima ASI eksklusif sering mempunyai tinja yang agak cair, atau seperti pasta; hal ini juga tidak disebut diare. Ibu
biasanya mengetahui kapan anak mereka terkena diare dan dapat menjadi sumber diagnosis kerja yang penting. Diare
menyerang anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Insidensi diare tertinggi pada anak di bawah umur 2 tahun, dan
akan menurun seiring bertambahnya usia.
Diare merupakan masalah kesehatan terutama pada balita baik di tingkat global, regional maupun nasional. Pada tingkat
global, diare menyebabkan 16% kematian, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pneumonia, sedangkan pada tingkat
regional (negara berkembang), diare menyumbang sekitar 18% kematian balita dari 3.070 juta balita. Di Indonesia, diare
menjadi penyebab utama kematian pada balita, yaitu 25,2%, lebih tinggi dibanding pneumonia, 15,5% (Riskesdas, 2007). Hal
ini tentu menjadi masalah yang serius untuk Indonesia dalam rangka mencapai tujuan keempat dari pembangunan milenium
(Millenium Development Goals/MDGs) yaitu menurunkan angka kematian bayi menjadi 2/3 dalam kurun waktu 25 tahun (1990-
2015).
DIARE ROTAVIRUS
ETIOLOGI
Diare merupakan suatu kumpulan dari gejala infeksi pada saluran pencernaan yang dapat disebabkan oleh beberapa
organisme seperti bakteri, virus dan parasit. Beberapa organisme tersebut biasanya menginfeksi saluran pencernaan manusia
melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh organisme tersebut (food borne disease).
Organisme penyebab diare biasanya berbentuk renik dan mampu menimbulkan diare yang dapat dibedakan menjadi 3 jenis
berdasarkan gejala klinisnya. Jenis yang pertama adalah diare cair akut dimana balita akan kehilangan cairan tubuh dalam
jumlah yang besar sehingga mampu menyebabkan dehidrasi dalam waktu yang cepat. Jenis kedua adalah diare akut berdarah
yang sering disebut dengan disentri. Diare ini ditandai dengan adanya darah dalam tinja yang disebabkan akibat kerusakan
usus. Balita yang menderita diare berdarah akan menyebabkan kehilangan zat gizi yang berdampak pada penurunan status
gizi. Jenis yang ketiga adalah diare persisten dimana kejadian diare dapat berlangsung ≥14 hari. Diare jenis ini sering terjadi
pada anak dengan status gizi rendah, AIDS, dan anak dalam kondisi infeksi (WHO, 2010).
Beberapa jenis diare tersebut sering disebabkan oleh organisme renik seperti bakteri dan virus. Bakteri patogen seperti E.coli,
Shigella, Campylobacter, Salmonella dan Vibrio cholera merupakan beberapa contoh bakteri patogen yang menyebabkan
epidemi diare pada anak. Kolera merupakan salah satu contoh kasus epidemik dan sering diidentikkan dengan penyebabkan
kematian utama pada anak. Namun sebagian besar kejadian diare yang disebabkan oleh kolera terjadi pada dewasa dan anak
dengan usia yang lebih besar. Diare cair pada anak sebagian besar disebabkan oleh infeksi rotavirus , V. cholera dan E.coli.
Diare berdarah paling sering disebabkan oleh Shigela (UNICEF dan WHO, 2009). Sedangkan diare cair akut pada anak di
bawah lima tahun paling banyak disebabkan oleh infeksi rotavirus.
33
Gambar1. Kematian anak akibat diare rotavirus pada tahun 2004, sebesar 527.000 jiwa (WHO, 2005)
EPIDEMIOLOGI ROTAVIRUS
Rotavirus merupakan penyebab utama diare dengan dehidrasi berat pada anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia. Sebuah studi
metaanalisis yang dilakukan oleh Parashar et al. (2009) menunjukkan bahwa infeksi rotavirus dapat menyebabkan 114 juta
episode diare, 24 juta kunjungan rawat jalan, 2,4 juta kunjungan rawat inap dan 610.000 kematian balita pada tahun 2004.
Diperkirakan 82% kematian akibat diare rotavirus terjadi pada negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, dimana akses
kesehatan dan status gizi masih menjadi masalah (Binka et al., 2003).
Kajian ARSN (Asian Rotavirus Surveillance Networks) kedua yang dilakukan di beberapa negara di Asia (Cina, Taiwan,
Hongkong, Vietnam, Myanmar, Thailand, Malaysia dan Indonesia) mendapatkan hasil bahwa infeksi rotavirus bertanggung
jawab terhadap 45% kejadian diare di Asia (Nelson et al., 2008). Hongkong merupakan daerah dengan prevalensi rotavirus
terendah (28%), sedangkan prevalensi tertinggi terdapat di negara Vietnam (59%). Namun demikian temuan ini perlu dikaji lebih
lanjut, oleh karena angka-angka tersebut merupakan hasil surveilans pada rumah sakit, dengan indikasi rawat inap pasien yang
berbeda, sedangkan sebagian besar diare rotavirus dibuktikan secara konklusif, bahwa bentuk diare dan dehidrasinya berat.
Dengan demikian, di rumah sakit yang kriteria rawat inap bukan hanya berdasar pada diare dan dehidrasi berat saja, maka
prevalensi rotavirusnya rendah.
Gambar 2. Persentasi kejadian infeksi rotavirus di beberapa Negara di Asia (Bresee, 2004)
34
Survei yang dilakukan di 6 rumah sakit di Indonesia dengan masa inkubasi 24-72 jam. Gejala yang timbul
melaporkan bahwa rotavirus bertanggung jawab terhadap bervariasi dari ringan sampai berat, didahului oleh muntah
60% angka kejadian diare. Pada survei rumah sakit -muntah yang diikuti 4-8 hari diare hebat yang dapat
tersebut ditunjukkan, bahwa kejadian diare rotavirus terjadi menyebabkan dehidrasi berat dan berujung pada
sepanjang tahun, dengan kejadian tertinggi pada musim kematian.
panas dan kering, yaitu sekitar bulan Juni-Agustus. Diare
karena rotavirus umumnya menyerang anak pada Sebuah studi yang dilakukan oleh Sungkapalee et al.
kelompok umur 6-24 bulan, dengan puncaknya pada usia (2006) pada 103 anak positif rotavirus menunjukkan
9-12 bulan. Bayi prematur, kelompok usia lanjut, dan orang bahwa gejala klinis dari infeksi rotavirus meliputi diare cair
dengan gangguan sistem imun rentan terhadap infeksi akut (79,6%), demam (81,5%), mual atau muntah (80,6%).
rotavirus. Nguyen et al. (2004) menunjukkan bahwa gejala klinis dari
infeksi rotavirus adalah gabungan antara demam, muntah
dan dehidrasi (42%), muntah-dehidrasi (20%) dan demam-
dehidrasi (14%). Studi yang dilakukan oleh Soenarto et al.
(2009) menunjukkan hal yang hampir sama bahwa anak
dengan infeksi rotavirus mengalami dehidrasi dan muntah
yang lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan anak
diare yang tidak ditemukan rotavirus pada tinjanya.
DIAGNOSIS
Diagnosis rotavirus merupakan salah satu hal yang sulit,
namun bukan mustahil untuk dilakukan. Diagnosis
rotavirus dapat dilakukan dengan melihat gejala
berdasarkan manifestasi klinis penderita atau pemeriksaan
penunjang yang sifatnya tidak spesifik. Pengujian kadar
enzim (Enzyme Linked Immunosorbent Assay/ELISA) dan
aglutinasi lateks merupakan metode yang dapat digunakan
sebagai deteksi antigen rotavirus pada tinja dan telah
Gambar 3. Pengaruh musim terhadap diare rotavirus pada enam dipasarkan secara luas. Kedua jenis pemeriksaan tersebut
rumah sakit di Indonesia (Soenarto et al., 2009) memiliki spesifisitas yang tinggi.
35
PENANGANAN
Penanganan diare rotavirus mengikuti manajemen utama VAKSIN ROTAVIRUS
diare yang disosialisasikan oleh DepKes dan IDAI, yaitu Infeksi pertama rotavirus akan menimbulkan kekebalan
“Lima Langkah Tuntaskan Diare” (LINTAS DIARE) yang terhadap infeksi rotavirus selanjutnya, dan dapat
mencakup: (1) Oralit formula baru (2) Pemberian zink melindungi terhadap infeksi rotavirus dengan strain yang
selama 10 hari (3) Melanjutkan pemberian ASI dan berbeda. Hal ini menjadi dasar pemikiran pembuatan
makanan (4) Pemberian antibiotik selektif sesuai indikasi vaksin untuk menginduksi kekebalan terhadap rotavirus.
dan (5) Konseling ibu. Untuk diare yang disebabkan oleh Vaksin rotavirus yang pertama kali dikeluarkan di dunia
rotavirus (tinja tanpa darah, muntah dan dehidrasi berat, pada tahun 1998 di Amerika Serikat, Rotashield,
diare berat, demam), tentu saja antibiotik tidak diberikan. menunjukkan perlindungan sebesar 80% dalam mencegah
Berdasarkan penelitian di rumah sakit Sardjito, dengan diare berat pada anak yang divaksinasi. Vaksin ini
pemberian zink, pasien dan dokter merasa puas karena kemudian ditarik dari peredaran oleh pabriknya karena
pasien merasa diberikan obat dan cepat sembuh. Namun dugaan kaitan dengan peningkatan risiko intususepsi
demikian, perlu ditekankan pentingnya meneruskan zink (sumbatan usus yang terjadi karena ‘melipatnya’ bagian
sampai 10 hari untuk mencegah berulangnya diare pada 3 usus ke dalam rongga usus itu sendiri), yang ditemukan <1
bulan mendatang. Tatalaksana tersebut berhasil kejadian dari 10.000 anak. (WHO, 2009).
menurunkan angka kematian, namun belum bisa
menurunkan angka kejadian diare. Pada tahun 2006, 2 vaksin rotavirus baru diedarkan,
setelah penelitian-penelitian membuktikan efikasi dan
Perbaikan status dehidrasi sangat penting untuk keamanannya di sejumlah negara-negara menengah ke
menghindari kematian, dengan mengganti cairan dan atas dan juga di negara-negara Asia Afrika. Vaksin
garam yang hilang, sampai perjalanan alamiah penyakit Rotarix® (GlaxoSmithKline) merupakan vaksin hidup pada
berhenti dengan sendirinya. Pada kasus-kasus yang lebih manusia yang dilemahkan. Vaksin ini diketahui secara
parah, muntah-muntah yang sering akan menghambat efektif menurunkan kejadian diare rotavirus sebesar 57%
terapi rehidrasi secara oral. Anak yang tidak dapat minum dan mempunyai efek proteksi lebih dari 70%. Vaksin ini
membutuhkan terapi intravena segera, jika pemberian diberikan secara oral dalam 2 dosis (106 cfu/ml/dosis)
cairan melalui nasogastrik juga tidak dapat dilakukan. dengan rentang waktu 8 minggu setiap pemberian vaksin.
Dosis pertama diberikan pada rentang usia 6-14 minggu,
Walaupun sebagian besar diare dapat ditangani di rumah dan dosis kedua pada umur 24 minggu. Vaksin Rotavirus
oleh orang tua pasien, sekitar 1 dari 65 kasus diare lainnya yang mengandung 5 strain rotavirus dikembangkan
rotavirus membutuhkan rawat inap di rumah sakit untuk dari serum manusia dan bovine (sapi), vaksin ini lebih
pemberian cairan intravena. Di negara-negara berkembang dikenal dengan nama RotaTeq® (Merck). RotaTeq®
dan miskin yang kekurangan rumah sakit dan fasilitas dilaporkan mempunyai efek perlindungan lebih dari 90%.
pemberian cairan lewat naso gastric tube atau intravena, RotaTeq diberikan secara oral dan dilakukan dalam 3
angka kematian dapat menjadi tinggi. Pencegahan dosis. Jarak pemberian antar dosis berkisar 4-10 minggu
penyakit adalah langkah terbaik untuk melindungi anak- sejak pemberian dosis pertama. Dosis pertama diberikan
anak di negara miskin. pada saat bayi berumur 1,5 bulan. Dosis ketiga maksimal
diberikan pada usia 8 bulan. Rotarix® dan RotaTeq® dapat
Status sosial ekonomi, hygiene dan pemberian makanan diberikan secara bersamaan dengan vaksin-vaksin lain
yang baik, termasuk pemberian ASI, berkaitan dengan pada anak, tanpa mengurangi efektivitasnya.
insidensi diare. Hasil penelitian melaporkan, tidak seperti Kontraindikasi diberikannya vaksin adalah hipersensitivitas
diare pada umumnya, khususnya pada disentri dimana terhadap komponen vaksin dan penderita SCID (Severe
cuci tangan dengan air mengalir dan sabun dapat secara Combined Immunodeficiency Disease). Sedangkan
bermakna menurunkan kejadian diare, pada diare rotavirus kejadian ikutan paska imunisasi yang dilaporkan adalah
tidak demikian halnya. Di negara maju dimana tingkat demam, tinja berdarah, muntah, diare, nyeri perut,
hygiene dan sanitasi tinggi, infeksi rotavirus masih tinggi. gastroenteritis, dan dehidrasi.
Oleh karena itu, dipercaya bahwa diare rotavirus tidak
dapat diatasi dengan upaya preventif standar saja. Sayangnya kedua vaksin rotavirus tersebut harganya
masih mahal. Walau GAVI (The Global Alliance for
Tingginya angka kejadian diare akibat rotavirus, serta Vaccines and Immunization) memberi bantuan kepada
tingginya angka kematian akibat diare rotavirus, yang tidak negara berpenghasilan rendah dalam pengadaan vaksin
dapat diatasi hanya dengan menjaga hygiene dan sanitasi, rotavirus, masih perlu dipikirkan kelangsungan programnya
menuntut adanya terobosan baru dalam mengatasi apabila dukungan dihentikan.
masalah kesehatan akibat rotavirus, yaitu dengan vaksin.
36
Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan berbagai alternatif pembuatan vaksin baru, yang lebih ekonomis, dan
berhasil guna yang lebih sesuai untuk negara-negara berkembang. Vaksin-vaksin baru terhadap rotavirus yang sedang
dikembangkan di dunia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Jenis Vaksin Perusahaan Farmasi/ Tim Peneliti Tahap penelitian
Lamb, derived, live attenuated Lanzhou Ins. China Used in China;controlled phase III pending
Live human neonatal strain, oral Australia-Indonesia Phase I, Early phase II
(RV3)
Live attenuated, human neonatal India and PATH Phase I
strains, oral
RV VLPs Various research groups Preclinical
Sebuah inovasi alternatif pembuatan vaksin baru sedang dikembangkan melalui kerjasama Australia Indonesia, yaitu vaksin
oral RV3. Vaksin ini diharapkan memiliki harga terjangkau dan dapat memenuhi kebutuhan anak-anak di Indonesia serta
negara-negara berkembang lainnya. Vaksin ini berasal dari strain rotavirus yang ditemukan secara alami pada neonatus sehat,
sehingga dapat diberikan sejak lahir. Hal ini menguntungkan karena: (1) Melindungi terhadap infeksi rotavirus sedini mungkin
(infeksi pertama rotavirus biasanya terjadi pada usia 3 bulan), (2) mencegah risiko terjadinya intususepsi dan kejadian ikutan
paska imunisasi lainnya (KIPI), karena diisolasi dari neonatus sehat, dan juga karena kejadian alami intususepsi itu sendiri
sangat rendah pada usia kurang dari 3 bulan, dan (3) meningkatkan cakupan imunisasi.
Pada bulan April 2009, WHO merekomendasikan semua lembaga kesehatan di dunia untuk memberikan vaksinasi rotavirus
pada program imunisasi nasional. WHO menyatakan bahwa pengembangan vaksin rotavirus yang aman dan terjangkau harus
menjadi prioritas internasional dan WHO mendukung penuh kolaborasi Australia dan Indonesia dalam pengembangan vaksin
RV3. Beberapa tahun sejak ditemukannya rotavirus oleh Prof. Ruth Bishop; Indonesia, melalui Fakultas Kedokteran UGM telah
membangun kerjasama dalam melakukan surveilans rotavirus di Indonesia, dan telah menjadi anggota Asian Rotavirus
Surveillance Network yang didukung oleh WHO, US Centre for Disease Control (CDC), Program in Appropiate Technology in
Health (PATH), dengan banyak institusi lain. Di Indonesia sejak tahun 2005 telah dibentuk IRSN (Indonesian Rotavirus
Surveillance Network) yang beranggotakan: RS. Muhammad Husein, Palembang; RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta; RS.
Hasan Sadikin, Bandung; RSUP Sardjito, Yogyakarta; RSUD Wirosaban, Yogyakarta; RSUD Purworejo, Jawa Tengah; RS.
Sanglah, Bali; dan RSU. Mataram, Lombok. Pada tahun 2006, di keenam rumah sakit ini telah dilakukan surveilans untuk
mengetahui karakteristik infeksi rotavirus yang beredar di Indonesia.
Pengembangan vaksin rotavirus sangat penting bagi Indonesia agar dapat menurunkan kematian pada anak dan mencapai
MDG4. Dari sebuah studi kohort yang melibatkan 4,2 juta anak Indonesia, diperkirakan bahwa adanya imunisasi rutin dengan
vaksin Rotavirus dapat mencegah 8148 kematian, 176.375 kasus rawat inap dan 488.547 rawat jalan karena diare di Indonesia.
Kerjasama antara Academician-Business-Government (ABG) sangat menguntungkan untuk kesuksesan pengembangan vaksin
di Indonesia ini. Pada beberapa bulan terakhir ini, salah satu vaksin rotavirus telah disetujui ijin edarnya di Indonesia, dengan
harga yang sudah mengalami penurunan.
Pemberian vaksin rotavirus adalah salah satu dari 7 langkah yang direkomendasikan WHO untuk pengendalian diare secara
komprehensif. Langkah-langkah lainnya adalah: penggantian cairan untuk mencegah dehidrasi, terapi zink, vaksinasi rotavirus
dan campak, ASI eksklusif dan suplementasi vitamin A, membiasakan cuci tangan dengan sabun, meningkatkan suplai air
bersih, dan peningkatan sanitasi komunitas.
Pemberian vaksin rotavirus secepatnya secara global tidak hanya akan mencegah diare berat dan dehidrasi pada anak, tetapi
dapat pula memperkuat aspek pengendalian diare. Orang tua dan komunitas perlu mengerti bahwa vaksin baru ini hanya
mencegah sebagian dari seluruh penyakit diare, dan edukasi tentang vaksin harus mencakup strategi pencegahan lainnya
termasuk pengobatan yang bisa dilakukan di rumah dan kapan harus mencari pertolongan medis.
ACKNOWLEDGEMENT
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Kristy Iskandar, PhD dan Rio Jati Kusuma, S. Gz dari Kantor Penelitian Bagian
Anak Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr. Sardjito atas kontribusinya dalam penyusunan buletin ini.
37
REFERENSI
1. Angel J, Franco MA, Greenberg HB. “Rotavirus vaccines: recent developments and future considerations.” (Nat Rev Microbiol.) Jul;5
(7):529-39 ( 2007).Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.
2. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update.Dipresentasikan pada Seminar on Vaccinology Update, Kinabalu
3. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.
4. Barnes GL, Lund JS, Mitchell SV, De Bruyn L, Piggford L, Smith AL, Furmedge J, Masendycz PJ, Bugg HC, Bogdanovic-Sakran N,
Carlin JB, Bishop RF. “Early phase II trial of human rotavirus vaccine candidate RV3.” (Vaccine. Jul 26;20(23-24):2950-6) 2002.
5. Bresee J, Fang ZY, Wang B, Nelson EA, Tam J, Soenarto Y, Wilopo SA, Kilgore P, Kim JS, Kang JO, Lan WS, Gaik CL, Moe K, Chen
KT, Jiraphongsa C, Ponguswanna Y, Nguyen VM, Phan VT, Le TL, Hummelman E, Gentsch JR, Glass R, dan Asian Rotavirus
Surveillance Network. “First report from the Asian Rotavirus Surveillance Network.” (Emerg Infect Dis.Jun;10(6):988-95. Review) 2004 .
6. Binka, F.N.; Anto, F.K.; Oduro, A.R.; Awini, E.A.; Nazzar, A.K.; Armah, G.E.; Asmah, R.H.; Hall, A.J.; Cutts, F.; Alexander, N.; Brown, D.;
Green, J.; Gray, J.; Itturiza-Gomara, M.; Navrongo Rotavirus Research Group. Incidence and risk factors of paediatric rotavirus diarrhoea
in northern Ghana. Trop Med Int Health 2003; 8(9):840-846.
7. Chan J, Nirwati H, Triasih R, Bogdanovic-Sakran N, Soenarto Y, Hakimi M, Duke T, Buttery JP, Bines JE, Bishop RF, Kirkwood CD,
Danchin MD. “Maternal antibodies to rotavirus: Could they interfere with live rotavirus vaccines in developing countries?” (Vaccine. Feb
1;29(6):1242-7. Epub 2010 Dec 13.) 2011.
8. E.A.S. Nelsona, ∗, J.S. Breseeb, U.D. Parasharb, M.-A. Widdowsonb, R.I. Glassc,. “Rotavirus epidemiology: The Asian Rotavirus
Surveillance Network.” Vaccine 26 (2008) 3192–3196 (t.thn.).
9. Fang, Z.Y.; Wang, B.; Breese, J.S.; Zhang, L.J.; Sun, L.W.; Du, Z.Q.; Tang, J.Y.; Hou, A.C.; Shen, H.; Song, X.B.; Nyambat, B.;
Hummelman, E.; Xu, Z.Y.; Glass, R.I. Sentinel hospital surveillance for rotavirus diarrhea in the People's Republic of China, August 2001
-July 2003. J Infect Dis 2005; Sep 1;192 Suppl 1:S94-9.
10. Juana Angel, Manuel A. Franco and Harry B. Greenberg. “Rotavirus vaccines: recent developments and future consideration.” (Nature
Reviews Microbiology) 5:529–539 (2007).
11. Linhares AC, Gabbay YB, Mascarenhas JD, Freitas RB, Flewett TH, Beards GM. “Epidemiology of rotavirus subgroups and serotypes in
Belem, Brazil: a three-year study.” (Ann. Inst. Pasteur Virol. 139 (1): 89–99) 1988.
12. Nelson EA, Bresee JS, Parashar UD, Widdowson MA, Glass RI, dan Asian Rotavirus Surveillance Network. “Rotavirus epidemiology: the
Asian Rotavirus Surveillance Network.” Vaccine. Jun 19;26(26):3192-6. Epub 2008 May 15. Review ( 2008).
13. Parashar, U.D., Gibson, C.J.; Bresse, J.S., Glass, R.I. Rotavirus and severe childhood diarrhea. Emerg Infect Dis 2006; 12(2): 304-306.
14. Parashar, U.D.; Burton, A.; Lanata, C.; Boschi-Pinto, C.; Shibuya, K.; Steele, D.; Birmingham, M.; Glass, R.I. Global Mortality Associated
With Rotavirus Disease Among Children in 2004. J Infec Dis 2009, 200 Suppl 1: S9-S15.
15. PH, Dennehy. Transmission of rotavirus and other enteric pathogens in the home . Pediatr. Infect. Dis. J. 19 (10 Suppl): S103–5, 2000.
16. Putnam SD, Sedyaningsih ER, Listiyaningsih E, Pulungsih SP, Komalarini, Soenarto Y, Salim OCh, Subekti D, Riddle MS, Burgess TH,
Blair PJ. “Group A rotavirus-associated diarrhea in children seeking treatment in Indonesia.” (J Clin Virol. Dec;40(4):289-94. Epub 2007
Oct 30) 2007.
17. Ramig, R.F. Minireview. Pathogenesis of Intestinal and Systemic Rotavirus Infection. Journal of Virology 2004; 78(19): 10213-10220.
18. Sadeghian, A.; Hamedi, A.; Sadeghian, M. and Sadeghian, H. Incidence of Rotavirus Diarrhea in Children Under 6 Years Reffered to the
Pediatric Emergency and Clinic of Ghaem Hospital, Mashhad, Iran. Acta Medica Iranica 2010; 48(4): 263-265.
19. Soenarto Y, Aman AT, Bakri A, Waluya H, Firmansyah A, Kadim M, Martiza I, Prasetyo D, Mulyani NS, Widowati T, Soetjiningsih,
Karyana IP, Sukardi W, Bresee J, Widdowson MA. “Burden of Severe Rotavirus Diarrhea in Indonesia.” (The Journal of Infectious
Diseases 200:S188–94) 2009.
20. Soenarto Y, Aman AT, Bakri A, Waluya WHO. External Review of Burden of Disease Attributable to Rotavirus. 2005
21. Sungkapalee, T., Puntukosit, P., Eunsuwan, O., Theamboonlers, A., Chongsrisawat, V., Poovorawan, Y. Incidence and clinical
manifestations of rotavirus infection among children with acute diarrhea admitted at Buri Ram Hospital, Thailand. Southeast Asian J Trop
Med Public Health. 2006 Nov;37(6):1125-31.
22. H, Firmansyah A, Kadim M, Martiza I, Prasetyo D, Mulyani NS, Widowati T, Soetjiningsih, Karyana IP, Sukardi W, Bresee J, Widdowson
MA. “Burden of Severe Rotavirus Diarrhea in Indonesia.” (The Journal of Infectious Diseases 200:S188–94) 2009.
23. Velázquez FR, Matson DO, Calva JJ, Guerrero L, Morrow AL, Carter-Campbell S, Glass RI, Estes MK, Pickering LK, Ruiz-Palacios GM.
“Rotavirus infections in infants as protection against subsequent infections.” (N. Engl. J. Med. 335 (14): 1022–8) 1996.
24. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A, De Vos B. Safety and immunogenocity of RIX4414 live
attenuated human rotavirus vaccine in adults, toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836- 42.
25. WHO. 2006. Estimated rotavirus deaths for children under 5 years of age: 2004, 527 000.Available at http://www.who.int/
immunization_monitoring/burden/rotavirus_estimates/en/index.html. Accessed on 25 February 2011
26. WHO. Rotavirus vaccines win global recommendation. Nature, 2009.
27. WHO. Recommendation on global use of rotavirus vaccine. Weekly Epidemiological record, no.23, June 2009
28. WHO. 2009. Post-marketing surveillance of rotavirus vaccine safety. available from www.who.int/vaccines-documents. Accessed on 28
February 2011
29. Wilopo SA, Kilgore P, Kosen S, Soenarto Y, Aminah S, Cahyono A, Ulfa M, Tholib A. “Economic evaluation of a routine rotavirus
vaccination programme in Indonesia.” Vaccine. Nov 20;27 Suppl 5:F67-74 (2009).
30. Wilopo SA, Soenarto Y, Bresee JS, Tholib A, Aminah S, Cahyono A, Gentsch JR, Kilgore P, Glass RI. “Rotavirus surveillance to
determine disease burden and epidemiology in Java, Indonesia, August 2001 through April 2004.” Vaccine.Nov 20;27 Suppl 5:F61-6
( 2009 ).
38
Hindari makanan dan minu-
man yang tidak bersih
Kontributor:
1. dr. H. Mohamad Subuh, MPPM
2. dr. Wiendra Waworuntu, MKM
3. dr. Sila Wiweka, Sp.P
4. dr. Iman Firmansyah, Sp.PD
5. dr. Dewi M, Sp.A
6. Dr. dr. Vivi Setyawati, M.Biomed
7. dr. Sholah Imari, M.Kes
8. dr. Ratna Budi Hapsari, MKM
9. dr. Elvieda Sariwati, M.Epid
10. dr. Dyah Armi R., MARS
11. dr. Irawati
12. Tulus Riyanto, SKM., MSc.
13. dr. Sinurtina Sihombing, M.Kes
14. dr. Soitawati, M.Epid
15. Rosmaniar, S.Kep., M.Kes
16. Eka Muhiriyah, S.Pd., M.Kes
17. Syamsu Alam, SKM., M.Epid.
18. Ali Mustaqim, SKM
19. Lia Septiana SKM., M.Kes
20. dr. Lanny Luhukay
21. dr. Sholiha Widiastuti, M.Epid
Editor:
1. dr. Ratna Budi Hapsari, MKM
2. Rosmaniar, S.Kep., M.Kes
3. Eka Muhiriyah, S.Pd., M.Kes
4. dr. Listiana Aziza
5. Maulidiah Ihsan, SKM
6. Adistikah Aqmarina, SKM
7. Sofya Umi Labiba
8. Dwi Annisa Fajria
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya, pedoman kesiapsiagaan menghadapi penyakit virus
Ebola selesai direvisi.
DAFTAR ISI
A. LATAR BELAKANG…................................................. 11
B. TUJUAN...................................................................... 13
C. RUANG LINGKUP ...................................................... 14
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
DAFTAR SINGKATAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit virus Ebola (PVE) adalah salah satu dari
penyakit yang gejala klinisnya demam dengan perdarahan
yang banyak mengakibatkan kematian pada manusia dan
primata (seperti monyet, gorila, dan simpanse) dengan Case
Fatality Rate (CFR) mencapai 90%. Gejalanya berupa
demam, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, lemah, diare,
muntah, sakit perut, kurang nafsu makan, dan perdarahan
yang tidak biasa. Gejala paling banyak muncul sekitar 8-10
hari setelah terpapar virus Ebola. Virus ini menular melalui
darah dan cairan tubuh lainnya (termasuk feses, saliva,
urine, bekas muntahan dan sperma) dari hewan atau
manusia yang terinfeksi virus Ebola. Virus ini dapat masuk ke
tubuh orang lain melalui kulit yang terluka atau melalui
membran mukosa yang tidak terlindungi seperti mata, hidung
dan mulut. Virus ini juga dapat menyebar melalui jarum suntik
dan infus yang telah terkontaminasi. Kelompok yang paling
berisiko adalah keluarga, teman, rekan kerja dan petugas
medis.
Enam negara di Afrika Barat yang mengalami kejadian
luar biasa (KLB) yaitu Liberia, Guinea, Sierra Leone, Nigeria,
Sinegal, dan Mali dengan jumlah kasus 28.652, 11.325
kematian, dengan total kematian/ total kasus 39,52% (data
WHO per 10 Juni 2016). Penyakit virus Ebola yang berjangkit
di negara – negara di Afrika Barat merupakan kejadian luar
B. TUJUAN
Umum :
Mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit virus Ebola
di Indonesia
Khusus :
• Terlaksananya kesiapsiagaan menghadapi penyakit virus
Ebola.
• Terlaksananya deteksi dini kasus dan penelusuran kontak.
• Terlaksananya isolasi dan tatalaksana kasus sesuai standar.
C. RUANG LINGKUP
Pedoman ini menjadi panduan petugas kesehatan dalam
melakukan kewaspadaan dini dan respon yang adekuat dalam
upaya mencegah dan mengendalikan penyakit virus Ebola,
terdiri dari 6 komponen yaitu:
1. Komando dan koordinasi
2. Surveilans
3. Tatalaksana kasus
4. Pengambilan, pengepakan, pengiriman spesimen dan
pemeriksaan laboratorium
5. Pencegahan dan pengendalian infeksi
6. Komunikasi risiko;
Pedoman ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana kontijensi Penyakit virus Ebola.
BAB II
KOMANDO DAN KOORDINASI
BAB III
SURVEILANS
A. PENGERTIAN
1. Kasus
a. Kasus dalam investigasi
1) Setiap orang yang memiliki gejala demam ( 38 C)
disertai minimal 3 gejala berikut:
• sakit kepala
• muntah (vomit)
• tidak nafsu makan (loss of appetite)
• diare (berdarah / tidak berdarah)
• lemah (weakness)
• nyeri perut
• nyeri otot (myalgia)
• sesak napas
• nyeri tenggorokan (throat pain)
• cegukan (hiccup)
Atau:
2) Setiap orang dengan perdarahan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya.
Atau:
b. Kasus konfirmasi
Kasus dalam investigasi dengan hasil pemeriksaan
Polymerase Chain Reaction (PCR) positif oleh
Laboratorium Balitbangkes.
Bukan Kasus: Setiap kasus dalam investigasi dengan
hasil laboratorium NEGATIF.
3. Klaster
Adalah bila terdapat dua orang atau lebih dengan gejala
penyakit virus Ebola, dan mempunyai riwayat kontak yang
sama dalam jangka waktu 21 hari. Kontak dapat terjadi pada
keluarga atau rumah tangga, dan berbagai tempat lain seperti
rumah sakit, ruang kelas, tempat kerja, barak militer, tempat
rekreasi, dan lainnya.
4. Kontak
Kontak adalah setiap orang (termasuk petugas kesehatan di
sarana pelayanan kesehatan dan komunitas) yang terpapar
5. Analisis risiko
Analisis risiko adalah penilaian risiko penularan pada
pelaku perjalanan dari daerah atau negara terjangkit. Pada
pelaku perjalanan dari daerah atau negara terjangkit,
analisis risiko dilakukan pada kesempatan pertama
pertemuan dengan pelaku perjalanan tersebut, baik di pintu
masuk negara maupun di wilayah menggunakan Form
Penilaian Risiko Terinfeksi (Form PVE-AR). Analisis risiko
dapat juga dilakukan pada orang yang akan berpergian ke
daerah atau negara terjangkit, sebagai bentuk komunikasi
risiko kepada yang bersangkutan.
Analisis risiko mencakup 3 aspek penilaian:
a. Riwayat perjalanan
b. Kegiatan selama berada di daerah/ negara terjangkit
c. Ada tidaknya tanda dan gejala PVE.
c. Risiko rendah
d. Risiko sedang
e. Risiko tinggi
Kriteria masing-masing tingkat risiko penularan secara rinci
terlampir.
melalui PHEOC.
Secara umum, pengawasan kedatangan terhadap orang,
barang dan alat angkut yang berpotensi membawa
c. Respon
1) Kasus di Pesawat
Jika terdapat penumpang dengan tanda dan gejala
sesuai kriteria kasus dalam investigasi, lakukan
langkah berikut:
a) Respon terhadap penumpang
- Awak pesawat memberikan pengumuman
kepada seluruh penumpang bahwa akan
dilakukan penanganan kesehatan oleh Petugas
KKP.
- Kontak kasus PVE dalam investigasi dan awak
pesawat yang menangani kasus menggunakan
masker dan antiseptik
- Penumpang/awak turun ke ruang tunggu yang
telah ditentukan yang terisolir dari ruang publik
untuk dilakukan pengawasan dengan
menggunakan alat pemindai suhu tubuh.
- Pemeriksaan Health Declaration Form dan atau
Health Allert Card (HAC) yang telah dibagikan di
pesawat. Bila crew/penumpang belum memiliki
HAC maka dibagikan HAC untuk diisi.
- Seluruh penumpang dan crew harus tetap berada
di ruang tunggu tersebut sampai pemeriksaan
c. Respon
1) Puskesmas
• Melakukan tatalaksana dan rujukan sesuai dengan
SOP bila menemukan kasus dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pengendalian infeksi.
• Melaporkan kasus dalam waktu <24 jam ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
• Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan penyelidikan
epidemiologi untuk mendapatkan kasus tambahan
dan identifikasi kontak.
• Melakukan pemantauan terhadap kontak kasus
penyakit virus Ebola dalam waktu 21 hari sejak
kontak terakhir.
• Melakukan komunikasi risiko terhadap masyarakat.
2) Rumah Sakit
• Melakukan tatalaksana kasus sesuai manifestasi
klinis yang muncul pada kasus.
49
Gambar 3.1 Alur Penemuan Kasus Di Pintu Masuk Negara
ALUR PENEMUAN KASUS PENYAKIT VIRUS EBOLA DI WILAYAH
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola
BAB IV
TATALAKSANA KASUS
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Penegakan Diagnosis PVE
Untuk diagnosis pasti PVE dilakukan pemeriksaan PCR,
sampel dikirim ke Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) sesuai dengan prosedur BAB V.
Bahan pemeriksaannya adalah:
B. TATALAKSANA KASUS
1. Di RS Non Rujukan/Fasyankes/KKP
Bila menemukan pasien sesuai dengan definisi kasus PVE
(membawa HAC), segera lakukan:
a. Isolasi pasien
b. Petugas memakai APD
c. Segera memberikan penjelasan kepada pasien/keluarga
tentang penyakitnya dan membuat informed consent
yang ditandatangani oleh keluarga dan pasien
d. Dokter membuat surat rujukan dan berkomunikasi
(termasuk tatacara transportasi pasien) dengan dokter
RS Rujukan tentang proses rujukan
e. Melakukan tatalaksana kedaruratan yang ditemukan
sebelum dirujuk
f. Melapor sesuai alur pelaporan
2. Di RS Rujukan PVE
Pasien datang di RS rujukan, meliputi:
a. Pasien rujukan dengan PVE dari RS Non
Rujukan/Fasyankes/KKP
b. Pasien langsung ke ruang isolasi untuk tatalaksana lebih
lanjut dan kepastian diagnosis.
c. Pasien dengan membawa HAC
- Isolasi pasien
- Petugas memakai APD
- Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik apabila
memenuhi definisi kasus PVE segera evakuasi ke
C. SISTEM RUJUKAN
1. Kasus penyakit virus Ebola (kasus dalam investigasi,
konfirmasi) harus dirawat di RS rujukan yang ditetapkan
2. Rujukan kasus dari RS non rujukan dan fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) lainnya atau Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) ke RS rujukan harus memperhatikan dan
mengikuti prosedur berikut:
a. RS non rujukan dan fasyankes lainnya/KKP pengirim
meminta persetujuan (informed consent) alasan dirujuk
kepada pasien dan atau keluarga, disertakan saat merujuk
pasien bersama surat rujukannya.
b. Dokter pengirim berkomunikasi dengan dokter di RS
rujukan yang dituju dalam hal:
➢ Pasien sesuai dengan definisi kasus
➢ Kelayakan pasien dalam perjalanan
➢ Penyediaan ambulan yang memenuhi syarat transport
penyakit virus Ebola (dapat disediakan oleh Dinas
BAB V
PENGAMBILAN, PENGEPAKAN, PENGIRIMAN SPESIMEN
DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM
A. Pengambilan Spesimen
Sebelum kegiatan pengambilan spesimen dilaksanakan, harus
memperhatikan universal precaution atau kewaspadaan
universal untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari
pasien ke paramedis maupun lingkungan sekitar.
Hal tersebut meliputi:
1. Cuci tangan dengan menggunakan sabun/desinfektan
SEBELUM dan SESUDAH tindakan.
2. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), minimal yang
HARUS digunakan :
a. Sarung tangan ganda
b. Baju pelindung sekali pakai
c. Apron tahan air
d. Kaca mata (Goggle)
e. Sepatu boot karet/penutup sepatu
f. Masker respiratory partikulat
g. Label nama
h. Formulir pengambilan specimen (Form PVE-Lab)
b. Terdapat formulir
c. Ditempelkan izin yang diperlukan, alamat tujuan dan
alamat pengirim, kode UN 2814 (bila diperlukan).
Petugas Pengiriman
rumah sakit Balitbangkes ekspedisi khusus
rujukan yang bersertifikat
IATA
Petugas
Petugas Ditjen P2P
Surveilans
surveilans melalui
Kab/Kota,
Provinsi PHEOC
Provinsi
Keterangan:
: garis koordinasi
: garis pengambilan spesimen
: garis komando
C. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan diagnosis laboratorium kasus dalam
investigasi penyakit virus Ebola dilakukan dengan metoda RT-
PCR dan dikonfirmasi dengan teknik sekuensing. Pengujian
Positif Negatif
Sekuensing
BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI
2. Sarung tangan
• Gunakan sarung tangan ketika menyentuh darah, cairan
tubuh, sekresi, ekskresi, membran mukosa dan kulit yang
terbuka.
• Ganti sarung tangan ketika berpindah pasien setelah
menyentuh sesuatu yang berpotensi infeksius
• Lepaskan sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu
yang tidak terkontaminasi, dan sebelum berpindah ke
pasien lain. segera cuci tangan setelah melepas sarung
tangan.
3. Pelindung wajah (mata, hidung dan mulut)
Gunakan masker bedah dan pelindung mata atau pelindung
wajah untuk melindungi mukosa membran mata, hidung, dan
mulut selama melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan
darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi.
4. Baju Pelindung
• Gunakan untuk melindungi kulit dan baju selama
bersentuhan dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan
ekskresi.
• Lepas segera baju pelindung dan lakukan cuci tangan
dengan sabun dan air mengalir setelahnya.
5. Pencegahan tusukan jarum dan cedera benda tajam lainnya
seperti handling needles, scalpels, dan instrument tajam
lainnya.
6. Etika batuk
Orang dengan gejala gangguan pada saluran pernapasan
perlu menerapkan pengendalian dengan menutupi hidung
BAB VI
KOMUNIKASI RISIKO
DAFTAR PUSTAKA
1. Identitas
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin : L / P (Lingkari
jawaban)
Nomor Telepon Seluler :
Nomor Paspor :
Nama & Nomor Penerbangan :
Nomor Tempat duduk :
Tanggal Kedatangan :
Alamat tinggal di Indonesia :
c. Sierra Leone
- Ya - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?
d. Mali
- Ya - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?
e. Demokratik Republic Kongo
- Ya - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?
f. Negara terjangkit PVE lainnya:
-Ya, negara:.............. - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?
- Ya - Tidak
Tingkat Kriteria
Risiko
Tidak - Tidak berada di area/ negara terjangkit
Berisiko
DAN
i. Data Dasar
Identitas Kasus
Nama :
Tgl lahir/ umur :
Jenis Kelamin :L/P (Lingkari jawaban)
Pekerjaan : (Sebutkan secara spesifik)
Alamat :
c. Paparan makanan
- Riwayat mengkonsumsi makanan atau minuman yang belum
dimasak:
……………………………………………………………………………………………………..
- Riwayat mengkonsumsi daging atau produk hewan setengah
matang :
……………………………………………………………………………………………………..
- Riwayat menyiapkan daging mentah untuk dimasak:
……………………………………………………………………………………………………..
d. Riwayat perjalanan
- Tanggal perjalanan : …..…………………………………………………………
- Tujuan : ..……………………………………………………………
- Durasi perjalanan : ..……………………………………………………………
- Moda Transportasi : ..……………………………………………………………
- Aktivitas selama perjalanan : ………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………..
e. Informasi klinis
Data klinis
- Tanggal dan mulai timbul gejala:
- Tanda dan gejala:
Kronologi sakit (tgl mulai ke pelayanan kesehatan, tgl masuk RS, tgl
mulai perburukan klinis, dan hasil akhir dirawat):
……………………………………………………………………………………………………
- Komplikasi yang terjadi:
……………………………………………………………………………………………………
- Adakah penyakit kronis lain:
……………………………………………………………………………………………………
- Tanggal dan hasil pemeriksaan penunjang (lab):
……………………………………………………………………………………………………
- Penggunaan alat bantu:
……………………………………………………………………………………………………
- Penggunaan obat:
- ……………………………………………………………………………………………………
f. Data laboratorium
1. Identitas
Nama (Inisial) :
Umur :
Jenis Kelamin :L/P (Lingkari jawaban)
Pekerjaan :
Nomor Hp :
Asal kedatangan :
Tanggal kedatangan :
Riwayat perjalanan :
6. Pemeriksaan Fisik:
- Mata:
Sclera: ikterik (+/-)
Konjungtiva: anemis (+/-)
- THT:
- Leher:
- Thoraks:
Jantung:
Bunyi jantung I/II:
Murmur:
Gallop:
Paru:
Vesikuler: (+/-)
Ronkhi: (+/-)
Wheezing: (+/-)
- Abdomen:
Hepar:
Lien:
Bising usus:
Turgor kulit:
- Genital
- Ekstremitas:
Sianosis
Perdarahan (eritema)
Edema
- Temuan fisik lainnya:
7. Pemeriksaan penunjang:
a. Darah lengkap: (Hb, Ht, Leukosit, Hitung jenis
leukosit, Trombosit, MCV, MCH, MCHC, LED)
d. Urin lengkap
e. Feses lengkap
FORM PVE-NOT
Lampiran 4
FORMULIR NOTIFIKASI KEDATANGAN PELAKU PERJALANAN DARI NEGARA TERJANGKIT
KKP/ Dinas Kesehatan :
Tanggal :
Umur Berangkat dari Kondisi kesehatan/
No. No. Alamat di
No. Nama No.Hp (negara asal Keterangan
Paspor Seat L P Indonesia
kedatangan)
Keterangan: Form ini dikirimkan kepada Dinas Kesehatan setempat/ KKP dan ditembuskan ke
PHEOC.
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola
Lampiran 5
FORM PVE-KONT
FORM PEMANTAUAN KONTAK
Nama :
Tempat pemantauan (rumah/ puskesmas/ RS/ KKP/ lainnya):
Kab/Kota :
Jenis Hasil Ket.
Tgl Tanggal dan hasil pemantauan*)
Um specimen & pemeriksa
No Nama L/P kontak
ur tanggal an
terakhir
pengambilan penunjang
Isikan tgl dan hasil pemantauan*) X : Sehat, S : Sakit memenuhi kriteria kasus
Keterangan: Form ini dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi setempat bila tempat pemantauan berada di rumah/
puskesmas/ RS.
Form dikirimkan ke PHEOC bila tempat pemantauan ada di KKP.
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola
FORM PVE-LAB
Lampiran 6
IDENTITAS PELAPOR
Tanggal Laporan : / / Dilaporkan oleh:____________________________________
Rumah Sakit : _________________________Kota___________________Kab______________________
No Rekam Medis :
Spesimen diperiksa di laboratorium rujukan : ___________________
No. Identifikasi pasien: ____________________________________ ( diisikan oleh petugas Balitbangkes )
IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : _________________________________ bin/binti _________________________
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola
PENGAMBILAN SAMPEL
Darah Tanggal diambil / / Lab _________________
/ /
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola
RIWAYAT KONTAK/PAPARAN
Dalam 21 hari sebelum sakit, apakah pasien melakukan perjalanan ke daerah terjangkit Ebola (Afrika)
Ya Tidak Tidak tahu
Jika Ya : Sebutkan
Dalam 21 hari sebelum sakit, apakah pasien kontak dengan orang terjangkit virus Ebola
Ya Tidak
Jika Ya
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola
HASIL
Pasien dipindahkan ke RS Rujukan? Ya Tidak Tidak tahu
Jika Ya, ke Rumah Sakit mana? ______________________________________________________
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola
PENGAMBILAN SAMPEL
Jenis Tanggal sampel diambil
Sampel
CATATAN
Jika ada data, informasi, keterangan atau apa saja yang dianggap perlu silakan tulis.
Lampiran 8
FORM PVE-KSSEND
Keterangan: Form ini dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi Setempat. Form ini diisi setelah ada hasil
laboratorium penyakit diagnosis penyakit virus Ebola.
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola
Lampiran 10
SURAT KETERANGAN
NO………………………………
…………………………………………
NIP.
Lampiran 11 FORM PVE-HD
Alamat di : Telepon:
Indonesia Telephone:
Adress in Indonesia
Dalam 21 hari terakhir
in the last 21 days:
Harap menyebutkan negara yang :
pernah disinggahi : Please list the
name of countries where you stayed
Lampiran 11
CARA MEMAKAI DAN MELEPAS APD
ATAU,JIKA
TIDAK
TERSEDIA
SEPATU
BOOT
3. Lepaskan gaun, sarung tangan dan rol 4. Jika Menggunakan Boot karet,
dan buang dengan aman. (menggunakan alat seperti
gambar) lepas tanpa menyentuh,
kemudian taruh di bak container
dan lakukan desinfeksi.
Lampiran 12
3. ratakan pada sela – 4. . ratakan pada sela 5. putar jari – jari untuk
sela jari bagian – sela jari bagian meratakan
punggung bawah
Lampiran 13
Pelaksanaan Disinfeksi Kapal Laut
I. Persiapan Alat dan Bahan
1. Alat Pelindung Diri (APD)
2. Peralatan
- Mist Blower
- Hand Sprayer
- Kotak biohazard (Safety Box)
- Rambu/tanda dilarang masuk
- Kain kanebo
- Gelas ukur
- Corong
- Ember
-
3. Bahan
- Seal (Sealotip)
- Line
- Plastic khusus bahan berbahaya
- Disinfektan (Lysol atau Hypoclorite)
- Detergent
- Air bersih
III. Pelaporan
1. Laporan pelaksanaan disinfeksi berisi: Jumlah petugas
pelaksana, Jenis bahan desinfektant, jumlah dan dosis
desinfektan yang dipergunakan, Lokasi serta luas area (M3)
pelaksanaan desinfeksi.
2. Data dari hasil pelaksanaan kegiatan disinfeksi dilaporkan
ke Kepala Seksi/Bidang Pengendalian Risiko Lingkungan,
untuk selanjutnya dilaporkan kepada Kepala KKP.
Lampiran 14
Daftar Rumah Sakit Yang memiliki Ruang Isolasi MDR
dengan terlatih PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi)
1. RSUP Persahabatan Jakarta,
2. RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta
3. RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta
4. RSUP Sanglah Denpasar
5. RSUP Dr. Soetomo Surabaya
6. RSUP Dr, Wahidin Sudirohusodo Makassar
7. RSUP H. Adam Malik, Medan
8. RSUD Banjarmasin
9. RSUP Dr. Kariadi , Semarang
10. RSUP M. Hoesin Palembang
11. RSUD Jayapura
12. RSUD Dr. Yohannes Kupang
13. RSUP Prof. Dr. Kandou, Manado
14. RSUD dr. Zainal Abidin , Banda Aceh
15. RSUD Kanudjoso D., Balikpapan
16. RSUD Labuang Baji, Makassar
17. RSUD Bahteramas, Kendari
18. RSUD dr. Soedarso Pontianak
19. RSUD Embung Fatimah, Batam
Lampiran 15
DAFTAR KONTAK
1. PHEOC
Telp : 0214257125 – 02142877588 - 081219241850
SMS : 021-36840901
Fax : 021- 42802669
Surel : poskoklb@kemkes.go.id
2. BALITBANGKES
Alamat pengiriman spesimen :
Laboratorium Virologi
d.a. Laboratorium Nasional Prof. Sri Oemijati
Jalan Percetakan Negara 23 Jakarta 10560
Telp. 021-42887606
Kontak Person :
Dr. dr. Vivi Setiawaty, M.Biomed
d.a. Laboratorium Nasional Prof. Sri Oemijati
Jalan Percetakan Negara 23 Jakarta 10560
HP. 08179804571
Lampiran 16
A. Definisi Kusta
1
hingga 10 tahun.
C. Manifestasi Klinis
A. Kulit
2
c. N. Radialis
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi dorsum
manus, serta ujung proksimal jari telunjuk. Pada
gangguan saraf motorik, pergelangan tangan
maupun jari-jari tangan tak mampu ekstensi,
sehingga menyebabkan paresis, disebut sebagai
tangan gantung (wrist drop).
d. N. poplitea lateralis
Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi
tungkai bawah bagian lateral dan dorsum pedis.
Gangguan pada saraf motorik menyebabkan kaki
gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus.
e. N. tibialis posterior
Gangguan saraf sensorik dapat menyebabkab
anestesi telapak kaki. Sedangkan gangguan
motorik berupa claw toes, paralisis otot intrinsik
kaki dan kolaps arkus pedis.
f. N. Fasialis
Gangguan pada cabang temporal dan zigomatik
dapat menyebabkan lagoftalmos. Sedangkan
gangguan pada cabang bukal, mandibular, dan
servikal menyebabkan bibir mencong, sudut mulut
asimetris, dan kegagalan mengatupkan bibir, yang
disebut sebagai parese fasialis.
g. N. Trigeminus
Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi
kulit wajah, kornea dan konjungtiva.
h. Kusta saraf murni
Kusta saraf murni atau yang dikenal sebagai pure
neural leprosy (PNL) merupakan penyakit kusta
yang hanya mengenai saraf, dengan gambaran
klinis hipoestesi atau anestesi tidak berbatas tegas,
dan tanpa lesi di kulit.
3
Gambar 1. Saraf Perifer yang Banyak Terlibat dan Mengalami
Pembesaran Pada Kusta.
C. Mata
4
terkandung pada penyakit inilah yang membuat
kehidupan bagi penderita kusta menjadi semakin sulit.
Tidak jarang pasien akan mengalami perceraian,
kehilangan pekerjaan, atau bahkan dijauhi oleh
lingkungannya karena ketakutan akan gambaran
penularan.
D. Klasifikasi Penyakit Kusta
SIFAT PB MB
5
Tabel 2. Tanda lain untuk klasifikasi kusta
PB MB
Distribusi Unilateral Bilateral
atau
simetris
bilateral
asimetris
Permukaan Kering, Halus, mengkilap
bercak kasar
Batas Tegas Kurang tegas
bercak
Mati rasa Jelas Biasanya kurang jelas
pada
bercak
Deformitas Proses Terjadi pada tahap lanjut
terjadi lebih
cepat
Ciri-ciri - Madarosis, hidung
khas pelana, wajah singa
(facies leonina),
ginekomastia pada laki-
laki
E. Reaksi Kusta
6
kusta menurut Ridley-Jopling.
A. Reaksi tipe 1
B. Reaksi tipe 2
7
patogenesis ENL yang berperan penting adalah
respons imun humoral. Reaksi ENL dapat terjadi
sebelum pengobatan, saat pengobatan ataupun
setelah selesai, namun banyak terjadi di tahun kedua
pengobatan MDT. Hal ini terjadi karena pada saat
pengobatan, banyak kuman M. leprae yang mati,
sehingga banyak antigen yang bereaksi dengan
antibodi dan membentuk kompleks imun. Kompleks
imun yang terbentuk selanjutnya masuk dalam
sirkulasi darah, kemudian akan mengendap di
berbagai organ tubuh dan menimbulkan gejala,
antara lain nodus eritem disertai nyeri yang terutama
muncul pada kulit lengan dan tungkai.
Perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan 2 dapat dilihat
dalam tabel 3. Berikut ini
Tabel 3. Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2.
8
4 Peradangan di Sebagian lesi Timbul nodus
Kulit lama menjadi eritema, lunak dan
lebih nyeri, dan dapat
aktif, eritem, berulserasi.
udem, berkilat, Biasanya pada
hangat. lengan dan tungkai.
Dapat timbul
lesi baru.
5 Saraf Sering terjadi neuritis, Sering
berupa nyeri saraf terjadi
dan atau gangguan neuritis.
fungsi saraf. Kadang
didapat kan silent
neuritis.
6 Peradangan Anestesi kornea dan Iritis, iridosiklitis,
pada mata lagoftalmos karena glaukoma, katarak
keterlibatan N.V dan dll.
N.VII
7 Peradangan Hampir tidak ada. Terjadi pada
pada organ testis, sendi,
lain ginjal, kelenjar
getah bening, dll.
9
Organ Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
No yang
terkena Ringan Berat Ringan Berat
ulserasi. disertai
udem dan
tangan malaise.
10
Edema
tangan
dan kaki
(+)
2 Saraf tepi Membesar, Membesar, Membesar, tidak Membesar, nyeri
tidak nyeri. nyeri nyeri
F. Diagnosis
11
2) Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
otot
12
5. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat
(anhidrosis), mengkilap atau kering bersisik,
dan atau alis mata tidak berambut
(madarosis).
6. Bengkak atau penebalan pada wajah dan
cuping telinga
4. Pembesaran saraf
13
3. Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi
a) Laju berkedip
5. Sekret mata
14
8. Lensa
G. Diagnosis Banding
15
Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan penyakit
kusta, antara lain:
a. Lesi eritem bersisik: psoriasis, pitiriasis rosea,
dermatitis seboroik, dermatofitosis
b. Lesi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi tanpa
skuama: vitiligo
c. Lesi hipopigmentasi dengan skuama halus: pitirasis
versikolor, pitiriasis alba
16
Diagnosis banding: bercak putih/hipopigmenasi
H. Tata laksana
a. Farmakologis
17
2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami
hal-hal di bawah ini:
a) Relaps
b) Masuk kembali setelah putus
obat/default (dapat PB maupun MB)
c) Pindah berobat (pindah masuk)
d) Ganti klasifikasi/tipe.
18
Tabel 6. Dosis MDT pada pasien kusta tipe MB
10-<15
≥ 15 tahun
Jenis Obat tahun (Anak) Keterangan
(Dewasa)
Minum di depan
Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln petugas
Minum di depan
Dapson 50 mg/bln 100 mg/bln
petugas
(DDS)
Minum di
50 mg/hari 100 mg/hari
rumah
Minum di depan
150 mg/bln 300 mg/bln
petugas
Klofazimin
50 mg setiap 2 Minum di
50 mg/hari
hari rumah
19
Dewasa Anak-anak
Dewasa Anak-anak
Gambar 9. Gambar kemasan (blister) Blister MB
20
Tabel 7. Pengobatan MB pada Pasien yang tidak
dapat menggunakan Rifampisin.
Lama
Obat Dosis
pengobatan
Klofazimin 50 mg/ hari
6 bulan Ofloksasin
400 mg/ hari
Minosiklin
100 mg/ hari
Dilanjutkan dengan
Klofazimin 50 mg/ hari
DAN
18 bulan 400 mg/ hari
Ofloksasin
ATAU
100 mg/ hari
Minosiklin
Catatan:
21
a. Ofloksasin, 400 mg/ hari selama 12 bulan,
ATAU
22
c. Tata Laksana Reaksi Kusta
Obat anti reaksi terdiri atas:
b) Menghindari/menghilangkan faktor
pencetus
23
dikirim ke rumah sakit.
f) Reaksi tipe 2 berat yang berulang
diberikan prednison dan klofazimin.
24
SKEMA PEMBERIAN PREDNISON
25
meliputi pengobatan yang adekuat terhadap kusta
yang mendasari ditambah dengan tata laksana sesuai
dengan panduan nyeri neuropatik, tercantum pada
gambar 1.
26
akan diberikan pada pasien dengan komorbiditas
kusta dan gangguan psikiatri. Dalam tatalaksana
kusta perlu dipertimbangkan penyelesaian masalah
psikologis pasien, yang seringkali tidak dikeluhkan.
Kondisi depresi terjadi akibat adanya stigma,
sehingga menimbulkan penurunan kualitas hidup,
bahkan pengobatan menjadi tidak tuntas.
b. Non Farmakologis
a. Tatalaksana Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi
Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi ialah agar penderita kusta dapat
kembali ke masyarakat sebagai manusia yang
produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi
medik berupa terapi fisik, terapi okupasi, pemberian
ortosis dan prosthesis, perawatan luka, supporting
psikologis melalui peresepan latihan yang sesuai.
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
sebagai berikut:
1. Konseling dan Edukasi
Konseling membantu pasien agar menyadari
potensi yang dimiliki dan memanfaatkan potensi
mentalnya seoptimal mungkin untuk
meningkatkan kualitas penyesuaian baik dengan
dirinya sendiri maupun lingkungannya. Konseling
juga diberikan dengan tujuan untuk mengurangi
tingkat antisosial pasien kusta dengan disabilitas.
27
DAFTAR PUSTAKA
28
BUKU SAKU
TATALAKSANA KASUS MALARIA
iii
KATA PENGANTAR IDI
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan di masyarakat luas dan mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Komitmen untuk
pengendalian penyakit malaria ini diharapkan menjadi perhatian
kita semua, tidak hanya secara nasional, namun juga regional
dan global sebagaimana yang dihasilkan pada pertemuan World
Health Assembly (WHA) ke-60 pada tahun 2007 di Geneva
tentang eliminasi malaria.
Komitmen Eliminasi Malaria ini didukung oleh Menteri Dalam
Negeri melalui Surat Edaran Mendagri No.443.41/465/SJ tahun
2010 tentang pelaksanaan program malaria dalam mencapai
eliminasi di Indonesia. Komitmen pemerintah ditunjukkan dalam
salah satu indikator RPJMN 2015-2019. Salah satu strategi dalam
pencapaian eliminasi malaria melalui Early Diagnosis and Prompt
Treatment, yaitu penemuan dini kasus malaria dan pengobatan
yang tepat dan cepat sehingga penularan dapat dihentikan.
Penyusunan buku saku ini ditujukan untuk memberikan panduan
terkini kepada para dokter di seluruh Indonesia, yang berpotensi
untuk berhadapan dengan pasien malaria kapan saja. Panduan
yang dapat digunakan untuk kasus malaria pada rawat jalan
maupun rawat inap ini bertujuan khusus untuk menurunkan angka
kejadian malaria berat karena keterlambatan penegakkan diagnosis
ataupun karena kesalahan penatalaksanaan dengan menggunakan
obat yang sudah resisten.
Buku ini adalah buku standar dalam penatalaksanaan malaria yang
harus dipedomani bagi setiap dokter dalam menyelenggarakan
praktek kedokterannya.
Kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan peran aktif
semua pihak yang terkait dalam penyusunan buku ini. Semoga
buku saku ini dapat bermanfaat dan menjadi pedoman kita semua
dalam penatalaksanaan penyakit malaria.
Pengurus Besar IDI
Ketua Umum
v
DAFTAR TABEL
vi
STANDAR TATALAKSANA MALARIA
STANDAR DIAGNOSIS
1. Setiap individu yang tinggal di daerah endemik malaria
yang menderita demam atau memiliki riwayat demam
dalam 48 jam terakhir atau tampak anemi; wajib
diduga malaria tanpa mengesampingkan penyebab
demam yang lain.
2. Setiap individu yang tinggal di daerah non endemik
malaria yang menderita demam atau riwayat demam
dalam 7 hari terakhir dan memiliki risiko tertular
malaria; wajib diduga malaria. Risiko tertular malaria
termasuk : riwayat bepergian ke daerah endemik malaria
atau adanya kunjungan individu dari daerah endemik
malaria di lingkungan tempat tinggal penderita.
3. Setiap penderita yang diduga malaria harus diperiksa
darah malaria dengan mikroskop atau RDT.
4. Untuk mendapatkan pengobatan yang cepat maka
hasil diagnosis malaria harus didapatkan dalam waktu
kurang dari 1 hari terhitung sejak pasien memeriksakan
diri.
STANDAR PENGOBATAN
1. Pengobatan penderita malaria harus mengikuti
kebijakan nasional pengendalian malaria di Indonesia.
2. Pengobatan dengan ACT hanya diberikan kepada
penderita dengan hasil pemeriksaan darah malaria
positif.
3. Penderita malaria tanpa komplikasi harus diobati
dengan terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT)
plus primakuin sesuai dengan jenis plasmodiumnya.
4. Setiap tenaga kesehatan harus memastikan kepatuhan
pasien meminum obat sampai habis melalui konseling
agar tidak terjadi resistensi Plasmodium terhadap obat.
1
5. Penderita malaria berat harus diobati dengan Artesunate
intramuskular atau intravena dan dilanjutkan ACT oral
plus primakuin.
6. Jika penderita malaria berat akan dirujuk, sebelum
dirujuk penderita harus diberi dosis awal Artesunate
intramuskular/ intravena.
2
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemerintah memandang malaria masih sebagai
ancaman terhadap status kesehatan masyarakat terutama
pada rakyat yang hidup di daerah terpencil. Hal ini tercermin
dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor: 2 tahun
2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Naional tahun 2015 - 2019 dimana malaria termasuk
penyakit prioritas yang perlu ditanggulangi.
Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pengobatan
malaria di Indonesia adalah terjadinya penurunan efikasi
pada penggunaan beberapa obat anti malaria, bahkan
terdapat resistensi terhadap klorokuin. Hal ini dapat
disebabkan antara lain oleh karena penggunaan obat anti
malaria yang tidak rasional. Sejak tahun 2004 obat pilihan
utama untuk malaria falciparum adalah obat kombinasi
derivat Artemisinin yang dikenal dengan Artemisinin-
based Combination Therapy (ACT). Kombinasi artemisinin
dipilih untuk meningkatkan mutu pengobatan malaria yang
sudah resisten terhadap klorokuin dimana artemisinin ini
mempunyai efek terapeutik yang lebih baik.
3
BAB II
MALARIA
A. Penyebab Malaria
Penyebab Malaria adalah parasit Plasmodium yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina.
Dikenal 5 (lima) macam spesies yaitu: Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale,
Plasmodium malariae dan Plasmodium knowlesi.
Parasit yang terakhir disebutkan ini belum banyak
dilaporkan di Indonesia.
B. Jenis Malaria
1. Malaria Falsiparum
Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala
demam timbul intermiten dan dapat kontinyu. Jenis
malaria ini paling sering menjadi malaria berat yang
menyebabkan kematian.
2. Malaria Vivaks
Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam
berulang dengan interval bebas demam 2 hari.
Telah ditemukan juga kasus malaria berat yang
disebabkan oleh Plasmodium vivax.
3. Malaria Ovale
Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi
klinis biasanya bersifat ringan. Pola demam seperti
pada malaria vivaks.
4. Malaria Malariae
Disebabkan oleh Plasmodium malariae. Gejala
demam berulang dengan interval bebas demam
3 hari.
5. Malaria Knowlesi
Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala
demam menyerupai malaria falsiparum.
4
C. Gejala Malaria
Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam
akut (paroksismal) yang didahului oleh stadium dingin
(menggigil) diikuti demam tinggi kemudian berkeringat
banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada
penderita non imun (berasal dari daerah non endemis).
Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan gejala lain
seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal,
dan nyeri otot . Gejala tersebut biasanya terdapat pada
orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun).
D. Bahaya Malaria
1. Jika tidak ditangani segera dapat menjadi malaria
berat yang menyebabkan kematian
2. Malaria dapat menyebabkan anemia yang
mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya
manusia.
3. Malaria pada wanita hamil jika tidak diobati dapat
menyebabkan keguguran, lahir kurang bulan
(prematur) dan berat badan lahir rendah (BBLR)
serta lahir mati.
E. Pencegahan Malaria
Upaya pencegahan malaria adalah dengan
meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko malaria,
menc egah gigitan nyamuk, pengendalian vektor
dan kemoprofilaksis. Pencegahan gigitan nyamuk
dapat dilakukan dengan menggunakan kelambu
berinsektisida, repelen, kawat kasa nyamuk dan lain-
lain.
Obat yang digunakan untuk kemoprofilaksis adalah
doksisiklin dengan dosis 100mg/hari. Obat ini diberikan
1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di daerah
tersebut sampai 4 minggu setelah kembali. Tidak boleh
diberikan pada ibu hamil dan anak dibawah umur 8
tahun dan tidak boleh diberikan lebih dari 6 bulan.
5
BAB III
DIAGNOSIS MALARIA
A. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:
6
a. Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri
otot atau pegal-pegal.
b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat
malaria.
c. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.
d. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.
B. Pemeriksaan fisik
a. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c. Sklera ikterik
d. Pembesaran Limpa (splenomegali)
e. Pembesaran hati (hepatomegali)
C. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis
di Puskesmas/lapangan/ rumah sakit/laboratorium
klinik untuk menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
b) Spesies dan stadium plasmodium.
c) Kepadatan parasit.
b. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid
Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen
parasit malaria, dengan menggunakan metoda
imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT
perlu dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal
kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan RDT tidak
digunakan untuk mengevaluasi pengobatan.
7
BAB IV
MALARIA BERAT
Catatan :
pada penderita tersangka malaria berat, terapi dapat
segera diberikan berdasarkan pemeriksaan RDT
8
BAB V
PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI
Dihidroartemisinin-Piperakuin(DHP) + Primakuin
9
Tabel 1.
Pengobatan Malaria falsiparum menurut berat badan
dengan DHP dan Primakuin
Jumlah tablet per hari menurut berat badan
Hari Jenis obat <4 kg 4-6kg >6-10 kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg 41-59 kg ≥60kg
0-1 2-5 <6-11 1-4 5-9 10-14 ≥15 ≥15
bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun
1-3 DHP ⅓ ½ ½ 1 1½ 2 3 4
1 Primakuin - - ¼ ¼ ½ ¾ 1 1
Tabel 2.
Pengobatan Malaria vivaks menurut berat badan
dengan DHP dan Primakuin
Jumlah tablet per hari menurut berat badan
Hari Jenis obat <4 kg 4-6kg >6-10 kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg 41-59 kg ≥60kg
1-3 DHP ⅓ ½ ½ 1 1½ 2 3 4
1-14 Primakuin - - ¼ ¼ ½ ¾ 1 1
Catatan :
Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian
obat dapat berdasarkan kelompok umur.
a. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan
(pada tabel pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah
berdasarkan berat badan.
b. Apabila pasien P.falciparum dengan BB >80 kg datang kembali
dalam waktu 2 bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan
Sediaan Darah masih positif P.falciparum, maka diberikan DHP
dengan dosis ditingkatkan menjadi 5 tablet/hari selama 3 hari.
10
2) Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh)
diberikan dengan regimen ACT yang sama tapi dosis
Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
3) Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan
ACT yaitu DHP ditambah dengan Primakuin selama
14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan
untuk malaria vivaks.
4) Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali
perhari selama 3 hari, dengan dosis sama dengan
pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
primakuin
5) Pengobatan infeksi campur P. falciparum
+ P. vivax/P.ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT
selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25
mg/kgBB/hari selama 14 hari.
Tabel 3.
Pengobatan infeksi campur P.falciparum P.vivax/P.ovale
dengan DHP + Primakuin
Jumlah tablet per hari menurut berat badan
Hari Jenis obat <4 kg 4-6kg >6-10 kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg 41-59 kg ≥60kg
1-3 DHP ⅓ ½ ½ 1 1½ 2 3 4
1-14 Primakuin - - ¼ ¼ ½ ¾ 1 1
11
Catatan :
a. Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan,
apabila penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka
pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur.
b. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan
(pada tabel pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah
berdasarkan berat badan.
c. Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat
badan ideal.
d. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.
Tabel 4.
Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks
pada ibu hamil
12
BAB VI
PENGOBATAN MALARIA BERAT
13
2,4 mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari sampai
penderita mampu minum obat.
Contoh perhitungan dosis :
Penderita dengan BB = 50 kg.
Dosis yang diperlukan : 2,4 mg x 50 = 120 mg
Penderita tersebut membutuhkan 2 vial artesunat
perkali pemberian.
Bila penderita sudah dapat minum obat, maka
pengobatan dilanjutkan dengan regimen DHP atau
ACT lainnya (3 hari) + primakuin (sesuai dengan jenis
plasmodiumnya).
14
6) Bila sudah dapat minum obat pemberian kina iv
diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis
10 mg/kgbb/kali diberikan tiap 8 jam. Kina oral
diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada
orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil.
Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak
pemberian kina perinfus yang pertama.
Catatan :
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena
toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.
2) Dosis kina maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.
15
BAB VII
PEMANTAUAN PENGOBATAN
A. Rawat Jalan
Pada penderita rawat jalan evaluasi pengobatan
dilakukan pada hari ke 3, 7, 14, 21 dan 28 dengan
pemeriksaan klinis dan sediaan darah secara
mikroskopis. Apabila terdapat perburukan gejala
klinis selama masa pengobatan dan evaluasi, penderita
segera dianjurkan datang kembali tanpa menunggu
jadwal tersebut di atas.
B. Rawat Inap
Pada penderita rawat inap evaluasi pengobatan
dilakukan setiap hari dengan pemeriksaan klinis
dan darah malaria hingga klinis membaik dan hasil
mikroskopis negatif. Evaluasi pengobatan dilanjutkan
pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 dengan pemeriksaan
klinis dan sediaan darah secara mikroskopis.
16
LAMPIRAN
Algoritme 1.
Alur Penemuan Penderita Malaria
17
Algoritme 2.
Tatalaksana Penderita Malaria
18
Algoritme 3.
Penatalaksanaan Malaria Berat
di Pelayanan Primer dan Sekunder
19
Algoritme 4.
Penatalaksanaan Malaria Berat di RS Rujukan
20
Algoritme 5.
Penatalaksanaan Malaria Serebral
21
Algoritme 6.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Gagal Nafas
22
Algoritme 7.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Gagal Ginjal
23
Algoritme 8.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Ikterus
24
Algoritme 9.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Anemia
25
Algoritme 10.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Black Water
Fever / Hemoglobinuri
26
Algoritme 11.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Hipoglikemia
27
Algoritme 12.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Koagulasi
Intravaskular Diseminata
28
Pengarah : 1. Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG
2. drg.Vensya Sitohang, M.Epid
29
30
DIAGNOSTIK MALARIA
OBAT-OBAT MALARIA TERKINI
TOPIK UTAMA
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan Program eliminasi malaria di Indonesia tertuang dalam
masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama keputusan Menteri Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/
pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu IV/2009. Pelaksanaan pengendalian malaria menuju
hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan eliminasi dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau
anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna
Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas
Indonesia. dari penularan malaria sampai tahun 2030. Status
Indonesia masih tahap pertama yaitu pada eliminasi
Dalam rangka pengendalian penyakit malaria banyak hal malaria di DKI, Bali dan Barelang Binkar pada tahun 2010.
yang sudah maupun sedang dilakukan baik dalam skala
global maupun nasional. Malaria merupakan salah satu Untuk melihat sejauh mana perkembangan pengendalian
indikator dari target Pembangunan Milenium (MDGs), penyakit malaria pada tulisan ini akan dibahas situasi
dimana ditargetkan untuk menghentikan penyebaran dan epidemiologi dan upaya/program pengendalian malaria di
mengurangi kejadian insiden malaria pada tahun 2015 Indonesia yang dilihat dari hasil survei dan laporan
yang dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan program malaria.
dan angka kematian akibat malaria. Global Malaria
Programme (GMP) menyatakan bahwa malaria A. SITUASI MALARIA DI INDONESIA
merupakan penyakit yang harus terus menerus dilakukan
pengamatan, monitoring dan evaluasi, serta diperlukan 1. Gambaran Berdasar Laporan Rutin Program
formulasi kebijakan dan strategi yang tepat. Di dalam GMP
ditargetkan 80% penduduk terlindungi dan penderita a. Stratifikasi Malaria
mendapat pengobatan Arthemisinin based Combination Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun
Therapy (ACT). Dan melalui Roll Back Malaria Partnership 2007 dapat dipantau dengan menggunakan indikator Annual
ditekankan kembali dukungan tersebut. Karena pentingnya Parasite Incidence (API). Hal ini sehubungan dengan kebijakan
penanggulangan Malaria, maka beberapa partner Kementerian Kesehatan mengenai penggunaan satu
internasional salah satunya Global Fund, memberikan indikator untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu
bantuan untuk pengendalian malaria. dengan API. Pada tahun 2007 kebijakan ini mensyaratkan
bahwa setiap kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil
Dalam pengendalian malaria, yang ditargetkan penurunan pemeriksaan sediaan darah dan semua kasus positif harus
angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. diobati dengan pengobatan kombinasi berbasis artemisinin
atau ACT (Artemisinin-based Combination Therapies).
Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan API, dilakukan stratifikasi wilayah dimana
Indonesia bagian Timur masuk dalam stratifikasi malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi
dan Sumatera sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat desa/fokus malaria tinggi.
API dari tahun 2008 – 2009 menurun dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi 1,85 per 1000 penduduk. Bila dilihat per provinsi dari tahun
2008 – 2009 provinsi dengan API yang tertinggi adalah Papua Barat, NTT dan Papua terdapat 12 provinsi yang diatas angka API nasional.
Dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 pengendalian malaria merupakan salah satu penyakit
yang ditargetkan untuk menurunkan angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. Dari gambar diatas angka
kesakitan malaria (API) tahun 2009 adalah 1,85 per 1000 penduduk, sehingga masih harus dilakukan upaya efektif untuk
menurunkan angka kesakitan 0,85 per 1000 penduduk dalam waktu 4 tahun, agar target Rencana Strategis Kesehatan Tahun
2014 tercapai.
b. Plasmodium
Plasmodium penyebab malaria yang ada di Indonesia terdapat beberapa jenis yaitu plasmodium falsifarum, plasmodium vivax,
plasmodium malariae, plasmodium ovale dan yang mix atau campuran.
Pada tahun 2009 penyebab malaria yang tertinggi adalah plasmodium vivax (55,8%), kemudian plasmodium falsifarum,
sedangkan plasmodium ovale tidak dilaporkan. Data ini berbeda dengan data riskesdas 2010, yang mendapatkan 86,4%
penyebab malaria adalah plasmodium falsifarum, dan plasmodium vivax sebanyak 6,9%.
Dari tahun 2006 – 2009 Kejadian Luar Biasa (KLB) selalu terjadi di pulau Kalimantan walaupun kabupaten/kota yang
terjangkit berbeda-beda tiap tahun. Pada tahun 2009 , KLB dilaporkan terjadi di pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Banten), Kalimantan (Kalimantan Selatan), Sulawesi (Sulawesi Barat), NAD dan Sumatera (Sumatera
Barat, Lampung) dengan total jumlah penderita adalah 1.869 orang dan meninggal sebanyak 11 orang. KLB
terbanyak di pulau Jawa yaitu sebanyak 6 kabupaten/kota . Sebaran KLB dari tahun 2006 – 2009 dapat dilihat pada
Gambar 6 di bawah ini.
Sedangkan untuk jumlah pasien rawat inap yang keluar dari tahun 2004 - 2009 berfluktuatif dan pasien rawat inap
laki-laki lebih banyak dari perempuan.
Masih dari data statistik rumah sakit, admission rate dari tahun 2004 – 2008 cenderung meningkat (Gambar 9). Pada tahun
2004 admision rate 1,19 meningkat menjadi 1,53 pada tahun 2008. Untuk rawat jalan tahun 2004 – 2006 pasien baru lebih
banyak laki-laki sedangkan tahun 2007 – 2008 pasien baru lebih banyak perempuan yang dapat dilihat pada gambar 9.
Dari hasil Riskesdas diperoleh Point prevalence malaria adalah 0,6%, namun hal ini tidak menggambarkan kondisi malaria
secara keseluruhan dalam satu tahun karena setiap wilayah dapat mempunyai masa-masa puncak (pola epidemiologi)
kasus yang berbeda-beda. Spesies parasit malaria yang paling banyak ditemukan adalah Plasmodium falciparum (86,4%)
sedangkan sisanya adalah Plasmodium vivax dan campuran antara P. falciparum dan P. Vivax. Namun data sebaran
parasit perwilayah tidak diperoleh, sehingga tidak dapat diketahui jenis parasit yang dominan per suatu wilayah.
Menurut karakteristik umur, point prevalence paling tinggi adalah pada umur 5-9 tahun (0,9%), kemudian pada kelompok umur 1
-4 tahun (0,8%) dan paling rendah pada umur <1 tahun (0,3%). Sedangkan menurut period prevalence, prevalens paling tinggi
adalah pada kelompok umur >15 tahun (10,8%), nomor dua paling tinggi pada kelompok umur 1-4 tahun (10,7%) dan paling
rendah tetap pada umur <1 tahun (8,2%). Dari data diatas tampak kecenderungan kelompok yang berisiko tinggi terkena
malaria bergeser dari usia >15 tahun ke usia 1-4 tahun. Oleh karena itu perlu intervensi pencegahan malaria pada usia 1-4
tahun, memperkuat promosi anak dibawah lima tahun tidur dibawah kelambu berinsektisida serta menyediakan obat malaria
yang sesuai dengan umur balita.
Untuk karakteristik jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan, point prevalensi dan period prevalensi hampir
sama. Pada point prevalensi, prevalensi pada laki-laki sama dengan perempuan (0,6%), di perdesaan (0,8%) dua kali
prevalensi di perkotaan (0,4%). Kelompok pendidikan tidak tamat SD (0,7%) dan tidak pernah sekolah (0,8%) merupakan dua
kelompok yang paling tinggi prevalensinya dan kelompok tamat PT merupakan kelompok yang paling rendah prevalensinya
(0,2%). Kelompok “sekolah” dan petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi prevalensinya (masing-
masing 0,7%) sedangkan yang paling rendah adalah Pegawai/TNI/POLRI (0,3%).
Infeksi malaria pada kehamilan sangat merugikan bagi ibu dan janin yang dikandungnya, karena dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Pada ibu, malaria dapat menyebabkan anemia, malaria serebral, edema paru,
gagal ginjal bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada janin, dapat menyebabkan abortus, persalinan prematur, berat
badan lahir rendah, dan kematian janin.
Menurut Mass Blood Survei (MBS) pada tahun 2008 kasus infeksi pada ibu hamil yang terbanyak adalah Nusa Tenggara
Timur (624 orang), kemudian Maluku (455 orang). Secara absolut provinsi yang mempunyai kasus bumil malaria tertinggi
adalah NTT, namun provinsi yang mempunyai persentase kasus bumil malaria tertinggi adalah Sumatera Barat (6,36%) dan
Riau (2,24%) yang dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.
18 19
25
17
11 22 20 5
25 14 13 21 8
9
16 2 10
16 6
14 15 12
23 15 21
21
1
24
1 22
3 20 17
20 20
16 4 7
21
24
Keterangan :
1. An.aconitus 6. An. flavirostris 11. An. ludlowi 16. An. sinensis
2. An.balabacensis 7. An. koliensis 12. An.maculates 17. An.subpictus
3. An.bancrofti 8. An.letifer 13. An.minimus 18 An.sundaicus
4. An.barbirostris 9. An.leucosphyrus 14.An.nigerrimus 19. An. vagus
5. An.farauti 10. An.karwari 15. An.punctulatus 20. An. umbrosus
21. An.tesellatus 22. An.parangensis 23.An. kochi 24.An.ludlowi
25.An.annullaris
Menurut tempat berkembang biak, vektor malaria dapat dikelompokkan dalam tiga tipe yaitu berkembang biak di
persawahan, perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai. Vektor malaria yang berkembang biak di daerah persawahan
adalah An. aconitus, An. Annullaris, An. barbirostris, An. kochi, An karwari, An.nigerrimus, An.sinensis, An.tesellatus,
An.Vagus, An. letifer. Vektor malaria yang berkembang biak di perbukitan/hutan adalah An.balabacensis, An.bancrofti,
An.punculatus, An.Umbrosus. Sedangkan untuk daerah pantai/aliran sungai jenis vekor malaria adalah An.flavirostris,
An.Koliensis, An.ludlowi, An.minimus, An.punctulatus, An.parangensis, An.sundaicus, An.subpictus.
Waktu aktivitas menggigit vektor malaria yang sudah diketahui yaitu jam 17.00-18.00, sebelum jam 24 (20.00-23.00), sete-
lah jam 24 (00.00-4.00).Vektor malaria yang aktivitas menggigitnya jam 17.00-18.00 adalah An.tesselatus, sebelum jam 24
adalah An.Aconitus, An.annullaris, An.barbirostris, An.kochi, An.sinensis, An.Vagus, sedangkan yang menggigit setelah jam
24 adalah An.farauti, An.koliensis, An.leucosphyrosis, An.unctullatus.
Perilaku vektor malaria seperti tempat berkembang biak dan waktu aktivitas menggigit ini sangat penting diketahui oleh
pengambil keputusan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan intervensi dalam pengendalian vektor yang lebih
efektif.
Indikator keberhasilan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 adalah menurunkan angka kesakitan
malaria dan kematian penyakit malaria, pada tahun 2015 menjadi 1 per 1.000 penduduk dari baseline tahun 1990 sebesar 4,7
per 1.000 penduduk. Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah target MDGs yaitu angka kematian malaria dan proporsi
balita yang tidur dalam perlindungan kelambu berinsektisida dan proporsi balita yang diobati.
1. Upaya pengendalian yang dilaporkan melalui Laporan Rutin Program
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan dalam program pencegahan malaria seperti pemakaian kelambu, pengendalian
vektor.
a. Pemakaian Kelambu
Pemakaian kelambu adalah salah satu dari upaya pencegahan penularan penyakit malaria. Melalui bantuan Global Fund
(GF) komponen malaria ronde 1 dan 6 telah dibagikan kelambu berinsektisida ke 16 provinsi. Seperti terlihat pada gambar
16, kelambu dibagikan terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sedangkan di Sumatera Barat tidak ada laporan,
hal ini perlu dievaluasi untuk mengetahui penyebab tidak adanya laporan.
Cakupan kelambu berinsektisida yang dibagikan kepada penduduk yang berisiko malaria terbanyak pada tahun 2007 adalah di
Timor Leste (25,54%), tahun 2008 dan 2009 adalah Srilanka (23,21% dan 40,39%). Pada tahun 2009 cakupan kelambu di
Indonesia masuk sebagai 3 terendah di negara SEARO.
b. Pengendalian Vektor
Untuk meminimalkan penularan malaria maka dilakukan upaya pengendalian terhadap Anopheles sp sebagai nyamuk
penular malaria. Beberapa upaya pengendalian vektor yang dilakukan misalnya terhadap jentik dilakukan larviciding
(tindakan pengendalian larva Anopheles sp secara kimiawi, menggunakan insektisida), biological control ( menggunakan
ikan pemakan jentik), manajemen lingkungan, dan lain-lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan
penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS/ indoors residual spraying) atau menggunakan kelambu
berinsektisida. Namun perlu ditekankan bahwa pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA (rational, effective,
efisien, suntainable, affective dan affordable) mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor yang
beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku nyamuk menjadi sangat penting. Untuk itu diperlukan
peran pemerintah daerah, seluruh stakeholders dan masyarakat dalam pengendalian vektor malaria.
Pada tahun 2009-2010, beberapa provinsi telah melaporkan bahwa seluruh kasus malaria klinis (100%) diperiksa sediaan da-
rahnya, pada tahun 2009 sebanyak 6 provinsi dan tahun 2010 sebanyak 3 provinsi. Gambar 19 dan 20 di bawah ini juga
menunjukkan adanya pemeriksaan sediaan darah pada malaria klinis yang melebihi 100% (tahun 2009 : papua; tahun 2010 =
Papua, NTB, Aceh), hal ini dapat terjadi karena data yang dilaporkan bercampur antara laporan/data rutin dan data survei.
Dari kondisi ini tampak perlu ada upaya yang dapat memvalidasi data laporan, serta perlu dibuat suatu standar sistem pencata-
tan dan pelaporan yang dapat memisahkan antara laporan rutin dan survei.
Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009 Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Gambar 19. Persentase Pemeriksaan SD di Indonesia Tahun 2009 Gambar 20. Persentase Pemeriksaan SD di Indonesia Tahun 2010
Berdasarkan Gambar 22 dibawah ini terdapat 8 provinsi yang seluruh kasus malaria dengan pemeriksaan sediaan darah
positif yang diobati, yaitu Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Tengah dan
Gorontalo. Hal ini harus dipertahankan karena dengan pengobatan seluruh kasus malaria dengan sediaan darah positif dapat
memutus rantai penularan. Sedangkan untuk yang persentasinya rendah perlu dievaluasi apa yang menyebabkan rendahnya
penggunaan ACT, apakah karena ketidaktahuan petugas medis atau penolakan pasien mendapat obat ACT karena
keterbatasan pengetahuan/informasi tentang efek samping obat.
a. Riskesdas 2010
Salah satu upaya pengendalian penyakit malaria yang paling sering dan masih menjadi andalan adalah
pengobatan penderita. Pengobatan yang efektif ini harus memenuhi tiga katagori, yaitu (1) jenis obat yang
diperoleh adalah ACT, (2) obat tersebut diperoleh penderita maksimum 24 jam setelah sakit dan (3) dosis obat
diperoleh untuk 3 hari dan diminum seluruhnya. Persentase penderita (semua umur) yang memenuhi persyaratan
tersebut adalah 33,7% dan untuk balita 22,3% seperti tabel di bawah ini:
Tabel 1.
Persentase Penderita Malaria Satu Bulan Terakhir dengan Pengobatan Artemisinin-based
Pengobatan efektif malaria dengan menggunakan Artemisinin-based menurut provinsi berkisar 0%- 81,9%, yang paling rendah
DI Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara (0%) dan paling tinggi adalah Banten (81,9%). Di daerah-daerah dengan kasus malaria
tinggi (Papua, Papua Barat, NTT), kasus malaria mendapat pengobatan masih kurang dari 50% (Papua Barat 10,2%, NTT
11,8% dan Papua 44,4%), hal ini sangat menghambat program eliminasi malaria. Sebaliknya beberapa provinsi dengan
prevalensi malaria klinis rendah menunjukkan proporsi pengobatan dengan obat malaria yang cukup tinggi (>50%) seperti
Banten, Bali, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Riau dan Sulawesi Barat.
Bila dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2007, cakupan pengobatan malaria lebih tinggi (44,7%) dari cakupan pengobatan
Riskesdas tahun 2010 (33,7%). Hal ini karena pengobatan menurut Riskesdas tahun 2010 adalah pengobatan yang efektif
sesuai kategori yang telah disebutkan diatas, sedangkan pada Riskesdas tahun 2007 tidak dipersyaratkan.
Cakupan tertinggi pengobatan efektif malaria menurut adalah pada kelompok umur >= 15 tahun (35,5%). Cakupan pada laki-
laki (34,4%) lebih tinggi dari pada perempuan (32,8%). Cakupan di perkotaan (40,1%) lebih tinggi daripada di perdesaan
(30,8%). Kelompok pendidikan yang paling tinggi cakupannya adalah pada kelompok tamat SMP (41%) dan berangsur-angsur
menurun ke pendidikan lebih rendah dan lebih tinggi. Cakupan menurut pekerjaan tertinggi pada pekerjaan “lainnya” (52,8%)
dan terendah pada pegawai/TNI/Polri (25,2%).
Untuk mengendalikan malaria selain pengobatan sangat penting pencegahan terjadinya malaria. Salah satu pencegahannya
adalah dengan memakai kelambu sewaktu tidur. Besarnya persentase pemakaian kelambu (dengan dan tanpa insektisida)
nasional adalah 26,1 persen dengan kisaran menurut provinsi dari 0,8 persen di Bali sampai 84,6 persen di Sulawesi Barat.
Persentase pemakaian kelambu berinsektisida di seluruh Indonesia adalah 12,9 persen dengan kisaran menurut provinsi dari
0,6 persen di Sulawesi Selatan sampai 66,1 persen di Papua Barat yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Untuk mengetahui cara pencegahan malaria di masyarakat, kepada responden umur ≥ 15 tahun ditanyakan tentang
pencegahan malaria. Jawaban terbanyak adalah “memakai obat nyamuk bakar/elektrika” (57,6%), “tidur menggunakan
kelambu” (31,9%) dan yang paling sedikit adalah “minum obat pencegahan bila bermalam di daerah endemis malaria” (4,7%)
seperti yang terlihat pada Gambar 27 di bawah ini.
b. Survei Khusus
Pada tahun 1973 ditemukan pertama kali adanya kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan
Timur. Sejak itu kasus resistensi terhadap klorokuin yang dilaporkan semakin meluas. Sejak tahun 1990, dilaporkan telah
terjadi resistensi parasit P. falciparum terhadap klorokuin dari seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, dilaporkan juga
adanya kasus resistensi plasmodium terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di Indonesia. Dari
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Litbangkes dan Lembaga Penelitian lainnya telah ditemukan adanya resistensi
plasmodium vivax terhadap klorokuin di beberapa wilayah di Indonesia (Bangka, Papua). Keadaan ini perlu dicegah dengan
pengobatan yang tepat dan efektif sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria.
Sejak tahun 2009 pemerintah telah menetapkan melalui Dekonsentrasi yang dilakukan melalui gubernur dan
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 293/MENKES/SK/ instansi vertikal di daerah
IV/2009 tanggal 28 April 2009 bahwa upaya pengendalian Desentralisasi: yang dilakukan melalui daerah otonom
malaria dilakukan dalam rangka eliminasi malaria di Indo- serta desentralisasi fungsional kepada BUMN, otorita
nesia. dll
Tugas pembantuan: yang dilakukan melalui Pemerin-
Adapun pelaksanaan pengendalian malaria menuju tah daerah dan pemerintah desa.
eliminasi dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau
beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna Negara kita merupakan negara kesatuan & negara hukum
terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas dimana pemerintah membentuk daerah otonom dimana
dari penularan malaria sampai tahun 2030 dengan penyerahan setiap urusan yang didesentralisasikan diatur
tahapan sebagai berikut: secara hukum.
2010: Eliminasi malaria di DKI, Bali dan Barelang Binkar,
dimana seluruh sarana pelayanan kesehatan telah mampu Hubungan antara pusat dan daerah dalam era desen-
melakukan konfirmasi laboratorium kasus malaria yang tralisasi dan otonomi adalah sebagai berikut:
rendah. Koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan, dan sinergitas
2015: Pembebasan Jawa, Aceh dan Kepulauan Riau. kebijakan, program dan kegiatan penyelenggaraan
2020: Pembebasan Sumatera, NTB, Kalimantan, dan urusan pemerintahan
Sulawesi. Pemerintah Pusat akan melaksanakan pembinaan -
2030: Pembebasan Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku pengawasan, monitoring - evaluasi, supervisi dan
Utara, dan NTT Fasilitasi kepada Pemerintah Daerah
Gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat melaksana-
Eliminasi malaria di daerah yang sudah rendah malarianya kan pembinaan-pengawasan, monitoring-evaluasi,
akan berhasil bila penanggulangan dilaksanakan secara supervisi dan fasilitas sesuai dengan PP 19/2010.
intensif yaitu dengan menambah tenaga terampil, mening-
Kabupaten/Kota melaksanakan otonomi daerah den-
katkan akses penderita terhadap pengobatan dan
gan memberikan pelayanan yang optimal.
pencegahan dan digunakan teknologi tepat guna yaitu
obat ACT setelah konfirmasi diagnosis, pengamatan kasus
Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh masing
dan vektor yang intensif dan upaya memutuskan rantai
masing tingkatan pemerintahan berdasarkan 3 kriteria:
penularan antara lain dengan penyediaan LLIN yang
1. Pusat : Berwenang membuat norma-norma, standar,
melindungi 80% penduduk sasaran. Ini perlu didukung
prosedur dan kriteria (NSPK), monitoring-evaluasi, su-
dengan komitmen yang kuat dari pemerintah setempat dan
pervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan den-
melibatkan masyarakat
gan eksternalitas Nasional.
2. Provinsi: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-
Terdapat 4 tahapan dalam mencapai eliminasi malaria
urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional
yaitu tahap pemberantasan, tahap pra eliminasi, tahap
(lintas Kabupaten/Kota)
eliminasi dan tahap pemeliharaan.
3. Kab/Kota: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-
urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam
Setiap satuan wilayah berupa Kabupaten/Kota perlu
satu Kabupaten/Kota)
menilai tentang status wilayah terhadap tahapan eliminasi
tersebut diatas dalam merencakan kegiatan pengendalian Penanggulang Malaria dalam era otonomi dan desen-
yang sesuai diwilayah masing masing. trasasi:
Penanggulangan malaria dalam era otonomi dan
Desentralisasi dan otonomi di Indonesia desentralisasi dilakukan berdasarkan surat edaran
Desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan MENDAGRI No.443.41/465/SJ tentang Eliminasi Malaria di
kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang efektif, Indonesia yang telah dijabarkan sebagai berikut:
efisien, ekonomis yang akuntabel dalam memperkuat de-
mokrasi melalui pendidikan politik masyakarat sipil setem- Pemerintahan Daerah Provinsi
pat menuju masyarakat sejahtera. 1. Menyusun strategi penanggulangan malaria melalui
suatu komitmen yang dituangkan dalam perundangan
Strategi dan pendekatan pemerintah dalam mensejahtera- daerah sebagai penjabaran pedoman eliminasi malaria
kan masyarakat dilakukan melalui beberapa azas sebagai di Indonesia.
berikut: 2. Memberikan asistensi dan advokasi kepada Pemerintah
Tantangan eliminasi malaria di Indonesia: Indonesia berbatasan dengan negara2 yang mempu
Beberapa tantangan untuk mencapai eliminasi malaria di nyai tingkat endemisitas malaria yang tinggi antara
Indonesia tahun 2030 sebagai berikut: lain Timor Leste dan Papua New Guinea.
Adanya perbedaan tingkat endemisitas malaria di
Indonesia yang sangat bervariasi mulai dari yang
tinggi tingkat endemisitas sampai dengan tak adanya Tindak lanjut menuju eliminasi malaria di Indonesia:
penularan malaria yang tersebar menurut kabupaten, Dalam menuju eliminasi tahun 2030 diperlukan semua
kecamatan dan desa bahkan sampai ke dusun dan wilayah Kabupaten dan Kota dengan penularan malaria
satuan terkecil masyarakat di pedesaan/kelurahan. dapat bergerak bersama sama menyelesaikan permasala-
han malaria diwilayahnya sesuai dengan tahapan yang
Tersedianya nyamuk penular malaria yang cukup
ada. Untuk itu diperlukan tindak lanjut sebagai berikut:
banyak baik yang dipengaruhi sesuai habitat Asia,
Australia dan berada diantara kedua kawasan terse- Pelatihan tenaga di Propinsi untuk melakukan pe-
but. metaan tahapan eliminasi di Kabupaten/Kota
Infrastuktur kesehatan yang masih belum merata Melakukan pemetaan Kabupaten/kota untuk mengeta-
diberbagai daerah terutama di daerah yang sangat hui status dalam tahapan eliminasi.
terpencil dipedalaman maupun yang berada di kepu- Komitmen daerah dalam pelaksanaan tahapan taha-
lauan terpencil. pan pengendalian malaria di Kabupaten secara
Tingkat kemampuan daerah dalam pembiayaan kese- berkesinambungan.
hatan yang sangat berbeda menurut kemampuan Komitmen yang menyangkut kebijakan daerah yang
sumberdaya alam di masing masing wilayah. mendukung, perencanaan, alokasi penganggaran,
Sumberdaya tenaga kesehatan yang tersedia dan dukungan legislasi dan pengawasan, dukungan
ketrampilannya dalam mengelola program dan ke- swasta dan partisipasi masyarakat.
mampuan teknis guna mengeliminasi malaria.
Dukungan penelitian guna menopang kegiatan elimi-
nasi malaria yang masih lebih banyak berada di kawa-
san barat Indonesia.
Dukungan peraturan perundang-undangan menuju
eliminasi yang masih terbatas dalam mengarahakan
masyarakat untuk berperilaku mendukung upaya
eliminasi malaria di Indonesia.
Perpindahan penduduk yang cukup tinggi antar
daerah dan antar pulau yang mengakibatkan pengen-
dalian malaria perlu lebih waspada tentang jalur per-
pindahan penduduk tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Laporan tahunan Direktorat PPBB tahun 2006, Direkorat PPBB, Depkes, 2007
2. Scalling Up LLIN for Prevention in Eastern Indonesia, Proposal Round Seven, Global Fund against TB, AIDS, Malaria,
2007
3. Pedoman Program Nasional Pengendaliaan Malaria di Indonesia (2007–2029), Direktorat Penegendalian Penyakit
Bersumber Binatang, Ditjen PP & LP, 2007
4. Bruce-Chwatt’s, Essential Malariology, third edition
5. First Annual Public Health Forum, Malaria –Waiting for the Vaccine, 1991, London School for Hygiene and Tropical
Medicine.
6. Emilio Pampana, Malaria Eradication, 1969
7. Drs. Faebuadodo Hia, M.Si, Kasubdit Lingkup IV Dit. UPD Ditjen Otda, Depdagri, Peran Pemerintah Daerah dalam Elimi-
nasi Malaria, Palangkaraya, 19 Agustus 2010.
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI, no 293/MENKES/SK/IV/2009, Eliminasi Malaria di Indonesia, 28 April 2009.
M
alaria masih merupakan penyakit infeksi yang resistensi dan mencegah timbulnya resistensi terhadap obat
menjadi perhatian WHO untuk dapat dilakukan primernya. Penggunaan artemisinin dipakai juga pada ma-
eradikasi disamping tuberkulosis dan HIV/AIDS. laria berat yaitu dengan menggunakan artesunate intra-
Sebagian besar daerah di Indonesia masih me- vena. Dengan tatalaksana baru malaria ini diharapkan akan
rupakan daerah endemik infeksi malaria, Indonesia bagian mendukung program pemerintah cq Kementerian Kese-
timur seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, hatan untuk melakukan eliminasi malaria dari bumi Indone-
Kalimantan dan bahkan beberapa daerah di Sumatra sia. Pengobatan yang dianjurkan ialah pengobatan yang
seperti Lampung, Bengkulu, Riau. Daerah di Jawa dan Bali efektif, radikal, membunuh semua stadium parasit yang ada
pun walaupun endemitas sudah sangat rendah, masih ser- di dalam tubuh. Tujuan pengobatan ini ialah penyembuhan
ing dijumpai letupan kasus klinis, parasitologik dan memu-
malaria, dan tentu saja hal ini tuskan rantai penularan.
disebabkan mudahnya trans-
portasi untuk mobilisasi pen- TATA LAKSANA KASUS MA-
duduk,sehingga sering menye- LARIA RINGAN/ TANPA
babkan timbulnya malaria im- KOMPLIKASI :
port. Perkembangan resistensi
pengobatan malaria terhadap Tatalaksana kasus malaria untuk
obat konvensional seperti plasmodium (P) falsiparum dan
klorokuin dan sulfadoksin- P.vivax pada dasarnya sama
pirimetamin telah melampaui yaitu memakai obat golongan
batas toleransi sehingga perlu ACT, perbedaan terjadi pada
diambil langkah-langkah baru pengobatan radikal, yaitu pe-
dalam pengobatan malaria. makaian primakuin pada P. fal-
Laporan resistensi pengobatan siparum dengan primakuin 45 mg/
malaria terhadap obat lama hari sebagai dosis tunggal dan
(klorokuin, sulfadoksin - pada P.vivaks primakuin dipakai
pirimetamin dan kina) dalam 10 dosis 15 mg ( 1 tablet) tiap hari
tahun terakhir memang meng- selama 14 hari.
kawatirkan, dimana terjadi lebih
dari 25% propinsi di Indonesia. Keadaan ini menyebabkan ACT yang tersedia di Indonesia ialah :
Kementerian Kesehatan melalui pertemuan- pertemuan Kombinasi Artesunate + Amodiakuin ( AS+AQ)
komisi ahli (KOMLI) malaria telah mengambil keputusan
untuk merubah strategi pengobatan malaria yakni dengan
Kombinasi Artemether – Lumefantrine (AL)
penggunaan obat ACT (artemisinin base combination treat- Kombinasi Dihydroartemisinin- Piperaquine (DHP )
ment). Hal ini seirama dengan pedoman WHO dimana se- Contoh penggunaan ACT (AS+AQ) pada malaria ringan/
cara global pengobatan malaria sudah dianjurkan untuk tanpa komplikasi. Artesunate + Amodiakuin ( 1 tablet ar-
berubah dengan penggunaan obat ACT. Seperti pada pen- tesunate 50 mg dan 1 tablet amodiakuin 200 mg (~ 153 mg
gobatan penyakit infeksi pada umumnya, kecenderungan basa). Dosis artesunate ialah 4 mg/kg BB/hari selama 3 hari
penggunaan obat kombinasi semakin kuat dalam mengatasi dan dosis amodiakuin ialah 10 mg/kg BB/hari selama 3 hari.
Obat ACT yang lain ialah kombinasi Artemeter-lumefantrine (Coartem). Merupakan kombinasi tetap ( fixed dose combination ),
dapat dipakai untuk malaria falsiparum dan malaria vivaks. Studi di Papua respon terhadap vivaks lebih rendah dibanding
kombinasi lainnya. Adapun dosis Coartem seperti pada tabel 2.
AL merupakan ACT yang disiapkan untuk sektor swasta sehingga obat ini tidak tersedia sebagai
obat program departemen kesehatan. AL, berisi Artemeter 20 mg dan lumefantrine 120 mg.
ACT yang relatif baru yaitu dihydroartemisinin + piperakuin (DHP). Kombinasi ini dipilih untuk mengatasi kegagalan kombinasi
sebelumnya yaitu artesunate + amodiakuin. Obat ini efektif untuk P. Falsiparum dan P.vivax, merupakan ACT yang dikemas
secara FDC dan diberikan sebagai dosis tunggal selama 3 hari. Obat ini disiapkan untuk program dan dipakai di Puskesmas/
RS pemerintah. Adapun dosisnya seperti pada table 3.
TATALAKSANA KASUS MALARIA BERAT bunuh parasit yang cepat dan menetap ii) efektif terhadap
parasit yang resisten, iii) memberikan perbaikan klinis yang
Malaria berat merupakan komplikasi dari infeksi malaria cepat, iv) menurunkan gametosit, v) bekerja pada semua
yang sering menimbulkan kematian. Faktor yang menye- bentuk parasit baik pada bentuk tropozoit dan schizont
babkan perlangsungan menjadi berat ataupun kematian maupun bentuk-bentuk lain, vi) untuk pemakaian
ialah keterlambatan diagnosis, mis-diagnosis (salah diag- monoterapi perlu lama pengobatan 7 hari. Artemisinin juga
nose ) dan penanganan yang salah/ tidak tepat/ terlambat. menghambat metabolisme parasit lebih cepat dari obat
Perubahan yang besar dalam penanganan malaria berat antimalaria lainnya. Ada 3 jenis artemisinin yang di per-
ialah pemakaian artesunate intravena untuk menurunkan gunakan parenteral untuk malaria berat yaitu artesunate,
mortalitas 34% dibandingkan dengan penggunaan kina. artemeter dan arteether. Artesunate lebih superior diband-
Pengobatan malaria berat secara garis besar terdiri atas 3 ingkan artemeter dan artemotil. Pada studi SEQUAMAT,
komponen penting yaitu : artesunate telah dibandingkan dengan kina HCl, artesunate
menurunkan mortalitas 34.7%.
1. Pengobatan spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
2. Pengobatan supportif (termasuk perawatan umum dan a) Pemberian OAM (Obat Anti Malaria) secara parenteral :
pengobatan simptomatik) i) ARTESUNATE INJEKSI ( 1 flacon = 60 mg), Dosis
3. Pengobatan terhadap komplikasi i.v 2,4 mg/kg BB/ kali pemberian.
(1) Pemberian intravenous : dilarutkan pada pela-
Pemberian obat anti malaria rutnya 1ml 5% bicarbonate dan diencerkan
Pemberian obat anti malaria(OAM) pada malaria berat ber- dengan 5-10 cc 5% dekstrose disuntikan bolus
beda dengan malaria biasa karena pada malaria berat intravena. Pemberian pada jam 0, 12 jam , 24
diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan ber- jam dan seterusnya tiap 24 jam sampai
tahan cukup lama di darah untuk segera menurunkan dera- penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4
jat parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat mg/kgBB. Bila sadar diganti dengan tablet
per parenteral ( intravena, per infus/ intra muskuler) yang artesunate oral 2 mg/kgBB sampai hari ke-7
berefek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya resis- mulai pemberian parenteral. Untuk mencegah
tensi. rekrudensi dikombinasikan dengan doksisiklin 2
x 100 mg/hari selama 7 hari atau pada wanita
Derivat Artemisinin : hamil/ anak diberikan clindamisin 2 x 10 mg/kg
Merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu) BB. Pada pemakaian artesunate TIDAK
yang memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain memerlukan penyesuaian dosis bila gagal
yang multi resisten. Artemisinin mempunyai kemampuan organ berlanjut. Obat lanjutan setelah
farmakologik sebagai berikut, yaitu : i) mempunyai daya parenteral dapat menggunakan obat ACT .
(1) ARTEMETER i.m ( 1 ampul 80 mg ) Keputusan seorang dokter untuk menggunakan artesunate
Diberikan atas indikasi : i.v pada malaria berat sudah berkonstribusi untuk menu-
(a) Tidak boleh pemberian intravena/ infus runkan angka kematian. Hal ini lebih nyata pada keadaan
(b) Tidak ada manifestasi perdarahan ( purpura keperparasitemia. Masalah berikutnya ialah penanganan
dsb) terhadap kegagalan fungsi organ yang sering ialah fungsi
(c) Pada malaria berat di RS perifer/ Puskesmas ginjal dan paru.
Dosis artemeter : Hari I : 1,6 mg/kg BB tiap 12
jam, Hari-2 – 5 : 1,6 mg/kg BB.
Ringkasan :
Infeksi malaria masih merupakan masalah kesehatan yang mendapat penanganan prioritas secara nasional dan global untuk
dilakukan eliminasi. Salah satu strategi untuk eliminasi ialah penanganan/ pengobatan yang tepat dan efektif. Saat ini Depart.
Kesehatan telah mensosialisasikan pengobatan baru untuk malaria dengan penggunaan obat ACT ( Artemisinin base Combina-
tion Therapy). Ada 3 jenis ACT yang tersedia di Indonesia ialah kombinasi Artesunate + Amodiaquine, Artemether-
Lumefantrine dan Dihydroartemisinin- Piperakuin. Untuk pengobatan malaria berat di pakai artesunate injeksi secara intra-vena.
Daftar Pustaka :
1. ACCESS : ACT NOW. To get malaria treatment that works in Afrika.Medicine Sans Frontieres, 2003
2. Gasem MH et all : Therapeutic efficacy of combination Artesunate plus Amodiaquine for uncomplicated malaria in Banjar-
negara district, Central Java. Proceeding Symposium of Malaria Control in Indonesia. TDRC Airlangga University Sura-
baya, Novemver 29 – 30, 2004
3. Greenwood BM, Fidock DA, Kyle DE et all : Malaria : progress, perils, and prospects for eradication. Journal of Clin. In-
vest, 2008 ; 118 : 1266 – 1276.
4. Hasugian AR, Purba HL, Kenangalem E et all : Didydroartemisinin-piperaquine versus Artesunate-amodiaquine : superior
efficacy and posttreatment prophylaktis against multidrug-resistant Plasmodium falciparum and plasmodium vivax malaria.
Clin Infect Dis. 2007; 44(8): 1075-7.
5. Inge Sutanto : Penggunaan artesónate-amodiaquine sebagai obat pilihan malaria di Indonesia. Proceeding Symposium of
Malaria Control in Indonesia. TDRC Airlangga University Surabaya, Novemver 29 – 30, 2004
6. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, et all : Two fexd-dose artemisinin combinations for drug-resistant falciparum and
vivax malaria in Papua Indonesia : an open-label randomized comparison. Lancet 2007; 369(9563): 757-65,
7. RBM : ACT : the way forward for treating Malaria. http://www.rbm.who.int/cmc_upload/0/000/015/364/RBInfosheet_9.htm
8. South East Asian Quinine Artesunate Malaria Trial (SEAQUAMAT) Group. Artesunate versus quinine for treatment of
severe falciparum malaria : a randomized trial. Lancet 2005; 366: 717-725.
9. Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF. Severe and complicated malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg. 1990; 84 (suppl. 2):
1-65.
10. White NJ : Qinghaosu (Artemisinin): The Price of Success. Science, 2008 ; 320 : 330 - 334
11. WHO; Guidelinesfor the treatment Malaria. WHO Geneve 2006.
12. WHO; Guidelinesfor the treatment Malaria. Second edition WHO Geneve 2010
13. WHO : The Use of Artemisinin & its derivates as Anti-Malarial Drugs. Report of a joint CTD/DMP/TDR Informal Consulta-
tion, Geneve, 10 -12 June 1998
14. WHO : Antimalarial Drug Combination Therapy. Report of a WHO Technical Consultation. Geneve 4-5 April 2001
1.Berat badan lahir < 2500 gram tanpa memperhatikan umur kehamilan. BBLR meliputi bayi dengan pertumbuhan Janin terhambat ataupun kelahiran premature.
2Kematian janin pada masa gestasi 22 minggu, atau berat janin 500 gr, sampai dengan 7 hari setelah lahir.
Patogenesis terjadinya efek buruk pada janin dihubungkan dengan malaria pada plasenta [5, 22, 24, 27]. Sedangkan
dengan insufisiensi plasenta akibat infeksi dan respons di daerah dimana baik P. falciparum dan P. vivax sama-
inflamasi sistemik. Terjadinya BBLR dihubungkan dengan sama prevalen, efek malaria terhadap prematuritas dan
terdapatnya obstruksi mekanik parasit malaria yang me- kematian perinatal dikaitkan dengan efek sistemik malaria,
nempel pada reseptor Chondroitin Sulphate A (CSA) di seperti panas dan anemia [4, 6, 18].
syncytiotrophoblast plasenta yang menyebabkan gang-
guan sirkulasi dari ibu ke janin [25] dan berdampak terha- Penelitian mengenai efek infeksi P. falciparum terhadap
dap transport oksigen dan nutrisi [26]. Selain itu respons kehamilan sudah banyak dilakukan sedangkan data men-
inflamasi terhadap malaria juga dapat menyebabkan penu- genai infeksi P. vivax masih terbatas, sementara itu diselu-
runan berat badan lahir. TNF (tumor necrosis factor) α, IFN ruh dunia terdapat 92 juta ibu hamil yang hidup didaerah
(interferon) γ dan IL (interleukin)-8 –T cells helper tipe 1– endemis P. vivax dengan 59 juta bayi baru lahir yang ber-
diketahui dapat menyebabkan vasodilatasi yang akan irisiko terkena efek samping malaria vivax pada kehamilan
mempengaruhi hemodinamika utero plasental dan penu- [12]. Pendapat terdahulu yang menganggap infeksi P.
runan perfusi darah ke plasenta dan janin nya [26]. vivax tidak berbahaya adalah tidak benar, karena P. vivax
dalam kehamilan juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
Didaerah dimana infeksi P. falciparum sangat prevalen, terkena anemia dan BBLR [6, 19, 20].
kelahiran prematur dan kematian perinatal dihubungkan
3. Penanggulangan malaria pada kehamilan yai angka kegagalan yang tinggi untuk mengobati malaria
falciparum di Afrika dan di daerah Asia Pasifik [8-10]. Se-
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan
mentara itu resistensi obat terhadap P. vivax malaria juga
tiga strategi penanggulangan malaria pada kehamilan
sudah menyebar [11]. Meskipun kina masih efektif untuk
yaitu: deteksi dini dan pengobatan malaria yang efektif,
digunakan sebagai antimalaria namun mengalami masalah
pencegahan malaria secara intermiten dengan mengguna-
dalam kepatuhan berobat, karena harus diminum selama 7
kan SP dan penggunaan kelambu berinsektisida [2, 28]}.
hari, 3 kali sehari [9]. Disamping itu, rasa pahit kina juga
Namun terdapat beberapa hal yang dapat mengurangi menghambat kepatuhan. Di Timika (Papua), angka kega-
efektifitas strategi ini. Pertama, semakin menyebarnya galan pengobatan malaria dengan menggunakan klorokuin
parasit yang resisten terhadap obat malaria lama (klorokuin dan SP dan kina tanpa supervisi adalah tinggi dengan
dan SP). Kedua, diagnosis malaria pada kehamilan adalah angka kegagalan pada hari ke 28 mencapai 65% setelah
sulit, karena parasit malaria dapat menempel semua di pengobatan malaria vivax dengan klorokuin dan 48% sete-
plasenta tanpa ditemukan parasit sama sekali di dalam lah menggunakan klorokuin dan SP untuk falciparum ma-
darah tepi [27, 29]. Terakhir, malaria tanpa gejala pada laria dan 67% setelah kina tanpa supervisi [9].
kehamilan dapat menyebabkan efek buruk pada ibu dan
Rekomendasi pengobatan malaria pada kehamilan teru-
janinnya [5, 6, 17].
tama berdasarkan pendapat ahli ataupun bukti yang terba-
Selain itu, sebagian besar penelitian mengenai program tas. Hal ini disebabkan karena pada penelitian obat, ibu
penanggulangan malaria terutama menyangkut infeksi P. hamil selalu dieksklusi. Sementara itu, karena kondisi ke-
falciparum. Sementara masih sedikit yang diketahui ten- hamilannya, sangat mungkin terdapat modifikasi dari far-
tang penanggulangan infeksi P. vivax. Perbedaan pato- makokinetik obat antimalaria sehingga dibutuhkan penye-
genesis dari kedua infeksi tersebut sangat memungkinkan suaian dosis [30]. Oleh sebab itu data klinis dan farmakoki-
untuk diperlukan pendekatan yang berbeda. netik obat antimalaria pada ibu hamil amat sangat diperlu-
kan [30]. Walaupun demikian mengingat dampak buruk
3.1. Deteksi dini dan pengobatan yang efektif malaria pada kehamilan, WHO tetap merekomendasikan
Deteksi dini dan pemberian obat antimalaria yang efektif penggunaan terapi kombinasi artemisinin (Artemisinin com-
akan mengurangi risiko efek buruk malaria pada kehamilan bination therapy) sebagai lini pertama untuk pengobatan P.
[8, 30]. Metoda pemeriksaan malaria dengan mikroskop falciparum dan P. vivax yang telah resisten klorokuin pada
merupakan cara yang paling banyak dipakai. Namun cara ibu hamil trimester kedua dan tiga [8].
ini membutuhkan tenaga mikroskopis yang berpengala-
man. Sebagai alternatif, Rapid Diagnostic Test (RDT) da- 3.2 Kelambu berinsektisida
pat digunakan pada tempat-tempat dengan sumber daya Penggunaan kelambu berinsekstisida pada ibu hamil di
dan fasilitas yang terbatas [31]. Afrika adalah efektif untuk mengurangi kejadian malaria
pada plasenta, malaria perifer pada semua kehamilan
Di daerah endemis malaria, seringkali semua parasit P.
serta penurunan angka kejadian BBLR, lahir mati dan
falciparum menempel di plasenta dan tidak ditemukan
keguguran pada kehamilan 1 sampai 4 saja [35]. Data
parasit dalam darah tepi sama sekali [27, 29]. Hasil peneli-
efikasi kelambu berinsektisida di Asia (daerah dengan
tian menunjukkan bahwa RDT yang mendeteksi antigen
transmisi P. falciparum dan P. vivax) masih sangat terba-
HRP-2 pada darah perifer adalah lebih sensitif untuk men-
tas. Penggunaan kelambu berinsektisida pada ibu hamil di
deteksi malaria falciparum pada plasenta (sensitivitas 80-
Asia dihubungkan dengan penurunan risiko mengalami
89%) [29, 32] jika dibandingkan dengan test yang mende-
lahir mati atau keguguran pada semua kehamilan namun
teksi enzim Lactate Dehydrogenase parasit (sensitivitas
tidak berefek terhadap BBLR [36].
38%) [33]. Dipihak lain, test untuk mendeteksi antigen HRP
-2 mempunyai keterbatasan dalam mendeteksi jumlah
3.3. Pencegahan malaria secara intermiten
parasit yang rendah (<100 parasites/mL) dengan sensitivi-
tas hanya 88% [34]. Sensitivitas RDT untuk mendeteksi Pencegahan malaria secara intermiten adalah memberikan
infeksi non falciparum malaria adalah sangat rendah (50- obat antimalaria dengan dosis kuratif tanpa melalui konfir-
52%) [34], sehingga mikroskopis masih merupakan pilihan masi dan diberikan dengan interval yang telah ditentukan
yang terbaik. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan [37].
RDT tetap lebih baik daripada tidak dilakukan deteksi ma-
laria sama sekali. Pemberian obat pencegahan malaria dapat dilakukan se-
cara mingguan ataupun intermittent. Di Perbatasan Thai-
Obat antimalaria pada kehamilan land dan Burma, profilaksis malaria mingguan pada ibu
Obat antimalaria yang lama, seperti Cq dan SP mempun- hamill
hamil dengan menggunakan Mefloquine yang dimulai hamil tersebut, 70% diantaranya tidak mempunyai gejala
dalam masa kehamilan 20 minggu adalah efektif untuk sama sekali. Primigravida mempunyai risiko lebih tinggi
mencegah malaria falciparum dan vivax [38]. Hasil peneli- untuk terkena malaria (OR=1,3 [95%CI, 1,2-1,6],p<0,001),
tian di Kenya menunjukkan bahwa efektifitas pemberian namun multigravida pun mempunyai risiko yang hampir
SP secara mingguan ataupun intermitent adalah sama sama untuk terkena malaria.
efektif nya untuk mengurangi kejadian malaria plasenta
[39]. Oleh sebab itu untuk alasan kepraktisan WHO mere- Malaria pada kehamilan, walaupun tanpa gejala, dihubung-
komendasikan penggunaan satu dosis SP pada kehamilan kan dengan efek buruk pada ibu hamil dan juga janinya.
trimester dua dan satu dosis lagi pada awal trimester Malaria falciparum merupakan faktor risiko untuk terjadinya
ketiga untuk semua ibu hamil tanpa melihat paritas [40]. anemia berat (OR=2,8 [95%CI, 2,1-3,7], p<0,0001), se-
dangkan malaria vivax dihubungkan dengan anemia se-
Dalam kurun waktu 10 tahun setelah penggunaan dang (OR=1,5 [95%CI, 1,1-2,0], p=0,006 ). Baik infeksi P.
pencegahan malaria dengan menggunakan SP ditetapkan, falciparum (OR=2 [95%CI, 1,6-2,6], p<0.001) maupun P.
beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencegahan vivax (OR=1,5 [95%CI, 1,1-2,1], p=0,01) dihubungkan
dengan SP adalah efektif untuk mengurangi risiko malaria dengan risiko mempunyai bayi dengan berat lahir rendah.
plasenta dan/atau BBLR [39, 41]. Namun, dengan ting- Malaria dalam kehamilan merupakan faktor risiko inde-
ginya resistensi terhadap SP, maka penggunaan SP dapat penden untuk terjadinya kelahiran prematur (AOR=1,4
sangat mengurangi efektifitas dari program [42]. Oleh se- [(95%CI, 1,1-1,7], p=0,005). Infeksi P. falciparum di-
bab itu perlu untuk segera dicari obat antimalaria alternatif hubungkan dengan risiko tinggi untuk mengalami kematian
yang dapat menggantikan SP [37]. perinatal (OR=2.9 [95%CI: 1.9-4.2], p<0.0001), demikian
juga ibu dengan anemia berat (OR=2.6 [95%CI,1.7-3.8],
p<0.0001). Kejadian malaria kongenital adalah 1%
4. Skrining malaria pada kehamilan dan pengobatan
(32/4268) dari kelahiran hidup.
yang efektif
Melihat hal tersebut diatas, malaria skrining atau deteksi Masalah resistensi obat yang tinggi di Timika, juga meru-
dini malaria pada kehamilan tanpa melihat gejala dan pem- pakan ancaman bagi kondisi kesehatan ibu hamil dengan
berian obat yang efektif merupakan pilihan terbaik yang malaria. Sampai bulan Maret 2006, pengobatan malaria
ada saat ini. Skrining malaria mingguan telah diterapkan di pada ibu pada kehamilan trimester 2 dan 3 di Timika masih
kamp pengungsi di perbatasan Thailand dan Burma dan menggunakan klorokuin dan kina. Berdasarkan hasil
terbukti dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penelitian efikasi obat malaria baru yang dilakukan di
malaria dalam kehamilan [13]. Namun pencegahan ming- Timika, maka mulai Maret 2006 protokol pengobatan ma-
guan dianggap kurang relevan dengan kebanyakan kondisi laria lini pertama diubah menjadi dihydroartemisinin
di daerah endemis malaria lain, sehingga perlu dipikirkan piperaquine (DHP, salah satu bentuk ACT) yang terbukti
untuk mencari interval pemeriksaan yang paling efektif. sangat efektif untuk mengobati baik malaria falciparum
Berikut adalah pengalaman penanganan malaria dalam maupun vivax [43]. Mengingat terbatasnya pilihan obat
kehamilan di Timika (Papua) dengan metode skrining ma- antimalaria, DHP juga direkomendasikan untuk pengo-
laria dan pengobatan malaria yang efektif bagi semua ibu batan malaria tanpa komplikasi pada ibu hamil trimester ke
hamil yang akan melahirkan di rumah sakit. dua dan tiga kehamilan. Sebagai informasi, Timika meru-
pakan tempat yang pertama di dunia yang menggunakan
Malaria dalam kehamilan di Timika: Peran deteksi dini DHP sebagai lini pertama pengobatan pada ibu hamil tri-
dan pengobatan yang efektif mester 2 dan 3.
Malaria pada ibu hamil dan bayi merupakan masalah kese- Selama periode observasi, kami mempunyai 1160 data
hatan di Timika, Papua. Baik ibu hamil dengan malaria pengobatan DHP terhadap ibu hamil dengan malaria, yang
falciparum maupun vivax, semuanya dihubungkan dengan mana 765 ibu hamil mendapatkan pengobatan malaria
efek buruk pada kehamilan. Mulai bulan April 2004 sampai saat dirawat di RSMM dan 395 ibu hamil mempunyai ri-
dengan September 2008, semua ibu hamil yang masuk wayat pengobatan malaria dengan DHP selama kehami-
dibagian kebidanan RS Mitra Masyarakat (RSMM) diambil lannya yang sekarang. Dari hasil pengamatan kami, peng-
data klinisnya serta diperiksa malaria dalam darahnya gunaan DHP tidak dihubungkan dengan peningkatan risiko
tanpa melihat gejala. efek samping yang merugikan kehamilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi malaria Pada ibu hamil yang mendapatkan DHP saat dirawat di
pada ibu hamil dan melahirkan adalah tinggi (18%, RSMM, tidak didapatkan kematian neonatus pada 3 hari
808/4419) dan 60% disebabkan oleh P. falciparum, 32% P. pertama kehidupan (0/107) sementara angka kematian
vivax, 4,5% infeksi campuran dan 3,5% lain-lain. Dari ibu bayi pada ibu hamil yang mendapatkan kina oral tanpa
supervisi adalah 6,5% (3/46), p=0,026. Selain itu, tidak Daftar Pustaka
didapatkan peningkatan risiko terjadinya malformasi kon- 1. WHO. World Malaria Report 2008. Geneva, 2008.
genital pada ibu dengan riwayat pengobatan DHP (IR=0 2. WHO. World Malaria Report 2009. Geneva, 2009.
[95%CI, 0-20]) selama kehamilan dibandingkan dengan ibu 3. Desai M, ter Kuile FO, Nosten F, et al. Epidemiology
dengan riwayat pengobatan dengan kina atau klorokuin and burden of malaria in pregnancy. Lancet Infect Dis
(IR=15 [95%CI, 0,4-80]), p=0,515. 2007 Feb;7(2):93-104.
Ibu dengan riwayat pengobatan malaria dengan kina mem- 4. Luxemburger C, McGready R, Kham A, et al. Effects of
punyai risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria saat malaria during pregnancy on infant mortality in an area
melahirkan (OR=2,7 [95%CI 1,94-3,76], p<0,001,) kema- of low malaria transmission. Am J Epidemiol 2001 Sep
tian perinatal (OR=3,25 [95%CI 1,20-8,78], p=0,020) dan 1;154(5):459-65.
malaria kongenital (OR=15,88 [95%CI, 2,19-324,32], 5. van Geertruyden JP, Thomas F, Erhart A, D'Alessan-
p=0,001) jika dibandingkan dengan ibu dengan riwayat dro U. The contribution of malaria in pregnancy to peri-
pengobatan dengan DHP selama kehamilan. natal mortality. Am J Trop Med Hyg 2004 Aug;71(2
Suppl):35-40.
6. Poespoprodjo JR, Fobia W, Kenangalem E, et al. Ad-
5. Kesimpulan dan Saran verse pregnancy outcomes in an area where multidrug-
1. Malaria dalam kehamilan merupakan masalah kese- resistant plasmodium vivax and Plasmodium falcipa-
hatan yang serius dan dihubungkan dengan tingginya rum infections are endemic. Clin Infect Dis 2008 May
angka kematian ibu dan bayi didaerah endemis ma- 1;46(9):1374-81.
laria. Strategi penanggulangan malaria dalam kehami- 7. Brabin BJ. Congenital malaria--a recurrent problem.
lan yang ideal adalah disesuaikan dengan tingkat Ann Trop Paediatr 2007 Jun;27(2):95-8.
endemisitas dan kondisi epidemiologis masing-masing 8. WHO. Guidelines for the treatment of malaria. Geneva,
daerah. 2006.
2. Sesuai rekomendasi WHO, deteksi dini dan pengo- 9. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, et al. Thera-
peutic response of multidrug-resistant Plasmodium
batan yang efektif berarti adalah menggunakan ACT
falciparum and P. vivax to chloroquine and sulfadoxine-
untuk mengobati malaria tanpa komplikasi dan peng-
pyrimethamine in southern Papua, Indonesia. Trans R
gunaan artesunat intravena untuk menangani malaria
Soc Trop Med Hyg 2007 Apr;101(4):351-9.
berat pada ibu hamil trimester kedua dan tiga.
10. Wongsrichanalai C, Pickard AL, Wernsdorfer WH,
3. Tingginya resistensi parasit terhadap SP, membuat Meshnick SR. Epidemiology of drug-resistant malaria.
program pencegahan malaria dengan menggunakan Lancet Infect Dis 2002 Apr;2(4):209-18.
SP menjadi tidak efektif, sehingga skrining malaria 11. Baird JK, Schwartz E, Hoffman SL. Prevention and
intermiten dan pengobatan yang efektif merupakan treatment of vivax malaria. Curr Infect Dis Rep 2007
salah satu pilihan terbaik saat ini untuk menanggu- Jan;9(1):39-46.
langi malaria dalam kehamilan. 12. Dellicour S, Tatem AJ, Guerra CA, Snow RW, ter Kuile
4. Hasil penelitian kami di Timika menunjukkan bahwa FO. Quantifying the number of pregnancies at risk of
skrining malaria dengan mikroskopis pada setiap kon- malaria in 2007: a demographic study. PLoS Med
tak dengan ibu hamil dan memberikan pengobatan 2010;7(1):e1000221.
yang efektif dapat mengurangi risiko efek buruk ma- 13. Nosten F, ter Kuile F, Maelankirri L, Decludt B, White
laria dalam kehamilan. Ditempat dengan sumber daya NJ. Malaria during pregnancy in an area of unstable
yang terbatas, RDT (tes HRP-2 ataupun kombinasi endemicity. Trans R Soc Trop Med Hyg 1991 Jul-
dengan enzim aldolase untuk mendeteksi malaria non Aug;85(4):424-9.
falciparum) dapat dipakai sebagai alat skrining alter- 14. Steketee RW, Nahlen BL, Parise ME, Menendez C.
natif yang cukup sensitif terutama untuk mendeteksi The burden of malaria in pregnancy in malaria-endemic
malaria falciparum. areas. Am J Trop Med Hyg 2001 Jan-Feb;64(1-2
5. Untuk mencapai hasil yang optimal, masih perlu dikaji Suppl):28-35.
interval skrining yang paling efektif didaerah dengan 15. Brabin BJ, Hakimi M, Pelletier D. An analysis of anemia
sarana terbatas yang dapat mengurangi dampak bu- and pregnancy-related maternal mortality. J Nutr 2001
ruk malaria dalam kehamilan. Feb;131(2S-2):604S-14S; discussion 14S-15S.
16. Guyatt HL, Snow RW. Malaria in pregnancy as an indi-
rect cause of infant mortality in sub-Saharan Africa.
Trans R Soc Trop Med Hyg 2001 Nov-Dec;95(6):569-
76.
17. McGregor IA. Epidemiology, malaria and pregnancy.
MERS di INDONESIA
Cetakan Ketiga
Edisi Revisi
Tahun 2015
Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2017
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA a
Editor
dr. Elvieda Sariwati, M.Epid
dr. Nani Riskiyati, M.Kes
Kontributor
dr. Sigit Priohutomo, MPH
dr. Pompini Sp.P(K)
dr. Darmawan BS, Sp.A(K)
dr. Slamet, MHP
dr. Arie Bratasena
Martahan Sitorus, SKM,MPH
dr. Erlang Samoedro
dr. Sholah Imari, M.Sc
dr. Nadhirin
dr. Totok Hariyanto
dr. Zamhir Setiawan, M.Epid
dr. Ratna Budi Hapsari, MKM
dr. Benget Saragih, M.Epid
dr. Soitawati, M.Epid
dr. Suhesti Dumbela
dr. Dyan Sawitri
dr. Marlinggom Silitonga
dr. Endang Widuri Wulandari
dr. Rian Hermana
Gunawan Wahyu Nugroho, SKM, MKM
Dr. dr. Vivi Setiawaty, M. Biomed
Hana Apsari Pawestri, M.Sc
dr. Ni Ketut Susilarini, MS
dr. Krisna Nur Andriana P,MS
dr. Roselinda, M.epid
Prof. Mohammad Sudomo. PhD
Ahmat Fandil, ST
dr. Erlina Burhan Sp.P(K)
dr. Diah Handayani, Sp.P
dr. Heidi Agustin, Sp.P
dr. Sardikin Giriputro, Sp.P(K)
dr. Fauzi Mahfud, Sp.A
Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan karunianya, Pedoman Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) edisi tahun 2013 selesai direvisi. Pedoman ini diharapkan menjadi
pedoman yang lebih ter-update dengan kondisi kekinian MERS.
Virus MERS adalah strain baru dari virus Corona yang belum pernah
dikenal oleh manusia. Virus ini mulai menyerang manusia di Arab Saudi
sejak bulan September 2012. Penyebaran Virus ini dari Arab Saudi ke Eropa
dan Asia dan masih memungkinkan tersebar ke benua yang lain.
KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
Khusus :
1.
Melaksanakan surveilans dan respon KLB/wabah
2.
Melaksanakan tatalaksana kasus sesuai standar
3.
Melakukan pengendalian infeksi
4.
Melakukan pemeriksaan laboratorium
2.1 Pengertian
2.1.1 Definisi Kasus MERS
Merujuk pada definisi kasus WHO, klasifikasi kasus MERS adalah
sebagai berikut :
DAN
2.1.2 Klaster
adalah bila terdapat dua orang atau lebih memiliki penyakit yang
sama, dan mempunyai riwayat kontak yang sama dalam jangka waktu
14 hari. Kontak dapat terjadi pada keluarga atau rumah tangga, dan
berbagai tempat lain seperti rumah sakit, ruang kelas, tempat kerja,
barak militer, tempat rekreasi, dan lainnya.
• Melakukan kontak fisik erat, yaitu seseorang yang kontak fisik atau
berada dalam ruangan atau berkunjung (bercakap-cakap dengan
radius 1 meter) dengan kasus probable atau konfirmasi ketika
kasus sedang sakit.
2.2 Tujuan
Umum :
Deteksi dini kasus MERS untuk mencegah penyebaran yang lebih luas
Khusus :
2.4 SURVEILANS
Zero reporting
Zero reporting adalah pelaporan mingguan penyakit dari pelayanan
poliklinik ke KKP terhadap adanya kasus penyakit yang diwaspadai yaitu
penyakit yang berpotensi KLB dan Penyakit yang ditetapakan sebagai Public
Health Emergency of Internasional Concern (PHEIC).
2.4.1.2 Kesiapsiagaan
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) melakukan kaji ulang secara
berkala atas kesiapan sistem surveilans di pintu masuk negara dalam
menghadapi kemungkinan masuknya infeksi MERS ke wilayah Indonesia.
Untuk kesiapsiagaan ada beberapa hal yang harus disiapkan yaitu peraturan,
pedoman, standar operasional prosedur, Tim Gerak Cepat, petugas terlatih,
sarana, logistik dan biaya.
• Website WHO
http://www.who.int/emergencies/MERS/en/
untuk mengetahui antara lain :
- Jumlah kasus dan kematian
- Distribusi kasus berdasarkan waktu, tempat dan orang
- Identifikasi negara-negara terjangkit
- Data dan informasi lain yang dibutuhkan
2) Rumah Sakit
5) Pusat :
• Melakukan pemantauan berita atau rumor yang berkembang
terkait dengan kasus MERS di masyarakat melalui media atau
sumber informasi lainnya dan melakukan verifikasi terhadap
berita tersebut.
2.4.2.2 Kesiapsiagaan
Pusat, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/Kota melakukan tinjauan
atas kesiapan perangkat surveilans yang ada dalam menghadapi
kemungkinan masuknya infeksi MERS ke wilayah Indonesia.
Kesiapan tersebut meliputi :
1) Sumber Daya Manusia (SDM)
• Mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC) yang sudah ada baik di
tingkat Pusat, Provinsi dan kab/kota.
3) Pembiayaan
2.4.2.3 Respons
1) Puskesmas
2) Rumah sakit
5) Pusat
Tujuan Umum :
Mengetahui besar masalah KLB dan mencegah penyebaran yang lebih luas.
Tujuan Khusus :
1) Mengetahui karakteristik epidemiologi, klinis dan virus
2) Mengidentifikasi faktor risiko
3) Mengetahui kasus tambahan untuk menilai keefektifan penularan dari
manusia ke manusia
4) Memberikan rekomendasi upaya penanggulangan
3. Persiapan penyelidikan
1) Persiapan lapangan, menginformasikan kepada petugas kesehatan
di lokasi dimana terdapat kasus.
2) Persiapan formulir penyelidikan
3) Persiapan Tim Penyelidikan
4) Persiapan logistik dan obat-obatan
5) Persiapan pengambilan spesimen.
4. Penyelidikan epidemiologi
1) Identifikasi kasus
Melakukan kunjungan wawancara ke tempat dimana kasus dirawat
termasuk dokter/petugas medis yang melakukan perawatan,
dengan menggunakan formulir investigasi yang sudah disiapkan
sebelumnya. Informasi yang perlu digali antara lain :
• Identitas dan karakteristik kasus : Nama, Umur, Jenis kelamin,
Alamat tempat tinggal, kerja, atau sekolah, Pekerjaan)
• Gejala dan tanda – tanda penyakit, Riwayat perjalanan penyakit,
termasuk komplikasi yang terjadi.
• Pengobatan yang sudah didapat, hasil – hasil pemeriksaan
laboratorium dan radiologis yang sudah dilakukan,
4) Pengambilan spesimen
5) Penanggulangan Awal
Meskipun saat ini belum ada obat – obatan termasuk vaksin yang
dapat menghambat perkembangan virus tetapi upaya melokalisir
penyebaran infeksi dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip-
prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi mulai dari yang
sederhana yaitu mencuci tangan sebelum dan setelah kontak
dengan / merawat kasus, pengelolaan limbah yang baik bahkan
sampai isolasi kasus.
2) Metodologi
a. Data umum
Jamaah Haji
Ya
Pemeriksaan KKP DEMAM
• Masker
• Edukasi : etika Pneumonia yang perlu TIDAK
Pneumonia
batuk CTPS, PHBS perawatan di RS
• Pulang
• Pulang, HAC
• Pengobatan • Pemantauan
• Masker selama 14 hari
gejala berlanjut • Edukasi
dalam 14 hari • Notifikasi
• Pulang
• Tata laksana kasus dan
rujukan sesuai SOP
• Lakukan tindakan terhadap
barang dan alat angkut
Puskesmas / gejala bertambah • Laporkan dalam 24 jam ke
RS setempat berat dalam 14 hari PHEOC cc Dinkes Prov
• Pemantauan kontak kasus
Rujuk ke RS
Pelaku perjalanan
Jamaah Haji Masyarakat
lainnya
Puskesmas / RS
Rujuk ke RS
Secara singkat skema jejaring kerja surveilans dapat dilihat pada bagan
berikut :
Ditjen P2P
cq PHEOC
1. Di pintu masuk
ALUR PELAPORAN
1. Pembinaan
Manajemen Klinis
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berat
Kasus dalam Investigasi MERS
Pengantar
Middle East Respiratory Syndrome sebagai infeksi zoonosis, dapat juga
menginfeksi manusia melalui kontak dengan unta atau hasil produk unta
secara langsung maupun tidak langsung (infeksi primer). Jumlah kasus
primer ini sedikit dibanding keseluruhan kasus. Sebagian besar kasus adalah
sekunder akibat penularan dari manusia ke manusia di pelayanan kesehatan
karena kurangnya penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi. Virus
ini tidak mudah transmisi dari manusia ke manusia kecuali ada kontak erat
seperti tenaga kesehatan yang merawat pasien terinfeksi tanpa menerapkan
dengan ketat kewaspadaan dan pengendalian higiene lingkungan.
Gambaran klinis infeksi MERS telah diketahui sejak 3 tahun lalu, tetapi
sampai saat ini patogenesis penyakit masih belum diketahui dengan jelas dan
belum tersedia pengobatan spesifik terhadap virus MERS (vaksin atau obat
antivirus). Pedoman ini akan terus berkembang dan diperbaharui, digunakan
untuk membantu tatalaksana infeksi saluran napas akut (ISPA) berat,
keadaan kritis yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU),
disamping menggunakan pedoman Sepsis Campaign terbaru. Pedoman ini
tidak menghilangkan kewenangan klinis spesialistik akan tetapi membantu
dalam penatalaksanaan klinis pasien.
Infeksi Saluran Pernapasan Infeksi saluran pernapasan akut dengan riwayat demam
Akut (ISPA) berat atau demam > 380C dan batuk, onset dalam 10 hari dan
memerlukan perawatan rumah sakit. Tidak adanya demam
bukan menyingkirkan infeks MERS. Pada pasien tanpa
demam tetapi memiliki riwayat batuk atau gejala respirasi
seharusnya dievaluasi untuk risiko MERS
Pneumonia berat Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau diduga
infeksi pernapasan, batuk, frekuensi pernapasan> 30
kali/ menit, gangguan pernapasan berat, saturasi oksigen
(SpO) <90% room air, anak dengan retraksi dinding dada,
tanda-tanda distres napas (naoas cuping hidung, napas
berbunyi, sianosis sentral, tidak dapat minum, letargi,
SpO2 < 90% atau takipnea (<2 month, frekuensi napas >
60x/mnt, 2-11 bulan, frekuensi napas >50x/mnt, 1-5 thn
> 40x/mnt atau gambaran radiologis berupa konsolidasi,
ground glass, efusi pleura
Acute Respiratory Distress Onset: timbulnya gejala respirasi baru atau perburukan
Syndrome (ARDS) dalam waktu 1 minggu
SpO2 : saturasi oksigen, PaO2 : tekanan parsial oksigen, FiO2 : fraksi oksigen inspirasi,
CPAP : continuous positive airway pressure, PEEP : tekanan akhir ekspirasi positif, HR :
denyut jantung, RR : tingkat pernapasan, PaCO2 : tekanan parsial karbon dioksida, SBP :
Pada kasus dalam investigasi MERS dengan gejala sesak napas yang
ditandai frekeunsi napas > 30x/mnt (dewasa), takipnea (bayi <2 bulan),
frekuensi napas > 60x/mnt, 2-11 bulan, frekuensi napas >50x/mnt,
anak 15 thn > 40x/mnt atau pada foto toraks didapatkan gambaran
pneumonia maka dilakukan perawatan isolasi di rumah sakit rujukan.
KKP
Puskesmas
Rumah Sakit
TIDAK
TIDAK
Gejala demam, YA
batuk, sesak
Tata laksana kasus
sesuai penyebab
• Pantau gejala setiap hari terutama demam, gejala respirasi seperti batuk
atau sesak
Kasus dalam investigasi MERS menjalani isolasi rumah selama masa inkubasi
dan gejala tidak memberat. Pemantau kasus dalam investigasi MERS akan
dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer yang berkoordinasi dengan
dinas kesehatan setempat.
Bila ditemukan kasus RT-PCR MERS positif dan tidak ada gejala maka pasien
dilakukan isolasi rumah dengan pemantauan seperti diatas. Pasien dapat
kembali bekerja apabila hasil RT-PCR MERS negatif dalam 2 kali pengambilan
sampel berturut-turut dengan jarak waktu minimal 24 jam. Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan secepatnya minimal setiap minggu sampai hasil tes
pertama negatif lalu dilanjutkan setiap 24 – 48 jam untuk mengurangi waktu
isolasi di rumah.
Saat ini ada sistem baru pengiriman oksigen dengan aliran tinggi sampai
50-60 L/menit menggunakan nasal kanul tipe baru. Pemakaian alat ini
menunjukkan perbaikan distres napas dan oksigenasi dibanding nasal
kanul model lama (tradisional). Alat ini tidak bisa digunakan pada pasien
dengan hiperkapnia akibat PPOK eksaserbasi, edema paru kardiogenik,
5. Jika diberikan NIV, pantau pasien secara ketat di ICU, jika NIV tidak
berhasil, jangan menunda intubasi endotrakeal.
Pasien dengan ARDS, terutama pada pasien obesitas atau hamil, dapat
terjadi desaturasi cepat selama intubasi. Pasien dilakukan oksigenasi
pra intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2)100% selama 5 menit, melalui
bagvalve masker/ambu bag atau NIV dan kemudian dilanjutkan dengan
intubasi. Perhatikan untuk menerapkan kewaspadaan berbasis airborne.
- Minimalkan transportasi.
- Lung Recruitment Manuver dan PEEP yang tinggi pada ARDS sedang
dan berat akan memperbaiki angka tahan hidup berdasarkan meta
analisis
Mengurangi kejadian stres Berikan nutrisi enteral dini (dalam waktu 24-48
ulcer dan pendarahan jam pertama), berikan antihistamin-2 receptor
lambung atau proton-pump inhibitors
Latar belakang
1. Pengendalian administratif.
• Memakai masker medis ketika berada dekat (yaitu dalam waktu kurang
lebih 1 m) dan waktu memasuki ruangan atau bilik pasien.
ü Pastikan bahwa setiap orang yang berisiko sakit berat tidak merawat
atau mendekat pada pasien. Kelompok yang saaat ini berisiko tinggi
untuk infeksi MERS adalah mereka yang mengidap sakit jantung, ginjal,
dan saluran pernapasan kronis, serta usia lanjut. Jika kontak dengan
pasien tidak dapat di hindari oleh mereka maka pertimbangkan untuk
mencari alternatif tempat tinggal bagi mereka.
ü Sarung tangan, tissue, masker dan limbah lain yang berasal pasien atau
perawatan pasien harus dimasukkan dalam kantongan (ditempatkan
ü Pakaian, seprei, handuk tangan dan mandi, dll milik pasien dapat
dibersihkan dengan menggunakan air dan sabun biasa serta dikeringkan
dengan baik. Letakkan kain yang terkontaminasi kedalam kantong
laundry. Cucian yang kotor sebaiknya tidak di kucek-kucek dan
sebaiknya hindari pakaian yang terkontaminasi material yang berasal
dari pasien sakit.
Melihat bukti saat ini tentang transmisi MERS dari manusia ke manusia
yang masih terbatas dan terutama kurangnya bukti bahwa penyakit dapat
bertransmisi pada stadium pre-simptomatik atau gejala awal maka pada saat
ini belum diperlukan untuk melakukan isolasi atau karantina kontak. Orang–
orang termasuk petugas kesehatan yang mungkin terpajan dengan pasien
probabel atau konfirmasi infeksi MERS harus disarankan untuk memantau
kesehatannya selama 14 hari sejak pajanan terakhir dan segera mencari
pengobatan bila timbul gejala terutama demam, gejala saluran pernapasan
seperti batuk atau sesak napas atau diare.
• Jika akan diotopsi harus dilakukan oleh petugas khusus, jika diijinkan
oleh keluarga dan Direktur Rumah Sakit.
• Sputum
Pasien berkumur terlebih dahulu dengan air, kemudian pasien
diminta mengeluarkan dahaknya dengan cara batuk yang
dalam. Sputum ditampung pada wadah steril yang anti bocor
Anak-anak dan dewasa: dibutuhkan darah whole blood (3-5 mL) dan
disentrifus untuk mendapatkan serum sebanyak 1,5-3 mL.
Jika pengujian awal dari swab nasofaring pada pasien yang diduga
kuat memiliki infeksi MERS adalah negatif, maka spesimen harus
diperiksa ulang dengan menggunakan spesimen baru yang diambil
dari saluran pernapasan bawah atau mengulangi pemeriksaan
spesimen nasofaring dan spesimen orofaringeal serta sera akut dan
konvalesen untuk pengujian serologis.
Spesimen dari pasien yang diduga MERS harus dikemas, dikirim, dan
diangkut sesuai dengan International Air Transport Association (IATA)
yang terbaru. Spesimen harus disimpan dan dikirim pada suhu yang
sesuai (lihat Tabel 1).
• Bila specimen
sampai di lab
pemeriksa
> 72 jam,
penyimpanan
specimen pada
suhu -800C
dan pengiriman
spesimen
dilakukan
menggunakan
es kering
Bila terdapat hasil yang berbeda dari dua pengujian pada situs-situs
unik pada genom MERS, harus dilakukan sekuensing dari amplikon
(produk PCR) yang dihasilkan dari pengujian RT-PCR yang sesuai
guna memastikan hasil pengujian. Data sekuen tersebut, selain untuk
memastikan ada/tidaknya virus, juga merupakan sumber informasi yang
berharga untuk memahami asal virus, apakah virus tersebut berasal
dari satu atau beberapa sumber. Oleh karena itu, sekuensing terhadap
nukleotida dan asam amino dari sebanyak mungkin spesimen positif
sangatlah direkomendasikan.
Salah satu syarat berikut harus dipenuhi untuk menyatakan sebuah kasus
telah mendapatkan konfirmasi laboratorium (gambar 1):
Hasil uji PCR POSITIF untuk setidaknya DUA target spesifik berbeda pada
genom MERS
ATAU
Satu hasil uji PCR POSITIF untuk SATU target spesifik pada genom MERS
dan HASIL SEKUENSING pada salah satu PCR produk berbeda, yang
memastikan kesamaan identitas dengan sekuen virus baru yang telah
dikenal.i
Satu hasil positif uji PCR untuk satu target spesifik tanpa uji lebih lanjut
belumlah kuat untuk membuktikan infeksi MERS. Klasifikasi akhir kasus
akan bergantung pada informasi klinis dan epidemiologis yang dikombinasikan
dengan data laboratorium. Penting untuk diingat bahwa serangkaian hasil
negatif tidak berarti mengeliminasi kemungkinan infeksi pada pasien yang
menunjukan gejala klinis. Sejumlah faktor juga dapat menghasilkan hasil
negatif yang salah, misalnya saja faktor-faktor:
2. IMAI District Clinician Manual: Hospital Care for Adolescents and Adults.
Geneva: WHO Press; 2011. Available at
http://www.who.int/influenza/patient_care/IMAI_DCM/en/index.html
10. Keenan SP, Sinuff T, Burns KE, et al. Clinical practice guidelines for the
use of noninvasive positif-pressure ventilation and noninvasive continuous
positif airway pressure in the acute care setting. CMAJ : Canadian
Medical Association Journal = journal de l’Association medicale canadienne
2011;183:E195–214.
15. Messerole E, Peine P, Wittkopp S, Marini JJ, Albert RK. The pragmatics
of prone positioning. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine 2002;165:1359–63.
16. Sud S, Friedrich JO, Taccone P, et al. Prone ventilation reduces mortality
in patients with acute respiratory failure and severe hypoxemia: systematic
kaji ulang and meta-analysis. Intensive Care Medicine 2010;36:585–99.
18. The National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) Clinical Trials Network. Comparison of two
fluidmanagement strategies in acute lung injury. The New England Journal
of Medicine 2006;354:2564–75.
20. Myburgh JA, Finfer S, Bellomo R, et al. Hydroxyethyl starch or saline for
fluid resuscitation in intensive care. The New England Journal of Medicine
2012;367:1901–11
27. Messerole E, Peine P, Wittkopp S, Marini JJ, Albert RK. The pragmatics
of prone positioning. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine 2002;165;1359–63
28. Sud S, Friedrich JO, Taccone P, et al. Prone ventilation reduces mortality
in patients with acute respiratory failure and severe hypoxemia: systematic
kaji ulang and meta-analysis. Intensive Care Medicine 2010;36:585–99.
29. Meade MO, Cook DJ, Guyatt GH, et al. Ventilation strategy using low
tidal volumes, recruitment maneuvers, and high positif end-expiratory
pressure for acute lung injury and acute respiratory distress syndrome:
a randomized controlled trial. JAMA : the Journal of the American Medical
Association 2008;299:637–45.
30. The National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) Clinical Trials Network. Comparison of two
fluidmanagement strategies in acute lung injury. The New England Journal
of Medicine 2006;354:2564–75.
32. Myburgh JA, Finfer S, Bellomo R, et al. Hydroxyethyl starch or saline for
fluid resuscitation in intensive care. The New England Journal of Medicine
2012;367:1901–11
35. For the latest information, please consult the WHO coronavirus web page
at http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/en/.
43. Jefferson T, Del Mar CB, Dooley L et al. Physical interventions to interrupt
or reduce the spread of respiratory viruses. Cochrane Database of
Systematic Kaji ulangs, 2011, 7:CD006207. Available at
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD006207.
pub4/abstract;jsessionid=074644E776469A4CFB54F28D01B82835.
d03t02.
44. WHO Guidelines on hand hygiene in health care. Geneva, World Health
Organization, 2009. Available at
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597906_eng.pdf.
46. A visual aid on how to put on and take off PPE is available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/putontakeoffPPE/en/
47. In this document, the term “medical mask” refers to disposable surgical or
procedure masks.
51. A Lai MY, Cheng PK, Lim WW. Survival of severe acute respiratory
syndrome coronavirus. Clinical Infectious Diseases, 2005, 41(7):67–71.
53. Infection-control measures for health care of patients with acute respiratory
diseases in community settings. Trainer’s Guide. Geneva, World Health
Organization, 2009. Available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_HSE_GAR_
BDP_2009_1/en/index.html
54. Infection-control measures for health care of patients with acute respiratory
diseases in community settings. Trainee’s Guide. Geneva, World Health
Organization, 2009. Available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_HSE_GAR_
BDP_2009_1a/en/index.html
56. Available at
http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/
NovelCoronaviru s_InterimRecommendationsLaboratoryBiorisk_190213/
en/index.html
59. WHO. 2015. Laboratory Testing for Middle East Respiratory Syndrome
Coronavirus (MERS-CoV) Interim Guidance updated June 2015.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/176982/1/WHO_MERS_
LAB_15.1_eng.pdf?ua=1
60. Drosten C et al. Clinical features and virological analysis of a case of Middle
East respiratory syndrome coronavirus infection. Lancet 2013; published
online June 17. http://dx.doi.org/10.1016/S1473-3099(13)70154-3
i. Data Dasar
Identitas kasus No. Klaster :
Nama :
Tgl lahir/umur :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan : (sebutkan secara spesifik)
Alamat :
Yang diwawancarai :
Tanggal Mulai sakit, tanda dan gejala :
………………………………………………………………………………………………
Tanggal masuk RS/tanggal kunjungan ke layanan kesehatan :
Tgl Nama RS Ruang rawat
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
Alamat No Hp/telp
Hubungan dg
Nama Umur JK yang dapat
kasus Rumah dihubungi
Tanggal pengambilan sampel, pemeriksaan lab dan jenis spesimen (cth : swab
nasopharing, sputum, dll) :
d. Informasi Klinis
Data klinis :
94
Form Notifikasi
No. Nama No PPH Umur L/P Alamat Asal Gejala Pengobatan yang diberikan
No. Diagnosa
Hari/Tanggal No Nama Lengkap Umur L/P Alamat No. Telp Regu Rombongan Pengobatan Ket.
PPH ISPA Pneumonia Pn. Berat
96
Laporan Pemantauan Jamaah Haji dengan Pasien Pneumonia Berat *
Pada Jamaah Haji dalam Perjalanan menuju Debarkasi
98
Laporan Pemantauan Kasus ISPA, Pneumonia dan Pneumonia Berat
Terhadap Petugas KKP dan Petugas di Otoritas Bandara/Pelabuhan dan Pos Lintas Batas Darat
Diagnosa
Hari/Tanggal No Nama Lengkap Umur Alamat No. Telp Pengobatan Ket.
ISPA Pneumonia Pn. Berat
RS/Puskesmas : ..............................................
Kabupaten/Kota : ..............................................
Provinsi : ..............................................
Diagnosa
Hari/Tanggal No Nama Lengkap Umur Alamat No. Telp Pengobatan Ket.
ISPA Pneumonia Pn. Berat
1. Pendahuluan
Suatu KLB infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh
virus corona baru dan kemudian dinamakan Middle East Respiratory
Syndrome (MERS), pertama kali dilaporkan pada 2012.Sampai saat ini
9 negara telah melaporkan adanya kasus tersebut. Melalui mekanisme
IHR (2005), WHO telah melakukan koordinasi respons global terhadap
perkembangan virus ini. Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi
pedoman bagi otoritas nasional dari mana Jemaah akan melakukan
perjalanan Umrah dan Haji pada waktu dekat guna mencegah,
mendeteksi, dan memberikan tatalaksana kasus–kasus import MERS.
Saat ini risiko Jemaah perorangan untuk terinfeksi MERS diperkirakan
masih rendah.
4. Protozoa
• Pneumocystis carinii
(sering pada penderita AIDS)
• Toxoplasma gondii
FAKTOR RISIKO PNEUMONIA
• Community
CAP Acquired Pneumonia
• Hospital Associated
HAP Pneumonia
• Ventilator Associated
VAP Pneumonia
Definisi
Community Acquired Pneumonia
(CAP)
Suatu infeksi akut parenkim paru yang
sesuai dengan gejala infeksi akut, diikuti
dengan infiltrat pada foto toraks,
auskultasi sesuai dengan pneumonia,
• à Pasien tidak pernah dirawat atau
berada di fasilitas kesehatan lebih dari 14
hari sebelum timbul gejala.
Ventilator-associated pneumonia
(VAP)
Pneumonia terjadi>48-72 jam
setelah intubasi
PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan
oleh mekanisme pertahanan paru.
Apabila terjadi ketidak seimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan
menimbulkan penyakit.
1. Inokulasi langsung
a. Intubasi trakhea
b. Luka tembus yang mengenai paru
2. Penyebaran melalui pembuluh darah dari
tempat lain di luar paru misalnya endokarditis
3. Inhalasi dari aerosol yang mengandung
kuman
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
Aspirasi sekret orofaring yang mengandung
kuman
PATOLOGI
} Kuman yang telah masuk ke dalam parenkim
paru akan berkembang biak dengan cepat
masuk ke dalam alveoli dan menyebar ke
alveoli - alveoli lain melalui pori interalveolaris
dan percabangan bronkus.
Pneumonia Lobaris
red89
Pada pneumonia:
q Stafilokokus piogenes
q Klebsiella pneumoniae
(Friedlander’s basillus)
cenderung terjadi kerusakan
jaringan nekrosis parenkim paru
sehingga sering terjadi Abses
paru dan empyema
§ Friedlander’s pneumonia :
◦ Sering mengenai lobus atas atau
lebih dari satu lobus
◦ Bisa berbentuk fibrokavernosus
sehingga menyerupai TB paru
23
Pneumonia atipik
• Pada pneumonia selain ditemukan bakteri
penyebab yang tipik sering pula dijumpai bakteri
atipik.
• Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah
– Mycoplasma pneumoniae,
– Chlamydia pneumoniae,
– Legionella spp.
– Penyebab lain
• Chlamydia psittasi
• Coxiella burnetti
• virus Influenza tipe A& B
• Adenovirus
• Respiratori syncitial virus.
GAMBARAN KLINIS
• Diantara faktor – faktor risiko yang telah
dikemukakan di atas, faktor risiko yang
paling sering adalah infeksi saluran
nafas bagian atas (50%).
• Setelah + 1 minggu temperatur
mendadak meningkat, kadang – kadang
disertai menggigil
qNyeri pleuritik pada daerah lobus yang
terkena
qBatuk – batuk yang disertai dahak
seperti karat besi (rusty sputum)
qSputum kadang – kadang purulen,
kadang kadang berbercak / garis
darah
qMyalgia
qHerpes simplex pada daerah bibir
pada hari – hari pertama
27
PEMERIKSAAN FISIS
§ Penderita sakit tampak berat
§ Kadang-kadang sianosis
§ Nafas cepat dan dangkal
§ Kadang-kadang ada nafas cuping
hidung
§ Adanya herpes simplex disekitar bibir
§ Demam dan nadi cepat
28
Pemeriksaan Fisik TORAKS
} Terdapat tanda – tanda konsolidasi jaringan
paru.
} Kelainan yang ditemukan tergantung kepada
luasnya jaringan paru yang terkena.
} Dari kasus – kasus yang dirawat di rumah
sakit yang juga mempunyai kelainan
radiologis hanya 1/3 yang memperlihatkan
tanda – tanda konsolidasi jaringan paru dari
pemeriksaan fisik.
• Kelainan yang mungkin ditemukan pada
pemeriksaan fisik paru :
– Inspeksi
• Bagian yang sakit tertinggal dalam pernafasan
– Palpasi
• Fremitus meningkat
– Perkusi
• Pada perkusi redup / pekak
– Auskultasi
• Adanya pleural friction rub ( pleuropneumonia)
• Nafas bronkial
• Ronkhi basah
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• LABORATORIUM
• DARAH
§ Leukosit 10.000 – 15.000 / mm3
tidak > 30.000 / mm3
+ 20% kasus leukosit bisa normal
Kalau leukosit < 3000 / mm3 prognosa jelek
§ Hitung jenis (diff. Count) leukosit, neutrofil
batang banyak
§ LED / ESR / BBS sangat tinggi
§ Bilirubin serum
§ kultur darah (+) pada 20 – 30%
RADIOLOGIS
Setiap lobus bisa terkena sebagian
atau seluruhnya
Yang sering lobus bawah
Perselubungan yang relatif homogen
pada daerah yang terkena
Untuk Menentukan Kausanya
Diperlukan Pemeriksaan :
• Sputum
– Langsung
– Kultur
jika sputum susah didapat, dapat dilakukan:
– Apusan faring
– Apusan laring
– Aspirasi trakhea (Pneumonia Nosokomial)
– Kultur darah
– Cairan pleura (kalau ada)
– Urine (Legionella)
• Pada keadaan – keadaan tertentu dimana
pemeriksaan – pemeriksaan di atas tidak
memberikan hasil diperlukan tindakan
yang invasif :
– Aspirasi trakhea
– Bronkoskopi
– Transtorakal biopsi
– Transbronkial biopsi
– Biopsi paru secara langsung
Community Acquired Pneumonia
(CAP)
• Pneumonia yang didapat di masyarakat (di
luar rumah sakit) yang merupakan masalah
kesehatan yang menimbulkan angka kesakitan
dan angka kematian yang tinggi di dunia.
Diagnosis sudah
Salah diagnosis
benar
Gagal
jantung
Emboli paru Faktor Faktor
Faktor obat
Keganasan penderita bakteri
Sarkaidosis
• Kelaianan lokal • Salah memilih • Kuman resisten
Reaksi obat
( sumbatan oleh obat terhadap obat
Perdarahan • Bakteri patogen
benda asing ) • Salah dosis/
• Respon cara pemberian yang lain
penderita yang obat • Bakteri ( miko
tidak adekuat • Komplikasi bakteria atau
• Komplikasi • Reaksi obat nokardia)
• Superinfeksi • Nonbakteriial
paru (jamur atau
• Empiema virus)
Gambar . Penderita yang tidak respon dengan pengobatan terapi empirik yang
diberikan
Prognosis
v Pada umumnya prognosis adalah baik,
tergantung faktor penderita,, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang
tepat serta adekuat.
v Perawatan yang baik dan intensif sangat pnguruhi prognosis penyakit pada
penderita yang dirawat.
q Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5 % pada
penderita rawat jalan, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit
menjadi 20%.
q Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian
pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu :
q Kelas I 0,I %
q Kelas II 0,6 %
q Kelas III sebesar 2,8
q Kelas IV 8,2%
q Kelas v 29,2 %.
Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia
komuniti dengan peningkatan risiko kelas.
§ Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998
adalah I3,8 %, tahun 1999 adalah 21 %, sedangkan
§ Di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 – 35 %.
Pencegahan
a. Pola hidup sehat termasuk tidak merokok
b. Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin
influenza)
– Sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian
tentang efektivitinya.
– Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk
golongan risiko tinggi misalnya:
• usia lanjut,
• penyakit kronik,
• Diabetes
• Penyakit jantung koroner
• PPOK
• HIV
• Dll.
Hospital-Acquired Pneumonia
(HAP)
Definisi
• Pneumonia Nosokomial atau Hospital-Acquired
Pneumonia (HAP)
• Adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien
48 jam di rawat di rumah sakit dan disingkirkan
semua infeksi yang terjadi sebelum masuk
rumah sakit
Klasifikasi
Berdasarkan onset penyakitnya HAP dibagi atas
q Onset dini
HAP Onset dini ,didefinisikan sebagai pneumoni yang terjadi dalam 4 hari
pertama rawat inap,
biasanya membawa prognosis yang lebih baik, dan lebih mungkin
disebabkan oleh bakteri antibiotic sensitive
q Onset lanjut
HAP onset lanjut didefinisikan sebagai pneumoni yang terjadi pada hari ke 5
rawat inap atau lebih,
Gejala dan temuan radiologis harus sudah mulai > 48 jam setelah
masuk rumah sakit
Eur Respir J 2007; 29: 548–560
DOI: 10.1183/09031936.00080206
CopyrightERS Journals Ltd 2007
Definitions
• Hospital-acquired • Health care-associated
pneumonia (HAP) pneumonia (HCAP)
– Pneumonia occurring – Includes HAP and VAP
³48 hours post-hospital – Pneumonia in patients
admission • Hospitalized for ³2 days in an
acute care facility within 90
• Ventilator-associated days of infection
pneumonia (VAP) • Residing in a nursing home or
– Pneumonia occurring long-term care (LTC) facility
>48-72 hours post- • Attending a hospital or
intubation hemodialysis clinic
• Receiving immunosuppressive
therapy or wound care within
30 days of infection
Pemeriksaan fisik
– Tergantung luasnya kelaianan
Diagnosis
• kultur sputum
• hitung darah lengkap
• Analisa Gas darah arteri
• Bronkoskopi
• Foto toraks
CT scan toraks
• Kultur darah
Differential Diagnosis
• Atelektasis
• Efusi pleura
• Tumor paru
Tatalaksana
q Terapi suportif Umum
q Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 %
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah .
q Humidifikasi dengan netribulizer untuk pengenceran dahak kental ,
dapat disertai dengan nebulizer untuk pemberian bronkodilator jika
ada bronkospasme
q Pengaturan cairan .
q Ventilasi mekanis
q Pemberian antibiotik
q Dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap organisme penyebab
infeksi .
- Dosis tinggi dari Penisilin G 6-12000000 unit / hari
- Ampicilin / Amoxicilin 3-4 x ( 500-1000 ) mg / hari
- Eritromisin 3-4 x 500 mg / hari
- Cephalosporin dosis sesuai dengan jenis sediaan
- Cotrimoxazol 2 x ( 1-2 ) tablet
- Bisa juga diberikan klindamycin selama 1 sampai 2 minggu .
Prognosis
Banyak orang yang memiliki kondisi yang memudahkan
terjadinya aspirasi.
Jika pengobatan diperoleh segera , kondisi ini jarang
menyebabkan komplikasi. Prognosis keseluruhan Anda
tergantung pada :
• berapa banyak kelaian paru
• tingkat keparahan pneumonia
• jenis bakteri penyebab infeksi
Tanpa pengobatan yang tepat , pneumonia dapat
menyebabkan masalah jangka panjang . Lung masalah abses
dan inflamasi dapat terjadi . Beberapa orang akan
mengembangkan kegagalan pernafasan akut . Ini bisa
berakibat fatal .
Pencegahan
Penulis:
Suharyo
Sri Andarini Indreswari
Kismi Mubarokah
ISBN: 878-602-61215-3-0
Diterbitkan oleh:
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang
Gedung F1, Kampus Sekaran Gunungpati, Kota Semarang 50229
Surel : fik@mail.unnes.ac.id
Laman : fik.unnes.ac.id
Telp./Faks. : +6224 8508007
2
PRAKATA
Penulis
3
DAFTAR ISI
PRAKATA .............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS ..................................................................... 4
Distribusi Penyakit .............................................................................................. 4
Etiologi ............................................................................................................... 8
Penularan Kontak Serumah dan Patofisiologi Penyakit Tuberkulosis .............. 8
PEMERIKSAAN TUBERKULOSIS ..................................................................... 16
Penegakan Diagnosis atau Pemeriksaan ............................................................. 16
Deteksi Dini Tuberkulosis dengan Indikator Interferon Gamma ....................... 17
PENGOBATAN TUBERKULOSIS ...................................................................... 31
PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULSOSIS .................................... 32
Program Imunisasi .............................................................................................. 32
Pencegahan ......................................................................................................... 33
Penemuan Penderita TB Paru ............................................................................. 34
PERAN MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS.. 35
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 45
Biodata Penulis
4
EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS
A. Distribusi Penyakit
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium
tuberkulosis dan bersifat menular. WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi
tuberkulosis (WHO, 2000). Di Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah
dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen
pengobatan yang semula 12 bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi
pengobatan ini disebut DOTS (Directly Observed Treatment Short Course
Chemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan
perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28% (Depkes RI, 1997).
Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Karena bakteri
Mycobacterium tuberculosis ini sangat mudah menular melalui udara pada saat pasien TB
paru batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah atau berbicara. Satu penderita bisa
menyebarkan bakteri Mycobacterium tuberculosis ke 10-15 orang dalam satu tahun.
Belakangan, masalah TB paru diperberat dengan infeksi HIV/AIDS yang berkembang
cepat. Selain itu, juga muncul kasus TB-MDR (Multi Drugs Resistant-kebal terhadap
bermacam obat). Meskipun Indonesia telah berhasil mencapai angka keberhasilan
pengobatan sesuai dengan target global, yaitu 85% dan tetap dipertahankan dalam empat
tahun terakhir. namun 54.2% setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat
juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan
oleh TBC. Di Indonesia, TB paru masih sulit dikendalikan karena penyakit tersebut
mempunyai dimensi sosial dan ekonomi. Di daerah yang padat penduduk biasanya
permukiman rapat dan tidak memenuhi syarat rumah sehat. Kesadaran masyarakat akan
kesehatan dan lingkungan juga rendah. Di Indonesia, TB paru merupakan pembunuh
nomor satu di antara penyakit menular dan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia
pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi didunia. Estimasi prevalensi TB
semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru
per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.
5
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun
2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan
demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case
Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun
terakhir adalah sekitar 90%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak
pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.
Berdasarkan Global Tuberculosis Control WHO Report tahun 2011. Pada tahun
2010, angka insidensi semua tipe TB, 450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk,
angka prevalensi semua tipe TB, 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka
kematian TB, 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari sedangkan
angka insidensi kasus baru TB Paru BTA positif pada tahun 2010 tidak tersedia.
Pada tahun 2005 dikatakan bahwa lebih dari sepertiga penduduk dunia terinfeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB paru menyerang sebagian besar
kelompok usia antara 15-35 tahun, terutama mereka yang bertubuh lemah, kurang gizi,
atau yang tinggal satu rumah dan berdesak-desakan bersama penderita TB paru. Pada
pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB paru dapat terdeteksi kalau diketahui
adanya kontak dengan pasien TB paru dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak
dengan penderita TB paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia
3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA
(+), dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan darah.
Di seluruh dunia sekitar 19-43% populasi saat ini terinfeksi TB, frekuensi
penyakit TB paru di Indonesia masih tinggi dan menduduki ranking kelima negara
dengan beban TB tertinggi didunia. Di Indonesia TB paru masih merupakan problem
utama baik dalam hal kesakitan maupun kematian. Data TB paru di Indonesia menurut
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Prof. dr. Tjandra Yoga
Aditama, tahun 2009 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya
perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya perempuan).
Berdasarkan prevalensi BTA (+) tahun 2010-2011 per provinsi triwulan 2 tahun 2011
adalah 41/100.000 penduduk, tertinggi di Sulawesi Utara dan terendah di D.I Yogyakarta.
Sedangkan semua kasus TB tahun 2010-2011 adalah 68 / 100.000 penduduk, tertinggi di
DKI Jakarta dan terendah di D.I Yogyakarta.
6
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan semua negara,
khususnya di Afrika dan Asia, mengadopsi program bernama “Directly Observed
Treatment, Short-course (DOTS)”. DOTS menganjurkan orang sehat untuk memonitor
pasien, meyakinkan pasien mengikuti proses pengobatan secara lengkap. Di Indonesia,
program ini dinamakan Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan untuk TB paru
perlu jangka waktu yang lama (6-8 bulan) dan penting dipahami bahwa semua obat TB
paru harus dipakai untuk jangka waktu sesuai perintah dokter. Tugas PMO di antaranya
mengawasi pasien TB paru agar menelan obat teratur sampai selesai pengobatan,
memberi dorongan agar pasien bersedia berobat secara teratur, mengingatkan pasien
untuk pemeriksaan ulang dahak serta memberi penyuluhan pada anggota keluarga. Upaya
pencegahan dan menurunkan penularan penyakit TB paru yang ditularkan melalui udara
juga dapat dengan perbaikan sistem ventilasi serta aliran udara dalam ruangan,
pengaturan kepadatan persatuan rumah (satu kamar dihuni tidak boleh lebih dari 4 orang),
gizi yang baik, serta tentu saja imunisasi atau vaksin BCG atau Bacille Calmette Geurin.
Berbagai studi memberikan kesimpulan bahwa apabila seseorang tinggal bersama
penderita TB paru aktif untuk beberapa waktu lamanya, kemungkinan akan terinfeksi
atau tertular sebesar 25 %-50 %. Kuman TB paru yang dikeluarkan bersama batuk, akan
berada di lingkungan rumah selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Dalam
keadaan lembab dan sirkulasi udara yang buruk dalam kamar atau bangunan, maka
kuman TB paru akan bertahan lebih lama dan siap menginfeksi orang-orang serumah,
terutama anak-anak. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya
keluarga serumah) akan dua kali lebih beresiko dibandingkan kontak biasa (tidak
serumah). Dalam hal ini koordinator TB paru juga mempunyai peranan penting dalam
pencegahan penularan TB paru yaitu dengan melaksanakan program rutin kunjungan ke
rumah penderita TB paru untuk melihat kondisi pasien, menanyakan apakah keluarga
yang tinggal satu rumah ada yang menunjukkan gejala penyakit TB paru, memberikan
pengarahan dan menyarankan keluarga yang tinggal satu rumah untuk melakukan
pemeriksaan dahak sebagai tindakan pencegahan penularan TB paru.
Tuberkulosis (Tb) paru di Indonesia merupakan masalah penyakit dengan
prevalensi tinggi urutan ketiga setelah India dan Cina. Kontribusi India, Cina dan
Indonesia hampir 50% dari seluruh kasus TBC yang terjadi di dunia. Berdasarkan Global
Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 (data 2010) angka prevalensi semua tipe TB adalah
sebesar 289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC
dengan BTA positip sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus.
7
Kematian akibat TB di luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per
hari (WHO. 2011).
Berdasarkan data WHO Global Report 2012, Indonesia berada di peringkat ke-9
dari 27 negara dengan beban MDR TB (Multi Drug Resistant Tuberculosis) terbanyak di
dunia. WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap rerata 2% per
tahun. Diperkirakan pasien MDR TB di Indonesia mencapai 6.620 orang. Rinciannya,
MDR TB di antara TB kasus baru 5.700 kasus dan MDR TB di antara kasus TB yang
pernah mendapat pengobatan 920 kasus (WHO, 2012). Hingga tahun 2012, tercatat
terjaring 4.297 suspek MDR TB dengan 1.005 pasien. Salah satu penyebabnya adalah
ketidak patuhan penderita dalam minum obat. Menurut laporan WHO tahun 2013,
Indonesia menempati urutan ke tiga jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan Cina
dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011
sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185 per 100.000
penduduk di tahun 2012 (WHO, 2013)
Salah satu pilar penanggulangan penyakit tuberkulosis dengan strategi DOTS
adalah dengan penemuan kasus sedini mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk
mengefektifkan pengobatan penderita dan menghindari penularan dari orang kontak yang
termasuk subclinical infection.
Berdasarkan Profil Kesehatan 2010 di Kota Semarang menggambarkan Penemuan suspek
tahun 2010 sebanyak 10971 orang mengalami peningkatan bila dibanding tahun 2009.
Penemuan penderita TB paru BTA positif sebanyak 872 orang (55%), mengalami
peningkatan 79 kasus (5%) bila dibandingkan tahun 2009 (50%). Penemuan kasus TB
anak sejumlah 371 kasus (15%) , fluktuasi hasil kegiatan disebabkan karena deteksi kasus
TB. Penemuan Suspek TB dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi, Tahun 2008
ditemukan sebanyak 8.511 (54%) , tahun 2009 ditemukan 8.003 (51%) dan meningkat
18% menjadi 10.971 (69%) pada tahun 2010. Sedangkan jumlah penemuan kasus suspect
(tersangka) masih jauh dari target. Sejak tahun 2009 sampai tahun 2011 kuartil ke 1,
angka pencapaian penemuan suspect hanya berkisar 53%. Angka tersebut sangat jauh
dari target sehingga diperkirakan penularan penyakit tuberkulosis akan semakin meluas
(Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012).
8
B. Etiologi
Tuberkulosis dikenal sebagai penyakit infeksi yang bersifat menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, sebagian besar menyerang paru tetapi
dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Tuberkulosis dapat memasuki tubuh barsama
butir-butir debu atau percikan dahak (Droplet) yang menyebar keudara sewaktu penderita
tuberkulosis batuk atau bersin (Yoga. Tjandra, 1999).
Mycobacterium Tuberculosis berbentuk batang ramping, lurus atau sedikit
bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Basil ini sulit sekali diwarnai, tetapi sekali
terwarnai maka ia akan menahan zat warna itu dengan baik sekali dan tidak dapat lagi
dilunturkan walaupun dengan asam alkohol. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Zat lilin yang ada di dinding selnya yang menyebabkan sulit
diwarnai dan kesulitan ini dapat diatasi bila digunakan zat warna yang melunturkan lilin
sambil dilakukan pemanasan. Untuk mewarnai kuman ini lazimnya digunakan zat warna
Zeihl-Neelsen (ZN). Basil ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,
Mycobacterium Tuberculisis dapat dormant (tertidur/tidak aktif) selama beberapa tahun
(Jawetz. 1996).
10
2. TBC ekstra paru adalah TBC yang menyerang organ tubuh lain selain paru-paru,
misal selaput paru, selaput otak, kelenjar getah bening, tulang, usus, ginjal, saluran
kencing dan lain-lain.
Adapun klasifikasi TB paru menurut The American Thoracic Society (1981) adalah :
1. Klasifikasi 0 : tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC
2. Klasifikasi I : tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC
3. Klasifikasi II : terinfeksi TBC / test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC
(gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif)
4. Klasifikasi III : sedang menderita TBC
5. Klasifikasi IV : pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif
6. Klasifikasi V : dicurigai TBC.
Teori John Gordon, mengemukakan terdapat tiga faktor utama yang berperanan
penting yang memberikan gambaran tentang hubungan terjadi penyakit dan masalah
kesehatan lainnya, tiga faktor utama tersebut adalah faktor penjamu (Host), faktor
penyebab (Agent) dan faktor lingkungan (Environment). Ketiga faktor utama ini disebut
dengan Segitiga Epidemiologi (Trias Epidemiologi). Timbulnya penyakit berkaitan
dengan gangguan interaksi antara ketiga faktor ini. Keterhubungan antara penjamu, agen,
dan lingkungan ini merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam
keseimbangan pada seorang individu yang sehat. Jika terjadi gangguan terhadap
keseimbangan hubungan segitiga inilah yang akan menimbulkan status sakit.
11
2. Keadaan Imunologis
Kekebalan yang diperoleh karena adanya infeksi sebelumnya atau pemberian
kekebalan buatan vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan
tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit
tuberkulosis paru.
3. Keadaan sosial ekonomi
Penyakit Tuberkulosis Paru umumnya menyerang golongan usia produktif dan
golongan sosial ekonomi rendah sehingga berdampak pada pemberdayaan sumber
daya manusia yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara.
4. Status Gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi
kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori
dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis
paru.
5. Lama Kontak
Penyakit TB Paru ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke
dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB Paru dewasa
dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti
ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan
percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi
penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah
orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.
Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat
dengan penderita TB Paru dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi,
terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang
kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian
(akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang
rawan tertular TB Paru adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi,
mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB Paru berat seperti
TB Paru meningitis, TB Paru milier atau penyakit paru berat.
12
6. Infeksi Virus HIV
Infeksi kuman tuberkulosis yang telah terjadi biasanya tercegah dengan adanya
sistem pertahanan tubuh. Orang yang sehat (tidak mengidap HIV/AIDS) akan
menderita TBC. Jika seseorang telah mengidap HIV, 10% kemungkinan akan sakit
TBC hanya dalam waktu 1 tahun saja. Hal tersebut tidak mengherankan karena TBC
adalah penyakit infeksi yang berkaitan erat dengan kerusakan sistem kekebalan
seluler, sedangkan orang yang terinfeksi HIV, imunitas selulernya rusak.
Angka TBC pada Odha (Orang dengan HIV&AIDS) sering kali 40 kali lebih
tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Angka TBC diseluruh
dunia meningkat karena HIV. TBC dapat merangsang HIV agar lebih cepat
menggandakan diri, mengurangi jumlah CD4 dan memburukkan infeksi HIV. Karena
itu, penting agar orang dengan HIV mencegah dan mengobati HIV. TBC adalah penyakit
berat dan membunuh lebih banyak Odha dibanding dengan semua penyakit lain. TBC
dan HIV saling memburukkan.
1. Faktor Penyebab (Agent)
Mycobacterium Tuberculosis termasuk dalam familie Mycobacteriaceae yang
mempunyai berbagai genus, satu diantaranya adalah Mycobacterium, yang salah
satu spesiesnya adalah M.Tuberculosis. Ada tiga jenis kuman yang satu keluarga
dengan Mycobacterium Tuberculosis, yaitu Mycobacterium bovis yang
menyebabkan penyakit hewan pada sapi perahan, Mycobacterium Tuberculosis
sendiri, dan Mycobacterium leprae yaitu penyebab penyakit lepra atau kusta.
Mycobacterium bovis juga dapat menyebabkan penyakit pada manusia, terutama
apabila minum susu sapi yang sedang menderita penyakit tersebut.
Mycobacterium Tuberculosis merupakan yang paling berbahaya bagi
manusia adalah tipe humanis (kemungkinan infeksi tipe bovinus saat ini diabaikan,
setelah higiene peternakan makin ditingkatkan). Kalau untuk bakteri-bakteri lain
hanya diperlukan beberapa menit sampai 20 menit untuk mitosis, basil TB
memerlukan waktu 12 sampai 24 jam. Hal ini memungkinkan pemberian obat secara
intermiten (2-3 hari sekali).
Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa
menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama terhadap gelombang cahaya
ultraviolet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja
berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100 oC.
Basil TB juga akan terbunuh bila terkena alkohol 70% atau lisol 5%.
13
2. Faktor Lingkungan (Environment)
Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa
lingkungan fisik, biologis dan sosial. Faktor lingkungan memegang peranan
penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan penghuninya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis
yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain:
1. Kepadatan Penghuni Rumah
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan
standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan
diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥ 10 m²/orang
dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi
antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≤ 10 m²/orang.
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya
akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping
menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.
2. Kelembaban
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40%-70 % dan suhu ruangan yang
0 0
ideal antara 18 C- 30 C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu
panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk
istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan
pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi. Rumah yang tidak memiliki
kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi
penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang
tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang
efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat
14
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri tuberkulosis.
Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase atau saluran air
di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambungan pondasi dengan dinding harus
kedap air, atap tidak bocor dan tersedia ventilasi yang cukup.
3. Suhu
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat
tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi:
1) Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah
diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara
24 – 34 ºC.
2) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air,
umumnya lebih rendah dari pada suhu kering, yaitu antara 20 - 25 ºC.
Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer
ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang
memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-30 ºC, dan suhu rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 30 ºC . Suhu dalam rumah akan
membawa pengaruh bagi penguninya.
4. Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara
juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah
tersebut tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Luas ventilasi
rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan
mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi
karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Kelembaban ruangan yan
tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya
bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis.
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus
15
menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga afar ruangan rumah selalu tetap
dalam kelembaban (humudity) yang optimum.
5. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya
matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik
untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya
dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusak mata.
Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai
20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah.
6. Lantai
Ubin atau semen adalah baik, namun tidak cocok untuk kondisi pedesaan.
Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang mampu di pedesaan, dan
ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa
yang dipadatkan. Syarat yang penting di sini adalah tidak berdebu pada musim
kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang
padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan
dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan
bersebu menimbulkan sarang penyakit.
7. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin
serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan
(privacy) penghuninya. Tembok adalah baik, namun disamping mahal tembok
sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila ventilasi tidak cukup.
Dinding rumah di daerah tropis khususnya pedesaan, lebih baik dinding atau papan.
Sebab meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-lubang pada dinding atau papan
tersebut dapat merupakan ventilasi, dan dapat menambah penerangan alamiah.
16
PEMERIKSAAN TUBERKULOSIS
17
d. Pemeriksaan Radiologis
Apabila dari tiga kali pemeriksaan dahak hasilnya negatif sedangkan
secara klinis mendukung sebagai tersangka penderita tuberkulosis, perlu
dilakukan pemeriksaan radiologis (Kresno SB. 2001).
e. Tes Tuberkulin
Pada tes tuberkulin diagnosis ditegakkan dengan melihat luasnya daerah
indurasi pada kulit tetapi saat ini di Indonesia, tes tidak mempunyai arti dalam
menentukan diagnosis tuberkulin pada orang dewasa sebab sebagian besar
masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis karena tingginya
prevalensi tuberkulosis. Hasil tes tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa
yang dites pernah terpapar dengan kuman tuberkulosis dan tes bisa negatif
meskipun orang tersebut menderita penyakit tuberkulosis, misalnya pada
penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, tuberkulosis milier dan morbili (Yoga.
Tjandra. 1999).
molekul MHC kelas I kepada sel T CD8⁺, sedangkan MHC kelas II kepada sel T CD4⁺.
Sel Th CD4⁺ yang telah mengenal peptida tersebut akan diaktifkan menuju jalur yang
berbeda berdasarkan konsep proliferasi Th1 dan Th2. Jenis penyakit karena infeksi
mikroorganisme tertentu mempengaruhi fenotip respon tertentu pula. Infeksi dengan
mikobakterium tuberkulosis cenderung mengaktifkan jalur Th1 dari pada Th2. Namun
dalam perjalanan penyakit TBC fenotipe Th1 dan Th2 dapat saling bergeser (switching)
tergantung dari berbagai kondisi, misalnya keparahan penyakit, pengaruh pengobatan dan
sebagainya. Aktivasi fenotipe Th1 menghasilkan pola produksi sitokin antara lain IFN-Ǵ,
sedangkan fenotipe Th2 menghasilkan sitokin antara lain IL-4. Pada penelitian ini
dikaitkan dengan kesembuhan dalam pengobatan dengan strategi DOTS selama 2 bulan
awal (Chackerian AA, Perera TV, Behar SM. 2001).
Hubungan produksi atau kadar sitokin di dalam serum dengan pengobatan telah banyak
diteliti, di Indonesia telah diteliti di Yogyakarta dengan hasil produksi IFN-Ǵ pada
18
PBMC penderita TBC paru aktif yang distimulasi dengan PPD dan mikobakterium
sonicate jauh lebih rendah dibanding kontrol sehat dan penyakit paru non tuberkulosis.
Tidak terdapat perbedaan pada stimulasi dengan PHA, hal ini menunjukkan penderita
tuberkulosis mempunyai defisiensi yang sifatnya spesifik dalam kapasitasnya
produksi IFN-Ǵ dan IL-4 di dalam supernatan kultur PBMC. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan rancangan nested case control, pada pasien baru tuberkulosis paru dengan
pemeriksaan sputum BTA positip yang mendapat pengobatan strategi DOTS selama 2
bulan. Jenis alel (HLA-DRB) yang ditemukan dengan pemeriksaan PCR dinyatakan
sebagai variabel paparan, variabel efek adalah hasil pemeriksaan sputum (BTA) dengan
pengecatan Ziehl Neelsen yang diteruskan dengan tes Niacin pasca 2 bulan pengobatan,
serta produksi IFN-Ǵ dan IL-4 (diperiksa dengan metoda ELISA). Sebagai variabel
perancu ditetapkan BMI dan jenis kelamin. Analisis dilakukan dengan menghitung rasio
odds dengan chi-square dan logistic regression. Untuk hubungannya dengan produksi
sitokin dilakukan analisis dengan T- test.
Penelitian dilakukan pada sampel sejumlah 73, diperoleh dari 158 pasien baru
berobat jalan yang diikuti selama 2 bulan, terdiri dari 34 kasus (tidak terjadi
konversi/BTA +) dan 39 kontrol (terjadi konversi/BTA -). Penelitian dilakukan di BP4,
12 Puskesmas dan RSUD Kota Semarang. Hasil penelitian adalah alel HLA-DRB1*1502
dan HLA-DRB5*01 merupakan alel yang bersifat risiko pada kasus dibandingkan kontrol
terhadap tidak terjadinya konversi BTA pasca 2 bulan pengobatan dengan OR = 3,2
(95% CI: 1,103-9,287). Sedangkan alel HLA-DRB1*1201 dan alel HLA-DRB3*01
merupakan alel yang bersifat protektif pada kasus dibandingkan kontrol, dengan OR=
19
0,305 (95%CI: 0,117-0,798), alel HLADRB3*01 dengan OR= 0,214 (95%CI: 0,077-
0,592). Apabila dilakukan penggabungan, alel HLA-DRB1*1502 bersama dengan alel
HLA-DRB5*01 dengan OR 4,21 (95% CI: 1,312-13,510), sedangkan alel HLA-
DRB1*1201 bersama alel HLA-DRB3*01 dengan OR 0,201 (95% CI: 0,64-0,628).
Population Attributable Risk (PAR) untuk alel HLA-DRB1*1502 bersama dengan HLA-
DRB5*01 sebesar 63,99%. Apabila variabel perancu dimasukkan ke dalam analisis, maka
hanya alel HLA-DRB1*1502 yang secara signifikan merupakan faktor risiko untuk tidak
terjadinya konversi BTA dengan OR= 4,9 (95% CI: 1,234 -15,617). Probabilitas untuk
HLA-DRB1*1502 adalah sebesar 70,57%. Kapasitas produksi IFN-ɤ dan IL-4 tidak
berhubungan dengan timbulnya kekebalan maupun kerentanan terhadap konversi BTA
yang diakibatkan oleh alel HLA-DRB1*1502, HLA-DRB5*01, HLA-DRB1*1201, dan
HLA-DRB3*01. Rerata produksi IFN-Ǵ di dalam kultur PBMC dengan stimulasi 0,5
ug/mL adalah sebesar 22,51 ± 26,17 pg/mL, dengan stimulasi PPD 5 ug/mL : 24,70 ±
26,15pg/mL. Dengan stimulasi PHA 50 ug/mL sebesar 152,92 ± 54,55 pg/mL, sedangkan
tanpa stimulasi sebesar 3,15 ± 6,19 pg/mL. Produksi IL-4 hanya terdeteksi dengan
stimulasi PHA sebesar 15,78 ± 18,70 pg/mL
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Alel HLA-DRB1*1502 merupakan
faktor risiko bagi pasien untuk tidak terjadinya konversi BTA pasca 2 bulan pengobatan
strategi DOTS, dengan probabilitas cukup besar. Tidak terdapat hubungan antara
kapasitas produksi IFN-Ǵ dan IL-4 di dalam supernatan kultur PBMC pasien dengan
faktor HLA-DRB. Sehingga disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang
pola produksi IFN-Ǵ pada orang yang kontak serumah dengan penderita TB paru dan juga
perlu dilakukan penelitian pada aspek farmakogenetik dalam upaya pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru di Indonesia.
Pada kelompok sampel dengan hasil tes mantoux yang positif pada kelompok kontak
serumah (79,4%) jauh lebih besar dari kelompok yang tidak kontak serumah (5,9%),
sedangkan pada hasil tes mantoux yang negatif, proporsinya pada kelompok tidak kontak
serumah dengan penderita tb paru 4 kali lebih besar dibanding kelompok yang kontak
serumah. Setelah dilakukan uji Chi square, diperoleh p value sebesar 0,0001dan nilai x2
sebesar 34,631. Ini berarti status responden (terpapar dan tidak terpapar) berhubungan
signifikan dengan hasil tes mantoux.
Rerata kadar interferon gamma pada kelompok yang terpapar kontak serumah
dengan penderita Tb paru sebesar 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak
20
terpapar lebih kecil yaitu 1,1 pg/ml. Demikian pula nilai maksimum dan minimum, pada
kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru lebih besar daripada
kelompok yang tidak terpapar dengan nilai 38,2 pg/ml dan 0,54 pg/ml dibanding 2,7
pg/ml dan 0,14 pg/ml.
Setelah dilakukan uji statistik beda rerata dengan menggunakan Man Whitney U test
(data kadar interferon gamma berdistribusi tidak normal) menunjukkan p-value 0,0001.
Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan
antara kelompok terpapar kontak serumah dengan penderita tb paru dengan kelompok
yang tidak terpapar.
Pada penelitian ini ingin dibandingkan hasil pemeriksaan Uji Tuberkulin dengan
pemeriksaan serologis kadar IFN gamma pada kelompok kontak serumah dengan
penderita TBC yang mempunyai hasil pemeriksaan BTA+. Kit yang dipergunakan masih
menggunakan Human IFN gamma Quantikine Kit, tidak menggunakan QuantiFeron-TB
Gold (QFT-G) atau T-SPOT yang telah dianjurkan pemakaiannya oleh CDC ( the US
Centers for Disease Control and Prevention) sejak Tahun 2005 kemudian diperbaharui
dan di publikasikan kembali pada tanggal 25 Januari tahun 2010 (Wongtim S et all, 1999,
Lee JY, Choi HJ, 2006, Miranda C, 2010), serta dibuktikan mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi (Soysal A, 2008).
Mengapa masih dipergunakan Human IFN gamma Quantikine Kit? Hal ini mengingat
hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya menunjukkan terdapatnya hubungan kadar IFN
gamma pada proses kesembuhan penderita TBC (Sri Andarini I, 2009). Oleh peneliti lain
di Yogyakarta didapatkan juga terdapatnya hubungan kadar IFN gamma dengan kadar
TH1 dan TH2 (Subronto YW, 2002).
Disamping harga dari Kit tersebut yang relatif lebih murah apabila dibandingkan
dengan kedua Kit terbaru tersebut, sehingga apabila ditemukan hasil yang signifikan
dapat secara lebih ekonomis dpergunakan untuk deteksi dini penyakit TBC paru.
Hasil penelitian tahun pertama ini sudah menunjukkan terdapatnya hubungan kadar IFN
gamma pada kelompok terpapar dan tidak terpapar (p value 0,0001). Harapan peneliti
dengan mengikuti perjalanan paparan selama 6-8 bulan kemudian, dapat ditemukan
perkembangan yang signifikan dari kadar IFN gamma tersebut. Perkembangan penyakit
kemudian diikuti dengan pembuktian secara klinis sesuai dengan ketetapan pelaksanaan
Program Pemberantasan Penyakit TBC Paru yaitu pemeriksaan dahak, rontgenologis dan
keadaan klinis dari kelompok terpapar tersebut.
21
Meskipun TST (Tuberkuline Skin Test)/Tes Mantoux dalam beberapa dekade
telah dipergunakan sebagai standar untuk mendeteksi TBC laten tetapi masih
mempunyai keterbatasan. Vaksinasi BCG dikatakan masih dapat mempengarui hasil
positif dari pemeriksaan tersebut (fals positif). Kemudian ditemukan bahwa IFN release
assays dapat dipergunakan sebagai alternatif standar di dalam penentuan TBC laten.
Implementasi yang berhasil pengunaaan IFN release Assays telah dibuktikan pada
penelitian terhadap pekerja kesehatan, personil laboratorium, dan klinisi yang patut
diduga menderita TBC laten . Penelitian menggunakan TB-Gold In Tube test dengan
standar ≥ 0,35 IU ml/>25% dari nilai Nul (Wongtim S et all, 1999, Lee JY, Choi HJ,
2006, Miranda C, 2010).
Pada penelitian ini adalah penderita kontak serumah dengan penderita TBC aktif
(BTA +). Karakteristik sampel di kedua kelompok yaitu terpapar dan tidak terpapar tidak
jauh berbeda, hanya pada umur secara rerata pada kelompok terpapar jauh lebih tua dari
kelompok tidak terpapar. Namun demikian faktor umur belum ada laporan yang
menyebutkan dapat mempengaruhi kadar interferon gamma. Oleh karena itu dari segi
pemilihan sampel sudah tidak berpengaruh terhadap faktor penelitian. Demikian pula
status imunisasi BCG dan status gizi tidak menunjukkan ada hubungan dengan kadar
interferon gamma. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara status paparan dengan hasil pemeriksaan TST (p value, 0001), serta
terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan berdasarkan status
paparan. Rerata kadar interferon gamma pada kelompok terpapar 5 kali lebih besar
dibanding rerata pada kelompok tidak terpapar. Ini menunjukkan bahwa kadar interferon
gamma sudah mulai menunjukkan peluang untuk menjadi indikator dalam melihat
perkembangan penyakit TBC pada kelompok yang rentan khususnya yang kontak
serumah dengan penderita. Penelitian sebaiknya dilanjutkan untuk mengikuti
perkembangan kadar IFN gamma pada penderita kontak serumah tersebut sehingga dapat
melihat keterkaitannya dengan perkembangan gejala fisiknya.
Penelitian di Yunani menyebutkan terdapat hubungan siknifikan antara indurasi
TST dan parut BCG yang terdapat (p < 0,0001), tetapi tidak terdapat hubungan signifikan
pada kelompok umur yang berbeda (6,12,15 tahun) pada diameter dari indurasi TST
(Lalvani A, Pareek M. 2010, Pareek M. 2011, Briassoulis G. 2005). Oleh karena Baku
Emas (Gold standard) untuk infeksi TBC laten belum ada maka sulit untuk menilai
apakah uji baru lebih baik dari uji tuberkulin. Penilaian sensitivitas dan spesitivitas alat
uji baru sulit dilakukan tanpa referensi uji sebagai baku emas (Subagyo A, 2006).
22
Di beberapa negara telah banyak dilakukan penelitian yang membandingkan
efektifitas dari IFN gamma release assays dengan TST. Diantaranya di Korea Selatan,
suatu negara dengan keadaan intermediate TB burden, telah dibandingkan hasil dari
TST, QFT-G dan T-SPOT TB assays. Dari 224 partisipan, didapatkan hasil dari 168
pasien, 87 orang menderita TB aktif, 131 orang dari kelompok dengan risiko rendah
untuk TBC. Dengan penetapan cut off untuk TST 10mm, didapatkan sensitivitas untuk
SPOT (96,6%), secara signifikan lebih tinggi dari TST (66,7%) dan QFT-G (70,1%).
Untuk spesivisitas QFT-G lebih tinggi dari pada TST (91,6% versus 78,6%).
Spesivisitas QFT-G lebih tinggi dari pada SPOT ( 91,6% versus 84,7%). (Legesse M,
2011)
Penelitian di Belanda menyebutkan bahwa hasil positif pemeriksaan dengan darah
(serologis) berhubungan dengan pajanan, tetapi pemeriksaan dengan TST tidak
berhubungan dengan pajanan. Terjadi kurang sensitifan dari IFN assays di dalam
mendeteksi individu dengan hasil pemeriksaan TST > dari 15 mm atau lebih serta status
imunisasi BCG (Koksal D, 2006).
Peneliti lain menyebutkan bahwa QFT-G dapat dipergunakan sebagai pengujian
penelitian yang bersifat seri. Akan tetapi pengulangan tes harus dibaca secara ber-hati-
hati oleh karena dapat dimungkinkan terjadinya infeksi non spesifik baru (Wong Cf, et
all , 2003)
Pemeriksaan IFN gamma dari cairan pleura pada pleuritis TBC dapat
dipergunakan sebagai diagnostik marker. Kadar IFN gamma secara siknifikan ditemukan
lebih tinggi pada penderita TBC dibanding individu non TBC (131,3 pg/ml versus 50,4
pg/ml dengan p value < 0,01). Penelitian dilakukan di sebuah RS Bangkok (Arend SM,
2007, Pai M, Joshi R, 2006), penelitian lain menyebutkan apabila cut off values 60 pg/ml
ditemukan sensitifitas sebesar 79,4% dan spesifisitas 100% untuk pemeriksaan dengan
IFN release assay. (Carandang EH. 1988)
Penetapan cut off values untuk TST, QFT dan SPOT dapat meningkatkan
sensitifitas untuk masing-masing assay tetapi spesifisitas untuk QFT tetap. Ditemukan
sensitivitas untuk TST 70%, QFT 78%, T SPOT 83,5%. Sedangkan spesifisitas TST
35%, QFT 89,4% dan T-SPOT 84,8%. QFT dan T-SPOT secara signifikan lebih spesifik
dibanding TST (p value < 0,01). Apabila cut off values dinaikkan maksimal sebesar 0,818
IU/ml untuk QFT sensitifitas tidak berkurang, meningkatkan untuk TST dan T
SPOTtetapi secara signifikan menurunkan spesifitasnya (Lee JY, Choi HJ et all, 2006),
23
demikian juga penelitian di Kuwait menyebutkan QFT-G-IT dan T-SPOT.TB dapat
dipergunakan untuk Penderita TBC dengan infeksi laten. (Arend SM, et all, 2001).
ACS (an Advisory Committee Statement) dari CTC ( Canadian Tuberculosis
Committee) memberikan rekomendasi dan melakukan pembaruan rekomendasi pada
tahun 2008 yang menyatakan bahwa pada orang dewasa atau anak-anak yang mengalami
kontak dengan penderita TBC paru aktif direkomendasikan dapat menggunakan IGRA
sebagai tes konfirmasi pada individu dewasa atau anak yang mempunyai hasil TST
positif pada pemeriksaan Tes Tuberkulin yang patut diduga dapat mengalami TBC laten
(LTBI/ Latent Tuberculosis Infection), serta diduga tidak akan berisiko menjadi kasus
TBC aktif. Sedangkan pada kontak yang dekat yang patut diduga dapat mengalami
pengembangan menjadi kasus aktif apabila terinfeksi, TST atau TST dan IGRA harus
dipergunakan. Apabila TST dan IGRA dilakukan direkomrendasikan hasil IGRA sebagai
penggambaran keadaan sebelum atau pada waktu TST dibaca. (Miranda C. et all, 2010).
Di Turki di dapatkan hasil penelitian yang menunjukkan IGRA merupakan alat
diagnostik yang mempunyai nilai diagnostik dengan dengan sensitifitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi. Turki merupakan negara dengan insidensi rendah (Soysal A. et all,
2008). IGRA dapat dipergunakan untuk diagnosa TBC aktif dan latent, sedangkan T-
SPOT TB assay dipergunakan dengan menggunakan ESAT-6 dan CFP-10 untuk pasien
TBC yang sedang di dalam pengobatan (CCDR. 2008). Igra apabila sensitifitasnya
dikembangkan dapat dipergunakan untuk melakukan eksklusi penderita LTBI dengan
keadaan immunocompromised (Zhao J. et all, 2011. Ahmad S. 2010). Skrining dengan
menggunakan Igra untuk LTBI merupakan suatu hal yang cost efektif, hal ini telah
dibuktikan pada penelitian yang dilakukan pada kaum imigran di London Inggris di
dalam upaya pencegahan penyakit menjadi TBC aktif (Pareek M, 2011).
Tetapi penelitian lain menyebutkan bahwa ESAT-6 dan CFP-10 kurang sensitif
apabila dipergunakan untuk mendiagnosis LTBI dibanding PPD (67 versus 100%)
(Dilektasli AG. Et all, 2010). Meskipun pada beberapa negara telah dibuktikan
sensitifitas dan spesifisitas dari T-TPOT.TB; akan tetapi pada penelitian yang dilakukan
di China pada 899 pelajar untuk melakukan skrining terhadap LTBI, ditemukan bahwa
terdapat hasil: Positip untuk untuk T-SPOT .TB 13,0% (95% CI 10,4-15,4) dan 24,9%
untuk TST (95% CI 21,5-28,6) pada sampel dengan parut BCG ( agreement 72,3%; 95%
CI: 68,6-75,8). Pada sampel tanpa parut BCG 17,3% (95% CI 11,7-24,2) dan 23,7%
(95%CI: 17,3-31,2) sedangkan agreement 73,1% (95% CI 65,4-79,9). Hasil ini
24
menunjukkan rendahnya hasil dibandingkan agreement (kesepakatan) yang telah
dtetapkan untuk pemeriksaan TST dan T-SPOT.TB (Zhang S. et all, 2010).
Dengan melihat hasil-hasil penelitian di beberapa negara tersebut, pemeriksaan
maupun skrining untuk penderita yang diduga menderita infeksi TBC laten, masih
memerlukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan melihat prevalens TBC pada suatu
negara.
Setelah diikuti selama dua tahun, pada kelompok yang kontak serumah dengan
penderita Tb paru terdapat 25% yang menunjukkan gejala klinis seperti batuk, nafsu
makan berkurang, dan berkeringat dingin di malam hari. Gejala ini menunjukkan adanya
suspek tuberkulosis. Sedangkan pada kelompok yang tidak kontak serumah dengan
penderita tb paru, setelah diikuti selama dua tahun, semuanya tidak menunjukkan gejala
klinis.
Hasil pemeriksaan kadar interferon gamma menunjukkan semua baik pada
kelompok yang kontak serumah maupun tidak kontak serumah dengan penderita tb paru
kadarnya di bawah 15,6 pg/ml. Perbandingan kadar IFN Gamma ditunjukkan pada tabel
berikut ini.
Tabel 1. Perbandingan antara Kadar Interferon Gamma Antara Kelompok Terpapar dan
Tidak Terpapar Kontak Serumah
Rerata kadar interferon gamma pada kontak serumah dengan penderita tb paru
lebih besar (hampir empat kali lipat) dibandingkan dengan kelompok yang tidak kontak
serumah. Sedangkan nilai maksimal kadar interferon gamma pada kontak serumah
hampir tujuh kali lipat lebih besar dibanding pada kelompok yang tidak terpapar. Kadar
IFN gamma berbeda secara signifikan (p value = 0,004) antara kelompok Kontak
serumah dengan yang tidak kontak serumah (dengan penderita tb paru).
25
25
20,954
20
15,232
15
10
4,78 4,292
92
5 2,68 2,756
756
1,188 1,127 1,376 0,203
0,136 0,203
0
Mean Minimum Maksimum
Kontak Serumah
Ser (1) Tidak Kontak Serumah (1)
Kontak Serumah
Ser (2) Tidak Kontak Serumah (2)
Grafik 1. Perbandingan
ngan IFN
I gamma antar kelompok pada tahunn 2011 (1) dengan tahun
2013 (2)
Jika dibandingkan
ingkan dengan pemeriksaan kadar interferon gamma
gamm dua tahun yang
lalu, reratanya baikk pada kontak serumah maupun tidak kontak
tak serumah
se mengalami
penurunan berkisarr 12,5%.
12,5 Demikian pula pada nilai minimum
um maupun
m maksimum,
mengalami penurunan
nan ha
hampir sepertiganya. Namun pada kelompok
mpok yang tidak kontak
serumah sedikit mengal
engalami kenaikan berkisar 0,1pg/ml baik
ik pad
pada nilai minimum
maupun maksimum.
2,5
1,5 th 2011
1 th 2013
0,5
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Grafik 2. Perbandinga
ndingan Kadar IFN Gamma pada kelompok tidakidak Kontak
K Serumah
dengan
gan Penderita
Pe Tb Paru antara tahun 2011 dengan
gan 2013
20
26
25
20
15
th 2011
10 th 2013
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Grafik 3. Perbandingan Kadar IFN Gamma pada kelompok Kontak Serumah dengan
Penderita Tb Paru antara tahun 2011 dengan 2013
Hasil perbandingan kadar IFN gamma pada kelompok Kontak Serumah dengan
Penderita Tb Paru setelah dua tahun diikuti, sebagian besar (75%) mengalami penurunan.
Demikian pula pada kelompok yang tidak kontak serumah, 65% mengalami penurunan
pada kadar IFN gammanya.
ROC Curve
1,0
,8
,5
,3
Kadar IFN
Sensitivity
0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0
1 - Specificity
Grafik 4. Kurva ROC Kadar IFN Gamma terhadap status Klinis pada Kelompok yang
Kontak Serumah dengan Penderita Tb Paru
27
Grafik di atas menunjukkan bahwa kadar IFN gamma mempunyai nilai diagnostik
yang cukup baik karena kurva jauh dari daris 50% dan mendekati 100%. Hasil analisis
diperoleh area under curve (AUC) sebesar 70,4% (95%IK 40,8% - 99,9%). Secara
statistik nilai 70,4% tergolong cukup kuat untuk mendiagnosis tuberkulosis. Ini berarti
jika kadar IFN gamma digunakan untuk mendiagnosis tuberkulosis diantara 100 orang
yang kontak serumah dengan penderita tb paru, maka kesimpulan yang tepat akan
diperoleh pada 70 orang yang kontak serumah. Namun demikan hasil penelitian
menunjukkan p value 0,309. Artinya AUC yang diperoleh belum berbeda secara
bermakna dengan nilai AUC 50%. Secara klinis, nilai AUC kadar IFN gamma sudah
memuaskan karena lebih besar dari yang diharapkan yaitu 70%.
1,2
0,8
0,6 Sensitivity
Specificity
0,4
0,2
0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Grafik 5. Kurva ROC Kadar IFN Gamma terhadap status Klinis pada Kelompok yang
Kontak Serumah dengan Penderita Tb Paru
Guna keperluan skrining maka hasil analisis menunjukkan bahwa cut off point
(titik potong) kadar IFN gamma pada kontak serumah dengan penderita tb paru diambil
nilai dengan sensitifitas dan spesifitas yang optimal secara statistik yaitu pada nilai 3,277
dengan nilai sensitiftas dan spesifitas masing-masing sebesar 67,7%..
28
Sedangkan pada anak, dilakukan skoring sesuai tabel berikut:
PARAMETER 0 1 2 3 JUMLAH
Kontak TB Tidak Laporan keluarga, BTA positif
jelas BTA negatifatau
tidak tahu BTA
tidak jelas
Uji tuberculin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat Bawah garis Klinis gizi buruk
badan/keadaan merah (BB/U < 60%)
gizi (KMS) atau
BB/U ≤ 80%
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab jelas
Batuk ≥ 3 mingu
Pembesaran ≥ 1 cm,
kelenjar limfe jumlah≥ 1,
koli, aksila, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan Ada
tulang / sendi pembengkak
panggul, lutut, an
falang
Foto torak Normal / Sugestif TB
tidak
jelas
Jumlah
Catatan :
a. Diagnosis dengan system skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk*dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronok lainnya
seperti asma, sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofulodermata ** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosa TB anak.
d. Berat badan dinilai pada saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan table
berat badan.
e. Foto toraks bukan alat diagnosis utama pada TB anak.
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
29
*Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya.
**Skrofulodermata adalah suatu bentuk reaksivitas infeksi TB, diawali oleh suatu
limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk sinus dipermukaan kulit.
Skrofulodermata ditandai oleh masa yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan
cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta
sikatris yang menyerupai jembatan. Biasanya ditemukan di daerah leher atau wajah,
tetapi dapat juga dijumpai di ekstremitas atau trunkus
1. Diagnosis Tuberkulosis Anak
Diagnosis dari tuberkulosis anak :
a. Dicurigai tuberkulosis
1) Anak sakit dengan riwayat kontak penderita tuberkulosis dengn diagnosis
pasti (BTA +).
2) Anak dengan :
a) Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk
rejan.
b) Barat badan menurun, batuk dan mengi tidak membaik dengan
pengobatan antibiotic untuk penyakit pernapasan.
c) Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.
b. Mungkin tuberkulosis
Anak dicurigai tuberkulosis ditambah :
1) Uji tuberculin + ( 10 mm / lb )
2) Foto rontgen paru sugestif tuberkulosis
3) Pemeriksaan histologis paru sugestif tuberkulosis
4) Respon yang baik pada pengobatan OAT
c. Pasti Tuberkulosis
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.
Identifikasi Mycobacterium tuberculosispada karakteristik biakan.
2. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari TB Paru :
a. Terhadap infeksi TB
1). Pencegahan terhadap sputum yang infeksius
a). Case finding
1). Foto Ro dada masal
30
2). Uji tuberkulin secara mantoux
b). Isolasi penderita dan mengobati penderita
c). Ventilasi harus baik.
d). Kepadatan penduduk dikurangi
2). Pasteurilisasisusu sapi oleh karena banyak pula sapi yang menderita TB
Paru
b. Meningkatkan daya tahan tubuh
1. Memperbaiki standar hidup
a). Makanan 4 sehat 5 sempurna
b). Perumahan dengan ventilasi yang cukup
c). Cukup tidur teratur
d). Olaraga di udara segar
2. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan vaksin BCG.
Mengenai vaksin BCG ini hanya sebagian daerah kecil di dunia ini yang
tidak setuju, tetapi untuk Indonesia saat ini masih sangat penting. Banyak
keuntungannya dibanding kerugiannya. Saat sekarang vaksin yang tersedia
dalam bentuk bubuk kering disimpan dalam temperatur dibawah 60 C pada
daerah tropis dapat tahan 1 minggu.
3. Pencegahan dengan mengobati penderita yang sakit dengan obat anti TB
seperti yang tersebut di atas.
31
PENGOBATAN TUBERKULOSIS
32
PROGRAM PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS
A. Program Imunisasi
Sejak tahun 1980 pemerintah telah mencanangkan program imunisasi dengan
mengembangkan 6 jenis antigen yaitu BCG, DPT, Polio, Campak, TT dan DT.
Sepuluh tahun perjalanan program imunisasi maka tahun 1990 telah mampu
mewujudkan Universal Child Imunizationserta mengembangkan program vaksin HB
PID. Perkembangan berikutnya sampai tahun 2009 dikenal 7 vaksin yang di
programkan oleh pemerintah yaitu Hepatitis B, BCG, DPT/HB, Polio, Campak DT
dan TT.
Vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG) terdiri atas Paris No. 1173.P2 dan
starin Danish 1331. Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan TBC
(tuberkulosis). Pada manusia TBC terutama menyerang sistem pernapasan TB paru.
Ketahanan terhadap penyakit TB berkaitan dengan keberadaan virus tubercle bacil
yang hidup di dalam darah. Itulah mengapa agar memiliki kekebalan aktif,
dimasukkan basil ini kedalam tubuh, yaitu Vaksin BCG ( Bacillus Celmette Guerin).
Setelah diberikan imunisasi BCG, reaksi yang timbul tidak seperti pada
imunisasi dengan vaksin lain. Imunisasi BCG tidak menyebabkan demam. Setelah 1
- 2 minggu diberikan imunisasi, akan timbul indurasi atau kemerahan di tempat
suntikan yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak
perlu pengobatan khusus karena luka ini akan sembuh dengan sendirinya secara
spontan. Kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak atau leher.
Pembesaran kelenjar ini terasa padat, namun tidak menimbulkan demam
Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena
terhirupnya percikan dahak di udara yang mengandung bakteri
tuberkulosis.Imunisasi BCG tidak mencegah infeksi TB tetapi mengurangi resiko TB
beratseperti Meningitis TB atau TB milliar. Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas BCG terhadap TB adalah Perbedaan Vaksin BCG, lingkungan, Faktor
genitik, status gizi dan faktor lain seperti paparan sinar ultraviolet terhadap vaksin.
Vaksin BCG adalah vaksin hidup bentuk beku kering yang mengandung
mycobacterium yang dilemahkan. Dimaksud untuk memberikan kekebalan aktif
terhadap tuberkulosa. Kemasan ampul beku kering, 1 box berisi 10 vial vaksin.
33
Setiap vial vaksin disertai dengan 1 mil sausation menggunakan alat suntik 5 ml,
dapat digunakan untuk 20 dosis.
Dosis pemberian 0,05 ml, sekali pemberian untuk bayi < 1 tahun. Disuntikkan
secara intrakutan di daerah lengan kanan atas menggunakan alat suntik dosis tunggal
dengn jarum suntik 26 G. Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum
lewat waktu 3 jam.
Penyimpanan vaksin pada suhu 2 – 8oC. Vaksin BCG kadarwarsa selama 1
tahun. Pendistribusian dalam keadaan dingin dengan sistem rantai dingin (Cool
chain).Produsen membawa vaksin ke ruangan dingin propinsi dan pendistribusian
propinsi ke kabupaten menggunakan cool box mobile.Distribusi vaksin ke unit
pelayanan imunisasi menggunakan vaccine carrier yang dilengkapi dengan kotak
dingin cair (cool pack) dan thermometer pemantau suhu serta freezz tag. Suhu panas
melebihi 8o C atau terkena sinar matahari langsung dapat merusak vaksin.
1. Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin diberikan pada bayi di bwah umur 1 tahun, wanita usia
subur adalah, yaitu wanita berusia 15 tahun hingga 39 tahun termaksud ibu hamil
dan calon pengantin. Vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin meliputi pada
bayi : hepatitis B, BCG, Polio, DPT, dan campak. Pada anak sekolah : DT (Difteri
Tetanus), campak dan tetanus Tosoid, sedangkan pada wanita usia subur diberikan
tetanus Toksoid.
2. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan akan diberikan bila di perlukan. Imunisasi tambahan
diberikan pada bayi dan anak usia sekolah dasar. Imunisasi tambahan sering
dilakukan misalnya ketika terjadi suatu wabah penyakit tertentu dalam wilayah
dan waktu tertentu misalnya, pemberian polio pada Pekan Imunisasi Nasional
(PIN) dan pemberian imunisasi campak pada anak sekolah.
B. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari TB Paru :
1. Terhadap infeksi TB
a). Pencegahan terhadap sputum yang infeksius
1). Foto Ro dada masal
2). Uji tuberkulin secara mantoux
34
b). Isolasi penderita dan mengobati penderita
c). Ventilasi harus baik.
d). Kepadatan penduduk dikurangi
2. Pasteurilisasisusu sapi oleh karena banyak pula sapi yang menderita TB Paru
a. Meningkatkan daya tahan tubuh
4. Memperbaiki standar hidup
a). Makanan 4 sehat 5 sempurna
b). Perumahan dengan ventilasi yang cukup
c). Cukup tidur teratur
d). Olaraga di udara segar
35
PERAN MASYARAKAT DALAM
PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS
Dalam buku pedoman TB panduan pengobatan yang dianjurkan adalah
menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan
obat. Untuk terjadi hal tersebut, sangat penting memastikan bahwa pasien menelan
seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh
seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar tidak terjadi resistensi obat. Jika tidak ada
faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan. Persyaratan PMO antara
lain:
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO
meliputi;
a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-
gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan
Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat
dari unit pelayanan kesehatan. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk
disampaikan kepada pasien dan keluarganya yaitu;
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.
36
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.
Kelompok teman sebaya memiliki peran yang sangat penting baik secara emosional
maupun secara sosial. Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati,
pemahaman, dan panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan
otonomi dan independensi. Keterlibatan teman sebaya penderita tb paru, selain menjadi
sumber dukungan emosional yang penting. Lima jenis dukungan sosial antara lain: a.
Dukungan emosional. Aspek ini mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan ini menyediakan rasa nyaman, ketentraman
hati, perasaan dicintai bagi seseorang yang mendapatkannya. b. Dukungan penghargaan.
Aspek ini terjadi lewat ungkapan penghargaan positif untuk individu bersangkutan,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif individu dengan orang-orang lain. c. Dukungan instrumental. Aspek
ini mencakup bantuan langsung yang dapat berupa jasa, waktu, dan uang. d. Dukungan
informatif. Aspek ini mencakup memberi nasihat, petunjukpetunjuk, saran-saran,
informasi, dan umpan balik. e. Dukungan jaringan sosial. Aspek ini mencakup perasaan
keanggotaan dalam kelompok. Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan
keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial.
Individu dengan dukungan sosial tinggi memiliki pengalaman hidup yang lebih baik,
harga diri yang lebih tinggi, serta pandangan hidup yang lebih positif dibandingkan
dengan individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih rendah. Ciri-ciri orang
dengan harga diri tinggi menunjukkan perilaku-perilaku seperti mandiri, aktif, berani
mengemukakan pendapat, dan percaya diri. Sedangkan seseorang dengan harga diri yang
rendah menunjukkan perilaku seperti kurang percaya diri, cemas, pasif, serta menarik diri
dari lingkungan. Teman sebaya merupakan sumber penting dukungan sosial yang
berpengaruh terhadap rasa percaya diri. Dukungan emosional dan persetujuan sosial
dalam bentuk konfirmasi dari orang lain merupakan pengaruh yang penting bagi rasa
percaya diri. Hubungan pribadi yang berkualitas memberikan stabilitas, kepercayaan, dan
perhatian, dapat meningkatkan rasa kepemilikan, harga diri dan penerimaan diri siswa,
serta memberikan suasana yang positif untuk pembelajaran. Dukungan interpersonal yang
positif dari teman sebaya, pengaruh keluarga, dan proses pembelajaran yang baik dapat
meminimalisir faktor-faktor penyebab kegagalan pengobatan (Sarafino, E.P. 1994).
37
Hasil penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 73,5%
orang yang kontak serumah tidur sekamar dengan penderita Tb paru. Sedangkan menurut
tingkat pendidikannya, 29,5% orang kontak serumah sudah berpendidikan tinggi
(Andarini, Sri I, Suharyo 2012)
Teman sebaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang kontak serumah
atau hidup dalam satu rumah dengan penderita Tb paru dan mempunyai karakteristik
individu yang dapat berkomunikasi dengan baik terhadap mereka. Potensi yang ada pada
penderita Tb paru adalah sebagian besar sudah mengetahui dengan baik tentang seputar
tuberkulosis meliputi penyebab, gejala, cara dan kedisiplinan pengobatan, cara penularan,
cara pencegahan, pengelolaan dahak, perilaku batuk, dan upaya perawatan. Masih ada
dua penderita yang tidak mempunyai pengawas minum obat (PMO). Mereka juga
mempunyai sarana-sarana seperti yang dimiliki oleh orang kontak serumah meliputi
sarana komunikasi (handphone), kendaraan, dan televisi sebagai sumber informasi.
Subjek penelitian orang kontak serumah sebagian besar (77%) adalah suami atau
istri dari penderita tuberkulosis, ada 2 orang ibu dan 2 ayah dari penderita. Sebagian
besar umurnya di atas 50 tahun, hanya satu yang berumur 30 tahun. Sebagian besar
(82,3%) hanya mencapai pendidikan tingkat menengah, 1 lulusan perguruan tinggi, dan
ada yang tidak lulus SD sebanyak 2 orang. Sebagian besar subjek penelitian bekerja
sebagai pedagang atau berwiraswasta, hanya ada seorang yang berprofesi sebagai guru.
Sesuai dengan jenis pekerjaan baik dari penderita maupun pasangannya suami atau istri,
diketahui bahwa tingkat ekonomi sebagian besar subjek penelitian adalah menengah ke
bawah. Pendapatannya sebagian besar kurang dari 2 juta per bulan. Meski demikian,
semua subjek penelitian telah dapat memenuhi kebutuhan gizinya dengan cukup, tiap
harinya makan minimal 3 kali.
Orang kontak serumah merupakan populasi yang mempunyai risiko terbesar dalam
penularan tuberkulosis dilihat dari indikator IFN gammanya (Indreswari, SA & Suharyo,
2014). Menurut karakteristik individunya, maka orang kontak serumah tidak jauh berbeda
dengan penderita sehingga ini menjadi potensi yang baik guna menunjang komunikasi
dan pendampingan terhadap penderita Tb paru. Bahkan pengetahuannya tentang
tuberkulosis lebih baik. Keadaan ini sangat menguntungkan agar orang kontak serumah
dapat memebrikan motivasi dan meningkatkan keteraturan berobat pada penderita tb paru
sehingga dapat meningkatkan kesembuhan dan mencegah terjadinya multi drug resistance
(MDR). Hal ini sesuai bahwa dengan meningkatkan motivasi dan keteraturan berobat
dapat mencegah MDR (Dwi Sarwani SR, dkk, 2012).
38
Usia penderita tb paru sebagian besar (74%) berkisar antara umur 30 – 60 tahun,
ada dua orang yang masih anak-anak yang berumur 4 dan 5 tahun. Lebih dari 60%
penderita berjenis kelamin perempuan. Ditinjau dari pekerjaannya, sebagian besar (lebih
dari 70%) penderita tb paru bekerja sebagai buruh. Hanya ada 2 penderita yang berprofesi
sebagai pekerja swasta di perusahaan mebel dan 1 orang yang masih pelajar SMA.
Sebagian besar (88,2%) penderita hanya berpendidikan tingkat menengah, ada 1 orang
yang tidak sekolah dan seorang lulusan perguruan tinggi. Sebagian besar penderita tb
paru tersebut merupakan penderita baru di tahun 2016.
Terjadi pergeseran karakteristik penderita Tb paru, dimana pada tahun 2012
penderita Tb paru sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (Suharyo, 2013) tapi sekarang
sebagian besar perempuan. Hal ini menunjukkan kerentanan perempuan dalam
menanggung beban penyakit penyakit Tb paru semakin besar di daerah pedesaan.
Sedangkan dilihat dari umur, jenis pekerjaan, dan tingkat pendidikan tidak terjadi
perubahan secara signifikan dibandingkan dengan tahun 2012. Sesuai dengan laporan
WHO tahun 2015, bahwa sebagian besar penderita tuberkulosis adalah usia produktif,
menimpa khususnya pekerja buruh, dan pendidikannya tidak terlalu tinggi (WHO, 2015).
Dari hasil FGD, maka dapat disimpulkan masalah dan kendala yang dihadapi oleh
sebagian besar orang kontak serumah adalah keterampilan tentang teknik pemberian
dukungan dan pendampingan belum sepenuhnya baik sesuai kebutuhan penderita. Belum
mempunyai investasi dan perencanaan pembiayaan berkaitan pengobatan penderita
tuberkulosis. Keyakinan akan kesehatan adalah modal utama dalam beraktifitas belum
sepenuhnya baik. Pengetahuan tentang perawatan penderita termasuk asupan gizi
penderita tb paru belum baik. Rendahnya keterampilan deteksi dini penyakit tb paru.
Informasi tentang seputar tb paru diperoleh hanya dari media televisi sehingga informasi
secara akurat dan kontinyu belum dapat diakses orang kontak serumah.
Kendala-kendala tersebut perlu menjadi pertimbangan dalam menyusun rancangan
model peer support. Diharapkan peer support mampu dan terampil dalam memberi
pendampingan terhadap penderita Tb paru. Oleh karena itu perlu upaya pengkondisian
calon peer support baik melalui pelatihan maupun pendidikan singkat dan fasilitasi
informasi tentang penyakit tuberkulosis. Tenaga pendamping yang diharapkan
mempunyai standard pelatihan, supervisi atau pengawasan, dan tujuan atau harapan
perannya sebagai peer support (Maclellan,J; dkk. 2015)
Memperhatikan kondisi penderita tb paru, potensi orang kontak serumah, dan
kendala serta masalah yang dimiliki orang kontak serumah, maka rancangan model orang
39
kontak serumah sebagai peer support bagi penderita secara garis besar meliputi
persyaratan, kinerja atau target capaian, peran, dan kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan serta sarana yang dapat menunjang pekerjaan sebagai peer support.
Persyaratan orang kontak serumah sebagai peer support perlu ditetapkan dengan
beberapa syarat. Syarat tersebut meliputi; 1) Mempunyai komitmen dan tanggungjawab
yang tinggi untuk membantu suksesnya pengobatan penderita tuberkulosis. 2)
Mempunyai pengetahuan yang baik tentang penyakit tuberkulosis dan penanganannya. 3)
Orang kontak serumah dianggap sebagai panutan atau yang dianggap penting dalam
kehidupan penderita tuberkulosis. 4) Mempunyai pendidikan yang cukup untuk dapat
melaksanakan tugas sebagai peer support. Berkaitan kinerja yang harus dicapai oleh
orang kontak serumah sebagai peer support antara lain; 1) Tuntasnya pengobatan
penderita tuberkulosis sesuai rekomendasi petugas kesehatan. 2) terdeteksinya penderita
tuberkulosis paru di antara anggota keluarga sendiri dan tetangga sekitar. 3) Pencegahan
penularan penyakit tb paru di dalam keluarga.
Peran yang harus dilakukan oleh orang kontak serumah sebagai peer support
meliputi; 1) Sebagai motivator bagi penderita Tb paru. 2) Sebagai pengawas pengobatan
penderita tb paru. 3) Sebagai petugas deteksi dini penyakit Tb paru di keluarga dan
tentangga sekitar. 4) Sebagai manajer penderita penyakit tb paru. Sedangkan kegiatan
yang harus dilakukan oleh orang kontak serumah sebagai peer support mencakup; 1)
Memberikan nasihat dan penguatan bagi penderita tb paru. 2) Melakukan pengawasan
jadwal pengobatan dan saat minum obat dari penderita tb paru. 3) Melakukan
pengawasan gizi penderita tb paru. 4) Melakukan pengawasan perilaku penderita dalam
batuk dan pengelolaan dahaknya. 5) Melakukan pengawasan terhadap kondisi rumah
yang dapat mempengaruhi pengobatan atau penularan dari penderita tb paru. 6)
Melakukan konsultasi dengan petugas kesehatan jika ditemui masalah atau hambatan
dalam pengobatan penderita. 7) Memberikan fasilitas yang diperlukan penderita dalam
menjalani program pengobatan. 8) Memastikan penderita tb paru agar dapat mengakses
pengobatan. 9) Mengatur ketersediaan semua pembiayaan yang dibutuhkan penderita
dalam pengobatannya. 10) Melakukan deteksi dini terhadap anggota keluarga dan
tetangga sekitar jika ada indikasi tertular penyakit tb paru. 11) Melakukan edukasi
terhadap penderita, anggota keluarga, dan tetangga tentang tb paru. Sarana yang perlu
disediakan untuk mendukung kegiatan orang kontak serumah sebagai peer support
minimal; 1) Media informasi tentang tb paru yang akurat dan mudah dipahami. 2) Media
monitoring program pengobatan penderita tb paru. 3) Instrumen deteksi dini penyakit tb
40
paru. 4) Media edukasi penyakit tb paru. Disamping itu diperlukan peran institusi
kesehatan (puskesmas atau dinas kesehatan) dalam mendukung kegiatan orang kontak
serumah sebagai peer support. Sebagai fasilitator peningkatan kapasitas orang kontak
serumah sebagai peer support. Sebagai fasilitator upaya pengobatan dan upaya
pencegahan tb paru.
Keberlanjutan pengobatan penderita Tb paru akan berlangsung baik jika dilakukan
langkah praktis walaupun kecil seperti promosi pada kelompok penderita (Massaut, S, &
Kwaak, AVD. 2014). Rancangan model peer support tersebut telah memiliki unsur
minimal yang ada pada program penguatan motivasi dan promosi untuk penderita.
Bahkan telah sesuai kebutuhan penderita potensi, dan kebiasaan atau budaya yang
dimiliki oleh orang kontak serumah. Penelitian di lima negara termasuk Indonesia
menyebutkan bahwa dengan sedikit upaya inisiasi program dan layanan kesehatan maka
dapat muali mengubah respon penderita terhadap upaya keteraturan berobat (Massaut, S,
& Kwaak, AVD. 2014). Pada rancangan peer support tersebut, juga sudah mencakup
keterampilan deteksi dini yang memang sangat diperlukan di Indonesia yang memiliki
populasi risiko tinggi tertular tuberkulosis. guna keberhasilan penemuan kasus baru
melalui contact tracing maka diperlukan orang yang memahami diagnosis dini
tuberkuloasis (Cresweel, J. 2014).
Hasil ujicoba penerapan model pendampingan penderita Tb paru oleh peer support
menunjukkan hasil sebagai berikut;
Tabel 3. Distribusi Kategori Pengetahuan Penderita Tb Paru
Sebelum Sesudah
Pendampingan Peer Pendampingan Peer
Kategori Pengetahuan
Support Support
Jumlah % Jumlah %
Kurang baik 6 35,3 1 5,9
Baik 11 64,7 16 94,1
Total 17 100,0 17 100,0
Sumber: Data primer, 2016
Pada saat sebelum dilakukan pendampingan oleh peer support, sebagian besar
(64,7%) penderita telah mengetahui tentang penyakit tb paru dengan menyebutkan
penyakit tersebut adalah penyakit menular, penyakit paru, dengan gejala batuk-batuk.
Namun masih ada 35,3% subjek penelitian yang menjawab kurang tahu tentang
tuberkulosis. Informan tidak mengetahui penyebab penyakit tuberkulosis, hanya sebagian
kecil yang tahu, itupun hanya menyebutkan penyebabnya adalah bakteri dan akibat ada
41
penderita lain yang menular. Setelah dilakukan pendampingan, terjadi kenaikan
pengetahuan penderita Tb paru. Berkaitan dengan gejala dan tanda penyakit tuberkulosis,
hampir semua penderita sudah mengetahuinya dengan menyebutkan seperti batuk
berkepanjangan, panas dan demam, tidak mau makan, dan berat badan menurun.
Sebagian besar penderita sudah mengetahui cara penularan dan pengobatan tuberkulosis.
Mereka menyebutkan bahwa penularan tuberkulosis menular lewat udara, kontak
langsung, dan bicara berdekatan dengan penderita. Pengobatan tuberkulosis yang
disebutkan oleh subjek penelitian adalah dengan berobat rutin, minum obat rutin dan
menuruti kata dokter sampai selesai. Namun masih ada informan yang menyebutkan
dengan minum jamu dulu baru ke dokter. Hampir semua penderita mengetahui cara
pencegahan tuberkulosis, mereka menyebutkan tuberkulosis dapat dicegah dengan
meningkatkan kekebalan tubuh, olahraga, kalau pagi ventilasi dibuka, kalau batuk
ditutup, tidak boleh merokok, makan buah, minum vitamin, dan memakai masker.
Setelah dilakukan intervensi pendampingan peer support terjadi peningkatan secara
signifikan (p value = 0,03) pengetahuan yang baik menjadi 94,1%.
Tabel 4. Distribusi Waktu Pengobatan Penderita Tb Paru
Sebelum Sesudah
Kategori Keterlambatan Pendampingan Peer Pendampingan Peer
Pengambilan Obat support support
Jumlah % Jumlah %
< 1 minggu 3 17,6 1 5,9
>1 minggu 3 17,6 0 0,0
Tepat waktu 11 64,8 16 94,1
Total 17 100,0 17 100,0
Sumber: Data primer, 2016
Kepatuhan waktu pengambilan obat di puskesmas sangat mempengaruhi
kepatuhan pengobatan secara keseluruhan. Jika pengambilan obat terlambat maka akan
berpengaruh terhadap stok obat yang seharusnya diminum oleh penderita. Data hasil
intervensi dengan pendampingan oleh peer support menunjukkan bahwa terjadi
penurunan yang cukup signifikan dari 17,6% yang terlambat mengambil obat lebih dari
satu minggu menjadi 0,0% (p value= 0,02).
42
Support Support
Jumlah % Jumlah %
Kurang baik 8 47,1 2 11,8
Baik 9 52,9 15 88,2
Total 17 100,0 17 100,0
Sumber: Data primer, 2016
Praktik pencegahan penularan penyakit tuberkulosis yang dilakukan oleh
penderita Tb Paru sebelum dilakukan pendampingan, sebagian besar hanya menutup
hidung dengan masker, itupun sering lupa dan hanya di tempat umum seperti di
puskesmas. Sedangkan di rumah atau tempat lain, malu memakai masker. Setelah
pendampingan oleh peer support terjadi peningkatan praktik pencegahan penularan yang
baik dari 52,9% menjadi 88,2% (p value = 0,03) .
Pada awal penelitian terdapat 17 penderita Tb Paru yang masih aktif pengobatan
di puskesmas Mijen Kota Semarang. Sejak pendampingan penderita oleh peer support,
terjadi peningkatan perilaku penderita yang baik termasuk pengetahuan dan praktik
pencegahannya. Pada awal Agustus 2016 sudah ada 41% yang sudah tuntas pengobatan
dan dinyatakan negatif (sembuh). Oleh karena itu terjadi penurunan prevalensi pada akhir
penelitian.
Peer support berperan lebih dari sekedar dukungan keluarga. Peer support
melakukan pendidikan, pendampingan dan konsultasi terhadap penderita. Pada kasus
droup out pengobatan dukungan keluarga yang sudah baik ternyata tidak mampu
mengatasi kejadian tersebut (Randhy AN, 2011). Peningkatan pengetahuan tentang
tuberkulosis dan praktik pencegahan penularan oleh penderita merupakan bukti bahwa
rancangan peer support oleh orang kontak serumah dapat mengatasi masalah fungsi
dukungan keluarga dan program PMO. Hal ini sesuai dengan kesimpulan penelitian
bahwa pendidikan dan kegiatan dukungan psikologis dapat membantu meningkatkan
kepedulian penderita Tb paru untuk melakukan pengobatan yang teratur dan pencegahan
penularan penyakitnya ke orang sekitarnya (Agarwal,U; dkk. 2014).
Orang kontak serumah sangat potensial menjadi peer support bagi penderita Tb
paru dan contact tracing di lingkungan sekitar rumahnya. Potensi yang menjadi syarat
sebagai peer support, antara lain memiliki pengetahuan tentang tuberkulosis yang cukup,
mempunyai kewenangan yang cukup dalam mengambil keputusan dalam keluarga,
memiliki motivasi dan komunikasi yang baik, serta memiliki sumberdaya baik material
maupun sikap empati yang baik terhadap kesehatan khususnya terhadap penderita
tuberkulosis. potensi-potensi tersebut secara sistematis dapat mendukung proses
43
pengobatan, penyediaan sarana dan prasarana, pengaturan pola makan, dan penguatan
motivasi pada penderita tuberkulosis.
Setelah dilaksanakan ujicoba pendampingan penderita tuberkulosis oleh Peer
support sesuai rancangan, hasil menunjukkan ada peningkatan pengetahuan, kepatuhan,
dan praktik pencegahan penularan oleh penderita Tb paru setelah dilakukan
pendampingan peer support. Selain itu terjadi penurunan prevalensi sebesar 41% setelah
dilakukan intervensi peer support.
Kepatuhan atau ketaatan (compliance/ adherence) adalah tingkat melakukan
pengobatan pasien dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau orang lain.
Kepatuhan pasien berarti perilaku pasien yang mengikuti ketentuan yang diberikan
petugas kesehatan profesional. Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan antara lain;
a) Faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, status sosio ekonomi dan pendidikan,
b) Faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi,
c) Faktor program pelayanan seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak
menyenangkan,
d) Faktor psikososial seperti intelegensia atau tingkat pengetahuan, sikap terhadap tenaga
kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau
budaya dan biaya finansial dan lainnya.
Faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat
bagian antara lain :
a) Pemahaman tentang instruksi, tidak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah
paham tentang instruksi yang diberikan padanya.
b) Kualitas interaksi, kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien
merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
c) Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh
dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan dan nilai kesehatan individu serta
juga dapat menentukan program pengobatan yang dapat mereka terima.
d) Keyakinan, sikap dan kepribadian. Model keyakinan kesehatan berguna untuk
memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
Ketidakpatuhan seseorang ditentukan oleh kompleksitas prosedur pengobatan,
derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan, lamanya waktu dimana pasien harus
mematuhi program tersebut, apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan, apakah
pengobatan itu berpotensi menyelamatkan hidup, keparahan penyakit yang dipersepsikan
44
sendiri oleh pasien dan bukan petugas kesehatan. Strategi Meningkatkan Kepatuhan
dapat dilakukan melalui;
1) Dukungan Profesional Kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan,
contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya
teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang
baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat dapat menanamkan
ketaatan bagi pasien.
2) Dukungan Sosial/ Keluarga
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang
dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien
maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
3) Perilaku Sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan penggunaan
narkoba suntik diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari akibat
yang lebih berat lebih lanjut apabila tetap menggunakan narkoba suntik. Modifikasi
gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat sangat perlu bagi pasien.
4) Pemberian Informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang
dideritanya serta cara pengobatannya.
45
DAFTAR PUSTAKA
46
Biodata Penulis
Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes. Dedikasi seorang dokter alumni Fakultas Kedokteran UGM
tahun 1972 ini lama di bidang manajemen program kesehatan baik di
Puskesmas, Rumah Sakit, dan Kantor Wilayah Kesehatan Propinsi Jawa
Tengah. Sehingga pada tahun 1996 – 1998 beliau melanjutkan studi
Magister Kesehatan bidang Manajemen Kesehatan di UGM pula. Tahun
2006, lulus dari Program Doktor Ilmu Kedokteran Universitas
Diponegoro. Fokus penelitian yang diminati adalah tuberkulosis dan
penanggulangannya. Beliau aktif di Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia Pengurus Daerah Jawa Tengah. Jabatan terakhir beliau adalah
Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang, 2 periode sejak
tahun 2009 – 2017.
47