Anda di halaman 1dari 918

ISSN 2442-7659

2018

ISSN 2442-7659

Kementerian Kesehatan RI
Pusat Data dan Informasi
Jl. HR Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9
Jakarta Selatan
Situasi Campak dan Rubella di Indonesia
I. Kematian Bayi dan Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) di Indonesia di negara-negara berisiko tinggi telah divaksinasi melalui program imunisasi, sehingga pada
tahun 2012 kematian akibat Campak telah mengalami penurunan sebesar 78% secara global.
Derajat kesehatan masyarakat sebuah negara ditentukan oleh beberapa indikator. Beberapa Indonesia merupakan salah satu dari negara-negara dengan kasus Campak terbanyak
indikator yang dianggap signifikan dalam menggambarkan derajat tersebut antara lain, di dunia.
kematian ibu, kematian bayi, dan status gizi. Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian
Bayi (AKB) di Indonesia masih dianggap sensitif dalam mendeteksi ada atau tidaknya Masa penularan penyakit Campak terjadi pada 4 hari sebelum rash sampai 4 hari setelah timbul
perbaikan pada sektor pelayanan kesehatan. Angka Kematian Bayi menggambarkan rash. Puncak penularan pada saat gejala awal (fase prodromal), yaitu pada 1-3 hari pertama
banyaknya kejadian kematian pada anak usia 0-11 bulan per 1.000 kelahiran hidup di populasi. sakit. Masa Inkubasi terjadi pada 7 – 18 hari. Gejala Campak ditandai dengan :
o
Indikator ini diperoleh berdasarkan hasil survey atau sensus yang dilakukan secara periodik 1. Demam dengan suhu badan biasanya > 38 C selama 3 hari atau lebih, disertai salah satu
pada tahun tertentu. Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang atau lebih gejala batuk, pilek, mata merah atau mata berair.
dilaksanakan oleh Badan Pusat Statistik menujukkan peningkatan. Namun demikian 2. Bercak kemerahan/rash yang dimulai dari belakang telinga.
peningkatan tersebut masih dianggap “on track”, yang artinya AKB masih berpeluang dapat 3. Gejala pada tubuh berbentuk makulopapular selama 3 hari atau lebih yang pada kisaran
diturunkan. 4-7 hari menjalar keseluruh tubuh.
4. Khas (Patognomonis) ditemukan Koplik's spot atau bercak putih keabuan dengan dasar
GAMBAR 1. TREN ANGKA KEMATIAN NEONATAL, BAYI, DAN BALITA
TAHUN 1991 – 2017 DI INDONESIA merah di pipi bagian dalam.

120 Angka Kematian Neonatal Penyebab Rubella adalah togavirus jenis rubivirus dan termasuk golongan virus RNA. Virus
97 Angka Kematian Bayi dapat berkembang biak di nasofaring dan kelenjar getah bening regional, dan viremia terjadi
100
81 Angka Kematian Balita pada 4 – 7 hari setelah virus masuk tubuh. Virus tersebut dapat melalui sawar plasenta
80 sehingga menginfeksi janin dan dapat mengakibatkan abortus atau Congenital Rubella
58 Syndrome/CRS. Masa penularan diperkirakan terjadi pada 7 hari sebelum hingga 7 hari setelah
60 46 44
68 40 rash. Masa inkubasi Rubella berkisar antara 14 – 21 hari. Gejala Rubella ditandai dengan
40 57 32
46 demam (37,2°C) dan bercak merah/rash makulopapuler disertai pembesaran kelenjar limfe di
35 34 32
20 32 24 belakang telinga, leher belakang dan sub occipital.
30 26
20 19 15
19
0
1991 1995 1999 2003 2007 2012 2017 Virus penyakit Campak dan Rubella penyebarannya sama melalui batuk dan bersin, serta
kontak langsung dengan penderita. Virus Campak dan Rubella cepat mati oleh sinar ultra
Sumber: SDKI tahun 1991-2017 violet, bahan kimia, bahan asam dan pemanasan. Untuk memastikan diagnosis penyakit
Pada gambar di atas dapat diketahui bahwa angka kematian neonatal, angka kematian bayi, Campak dan Rubella, diperlukan konfirmasi laboratorium dengan melakukan pemeriksaan
dan angka kematian balita menunjukkan kecenderungan penurunan dari tahun 1991 sampai serologis (pengambilan darah pasien/serum darah) atau virologis (pengambilan urin pasien).
dengan tahun 2015. Kematian bayi dan balita dapat disebabkan oleh infeksi, asfiksia, dan PD3I. Rubella pada anak sering hanya menimbulkan gejala demam ringan atau bahkan tanpa gejala
sehingga sering tidak terlaporkan. Sedangkan Rubella pada wanita dewasa sering
menimbulkan arthritis atau arthralgia.
II. Definisi Kasus Campak dan Rubella
Rubella pada wanita hamil terutama pada kehamilan trimester 1 dapat mengakibatkan abortus
Salah satu penyakit yang termasuk ke dalam golongan PD3I adalah Campak. Penyakit Campak atau bayi lahir dengan CRS. Bentuk kelainan pada CRS :
dikenal juga sebagai Morbili atau Measles, merupakan penyakit yang sangat menular 1. Kelainan jantung : Patent ductus arteriosus, Defek septum atrial, Defek septum ventrikel,
(infeksius) dari genus Morbillivirus dan termasuk golongan virus RNA. Manusia diperkirakan Stenosis katup pulmonal ;
satu-satunya reservoir, walaupun monyet dapat terinfeksi tetapi tidak berperan dalam 2. Kelainan pada mata : Katarak kongenital, Glaukoma kongenital, Pigmentary Retinopati ;
penularan. Pada tahun 1980, sebelum imunisasi dilakukan secara luas, diperkirakan lebih 3. Kelainan pendengaran ;
20 juta orang di dunia terkena Campak dengan 2,6 juta kematian setiap tahun yang sebagian 4. Kelainan pada sistim saraf pusat : Retardasi mental, Mikrocephalia, Meningoensefalitis ;
besar adalah anak-anak di bawah usia lima tahun. Sejak tahun 2000, lebih dari satu miliar anak 5. Kelainan lain : Purpura, Splenomegali, Ikterik yang muncul dalam 24 jam setelah lahir,
Radioluscent bone.

1 2
III. Gambaran Kasus GAMBAR 3. DISTRIBUSI KASUS CAMPAK TAHUN 2015-2017

4000
Kegiatan surveilans yang dilakukan setiap tahun melaporkan lebih dari 11.000 kasus suspect
3500

Frekuensi KLB
Campak. Hasil konfirmasi laboratorium terhadap kasus tersebut, diketahui bahwa 12 – 39%
di antaranya adalah Campak pasti (confirmed), dan sebanyak 16–43% adalah Rubella pasti. 3000
2500
Dalam kurun waktu tahun 2010-2015, diperkirakan terdapat 23.164 kasus Campak dan 30.463 2000
kasus Rubella. Jumlah kasus ini diperkirakan masih rendah dibanding angka sebenarnya 1500
di lapangan, mengingat masih banyaknya kasus yang tidak terlaporkan, terutama dari 1000
pelayanan swasta serta kelengkapan laporan surveilans yang masih rendah. 500
0
Jumlah kasus Campak yang dilaporkan dapat dibandingkan antara satu wilayah dengan

Sumatera Utara
Sumatera Barat

Sumatera Selatan

Sulawesi Selatan
Banten

Sulawesi Utara

Sulawesi Barat
Gorontalo
Aceh

Riau
Jambi

Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur

Bali

Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara

Sulawesi Tengah

Sulawesi Tenggara

Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
NTB
NTT
wilayah lainnya dengan menggunakan Incidence Rate. Incidence Rate Campak diperoleh
dengan membagi jumlah kasus Campak dengan jumlah penduduk di wilayah tertentu lalu
dikalikan dengan konstanta 100.000. Incidence rate Campak menggambarkan rate penderita
Campak di tiap 100.000 penduduk.
GAMBAR 2. INCIDENCE RATE CAMPAK PER 100.000 PEDUDUK DI INDONESIA
TAHUN 2011-2017 2015 2016 2017

Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018


9,2
Gambar di atas menunjukkan bahwa terdapat 18 provinsi (52,9%) yang mengalami
6,5 peningkatan kasus dalam tiga tahun terakhir, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera
5,6 Selatan, Bengkulu, Kepulauan Riau, Jawa Timur, Banten, Banten, Bali, NTB, NTT, Kalimantan
4,6 5,1 5,0 Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku,
dan Papua Barat. Provinsi Banten dan Jawa Timur mengalami peningkatan yang signifikan
3,2 di antara 18 provinsi tersebut.

Pada saat tertentu adanya peningkatan kasus di suatu wilayah menyebabkan penetapan status
Kejadian Luar Biasa (KLB) pada wilayah tersebut. KLB suspect Campak terjadi ketika ditemukan
2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 5 atau lebih suspect Campak dalam waktu 4 minggu berturut-turut, terjadi mengelompok dan
memiliki hubungan epidemiologi. KLB Campak pasti terjadi ketika ada KLB suspect Campak
Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
dengan hasil laboratorium > 2 IgM Campak. KLB Rubella pasti terjadi ketika terdapat KLB
suspect Campak dengan hasil laboratorium > IgM Rubella.
Incidence Rate Campak per 100.000 penduduk di Indonesia pada tahun 2011-2017
menunjukkan kecenderungan penurunan, dari 9,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk. Namun
demikian, Incidence rate cenderung naik dari tahun 2015 sampai dengan 2017, yaitu Kasus Campak pada pelaporan rutin dan kasus pada Kejadian Luar Biasa dilaporkan tiap bulan.
dari 3,2 menjadi 5,6 per 100.000 penduduk. Kedua jenis kasus tersebut menunjukkan peningkatan pada bulan-bulan tertentu, namun pola
yang ditunjukkan tidak sama dalam tiga tahun terakhir (2015-2017).
Kasus Campak dalam tiga tahun terakhir juga menunjukkan peningkatan dibeberapa provinsi.
Namun ada juga beberapa provinsi yang mengalami penurunan.

3 4
GAMBAR 4. JUMLAH KASUS CAMPAK MENURUT BULAN TAHUN 2015-2017 GAMBAR 5. SEBARAN KASUS DAN FREKUENSI KLB CAMPAK TAHUN 2015-2017
2.500

2.000

1.500
2015
Frekuensi KLB : 282
Kasus saat KLB : 2.246
1.000
Jumlah Provinsi : 27

500

2015
0
Jan
1.495
Feb
1.422
Mar
1.446
Apr
1.194
Mei
1.046
Jun
952
Jul
563
Ags
735
Sep
923
Okt
1.346
Nov
1.802
Des
966
2016
Frekuensi KLB : 351
2015 (KLB)
Kasus saat KLB : 5.502
205 328 219 247 129 55 52 198 317 238 216 35
Jumlah Provinsi : 29
2016 1.222 759 769 685 565 395 278 735 677 474 562 339
2016 (KLB) 245 109 128 116 165 76 117 647 365 485 193 112
2017 2.461 2.071 1.850 1.586 1.457 981 903 1.100 971 647 406 206
2017 (KLB) 497 458 255 254 188 123 243 480 306 279 117 23 2017
Frekuensi KLB : 349
Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
Kasus saat KLB : 3.143
Jumlah Provinsi : 30
Dari gambar di atas dapat diketahui bahwa kasus Campak tidak tergantung musim. Pola yang
Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
dapat diidentifikasi adalah jika terjadi peningkatan kasus, maka akan diiringi dengan
peningkatan kasus pada KLB. Dalam kurun waktu 2015-2017 juga terjadi KLB Rubella di beberapa provinsi di Indonesia. KLB
Rubella pada tahun 2017 dilaporkan di 19 provinsi dengan frekuensi sebanyak 79 kali.
Pemerintah melaksanakan imunisasi Campak tambahan pada bulan Agustus 2016, dan GAMBAR 6. SEBARAN KASUS DAN FREKUENSI KLB RUBELLA TAHUN 2015-2017
imunisasi Campak Rubella (MR) di provinsi di Pulau Jawa pada Bulan Agustus sampai dengan
September 2017. Kampanye imunisasi tersebut bertujuan untuk untuk memberikan kekebalan
tambahan terhadap Campak dan Rubella sehingga dapat mengurangi kasus dan kejadian KLB
Campak. Hal ini dibuktikan adanya penurunan kasus dan tidak adanya laporan KLB Campak
pada bulan Oktober 2017 sampai dengan Maret 2018 di wilayah pelaksanaan imunisasi. 2015
Frekuensi KLB : 84
KLB Campak dalam tiga tahun terakhir hampir di setiap provinsi dengan jumlah provinsi Kasus saat KLB : 688
Jumlah Provinsi : 16
melaporkan KLB meningkat dari 27 provinsi tahun 2015 menjadi 30 provinsi tahun 2017.
Peningkatan ini di antaranya disebabkan perbaikan kewaspadaan dini terhadap kasus Campak,
yaitu petugas lebih cepat menangkap adanya peningkatan kasus. Kecepatan dalam
mendeteksi kasus ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan, antara lain melalui
kampanye Campak Rubella (MR) pada bulan Agustus dan September tahun 2017 yang sangat
2016
Frekuensi KLB : 36
signifikan mempengaruhi terjadinya penurunan KLB. Kasus saat KLB : 332
Jumlah Provinsi : 11

2017
Frekuensi KLB : 79
Kasus saat KLB : 753
Jumlah Provinsi : 19

Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018


5 6
Pada gambar terlihat distribusi atau sebaran KLB Rubella dalam 3 tahun terakhir terlihat tahun GAMBAR 7. CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK DI INDONESIA TAHUN 2008-2017
2017 merupakan sebaran KLB Rubella tertinggi dibandingkan tahun 2015 dan 2016.
93,61 96,6 99,3 95,8 94,6
90,5 92,09 92,3 93,0 89,8
IV. Pengendalian Campak

Meskipun Campak sangat menular dan bisa menyebabkan kematian, penyakit ini dapat
dicegah melalui program Imunisasi. Pengendalian Campak di Indonesia diawali pada tahun

%
1982. Program Imunisasi Nasional diperluas dan mulai menerapkan jadwal standar untuk
imunisasi rutin yang mencakup dosis vaksin Campak diberikan pada usia 9 bulan. Cakupan
imunisasi Campak semakin meningkat sehingga pada tahun 1990 dapat mencapai lebih dari
90%. Pada tahun 2000, dalam rangka mengatasi KLB dan memberikan kesempatan kedua bagi
anak yang belum diimunisasi atau pun yang belum terbentuk kekebalannya, maka ditetapkan
3 strategi pengendalian Campak: 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
· Crash program Campak untuk anak balita di daerah risiko tinggi Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
· Catch-up campaign Campak untuk anak sekolah
· Introduksi pemberian dosis kedua melalui kegiatan rutin BIAS untuk kelas satu SD pada Gambaran cakupan imunisasi di tiap provinsi dalam tiga tahun terakhir menunjukkan
tahun berikutnya setelah catch-up campaign. beberapa provinsi yang mengalami peningkatan maupun penurunan.

GAMBAR 8. CAKUPAN IMUNISASI CAMPAK DI INDONESIA TAHUN 2015-2017


Reduksi Campak ditargetkan untuk mengurangi kematian akibat Campak hingga 90% pada
2010 berdasarkan perkiraan pada tahun 2000. Setelah tercapai reduksi Campak maka fase 120
selanjutnya adalah upaya untuk mencapai eliminasi yang telah disepakati akan dicapai pada

Frekuensi KLB
tahun 2020. 100

80
Pada tahun 2014 untuk lebih meningkatkan kekebalan pada anak-anak, maka dikeluarkan
kebijakan pemberian imunisasi Campak lanjutan pada anak usia 24 bulan dan sesuai dengan 60
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 12 Tahun 2017 pemberian imunisasi Campak lanjutan 40
dosis ke-2 diberikan pada anak usia 18 bulan.
20
Selain pelaksanaan imunisasi, salah satu strategi untuk mencapai eliminasi dan pengendalian 0
Campak di Indonesia adalah pelaksanaan surveilans Campak Rubella berbasis individu yang

Sumatera Utara
Sumatera Barat

Sumatera Selatan

Banten

Sulawesi Utara

Sulawesi Selatan

Sulawesi Barat
Gorontalo
Aceh

Riau
Jambi

Bengkulu
Lampung
Kep. Bangka Belitung
Kepulauan Riau
DKI Jakarta
Jawa Barat
Jawa Tengah
DI Yogyakarta
Jawa Timur

Bali

Kalimantan Barat
Kalimantan Tengah
Kalimantan Selatan
Kalimantan Timur
Kalimantan Utara

Sulawesi Tengah

Sulawesi Tenggara

Maluku
Maluku Utara
Papua Barat
Papua
NTB
NTT
dikenal juga dengan CBMS (case based measles surveillance). Pelaksanaan surveilans ini jika
ditemukan setiap satu kasus dengan gejala demam, rash/bintik merah pada tubuh, disertai
salah satu gejala atau lebih batuk/pilek/mata merah, maka diambil spesimen darah/serum
diperiksa di laboratorium rujukan nasional yaitu Badan Litbangkes Kemenkes, Bio Farma,
BBLK Surabaya dan BLK Yogyakarta untuk memastikan diagnosis Campak atau Rubella.
2015 2016 2017
Cakupan Imunisasi Rutin Campak Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018

Cakupan Imunisasi Campak menunjukkan kecenderungan peningkatan pada tahun 2008 Gambar di atas menunjukkan bahwa Provinsi Sulawesi Selatan dan Jambi memiliki cakupan
sampai dengan tahun 2012. Namun kecenderungan penurunan terjadi dari tahun 2012 imunisasi Campak tertinggi dibandingkan provinsi lainnya. Sebanyak 21 provinsi (61,8%)
sebesar 99,3% menjadi 89,8% pada tahun 2017. mengalami penurunan cakupan dari tahun 2015 sampai 2017.

7 8
Kampanye Imunisasi Measles Rubella GAMBAR 9. PELAKSANAAN IMUNISASI MEASLES DAN RUBELLA (MR)
FASE-1 TAHUN 2017
Berdasarkan data surveilans dan cakupan imunisasi, maka imunisasi Campak rutin saja belum
cukup untuk mencapai target eliminasi Campak. Sedangkan untuk akselerasi pengendalian
Rubella/CRS maka perlu dilakukan kampanye imunisasi tambahan sebelum introduksi vaksin
MR ke dalam imunisasi rutin.

Oleh karena itu, diperlukan kampanye pemberian imunisasi MR pada anak usia 9 bulan sampai
dengan <15 tahun. Pemberian imunisasi MR pada usia 9 bulan sampai dengan <15 tahun
dengan cakupan tinggi (minimal 95%) dan merata diharapkan akan membentuk imunitas
kelompok (herd immunity), sehingga dapat mengurangi transmisi virus ke usia yang lebih
dewasa dan melindungi kelompok tersebut ketika memasuki usia reproduksi.

Pelaksanaan kampanye vaksin MR pada anak usia 9 bulan hingga 15 tahun dilaksanakan secara
bertahap dalam 2 fase sebagai berikut :
1. Fase 1 bulan Agustus-September 2017 di seluruh Pulau Jawa
2. Fase 2 bulan Agustus-September 2018 di seluruh Pulau Sumatera, Pulau Kalimantan,
Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua

Pencanangan Kampanye Imunisasi MR dilaksanakan dalam rangka menggerakkan masyarakat


agar dapat dicapai cakupan yang tinggi yang diselenggarakan pada tanggal 1 Agustus 2017 Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018
oleh Bapak Presiden RI di MTSN 1 Sleman, DI Yogyakarta. GAMBAR 10. PELAKSANAAN IMUNISASI MEASLES DAN RUBELLA (MR)
FASE-II TAHUN 2018
Pelaksanaan Kampanye Imunisasi MR Fase I telah mencapai target cakupan yaitu > 95%.
Cakupan Kampanye Imunisasi MR Fase I yang sudah dicapai yaitu 100,9% atau sejumlah
35.307.148 anak telah diberikan imunisasi MR.

Kampanye Imunisasi Measles Rubella (MR) Fase II akan dilaksanakan pada bulan
Agustus – September 2018 dengan jumlah sasaran anak usia 9 bulan sampai dengan < 15
tahun sebesar 31.963.154 di 28 provinsi di luar Pulau Jawa. Semua upaya yang dilakukan
tersebut ditujukan untuk memperoleh herd imunity (kekebalan kelompok) yang dapat
menangkal kasus infeksi Campak dan Rubella. Penurunan kasus Campak dan Rubella
diharapkan dapat berkontribusi terhadap penurunan angka kematian neonatal, bayi dan balita
di Indonesia. Anak anak yang sehat dan terbebas dari penyakit adalah asset bangsa dalam
menyongsong bonus demografi yang berpotensi untuk diperoleh Indonesia di masa depan.

Sumber: Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes RI, 2018

9 10
HALAMAN SAMPUL

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 1


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
KETERANGAN PERUBAHAN
Sehubungan adanya situasi dan perkembangan di Indonesia berikut kami sampaikan
konsep besar perubahan pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 revisi ke-
5 sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
BAB II : Strategi dan Indikator Pengendalian Pandemi
BAB III : Surveilans Epidemiologi
BAB IV : Diagnosis Laboratorium
BAB V : Manajemen Klinis
BAB VI : Pencegahan dan Pengendalian Penularan
BAB VII : Komunikasi Risiko dan Pemberdayaan Masyarakat
BAB VIII : Penyediaan Sumber Daya
BAB IX : Pelayanan Kesehatan Esensial
LAMPIRAN

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 2


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN CORONAVIRUS DISESASE
(COVID-19)

Diterbitkan oleh
Kementerian Kesehatan RI

Pengarah
Menteri Kesehatan Republik Indonesia

Pembina
dr. Achmad Yurianto (Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit);
dr. Bambang Wibowo, Sp.OG (K), Mars (Dirjen Pelayanan Kesehatan, Kemkes);
dr. Kirana Pritasari, MQIH (Dirjen Kesehatan Masyarakat, Kemkes);
Prof. dr. Abdul Kadir, Ph.D, Sp. THT-KL (K), MARS (Kepala Badan Pengembangan dan
Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan dan Plt. Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, Kemkes);
Brigjen TNI (Pur.) dr. Alexander K Ginting S.Sp.P, FCCP (Staf Khusus Menkes Bidang
Pembangunan dan Pembiayaan Kesehatan);
Mayjen TNI (Pur.) dr. Daniel Tjen,Sp.S (Staf Khusus Menkes Bidang Tata Kelola
Pemerintahan);
Brigjen TNI (Pur.) dr. Jajang Edi Priyatno, Sp.B MARS (Staf Khusus Menkes Bidang
Peningkatan Pelayanan);
dr. Mariya Mubarika (Staf Khusus Menkes Bidang Peningkatan Sumber Daya Manusia
Kesehatan).

Penanggung Jawab
dr. H. Budi Hidayat, M.Kes (Sesditjen P2P)
drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid (Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan);
dr. Wiendra Waworuntu, M.Kes (Direktur P2PML);
dr. Tri Hesty Widyastoeti M, Sp.M, MPH (Direktur Yankes Rujukan);
drg. Saraswati, MPH (Direktur Yankes Primer);
drg. Kartini Rustandi, M.Kes (Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga);
Dr. dr. Vivi Setyawaty, MBiomed (Kepala Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan);
Sundoyo, SH, MKM, M.Hum (Kepala Biro Hukum dan Organisasi);
drg. Widyawati MKM (Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat);
dr. Riskiyana S. Putra, M.Kes (Direktur Promkes dan Pemberdayaan Masyarakat;
Dr. dr. Ina Rosalina D, Sp.A(K), M.Kes, MH.Kes (Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional);
dr. Budi Sylvana, MARS (Pusat Krisis Kesehatan).

Penyusun
dr. Anung Sugihantono, M.Kes;
dr. Erlina Burhan, Sp.P (K)., M.Sc., Ph.D (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
dr. Agus Dwi Susanto, Sp.P (K), FISR, FAPSR (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
Dr. Triya Damayanti, PhD,Sp.P(K) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
Prof. dr. Wiwien Heru Wiyono, PhD, Sp.P (K) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
dr. Prasenohadi, Sp.P, KIC, Ph.D (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
dr. Erlang Samuedro, Sp.P (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
dr. Fathiyah Isbaniah, Sp.P(K), FISR (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia);
Prof. DR. Dr. Aryati, MS., Sp.PK (K) (Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik);
dr. Weny Rinawati, Sp.PK, MARS (Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Klinik);
dr. Aditya Susilo, Sp.PD, KPTI, FINASIM (Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia - PAPDI);

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 3


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Dr. dr. Eka Ginanjar, SpPD, KKV, FINASIM, FACP, FICA, MARS (PAPDI);
Dr. dr. Sally Aman Nasution, SpPD, K-KV, FINASIM, FACP (PAPDI);
Dr.dr. Rudy Hidayat SpPD-KR, FINASIM (PAPDI);
Dr. dr. Tri Juli Edi Tarigan, Sp.PD, KEMD, FINASIM (PAPDI);
dr. Edy Rizal Wahyudi, Sp.PD-KGEH, FINASIM (PAPDI);
dr. Afiatin, Sp.PD-KGH (PAPDI);
dr. Edy Rizal Wahyudi, Sp.PD-KGEH, FINASIM (PAPDI);
dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, Sp.PD,KP, KIC,FINASIM (PAPDI);
dr. Arto Yuwono Soeroto, Sp.PD-KP, FINASIM, FCCP (PAPDI);
dr. Isman Firdaus, Sp.JP(K), FIHA, FECS, FAPSIC, FSCAI (Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia - PERKI);
Dr. dr. Anwar Santoso, Sp.JP(K) (PERKI);
dr. Dafsah A. Juzar, Sp.JP(K) (PERKI);
Prof. DR. Dr. Syafri Kamsul Arif, Sp.An.KlC-KAKV (Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan
Terapi Intensif Indonesia - PERDATIN);
dr. Faisal Muchtar, Sp.An.KIC (PERDATIN);
dr. Navy G. Lolong, SpAn KIC (PERDATIN);
dr. Anna Suraya, M.KK, Sp.Ok (Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia);
dr. Agustina Puspitasari, Sp.Ok (Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia);
Prof. dr. Budi Sampurna,DFM.,SH, Sp.F(K), Sp.KP (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
Dr. dr. Ade Firmansyah Sugiharto, Sp.F.M(K) (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Djaja Surya Atmadja, Sp.F.M(K), S.H., Ph.D (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Aria Yudhistira, Sp.F.M (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Yudy, Sp.F.M (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Evi Untoro, Sp.F.M (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Fahmi Arief Hakim, Sp.F.M (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Nurul Aida Fathya, Sp.F.M (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Sigid Kirana Lintang Bhima, Sp.F.M(K) (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Suryo Wijoyo, Sp.F.M, M.H (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Siswo Putranto Santoso, Sp.F.M, S.H., M.H.Kes (Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia);
dr. Ali Haedar, Sp.Em (Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia);
dr. Bobi Prabowo, Sp.Em (Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia);
dr. Kristina Agustina Wiraputri, Sp.Em (Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia);
dr. Yuddy Imowanto, Sp.Em (Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia);
dr. Jollis Tjhia, Sp.Em (Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia);
dr. Atep Supriadi, Sp.Em (Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia);
dr. Handrian Rahman P., Sp.Em (Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi Indonesia);
Dr. dr. Aman Bhakti Pulungan, Sp.A(K), FAAP, FRCPI(Hon) (Ikatan Dokter Anak Indonesia);
dr. Wahyuni Indawati Sp.A(K) (Ikatan Dokter Anak Indonesia);
dr. Dimas Dwi Saputro, Sp.A (Ikatan Dokter Anak Indonesia);
Dr. dr. Anggraini Alam, Sp.A (Ikatan Dokter Anak Indonesia);
dr. Rudy Manalu, SpAn., KIC (Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia);
dr. Pompini Agustina Sitompul, Sp.P(K) (Rumah Sakit Prof. Dr. Sulianti Saroso);
dr. Dyani Kusumowardhani Sp.A (Rumah Sakit Prof. Dr. Sulianti Saroso);
dr. Retno Wihastuti, Sp.P (RSPAD Gatot Subroto);
Prof. Dr. dr. Hindra Irawan Satari, Sp.A (K), M.Trop. Paed H (Pokja PPI di Fasyankes);
dr. Saut Halomoan Manullang, Sp.B (K).FICS (Pokja PPI di Fasyankes);
Ns. Gortap Sitohang, S.Kep., M.P.H (Pokja PPI di Fasyankes);
Costy Pandjaitan, CVRN, SKM, MARS, PhD (Pokja PPI di Fasyankes);
dr. I Nyoman Kandun, MPH (Direktur Field Epidemiology Training Program Indonesia);
dr. Hariadi Wibisono, MPH (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia);
dr. Sholah Imari, M.Sc (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia);
dr. Masdalina Pane, M.Kes (Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia);
dr. Indriyono Tantoro, MPH (Konsultan Global Fund ATM);

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 4


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dr. Dyah Armi Riana, MARS (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan);
dr. Nelly Puspandari, Sp.MK (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan);
Dr. drg. Masagus Zainuri, MBiomed (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan);
Subangkit, M.Biomed (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan);
Kartika Dewi Puspa, S.Si, Apt (Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan);
Ali Usman, SH (Biro Hukum dan Organisasi);
Indah Febrianti, SH, MH (Biro Hukum dan Organisasi);
Utami Gita, SH (Biro Hukum dan Organisasi);
dr. Yanti Herman, SH, M.H.Kes (Hukormas, Ditjen P2P);
Ari Yuliandi, SH (Hukormas, Ditjen P2P);
Aji Muhawarman, ST, MKM (Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat);
Dwi Handayani, S.Sos, MKM (Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat);
Therisia Rhabina Noviandari Purba, MKM (Direktorat Promkes dan PM);
Bhinuri Damawanti, SKM (Direktorat Promkes dan PM);
dr. Monica Saraswati Sitemu, M.Sc (Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer);
dr. Ganda Raja Partogi Sinaga, MKM (Direktorat Pelayanan Kesehatan Primer);
dr. Asral Hasan, MPH (Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan);
dr. Vita Andriani Hutapea, MARS (Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan);
dr. Wiwi Ambarwati, MKM (Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan);
dr. Nani H Widodo, Sp.M., MARS (Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan);
dr. Ida Bagus Anom Suryadiputra, M.H (Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan);
dr. Witha Nasution, MARS Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan);
Ns. Nia Ayu Suridaty, M.Kep,Sp.Kep.MB (Direktorat Pelayanan Kesehatan Rujukan);
dr. Inne Nutfiliana, M.KK (Dit. Kesehatan Kerja dan Olahraga);
dr. Astuti Burhan, M.KKK (Dit. Kesehatan Kerja dan Olahraga);
dr. Adi Iswady Thomas, MARS (Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional);
dr. Gita Swisari, MKM (Direktorat Pelayanan Kesehatan Tradisional);
drg. Rudi Kurniawan, M.Kes (Pusat Data dan Informasi);
Boga Hardhana, S.Si, MSi (Pusat Data dan Informasi);
Farida Sibuea, SKM, M.ScPH (Pusat Data dan Informasi);
Dr. Rita Djupuri, DCN, M.Epid (Pusat Krisis Kesehatan);
dr. Ina Agustina Isturini, MKM (Pusat Krisis Kesehatan);
dr. Eko Medistianto, M.Epid (Pusat Krisis Kesehatan);
drg. Leny Juniarta, M.Kes (Pusat Krisis Kesehatan);
Agus Hendroyono, SKM, MA (Pusat Krisis Kesehatan);
Adithya Raja Manggala, S.Psi, M.Psi (Pusat Krisis Kesehatan);
Budiman, SKM, M.Kes (Pusat Krisis Kesehatan);
dr. Darmawali Handoko, M.Epid (KKP Kelas I Makasar);
dr. Ratna Budi Hapsari, MKM (Direktorat P2PTM);
dr. Indra Kurnia Sari, M.Kes (Direktorat P2PML);
dr. Imran Pambudi, MPHM (Direktorat P2PML);
Nurjannah, SKM, M.Kes (Direktorat P2PML);
dr. Endang Lukitosari, MPH (Direktorat P2PML);
dr. Retno Kusuma Dewi, MPH (Direktorat P2PML);
dr. Endang Budi Hastuti (Direktorat Surkarkes);
drh. Endang Burni Prasetyowati, M.Kes (Direktorat Surkarkes);
dr. Benget Saragih, M.Epid (Direktorat Surkarkes);
dr. Triya Novita Dinihari (Direktorat Surkarkes);
dr. I Made Yosi Purbadi Wirentana, MKM (Direktorat Surkarkes);
dr. Chita Septiawati, MKM (Direktorat Surkarkes);
dr. Irawati, M.Kes (Direktorat Surkarkes);
Abdurrahman, SKM, M.Kes (Direktorat Surkarkes);
Edy Purwanto, SKM, M.Kes (Direktorat Surkarkes);
Emita Adjis, SKM, MPH (Direktorat Surkarkes);

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 5


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Berkat Putra Sianipar, SKM (Direktorat Surkarkes);
dr. Mirza Irwanda, Sp.KP (Direktorat Surkarkes);
Dian Eka Sutra, SKM (Direktorat Surkarkes);
Andini Wisdhanorita, SKM, M.Epid (Direktorat Surkarkes);
Luci Rahmadani Putri, SKM, MPH (Direktorat Surkarkes);
dr. A. Muchtar Nasir, M.Epid (Direktorat Surkarkes);
Ibrahim, SKM, MPH (Direktorat Surkarkes);
Kursianto, SKM, M.Si (Direktorat Surkarkes);
Mariana Eka Rosida, SKM (Direktorat Surkarkes);
Perimisdilla Syafri, SKM (Direktorat Surkarkes);
Rina Surianti, SKM (Direktorat Surkarkes);
Suharto, SKM (Direktorat Surkarkes);
Sri Lestari, SKM, M.Epid (Direktorat Surkarkes);
Leni Mendra, SST, M.Kes (Direktorat Surkarkes);
Dwi Annisa Fajria, SKM (Direktorat Surkarkes);
Rendy Manuhutu, SKM (Direktorat Surkarkes);
dr. Rim Kwang Il (WHO Indonesia);
dr. Vinod Kumar Bura (WHO Indonesia);
dr. Endang Widuri Wulandari (WHO Indonesia);
dr. Mushtofa Kamal, MSc (WHO Indonesia);
dr. Jonathan Marbun (WHO Indonesia);
Achmad Naufal Azhari (WHO Indonesia);
dr. Setiawan Jati Laksono (WHO Indonesia);
dr. Maria Regina Christian (WHO Indonesia);
dr. Benyamin Sihombing (WHO Indonesia);
dr. Budiarto (WHO Indonesia);
Nurhayati Kawi (WHO Indonesia);
Kemmy Purnawati (WHO Indonesia);
Indah Deviyanti (WHO Indonesia);
Anandita Yoana (WHO Indonesia);
dr. Herfina Nababan (WHO Indonesia);
dr. Alfrida Camelia Silitonga (WHO Indonesia)
dr. Maria Endang Sumiwi, MPH (Unicef Indonesia).

Editor
dr. Listiana Aziza, Sp.KP; Adistikah Aqmarina, SKM; Maulidiah Ihsan, SKM

Design
Galih Alestya Timur; Pra Setiadi, SKM

Alamat Sekretariat
Sub Direktorat Penyakit Infeksi Emerging, Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan,
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan RI.
Jalan H.R. Rasuna Said Blok X5 Kav. 4-9 Gedung A Lantai 6, Jakarta Selatan 12950 Telp/Fax.
(021) 5201590

Email/Website Sekretariat
subdit.pie@yahoo.com; https://infeksiemerging.kemkes.go.id

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 6


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
KATA SAMBUTAN

13

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 7


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................................ 1


KETERANGAN PERUBAHAN ............................................................................................. 2
KATA SAMBUTAN ............................................................................................................... 7
DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 8
DAFTAR GAMBAR .............................................................................................................12
DAFTAR TABEL..................................................................................................................13
DAFTAR LAMPIRAN ...........................................................................................................14
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................................................15
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................................17
1. 1. Latar Belakang .....................................................................................................17
1. 2. Tujuan Pedoman ..................................................................................................19
1. 2. 1. Tujuan Umum ..............................................................................................19
1. 2. 2. Tujuan Khusus .............................................................................................19
1. 3. Ruang Lingkup .....................................................................................................19
1. 4. Gambaran Umum .................................................................................................19
1. 4. 1. Epidemiologi ................................................................................................19
1. 4. 2. Etiologi .........................................................................................................21
1. 4. 3. Penularan ....................................................................................................23
1. 4. 4. Manifestasi Klinis .........................................................................................24
1. 4. 5. Diagnosis .....................................................................................................24
1. 4. 6. Tata Laksana ...............................................................................................24
BAB II STRATEGI DAN INDIKATOR PENANGGULANGAN PANDEMI.............................25
2. 1. Strategi Penanggulangan Pandemi ....................................................................25
2. 2. Indikator Penanggulangan Pandemi ..................................................................33
BAB III SURVEILANS EPIDEMIOLOGI ..............................................................................40
3. 1. Tujuan Surveilans ................................................................................................40
3. 2. Definisi Operasional ............................................................................................40
3. 2. 1. Kasus Suspek ..............................................................................................40
3. 2. 2. Kasus Probable ...........................................................................................41
3. 2. 3. Kasus Konfirmasi .........................................................................................41
3. 2. 4. Kontak Erat ..................................................................................................42
3. 2. 5. Pelaku Perjalanan........................................................................................42
3. 2. 6. Discarded ....................................................................................................42
3. 2. 7. Selesai Isolasi ..............................................................................................42

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 8


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
3. 2. 8. Kematian .....................................................................................................43
3. 3. Penemuan Kasus .................................................................................................43
3. 3. 1. Penemuan Kasus di Pintu Masuk ................................................................43
3. 3. 2. Penemuan Kasus di Wilayah .......................................................................45
3. 4. Manajemen Kesehatan Masyarakat ....................................................................48
3. 4. 1. Manajemen Kesmas pada Kasus Suspek ....................................................48
3. 4. 2. Manajemen Kesmas pada Kasus Probable .................................................49
3. 4. 3. Manajemen Kesmas pada Kasus Konfirmasi ...............................................50
3. 4. 4. Manajemen Kesmas pada Kontak Erat ........................................................51
3. 4. 5. Manajemen Kesmas pada Pelaku Perjalanan ..............................................52
3. 5. Penyelidikan Epidemiologi ..................................................................................53
3. 5. 1. Definisi KLB .................................................................................................53
3. 5. 2. Tujuan Penyelidikan Epidemiologi ...............................................................53
3. 5. 3. Tahapan Penyelidikan Epidemiologi ............................................................53
3. 6. Pelacakan Kontak Erat ........................................................................................55
3. 7. Penilaian Risiko ...................................................................................................60
3. 8. Pencatatan, Pelaporan, dan Distribusi Data dan Informasi ..............................60
3. 8. 1. Pencatatan dan Pelaporan ..........................................................................61
3. 8. 2. Pengolahan dan Analisis Data .....................................................................72
3. 8. 3. Distribusi Data dan Informasi .......................................................................74
3. 9. Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM): Menyiapkan Masyarakat dalam
Penanggulangan COVID-19 .................................................................................75
BAB IV DIAGNOSIS LABORATORIUM ..............................................................................80
4. 1. Jenis Spesimen ....................................................................................................80
4. 2. Pengambilan Spesimen .......................................................................................81
4. 2. 1. Bahan Pengambilan Spesimen ....................................................................82
4. 2. 2. Tata Cara Pengambilan Spesimen Nasofaring ............................................83
4. 2. 3. Tata Cara Pengambilan Spesimen Sputum .................................................84
4. 2. 4. Tata Cara Pengambilan Spesimen Serum ...................................................84
4. 3. Pengepakan Spesimen ........................................................................................85
4. 4. Pengiriman Spesimen..........................................................................................86
4. 5. Pemeriksaan dengan Rapid Test ........................................................................87
4. 6. Pemantapan Mutu Laboratorium ........................................................................87
BAB V MANAJEMEN KLINIS..............................................................................................89
5. 1. Manajemen Klinis COVID-19 ...............................................................................89
5. 1. 1. Triage: Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID-19 .........................89
5. 1. 2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik ..............................................................91

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 9


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
5. 1. 3. Pemeriksaan Penunjang ..............................................................................94
5. 1. 4. Komplikasi ...................................................................................................94
5. 1. 5. Komorbid .....................................................................................................94
5. 2. Definisi Status Klinis Pasien COVID-19 ..............................................................95
5. 3. Pemeriksaan Laboratorium RT-PCR...................................................................95
5. 4. Terapi dan Penatalaksanaan Klinis Pasien COVID-19 .......................................95
5. 4. 1. Tatalaksana Klinis Pasien terkonfirmasi COVID-19 Tanpa Gejala, Sakit
Ringan Atau Sakit Sedang ...........................................................................95
5. 4. 2. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Berat ...................96
5. 4. 3. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 Pada Kondisi Tertentu ..........98
5. 4. 4. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Kritis ...................99
5. 5. Pencegahan Komplikasi ....................................................................................105
5. 6. Pengobatan Spesifik Anti-COVID-19 ................................................................106
5. 7. Evaluasi Akhir Status Klinis Pasien COVID-19..................................................107
5. 7. 1. Selesai Isolasi ............................................................................................107
5. 7. 2. Alih Rawat Non Isolasi ...............................................................................107
5. 7. 3. Sembuh .....................................................................................................108
5. 7. 4. Pemulangan Pasien ...................................................................................108
5. 7. 5. Pindah ke RS Rujukan ...............................................................................108
5. 7. 6. Meninggal ..................................................................................................109
BAB VI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENULARAN ........................................110
6. 1. Pencegahan dan Pengendalian di Masyarakat ................................................110
6. 1. 1. Pencegahan penularan pada individu ........................................................110
6. 1. 2. Perlindungan kesehatan pada masyarakat ............................................113
6. 2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes .....................................123
6. 2. 1. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Faktor Risiko COVID-19 di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan ................................................................................123
6. 2. 2. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan .................................................................................................123
6. 2. 3. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes Pra Rujukan ............132
6. 2. 4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Pemulasaraan Jenazah ......132
BAB VII KOMUNIKASI RISIKO DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT .......................140
7. 1. Langkah-Langkah Tindakan di dalam KRPM Bagi Provinsi/Kabupaten/ Kota
yang Bersiap Menghadapi Kemungkinan Wabah ............................................142
7. 2. Langkah-Langkah Tindakan di dalam Respon KRPM bagi daerah Provinsi/
Kabupaten/ Kota dengan Satu atau Lebih Kasus yang Telah Diidentifikasi ..146
7. 3. Langkah-Langkah Tindakan di dalam Respon KRPM bagi daerah Provinsi/
Kabupaten/Kota dengan Sebagian Besar Kasus Penularan Lokal Terjadi ....149

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 10


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
7. 4. Langkah-Langkah Tindakan di dalam Respon KRPM bagi daerah Provinsi/
Kabupaten/Kota dengan Terjadinya Wabah dengan Eskalasi Kasus yang
Semakin Banyak Di Berbagai Wilayah .............................................................153
7. 5. Protokol Kesehatan ...........................................................................................153
7. 6. Media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Penanggulangan COVID-19 ......155
BAB VIII PENYEDIAAN SUMBER DAYA..........................................................................159
8. 1. Perencanaan Kebutuhan Logistik.....................................................................159
8. 2. Pemenuhan Kebutuhan Logistik ......................................................................159
8. 3. Penyimpanan Logistik .......................................................................................160
8. 4. Distribusi Logistik..............................................................................................161
BAB IX PELAYANAN KESEHATAN ESENSIAL .............................................................163
9. 1. Mengidentifikasi dan Memprioritaskan Pelayanan ..........................................163
9. 2. Strategi Adaptasi Pelayanan Kesehatan Esensial dalam Situasi Respons
Pandemi COVID-19 ............................................................................................165
9. 3. Mendukung Kesiapan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Daerah Untuk
Memastikan Keberlanjutan Pelayanan Kesehatan Esensial ...........................168
9. 4. Memantau Keberlangsungan Pemberian Pelayanan Kesehatan Esensial.....169
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................................172
LAMPIRAN ........................................................................................................................178

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 11


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Peta Sebaran COVID-19 ................................................................................20


Gambar 1. 2. Struktur Coronavirus .......................................................................................22
Gambar 1. 3. Gambaran Mikroskopis SARS-CoV-2 .............................................................22
Gambar 3. 1. Alur Manajemen Kesehatan Masyarakat.........................................................47
Gambar 3. 2. Contoh Hubungan Kontak Erat .......................................................................57
Gambar 3. 3. Alur Pencatatan dan Pelaporan COVID-19 .....................................................62
Gambar 3. 4. Alur Penapisan Kasus pada Pemudik .............................................................76
Gambar 3. 5. Alur Penapisan Kasus di Masyarakat ..............................................................77
Gambar 3. 6. Alur Koordinasi Pelaporan ..............................................................................77
Gambar 4. 1. Lokasi Pengambilan Nasofaring .....................................................................83
Gambar 4. 2. Cara Memasukkan Swab ke dalam VTM ........................................................84
Gambar 4. 3. Pengemasan spesimen ..................................................................................84
Gambar 4. 4. Contoh Pengepakan Tiga Lapis ......................................................................85
Gambar 6. 1. Kebersihan Tangan dengan Handrub ...........................................................124
Gambar 6. 2. Kebersihan Tangan dengan Sabun dan Air ..................................................125
Gambar 7. 1. Tagline Berubah Usir Wabah ........................................................................155

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 12


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
DAFTAR TABEL

Tabel 2. 1. Tujuan dan Strategi Penanggulangan berdasarkan Tingkat Penularan..............27


Tabel 2. 2. Kriteria Epidemiologi ..........................................................................................34
Tabel 2. 3. Kriteria Sistem Pelayanan Kesehatan ................................................................36
Tabel 2. 4. Kriteria Surveilans Kesehatan Masyarakat.........................................................37

Tabel 3. 1. Penggunaan APD dalam Melakukan Penyelidikan Epidemiologi ........................54


Tabel 3. 2. Contoh Cara Melakukan Identifikasi Kontak Erat ................................................57
Tabel 4. 1. Jenis Spesimen Pasien COVID-19 .....................................................................80
Tabel 4. 2. Perbedaan Kriteria Kasus Untuk Konfirmasi Laboratorium dengan RT-PCR ......86
Tabel 5. 1 Kriteria Gejala Klinis Dan Manifestasi Klinis Yang Berhubungan Dengan Infeksi
COVID-19 ...........................................................................................................91
Tabel 5. 2 Jadwal Pengambilan Swab Untuk Pemeriksaan RT-PCR ....................................95
Tabel 5. 3 Pencegahan Kompikasi .....................................................................................105
Tabel 6. 1 APD yang Digunakan dalam Proses Pemulasaraan Jenazah ...........................139
Tabel 7. 1. Contoh Media Promosi Kesehatan ...................................................................156

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 13


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Formulir Notifikasi Penemuan Kasus Pada Pelaku Perjalanan .......................178


Lampiran 2. Formulir Pemantauan Harian (Kontak Erat/Suspek/Probable) ........................179
Lampiran 3. Laporan Notifikasi Penemuan Kasus COVID-19 Di Fasyankes.......................180
Lampiran 4. Laporan Harian Agregat COVID-19 ................................................................181
Lampiran 5. Tabel Contoh Pelacakan Kontak Di Tempat atau Setting Tertentu .................182
Lampiran 6. Formulir Penyelidikan Epidemiologi Coronavirus Disease (COVID-19) ...........184
Lampiran 7. Formulir Permohonan Pemeriksaan COVID-19 Menggunakan TCM / Formulir
COVID.05.......................................................................................................187
Lampiran 8. Register Pemeriksaan Laboratorium TCM/COVID.04 .....................................188
Lampiran 9. Contoh Surat Pernyataan Selesai Pemantauan ..............................................190
Lampiran 10. Alur Pelacakan Kasus Notifikasi Dari IHR National Focal Point Negara Lain 191
Lampiran 11. Ringkasan Manajemen Kesmas Berdasarkan Kriteria Kasus........................192
Lampiran 12. Daftar Laboratorium Pemeriksa COVID-19 ...................................................193
Lampiran 13. Lembar Kesediaan Karantina Rumah / Perawatan di Rumah .......................196
Lampiran 14. Contoh Sertifikat Medis Penyebab Kematian ................................................197
Lampiran 15. Pemanfaatan Obat Tradisional Untuk Pemeliharaan Kesehatan, Pencegahan
Penyakit, dan Perawatan Kesehatan ...........................................................198
Lampiran 16. Laporan Harian dan Mingguan Mesin RT-PCR Program HIV/AIDS PIMS .....202
Lampiran 17. Kriteria Tempat Perawatan Pasien................................................................203
Lampiran 18. Protokol Tata Laksana Pasien Terkonfirmasi Infeksi COVID-19 ...................204
Lampiran 19. Panduan Bagi Petugas Pelayanan PSC 119 Dalam Pelayanan Pasien COVID-
19 .................................................................................................................209
Lampiran 20. Sarana Informasi yang Disusun Oleh BPOM Mengenai Herbal Indonesia yang
Dapat Digunakan Untuk Penanggulangan Menghadapi COVID-19 ..............213
Lampiran 21. Laporan Bulanan Persediaan Dan Kebutuhan Logistik COVID-19 ................214

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 14


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
DAFTAR SINGKATAN

AKB : Adaptasi Kebiasaan Baru


ALUTSISTA : Alat Utama Sistem Pertahanan
APD : Alat Pelindung Diri
ARDS : Acute respiratory distress syndrome
BCP : Bussiness Continuity Plan
CFR : Case Fatality Rate
CoV : Coronavirus
COVID-19 : Coronavirus Disease
CPAP : Continuous Positive Airway Pressure
Dinkes : Dinas Kesehatan
DPJP : Dokter Penanggung Jawab Pelayanan
EOC : Emergency Operation Center
ESFT : Essensial Supplies Forecasting Tool
Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan
FiO2 : Fraksi oksigen inspirasi
FIFO First In First Out
FKTP : Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer
FKRTL : Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
HAC : Health Alert Card
e HAC : Electronic Health Alert Card
ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
IHR : International Health Regulation
ILI : Influenza Like Illness
KIE : Komunikasi, Informasi, dan Edukasi
KLB : Kejadian Luar Biasa
KKP : Kantor Kesehatan Pelabuhan
KKMMD : Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia
KKM : Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
MERS-CoV : Middle East Respiratory Syndrome
MAP : Mean Arterial Pressure
NAAT : Nucleic Acid Amplification Tests
NIV : Noninvasive Ventilation
NSPK : Norma, Standar, Prosedur, Kriteria
OI : Oxygenation Index
OSI : Oxygenation Index menggunakan SpO2
PaO2 : Partial Pressure of Oxygen
PD3I : Penyakit Yang Dapat Dicegah Dengan Imunsiasi
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PEEP : Positive End-Expiratory Pressure
PLBDN : Pos Lintas Batas Darat Negara
PHEIC : Public Health Emergrncy of International Concern
PHEOC : Public Health Emergency Operation Center
PSBB : Pembatasan Sosial Berskala Besar
P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 15


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
Renops : Rencana Operasi
RS : Rumah Sakit
SARS-CoV : Severe Acute Respiratory Syndrome
SARI : Severe Acute Respiratory Infection
SBM : Surveilans Berbasis Masyarakat
SDM : Sumber Daya Manusia
SD : Standar Deviasi
SITB : Sistim Informasi Tuberkulosis
SKDR : Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon
SOP : Standar Prosedur Operasional
SpO2 : Saturasi oksigen
TGC : Tim Gerak Cepat
UPT : Unit Pelayanan Teknis
UKM : Upaya Kesehatan Masyarakat
UKP : Upaya Kesehatan Primer
TDS : Tekanan Darah Sistolik
TCM : Tes Cepat Molekuler
VL : Viral Load
WHO : World Health Organization

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 16


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB I
PENDAHULUAN

1. 1. Latar Belakang
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). SARS-CoV-2
merupakan coronavirus jenis baru yang belum pernah diidentifikasi sebelumnya pada
manusia. Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit
yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS)
dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS). Tanda dan gejala umum infeksi
COVID-19 antara lain gejala gangguan pernapasan akut seperti demam, batuk dan
sesak napas. Masa inkubasi rata-rata 5-6 hari dengan masa inkubasi terpanjang 14 hari.
Pada kasus COVID-19 yang berat dapat menyebabkan pneumonia, sindrom
pernapasan akut, gagal ginjal, dan bahkan kematian.
Pada tanggal 31 Desember 2019, WHO China Country Office melaporkan kasus
pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina. Pada
tanggal 7 Januari 2020, China mengidentifikasi kasus tersebut sebagai jenis baru
coronavirus. Pada tanggal 30 Januari 2020 WHO menetapkan kejadian tersebut sebagai
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health
Emergency of International Concern (PHEIC) dan pada tanggal 11 Maret 2020, WHO
sudah menetapkan COVID-19 sebagai pandemi.

Berkaitan dengan kebijakan penanggulangan wabah penyakit menular, Indonesia


telah memiliki Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular,
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang Penangulangan Wabah Penyakit
Menular, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1501/Menkes/Per/X/2010 tentang
Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangan. Untuk itu dalam rangka upaya penanggulangan dini wabah COVID-
19, Menteri Kesehatan telah mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/MENKES/104/2020 tentang Penetapan Infeksi Novel Coronavirus (Infeksi
2019-nCoV) sebagai Jenis Penyakit Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangannya. Penetapan didasari oleh pertimbangan bahwa Infeksi Novel
Coronavirus (Infeksi 2019-nCoV) telah dinyatakan WHO sebagai Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD)/Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC). Selain itu meluasnya penyebaran COVID-19 ke
berbagai negara dengan risiko penyebaran ke Indonesia terkait dengan mobilitas

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 17


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
penduduk, memerlukan upaya penanggulangan terhadap penyakit tersebut.
Peningkatan jumlah kasus berlangsung cukup cepat, dan menyebar ke berbagai
negara dalam waktu singkat. Sampai dengan tanggal 9 Juli 2020, WHO melaporkan
11.84.226 kasus konfirmasi dengan 545.481 kematian di seluruh dunia (Case Fatality
Rate/CFR 4,6%). Indonesia melaporkan kasus pertama pada tanggal 2 Maret 2020.
Kasus meningkat dan menyebar dengan cepat di seluruh wilayah Indonesia. Sampai
dengan tanggal 9 Juli 2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 70.736 kasus
konfirmasi COVID-19 dengan 3.417 kasus meninggal (CFR 4,8%).

Dilihat dari situasi penyebaran COVID-19 yang sudah hampir menjangkau seluruh
wilayah provinsi di Indonesia dengan jumlah kasus dan/atau jumlah kematian semakin
meningkat dan berdampak pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan
keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia, Pemerintah Indonesia telah
menetapkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Keputusan Presiden tersebut menetapkan COVID-19 sebagai jenis penyakit yang
menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) dan menetapkan KKM
COVID-19 di Indonesia yang wajib dilakukan upaya penanggulangan sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan. Selain itu, atas pertimbangan penyebaran COVID-19
berdampak pada meningkatnya jumlah korban dan kerugian harta benda, meluasnya
cakupan wilayah terdampak, serta menimbulkan implikasi pada aspek sosial ekonomi
yang luas di Indonesia, telah dikeluarkan juga Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun
2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Penanggulangan KKM dilakukan melalui penyelenggaraan kekarantinaan


kesehatan baik di pintu masuk maupun di wilayah. Dalam penyelenggaraan
kekarantinaan kesehatan di wilayah, setelah dilakukan kajian yang cukup komprehensif
Indonesia mengambil kebijakan untuk melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) yang pada prinsipnya dilaksanakan untuk menekan penyebaran COVID-
19 semakin meluas, didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman,
efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan dan keamanan. Pengaturan PSBB ditetapkan melalui
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19),
dan secara teknis dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020
tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 18


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).

Sampai saat ini, situasi COVID-19 di tingkat global maupun nasional masih dalam
risiko sangat tinggi. Selama pengembangan vaksin masih dalam proses, dunia
dihadapkan pada kenyataan untuk mempersiapkan diri hidup berdampingan dengan
COVID-19. Oleh karenanya diperlukan pedoman dalam upaya pencegahan dan
pengendalian COVID-19 untuk memberikan panduan bagi petugas kesehatan agar tetap
sehat, aman, dan produktif, dan seluruh penduduk Indonesia mendapatkan pelayanan
yang sesuai standar. Pedoman pencegahan dan pengendalian COVID-19 disusun
berdasarkan rekomendasi WHO yang disesuaikan dengan perkembangan pandemi
COVID-19, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

1. 2. Tujuan Pedoman
1. 2. 1. Tujuan Umum
Melaksanakan pencegahan dan pengendalian COVID-19 di Indonesia.
1. 2. 2. Tujuan Khusus
a. Memahami strategi dan indikator penanggulangan
b. Melaksanakan surveilans epidemiologi
c. Melaksanakan diagnosis laboratorium
d. Melaksanakan manajemen klinis
e. Melaksanakan pencegahan dan pengendalian penularan
f. Melaksanakan komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat
g. Melaksanakan penyediaan sumber daya
h. Melaksanakan pelayanan kesehatan esensial

1. 3. Ruang Lingkup
Pedoman ini meliputi beberapa pokok bahasan yaitu: strategi dan indikator
penanggulangan, surveilans epidemiologi, diagnosis laboratorium, manajemen klinis,
pencegahan dan pengendalian penularan, komunikasi risiko dan pemberdayaan
masyarakat, penyediaan sumber daya, dan pelayanan kesehatan esensial.

1. 4. Gambaran Umum
1. 4. 1. Epidemiologi
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) merupakan penyakit menular yang
disebabkan oleh Coronavirus jenis baru. Penyakit ini diawali dengan munculnya
kasus pneumonia yang tidak diketahui etiologinya di Wuhan, China pada akhir

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 19


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Desember 2019 (Li et al, 2020). Berdasarkan hasil penyelidikan epidemiologi,
kasus tersebut diduga berhubungan dengan Pasar Seafood di Wuhan. Pada
tanggal 7 Januari 2020, Pemerintah China kemudian mengumumkan bahwa
penyebab kasus tersebut adalah Coronavirus jenis baru yang kemudian diberi
nama SARS-CoV-2 (Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2). Virus
ini berasal dari famili yang sama dengan virus penyebab SARS dan MERS.
Meskipun berasal dari famili yang sama, namun SARS-CoV-2 lebih menular
dibandingkan dengan SARS-CoV dan MERS-CoV (CDC China, 2020). Proses
penularan yang cepat membuat WHO menetapkan COVID-19 sebagai
KKMMD/PHEIC pada tanggal 30 Januari 2020. Angka kematian kasar
bervariasi tergantung negara dan tergantung pada populasi yang terpengaruh,
perkembangan wabahnya di suatu negara, dan ketersediaan pemeriksaan
laboratorium.

Thailand merupakan negara pertama di luar China yang melaporkan adanya


kasus COVID-19. Setelah Thailand, negara berikutnya yang melaporkan kasus
pertama COVID-19 adalah Jepang dan Korea Selatan yang kemudian
berkembang ke negara-negara lain. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2020,
WHO melaporkan 10.185.374 kasus konfirmasi dengan 503.862 kematian di
seluruh dunia (CFR 4,9%). Negara yang paling banyak melaporkan kasus
konfirmasi adalah Amerika Serikat, Brazil, Rusia, India, dan United Kingdom.
Sementara, negara dengan angka kematian paling tinggi adalah Amerika
Serikat, United Kingdom, Italia, Perancis, dan Spanyol. Peta sebaran COVID-
19 di dunia dapat dilihat pada gambar 1.1

Sumber: World Health Organization


Gambar 1. 1. Peta Sebaran COVID-19

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 20


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Indonesia melaporkan kasus pertama COVID-19 pada tanggal 2 Maret 2020
dan jumlahnya terus bertambah hingga sekarang. Sampai dengan tanggal 30
Juni 2020 Kementerian Kesehatan melaporkan 56.385 kasus konfirmasi
COVID-19 dengan 2.875 kasus meninggal (CFR 5,1%) yang tersebar di 34
provinsi. Sebanyak 51,5% kasus terjadi pada laki-laki. Kasus paling banyak
terjadi pada rentang usia 45-54 tahun dan paling sedikit terjadi pada usia 0-5
tahun. Angka kematian tertinggi ditemukan pada pasien dengan usia 55-64
tahun.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh CDC China, diketahui bahwa


kasus paling banyak terjadi pada pria (51,4%) dan terjadi pada usia 30-79 tahun
dan paling sedikit terjadi pada usia <10 tahun (1%). Sebanyak 81% kasus
merupakan kasus yang ringan, 14% parah, dan 5% kritis (Wu Z dan McGoogan
JM, 2020). Orang dengan usia lanjut atau yang memiliki penyakit bawaan
diketahui lebih berisiko untuk mengalami penyakit yang lebih parah. Usia lanjut
juga diduga berhubungan dengan tingkat kematian. CDC China melaporkan
bahwa CFR pada pasien dengan usia ≥ 80 tahun adalah 14,8%, sementara
CFR keseluruhan hanya 2,3%. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian
di Italia, di mana CFR pada usia ≥ 80 tahun adalah 20,2%, sementara CFR
keseluruhan adalah 7,2% (Onder G, Rezza G, Brusaferro S, 2020). Tingkat
kematian juga dipengaruhi oleh adanya penyakit bawaan pada pasien. Tingkat
10,5% ditemukan pada pasien dengan penyakit kardiovaskular, 7,3% pada
pasien dengan diabetes, 6,3% pada pasien dengan penyakit pernapasan
kronis, 6% pada pasien dengan hipertensi, dan 5,6% pada pasien dengan
kanker.

1. 4. 2. Etiologi
Penyebab COVID-19 adalah virus yang tergolong dalam family coronavirus.
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak
bersegmen. Terdapat 4 struktur protein utama pada Coronavirus yaitu: protein
N (nukleokapsid), glikoprotein M (membran), glikoprotein spike S (spike),
protein E (selubung). Coronavirus tergolong ordo Nidovirales, keluarga
Coronaviridae. Coronavirus ini dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau
manusia. Terdapat 4 genus yaitu alphacoronavirus, betacoronavirus,
gammacoronavirus, dan deltacoronavirus. Sebelum adanya COVID-19, ada 6
jenis coronavirus yang dapat menginfeksi manusia, yaitu HCoV-229E

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 21


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
(alphacoronavirus), HCoV-OC43 (betacoronavirus), HCoVNL63
(alphacoronavirus) HCoV-HKU1 (betacoronavirus), SARS-CoV
(betacoronavirus), dan MERS-CoV (betacoronavirus).

Sumber: Shereen, et al. (2020) Journal of Advanced Research 24


Gambar 1. 2. Struktur Coronavirus

Coronavirus yang menjadi etiologi COVID-19 termasuk dalam genus


betacoronavirus, umumnya berbentuk bundar dengan beberapa pleomorfik,
dan berdiameter 60-140 nm. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa
virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan coronavirus yang
menyebabkan wabah SARS pada 2002-2004 silam, yaitu Sarbecovirus. Atas
dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV) memberikan
nama penyebab COVID-19 sebagai SARS-CoV-2.

Sumber: CDC (2020)


Gambar 1. 3. Gambaran Mikroskopis SARS-CoV-2

Belum dipastikan berapa lama virus penyebab COVID-19 bertahan di atas


permukaan, tetapi perilaku virus ini menyerupai jenis-jenis coronavirus lainnya.
Lamanya coronavirus bertahan mungkin dipengaruhi kondisi-kondisi yang
berbeda (seperti jenis permukaan, suhu atau kelembapan lingkungan).
Penelitian (Doremalen et al, 2020) menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 dapat
bertahan selama 72 jam pada permukaan plastik dan stainless steel, kurang
dari 4 jam pada tembaga dan kurang dari 24 jam pada kardus. Seperti virus
corona lain, SARS-COV-2 sensitif terhadap sinar ultraviolet dan panas. Efektif

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 22


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dapat dinonaktifkan dengan pelarut lemak (lipid solvents) seperti eter, etanol
75%, ethanol, disinfektan yang mengandung klorin, asam peroksiasetat, dan
khloroform (kecuali khlorheksidin).

1. 4. 3. Penularan
Coronavirus merupakan zoonosis (ditularkan antara hewan dan manusia).
Penelitian menyebutkan bahwa SARS ditransmisikan dari kucing luwak (civet
cats) ke manusia dan MERS dari unta ke manusia. Adapun, hewan yang
menjadi sumber penularan COVID-19 ini masih belum diketahui.

Masa inkubasi COVID-19 rata-rata 5-6 hari, dengan range antara 1 dan 14 hari
namun dapat mencapai 14 hari. Risiko penularan tertinggi diperoleh di hari-hari
pertama penyakit disebabkan oleh konsentrasi virus pada sekret yang tinggi.
Orang yang terinfeksi dapat langsung dapat menularkan sampai dengan 48 jam
sebelum onset gejala (presimptomatik) dan sampai dengan 14 hari setelah
onset gejala. Sebuah studi Du Z et. al, (2020) melaporkan bahwa 12,6%
menunjukkan penularan presimptomatik. Penting untuk mengetahui periode
presimptomatik karena memungkinkan virus menyebar melalui droplet atau
kontak dengan benda yang terkontaminasi. Sebagai tambahan, bahwa
terdapat kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), meskipun risiko
penularan sangat rendah akan tetapi masih ada kemungkinan kecil untuk
terjadi penularan.

Berdasarkan studi epidemiologi dan virologi saat ini membuktikan bahwa


COVID-19 utamanya ditularkan dari orang yang bergejala (simptomatik) ke
orang lain yang berada jarak dekat melalui droplet. Droplet merupakan partikel
berisi air dengan diameter >5-10 µm. Penularan droplet terjadi ketika
seseorang berada pada jarak dekat (dalam 1 meter) dengan seseorang yang
memiliki gejala pernapasan (misalnya, batuk atau bersin) sehingga droplet
berisiko mengenai mukosa (mulut dan hidung) atau konjungtiva (mata).
Penularan juga dapat terjadi melalui benda dan permukaan yang
terkontaminasi droplet di sekitar orang yang terinfeksi. Oleh karena itu,
penularan virus COVID-19 dapat terjadi melalui kontak langsung dengan orang
yang terinfeksi dan kontak tidak langsung dengan permukaan atau benda yang
digunakan pada orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer).

Dalam konteks COVID-19, transmisi melalui udara dapat dimungkinkan dalam


keadaan khusus dimana prosedur atau perawatan suportif yang menghasilkan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 23


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
aerosol seperti intubasi endotrakeal, bronkoskopi, suction terbuka, pemberian
pengobatan nebulisasi, ventilasi manual sebelum intubasi, mengubah pasien
ke posisi tengkurap, memutus koneksi ventilator, ventilasi tekanan positif non-
invasif, trakeostomi, dan resusitasi kardiopulmoner. Masih diperlukan penelitian
lebih lanjut mengenai transmisi melalui udara.

1. 4. 4. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala yang dialami biasanya bersifat ringan dan muncul secara
bertahap. Beberapa orang yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala apapun
dan tetap merasa sehat. Gejala COVID-19 yang paling umum adalah demam,
rasa lelah, dan batuk kering. Beberapa pasien mungkin mengalami rasa nyeri
dan sakit, hidung tersumbat, pilek, nyeri kepala, konjungtivitis, sakit
tenggorokan, diare, hilang penciuman dan pembauan atau ruam kulit.

Menurut data dari negara-negara yang terkena dampak awal pandemi, 40%
kasus akan mengalami penyakit ringan, 40% akan mengalami penyakit sedang
termasuk pneumonia, 15% kasus akan mengalami penyakit parah, dan 5%
kasus akan mengalami kondisi kritis. Pasien dengan gejala ringan dilaporkan
sembuh setelah 1 minggu. Pada kasus berat akan mengalami Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik, gagal multi-
organ, termasuk gagal ginjal atau gagal jantung akut hingga berakibat
kematian. Orang lanjut usia (lansia) dan orang dengan kondisi medis yang
sudah ada sebelumnya seperti tekanan darah tinggi, gangguan jantung dan
paru, diabetes dan kanker berisiko lebih besar mengalami keparahan.

1. 4. 5. Diagnosis
WHO merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang
terduga terinfeksi COVID-19. Metode yang dianjurkan adalah metode deteksi
molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti pemeriksaan RT-
PCR.

1. 4. 6. Tata Laksana
Hingga saat ini, belum ada vaksin dan obat yang spesifik untuk mencegah atau
mengobati COVID-19. Pengobatan ditujukan sebagai terapi simptomatis dan
suportif. Ada beberapa kandidat vaksin dan obat tertentu yang masih diteliti
melalui uji klinis.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 24


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB II
STRATEGI DAN INDIKATOR PENANGGULANGAN PANDEMI

2. 1. Strategi Penanggulangan Pandemi


Sejak kasus pertama diumumkan pada tanggal 2 Maret 2020, penyebaran
penularan COVID-19 terjadi dengan cepat di Indonesia. Hal ini memerlukan strategi
penanggulangan sesuai dengan transmisi yang terjadi baik di tingkat nasional maupun
provinsi, dengan tujuan:
1. Memperlambat dan menghentikan laju transmisi/penularan, dan menunda
penyebaran penularan.
2. Menyediakan pelayanan kesehatan yang optimal untuk pasien, terutama kasus
kritis.
3. Meminimalkan dampak dari pandemi COVID-19 terhadap sistem kesehatan,
pelayanan sosial, kegiatan di bidang ekonomi, dan kegiatan sektor lainnya.

Seluruh provinsi dan kabupaten/kota perlu melakukan identifikasi kasus baru,


mengelola, dan memberikan intervensi pada kasus-kasus baru COVID-19, serta upaya
pencegahan penularan kasus baru dalam adaptasi kebiasaan baru dengan pelaksanaan
protokol kesehatan yang ketat dalam setiap aktifitas masyarakat. Setiap daerah juga
harus menyiapkan dan merespon berbagai skenario kesehatan masyarakat.

Strategi yang komprehensif perlu disusun dalam dokumen Rencana Operasi


(Renops) Penanggulangan COVID-19 yang melibatkan lintas sektor. Renops mencakup
(1) Koordinasi, perencanaan dan monitoring; (2) komunikasi risiko dan pemberdayaan
Masyarakat (3) Surveilans, Tim Gerak Cepat (TGC), Analisis Risiko, Penyelidikan
Epidemiologi; (4) Pintu Masuk negara/ Wilayah, Perjalanan Internasional dan
transportasi (5) Laboratorium; (6) Pengendalian Infeksi; (7) Manajemen Kasus; (8)
Dukungan Operasional dan Logistik; (9) Keberlangsungan pelayanan dan sistem
esensial dan memperhatikan kondisi transmisi di komunitas atau kondisi kapasitas
terbatas dan kondisi yang memerlukan bantuan kemanusiaan.

Pandemi merupakan salah satu bencana nonalam sehingga rencana respon


penanggulangan COVID-19 dapat menggunakan kerangka kerja respon bencana
nasional berdasarkan prinsip penanggulangan manajemen risiko pandemi. Dokumen
renops perlu direview dan diperbaharui minimal setiap 2 minggu. Konsep operasi respon
penanggulangan COVID-19 berdasarkan framework kebencanaan nasional.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 25


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Berdasarkan panduan WHO, terdapat 4 skenario transmisi pada pandemi COVID-19
yaitu:

1. Wilayah yang belum ada kasus (No Cases)


2. Wilayah dengan satu atau lebih kasus, baik kasus import ataupun lokal, bersifat
sporadik dan belum terbentuk klaster (Sporadic Cases)
3. Wilayah yang memiliki kasus klaster dalam waktu, lokasi geografis, maupun
paparan umum (Clusters of Cases)
4. Wilayah yang memiliki transmisi komunitas (Community Transmission)
Setiap provinsi dan kabupaten/kota harus dapat memetakan skenario transmisi di
wilayahnya. Suatu wilayah dapat memiliki lebih dari 1 skenario transmisi pada wilayah
yang lebih kecil, misalnya beberapa kabupaten/kota di suatu provinsi atau beberapa
kecamatan di suatu kabupaten/kota. Inti utama dalam skenario penanggulangan adalah
sebanyak mungkin kasus berada pada klasternya dan berhasil dilakukan
penanggulangan (minimal 80%), setelah dilakukan penanggulangan terjadi penurunan
jumlah kasus minimal 50% dari puncak tertinggi selama minimal 2 minggu dan terus
turun 3 minggu selanjutnya. Skenario transmisi yang berbeda membutuhkan persiapan
dan respon berbeda seperti dijabarkan pada tabel berikut:

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 26


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Tabel 2. 1. Tujuan dan Strategi Penanggulangan berdasarkan Tingkat Penularan
TIDAK ADA KASUS KASUS SPORADIK KASUS KLASTER PENULARAN KOMUNITAS

Tingkat Tidak terdapat kasus yang Satu atau lebih kasus, kasus bisa Dominasi penularan lokal yang berkaitan Tidak diketahui sumber rantai penularan dengan
Penularan terlaporkan import maupun lokal tapi belum terbukti dengan rantai penyebaran jumlah kasus yang besar atau peningkatan kasus
adanya penularan lokal dengan test positif melalui sampel sentinel
(pengujian sampel secara massif dari
laboratorium yang kompeten)

Tujuan Menghentikan penularan Menghentikan penularan dan Menghentikan penularan dan mencegah Menghambat penularan, mengurangi jumlah
penanggulangan dan mencegah mencegah penyebaran penyebaran kasus, mengakhiri wabah di komunitas
penyebaran

Pilar Penanggulangan

Surveilans 1. Penemuan Kasus 1. Penemuan Kasus Secara Aktif dan 1. Mengintensifkan Penemuan Kasus 1. Terus melanjutkan penemuan kasus dan isoasi
Epidemiologi Secara Aktif dan isolasi, karantina kontak dan isolasi jika memungkinkan khususnya pada daerah
dan Upaya isolasi. yang baru melaporkan kasus
2. Melaksanakan pelacakan kontak 2. Mengintensifkan pelacakan kontak
Penemuan 2. Menyiapkan 2. Terus melanjutkan pelacakan kontak dan
dan monitoring serta karantina dan monitoring serta karantina
Kasus Secara menghadapi lonjakan monitoring jika memungkinkan serta karantina
kontak kontak
Aktif kebutuhan pelacakan kontak
kontak 3. Pelaksanaan surveilans COVID-19 3. Memperluas surveilans COVID-19 3. Isolasi mandiri pada kasus yang bergejala
3. Melaksanakan melalui surveilans berbasis melalui surveilans berbasis ringan
pemeriksaan komunitas, surveilans ILI, SARI, komunitas, surveilans ILI, SARI, 4. Memantau perkembangan COVID-19
surveilans COVID-19 pneumoni, Event Base surveillance ISPA dan Pneumonia di FKTP dan surveilans sentinel yang ada
melalui surveilans baik FKTP dan FKRTL FKRTL 5. Melaksanakan surveilans di fasilitas tertutup
berbasis komunitas, dan kelompok rentan
4. Melaksanakan surveilans di 4. Melaksanakan surveilans di fasilitas
surveilans ILI, SARI,
pneumoni, Event Base fasilitas tertutup dan kelompok tertutup dan kelompok rentan
surveillance baik rentan
FKTP dan FKRTL
4. Melaksanakan
surveilans di fasilitas
tertutup dan kelompok
rentan
Pemeriksaan Pemeriksaan RT-PCR Pemeriksaan RT-PCR untuk Suspek Pemeriksaan RT-PCR untuk Suspek dan Apabila kapasitas diagnostik tidak mencukupi,
laboratorium untuk Suspek dan dan sampling pada kasus yang sampling pada kasus yang terdeteksi lakukan langkah prioritas untuk mengurangi

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 27


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
TIDAK ADA KASUS KASUS SPORADIK KASUS KLASTER PENULARAN KOMUNITAS
sampling pada kasus yang terdeteksi melalui surveilans sentinel melalui surveilans sentinel ILI, SARI, dan penyebaran (seperti: isolasi), termasuk prioritas
terdeteksi melalui ILI, SARI, dan Pneumonia. Pneumonia. pemeriksaan:
surveilans sentinel ILI,
SARI, dan Pneumonia. • Kelompok risiko tinggi dan populasi rentan
yang memerlukan rawat inap dan perawatan
intensif
• Tenaga kesehatan yang mengalami gejala
sekalipun merasa tidak pernah kontak dengan
pasien konfirmasi. (Untuk melindungi tenaga
kesehatan dan mengurangi risiko transmisi
nosokomial)
• Individu dengan gejala pada populasi di
fasilitas tertutup (seperti: penjara, panti
asuhan/ jompo)
1. Mengatur screening 1. Menyaring dan melakukan triase 1. Skrining dan melakukan triase 1. skrining dan melakukan triase pasien pada
Manajemen
dan protokol triase pasien pada setiap titik akses pasien pada setiap titik akses setiap titik akses sistem kesehatan
Klinis pada setiap titik sistem kesehatan fasyankes 2. Perawatan untuk seluruh pasien suspek dan
akses fasyankes 2. Perawatan untuk seluruh pasien 2. Perawatan untuk seluruh pasien konfirmasi berdasarkan keparahan penyakit
2. Mempersiapkan suspek dan konfirmasi suspek dan konfirmasi berdasarkan dan kebutuhan pelayanan akut
pengobatan COVID- berdasarkan keparahan penyakit keparahan penyakit dan kebutuhan 3. Meningkatkan rencana surge capacity
19 pada pasien dan kebutuhan pelayanan akut pelayanan akut (kapasitas lonjakan) pada fasyankes
terinfeksi 3. Mempersiapkan rumah sakit 3. Mengaktivasi rencana lonjakan termasuk fasilitas umum, perawatan rumah,
3. Mengatur hotline terhadap lonjakan fasyankes RS Darurat serta penguatan sistem rujukan
COVID-19 dan sistem 4. Mempersiapkan komunitas 4. Mengakitvasi fasilitas umum dan COVID-19
rujukan di Rumah terhadap lonjakan, termasuk mengaktivasi protokol isolasi rumah
Sakit mengatur fasilitas umum untuk
4. Mempersiapkan isolasi kasus ringan/sedang
rumah sakit terhadap 5. Membuat protokol untuk isolasi
lonjakan kasus rumah

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 28


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
TIDAK ADA KASUS KASUS SPORADIK KASUS KLASTER PENULARAN KOMUNITAS
1. Melatih/refreshment 1. Melatih/refreshment staf mengenai 1. Melatih/refreshment staf mengenai 1. Memberikan refreshment kepada staf
Pencegahan dan
staf mengenai PPI dan PPI dan pengelolaan pasien PPI dan pengelolaan pasien COVID- mengenai PPI dan pengelolaan pasien
Pengendalian pengelolaan klinis, COVID-19 19 COVID-19
Infeksi (PPI) khususnya untuk 2. Melaksanakan strategi PPI untuk 2. Melaksanakan strategi PPI untuk 2. Memperkuat strategi PPI untuk mencegah
COVID-19 mencegah penularan di fasyankes mencegah penularan di fasyankes penularan di fasyankes
2. Melaksanakan strategi 3. Penggunaan APD yang sesuai oleh 3. Penggunaan APD yang sesuai oleh 3. Penggunaan APD yang sesuai oleh petugas
PPI untuk mencegah petugas yang merawat pasien petugas yang merawat pasien yang merawat pasien COVID-19
penularan di COVID-19 COVID-19 4. Implementasi rencana lonjakan fasyankes
fasyankes 4. Mempersiapkan lonjakan 4. Mempersiapkan lonjakan kebutuhan 5. Imlpementasi rencana lonjakan fasyankes,
3. Penggunaan APD kebutuhan fasyankes, termasuk fasyankes, termasuk dukungan APD, termasuk dukungan APD, ruangan isolasi,
yang sesuai oleh dukungan APD, ruangan isolasi, ruangan isolasi, rawat intensif dan rawat intensif dan alat bantu pernafasan di
petugas yang merawat rawat intensif dan alat bantu alat bantu pernafasan di RS serta RS serta dukungan kesehatan jiwa dan
pasien COVID-19 pernafasan di RS serta dukungan dukungan kesehatan jiwa dan psikososial untuk tenaga kesehatan
4. Mempersiapkan kesehatan jiwa dan psikososial psikososial untuk tenaga kesehatan 6. Mengadvokasi perawatan di rumah bagi
lonjakan kebutuhan untuk tenaga kesehatan 5. Mengadvokasi perawatan di rumah kasus ringan apabila sistem pelayanan
fasyankes termasuk 5. Reviu lonjakan kebutuhan bagi kasus ringan apabila sistem kesehatan sudah melebihi kapasitas
dukungan APD, fasyankes termasuk alat bantu pelayanan kesehatan sudah
ruangan isolasi, rawat pernapasan dan persediaan APD melebihi kapasitas
intensif dan alat bantu
pernafasan di RS serta
dukungan kesehatan
jiwa dan psikososial
untuk tenaga
kesehatan
5. Reviu lonjakan
lonjakan kebutuhan
fasyankes termasuk
alat bantu
pernapasan, dan
persediaan APD

Pencegahan 1. Physical Distancing 1. Physical Distancing 1. Physical Distancing 1. Physical Distancing


Penularan di 2. Kebersihan tangan 2. Kebersihan tangan 2. Kebersihan tangan 2. Kebersihan tangan
Masyarakat 3. Etika batuk/bersin 3. Etika batuk/bersin 3. Etika batuk/bersin 3. Etika batuk/bersin
4. Pemakaian masker 4. Pemakaian masker 4. Pemakaian masker 4. Pemakaian Masker
5. Memastikan akses 5. Pembatasan Aktivitas luar rumah 5. Pembatasan Aktivitas luar rumah 5. Pembatasan Aktivitas luar rumah
kebersihan tangan di

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 29


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
TIDAK ADA KASUS KASUS SPORADIK KASUS KLASTER PENULARAN KOMUNITAS
depan gedung fasilitas 6. Memastikan akses kebersihan 6. Memastikan akses kebersihan 6. Mempertimbangkan Pembatasan Sosial
umum dan pusat tangan di depan gedung fasilitas tangan di depan gedung fasilitas Berskala Besar (PSBB)
transportasi (misalnya umum dan pusat transportasi umum dan pusat transportasi 7. Memastikan akses kebersihan tangan di
pasar, toko, tempat (misalnya pasar, toko, tempat (misalnya pasar, toko, tempat depan gedung fasilitas umum dan pusat
ibadah, lembaga ibadah, lembaga pendidikan, ibadah, lembaga pendidikan, transportasi (misalnya pasar, toko, tempat
pendidikan, stasiun stasiun kereta atau bus). Tersedia stasiun kereta atau bus). Tersedia ibadah, lembaga pendidikan, stasiun kereta
kereta atau bus). fasilitas cuci tangan dengan air dan fasilitas cuci tangan dengan air dan atau bus). Tersedia fasilitas cuci tangan
Tersedia fasilitas cuci sabun dalam jarak 5 m dari semua sabun dalam jarak 5 m dari semua dengan air dan sabun dalam jarak 5 m dari
tangan dengan air dan toilet, baik di fasilitas umum toilet, baik di fasilitas umum semua toilet, baik di fasilitas umum maupun
sabun dalam jarak 5 m maupun swasta maupun swasta swasta
dari semua toilet, baik
di fasilitas umum
maupun swasta
Komunikasi
Risiko dan Mengedukasi dan berkomunikasi secara aktif dengan masyarakat melalui komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat,
Pemberdayaan membangun dan menjaga kepercayaan publik melalui komunikasi dua arah
Masyarakat

1. Menilai dan memperbarui 1. Menerapkan langkah-langkah 1. Menerapkan langkah-langkah tindakan dari


1. Membentuk/memperba
perencanaan dan strategi tindakan dari kasus sporadik. kasus klaster
rui Tim Komunikasi
komunikasi berdasarkan situasi dan 2. Memelihara kepercayaan, 2. Mengedukasi individu,
Risiko dan
kondisi dari hasil kerja dan mempererat jalinan komunikasi, dan kelompok/masyarakat untuk melakukan
Pemberdayaan
pemantauan Tim KRPM melibatkan masyarakat/kelompok upaya pencegahan dan pengendalian di
Masyarakat (KRPM)
2. Menyediakan pelatihan untuk secara berkesinambungan untuk masyarakat dilakukan melalui upaya
2. Menilai situasi dan
tambahan anggota Tim KRPM mencegah kesalahpahaman, kebersihan personal dan rumah,
menyusun serta
3. Memberdayakan masyarakat kesalahan informasi, peningkatan imunitas diri dan
mengembangkan
dengan menggerakan para isu/rumor/hoaks, dan pertanyaan mengendalikan komorbid, serta
perencanaan dan
pemengaruh/influencer dan jejaring yang sering diajukan peningkatan Kesehatan jiwa dan
strategi komunikasi,
komunitas (RT/RW, LSM, ormas, PKK, 3. Mempererat kolaborasi di antara para psikososial, pembatasan interaksi fisik dan
meliputi sumberdaya
dunia usaha, dan lain-lain) yang mitra/pemangku kepentingan pembatasan social (physical
(5 M: men, machine,
dibutuhkan pada situasi ini contact/physical distancing dan social
method, material,
4. Melakukan pengkajian untuk distancing), menerapkan etika batuk dan
money), peran,
menilai persepsi risiko (penelitian bersin, melakukan isolasi/karantina sampai
kewenangan, dan
formatif) Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
tanggung jawab yang
5. Melakukan mekanisme umpan balik 3. Menerapkan protokol kesehatan dengan
jelas dari para pelaku
dari upaya KRPM (hasil konsepsi Adaptasi Kebiasaan Baru (AKB)
KRPM (jubir, para
pemengaruh,

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 30


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
TIDAK ADA KASUS KASUS SPORADIK KASUS KLASTER PENULARAN KOMUNITAS
mitra/pemangku pemantauan, saluran informasi dan
kepentingan) pengaduan, dan lain-lain)
3. Menilai kapasitas dan 6. Melakukan pemantauan (isu dan
menyiapkan pelatihan berita, perkembangan kasus dan
KRPM situasi, dan lain-lain)
4. Melakukan pengkajian
untuk menilai persepsi
risiko (penelitian
formatif)
5. Menyiapkan
mekanisme umpan
balik dari upaya KRPM
(hasil pemantauan,
saluran informasi dan
pengaduan, pelatihan,
dan lain-lain)
6. Merancang sistem
pemantauan dari
upaya KRPM (isu dan
berita, perkembangan
kasus dan situasi, dan
lain-lain)
1. Menerapkan kapasitas sistem 1. Memperkuat kapasitas sistem 1. Mengintensifkan kapasitas sistem
Pelayanan 1. Mempersiapkan atau
kesehatan dan strategi kesehatan dan strategi menghadapi kesehatan dan Strategi menghadapi
Kesehatan meninjau kapasitas
menghadapi lonjakan. lonjakan lonjakan.
Esensial sistem kesehatan dan
2. Pastikan bahwa pelayanan gawat 2. Menerapkan protokol jalur rujukan 2. Melanjutkan pemantauan pelayanan
strategi menghadapi
darurat 24 jam tersedia di semua 3. Menjadwalkan pertemuan, batasi Kesehatan esensial pada komunitas dan
lonjakan
level RS dan memastikan pengunjung, dan buat alur pasien dan fasyankes
2. Menetapkan atau
kesadaran publik petugas untuk memastikan jaga jarak 3. Identifikasi hambatan untuk mengakses dan
meninjau mekanisme
3. Melakukan penilaian cepat 4. Menerapkan alat dan sistem mengantisipasi mengembalikan pelayanan
untuk memantau
kapasitas cepat informasi untuk mendukung yang ditangguhkan berdasarkan perubahan
pelayanan kesehatan
4. Mempertahankan dan konsultasi jarak jauh kebutuhan
esensial sedang
memperkuat surveilans PD3I 5. Mengkoordinasikan dana tambahan 4. Membuat pelaporan mingguan
berlangsung
5. Mengembangkan atau meninjau untuk memastikan pembayaran gaji pendistribusian logistik penting yang
3. Memulai pelatihan
strategi untuk pelayanan tepat waktu, lembur, cuti sakit dan mungkin berisiko mengalami kekurangan
untuk meningkatakan
imunisasi insentif 5. Mengkoordinasikan dukungan pelayanan
kapasitas petugas di
6. Mempertahankan dan memperkuat primer, menyesuaikan pemasukan dan
daerah penting (triase,
surveilans PD3I, mengembangkan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 31


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
TIDAK ADA KASUS KASUS SPORADIK KASUS KLASTER PENULARAN KOMUNITAS
gawat darurat, dan atau meninjau strategi untuk pengeluaran pasien di rumah sakit sesuai
lain-lain) pelayanan imunisasi protokol untuk membatasi durasi rawat inap
4. Mempertahankan dan 6. Dokumentasikan respons adaptif
memperkuat diimplementasikan selama masa pandemi
surveilans Penyakit yang harus dipertimbangkan untuk jangka
Yang Dapat Dicegah panjang ke dalam sistem operasi kesehatan
Dengan Imunisasi 7. Mempertahankan surveilans PD3I,
(PD3I) melaksanakan strategi untuk pemberian
5. Mengembangkan atau pelayanan imunisasi
meninjau strategi
untuk layanan
imunisasi

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 32


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
2. 2. Indikator Penanggulangan Pandemi
Dalam rangka menanggulangi pandemi COVID-19, Indonesia telah menerapkan
berbagai langkah kesehatan masyarakat termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB) sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan
Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) seperti penutupan sekolah dan bisnis,
pembatasan perpindahan atau mobilisasi penduduk, dan pembatasan perjalanan
internasional.

Dalam perkembangan pandemi selanjutnya, WHO sudah menerbitkan panduan


sementara yang memberikan rekomedasi berdasarkan data tentang penyesuaian
aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan. Serangkaian indikator dikembangkan
untuk membantu negara melalui penyesuaian berbagai intervensi kesehatan masyarakat
berdasarkan kriteria kesehatan masyarakat. Selain indikator tersebut, faktor ekonomi,
keamanan, hak asasi manusia, keamanan pangan, dan sentimen publik juga harus
dipertimbangkan. Keberhasilan pencapaian indikator dapat mengarahkan suatu wilayah
untuk melakukan persiapan menuju tatanan normal baru produktif dan aman dengan
mengadopsi adaptasi kebiasaan baru.

Kriteria yang perlu dievaluasi untuk menilai keberhasilan dikelompokkan menjadi


tiga domain melalui tiga pertanyaan utama yaitu:
1. Kriteria Epidemiologi - Apakah epidemi telah terkendali? (Ya atau tidak)
2. Kriteria Sistem kesehatan - Apakah sistem kesehatan mampu mendeteksi kasus
COVID-19 yang mungkin kembali meningkat? (Ya atau tidak)
3. Kriteria Surveilans Kesehatan Masyarakat - Apakah sistem surveilans kesehatan
masyarakat mampu mendeteksi dan mengelola kasus dan kontak, dan
mengidentifikasi kenaikan jumlah kasus? (Ya atau tidak)
Ambang batas yang ditentukan sebagai indikasi untuk menilai keberhasilan
penanggulangan dapat digunakan jika tersedia informasi epidemiologi COVID-19. Dari
3 kriteria tersebut, terdapat 24 indikator yang dapat dievaluasi untuk melakukan
penyesuaian. Penilaian ini sebaiknya dilakukan setiap minggu di tingkat
kabupaten/kota/provinsi.

1. Indikasi Wabah Terkendali


Ukuran Utama: Efektif Reproduction Number (Rt) < 1 selama 2 minggu terakhir.
Secara teori Rt (jumlah penularan efektif pada kasus sekunder di populasi), nilai
di bawah 1 merupakan indikasi bahwa wabah sudah terkendali dan jumlah kasus
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 33
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
baru semakin berkurang. Rt harus dihitung pada wilayah administratif yang tidak
terlalu besar dan memiliki variabilitas yang tinggi. Perhitungan dapat dilakukan
pada tingkat Kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan. Nilai Rt sangat
tergantung jumlah kasus absolut, pada kasus yang tinggi > 100 perhari
pengurangan 5-10 kasus tidak terlalu bermakna secara absolut, tetapi nilai Rt
menjadi turun < 1, pada kasus dengan tren fluktuatif nilai Rt tidak relevan untuk
dilakukan. Nilai Rt menjadi acuan terbaik setelah puncak kasus terjadi dan menilai
program penanggulangan untuk mencegah terjadinya peningkatan baru dari
pandemi.
Karena itu selain nilai Rt, penilaian kualitatif juga dilakukan sebagai
pelengkap/pendukung dengan beberapa kriteria, atau jika data surveilans tidak
memadai untuk menilai Rt yang adekuat untuk menilai apakah pandemi telah
terkendali.

Tabel 2. 2. Kriteria Epidemiologi


Kriteria Epidemiologi Penjelasan
Penurunan minimal 50% angka Indikator penurunan penularan setara dengan
kasus konfirmasi baru dari puncak penurunan setengah dari jumlah kasus (50%)
tertinggi selama 3 minggu selama 3 minggu dari puncak tertinggi. Strategi ini
berturut-turut dan terus menurun mengharuskan untuk memperbanyak pemeriksaan
pada minggu-minggu selanjutnya RT-PCR, dengan prioritas pemeriksaan RT-PCR
pada kasus suspek.
Jumlah spesimen positif (untuk Positivity rate dalam 2 minggu terakhir=
keperluan diagnosis) pada semua Jumlah kasus positif
kasus dalam 2 minggu terakhir ────────────────────
<5%* (Jumlah kasus positif + Jumlah kasus negatif
diagnosis)
*dengan syarat surveilans berjalan optimal dan
kapasitas lab mampu melakukan pemeriksaan
1/1000 penduduk per-minggu
Jumlah spesimen positif COVID- Melalui surveilans sentinel ILI dan SARI, rendahnya
19 pada Sentinel ILI dan SARI % spesimen yang positif COVID-19 menunjukkan
dalam 2 minggu terakhir < 5% rendahnya transmisi di populasi.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 34


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Kriteria Epidemiologi Penjelasan
Positivity rate pada sentinel ILI dan SARI dalam 2
minggu terakhir =
Jumlah kasus positif COVID-19
────────────────────
(Jumlah kasus positif COVID-19 + Jumlah kasus
negatif diagnosis)
≥80% kasus konfirmasi berasal Indikator ini menunjukkan rantai penularan telah
dari daftar kontak dan dapat dapat diidentifikasi dan dilakukan upaya
diidentifikasi kelompok klasternya penanggulangan.
dalam 2 minggu terakhir

Penurunan jumlah kasus Penurunan jumlah kematian ini menunjukkan


kematian, baik kasus probable bahwa jumlah kasus COVID-19 menurun dan tata
maupun kasus konfirmasi dalam 3 laksana medis membaik.
minggu terakhir

Penurunan jumlah pasien dirawat Kriteria ini mengindikasikan adanya penurunan


dan kasus kritis yang butuh ICU jumlah kasus di populasi. Penetapan ini apabila
pada kasus konfirmasi dalam 2 kualitas perawatan di rumah sakit belum berubah.
mingggu terakhir

Penurunan kematian karena Ketika kasus pneumonia tidak dapat dilakukan


pneumonia pada setiap kelompok pemeriksaan RT-PCR, penurunan kematian karena
usia pneumonia secara tidak langsung akan
mengindikasikan pengurangan kematian karena
COVID-19.

*Evaluasi melalui tren tetap dibutuhkan dan tidak terjadi perubahan pada uji lab atau
strategi pengukuran
**Masa 2 minggu berhubungan degan masa inkubasi terpanjang dan periode tersingkat
untuk menilai perubahan tren

2. Sistem kesehatan mampu mengatasi lonjakan kasus yang mungkin timbul setelah
penyesuaian (pelonggaran PSBB)
Ukuran kunci: Jumlah kasus baru yang membutuhkan rawat inap lebih kecil dari
perkiraan kapasitas maksimum rumah sakit dan tempat tidur ICU (Sistem
kesehatan dapat mengatasi rawat inap baru dan pemberian pelayanan kesehatan
esensial lainnya).
Jika tidak ada informasi ini, penilaian kualitatif berdasarkan kriteria berikut dapat
digunakan.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 35


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Tabel 2. 3. Kriteria Sistem Pelayanan Kesehatan
Kriteria Sistem Pelayanan
Penjelasan
Kesehatan
Seluruh pasien COVID-19 dapat Ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan telah
memperoleh tatalaksana sesuai kembali ke keadaan di mana semua kondisi (staf,
standar tempat tidur, obat-obatan, peralatan, dan lain-lain)
tersedia untuk memberikan standar perawatan
Semua pasien bukan COVID-19 yang
yang sama seperti sebelum krisis.
memiliki kondisi parah memperoleh
tatalaksana sesuai standar

Tidak ada peningkatan kematian akibat


penyakit selain COVID-19 di rumah
sakit

Sistem pelayanan kesehatan dapat Ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan dapat
mengatasi peningkatan lebih dari 20% berjalan ketika harus mengatasi lonjakan kasus
kasus COVID-19 saat melonggarnya pembatasan sosial. Indikator
ini termasuk staf, peralatan, tempat tidur, dan lain-
lain yang jumlahnya memadai.

Terdapat komite/tim/ koordinator PPI di Komite/tim/koordinator PPI mengindikasikan


seluruh fasyankes dan penanggung kemampuan untuk koordinasi, supervisi, pelatihan
jawab PPI di seluruh dinas kesehatan sebagai aktivitas PPI termasuk di
kabupaten/kota (1 orang petugas PPI puskesmas/FKTP lainnya.
terlatih per 250 tempat tidur)

Seluruh fasyankes dapat melakukan Hal ini untuk meyakinkan bahwa seluruh pasien
skrining terhadap COVID-19 yang datang ke fasyankes di skrining untuk gejala
COVID-19 untuk mencegah infeksi di fasyankes

Seluruh fasyankes memiliki mekanisme Sistem kesehatan memiliki kapasitas memadai


isolasi suspek COVID-19 untuk isolasi seluruh pasien COVID-19

3. Surveilans kesehatan masyarakat dapat mengidentifikasi sebagian besar kasus


dan kontak pada masyarakat
Setiap daerah harus memiliki mekanisme surveilans yang berkualitas dan
didukung dengan kapasitas dan mekanisme laboratorium yang memadai.
Beberapa indikator di bawah ini dapat dimanfaatkan dalam menilai kapasitas
surveilans kesehatan masyarakat.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 36


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Tabel 2. 4. Kriteria Surveilans Kesehatan Masyarakat
Kriteria Surveilans Kesehatan
Penjelasan
Masyarakat
Sistem Surveilans

Setiap kasus baru dapat diidentifikasi, Ada sistem surveilans COVID-19 yang
dilaporkan dan dianalisis kurang dari 24 mencakup keseluruhan wilayah dan semua
jam. orang serta komunitas yang berisiko. Surveilans
Penemuan kasus baru dilaporkan kepada yang komprehensif mencakup surveilans di
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota tingkat masyarakat, tingkat pelayanan
(notifikasi) sesuai dengan formulir kesehatan primer, di rumah sakit, dan pada
notifikasi penemuan kasus COVID-19 di wilayah yang memiliki surveilans sentinel
Fasyankes sebagaimana terlampir. ILI/SARI dan penyakit-penyakit saluran
pernapasan lain.

Kriteria ini mengindikasikan adanya kebijakan-


Perkembangan situasi COVID-19 di
kebijakan kesehatan masyarakat yang sesuai
daerah dilaporkan oleh Dinas Kesehatan
sehingga notifikasi kasus COVID-19 dari semua
Kabupaten/Kota secara berkala harian
fasyankes segera disampaikan.
kepada Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kementerian Kesehatan sesuai dengan
formulir laporan harian agregat (formulir
4) melalui sistem pelaporan harian online
sesuai pembahasan pada bagian
pencatatan pelaporan (BAB III)
Laporan mencakup:
a. Jumlah suspek
b. Jumlah probable
c. Jumlah konfirmasi
d. Jumlah kematian
e. Jumlah kontak erat
f. Jumlah kasus rawat RS
g. Jumlah kasus yang diambil
spesimen

Sistem surveilans diterapkan dan Ini mengindikasikan otoritas kesehatan telah


diperkuat di fasilitas tertutup (seperti mengidentifikasi populasi khusus yang rentan
lapas, panti jompo, panti rehabilitasi, dan melakukan surveilans pada populasi ini.
asrama, pondok pesantren, dan lain-lain)
dan pada kelompok-kelompok rentan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 37


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Kriteria Surveilans Kesehatan
Penjelasan
Masyarakat
Menunjukkan kemampuan melacak jumlah
Surveilans kematian COVID-19 dilakukan
kematian COVID-19 dengan cepat dan handal.
di Rumah Sakit dan masyarakat
Jika memungkinkan dikeluarkan SMPK
(Sertifikat Medis Penyebab Kematian) COVID-
19. Pendekatan lain yang dilakukan dalam
surveilans kematian adalah laporan dari pusat
keagamaan atau tempat pemakaman.

Investigasi (Penyelidikan) kasus

Ukurannya adalah kemampuan melakukan


Tim Gerak Cepat COVID-19 berfungsi
penyelidikan kasus dan klaster COVID-19.
dengan baik di berbagai tingkat
administrasi

90% kasus suspek diisolasi dan dilakukan Ini menunjukkan bahwa investigasi dan isolasi
pengambilan spesimen dalam waktu kasus baru dilakukan cukup cepat untuk
kurang dari 48 jam sejak munculnya meminimalkan timbulnya kasus sekunder.
gejala

Lama hasil pemeriksaan Lab. keluar sejak Kriteria ini harus ditetapkan untuk memperbaiki
spesimen dikirimkan dan diterima sistem manajemen pemeriksaan spesimen.
hasilnya adalah 3x24 jam

Pelacakan Kontak (Contact Tracing)

Ini menunjukkan kapasitas pelacakan kasus dan


>80% kasus baru dapat diidentifikasi
kontak adequate
kontak eratnya dan mulai dilakukan
karantina dalam waktu <72 jam setelah
kasus baru di konfirmasi

>80% kontak dari kasus baru dipantau Kontak harus dipantau setiap hari selama 14 hari
selama 14 hari sejak kontak terakhir dan idealnya umpan balik tidak boleh terlewat
selama lebih dari dua hari.

Menggunakan sistem informasi dan Sementara pelacakan data kontak dapat diolah
manajemen data tersedia untuk manual pada skala kecil, pelacakan kontak skala
mengelola pelacakan kontak dan data besar dapat didukung oleh perangkat elektronik.
terkait lainnya

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 38


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Dalam konteks pandemi COVID-19, menemukan, menguji, dan mengisolasi
kasus, pelacakan kasus dan karantina tetap menjadi langkah utama dalam semua tahap
respons. Demikian pula langkah-langkah untuk memastikan perlindungan terhadap
petugas kesehatan dan kelompok rentan harus dipertahankan. Tergantung pada tingkat
risiko, tindakan lain seperti kegiatan di masyarakat, pembatasan pengumpulan massal,
dan langkah-langkah untuk mengurangi risiko masuknya virus harus diadaptasi.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 39


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB III
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

3. 1. Tujuan Surveilans
Tujuan umum kegiatan surveilans antara lain:
1. Memantau tren penularan COVID-19 pada tingkat nasional dan global.
2. Melakukan deteksi cepat pada wilayah tanpa transmisi virus dan monitoring kasus
pada wilayah dengan transmisi virus termasuk pada populasi rentan.
3. Memberikan informasi epidemiologi untuk melakukan penilaian risiko tingkat
nasional, regional, dan global.
4. Memberikan informasi epidemiologi sebagai acuan kesiapsiasiagaan dan respon
penanggulangan.
5. Melakukan evaluasi terhadap dampak pandemi pada sistem pelayanan kesehatan
dan sosial.

3. 2. Definisi Operasional
Pada bagian ini, dijelaskan definisi operasional kasus COVID-19 yaitu Kasus
Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku Perjalanan, Discarded,
Selesai Isolasi, dan Kematian. Untuk Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi,
Kontak Erat, istilah yang digunakan pada pedoman sebelumnya adalah Orang Dalam
Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG).

3. 2. 1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)* DAN pada 14
hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau
tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal**.
b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA* DAN pada 14 hari terakhir
sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus
konfirmasi/probable COVID-19.
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat*** yang membutuhkan
perawatan di rumah sakit DAN tidak ada penyebab lain berdasarkan
gambaran klinis yang meyakinkan.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 40


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Catatan:

Istilah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) saat ini dikenal


kembali dengan istilah kasus suspek.
* ISPA yaitu demam (≥38oC) atau riwayat demam; dan
disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan
seperti: batuk/sesak nafas/sakit
tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat
** Negara/wilayah transmisi lokal adalah negara/wilayah yang
melaporkan adanya kasus konfirmasi yang sumber
penularannya berasal dari wilayah yang melaporkan
kasus tersebut.
Negara transmisi lokal merupakan negara yang
termasuk dalam klasifikasi kasus klaster dan transmisi
komunitas, dapat dilihat melalui situs
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-
coronavirus-2019/situation-reports
Wilayah transmisi lokal di Indonesia dapat dilihat
melalui situs https://infeksiemerging.kemkes.go.id.
*** Definisi ISPA berat/pneumonia berat dan ARDS dapat
dilihat pada tabel 5.1 di BAB V.

3. 2. 2. Kasus Probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS***/meninggal dengan gambaran klinis
yang meyakinkan COVID-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan laboratorium
RT-PCR.

3. 2. 3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang dibuktikan
dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 41


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
3. 2. 4. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi
COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus
konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau
lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti
bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable
atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan
penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi
setempat (penjelasan sebagaimana terlampir).
Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simptomatik), untuk
menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum kasus
timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan
kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari setelah
tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.

3. 2. 5. Pelaku Perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik) maupun
luar negeri pada 14 hari terakhir.

3. 2. 6. Discarded
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-
PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24
jam.
b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa
karantina selama 14 hari.

3. 2. 7. Selesai Isolasi
Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 42


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi mandiri
sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
b. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang tidak
dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dihitung 10 hari sejak tanggal
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan
gejala demam dan gangguan pernapasan.
c. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang
mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif, dengan
ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam
dan gangguan pernapasan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria selesai isolasi pada kasus
probable/kasus konfirmasi dapat dilihat dalam Bab Manajemen Klinis.

3. 2. 8. Kematian
Kematian COVID-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus
konfirmasi/probable COVID-19 yang meninggal.

3. 3. Penemuan Kasus
Kegiatan penemuan kasus dilakukan di pintu masuk dan wilayah untuk
mengidentifikasi ada atau tidaknya kasus suspek, probable, konfirmasi dan kontak erat
dan melakukan respon adekuat. Dalam melakukan penemuan kasus tidak terpisahkan
dari upaya kewaspadaan dini. Sumber informasi yang dapat digunakan untuk
melakukan pemutakhiran perkembangan informasi terkini melalui:
• Situs resmi WHO (https://www.who.int/) untuk mengetahui negara terjangkit dan
wilayah yang sedang terjadi KLB COVID-19.
• Sumber lain yang terpercaya dari pemerintah www.infeksiemerging.kemkes.go.id,
www.covid19.kemkes.go.id, www.covid19.go.id dan lain-lain.
• Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai rumor atau berita
yang berkembang terkait dengan COVID-19.

3. 3. 1. Penemuan Kasus di Pintu Masuk


Kegiatan penemuan kasus di pintu masuk bertujuan untuk mengidentifikasi
ada atau tidaknya kasus melalui pintu masuk negara baik melalui pelabuhan
udara/laut maupun daerah perbatasan (check point). Dalam rangka

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 43


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
implementasi International Health Regulation/IHR (2005), pelabuhan, bandara,
dan Pos Lintas Batas Darat Negara (PLBDN) melakukan kegiatan karantina,
pemeriksaan alat angkut, pengendalian vektor serta tindakan penyehatan.
Implementasi IHR (2005) di pintu masuk negara adalah tanggung jawab Kantor
Kesehatan Pelabuhan (KKP) beserta segenap instansi di pintu masuk negara.
Kemampuan utama untuk pintu masuk negara sesuai amanah IHR (2005)
adalah kapasitas dalam kondisi rutin dan kapasitas dalam kondisi Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKMMD). Kegiatan di pintu
masuk negara meliputi upaya to prevent, to detect, dan to respond terhadap
COVID-19 di pelabuhan, bandar udara, dan PLBDN. Upaya tersebut
dilaksanakan melalui pengawasan alat angkut, orang, barang, dan lingkungan
yang datang dari wilayah/negara terjangkit COVID-19 yang dilaksanakan oleh
KKP dan berkoordinasi dengan lintas sektor terkait.

Secara umum kegiatan penemuan kasus COVID-19 di pintu masuk diawali


dengan penemuan kasus pada pelaku perjalanan. Berikut langkah penemuan
kasus di pintu masuk:

a. Meningkatkan pengawasan terhadap pelaku perjalanan (awak/personel,


penumpang) khususnya yang berasal dari wilayah/negara dengan
transmisi lokal, melalui pengamatan suhu dengan thermal scanner
maupun thermometer infrared, pengamatan tanda dan gejala, maupun
pemeriksaan kesehatan tambahan.
b. Melakukan pemeriksaan dokumen kesehatan pada orang.
c. Jika ditemukan pelaku perjalanan yang terdeteksi demam melalui thermal
scanner/thermometer infrared maka dipisahkan dan dilakukan wawancara
serta dievaluasi lebih lanjut.
d. Jika ditemukan pelaku perjalanan terdeteksi demam dan menunjukkan
gejala-gejala pneumonia di atas alat angkut berdasarkan laporan awak
alat angkut, maka petugas KKP melakukan pemeriksaan dan
penanganan ke atas alat angkut dengan menggunakan APD yang
sesuai.
e. Tatalaksana terhadap pelaku perjalanan dilakukan sesuai dengan kriteria
kasus dan kondisi, serta prosedur penanganan kasus.
f. Terhadap barang dan alat angkut dilakukan tindakan kekarantinaan
sesuai SOP yang berlaku.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 44


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
3. 3. 2. Penemuan Kasus di Wilayah
Kegiatan penemuan kasus di wilayah dapat dilakukan di fasyankes maupun di
masyarakat. Yang dimaksud dengan wilayah adalah wilayah administratif
provinsi dan kabupaten/kota. Kegiatan ini dilakukan untuk menemukan adanya
seseorang yang terindikasi COVID-19 yang harus segera direspon. Bentuk
respon berupa verifikasi, notifikasi, rujukan kasus dan respon penanggulangan.
Bentuk kegiatan verifikasi adalah penyelidikan epidemiologi. Sedangkan,
kegiatan respon penanggulangan antara lain identifikasi dan pemantauan
kontak, rujukan, komunikasi risiko dan pemutusan rantai penularan. Secara
umum, penemuan kasus di wilayah dilakukan melalui:

a. Peningkatan kegiatan surveilans ILI (Influenza Like Illness) di Fasilitas


Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) melalui Puskesmas dan
jaringan/jejaringnya serta Surveilans Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARI) di Rumah Sakit atau Fasilitas Kesehatan Rujukan
Tingkat Lanjut (FKRTL) baik swasta maupun pemerintah.
b. Kunjungan pasien ke fasyankes yang memenuhi kriteria kasus.
c. Laporan yang bersumber dari masyarakat.
d. Hasil penelusuran kontak erat di masyarakat dan fasyankes. Kontak
dapat terjadi pada keluarga atau rumah tangga, petugas kesehatan di
lingkungan rumah sakit, ruang kelas, tempat kerja dan sebagainya.
e. Jika ditemukan orang yang memenuhi kriteria kasus maka dilakukan
tatalaksana sesuai dengan kriteria kasus dan kondisi.

Ada beberapa kondisi di wilayah yang perlu perhatian khusus dalam


mewaspadai penemuan kasus, misalnya pada fasilitas tertutup (seperti lapas,
panti jompo, panti rehabilitasi, asrama, pondok pesantren, dan lain-lain) dan
pada kelompok-kelompok rentan dilakukan melalui:

a. Peningkatan kegiatan surveilans khusus pada beberapa kelompok


berisiko tinggi diperlukan untuk memastikan deteksi kasus dan klaster
yang cepat, lebih cepat daripada surveilans FKTP atau surveilans
berbasis rumah sakit. Orang yang tinggal di lingkungan tertutup, seperti
penjara, atau fasilitas tempat tinggal khusus, seperti asrama, yayasan,
dan lain-lain dapat menjadi sangat rentan karena mereka tidak mandiri.
b. Kelompok rentan lainnya terjadi pada kelompok dengan probabilitas
penularan lebih tinggi dari pada populasi umum atau kelompok yang

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 45


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
memiliki kondisi kesehatan buruk atau faktor predisposisi yang
meningkatkan risiko risiko keparahan penyakit. Surveilans kelompok
risiko tinggi harus dilakukan setiap hari dengan penemuan kasus aktif
melalui skrining tanda dan gejala serta pemeriksaan suhu tubuh.
c. Pelaporan infeksi nosokomial dari Rumah Sakit, kasus COVID-19 harus
dimasukkan sebagai prioritas untuk pelaporan segera. Semua klaster
harus diinvestigasi dan dicatat kemungkinan sumber dan pola transmisi
untuk melakukan pengendalian cepat. Pengumpulan data yang
sistematis untuk kesehatan pekerja wajib dilakukan dan terintegrasi
secara sistematis ke dalam sistem surveilans nasional.
d. Di lokasi pengungsi dan di antara populasi pengungsi dengan sumber
daya rendah, dibutuhkan tambahan konsiderasi sebagai jaminan
kemanusiaan.
Prinsip dasar upaya penanggulangan COVID-19 bertumpu pada penemuan
kasus suspek/probable (find), yang dilanjutkan dengan upaya untuk isolasi
(isolate) dan pemeriksaan laboratorium (test). Ketika hasil test RT-PCR positif
dan pasien dinyatakan sebagai kasus konfirmasi, maka tindakan selanjutnya
adalah pemberian terapi sesuai dengan protokol. Pelacakan kontak (trace)
harus segera dilaksanakan segera setelah kasus suspek/probable ditemukan.
Kontak erat akan dikarantina selama 14 hari. Jika setelah dilakukan karantina
selama 14 hari tidak muncul gejala, maka pemantauan dapat dihentikan. Akan
tetapi jika selama pemantauan, kontak erat muncul gejala maka harus segera
diisolasi dan diperiksa swab (RT-PCR).

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 46


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Gambar 3. 1. Alur Manajemen Kesehatan Masyarakat

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 47


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
3. 4. Manajemen Kesehatan Masyarakat
Manajemen kesehatan masyarakat merupakan serangkaian kegiatan kesehatan
masyarakat yang dilakukan terhadap kasus. Kegiatan ini meliputi kegiatan
karantina/isolasi, pemantauan, pemeriksaan spesimen, penyelidikan epidemiologi, serta
komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat. Pembahasan mengenai masing-
masing kegiatan dibahas pada bagian tersendiri. Ringkasan manajemen kesehatan
masyarakat sebagaimana terlampir.

Karantina adalah proses mengurangi risiko penularan dan identifikasi dini


COVID-19 melalui upaya memisahkan individu yang sehat atau belum
memiliki gejala COVID-19 tetapi memiliki riwayat kontak dengan pasien
konfirmasi COVID-19 atau memiliki riwayat bepergian ke wilayah yang
sudah terjadi transmisi lokal.

Isolasi adalah proses mengurangi risiko penularan melalui upaya


memisahkan individu yang sakit baik yang sudah dikonfirmasi laboratorium
atau memiliki gejala COVID-19 dengan masyarakat luas.

Upaya karantina/isolasi dilakukan sesuai kondisi dan status kasus. Ringkasan


upaya dijelaskan pada bagian Manajemen Klinis (BAB V).

3. 4. 1. Manajemen Kesmas pada Kasus Suspek


Apabila menemukan kasus Suspek maka dilakukan manajemen kesmas
meliputi:
a. Dilakukan isolasi sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir.
Isolasi dilakukan sejak seseorang dinyatakan sebagai kasus suspek.
Isolasi dapat dihentikan apabila telah memenuhi kriteria discarded.
b. Pengambilan spesimen untuk penegakan diagnosis
Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat
yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi
pemantauan. Jenis spesimen dan waktu pengambilan dapat dilihat pada
tabel 4.1 dan tabel 4.2 di BAB IV. Pengiriman spesimen disertai formulir
penyelidikan epidemiologi sebagaimana terlampir.
c. Pemantauan sejak mulai munculnya gejala
Pemantauan terhadap suspek dilakukan berkala selama menunggu hasil
pemeriksaan laboratorium. Pemantauan dapat melalui telepon atau
melalui kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir
pemantauan harian sebagaimana terlampir. Pemantauan dilakukan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 48


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pada
suspek yang melakukan isolasi mandiri di rumah, pemantauan dilakukan
oleh petugas FKTP dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat.
Pemantauan dapat dihentikan apabila hasil pemeriksaan RT-PCR
selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24 jam menunjukkan
hasil negatif.
Kasus suspek yang sudah selesai isolasi dan pemantauan, dapat
diberikan surat pernyataan selesai masa pemantauan sebagaimana
formulir terlampir.
d. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kasus termasuk
kontak eratnya berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan
penularan, tatalaksana lanjut jika terjadi perburukan, dan lain-lain.
Suspek yang melakukan isolasi mandiri harus melakukan kegiatan
sesuai dengan protokol isolasi mandiri.
e. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan sejak seseorang dinyatakan
sebagai suspek, termasuk dalam mengidentifikasi kontak erat.

3. 4. 2. Manajemen Kesmas pada Kasus Probable


Apabila menemukan kasus probable maka dilakukan manajemen kesmas
meliputi:
a. Dilakukan isolasi sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir.
Isolasi pada kasus probable dilakukan selama belum dinyatakan selesai
isolasi sesuai dengan pembahasan di manajemen klinis (BAB V).
b. Pemantauan terhadap kasus probable dilakukan berkala selama belum
dinyatakan selesai isolasi sesuai dengan definisi operasional selesai
isolasi. Pemantauan dilakukan oleh petugas FKRTL. Jika sudah selesai
isolasi/pemantauan maka dapat diberikan surat pernyataan sebagaimana
formulir terlampir.
c. Apabila kasus probable meninggal, tatalaksana pemulasaraan jenazah
sesuai protokol pemulasaraan jenazah kasus konfirmasi COVID-19.
d. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi tetap dilakukan terutama untuk
mengidentifikasi kontak erat.
e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko kepada kontak erat
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 49
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
kasus berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan penularan,
pemantauan perkembangan gejala, dan lain-lain.

3. 4. 3. Manajemen Kesmas pada Kasus Konfirmasi


Apabila menemukan kasus konfirmasi maka dilakukan manajemen kesmas
meliputi:
a. Dilakukan isolasi sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir.
Isolasi pada kasus konfirmasi dilakukan selama belum dinyatakan selesai
isolasi sesuai dengan pembahasan di manajemen klinis BAB V.
b. Pengambilan spesimen pada kasus dengan gejala berat/kritis untuk
follow up pemeriksaan RT-PCR dilakukan di rumah sakit. Pada kasus
tanpa gejala, gejala ringan, dan gejala sedang tidak perlu dilakukan follow
up pemeriksaan RT-PCR.
c. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium setempat
yang berkompeten dan berpengalaman baik di fasyankes atau lokasi
pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat pada tabel 4.1 di BAB IV
Pengiriman spesimen disertai formulir penyelidikan epidemiologi
sebagaimana terlampir.
d. Pemantauan terhadap kasus konfirmasi dilakukan berkala selama belum
dinyatakan selesai isolasi sesuai dengan definisi operasional selesai
isolasi. Pada kasus konfirmasi yang melakukan isolasi mandiri di rumah,
pemantauan dilakukan oleh petugas FKTP/FKRTL berkoordinasi dengan
dinas kesehatan setempat. Pemantauan dapat melalui telepon atau
melalui kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir
pemantauan harian sebagaimana terlampir. Pemantauan dilakukan
dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining gejala harian. Jika
sudah selesai isolasi/pemantauan maka dapat diberikan surat pernyataan
sebagaimana formulir terlampir. Pasien tersebut secara konsisten juga
harus menerapkan protokol kesehatan.
e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kasus termasuk
kontak eratnya berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan
penularan, tatalaksana lanjut jika terjadi perburukan, dan lain-lain. Kasus
konfirmasi yang melakukan isolasi mandiri harus melakukan kegiatan
sesuai dengan protokol isolasi mandiri.
f. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi pada kasus konfirmasi juga termasuk dalam
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 50
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
mengidentifikasi kontak erat.

3. 4. 4. Manajemen Kesmas pada Kontak Erat


Apabila menemukan kontak erat maka dilakukan manajemen kesmas meliputi:
a. Dilakukan karantina sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir
Karantina dilakukan sejak seseorang dinyatakan sebagai kontak erat
selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan dengan kasus probable atau
konfirmasi COVID-19. Karantina dapat dihentikan apabila selama masa
karantina tidak menunjukkan gejala (discarded).
b. Pemantauan dilakukan selama masa karantina. Pemantauan terhadap
kontak erat dilakukan berkala untuk memantau perkembangan gejala.
Apabila selama masa pemantauan muncul gejala yang memenuhi kriteria
suspek maka dilakukan tatalaksana sesuai kriteria. Pemantauan dapat
melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian) dan
dicatat pada formulir pemantauan harian sebagaimana terlampir.
Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan
skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas FKTP dan
berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat.
c. Kontak erat yang sudah selesai karantina/pemantauan, dapat diberikan
surat pernyataan sebagaimana formulir terlampir.
d. Bagi petugas kesehatan yang memenuhi kriteria kontak erat yang tidak
menggunakan APD sesuai standar, direkomendasikan untuk segera
dilakukan pemeriksaan RT-PCR sejak kasus dinyatakan sebagai kasus
probable atau konfirmasi.
1) Apabila hasil positif, petugas kesehatan tersebut melakukan
isolasi mandiri selama 10 hari. Apabila selama masa isolasi,
muncul gejala dilakukan tata laksana sesuai kriteria kasus
konfirmasi simptomatik.
2) Apabila hasil negatif, petugas kesehatan tersebut tetap
melakukan karantina mandiri selama 14 hari. Apabila selama
masa karantina, muncul gejala dilakukan tata laksana sesuai
kriteria kasus suspek.

e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kontak erat
berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan penularan,
tatalaksana lanjut jika muncul gejala, dan lain-lain.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 51
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
f. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan ketika kontak erat mengalami
perkembangan gejala sesuai kriteria kasus suspek/konfirmasi.

3. 4. 5. Manajemen Kesmas pada Pelaku Perjalanan


Dalam rangka pengawasan pelaku perjalanan dalam negeri (domestik)
maupun luar negeri, diharuskan untuk mengikuti ketentuan sesuai protokol
kesehatan ataupun ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagi pelaku perjalanan yang akan berangkat ke luar negeri harus mengikuti
protokol yang sudah ditetapkan negara tujuan. Protokol kesehatan dilakukan
sesuai dengan penerapan kehidupan masyarakat produktif dan aman
terhadap COVID-19.

Seluruh penumpang dan awak alat angkut dalam melakukan perjalanan


harus dalam keadaan sehat dan menerapkan prinsip-prinsip pencegahan
dan pengendalian COVID-19 seperti menggunakan masker, sering mencuci
tangan pakai sabun atau menggunakan hand sanitizer, menjaga jarak satu
sama lain (physical distancing), menggunakan pelindung mata/wajah, serta
menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Selain menerapkan
prinsip-prinsip tersebut, penumpang dan awak alat angkut harus memiliki
persyaratan sesuai dengan peraturan kekarantinaan yang berlaku.

Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) di bandar udara atau


pelabuhan keberangkatan/kedatangan melakukan kegiatan pemeriksaan
suhu tubuh terhadap penumpang dan awak alat angkut, pemeriksaan lain
yang dibutuhkan serta melakukan verifikasi kartu kewaspadaan kesehatan
atau Health Alert Card (HAC) secara elektronik maupun non elektronik.
Untuk, peningkatan kewaspadaan, dinas kesehatan daerah
provinsi/kabupaten/kota dapat mengakses informasi kedatangan pelaku
perjalanan yang melalui bandara atau pelabuhan ke wilayahnya melalui
aplikasi electronic Health Alert Card (eHAC).

Penemuan kasus di pintu masuk dapat menggunakan formulir notifikasi


penemuan kasus pada pelaku perjalanan sebagaimana terlampir.
Penekanan pengawasan pelaku perjalanan dari luar negeri dilakukan untuk
melihat potensi risiko terjadinya kasus importasi sehingga perlu adanya
koordinasi antara KKP dengan dinas kesehatan.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 52


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
3. 5. Penyelidikan Epidemiologi
Setiap kasus suspek, kasus probable dan kasus konfirmasi harus dilakukan
penyelidikan epidemiologi menggunakan formulir sebagaimana terlampir. Hasil
penyelidikan epidemiologi dapat digunakan untuk memberikan masukan bagi
pengambil kebijakan dalam rangka penanggulangan atau pemutusan penularan secara
lebih cepat. Selain penyelidikan epidemiologi, kegiatan penanggulangan lain meliputi
tatalaksana penderita, pencegahan, pemusnahan penyebab penyakit, penanganan
jenazah, komunikasi risiko, dan lain-lain yang dijelaskan pada masing-masing bagian.
3. 5. 1. Definisi KLB
Jika ditemukan satu kasus konfirmasi COVID-19 di suatu daerah maka
dinyatakan sebagai KLB di daerah tersebut.
3. 5. 2. Tujuan Penyelidikan Epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan dengan tujuan mengetahui besar
masalah KLB dan mencegah penyebaran yang lebih luas. Secara khusus
tujuan penyelidikan epidemiologi sebagai berikut:
a. Mengetahui karakteristik epidemiologi, gejala klinis dan virus
b. Mengidentifikasi faktor risiko
c. Mengidentifikasi kasus tambahan
d. Mengidentifikasi kontak erat
e. Memberikan rekomendasi upaya penanggulangan
3. 5. 3. Tahapan Penyelidikan Epidemiologi
Tahapan penyelidikan epidemiologi secara umum meliputi:
a. Konfirmasi awal KLB
Petugas surveilans atau penanggung jawab surveilans
puskesmas/Dinas Kesehatan melakukan konfirmasi awal untuk
memastikan adanya kasus konfirmasi COVID-19 dengan cara
wawancara dengan petugas puskesmas atau dokter yang menangani
kasus.
b. Pelaporan segera
Mengirimkan laporan W1 ke Dinkes Kabupaten/Kota dalam waktu <24
jam, kemudian diteruskan oleh Dinkes Kabupaten/Kota ke Provinsi dan
PHEOC.
c. Persiapan penyelidikan
1) Persiapan formulir penyelidikan sebagaimana terlampir.
2) Persiapan Tim Penyelidikan
3) Persiapan logistik (termasuk APD) dan obat-obatan jika diperlukan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 53


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
d. Penyelidikan epidemiologi
1) Identifikasi kasus
2) Identifikasi faktor risiko
3) Identifikasi kontak erat
4) Pengambilan spesimen di rumah sakit rujukan
5) Penanggulangan awal
Ketika penyelidikan sedang berlangsung petugas sudah harus
memulai upaya pengendalian pendahuluan dalam rangka
mencegah terjadinya penyebaran penyakit kewilayah yang lebih
luas. Upaya ini dilakukan berdasarkan pada hasil penyelidikan
epidemiologi yang dilakukan saat itu. Upaya tersebut dilakukan
terhadap masyarakat maupun lingkungan, antara lain dengan:
a) Menjaga kebersihan/higiene tangan, saluran pernapasan.
b) Sedapat mungkin membatasi kontak dengan kasus yang
sedang diselidiki dan bila tak terhindarkan buat jarak dengan
kasus.
c) Asupan gizi yang baik guna meningkatkan daya tahan tubuh.
d) Apabila diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit
dapat dilakukan tindakan isolasi dan karantina.
e) Penggunaan APD sesuai risiko pajanan sesuai tabel 3.1

Tabel 3. 1. Penggunaan APD dalam Melakukan Penyelidikan Epidemiologi

Pelaksana Kegiatan APD yang Digunakan

Petugas Wawancara kasus Tidak perlu menggunakan APD jika


investigas/TGC suspek atau konfirmasi wawancara dilakukan melalui telepon.
COVID-19 maupun Wawancara melalui telepon merupakan
kontak erat metode yang disarankan

Wawancara langsung Masker bedah.


dengan kasus suspek
Menjaga jarak minimal 1 meter
atau konfirmasi COVID-
19 tanpa melakukan Wawancara harus dilakukan diluar
kontak langsung rumah atau di luar ruangan dan kasus
suspek atau konfirmasi COVID-19
menggunakan masker bedah
Jaga kebersihan tangan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 54


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Pelaksana Kegiatan APD yang Digunakan

Wawancara langsung Masker bedah


dengan kasus suspek
Sarung tangan karet sekali pakai
atau konfirmasi COVID-
(jika harus kontak dengan cairan
19 dengan melakukan
tubuh pasien).
kontak langsung
Menjaga jarak minimal 1 meter
Wawancara sebaiknya dilakukan di
ruang terbuka dan jika diperlukan untuk
masuk ke dalam rumah maka jaga
jarak minimal 1 meter, jangan
menyentuh apapun di dalam rumah,
dan cek suhu kontak erat untuk
memastikan tidak demam.

e. Pengolahan dan analisis data


Pengolahan dan analisis data dilakukan sesuai dengan ketentuan pada
Huruf H Bagian Pencatatan dan Pelaporan.

f. Penyusunan laporan penyelidikan epidemiologi


Setelah selesai melakukan penyelidikan epidemiologi maka dibuat
laporan tertulis meliputi:
1) Latar belakang dan tujuan
2) Metodologi
3) Hasil penyelidikan epidemiologi meliputi:
a) Data umum
b) Analisis kasus COVID-19 berupa gambaran karakteristik
kasus menurut variabel epidemiologi (waktu kejadian,
tempat dan orang)
c) Analisis faktor risiko
d) Analisis kontak kasus
e) Hasil pemeriksaan laboratorium
f) Upaya yang sudah dilakukan seperti tatalaksana kasus,
pemeriksaan laboratorium, tindakan pengendalian faktor
lingkungan dan sebagainya
4) Kesimpulan dan rekomendasi

3. 6. Pelacakan Kontak Erat


Pelacakan kontak erat yang baik menjadi kunci utama dalam memutus rantai
transmisi COVID-19. Elemen utama pada implementasi pelacakan kontak adalah

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 55


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
pelibatan dan dukungan masyarakat, perencanaan yang matang dengan
mempertimbangkan situasi wilayah, masyarakat dan budaya, dukungan logistik,
pelatihan dan supervisi, serta sistem manajemen data pelacakan kontak. Upaya
pelacakan kontak harus diikuti dengan peningkatan kapasitas laboratorium untuk
melakukan pemeriksaan swab pada kontak erat.

Pelibatan masyarakat juga sangat penting untuk memastikan tidak adanya stigma
yang muncul pada orang-orang yang masuk kategori kontak erat. Komunikasi yang baik
dan jelas dengan mengharapkan kesukarelaan pada kontak erat untuk dilakukan
wawancara, melakukan karantina mandiri, pemeriksaan swab, pemantauan (atau
melaporkan ada/tidaknya gejala setiap hari) dan untuk dilakukan isolasi jika muncul
gejala.

Petugas yang akan melakukan pelacakan kontak sebaiknya berasal dari


masyarakat setempat yang memiliki kedekatan baik secara sosial maupun budaya,
yang kemudian mendapatkan pelatihan. Pelatihan yang diberikan minimal terkait
informasi umum COVID-19, cara pencegahan, pelaksanaan pelacakan kontak,
pemantauan harian, karantina/isolasi, etika dan kerahasiaan data serta komunikasi
dalam konteks kesehatan masyarakat.

Tahapan pelacakan kontak erat terdiri dari 3 komponen utama yaitu identifikasi
kontak (contact identification), pencatatan detil kontak (contact listing) dan tindak lanjut
kontak (contact follow up).

1. Identifikasi Kontak
Identifikasi kontak sudah dimulai sejak ditemukannya kasus suspek, kasus
probable dan/kasus konfirmasi COVID-19. Identifikasi kontak erat ini bisa berasal
dari kasus yang masih hidup ataupun kasus yang sudah meninggal. Proses
identifikasi kontak merupakan proses kasus mengingat kembali orang-orang yang
pernah berkontak dengan kasus dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan
hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala. Konsep epidemiologi: waktu, tempat
dan orang diterapkan disini.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 56


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Gambar 3. 2. Contoh Hubungan Kontak Erat

Selalu lakukan pengecekan ulang untuk memastikan konsistensi dan keakuratan


data. Untuk membantu dalam melakukan identifikasi kontak dapat menggunakan
tabel berikut.

Tabel 3. 2. Contoh Cara Melakukan Identifikasi Kontak Erat


Tanggal 28 Mei 29 Mei 2020 30 Mei 31 Mei 1 Juni Dst
2020 2020 2020 2020
(Onset
gejala)
Tempat Rumah Restora Sekola Ruma Puskesma Rumah Dst Dst
yang A n h h s sakit
dikunjungi Tema
n
Orang/ Nama Nama C … … dr. dr Dst Dst
kontak A (mis)

Nama Nama D … … perawat perawat Dst Dst


B (mis)

Dst. Dst. … … Dst. Dst. Dst. Dst.

2. Pendataan Kontak Erat


Semua kontak erat yang telah diidentifikasi selanjutnya dilakukan wawancara
secara lebih detail. Berikut tahap pendataan kontak erat:
a. Wawancara dapat dilakukan baik wawancara langsung maupun via
telepon/media komunikasi lainnya.
b. Sampaikan maksud dan tujuan pelaksanaan pelacakan kontak
c. Catat data-data kontak seperti nama lengkap, usia, alamat lengkap, nomer
telepon, tanggal kontak terakhir dan sebagainya sesuai dengan formulir
pemantauan harian sebagaimana terlampir. Sampaikan teknis pelaksanaan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 57


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
monitoring harian
d. Sampaikan kepada kontak erat untuk melakukan hal-hal berikut ini:
1) Melakukan karantina mandiri
2) Laporkan sesegera mungkin jika muncul gejala seperti batuk, pilek,
sesak nafas, dan gejala lainnya melalui kontak tim monitoring.
Sampaikan bahwa semakin cepat melaporkan maka akan semakin
cepat mendapatkan tindakan untuk mencegah perburukan.
3) Apabila kontak erat menunjukkan gejala dan harus dibawa ke
fasyankes dengan kendaraan pribadi, perhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a) Beritahu petugas fasyankes bahwa kontak yang memiliki gejala
akan dibawa.
b) Saat bepergian untuk mencari perawatan, kontak harus
memakai masker medis.
c) Hindari menggunakan transportasi umum ke fasyankes jika
memungkinkan. Ambulans dapat dipanggil, atau kontak yang
sakit dapat diangkut dalam kendaraan pribadi dengan semua
jendela terbuka, jika memungkinkan.
d) Kontak dengan gejala harus disarankan untuk selalu melakukan
kebersihan pernapasan dan tangan. Misalnya berdiri atau duduk
sejauh mungkin dari orang-orang di sekitar (setidaknya 1 meter)
saat bepergian dan ketika berada di fasilitas perawatan
kesehatan.
e) Setiap permukaan yang terkena sekret pernapasan atau cairan
tubuh lainnya selama proses transfer harus dibersihkan dengan
sabun atau deterjen dan kemudian didisinfeksi dengan produk
rumah tangga biasa yang mengandung larutan pemutih encer
0,5%.

3. Follow up Kontak Erat (Pemantauan dan Karantina)


a. Petugas surveilans yang telah melakukan kegiatan identifikasi kontak dan
pendataan kontak akan mengumpulkan tim baik dari petugas puskesmas
setempat, kader, relawan dari PMI dan pihak-pihak lain terkait. Pastikan
petugas yang memantau dalam kondisi fit dan tidak memiliki penyakit
komorbid. Alokasikan satu hari untuk menjelaskan cara melakukan
monitoring, mengenali gejala, tindakan observasi rumah, penggunaan APD,
tindakan pencegahan penularan penyakit lain serta promosi kesehatan
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 58
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
untuk masyarakat di lingkungan.
b. Komunikasi risiko harus secara pararel disampaikan kepada masyarakat
untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti munculnya stigma dan
diskriminasi akibat ketidaktahuan.
c. Petugas surveilans provinsi bertindak sebagai supervisor bagi petugas
surveilans kabupaten/kota. Petugas surveilans kabupaten/kota bertindak
sebagai supervisor untuk petugas puskesmas.
d. Laporan dilaporkan setiap hari untuk menginformasikan perkembangan dan
kondisi terakhir dari kontak erat. Seluruh kegiatan pelacakan kontak
sebaiknya dilakukan di ruangan terbuka untuk meminimalkan potensi
penularan.
e. Pemeriksaan laboratorium kontak erat dilakukan ketika menunjukkan gejala.
f. Setiap petugas harus memiliki pedoman pencegahan dan pengendalian
COVID-19 yang didalamnya sudah tertuang pelacakan kontak dan tindakan
yang harus dilakukan jika kontak erat muncul gejala. Petugas juga harus
proaktif memantau dirinya sendiri.
4. Pelacakan kontak pada petugas kesehatan
a. Petugas kesehatan yang melakukan perawatan langsung kepada pasien
sebaiknya dilakukan penilaian risiko secara berkala.
b. Pada petugas kesehatan yang memenuhi kriteria kontak erat
direkomendasikan untuk:
1) Berhenti bekerja sementara
2) Segera dilakukan pemeriksaan RT-PCR sejak kasus dinyatakan
sebagai kasus probable atau konfirmasi
3) Melakukan karantina dan monitoring secara mandiri selama 14 hari
c. Petugas yang terpapar tetapi tidak memenuhi kriteria kontak erat maka
dapat terus bekerja.
d. Petugas sebaiknya melaporkan secara rutin kondisi pribadinya (ada atau
tidak gejala, komorbid, kemungkinan paparan dan sebainya) kepada
penanggung jawab di fasyankes masing-masing.
e. Petugas kesehatan yang kemungkinan terpapar COVID-19 dari luar (bukan
dari fasyankes) tetap harus mengikuti prosedur yang sama.
5. Alat yang perlu disiapkan ketika akan melakukan pelacakan kontak termasuk
monitoring:
a. Formulir pemantauan harian sebagaimana terlampir
b. Alat tulis
c. Termometer (menggunakan thermometer tanpa sentuh jika tersedia)
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 59
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
d. Hand sanitizer (cairan untuk cuci tangan berbasis alkohol)
e. Informasi KIE tentang COVID-19
f. Panduan pencegahan penularan di lingkungan rumah
g. Panduan alat pelindung diri (APD) untuk kunjungan rumah
h. Daftar nomor-nomor penting
i. Masker bedah
j. Identitas diri maupun surat tugas
k. Alat komunikasi (grup Whatsapp dan lain-lain)
6. Seluruh kegiatan tatalaksana kontak ini harus dilakukan dengan penuh empati
kepada kontak erat, menjelaskan dengan baik, dan tunjukkan bahwa kegiatan ini
adalah untuk kebaikan kontak erat serta mencegah penularan kepada orang-
orang terdekat (keluarga, saudara, teman dan sebagainya). Diharapkan tim
promosi kesehatan juga berperan dalam memberikan edukasi dan informasi yang
benar kepada masyarakat.
7. Petugas surveilans kabupaten/kota dan petugas survelans provinsi diharapkan
dapat melakukan komunikasi, koordinasi dan evaluasi setiap hari untuk melihat
perkembangan dan pengambilan keputusan di lapangan.

3. 7. Penilaian Risiko
Berdasarkan informasi dari penyelidikan epidemiologi maka dilakukan penilaian
risiko cepat meliputi analisis bahaya, paparan/kerentanan dan kapasitas untuk
melakukan karakteristik risiko berdasarkan kemungkinan dan dampak. Hasil dari
penilaian risiko ini diharapakan dapat digunakan untuk rekomendasi dan rencana
operasi penanggulangan kasus COVID-19. Penilaian risiko ini dilakukan secara berkala
sesuai dengan perkembangan penyakit. Penjelasan lengkap mengenai penilaian risiko
cepat dapat mengacu pada pedoman WHO Rapid Risk Assessment of Acute Public
Health.

3. 8. Pencatatan, Pelaporan, dan Distribusi Data dan Informasi


Berdasarkan Permenkes Nomor 45 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Surveilans Kesehatan, disebutkan bahwa Surveilans Kesehatan adalah kegiatan
pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan informasi tentang
kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya
peningkatan dan penularan penyakit atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan
memberikan informasi guna mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan
secara efektif dan efisien. Selanjutnya disebutkan pula bahwa kegiatan surveilans
kesehatan diselenggarakan melalui pengumpulan data, pengolahan data, analisis data,
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 60
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dan diseminasi sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan untuk menghasilkan
informasi yang objektif, terukur, dapat diperbandingkan antar waktu, antar wilayah, dan
antar kelompok masyarakat sebagai bahan pengambilan keputusan.

Penyelenggaraan surveilans COVID-19 juga dilakukan sesuai amanat Permenkes


Nomor 45 Tahun 2014 meliputi pencatatan, pelaporan, pengolahan data, hingga
distribusi data dan informasi berdasarkan kebutuhan nasional dan wilayah sebagai
bahan pengambilan kebijakan pencegahan dan pengendalian COVID-19.

3. 8. 1. Pencatatan dan Pelaporan


Pencatatan dan pelaporan kasus terkait COVID-19 harus menjadi alat
komunikasi efektif antara petugas kesehatan baik di daerah maupun di pusat,
agar terjadi kesinambungan informasi dan upaya pengendalian kasus dapat
tercapai. Oleh karena itu sistem pencatatan dan pelaporan COVID-19 harus
dilaksanakan secara cepat, tepat, lengkap dan valid, dengan tetap
memperhatikan indikator kinerja surveilans yaitu kelengkapan dan ketepatan
laporan.

Pencatatan dan pelaporan COVID-19 terbagi menjadi laporan notifikasi kasus,


laporan pengiriman dan pemeriksaan spesimen, laporan penyelidikan
epidemiologi, pelacakan dan pemantauan kontak, dan laporan harian agregat.

Secara umum, pencatatan dan pelaporan kasus COVID 19 dilaksanakan


terkomputerisasi dengan cara online berbasis aplikasi. Beberapa wilayah yang
tidak bisa melaporkan secara online, pengiriman pelaporan dilakukan secara
offline menggunakan formulir-formulir terlampir melalui mekanisme yang
disepakati. Laporan offline dari fasyankes akan diinput ke aplikasi online oleh
dinas kesehatan kabupaten/kota.

Aplikasi online yang sudah disiapkan sebagai sistem pencatatan dan


pelaporan COVID-19 adalah: All Record TC-19 (https://allrecord-
tc19.kemkes.go.id), dan Sistem Online Pelaporan Harian COVID-19
(https://s.id/laporhariancovid).

Unit-unit yang melakukan pencatatan kasus COVID-19 diantaranya:

a. Puskesmas
b. Rumah sakit
c. Klinik dan fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) lainnya
d. Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
e. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 61


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
f. Laboratorium Kesehatan yang ditunjuk:
1) Puslitbang Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan
2) Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda)
3) Laboratorium RS
4) Laboratorium Universitas
5) B/BTKLPP
6) B/BLK
7) Laboratorium BPOM
8) Balai Besar Veteriner
9) Laboratorium swasta
Setiap elemen data/variabel yang berhubungan dengan surveilans dilaporkan
melalui aplikasi, dengan alur pencatatan dan pelaporan data sebagai berikut:

Gambar 3. 3. Alur Pencatatan dan Pelaporan COVID-19

a. Laporan Notifikasi Penemuan Kasus

1) Kasus di Wilayah
Kasus yang baru diterima oleh Fasyankes (Puskesmas, RS, Klinik,
atau fasyankes lain) dan atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, baik
dari kunjungan pasien atau hasil penelusuran kontak erat, harus
dicatat dan dilaporkan dalam formulir notifikasi penemuan kasus
COVID-19 sebagaimana terlampir.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 62


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Variabel yang harus dilengkapi saat mencatat notifikasi penemuan
kasus adalah: Nama, NIK, Umur, Jenis Kelamin, Alamat Domisili 14
hari terakhir (lengkap dengan desa/kelurahan, kecamatan,
kabupaten/kota), Nomor kontak seluler yang dapat dihubungi, tanggal
onset (muncul gejala), gejala terkait COVID-19, Riwayat
(kontak/perjalanan/tidak ada), kondisi penyerta, status epidemiologi
(suspek/probable/konfirmasi), tindakan (rujuk/rawat/isolasi mandiri).
Variabel alamat domisili diisi dengan alamat tempat tinggal dalam 14
hari terakhir. Variabel ini penting untuk dilengkapi karena menjadi
dasar penentuan lokasi asal ditemukannya kasus, dan berkaitan
dengan area fokus penyelidikan epidemiologi.
Bagi Rumah Sakit yang sudah terdaftar ke dalam SIRS-Online, maka
data kasus juga diinput ke dalam aplikasi SIRS-Online sesuai
ketentuan pelayanan di rumah sakit. Bagi fasyankes yang melakukan
pengambilan spesimen, setelah mencatat data diatas harus
melakukan input melalui aplikasi online All Record TC-19.
Formulir notifikasi penemuan kasus tersebut selanjutnya dikirimkan ke
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Provinsi
untuk direkap dan ditindaklanjuti. Dinas Kesehatan juga dapat melihat
notifikasi penemuan kasus terkait kasus yang dikirim spesimennya
melalui aplikasi online All Record TC-19 menggunakan akun Dinas
Kesehatan.
Bila kasus merupakan kontak erat yang harus dipantau, maka
dilanjutkan dengan pelaporan pemantauan kontak erat. Sedangkan
bila kasus merupakan kasus suspek, probable atau konfirmasi yang
perlu dilakukan penyelidikan epidemiologi dan pelacakan kontak,
maka dilanjutkan dengan pelaporan penyelidikan epidemiologi.
Untuk kasus yang harus dirujuk ke fasyankes lain, pada formulir
notifikasi harus mencantumkan tanggal merujuk dan fasyankes
rujukan yang dituju untuk menjadi perhatian Dinas Kesehatan. Bagi
fasyankes yang memiliki akses ke aplikasi online, data kasus yang
akan dirujuk harus dipastikan sudah diinput ke dalam aplikasi SIRS-
Online atau All Record TC-19 untuk memudahkan pelacakan riwayat
pelayanan kesehatan bagi kasus yang bersangkutan.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 63


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
2) Kasus di Pintu Masuk Negara dan Area Kekarantinaan Kesehatan
Pencatatan dan pelaporan kasus terkait COVID-19 di pintu masuk
negara dan area kekarantinaan kesehatan dilakukan melalui aplikasi
online SINKARKES/eHAC, selanjutnya akan dilakukan sinkronisasi
interoperable kepada aplikasi All Record TC-19.
Variabel data yang wajib dicatat dan dilaporkan antara lain:

a) Identitas Pasien Lengkap, meliputi; Nama lengkap, NIK/Nomor


Paspor, Tempat/tanggal lahir, Umur, Jenis Kelamin,
Kewarganegaraan, Pekerjaan, Alamat sesuai KTP/Paspor,
Alamat Domisili dalam 14 hari terakhir, Alamat Tujuan, Nomor
seluler yang dapat dihubungi.
b) Informasi klinis, meliputi: Tanggal mulai sakit/onset,
Gejala/Tanda, Diagnosis Awal/Status Kasus COVID-19
(Suspek, Probable atau Konfirmasi).
c) Riwayat Perjalanan Domestik/Internasional, meliputi: Nomor
Penerbangan, Nomor tempat duduk, Tanggal kedatangan,
Negara Asal Kedatangan.
d) Proses karantina, meliputi: Nama wisma/hotel, Nomor
tower/kamar, Tanggal pengambilan swab, Lokasi pengambilan
swab, Tanggal keluar swab, Hasil swab, Tanggal swab ulang
(untuk kontak erat kasus konfirmasi), Hasil swab ulang,
Tanggal keluar klirens kesehatan.
e) Proses rujukan, meliputi: Tanggal rujukan ke fasyankes, Nama
fasyankes rujukan
Data-data diatas harus dilengkapi sebelum pasien dirujuk ke
Fasyankes. Selanjutnya Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP)
harus memberikan notifikasi kepada fasyankes rujukan dan
dinas kesehatan tujuan, agar dapat ditindaklanjuti dengan
perawatan atau pemantauan sesuai ketentuan.
Variabel alamat domisili diisi dengan alamat tempat tinggal
dalam 14 hari terakhir. Variabel ini penting untuk dilengkapi
karena menjadi dasar penentuan lokasi asal ditemukannya
kasus, dan berkaitan dengan area fokus penyelidikan
epidemiologi, notifikasi ke negara asal WNA melalui National
IHR Focal Point Indonesia, dan sebagai dasar pengeluaran
klirens bagi WNI repatriasi, mandiri dan WNA yang datang dari

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 64


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
luar negeri (khusus untuk wisma karantina) serta notifikasi ke
daerah tujuan.
Pengisian data proses karantina dikhususkan bagi KKP yang
wilayah kerjanya menjadi pintu masuk WNI repatriasi, mandiri,
dan WNA yang datang dari luar negeri dan tidak membawa surat
keterangan negatif COVID-19, serta terdapat fasilitas
wisma/asrama karantina. Pada proses karantina dilakukan
pengambilan swab. Apabila hasil swab negatif, maka orang
yang dikarantina dapat dipulangkan setelah terbit klirens
kesehatan. Apabila hasil swab positif, maka dilakukan proses
rujukan sesuai ketentuan.
Ketika ada proses pengambilan spesimen (swab), petugas yang
ditunjuk di area kekarantinaan kesehatan juga harus melakukan
input melalui aplikasi online All Record TC-19.

3) Kasus Notifikasi dari Negara Lain


Jika dilaporkan kasus notifikasi dari IHR National Focal Point
negara lain maka informasi awal yang diterima oleh Direktur
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) akan
diteruskan ke PHEOC untuk dilakukan pelacakan.
a) Bila data yang diterima meliputi: nama, nomor paspor,
dan angkutan keberangkatan dari negara asal menuju
pintu masuk negara (bandara, pelabuhan, dan PLBDN)
maka dilakukan:
(1) PHEOC meminta KKP melacak melalui HAC atau
jejaring yang dimiliki KKP tentang identitas orang
tersebut sampai didapatkan alamat dan nomor
seluler.
(2) Bila orang yang dinotifikasi belum tiba di pintu masuk
negara, maka KKP segera menemui orang tersebut
kemudian melakukan tindakan sesuai SOP,
termasuk melakukan pencatatan dan pelaporan
sebagaimana pelaporan kasus di Pintu masuk
negara.
(3) Bila orang tersebut sudah melewati pintu
masuk negara, maka KKP melaporkan ke PHEOC
perihal identitas dan alamat serta nomor seluler
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 65
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
yang dapat dihubungi.
(4) PHEOC meneruskan informasi tersebut ke wilayah
(Dinkes) dan KKP setempat untuk dilakukan
pelacakan dan tindakan sesuai SOP, selanjutnya
dilakukan pencatatan dan pelaporan sebagaimana
pelaporan kasus di Pintu Masuk Negara.
b) Bila data yang diterima hanya berupa nama dan nomor
paspor maka dilakukan:
(1) PHEOC menghubungi contact person (CP) di
Direktorat Sistem Informasi dan Teknologi
Keimigrasian (dapat langsung menghubungi
direktur atau eselon dibawahnya yang telah diberi
wewenang) untuk meminta data identitas lengkap
dan riwayat perjalanan.
(2) Setelah PHEOC mendapatkan data lengkap,
PHEOC meneruskan informasi tersebut ke wilayah
(Dinkes) dan KKP setempat untuk dilakukan
pelacakan dan tindakan sesuai SOP, selanjutnya
dilakukan pencatatan dan pelaporan sebagaimana
pelaporan kasus di Pintu Masuk Negara.
Alur pelacakan kasus notifikasi dari IHR National
Focal Point negara lain ini dapat dilihat pada formulir
terlampir.

b. Laporan Pengiriman dan Pemeriksaan Spesimen


1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pengirim Spesimen
Spesimen yang diambil dan dikirim ke laboratorium pemeriksa
spesimen harus tercatat dan terlaporkan seluruhnya ke dalam aplikasi
online All Record TC-19.
Variabel data yang wajib dicatat dan dilaporkan antara lain:
a) Identitas Pasien Lengkap, meliputi: Nama lengkap,
NIK/Paspor, umur, jenis kelamin, alamat domisili dalam 14 hari
terakhir, alamat sesuai identitas, nomor kontak seluler yang
dapat dihubungi.
b) Informasi Klinis, meliputi: Tanggal mulai sakit/onset,
gejala/tanda
c) Riwayat rujukan (data pengirim spesimen), meliputi: jenis

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 66


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
fasyankes dan asal fasyankes.
d) Riwayat pengambilan spesimen, meliputi: tanggal pengambilan
spesimen, jenis spesimen yang diambil, dan laboratorium
pemeriksa tujuan.
Variabel alamat domisili diisi dengan alamat tempat tinggal
dalam 14 hari terakhir. Variabel ini penting untuk dilengkapi karena
menjadi dasar penentuan lokasi asal ditemukannya kasus, dan
berkaitan dengan lokasi asal ditemukannya kasus berdasarkan
laporan notifikasi yang sudah dikirimkan ke dinas kesehatan
sebelumnya, dan berkaitan dengan area fokus penyelidikan
epidemiologi.
Data kasus yang akan diambil spesimen dapat diperiksa melalui
aplikasi, apakah pernah tercatat dalam database SIRS-Online atau All
Record TC-19 sebelumnya, jika belum ada, maka fasyankes pengirim
spesimen wajib menambah kasus tersebut sebagai data baru yang
akan dikirimkan spesimennya.
Pada saat akan mengirimkan spesimen, fasyankes harus
melampirkan form permintaan pemeriksaan laboratorium yang dapat
dicetak dari aplikasi All Record TC-19. Sebagai panduan pengisian
data pengiriman spesimen, dapat digunakan formulir penyelidikan
epidemiologi sebagaimana terlampir. Dalam kondisi darurat, misalnya
form permintaan pemeriksaan laboratorium tidak dapat dicetak dari
aplikasi, fasyankes pengirim dapat mengirim spesimen dengan
melampirkan formulir PE yang sudah terisi variabel wajib di atas,
namun tetap memastikan data sudah diinput ke dalam aplikasi.
Fasyankes juga dapat mengajukan permohonan pemeriksaan
menggunakan TCM dan Viral Load dengan melampirkan formulir
sebagaimana terlampir, ditujukan kepada laboratorium rumah sakit
yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk melaksanakan pemeriksaan RT-
PCR COVID-19 menggunakan alat close system (TCM Tuberkulosis
dan Alat PCR Viral Load HIV).
Setelah spesimen diperiksa oleh laboratorium dan laboratorium
memperbarui data, maka hasil pemeriksaan dapat langsung dilihat
oleh fasyankes pengirim melalui aplikasi All Record TC-19. Hasil yang
didapat harus segera dilakukan tindak lanjut, baik perbaikan tata
laksana kasus, penyelidikan epidemiologi (berkoordinasi dengan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 67


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Dinas Kesehatan), maupun pengambilan/pengiriman spesimen ulang
bila diperlukan.
2) Laboratorium Pemeriksa Spesimen
Seluruh laboratorium di lingkungan rumah sakit dan laboratorium lain
yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan uji RT-PCR SARS-CoV-
2 diwajibkan melaporkan hasil uji dalam waktu 1 x 24 jam ke
Kementerian Kesehatan melalui aplikasi All Record TC-19.
Untuk laboratorium rumah sakit yang ditunjuk untuk melakukan
pemeriksaan COVID-19 dengan menggunakan alat TCM Tuberkulosis
melaporkan hasil pemeriksaan dan penggunaan reagennya melalui
Sistem Informasi Tuberkulosis (SITB), dan RT-PCR Viral Load HIV
melaporkan hasil pemeriksaan dan penggunaan reagennya sesuai
alur pelaporan RT-PCR, serta melengkapi Register Pemeriksaan
Laboratorium sebagaimana formulir terlampir.
Dalam hal pencatatan dan pelaporan untuk kepentingan surveilans,
laboratorium pemeriksa yang menggunakan TCM dan Viral Load,
tetap diwajibkan memperbarui hasil pemeriksaannya di aplikasi All
Record TC-19. Hal ini dikarenakan fasyankes pengirim spesimen
mengajukan permintaan pemeriksaan melalui aplikasi All Record TC-
19.
Variabel yang wajib diperbarui oleh laboratorium melalui All Record
TC-19 meliputi jenis spesimen, lab pemeriksa, nomor sampel lab,
tanggal spesimen diterima, tanggal spesimen diperiksa, hasil
pemeriksaan, dan kesimpulan.
Bila didapatkan spesimen tidak adekuat atau terdapat kekeliruan
penggunaan material/media atau hasil pemeriksaan inkonklusif atau
tidak valid, laboratorium dapat mengirimkan notifikasi ke fasyankes
pengirim spesimen tersebut untuk melakukan pengambilan spesimen
ulang dan pengirimannya sesegera mungkin.
3) Dinas Kesehatan
Dinas kesehatan baik kabupaten/kota maupun provinsi dapat
memantau hasil pemeriksaan laboratorium melalui aplikasi All Record
TC-19 menggunakan akun Dinas Kesehatan, selanjutnya dapat
dilakukan tindakan sesuai hasil pemeriksaan yang ditampilkan.
4) Kementerian Kesehatan
Public Health Emergency Operation Center (PHEOC) dapat
melakukan verifikasi hasil pemeriksaan laboratorium yang muncul di
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 68
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
All Record TC-19 dan SITB. Hasil pemeriksaan tersebut dapat
dikoordinasikan kembali dengan Dinas Kesehatan untuk
ditindaklanjuti sesuai hasil pemeriksaan, termasuk meminta
kelengkapan data kasus melalui proses penyelidikan epidemiologi dan
pelacakan kontak erat.

c. Laporan Penyelidikan Epidemiologi (PE)

1) Fasilitas Pelayanan Kesehatan


Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang melakukan
perawatan kasus atau pemantauan kasus (isolasi mandiri) diharuskan
melengkapi data kasus melalui aplikasi All Record TC-19. Bila
fasyankes tersebut terdaftar dalam aplikasi SIRS-Online, maka harus
memastikan kedua aplikasi tersebut sudah terisi data yang sama
dengan lengkap. Bila tidak dapat melaporkan secara online, maka
fasyankes harus melengkapi formulir PE terlampir, dan
mengirimkannya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk
dilengkapi dan ditindaklanjuti.
Variabel data yang wajib dilengkapi dalam pencatatan dan pelaporan
di fasyankes antara lain:
a) Informasi klinis, meliputi: Tanggal mulai sakit/onset,
gejala/tanda, kondisi penyerta atau penyakit komorbid,
diagnosis/status kasus COVID-19 (suspek/probable/konfirmasi)
b) Riwayat perawatan, meliputi: tanggal mulai perawatan, tanggal
mulai pemantauan (untuk isolasi mandiri), tanggal keluar
RS/perbaikan klinis/selesai isolasi, dan tanggal meninggal.
Memeriksa kembali data yang sudah diisikan untuk memastikan
tidak ada variabel yang terlewatkan tidak terisi.
2) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
Dinas Kesehatan Kabupaten/kota selaku pemegang wilayah harus
dapat menguasai seluruh data kesehatan termasuk data yang
mengikat kasus yang sudah dinotifikasi oleh fasyankes/KKP dan
berada dalam pengawasan tim kesehatan di wilayahnya. Oleh karena
itu kegiatan surveilans epidemiologi berikutnya, berupa penyelidikan
epidemiologi, bertujuan untuk mencari dan melokalisir risiko
penularan.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 69


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Beberapa variabel data dasar atas nama kasus sudah bisa didapatkan
melalui aplikasi online All Record TC-19, atau formulir PE yang sudah
diisi oleh fasyankes yang merawat dan melakukan pemantauan
kasus/kontak.
Pada kegiatan ini, selain memeriksa kelengkapan data dari fasyankes,
dinas kesehatan juga harus melengkapi variabel wajib berikut ini pada
aplikasi All Record TC-19:
a) Faktor risiko Riwayat perjalanan
b) Faktor risiko paparan/kontak
c) Daftar kontak erat
d) Penetapan kriteria kasus (suspek, probable, konfirmasi)
Bila terdapat data yang tidak lengkap dari fasyankes dan KKP
(terutama nama, NIK, alamat domisili), maka Dinkes Kabupaten/kota
harus mengingatkan fasyankes dan KKP yang bersangkutan untuk
melengkapi datanya.

d. Laporan Pemantauan Kontak Erat


Setiap kasus yang dilakukan PE akan dilakukan pelacakan kontak erat yang
diduga menjadi faktor risiko paparan terhadap kasus, juga kontak erat yang
selalu bertemu dengan kasus.
Terhadap kontak erat yang sudah ditemukan harus dicatat dan dilaporkan
secara harian, terkait status kesehatannya, tanggal kontak terakhir dengan
kasus suspek/probable/konfirmasi, riwayat pengambilan spesimen jika
terjadi perubahan status dari kontak menjadi suspek, riwayat rujukan, dan
hasil pemantauan akhir. Formulir yang digunakan sebagaimana terlampir.
Fasyankes yang merawat kasus suspek/probable harus melakukan
pelaporan pemantauan kontak erat, dan juga melakukan pemantauan
petugas kesehatan yang merupakan kontak erat karena merawat kasus
suspek/probable/konfirmasi.
Puskesmas, KKP (area kekarantinaan kesehatan), fasilitas khusus
karantina, dan rumah yang melaksanakan isolasi atau karantina mandiri
juga harus melakukan pelaporan pemantauan kontak erat. Pemantauan
kontak erat di rumah menjadi tanggung jawab petugas kesehatan di
Puskesmas setempat.
Setiap kontak erat yang dipantau setiap hari wajib diperiksa suhu tubuhnya
dan gejala yang mungkin dikeluhkan. Hasil pemantauan harian dituliskan di
dalam formulir yang disediakan, kemudian dilaporkan secara harian kepada
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 70
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk selanjutnya dilakukan rekap ke
dalam Laporan Harian Agregat.
e. Laporan Harian Agregat
Laporan harian agregat dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
melalui aplikasi Sistem Online Pelaporan Harian COVID-19
(https://s.id/laporhariancovid). Laporan ini merupakan rekapitulasi agregat
harian dari laporan notifikasi penemuan kasus, laporan terkait spesimen,
laporan PE, dan laporan pemantauan kontak erat. Laporan harian juga
merupakan alat monitoring harian bagi Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
atas perkembangan kasus di wilayahnya, sehingga laporan harian ini wajib
dilakukan secara lengkap dan tepat waktu. Formulir laporan harian
sebagaimana terlampir.
Laporan ini sangat berguna untuk melakukan analisis cepat perkembangan
kasus COVID-19 dalam jangka waktu harian dan jangka waktu tertentu,
sehingga dapat dijadikan acuan pemegang kebijakan untuk bertindak cepat
dan akurat sesuai indikator surveilans epidemiologi. Oleh karena laporan
harian ini diisi dan dilaporkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota selaku
pemegang wilayah, maka data ini dapat secara akurat digunakan sebagai
acuan perencanaan respon pencegahan dan pengendalian COVID-19 di
wilayah kabupaten/kota. Melalui aplikasi online tersebut, semua pihak yang
membutuhkan penyajian hasil pelaporan harian dapat mengakses Sistem
Online Pelaporan Harian COVID-19 dengan hak akses terbatas.
Variabel yang wajib dicatat dan dilaporkan ke dalam Sistem Online
Pelaporan Harian adalah kasus-kasus baru pada tanggal pelaporan, antara
lain:
1) Data Kasus Suspek, meliputi: jumlah suspek, jumlah probable, jumlah
suspek discarded, dan jumlah kasus yang diambil spesimen untuk RT-
PCR (termasuk Tes Cepat Molekuler/TCM yang digunakan untuk
pemeriksaan TB dan mesin PCR Program HIV AIDS dan PIMS yang
digunakan untuk memeriksa Viral Load HIV).
2) Data Kasus Konfirmasi, meliputi: jumlah konfirmasi harian, jumlah
konfirmasi bergejala/tanpa gejala, konfirmasi berdasarkan risiko
(perjalanan (importasi), kontak erat, dan tanpa riwayat
perjalanan/kontak erat), dan jumlah selesai isolasi.
3) Data Pemantauan Kontak Erat, meliputi: jumlah kasus konfirmasi yang
dilakukan pelacakan kontak erat, jumlah kontak erat, jumlah kontak
erat yang menjadi suspek, jumlah kontak erat yang menjadi
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 71
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
konfirmasi, jumlah kontak erat discarded, jumlah kontak erat yang
sedang dipantau dan jumlah kontak erat yang mangkir dari
pemantauan.
4) Data Kasus Meninggal, meliputi: kasus konfirmasi yang meninggal,
dan kasus meninggal probable COVID-19.
5) Data Suspek/Probable/Konfirmasi yang sedang dilakukan perawatan
di RS Rujukan/RS Lain, RS Darurat, dan Isolasi mandiri (di bawah
pemantauan Puskesmas dan fasilitas lainnya).
Dalam sistem pelaporan harian berlaku indikator kinerja surveilans yaitu
kelengkapan dan ketepatan laporan. Kelengkapan laporan menunjukkan
jumlah kabupaten/kota yang melapor di provinsi tertentu per hari, hal ini
menunjukkan validitas dan kualitas data per provinsi, semakin tinggi
kelengkapannya maka akan semakin valid dan baik datanya untuk dapat
dianalisis. Sedangkan ketepatan laporan dibatasi dengan waktu laporan per
hari akan diambil datanya, yaitu pukul 12.00 WIB setiap hari. Ketepatan
laporan menunjukkan akurasi data untuk siap digunakan sebagai bahan
laporan kepada pemegang kebijakan pada hari tersebut.

3. 8. 2. Pengolahan dan Analisis Data


Data yang telah diterima oleh All Record TC-19 selanjutnya akan diolah secara
terkomputerisasi, dan unit pengampu data diberikan hak akses oleh walidata
untuk dapat melakukan analisis sesuai dengan kebutuhannya. Analisis data
dapat dilakukan di semua tingkatan, baik oleh Fasyankes, Laboratorium, Dinas
Kesehatan, KKP, maupun Kementerian Kesehatan, dan sektor lain yang terkait
dan membutuhkan.
Sedangkan laporan harian yang diinput melalui Sistem Online Pelaporan
Harian COVID-19 (https://s.id/laporhariancovid), unit pengampu data dapat
melihat hasil olah data dan analisis secara terkomputerisasi langsung melalui
menu Penyajian Data Harian. Penyajian hasil olah data dan analisis
ditampilkan berdasarkan data Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Nasional. Hal ini
dimaksudkan agar setiap level dapat memperoleh hasil pengolahan dan
analisis data secara cepat sesuai daerahnya masing-masing, untuk
selanjutnya dapat dimanfaatkan sesuai kebutuhan.
Untuk mengukur indikator kinerja surveilans, data yang valid dan berkualitas
sangat diperlukan agar hasil analisis mengenai perkembangan kasus COVID-
19 dan faktor risikonya dapat diketahui secara tepat dan akurat, sehingga

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 72


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
informasi yang dikeluarkan dapat dimanfaatkan dalam upaya penanggulangan
COVID-19 dan tepat sasaran.
Berdasarkan tingkatannya, tujuan analisis dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Fasyankes (Rumah Sakit, Puskesmas, dan Fasyankes lain), analisis


digunakan untuk:
1) Mengetahui perkembangan jumlah kasus
suspek/probable/konfirmasi menurut satuan waktu (harian dan
mingguan) dan menurut wilayahnya.
2) Mengetahui perkembangan kasus konfirmasi menurut
gejala/tanda, karakteristik kondisi penyerta/penyakit komorbid
lainnya
3) Mengetahui perbandingan angka kematian kasus konfirmasi
dengan angka kematian dengan COVID-19 sebagai penyebab
kematian (cause of death).
4) Mengetahui kapasitas fasyankes dan dapat digunakan untuk
menghitung perencanaan logistik harian dan mingguan seperti
APD, beban perawatan, bed occupancy rate (BOR), tenaga
kesehatan dan lain-lain.
5) Melakukan analisis data yang akan menjadi bahan untuk
melakukan audit kinerja fasyankes, termasuk penerapan PPI
dan SOP tata laksana medis.
b. Laboratorium, analisis digunakan untuk:
1) Mengetahui angka positive rate.
2) Mengetahui perbandingan jumlah spesimen adekuat, invalid,
dan inconclusive, sehingga dapat digunakan untuk
merencanakan evaluasi kemampuan lab dan rekomendasi cara
pengambilan spesimen di lapangan.
3) Mengetahui kapasitas laboratorium dan menghitung
perencanaan kebutuhan logistik laboratorium.
4) Melakukan analisis dan audit kinerja laboratorium, terutama
perbandingan antara spesimen masuk dan diperiksa.
c. Dinas Kesehatan (Kabupaten/Kota/Provinsi): analisis digunakan untuk
mengetahui keberhasilan pengendalian COVID-19 di level
kabupaten/kota maupun provinsi sesuai dengan indikator yang
ditentukan oleh Kementerian Kesehatan melalui pedoman ini, selain itu
bermanfaat untuk:

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 73


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
1) Mengetahui proyeksi perkembangan kasus COVID-19 di wilayah
2) Mengetahui laju perkembangan jumlah kasus
suspek/probable/konfirmasi sekaligus suspek discarded
menurut satuan waktu (harian dan mingguan) dan menurut
wilayahnya
3) Mengetahui perkembangan dan distribusi kasus konfirmasi
berdasarkan waktu (tanggal onset, tanggal pengambilan
spesimen, tanggal pelaporan), orang (umur, jenis kelamin), dan
tempat (wilayah provinsi, kabupaten/kota,
kecamatan/puskesmas), sehingga dapat diketahui
4) Mengetahui perkembangan kasus konfirmasi menurut
gejala/tanda, karakteristik kondisi penyerta/penyakit komorbid
lainnya
5) Mengetahui perbandingan angka kematian kasus konfirmasi
dengan angka kematian dengan COVID-19 sebagai penyebab
kematian (cause of death)
6) Mengetahui perkembangan kasus konfirmasi menurut faktor
risiko (pelaku perjalanan/importasi, kontak erat, tanpa riwayat
perjalanan/kontak)
7) Mengetahui perkembangan kontak erat yang sedang dipantau,
proporsi kontak erat yang menjadi suspek/probable, proporsi
kontak erat yang menjadi konfirmasi, kontak erat discarded dan
mangkir dari pemantauan
d. Kementerian Kesehatan: analisis digunakan untuk mengetahui
keberhasilan pengendalian COVID-19 di level nasional sesuai dengan
indikator yang ditentukan dalam pedoman ini. Tujuan lain sama dengan
level daerah ditambah dengan mengetahui perkembangan virus (peta
genetik).
e. Sektor lain: analisis digunakan sesuai kebutuhan.

3. 8. 3. Distribusi Data dan Informasi


Data yang telah diterima oleh sistem All Record TC-19 dapat diakses melalui
aplikasi Dashboard Satu Data Kesehatan (https://satudata.kemkes.go.id).
Dashboard tersebut dapat diakses secara publik. Sedangkan untuk
mengakses detail data COVID-19, walidata akan memberikan hak akses
berjenjang mulai dari tingkat puskesmas hingga nasional dan disebarkan
sesuai kebutuhan masing-masing unit yang menggunakan.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 74
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Data yang ada di sistem dapat langsung dimanfaatkan oleh unit terkait baik
oleh fasyankes, laboratorium, maupun dinas kesehatan. Dalam keadaan
KLB maupun pasca KLB, Kementerian Kesehatan dan dinas kesehatan
dapat mengakses data individu. Sedangkan lintas program dan lintas sektor
terkait dapat memanfaatkan data terbatas yang dipublikasikan oleh walidata.

Sedangkan hasil penyajian informasi dari data agregat laporan harian, dapat
langsung dimanfaatkan untuk mengkaji indikator epidemiologi di wilayah
yang bersangkutan sesuai dengan tujuan analisisnya.

3. 9. Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM): Menyiapkan Masyarakat dalam


Penanggulangan COVID-19
Tujuan dari SBM ini adalah untuk meningkatkan peran anggota masyarakat dalam
upaya deteksi dini kasus COVID-19 sehingga setiap kasus dapat ditangani segera, tidak
terjadi penularan di lingkungan masyarakat dan bagi yang sakit dapat segera
mendapatkan perawatan dengan benar sampai sembuh
1. Sebagai bagian dari gugus tugas yang ada di masyarakat, maka yang dapat
terlibat sebagai relawan dalam kegiatan surveilans berbasis masyarakat adalah:
a. Kader desa (kader posyandu/lansia/jumantik dan lain-lain), PKK, tokoh
agama, karang taruna, relawan organisasi, relawan yayasan
b. Petugas yang ditunjuk oleh desa atau dusun atau RT/RW
c. Relawan dari organisasi lain yang telah mendapat persetujuan dari gugus
tugas wilayah
2. Warga yang mengalami gejala COVID-19 adalah warga yang mengalami gejala
seperti demam, dan batuk/pilek/nyeri tenggorokan/sesak nafas, termasuk:
a. Warga yang saat ini tinggal di wilayah penularan lokal (daftar kota bisa
dilihat di www.infeksiemerging.kemkes.go.id) atau berkontak dengan orang
yang baru datang dari luar wilayah; atau
b. Warga yang datang/pemudik dari negara terjangkit atau kota/kabupaten di
Indonesia yang telah melaporkan kasus COVID-19.
3. Di setiap Wilayah harus tersedia data kelompok rentan, yaitu penduduk/warga
yang jika terinfeksi virus COVID-19 dapat mengalami gejala yang lebih parah
bahkan kematian, dan/atau warga mengalami kesulitan kondisi sosial-ekonomi
termasuk masalah psikososial. Hal-hal yang perlu dicatat untuk kelompok rentan
adalah:
a. Identitas: Nama lengkap, umur, jenis kelamin, NIK, alamat lengkap, nomer
telepon yang dapat dihubungi

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 75


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
b. Faktor risiko: lansia (>60 tahun), balita, ibu hamil, penyandang disabilitas,
dan/atau penyakit penyerta seperti: penyakit jantung, penyakit kencing
manis/gula (diabetes), penyakit paru-paru, penyakit kanker, darah tinggi,
stroke, gangguan psikososial, dan lain-lain.
c. Sosial ekonomi: Pendataan status sosial dan ekonomi
4. Data-data yang harus dicatat dan dilaporkan
a. Seluruh warga yang baru datang/pemudik/warga yang memaksa mudik.
b. Populasi rentan sesuai dengan penjelasan di butir nomor 3
c. Warga sebagai kasus yang mengalami gejala-gejala COVID-19 seperti
demam tinggi dan batuk/pilek/nyeri tenggorokan/sesak nafas (lihat angka 2)
d. Warga yang menyatakan pernah memiliki kontak dengan kasus suspek atau
kasus konfirmasi COVID-19
5. Sistem penapisan (skrining) bagi semua pendatang/warga yang memaksa mudik
dilakukan oleh petugas/relawan yang ditunjuk oleh gugus tugas wilayah.
Puskesmas bertugas untuk verifikasi dan tindakan lebih lanjut.

Gambar 3. 4. Alur Penapisan Kasus pada Pemudik

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 76


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
6. Alur penapisan kasus di masyarakat yang memiliki gejala COVID-19

Gambar 3. 5. Alur Penapisan Kasus di Masyarakat

7. Alur Pelaporan ke Puskesmas, petugas surveilans puskesmas menjadi


koordinator pelaporan
a. Relawan, setiap hari mencatat, sehingga memiliki data-data seperti warga
pendatang/ pemudik, penduduk rentan, penduduk sakit/pendatang sakit,
penduduk dalam karantina/isolasi dan petugas/relawan yang melayani
karantina/isolasi) dan melaporkan setiap hari ke Posko Satgas
RT/RW/Desa, termasuk ketika tidak terjadi perubahan;
b. Posko Desa melaporkan setiap hari ke Puskesmas termasuk ketika tidak
terjadi perubahan;
c. Berkoordinasi dengan Puskesmas untuk berkonsultasi terkait tindak lanjut,
dan analisis data.

Gambar 3. 6. Alur Koordinasi Pelaporan

8. Upaya pencegahan penularan saat melakukan pencatatan warga dan


pemantauan harian
a. Pastikan menggunakan masker (pewawancara dan yang diwawancarai)
b. Jaga jarak minimal 1 meter (physical distancing)

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 77


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
c. Wawancara sebaiknya dilakukan di luar ruangan/di ruang terbuka
d. Cuci tangan sebelum dan sesudah wawancara menggunakan air dan sabun
atau cairan berbasis alkohol.
e. Jika tidak memungkinkan, maka wawancara dilakukan melalui telpon/video
call
9. Karantina/isolasi dapat dilakukan dengan mandiri (di rumah masing-masing) atau
di tempat yang telah ditentukan oleh pemerintah daerah/gugus tugas percepatan
penanganan COVID-19 dengan tetap berkoordinasi dengan petugas puskesmas
di wilayah.
a. Kriteria untuk karantina/isolasi mandiri: pendatang/pemudik dan
keluarganya dinyatakan mampu melaksanakan ketentuan pelaksanaan
karantina/isolasi mandiri dan masyarakat mau menerima dan menyetujui
pelaksanaan karantina mandiri dan secara medis memenuhi syarat untuk
karantina/isolasi mandiri.
b. Kriteria karantina/isolasi di fasilitas khusus: jika dinilai tidak mampu
memenuhi kriteria pelaksanaan karantina/isolasi mandiri.
10. Pemantauan harian dilakukan kepada warga yang melakukan karantina/isolasi.
Pemantauan dilakukan setiap hari dapat dengan menggunakan
telepon/SMS/Whatsapp. Hal yang perlu dipantau:
a. Munculnya gejala seperti demam, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sesak
nafas dan lainnya.
b. Keluhan-keluhan lain seperti kebutuhan dukungan kesehatan jiwa dan
psikososial dan sebagainya.
(*pemantauan selain melalui media komunikasi juga bisa dilakukan dengan
mendatangi rumah akan tetapi tetap di luar rumah kemudian meminta orang yang
dikarantina untuk menunjukkan diri dan melaporkan bahwa mereka baik atau ada
gejala. Hal ini dilakukan untuk meyakinkan bahwa karantina memang benar-benar
dilakukan).
11. Warga bergotong royong membentuk RT-RW/desa/kelurahan siaga COVID-19
yang berpartisipasi melalui kegiatan seperti bergiliran menyediakan kebutuhan
makanan atau membantu menyiapkan kebutuhan logistik makanan untuk anggota
warganya yang harus menjalani karantina/isolasi jika diperlukan dengan tetap
melakukan upaya pencegahan penularan.
12. Warga tidak diperkenankan menyebarkan berita-berita yang tidak jelas
sumbernya atau belum tentu kebenarannya. Segera laporkan kepada Satgas
Desa/RW/RT jika menerima berita yang meragukan untuk dikonfirmasikan
kebenarannya.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 78
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
13. Infomasi-informasi terkait COVID-19 dapat warga dapatkan melalui website
berikut:
a. Gugus tugas BNPB: https://www.covid19.go.id/
b. Kementerian kesehatan RI: https://covid19.kemkes.go.id
c. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Indonesia: www.who.int/indonesia
14. Selalu sampaikan pesan kunci kepada seluruh warga untuk mengurangi risiko
penularan:
a. Sering cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir.
b. Tutup mulut dan hidung saat batuk dan bersin menggunakan siku terlipat
atau tisu.
c. Menggunakan masker
d. Tidak menyentuh wajah, mata, hidung dan mulut.
e. Menjaga jarak fisik, tidak keluar rumah, tidak berkumpul. Belajar, bekerja
dan beribadah di rumah. Ikuti anjuran pemerintah.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 79


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB IV
DIAGNOSIS LABORATORIUM

Pengambilan dan pemeriksaan spesimen dari pasien yang memenuhi definisi kasus
suspek COVID-19 merupakan prioritas untuk manajemen klinis/pengendalian wabah, harus
dilakukan secara cepat. Spesimen tersebut dilakukan pemeriksaan dengan metode deteksi
molekuler/NAAT (Nucleic Acid Amplification Test) seperti RT-PCR (termasuk Tes Cepat
Molekuler/TCM yang digunakan untuk pemeriksaan TB dan mesin PCR Program HIV AIDS
dan PIMS yang digunakan untuk memeriksa Viral Load HIV).
Hasil tes pemeriksaan negatif pada spesimen tunggal, terutama jika spesimen berasal
dari saluran pernapasan atas, tidak menyingkirkan kemungkinan tidak adanya infeksi.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hasil negatif pada pasien yang terinfeksi meliputi:
1. kualitas spesimen yang tidak baik, mengandung sedikit material virus
2. spesimen yang diambil pada masa akhir infeksi atau masih sangat awal
3. spesimen tidak dikelola dan tidak dikirim dengan transportasi yang tepat
4. kendala teknis yang dapat menghambat pemeriksaan RT-PCR (seperti mutasi pada
virus)
Jika hasil negatif didapatkan dari pasien dengan kecurigaan tinggi suspek terinfeksi
virus COVID-19 maka perlu dilakukan pengambilan dan pengujian spesimen berikutnya,
termasuk spesimen saluran pernapasan bagian bawah (lower respiratory tract). Koinfeksi
dapat terjadi sehingga pasien yang memenuhi kriteria suspek harus di lakukan pemeriksaan
COVID-19 meskipun patogen lain ditemukan.

4. 1. Jenis Spesimen
Tabel 4. 1. Jenis Spesimen Pasien COVID-19

Jenis Bahan Suhu


Penyimpanan Keterangan
Spesimen Pengambilan Pengiriman

Usap Swab Dacron 2-8 C


o ≤12 hari: 2-8°C Kedua Swab WAJIB
Nasofaring atau Flocked harus DIAMBIL
dan Swab dalam Viral >12 hari: -70°C ditempatkan di
Orofaring Transport (dry ice) tabung yang
Medium (VTM) sama untuk
atau saline steril* meningkatkan
viral load.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 80


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Jenis Bahan Suhu
Penyimpanan Keterangan
Spesimen Pengambilan Pengiriman

Sputum Kontainer 2-8 C


o ≤5 hari: 2-8°C Pastikan WAJIB
Steril Sputum berasal DIAMBIL
>5 hari: –70°C dari Saluran
(dry ice) Pernapasan
bawah (BUKAN

Liur)

Bronchoalveo Kontainer 2-8 C


o ≤48 jam: 2-8°C WAJIB BILA
lar Lavage Steril MEMUNGKINKAN
>48 jam: –70°C
(dry ice)

Tracheal Kontainer 2-8 C


o ≤48 jam: 2-8°C WAJIB BILA
aspirate, Steril MEMUNGKINKAN
Nasopharyng >48 jam: –70°C
eal aspirate (dry ice)
atau nasal
wash dalam
VTM

Jaringan Kontainer 2-8oC ≤24 jam: 2-8 °C


biopsi atau Steril +
autopsi Saline steril >24 jam: –70 °C
termasuk dari (dry ice)
paru-paru
dalam media
VTM atau
saline

steril. (2
Serum Serum 2-8oC ≤5 hari: 2-8 °C Pengambilan 2 WAJIB
sampel yaitu separator sampel: DIAMBIL
akut dan tubes >5 hari: -70 °C
konvalesen) (Dewasa 3-5 (dry ice) o Akut minggu
UNTUK ml whole pertama saat
SEROLOGI Blood) sakit
o Konvalesen
2-3 minggu
setelahnya

Keterangan: *Stabilitas virus COVID-19 di dalam Saline Steril atau VTM dapat bertahan selama 14 hari
pada suhu 2-8oC. Sebagai pengganti Saline Steril dapat digunakan PBS (Phospate Buffer Saline).

4. 2. Pengambilan Spesimen
Sebelum kegiatan pengambilan spesimen dilaksanakan, harus
memperhatikan universal precaution atau kewaspadaan universal untuk mencegah
terjadinya penularan penyakit dari pasien ke paramedis maupun lingkungan sekitar.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 81


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Hal tersebut meliputi: selalu mencuci tangan dengan menggunakan sabun/desinfektan
SEBELUM dan SESUDAH tindakan, dan menggunakan APD. Penggunaan APD dapat
mengacu pada Petunjuk Teknis Alat Pelindung Diri Dalam Menghadapi Wabah COVID-
19 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan, Kementerian
Kesehatan Tahun 2020.
4. 2. 1. Bahan Pengambilan Spesimen
a. Formulir Penyelidikan Epidemiologi
Pengiriman spesimen ke Laboratorium harus disertai dengan Formulir
Penyelidikan Epidemiologi terlampir sesuai dengan waktu pengambilan
spesimen.

b. Spesimen Saluran Pernapasan (Respiratory Tract)


1) Viral Transport Medium (VTM)
2) Dapat digunakan dengan beberapa merk komersil yang sudah
siap pakai atau dengan mencampur beberapa bahan sesuai
dengan panduan WHO (Hanks BBS; Antifungal dan Antibiotik
dengan komposisi tertentu) untuk disatukan dalam 1 wadah steril.
Hindari menggunakan VTM yang mengandung bahan yang
menginaktifasi virus atau lisis buffer.
3) Swab Dacron atau Flocked Swab
4) Tongue Spatel
5) Kontainer Steril untuk Sputum
6) Parafilm
7) Plastik Klip
8) Marker atau Label
c. Spesimen Darah/Serum:
1) Spuit disposable 3ml atau 5 ml atau Sistem Vacutainer
2) Wing needle (jika diperlukan)
3) Kapas alkohol 70%
4) Kapas Kering
5) Vial 1,8 ml atau tabung tutup ulir (wadah Spesimen Serum)
6) Marker atau Label
d. Bahan Pengepakan/Pengiriman Spesimen:
1) Ice pack dan Cold Box (diutamakan sudah menggunakan sistem
tiga lapis)
2) Label Alamat
3) Lakban/Perekat

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 82


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
4. 2. 2. Tata Cara Pengambilan Spesimen Nasofaring
a. Persiapkan cryotube yang berisi media transport virus (Hanks BSS +
Antibiotika), dapat juga digunakan VTM komersil yang siap pakai
(pabrikan).
b. Berikan label yang berisi Nama Pasien dan Kode Nomer Spesimen. Jika
label bernomer tidak tersedia maka Penamaan menggunakan
Marker/Pulpen pada bagian berwarna putih di dinding cryotube. (Jangan
gunakan Medium Hanks bila telah berubah warna menjadi Kuning).
c. Gunakan swab yang terbuat dari dacron/rayon steril dengan tangkai
plastik atau jenis Flocked Swab (tangkai lebih lentur). Jangan
menggunakan swab kapas atau swab yang mengandung Calcium Alginat
atau Swab kapas dengan tangkai kayu, karena mungkin mengandung
substansi yang dapat menghambat menginaktifasi virus dan dapat
menghambat proses pemeriksaan secara molekuler.
d. Pastikan tidak ada Obstruksi (hambatan pada lubang hidung).
e. Masukkan secara perlahan swab ke dalam hidung, pastikan posisi swab
pada Septum bawah hidung.
f. Masukkan swab secara perlahan-lahan ke bagian nasofaring.

Sumber: New England Journal of Medicine


Gambar 4. 1. Lokasi Pengambilan Nasofaring

g. Swab kemudian dilakukan gerak memutar secara perlahan.


h. Kemudian masukkan sesegera mungkin ke dalam cryotube yang berisi
VTM
i. Patahkan tangkai plastik di daerah mulut cryotube agar cryotube dapat
ditutup dengan rapat.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 83


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Sumber: Dokumentasi Litbang
Gambar 4. 2. Cara Memasukkan Swab ke dalam VTM

j. Pastikan label kode spesimen sesuai dengan kode yang ada di formulir
penyelidikan epidemiologi.
k. Cryotube kemudian dililit parafilm dan masukkan ke dalam Plastik Klip.
Jika ada lebih dari 1 pasien, maka Plastik Klip dibedakan/terpisah. Untuk
menghindari kontaminasi silang.

Sumber: dokumentasi Litbang


Gambar 4. 3. Pengemasan spesimen

l. Simpan dalam suhu 2-80C sebelum dikirim. Jangan dibekukan dalam


Freezer.

4. 2. 3. Tata Cara Pengambilan Spesimen Sputum


Pasien berkumur terlebih dahulu dengan air, kemudian pasien diminta
mengeluarkan dahaknya dengan cara batuk yang dalam. Sputum ditampung
pada wadah steril yang anti bocor. Pengambilan sampel sputum dengan cara
induksi dapat menimbulkan risiko infeksi tambahan bagi petugas kesehatan.

4. 2. 4. Tata Cara Pengambilan Spesimen Serum


Sampel serum berpasangan diperlukan untuk konfirmasi, dengan serum awal
dikumpulkan di minggu pertama penyakit dan serum yang kedua idealnya
dikumpulkan 2-3 minggu kemudian. Jika hanya serum tunggal yang dapat

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 84


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dikumpulkan, ini harus diambil setidaknya 14 hari setelah onset gejala untuk
penentuan kemungkinan kasus.
Anak-anak dan dewasa: dibutuhkan whole blood (3-5 mL) dan disentrifus untuk
mendapatkan serum sebanyak 1,5-3 mL. Sedangkan untuk bayi: Minimal 1 ml
whole blood diperlukan untuk pemeriksaan pasien bayi. Jika memungkinkan,
mengumpulkan 1 ml serum.

4. 3. Pengepakan Spesimen
Spesimen dikonfirmasi harus dilakukan tata laksana sebagai UN3373, "Substansi
Biologis, Kategori B", ketika akan diangkut/ditransportasikan dengan tujuan diagnostik
atau investigasi. Semua spesimen harus dikemas untuk mencegah kerusakan dan
tumpahan. Adapun sistem yang digunakan adalah dengan menggunakan tiga lapis
(Three Layer Pacakging) sesuai dengan pedoman dari WHO dan International Air
Transport Association (IATA).

Sumber: WHO-Guidance on regulations for the transport of infectious substances 2019–2020


Gambar 4. 4. Contoh Pengepakan Tiga Lapis

Spesimen dari suspek COVID-19, harus disimpan dan dikirim pada suhu yang
sesuai (lihat Tabel 4.1). Spesimen harus tiba di laboratorium segera setelah
pengambilan. Penanganan spesimen dengan tepat saat pengiriman adalah hal yang
sangat penting. Sangat disarankan agar pada saat pengiriman spesimen tersebut
ditempatkan di dalam cool box dengan kondisi suhu 2-8 oC atau bila diperkirakan lama

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 85


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
pengiriman lebih dari tiga hari spesimen dikirim dengan menggunakan es kering (dry
ice).

4. 4. Pengiriman Spesimen
Pengiriman spesimen kasus suspek COVID-19 maupun kontak erat dilakukan
oleh petugas Dinas Kesehatan dengan menyertakan formulir penyelidikan epidemiologi
terlampir. Pengiriman spesimen ditujukan ke laboratorium pemeriksa yang telah
memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan atau pejabat yang
ditunjuk.

Pengiriman spesimen ke laboratorium pemeriksa dapat dilakukan menggunakan


jasa kurir door to door. Pada kondisi yang memerlukan pengiriman port to port, petugas
Dinas Kesehatan dapat berkoordinasi dengan petugas KKP setempat dan laboratorium
pemeriksa. Spesimen segera dikirimkan ke Laboratorium pemeriksa paling lama 1x24
jam.

Tabel 4. 2. Perbedaan Kriteria Kasus Untuk Konfirmasi Laboratorium dengan RT-PCR

Kriteria Kasus Jenis Spesimen Waktu Pengambilan Laboratorium


Pemeriksa

Suspek Sesuai dengan tabel hari ke-1 dan ke-2 dengan Laboratorium
4.1 Jenis spesimen selang waktu >24 jam Pemeriksa COVID-19
pasien COVID-19 serta bila ada perburukan. (daftar terlampir)

Kontak erat segera dilakukan


(khusus untuk pemeriksaan RT-PCR
petugas sejak kasus dinyatakan
Kesehatan) sebagai kasus probable
atau konfirmasi

Spesimen yang tiba di laboratorium pemeriksa, akan segera diproses untuk


dilakukan pemeriksaan metode deteksi molekuler. Laboratorium pemeriksa (pemerintah
dan swasta) wajib menginformasikan hasil pengujian positif dan negatif melalui sistem
pelaporan yang sudah tersedia, berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan terkait. Masing-
masing penerima laporan menindaklanjuti sesuai peraturan yang berlaku.

Setiap laboratorium pemeriksa COVID-19 yang menggunakan alat RT-PCR


Program HIV AIDS & PIMS diwajibkan untuk mengirimkan laporan pemanfaatan yang
meliputi kondisi alat dan ketersediaan reagen. Laporan yang dimaksud dapat dilihat
sebagaimana formulir terlampir.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 86


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Laboratorium yang menggunakan alat TCM hanya melakukan pemeriksaan
spesimen swab nasofaring. Laporan hasil pemeriksaan dengan TCM sesuai dengan
pelaporan melalui SITB yaitu sistem informasi yang digunakan oleh Program
Penanggulangan Tuberkulosis untuk Pencatatan dan Pelaporan (kasus, pengobatan,
dan logistik) menggunakan formulir sebagaimana terlampir.

4. 5. Pemeriksaan dengan Rapid Test


Penggunaan Rapid Test tidak digunakan untuk diagnostik. Pada kondisi dengan
keterbatasan kapasitas pemeriksaan RT-PCR, Rapid Test dapat digunakan untuk
skrining pada populasi spesifik dan situasi khusus, seperti pada pelaku perjalanan
(termasuk kedatangan Pekerja Migran Indonesia, terutama di wilayah Pos Lintas Batas
Darat Negara (PLBDN), serta untuk penguatan pelacakan kontak seperti di lapas, panti
jompo, panti rehabilitasi, asrama, pondok pesantren, dan pada kelompok-kelompok
rentan.

WHO merekomendasikan penggunaan Rapid Test untuk tujuan penelitian


epidemiologi atau penelitian lain. Penggunaan Rapid Test selanjutnya dapat mengikuti
perkembangan teknologi terkini dan rekomendasi WHO.

4. 6. Pemantapan Mutu Laboratorium


Laboratorium yang akan menjadi laboratorium pemeriksa COVID-19 mengikuti
langkah-langkah sebagai berikut:

1. Laboratorium berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi.


2. Dinas Kesehatan Provinsi mengirimkan Surat Kesiapan Laboratorium kepada
Kepala Badan Litbang Kesehatan dengan tembusan Kepala Pusat Penelitian dan
Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan sesuai dengan
persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
3. Laboratorium melakukan pemeriksaan sesuai dengan protokol/pedoman
pemeriksaan yang dikeluarkan WHO.
4. Laboratorium harus melaporkan pemeriksaannya setiap hari melalui sistem
pelaporan yang sudah tersedia.
5. Laboratorium mengirimkan spesimen pemeriksaan untuk Pemantapan Mutu
Eksternal (PME) sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh Badan
Litbangkes.

Salah satu fungsi dari Laboratorium Rujukan Nasional COVID-19 yaitu


melakukan fungsi pembinaan dan Pemantapan Mutu Eksternal (PME). Dalam rangka
meningkatkan mutu pemeriksaan COVID-19, laboratorium pemeriksa COVID-19

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 87


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dengan metoda RT-PCR mengirimkan 10 (sepuluh) spesimen klinis negatif dan 20
(dua puluh) spesimen klinis positif COVID-19 ke Laboratorium Puslitbang Biomedis
dan Teknologi Dasar Kesehatan. Spesimen klinis yang dikirimkan yaitu spesimen
nasofaring/orofaring dan sputum. Sedangkan untuk laboratorium yang melakukan
pemeriksaan COVID-19 yang menggunakan Tes Cepat Molekular (TCM), diharapkan
mengirimkan 5 (lima) spesimen klinis positif dan 10 (sepuluh) spesimen negatif.
Spesimen klinis yang dikirimkan disertai dengan formulir pemantapan mutu eksternal.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 88


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB V
MANAJEMEN KLINIS

Manajemen klinis adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tenaga medis dan
tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosis, melaksanakan tata laksana pengobatan dan
tindakan terhadap pasien COVID-19 sesuai indikasi klinis. Tenaga medis yang terlibat
sebagai Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) adalah dokter spesialis paru, dokter
penyakit dalam, dokter sub spesialis penyakit dalam paru, dokter sub spesialis penyakit dalam
tropik infeksi, dokter anak, dokter anak sub spesialis paru, dan dokter spesialis lain atau dokter
sub spesialis lain sesuai dengan kebutuhan medis. Dalam hal di rumah sakit tidak terdapat
dokter spesialis, maka dokter umum dapat merawat pasien COVID-19 sesuai dengan
kewenangannya. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam pelayanan COVID-19 adalah
perawat dan tenaga kesehatan lainnya sesuai kebutuhan medis pasien.
Manajemen klinis merupakan tugas melaksanakan tata kelola klinis secara optimal dan
berkualitas, supaya pasien mendapatkan pelayanan yang komprehensif berfokus pada pasien
(patien centered care) secara berkesinambungan sesuai kebutuhan medis pasien, berbasis
keselamatan pasien.
Adapun ruang lingkup manajemen klinis meliputi:
a. Pelayanan COVID-19 di fasyankes baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP)
maupun di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut (FKRTL) meliputi triase awal,
anamnesis secara komprehensif, mulai dari keluhan yang disesuaikan dengan gejala
klinis, riwayat penyakit terdahulu dan riwayat penyakit penyerta, termasuk latar
belakang contact tracing, surveillance di daerahnya, pemeriksaan fisik didukung dengan
pemeriksaan penunjang yang distandarkan sebagai penunjang diagnosis, sampai
pasien mendapatkan terapi, serta pemulangan dengan kriteria sembuh, atau belum
sembuh, sehingga pasien dapat melanjutkan isolasi mandiri.
b. Menjelaskan kriteria pasien masuk rawat inap dan kriteria pasien pulang rawat, pada
pasien dengan kriteria dan pasien kondisi tertentu (dengan penyakit penyerta, dengan
co-insidens dan dengan komplikasi).

5. 1. Manajemen Klinis COVID-19


5. 1. 1. Triage: Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID-19
Penapisan dan pemisahan pasien yang dicurigai COVID-19 harus dilakukan
pada kontak pertama pasien dengan fasyankes, di FKTP maupun di FKRTL
baik di IGD dan rawat jalan. Langkah awal dalam identifikasi individu yang
diduga atau dikonfirmasi COVID-19 adalah dengan skrining semua

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 89


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
pengunjung fasyankes pada titik kontak pertama. Pelaksanaan skrining
dilakukan di semua fasyankes seperti rumah sakit, puskesmas, klinik, dan
praktik perorangan, serta dapat juga melalui call center pelayanan gawat
darurat 119/Public Safety Center (PSC 119). Panduan petugas pelayanan call
center pelayanan gawat darurat 119/Public Safety Center (PSC 119) dapat
merujuk pada panduan terlampir.

Skrining dapat menggunakan serangkaian kegiatan seperti pemeriksaan suhu


tubuh dengan thermal gun, pertanyaan sederhana seperti ada demam atau
riwayat demam, batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, sesak nafas,
malaise, sakit kepala, nyeri otot, riwayat kontak erat dengan pasien konfirmasi
dan atau riwayat perjalanan dalam 14 hari dari negara atau wilayah transmisi
lokal untuk mendapatkan status awal pasien ada tidaknya gejala COVID-
19.Sebaiknya membuat protokol skrining di semua titik akses masuk ke
fasyankes dan selama kegiatan pelacakan kontak/contact tracing.

Pertimbangkan COVID-19 sebagai etiologi yang paling memungkinkan untuk


pasien yang mengalami ISPA berat dan memenuhi kriteria definisi operasional
surveilans. Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan gejala ISPA ringan sampai
berat bahkan sampai terjadi Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS),
sepsis dan syok septik.

Deteksi dini manifestasi klinis (tabel 5.1) akan memberikan kesempatan yang
cukup untuk penerapan tatalaksana dan PPI yang tepat.

Setelah skrining pasien pada triase dengan dugaan COVID-19 dilakukan


evaluasi pasien untuk menentukan tingkat keparahan penyakit (lihat Tabel
5.1). Setelah penilaian awal, manajemen dan stabilisasi, pasien diarahkan ke
tujuan perawatan COVID-19 yang sesuai, yaitu di dalam fasyankes (unit
perawatan kritis atau bangsal), atau dirujuk ke fasyankes yang berbeda,
fasilitas komunitas atau rumah, sesuai dengan kebutuhan medis pasien.

Mayoritas pasien dengan gejala ringan tidak memerlukan rawat inap kecuali
ada kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya perburukan yang cepat dan
sesuai dengan pertimbangan medis. Pasien yang berusia lanjut dan memiliki
penyakit komorbid (contohnya: penyakit kardiovaskuler dan diabetes) memiliki
resiko lebih besar untuk mengalami gejala yang lebih berat dan mengalami
kematian, sehingga dapat dipertimbangkan untuk mendapat perawatan.
Deteksi cepat COVID-19 diselenggarakan sesuai manifestasi klinis dan sesuai
definisi operasional surveilans COVID-19.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 90


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Sebagian pasien yang dirawat (15%) akan mengalami sakit berat yang
memerlukan terapi oksigen dan sekitar 5% akan dirawat di ICU dan sebagian
diantaranya memerlukan ventilator mekanik. Pnemonia berat merupakan
diagnosis yang paling umum untuk pasien COVID-19 yang sakit berat.

Pasien dengan gejala ringan, sedang atau berat/kritis dapat dirawat di rumah
sakit rujukan COVID-19 atau rumah sakit lain yang memiliki fasilitas sesuai
standar pelayanan yang telah ditentukan, sementara itu pasien dengan gejala
ringan hingga sedang dapat juga dirawat di Rumah Sakit Lapangan/Rumah
Sakit Darurat terutama bagi pasien yang dapat mandiri/self handling selama
dirawat.

5. 1. 2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


a. Anamnesis dilakukan dengan wawancara baik langsung pada pasien
(Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain (Allo
anamneses) untuk menegakkan diagnosa.
b. Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses dari
tenaga medis memeriksa tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis
penyakit.

Tabel 5. 1 Kriteria Gejala Klinis Dan Manifestasi Klinis Yang Berhubungan Dengan Infeksi
COVID-19

Kriteria Gejala Manifestasi Penjelasan


Klinis

Tanpa Gejala Tidak ada Pasien tidak menunjukkan gejala apapun.


(asimptomatik) gejala klinis

Sakit ringan Sakit ringan Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam, batuk,
tanpa nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise, sakit kepala,
komplikasi nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut dan
imunocompromised karena gejala dan tanda tidak khas.

Sakit Sedang Pneumonia Pasien Remaja atau Dewasa dengan tanda klinis pneumonia
ringan (demam, batuk, dyspnea, napas cepat) dan tidak ada tanda
pneumonia berat.
Anak dengan pneumonia ringan mengalami batuk atau
kesulitan bernapas + napas cepat: frekuensi napas: <2 bulan,
≥60x/menit; 2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit
dan tidak ada tanda pneumonia berat.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 91


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Kriteria Gejala Manifestasi Penjelasan
Klinis

Sakit Berat Pneumonia Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau dalam
berat / ISPA pengawasan infeksi saluran napas, ditambah satu dari:
berat frekuensi napas >30 x/menit, distress pernapasan berat, atau
saturasi oksigen (SpO2) <90% pada udara kamar.

Pasien anak dengan batuk atau kesulitan bernapas, ditambah


setidaknya satu dari berikut ini:
- sianosis sentral atau SpO2 <90%;
- distres pernapasan berat (seperti mendengkur, tarikan
dinding dada yang berat);
- tanda pneumonia berat: ketidakmampuan menyusui atau
minum, letargi atau penurunan kesadaran, atau kejang.
Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan dinding dada, takipnea
:
<2 bulan, ≥60x/menit;
2–11 bulan, ≥50x/menit;
1–5 tahun, ≥40x/menit;
>5 tahun, ≥30x/menit.
Diagnosis ini berdasarkan klinis; pencitraan dada
dapat membantu penegakan diagnosis dan dapat
menyingkirkan komplikasi.

Sakit Kritis Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu minggu.

Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi paru):


opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus atau nodul.

Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat gagal


jantung atau kelebihan cairan. Perlu pemeriksaan objektif
(seperti ekokardiografi) untuk menyingkirkan bahwa
penyebab edema bukan akibat hidrostatik jika tidak
Acute ditemukan faktor risiko.
Respiratory
KRITERIA ARDS PADA DEWASA:
Distress
Syndrome
• ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg
(ARDS)
(dengan PEEP atau continuous positive airway pressure
(CPAP) ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
• ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤200 mmHg
dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
• ARDS berat: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg dengan PEEP ≥5
cmH2O, atau yang tidak diventilasi)

Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315 mengindikasikan


ARDS (termasuk pasien yang tidak diventilasi)

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 92


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Kriteria Gejala Manifestasi Penjelasan
Klinis
KRITERIA ARDS PADA ANAK :

Usia Eksklusi pasien dengan penyakit paru perinatal

Waktu Dalam 7 hari sejak onset penyakit

Penyebab Gagal napas yang tidak dapat dijelaskan oleh gagal jantung
edema atau kelebihan cairan (fluid overload)

Radiologis Infiltrat baru konsisten dengan penyakit paru akut

Oksigenasi Ventilasi mekanis non Ventilasi mekanis invasive


invasive
PARDS Ringan Sedang Berat
Masker full face 4 ≤ OI ≤8 8 ≤ OI ≤ 16 OI ≥ 16
ventilasi bi-level
atau CPAP ≥

POPULASI KHUSUS :
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, penyebab edema, dan radiologis sama seperti di atas,
jantung disertai perburukan oksigenasi akut yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit jantung
sianotik dasar
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema sama seperti diatas, disertai
paru kronis gambaran radiologis konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan oksigenasi akut
dari nilai sebelumnya, yang sesuai dengan kriteria oksgenasi di atas
Disfungsi Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema, dengan gambaran radiologis
ventrikel konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan oksigenasi akut, yang memenuhi
kiri kriteria di atas, namun tidak dapat dijelaskan oleh disfungsi ventrikel kiri
Syok septik Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi
cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial
pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau >2 SD di bawah normal usia) atau
terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia
atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR <70x/menit
atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang memanjang (>2
detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea; mottled skin atau
ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau hipotermia.`
Keterangan:
* Jika fasyankes berlokasi di ketinggian lebih dari 1000 meter d.p.l., maka faktor koreksi harus
dihitung sebagai berikut: PaO2 / FiO2 x Tekanan barometrik / 760.
* Skor SOFA nilainya berkisar dari 0 - 24 dengan menilai 6 sistem organ yaitu pernapasan
(hipoksemia didefinisikan oleh PaO2 / FiO2 rendah), koagulasi (trombosit rendah), hati (bilirubin
tinggi), kardiovaskular (hipotensi), sistem saraf pusat (penurunan tingkat kesadaran dengan
Glasgow Coma Scale), dan ginjal (urin output rendah atau kreatinin tinggi). Diindikasikan sebagai

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 93


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
sepsis apabila terjadi peningkatan skor Sequential [Sepsis-related] Organ Failure Assessment
(SOFA) ≥2 angka. Diasumsikan skor awal adalah nol jika data tidak tersedia.

5. 1. 3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan manifestasi klinis, antara
lain:
a. Laboratorium: Darah lengkap/Darah rutin, LED, Gula Darah, Ureum,
Creatinin, SGOT, SGPT, Natrium, Kalium, Chlorida, Analisa Gas Darah,
Procalcitonin, PT, APTT, Waktu perdarahan, Bilirubin Direct, Bilirubin
Indirect, Bilirubin Total, pemeriksaan laboratorium RT-PCR, dan/atau
semua jenis kultur MO (aerob) dengan resistensi Anti HIV.
b. Radiologi: Thorax AP/PA

5. 1. 4. Komplikasi
a. Komplikasi akibat penggunaan ventilasi mekanik invasif (IMV) yang lama
b. ventilator-associated pneumonia (VAP)
c. tromboemboli vena
d. catheter-related bloodstream
e. stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan
f. kelemahan akibat perawatan di ICU
g. komplikasi lainnya selama perawatan pasien

5. 1. 5. Komorbid
a. Diabetes Mellitus
1) Diabetes Mellitus Tipe 1
2) Diabetes Mellitus Tipe 2
3) Glucocorticoid-associated diabetes
b. Penyakit terkait Geriatri
c. Penyakit terkait Autoimun
d. Penyakit Ginjal
e. ST Segment Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
f. Non-ST-segment Elevation Myocardial Infarction (NSTEMI)
g. Hipertensi
h. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
i. Tuberculosis

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 94


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
j. Penyakit kronis lain yang diperberat oleh kondisi penyakit COVID-19

5. 2. Definisi Status Klinis Pasien COVID-19


Definisi status klinis pasien COVID-19, dibagi menjadi 3 kriteria yaitu:
a) Pasien Suspek
b) Pasien Konfirmasi
c) Pasien Probable
Penjelasan definisi status klinis pasien sesuai dengan pembahasan definisi
operasional kasus pada BAB III. Kriteria perawatan pasien ringan, sedang, dan berat
dapat dilihat pada panduan terlampir.

5. 3. Pemeriksaan Laboratorium RT-PCR

Tabel 5. 2 Jadwal Pengambilan Swab Untuk Pemeriksaan RT-PCR


HARI KE -

1 2 3 4 5 6 7 8 9 …

(sesuai klinis)

X X X x

Keterangan :
• Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis
• Bila terjadi perbaikan klinis, maka untuk follow-up pasien dengan gejala berat/kritis,
dilakukan pengambilan swab 1 kali yaitu pada hari ke-7 untuk menilai kesembuhan

5. 4. Terapi dan Penatalaksanaan Klinis Pasien COVID-19


Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien COVID-19 tanpa gejala, sakit ringan,
sakit sedang, sakit berat, kondisi kritis, dan pada kondisi tertentu. Berikut tata laksana
klinis pasien terkonfirmasi COVID-19:
5. 4. 1. Tatalaksana Klinis Pasien terkonfirmasi COVID-19 Tanpa Gejala, Sakit Ringan
Atau Sakit Sedang
a. Pasien terkonfirmasi tanpa gejala
Pada prinsipnya pasien terkonfirmasi COVID-19 yang tanpa gejala tidak
memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, tetapi pasien harus menjalani
isolasi selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi,
baik isolasi mandiri di rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan
pemerintah.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 95
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Isolasi ini penting untuk mengurangi tingkat penularan yang terjadi di
masyarakat. Pasien yang menjalani isolasi harus menjalankan aturan-
aturan terkait PPI dan dilakukan monitoring secara berkala baik melalui
kunjungan rumah maupun secara telemedicine oleh petugas FKTP.
Pasien sebaiknya diberikan leaflet berisi hal-hal yang harus diketahui dan
dilaksanakan, pasien diminta melakukan pengukuran suhu tubuh
sebanyak dua kali sehari. Setelah 10 hari pasien akan kontrol ke FKTP
terdekat.
b. Pasien terkonfirmasi sakit ringan
Pada prinsipnya tatalaksana pasien terkonfirmasi COVID-19 yang
mengalami sakit ringan sama dengan pasien terkonfirmasi yang tanpa
gejala. pasien harus menjalani isolasi minimal selama 10 hari sejak
muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam dan gangguan
pernafasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di rumah maupun di fasilitas
publik yang dipersiapkan Pemerintah. Pasien yang sakit ringan dapat
diberikan pengobatan simptomatik misalnya pemberian anti-piretik bila
mengalami demam. Pasien harus diberikan informasi mengenai gejala
dan tanda perburukan yang mungkin terjadi dan nomor contact person
yang dapat dia hubungi sewaktu-waktu apabila gejala tersebut muncul.
Petugas FKTP diharapkan proaktif untuk melakukan pemantauan kondisi
pasien. Setelah melewati masa isolasi pasien akan kontrol ke FKTP
terdekat.
c. Pasien terkonfirmasi sakit sedang dan pasien sakit ringan dengan
penyulit
Pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami sakit sedang dan
pasien yang sakit ringan tetapi memiliki faktor penyulit atau komorbid
akan menjalani perawatan di Rumah Sakit.
Prinsip tatalaksana untuk pasien yang sakit sedang adalah pemberian
terapi simptomatis untuk gejala yang ada dan fungsi pemantauan,
dilaksanakan sampai gejala menghilang dan pasien memenuhi kriteria
untuk dipulangkan dari Rumah Sakit.

5. 4. 2. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Berat


a. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
Pemberian terapi suplementasi oksigen segera pada pasien ISPA berat
dan pasien yang mengalami distress pernapasan, hipoksemia, atau
syok.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 96
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
1) Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit dengan
nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target SpO2 ≥90% pada
anak dan orang dewasa, serta SpO2 ≥ 92% - 95% pada pasien
hamil.
2) Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi napas
atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis sentral, syok,
koma, atau kejang) harus diberikan terapi oksigen selama
resusitasi untuk mencapai target SpO2 ≥ 94%;
3) Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan
pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi dengan
baik, dan semua alat-alat untuk menghantarkan oksigen
(nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup dengan
kantong reservoir) harus digunakan sekali pakai.
b. Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk
menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana,
sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam
pengawasan atau terbukti COVID-19. Lakukan pemantauan ketat pasien
dengan gejala klinis yang mengalami perburukan seperti gagal napas,
sepsis dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat mungkin.
1) Pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap memerlukan
pemantauan vital sign secara rutin dan apabila memungkinkan
menggunakan sistem kewaspadaan dini (misalnya NEWS2) untuk
memantau perburukan klinis yang dialami pasien.
2) Pemeriksaan darah lengkap, kimia darah dan EKG harus dilakukan
pada waktu pasien masuk perawatan untuk mengetahui dan
memantau komplikasi yang mungkin dialami oleh pasien seperti:
acute liver injury, acute kidney injury, acute cardiac injury atau syok.
3) Setelah melakukan tindakan resusitasi dan stabilisasi pasien yang
sedang hamil, harus dilakukan monitoring untuk kondisi janin.
c. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan pengobatan
dan penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi mana
yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan
pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan dan informasi
prognostik.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 97


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
d. Melakukan manajemen cairan secara konservatif pada pasien dengan
ISPA berat tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian cairan
intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat memperburuk
oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan ventilasi
mekanik.

5. 4. 3. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 Pada Kondisi Tertentu


a. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi pada
kasus yang dicurigai mengalami sepsis (termasuk dalam pengawasan
COVID-19) yang diberikan secepatnya dalam waktu 1 jam setelah
dilakukan asesmen.
Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan semua etiologi yang
memungkinkan (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial atau
sepsis) berdasarkan data epidemiologi, peta kuman penyebab, serta
pedoman pengobatan yang berlaku. Terapi empirik harus di de-
ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil pemeriksaan mikrobiologis dan
penilaian klinis.
b. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan sesuai
dengan kondisi kehamilannya.
Pelayanan persalinan dan terminasi kehamilan perlu mempertimbangkan
beberapa faktor seperti usia kehamilan, kondisi ibu dan janin. Perlu
dikonsultasikan ke dokter kandungan, dokter anak, dokter lain sesuai
kondisi kehamilannya, dan konsultan intensive care.
c. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk
pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis kecuali
terdapat alasan lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi dapat
menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan ISPA
berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular, infeksi
baru bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan. Oleh karena
itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.
d. Perawatan pada Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang berusia lanjut
1) Perawatan pasien terkonfirmasi COVID-19 berusia lanjut
memerlukan pendekatan multidisipliner antara dokter, perawat,
petugas farmasi dan tenaga kesehatan yang lain dalam proses

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 98


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
pengambilan keputusan mengingat masalah multi-morbiditas dan
penurunan fungsional tubuh.
2) Perubahan fisiologis terkait umur akan menurunkan fungsi intrinsik
pasien seperti malnutrisi, penurunan fungsi kognitif dan gejala
depresi. Deteksi dini mengenai kemungkinan pemberian obat yang
tidak tepat harus dilakukan untuk menghindari munculnya kejadian
tidak diharapkan dan interaksi obat untuk pasien lanjut usia.
Orang berusia lanjut memiliki resiko yang lebih besar mengalami
polifarmasi, dengan adanya pemberian obat-obat baru terkait
COVID-19 maka diperlukan koordinasi dengan caregiver atau
keluarga selama proses tatalaksana COVID-19 untuk
menghindari dampak negatif terhadap kesehatan pasien.
e. Perawatan pada Pasien COVID-19 anak
Terapi definitif untuk COVID-19 masih belum diketahui, tidak ada obat
yang efikasi dan keamanannya terbukti. Beberapa terapi masih dalam
evaluasi (terutama pada dewasa), penggunaan pada kasus COVID-19
pada anak masih dalam penelitian. Pemberian antivirus maupun
hidroksiklorokuin harus mempertimbangkan derajat beratnya penyakit,
komorbid dan persetujuan orang tua. Perawatan isolasi pada pasien
balita dan anak yang belum mandiri dilakukan sesuai dengan standar.

5. 4. 4. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Kritis


a. Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS
1) Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan distress
pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen standar
Pasien dapat mengalami peningkatan kerja pernapasan atau
hipoksemi walaupun telah diberikan oksigen melalui sungkup
tutup muka dengan kantong reservoir (10 sampai 15 L/menit,
aliran minimal yang dibutuhkan untuk mengembangkan kantong;
FiO2 antara 0,60 dan 0,95). Gagal napas hipoksemi pada ARDS
terjadi akibat ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau
pirau/pintasan dan biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.
2) Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal Oxygen/HFNO)
atau ventilasi non invasif (NIV), hanya pada pasien gagal napas
hipoksemi tertentu, dan pasien tersebut harus dipantau ketat
untuk menilai terjadi perburukan klinis.
a) Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen sampai
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 99
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dengan 60 L/menit dan FiO2 sampai 1,0; sirkuit pediatrik
umumnya hanya mencapai 15 L/menit, sehingga banyak
anak membutuhkan sirkuit dewasa untuk memberikan aliran
yang cukup. Dibandingkan dengan terapi oksigen standar,
HFNO mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi.
Pasien dengan hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru
obstruktif, edema paru kardiogenik), hemodinamik tidak
stabil, gagal multi-organ, atau penurunan kesadaran
seharusnya tidak menggunakan HFNO, meskipun data
terbaru menyebutkan bahwa HFNO mungkin aman pada
pasien hiperkapnia ringan-sedang tanpa perburukan.
Pasien dengan HFNO seharusnya dipantau oleh petugas
yang terlatih dan berpengalaman melakukan intubasi
endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan
mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam)
maka dilakukan tindakan intubasi segera. Saat ini pedoman
berbasis bukti tentang HFNO tidak ada, dan laporan tentang
HFNO pada pasien MERS masih terbatas.
b) Penggunaan NIV tidak direkomendasikan pada gagal napas
hipoksemi (kecuali edema paru kardiogenik dan gagal
napas pasca operasi) atau penyakit virus pandemik
(merujuk pada studi SARS dan pandemi influenza). Karena
hal ini menyebabkan keterlambatan dilakukannya intubasi,
volume tidal yang besar dan injuri parenkim paru akibat
barotrauma. Data yang ada walaupun terbatas
menunjukkan tingkat kegagalan yang tinggi ketika pasien
MERS mendapatkan terapi oksigen dengan NIV. Pasien
hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau
penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan NIV.
Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas
terlatih dan berpengalaman untuk melakukan intubasi
endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan
mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1 jam)
maka dilakukan tindakan intubasi segera.
c) Publikasi terbaru menunjukkan bahwa sistem HFNO dan
NIV yang menggunakan interface yang sesuai dengan
wajah sehingga tidak ada kebocoran akan mengurangi
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 100
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
risiko transmisi airborne ketika pasien ekspirasi.
3) Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih dan
berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan transmisi
airborne Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil, obesitas
atau hamil, dapat mengalami desaturasi dengan cepat selama
intubasi. Pasien dilakukan pre- oksigenasi sebelum intubasi
dengan Fraksi Oksigen (FiO2) 100% selama 5 menit, melalui
sungkup muka dengan kantong udara, bag-valve mask, HFNO
atau NIV dan kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
4) Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah (4-8
ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body Weight/PBW) dan
tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau <30 cmH2O).
Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS dan disarankan
pada pasien gagal napas karena sepsis yang tidak memenuhi
kriteria ARDS.
a) Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci) -60],
wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci)-60]
b) Pilih mode ventilasi mekanik
c) Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal volume awal =
8 ml/kg PBW
d) Kurangi tidal volume awal secara bertahap 1 ml/kg dalam
waktu ≤ 2 jam sampai mencapai tidal volume = 6ml/kg
PBW
e) Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit (tidak
lebih dari 35 kali/menit)
f) Atur tidal volume dan laju napas untuk mencapai target pH
dan tekanan plateau
Hipercapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45. Protokol ventilasi
mekanik harus tersedia. Penggunaan sedasi yang dalam untuk
mengontrol usaha napas dan mencapai target volume tidal.
Prediksi peningkatan mortalitas pada ARDS lebih akurat
menggunakan tekanan driving yang tinggi (tekanan
plateau−PEEP) di bandingkan dengan volume tidal atau tekanan
plateau yang tinggi.
5) Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi dengan prone
position > 12 jam per hari

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 101


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat dianjurkan
untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS berat tetapi
membutuhkan sumber daya manusia dan keahlian yang cukup.
6) Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa
hipoperfusi jaringan
Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat mempersingkat
penggunaan ventilator.
7) Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat disarankan
menggunakan PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP rendah
Titrasi PEEP diperlukan dengan mempertimbangkan manfaat
(mengurangi atelektrauma dan meningkatkan rekrutmen alveolar)
dan risiko (tekanan berlebih pada akhir inspirasi yang
menyebabkan cedera parenkim paru dan resistensi vaskuler
pulmoner yang lebih tinggi). Untuk memandu titrasi PEEP
berdasarkan pada FiO2 yang diperlukan untuk mempertahankan
SpO2. Intervensi recruitment manoueuvers (RMs) dilakukan
secara berkala dengan CPAP yang tinggi [30-40 cm H2O],
peningkatan PEEP yang progresif dengan tekanan driving yang
konstan, atau tekanan driving yang tinggi dengan
mempertimbangkan manfaat dan risiko.
8) Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2 <150) tidak
dianjurkan secara rutin menggunakan obat pelumpuh otot.
9) Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra Corporal Life
Support (ECLS), dapat dipertimbangkan penggunaannya ketika
menerima rujukan pasien dengan hipoksemi refrakter meskipun
sudah mendapat lung protective ventilation.
Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan
penggunaan ECLS pada pasien ARDS, namun ada penelitian
bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.
10) Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan pasien
karena dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan atelektasis.
Gunakan sistem closed suction kateter dan klem endotrakeal
tube ketika terputusnya hubungan ventilasi mekanik dan pasien
(misalnya, ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang
portabel).

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 102


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
b. Manajemen Syok Septik
1) Kenali tanda syok septik
a) Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah
dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan vasopresor
untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg dan kadar laktat
serum> 2 mmol/L.
b) Pasien anak: hipotensi (Tekanan Darah Sistolik (TDS) <
persentil 5 atau >2 standar deviasi (SD) di bawah normal usia)
atau terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status
mental/kesadaran; takikardia atau bradikardia (HR <90
x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR <70x/menit atau
>150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler
yang memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan
bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam petekie atau
purpura; peningkatan laktat; oliguria; hipertermia atau
hipotermia.
Keterangan: Apabila tidak ada pemeriksaan laktat, gunakan
MAP dan tanda klinis gangguan perfusi untuk deteksi syok.
Perawatan standar meliputi deteksi dini dan tatalaksana dalam
1 jam; terapi antimikroba dan pemberian cairan dan
vasopresor untuk hipotensi. Penggunaan kateter vena dan
arteri berdasarkan ketersediaan dan kebutuhan pasien.
2) Resusitasi syok septik pada dewasa: berikan cairan kristaloid
isotonik 30 ml/kg.
3) Resusitasi syok septik pada anak-anak: pada awal berikan bolus
cepat 20 ml/kg kemudian tingkatkan hingga 40-60 ml/kg dalam 1
jam pertama.
4) Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau gelatin untuk
resusitasi.
5) Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan cairan dan gagal
napas. Jika tidak ada respon terhadap pemberian cairan dan
muncul tanda-tanda kelebihan cairan (seperti distensi vena jugularis,
ronki basah halus pada auskultasi paru, gambaran edema paru
pada foto toraks, atau hepatomegali pada anak-anak) maka kurangi
atau hentikan pemberian cairan.
a) Kristaloid yang diberikan berupa salin normal dan Ringer
laktat. Penentuan kebutuhan cairan untuk bolus tambahan
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 103
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
(250-1000 ml pada orang dewasa atau 10-20 ml/kg pada
anak-anak) berdasarkan respons klinis dan target perfusi.
Target perfusi meliputi MAP >65 mmHg atau target sesuai
usia pada anak-anak, produksi urin (>0,5 ml/kg/jam pada
orang dewasa, 1 ml/kg/jam pada anak-anak), dan
menghilangnya mottled skin, perbaikan waktu pengisian
kembali kapiler, pulihnya kesadaran, dan turunnya kadar
laktat.
b) Pemberian resusitasi dengan kanji lebih meningkatkan risiko
kematian dan acute kidney injury (AKI) dibandingkan dengan
pemberian kristaloid. Cairan hipotonik kurang efektif dalam
meningkatkan volume intravaskular dibandingkan dengan
cairan isotonik. Surviving Sepsis menyebutkan albumin dapat
digunakan untuk resusitasi ketika pasien membutuhkan
kristaloid yang cukup banyak, tetapi rekomendasi ini belum
memiliki bukti yang cukup (low quality evidence).
6) Vasopresor diberikan ketika syok tetap berlangsung meskipun
sudah diberikan resusitasi cairan yang cukup. Pada orang dewasa
target awal tekanan darah adalah MAP ≥65 mmHg dan pada anak
disesuaikan dengan usia.
Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor dapat diberikan
melalui intravena perifer, tetapi gunakan vena yang besar dan
pantau dengan cermat tanda-tanda ekstravasasi dan nekrosis
jaringan lokal. Jika ekstravasasi terjadi, hentikan infus. Vasopresor
juga dapat diberikan melalui jarum intraoseus.
7) Pertimbangkan pemberian obat inotrop (seperti dobutamine) jika
perfusi tetap buruk dan terjadi disfungsi jantung meskipun tekanan
darah sudah mencapai target MAP dengan resusitasi cairan dan
vasopresor.
a) Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin, vasopresin, dan
dopamin) paling aman diberikan melalui kateter vena sentral
tetapi dapat pula diberikan melalui vena perifer dan jarum
intraoseus. Pantau tekanan darah sesering mungkin dan
titrasi vasopressor hingga dosis minimum yang diperlukan
untuk mempertahankan perfusi dan mencegah timbulnya
efek samping.
b) Norepinefrin dianggap sebagai lini pertama pada pasien
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 104
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan
untuk mencapai target MAP. Dopamine hanya diberikan
untuk pasien bradikardia atau pasien dengan risiko rendah
terjadinya takiaritmia. Pada anak-anak dengan cold shock
(lebih sering), epinefrin dianggap sebagai lini pertama,
sedangkan norepinefrin digunakan pada pasien dengan
warm shock (lebih jarang).

Pasien dengan dengan status Suspek atau Probabel yang di curigai sebagai
COVID-19 dengan kriteria sakit ringan, sakit sedang, sakit berat atau kondisi kritis
ditatalaksana seperti pasien terkonfirmasi COVID-19 sampai terbukti bukan
COVID-19.

5. 5. Pencegahan Komplikasi
Terapkan tindakan berikut untuk mencegah komplikasi pada pasien dengan gejala
berat/kritis terdapat pada tabel 5.3 dibawah.

Tabel 5. 3 Pencegahan Kompikasi


Antisipasi Dampak Tindakan

- Protokol penyapihan meliputi penilaian


harian kesiapan untuk bernapas
spontan

- Lakukan pemberian sedasi berkala atau


Mengurangi lamanya hari penggunaan ventilasi
kontinyu yang minimal, titrasi untuk
mekanik invasif (IMV)
mencapai target khusus (walaupun
begitu sedasi ringan merupakan
kontraindikasi) atau dengan interupsi
harian dari pemberian infus sedasi
kontinyu

- Intubasi oral adalah lebih baik daripada


intubasi nasal pada remaja dan dewasa
- Pertahankan pasien dalam posisi semi-
recumbent (naikkan posisi kepala
pasien sehingga membentuk sudut 30-
Mengurangi terjadinya ventilator-associated
pneumonia (VAP) 450)
- Gunakan sistem closed suctioning,
kuras dan buang kondensat dalam pipa
secara periodik
- Setiap pasien menggunakan sirkuit
ventilator yang baru; pergantian sirkuit

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 105


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Antisipasi Dampak Tindakan

dilakukan hanya jika kotor atau rusak


- Ganti alat heat moisture exchanger
(HME) jika tidak berfungsi, ketika kotor
atau setiap 5-7 hari
- Gunakan obat profilaksis (low
molecular-weight heparin, bila tersedia
atau heparin 5000 unit subkutan dua kali
sehari) pada pasien remaja dan dewasa
bila tidak ada kontraindikasi.
Mengurangi terjadinya tromboemboli vena
- Bila terdapat kontraindikasi, gunakan
perangkat profilaksis mekanik seperti
intermiten pneumatic compression
device.

Gunakan checklist sederhana pada


pemasangan kateter IV sebagai pengingat
Mengurangi terjadinya infeksi terkait catheter- untuk setiap langkah yang diperlukan agar
related bloodstream pemasangan tetap steril dan adanya
pengingat setiap harinya untuk melepas
kateter jika tidak diperlukan

Posisi pasien miring ke kiri-kanan bergantian


Mengurangi terjadinya ulkus karena tekanan
setiap dua jam

- Berikan nutrisi enteral dini (dalam waktu


24-48 jam pertama)
- Berikan histamin-2 receptor blocker atau
Mengurangi terjadinya stres ulcer dan proton-pump inhibitors. Faktor risiko
pendarahan saluran pencernaan yang perlu diperhatikan untuk terjadinya
perdarahan saluran pencernaan
termasuk pemakaian ventilasi mekanik
≥48 jam, koagulopati, terapi sulih ginjal,
penyakit hati, komorbid ganda, dan skor
gagal organ yang tinggi
Mengurangi terjadinya kelemahan akibat
Mobilisasi dini apabila aman untuk dilakukan.
perawatan di ICU

5. 6. Pengobatan Spesifik Anti-COVID-19


Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 yang direkomendasikan
untuk pasien konfirmasi COVID-19.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 106


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
5. 7. Evaluasi Akhir Status Klinis Pasien COVID-19
Evaluasi status klinis pasien yang dilakukan oleh FKTP atau rumah sakit antara lain:

5. 7. 1. Selesai Isolasi
Kriteria pasien konfirmasi yang dinyatakan selesai isolasi, sebagai berikut:

a) Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)


Pasien konfirmasi asimptomatik tidak dilakukan pemeriksaan follow up
RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi apabila sudah menjalani isolasi
mandiri selama 10 hari sejak pengambilan spesimen diagnosis
konfirmasi.

b) Kasus konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang


Pasien konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang tidak
dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR. Dinyatakan selesai isolasi
harus dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3
hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan
pernapasan.

c) Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah sakit


1) Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di rumah
sakit dinyatakan selesai isolasi apabila telah mendapatkan hasil
pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif ditambah minimal 3
hari tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan
pernapasan.
2) Dalam hal pemeriksaan follow up RT-PCR tidak dapat dilakukan,
maka pasien kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang
dirawat di rumah sakit yang sudah menjalani isolasi selama 10 hari
sejak onset dengan ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan
gejala demam dan gangguan pernapasan, dinyatakan selesai
isolasi, dan dapat dialihrawat non isolasi atau dipulangkan.

5. 7. 2. Alih Rawat Non Isolasi


Proses alih rawat ke ruangan non isolasi diperuntukkan untuk pasien yang
sudah memenuhi kriteria selesai isolasi tetapi masih memerlukan perawatan
lanjutan untuk kondisi tertentu yang terkait dengan komorbid, co-insiden, dan
komplikasi. Proses alih rawat diputuskan berdasarkan hasil assessmen klinis
yang dilakukan oleh DPJP sesuai standar pelayanan dan/atau standar

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 107


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
prosedur operasional. Pasien tersebut sudah dinyatakan sembuh dari COVID-
19.

5. 7. 3. Sembuh
Pasien konfirmasi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, dan gejala
berat/kritis dinyatakan sembuh apabila telah memenuhi kriteria selesai isolasi
dan dikeluarkan surat pernyataan selesai pemantauan, berdasarkan penilaian
dokter di fasyankes tempat dilakukan pemantauan atau oleh DPJP.

Pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis dimungkinkan memiliki hasil


pemeriksaan follow up RT-PCR persisten positif, karena pemeriksaan RT-PCR
masih dapat mendeteksi bagian tubuh virus COVID-19 walaupun virus sudah
tidak aktif lagi (tidak menularkan lagi). Terhadap pasien tersebut, maka
penentuan sembuh berdasarkan hasil assessmen yang dilakukan oleh DPJP.

5. 7. 4. Pemulangan Pasien
Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila memenuhi
kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai berikut:
a. Hasil assesmen klinis menyeluruh termasuk diantaranya gambaran
radiologis menunjukkan perbaikan, pemeriksaan darah menunjukan
perbaikan, yang dilakukan oleh DPJP menyatakan pasien diperbolehkan
untuk pulang.
b. Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien, baik terkait
sakit COVID-19 ataupun masalah kesehatan lain yang dialami pasien.
DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan kembali pasien dalam
rangka masa pemulihan.

Khusus pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang sudah dipulangkan


tetap melakukan isolasi mandiri minimal 7 hari dalam rangka pemulihan dan
kewaspadaan terhadap munculnya gejala COVID-19, dan secara konsisten
menerapkan protokol kesehatan.

5. 7. 5. Pindah ke RS Rujukan
Pindah ke RS Rujukan apabila pasien memerlukan rujukan ke RS lain dengan
alasan yang terkait dengan tatalaksana COVID-19. Pelaporan hasil akhir

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 108


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
status pasien selesai isolasi, sembuh, meninggal, dilaporkan ke dinas
kesehatan kabupaten/kota setempat oleh RS pertama yang merawat.

5. 7. 6. Meninggal
a. Meninggal di rumah sakit selama perawatan COVID-19 pasien konfirmasi
atau probable maka pemulasaraan jenazah diberlakukan tatalaksana
COVID-19.
b. Meninggal di luar rumah sakit/Death on Arrival (DOA)
Bila pasien memiliki riwayat kontak erat dengan orang/pasien
terkonfirmasi COVID-19 maka pemulasaraan jenazah diberlakukan
tatalaksana COVID-19.

Ketentuan mengenai terapi dan penatalaksanaan klinis pasien COVID-19 serta


evaluasi akhir di atas berlaku juga untuk pasien dengan status kasus probable.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 109


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENULARAN

6. 1. Pencegahan dan Pengendalian di Masyarakat


Masyarakat memiliki peran penting dalam memutus mata rantai penularan
COVID-19 agar tidak menimbulkan sumber penularan baru. Mengingat cara
penularannya berdasarkan droplet infection dari individu ke individu, maka penularan
dapat terjadi baik di rumah, perjalanan, tempat kerja, tempat ibadah, tempat wisata
maupun tempat lain dimana terdapat orang berinteaksi sosial. Prinsipnya pencegahan
dan pengendalian COVID-19 di masyarakat dilakukan dengan:

6. 1. 1. Pencegahan penularan pada individu


Penularan COVID-19 terjadi melalui droplet yang mengandung virus SARS-
CoV-2 yang masuk ke dalam tubuh melalui hidung, mulut dan mata, untuk itu
pencegahan penularan COVID-19 pada individu dilakukan dengan beberapa
tindakan, seperti:
a. Membersihkan tangan secara teratur dengan cuci tangan pakai sabun
dan air mengalir selama 40-60 detik atau menggunakan cairan antiseptik
berbasis alkohol (handsanitizer) minimal 20 – 30 detik. Hindari
menyentuh mata, hidung dan mulut dengan tangan yang tidak bersih.
b. Menggunakan alat pelindung diri berupa masker yang menutupi hidung
dan mulut jika harus keluar rumah atau berinteraksi dengan orang lain
yang tidak diketahui status kesehatannya (yang mungkin dapat
menularkan COVID-19).
c. Menjaga jarak minimal 1 meter dengan orang lain untuk menghindari
terkena droplet dari orang yang yang batuk atau bersin. Jika tidak
memungkin melakukan jaga jarak maka dapat dilakukan dengan
berbagai rekayasa administrasi dan teknis lainnya.
d. Membatasi diri terhadap interaksi / kontak dengan orang lain yang tidak
diketahui status kesehatannya.
e. Saat tiba di rumah setelah bepergian, segera mandi dan berganti pakaian
sebelum kontak dengan anggota keluarga di rumah.
f. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan menerapkan pola hidup bersih
dan sehat (PHBS) seperti konsumsi gizi seimbang, aktivitas fisik minimal
30 menit sehari, istirahat yang cukup termasuk pemanfaatan kesehatan
tradisional. Pemanfaatan kesehatan tradisional, salah satunya dilakukan
dengan melaksanakan asuhan mandiri kesehatan tradisional melalui

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 110


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
pemanfaatan Taman Obat Keluarga (TOGA) dan akupresur, yang
meliputi;
1) Cara kesehatan tradisional untuk meningkatkan daya tahan tubuh

2) Cara kesehatan tradisional untuk meningkatkan nafsu makan

3) Cara kesehatan tradisional untuk mengatasi susah tidur

4) Cara kesehatan tradisional untuk mengatasi stress

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 111


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
5) Cara kesehatan tradisional untuk mengurangi keinginan merokok

g. Mengelola penyakit penyerta/komorbid agar tetap terkontrol


h. Mengelola kesehatan jiwa dan psikososial
Kondisi kesehatan jiwa dan kondisi optimal dari psikososial dapat
tingkatkan melalui:
1) Emosi positif: gembira, senang dengan cara melakukan kegiatan
dan hobi yang disukai, baik sendiri maupun bersama keluarga atau
teman dengan mempertimbangkan aturan pembatasan sosial
berskala besar di daerah masing-masing;
2) Pikiran positif: menjauhkan dari informasi hoax, mengenang semua
pengalaman yang menyenangkan, bicara pada diri sendiri tentang
hal yang positif (positive self-talk), responsif (mencari solusi)
terhadap kejadian, dan selalu yakin bahwa pandemi akan segera
teratasi;
3) Hubungan sosial yang positif: memberi pujian, memberi harapan
antar sesama, saling mengingatkan cara-cara positif, meningkatkan
ikatan emosi dalam keluarga dan kelompok, menghindari diskusi
yang negatif, tetap melakukan komunikasi secara daring dengan
keluarga dan kerabat.
Ketentuan teknis peningkatan kesehatan jiwa dan psikososial merujuk
pada pedoman dukungan kesehatan jiwa dan psikososial pada pandemi
COVID-19 yang disusun oleh Direktorat Pencegahan dan Pengendalian
Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA.
i. Apabila sakit menerapkan etika batuk dan bersin. Jika berlanjut segera
berkonsultasi dengan dokter/tenaga kesehatan.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 112


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
j. Menerapkan adaptasi kebiasaan baru dengan melaksanakan protokol
kesehatan dalam setiap aktivitas.

6. 1. 2. Perlindungan kesehatan pada masyarakat


COVID-19 merupakan penyakit yang tingkat penularannya cukup tinggi,
sehingga perlu dilakukan upaya perlindungan kesehatan masyarakat yang
dilakukan secara komprehensif. Perlindungan kesehatan masyarakat
bertujuan mencegah terjadinya penularan dalam skala luas yang dapat
menimbulkan beban besar terhadap fasyankes. Tingkat penularan COVID-19
di masyarakat dipengaruhi oleh adanya pergerakan orang, interaksi antar
manusia dan berkumpulnya banyak orang, untuk itu perlindungan kesehatan
masyarakat harus dilakukan oleh semua unsur yang ada di masyarakat baik
pemerintah, dunia usaha, aparat penegak hukum serta komponen masyarakat
lainnya. Adapun perlindungan kesehatan masyarakat dilakukan melalui,

a. Upaya pencegahan (prevent)


1) Kegiatan promosi kesehatan (promote) dilakukan melalui
sosialisasi, edukasi, dan penggunaan berbagai media informasi
untuk memberikan pengertian dan pemahaman bagi semua orang,
serta keteladanan dari pimpinan, tokoh masyarakat, dan melalui
media mainstream.
2) Kegiatan perlindungan (protect) antara lain dilakukan melalui
penyediaan sarana cuci tangan pakai sabun yang mudah diakses
dan memenuhi standar atau penyediaan handsanitizer, upaya
penapisan kesehatan orang yang akan masuk ke tempat dan
fasilitas umum, pengaturan jaga jarak, disinfeksi terhadap
permukaan, ruangan, dan peralatan secara berkala, serta
penegakkan kedisplinan pada perilaku masyarakat yang berisiko
dalam penularan dan tertularnya COVID-19 seperti berkerumun,
tidak menggunakan masker, merokok di tempat dan fasilitas umum
dan lain sebagainya.
b. Upaya penemuan kasus (detect)
1) Deteksi dini untuk mengantisipasi penyebaran COVID-19 dapat
dilakukan semua unsur dan kelompok masyarakat melalui
koordinasi dengan dinas kesehatan setempat atau fasyankes.
2) Melakukan pemantauan kondisi kesehatan (gejala demam, batuk,
pilek, nyeri tenggorokan, dan/atau sesak nafas) terhadap semua

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 113


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
orang yang berada di lokasi kegiatan tertentu seperti tempat kerja,
tempat dan fasilitas umum atau kegiatan lainnya.
c. Unsur penanganan secara cepat dan efektif (respond)
Melakukan penanganan untuk mencegah terjadinya penyebaran yang
lebih luas, antara lain berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat
atau fasyankes untuk melakukan pelacakan kontak erat, pemeriksaan
laboratorium serta penanganan lain sesuai kebutuhan. Penanganan
kesehatan masyarakat terkait respond adanya kasus COVID-19 meliputi:

1) Pembatasan Fisik dan Pembatasan Sosial


Pembatasan fisik harus diterapkan oleh setiap individu.
Pembatasan fisik merupakan kegiatan jaga jarak fisik (physical
distancing) antar individu yang dilakukan dengan cara:
a) Dilarang berdekatan atau kontak fisik dengan orang
mengatur jaga jarak minimal 1 meter, tidak bersalaman, tidak
berpelukan dan berciuman
b) Hindari penggunaan transportasi publik (seperti kereta, bus,
dan angkot) yang tidak perlu, sebisa mungkin hindari jam
sibuk ketika berpergian.
c) Bekerja dari rumah (Work from Home), jika memungkinkan
dan kantor memberlakukan ini
d) Dilarang berkumpul massal di kerumunan dan fasilitas umum
e) Hindari bepergian ke luar kota/luar negeri termasuk ke
tempat-tempat wisata
f) Hindari berkumpul teman dan keluarga, termasuk
berkunjung/bersilaturahmi/mengunjungi orang
sakit/melahirkan tatap muka dan menunda kegiatan
bersama. Hubungi mereka dengan telepon, internet, dan
media sosial
g) Gunakan telepon atau layanan online untuk menghubungi
dokter atau fasilitas lainnya
h) Jika anda sakit, dilarang mengunjungi orang tua/lanjut usia.
Jika anda tinggal satu rumah dengan mereka, maka hindari
interaksi langsung dengan mereka dan pakai masker kain
meski di dalam rumah
i) Untuk sementara waktu, anak sebaiknya bermain bersama
keluarganya sendiri di rumah

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 114


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
j) Untuk sementara waktu, dapat melaksanakan ibadah di
rumah
k) Jika terpaksa keluar harus menggunakan masker kain
l) Membersihkan /disinfeksi rumah, tempat usaha, tempat
kerja, tempat ibadah, kendaraan dan tempat tempat umum
secara berkala
m) Dalam adaptasi kebiasaan baru, maka membatasi jumlah
pengunjung dan waktu kunjungan, cek suhu pengunjung,
menyediakan tempat cuci tangan pakai sabun dan air
mengalir, pengecekan masker dan desinfeksi secara berkala
untuk mall dan tempat tempat umum lainnya
n) Memakai pelindung wajah dan masker kepada para
petugas/pedagang yang berinteraksi dengan banyak orang
Semua orang harus mengikuti ketentuan ini. Kami menghimbau
untuk mengikuti petunjuk ini dengan ketat dan membatasi tatap
muka dengan teman dan keluarga, khususnya jika Anda:
a) Berusia 60 tahun keatas
b) Memiliki penyakit komorbid (penyakit penyerta) seperti
diabetes melitus, hipertensi, kanker, asma dan Penyakit Paru
Obstruksi Kronik (PPOK) dan lain- lain
c) Ibu hamil

Pada suatu wilayah yang telah terjadi penularan COVID-19 di


komunitas, perlu dilakukan tindakan Pembatasan Sosial Berskala
Besar (PSBB) untuk mencegah kemungkinan penyebaran COVID-
I9 dengan tetap memperhatikan pembatasan fisik.
PSBB diberlakukan berdasarkan pada pertimbangan
epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber
daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan dan keamanan.
PSBB paling sedikit meliputi: meliburkan sekolah dan tempat
kerja; pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau pembatasan
kegiatan di tempat atau fasilitas umum. Selain itu, pembatasan
sosial juga dilakukan dengan meminta masyarakat untuk
mengurangi interaksi sosialnya dengan tetap tinggal di dalam
rumah maupun pembatasan penggunaan transportasi publik.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 115


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Penjelasan lebih lengkap mengenai PSBB mengacu pada
ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Penerapan Etika Batuk dan Bersin


Menerapkan etika batuk dan bersin meliputi:
a) Jika memiliki gejala batuk bersin, pakailah masker medis.
Gunakan masker dengan tepat, tidak membuka tutup masker
dan tidak menyentuh permukaan masker. Bila tanpa sengaja
menyentuh segera cuci tangan dengan sabun dan air
mengalir atau menggunakan pembersih tangan berbasis
alkohol
b) Jika tidak memiliki masker, saat batuk dan bersin gunakan tisu
lalu langsung buang tisu ke tempat sampah tertutup dan
segera cuci tangan dengan sabun dan air mengalir atau
menggunakan pembersih tangan berbasis alkohol
c) Jika tidak ada tisu, saat batuk dan bersin tutupi dengan lengan
atas bagian dalam

3) Isolasi Mandiri/Perawatan di Rumah


Isolasi mandiri atau perawatan di rumah dilakukan terhadap orang
yang bergejala ringan dan tanpa kondisi penyerta seperti (penyakit
paru, jantung, ginjal dan kondisi immunocompromise). Tindakan ini
dapat dilakukan pada pasien dalam pengawasan, orang dalam
pemantauan dan kontak erat yang bergejala dengan tetap
memperhatikan kemungkinan terjadinya perburukan. Beberapa
alasan pasien dirawat di rumah yaitu perawatan rawat inap tidak
tersedia atau tidak aman. Pertimbangan tersebut harus
memperhatikan kondisi klinis dan keamanan lingkungan pasien.
Pertimbangan lokasi dapat dilakukan di rumah, fasilitas umum, atau
alat angkut dengan mempertimbangkan kondisi dan situasi
setempat. Perlu dilakukan informed consent sebagaimana formulir
terlampir terhadap pasien yang melakukan perawatan rumah.
Penting untuk memastikan bahwa lingkungan tempat pemantauan
kondusif untuk memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis yang
diperlukan orang tersebut. Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum
yang dapat digunakan untuk pemantauan harus diidentifikasi dan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 116


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dievaluasi sebagai salah satu elemen kesiapsiagaan menghadapi
COVID-19. Evaluasi harus dilakukan oleh pejabat atau petugas
kesehatan masyarakat.
Selama proses pemantauan, pasien harus selalu proaktif
berkomunikasi dengan petugas kesehatan. Petugas kesehatan
yang melakukan pemantauan menggunakan APD minimal berupa
masker bedah dan sarung tangan karet sekali pakai (jika harus
kontak dengan cairan tubuh pasien). Prosedur pencegahan dan
pengendalian infeksi untuk isolasi di rumah:
a) Tempatkan pasien/orang dalam ruangan tersendiri yang
memiliki ventilasi yang baik (memiliki jendela terbuka, atau
pintu terbuka).
b) Batasi pergerakan dan minimalkan berbagi ruangan yang
sama. Pastikan ruangan bersama (seperti dapur, kamar
mandi) memiliki ventilasi yang baik.
c) Anggota keluarga yang lain sebaiknya tidur di kamar yang
berbeda, dan jika tidak memungkinkan maka jaga jarak
minimal 1 meter dari pasien (tidur di tempat tidur berbeda).
d) Batasi jumlah orang yang merawat pasien. Idealnya satu
orang yang benar-benar sehat tanpa memiliki gangguan
kesehatan lain atau gangguan kekebalan.
Pengunjung/penjenguk tidak diizinkan sampai pasien benar-
benar sehat dan tidak bergejala.
e) Lakukan hand hygiene (cuci tangan) segera setiap ada kontak
dengan pasien atau lingkungan pasien. Lakukan cuci tangan
sebelum dan setelah menyiapkan makanan, sebelum makan,
setelah dari kamar mandi, dan kapanpun tangan kelihatan
kotor. Jika tangan tidak tampak kotor dapat menggunakan
handsanitizer, dan untuk tangan yang kelihatan kotor
menggunakan air dan sabun.
f) Jika mencuci tangan menggunakan air dan sabun, handuk
kertas sekali pakai direkomendasikan. Jika tidak tersedia bisa
menggunakan handuk bersih dan segera ganti jika sudah
basah.
g) Pasien menggunakan masker bedah jika berada di sekitar
orang-orang yang berada di rumah atau ketika mengunjungi
fasyankes untuk mencegah penularan melalui droplet. Anak
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 117
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
berusia 2 tahun ke bawah tidak dianjurkan menggunakan
masker.
h) Orang yang memberikan perawatan menggunakan masker
bedah terutama jika berada dalam satu ruangan dengan
pasien. Masker tidak boleh dipegang selama digunakan. Jika
masker kotor atau basah segera ganti dengan yang baru.
Buang masker dengan cara yang benar (jangan disentuh
bagian depan, tapi mulai dari bagian belakang dengan
memegang tali masker). Buang masker bedah segera dan
segera cuci tangan.
i) Gunakan sarung tangan dan masker bedah jika harus
memberikan perawatan mulut atau saluran nafas dan ketika
kontak dengan darah, tinja, air kencing atau cairan tubuh
lainnya seperti ludah, dahak, muntah dan lain-lain. Cuci
tangan sebelum dan sesudah membuang sarung tangan dan
masker.
j) Jangan gunakan masker atau sarung tangan yang telah
terpakai.
k) Pisahkan alat makan untuk pasien (cuci dengan sabun dan air
hangat setelah dipakai agar dapat digunakan kembali).
l) Bersihkan permukaan di sekitar pasien termasuk toilet dan
kamar mandi secara teratur. Sabun atau detergen rumah
tangga dapat digunakan, kemudian larutan NaOCl 0.5%
(setara dengan 1 bagian larutan pemutih dan 9 bagian air).
m) Cuci pakaian, seprai, handuk, masker kain pasien
menggunakan sabun cuci rumah tangga dan air atau
menggunakan mesin cuci dengan suhu air 60-900C dengan
detergen dan keringkan. Tempatkan pada kantong khusus
dan jangan digoyang-goyang, dan hindari kontak langsung
kulit dan pakaian dengan bahan-bahan yang terkontaminasi.
Menggunakan sarung tangan saat mencuci dan selalu
mencuci tangan sebelum dan setelah menggunakan sarung
tangan.
n) Sarung tangan, masker dan bahan-bahan sisa lain selama
perawatan harus dibuang di tempat sampah di dalam ruangan
pasien yang kemudian ditutup rapat sebelum dibuang sebagai
kotoran infeksius.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 118
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
o) Hindari kontak dengan barang-barang terkontaminasi lainya
seperti sikat gigi, alat makan-minum, handuk, pakaian dan
sprei.
p) Ketika petugas kesehatan memberikan pelayanan kesehatan
rumah, maka selalu perhatikan APD dan ikut rekomendasi
pencegahan penularan penyakit melalui droplet.

4) Pelaksanaan Tindakan Karantina Terhadap Populasi Berisiko


Tindakan karantina dilakukan untuk mengurangi risiko penularan
dan identifikasi dini COVID-19 melalui upaya memisahkan individu
yang sehat atau belum memiliki gejala COVID-19, tetapi memiliki
riwayat kontak dengan pasien konfirmasi COVID-19 atau memiliki
riwayat bepergian ke wilayah yang sudah terjadi transmisi lokal.
Tindakan karantina dilakukan terhadap populasi berisiko seperti
kontak erat dan pelaku perjalanan dari luar negeri.

Karantina dilakukan terhadap kontak erat untuk mewaspadai


munculnya gejala sesuai definisi operasional. Lokasi karantina
dapat dilakukan di rumah, fasilitas umum, atau alat angkut dengan
mempertimbangkan kondisi dan situasi setempat. Penting untuk
memastikan bahwa lingkungan tempat pemantauan kondusif untuk
memenuhi kebutuhan fisik, mental, dan medis yang diperlukan
orang tersebut. Idealnya, satu atau lebih fasilitas umum yang dapat
digunakan untuk observasi harus diidentifikasi dan dievaluasi
sebagai salah satu elemen kesiapsiagaan menghadapi COVID-19.
Evaluasi harus dilakukan oleh pejabat atau petugas kesehatan
masyarakat.

Setiap akan melakukan karantina maka harus mengkomunikasikan


dan mensosialisasikan tindakan yang akan dilakukan dengan
benar, untuk mengurangi kepanikan dan meningkatkan kepatuhan:

a) Masyarakat harus diberikan pedoman yang jelas, transparan,


konsisten, dan terkini serta diberikan informasi yang dapat
dipercaya tentang tindakan karantina
b) Keterlibatan masyarakat sangat penting jika tindakan
karantina harus dilakukan
c) Orang yang di karantina perlu diberi perawatan kesehatan,
dukungan sosial dan psikososial, serta kebutuhan dasar
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 119
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
termasuk makanan, air dan kebutuhan pokok lainnya.
Kebutuhan populasi rentan harus diprioritaskan
d) Faktor budaya, geografis dan ekonomi mempengaruhi
efektivitas karantina. Penilaian cepat terhadap faktor lokal
harus dianalisis, baik berupa faktor pendorong keberhasilan
maupun penghambat proses karantina

Pada pelaksanaan karantina harus memastikan hal-hal sebagai


berikut:

a) Tata cara dan perlengkapan selama masa karantina


Tata cara karantina meliputi:
(1) Orang-orang ditempatkan di ruang dengan ventilasi
cukup serta kamar tersendiri yang dilengkapi dengan
toilet. jika kamar tersendiri tidak tersedia pertahankan
jarak minimal 1 meter dari penghuni rumah lain.
meminimalkan penggunaan ruang bersama dan
penggunaan peralatan makan bersama, serta
memastikan bahwa ruang bersama (dapur, kamar
mandi) memiliki ventilasi yang baik
(2) Pengendalian infeksi lingkungan yang sesuai, seperti
ventilasi udara yang memadai, sistem penyaringan dan
pengelolaan limbah
(3) Pembatasan jarak sosial (lebih dari 1 meter) terhadap
orang-orang yang di karantina
(4) Akomodasi dengan tingkat kenyamanan yang sesuai
termasuk:
(a) Penyediaan makanan, air dan kebersihan;
(b) Perlindungan barang bawaan;
(c) Perawatan medis;
(d) Komunikasi dalam bahasa yang mudah dipahami
mengenai: hak-hak mereka; ketentuan yang akan
disediakan; berapa lama mereka harus tinggal;
apa yang akan terjadi jika mereka sakit; informasi
kontak kedutaan bagi Warga Negara Asing.
(5) Bantuan bagi para pelaku perjalanan
(6) Bantuan komunikasi dengan anggota keluarga;

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 120


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
(7) Jika memungkinkan, akses internet, berita dan hiburan;
(8) Dukungan psikososial; dan
(9) Pertimbangan khusus untuk individu yang lebih tua dan
individu dengan kondisi komorbid, karena berisiko
terhadap risiko keparahan penyakit COVID-19.

b) Tindakan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Minimal


Berikut langkah-langkah pencegahan dan pengendalian
infeksi yang harus digunakan untuk memastikan lingkungan
aman digunakan sebagai tempat karantina
(1) Deteksi dini dan pengendalian
(a) Setiap orang yang dikarantina dan mengalami
demam atau gejala sakit pernapasan lainnya harus
diperlakukan sebagai suspek COVID-19
(b) Terapkan tindakan pencegahan standar untuk
semua orang dan petugas
(2) Cuci tangan sesering mungkin, terutama setelah kontak
dengan saluran pernapasan, sebelum makan, dan
setelah menggunakan toilet. Cuci tangan dapat dilkukan
dengan sabun dan air atau dengan handsanitizer yang
mengandung minimal alkohol 70 %. Penggunaan
handsanitizer yang mengandung alkohol lebih
disarankan jika tangan tidak terlihat kotor. Bila tangan
terlihat kotor, cucilah tangan menggunakan sabun dan
air
(3) Pastikan semua orang yang diobservasi menerapkan
etika batuk
(4) Jangan menyentuh mulut, hidung dan mata
(5) Pengendalian Administratif
Pengendalian administratif meliputi:
(a) Pembangunan infrastruktur PPI yang
berkelanjutan (desain fasilitas) dan kegiatan
(b) Memberikan edukasi pada orang yang diobservasi
tentang PPI. Semua petugas yang bekerja perlu
dilatih tentang tindakan pencegahan standar
sebelum pengendalian karantina dilaksanakan.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 121


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Saran yang sama tentang tindakan pencegahan
standar harus diberikan kepada semua orang
pada saat kedatangan. Petugas dan orang yang
diobservasi harus memahami pentingnya segera
mencari pengobatan jika mengalami gejala
(c) Membuat kebijakan tentang pengenalan awal dan
rujukan dari kasus COVID- 19
(6) Pengendalian Lingkungan
Prosedur pembersihan dan disinfeksi lingkungan harus
diikuti dengan benar dan konsisten. Petugas kebersihan
perlu diedukasi dan dilindungi dari infeksi COVID-19 dan
petugas kebersihan harus memastikan bahwa
permukaan lingkungan dibersihkan secara teratur
selama periode observasi:
(a) Bersihkan dan disinfeksi permukaan yang sering
disentuh seperti meja, rangka tempat tidur, dan
perabotan kamar tidur lainnya setiap hari dengan
disinfektan rumah tangga yang mengandung
larutan pemutih encer (pemutih 1 bagian hingga 99
bagian air). Untuk permukaan yang tidak
mentolerir pemutih maka dapat menggunakan
etanol 70%
(b) Bersihkan dan disinfeksi permukaan kamar mandi
dan toilet setidaknya sekali sehari dengan
disinfektan rumah tangga yang mengandung
larutan pemutih encer (1 bagian cairan pemutih
dengan 99 bagian air)
(c) Membersihkan pakaian, seprai, handuk mandi,
dan lain-lain, menggunakan sabun cuci dan air
atau mesin cuci di 60–90°C dengan deterjen biasa
dan kering
(d) Harus mempertimbangkan langkah-langkah untuk
memastikan sampah dibuang di TPA yang
terstandar, dan bukan di area terbuka yang tidak
diawasi
(e) Petugas kebersihan harus mengenakan sarung
tangan sekali pakai saat membersihkan atau
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 122
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
menangani permukaan, pakaian atau linen yang
terkotori oleh cairan tubuh, dan harus melakukan
kebersihan tangan sebelum dan sesudah melepas
sarung tangan.

6. 2. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes


6. 2. 1. Prinsip Pencegahan dan Pengendalian Faktor Risiko COVID-19 di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan
Untuk meminimalkan risiko terjadinya pajanan virus SARS-CoV-2 kepada
petugas kesehatan dan non kesehatan, pasien dan pengunjung di fasilitas
pelayanan kesehatan, perlu diperhatikan prinsip pencegahan dan
pengendalian risiko penularan sebagai berikut:
a. Menerapkan kewaspadaan isolasi untuk semua pasien
b. Menerapkan pengendalian administrasi
c. Melakukan pendidikan dan pelatihan

6. 2. 2. Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan
Strategi PPI untuk mencegah atau memutuskan rantai penularan infeksi
COVID-19 di fasilitas pelayanan kesehatan dapat dicapai dengan penerapan
prinsip pencegahan dan pengendalian risiko penularan COVID-19.
a. Penerapan Kewaspadaan Isolasi
Kewaspadaan isolasi terdiri dari kewaspadaan standar dan
kewaspadaan transmisi.
1) Kewaspadaan Standar
Kewaspadaan Standar terdiri dari:
a) Kebersihan Tangan/Hand Hygiene
(1) Kebersihan tangan dilakukan pada kondisi dibawah ini
sesuai 5 moment WHO:
(a) Sebelum menyentuh pasien
(b) Sebelum melakukan tindakan aseptik
(c) Setelah kontak atau terpapar dengan cairan tubuh
(d) Setelah menyentuh pasien
(e) Setelah menyentuh lingkungan sekitar pasien
(2) Selain itu, kebersihan tangan juga dilakukan pada saat:
(a) Melepas sarung tangan steril

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 123


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
(b) Melepas APD
(c) Setelah kontak dengan permukaan benda mati
dan objek termasuk peralatan medis
(d) Setelah melepaskan sarung tangan steril.
(e) Sebelum menangani obat-obatan atau
menyiapkan makanan
(3) Kebersihan tangan dilakukan sebagai berikut:
(a) Kebersihan tangan dengan sabun dan air mengalir
apabila terlihat kotor atau terkontaminasi oleh
darah atau cairan tubuh lainnya atau setelah
menggunakan toilet
(b) Penggunaan handrub berbasis alkohol dipilih
untuk antiseptik tangan rutin pada semua situasi
(4) Cara melakukan Kebersihan tangan:
(a) Kebersihan tangan dengan alkohol handrub
selama 20-30 detik bila tangan tidak tampak kotor

Gambar 6. 1. Kebersihan Tangan dengan Handrub


(sesuai dengan ketentuan Permenkes Nomor 27 Tahun 2017
Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan)

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 124


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
(b) Kebersihan tangan dengan mencuci tangan di air
mengalir pakai sabun selama 40-60 detik bila
tangan tampak kotor

Gambar 6. 2. Kebersihan Tangan dengan Sabun dan Air


(sesuai dengan ketentuan Permenkes Nomor 27 Tahun 2017
Tentang Pedoman Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan)

b) Alat Pelindung Diri (APD)


APD dipakai untuk melindungi petugas atau pasien dari
paparan darah, cairan tubuh sekresi maupun ekskresi yang
terdiri dari sarung tangan, masker bedah atau masker N95,
gaun, apron, pelindung mata (goggles), faceshield (pelindung
wajah), pelindung/penutup kepala dan pelindung kaki.
(1) Penggunaan Alat Pelindung Diri memerlukan 4 unsur
yang harus dipatuhi:
(a) Tetapkan indikasi penggunaan APD
mempertimbangkan risiko terpapar dan dinamika
transmisi:
➢ Transmisi penularan COVID-19 ini adalah
droplet dan kontak: Gaun, sarung tangan,
masker bedah, penutup kepala, pelindung
mata (goggles), sepatu pelindung

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 125


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
➢ Transmisi airborne bisa terjadi pada tindakan
yang memicu terjadinya aerosol: Gaun,
sarung tangan, masker N95, penutup kepala,
goggles, face shield, sepatu pelindung
(b) Cara “memakai” dengan benar
(c) Cara “melepas” dengan benar
(d) Cara mengumpulkan (disposal) yang tepat setelah
dipakai
(2) Hal – hal yang harus dilakukan pada penggunaan APD:
(a) Melepaskan semua aksesoris di tangan seperti
cincin, gelang dan jam tangan
(b) Menggunakan baju kerja/ scrub suit sebelum
memakai APD
(c) Melakukan kebersihan tangan sebelum dan
setelah memakai APD
(d) Menggunakan sarung tangan saat melakukan
perawatan kepada pasien
(e) Melepaskan sarung tangan setelah selesai
melakukan perawatan di dekat pasien dan lakukan
kebersihan tangan
(f) Memakai APD di anteroom atau ruang khusus.
APD dilepas di area kotor segera setelah
meninggalkan ruang perawatan
(g) Menggunakan masker N95 pada saat melakukan
tindakan yang menimbulkan aerosol
(h) Mengganti googles atau faceshield pada saat
sudah kabur/kotor
(i) Mandi setelah melepaskan APD dan mengganti
dengan baju bersih
(3) Hal-hal yang tidak boleh dilakukan pada penggunaan
APD
(a) Menyentuh mata, hidung dan mulut saat
menggunakan APD
(b) Menyentuh bagian depan masker
(c) Mengalungkan masker di leher
(d) Menggantung APD di ruangan kemudian
mengunakan kembali
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 126
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
(e) Menggunakan APD keluar dari area perawatan
(f) Membuang APD dilantai
(g) Menggunakan sarung tangan berlapis saat
bertugas apabila tidak dibutuhkan
(h) Menggunakan sarung tangan terus menerus tanpa
indikasi
(i) Menggunakan sarung tangan saat menulis,
memegang rekam medik pasien, memegang
handle pintu, memegang HP
(j) Melakukan kebersihan tangan saat masih
menggunakan sarung
Untuk informasi terkait alat pelindung diri dapat mengacu pada
Petunjuk Teknis Alat Pelindung Diri Dalam Menghadapi Wabah
COVID-19 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan Tahun 2020.

c) Kebersihan Pernafasan
(1) Perhatikan etika batuk atau bersin
(2) Gunakan masker kain /masker bedah apabila
mengalami ganguan system pernafasan.
(3) Apabila tidak ada masker, maka tutup mulut dan hidung
menggunakan tissue / menggunakan lengan atas
bagian dalam saat batuk atau bersn. Tissue segera
buang ke tempat sampah tertutup
(4) lakukan kebersihan tangan setelah kontak dengan
sekret pernafasan
(5) Pisahkan penderita dengan infeksi pernafasan idealnya
> 1meter di ruang tunggu Fasyankes
d) Kebersihan Lingkungan
(1) Lakukan prosedur pembersihan dan desinfeksi seara
rutin sekitar lingkungan dengan cara mengelap seluruh
permukaan lingkungan ruangan dan pengepelan lantai
ruangan dengan menggunakan cairan detergen
kemudian bersihkan dengan air bersih selanjutnya
menggunakan klorin 0.05 %. Cairan pembersih harus
diganti setelah digunakan di area perawatan pasien
COVID-19.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 127


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
(2) Aplikasi desinfektan ke permukaan lingkungan secara
rutin di dalam ruangan dengan penyemprotan atau
fogging tidak direkomendasikan
e) Penanganan Linen
(1) Semua linen di ruang perawatan COVID-19 dianggap
infeksius yang dibagi menjadi dua yaitu linen kotor tidak
ternoda darah atau cairan tubuh dan linen ternoda
darah atau cairan tubuh.
(2) Pisahkan linen kotor ternoda darah dan cairan tubuh
dengan linen kotor tanpa noda darah dan cairan tubuh,
masukan kewadah infeksius yang tertutup dan diberi
label. Semua linen harus dikemas (dimasukan dalam
plastik infeksius) didalam ruang perawatan pasien
(3) Ganti linen setiap satu atau dua hari atau jika kotor dan
sesuai dengan kebijakan rumah sakit
(4) Linen harus ditangani dan diproses khusus untuk
mencegah kontak langsung dengan kulit dan membaran
mukosa petugas, mengkontaminasi pakaian petugas
dan lingkungan
(5) Gunakan APD yang sesuai dengan risiko saat
menangani linen infeksius
(6) Tempatkan linen bersih pada lemari tertutup, dan tidak
bercampur dengan peralatan lainnya
f) Tatalaksana Limbah
(1) Limbah pasien COVID-19 dianggap sebagai limbah
infeksius dan penatalaksanaan sama seperti limbah
infeksius lainya
(2) Segera buang limbah yang dihasilkan, ke tempat
pembuangan limbah sesuai kebijakan dan SOP
(3) Pertahankan tempat limbah tidak lebih mencapai 3/4
penuh sudah dibuang
(4) Pertahankan kebersihan kontainer sampah senantiasa
bersih
Pengelolaan limbah medis dapat mengacu pada Pedoman
Pengelolaan Limbah Rumah Sakit Rujukan, Rumah Sakit
Darurat dan Puskesmas yang Menangani COVID-19 yang
dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat,
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 128
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Kementerian Kesehatan Tahun 2020, dan peraturan yang
ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

g) Desinfeksi Peralatan Perawatan Pasien Berdasarkan


Jenisnya
(1) Peralatan kritikal
Peralatan kritikal adalah peralatan yang masuk kedalam
pembuluh darah dan jaringan steril, risiko infeksnya
tinggi, maka peralatan ini harus dilakukan pemrosesan
sterilisasi, contohnya instrument bedah, intravena
kateter vena, kateter jantung, jarum suntik, dialyser.
(2) Peralatan semi kritikal
Peralatan semi kritikal adalah peralatan yang masuk
kedalam membrane mukosa, risiko infeksinya sedang,
maka alat ini harus melalui disinfeksi tingkat tinggi (DTT)
contoh alatnya ETT, spekulum telinga, hidung, vagina,
mulut, spatel dan lain-lain.
(3) Peralatan non kritikal
Peralatan non kritikal adalah peralatan yang hanya
menyentuh sekitar permukaan tubuh, risiko infeksinya
kecil bahkan tidak ada, namun demikian peralatan ini
melalui pemrosesan dekontaminasi pembersihan
setelah dipakai oleh pasien, jika terkontaminasi darah,
caian tubuh sekresi dan ekskresi harus di lakukan
pemrosesan disinfeksi tingkat rendah dengan larutan
klorin 0,05%, alkohol 70% dan air dan deterjen sesuai
indikasi.

h) Praktik Menyuntik yang Aman


(1) Menggunakan jarum suntik sekali pakai
(2) Segera buang jarum suntik yang sudah dipakai ke
tempat benda tajam tahan tusuk dan tahan air
(3) Obat suntikan kalau sudah dilarutkan harus segera
diberikan

2) Kewaspadaan Transmisi
Kewaspadaan transmisi dapat dibagi menjadi tiga yaitu: droplet,

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 129


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
kontak, dan airborne. Penerapan kewaspadaan berdasarkan
transmisi antara lain:
a) Melakukan triase dengan melakukan penyaringan dipintu
masuk ruang penerimaan pasien baru.
b) Pemisahan antara pasien dengan gangguan sistem
pernapasan dan tidak dengan gangguan sistem pernapasan
(1) Pasien dengan gangguan sistem pernapasan
dimasukkan dalam ruangan khusus dan pastikan agar
alur gerak pasien dan staf tetap satu arah. Petugas
kesehatan yang melakukan pemeriksaan menggunakan
APD standar (gaun, masker bedah, pelindung
mata/wajah dengan kacamata atau faceshield, dan
sarung tangan).
(2) Pasien bukan dengan gangguan pernapasan boleh
langsung masuk ke ruang tunggu pasien poliklinik
umum, pasien dan petugas cukup menggunakan
masker bedah.
c) Memberi penanda khusus untuk mengatur jarak minimal 1
meter di lokasi-lokasi antrian pasien/pengunjung.
d) Membuat penghalang fisik (barrier) antara petugas dan
pengunjung. Pembatas terbuat dari kaca atau mika dan dapat
dipasang pada: loket pendaftaran, apotek, penerimaan
spesimen, kasir, dan lain-lain.
e) Mengatur penempatan posisi meja konsultasi, tempat tidur
periksa dan kursi pasien dengan tenaga kesehatan, dan lain -
lain yang mencegah aliran udara dari pasien ke
pemeriksa/petugas.
f) Menempatkan kasus suspek atau terkonfirmasi positif di
ruang Isolasi:
(1) Pasien COVID-19 dengan menggunakan ruangan
tersendiri jika memungkinkan atau melakukan kohorting
dengan memberi jarak tempat tidur minimal 1 meter - 1.8
meter dengan ventilasi yang baik. Apabila
menggunakan ventilasi natural, ventilasi yang adekuat
sebesar 60L/s per pasien.
(2) Ruangan tidak harus tekanan negatif kecuali pasien
dengan penyakit penyerta yang lain/ komorbid dan
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 130
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
kondisi menurun dengan pemasangan alat dan tindakan
yang berisiko menghasilkan aerosol dan menimbulkan
airborne, maka wajib ditempatkan di ruang isolasi
dengan tekanan negatif.
g) Petugas kesehatan yang memberikan perawatan untuk
pasien sebaiknya ditetapkan untuk mengurangi transmisi.

b. Pengendalian Administratif
1) Memastikan penerapan jaga jarak minimal 1 meter dapat
diterapkan di semua area fasyankes.
2) Melakukan pelarangan pengunjung dan penunggu pada pasien
dewasa kasus suspek, kasus probable atau terkonfirmasi positif
COVID-19.
3) Mengorganisir logistik APD agar persediaan digunakan dengan
benar.
4) Membuat kebijakan tentang kesehatan dan perlindungan petugas
kesehatan seperti:
a) Petugas kesehatan dalam keadaan sehat, apabila sakit
tidak boleh bekerja.
b) Pengaturan waktu kerja maksimal 40 jam seminggu dengan
waktu kerja harian 7-8 jam dan tidak melebihi 12 jam.
c) Memantau aspek kesehatan pekerja dengan penekanan
pada surveilans ISPA pada petugas kesehatan.
d) Pemantauan kesehatan pada petugas kesehatan secara
berkala sesuai indikasi medis.
e) Melakukan penilaian kelaikan kerja untuk petugas dengan
komorbid dan kondisi khusus seperti kehamilan, sebelum
ditugaskan memberikan pelayanan pasien COVID-19.
f) Melakukan penilaian kembali bekerja (return to work) pada
petugas pasca sakit.
g) Memastikan adanya jaminan kesehatan dan jaminan
kecelakaan kerja bagi petugas di fasyankes.
h) Melakukan penentuan Penyakit Akibat Kerja (PAK) pada
petugas yang terkena COVID-19 akibat kerja (sesuai
dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.
HK.01.07/Menkes/327/2020 tentang Penetapan COVID-19

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 131


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Akibat Kerja sebagai Penyakit Akibat Kerja yang Spesifik
pada Pekerjaan Tertentu).

c. Pendidikan dan Pelatihan


1) Berikan pendidikan pelatihan kepada seluruh staf fasyankes
tentang COVID-19 dengan materi:
a) Segitiga epidemiologi
b) Rantai Infeksi
c) Konsep Infeksi
d) Program PPI
e) Kewaspadaan Isolasi (Kewaspadaan standar dan
Kewaspadaan berdasarkan transmisi
f) Konsep COVID-19
g) Alat pelindung diri
h) Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
i) Pengelolaan limbah
2) Berikan sosialisasi kepada masyarakat tentang COVID-19
a) Rantai Infeksi untuk awam
b) Kewaspadaan Standar
c) Kewaspadaan berdasarkan transmisi
d) Konsep COVID-19

6. 2. 3. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di Fasyankes Pra Rujukan


Pencegahan dan pengendalian infeksi di fasyankes pra rujukan mengacu pada
panduan bagi petugas pelayanan PSC119 dalam pelayanan COVID-19
sebagaimana terlampir.

6. 2. 4. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi untuk Pemulasaraan Jenazah


Jenazah pasien dengan COVID-19 perlu dikelola dengan etis dan layak sesuai
dengan agama, nilai, norma dan budaya. Prinsip utama dalam memberikan
pelayanan ini adalah seluruh petugas wajib menjalankan kewaspadaan
standar dan didukung dengan sarana prasarana yang memadai.

Kriteria jenazah pasien:

• Jenazah suspek dari dalam rumah sakit sebelum keluar hasil swab.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 132


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
• Jenazah pasien dari dalam rumah sakit yang telah ditetapkan sebagai
kasus probable/konfirmasi COVID-19.
• Jenazah dari luar rumah sakit, dengan riwayat yang memenuhi kriteria
probable/konfirmasi COVID-19. Hal ini termasuk pasien DOA (Death on
Arrival) rujukan dari rumah sakit lain.

a. Kewaspadaan saat menerima jenazah dari ruangan dengan kasus


suspek/probable/konfirmasi (+) COVID-19 antara lain:
1) Menggunakan APD yang sesuai selama berkontak dengan
jenazah.
2) Kebersihan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan jenazah.
3) Dekontaminasi lingkungan termasuk seluruh permukaan benda dan
alat dengan desinfektan.
4) Kewaspadaan terhadap transmisi harus dilakukan terhadap
prosedur yang menimbulkan aerosol.
5) Menyiapkan plastik pembungkus atau kantong jenazah yang kedap
air untuk pemindahan jenazah.
b. Pelayanan jenazah untuk pasien yang terinfeksi COVID-19:
1) Persiapan petugas yang menangani jenazah.
2) Pasien yang terinfeksi dengan COVID-19.
3) Petugas yang mempersiapkan jenazah harus menerapkan PPI
seperti kewaspadaan standar, termasuk kebersihan tangan
sebelum dan sesudah bersentuhan dengan jenazah, dan
lingkungan.
4) Pastikan petugas yang berinteraksi dengan jenazah menggunakan
APD sesuai risiko.
5) Pastikan petugas telah mengikuti pelatihan penggunaan APD, tata
cara pemakaian dan pelepasan, serta membuangnya pada tempat
yang telah ditetapkan.
c. Penanganan jenazah di ruang rawat sebelum ditransfer ke kamar
jenazah rumah sakit
1) Tindakan swab nasofaring atau pengambilan sampel lainnya bila
diperlukan dilakukan oleh petugas yang ditunjuk di ruang
perawatan sebelum jenazah dijemput oleh petugas kamar jenazah.
2) Jenazah ditutup/disumpal lubang hidung dan mulut menggunakan
kapas, hingga dipastikan tidak ada cairan yang keluar.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 133


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
3) Bila ada luka akibat tindakan medis, maka dilakukan penutupan
dengan plester kedap air.
4) Petugas kamar jenazah yang akan menjemput jenazah, membawa:
a) Alat pelindung diri (APD) berupa: masker bedah, goggle/kaca
mata pelindung, apron plastik, dan sarung tangan non steril.
b) Kantong jenazah. Bila tidak tersedia kantong jenazah,
disiapkan plastik pembungkus.
c) Brankar jenazah dengan tutup yang dapat dikunci.
5) Sebelum petugas memindahkan jenazah dari tempat tidur
perawatan ke brankar jenazah, dipastikan bahwa lubang hidung
dan mulut sudah tertutup serta luka-luka akibat tindakan medis
sudah tertutup plester kedap air, lalu dimasukkan ke dalam kantong
jenazah atau dibungkus dengan plastik pembungkus. Kantong
jenazah harus tertutup sempurna.
6) Setelah itu jenazah dapat dipindahkan ke brankar jenazah, lalu
brankar ditutup dan dikunci rapat.
7) Semua APD yang digunakan selama proses pemindahan jenazah
dibuka dan dibuang di ruang perawatan.
8) Jenazah dipindahkan ke kamar jenazah. Selama perjalanan,
petugas tetap menggunakan masker bedah.
9) Surat Keterangan Kematian atau Sertifikat Medis Penyebab
Kematian (SMPK) dibuat oleh dokter yang merawat dengan
melingkari jenis penyakit penyebab kematian sebagai penyakit
menular sebagaimana formulir terlampir.
10) Jenazah hanya dipindahkan dari brankar jenazah ke meja
pemulasaraan jenazah di kamar jenazah oleh petugas yang
menggunakan APD lengkap.
d. Pemulasaraan jenazah di kamar jenazah
1) Jenazah yang masuk dalam lingkup pedoman ini dianjurkan
dengan sangat untuk dipulasara di kamar jenazah.
2) Tindakan pemandian jenazah hanya dilakukan setelah tindakan
desinfeksi.
3) Petugas pemandi jenazah menggunakan APD standar.
4) Petugas pemandi jenazah dibatasi hanya sebanyak dua orang.
Keluarga yang hendak membantu memandikan jenazah hendaknya
juga dibatasi serta menggunakan APD sebagaimana petugas
pemandi jenazah.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 134
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
5) Jenazah dimandikan sesuai dengan agama dan kepercayaan yang
dianutnya.
6) Setelah jenazah dimandikan dan dikafankan/diberi pakaian,
jenazah dimasukkan ke dalam kantong jenazah atau dibungkus
dengan plastik dan diikat rapat.
7) Bila diperlukan peti jenazah, maka dilakukan cara berikut: jenazah
dimasukkan ke dalam peti jenazah dan ditutup rapat; pinggiran peti
disegel dengan sealant/silikon; dan dipaku/disekrup sebanyak 4-6
titik dengan jarak masing-masing 20 cm. Peti jenazah yang terbuat
dari kayu harus kuat, rapat, dan ketebalan peti minimal 3 cm.
e. Desinfeksi jenazah di kamar jenazah
1) Petugas kamar jenazah harus memberikan penjelasan kepada
keluarga mengenai tata laksana pada jenazah yang meninggal
dengan penyakit menular, terutama pada kondisi pandemi COVID-
19.
2) Pemulasaraan jenazah dengan penyakit menular atau sepatutnya
diduga meninggal karena penyakit menular harus dilakukan
desinfeksi terlebih dahulu.
3) Desinfeksi jenazah dilakukan oleh tenaga yang memiliki
kompetensi untuk itu, yaitu: dokter spesialis forensik dan
medikolegal dan teknisi forensik dengan menggunakan APD
lengkap:
a) Shoe cover atau sepatu boots.
b) Apron. Apron gaun lebih diutamakan.
c) Masker N-95.
d) Penutup kepala atau head cap.
e) Goggle atau faceshield.
f) sarung tangan non steril.

4) Bahan desinfeksi jenazah dengan penyakit menular menggunakan


larutan formaldehyde 10% atau lebih dengan paparan minimal 30
menit dengan teknik intraarterial (bila memungkinkan), intrakavitas
dan permukaan saluran pernapasan. Setelah dilakukan tindakan
desinfeksi, dipastikan tidak ada cairan yang menetes atau keluar
dari lubang-lubang tubuh. Bila terdapat penolakan penggunaan
formaldehyde, maka dapat dipertimbangkan penggunaan klorin

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 135


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dengan pengenceran 1:9 atau 1:10 untuk teknik intrakavitas dan
permukaan saluran napas.
5) Semua lubang hidung dan mulut ditutup/disumpal dengan kapas
hingga dipastikan tidak ada cairan yang keluar.
6) Pada jenazah yang masuk dalam kriteria mati tidak wajar, maka
desinfeksi jenazah dilakukan setelah prosedur forensik selesai
dilaksanakan.
f. Prosedur otopsi jenazah bila dibutuhkan
1) Otopsi jenazah dengan suspek atau konfirmasi COVID-19 harus
dilakukan di ruang isolasi infeksi airborne yaitu dengan tekanan
negatif di sekitar areanya, dan mempunyai pertukaran udara
minimal 12 ACH.
2) Pengambilan spesimen berupa nasopharingeal swab pada pasien
yang telah meninggal dengan curiga atau konfirmasi COVID-19
tetap memerlukan penggunaan APD yang sesuai dengan risiko
penularan, minimum APD yang digunakan adalah:
a) Sarung tangan nitrile non steril. Bila ada kemungkinan
mempunyai risiko mengenai luka, tertusuk dapat
menambahkan sarung tangan tebal diatas sarung tangan
tersebut
b) Gaun
c) Apron
d) Respirator (N95 atau > tinggi)
e) Pelindung mata (googles) atau pelindung wajah (face shield)
f) Pelindung kepala,
g) Sepatu pelindung atau boots
3) Diperlukan kehati-hatian dalam pelepasan APD untuk mencegah
kontaminasi ke diri sendiri. Penggunaan dan pelepasan APD
dilakukan sesuai dengan petunjuk teknis APD dalam menghadapi
wabah COVID-19. APD yang sudah digunakan bila disposibel
dibuang dikantong infeksius, sedangkan APD yang reuse harus
dibersihkan dulu dengan sabun sebelum dimasukan dalam wadah
limbah. Selanjutnya lakukan kebersihan tangan.
g. Layanan kedukaan
1) Setiap orang diharapkan dapat melakukan ibadah sesuai dengan
agama dan kepercayaan yang dianutnya.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 136


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
2) Persemayaman jenazah dalam waktu lama sangat tidak dianjurkan
untuk mencegah penularan penyakit maupun penyebaran penyakit
antar pelayat.
3) Jenazah yang disemayamkan di ruang duka, harus telah dilakukan
tindakan desinfeksi dan dimasukkan ke dalam peti jenazah serta
tidak dibuka kembali.
4) Untuk menghindari kerumunan yang berpotensi sulitnya melakukan
physical distancing, disarankan agar keluarga yang hendak melayat
tidak lebih dari 30 orang. Pertimbangan untuk hal ini adalah
mencegah penyebaran antar pelayat.
5) Jenazah hendaknya disegerakan untuk dikubur atau dikremasi
sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya dalam
waktu tidak lebih dari 24 jam.
6) Setelah diberangkatkan dari rumah sakit, jenazah hendaknya
langsung menuju lokasi penguburan/ krematorium untuk
dimakamkan atau dikremasi. Sangat tidak dianjurkan untuk
disemayamkan lagi di rumah atau tempat ibadah lainnya.
h. Pengantaran jenazah dari rumah sakit ke pemakaman
1) Transportasi jenazah dari rumah sakit ke tempat pemakaman dapat
melalui darat menggunakan mobil jenazah.
2) Jenazah yang akan ditransportasikan sudah menjalani prosedur
desinfeksi dan telah dimasukkan ke dalam kantong jenazah atau
dibungkus dengan plastik yang diikat rapat, serta ditutup semua
lubang-lubang tubuh.
i. Pemakaman
Beberapa ketentuan dalam pemakaman sebagai berikut:
1) Pemakaman jenazah dilakukan segera mungkin dengan
melibatkan pihak RS dan dinas pertamanan.
2) Pelayat yang menghadiri pemakaman tetap menjaga jarak
sehingga jarak aman minimal 2 meter
3) Penguburan dapat dilakukan di pemakaman umum
4) Penguburan beberapa jenazah dalam satu liang kubur dibolehkan
pada kondisi darurat.
5) Pemakaman dapat dihadiri oleh keluarga dekat dengan tetap
memperhatikan physical distancing dengan jarak minimal 2 meter,
maupun kewaspadaan standar. Setiap individu pelayat/ keluarga
yang menunjukkan gejala COVID-19 tidak boleh hadir.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 137
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
6) Jenazah yang menggunakan peti, harus dipastikan peti tersebut
telah ditutup dengan erat.
7) Penguburan jenazah dengan cara memasukkan jenazah bersama
peti kedalam liang kubur tanpa harus membuka peti, plastik dan
kain kafan
8) Petugas pemakaman harus menggunakan APD standar terdiri dari
masker bedah dan sarung tangan tebal. APD yang telah digunakan
merupakan limbah medis yang harus dilakukan pengelolaan sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan.
j. Desinfeksi Lingkungan
1) Alat medis yang telah digunakan, didesinfeksi sesuai prosedur
desinfeksi di rumah sakit.
2) Langkah-langkah desinfeksi lingkungan, sebagai berikut:
a) Cairan yang digunakan untuk desinfeksi lingkungan yaitu:
alkohol 70% atau klorin dengan pengenceran 1:50.
b) Petugas yang melakukan desinfeksi lingkungan
menggunakan APD lengkap.
c) Desinfeksi dilakukan pada daerah-daerah yang terpapar,
sebagai berikut:
(1) Meja pemeriksaan
(2) Meja tulis
(3) Punggung kursi
(4) Keyboard komputer
(5) Gagang pintu
(6) Lantai dan dinding ruangan
(7) Brankar jenazah
(8) Tombol lift
(9) Permukaan dalam mobil jenazah
d) Desinfeksi ruangan dilakukan seminggu sekali.
e) Desinfeksi permukaan brankar, meja pemeriksaan,
permukaan dalam mobil jenazah dan seluruh permukaan
yang berkontak dengan jenazah, dilakukan setiap selesai
digunakan.
f) Desinfeksi alat-alat yang tidak berkontak langsung dengan
jenazah, dilakukan satu kali sehari.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 138


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
g) Desinfeksi mobil jenazah dilakukan dengan cairan
desinfektan secara menyeluruh ke permukaan dalam mobil
jenazah.
Tabel 6. 1 APD yang Digunakan dalam Proses Pemulasaraan Jenazah
Gown Tangan
Hand Sarung Masker Respirator/ Face
Prosedur Panjang
Hygiene Tangan Bedah N.95 Shield
Kedap Air

Penanganan
jenazah diruang V V V V V
isolasi

Memindahkan
jenazah dari
ruang V V V V V
rawat/ruang
isolasi

Pemulasaraan
/perawatan V V V V V
jenazah

Otopsi jenazah V V V V V

Petugas
V V
pemakaman

Sumber: (PAHO, WHO, Dead body management in the context of the novel coronavirus (COVID-
19),2020)

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 139


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB VII
KOMUNIKASI RISIKO DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Komunikasi risiko dan pemberdayaan masyarakat (KRPM) merupakan komponen


penting yang tidak terpisahkan dalam penanggulangan tanggap darurat kesehatan
masyarakat, baik secara lokal, nasional, maupun internasional. KRPM dapat membantu
mencegah infodemic (penyebaran informasi yang salah/hoaks), membangun kepercayaan
publik terhadap kesiapsiagaan dan respon pemerintah sehingga masyarakat dapat
menerima informasi dengan baik dan mengikuti anjuran pemerintah. Dengan demikian, hal-
hal tersebut dapat meminimalkan kesalahpahaman dan mengelola isu/hoaks terhadap
kondisi maupun risiko kesehatan yang sedang terjadi. Yang tidak kalah pentingnya, KRPM
bertujuan untuk dapat mengubah perilaku hidup masyarakat.

KRPM menggunakan strategi yang melibatkan masyarakat dalam kesiapsiagaan dan


respon serta mengembangkan intervensi yang dapat diterima dan efektif untuk
menghentikan penyebaran wabah yang semakin meluas serta dapat melindungi individu dan
komunitas. Di sisi lain, upaya ini juga sangat penting untuk pengawasan, pelaporan kasus,
pelacakan kontak, perawatan orang sakit dan perawatan klinis, serta pengumpulan
dukungan masyarakat lokal untuk kebutuhan logistik dan operasional.

KRPM yang diadaptasi dari panduan dan pelatihan Risk Communication and
Community Engagement, WHO, bertujuan untuk:
1. Menyiapkan strategi komunikasi dengan informasi dan ketidakpastian yang belum
diketahui (pemantauan berita/isu di media massa dan media sosial, talking
point/standby statement pimpinan/juru bicara, siaran pers, temu media, media KIE
untuk informasi dan Frequently Asked Question/FAQ, dan lain-lain).
2. Mengkaji kapasitas komunikasi nasional dan sub-nasional (individu dan sumberdaya).
3. Mengidentifikasi aktor utama dan membentuk kemitraan dengan organisasi
masyarakat, komunitas, perguruan tinggi, dunia usaha dan pelaku media.
4. Merencanakan aktivasi dan implementasi rencana kegiatan KRPM
5. Melatih anggota Tim Komunikasi Risiko (yang terdiri dari Humas/Kominfo dan Promosi
Kesehatan) sebagai bagian TGC dan staf potensial lainnya tentang rencana dan
prosedur KRPM.

Keberhasilan KRPM di masyarakat dalam bentuk penyampaian komunikasi,


informasi dan edukasi untuk membentuk perilaku masyarakat yang benar, tentu juga harus
didukung dengan upaya lainnya. Dua upaya lainnya yakni enforcement atau penegakkan
hukum/disiplin terhadap pengaturan atau ketentuan yang telah ditetapkan pemerintah.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 140


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Dalam hal ini, apabila ada individu atau sekelompok masyarakat yang tidak patuh
menjalankan protokol kesehatan, maka dapat dikenakan sanksi (denda atau hukuman
sosial). Dengan demikian akan diperoleh pembelajaran dan efek jera bagi masyarakat yang
melanggar aturan.

Selain itu, perubahan perilaku yang diharapkan dengan KRPM, dibutuhkan juga
tindakan engineering atau rekayasa. Dalam konteks pencegahan dan pengendalian penyakit
COVID-19 saat ini, rekayasa dapat berbentuk modifikasi atau pengaturan tertentu agar
masyarakat tidak berkerumun, tetap menjaga jarak atau tetap di rumah saja, sebagaimana
yang dilakukan dengan cara PSBB yang dilakukan di beberapa daerah di Indonesia.

Dengan kombinasi ketiga teknik perubahan perilaku tadi (3E: Education,


Enforcement, Engineering), diharapkan setiap individu dapat menerapkan perilaku hidup
bersih dan sehat (PHBS) sehingga dapat menjaga diri dan keluarganya dari ancaman
penyakit menular khususnya COVID-19.

KRPM digunakan untuk mengatasi hambatan menuju perubahan norma dan sosial.
Perubahan perilaku akan lebih berkelanjutan bila didukung oleh empat unsur ini:

1. Kebijakan
Yaitu adanya protokol, sumberdaya, regulasi, kepemimpinan dan sebagainya yang
menjadi panduan dalam melaksanakan perubahan sosial.
2. Sistem dan produk layanan kesehatan
Dalam situasi pandemi COVID-19, diperlukan standar dan ketersediaan layanan,
sistem rujukan serta suplai barang yang terjamin ketersediaannya.
3. Norma masyarakat
Norma yang berlaku di kalangan keluarga, teman sebaya, pasangan seringkali menjadi
faktor utama pertimbangan individu dalam mengadopsi pengetahuan dan atau perilaku
baru.
4. Individu
Pada tingkat individu, mereka membutuhkan pengetahuan memadai, perhitungan
untung rugi, keterampilan dan kemampuan untuk mengukur diri apakah sanggup atau
tidak melakukan perilaku baru yang disarankan. Secara umum tujuan kampanye
adalah meningkatkan pemahaman, persepsi, sikap atas risiko, penyebab, gejala,
pencegahan penularan COVID-19 bagi setiap pemangku kepentingan yang terlibat.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 141


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
7. 1. Langkah-Langkah Tindakan di dalam KRPM Bagi Provinsi/Kabupaten/ Kota yang
Bersiap Menghadapi Kemungkinan Wabah
1. Sistem Komunikasi Risiko
a. Memastikan bahwa pimpinan pemerintah tertinggi setuju untuk
memasukkan KRPM dalam kegiatan kesiapsiagaan dan respon serta siap
untuk mengeluarkan informasi untuk melindungi kesehatan masyarakat
secara cepat, transparan dan mudah diakses.
b. Meninjau rencana KRPM yang ada dan mempertimbangkan untuk
penyesuaian wabah infeksi pernapasan/pneumonia.
c. Menyetujui prosedur untuk merilis informasi secara tepat waktu seperti
mempersingkat rantai birokrasi izin untuk mengumumkan informasi terkini.
d. Menyiapkan anggaran untuk komunikasi (termasuk ketika terjadi eskalasi
kasus).
e. Membentuk Tim atau unit kerja KRPM dan menentukan peran serta
tanggung jawab.
2. Koordinasi internal dan kemitraan
a. Mengidentifikasi mitra seperti kementerian/lembaga, pemerintah daerah,
organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
organisasi profesi, petugas kesehatan, badan usaha/swasta, dan lain-lain.
Dalam hal ini dapat berkoordinasi dan berkomunikasi dengan Kementerian
Luar Negeri, Kementerian Pertanian, Kementerian Dalam Negeri,
Kementerian Desa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Kementerian Komunikasi
dan Informatika, Kementerian Perhubungan, Kementerian Agama, BNPB,
biro perjalanan, fasyankes, dan lain-lain, apabila wabah terjadi sehingga
kemitraan ini harus diaktifkan sebagai tim respon KRPM multisektor.
b. Menilai kapasitas komunikasi dari semua mitra yang relevan dan
mengidentifikasi khalayak sasaran dan saluran komunikasi yang
digunakan oleh mitra.
c. Merencanakan dan menyepakati peran dan tanggung jawab kegiatan
komunikasi melalui SOP (misalnya berbagi tugas dan kewenangan dengan
pihak-pihak yang bertindak untuk menginformasikan situasi terkini dan
tervalidasi, menentukan topik/ masalah dan target audiens yang ditangani
oleh pemangku kepentingan/ mitra, hingga menyesuaikan pesan dan
media komunikasinya.
3. Komunikasi Publik
a. Merancang strategi komunikasi risiko dengan menyiapkan komponen
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 142
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
komunikasi yang tepat (komunikator, pesan, media, komunikan).
b. Mengidentifikasi juru bicara di setiap tingkatan, baik lokal maupun nasional,
membuat daftar keahlian para juru bicara dalam mengantisipasi ancaman
kesehatan masyarakat, dan, jika dibutuhkan, diberikan pelatihan singkat.
Selain juru bicara, dapat juga memanfaatkan para pemengaruh/influencer
sebagai komunikator.
c. Membuat rancangan pola pesan sebelum diinformasikan kepada publik.
Lakukan pula pemilihan pesan kunci yang akan disampaikan. Gunakan
bahasa lokal/daerah agar lebih mudah dipahami (jika diperlukan).
d. Mengidentifikasi media utama/mainstream, membuat dan memperbarui
daftar jurnalis, serta membina hubungan baik dengan media.
e. Mengidentifikasi media, saluran komunikasi, dan nilai jangkauan
potensialnya untuk audiens sebagai target potensial. Gunakan saluran dan
influencer yang dipercaya dan banyak disukai oleh audiens target.
4. Pemberdayaan Masyarakat
a. Menetapkan metode untuk memahami keprihatinan, sikap, dan
kepercayaan audiens utama.
b. Mengidentifikasi sasaran audiens, dan mengumpulkan informasi tentang
pengetahuan, perilaku dan saluran komunikasi yang lebih banyak disukai
(misalnya siapa yang dapat mereka percayai, bagaimana mereka akan
menerima informasi, kebiasaan sehari-hari, keprihatinan mereka, dan lain-
lain).
c. Mengidentifikasi pemengaruh/influencer (misalnya. tokoh masyarakat,
tokoh agama, petugas kesehatan, tabib tradisional, dan lain-lain) dan
jejaring komunitas yang ada (seperti organisasi kemasyarakatan/LSM
kesehatan, kelompok perempuan (PKK), serikat pekerja, relawan
kesehatan masyarakat/penggerak sosial untuk polio, malaria, HIV) yang
dapat digunakan kembali untuk pelibatan masyarakat.
d. Membangun jejaring kuat dengan kelompok masyarakat/komunitas untuk
mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat.
e. Menyiapkan desa beserta perangkatnya hingga RW-RT untuk
kesiapsiagaan kemungkinan terjadinya wabah.
5. Mengatasi ketidakpastian persepsi dan manajemen informasi yang salah/hoaks
a. Membangun sistem untuk pemantauan berita/isu dan, jika perlu,
memberikan klarifikasi terhadap rumor/isu/hoaks, dan pertanyaan publik
yang menjadi topik terhangat (manajemen isu publik).
b. Menyiapkan juru bicara/komunikator yang ditunjuk untuk memberikan
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 143
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
informasi awal, sebelum memberikan informasi yang lebih detil dengan
persetujuan pimpinan.
c. Membangun kerja sama dengan lembaga anti hoaks atau media massa
dalam menangkal hoaks/berita bohong.
d. Menyiapkan fasilitas saluran komunikasi dua arah untuk kemudahan akses
layanan informasi masyarakat, seperti hotline/call center dan media sosial
resmi pemerintah.
6. Pengembangan Kapasitas
a. Mempertimbangkan untuk mengadakan pelatihan yang diperlukan bagi
anggota tim KRPM, tenaga kesehatan dan/atau tenaga di lapangan (kader,
relawan), mulai dari tingkat pusat hingga level kelurahan/desa, tentang
konsep komunikasi risiko, perubahan perilaku, pemberdayaan masyarakat,
pengenalan COVID-19, rencana dan prosedur saat ini serta persiapan
untuk kesiapsiagaan dan respon KPRM.
b. Menyusun mekanisme penguatan kapasitas tim KRPM termasuk tenaga
lapangan dapat dilakukan secara berjenjang dari tingkat provinsi - tingkat
kabupaten/kota - puskesmas. Mekanisme penguatan kapasitas tim KRPM
termasuk tenaga lapangan dapat dilakukan secara berjenjang dari tingkat
provinsi - tingkat kabupaten/kota - puskesmas. Atau untuk sebuah
topik/tema tertentu - jika dibutuhkan, Direktorat Promosi Kesehatan dan
Pemberdayaan Masyarakat dapat melakukan kegiatan penguatan
kapasitas langsung kepada petugas lapangan.
c. Tim tenaga lapangan ada hingga di level desa/kelurahan, bersama dalam
usaha mencegah penularan COVID-19 bersama dengan masyarakat
(termasuk dengan perangkat desa, RT/RW), diantaranya: tenaga promkes
dan staf lain di Puskesmas, Penyuluh KB, kader posyandu, relawan desa,
organisasi masyarakat, dan lain-lain. Tenaga kesehatan masyarakat
tersebut (Nakesmas) merupakan penghubung antara komunitas dan
sistem kesehatan nasional.
d. Untuk dapat melakukan KIE secara benar dan juga melibatkan masyarakat
secara aktif dalam menanggulangi COVID-19, dengan mempertimbangkan
anjuran pemerintah seperti menjaga jarak fisik, maka tenaga lapangan di
level desa/kelurahan harus memiliki pengetahuan dan kapasitas yang
cukup.
Pesan kunci yang perlu disampaikan kepada masyarakat umum di daerah
provinsi/kabupaten/kota yang bersiap menghadapi kemungkinan wabah:
a. Mengenali COVID-19 (penyebab, gejala, tanda, penularan, pencegahan
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 144
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
dan pengobatan)
b. Pencegahan yang dapat dilakukan antara lain:
1) Pesan Kesehatan/Health Advice:
a) Mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir serta bilas
setidaknya 40 sampai 60 detik. Cuci dengan air dan keringkan
dengan handuk bersih atau kertas sekali pakai. Jika tidak ada
fasilitas cuci tangan, dapat menggunakan pembersih tangan
berbasis alkohol (handsanitizer) minimal 20 sampai 30 detik.
b) Menutup mulut dan hidung ketika bersin atau batuk
menggunakan tisu, atau sisi dalam lengan atas. Tisu yang
digunakan dibuang ke tempat sampah tertutup dan cuci tangan
dengan sabun dan air mengalir setelahnya atau menggunakan
handsanitizer.
c) Gunakan masker kain bila harus keluar rumah. Tetap jaga jarak
dan lakukan cuci tangan pakai sabun dengan air mengalir.
Ganti masker kain setelah 4 jam dipakai, dan cuci hingga bersih
setelah dipakai.
d) Ketika memiliki gejala saluran napas, gunakan masker dan
berobat ke fasyankes.
e) Melakukan kebersihan tangan rutin, terutama sebelum
memegang mulut, hidung dan mata; serta setelah memegang
benda benda yang sering disentuh, seperti pegangan pintu,
pagar, meja, papan ketik komputer, dan lain-lain.
2) Pesan Perjalanan travel advice
a) Hindari kontak dengan hewan (baik hidup maupun mati).
b) Hindari mengonsumsi produk hewan mentah atau setengah
matang.
c) Hindari mengunjungi pasar basah, peternakan atau pasar
hewan.
d) Hindari kontak dekat dengan pasien yang memiliki gejala infeksi
saluran napas.
e) Patuhi petunjuk keamanan makanan dan aturan kebersihan.
f) Jika merasa tidak sehat/kurang fit ketika di daerah outbreak
terutama demam atau batuk, gunakan masker dan cari layanan
kesehatan melalui layanan telepon terlebih dahulu.
g) Setelah kembali dari daerah berisiko, lapor kepada ketua
RT/RW/Kepala Desa dan Petugas Puskesmas serta lakukan
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 145
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
karantina mandiri. Pantau kesehatan secara berkala, jika
terdapat gejala demam atau gejala lain dan beritahu dokter atau
petugas puskesmas setempat riwayat perjalanan melalui
telepon serta bila harus ke fasyankes maka gunakan masker
untuk mencegah penularan penyakit, jaga jarak dan rajin cuci
tangan pakai sabun dengan air mengalir.

7. 2. Langkah-Langkah Tindakan di dalam Respon KRPM bagi daerah Provinsi/


Kabupaten/ Kota dengan Satu atau Lebih Kasus yang Telah Diidentifikasi
Tujuan:

1. Mengadaptasikan dan menerapkan langkah-langkah tindakan dari


kesiapsiagaan di atas.
2. Membangun dan/atau memelihara kepercayaan dengan masyarakat/kelompok
melalui komunikasi dua arah secara rutin dan melibatkan secara
berkesinambung untuk menghindari kesalahpahaman, kesalahan informasi,
isu/rumor/hoaks, dan pertanyaan yang sering diajukan.
3. Mendorong orang untuk melakukan upaya pencegahan/perlindungan dari
penularan wabah.
4. Mengelola harapan dan mengkomunikasikan ketidakpastian.
5. Mengkoordinasikan dan mendorong kolaborasi di antara para mitra/pemangku
kepentingan.
6. Mengkaji persepsi risiko awal dari masyarakat yang terkena dampak dan yang
berisiko.
7. Memberikan informasi dan panduan secara berkesinambungan.
a. Sistem Komunikasi Risiko
1) Menyesuaikan rencana KRPM yang sudah tersedia untuk segera
dilaksanakan dan mengaktifkan tim KRPM.
2) Mengidentifikasi dan mengaktifkan juru bicara untuk keadaan
darurat.
3) Menyusun jadwal untuk kegiatan dan produksi komunikasi (strategi
komunikasi).
4) Memantau kegiatan tanggap KRPM dengan mengidentifikasi proses
untuk menunda merilis informasi yang dapat menciptakan
kebingungan di masyarakat yang terdampak wabah.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 146


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
b. Koordinasi internal dan kemitraan
1) Mengaktifkan SOP untuk melaksanakan KRPM berkoordinasi dengan
kementerian/Lembaga dan mitra pemerintah/swasta.
2) Menjalin hubungan untuk operasionalisasi KRPM di tingkat
kabupaten/kota, provinsi, dan nasional.
3) Menentukan pihak-pihak yang bertanggung jawab untuk komunikasi
internal (ke setiap kementerian/lembaga) dan eksternal (kepada
publik).
4) Melakukan koordinasi untk menyiapkan pesan, konsistensi informasi,
dan penyebaran kepada publik.
c. Komunikasi publik
1) Mengumumkan kondisi ancaman kesehatan lebih cepat/awal dan
secara berkesinambungan memutakhirkan data/informasi (setelah
dilakukan penilaian dan analisis risiko).
2) Segera memberikan informasi terbaru secara terbuka, meskipun
tidak lengkap untuk menjelaskan situasi yang terjadi (mengelola
ketidakpastian), menyediakan saluran komunikasi yang mudah
diakses publik untuk mendapatkan informasi terbaru (misalnya
hotline, situs resmi, media sosial resmi, dan lain-lain).
3) Menggunakan saluran komunikasi yang terpercaya dan efektif
secara rutin untuk dapat dimanfaatkan oleh publik.
4) Mengidentifikasi dan mengaktifkan influencer terpercaya untuk
membantu menyebarkan konten positif kepada masyarakat.
d. Pemberdayaan Masyarakat
1) Menganalisis persepsi risiko dengan cepat berdasarkan informasi
formal dan informal yang ada.
2) Memetakan publik penerima pesan untuk tanggap cepat komunikasi
(misalnya masyarakat yang terdampak, petugas kesehatan,
pemimpin politik, lembaga donor, dan lain-lain).
3) Menerjemahkan materi KIE ke dalam bahasa yang mudah dipahami
masyarakat (baik bahasa lokal maupun nasional) dan menyesuaikan
dengan kaidah/literasi bahasa Indonesia.
4) Menggerakan influencer (misalnya. tokoh masyarakat, tokoh agama,
petugas kesehatan, tabib tradisional, dan lain-lain) dan jejaring
komunitas yang ada (mis. organisasi kemasyarakatan/LSM
kesehatan, kelompok perempuan (PKK), serikat pekerja, relawan
kesehatan masyarakat/penggerak sosial untuk polio, malaria, HIV)
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 147
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
yang dapat digunakan untuk pelibatan masyarakat.
e. Mengatasi ketidakpastian, persepsi dan manajemen informasi yang salah
1) Mengkomunikasikan informasi yang boleh dan tidak boleh diketahui
oleh publik dengan menjelaskan sampai sejauh mana ketidakpastian
yang terjadi.
2) Mengaktifkan pemantauan pemberitaan dan isu/rumor,
memverifikasi data pemantauan, dan menjalankan mekanisme
tanggap KRPM.
a) Memantau pemberitaan dan isu/rumor di media massa dan
media sosial, hotline, informasi dari umpan balik petugas
kesehatan kepada pasien dan kelompok masyarakat, serta
memberikan tanggapan umpan balik untuk menyesuaikan
dengan strategi peningkatan kapasitas KRPM.
b) Mengerakkan para influencer dan jejaring/komunitas
masyarakat sebagai kelompok antihoaks isu dan pemberitaan
yang bohong/belum terbukti kebenarannya untuk melawan
hoaks dan menyebarkan berita baik/benar terkait COVID-19.
c) Membuka saluran komunikasi dua arah untuk layanan
informasi dan pengaduan masyarakat melalui hotline/call
center dan media sosial resmi pemerintah dan atau saluran
komunikasi yang lebih banyak disukai oleh masyarakat.
Termasuk layanan informasi dan pengaduan masyarakat
terkait berita bohong/hoaks wabah, seperti surel:
aduankonten@mail.kominfo.go.id
3) Para pelaku komunikasi agar memberi perhatian dan prioritas pada
tujuan perubahan perilaku kunci yang dianggap esensial untuk
menurunkan kasus COVID-19 secara efektif dan efisien, oleh karena
pesan yang terlalu banyak dikeluarkan, bersifat random (impulsive)
dan selalu berubah akan menciptakan noise yang mengganggu
penerimaan pesan dan pada akhirnya menghalangi orang untuk
memahaminya.
f. Peningkatan kapasitas
1) Memutakhirkan panduan terbaru untuk para pihak yang terlibat di
dalam KRPM.
2) Melatih anggota baru/tambahan dari tim KRPM.
3) Menentukan pemimpin pelatihan, anggota, dan juru bicara di
masyarakat/komunitas yang tercantum di dalam panduan KRPM
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 148
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
yang disesuaikan kebutuhan.
4) Memperkuat mekanisme penguatan kapasitas tim KRPM
termasuk tenaga lapangan dapat dilakukan secara berjenjang
dari tingkat provinsi - tingkat kabupaten/kota - puskesmas.
Pesan kunci yang perlu disampaikan kepada masyarakat umum di daerah
provinsi/kabupaten/kota dengan satu atau lebih kasus yang telah diidentifikasi
pada dasarnya sama dengan yang negara yang bersiap menghadapi
kemungkinan wabah. Selain upaya pencegahan, perlu juga diinformasikan
upaya pengendalian antara lain:
1. Jika mengalami gejala demam (≥380C) atau ada riwayat demam disertai
dengan salah satu gejala gangguan pernapasan seperti batuk, pilek, sakit
tenggorokan, sesak napas dan memiliki faktor risiko terjadinya COVID-19
segera menghubungi fasyankes terdekat melalui layanan telepon terlebih
dahulu.
2. Informasi hotline:
Masyarakat umum: hotline COVID-19 (telp: 119 ext 9)
Petugas kesehatan: EOC (telp. 021-5210411, 0812 1212 3119)
PHEOC (telp. 0877-7759-1097; Whatsapp 0878-0678-3906)
Kanal informasi lainnya (misal, DKI 112, telemedicine Gojek - Halodoc,
Sehatpedia dan sebagainya).
3. Informasi rumah sakit rujukan yang menangani kasus.
4. Pemerintah perlu mengeluarkan saran perjalanan/travel advisory ketika
sudah dilaporkan ada 1 kasus yang teridentifikasi dan apabila terjadi
penambahan kasus maka perlu mempertimbangkan mengeluarkan
pembatasan perjalanan/travel warning bagi pelaku perjalanan.

7. 3. Langkah-Langkah Tindakan di dalam Respon KRPM bagi daerah Provinsi/


Kabupaten/Kota dengan Sebagian Besar Kasus Penularan Lokal Terjadi
1. Menerapkan langkah-langkah tindakan dari respon bagi daerah
provinsi/kabupaten/kota dengan satu atau lebih kasus yang telah diidentifikasi
yang tersebut di atas.
2. Memelihara kepercayaan, mempererat jalinan komunikasi, dan melibatkan
masyarakat/kelompok secara berkesinambungan untuk mencegah
kesalahpahaman, kesalahan informasi, isu/rumor/hoaks, dan pertanyaan yang
sering diajukan.
3. Mengedukasi individu, kelompok/masyarakat untuk melakukan upaya
pencegahan/perlindungan dari penularan wabah.
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 149
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
4. Mempererat kolaborasi di antara para mitra/pemangku kepentingan.
5. Mengkaji persepsi risiko dari masyarakat yang terkena dampak dan yang
berisiko.
6. Memberikan data dan informasi terbaru serta panduan pencegahan dan
pengendalian wabah secara rutin berkesinambungan.
a. Sistem Komunikasi Risiko
1) Aktivasi tim KRPM
2) Aktivasi juru bicara utama/harian/pakar di level nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota yang telah ditunjuk untuk keadaan tanggap
darurat
3) Memperbarui strategi komunikasi risiko untuk keadaan tanggap
darurat
4) Memantau kegiatan tanggap darurat KRPM
b. Koordinasi internal dan kemitraan
1) Aktivasi SOP KRPM dengan berkoordinasi di antara
kementerian/lembaga/OPD serta mitra pemerintah/swasta
2) Mengeratkan jalinan hubungan untuk operasionalisasi KRPM di
tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional
c. Komunikasi publik
1) Juru bicara mengumumkan data dan informasi yang terkini dan
mengedukasi masyarakat terkait upaya pencegahan dan
pengendalian wabah secara rutin setiap hari kepada publik
2) Segera memberikan informasi terbaru secara terbuka
3) Aktivasi influencer terpercaya secara berkesinambungan untuk
membantu menyebarkan konten positif kepada masyarakat
d. Pemberdayaan Masyarakat
1) Melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat dari respon bagi
daerah provinsi/kabupaten/kota dengan satu atau lebih kasus yang
telah diidentifikasi yang tersebut di atas.
2) Penyebarluasan media KIE dalam berbagai bentuk dan media
(cetak, elektronik, tradisional, luar ruangan, dan lain-lain) kepada
seluruh lapisan masyarakat.
3) Gerakan masif dari para influencer (misalnya. tokoh masyarakat,
tokoh agama, petugas kesehatan, tabib tradisional, dan lain-lain) dan
jejaring komunitas yang ada (mis. organisasi kemasyarakatan/LSM
kesehatan, kelompok perempuan (PKK), serikat pekerja, relawan
kesehatan masyarakat/penggerak sosial untuk polio, malaria, HIV)
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 150
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
untuk mengedukasi masyarakat.
4) Tersedianya saluran komunikasi untuk layanan informasi dan
pengaduan masyarakat yang mudah diakses publik selama 24 jam.
Saluran komunikasi yang dapat digunakan: website, sosial media
(Instagram, twitter, youtube, facebook), Interactive Voice Response
(IVR), kontak telepon, sms, whatsapp, media cetak lainnya ataupun
forum komunikasi berjenjang dari Provinsi ke Kabupaten,
Puskesmas dan Kader atau Masyarakat. Melibatkan perangkat
desa/kelurahan serta tokoh masyarakat/agama dalam
menyampaikan pesan-pesan kunci lewat saluran dan sarana yang
dimiliki dengan memperhatikan anjuran kesehatan terkait COVID-19.
Adapun tahapan pemberdayaan masyarakat dalam pencegahan COVID-19

a. Pendataan Kesehatan Warga di RT/RW/Desa yang berisiko tinggi,


warga yang keluar dan masuk wilayah atau orang asing atau warga
yang datang dari wilayah yang sudah terjangkit COVID-19.
b. Mencari kemungkinan faktor penyebab penularan COVID-19 dan
potensi wilayah, dari sisi faktor Perilaku : tidak melakukan
PHBS/CTPS, atau non Perilaku : lingkungan dan mendata potensi :
SDM, Dana, Sarana Prasarana.
c. Musyawarah Masyarakat RT/RW/Desa dalam bentuk Sosialisasi hasil
pendataan dan kemungkinan faktor penyebab penularan, program
pemerintah dalam pencegahan COVID-19 serta kesepakatan
kegiatan melalui pemberdayaan masyarakat.
d. Menyusun Rencana Kegiatan di Masyarakat tentang COVID-19
(penyebab, cara penularan, pencegahan) baik berupa edukasi tentang
cara-cara pencegahan COVID-19 (etika batuk, cara CTPS, cara
menggunakan masker), sarana edukasi: pengeras suara/toa, saluran
komunikasi elektronik (group whats app, dan lain-lain) dan jadwal
pelaksanaan, sasaran kegiatan, rencana anggaran dan penanggung
jawab sesuai formulir rencana kegiatan.
e. Pelaksanaan kegiatan yang dicatat dan dilaporkan
Keberlangsungan kegiatan (termasuk pemantauan dan evaluasi) oleh
masyarakat bersama dengan pengurus RT/RW/Desa dan
pendamping teknis, melalui kegiatan pemantauan serta evaluasi,
sosialisasi, penerbitan peraturan lokal, pertemuan berkala, atau
orientasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 151


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Ketua RT/RW/Kepala Desa, Tokoh Agama/Tokoh Masyarakat:,
Bhabinkamtibmas: Sistem Keamanan Lokal, Kader Kesehatan, Warga
Masyarakat, Puskesmas dan Posyandu merupakan para pelaku
pemberdayaan masyarakat.

f. Mengatasi ketidakpastian, persepsi dan manajemen informasi yang


salah
1) Melakukan kegiatan untuk mengatasi ketidakpastian, persepsi,
dan manajemen informasi yang salah dari respon bagi daerah
provinsi/kabupaten/kota dengan satu atau lebih kasus yang
telah diidentifikasi yang tersebut di atas.
2) Gerakan masif para influencer dan jejaring/komunitas
masyarakat sebagai kelompok antihoaks isu dan pemberitaan
yang bohong/belum terbukti kebenarannya untuk melawan
hoaks dan menyebarkan berita baik/benar terkait COVID-19.
3) Edukasi dan klarifikasi terkait berita bohong/hoaks COVID-19
dari pemerintah, baik pusat maupun provinsi/kabupaten/kota.
g. Peningkatan kapasitas
1) Melakukan kegiatan peningkatan kapasitas dari respon bagi
daerah provinsi/kabupaten/kota dengan satu atau lebih kasus
yang telah diidentifikasi yang tersebut di atas.
2) Eskalasi kasus kegiatan peningkatan kapasitas semakin
diperluas cakupan wilayah dan SDM nya.
Pemerintah pada kondisi ini mengumumkan kepada publik sebagai kondisi
tanggap darurat bencana nasional COVID-19, maka perlu mengeluarkan
pembatasan perjalanan/ travel warning bagi pelaku perjalanan.
Ruang lingkup pesan tersebut ketika diimplementasikan ke masyarakat
mempertimbangkan:
a. Persepsi risiko dan takut terhadap COVID-19
b. Tingkat pengetahuan terhadap penyebab, gejala dan penularan
c. Tingkat kepercayaan, sikap dan kepedulian mengenai penyebab,
gejala dan transmisi.
d. Stigma, sebaran rumor dan hoaks
e. Aspek sosial dan budaya yang mempengaruhi perilaku
f. Perilaku umum yang perlu ditangani segera.
g. Faktor penghambat dan pendorong terhadap perubahan/adopsi
perilaku baru.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 152


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
7. 4. Langkah-Langkah Tindakan di dalam Respon KRPM bagi daerah Provinsi/
Kabupaten/Kota dengan Terjadinya Wabah dengan Eskalasi Kasus yang Semakin
Banyak Di Berbagai Wilayah
1. Menerapkan langkah-langkah tindakan dari respon bagi daerah
provinsi/kabupaten/kota dengan terjadinya wabah dengan eskalasi kasus yang
semakin banyak di berbagai wilayah.
2. Mengedukasi individu, kelompok/masyarakat untuk melakukan upaya
pencegahan dan pengendalian di masyarakat dilakukan melalui upaya
kebersihan personal dan rumah, peningkatan imunitas diri dan mengendalikan
komorbid, serta peningkatan Kesehatan jiwa dan psikososial, pembatasan
interaksi fisik dan pembatasan sosial (physical contact/physical distancing dan
social distancing), menerapkan etika batuk dan bersin, melakukan
isolasi/karantina sampai Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
3. Menerapkan protokol kesehatan dengan konsepsi Adaptasi Kebiasaan Baru
(AKB).
Masyarakat melakukan aktifitas kehidupan sosial dan berkegiatan dalam
memenuhi kebutuhan hidupnya. Risiko pergerakan orang dan berkumpulnya
masyarakat memiliki potensi penularan COVID-19 yang cukup besar. Agar roda
perekonomian tetap dapat berjalan, maka perlu dilakukan mitigasi dampak
pandemi COVID-19. Masyarakat harus melakukan perubahan pola hidup dengan
tatanan dan adaptasi kebiasaan yang baru (new normal) agar dapat hidup
produktif dan terhindar dari penularan COVID-19. Kedisiplinan dalam menerapkan
prinsip pola hidup yang lebih bersih dan sehat merupakan kunci dalam menekan
penularan COVID-19 pada masyarakat, sehingga diharapkan wabah COVID-19
dapat dilewati dengan baik. Pesan kunci pencegahan tingkat individu terutama
upaya kebersihan personal dan rumah dengan menerapkan protokol kesehatan
masih perlu dilakukan secara disiplin.

7. 5. Protokol Kesehatan
Beberapa protokol dan panduan kesehatan terkait COVID-19 sudah diterbitkan, antara
lain:
1. Protokol Kesehatan Bagi Masyarakat di Tempat dan Fasilitas Umum Dalam
Rangka Pencegahan COVID-19 dapat di unduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-kesehatan-bagi-
masyarakat-di-tempat-dan-fasilitas-umum-dalam-rangka-pencegahan-covid-19

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 153


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
2. Protokol Isolasi diri sendiri dalam penanganan COVID-19 dapat di unduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-isolasi-diri-sendiri-dalam-
penanganan-covid-19
3. Protokol Penanganan COVID-19 terdiri dari:
a. Protokol Komunikasi Publik
b. Protokol Kesehatan
c. Protokol di Area dan Transportasi Publik
d. Protokol di Area Institusi Pendidikan
e. Protokol di Pintu Masuk Wilayah Indonesia (Bandara, Pelabuhan, dan
PLBDN)
f. Protokol dalam Lingkup Khusus Pemerintahan (VVIP), dapat di unduh
melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-
penanganan-covid-19
4. Protokol Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran
dan Industri Dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha Pada Situasi Pandemi
dapat di unduh melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/panduan-
pencegahan-dan-pengendalian-corona-virus-disease-2019-covid-19-di-tempat-
kerja-perkantoran-dan-industri-dalam-mendukung-keberlangsungan-usaha-
pada-situasi-pandemi
5. Protokol Pemulangan Jenazah WNA yang Positif COVID-19 dapat di unduh
melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-evakuasi-wna-
yang-sakit-atau-meninggal-dari-indonesia/
6. Panduan Pelayanan Kesehatan Balita Pada Masa Tanggap Darurat COVID-19
dapat di unduh melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/panduan-
pelayanan-kesehatan-balita-pada-masa-pandemi-covid-19-bagi-tenaga-
kesehatan-rev_1
7. Pedoman Pelayanan Kesehatan Keluarga di Masa Pandemi COVID-19, dapat
diunduh melalui http://bit.ly/PanduanDitKesgaEraCOVID19
8. Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa Dan Psikososial Pada Pandemi COVID-19
dapat di unduh melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/pedoman-
dukungan-kesehatan-jiwa-dan-psikososial-pada-pandemi-covid-19
9. Panduan Kegiatan Menjaga Kebersihan Lingkungan dan Langkah-Langkah
Disinfeksi dalam Rangka Pencegahan Penularan COVID-19 dapat di unduh
melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/panduan-kegiatan-
menjaga-kebersihan-lingkungan-dan-langkah-langkah-desinfeksi-dalam-rangka-
pencegahan-penularan-covid-19

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 154


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
10. Panduan Penyiapan Fasilitas Shelter Untuk Karantina dan Isolasi Terkait COVID-
19 Berbasis Komunitas dapat di unduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/panduan-penyiapan-fasilitas-
shelter-untuk-karantina-dan-isolasi-covid-19-berbasis-komunitas/
11. Protokol Pencegahan Penularan COVID-19 Bagi Aparat yang Melaksanakan
Tugas Pengamanan dan Penertiban dalam Rangka Percepatan Penangan
COVID-19 dapat di unduh melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-
19/protokol-pencegahan-penularan-covid-19-bagi-aparat-yang-melaksanakan-
tugas/
12. Protokol Penanganan COVID-19 di Tempat Kerja, Sektor Jasa, dan Perdagangan
(Area Publik) dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha dapat di unduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-pencegahan-covid-19-
tempat-kerja-sektor-jasa-dan-perdagangan

7. 6. Media Komunikasi, Informasi, dan Edukasi Penanggulangan COVID-19


Branding Visual Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku dalam Pencegahan COVID-19
merupakan bagian dari Komunikasi Risiko dan Pemberdayaan Masyarakat. Materi
Edukasi Pencegahan COVID-19 akan menggunakan logo Berubah Usir Wabah secara
konsisten, sebagai bentuk perubahan dari perilaku lama ke perilaku baru.

Gambar 7. 1. Tagline Berubah Usir Wabah

Keterangan:
1. Gambar virus berwarna abu di sebelah kiri menunjukkan virus yang mati.
2. Garis kurva berwarna gradasi dari merah menuju hijau menunjukkan bahwa kurva kasus
COVID-19 menurun dari zona merah menuju zona aman jika kita mau berubah.
3. Anak panah berwarna merah mengilustrasikan perubahan perilaku sebagai anak panah
yang akan mampu menekan dan membunuh virus.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 155


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Konsep di atas akan diturunkan (eksekusi) ke dalam media-media edukasi secara
konsisten.
Berikut ini merupakan contoh media promosi kesehatan yang dapat disebarluaskan
kepada masyarakat mengenai pencegahan COVID-19 termasuk di masa adaptasi
kebiasaan baru.

Tabel 7. 1. Contoh Media Promosi Kesehatan

Inti Pesan C o n t o h M e d i a

Pesan di Situasi
Adaptasi
Kebiasaan Baru

Video Motion
Grafis
Adaptasi
Kebiasaan
Baru

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 156


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Inti Pesan C o n t o h M e d i a

Pesan Kunci :
Cuci Tangan
Pakai Sabun

Pesan Kunci :
Jaga Jarak

Pesan Kunci :
Bijak Memakai
Masker dan
Etika Batuk

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 157


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Inti Pesan C o n t o h M e d i a

Pesan
Pendukung: Tidak
Mudik

Pesan
Pendukung:

Beribadah
Ramadhan di
Rumah

Link Media yang Dapat Diunduh


1. Buku Strategi Komunikasi Perubahan Perilaku Pencegahan COVID-19:
http://promkes.kemkes.go.id/buku-stratkom-perubahan-perilaku-pencegahan-
covid-19
2. Media Cetak: http://promkes.kemkes.go.id/kumpulan-video-terkait-dengan-covid-
19
3. Media Audio Visual: http://promkes.kemkes.go.id/kumpulan-flyer-pencegahan-
virus-corona
4. Media Audio: http://promkes.kemkes.go.id/audio-ilm
5. Media Berubah Usir Wabah: http://promkes.kemkes.go.id/kumpulan-media-
berubah-usir-wabah
6. Media Adaptasi Kebiasaan Baru: http://promkes.kemkes.go.id/kumpulan-media-
adaptasi-kebiasaan-baru

Dapatkan Materi Edukasi Pencegahan COVID-19 di Saluran Komunikasi:

1. Website Resmi: www.kemkes.go.id, www.promkes.kemkes.go.id


2. Facebook Page: kementerian kesehatan RI, ditpromkes
3. Instagram: @kemenkes_ri, @dit_promkes
4. Twitter: @kemenkesRI, @ditpromkes
5. Youtube: Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Promkes dan PM Kemenkes RI

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 158


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB VIII
PENYEDIAAN SUMBER DAYA

Penyediaan sumber daya untuk respon pengendalian COVID-19 harus dilakukan


untuk mendukung penyelenggaraan respon medis dan laboratorium serta respon
komponen lain. Penyediaan sumber daya ini perlu dilakukan oleh Pemerintah Pusat bekerja
sama dengan Pemerintah Daerah. Beberapa langkah yang perlu dilakukan untuk menjamin
kelancaran penyediaan sumber daya, meliputi:
8. 1. Perencanaan Kebutuhan Logistik
Untuk itu diperlukan informasi yang meliputi:
1. Skenario kejadian pandemi, estimasi jumlah korban dan permasalahan kesehatan
yang akan muncul.
2. Ketersediaan logistik (termasuk bantuan-bantuan yang sudah diterima).
3. Sumber daya manusia yang dapat dimobilisasi untuk COVID-19
4. Ketersediaan fasyankes dan tempat tidur di Rumah Sakit, Rumah Sakit Darurat
dan tempat isolasi terpadu.
5. Kapasitas pemeriksaan laboratorium
6. Pembuangan dan pemusnahan limbah medis serta pengelolaan lingkungan
sekitar fasyankes
7. Kondisi gudang penyimpanan
8. Fasilitas infrastruktur Kesehatan dan non kesehatan yang dapat mendukung
pelayanan kesehatan
9. Skenario pelaksanaan pelayanan kesehatan esensial yang tetap harus berjalan
(protokol kesehatan, alih fungsi ruangan, serta sarana pencegahan penularan
COVID-19 dari petugas kesehatan kepada pasien yang datang maupun
sebaliknya)

8. 2. Pemenuhan Kebutuhan Logistik


Untuk pemenuhan kebutuhan diusahakan dengan menggunakan logistik dari unit
pelayanan kesehatan atau dari persediaan provinsi dan kabupaten/kota. Bila tidak
mencukupi maka perlu dipertimbangkan untuk melakukan pengadaan dan/atau
meminta bantuan pada institusi yang lebih tinggi (buffer stock provinsi/nasional). Untuk
itu diperlukan informasi yang meliputi:
1. Bantuan logistik apa saja yang dapat diberikan oleh institusi yang lebih tinggi.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 159


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
2. Kajian jumlah kebutuhan logistik yang dibuat dengan mengakomodasi usulan
kebutuhan kabupaten/kota serta menggunakan data-data terkait (jumlah kasus,
jumlah fasyankes, jumlah SDM kesehatan, dan lain-lain) yang riil di lapangan
sebagai dasar perhitungan yang dapat dipertanggungjawabkan.
3. Sumber-sumber pendanaan baik dari APBD, APBN maupun swasta dan
masyarakat.
4. Sistem pengelolaan dan pengendalian rantai suplai untuk persediaan medis
termasuk Disease Commodity Package COVID-19 dan cadangan kit pasien di
dalam negeri.
5. Proses pengadaan (termasuk import dan bea cukai) untuk suplai medis dan
kebutuhan esensial lainnya.
6. Menilai kapasitas produksi lokal untuk memenuhi peningkatan permintaan akan
suplai medis dan kebutuhan pokok lainnya, dan mengoordinasikan permintaan
suplai internasional melalui mekanisme pengadaan regional dan global.

8. 3. Penyimpanan Logistik
Mengingat barang logistik dalam permasalah ini adalah adalah logistik kesehatan maka
perlu diperhatikan mengenai menyimpanan adalah:
1. Kemudahan akses, hal ini perlu di perhatikan karena tempat penyimpanan ini akan
menjadi Posko Logistik sehingga perlu perhatikan ukuran jalan apakah dapat
dilewati kendaraan besar, kontur jalan, akses dekat dengan jalan utama, dan
sebagainya.
2. Keamanan, Mengingat permasalah Pandemi COVID-19 ini bukan hanya
berdampak pada kesehatan tetapi sangat berpontensial akan berimbas ke sektor
ekonomi hal diakibatkan karenakan strategi untuk memutuskan rantai penularan
COVID-19 dengan cara PSBB sehingga banyak kebijakan perusahaan yang
merumahkan atau memberhentikan sementara pegawainya sehingga ini
berdampak pada masalah ekonomi. Hal ini berpotensi menyebabkan masalah
sosial sehingga perlu pertimbangan masalah keamanan lokasi tempat
penyimpanan logistik.
3. Kondisi dan kapasitas. Untuk logistik kesehatan perlu di perhatikan mengenai
suhu di tempat penyimpanan dikarenakan ada beberapa barang kesehatan yang
memerlukan suhu dengan temperatur tertentu sepeti reagen dan sebagainya.
4. Pencatatan, administrasi dan dokumentasi. Dalam manajemen logistik prinsip
First In First Out (FIFO) harus tetap menjadi landasan. Sehingga untuk barang
yang mempunyai kedaluarsa bisa termanfaatkan lebih dahulu dan pastikan semua

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 160


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
tercatat, terdokumentasi baik barang yang masuk maupun keluar. Dalam rangka
monitoring ketersediaan logistik, diperlukan pencatatan Jumlah ketersedian dan
kebutuhan secara berkala oleh instansi menggunakan formulir sebagaimana
terlampir.

8. 4. Distribusi Logistik
Setelah melakukan perencanaan untuk perhitungan distribusi yang sudah dibahas
dibab sebelumnya maka point ini akan membahas mengenai distribusi. Pada prinsipnya
distribusi adalah mencari skema yang paling cepat, efektif dan efisien Ada beberapa
skema distribusi yang bisa gunakan antara lain:
1. Pizza Delivery, dalam skema ini logistik langsung diantar ke objek yang akan di
distribusi, kendalanya adalah dalam kondisi darurat SDM maupun fasilitas
kendaraan angkut akan sangat terbatas. Skema ini efektif jika lokasi dekat dengan
Posko Logistik.
2. Drive Thru, dalam skema ini objek yang akan didistribukasikan, diinfomasikan
untuk dapat mengambil logistik sendiri di posko, skema ini relatif efisien, cepat
dan efektif. Tetapi untuk jarak yang jauh dan harus menggunakan angkutan udara
skema ini menjadi sebaliknya.
3. Military Cooperation, dalam Skema ini berkoordinasi dengan pihak Militer untuk
dapat mengerahkan Alat Utama Sistem Pertahanan (ALUTSISTA) dalam hal ini
alat angkut untuk dapat membantu dalam mendistribusikan logistik.
Permasalahan yang perlu di perhatikan adalah koordinasi mengenai administasi
dan dokumentasi dalam pengiriman.
4. Private Expedition, dalam skema ini pengiriman logistik akan dilaksanakan
manggunakan pihak swasta sehingga dalam skema ini perlu diperhatikan
anggaran untuk pengirimannya dan juga tidak lupa koordinasi mengenai
administasi dan dokumentasi dalam pengiriman.

Untuk membantu penghitungan sumber daya yang digunakan dalam penanganan


pasien dan manajemen penyakit dalam respons COVID-19, WHO mengembangkan
alat bantu/tool, yaitu WHO COVID-19 Essential Supplies Forecasting Tool (COVID-
ESFT). Tool ini mengakomodir perhitungan kebutuhan logistik dan kebutuhan tenaga
kesehatan untuk penanganan pandemi COVID-19.
Tool ini mencakup beberapa kategori komoditas esensial yaitu hygiene kit (Chlorine,
alcohol, sabun, biohazardous bag), APD (gaun, masker, dan lain-lain), alat diagnostik
dan manajemen kasus (termasuk obat-obatan dan alat kesehatan). Sasarannya
adalah untuk:

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 161


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
1. Perawatan rawat inap bagi pasien berat dan kritis (tenaga kesehatan, petugas
kebersihan, penunggu pasien, petugas ambulans, tenaga Teknik biomedika)
2. Isolasi untuk pasien ringan dan sedang (penunggu pasien dan pasien)
3. Skrining/Triase (petugas kesehatan dan pasien)
4. Laboratorium (teknisi dan petugas kebersihan)
Sebagai catatan, untuk penghitungan kebutuhan APD lainnya seperti untuk penyelidikan
epidemiologi, penanganan jenazah, harus dilakukan secara manual dan tidak bisa
menggunakan ESFT. Termasuk penghitungan kebutuhan petugas kesehatan yang
melakukan pelayanan kesehatan esensial non COVID-19, karena pelayanan kesehatan
tetap harus berjalan, baik UKM (upaya kesehatan masyarakat) maupun UKP (upaya
kesehatan perorangan).
Instrumen ESFT telah dirancang agar user-friendly, dan memungkinkan pengguna
dengan cepat memperhitungkan kebutuhan komoditas berdasarkan asumsi skenario
pandemi dan ketersediaan sumber daya yang ada. Instrumen ini dirancang untuk
mendukung secara proaktif pengambilan keputusan dan memungkinkan pengadaan
cepat suplai esensial di masa awal pandemi. Penghitungan yang dilakukan bisa sampai
untuk kebutuhan 52 minggu. Untuk lebih lengkap terkait tool EFST ini dapat dilihat pada
link berikut https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-
2019/technical-guidance/covid-19-critical-items

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 162


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
BAB IX
PELAYANAN KESEHATAN ESENSIAL

Pelayanan kesehatan esensial adalah pelayanan kesehatan rutin dasar yang


kebutuhannya akan terus ada di masyarakat dan perlu diprioritaskan keberlanjutannya
selama situasi pandemi. Pelayanan kesehatan esensial dalam hal ini dilaksanakan untuk
mendukung tercapainya Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan melalui Upaya
Kesehatan Masyarakat (UKM) esensial maupun Upaya Kesehatan Perseorangan (UKP).
Pada saat pandemi berlangsung, sistem kesehatan dihadapkan pada tantangan menjaga
keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan penanganan pandemi di satu sisi, serta
pemenuhan pelayanan kesehatan rutin di sisi lain. Keterbatasan berbagai sumber daya
menyebabkan pengalihtugasan hampir semua lini di sistem kesehatan untuk merespon
kebutuhan pandemi. Namun jika kebutuhan pelayanan kesehatan rutin dasar tidak terpenuhi,
dikhawatirkan hal ini dapat menyebabkan peningkatan angka kesakitan dan kematian karena
berbagai kondisi kesehatan lainnya yang sebenarnya bisa dicegah atau diobati. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, sistem kesehatan perlu disiapkan supaya dapat beradaptasi
untuk memastikan bahwa masyarakat tetap bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang
diperlukan selama wabah berlangsung. Berikut beberapa rekomendasi yang dapat digunakan
untuk tujuan tersebut.

9. 1. Mengidentifikasi dan Memprioritaskan Pelayanan


Sejalan dengan perkembangan transmisi COVID-19, fasyankes harus melakukan
identifikasi terhadap pelayanan yang dapat diberikan dan prioritas pelayanan dengan
mempertimbangkan manfaat dan risiko dalam rangka merespon keterbatasan sumber
daya dalam pelayanan kesehatan pada masa pandemi COVID-19 serta mengurangi
paparan dan risiko transmisi baik untuk masyarakat itu sendiri maupun bagi tenaga
kesehatan atau non-kesehatan di fasyankes. Untuk itu dibutuhkan langkah-langkah
dalam melakukan pencegahan penyebaran COVID-19 salah satunya dengan
pembatasan pelayanan kesehatan secara tatap muka melalui pemanfaatan teknologi
informasi dan komunikasi berupa telemedicine sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Dalam melakukan identifikasi dan prioritas pelayanan kesehatan tersebut, juga untuk
mencegah tidak bertambahnya angka kesakitan dan kematian yang dapat membebani
sistem kesehatan. Pelayanan tersebut dikategorikan sebagai pelayanan esensial,
antara lain:

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 163


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
1. Pelayanan kesehatan keluarga sepanjang siklus kehidupan, dan keberlanjutan
layanan KB. Pelaksanaan pelayanan kesehatan ini mengacu pada pedoman
yang disusun oleh Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan.
Pedoman dapat diunduh melalui http://bit.ly/PanduanDitKesgaEraCOVID19
2. Peayanan kesehatan untuk TB. Pedoman mengenai TB merujuk pada Protokol
tentang Pelayanan TBC Selama Masa Pandemi COVID-19 dapat di unduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-tentang-pelayanan-tbc-
selama-masa-pandemi-covid-19/
3. Pelayanan Kesehatan untuk HIV. Pedoman mengenai HIV merujuk Protokol
Pelaksanaan Layanan HIV AIDS Selama Pandemi COVID-19 dapat diunduh
melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-pelaksanaan-
layanan-hiv-aids-selama-pandemi-covid-19/
4. Manajemen penyakit menular lainnya, berikut pedoman yang dapat menjadi
acuan:
a. Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta dan
Frambusia dalam situasi Pandemi COVID-19 dapat diunduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/pelaksanaan-pencegahan-
dan-pengendalian-penyakit-kusta-dan-frambusia-dalam-situasi-pandemi-
covid-19/
b. Pelaksanaan Pencegahan dan Pengendalian DBD dalam Situasi Pandemi
COVID-19 dapat diunduh melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-
covid-19/pelaksanaan-pencegahan-dan-pengendalian-dbd-dalam-situasi-
pandemi-covid-19/
c. Protokol Layanan Malaria Dalam Masa Pandemi COVID-19 dapat diunduh
melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/protokol-layanan-
malaria-dalam-masa-pandemi-covid-19/
5. Manajemen penyakit kronis - penyakit kardiovaskular, hipertensi, diabetes,
kesehatan mental. Berikut pedoman yang dapat menjadi acuan:
a. Pedoman Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada Pandemi
COVID-19 dapat diunduh melalui https://covid19.kemkes.go.id/protokol-
covid-19/pedoman-dukungan-kesehatan-jiwa-dan-psikososial-pada-
pandemi-covid-19/
b. Penanganan PTM Dalam Masa Pandemi COVID-19 dapat diunduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/penanganan-orang-
dengan-faktor-risiko-dan-penyandang-ptm-dalam-masa-pandemi-covid-19/

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 164


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
6. Pelayanan imunisasi. Pedoman mengenai pelayanan imunisasi merujuk petunjuk
teknis pelayanan imunisasi pada masa pandemi COVID-19 dapat diunduh melalui
https://covid19.kemkes.go.id/protokol-covid-19/petunjuk-teknis-pelayanan-
puskesmas-pada-masa-pandemi-covid-19/
7. Kelanjutan terapi rawat inap kritis
8. Pelayanan untuk kondisi kesehatan darurat dan penyakit akut umum yang
memerlukan intervensi segera
9. Ketersediaan obat-obatan esensial, termasuk obat-obatan untuk manajemen
penyakit kronis, serta pelayanan diagnostik dasar, bank darah, dan alat
perlindungan diri bagi tenaga kesehatan

Pemilihan pelayanan yang akan diprioritaskan pemberiannya sebaiknya disesuaikan


dengan konteks sistem kesehatan dan beban penyakit di masing-masing daerah.
Namun di awal prioritas sebaiknya ditujukan untuk mencegah penyebaran penyakit
menular, mencegah kesakitan dan kematian ibu dan anak, mencegah eksaserbasi akut
penyakit kronis dengan menjaga ketersediaan rejimen pengobatan, serta untuk
memenuhi kebutuhan kondisi-kondisi darurat.

9. 2. Strategi Adaptasi Pelayanan Kesehatan Esensial dalam Situasi Respons Pandemi


COVID-19
Jika sudah ditetapkan pelayanan kesehatan esensial apa saja yang diprioritaskan,
langkah berikutnya adalah menetapkan strategi pemberian pelayanan kesehatan
tersebut. Jika fasilitas dimana pelayanan tersebut biasanya diberikan telah ditunjuk
menjadi tempat perawatan khusus bagi mereka yang terkena dampak COVID-19,
pelayanan bisa dialihkan ke lokasi lain. Salah satu caranya dengan mengalihkan dan
mengkonsentrasikan pemberian pelayanan akut di FKTP (seperti Puskesmas) atau di
unit gawat darurat rumah sakit tingkat pertama. Jika ini tidak bisa dilakukan, lokasi lain
yang memungkinkan untuk dijadikan alternatif perlu dipertimbangkan, misalnya lokasi
ad-hoc yang berada di masyarakat seperti di sekolah atau di balai kesehatan. Lokasi
tersebut dapat menjadi lokasi utama pemberian pelayanan untuk gejala seperti demam,
perdarahan terkait kehamilan, nyeri dada atau sakit kepala. Jika pandemi berlangsung
berkepanjangan, pihak berwenang perlu secara teratur mempertimbangkan kembali
status pelayanan kesehatan yang dianggap esensial, seperti pelayanan rawat jalan
untuk kondisi yang tingkat kedaruratannya dapat berubah sewaktu-waktu, contohnya
pada pengobatan kanker. Selain itu karena terbatasnya pelayanan rujukan di tengah
situasi pandemi, setiap tenaga kesehatan harus siap mengambil tanggung jawab
tambahan terkait manajemen kondisi yang bisa mengancam jiwa (kesulitan bernapas,

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 165


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
syok, perubahan status mental, dan cedera pada pasien dari segala usia).

Untuk pelayanan imunisasi, jika kapasitas sistem kesehatan masih utuh dan pelayanan
kesehatan rutin masih bisa dipertahankan seperti biasa serta didukung dengan masih
memadainya tenaga kesehatan dan pasokan vaksin, pelayanan imunisasi di fasyankes
harus dilaksanakan dengan tetap menjalankan langkah-langkah pengendalian infeksi
sesuai dengan protokol. Surveilans untuk PD3I juga harus terus dilakukan untuk
mempertahankan deteksi dan penanganan kejadian PD3I secara lebih awal untuk
mencegah terjadinya KLB. Jika memungkinan, dilakukan integrasi antara surveilans
PD3I dengan surveilans COVID-19. Jika pelayanan imunisasi terdampak, maka perlu
direncanakan strategi untuk mengejar ketinggalan vaksinasi serta untuk menjalankan
pemulihan program imunisasi. Karena adanya rekomendasi pembatasan sosial selama
pandemi COVID19, pelaksanaan imunisasi masal tidak dianjurkan.

Untuk penyakit tidak menular kronis atau penyakit-penyakit lainnya yang membutuhkan
pengobatan jangka panjang seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler, TB dan HIV/
AIDS, penguatan rantai pasokan untuk memastikan kesinambungan rejimen
pengobatan dan pemberian stok obat kepada pasien untuk jangka waktu yang
diperpanjang dapat menjadi strategi pencegahan eksaserbasi akut serta mengurangi
kebutuhan kunjungan ke fasyankes. Penggunaan teknologi digital dapat diintensifkan
untuk mendukung pasien melalui komunikasi, konseling, dan manajemen informasi.
Khusus untuk TB, menemukan dan mengobati orang dengan TB tetap menjadi pilar
dasar pencegahan dan perawatan TB. Namun disadari bahwa hal ini menjadi tantangan
dan memerlukan strategi khusus.

Dalam situasi respon pandemi COVID-19 dimana ada anjuran pembatasan sosial, maka
kunjungan rumah dari kader kesehatan dapat menjadi ujung tombak pemberian
pelayanan kesehatan esensial. Peran mereka dapat dioptimalkan dengan pemberian
training tambahan untuk melakukan beberapa jenis pelayanan kesehatan sekaligus.
Dalam pelaksanaannya, keselamatan para kader juga harus dijaga melalui penyediaan
alat perlindungan diri dan dukungan umum lainnya untuk tenaga kesehatan. Peran
sektor swasta termasuk LSM juga berpotensi untuk lebih ditingkatkan guna memberikan
pelayanan kesehatan esensial selama pandemi berlangsung. Fasyankes milik swasta
atau LSM dapat diminta untuk dijadikan lokasi pemberian pelayanan kesehatan rutin
yang tidak bisa diberikan di fasyankes publik yang dijadikan lokasi perawatan pasien
COVID-19.

Keselamatan baik pasien maupun tenaga kesehatan ketika pasien datang untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan rutin perlu menjadi perhatian. Ketika pasien datang,

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 166


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
kita belum bisa memastikan diagnosis pasien tersebut. Oleh karena itu, prosedur
pencegahan dan pengendalian infeksi perlu diterapkan dengan baik, khususnya di pintu-
pintu masuk tempat pemberian pelayanan dan unit gawat darurat, baik itu di Puskesmas,
rumah sakit, bahkan di tempat pemberian pelayanan berbasis masyarakat seperti
Posyandu. Pengaturan jarak, kebersihan tangan, penggunaan APD yang tepat bagi
tenaga kesehatan, serta pembersihan dan disinfeksi permukaan dan lingkungan perlu
diterapkan setiap saat. Prosedur Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) lebih
lengkap dapat dilihat pada Bab VI. Jika diperlukan, maka pelatihan penyegaran langkah-
langkah pencegahan dan pengendalian infeksi dasar dan tambahan yang harus
diadopsi terkait COVID-19 sebaiknya dilakukan untuk semua tenaga kesehatan di
semua tingkat sistem kesehatan.

Kapasitas skrining dan triase untuk semua pasien serta isolasi untuk pasien COVID-19
juga perlu diperkuat, termasuk pengaturan ruangan dan alur pasien serta tempat
penyimpanan alat pelindung diri dan produk-produk pencegahan dan pengendalian
infeksi. Sebaiknya waktu konsultasi bisa dijadwalkan, untuk menghindari kerumunan
pasien di ruang tunggu. Ruang tunggu juga sebaiknya ditata ulang untuk memastikan
jarak fisik. Jumlah pengunjung dan waktu kunjungan sebaiknya dibatasi. Jika
memungkinkan, penataan ulang ruangan untuk menciptakan aliran pasien satu arah
sebaiknya dilakukan untuk meminimalkan kontak yang tidak perlu antara pasien dan
tenaga kesehatan.

Perubahan-perubahan strategi pemberian pelayanan tersebut harus dikomunikasikan


dengan baik dan jelas kepada masyarakat, untuk mempersiapkan dan membimbing
perilaku pencarian pelayanan kesehatan yang aman selama pandemi berlangsung.
Informasi penting lain yang harus disampaikan antara lain kondisi kesehatan seperti apa
yang dapat ditunda pengobatannya, atau yang harus segera ditangani, demikian juga
dengan langkah-langkah pencegahan infeksi dasar perorangan yang harus dilakukan
oleh masyarakat. Ketika masyarakat memutuskan untuk datang ke fasyankes, maka
protokol standard terkait respon COVID-19 harus dijalankan, seperti skrining pasien
pada saat kedatangan, triase untuk menentukan prioritas penanganan, mekanisme
isolasi, serta pelaksanaan kriteria dan protokol rujukan untuk pasien yang diduga
COVID19. Penetapan alur pasien yang efektif ini merupakan hal yang penting di semua
tingkat pelayanan kesehatan.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 167


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
9. 3. Mendukung Kesiapan Fasilitas Pelayanan Kesehatan di Daerah Untuk Memastikan
Keberlanjutan Pelayanan Kesehatan Esensial
Guna membantu daerah dalam mendukung kesiapan sistem kesehatan untuk
memastikan keberlanjutan pelayanan kesehatan rutin, maka diperlukan mekanisme dan
protokol untuk mengatur pemberian pelayanan kesehatan rutin ini, yang dikoordinasikan
dengan rencana operasional respon pandemi COVID-19. Di dalam protokol ini,
hendaknya ditetapkan ambang batas, kapan pengurangan bertahap pelayanan
kesehatan rutin komprehensif menjadi pelayanan kesehatan rutin yang esensial
seharusnya dilakukan. Di tiap tahap, perlu ditentukan pelayanan kesehatan rutin apa
saja yang akan ditunda atau dipertahankan, serta strategi pemberian pelayanannya.
Perlu diatur juga, bagaimana berbagai sumber daya yang ada seperti keuangan, tenaga
kesehatan, peralatan, obat-obatan akan dikelola untuk memenuhi kebutuhan pandemi
sekaligus kebutuhan pelayanan kesehatan rutin. Selain itu, koordinasi antara sektor
publik dan swasta juga perlu dilakukan, jika sektor swasta ingin dilibatkan secara efektif.
Pemberian pelayanan kesehatan esensial perlu dinilai dan dipantau, supaya kita bisa
mengetahui kesenjangan dan kebutuhan yang ada, serta secara dinamis memetakan
jalur-jalur rujukan.

Untuk mengetahui ketersediaan fasyankes yang bisa dilibatkan baik untuk pemenuhan
respon pandemi maupun mempertahankan pelayanan kesehatan rutin, sebaiknya
dilakukan pemetaan fasyankes, baik yang ada di sektor publik, swasta, maupun yang
dimiliki oleh TNI/ Polri. Demikian juga untuk memastikan ketersediaan tenaga
kesehatan, maka perlu dilakukan pemetaan kebutuhan tenaga kesehatan berdasarkan
empat skenario transmisi COVID-19 dan dikoordinasikan dengan rencana operasional
respon COVID-19. Kekurangan tenaga kesehatan dapat diantisipasi dengan beberapa
cara sebagai berikut:

1. Meminta tenaga kesehatan untuk bisa bekerja lembur dengan mendapatkan


insentif tambahan
2. Meminta bantuan tenaga kesehatan dari daerah yang belum terkena dampak
COVID-19
3. Mengidentifikasi tenaga kesehatan yang sudah terkualifikasi - pensiunan dan
intern yang memiliki surat ijin praktek
4. Memobilisasi LSM, TNI/Polri, Palang Merah/Bulan Sabit, dan sektor swasta
5. Meningkatkan dukungan untuk pelayanan berbasis rumah
6. Memanfaatkan platform berbasis web – untuk pelayanan klinis langsung,
pelatihan, dukungan dalam mengambil keputusan klinis
7. Melatih dan memanfaatkan tenaga dari sektor non-kesehatan untuk mendukung

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 168


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
fungsi di fasyankes (administrasi, pemeliharaan, dan lain-lain)
8. Bila perlu, pertimbangkan untuk mengadakan percepatan jalur pelatihan dan
sertifikasi awal
Dengan bertambahnya beban kerja tenaga kesehatan, maka dukungan harus diberikan
kepada para tenaga kesehatan agar dapat menjalankan tugasnya dengan baik, seperti:

1. Memberlakukan jam kerja yang sesuai dan memastikan tenaga kesehatan


memperoleh waktu istirahat yang cukup
2. Memberikan bimbingan, pelatihan, dan persediaan alat perlindungan diri untuk
membatasi paparan terhadap risiko infeksi
3. Memberikan keamanan fisik dan dukungan psikososial
4. Pemantauan penyakit, stres dan kelelahan
5. Memastikan pembayaran gaji, cuti sakit, insentif dan lembur tepat waktu
Hal lain yang juga penting untuk diperhatikan adalah ketersediaan obat-obatan,
peralatan, dan persediaan esensial lainnya. Dengan adanya kebutuhan untuk
mengalihkan suplai dan obat-obatan bagi respon pandemi, yang dapat diperparah
dengan terganggunya rantai pasokan karena efek wabah di sektor lain, maka stock-out
dari suplai untuk pelayanan kesehatan esensial sangat mungkin terjadi. Memastikan
ketersediaan suplai esensial bisa dilakukan dengan pertama-tama membuat daftar
kebutuhan yang diperlukan oleh pelayanan kesehatan esensial yang akan
dipertahankan, kemudian memetakan farmasi dan pemasok yang dapat memenuhi
kebutuhan tersebut. Jika memungkinkan, pembuatan platform untuk melaporkan
inventaris dan stock-out persediaan merupakan hal yang bisa dilakukan untuk
mengkoordinasikan dan mendistribusikan ulang persediaan yang dibutuhkan.

9. 4. Memantau Keberlangsungan Pemberian Pelayanan Kesehatan Esensial


Setelah ada keputusan mengenai jenis-jenis pelayanan kesehatan esensial yang akan
dipertahankan pemberiannya, maka pemberian dan penggunaan berbagai pelayanan
kesehatan tersebut dipantau dan dianalisa secara berkala. Setiap gangguan pelayanan
yang ada harus disoroti dan dicarikan jalan keluar untuk menyesuaikan pemberian
pelayanannya, termasuk strategi-strategi untuk mempertahankan target-target
pencapaian di masing-masing layanan. Jalan keluar yang dipikirkan bisa
mempertimbangkan optimalisasi tenaga kesehatan, alokasi sumber daya, dan
memastikan ketersediaan suplai-suplai esensial.

Pemantauan keberlangsungan pemberian pelayanan kesehatan esensial dapat


dilakukan menggunakan indikator-indikator sistem informasi kesehatan yang sudah
ada, seperti sistem informasi kesehatan rutin dan sistem pencatatan statistik vital.
Indikator-indikator tersebut perlu dikumpulkan dan dianalisa secara rutin, agar

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 169


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
pemantauan juga bisa dilakukan secara rutin. Data yang dikumpulkan dan dianalisa
sebaiknya mengikutsertakan data mengenai pola penggunaan pelayanan rawat jalan,
penggunaan pelayanan kesehatan primer, jumlah total pemulangan pasien dari rumah
sakit, serta angka kematian, dibandingkan dengan data dari tahun-tahun sebelumnya.
Jika memungkinkan, analisa dilakukan berdasarkan umur, jenis kelamin, dan kelompok
masyarakat yang sesuai dengan konteks lokal, untuk memastikan prinsip ekuitas dalam
pemberian pelayanan kesehatan esensial tersebut. Berikut conto.h indikator yang
dapat digunakan untuk memantau keberlangsungan pemberian pelayanan kesehatan:

1. Jumlah total kunjungan rawat jalan atau pelayanan kesehatan primer


2. Jumlah total pemulangan dari rumah sakit dan kematian di rumah sakit (baik yang
terkait maupun tidak terkait dengan COVID-19)
3. Jumlah tenaga kesehatan yang dapat bekerja, yang dikelompokkan berdasarkan
kelompok pekerjaan
4. Jumlah tenaga kesehatan yang mengalami COVID-19, yang dikelompokkan
berdasarkan kelompok pekerjaan, termasuk tenaga kesehatan atau perawat di
panti wredha dan fasilitas perawatan jangka panjang
5. Obat-obatan atau suplai esensial yang persediaannya kurang dari 2 bulan yang
tidak dipastikan akan diisi kembali secara tepat waktu atau yang akan diisi kembali
(baik dipastikan maupun tidak)
6. Kunjungan ANC pertama bumil
7. Jumlah kelahiran di fasyankes
8. Jumlah bayi di bawah 1 tahun yang menerima dosis ketiga imunisasi difteri-
tetanus-pertusis (DPT3) atau dosis pertama imunisasi campak
9. Jumlah perempuan yang menerima kontrasepsi (a) oral dan (b) suntik
10. Jumlah anak berusia 0-59 bulan yang masuk fasyankes untuk menerima
pengobatan kurang gizi (wasting) dan edema pitting bilateral
11. Persentase instalasi gawat darurat rumah sakit dengan alat triase tervalidasi yang
ada
12. Rasio kematian di rumah sakit akibat cedera akut dengan kematian keseluruhan
akibat cedera akut
13. Jumlah pasien rawat inap akibat kedaruratan kardiovaskular dan serebrovaskular
akut
14. Jumlah kasus TB baru dan kambuhan yang dilaporkan
15. Jumlah diagnosis kanker baru

Berbagai indikator di atas perlu dipantau dan dilaporkan selama periode tertentu
(mingguan atau bulanan).

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 170


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Dalam situasi pandemi, memperoleh data dengan aman dan tepat waktu bisa menjadi
tantangan utama. Upaya-upaya tambahan untuk mendapatkan laporan bulanan atau
mingguan dari fasyankes dan daerah mungkin akan diperlukan. Meskipun belum tentu
dapat mencerminkan kondisi secara nasional, pengumpulan data dari fasilitas-fasilitas
pelayanan kesehatan sentinel tertentu yang dapat dengan cepat dan mudah
memberikan laporan bisa dilakukan. Data tersebut setidaknya dapat digunakan untuk
memberikan bukti-bukti awal adanya perubahan dalam pemberian dan pemanfaatan
pelayanan kesehatan. Di daerah-daerah di mana informasi kuantitatif tidak cukup
karena sistem informasi kesehatan tidak sering digunakan, fasyankes dan tenaga
kesehatan harus dihubungi secara langsung melalui telepon agar laporan yang relevan
dapat diterima secara proaktif. Jika memungkinkan, data dari tenaga kesehatan di
komunitas dan platform-platform pemberian pelayanan lain (seperti pelayanan di rumah
dan pelayanan jangka panjang) sebaiknya juga dikumpulkan dan dianalisa.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 171


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
DAFTAR PUSTAKA

1. Burke RM, Midgley CM, Dratch A, Fenstersheib M, Haupt T, Holshue M, et al. Active
monitoring of persons exposed to patients with confirmed COVID-19 — United States,
January–February 2020. MMWR Morb Mortal Wkly Rep. 2020 doi :
10.15585/mmwr.mm6909e1external icon
2. Backer J, Backer J, Klinkenberg D, Wallinga J. 2020, Incubation period of 2019 novel
coronavirus (2019-nCoV) infections among travellers from Wuhan, China, 20–28 January
2020.https://www.eurosurveillance.org/content/10.2807/1560-7917.ES.2020.25.5.200
0062.
3. Byambasuren, O., Cardona, M., Bell, K., Clark, J., McLaws, M.-L., Glasziou, P., 2020.
Estimating the extent of true asymptomatic COVID-19 and its potential for community
transmission: systematic review and metaanalysis (preprint). Infectious Diseases (except
HIV/AIDS). MedRxiv.[preprint].(https://www.medrxiv.org/content/10.1101/2020.0
5.10.20097543v1
4. Epidemiology Group of the New Coronavirus Pneumonia Emergency Response
Mechanism of the Chinese Center for Disease Control and Prevention. Epidemiological
characteristics of the new coronavirus pneumonia [J / OL]. Chinese Journal of
Epidemiology, 2020,41 (2020-02-17) .http: //rs.yiigle.com/yufabiao/1181998.htm. DOI:
10.3760 / cma.j.issn.0254-6450.2020.02.003
5. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Supplement: Community
Containment Measures, Including Non Hospitasl Isolation and Quarantine.
https://www.cdc.gov/sars/guidance/d-quarantine/app3.html
6. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020.
Coronavirus. https://www.cdc.gov/coronavirus/index.html.
7. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2020. Symptom and
diagnosis.https://www.cdc.gov/coronavirus/about/symptoms.html.
8. Cascella M, Rajnik M, Cuomo A, Dulebohn SC, Napoli. RD. 2020. Features, Evaluation
and Treatment Coronavirus (COVID-19). https://www.ncbi.nlm.nih.gov
/books/NBK554776/?report=classic
9. CDC.2020. Human virus types. https://www.cdc.gov/coronavirus/types.html
10. Chen, et al. 2020. Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel
coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a descriptive study.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30211-7.
11. Du Z, Xu X, Wu Y, Wang L, Cowling BJ, Meyers LA. Serial interval of COVID-19 among
publicly reported confirmed cases. Emerging infectious diseases. 2020;26(6).
12. Doremalen N, Bushmaker T, Morris DH, Holbrook MG, Gamble A, Williamson BN, et al.
2020. Aerosol and Surface Stability of SARS-CoV-2 as Compared with SARS-CoV-1. N
Engl J Med. 2020 Apr 16;382(16):1564-1567. doi: 10.1056/NEJMc2004973. Epub 2020
Mar 17.
13. ECDC. 2020. Contact tracing: Public health management of persons, including healthcare
workers, having had contact with COVID-19 cases in the European Union – first update.
Tersedia pada: https://www.ecdc.europa.eu/sites/default/files/documents/Public-health-
management-persons-contact-novel-coronavirus-cases-2020-03-31.pdf
14. European Centre for Disease Prevention and Control. 2020. Risk assessment guidelines
for infectious diseases transmitted on aircraft (RAGIDA) Middle East Respiratory

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 172


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Syndrome Coronavirus (MERS-CoV). https://www.ecdc.europa.eu/en/publications-
data/risk-assessment-guidelines-infectious-diseases-transmitted-aircraft-ragida-middle
15. Gennaro FD , Pizzol D, Marotta C , et al. Coronavirus Diseases (COVID-19) Current Status
and Future Perspectives: A Narrative Review. Int. J. Environ. Res. Public Health 2020, 17,
269
16. Gorbalenya, A.E., Baker, S.C., Baric, R.S. et al. The species Severe acute respiratory
syndrome-related coronavirus: classifying 2019-nCoV and naming it SARS-CoV-2. Nat
Microbiol 5, 536–544 (2020). https://doi.org/10.1038/s41564-020-0695-z
17. Huang, et al. 2020. Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in
Wuhan, China. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(20)30183-5.
18. ICRC. 2018 Humanitarian Logistics and Supply Chain Management, people suffering in
war need your skills.
19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Peraturan menteri kesehatan Republik
Indonesia Nomor 27 Tahun 2017 Tentang Pedoman PPI. Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi (PPI).
20. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2019. Peraturan menteri kesehatan Republik
Indonesia Nomor 75 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan Krisis Kesehatan.
21. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2017. Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi
MERSCoV di Indonesia.
22. Kim JM,Chung YS, Jo Hj, Lee NJ, Kim MS, et al. 2020. Identification of Coronavirus
Isolated from a Patient in Korea with COVID-19. Osong Public Health Res Perspect
2020;11(1):3-7
23. Khan S, Siddique R, Shereen MA, Ali A, Liu J, Bai J, et al. 2020. Emergence of a Novel
Coronavirus, Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2: Biology and Therapeutic
Options. DOI: 10.1128/JCM.00187-20
24. Kimball A, Hatfield KM, Arons M, James A, et al. Asymptomatic and Presymptomatic
SARS-CoV-2 Infections in Residents of a Long-Term Care Skilled Nursing Facility — King
County, Washington, March 2020. MMWR, 3 April 2020, 69(13);377–381.
25. Lagier, J.C.; Colson, P.; Tissot Dupont, H.; Salomon, J.; Doudier, B.; Aubry, C.; Gouriet,
F.; Baron, S.; Dudouet, P.; Flores, R.; et al. Testing the repatriated for SARS-Cov2: Should
laboratory-based quarantine replace traditional quarantine? Travel Med. Infect. Dis. 2020.
[CrossRef]
26. Lippi, G.; Simundic, A.M.; Plebani, M. Potential preanalytical and analytical vulnerabilities
in the laboratory diagnosis of coronavirus disease 2019 (COVID-19). Clin. Chem. Lab.
Med. 2020. [CrossRef] [PubMed]
27. Li, Q. et al. Early transmission dynamics in Wuhan, China, of novel coronavirus–infected
pneumonia. N. Engl. J. Med. https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001316 (2020).
28. Onder G, Rezza G, Brusaferro S. Case-Fatality Rate and Characteristics of Patients Dying
in Relation to COVID-19 in Italy. JAMA. Published online March 23, 2020.
doi:10.1001/jama.2020.4683
29. Ong SW, Tan YK, Chia PY, Lee TH, Ng OT, Wong MS, et al. Air, surface environmental,
and personal protective equipment contamination by severe acute respiratory syndrome
coronavirus 2 (SARS-CoV-2) from a symptomatic patient. JAMA April 28, 2020 Volume
323, Number 16. https://jamanetwork.com/ journals/jama/fullarticle /2762692
30. N van Doremalen, et al. Aerosol and surface stability of HCoV-19 (SARS-CoV-2)
compared to SARS-CoV-1. The New England Journal of Medicine. DOI:
10.1056/NEJMc2004973 (2020).

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 173


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
31. Pan American Health Organization (PAHO). 2020. Dead body management in the context
of the novel coronavirus (COVID-19). https://www.paho.org/en/documents/dead-body-
management-context-novel-coronavirus-covid-19.
32. Pan American Health Organization (PAHO). 2020. Prehospital Emergency Medical
Services (EMS) COVID-19 Recommendations.
33. Perhimpunan Dokter Ahlli Emergensi Indonesia, 2020. Panduan penanganan gawat
darurat Covid-19
34. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI), Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam
Indonesia (PAPDI), Perhimpunan Dokter Anestesiologi dan Terapi Intensif Indonesia
(PERDATIN), Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), 2020, Protokol Tatalaksana COVID-
19
35. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2020, Tatalaksana Pasien COVID-19
36. World Health Organization (WHO). 2020. https://www.who.int/health-topics/coronavirus.
37. World Health Organization (WHO).2020.Global surveillance for human infection with
novel-coronavirus(2019-ncov) Interim guidance: 11 January 2020.
.https://www.who.int/publications-detail/global-surveillance- for-human-infection-with-
novel-coronavirus-(2019-ncov).
38. World Health Organization (WHO).2020.Global surveillance for human infection with
novel-coronavirus(2019-ncov).Interim guidance 21 January 2020.
https://www.who.int/publications-detail/global-surveillance- for-human-infection-with-
novel-coronavirus-(2019-ncov)
39. World Health Organization (WHO).2020. Laboratory testing for 2019 novel coronavirus
(2019-nCoV) in suspected human cases. https://www.who.int/publications-
detail/laboratory-testing-for-2019-novel-coronavirus-in-suspected-human-cases.
40. World Health Organization (WHO).2020. Laboratory testing of 2019 novel coronavirus
(2019-nCoV) in suspected human cases: interim guidance, 17 January 2020.
41. World Health Organization (WHO).2020. Laboratory testing for coronavirus disease
(COVID-19) in suspected human cases Interim guidance 19 March 2020
42. World Health Organization (WHO).2020. Clinical management of severe acute
Respiratory infection when novel coronavirus (nCoV) infection is
suspected. https://www.who.int/internal-publications-detail/clinical-management-of-
severe-acute- respiratory-infection-when-novel-coronavirus-(ncov)-infection-is-
suspected.
43. World Health Organization (WHO).2020. Home care for patients with suspected novel
coronavirus (nCoV) infection presenting with mild symptoms and management of contacts.
https://www.who.int/internal-publications-detail/home-care-for-patients-with-
suspected-novel-coronavirus-(nCoV)-infection-presenting-with-mild-symptoms-and-
management-of-contacts.
44. World Health Organization (WHO).2020. Infection prevention and control during health
care when novel coronavirus (nCoV) infection is suspected.
https://www.who.int/publications-detail/infection-prevention-and-control-during-health-
care-when-novel- coronavirus-(ncov)-infection-is-suspected.
45. World Health Organization (WHO).2020. Risk communication and community
engagement readiness and initial response for novel coronaviruses
(nCoV).https://www.who.int/publications-detail/risk-communication-and-community-
engagement-readiness-and-initial-response-for-novel-coronaviruses-(-ncov).

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 174


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
46. World Health Organization (WHO).2020. WHO recommendations to reduce risk of
transmission of emerging pathogens from animals to humans in live animal markets.
https://www.who.int/health-topics/coronavirus/who-recommendations-to-reduce-risk-of-
transmission-of-emerging-pathogens-from-animals-to-humans-in-live-animal-markets.
47. World Health Organization (WHO).2020. Advice for public.
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/advice-for-public
48. World Health Organization (WHO).2020. Frequently Asked Questions on novel
coronavirus - update https://www.who.int/csr/disease /coronavirus
infections/faq_dec12/en/.
49. World Health Organization (WHO).2020. Maintaining essential health services:
operational guidance for the COVID-19 context Interim guidance 1 June 2020.
50. World Health Organization (WHO).2020. Rational use of personal protective equipment
for coronavirus disease 2019 (COVID-19). Interim guideline 27 February 2020.
51. World Health Organization (WHO).2020. Home care for patients with suspected novel
coronavirus (nCoV) infection presenting with mild symptoms and management of contacts.
https://www.who.int/internal-publications-detail/home-care-for-patients-with-
suspected-novel-coronavirus-(nCoV)-infection-presenting-with-mild-symptoms-and-
management-of-contacts.
52. World Health Organization (WHO).2020. Repatriation_Quarantine_nCoV-key-
considerations_HQ-final11Feb.pdf.
53. World Health Organization (WHO).2020. Getting your workplace ready for COVID-19.
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/getting-workplace-ready-for-covid-
19.pdf.
54. World Health Organization (WHO).2020. Consideration for quarantine of individuals in the
context of containment for coronavirus disease (COVID-19).
https://www.who.int/publications-detail/considerations-for-quarantine-of-individuals-in-
the-context-of-containment-for-coronavirus-disease-(covid-19)
55. World Health Organization (WHO).2020. Management of ill travelers at Point of Entry-
International airport, seaports and ground crossings-in the context of COVID-19 outbreak.
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/technical-
guidance/points-of-entry-and-mass-gatherings .
56. World Health Organization (WHO).2020. Rational use of personal protective equipment
for coronavirus disease (COVID-19). https://apps.who.int/iris/handle/10665/331215
57. World Health Organization (WHO).2020. Clinical management of severe acute respiratory
infection (SARI) when COVID-19 disease is suspected. https://www.who.int/publications-
detail/clinical-management-of-severe-acute-respiratory-infection-when-novel-
coronavirus-(ncov)-infection-is-suspected.
58. World Health Organization (WHO).2020. Surveillance strategies for COVID-19 human
infection Interim guidance 10 May 2020. Tersedia pada
https://apps.who.int/iris/handle/10665/332051
59. World Health Organization (WHO).2020.Coronavirus disease 2019 (COVID-19) Situation
Report – 82. https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-
reports/20200411-sitrep-82-covid-19.pdf?sfvrsn=74a5d15_2
60. World Health Organization (WHO).2020.Public health criteria to adjust public health and
social measures in the context of COVID-19, Annex to Considerations in adjusting public
health and social measures in the context of COVID-19 12 May 2020.
https://www.who.int/publications-detail/public-health-criteria-to-adjust-public-health-and-
social-measures-in-the-context-of-covid-19
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 175
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
61. World Health Organization. 2015. Handbook for the management of Public Health Event
In air Transport. https://www.who.int/ihr/publications/9789241510165_eng/en/
62. World Health Organization (WHO).2014. Revised WHO classification and treatment of
childhood pneumonia at health facilities.
https://www.who.int/maternal_child_adolescent/documents/child-pneumonia-
treatment/en/.
63. WHO, 2014. Contact Tracing During Outbreak of Ebola Virus Disease.
https://apps.who.int/iris/handle/10665/159040
64. Nishiura, et al. 2020. The Extent of Transmission of Novel Coronavirus
in Wuhan, China, 2020. J. Clin. Med. 2020, 9, 330; doi:10.3390/jcm9020330.
65. Read JM. 2020. Novel coronavirus 2019-nCoV: early estimation of epidemiological
parameters and epidemic predictions. http://dx.doi.org/10.1101/2020.01.23.20018549.
66. Shereen MA, Khan S, Kazmi A, Bashir N, Siddique R. 2020. Covid-19 infection: origin,
transmission, and characteristics of human coronaviruses.
Https://doi.org/10.1016/j.jare.2020.03.005
67. World Health Organization (WHO).2020. Advice on the use of masks in the context of
COVID-19. Interim guidance 5 June 2020. https://www.who.int/publications/i/item/advice-
on-the-use-of-masks-in-the-community-during-home-care-and-in-healthcare-settings-in-
the-context-of-the-novel-coronavirus-(2019-ncov)-outbreak
68. World Health Organization (WHO).2020. Operational considerations for managing
COVID-19 cases or outbreak in aviation Interim guidance 18 March 2020.
https://apps.who.int/iris/handle/10665/331488
69. World Health Organization. (2020). Contact tracing in the context of COVID-19: interim
guidance, 10 May 2020. https://apps.who.int/iris/handle/10665/332049.
70. World Health Organization. (2020). Operational considerations for managing COVID-19
cases or outbreaks on board ships: interim guidance, 25 March 2020. World Health
Organization. https://apps.who.int/iris/handle/10665/331591.
71. World Health Organization (WHO).2020.Considerations in the investigation of cases and
clusters of COVID-19 Interim guidance 2 April 2020
72. World Health Organization. (2020). Considerations in the investigation of cases and
clusters of COVID-19: interim guidance, 13 March 2020. World Health
Organization. https://apps.who.int/iris/handle/10665/331447.
73. World Health Organization (WHO). 2020. Coronavirus Disease (COVID-19).
https://www.who.int/health-topics/coronavirus.
74. World Health Organization (WHO). 2020. WHO Coronavirus Disease (COVID-19)
Dashboard. https://covid19.who.int/.
75. World Health Organization (WHO). 2020. Q&A on coronaviruses (COVID-19).
https://www.who.int/news-room/q-a-detail/q-a-coronaviruses
76. World Health Organization (WHO). 2020. situation Reports WHO 73.
https://www.who.int/docs/default-source/coronaviruse/situation-reports/20200402-sitrep-
73-covid-19.pdf
77. World Health Organization (WHO). 2020. Infection prevention and control of epidemic- and
pandemic-prone acute respiratory infections in health care. Geneva: World Health
Organization;
2014.https://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/112656/9789241507134_eng.pdf?
sequence=
78. World Health Organization (WHO). 2020. Critical preparedness, readiness and response
actions for COVID-19. Interim guidance 22 March 2020
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 176
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
79. World Health Organization (WHO). 2020. Criteria for releasing COVID-19 patients from
isolation Scientific brief 17 June 2020
80. Wu Z, McGoogan JM. Characteristics of and Important Lessons From the Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19) Outbreak in China: Summary of a Report of 72 314 Cases From
the Chinese Center for Disease Control and Prevention. JAMA. 2020;323(13):1239–1242.
doi:10.1001/jama.2020.2648
81. WHO.2020. Modes of transmission of virus causing COVID-19: implications for IPC
precaution recommendations. https://www.who.int/news-
room/commentaries/detail/modes-of-transmission-of-virus-causing-covid-19-implications-
for-ipc-precaution-recommendations
82. Wei WE, Li Z, Chiew CJ, Yong SE, et al. Presymptomatic Transmission of SARS-CoV-2
— Singapore, January 23–March 16, 2020. MMWR, 1 April 2020/69
83. Wang, D. 2020. Clinical Characteristics of 138 Hospitalized Patients With 2019 Novel
Coronavirus–Infected Pneumonia in Wuhan, China. JAMA. doi:10.1001/jama.2020.1585
84. Yang X, Yu Y, Xu J, Shu H, Xia J, Liu H et al. Clinical course and outcomes of critically ill
patients with SARS-CoV-2 pneumonia in Wuhan, China: a single-centered, retrospective,
observational study. Lancet Respir Med. 2020. Epub 2020/02/28. doi: 10.1016/S2213-
2600(20)30079-5. PubMed PMID: 32105632.
85. Zhu N, Zhang D, Wang W, Li X, yang B, Song J, et al. A novel coronavirus from patients
with pneumonia in China, 2019. N. Engl. J.
Med. https://doi.org/10.1056/NEJMoa2001017 (2020).
86. Zheng J. 2020. SARS-CoV-2: an Emerging Coronavirus that Causes a Global Threat. Int.
J. Biol. Sci. 2020; 16(10): 1678-1685. doi: 10.7150/ijbs.45

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 177


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
LAMPIRAN
Lampiran 1. Formulir Notifikasi Penemuan Kasus Pada Pelaku Perjalanan

Kantor Kesehatan Pelabuhan : …………………….


Tanggal : …………………….

Berangkat dari
Nomor Alamat Lokasi Status (diisi
No. Nama Nomor Paspor Umur L/P (negara asal
Seat Tinggal (lengkap) suspek/kontak)
kedatangan)

Keterangan: Form ini diisi oleh Petugas KKP dan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan setempat serta ditembuskan ke PHEOC.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 178


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 2. Formulir Pemantauan Harian (Digunakan Untuk Kontak Erat/Suspek/Probable)

Tempat Pemantauan : Rumah/KKP/Fasyankes/RS/Lainnya ………………………………


Kab/Kota : ………………………………
Nama Kasus Konfirmasi (hanya diisi untuk pematauan kontak : ………………………………
erat)
No. ID Petugas : ………………………………

Hasil
Tgl Pemeriksaan
Tanggal dan hasil Jenis
kontak Penunjang
pemantauan *) spesimen & Ket (diisi upaya
terakhir (jika berubah
No. tgl yang
Nama JK Umur Telfon (diisi status)
Pengambilan dilakukan, tempat
untuk
(jika berubah Lab rujukan kasus, dll)
kontak
erat) 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
dst..
status) (darah, Ro’
sputum)

*) Isikan: Tgl dan hasill pemantauan


X = sehat; D = Demam ; B = Batuk ; S =Sesak napas ; L = Gejala lain, sebutkan ; A = Aman (selesai dipantau) ; R = Rujuk RS

Keterangan: Form ini diisi oleh Petugas Kesehatan di tempat pemantauan dan dikirimkan kepada Dinas Kesehatan setempat
serta ditembuskan ke PHEOC

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 179


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 3. Laporan Notifikasi Penemuan Kasus COVID-19 Di Fasyankes
Tanggal :
Fasyankes :
Kab/Kota :
Nama Petugas / HP :

Riwayat Status
Gejala
Alamat (perjalanan / Epidemiologi Tindakan
Alamat No. Tgl. (terkait
No Nama NIK Umur JK sesuai (suspek/ (rujuk/rawat/is Ket
(domisili) HP Onset COVID- kontak / tidak
Identitas probable/ olasi mandiri)
19) ada konfirmasi)

Keterangan:
- Form ini diisi oleh fasyankes yang menemukan kasus terkait COVID-19, yaitu Puskesmas, Rumah Sakit, Klinik dan fasyankes lainnya.
- Rumah Sakit yang sudah terdaftar pada SIRS-Online, harus memastikan data kasus yang dinotifikasi tersebut ke dalam aplikasi SIRS-Online.
- Fasyankes yang melakukan pengambilan spesimen, selain membuat notifikasi kasus, harus melakukan entri data kasus ke dalam All Record TC-
19.
- Form notifikasi ini disampaikan setiap hari kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota untuk dilakukan rekapitulasi laporan harian.
- Kolom alamat wajib diisi secara lengkap hingga kecamatan dan kelurahan. Untuk alamat domisili diisi dengan alamat tinggal kasus dalam 14 hari
terakhir.
- Penting untuk melengkapi alamat domisili karena menjadi dasar penentuan lokasi asal ditemukannya kasus dan berkaitan dengan area fokus
penyelidikan epidemiologi.
- Kolom keterangan diisi dengan; tanggal rujuk, tanggal rawat, tanggal mulai isolasi mandiri, tanggal dilakukan PE.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 180


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 4. Laporan Harian Agregat COVID-19
DINAS KESEHATAN PROVINSI #
DINAS KESEHATAN KAB/KOTA #
NAMA PETUGAS/HP #
TANGGAL #
Jumlah dalam 1 Jumlah dalam 1 bulan
No STATUS HARI INI
minggu terakhir terakhir
1. DATA KASUS SUSPEK
Jumlah kasus suspek #
Jumlah kasus probable #
Jumlah kasus suspek diisolasi #
Jumlah kasus suspek discarded #

2. DATA KASUS KONFIRMASI


Jumlah kasus konfirmasi #
Jumlah kasus konfirmasi bergejala #
Jumlah kasus konfirmasi tanpa gejala
Jumlah kasus konfirmasi perjalanan (impor)
Jumlah kasus konfirmasi kontak *)
Jumlah kasus konfirmasi tidak ada riwayat perjalanan
atau kontak erat **)
Selesai isolasi kasus konfirmasi hari ini #

3. DATA PEMANTAUAN KONTAK ERAT


Jumlah kasus konfirmasi dilakukan pelacakan kontak
erat #
Jumlah kontak erat baru #
Jumlah kontak erat menjadi kasus suspek
Jumlah kontak erat menjadi kasus konfirmasi #
Jumlah kontak erat mangkir pemantauan
Jumlah kontak erat discarded #

4. DATA KASUS MENINGGAL


Meninggal RT-PCR (+) #
Meninggal Probabel #

5. PEMERIKSAAN RT-PCR
Jumlah kasus diambil specimen/swab #

6. SURVEILANS SEROLOGI
Jumlah rapid test
Jumlah rapid test reaktif
Jumlah reaktif periksa RTPCR
Jumlah reaktif dengan RTPCR (+)

7. ISOLASI/KARANTINA HARI INI


ISOLASI / KARANTINA
KLASIFIKASI RS. RUJUKAN RS. DARURAT
MANDIRI
Jumlah kasus suspek + kasus probabel # # #
Jumlah kasus konfirmasi # # #
Jumlah kontak erat sedang dipantau #
Keterangan:
- Laporan harian agregat ini dilakukan melalui Sistem Online Pelaporan Harian (https://s.id/laporhariancovid) oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, setiap hari sebelum pukul 12.00 WIB.
- Kotak yang diarsir akan dihitung secara otomatis oleh sistem.
- *) = jumlah kontak erat menjadi konfirmasi + jumlah kasus konfirmasi dengan faktor risiko kontak yang tidak berasal dari
pelacakan kontak erat
- **) = jumlah kasus diambil spesimen/swab - (jumlah konfirmasi perjalanan + jumlah konfirmasi kontak)
- # : Variabel wajib diisi. Semua data sudah disiapkan analisis dan penyajian datanya.

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 181


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 5. Tabel Contoh Pelacakan Kontak Di Tempat atau Setting Tertentu

Tempat Kontak yang spesifik sesuai tempat Cara mengidentifikasi kontak

Kontak yang diketahui/dapat diidentifikasi

Rumah tangga dan • Kontak tatap muka dengan seorang kasus • Wawancara langsung dengan pasien
komunitas/ kontak dengan jarak 1 meter atau kurang selama > 15 COVID-19 dan/atau pemberi
sosial menit rawatnya. Wawancara ini dapat
• Kontak fisik langsung dengan seorang pasien dilakukan secara tatap muka atau
COVID-19 melalui telepon
• Memberi perawatan langsung kepada pasien
COVID-19 di rumah tanpa APD yang tepat
• Setiap orang yang tinggal di dalam rumah
tangga tersebut
Tempat tertutup, • Kontak tatap muka dengan seorang kasus • Wawancara langsung dengan pasien
seperti fasilitas dengan jarak 1 meter atau kurang selama > 15 COVID-19 dan/atau pemberi rawatnya
perawatan jangka menit • Mendata penghuni, pengunjung, dan
panjang dan • Kontak fisik langsung dengan seorang pasien semua anggota staf yang bekerja
tempat tinggal COVID-19 dengan jadwal yang relevan
padat/tertutup yang • Memberi perawatan langsung kepada pasien • Wawancara dengan koordinator atau
berisiko tinggi COVID-19 di rumah tanpa APD yang tepat pengelola fasilitas
lainnya (lembaga • Menggunakan kamar yang sama, makan
pemasyarakatan, bersama, atau menggunakan ruang bersama
penampungan, dengan seorang pasien konfirmasi
pondokan) • Jika kejadian di mana kontak berlangsung sulit
dikaji, definisi yang lebih luas dapat digunakan
untuk memastikan bahwa semua orang
penghuni, terutama penghuni yang berisiko
tinggi, serta staf dipantau dan diskrining.
Fasilitas pelayanan • Tenaga kesehatan: setiap anggota staf yang • Identifikasi semua anggota staf yang
kesehatan berkontak langsung dengan seorang pasien telah berkontak langsung dengan
COVID-19, di mana APD tidak dipatuhi dengan pasien COVID-19 atau yang mungkin
ketat. telah berada dalam jarak 1 meter dari
• Kontak-kontak yang terpapar selama perawatan pasien COVID-19 tanpa APD selama
di rumah sakit: setiap pasien yang dirawat di > 15 menit tanpa kontak langsung
kamar yang sama atau menggunakan kamar (seperti rohaniwan fasilitas)
mandi yang sama dengan pasien COVID-19, • Kaji daftar pasien yang dirawat di
orang yang menjenguk pasien COVID-19, atau kamar yang sama atau kamar dengan
orang yang menjenguk pasien lain di kamar kamar mandi yang sama
yang sama; situasi-situasi lain sesuai penilaian • Data pengunjung yang menjenguk
risiko pasien atau pasien lain di kamar yang
• Kontak yang terpapar selama kunjungan rawat sama di waktu yang relevan
jalan: Setiap orang yang berada di ruang tunggu • Jalankan penilaian risiko lokal untuk
atau lingkungan tertutup lain yang berfungsi menentukan apakah jenis-jenis
setara pada waktu yang sama dengan pasien paparan lain dapat menjadi relevan,
COVID-19 harus didaftar sebagai kontak seperti fasilitas tempat makan
• Setiap orang dalam jarak 1 meter dari pasien bersama
COVID-19 di bagian rumah sakit mana pun
selama > 15 menit
Transportasi umum • Setiap orang dalam jarak 1 meter dengan • Identifikasi kontak umumnya hanya
atau bersama pasien COVID-19 selama > 15 menit dapat dilakukan jika tempat duduk
• Kontak fisik langsung dengan pasien COVID-19 ditentukan
• Setiap orang yang duduk dalam jarak 2 baris • Maskapai/otoritas perhubungan harus
dari pasien COVID-19 selama > 15 menit dan dimintai detail pesawat dan manifes
setiap anggota staf (seperti kru pesawat atau penerbangan

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 182


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Tempat Kontak yang spesifik sesuai tempat Cara mengidentifikasi kontak

Kontak yang diketahui/dapat diidentifikasi

kereta) yang berkontak langsung dengan kasus • Untuk transportasi umum atau
bersama yang daftar penumpangnya
tidak tersedia atau tempat duduknya
tidak diatur, mungkin diperlukan
siaran media yang meminta para
penumpang untuk mengidentifikasi
diri. Siaran media dapat menjelaskan
tanggal, jam, lokasi penjemputan dan
kedatangan/tujuan, dan titik-titik
pemberhentian di sepanjang jalan,
meminta orang untuk mengidentifikasi
diri sebagai kemungkinan kontak
Tempat dan • Setiap orang dalam jarak 1 meter dengan • Jalankan penilaian risiko lokal dan
perkumpulan pasien COVID-19 selama > 15 menit gandeng penyelenggara/pimpinan
tertentu lain yang • Kontak fisik langsung dengan pasien COVID-19 untuk secara aktif atau pasif memberi
jelas (tempat • Jika acaranya sulit dikaji, setiap orang yang tahu kontak (misalnya, melalui pesan-
ibadah, tempat berada di lingkungan yang dekat dan tertutup pesan peringatan dan informasi
kerja, sekolah, yang sama dengan pasien COVID-19 dapat (‘warm and inform’) kepada calon
acara sosial dianggap sebagai kontak menurut penilaian hadirin)
pribadi) risiko lokal • Komunikasi dengan focal point seperti
pemimpin keagamaan tentang
kemungkinan kejadian penularan
untuk meningkatkan kesadaran
(‘warm and inform’)
• Untuk acara sosial pribadi, mulai
pelacakan dari daftar tamu dan daftar
undangan
• Jika perlu, pertimbangkan
memberikan siaran media yang
menjelaskan tanggal dan jam acara
serta yang meminta orang-orang
untuk mengidentifikasi diri sebagai
kemungkinan kontak

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 183


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 6. Formulir Penyelidikan Epidemiologi Coronavirus Disease (COVID-19)

Nama Fasyankes : Tgl Wawancara :


Tempat Tugas : HP Pewawancara :
Nama Pewawancara :

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 184


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 185
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
KETERANGAN:
*) Diisi sesuai dengan definisi operasional (lihat pedoman)
**) oksigenasi membran ekstrakorporea
***) diisi jika kriteria suspek, konfirmasi dan probabel.
INSTRUKSI:
• Semua pertanyaan dalam formulir ini harus diisi, tidak boleh ada pertanyaan apapun
yang kosong/tidak terjawab.
• Untuk pertanyaan dengan pilihan jawaban “Ya/Tidak/Tdk Tahu”, pilih salah satu jawaban
saja

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 186


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 7. Formulir Permohonan Pemeriksaan COVID-19 Menggunakan TCM /
Formulir COVID.05

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 187


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 8. Register Pemeriksaan Laboratorium TCM/COVID.04

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 188


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 189
CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 9. Contoh Surat Pernyataan Selesai Pemantauan

LOGO INSTANSI*

SURAT KETERANGAN PEMERIKSAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, dokter menerangkan

bahwa:

Nama :
Tanggal lahir :
Alamat :
Pekerjaan :

Selama masa observasi, tidak ditemukan gejala dan tanda


infeksi Coronavirus Disease (COVID- 19), dan selanjutnya pada
saat ini dinyatakan SEHAT.
Demikian surat keterangan ini dibuat dengan sebenarnya dan
mohon dipergunakan sebagaimana mestinya.

................., ......................... 20.........

Mengetahui,

Dokter Pemeriksa, Pejabat Instansi


(Fasyankes/Dinkes)..………………..,

Nama Nama
SIP NIP

* Surat Ini dikeluarkan oleh Instansi yang merawat atau melakukan pemantauan kasus

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 190


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 10. Alur Pelacakan Kasus Notifikasi Dari IHR National Focal Point
Negara Lain

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 191


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 11. Ringkasan Manajemen Kesmas Berdasarkan Kriteria Kasus

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 192


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 12. Daftar Laboratorium Pemeriksa COVID-19

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No. HK.01.07/MENKES/214/2020 &


No.HK.01.07/MENKES/216/2020 tentang Jejaring Laboratorium Pemeriksaan COVID-19
NO PROPINSI NO LABORATORIUM

1 Aceh 1 Balai Litbangkes Aceh


2 FK Unsyiah
2 Sumatera Utara 1 RS Universitas Sumatera Utara
2 RSUP H. Adam Malik, Medan
3 Lab Mikrobiologi FK USU
4 RS Teguh Murni, Medan
5 MRS Tk. II Putri Hijau Medan
6 RS Prima Husada Cipta Medan (Pelindo I)
3 Sumatera Barat 1 RS Universitas Andalas, Padang
2 Balai Besar Veteriner Bukittinggi
4 Sumatera 1 BBLK Palembang
Selatan
2 RSUP Moh. Husein, Palembang
5 Jambi 1 RS Raden Mattaher, Jambi
6 Bangka Belitung 1 RSUD Depati Hamzah Pangkal Pinang
2 UPTD BLK Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
3 RS Bakti Timah, Bangka Belitung
7 Riau 1 RSUD Arifin Ahmad Provinsi Riau
8 Kepulauan Riau 1 BBTKLPP Batam
9 Bengkulu 1 RSUD M Yunus
10 Lampung 1 Balai Labkes Lampung
2 RSUD Abdul Moeloek Lampung
11 Banten 1 RSUD kabupaten Tangerang
2 RS Siloam Lippo Village
3 Labkesda Banten
4 RS Krakatau Medika Cilegon
12 Jawa Barat 1 RS Universitas Padjadjaran Bandung
2 RSUP Hasan Sadikin Bandung
3 RS Universitas Indonesia
4 Labkesda Provinsi Jawa Barat
5 Institut Pertanian Bogor
6 Labkesda Kabupaten Bekasi
7 Laboratorium Sentral UNPAD
8 Labkesda Kota Bekasi
9 RSUD Chasbulah Kota Bekasi
10 LIPI
11 RS Awal Bros Bekasi Timur
12 Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor
13 Labkes Kota Bandung
14 RS Pelabuhan cirebon
15 Laboratorium FK Unswagati, Cirebon
16 RSP Kerawang
17 RSUD Waled, Cirebon
18 Poltekes Bandung
19 Labkesda Depok
20 Balitvet Subang

13 DKI Jakarta 1 Badan Litbang Kesehatan


2 BBTKL PP Jakarta

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 193


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
NO PROPINSI NO LABORATORIUM
3 BBLK Jakarta
4 Labkesda DKI Jakarta
5 Lembaga Biologi Molekuler Eikjmen
6 Laboratorium Mikrobiologi FK UI
7 RSUP dr. Cipto Mangunkusumo
8 RS Medistra
9 RS Pusat Angkatan Darat
10 Laboratorium Klinik Kimia Farma
11 Kalbe Farma
12 Pusat Pengembangan Pengujian Obat dan Makanan Nasional
13 RS Bunda
14 RS Pertamina Jaya
15 RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita
16 RS Penyakit Infeksi Sulianti Suroso
17 Lab Prodia
18 RSUP Fatmawati
19 RS Kanker Dharmais
20 RS Anak dan Ibu Harapan Kita
21 RS Polri
22 Lab Terpadu FK UIN Syarif Hidayatullah
23 RSUD Tarakan Jakarta
24 Laboratorium FK Univ Tarumanegara
25 Lab RS Darurat Covid Wisma Atlet
26 RSAL Mintoharjo
27 Genelab
28 Laboratorium Klinik Medika Plaza
29 RS Pelni
30 RS Mayapada
31 Lab RS Puri Indah Pondok Indah
32 Lab RS Mitra Keluarga Kelapa Gading
33 Lab RS Husada
34 Lab RS Hermina Kemayoran
35 Lab FKIK Atmajaya
14. Jawa Tengah 1 Balai Besar Litbang Vektor dan Reservoir Penyakit Salatiga
2 RS Universitas Diponegoro Semarang
3 RSUP dr. Kariadi Semarang
4 Laboratorium pada RS Universitas Sebelas Maret Surakarta
5 RS. Moewardi, Solo
6 RSUD KMRT Wongsonegoro
7 Laboratorium Riset Univ Jenderal Soedirman
8 Lab RSUD dr. Loekmono Hadi Kudus
9 Balai Labkes Prov Jawa tengah
10 Lab RS dr. Oen Kandang Sapi, Solo
15. Jawa Timur 1 BBTKL PP Surabaya
2 BBLK Surabaya
3 Lembaga Penyakit Tropis Unair
4 RS Universitas Brawijaya Malang
5 RS Universitas Airlangga
6 RSUD Dr. Sutomo
7 RSU Syaiful Anwar, Malang
8 RS Primasatya Husada Citra (PHC), Surabaya
9 RS Lavalette, Malang
10 RS Premier Surabaya
11 RSUD Mohamad Saleh kota Probolinggo
12 RSUD Bangil kab Pasuruan
13 RSUD dr. Iskak kab Tulungagung

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 194


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
NO PROPINSI NO LABORATORIUM
14 Lab RS Jember Klinik
15 Lab RSAL Surabaya
16 Lab RSUD Sidoarjo
17 Lab RSUD dr. Soegiri Lamongan
18 Lab RSUD Jombang
19 Lab Ibnu Sina Gresik
20 lab Pare Kediri
21 Lab RSUD Koesnadi Bondowoso
22 Lab RSU dr. Soebandhi, Jember
23 Lab RSUD Sam Ratu Ebo, Bangkalan
24 Lab RS Waluyo Jati Kraksaan, Probolinggo
16 DI Yogyakarta 1 BBTKL PP DIY
2 RS Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
3 RSUP Dr. Sardjito DIY
4 Balai Besar Veteriner Wates
5 RSPAU dr. S. Hardjolukito
17 Bali 1 RS Universitas Udayana Denpasar
2 RSUP Sanglah Denpasar
18 NTB 1 RSUD Provinsi Nusa Tenggara Barat
2 Laboratorium pada RS Universitas Mataram
19 NTT 1 RSUD dr. Johannes, Kupang
20 Kalimantan Barat 1 RS Universitas Tanjung Pura Pontianak
2 Labkesda Provinsi Kalimantan Barat
21 Kalimantan 1 RSUD dr. Dorris Sylvanus, Kalteng
Tengah
22 Kalimantan 2 BBTKLPP Banjar Baru
Selatan 1 Balai litbangkes Tanah Bumbu

23 Kalimantan Timur 2 UPTD Labkes Provinsi Kalimantan Timur


3 RSUD Abdul Wahab Syahranie, Samarinda
4 Laboratorium Klinik Tirta Berau
5 RSUD Aji Muhammad Parikesit
24 Sulawesi Selatan 1 BBLK Makasar
2 RS Universitas Hasanudin Makasar
3 RSUP Wahidin Sudiro Husodo Makasar
4 BBTKLPP Makasar
5 Balai Besar Veteriner Maros
6 BPOM Makasar
7 Labkesda Soppeng Sulawesi Selatan
25 Sulawesi Barat 1 BPOM Mamuju
26 Sulawei Tengah 1 Labkes Prov Sulawesi Tengah
27 Sulawesi Utara 1 RSUP Prof. RD Kandau Manado
2 BBTKLPP Manado
3 BPOM Manado
28 Gorontalo 1 Laboratorium BPOM Gorontalo
29 Maluku 1 BBTKLPP Ambon
30 Papua 1 Balai LitbangKes Papua
2 Balai Labkes Prov Papua
3 Klinik Kuala Kencana PT. Freeport
31 Papua Barat 1 RSUD Teluk Bintuni

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 195


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 13. Lembar Kesediaan Karantina Rumah/ Perawatan Di Rumah (Isolasi
Diri)

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama :

Umur :

Jenis Kelamin :

Nomor HP :

Alamat :

Menyatakan bersedia untuk dilakukan tindakan karantina rumah/isolasi diri


(perawatan di rumah)* dan akan mematuhi segala aturan yang ditetapkan oleh pemerintah
sampai tindakan ini dinyatakan berakhir.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

……….…, …………………… 2020

Petugas karantina, Yang membuat pernyataan

( ) ( )

Mengetahui,
Koordinator
Lapangan

( )

Ket: *coret salah satu

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 196


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 14. Contoh Sertifikat Medis Penyebab Kematian

LOGO INSTANSI

Bulan/ Tahun:
Nama RS/ Puskesmas :
I. Identitas Jenazah
1. Nama Lengkap : 5. Jenis Kelamin:
2. NIK: 6. Agama:
3. Tempat/Tanggal lahir:
4. Alamat Tempat Tinggal:

7. Status Kependudukan: a. Penduduk b. Bukan Penduduk


8. Hubungan dengan Kepala : a. Kepala Rumah Tangga b. Suami/Istri
Rumah Tangga c. Anak d. Menantu e. Cucu
f. Orang Tua/Mertua g. Famili Lain
h. Pembantu Rumah Tangga i. Lainnya
9. Waktu Meninggal :
10. Tempat Meninggal : a. Rumah Sakit b. Puskesmas
c. Rumah Bersalin d. Rumah Tinggal
e. Lainnya (Termasuk meninggal di perjalanan/ DOA)

II. Keterangan Khusus Kasus Kematian di Rumah atau Lainnya (termasuk DOA)
1. Status Jenazah : a. Belum dimakamkan /Belum dikremasi
b.Telah dimakamkan/Telah dikremasi, Tanggal....Bulan....Tahun....
2. Nama Pemeriksa Jenazah : ................... Kualifikasi Pemeriksa: a. Medis b. Paramedis
3. Waktu Pemeriksa Jenazah : Tanggal .............. Bulan............ Tahun................

III. Penyebab Kematian


1. Dasar diagnosis : 1. Rekam Medis 2. Pemeriksaan Luar Jenazah
(dapat lebih dari satu) 3. Autopsi Forensik 4. Autopsi Medis
5. Autopsi Verbal 6. Surat Keterangan Lainnya
2. Kelompok Penyebab Kematian (Lingkari Salah Satu)
PENYAKIT/GANGGUAN
a. Penyakit khusus f. Gejala, tanda, dan kondisi lainnya
b. Penyakit menular g. Cedera kecelakaan lalu lintas
c. Penyakit tidak menular h. Cedera kecelakaan kerja
d. Gangguan perinatal (0-6 hari) i. Cedera lainnya
e. Gangguan maternal (kehamilan/persalinan/ nifas)
....................., .............2020
Pihak yang menerima Dokter yang menerangkan

Nama Jelas Nama Jelas


Hubungan dengan jenazah Jabatan & Cap instansi

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 197


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 15. Pemanfaatan Obat Tradisional Untuk Pemeliharaan Kesehatan,
Pencegahan Penyakit, dan Perawatan Kesehatan

1. Beberapa contoh tanaman obat meliputi:


a. Rimpang/empon-empon seperti jahe merah, jahe, temulawak, kunyit, kencur dan
lengkuas.
b. Umbi-umbian seperti bawang putih
c. Kulit kayu seperti kayu manis
d. Batang seperti Sereh
e. Daun seperti kelor, katuk, pegagan, seledri
f. Buah seperti jambu biji, lemon, jeruk nipis
g. Herba (seluruh bagian tumbuhan di atas tanah terdiri dari batang, daun, bunga,
dan buah) seperti meniran
h. Biji-bijian seperti jinten hitam
2. Beberapa contoh khasiat obat tradisional meliputi:
a. Untuk daya tahan tubuh (ramuan yang mengandung meniran/kencur/mengkudu).
b. Untuk darah tinggi (ramuan yang mengandung seledri/kumis kucing).
c. Untuk diabetes (ramuan yang mengandung kayu manis/mengkudu dan pare).
d. Untuk mengurangi keluhan batuk (ramuan yang mengandung
kencur/lagundi/saga/jahe merah/lemon/daun mint).
e. Untuk mengurangi keluhan flu (ramuan yang mengandung jintan hitam/mahkota
dewa atau ramuan meniran/jahe/mint/cengkeh).
f. Untuk mengurangi keluhan sakit tenggorokan (ramuan yang mengandung
jahe/kencur/jeruk nipis/adas/pala).
g. Untuk meningkatkan produksi Air Susu Ibu (ASI) (ramuan yang mengandung
katuk/pegagan/kelor/torbangun).
3. Beberapa contoh khasiat ramuan tanaman obat untuk meningkatkan daya tahan
tubuh meliputi:
a. Ramuan 1
➢ Bahan
• Jahe Merah : 2 ruas ibu jari
• Jeruk Nipis : 1 buah
• Kayu manis : 3 Jari
• Gula Merah : secukupnya
• Air : 3 cangkir

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 198


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
➢ Cara Pembuatan
Cuci bersih semua bahan, jahe merah dicuci bersih dan digeprek. Rebus
air hingga mengeluarkan banyak uap, kecilkan api dan rebus semua bahan
yang sudah disiapkan bersama dengan gula merah selama 15 menit.
Kemudian saring dalam keadaan dingin.
➢ Cara Pemakaian
Ramuan diminum 1 kali sehari sebanyak 1 ½ cangkir.

b. Ramuan 2
➢ Bahan
• Kunyit: 1 ruas ibu jari
• Lengkuas: 1 ruas ibu jari
• Jeruk Nipis : 1 buah
• Air : 3 Cangkir
• Gula merah: secukupnya
➢ Cara Pembuatan
Cuci bersih semua bahan, kunyit dan lengkuas digeprek. Kemudian rebus
air hingga mendidih, kecilkan api dan masukan semua bahan, tunggu kira –
kira hingga setengahnya dan matikan, saring dalam keadaan dingin.
➢ Cara Pemakaian
Ramuan diminum 2 x sehari sebanyak 1 ½ cangkir.

c. Ramuan 3
➢ Bahan
• Pegagan : 10 lembar
• Jahe merah: 1 ruas ibu jari
• Temulawak : 1 iris
• Gula aren : secukupnya
• Air: 1,5 gelas
➢ Cara Pembuatan
Pegagan dicuci sampai bersih, kemudian rebus air sampai mendidih,
setelah mendidih kecilkan api dan masukan Jahe merah dan temulawak,
selanjutnya dimasukkan pegagan. Tunggu sampai air tersisa kira - kira
setengahnyanya dan matikan.
➢ Cara Pemakaian
Diminum 2 x sehari 1 gelas

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 199


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
d. Ramuan 4
➢ Bahan
• Kencur: 500 gram yang sudah dikupas
• Beras: 100 gram
• Daun pandan: 3 lembar
• Gula aren: secukupnya
• Air: 2300 ml
➢ Cara Pembuatan
Sangrai beras hingga kekuningan. Haluskan beras, kencur dan gula aren.
Masukkan ke dalam air sampai mendidih, tambahkan pandan kemudian
disaring.
➢ Cara Pemakaian
Minum 2 kali sehari

e. Ramuan 5
➢ Bahan
• Daun Kelor: 2 genggam
• Air: 2 cangkir
➢ Cara Pembuatan
Rebus air sampai mendidih, masukan daun kelor lalu matikan api dan saring
sesudah dingin.
➢ Cara Pemakaian
Dewasa : 2 kali sehari 1 cangkir
Anak: 2 kali sehari ½ cangkir

f. Ramuan 6
➢ Bahan
• Lemon: 1 buah
• Madu: 2 sdm
➢ Cara Pembuatan
Cuci bersih jeruk lemon, kemudian diperas dan campurkan dengan 2 sdm
madu dan aduk sampai tercampur
➢ Cara Pemakaian
Ramuan diminum 2 kali sehari secukupnya

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 200


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
g. Ramuan 7
➢ Bahan
• Bawang Putih: 2 butir
• Air hangat: 1 gelas
• Madu: secukupnya
➢ Cara Pembuatan
Bawang putih dicuci bersih dan dimemarkan sampai halus, kemudian
campurkan kedalam air hangat dan tambahkan madu, aduk hingga larut.
➢ Cara Pemakaian
Ramuan diminum 2 kali sehari sebanyak secukupnya

HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN :


1. Pilih jenis tanaman yang tepat sesuai resep
2. Pada saat akan meramu bahan, harus dicermati komposisi bahan.
3. Takaran harus sesuai petunjuk, jangan ditambah atau dikurangi.
4. Pada saat merebus dengan api kecil kurang lebih lima belas menit
5. Alat rebusan, jangan menggunakan baahan aluminium, timah, tembaga
6. Hati-hati penggunaan ramuan pada ibu hamil dan menyusui

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 201


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 16. Laporan Harian dan Mingguan Mesin RT-PCR Program HIV/AIDS
PIMS

LEMBAR LAPORAN PEMANFAATAN LOGISTIK (ALAT VIRAL LOAD HIV ABBOTT)


Provinsi : ………………………..
Kabupaten/Kota : ………………………..
Nama Layanan Laboratorium
: ………………………..
Pemeriksa
Tanggal Pelaporan : ………………………..
Merk Alat : ………………………..

Jumlah
Total
Reagen Sisa Sumber Total Total
No. Masa Sampel
No Nama Reagen Yang Reagen Pengadaan Sampel Sampel
LOT Kadaluarsa Error /
Diterima (Tes) Reagen Positif Negatif
Inconclusive
(Tes)

1 ABBOTT
RealTime
SARS-CoV-2
Amplification
Reagent Kit

2 ABBOTT
Msample
PREPARATION
SYSTEMDNA

3 VTM

Ket: Laporan dikirim Setiap Hari Senin ke Kemenkes RI dan tembusan ke Dinkes
Kabupaten/Kota maupun Dinkes Provinsi

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 202


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 17. Kriteria Tempat Perawatan Pasien

Tempat Karantina
Fasilitas Khusus/ Isolasi
Keterangan Karantina/
RS Darurat COVID-19/ RS/ RS Rujukan
Isolasi Mandiri
RS
Status • Kontak erat • Suspek gejala ringan/Kasus • Suspek dengan
• Kasus konfirmasi konfirmasi tanpa gejala/ Kontak komorbid yang tidak
tanpa gejala erat dengan penyakit penyerta terkontrol
• Kasus konfirmasi yang terkontrol • Suspek dengan gejala
gejala ringan tanpa • Suspek gejala ringan/Kasus berat
komorbid konfirmasi tanpa gejala/ Kontak • Probable
erat yang berusia diatas 60 tahun • Kasus konfirmasi gejala
• Suspek /Kasus konfirmasi sedang dengan
gejala ringan tanpa fasilitas komorbid yang tidak
karantina rumah yang memadai terkontrol
• Kasus konfirmasi tanpa gejala • Kasus konfirmasi gejala
tanpa fasilitas karantina rumah berat
yang memadai
Tempat - Rumah sendiri - Tempat yang disediakan 1. Rumah Sakit
- fasilitas sendiri Pemerintah pusat/daerah 2. Rumah Sakit
- fasilitas khusus - Rumah Sakit darurat COVID-19 Rujukan
yang difasilitasi - Rumah Sakit
tempat kerja
Pengawasan • Dokter, perawat • Dokter, perawat dan/atau Dokter, perawat dan/atau
dan/atau tenaga tenaga kesehatan lain tenaga kesehatan lain
kesehatan lain
• Dapat dibantu
oleh
Bhabinkabtibnas,
Babinsa, kader
dan/atau
Relawan/pengelola
tempat kerja
Pembiayaan • Mandiri • Pemerintah: BNPB, • Pemerintah: BNPB,
• Pihak lain yang bisa Gubernur, Bupati, Gubernur, Bupati,
membantu Walikota, Camat dan Kades Walikota, Camat
(filantropi) • Sumber lain dan Kades
• Sumber lain

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 203


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 18. Protokol Tata Laksana Pasien Terkonfirmasi Infeksi COVID-19

KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

a. Isolasi dan Pemantauan


• Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari isolasi sejak
pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi
• Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas FKTP
• Kontrol di FKTP setelah selesai isolasi
b. Non-farmakologis

Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan (leaflet


untuk dibawa ke rumah) :
• Pasien :
- Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan
malam hari
- Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan
saat berinteraksi dengan anggota keluarga
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand
sanitizer sesering mungkin.
- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
- Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
- Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga medis)
- Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
- Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit setiap
Konfirmasi (Tanpa gejala) harinya
- Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan dalam
kantong plastik / wadah tertutup yang terpisah dengan
pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum dicuci
dan segera dimasukkan mesin cuci
- Ukur dan catat suhu tubuh tiap jam 7 pagi dan jam 19
malam.
- Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau
keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38oC
• Lingkungan/kamar:
- Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
- Membuka jendela kamar secara berkala
- Bila memungkinkan menggunakan APD saat
membersihkan kamar (setidaknya masker, dan bila
memungkinkan sarung tangan dan goggle.
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau hand
sanitizer sesering mungkin.
- Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun
atau bahan desinfektasn lainnya
• Keluarga:
- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan
pasien sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah
Sakit.
- Anggota keluarga senanitasa pakai masker

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 204


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

- Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien


- Senantiasa mencuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin tangan
bersih
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar
sirkulasi udara tertukar
Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh
pasien misalnya gagang pintu dll
c. Farmakologi
• Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid, dianjurkan
untuk tetap melanjutkan pengobatan yang rutin
dikonsumsi. Apabila pasien rutin meminum terapi obat
antihipertensi dengan golongan obat ACE-inhibitor
dan Angiotensin Reseptor Blocker perlu berkonsultasi
ke Dokter Spesialis Penyakit Dalam ATAU Dokter
Spesialis Jantung
• Dianjurkan multivitamin yang mengandung vitamin
C,B, E, Zink
Untuk anak:
Perawatan suportif
a. Isolasi dan Pemantauan
• Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak tanggal
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi
menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan
• Ditangani oleh FKTP, contohnya Puskesmas, sebagai
pasien rawat jalan
• Kontrol di FKTP setelah selesai isolasi
a. Non Farmakologi : Edukasi terkait tindakan yang harus
Sakit ringan dilakukan (sama dengan edukasi tanpa gejala)
b. Farmakologis :
• Pengobatan suportif
• Pengobatan simtomatis seperti paracetamol bila demam
• Bila diperlukan dapat diberikan Antivirus

Untuk Anak:
• Perawatan suportif (obat-obatan simtomatis)
Perawatan simptomatis
Isolasi dan Pemantauan
• Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-
19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
• Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-
19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
Sakit Sedang • Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak tanggal
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak
lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan
pernapasan

Non Farmakologis

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 205


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

• Istirahat total, intake kalori adekuat, control elektrolit,


status hidrasi, saturasi oksigen
Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap
berikut dengan hitung jenis, bila memungkinkan
ditambahkan dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati dan
ronsen dada secara berkala.
Farmakologis
• Pengobatan suportif
• Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-lain).
• Antivirus
• Antibiotik bila diperlukan
Untuk Anak:
• Perawatan suportif
• Antibiotik bila diperlukan
• Pemberian Vit C
• Zink 20mg/hari atau
obat suplemen lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan
meskipun evidence belum menunjukkan hasil yang
meyakinkan
Isolasi dan Pemantauan
• Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau
rawat secara kohorting
Non Farmakologis
• Istirahat total, intake kalori adekuat, kontrol elektrolit,
status hidrasi (terapi cairan), dan oksigen
• Pemantauan laboratorium Darah Perifer Lengkap beriku
dengan hitung jenis, bila memungkinkan ditambahkan
dengan CRP, fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH,
D-dimer.
• Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
• Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
- Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
- Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93% (di
Sakit Berat jari),
- PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
- Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan area
paru-paru pada pencitraan thoraks dalam 24-48
jam,
- Limfopenia progresif,
- Peningkatan CRP progresif,
- Asidosis laktat progresif.
• Monitor keadaan kritis
- Gagal napas yg membutuhkan ventilasi mekanik,
shock atau gagal Multiorgan yang memerlukan
perawatan ICU.
- Bila terjadi gagal napas disertai ARDS
pertimbangkan penggunaan ventilator mekanik
(alur gambar 1)

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 206


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

- 3 langkah yang penting dalam pencegahan


perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut
▪ Gunakan high flow nasal canulla (HFNC) atau
non-invasive mechanical ventilation (NIV)
pada pasien dengan ARDS atau efusi paru
luas. HFNC lebih disarankan dibandingkan
NIV. (alur gambar 1)
▪ Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada
pasien dengan edema paru.
▪ Posisikan pasien sadar dalam posisi
tengkurap (awake prone position).
• Prinsip terapi oksigen:
- NRM : 15 liter per menit.
- HFNC
▪ Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus
menggunakan respirator (PAPR, N95).
▪ Batasi flow agar tidak melebihi 30 liter/menit.
▪ Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam,
kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien
mengalami perbaikan dan mencapai kriteria
ventilasi aman (indeks ROX >4.88 pada jam
ke-2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien
tidak membutuhkan ventilasi invasif,
sementara ROX <3.85 menandakan risiko
tinggi untuk kebutuhan intubasi).

Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju napas

- NIV
▪ Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus
menggunakan respirator (PAPR, N95).
▪ Lakukan pemberian NIV selama 1 jam,
kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien
mengalami perbaikan dan mencapai kriteria
ventilasi aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg,
tidak ada gejala kegagalan pernapasan atau
peningkatan FiO2/PEEP) maka lanjutkan
ventilasi dan lakukan penilaian ulang 2 jam
kemudian.
▪ Pada kasus ARDS berat, disarankan untuk
dilakukan ventilasi invasif.
▪ Jangan gunakan NIV pada pasien dengan
syok.
Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2 kali
sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi
kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.
Hindari penggunaan strategi ini pada ARDS berat.19
Farmakologis

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 207


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

• Antivirus
• Pengobatan suportif
• Pengobatan simtomatis seperti paracetamol bila
demam
• Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh
karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik
disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan
faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan
kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan
kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut
dipertimbangkan.
Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

Keterangan :
• Terapi farmakologi pada anak, sbb.:
- diterapkan pada pasien konfirmasi dan Suspek
- dosis pada anak harus disesuaikan
• Pasien dengan komorbid kardiovaskular perlu diberikan penjelasan informasi terkait
indikasi dan efek samping yang dapat terjadi pada pengobatan
• Untuk gejala ringan, bila terdapat komorbid terutama yang terkait jantung sebaiknya
pasien dirawat
• Pemilihan obat disesuaikan pada :
1. ketersediaan obat
2. Kemampuan Pemantauan efek samping obat
3. Keputusan DPJP

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 208


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 19. Panduan Bagi Petugas Pelayanan PSC 119 Dalam Pelayanan
Pasien COVID-19

A. PETUGAS CALL CENTER PSC 119


Petugas Call center PSC 119 didalam pelayanan pandemik COVID-19 ini
mempersiapkan algoritma pertanyaan dan informasi edukasi terkait COVID-19
kepada masyarakat.
Algoritme Pertanyaan yang diajukan oleh call center:
1. Tanyakan tentang tanda dan gejala
- Apakah Anda mengalami demam yang lebih dari 380C?
- Apakah Anda memiliki gejala penyakit pernapasan bawah (batuk atau sulit
bernapas)?
- Jika SEMUA tanggapan adalah TIDAK, lanjutkan dengan prosedur standar
untuk pengiriman ambulans emergensi atau Bilamana jawaban YA, lanjut ke
pertanyaan
2. Tanyakan tentang riwayat perjalanan dan riwayat paparan langsung
- Dalam 14 hari terakhir sebelum timbulnya gejala, apakah Anda bepergian ke
daerah dengan negara terjangkit atau daerah transmisi lokal?
- Dalam 14 hari terakhir sebelum timbulnya gejala, apakah Anda melakukan
kontak dekat dengan Orang dalam Pemantauan, Pasien dalam Pengawasan
atau Kasus Konfirmasi COVID-19?
- Jika SEMUA tanggapan adalah TIDAK, lanjutkan dengan prosedur standar
untuk pengiriman ambulans emergensi atau
- Bilamana jawaban YA, lanjut ke pertanyaan 3
3. Berikan informasi tentang pasien segera kepada petugas ambulans.
- Waspada akan potensi pasien dengan kemungkinan terpajan COVID-19
sebelum kedatangan di tempat kejadian
- Pasien yang memenuhi kriteria harus dievaluasi dan ditranspor dengan
tindakan pencegahan pernapasan yang tepat
- Laporkan informasi kasus kepada dinas kesehatan setempat

B. PROTEKSI UNTUK PETUGAS KESEHATAN PSC 119


Kewaspadaan standar harus selalu diterapkan di seluruh pelayanan ambulans pra
rumah sakit untuk melakukan transfer pasien dengan kecurigaan terinfeksi COVID-19,
yaitu:

1. Pasien yang ditransfer menggunakan masker medis apabila dapat ditoleransi.

2. Bagi petugas ambulans :


- Petugas menerapkan 5 momen kebersihan tangan
- Mengenakan masker medis dan sarung tangan medis ketika membawa pasien
dengan ambulans
- Penggunaan masker N95 apabila melakukan transfer dengan pasien yang
diperlukan tindakan medis yang menyebabkan aerosol menyebar (nebulisasi,
bagging, intubasi, ventilator mekanis)
- Menggunakan baju cover anti air (jika tidak anti air, gunakan apron
didalamnya)

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 209


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
- Menggunakan google/face shield
- Jika merujuk pasien dalam pengawasan dan/atau kasus konfirmasi/probable
COVID19 maka petugas menerapkan kewaspadaan kontak, droplet dan
airborne
- APD harus diganti setiap menangani pasien yang berbeda dan dibuang di RS
tujuan.

3. Bagi pengemudi ambulans :


- Pengemudi ambulans dalam kabin terpisah (minimal jarak 1 meter). Tidak
perlu APD jika jarak bisa dipertahankan
- Jika pengemudi membantu memindahkan pasien ke ambulans, maka harus
menggunakan APD lengkap
- Jika pengemudi ambulans bukan dalam kabin terpisah, tapi tidak ikut
memindahkan pasien (tidak ada kontak) maka cukup menggunakan masker
bedah.

4. Transfer pasien suspek dan konfirmasi gejala ringan dan sedang ke rumah
sakit, APD Minimal pada saat melakukan :
- Masker bedah
- Baju dinas/scrub
- Google/ face shield
- Handscoen

Catatan Tambahan :

1) Pakaikan masker bedah pada pasien jika dapat di tolerir

2) Hindari prosedur yang menimbulkan aerosol seperti ; nebulizer, suction, BVM dan
intubasi

3) Setelah petugas selesai melakukan evakuasi, petugas harus membersihkan diri dan
mengganti baju dinas/scurb untuk di sterilisasi

4) Disinfeksi ambulans setelah evakuasi.


5. Transfer pasien suspek dan Konfirmasi dengan terintubasi ke rumah sakit,
APD Minimal pada saat melakukan dan menggunakan aerosol selama proses
evakuasi
̵ Masker N95
̵ Google +/- Face shield
̵ Coverall suit
̵ Sepatu boots/cover shoe
̵ Handscoen

Catatan tambahan :

1) Setelah petugas selesai melakukan evakuasi, petugas harus membersihkan diri dan
mengganti baju dinas untuk di sterilisasi dan membuang semua APD sekali pakai ke
sampah infeksius

2) Disinfeksi ambulans ditambah dengan dry mist + H202 setelah evakuasi

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 210


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
C. AMBULANS
1. Syarat tambahan untuk ambulans darat bagi penyakit berpotensi wabah/
kegawatdaruratan Kesehatan Masyarakat/Public Health Emergency of
International Concern (PHEIC)
a. Kabin Ambulans :
- Kabin pasien kedap udara dengan satu pintu masuk dan keluar
- Pintu dapat dibuka ke atas atau ke samping
- Jendela yang kedap udara dan dilapisi film yang berwarna gelap.
- Interior dan asesoris mudah dibersihkan/didisinfeksi
b. Sistem sirkulasi udara
Sistem sirkulasi udara dan ventilasi khusus (heating ventilation and air
conditioning - HVAC) dan dilengkapi dengan peralatan filtrasi udara untuk
material berbahaya (hazardous material air filtration) berupa High-efficiency
Particulate Air (HEPA) filter 3 layer plus germicidal Ultra Violet yang dapat
menciptakan tekanan negative maupun positif yang terinstalasi dengan
mempertimbangkan fungsi dan estetika ruang kabin
c. Intercom
Ada fasilitas komunikasi intercom antara kabin depan dan belakang

2. Disinfeksi ambulans :
- Ambulans harus dibersihkan dan didisinfeksikan dengan bahan hipoklorin
yang berlabel “EPA-APPROVED” pada seluruh permukaan yang kontak
dengan pasien. Cara pembuatan dengan melarutkan 100 cc hipoklorin ke
dalam 900cc air.
- Jika ambulans melakukan transfer dengan pasien yang diperlukan tindakan
medis yang menyebabkan aerosol menyebar (nebulisasi, bagging, intubasi,
ventilator mekanis), maka dilakukan disinfeksi dengan Dry Mist dengan bahan
H202.
- Untuk linen seperti sprei, selimut yang tidak sekali pakai, dilakukan pencucian
dengan detergen ditambah air dengan suhu 600 C – 900 C dan di jemur kering.
- Petugas yang membersihkan menggunakan APD (masker bedah, baju cover,
sarung tangan, google dan sepatu boot).

D. TRANSFER PASIEN
Langkah langkah yang harus dilakukan selama proses transfer untuk pencegahan dan
pengendalian infeksi dalam ambulans:

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 211


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Informasikan ke RS yang dituju status pasien covid-19

Di dalam ambulans =

- Cuci tangan apabila handscoen dilepaskan


- Gunakan alat madis sekali pakai, dan buang ke dalam sampah limbah medis setelah
digunakan
- Jika memungkinkan, gunakan linen sekali pakai

Pada saat ambulans sampai di rumah/fasilitas kesehatan =


- Lakukan hand hygiene
- Sudah menggunakan masker bedah, handscoen/sarung tangan, baju pelindung/apron dan
google
- Jika ada tindakan yang menyebabkan penyebaran aerosol (nebulisasi, bagging,
penggunaan ventilator) gunakan masker N95/FFP2 2.
- Sebelum pasien keluar ambulans, pastikan seluruh persiapan sudah selesai untuk
menerima pasien COVID-19
- Serah terima pasien ke staff rumah sakit
- Setelah selesai transfer pasien, lepaskan pakaian pelindung di RS tujuan dan buang di
tempat sampah limbah medis
- Petugas ambulans membersihkan diri dan memakai baju ganti yang bersih

Sebelum ambulans digunakan kembali

- Bersihkan dan disinfeksi seluruh ambulans


- Buang seluruh landry/linen sekali pakai, ganti dengan linen baru
- Bersihkan alat-alat medis yang reusable sesuai dengan instruksi pabrik, keluarkan dan
bersihkan seluruh limbah medis yang berada di tempat sampah

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 212


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 20. Sarana Informasi yang Disusun Oleh BPOM Mengenai Herbal
Indonesia yang Dapat Digunakan Untuk Penanggulangan Menghadapi COVID-
19

1. PEDOMAN PENGGUNAAN HERBAL DAN SUPLEMEN KESEHATAN DALAM


MENGHADAPI COVID-19 DI INDONESIA
Link: https://bit.ly/BUKUPEDOMANHERBALDANSK2020

2. BUKU SAKU OBAT TRADISIONAL UNTUK DAYA TAHAN TUBUH


Link: https://bit.ly/BUKUSAKU_OT

3. BUKU SAKU SUPLEMEN KESEHATAN UNTUK MEMELIHARA DAYA TAHAN


TUBUH DALAM MENGHADAPI COVID-19 “PROBIOTIK”
Link: https://bit.ly/BUKUSAKU_PROBIOTIK

4. BUKU SAKU SUPLEMEN KESEHATAN UNTUK MEMELIHARA DAYA TAHAN


TUBUH DALAM MENGHADAPI COVID-19 “VITAMIN C”
Link: https://bit.ly/BUKUSAKU_VITC

5. BUKU SAKU SUPLEMEN KESEHATAN UNTUK MEMELIHARA DAYA TAHAN


TUBUH DALAM MENGHADAPI COVID-19 “VITAMIN D”
Link: https://bit.ly/BUKUSAKU_VITD

6. BUKU SAKU SUPLEMEN KESEHATAN UNTUK MEMELIHARA DAYA TAHAN


TUBUH DALAM MENGHADAPI COVID-19 “VITAMIN E”
Link: https://bit.ly/BUKUSAKU_VITE

7. BUKU SAKU SUPLEMEN KESEHATAN UNTUK MEMELIHARA DAYA TAHAN


TUBUH DALAM MENGHADAPI COVID-19 “ZINK”
Link: https://bit.ly/BUKUSAKU_ZINK

8. BUKU SAKU SUPLEMEN KESEHATAN UNTUK MEMELIHARA DAYA TAHAN


TUBUH DALAM MENGHADAPI COVID-19 “SELENIUM”
Link: https://bit.ly/BUKUSAKU_SELENIUM

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 213


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Lampiran 21. Laporan Bulanan Persediaan Dan Kebutuhan Logistik COVID-19
KODE :
INSTANSI :
NAMA PENANGGUNG JAWAB/HP :
BULAN/TAHUN :

NO NAMA LOGISTIK SATUAN PERSEDIAAN KEBUTUHAN


1 Masker bedah buah/pieces

2 Masker N-95 buah/pieces

3 Gaun/Gown buah/pieces

4 Sarung Tangan pasang/pairs

5 Pelindung wajah/faces hield buah/pieces

6 Celemek/Apron buah/pieces

7 Pelindung mata/google buah/pieces

8 Pelindung kepala buah/pieces

9 Sepatu pelindung pasang/pairs

10 Alkohol 70% liter


11 Handsoap liter
12 Handsanitizer liter
13 Desinfektan liter
(tanggal, bulan, tahun)
Kepala Instansi,

(Nama Lengkap)

Keterangan:
* jumlah kasus dalam satuan orang
** Satuan untuk logistik:
a. Masker, gaun, pelindung wajah, pelindung mata, pelindung kepala, apron dalam
satuan buah/pieces.
b. Sarung tangan dan sepatu dalam satuan pasangan/pairs
c. Antiseptik/desinfektan dalam satuan liter (L)

PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN 214


CORONAVIRUS DISEASE (COVID-19) REVISI KE-5
Pedoman
PENCEGAHAN
PENCEGAHAN D DAN
AN P
PENGENDALIAN
ENGENDALIAN
DEMAM
DEMAM B
BERDARAH
ERDARAH DENGUE
DENGUE
DII IINDONESIA
D NDONESIA

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
TAHUN 2017
Pedoman
PENGENDALIAN
PENGENDALIAN
DEMAM
D EMAM B BERDARAH
ERDARAH DENGUE
DENGUE
DII IINDONESIA
D NDONESIA

Katalog Dalam Terbitan, Kementerian Kesehatan RI


614.49 Ind P
Direktorat Jenderal Pengendalian
Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan
Kementerian Kesehatan RI
Jakarta, 2017

2
KATA SAMBUTAN

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT atas terbitnya buku
Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue edisi tahun 2017 ini, untuk
melengkapi atau menyempurnakan edisi sebelumnya.
Secara khusus permasalahan penyakit menular ditandai dengan adanya
kecenderungan penyakit baru (New Emerging Diseases), adanya penyakit
menular yang muncul kembali (Reemerging Diseases) dan adanya penyakit
menular lokal spesifik (Local Specific Diseases) yang terjadi di beberapa daerah
di tanah air. Semua itu harus mendapat perhatian dari kita semua.
Penyebaran penyakit tular vektor antara lain Demam Berdarah Dengue
(DBD) terkait erat dengan kepadatan penduduk, mobilitas, pengetahuan,
sikap, perilaku dan peran serta masyarakat serta kondisi iklim. Faktor lain
yang mungkin turut mempengaruhi antara lain permasalahan pengelolaan
lingkungan yang kurang baik sehingga menyebabkan tingginya habitat
perkembangbiakan nyamuk penular DBD, disamping masalah mutasi virus,
resistensi vektor akibat penggunaan insektisida secara berlebihan dan terus-
menerus. Ditambah lagi kondisi ketersediaan sarana prasarana, tenaga
kesehatan berkualitas, pembiayaan, dan peraturan perundang-undangan
yang mendukung juga harus menjadi perhatian. Permasalahan ini akan bisa
diatasi bersama dengan melakukan integrasi berbagai kegiatan program serta
peningkatan kerjasama lintas sektor terkait.
Perkembangan ilmu dan teknologi bidang kesehatan di dunia telah
melahirkan salah satu produk vaksin dengue oleh salah satu produsen vaksin
terkemuka, hal ini tentu dapat menjadi alternatif dalam upaya pengendalian
DBD di dunia dan Indonesia khususnya. Namun hal itu tidak berarti bahwa kita

3
harus meninggalkan metode lain dalam upaya mengendalikan DBD di tanah
air. Bagaimanapun juga metode pengendalian vektor melalui peningkatan
pemberdayaan dan peran serta masyarakat masih dianggap sebagai prioritas
dalam program pengendalian DBD serta penyakit arbovirosis lain di tanah
air. Melalui pendekatan Gerakan Satu Rumah Satu Jumantik dalam rangka
optimalisasi pembudayaan PSN 3M Plus diharapkan dapat menjadi solusi
untuk meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam pencegahan dan
pengendalian DBD di Indonesia.
Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue ini diharapkan dapat
menjadi bahan pembelajaran dan acuan bagi seluruh SDM kesehatan di
Indonesia dalam upaya pengendalian DBD serta faktor-faktor risiko yang
mempengaruhinya.
Semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, Maret 2017


Direktur Jenderal P2P

dr. H. Mohamad Subuh, MPPM


NIP 196201191989021001

4
KATA PENGANTAR

Pembangunan kesehatan dilakukan dengan memperhatikan dinamika


kependudukan, epidemiologi penyakit, perubahan ekologi dan lingkungan,
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta globalisasi dan demokratisasi
dengan semangat kemitraan dan kerjasama lintas sektoral. Penekanan
diberikan pada peningkatan perilaku dan kemandirian masyarakat serta upaya
promotif dan preventif.
Sesuai dengan Renstra Kementerian Kesehatan RI sasaran strategis
dalam Pembangunan Kesehatan tahun 2015-2019 antara lain menurunnya
angka kesakitan akibat penyakit menular, dengan meningkatkan persentase
kabupaten/kota dengan angka kesakitan Demam Berdarah Dengue (DBD) ≤
49 per 100.000 penduduk. Ditargetkan pada tahun 2017 sekurang-kurangnya
64%, tahun 2018 sekurang-kurangnya 66% dan pada tahun 2019 diharapkan
sekurang-kurangnya 68% kab/kota dengan angka kesakitan DBD ≤ 49 per
100.000 penduduk.
Demam Berdarah Dengue masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
dunia terutama di wilayah tropis dan subtropis, tidak terkecuali Indonesia
sebagai salah satu negara endemis DBD. Sejak pertama kali kasus DBD
dilaporkan di Indonesia pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, angka
kesakitan DBD menunjukkan tren peningkatan dari tahun ke tahun dan
wilayah penyebarannya pun semakin luas hampir di seluruh kabupaten/kota
di Indonesia. Namun angka kematian akibat DBD dalam satu dekade terakhir
dapat ditekan sampai di bawah angka 1 %.

5
Upaya peningkatan pemberdayaan dan peran serta masyarakat masih
menjadi strategi prioritas dalam upaya pencegahan dan pengendalian DBD.
Oleh karena itu Kementerian Kesehatan telah meluncurkan Gerakan Satu
Rumah Satu Jumantik dalam rangka optimalisasi pembudayaan PSN 3M
Plus di masyarakat.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
khususnya dalam bidang kesehatan terkait penyakit Demam Berdarah Dengue,
maka pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dalam penyusunan Pedoman Pengendalian Demam
Berdarah Dengue edisi tahun 2017 ini. Pedoman ini diharapkan dapat menjadi
bahan pembelajaran dan acuan bagi seluruh SDM kesehatan di Indonesia
untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan dalam pengendalian DBD.
Kritik, saran dan masukan sangat kami harapkan guna perbaikan di masa yang
akan datang.

Jakarta, Maret 2017


Direktur P2PTVZ

drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid


NIP 196512131991012001

6
DAFTAR ISI

Kata Sambutan ............................................................................................................... 3


Kata Pengantar ............................................................................................................... 5
Daftar Isi ........................................................................................................................... 7
Kontributor ...................................................................................................................... 8
Bab 1 Pendahuluan ...................................................................................................... 9
Bab 2 Diagnosis dan Tatalaksana Kasus ............................................................... 12
Bab 3 Epidemiologi. ..................................................................................................... 39
Bab 4 Surveilans Kasus ............................................................................................... 53
Bab 5 Pengendalian Vektor DBD ............................................................................. 67
Bab 6 Kewaspadaan Dini dan Penanggulangan KLB....................................... 94
Bab 7 Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat......................................... 105
Bab 8 Monitoring dan Evaluasi ................................................................................ 118
Lampiran........................................................................................................................... 121
Kepustakaan .................................................................................................................... 128

7
KONTRIBUTOR

1. drg. R. Vensya Sitohang, M.Epid 17. dr. Sri Hartoyo, M.Epid


2. dr. Achmad Farchanny T.A, MKM 18. dr. Dauries Ariyanti Muslikhah
3. dr. I Nyoman Kandun, MPH 19. Rohani Simanjuntak, SKM, MKM
4. Dr. dr. Rita Kusriastuti, MSc 20. Erliana Setiani, SKM, MPH
5. Dr. dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A (K) 21. dr. Astrid
6. dr. Dewi Lokida, SpPK(K) 22. Subahagio, SKM
7. dr. Sholah Imari, MSc 23. Rita Ariyati, SKM
8. dr. Matahari Harumdini, Sp.A 24. Shelvia Nova, SKM
9. dr. Vivi Anggraini 25. Yahidin Selian, SKM, MSc
10. dr. Indra Karuna P.K, MBA 26. Eka Muhiriyah, S.Pd, MKM
11. drg. Giani Gayatri 27. Bayu Aji, SE, MScPH
12. drh. Endang Burni Prasetyowati, M.Kes 28. dr. Endang Ucu Lesmana
13. Dr. Suwito, SKM, MKes 29. Widiawati, SKM, MKM
14. dr. Sulistya Widada 30. Subarjo
15. dr. Syswanda, MPH 31. Ramdani Abdullah
16. dr. Galuh Budhi Leksono Adhi

8
BAB 1
PENDAHULUAN

Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit infeksi virus akut yang
disebabkan oleh virus dengue yang ditandai demam 2 – 7 hari disertai dengan
manifestasi perdarahan, penurunan trombosit (trombositopenia), adanya
hemokonsentrasi yang ditandai kebocoran plasma (peningkatan hematokrit,
asites, efusi pleura, hipoalbuminemia). Dapat disertai gejala-gejala tidak khas
seperti nyeri kepala, nyeri otot & tulang, ruam kulit atau nyeri belakang bola
mata.
Tidak semua yang terinfeksi virus dengue akan menunjukkan manifestasi
DBD berat. Ada yang hanya bermanifestasi demam ringan yang akan sembuh
dengan sendirinya atau bahkan ada yang sama sekali tanpa gejala sakit
(asimtomatik). Sebagian lagi akan menderita demam dengue saja yang tidak
menimbulkan kebocoran plasma dan mengakibatkan kematian.
Dalam 3 dekade terakhir penyakit ini meningkat insidennya di berbagai
belahan dunia terutama daerah tropis dan sub-tropis, banyak ditemukan di
wilayah urban dan semi-urban. Penyakit ini ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes yang mengandung virus dengue.
Di Indonesia kasus DBD berfluktuasi setiap tahunnya dan cenderung
semakin meningkat angka kesakitannya dan sebaran wilayah yang terjangkit
semakin luas. Pada tahun 2016, DBD berjangkit di 463 kabupaten/kota dengan
angka. kesakitan sebesar 78,13 per 100.000 penduduk, namun angka kematian
dapat ditekan di bawah 1 persen, yaitu 0,79 persen. KLB DBD terjadi hampir
setiap tahun di tempat yang berbeda dan kejadiannya sulit diduga.

9
DBD diperkirakan akan masih cenderung meningkat dan meluas
sebarannya. Hal ini karena vektor penular DBD tersebar luas baik di tempat
pemukiman maupun ditempat umum. Selain itu kepadatan penduduk,
mobilitas penduduk, urbanisasi yang semakin meningkat terutama sejak 3
dekade yang terakhir.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi penyebar luasan DBD antara lain
adalah

• Perilaku masyarakat
• Perubahan iklim (climate change) global
• Pertumbuhan ekonomi
• Ketersediaan air bersih
Sampai saat ini belum ada obat atau vaksin yang spesifik, tetapi bila
pasien berobat dini, dan mendapat penatalaksanaan yang adekuat, umumnya
kasus-kasus penyakit ini dapat diselamatkan.
Cara yang dapat dilakukan saat ini dengan menghindari atau mencegah
gigitan nyamuk penular DBD. Oleh karena itu upaya pengendalian DBD yang
penting pada saat ini adalah melalui upaya pengendalian nyamuk penular
dan upaya membatasi kematian karena DBD. Atas dasar itu maka upaya
pengendalian DBD memerlukan kerjasama dengan program dan sektor terkait
serta peran serta masyarakat.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka Visi, Misi, Strategi dan Tujuan
Pengendalian DBD adalah sebagai berikut :

a. Visi
Terwujudnya individu dan masyarakat yang mandiri dalam mencegah dan
melindungi diri dari penularan DBD melalui optimalisasi kegiatan PSN
3M Plus disamping meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan
kesehatan yang berkualitas.

10
b. Misi
1) Pengendalian DBD mengedepankan aspek pemberdayaan dan peran
serta masyarakat serta kemitraan multisektor
2) Pengendalian DBD dilaksanakan secara komprehensif dan terpadu
dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta aspek kesehatan lingkungan.

c. Strategi
1) Pengendalian vektor penular DBD dengan mengedepankan upaya
pemberdayaan masyarakat dan peran serta masyarakat dalam PSN
3M Plus melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik.
2) Penguatan sistim surveilans untuk deteksi dini, pencegahan &
pengendalian kasus serta KLB DBD
3) Penguatan diagnostik dan penatalaksanaan penderita secara adekuat
di fasilitas pelayanan kesehatan untuk mencegah kematian
4) Pengembangan dan pemanfaatan vaksin dan teknologi tepat guna
lainnya dalam upaya pencegahan dan pengendalian DBD.

d. Tujuan
1) Meningkatkan persentase kabupaten/kota yang mencapai angka
kesakitan DBD kurang dari atau sama dengan 49 per 100.000
penduduk
2) Menurunkan angka kematian akibat DBD menjadi kurang dari 1 %.
3) Membatasi penularan DBD dengan mengendalikan populasi vektor
sehingga angka bebas jentik (ABJ) di atas atau sama dengan 95%.

11
BAB 2
DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA

I. Diagnosis Infeksi Dengue


Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis
dan kriteria diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam
penapisan kasus, tata laksana kasus, memperkirakan prognosis kasus, dan
surveilans. Kriteria diagnosis laboratoris yaitu kriteria diagnosis dengan
konfirmasi laboratorium yang penting dalam pelaporan, surveilans,
penelitian dan langkah-langkah tindakan preventif dan promotif.
A. Kriteria Diagnosis Klinis
Manifestasi klinis infeksi dengue sangat bervariasi dan sulit dibedakan
dari penyakit infeksi lain terutama pada fase awal perjalanan
penyakit-nya. Dengan meningkatnya kewaspadaan masyarakat
terhadap infeksi dengue, tidak jarang pasien demam dibawa berobat
pada fase awal penyakit, bahkan pada hari pertama demam. Sisi
baik dari kewaspadaan ini adalah pasien demam berdarah dengue
dapat diketahui dan memperoleh pengobatan pada fase dini, namun
di sisi lain pada fase ini sangat sulit bagi tenaga kesehatan untuk
menegakkan diagnosis demam berdarah dengue. Oleh karena itu
diperlukan petunjuk kapan suatu infeksi dengue harus dicurigai,
petunjuk ini dapat berupa tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan
laboratorium rutin. Tanpa adanya petunjuk ini di satu sisi akan
menyebabkan keterlambatan bahkan kesalahan dalam menegakkan
diagnosis dengan segala akibatnya, dan di sisi lain menyebabkan
pemeriksaan laboratorium berlebih dan bahkan perawatan yang

12
tidak diperlukan yang akan merugikan baik bagi pasien maupun
dalam peningkatan beban kerja rumah sakit.
Berdasar petunjuk klinis tersebut dibuat kriteria diagnosis klinis,
yang terdiri atas kriteria diagnosis klinis Demam Dengue (DD),
Demam Berdarah Dengue (DBD), Demam Berdarah Dengue dengan
syok (Sindrom Syok Dengue/SSD), dan Expanded Dengue Syndrome
(unusual manifestation). (UKK Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI, 2014)
1. Demam Dengue (DD)
Demam tinggi mendadak (biasanya ≥ 39º) ditambah 2 atau
lebih gejala/tanda penyerta:
- Nyeri kepala
- Nyeri belakang bola mata
- Nyeri otot & tulang
- Ruam kulit
- Manifestasi perdarahan
- Leukopenia (Lekosit ≤ 5000 /mm³)
- Trombositopenia (Trombosit < 150.000 /mm³ )
- Peningkatan hematokrit 5 – 10 %
2. Demam Berdarah Dengue (DBD)
1) Diagnosis DBD dapat ditegakkan bila ditemukan manifestasi
berikut:
a. Demam 2–7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-
menerus
b. Adanya manifestasi perdarahan baik yang spontan
seperti petekie, purpura, ekimosis, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena;
maupun berupa uji tourniquet positif.
c. Trombositopnia (Trombosit ≤ 100.000/mm³)
d. Adanya kebocoran plasma (plasma leakage) akibat dari
peningkatan permeabilitas vaskular yang ditandai salah
satu atau lebih tanda berikut:
• Peningkatan hematokrit/hemokonsentrasi ≥ 20%
dari nilai baseline atau penurunan sebesar itu pada
fase konvalesens

13
• Efusi pleura, asites atau hipoproteinemia/
hipoalbuminemia
2) Karakteristik gejala dan tanda utama DBD sebagai berikut:
a. Demam
• Demam tinggi yang mendadak, terus menerus,
berlangsung 2-7 hari.
• Akhir fase demam setelah hari ke-3 saat demam
mulai menurun, hati-hati karena pada fase
tersebut dapat terjadi syok. Demam Hari ke-3
sampai ke-6, adalah fase kritis terjadinya syok.
b. Tanda-tanda perdarahan
• Penyebab perdarahan pada pasien DBD ialah
vaskulopati, trombositopenia dan gangguan fungsi
trombosit, serta koagulasi intravaskular yang
menyeluruh. Jenis perdarahan yang terbanyak
adalah perdarahan kulit seperti uji Tourniquet
positif (uji Rumple Leed/ uji bendung), petekie,
purpura, ekimosis dan perdarahan konjungtiva.
Petekie dapat muncul pada hari-hari pertama
demam tetapi dapat pula dijumpai setelah hari
ke-3 demam.
• Petekie sering sulit dibedakan dengan bekas
gigitan nyamuk, untuk membedakannya: lakukan
penekanan pada bintik merah yang dicurigai
dengan kaca obyek atau penggaris plastik
transparan, atau dengan meregangkan kulit.
Jika bintik merah menghilang saat penekanan/
peregangan kulit berarti bukan petekie. Perdarahan
lain yaitu epitaksis, perdarahan gusi, melena dan
hematemesis. Pada anak yang belum pernah
mengalami mimisan, maka mimisan merupakan
tanda penting. Kadang-kadang dijumpai pula
perdarahan konjungtiva atau hematuria.

14
• Uji Bendung (Tourniquet Test) sebagai tanda perdarahan ringan, dapat
dinilai sebagai presumptif test (dugaan kuat).
• Pada hari ke-2 demam, uji Tourniquet memiliki sensitivitas 90,6% dan
spesifisitas 77,8%,dan pada hari ke-3 demam nilai sensitivitas 98,7%
dan spesifisitas 74,2%.
• Uji Tourniquet dinyatakan positif jika terdapat lebih dari 10 petekie
pada area 1 inci persegi (2,5 cm x 2,5 cm) di lengan bawah bagian
depan (volar) termasuk pada lipatan siku (fossa cubiti).

Gambar 2.1 Gambar 2.2


Cara menghitung hasil uji Torniquet Bintik-bintik perdarahan di bawah kulit

Cara melakukan uji Tourniquet sebagai berikut :


• Pasang manset anak pada lengan atas (ukuran manset
sesuaikan dengan umur anak, yaitu lebar manset = 2/3
lengan atas)
• Pompa tensimeter untuk mendapatkan tekanan sistolik
dan tekanan diastolik
• Aliran darah pada lengan atas dibendung pada tekanan
antara sistolik dan diastolik (rata-rata tekanan sistolik
dan diastolik) selama 5 menit. (Bila telah terlihat adanya
bintik-bintik merah ≥ 10 buah, pembendungan dapat
dihentikan).
• Lihat pada bagian bawah lengan depan (daerah volar)
dan atau daerah lipatan siku (fossa cubiti), apakah
timbul bintik-bintik merah, tanda perdarahan (petekie)

15
• Hasil Uji Tourniquet dinyatakan positif (+) bila
ditemukan ≥ 10 bintik perdarahan (petekia), pada luas
1 inci persegi ( 2,5 cm2.)
c. Hepatomegali (pembesaran hati)
• Pembesaran hati pada umumnya dapat ditemukan
pada permulaan penyakit, bervariasi dari hanya sekedar
dapat diraba ( just palpable) sampai 2-4 cm di bawah
lengkungan iga kanan dan dibawah procesus Xifoideus
• Proses pembesaran hati, dari tidak teraba menjadi
teraba, dapat meramalkan perjalanan penyakit DBD.
Derajat pembesaran hati tidak sejajar dengan beratnya
penyakit, namun nyeri tekan di hipokondrium kanan
disebabkan oleh karena peregangan kapsul hati. Nyeri
perut lebih tampak jelas pada anak besar dari pada
anak kecil.
d. Syok
Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi
kemungkinan terjadinya syok pada penderita Demam
Berdarah Dengue dapat dilihat pada Boks A

Boks A Tanda Bahaya (Warning Signs)


Klinis Demam turun tetapi keadaan anak
memburuk
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
Muntah persisten
Letargi, gelisah
Perdarahaan mukosa
Pembesaran hati
Akumulasi cairan
Oliguria
Laboratorium Peningkatan kadar hematokrit
bersamaan dengan penurunan cepat
jumlah trombosit
Hematokrit awal tinggi
*Sumber : Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak;
UKK Infeksi & Penyakit Tropis IDAI; Tahun 2014

16
Demam Berdarah Dengue dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/
SSD)
• Memenuhi kriteria Demam Berdarah Dengue
• Ditemukan adanya tanda dan gejala syok hipovolemik baik
yang terkompensasi maupun yang dekompensasi

Boks B Tanda dan Gejala Syok Terkompensasi


• Takikardia
• Takipnea
• Tekanan nadi (perbedaan antara sistolik dan diastolik)
<20 mmHg
• Waktu pengisian kapiler (capillary refill time/CRT) >2
detik
• Kulit dingin
• Produksi urin (urine output) menurun
• Anak gelisah
*Sumber : Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak; UKK
Infeksi & Penyakit Tropis IDAI; Tahun 2014

Boks C Tanda dan Gejala Syok Dekompensasi


• Takikardia
• Hipotensi (sistolik dan diastolik turun)
• Nadi cepat dan kecil
• Pernapasan Kusmaull atau hiperpnoe
• Sianosis
• Kulit lembap dan dingin
• Profound shock: nadi tidak teraba dan tekanan darah
tidak terukur
*Sumber : Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Dengue pada Anak; UKK
Infeksi & Penyakit Tropis IDAI; Tahun 2014

3. Expanded Dengue Syndrom (EDS)


Memenuhi kriteria Demam Dengue atau Demam Berdarah
Dengue baik yang disertai syok maupun tidak, dengan
manifestasi klinis komplikasi infeksi virus dengue atau dengan
manifestasi klinis yang tidak biasa, seperti tanda dan gejala:

17
• Kelebihan cairan
• Gangguan elektrolit
• Ensefalopati
• Ensefalitis
• Perdarahan hebat
• Gagal ginjal akut
• Haemolytic Uremic Syndrome
• Gangguan jantung: gangguan konduksi, miokarditis, perikarditis
• Infeksi ganda

B. Kriteria Diagnosis Laboratoris


Kriteria Diagnosis Laboratoris infeksi dengue baik demam dengue,
demam berdarah dengue maupun expanded dengue syndrom terdiri atas:
1. Probable; apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil pemeriksaan
serologi antidengue (deteksi antibodi) serum tunggal dan/atau
penderita bertempat tinggal/ pernah berkunjung ke daerah endemis
DBD dalam kurun waktu masa inkubasi.
2. Confirmed; apabila diagnosis klinis diperkuat dengan sekurang-
kurangnya salah satu pemeriksaan berikut:
a. Isolasi virus Dengue dari serum atau sampel otopsi.
b. Pemeriksaan HI Test dimana terdapat peningkatan titer
antibodi 4 kali pada pasangan serum akut dan konvalesen atau
peningkatan antibodi IgM spesifik untuk virus dengue
c. Positif antigen virus Dengue pada pemeriksaan otopsi jaringan,
serum atau cairan serebrospinal (LCS) dengan metode
immunohistochemistry, immunofluoressence atau serokonversi
pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada
pemeriksaan serologi berpasangan (ELISA)
d. Positif pemeriksaan antigen dengue dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR) atau pemeriksaan NS1 dengue.

18
C. Pemeriksaan Laboratorium
Ada beberapa jenis pemeriksaan laboratorium pada penderita infeksi
dengue antara lain:
1) Hematologi
a. Leukosit
• Jumlah leukosit normal, tetapi biasanya menurun dengan
dominasi sel neutrofil.
• Peningkatan jumlah sel limfosit atipikal atau limfosit plasma
biru (LPB) > 4% di darah tepi yang biasanya dijumpai pada
hari sakit ketiga sampai hari ke tujuh.
b. Trombosit
Pemeriksaan trombosit antara lain dapat dilakukan dengan cara:
• Semi kuantitatif (tidak langsung)
• Langsung (Rees-Ecker)
• Cara lainnya sesuai kemajuan teknologi
Jumlah trombosit ≤100.000/μl biasanya ditemukan diantara
hari ke 3-7 sakit. Pemeriksaan trombosit perlu diulang
setiap 4-6 jam sampai terbuktibahwa jumlah trombosit
dalam batas normal atau keadaan klinis penderita sudah
membaik.
c. Hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit menggambarkan adanya kebocoran
pembuluh darah. Penilaian hematokrit ini, merupakan indikator
yang peka akan terjadinya perembesan plasma, sehingga
perlu dilakukan pemeriksaan hematokrit secara berkala. Pada
umumnya penurunan trombosit mendahului peningkatan
hematokrit. Hemokonsertrasi dengan peningkatan hematokrit >
20% (misalnya nilai Ht dari 35% menjadi 42%), mencerminkan
peningkatan permeabilitas kapiler dan perembesan plasma.
Perlu mendapat perhatian, bahwa nilai hematokrit dipengaruhi
oleh penggantian cairan atau perdarahan.

19
Namun perhitungan selisih nilai hematokrit tertinggi dan
terendah baru dapat dihitung setelah mendapatkan nilai Ht
saat akut dan konvalescen (hari ke-7). Pemeriksaan hematrokrit
antara lain dengan mikro-hematokrit centrifuge
Nilai normal hematokrit:
• Anak-anak : 33 - 38 vol%
• Dewasa laki-laki : 40 - 48 vol%
• Dewasa perempuan : 37 - 43 vol%
Untuk puskesmas yang tidak ada alat untuk pemeriksaan Ht,
dapat dipertimbangkan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb.
2) Radiologi
Pada foto toraks posisi “Right Lateral Decubitus” dapat mendeteksi
adanya efusi pleura minimal pada paru kanan. Sedangkan asites,
penebalan dinding kandung empedu dan efusi pleura dapat pula
dideteksi dengan pemeriksaan Ultra Sonografi (USG).
3) Serologis
Pemeriksaan serologis didasarkan atas timbulnya antibodi pada
penderita terinfeksi virus Dengue.
a. Uji Serologi Hemaglutinasi Inhibisi (Haemaglutination Inhibition
Test)
Pemeriksaan HI sampai saat ini dianggap sebagai uji baku emas
(gold standard). Namun pemeriksaan ini memerlukan 2 sampel
darah (serum) dimana spesimen harus diambil pada fase akut
dan fase konvalensen (penyembuhan), sehingga tidak dapat
memberikan hasil yang cepat.
b. ELISA (IgM/IgG)
Infeksi dengue dapat dibedakan sebagai infeksi primer atau
sekunder dengan menentukan rasio limit antibodi dengue IgM
terhadap IgG. Dengan cara uji antibodi dengue IgM dan IgG,
uji tersebut dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu

20
sampel darah (serum) saja, yaitu darah akut sehingga hasil cepat
didapat. Saat ini tersedia Dengue Rapid Test (misalnya Dengue
Rapid Strip Test) dengan prinsip pemeriksaan ELISA.
c. Interpretasi Hasil Pemeriksaan Dengue Rapid Test
Dengue Rapid Test mendiagnosis infeksi virus primer dan
sekunder melalui penentuan cut-off kadar IgM dan IgG dimana
cut-off IgM ditentukan untuk dapat mendeteksi antibodi IgM
yang secara khas muncul pada infeksi virus dengue primer dan
sekunder, sedangkan cut off antibodi IgG ditentukan hanya
mendeteksi antibodi kadar tinggi yang secara khas muncul pada
infeksi virus dengue sekunder (biasanya IgG ini mulai terdeteksi
pada hari ke-2 demam) dan disetarakan dengan titer HI > 1:2560
(tes HI sekunder) sesuai standar WHO. Hanya respons antibodi
IgG infeksi sekunder aktif saja yang dideteksi, sedangkan IgG
infeksi primer atau infeksi masa lalu tidak dideteksi. Pada infeksi
primer IgG muncul pada setelah hari ke-14, namun pada infeksi
sekunder IgG timbul pada hari ke-2.
Interpretasi hasil adalah apabila garis yang muncul hanya IgM
dan kontrol tanpa garis IgG, maka Positif Infeksi Dengue Primer
(DD). Sedangkan apabila muncul tiga garis pada kontrol, IgM,
dan IgG dinyatakan sebagai Positif Infeksi Sekunder (DBD).
Beberapa kasus dengue sekunder tidak muncul garis IgM, jadi
hanya muncul garis kontrol dan IgG saja. Pemeriksaan dinyatakan
negatif apabila hanya garis kontrol yang terlihat. Ulangi
pemeriksaan dalam 2-3 hari lagi apabila gejala klinis kearah
DBD. Pemeriksaan dinyatakan invalid apabila garis kontrol tidak
terlihat dan hanya terlihat garis pada IgM dan/atau IgG saja.

21
II. Tatalaksana Infeksi Dengue
Pada dasarnya pengobatan infeksi dengue bersifat simtomatis dan
suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai akibat peningkatan
permeabilitas kapiler dan sebagai akibat perdarahan. Pasien DD dapat berobat
jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif. Diagnosis dini
dan memberikan nasehat untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok,
merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak
lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Kunci keberhasilan tatalaksana
DBD/SSD terletak pada ketrampilan para petugas medis dan paramedis untuk
dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu
(fase kritis, fase syok) dengan baik.
A. Pertolongan Pertama Penderita
Pada awal perjalanan DBD gejala dan tanda tidak spesifik, oleh karena itu
masyarakat/keluarga diharapkan waspada jika terdapat gejala dan tanda
yang mungkin merupakan awal perjalanan penyakit tersebut. Gejala dan
tanda awal DBD dapat berupa panas tinggi tanpa sebab jelas yang timbul
mendadak, terus-menerus selama 2-7 hari, badan lemah/lesu, nyeri
ulu hati, tampak bintik-bintik merah pada kulit seperti bekas gigitan
nyamuk disebabkan pecahnya pembuluh darah kapiler di kulit. Untuk
membedakannya kulit diregangkan bila bintik merah itu hilang, bukan
tanda penyakit DBD.
Apabila keluarga/masyarakat menemukan gejala dan tanda di atas, maka
pertolongan pertama oleh keluarga adalah sebagai berikut:
a. Tirah baring selama demam
b. Antipiretik (parasetamol) 3 kali 1 tablet untuk dewasa, 10-15 mg/kgBB/
kali untuk anak. Asetosal, salisilat, ibuprofen jangan dipergunakan
karena dapat menyebabkan nyeri ulu hati akibat gastritis atau
perdarahan.
c. Kompres hangat

22
d. Minum banyak (1-2 liter/hari), semua cairan berkalori diperbolehkan
kecuali cairan yang berwarna coklat dan merah (susu coklat, sirup
merah).
e. Bila terjadi kejang ( jaga lidah agar tidak tergigit, longgarkan pakaian,
tidak memberikan apapun lewat mulut selama kejang)
Jika dalam 2-3 hari panas tidak turun atau panas turun disertai
timbulnya gejala dan tanda lanjut seperti perdarahan di kulit (seperti
bekas gigitan nyamuk), muntah-muntah, gelisah, mimisan dianjurkan
segera dibawa berobat/periksakan ke dokter atau ke unit pelayanan
kesehatan untuk segera mendapat pemeriksaan dan pertolongan.
B. Tatalaksana Demam Dengue (DD)
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat inap. Pada fase demam
pasien dianjurkan:
1) Tirah baring, selama masih demam.
2) Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.
3) Untuk menurunkan suhu menjadi <39°C, dianjurkan pemberian
parase-tamol. Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (indikasi kontra) oleh
karena dapat meyebabkan gastritis, perdarahan, atau asidosis.
4) Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, sirop,
susu, disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama
2 hari.
5) Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase
konvalesens.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi
terhadap komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah
suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit
membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan
akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi

23
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan
sirkulasi (syok). Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa
disertai gejala syok. Oleh karena itu, orang tua atau pasien dinasehati
bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau terdapat
perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi,
apalagi bila disertai berkeringat dingin, hal tersebut merupakan
tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa segera ke rumah
sakit. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu
turun 2-3 hari, tidak perlu lagi diobservasi. Tatalaksana DD tertera
pada Bagan 2 (Tatalaksana tersangka DBD).

C. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue (DBD)


1. Tatalaksana DBD Tanpa Syok
Perbedaan patofisilogik utama antara DBD dan penyakit lain adalah
adanya peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
perembesan plasma dan gangguan hemostasis. Maka keberhasilan
tatalaksana DBD terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase
kritis yaitu saat suhu turun (the time of defervescence) yang merupakan
fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan observasi
klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan
hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan
plasma, yang dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit.
Fase kritis pada umumnya mulai terjadi pada hari ketiga sakit.
Penurunan jumlah trombosit sampai ≤100.000/μl atau kurang dari
1-2 trombosit/Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum
peningkatan hematokrit dan sebelum terjadi penurunan suhu.
Peningkatan hematokrit ≥20% mencerminkan perembesan plasma
dan merupakan indikasi untuk pemberian cairan. Larutan garam
isotonik atau kristaloid sebagai cairan awal pengganti volume plasma
dapat diberikan sesuai dengan berat ringan penyakit. Perhatian

24
khusus pada kasus dengan peningkatan hematokrit yang terus
menerus dan penurunan jumlah trombosit <50.000/μl. Secara umum
pasien DBD derajat I dan II dapat dirawat di puskesmas, rumah sakit
kelas D, C dan pada ruang rawat sehari di rumah sakit kelas B dan A.
Secara umum perjalanan penyakit DBD dibagi menjadi 3 fase yaitu
fase demam, fase kritis dan fase penyembuhan (konvalesens):
a) Fase Demam
Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana
DD, bersifat simtomatik dan suportif yaitu pemberian cairan
oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau
nyeri perut yang berlebihan, maka cairan intravena rumatan
perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi
perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi
lama demam pada DBD.
b) Fase Kritis
Periode kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada
umumnya hari ke 3-5 fase demam. Pasien harus diawasi ketat
terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Pemeriksaan
kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium
yang terbaik untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu
menggambarkan derajat kebocoran plasma dan pedoman
kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya
terjadi sebelum dijumpai perubahan tekanan darah dan tekanan
nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu kali sejak hari sakit
ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan
hematokrit tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat
dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak terlalu sensitif.

Untuk puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat


dipertimbangkan dengan menggunakan Hb Sahli dengan
estimasi nilai Ht=3x kadar Hb

25
Penggantian Volume Plasma
Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang
terjadi pada fase penurunan suhu (fase afebris, fase krisis, fase
syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian volume
plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan
harus diberikan dengan bijaksana dan berhati-hati. Kebutuhan
cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan pada
kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit). Tetesan
berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital, kadar
hematokrit, dan jumlah volume urin. Secara umum volume yang
dibutuhkan adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%.
Cairan intravena diperlukan, apabila:
1) Anak terus menerus muntah, tidak mau minum, demam
tinggi sehingga tidak mungkin diberikan minum per oral,
ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat
terjadinya syok,
2) Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan
berkala. Jumlah cairan yang diberikan tergantung dari
derajat dehidrasi dan kehilangan elektrolit, dianjurkan
cairan glukosa 5% di dalam larutan NaCI 0,45%. Bila terdapat
asidosis, diberikan natrium bikarbonat 7,46%, 1-2 ml/kgBB
intravena bolus perlahan-lahan.
Pada saat pasien datang, berikan cairan kristaloid/ NaCI
0,9% atau dekstrosa 5% dalam ringer laktat/NaCI 0,9%,
6-7 ml/kgBB/jam. Monitor tanda vital, diuresis setiap jam
dan hematokrit serta trombosit setiap 6 jam. Selanjutnya
evaluasi 12-24 jam.
Apabila selama observasi keadaan umum membaik yaitu
anak nampak tenang, tekanan nadi kuat, tekanan darah
stabil, diuresis cukup, dan kadar Ht cenderung turun
minimal dalam 2 kali pemeriksaan berturut-turut, maka
tetesan dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Apabila dalam

26
observasi selanjutnya tanda vital tetap stabil, tetesan
dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam dan akhirnya cairan
dihentikan setelah 24-48 jam.
Jenis Cairan
- Kristaloid: Larutan ringer laktat (RL), Larutan ringer asetat (RA),
Larutan garam faali (GF), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer
laktat (D5/RL), Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/
RA), Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/ 1/2LGF)
(Catatan: Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA,
tidak boleh larutan yang mengandung dekstosa)
- Koloid: Dekstran 40, Plasma, Albumin, Hidroksil etil starch 6%,
gelafundin
a) Fase Penyembuhan/konvalesen
Pada fase penyembuhan, ruam konvalesen/ sekunder
akan muncul pada daerah esktremitas. Perembesan
plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat
terjadi reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali ke dalam
intravaskuler. Apabila pada saat itu cairan tidak dikurangi,
akan menyebabkan edema palpebra, edema paru dan
distres pernafasan.

Gambar 2.3 : Ruam di kulit yang menyeluruh dengan bercak- bercak putih (halo)

27
2. Tatalaksana DBD dengan Syok (Sindrom Syok Dengue/ SSD)
Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti (volume
replacement) adalah pengobatan yang utama, berguna untuk
memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak cepat
mengalami syok dan sembuh kembali bila diobati segera dalam 48
jam. Pasien harus dirawat dan segera diobati bila dijumpai tanda-tanda
syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas dingin, bibir sianosis,
oliguri, dan nadi lemah, tekanan nadi menyempit (≤ 20mmHg) atau
hipotensi, dan peningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau
kadar hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi
cairan intravena.Pada penderita SRD dengan tensi tak terukur dan
tekanan nadi ≤20 mm Hg segera berikan cairan kristaloid sebanyak
20 ml/kg BB selama 30 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10
ml/kgBB/jam.
Tatalaksana DBD dengan Syok meliputi:
a) Penggantian Volume Plasma Segera
Cairan resusitasi awal adalah larutan kristaloid 20 ml/kgBB
secara intravena dalam 30 menit. Pada anak dengan berat badan
lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal dan umur, bila tidak ada
perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid.
Apabila syok belum dapat teratasi setelah 60 menit, berikan
cairan koloid 10-20 ml/kg BB secepatnya dalam 30 menit. Pada
umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30ml/kgBB/hari
atau maksimal pemberian koloid 1500ml/hari, dan sebaiknya
tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian cairan
resusitasi kristaloid dan koloid, syok masih menetap sedangkan
kadar hematokrit turun, maka pikirkan adanya perdarahan
internal. Maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar/
komponen sel darah merah. Apabila nilai hematokrit tetap
tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10ml/kgBB/jam)
dapat diulang sampai 30ml/kgBB/24jam, Setelah keadaan klinis
membaik, tetesan infus dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis
dan kadar hematokrit.

28
b) Pemeriksaan Hematokrit untuk Memantau Penggantian
Volume Plasma
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital
telah membaik dan kadar hematokrit turun. Tetesan cairan segera
diturunkan menjadi 10 ml/kgBB/jam dan kemudian disesuaikan
tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48
jam.
Cairan intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah
turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya. Jumlah urin 1ml/kgBB/
jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan dapat dihentikan setelah 48
jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih
pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ekstravaskular (ditandai
dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian cairan
rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan
akibat edema paru dan gagal jantung. Penurunan hematokrit
pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang
kuat, tekanan darah normal, diuresis cukup, tanda vital baik,
merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
c) Koreksi Ganggungan Metabolik dan Elektrolit
Hiponatremia dan asidosis metabolik sering menyertai pasien
DBD/SSD, maka analisis gas darah dan kadar elektrolit harus
selalu diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi,
akan memacu terjadinya KID, sehingga tatalaksana pasien
menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan
secepatnya dan dilakukan koreksi asidosis dengan natrium
bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID, tidak akan
tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.

29
d) Pemberian Oksigen
Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada
semua pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan
mempergunakan masker, tetapi harus diingat pula pada anak
seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker
oksigen.
e) Transfusi Darah
Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus
dilakukan pada setiap pasien syok, terutama pada syok yang
berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian transfusi darah
diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata.
Kadangkala sulit untuk mengetahui perdarahan interna (internal
haemorrhage) apabila disertai hemokonsentrasi. Penurunan
hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi,
merupakan tanda adanya perdarahan. Pemberian darah segar
dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup
mengandung plasma, sel darah merah dan faktor pembeku
trombosit. Plasma segar dan atau suspensi trombosit berguna
untuk pasien dengan KID(Koagulasi Intravascular Disseminata)
dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada syok berat dan
menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan
kematian.
f) Monitoring
Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi
secara teratur untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang
harus diperhatikan pada monitoring adalah :
(1) Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat
setiap 15-30menit atau lebih sering, sampai syok dapat
teratasi.
(2) Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai
keadaan klinispasien stabil.

30
(3) Setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan,
mengenai jenis cairan,jumlah, dan tetesan, untuk
menentukan apakah cairan yang diberikan sudahmencukupi.
(4) Jumlah dan frekuensi diuresis
Pada pengobatan renjatan/ syok, kita harus yakin benar bahwa
penggantian volume intravaskuler telah benar-benar terpenuhi
dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1ml/kgBB/jam, sedang
jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan
tanda overload antara lain edema, pernapasan meningkat, maka
selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat diberikan. Jika pasien
sudah stabil, maka bisa dirujuk ke RS rujukan.
g) Ruang Rawat Khusus Untuk DBD/SSD
Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien
DBD seharusnya dirawat di ruang rawat khusus, yang dilengkapi
dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan khusus
tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk
memeriksa kadar hemoglobin, hematokrit, dan trombosit yang
tersedia selama 24 jam. Pencatatan merupakan hal yang penting
dilakukan di ruang perawatan DBD. Paramedis dapat dibantu
oleh orang tua/ keluarga pasien untuk mencatat jumlah cairan
baik yang diminum maupun yang diberikan secara intravena,
serta menampung urin serta mencatat jumlahnya.
h) Kriteria Memulangkan Pasien
Pasien dapat dipulangkan, apabila memenuhi semua keadaan
dibawah ini:
(1) Tampak perbaikan secara klinis
(2) Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
(3) Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi
pleura atau asidosis)
(4) Hematokrit stabil
(5) Jumlah trombosit >50.000/μl dan menunjukan
kecenderungan meningkat

31
(6) Tiga hari setelah syok teratasi (hemodinamik stabil)
(7) Nafsu makan membaik

D. Tatalaksana Expanded Dengue Syndrom


1. Tatalaksana kelebihan cairan (volume overload)
• Pada keadaan kelebihan cairan perlu dinilai keadaan klinis,
dihitung kembali cairan yang telah diberikan, dan cek A-B-C-S
(Acidosis-Bleeding-Calcium-Sugar) apakah telah dikoreksi.
• Turunkan jumlah cairan menjadi 1 mL/kgBB/ jam, bila tersedia
cairan koloid, ganti kristaloid dengan cairan koloid.
• Pada stadium lanjut dengan ditemukannya tanda edema paru,
furosemid 1 mg/kgBB/dosis segera diberikan bila tekanan
darah stabil serta kadar ureum dan kreatinin normal. Setelah
pemberian furosemid perlu dipantau setiap 15 menit untuk
menilai keberhasilan pengobatan.
• Ukur volume diuresis melalui kateter urin
• Apabila tidak ada perbaikan setelah pemberian furosemid,
periksa status volume intravaskular (pemantauan CVP). Apabila
volume intravascular baik, pemberian furosemid dapat diulang
untuk kedua kalinya dengan dosis ganda. Namun apabila masih
terjadi oliguria maka harus segera dilakukan dialisis, berarti
pasien dalam keadaan gagal ginjal akut, keadaan ini mempunyai
prognosis yang buruk. Apabila volume intravaskular tidak
adekuat maka cek A-B-C-S dan koreksi gangguan keseimbangan
elektrolit.
2. Tatalaksana Gangguan Elektrolit
Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis dan tersering
yaitu hiponatremia dan hipokalsemia. Sedangkan hipokalemia sering
pada fase konvalesens.

32
Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan hipotonis
yang tidak adekuat. Apabila ada kejang diberikan Natrium 3%,
apabila tidak ada kejang cukup diberikan cairan dekstrose 5%-NaCl
0,9%.
Hipokalsemia disebabkan perembesan kalsium yang mengikuti
albumin masuk ke cairan pleura atau peritoneal. Direkomendasikan
diberikan kalsium glukonas 10% dengan dosis 1 mL/kgBB/dosis
(maksimum 10 mL) diencerkan dengan aquadest, diberikan setiap
6 jam hanya untuk kasus SSD dekompensasi atau pasien dengan
kelebihan cairan.
Tidak diperlukan pemberian kalsium untuk kasus dengue tanpa
komplikasi dan tanpa gejala.
3. Tatalaksana Ensefalopati
Pada ensefalopati dengue, paling sering berhubungan dengan
gangguan fungsi hati, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan
serebral sekunder akibat syok, gangguan elektrolit, atau perdarahan
intrakranial. Penyebab ensefalopati harus dicari dan diberi pengobatan
sesuai penyebab.
Pada pasien ensefalopati harus diperiksa kadar amoniak, enzim
transaminase (SGOT dan SGPT), PT, APTT dan albumin untuk
memantau fungsi hati. Kadar elektrolit harus diperiksa dan segera
dilakukan koreksi bila ditemukan kelainan. Pemeriksaan radiologi
kepala (CT-scan/MRI) direkomendasikan untuk menyingkirkan
perdarahan intrakranial.
Tata laksana ensepalopati meliputi:
• Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen.
• Mencegah/mengurangi tekanan intrakranial dengan cara
sebagai berikut.
- Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi
(restriksi), tidak lebih dari 80% kebutuhan rumatan
- Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila hematokrit masih
tetap tinggi

33
- Pemberian diuretik segera pada kasus kelebihan cairan
- Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 30
derajat lebih tinggi dari tubuh
- Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia
dan mempertahankan jalan napas
- Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6–8
jam, untuk mengurangi tekanan intrakranial (apabila tidak
ada perdarahan )
• Mengurangi produksi amoniak berikan laktulosa 5–10 mL setiap
6 jam.
• Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit
(hipo/hipernatremia, hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan
asidois. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur <1 tahun, 5 mg
untuk umur <5 tahun, dan 10 mg untuk umur >5 tahun atau
dewasa.
• Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital,
dilantin, atau diazepam intravena.
• Transfusi darah, bila diperlukan, sebaiknya fresh red packed cell.
Komponen darah yang lain seperti suspensi trombosit dan FFP
tidak dianjurkan karena menyebabkan kelebihan cairan dan
meningkatkan tekanan intrakranial.
• Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjadi
infeksi bakteri sekunder.
• Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh
karena pada umumnya obat dimetabolisme di dalam hati.
• Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therapy
diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal.
4. Tatalaksana Perdarahan Masif
• Apabila sumber perdarahan tampak secara klinis, segera lakukan
tindakan untuk menghentikannya, misalnya mimisan berat dapat
dihentikan dengan tampon nasal. Tranfusi darah harus segera

34
diberikan, apabila kadar hematokrit menurun. Apabila volume
darah yang keluar dapat diukur maka ganti dengan volume
yang sama. Namun, apabila sulit diukur berikan darah segar
10 mL/kgBB atau 5 mL/kgBB fresh packed red cell, kemudian
diperiksa ulang 3 jam pasca transfusi untuk menentukan apakah
diperlukan transfusi lagi atau tidak.
• Pada perdarahan gastrointestinal, pemberian H2 antagonis dan
proton pump inhibitor, kurang efektif.
• Tidak ada bukti nyata khasiat pemberian komponen darah seperti
suspensi trombosit, fresh frozen plasma, atau cryoprecipitate,
malah dapat menyebabkan sindrom kelebihan cairan.
• Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus dengan
perdarahan masif tanpa gagal organ memberi hasil baik, namun
selain harganya sangat mahal juga sulit didapat.
5. Tatalaksana Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut dapat terjadi oleh karena hipoperfusi dalam SSD.
Plasmaferesis atau hemodialisis atau renal replacement therapy dapat
dilakukan pada pasien dengan keadaan gagal ginjal yang semakin
memburuk.
6. Tatalaksana Sindrom Gangguan Pernapasan Akut
Kerusakan pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan sindrom
gangguan pernapasan akut (ARDS) yang memerlukan ventilator.
Kelebihan cairan harus dihindari untuk mencegah terjadinya edema
paru.
7. Tatalaksana Ensefalitis Dengue
Tata laksana umum ensefalitis virus meliputi pemantauan dan
pemeliharaan jalan napas dan oksigenasi yang memadai, hidrasi, dan
nutrisi. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah teratasi, fase kritis
telah dilewati dan kesadaran tetap menurun (hati-hati bila trombosit
<50.000/uL). Kejang dapat dikontrol dengan obat antikonvulsi, dan

35
peningkatan tekanan intrakranial dengan manitol, dan steroid. Jika
dicurigai kemungkinan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka
antibiotik empiris sesuai dengan antibiogram lokal harus diberikan.
Di daerah endemis, kemungkinan penyakit yang dapat menimbulkan
infeksi susunan syaraf pusat seperti malaria serebral, toksoplasmosis,
human immunodeficiency virus (HIV), tuberkulosis, dan Japanese-
ensefalitis, sudah harus disingkirkan.
8. Tatalaksana Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien
DBD yang mengalami syok berkepanjangan. Pada umumnya
disebabkan oleh asidosis metabolik dan hipokalsemia. Sehingga
tata laksana miokarditis dengue selain memberikan obat-obatan
untuk miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemia.
Miokarditis jarang didapatkan pada pasien anak di bawah 10 tahun
dan pada umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien DBD.
Namun beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan
dapat mengalami miokarditis. Sehingga jika kecurigaan terhadap
miokarditis terjadi pada pasien, pemberian cairan harus berhati-hati.
9. Tatalaksana Pasien dengan Risiko Tinggi
Obesitas, bayi, diabetes melitus, ibu hamil, hipertensi, dalam terapi
antikoagulan, penyakit hemolitik dan hemoglobinopati, penyakit
jantung bawaan dan kelainan jantung sistemik, serta pasien dalam
pengobatan steroid memperburuk prognosis demam berdarah
dengue.
• Obesitas. Pasien obese mempunyai cadangan respirasi yang
kurang dibandingkan anak dengan berat badan ideal, pemberian
cairan harus hati-hati karena lebih mudah terjadi kelebihan
cairan. Volume cairan resusitasi dihitung berdasarkan kebutuhan
sesuai berat badan ideal.
• Bayi. Bayi juga mempunyai cadangan respirasi yang kurang
dan lebih rentan terhadap gangguan hati serta keseimbangan
elektrolit. Pada bayi perembesan plasma berlangsung relatif

36
lebih pendek dan pada umumnya memberikan respons yang
cepat terhadap resusitasi cairan. Oleh karena itu pada bayi harus
dilakukan pemantauan yang lebih sering terhadap kemampuan
minum dan jumlah diuresis, bila minum sudah baik dan diuresis
baik jumlah intravena harus segera dikurangi.
• Diabetes melitus. Pada pasien DM yang mengalami infeksi
dengue, pada umumnya diperlukan pemberian insulin intravena.
Cairan kristaloid yang diberikan harus tidak mengandung
glukosa.
• Ibu hamil. Ibu hamil yang menderita infeksi dengue harus
dirawat untuk dilakukan pemantauan lebih ketat. Kerja sama
antara dokter spesialis kebidanan,spesialis anak, spesialis
penyakit dalam dan dokter umum sangat diperlukan. Jumlah
cairan yang diberikan pada ibu hamil sama dengan ibu tidak
hamil, dengan pedoman berat badan sebelum hamil.
Konseling terhadap keluarga harus diberikan terutama bila
keadaan umum memburuk.
• Hipertensi. Penderita hipertensi umumnya sedang minum obat
anti hipertensi, hal ini menyamarkan respon kardiovaskuler
dalam keadaan syok. Oleh karena itu diperlukan data dasar
tekanan darah sehari-hari dalam pengobatan.
• Terapi antikoagulan. Pada keadaan kritis, obat antikoagulan
harus dihentikan.
• Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati. Pasien hemolitik
dan hemoglobinopati mempunyai risiko untuk memperberat
terjadinya hemolisis, maka sering kali memerlukan transfusi
darah. Perhatikan jangan sampai terjadi kelebihan cairan dan
hipokalsemia.
• Penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung iskemik.
Pemberian cairan harus berhati-hati karena dapat menyebabkan
gagal jantung akibat kelebihan cairan.

37
• Pasien dalam pengobatan steroid.
Kortikosteroid tetap diberikan, hanya rute
pemberian-nya diubah.
Laporan kasus/tersangka infeksi dengue dari Puskesmas dan
Rumah Sakit Perawatan menggunakan formulir KDRS dikirimkan
kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, dengan tembusan
kepada Puskesmas sesuai dengan domisili (tempat tinggal) pasien
yang bersangkutan. Pelaporan dilakukan 24 jam setelah diagnosis
kerja ditegakkan. Pelaporan hasil pemeriksaan laboratorium DBD
dilakukan oleh Balai Laboratorium Kesehatan/Bagian Mikrobiologi/
bag.laboratorium RS setempat.

38
BAB 3
EPIDEMIOLOGI

I. Gambaran Epidemiologi
A. Pengertian
Epidemiologi berasal dari kata Epi, demos dan logos. Epi berarti atas,
demos berarti masyarakat, logos berarti ilmu, sehingga epidemiologi
dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang distribusi penyakit
di masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya (determinan).
Epidemiologi Infeksi Dengue adalah ilmu yang mempelajari tentang
kejadian dan distribusi frekuensi Infeksi Dengue (Demam Dengue/DD,
Demam Berdarah Dengue/DBD dan Expanded Dengue Syndrome/EDS)
menurut variabel epidemiologi (orang, tempat dan waktu) dan berupaya
menentukan faktor resiko (determinan) kejadian tersebut pada suatu
kelompok populasi. Distribusi yang dimaksud diatas adalah distribusi
berdasarkan unsur orang, tempat dan waktu; sedangkan frekwensi dalam
hal ini adalah angka kesakitan, angka kematian dll. Determinan faktor
risiko berarti faktor yang mempengaruhi atau faktor yang memberi risiko
atas kejadian penyakit Demam Dengue, Demam Berdarah Dengue dan
Expanded Dengue Syndrome.
B. Penyebaran
1. Situasi Global
KLB Dengue pertama kali terjadi tahun 1653 di Frech West Indies
(Kepulauan Karibia), meskipun penyakitnya sendiri sudah telah

39
dilaporkan di Cina pada permulaan tahun 992 SM. Di Australia
serangan penyakit Dengue pertama kali dilaporkan pada tahun 1897,
serta di Italia dan Taiwan pada tahun 1931. KLB di Filipina terjadi pada
tahun 1953-1954, sejak saat itu serangan penyakit ini disertai tingkat
kematian yang tinggi melanda beberapa negara di wilayah Asia
Tenggara termasuk India, Indonesia, Kepulauan Maladewa, Myanmar,
Srilangka, Thailand, Singapura, Kamboja, Malaysia, New Caledonia,
Filipina, Tahiti dan Vietnam.
Selama dua puluh tahun kemudian, terjadi peningkatan kasus dan
wilayah penyebaran yang luar biasa hebatnya, dan saat ini KLB
muncul setiap tahunnya di beberapa negara di Asia Tenggara.
Berbagai serotipe virus Dengue endemis di beberapa negara tropis.
Di Asia, penyakit infeksi Dengue endemis di China Selatan, Hainan,
Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Myanmar, India, Pakistan, Sri
Langka, Indonesia, Filipina, Malaysia dan Singapura. Negara dengan
endemisitas rendah di Papua New Guinea, Bangladesh, Nepal, Taiwan
dan sebagian besar negara Pasifik. Kasus Infeksi Dengue sejak tahun
1981 ditemukan di Queensland, Australia Utara. Serotipe Virus
Dengue 1,2,3, dan 4 endemis di Afrika. Di pantai Timur Afrika mulai
dari Mozambik sampai ke Etiopia dan di kepulauan lepas pantai seperti
Seychelles dan Komoro. Saudi Arabia pernah melaporkan kasus yang
diduga DBD. Di Amerika, ke-4 serotipe virus dengue menyebar di
Karibia, Amerika Tengah dan Amerika Selatan hingga Texas (1977-
1997). Tahun 1990 terjadi KLB di Meksiko, Karibia, Amerika Tengah,
Kolombia, Bolivia, Ekuador, Peru, Venezuela, Guyana, Suriname, Brazil,
Paraguay dan Argentina.

Grafik 3.1 : Distribusi Kasus Dengue Di Dunia Tahun 2004-2010 (sumber : WHO)

40
2. Situasi Nasional
Penyakit Dengue pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta
dan Surabaya. Pada tahun 2010 penyakit dengue telah tersebar
di 33 provinsi, 440 Kab./Kota. Sejak ditemukan pertama kali kasus
DBD cenderung meningkat terus bahkan sejak tahun 2004 kasus
meningkat sangat tajam.
Kenaikan kasus DBD berbanding terbalik dengan angka kematian
(CFR) akibat DBD, dimana pada awal dilaporkan di Surabaya dan
Jakarta angka kematian (CFR) DBD berkisar 41,3% kemudian
menunjukan penurunan dan pada tahun 2014 telah mencapai 0,90%.
Grafik 3.2 Tren Angka Kesakitan (IR) dan Angka Kematian (CFR) DBD
Tahun 1968-2014

Sumber: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan-Kementerian Kesehatan RI

Target Angka Kesakitan/ Incidence Rate (IR) DBD tahun 2014 sebesar
≤ 51 per 100.000 penduduk, secara nasional hasil capaian tahun
2014 telah melampaui target dengan IR nasional sebesar 39,76 per
100.000 penduduk, namun masih ada 8 propinsi yang IR nya berada
di atas 51 per 100.000 penduduk, yaitu Provinsi Bali, Kalimantan
Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Barat, Kepulauan Riau, DKI
Jakarta, DI Yogyakarta dan Sulawesi Utara.

41
Grafik 3.3 Profil Angka Kesakitan (IR) DBD Per Provinsi Tahun 2014

Sumber: Ditjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan-Kementerian Kesehatan RI

II. Mekanisme Penularan Penyakit


A. Penyebab Penyakit
Penyebab penyakit Dengue adalah Arthrophod borne virus, famili
Flaviviridae, genus flavivirus.Virus berukuran kecil (50 nm) ini memiliki
single standard RNA. Virion-nya terdiri dari nucleocapsid dengan bentuk
kubus simetris dan terbungkus dalam amplop lipoprotein.Genome
(rangkaian kromosom) virus Dengue berukuran panjang sekitar 11.000
dan terbentuk dari tiga gen protein struktural yaitu nucleocapsid atau
protein core (C), membrane-associated protein (M) dan suatu protein
envelope (E) serta gen protein non struktural (NS).
Terdapat empat serotipe virus yang dikenal yakni DEN-1, DEN-2, DEN-
3 dan DEN-4. Ke empat serotipe virus ini telah ditemukan di berbagai
wilayah Indonesia. Hasil penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa
Dengue-3 sangat berkaitan dengan kasus DBD berat dan merupakan
serotipe yang paling luas distribusinya disusul oleh Dengue-2, Dengue-1
dan Dengue -4.
Terinfeksinya seseorang dengan salah satu serotipe tersebut diatas, akan
menyebabkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe virus yang

42
bersangkutan. Meskipun keempat serotipe virus tersebut mempunyai
daya antigenisitas yang sama namun mereka berbeda dalam menimbulkan
proteksi silang meski baru beberapa bulan terjadi infeksi dengan salah
satu dari mereka.

Gambar 3.1 Virus Dengue

B. Vektor Penular Penyakit


Virus Dengue ditularkan dari orang ke orang melalui gigitan nyamuk
Aedes (Ae). Ae aegypti merupakan vektor epidemi yang paling utama,
namun spesies lain seperti Ae.albopictus, Ae.polynesiensis, Ae.scutelaris
dan Ae. niveus juga dianggap sebagai vektor sekunder. Kecuali Ae.aegypti
semuanya mempunyai daerah distribusi geografis sendiri-sendiri yang
terbatas. Meskipun mereka merupakan host yang sangat baik untuk virus
dengue, biasanya mereka merupakan vektor epidemi yang kurang efisien
dibanding Ae.aegypti.

Sumber: https://cameronwebb.files.wordpress.com/2013/01/aedes_aegypti_doggett.jpg
Gambar 3.2 : Nyamuk Ae.aegypti

43
Nyamuk penular dengue ini terdapat hampir di seluruh pelosok Indonesia,
kecuali di tempat-tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 meter di atas
permukaan laut.
Pengertian Vektor DBD adalah nyamuk yang dapat menularkan,
memindahkan dan/atau menjadi sumber penular DBD. Di Indonesia
teridentifikasi ada 3 jenis nyamuk yang bisa menularkan virus dengue
yaitu : Aedes aegypti, Aedes albopictus dan Aedes scutellaris. Sebenarnya
yang dikenal sebagai Vektor DBD adalah nyamuk Aedes betina. Perbedaan
morfologi antara nyamuk aedes aegypti yang betina dengan yang jantan
terletak pada perbedaan morfologi antenanya, Aedes aegypti jantan
memiliki antena berbulu lebat sedangkan yang betina berbulu agak
jarang/ tidak lebat. Seseorang yang di dalam darahnya mengandung
virus Dengue merupakan sumber penular Demam Berdarah Dengue
(DBD). Virus Dengue berada dalam darah selama 4-7 hari mulai 1-2 hari
sebelum demam. Berikut ini uraian tentang morfologi, siklus hidup, dan
siklus hidup lingkungan hidup, tempat perkembangbiakan, perilaku,
penyebaran, variasi musiman, ukuran kepadatan dan cara melakukan
survei jentik.
1. Morfologi
Morfologi tahapan Aedes aegypti sebagai berikut:
a. Telur
Telur berwarna hitam dengan ukuran ± 0,80 mm, berbentuk oval
yang mengapung satu persatu pada permukaan air yang jernih,
atau menempel pada dinding tempat penampung air. Telur
dapat bertahan sampai ± 6 bulan di tempat kering.

Gambar 3.3 : Telur Aedes aegypti

44
b. Jentik (larva)
Ada 4 tingkat (instar) jentik/larva sesuai dengan pertumbuhan
larva tersebut, yaitu:
1) Instar I : berukuran paling kecil, yaitu 1-2 mm
2) Instar II : 2,5-3,8 mm
3) Instar III : lebih besar sedikit dari larva instar II
4) Instar IV : berukuran paling besar 5 mm

Sumber: http://www.arbovirus.health.nsw.gov.au/mosquit/photos/aedes_aegypti_larvae2.jpg
Gambar 3.4 : Larva Ae. aegypti

c. Pupa
Pupa berbentuk seperti ’koma’. Bentuknya lebih besar namun
lebih ramping dibanding larva ( jentik)nya. Pupa Aedes aegypti
berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan rata-rata pupa
nyamuk lain.

Sumber: http://entomology.ifas.ufl.edu/creatures/aquatic/aedes_aegypti12.jpg
Gambar 3.5 : Pupa Ae.aegypti

45
d. Nyamuk dewasa
Nyamuk dewasa berukuran lebih kecil jika dibandingkan dengan
rata-rata nyamuk lain dan mempunyai warna dasar hitam
dengan bintik-bintik putih pada bagian badan dan kaki.

Gambar 3.6 : Antena Nyamuk Ae. Aegypti Jantan Dan Betina

2. Siklus Hidup Ae.aegypti


Nyamuk Aedes aegypti seperti juga jenis nyamuk lainnya mengalami
metamorfosis sempurna, yaitu: telur – jentik (larva) –pupa - nyamuk.
Stadium telur, jentikdan pupa hidup di dalam air. Pada umumnya
telur akan menetas menjadi jentik/larva dalam waktu ± 2 hari setelah
telur terendam air. Stadium jentik/larva biasanya berlangsung 6-8
hari, dan stadium kepompong (Pupa) berlangsung antara 2–4 hari.
Pertumbuhan dari telur menjadi nyamuk dewasa selama 9-10 hari.
Umur nyamuk betina dapat mencapai 2-3 bulan.

Sumber: http://jauhar.my/wp-content/uploads/2014/06/daur-hidup-aedes-aegypti.jpg
Gambar 3.7 : Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti

46
3. Habitat Perkembangbiakan
Habitat perkembangbiakan Aedes sp. ialah tempat-tempat yang
dapat menampung air di dalam, di luar atau sekitar rumah serta
tempat-tempat umum. Habitat perkembangbiakan nyamuk Aedes
aegypti dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Tempat penampungan air (TPA) untuk keperluan sehari-hari,
seperti: drum, tangki reservoir, tempayan, bak mandi/wc, dan
ember.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari
seperti: tempat minum burung, vas bunga, perangkap semut,
bak kontrol pembuangan air, tempat pembuangan air kulkas/
dispenser, talang air yang tersumbat, barang-barang bekas
(contoh : ban, kaleng, botol, plastik, dll).
3) Tempat penampungan air alamiah seperti: lubang pohon,
lubang batu, pelepah daun, tempurung kelapa, pelepah pisang
dan potongan bambu dan tempurung coklat/karet, dll.
4. Perilaku Nyamuk Dewasa
Setelah keluar dari pupa, nyamuk istirahat di permukaan air untuk
sementara waktu. Beberapa saat setelah itu, sayap meregang menjadi
kaku, sehingga nyamuk mampu terbang mencari makanan. Nyamuk
Aedes aegypti jantan mengisap cairan tumbuhan atau sari bunga
untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina mengisap darah.
Nyamuk betina ini lebih menyukai darah manusia daripada hewan
(bersifat antropofilik). Darah diperlukan untuk pematangan sel telur,
agar dapat menetas. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan
perkembangan telur mulai dari nyamuk mengisap darah sampai
telur dikeluarkan, waktunya bervariasi antara 3-4 hari. Jangka waktu
tersebut disebut dengan siklus gonotropik (Gambar 10).
Aktivitas menggigit nyamuk Aedes aegypti biasanya mulai pagi dan
petang hari, dengan 2 puncak aktifitas antara pukul 09.00 -10.00
dan 16.00 -17.00. Aedes aegypti mempunyai kebiasaan mengisap

47
darah berulang kali dalam satu siklus gonotropik, untuk memenuhi
lambungnya dengan darah. Dengan demikian nyamuk ini sangat
efektif sebagai penular penyakit.
Setelah mengisap darah, nyamuk akan beristirahat pada tempat yang
gelap dan lembab di dalam atau di luar rumah, berdekatan dengan
habitat perkembangbiakannya. Pada tempat tersebut nyamuk
menunggu proses pematangan telurnya.
Setelah beristirahat dan proses pematangan telur selesai,
nyamuk betina akan meletakkan telurnya di atas permukaan air,
kemudian telur menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat
perkembangbiakannya. Pada umumnya telur akan menetas menjadi
jentik/larva dalam waktu ±2 hari. Setiap kali bertelur nyamuk betina
dapat menghasilkan telur sebanyak ±100 butir. Telur itu di tempat
yang kering (tanpa air) dapat bertahan ±6 bulan, jika tempat-tempat
tersebut kemudian tergenang air atau kelembabannya tinggi maka
telur dapat menetas lebih cepat.

Gambar 3.8 : Siklus gonotropik

5. Jangkauan Terbang Nyamuk


Kemampuan terbang nyamuk Aedes sp. betina rata-rata 40 meter,
namun secara pasif misalnya karena angin atau terbawa kendaraan
dapat berpindah lebih jauh. Aedes aegypti tersebar luas di daerah
tropis dan sub-tropis, di Indonesia nyamuk ini tersebar luas baik
di rumah maupun di tempat umum. Nyamuk Aedes aegypti dapat
hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah ± 1.000 m
dpl. Pada ketinggian diatas ± 1.000 m dpl, suhu udara terlalu rendah,
sehingga tidak memungkinkan nyamuk berkembangbiak.

48
6. Variasi Musiman
Pada musim hujan populasi Aedes aegypti akan meningkat karena
telur-telur yang tadinya belum sempat menetas akan menetas ketika
habitat perkembangbiakannya (TPA bukan keperluan sehari-hari dan
alamiah) mulai terisi air hujan. Kondisi tersebut akan meningkatkan
populasi nyamuk sehingga dapat menyebabkan peningkatan
penularan penyakit Dengue.

C. Pejamu (Host)
Virus dengue menginfeksi manusia dan beberapa spesies dari primata
rendah. Tubuh manusia adalah reservoir utama bagi virus tersebut,
meskipun studi yang dilakukan di Malaysia dan Afrika menunjukkan bahwa
monyet dapat terinfeksi oleh virus dengue sehingga dapat berfungsi
sebagai host reservoir. Semua orang rentan terhadap penyakit ini, pada
anak-anak biasanya menunjukkan gejala lebih ringan dibandingkan
dengan orang dewasa. Penderita yang sembuh dari infeksi dengan satu
jenis serotipe akan memberikan imunitas homolog seumur hidup tetapi
tidak memberikan perlindungan terhadap terhadap infeksi serotipe lain
dan dapat terjadi infeksi lagi oleh serotipe lainnya.

D. Faktor Resiko Lingkungan


Beberapa faktor yang berisiko terjadinya penularan dan semakin
berkembangnya penyakit DBD adalah pertumbuhan jumlah penduduk
yang tidak memiliki pola tertentu, faktor urbanisasi yang tidak berencana
dan terkontrol dengan baik, semakin majunya sistem transportasi sehingga
mobilisasi penduduk sangat mudah, sistem pengelolaan limbah dan
penyediaan air bersih yang tidak memadai, berkembangnya penyebaran
dan kepadatan nyamuk, kurangnya sistem pengendalian nyamuk yang
efektif, serta melemahnya struktur kesehatan masyarakat. Selain faktor-
faktor lingkungan tersebut diatas status imunologi seseorang, strain
virus/serotipe virus yang menginfeksi, usia dan riwayat genetik juga
berpengaruh terhadap penularan penyakit.
Perubahan iklim (climate change) global yang menyebabkan kenaikan
rata-rata temperatur, perubahan pola musim hujan dan kemarau juga
disinyalir menyebabkan risiko terhadap penularan DBD bahkan berisiko

49
terhadap munculnya KLB DBD. Sebagai contoh adanya kenaikan Index
Curah Hujan (ICH) di beberapa provinsi yaitu NTT, DKI dan Kalimantan
Timur selalu diikuti dengan kenaikan kasus DBD.

E. Siklus Penularan
Nyamuk Aedes betina biasanya terinfeksi virus dengue pada saat dia
menghisap darah dari seseorang yang sedang dalam fase demam akut
(viraemia) yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.
Nyamuk menjadi infektif 8-12 hari sesudah mengisap darah penderita
yang sedang viremia (periode inkubasi ekstrinsik) dan tetap infektif selama
hidupnya Setelah melalui periode inkubasi ekstrinsik tersebut, kelenjar
ludah nyamuk bersangkutan akan terinfeksi dan virusnya akan ditularkan
ketika nyamuk tersebut menggigit dan mengeluarkan cairan ludahnya ke
dalam luka gigitan ke tubuh orang lain. Setelah masa inkubasi di tubuh
manusia selama 3 – 14 hari (rata-rata selama 4-7 hari) timbul gejala awal
penyakit secara mendadak, yang ditandai demam, pusing, myalgia (nyeri
otot), hilangnya nafsu makan dan berbagai tanda atau gejala lainnya.
Viremia biasanya muncul pada saat atau sebelum gejala awal penyakit
tampak dan berlangsung selama kurang lebih lima hari. Saat-saat
tersebut penderita dalam masa sangat infektif untuk vektor nyamuk
yang berperan dalam siklus penularan, jika penderita tidak terlindung
terhadap kemungkinan digigit nyamuk. Hal tersebut merupakan bukti
pola penularan virus secara vertikal dari nyamuk-nyamuk betina yang
terinfeksi ke generasi berikutnya.

Gambar 3.9 Siklus Penularan DBD

50
III. Ukuran Epidemiologi
Ukuran (parameter) frekuensi penyakit yang paling sederhana adalah
ukuran yang menghitung jumlah individu yang sakit pada suatu populasi
yang bermanfaat bagi petugas kesehatan dalam mengalokasikan dana
atau kegiatan.
Ukuran-ukuran epidemiologi yang sering digunakan dalam kegiatan
pengendalian DBD adalah Insidens Rate (IR), Angka Kematian (CFR),
Attack Rate (AR) dan Angka Bebas Jentik (ABJ)
A. Angka Kesakitan/ Incidence Rate (IR)
Angka Kesakitan adalah angka yang menunjukkan proporsi kasus/ kejadian
(baru) penyakit dalam suatu populasi. Angka Kesakitan merupakan jumlah
orang yang menderita penyakit dibagi jumlah total populasi dalam kurun
waktu tertentu dikalikan konstanta.

Jumlah kasus baru dalam kurun waktu tertentu


IR = ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– x 100.000
Jumlah populasi dalam kurun waktu tertentulasi dalam kurun waktu tertentu

B. Angka Kematian/ Case Fatality Rate (CFR)


CFR adalah persentase kematian yang diakibatkan dari suatu penyakit
dalam suatu kurun waktu tertentu.

Jumlah kematian
CFR = ––––––––––––––––– x 100%
Jumlah kasus

C. Attack Rate (AR)


Ukuran epidemiologi pada saat terjadi KLB, untuk menghitung kasus
pada populasi berisiko disuatu wilayah dan waktu tertentu.

Jumlah kasus
AR = ––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– x Konstanta
Jumlah populasi berisiko pada waktu terjadi KLB

51
D. Angka Bebas Jentik (ABJ)
ABJ adalah persentase jumlah rumah/bangunan yang tidak terdapat
jentik.

Jumlah rumah/bangunan tidak terdapat jentik


ABJ = –––––––––––––––––––––––––––––––––––––––––– x 100 %
Jumlah rumah/ bangunan diperiksa

52
BAB 4
SURVEILANS KASUS

I. Pengertian
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan, yang dimaksud surveilans kesehatan
adalah kegiatan pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap
data dan informasi tentang kejadian penyakit atau masalah kesehatan dan
kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit
atau masalah kesehatan untuk memperoleh dan memberikan informasi guna
mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan secara efektif dan
efisien.
Surveilans Dengue adalah proses pengamatan, pengumpulan,
pengolahan, analisis, dan interpretasi data, serta penyajian informasi kepada
pemegang kebijakan, penyelenggara program kesehatan, dan stakeholders
terkait secara sistematis dan terus menerus tentang situasi penyakit dengue
dan kondisi yang mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan
penyakit tersebut (determinan) agar dapat dilakukan tindakan pengendalian
secara efektif dan efisien

II. Tujuan
A. Tujuan Umum
Secara umum tujuan surveilans dengue adalah tersedianya data dan
informasi epidemiologi penyakit dengue sebagai dasar manajemen kesehatan
untuk pengambilan keputusan dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan,

53
evaluasi program kesehatan dan peningkatan kewaspadaan serta respon
kejadian luar biasa yang cepat dan tepat.

B. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan surveilans dengue adalah :
1. Memantau kecenderungan/ tren penyakit dengue
2. Kewaspadaan dini kejadian luar biasa (KLB) dengue serta
penanggulangannya

III. Definisi Operasional


Yang dimaksud penyakit/ kasus infeksi dengue meliputi penderita
demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD), dan expanded dengue
syndrome (EDS)
A. Demam Dengue (DD) ialah demam disertai 2 atau lebih gejala penyerta
seperti sakit kepala, nyeri dibelakang bola mata, pegal, nyeri sendi
(arthralgia), ruam (rash). Adanya manifestasi perdarahan, leukopenia (
leukosit ≤ 5000 /mm³ ), jumlah trombosit ≤ 150.000/mm³ dan peningkatan
hematokrit 5 – 10 %.
B. Demam Berdarah Dengue (DBD) ialah demam 2 – 7 hari disertai
manifestasi perdarahan, jumlah trombosit ≤ 100.000 /mm³, adanya
tanda tanda kebocoran plasma (peningkatan hematokrit ≥ 20 % dari nilai
baseline, dan atau efusi pleura, dan atau ascites, dan atau hypoproteinemia/
albuminemia)
C. Sindrom Syok Dengue (SSD) ialah kasus DBD yang masuk dalam derajat
III dan IV dimana terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut
nadi yang cepat dan lemah, menyempitnya tekanan nadi (≤ 20 mmHg)
atau hipotensi yang ditandai dengan kulit dingin dan lembab serta pasien
menjadi gelisah sampai terjadi syok/ renjatan berat (tidak terabanya
denyut nadi maupun tekanan darah).

54
D. Expanded Dengue Syndrome (EDS) adalah infeksi dengue yang disertai
manifestasi klinis yang tidak biasa (unusual manifestation) yang ditandai
dengan kegagalan organ berat seperti hati, ginjal, otak dan jantung.

IV. Penyelenggaraan Surveilans Dengue


A. Strategi dan Proses Surveilans dengue
1. Strategi Surveilans Dengue
Adapun strategi surveilans dalam program pengendalian DBD adalah
sebagai berikut :
a. Advokasi dan dukungan perundang-undangan
b. Menyediakan pembiayaan program surveilans penyakit dengue
c. Pengembangan sistem surveilans sesuai dengan kemampuan dan
kebutuhan program secara nasional, provinsi dan kabupaten/kota
termasuk penyelenggaraan sistem kewaspadaan dini kejadian luar
biasa penyakit dan bencana.
d. Peningkatan mutu dan data informasi epidemiologi terkait dengue.
e. Peningkatan profesionalisme tenaga surveilans.
f. Pengembangan tim epidemiologi yang handal.
g. Penguatan jejaring surveilans epidemiogi.
h. Peningkatan pengetahuan surveilans epidemiologi untuk tiap tenaga
kesehatan.
i. Peningkatan pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi yang
terintegrasi dan interaktif.
j. Penguatan laboratorium dalam melakukan pemeriksaan spesimen
dengue.
k. Pemberdayaan masyarakat dalam melaporkan kejadian penyakit
dengue.

55
2. Proses Surveilans Dengue
a. Pengumpulan data.
Pengumpulan data kasus dilaksanakan secara berjenjang mulai dari
Pukesmas dan jejaringnya (community based) atau Rumah Sakit
(hospital based), dengan menggunakan form pelaporan demam
berdarah yang dikoordinasi oleh dinas kesehatan kab/kota di tingkat
kab/kota atau di dinas kesehatan provinsi di tingkat provinsi sampai
Kementerian Kesehatan RI.
b. Pengolahan dan penyimpanan data
c. Dilaksanakan di setiap tingkat unit pelaksana surveilans yang
disajikan dalam bentuk tabel, grafik ataupun peta.
d. Analisis data
e. Analisis deskriptif dan analitik dilakukan di setiap unit pelaksana
surveilans. Analisis deskriptif berupa gambaran distribusi kasus
berdasarkan variabel epidemiologi (waktu, tempat dan orang).
Sedangkan analisis analitik merupakan gambaran hubungan antara
kejadian DBD dengan variabel lainnya seperti curah hujan, kepadatan
penduduk, kepadatan jentik (ABJ) dan faktor risiko lainnya.
f. Penyebarluasan/ penyajian informasi
g. Dilaksanakan di setiap unit pelaksana surveilans kepada pihak yang
membutuhkan data tersebut baik lintas program dan lintas sektor
terkait. Bentuk penyebarluasan informasi dapat menggunakan
media cetak termasuk buletin dan media elektronik, pertemuan rutin
bulanan, seminar, workshop dan lainnya.

B. Jenis dan Sumber Data


Beberapa variabel data yang berhubungan dengan pengendalian DBD
adalah sebagai berikut :
1. Data kesakitan dan kematian menurut golongan umur dan jenis kelamin,
kasus DD, DBD, EDS dari Unit Pelayanan kesehatan, W1, kewaspadaan
mingguan, bulanan, dan tahunan.
2. Data penduduk menurut golongan umur tahunan.
3. Data desa, kecamatan, kabupaten, provinsi terdapat kasus DD, DBD, SSD,
EDS bulanan dan tahunan

56
4. Data angka bebas jentik (ABJ) kecamatan, kabupaten/kota, provinsi yang
dihasilkan dari kegiatan pemantauan jentik.

Data tersebut diatas dapat diperoleh dari :


1. Laporan rutin mingguan dan bulanan DBD (puskesmas, rumah sakit dan
dinas kesehatan)
2. Laporan KLB/wabah /W1( puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota,
dinas kesehatan provinsi)
3. Laporan hasil penyelidikan kasus perorangan (puskesmas dan dinas
kesehatan)
4. Laporan penyelidikan KLB/wabah (puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/
kota)
5. Survei khusus (dinas kesehatan provinsi, dinas kesehatan kabupaten/kota,
kementerian kesehatan dan unit pelaksana teknis lainnya)
6. Laporan data demografi (puskesmas, kabupaten/kota, provinsi)
7. Laporan data vektor (puskesmas, dinas kesehatan kabupaten/kota, dinas
kesehatan provinsi)
8. Laporan dari Badan Meteorologi & Geofisika tingkat pusat, provinsi,
kabupaten/ kota, kecamatan tentang curah hujan, hari hujan, suhu dan
kelembaban

C. Peran Unit Penyelenggara


Surveilans Dengue merupakan surveilans rutin yang dilaksanakan
di seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Untuk menjamin
berlangsungnya penyelenggaraan sistem surveilans kasus/ penyakit dengue
ini, maka perlu dijabarkan peran setiap unit penyelenggaraan surveilans
kasus/penyakit dengue secara berjenjang, yaitu :
1. Unit Penyelenggara Tingkat Pusat
2. Unit Penyelenggara Tingkat Provinsi
3. Unit Penyelenggara Tingkat Kabupaten/Kota
4. Unit Penyelenggara Tingkat Puskesmas/ Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama lainnya

57
D. Sistim Pelaporan Kasus/ Penyakit Dengue

Ditjen PP & PL
Kementerian
Kesehatan RI

Laporan Kasus
Perbulan -K-DBD
Umpanbali

Dinas Kesehatan
Provinsi

Umpanbalik
-Lap Kasus -K-DBD
per Bulan -W1

RS Pemerintah&Swasta

Unit Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan


Lain, Kabupaten/Kota
KD/RS-DBD
Balai Pengobatan,
Poliklinik, Dokter Praktek Umpanbalik
Swasta, dan lain-lain -W2-DBD - DP-DBD
-W1 -K-DBD

Puskesmas
KD/RS-DBD (tembusan)

Laporan
Masyarakat

Gambar 4.1 Bagan Alur Pelaporan Penyakit Dengue

58
1. Surveilans Dengue Tingkat Pusat
a. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan
1. Pengaturan penyelenggaraan surveilans kasus DBD nasional
2. Menyusun pedoman pelaksanaan surveilans kasus DBD nasional
3. Menyelenggarakan manajemen surveilans kasus DBD nasional
4. Melakukan kegiatan surveilans kasus DBD nasional termasuk
SKD-KLB
5. Pembinaan dan asistensi teknis
6. Monitoring dan evaluasi
7. Melakukan penyelidikan KLB sesuai kebutuhan nasional
8. Pengembangan pemanfaatan teknologi surveilans kasus DBD
9. Pengembangan metodologi surveilans epidemiologi
10. Pengembangan kompetensi sumber daya manusia surveilans
epidemiologi
11. Menjalin kerjasama nasional dan internasional secara teknis dan
sumber-sumber dana.
12. Menjadi pusat rujukan surveilans kasus DBD regional dan
nasional.
13. Kerjasama surveilans kasus DBD dengan provinsi, nasional dan
internasional.

b. Kantor Kesehatan Pelabuhan


1) Menyelenggarakan kegiatan surveilans vektor dengue di wilayah
kerjanya
2) Melaporkan hasil kegiatan surveilans vektor dengue kepada
puskesmas dan/atau dinas kesehatan setempat serta Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Cq.
Subdit Pengendalian Arbovirosis

59
c. Balai Teknis Kesehatan Lingkungan
1) Melakukan kegiatan surveilans, penelitian dan pengembangan
teknologi dan metode surveilans kasus, virologi dan vektor DBD
2) Melakukan kegiatan surveilans, penelitian lebih lanjut terhadap
temuan dan atau rekomendasi surveilans kasus, virologi dan
vektor DBD
3) Melakukan kajian/penyelidikan epidemiologi dan kajian
kapasitas vektorial terhadap kejadian luar biasa (KLB) DBD
d. Pusat Data dan Informasi
1) Koordinasi pengelolaan sumber data dan informasi kasus DBD
nasional
2) Koordinasi kajian strategis dan penyajian informasi kasus DBD
3) Asistensi teknologi informasi
e. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
1) Melakukan penelitian dan pengembangan teknologi dan
metode surveilans kasus dan vektor DBD
2) Melakukan penelitian lebih lanjut terhadap temuan dan atau
rekomendasi surveilans kasus dan vektor DBD

2. Surveilans Dengue di Dinas Kesehatan Provinsi


a. Sumber data
• Laporan rutin bulanan (K-DBD) dari kabupaten/kota
• Laporan W1
• Laporan hasil surveilans aktif oleh dinas kesehatan Provinsi ke
unit pelayanan kesehatan
• Cross Notification dari Provinsi lain.
• Laporan KDRS ( Menggunakan Form KDRS)

60
b. Pengolahan dan Penyajian Data
1) Pemantauan situasi DD, DBD dan EDS bulanan menurut
kabupaten/kota
2) Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD dan EDS
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
3) Laporan bulanan
i. Jumlahkan penderita/kematian DD, DBD dan EDS
termasuk beberapa kegiatan pokok pemberantasan/
penanggulangannya setiap bulan
ii. Laporkan ke Subdit Pengendalian Arbovirosis, Ditjen PP dan
PL dengan formulir K-DBD dan Form P-DBD
4) Penentuan stratifikasi endemisitas kabupaten/kota
Cara menentukan stratifikasi kabupaten/kota:
a) Buatlah tabel kabupaten/kota dengan menjumlahkan
penderita DD, DBD dan EDS dalam 3 (tiga) tahun terakhir
b) Tentukan stratifikasi masing-masing kabupaten/kota,
seperti ketentuan sebagai berikut :
i. Wilayah Endemis adalah kecamatan/kelurahan/desa
yang dalam 3 tahun terakhir ditemukan kasus pada
setiap tahunnya.
ii. Wilayah Sporadis adalah kecamatan/kelurahan/desa
yang dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus tetapi tidak
setiap tahun.
iii. Wilayah Potensial adalah kecamatan/kelurahan/desa
yang dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ada kasus,
tetapi persentase rumah yang ditemukan jentik lebih
atau sama dengan 5%.
iv. Wilayah Bebas yaitu kecamatan/kelurahan/desa yang
tidak pernah ada kasus selama 3 tahun terakhir dan
persentase rumah yang ditemukan jentik kurang dari
5%.

61
c. Indikator Kinerja Surveilans
Kinerja surveilans dinas kesehatan provinsi dinilai baik jika memenuhi
indikator berikut ini :
1) Persentasi kelengkapan pengiriman laporan Kabupaten/Kota (
K-DBD) ke Dinas Kesehatan Provinsi adalah ≥ 80 %. Kelengkapan
laporan adalah persentase jumlah unit pelapor (Dinkes
Kabupaten/Kota) yang mengirimkan laporan ke Dinkes Provinsi
setiap bulan.
2) Persentasi ketepatan laporan Kabupaten/Kota ( K-DBD) ke Dinas
Kesehatan Provinsi adalah ≥ 80 %. Ketepatan laporan adalah
persentase jumlah unit pelapor (Dinkes Kabupaten/Kota) yang
mengirimkan laporan tepat waktu (sesuai kesepakatan) dalam
setiap bulan.
3) Tersedia data endemisitas dan distribusi kasus per Kabupaten/
Kota (tabel, grafik, mapping).
4) Tersedia data penanggulangan kasus per kabupaten/kota (form
P-DBD)
5) Dapat menentukan saat terjadinya musim penularan di
kabupaten/kota berdasarkan analisis data DBD yang tersedia.
6) Dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di kabupaten/kota
berdasarkan analisis data yang tersedia.
7) Tersedianya data demografi dan geografi kabupaten/kota (dari
BPS dan BMG).
3. Surveilans Dengue di Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
a. Sumber data:
1) Laporan mingguan DBD (W2) dari puskesmas
2) Laporan rutin bulanan (K-DBD) dari puskesmas
3) Laporan data dasar perorangan (DP-DBD) dari puskesmas
4) Laporan W1
5) Laporan hasil surveilans aktif
6) Laporan KDRS ( Menggunakan Form KDRS)

62
b. Pengolahan dan Penyajian Data
1) Pemantauan situasi DD, DBD, EDS bulanan menurut Puskesmas
2) Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, EDS
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
3) Laporan bulanan
i. Jumlahkan penderita/kematian DD, DBD, EDS
termasuk beberapa kegiatan pokok pemberantasan/
penanggulangannya setiap bulan
ii. Laporkan ke Dinkes Provinsi dengan formulir K-DBD dan
P-DBD
4) Penentuan stratifikasi Endemisitas DBD Tingkat Kecamatan
Cara menentukan stratifikasi Kecamatan:
a. Buatlah tabel Kecamatan dengan menjumlahkan penderita
DBD, SRD dan EDS dalam 3 (tiga) tahun terakhir
b. Tentukan stratifikasi masing-masing Kecamatan, seperti
ketentuan sebagai berikut :
i. Kecamatan Endemis adalah kecamatan yang dalam 3
tahun terakhir ditemukan kasus pada setiap tahunnya.
ii. Kecamatan Sporadis adalah kecamatan yang dalam 3
tahun terakhir terdapat kasus tetapi tidak setiap tahun.
iii. Kecamatan Potensial adalah kecamatan yang dalam 3
tahun terakhir tidak pernah ada kasus, tetapi persentase
rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama dengan
5%.
iv. Kecamatan Bebas yaitu kecamatan yang tidak pernah
ada kasus selama 3 tahun terakhir dan persentase
rumah yang ditemukan jentik kurang dari 5%.
c. Indikator Kinerja Surveilans
Kinerja surveilans dengue dinas kesehatan kabupaten/kota dinilai
baik jika memenuhi indikator berikut ini :
1) Persentasi kelengkapan pengiriman laporan puskesmas ( K-DBD,
DP-DBD, W2 DBD) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah 90

63
%. Kelengkapan laporan adalah persentase jumlah unit pelapor
(Puskesmas) yang mengirimkan laporan ke Dinkes Kabupaten/
Kota setiap bulan.
2) Persentasi ketepatan laporan puskesmas ( K-DBD, DP-DBD,
W2 DBD) ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota adalah 80
%. Ketepatan laporan adalah persentase jumlah unit pelapor
(Puskesmas) yang mengirimkan laporan tepat waktu (sesuai
kesepakatan) ke Dinkes Kabupaten/Kota dalam setiap bulan.
3) Tersedia data endemisitas dan distribusi kasus per Puskesmas
(tabel, grafik, mapping).
4) Tersedia data penanggulangan kasus per kecamatan (form
P-DBD)
5) Dapat menentukan saat terjadinya musim penularan di
Puskesmas berdasarkan analisis data DBD yang tersedia.
6) Dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di Puskesmas
berdasarkan analisis data yang tersedia.
7) Tersedianya data demografi dan geografi Puskesmas (dari BPS
dan BMG).
4. Surveilans Dengue di Puskesmas
a. Sumber data:
1) Laporan mingguan (W2) dari Puskesmas Pembantu/Polindes
2) Data kunjungan pasien infeksi dengue di Puskesmas
3) Laporan masyarakat.
b. Pengolahan dan Penyajian Data
1) Jumlahkan masing-masing penderita DD, DBD, EDS per minggu
2) Berdasarkan data mingguan (setelah dilakukan penggabungan
jumlah penderita DBD, SRD dan EDS untuk setiap minggunya)
dapat diketahui adanya KLB DBD atau keadaan yang menjurus
pada KLB DBD.

64
3) Bila terjadi KLB, maka lakukan tindakan sesuai dengan prosedur
penanggulangan KLB DBD dan laporkan segera ke Dinkes
Kabupaten/Kota menggunakan Formulir W1.
c. Laporan data dasar perorangan penderita DD, DBD, SRD, EDS
menggunakan formulir DP-DBD yang disampaikan per bulan.
d. Laporan bulanan
1) Jumlahkan penderita/kematian DD, DBD, SRD, EDS termasuk
beberapa kegiatan pokok pemberantasan/penanggulangannya
setiap bulan
2) Laporkan ke Dinkes Kabupaten/Kota dengan formulir K-DBD
e. Penentuan stratifikasi Endemisitas DBD Tingkat Kelurahan/Desa.
Cara menentukan stratifikasi Kelurahan/Desa:
1) Buatlah tabel Kelurahan/Desa dengan menjumlahkan penderita
DBD, SRD dan EDS dalam 3 (tiga) tahun terakhir
2) Tentukan stratifikasi masing-masing Kecamatan, seperti
ketentuan sebagai berikut :
i. Kelurahan/Desa Endemis adalah kelurahan/desa yang
dalam 3 tahun terakhir ditemukan kasus pada setiap
tahunnya.
ii. Kelurahan/Desa Sporadis adalah kelurahan/desa yang
dalam 3 tahun terakhir terdapat kasus tetapi tidak setiap
tahun.
iii. Kelurahan/Desa Potensial adalah kelurahan/desa yang
dalam 3 tahun terakhir tidak pernah ada kasus, tetapi
persentase rumah yang ditemukan jentik lebih atau sama
dengan 5%.
iv. Kelurahan/Desa Bebas yaitu kelurahan/desa yang tidak
pernah ada kasus selama 3 tahun terakhir dan persentase
rumah yang ditemukan jentik kurang dari 5%.

65
f. Indikator Kinerja Surveilans
1) Kinerja surveilans dengue puskesmas dinilai baik jika memenuhi
indikator berikut ini :
2) Tersedianya data kasus infeksi dengue perorangan termasuk
data kegiatan penanggulangannya (DP-DBD)
3) Tersedia data endemisitas dan distribusi kasus per kelurahan/
desa (tabel, grafik, mapping).
4) Dapat menentukan saat terjadinya musim penularan di
keluarahan/ desa berdasarkan analisis data DBD yang tersedia.
5) Dapat melihat kecenderungan penyakit DBD di keluarahan/ desa
berdasarkan analisis data yang tersedia.

66
BAB 5
PENGENDALIAN VEKTOR

I. Surveilans Vektor
A. Pengertian
Surveilans Vektor DBD adalah proses pengamatan, pengumpulan,
pencatatan, pengolahan, analisis dan interpretasi data vektor serta
penyebarluasan informasi kepada pihak lintas program dan instansi terkait
secara sistematis dan terus-menerus. Surveilans vektor diperlukan dalam
pengambilan keputusan/kebijakan dan menentukan tindak lanjut dari data
yang diperoleh dalam rangka menentukan tindakan pengendalian vektor
secara efisien dan efektif.
Adapun tujuan dilaksanakan surveilans vektor DBD adalah:
1. Untuk mengetahui kepadatan vektor DBD
2. Untuk mengetahui tempat perkembangbiakan potensial vektor DBD
3. Untuk mengetahui jenis larva/jentik vektor DBD
4. Untuk mengukur indek-indek larva/jentik (ABJ, CI, HI, dan BI)
5. Untuk mencari cara pengendalian vektor DBD yang tepat
6. Untuk menilai hasil pengendalian vektor
7. Untuk mengetahui tingkat kerentananvektor DBD terhadapinsektisida.

B. Penentuan Lokasi Survei


Lokasi survei vektor DBD adalah lokasi yang diduga sebagai tempat
perkembangbiakan/istirahat/mencari makan nyamuk Aedes yang berdekatan
dengan kehidupan/kegiatan manusia, antara lain :

67
1. Permukiman penduduk,
2. Tempat-tempat umum (pasar, terminal angkutan umum, rumah makan/
restoran, hotel/losmen, sekolah,tempat ibadah, perkantoran dan
sebagainya).
3. Wilayah endemis DBD.
4. Wilayah yang pernah terjadi KLB DBD.
5. Wilayah yang menjadi sasaran pengendalian vektor DBD.

C. Metode Survei
Metode suvei vektor DBD dapat dilakukan dengan cara suvei telur, survei
jentik dan survei nyamuk serta survei/ uji kerentanan nyamuk.
1. Survei Telur
Survei telur dilakukan dengan cara memasang perangkap telur (ovitrap)
berupa potongan bambu, kaleng dan gelas platik/kaca yang dinding
dalamnya dicat hitam dan diberi air 1/2 - 2/3 nya. Ovitrap diletakkan
satu di dalam dan satu di luar rumah, dengan jumlah minimal 3 rumah.
Padel (berupa potongan bilah bambu atau kain yang tenunannya kasar
dan berwarna gelap) dimasukkan ke dalam ovitrap yang berfungsi
sebagai tempat melekatnya telur nyamuk. Setelah 1 minggu dilakukan
pemeriksaan ada atau tidaknya telur nyamuk di padel, kemudian dihitung
ovitrap index (OI).

Rumus: OI = PT/ PD

Keterangan :
OI = Ovitrap Index
PT = Jumlah padel dengan telur
PD = Jumlah padel yang diperiksa

68
Gambar 5.1 Ovitrap

2. Survei Jentik/ Larva


Survei jentik dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap
semua media perairan yang potensial sebagai tempat perkembangbiakan
nyamuk Aedes, baik di dalam maupun di luar rumah. Setiap media perairan
potensial dilakukan pengamatan jentik selama 3-5 menit menggunakan senter.
Hasil survei jentik Aedes dicatat dan dilakukan analisis perhitungan angka
bebas jentik (ABJ), container index (CI), house index (HI) dan breteau index (BI).
Rumus :
ABJ = RTJ/ RD x 100%
HI = RJ/ RD x 100%
CI = CJ/ CD x 100%
BI = Jumlah container ditemukan jentik dalam 100
rumah/bangunan rumah/bangunan

Keterangan :
ABJ = Angka bebas jentik
HI = House index
CI = Container index
BI = Breteau index
RJ = Jumlah rumah/bangunan ditemukan jentik
RTJ = Jumlah rumah/bangunan tidak ditemukan jentik
RD = Jumlah rumah yang diperiksa
CJ = Jumlah container ditemukan jentik
CD = Jumlah container diperiksa

69
3. Survei Nyamuk
Survei nyamuk dilakukan dengan cara menangkap nyamuk yang hinggap
di badan (human landing collection/HLC) dan hinggap di dinding dalam
rumah atau tempat lainnya seperti baju yang menggantung, kelambu,
horden lemari dan sebagainya. Hasil penangkapan nyamuk dianalisis
angka kepadatan nyamuk perorang perjam (man hour density/MHD),
angka kepadatan nyamuk perorang perhari (man bitting rate/MBR) dan
angka hingga di dinging (resting rate/RR).
MHD=Jumlah nyamuk (Aedes betina) yang tertangkap per orang per jam
Rumus:

ABJ = RTJ/ RD x 100%


HI = RJ/ RD x 100%
CI = CJ/ CD x 100%
BI = Jumlah container ditemukan jentik dalam 100
rumah/bangunan rumah/bangunan

Keterangan:
MHD = Angka kepadatan nyamuk perorang perjam
MBR = Angka kepadatan nyamuk per orang perhari
RR = Angka kepadatan nyamuk perdinding perumah perjam
NTJ = Jumlah nyamuk (Aedes betina) yang tertangkap per jam
PJ = Jumlah penangkap perjam
NTH = Jumlah nyamuk (Aedes betina) tertangkap perhari
PH = Jumlah penangkap perhari
NTD = Jumlah nyamuk (Aedes betina) tertangkap di dinding perjam

4. Survei Kerentanan Nyamuk


Informasi kerentanan nyamuk berguna sebagai dasar pengendalian kimia.
Insektisida dapat digunakan apabila nyamuk masih rentan, apabila nyamuk
telah toleran dan resisten maka insektisida tidak dapat digunakan dan
harus dirotasi. Untuk mengetahui status kerentanan nyamuk dilakukan
survei kerentanan melalui uji susceptibility.

70
Survei kerentanan dilakukan terhadap larva dan nyamuk dewasa, hasil
survei dianalisis status kerentanan nyamuk sebagai berikut :
- Nyamuk dinyatakan rentan apabila kematian nyamuk uji > 98%.
- Nyamuk dinyatakan toleran apabila kematian nyamuk uji 80-98%
- Nyamuk dinyatakan resisten apabila kematian nyamuk uji < 80%.

II. Metode Pengendalian Vektor


A. Pengertian
Pengendalian vektor adalah upaya menurunkan faktor risiko penularan
oleh vektor dengan cara meminimalkan habitat perkembangbiakan
vektor, menurunkan kepadatan dan umur vektor, mengurangi kontak
antara vektor dengan manusia serta memutus rantai penularan penyakit.
Metode pengendalian vektor DBD bersifat spesifik lokal, dengan
mempertimbangkan faktor–faktor lingkungan fisik (cuaca/iklim,
permukiman, tempat perkembangbiakan), lingkungan sosial-budaya
(pengetahuan, sikap dan perilaku) dan aspek vektor (perilaku dan status
kerentanan vektor). Pengendalian vektor dapat dilakukan secara fisik,
biologi, kimia dan terpadu dari metode fisik, biologi dan kimia.
B. Pengendalian Secara Fisik/ Mekanik
Pengendalian fisik merupakan pilihan utama pengendalian vektor DBD
melalui kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan cara
menguras bak mandi/bak penampungan air, menutup rapat-rapat tempat
penampungan air dan memanfaatkan kembali/mendaur ulang barang
bekas yang berpotensi menjadi tempat perkembangbiakan jentik nyamuk
(3M). PSN 3M akan memberikan hasil yang baik apabila dilakukan
secara luas dan serentak, terus menerus dan berkesinambungan. PSN
3M sebaiknya dilakukan sekurang-kurangnya seminggu sekali sehingga
terjadi pemutusan rantai pertumbuhan nyamuk pra dewasa tidak menjadi
dewasa.

71
Yang menjadi sasaran kegiatan PSN 3M adalah semua tempat potensial
perkembangbiakan nyamuk Aedes, antara lain tempat penampungan air
(TPA) untuk keperluan sehari-hari, tempat penampungan air bukan untuk
keperluan sehari-hari (non-TPA) dan tempat penampungan air alamiah.
PSN 3M dilakukan dengan cara, antara lain :
1. Menguras dan menyikat tempat-tempat penampungan air, seperti
bak mandi/wc, drum, dan lain-lain seminggu sekali (M1)
2. Menutup rapat-rapat tempat penampungan air, seperti gentong air/
tempayan, dan lain-lain (M2)
3. Memanfaatkan atau mendaur ulangn barang-barang bekas yang
dapat menampung air hujan (M3).
PSN 3M diiringi dengan kegiatan Plus lainya, antara lain :
• Mengganti air vas bunga, tempat minum burung atau tempat-
tempat lainnya yang sejenis seminggu sekali.
• Memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar/rusak
• Menutup lubang-lubang pada potongan bambu/pohon, dan
lain-lain (dengan tanah, dan lain-lain).
• Menaburkan bubuk larvasida, misalnya di tempat-tempat yang
sulit dikuras atau di daerah yang sulit air
• Memelihara ikan pemakan jentik di kolam/bak-bak penampungan
air
• Memasang kawat kasa
• Menghindari kebiasaan menggantung pakaian dalam kamar
• Mengupayakan pencahayaan dan ventilasi ruang yang memadai
• Menggunakan kelambu
• Memakai obat yang dapat mencegah gigitan nyamuk
• Cara-cara spesifik lainnya di masing-masing daerah.

Keberhasilan kegiatan PSN 3M antara lain dapat diukur dengan angka


bebas jentik (ABJ), apabila ABJ lebih atau sama dengan 95% diharapkan
penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.

72
C. Pengendalian Secara Biologi
Pengendalian vektor biologi menggunakan agent biologi antara lain:
1. Predator/pemangsa jentik (hewan, serangga, parasit) sebagai musuh
alami stadium pra dewasa nyamuk. Jenis predator yang digunakan
adalah ikan pemakan jentik (cupang, tampalo, gabus, guppy, dll),
sedangkan larva Capung (nympha), Toxorrhyncites, Mesocyclops
dapat juga berperan sebagai predator walau bukan sebagai metode
yang lazim untuk pengendalian vektor DBD.
2. Insektisida biologi untuk pengendalian DBD, diantaranya:
Insect Growth Regulator (IGR) dan Bacillus Thuringiensis Israelensis
(BTI) ditujukan untuk pengendalian stadium pra dewasa yang
diaplikasikan kedalam habitat perkembangbiakan vektor.
a. IGR mampu menghalangi pertumbuhan nyamuk di masa pra
dewasa dengan cara merintangi/menghambat proses chitin
synthesis selama masa jentik berganti kulit atau mengacaukan
proses perubahan pupae dan nyamuk dewasa. IGRs memiliki
tingkat racun yang sangat rendah terhadap mamalia (nilai LD50
untuk keracunan akut pada methoprene adalah 34.600 mg/kg ).
b. BTI sebagai salah satu pembasmi jentik nyamuk/larvasida
yang ramah lingkungan. BTI terbukti aman bagi manusia bila
digunakan dalam air minum pada dosis normal. Keunggulan
BTI adalah menghancurkan jentik nyamuk tanpa menyerang
predator entomophagus dan spesies lain. Formula BTI cenderung
secara cepat mengendap di dasar wadah, karena itu dianjurkan
pemakaian yang berulang kali.

D. Pengendalian Secara Kimiawi


Pengendalian vektor cara kimiawi dengan menggunakan insektisida
merupakan salah satu metode pengendalian yang lebih populer di
masyarakat dibanding dengan cara pengendalian lain. Sasaran insektisida
adalah stadium dewasa dan pra-dewasa. Karena insektisida adalah racun

73
maka penggunaannya harus mempertimbangkan dampak terhadap
lingkungan dan organisme bukan sasaran termasuk mamalia. Disamping
itu penentuan jenis insektisida, dosis, dan metode aplikasi merupakan
syarat yang penting untuk dipahami dalam kebijakan pengendalian vektor.
Aplikasi insektisida yang berulang dalam jangka waktu lama di satuan
ekosistem akan menimbulkan terjadinya resistensi. Insektisida tidak dapat
digunakan apabila nyamuk resisten/kebal terhadap insektisida.
Golongan insektisida kimiawi untuk pengendalian DBD, antara lain :
1. Sasaran dewasa (nyamuk) antara lain : Organophospat (Malathion,
methylpirimiphos), Pyrethroid (Cypermethrine, Lamda-cyhalotrine,
Cyflutrine, Permethrine, S-Bioalethrine dan lain-lain). Yang ditujukan
untuk stadium dewasa yang diaplikasikan dengan cara pengabutan
panas/fogging dan pengabutan dingin/ULV
2. Sasaran pra dewasa ( jentik)/ larvasida antara lain: Organophospat
(temephos), Piriproxifen dan lain-lain.

E. Pengendalian Vektor Terpadu


Pengendalian vektor terpadu/ PVT (integrated vector management/IVM)
adalah kegiatan pengendalian vektor dengan memadukan berbagai
metode baik fisik, biologi dan kimia, yang dilakukan secara bersama-
sama, dengan melibatkan berbagai sumber daya lintas program dan
lintas sektor.
Komponen lintas sektor yang menjadi mitra bidang kesehatan dalam
pengendalian vektor antara lain bidang pendidikan dan kebudayaan,
bidang agama, bidang pertanian, bidang kebersihan dan tata ruang,
bidang perumahan dan permukiman, dan bidang lainnya yang terkait
baik secara langsung maupun tidak langsung.

74
III. Kegiatan Pengendalian Vektor Sesuai Tingkat Administrasi
Kegiatan Pengendalian Vektor memberikan beban yang berbeda disetiap
level administratif institusi kesehatan pemerintah yaitu :
1. Pusat
Sesuai dengan tupoksi pusat, maka kegiatan pengendalian vektor (PV)
lebih diutamakan pada kegiatan penetapan kebijakan pengendalian
vektor, penyusunan standarisasi, modul/juklak/juknis, monitoring dan
evaluasi pengendalian vektor nasional, serta pembinaan/ pengawasan
kegiatan pengendalian vektor nasional.
2. Provinsi
Di Tingkat Propinsi, kegiatan pengendalian vektor adalah : pelaksanaan
kebijakan nasional pengendalian vektor, merencanakan kebutuhan alat,
bahan dan operasional PV, Monev PV, pembinaan/pengawasan kegiatan
PV kabupaten/kota.
3. Kabupaten / Kota
Otonomi daerah memberikan peran yang lebih luas kepada kabupaten/
kota untuk secara aktif dan mandiri melakukan kegiatan PV di wilayahnya
sesuai dengan kondisi spesifik lokal daerah. Untuk itu selain melaksanakan
juklak/juknis dan pedoman pengendalian vektor, merupakan tugas
kabupaten untuk merencanakan dan mengadakan alat, bahan operasional
PV, Monev kegiatan PV DBD, pembinaan/pengawasan kegiatan PV DBD di
tingkat Puskesmas.
4. Kecamatan/ Puskesmas
Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan bertugas
menjaga kesinambungan kegiatan PV oleh masyarakat di wilayahnya,
menggerakkan peran serta masyarakat melalui kader, tokoh masyarakat,
serta melakukan kegiatan PV secara langsung di masyarakat.

75
IV. Pelaporan dan Evaluasi Hasil Pengendalian Vektor
Untuk mendapatkan hasil evaluasi yang tepat, maka perlu dilakukan
survei pendahuluan untuk membandingkan dengan kondisi pasca intervensi.
Evaluasi hasil pengendalian vektor terdiri dari :
A. Efektifitas
Efektifitas untuk menilai dampak keberhasilan kegiatan PV, yang diukur
dengan larva survey (survei jentik) menggunakan indikator Index Larva,
yaitu: House Index (HI), Container Index (CI) dan Breateu Index (BI) serta
Angka Bebas Jentik (ABJ). Survei Jentik ini lazimnya dikombinasi dengan
survei PSP (Pengetahuan, Sikap dan Perilaku).
B. Operasional :
1. Bioassay, dengan menggunakan pengetesan dengan spesimen hidup
pada saat penyemprotan dilakukan.
2. Cakupan, dengan mengukur luas area dan atau jumlah rumah yang
diintervensi.
3. Dosis, dengan mengukur luas area atau jumlah rumah dengan dosis
atau jumlah insektisida yang digunakan.
C. Langkah – Langkah Pengendalian Vektor
1. Perencanaan Pengendalian Vektor
a. Analisis data kasus
b. Penentuan daerah sasaran intervensi
c. Pemilihan metoda PV disesuaikan dengan permasalahan dan
kondisi setempat
d. Perencanaan ketersediaan bahan, peralatan, SDM, dan biaya.
2. Operasional Pengendalian Vektor
a. Koordinasi dengan daerah sasaran
b. Penyuluhan PV termasuk penggerakan Peran serta masyarakat
c. Pengorganisasian, termasuk pembagian tugas.
d. Implementasi lapangan

76
Upaya pemberantasan DBD hanya dapat berhasil apabila seluruh
masyarakat berperan secara aktif dalam PSN 3M Plus. Gerakan PSN
3M Plus merupakan bagian yang paling penting dari keseluruhan upaya
pemberantasan DBD oleh keluarga/ masyarakat.
Pengalaman beberapa negara menunjukkan bahwa pemberantasan jentik
melalui kegiatan PSN dapat mengendalikan populasi nyamuk Aedes,
sehingga penularan DBD dapat dicegah atau dikurangi.
Bentuk pelaksanaan kegiatan PSN 3M Plus disesuaikan dengan situasi
dan kondisi masing-masing daerah (kearifan lokal). Pembinaan peran
serta masyarakat dalam PSN 3M Plus antara lain dapat dikoordinasikan
oleh kelompok kerja (Pokja) DBD kelurahan/desa dan kelompok kerja
operasional (Pokjanal) DBD kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi.

V. Pengoperasian Alat dan Bahan Pengendalian Vektor


A. Pengertian
Pengendalian vektor berdasarkan Permenkes Nomor : 374/Menkes/Per/
III/2010 tentang Pengendalian Vektor, memuat pedoman pengendalian
vektor terpadu (PVT), peralatan dan bahan surveilans vektor serta
peralatan dan bahan pengendalian vektor.
Peralatan dan bahan surveilans vektor adalah semua alat dan bahan yang
digunakan dalam kegiatan surveilans vektor dalam rangka mengumpulkan
data dan informasi tentang vektor yang digunakan sebagai dasar dalam
tindakan pengendalian vektor.Peralatan dan bahan pengendalian vektor
digunakan dalam rangka menekan atau menurunkan populasi vektor,
sehingga tidak berisiko untuk terjadinya penularan penyakit tular vektor
di suatu wilayah.
Setiap peralatan yang dipakai dalam upaya pengendalian vektor harus
memenuhi persyaratan yang dibuktikan dengan sertifikat Standar
Nasional Indonesia (SNI) atau sertifikat kesesuaian yang dikeluarkan oleh
lembaga pengujian independen yang terakreditasi dan ditunjuk oleh
Kementerian Kesehatan RI atau lembaga pengujian di negara lain yang
ditunjuk, dengan mengacu pada ketentuan spesifikasi WHO; (WHO/CDS/
NTD /WHOPES /GCDPP/2006.5).

77
Peralatan yang digunakan dalam pengendalian vektor DBD adalah mesin
pengkabut panas (Hot Fogger), mesin pengkabut dingin (Aerosol / ULV)
yang dioperasikan di atas kendaraan pengangkut. Modul ini membahas
cara pengoperasian, perawatan dan perbaikanalat pengendalian vektor
tersebut. Bahan yang digunakan dalam upaya pengendalian vektor
DBD berupa insektisida, baik sasaran terhadap nyamuk vektor dewasa
maupunterhadap larva/jentik nyamuk.

B. Jenis Alat Pengendalian Vektor


1. Alat Pengabutan Panas (Thermal Fogging)
a. Pengenalan Alat
1) Deskripsi Alat
Yang dimaksud dengan mesin pengkabutan panas (thermal
fogging) dalam Juknis ini adalah mesin penyembur
insektisida dalam bentuk asap sistem pulsa jet model jinjing,
yang terbentuk dari evaporasi bahan pembawa (minyak
tanah/solar) akibat panas yang dihasilkan oleh pembakaran.
Komponennya terdiri dari : tangki bahan bakar, tangki
insektisida, karburator, resonator dan komponen penunjang
lainnya.

Gambar 5.2 Alat pengkabutan panas (thermal fogging)

78
2) Fungsi Alat
Mesin pengkabutan panas (thermal fogging) digunakan untuk
membunuh nyamuk dewasa untuk memutuskan penularan
penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.
3) Spesifikasi Alat
Spesifikasi alat pengkabutan panas (thermal fogging) yang
dimaksud dalam buku ini adalah spesifikasi teknis alat yang
memenuhi standar yang ditetapkan oleh peraturan menteri
kesehatan.
b. Insektisida
1) Jenis dan Dosis
Jenis insektisida yang digunakan sebagaimana dalam tabel 5.1
di bawah ini.
Tabel 5.1. Jenis Insektisida Thermal Fogging

Dosispemakaian- Dosispemakaian-
dalamrumah (g AI/ luarrumah (g AI/
1000m3 ) ha)
Deltametrhrin UL 0,05 0,5 – 1,0
Deltamethrin EW 0,05 -
Lambda-cyhalothrin EC - 2
Malathion EW dan UL - 112 - 600
Permethrin (25 cis: 75 0,73 -
trans; 10,35%w/w) +
S-bio allethrin (0.14w/w)
+ piperonylbutoxide
(9.85% w/w) EW
d-d, trans-cyphenothrin 0,2 3.5 – 4.0
EC
Sumber : WHO, 2012
Selain jenis insektisida pada tabel 5.1, dapat juga menggunakan insektisida jenis lain yang sesuai
dengan peraturan perundangan yang berlaku

79
2) Pengenceran
Pengenceran insektisida dilakukan dalam wadah khusus sejumlah
kelipatan 10 liter campuran siap pakai per hektar atau 50 rumah
dengan asumsi 200 meter persegi luas per rumah dan halaman.
Dosis pengenceran sesuai dengan petunjuk yang tertera pada
label produk.
c. Pelaksanaan Pengoperasian Alat
1) Persiapan Sebelum Pengoperasian
a) Penyemprotan (fogging fokus) dilaksanakan atas dasar
Surat Perintah Kerja yang diterbitkan oleh pejabat Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota setelah mempertimbangkan
hasil Penyelidikkan Epidemiologi (PE).
b) Masyarakat di wilayah penyemprotan telah diberitahukan
sebelumnya secara tertulis melalui Kepala Desa / Lurah,
Ketua RW / RT .
c) Pastikan warga masyarakat di dalam wilayah yang akan
disemprot berpartisipasi dalam penanggulangan fokus
dengan melakukan pembersihan sarang nyamuk (PSN) dan
larvasidasi.
d) Pastikan petugas pelaksana telah mendapat pelatihan.
e) Tetapkan wilayah yang akan disemprot seluas radius
200 meter dari rumah yang terkena DBD dan dipetakan,
jumlah bangunan, lahan dan penduduk dicatat, kebutuhan
bahan bakar mesin, minyak solar pengencer dan insektisida
dihitung dan disediakan.
f) Aksi tanggap darurat kecelakaan kerja, kotak pertolongan
pertama pada kecelakaan (P3K), alat pemadam api ringan
(APAR), penanggulangan ceceran/tumpahan insektisida,
dan daftar alamat dan nomor telepon Pos Pemadam
Kebakaran, rumah sakit dan kepolisian terdekat disediakan.
g) Nozzle dengan output sebesar 10 liter/jam telah terpasang
pada mesin pengasap panas.

80
h) Mesin pengkabut panas telah diuji kinerja dan dipastikan
dapat beroperasi dengan lancar, bebas dari kotoran, tidak
ada kebocoran, tali sandang layak dan terpasang dengan
baik, suku cadang tertentu yang sering rusak, perkakas,
corong bersaring, tersedia.
i) Insektisida, bahan bakar dan pengencer dalam wadah
tertutup, berlabel dengan jumlah yang cukup untuk luasan
wilayah penyemprotan tersedia.
j) Alat pelindung diri (APD) perorangan dengan kondisi layak
dan jumlah yang cukup tersedia.
k) Tetapkan pembagian tugas para pelaksana, dengan minimal:
i. Pemimpin regu penyemprotan bertugas memastikan
bangunan yang akan disemprot sudah aman dan
mengarahkan rute dan giliran bangunan yang
akan disemprot, membuat laporan pelaksanaan
penyemprotan.
ii. Tenaga penyemprot 1, bertugas melakukan
penyemprotan sesuai arahan pemimpin regu.
iii. Tenaga penyemprot 2, bertugas pengelola insektisida,
pengencer dan bahan bakar, melakukan pencampuran
dan pengisian serta memindahkannya agar selalu dekat
dengan mesin untuk pengisian.
iv. Tenaga penyemprot 1 dan 2 bertukar peran setiap kali
jeda pengisian bahan bakar
2) Pengoperasian
a) Pra pengoperasian
i. Cek mesin pengkabutan panas (thermal fogging) serta
perlengkapannya sudah terpasang semua atau belum.
ii. Masukkan batu baterai 1,5 volt 4 (empat) buah dengan
melepas baut yang ada dibawah tangki larutan. Setelah
itu pasang kotak baterai tersebut pada kedudukannya
dan kencangkan.

81
iii. Pasang dan kencangkan flow control jet pada mesin
sesuai dengan ukuran yang dikehendaki.
iv. Isi tangki bahan bakar dengan bensin murni yang bersih
dengan menggunakan corong yang bersih. Kemudian
tutup dengan rapat cukup dengan tangan.
v. Isi tangki larutan dengan larutan yang dikehendaki.
Gunakan selalu corong yang bersaring lalu pasang
kembali tutup tangki larutan, eratkan cukup dengan
tangan.
b) Cara menghidupkan mesin
i. Periksa apakah bensin/premium sudah terisi penuh
ii. Periksa letak pemasangan batu baterai
iii. Isi tangki larutan insektisida sampai penuh
iv. Kencangkan tutup tangki bensin dan tangki larutan
insektisida
v. Pastikan bagian-bagian mesin seperti pipa larutan,
air intake, tabung pengasap, soket pengasap sudah
terpasang dengan benar, kencangkan semua mur
dengan baut.
vi. Buka stop button/kran bensin secukupnya, kemudian
pompa perlahan-lahan sambil menekan tombol start,
apabila mesin dalam keadaan baik akan segera hidup.
vii. Tunggu beberapa saat, sampai mesin hidup dengan
sempurna.
viii. Mesin siap dipergunakan.
c) Cara pengoperasian mesin
1) Biarkan mesin hidup selama ± 2 menit dengan
maksud untuk mencapai temperatur yang cukup untuk
mengubah larutan menjadi asap secara penuh.
2) Buka solution tap (kran larutan), maka larutan akan
mengalir dan segera tersembur dalam bentuk asap.
3) Pengasapan dimulai dari rumah bagan belakang lalu
depan.

82
4) Untuk rumah bertingkat mulai dari lantai atas.
5) Selanjutnya diluar rumah jangan melawan arah angin.
6) Penyemprotan dilakukan 2 siklus interval 5-7 hari.
d) Cara mematikan mesin
1) Tutup solution tap/kran larutan insektisida dan biarkan
beberapa saat hingga asap benar-benar habis.
2) Tutup stap botton/kran bensin dengan memutar
tombolnya kearah stop, maka mesin akan segera mati.
3) Buang tekanan dalam tangki larutan insektisida
dengan membuka tutup tangki insektisida kemudian
kencangkan kembali.
4) Demikian pula untuk tanki bahan bakar
5) Biarkan mesin dingin kembali.
e) Laporan pelaksanaan penyemprotan dibuat oleh petugas
penyenprotan dan disampaikan kepada pejabat yang
menerbitkan Surat Perintah Kerja paling lambat 24 jam
setelah pekerjaan selesai.
f) Hal-hal yang harus diperhatikan
i. Lakukan temu bahas masalah (TBM), pastikan semua
anggota tim penyemprot dan wakil masyarakat di
wilayah penyemprotan mengerti tentang target
penyelesaian pekerjaan, faktor kritis penyemprotan,
pembagian tugas kerja, rencana tanggap darurat
ii. Tetapkan jadwal penyemprotan dilakukan pada pagi
hari antara pukul 07.00 s.d 10.00 dan / atau sore hari
antara pukul 16.00 s.d 18.00.
iii. Pastikan bangunan yang akan disemprot sudah
dalam keadaan kosong penghuni, barang berharga
dan perhiasan serta makanan sudah disimpan oleh
pemiliknya, kompor dan peralatan listrik sudah
dimatikan,
iv. hewan peliharaan dijauhkan/diamankan dari paparan
insektisida,

83
v. semua jendela dalam keadaan tertutup, pintu
penghubung antar ruangan dalam keadaan terbuka.
vi. Pakai APD secara lengkap sesuai peruntukannnya.
vii. Pastikan kecepatan angin tidak melebihi 15 Km/jam
dan tidak hujan.
viii. Pengasapan dimulai dari rumah bagian belakang lalu
depan.
ix. Untuk rumah bertingkat mulai dari lantai atas.
x. Selanjutnya di luar rumah jangan melawan arah angin.
xi. Penyemprotan dilakukan 2 siklus interval 5-7 hari.
d. Perawatan Alat dan Cara Mengatasi Gangguan Mesin Pengkabutan
Panas (Thermal Fogging)
1) Perawatan alat
Perawatan mesin pengkabutan panas (thermal fogging)
pada umumnya adalah mengganti suku cadang yang rusak,
mengeratkan mur atau baut yang kendor serta mengembalikan
komponen kepada bentuk semula, misal solution pipe yang
bengkok, guard, jaket dan bagian luar mesin yang penyok atau
bocor. Jangan perbaiki mesin dalam keadaan masih panas dan
tanki larutan belum dikeringkan.
a) Perawatan setiap selesai digunakan, antara lain :
i. Setelah mesin dingin, keluarkan sisa bensin dalam
tengki dan sisa larutan insektisida dalam tangki
insektisida.
ii. Bersihkan bodi bagian luar mesin.
iii. Keringkan dan disimpan untuk segera dapat
dipergunakan kembali.
b) Perawatan/pemeliharaan untuk disimpan dalam waktu yang
cukup lama, bilamana operasi penyemprotan sudah selesai
dan mesin akan disimpan kembali dalam waktu yang cukup
lama. Lakukan perawatan/pemeliharaan sebagai berikut:
i. Kuras atau kosongkan bensin dari tangkinya.

84
ii. Keluarkan batu baterai.
iii. Biarkan tutup tanki larutan dan tangki bahan bakar
terpasang dengan kendur.
iv. Simpan mesin didalam kotaknya atau ditempat yang
telindung dengan terlebih dahulu diberi alas papan
dan ditutup terpal atau plastik.
v. Sangat dianjurkan setiap bulan dilakukan pembersihan
dan mesin dihidupkan cukup 5 menit.
c. Perawatan mesin secara berkala perlu dilakukan, untuk
menghindari terjadinya hambatan-hambatan pada waktu
fogging atau pengkabutan. Bagian mesin yang perlu
dibersihkan/dirawat:
i. Bagian ujung resonator, bersihkan dari kerak yang
melekat
ii. Bersihkan solution socket.
iii. Bersihkan nozzle, solution pipe dan kran larutan
iv. Bersihkan air intake, kalau diafragmanya rusak perlu
diganti
v. Kosongkan tangki larutan, isi dengan minyak solar
sebanyak ¼ kapasitasnya, kocok untuk membilas
bagian dalam tangki. Semprotkan sampai minyak solar
pembersih habis.
vi. Kosongkan tangki bahan bakar, hidupkan mesin
sampai mati dengan sendirinya kehabisan bahan bakar.
Keluarkan baterai. Prosedur nomor 3 ini berlaku apabila
mesin pengkabut panas tidak akan digunakan lagi atau
tidak diketahui jadwal pastinya selama 7 hari ke depan
vii. Bersihkan seluruh bagian mesin fog dan keringkan.
vii. Simpan mesin pengkabut panas di tempat yang kering
dan aman.
2) Cara mengatasi gangguan mesin
Gangguan mesin harus segera diatasi pada saat gangguan
timbul.

85
a) Mesin tidak mau hidup, cara mengatasi sebagai berikut :
i. Periksa dan pastikan bahan bakar cukup dan mengalir
lancar ke ruang bakar. Lakukan perbaikan bila perlu.
ii. Periksa dan pastikan pompa bekerja dengan baik,
lakukan perbaikan bila perlu.
iii. Periksa dan pastikan penutup tangki bahan bakar
terpasang sempurna, betulkan atau ganti gasket bila
perlu.
iv. Periksa dan pastikan tenaga listrik baterai cukup, ganti
baterai bila kurang.
v. Periksa dan pastikan kinerja coil, kabel penghubung
dan busi baik. perbaiki dan ganti busi dan / atau coil
bila perlu.
vi. Periksa dan pastikan saluran udara masuk lancar.
Perbaiki dan hilangkan hambatan bila perlu.
vii. Periksa dan pastikan klep karburator terpasang baik
dan tidak rusak, perbaiki atau ganti klep bila perlu.
b) Mesin hidup tapi sering mati mendadak, cara mengatasi
sebagai berikut :
i. Periksa dan pastikan resonator bersih dari sumbatan
atau kerak. Bersihkan dengan sikat pembersih bila
perlu.
ii. Periksa dan pastikan ruang pembakaran bersih.
c) Mesin hidup tapi tidak keluar asap, cara mengatasi sebagai
berikut :
i. Periksa dan pastikan tangki formulasi mempunyai
tekanan. Rapatkan tutup, perbaiki atau ganti gasket,
lancarkan saluran udara penekan bila perlu.
ii. Periksa dan pastikan kran larutan bekerja baik tanpa
sumbatan. Perbaiki dan lancarkan bila perlu.
iii. Periksa dan pastikan pipa saluran formulasi, saringan
dan nozzle mengalirkan formulasi dengan lancar.
Bersihkan dan hilangkan sumbatan bila perlu.

86
Apabila gangguan mesin masih belum teratasi dengan
langkah-langkah tersebut di atas, mesin perlu perbaikan
intensif, untuk itu :
a) Mesin pengkabut panas yang buruk kinerja diberi
label kuning dan dipisahkan dari mesin lain yang siap
digunakan dan harus segera di perbaiki.
b) Mesin yang tidak dapat lagi digunakan dan menunggu
ijin pemusnahan diberi label merah dan dipisahkan
penyimpanannya dari mesin-mesin yang siap digunakan
dan mesin-mesin yang sedang dalam perbaikan.

e. Alat Pelindung Diri (APD)


Setiap melakukan pengoperasian mesin fogging harus menggunakan
APD secara lengkap sesuai peruntukannnya. APD Perorangan dengan
kondisi layak dan jumlah yang cukup tersedia, minimum berupa :
1) Alat pelindung kepala
2) Kacamata pelindung
3) Masker type disposable Oil Resistant-N95
4) Wearpack (baju kerja)
5) Sarung tangan karet untuk pencampuran konsentrat insektisida
6) Sarung tangan katun yang berlapis karet pada bagian telapak
untuk pengoperasian mesin
7) Penutup telinga (ear plug), dan
8) Safety shoes.

2. Alat Pengabutan Dingin (Cold Fogging/ Ultra Low Volume)


a. Pengenalan Alat
1) Deskripsi Alat
Yang dimaksud dengan mesin pengkabutan dingin (cold
spraying/ULV) dalam Juknis ini adalah alat penyembur insektisida

87
dalam bentuk kabut dingin yang terbentuk dari pemecahan
larutan insektisida secara mekanik oleh pusaran angin yang
dihasilkan dari blower. Mesin ini tersedia dengan ukuran jinjing
(handheld), portable, backpack dan truck mounted.

ULV Truck Mounted Mesin ULV Truck Mounted

Mesin ULV Jinjing Mesin ULV Gendong

Gambar 5.3. Peralatan Mesin Pengkabutan Dingin ULV

88
Komponen mesin pengkabut dingin (ULV) terdiri dari tangki
bahan bakar, motor penggerak, tangki insektisida, vortical
nozzle, blower unit, dan komponen pendukung lainnya.
2) Fungsi Alat
Mesin pengkabut dingin (ULV) ini digunakan untuk membunuh
nyamuk dewasa untuk memutuskan penularan penyakit yang
ditularkan oleh nyamuk.
3) Spesifikasi Alat
Spesifikasi alat yang dimaksud dalam buku ini adalah spesifikasi
teknis alat yang memenuhi standar yang ditetapkan oleh
peraturan menteri kesehatan.
b. Insektisida
1) Jenis dan Dosis
Jenis insektisida yang digunakan sebagaimana dalam tabel 5.2
berikut ini.:
Tabel 5.2. Jenis Insektisida Cold Fogging/ Ultra Low Volume (ULV)
Dosis pemakaian
Dosis pemakaian luar
Jenis Insektisida dalam rumah (g AI/
rumah (g AI/ha)
1000m3 )
Deltametrhrin UL 0,5 0,5 – 1,0
Deltamethrin EW - 1
Lambda-cyhalothrin EC - 1-2
Malathion EW dan UL - 112 - 600
Permethrin (25 cis: 75
trans; 10,35%w/w) + S-bio
allethrin (0.14w/w) + 0,55 -
piperonyl butoxide (9.85%
w/w) EW
d-d, trans-cyphenothrin EC 0,1 - 0,2 3,5 - 4,00
Sumber : WHO, 2012

89
Selain jenis insektisida pada tabel 5.2, dapat juga menggunakan
insektisida jenis lain yang sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku.
2. Pengenceran
Pengenceran insektisida dilakukan dalam wadah khusus sejumlah
kebutuhan penyemprotan pada hari operasi. Untuk insektisida
yang tidak membutuhkan pengenceran langsung dituangkan
kedalam tangki formulasi. Kecepatan mobil/ kendaraan 5 km/
jam dengan application rate sebesar 500 ml/hektar dengan laju
semburan 200 ml/ menit.
c. Pelaksanaan Pengoperasian Alat
1) Persiapan Sebelum Pengoperasian
a) Letakkan mesin ULV dikendaraan bak terbuka
b) Cek oli mesin dan oli blower
c) Isi tangki bahan bakar
d) Isi tangki insektisida
e) Periksa semua mur dan baut, bila perlu kencangkan
f) Arahkan head nozzle ke arah samping kiri kendaraan
pengangkut mesin ULV dan setel head nozzle (dengan
memperhatikan dan memperhitungkan kecepatan angin)
sebagaimana tabel 5.3.

Tabel 5.3. Kriteria Kecepatan Angin dan Sudut Head Nozzle pada
Pelaksanaan Mesin Pengkabut Dingin (ULV)

Kecepatan angin Sudut head


nozzle
Rendahkan kalau tidak ada angin 15 °
(0-10 km/jam) : ± jam 07.00 – 08.30
Sedang ( 10-15 ) km/jam : ± jam 08.30 – 10.00 5º
Kencang (15 – 20) km/jam : ± jam 10.00– 15.00 0°

90
2) Pengoperasian Alat
a) Cara menghidupkan mesin
Hidupkan mesin dengan urutan sebagai berikut
i. Geser switch kontak ke posisi on
ii. Tekan kontak starter (bila mesin keadaan baik mesin
akan langsung hidup)
b) Cara pengoperasian mesin
i. Atur tekanan udara dengan cara menggeser tuas
gas sampai 3-4,5 (dapat dibaca di barometer panel
pengontrol), kemudian geser swich fog keposisi on
ii. Atur flow meter sampai laju semburan insektisida
siap pakai mencapai 200ml/menit dengan
mempertimbangkan keadaan suhu untuk insektisida
malathion.
iii. Atur arah nozzle menghadap kesebelah kiri kendaraan/
mobil dengan asumsi arah angin sebelah kanan.
iv. Mesin dioperasikan oleh operator yang duduk
disamping pengemudi untuk mengendalikan remote
controle dan sambil terus memastikan flow meter
sesuai dengan pengaturan.
v. Jalankan kendaraan pengangkut ULV dengan kecepatan
5 km/jam.
c. Cara mematikan mesin
i. Putar tuas control ke kanan sampai maksimal
ii. Geser switch fog ke off (tunggu sampai insektisida
benar-benar habis)
iii. Geser switch mesin ke off, mesin akan langsung mati
d. Perawatan Alat dan Cara Mengatasi Gangguan Mesin Pengkabutan
Dingin (Cold Fogging/ ULV)
1) Perawatan Setelah Pengoperasian Mesin
a) Perawatan Alat Setelah Pemakaian
i. Lepaskan pipa insektisida dari tangkinya, celupkan
kedalam jerigen berisi solar/alkohol sebanyak 1 liter

91
ii. Kendurkan tutup tangki insektisida
iii. Hidupkan mesin
iv. Geser swicth fog ke posisi on
v. Biarkan solar/alkohol mengalir dan membilas semua
pipa larutan
vi. Matikan mesin, kemudian periksa semua mur dan baut
vii. Bersihkan mesin dari kotoran dan insektisida
viii. Ganti oli mesin setiap 25 jam kerja (1 minggu)
b) Untuk mesin ULV yang akan disimpan dalam waktu yang
lama, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
i. Sebelum disimpan lumasi komponen blower dan ruang
bakarmesin dengan oli SAE 40
ii. Bersihkan mesin dari kotoran dan insektisida serta
kosongkan tangki insektisida dan tangki bensin
iii. Simpan diruang tertutup, selimuti dengan kain atau
plastik
iv. Sebulan sekali putar-putar as mesin dengan tangan
supaya mesin tidak macet
v. Bersihkan mesin dari debu atau kotoran lain.
2) Cara Mengatasi Gangguan Mesin
Perbaikan mesin ULV pada umumnya harus dilakukan oleh
montir atau teknisi yang sudah berpengalaman, keculai untuk
kerusakan kecil seperti:
a) Mengganti busi
b) Mengganti selang larutan insektisida dan selang tekanan
Jika mesin susah dihidupkan kemungkinannya adalah sebagai
berikut:
a) Jika bahan bakar belum naik ke karburator, maka tuas
karburator perlu ditarik agar bahan bakar cepat naik
b) Jika sistim pengapian terganggu, maka lakukan pemeriksaan
terhadap busi, bila kotor bersihkan/ ganti dengan yang baru
Jika tetap tidak ada pengapian, maka periksa coil, kemudian atur
coilnya, bila rusak, ganti yang baru.

92
3) Hal-hal yang harus diperhatikan
a) Lakukan Temu Bahas Masalah (TBM), pastikan semua
anggota team penyemprot dan wakil masyarakat di wilayah
penyemprotan mengerti target penyelesaian pekerjaan,
faktor kritis penyemprotan, pembagian tugas kerja, rencana
tanggap darurat
b) Selama pengoperasian lampu hazard dinyalakan
c) Semua jendela dan pintu rumah harus dibuka
d) Penghuni rumah menyingkir ke area diluar wilayah
semprotan
e) Tetapkan jadwal penyemprotan dilakukan pada pagi hari
antara pukul 07.00 – 10.00 dan / atau sore hari antara pukul
16.00 – 18.00.
f) Pastikan bangunan yang akan disemprot sudah dalam
keadaan kosong penghuni, makanan sudah disimpan oleh
pemiliknya, kompor sudah dimatikan,
g) hewan peliharaan dijauhkan /diamankan dari paparan
insektisida,
h) Pakai APD secara lengkap sesuai peruntukannnya.
i) Pastikan kecepatan angin tidak melebihi 15 Km / Jam dan
tidak hujan
e. Alat Pelindung Diri (APD)
Setiap melakukan pengoperasian mesin ULV harus menggunakan
APD secara lengkap sesuai peruntukannnya. APD Perorangan dengan
kondisi layak dan jumlah yang cukup tersedia, minimum berupa :
1) Alat pelindung kepala,
2) Kacamata pelindung
3) Masker type disposable Oil Resistant-N95,
4) Wearpack (baju kerja),
5) Sarung tangan karet untuk pencampuran konsentrat insektisida,
6) Sarung tangan katun yang berlapis karet pada bagian telapak
untuk pengoperasian mesin,
7) Penutup telinga (ear plug), dan
8) Safety shoes

93
BAB 6
KEWASPADAAN DINI DAN PENANGGULANGAN KEJADIAN
LUAR BIASA (KLB)

I. Kewaspadaan Dini
A. Kewaspadaan dini DBD ialah suatu upaya yang meliputi kegiatan
pemantauan/ surveilans dan upaya pencegahan/ penanggulangan
terhadap kemungkinan terjadinya peningkatan kasus/ kejadian luar
biasa (KLB)/ wabah dan/atau peningkatan faktor resiko DBD.
B. Laporan kewaspadaan dini DBD adalah laporan hasil pemantauan/
surveilans kasus dan faktor resiko DBD.
C. Penanggulangan kasus adalah upaya pemutusan rantai penularan
DBD yang meliputi kegiatan penyelidikan epidemiologi (PE) dan
penanggulangan fokus (PF)

II. Penyelidikan Epidemiologi


A. Pengertian Penyelidikan Epidemiologi (PE)
Penyelidikan Epidemiologi (PE) yang dimaksud adalah upaya
penyelidikan/ investigasi fokus penularan penyakit dengue yang
meliputi kegiatan pencarian/ identifikasi adanya kasus infeksi dengue
dan/atau kasus suspek infeksi dengue lainnya dan pemeriksaan
jentik nyamuk penular DBD di tempat tinggal penderita dan rumah/
bangunan sekitar, termasuk tempat-tempat umum yang berada
dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter.

94
B. Tujuan Penyelidikan Epidemiologi
1) Tujuan Umum: Mengetahui potensi penularan dan penyebaran
DBD lebih lanjut serta tindakan penanggulangan yang perlu
dilakukan di wilayah sekitar tempat tinggal penderita/ fokus
penularan.
2) Tujuan khusus:
a) Mengetahui adanya penderita dan tersangka DBD lainnya
b) Mengetahui ada /tidaknya jentik nyamuk penular DBD
c) Menentukan jenis tindakan (penanggulangan fokus) yang
akan dilakukan
C. Langkah-Langkah Pelaksanaan Kegiatan Penyelidikan
Epidemiologi:
1. Setelah menemukan/menerima laporan adanya penderita DBD,
petugas Puskesmas/ Koordinator DBD segera mencatat dalam
Buku catatan Harian Penderita DBD.
2. Menyiapkan peralatan survei, seperti: tensimeter, termometer,
senter, formulir PE, dan surat tugas.
3. Memberitahukan kepada Kades/Lurah dan Ketua RW/RT
setempat bahwa di wilayahnya ada penderita DBD dan akan
dilaksanakan PE.
4. Masyarakat di lokasi tempat tinggal penderita membantu
kelancaran pelaksanaan PE.
5. Pelaksanaan PE sebagai berikut:
a) Petugas Puskesmas memperkenalkan diri dan selanjutnya
melakukan wawancara dengan keluarga, untuk mengetahui
ada tidaknya penderita infeksi dengue lainnya (sudah ada
konfirmasi dari rumah sakit atau unit pelayanan kesehatan
lainnya), dan penderita demam saat itu dalam kurun waktu
1 minggu sebelumnya.
b) Bila ditemukan penderita demam tanpa sebab yang jelas,
dilakukan pemeriksaan kulit (petekie), dan uji torniquet

95
untuk mencari kemungkinan adanya kasus suspek infeksi
dengue.
c) Melakukan pemeriksaan jentik pada tempat penampungan
air (TPA) dan tempat-tempat lain yang dapat menjadi tempat
perkembangbiakan nyamuk Aedes baik di dalam maupun di
luar rumah/bangunan.
d) Kegiatan PE dilakukan dalam radius 100 meter dari lokasi
tempat tinggal penderita.
e) Bila penderita adalah siswa sekolah dan pekerja, maka selain
dilakukan di rumah penderita tersebut, PE juga dilakukan di
sekolah/ tempat kerja penderita oleh puskesmas setempat.
f) Hasil pemeriksaan adanya penderita infeksi dengue lainnya
dan hasil pemeriksaan terhadap penderita suspek infeksi
dengue dan pemeriksaan jentik dicatat dalam formulir PE (
lampiran 1)
g) Hasil PE segera dilaporkan kepada Kepala Dinas Kesehatan
Kabupaten/ Kota (lampiran 2), untuk tindak lanjut lapangan
dikoordinasikan dengan Kades/Lurah setempat ( lampiran
3)
h) Bila hasil PE positif (Ditemukan 1 atau lebih penderita
infeksi dengue lainnya dan/atau ≥ 3 penderita suspek
infeksi dengue, dan ditemukan jentik (≥5%), dilakukan
penanggulangan fokus (fogging fokus, penyuluhan, PSN
3Mplus dan larvasidasi selektif), sedangkan bila negatif
dilakukan penyuluhan, PSN 3Mplus dan larvasidasi selektif.

III. Penanggulangan Fokus


A. Pengertian Penanggulangan Fokus
Penanggulangan fokus (PF) adalah kegiatan pemutusan rantai
penularan DBD yang dilaksanakan mencakup radius minimal 200
meter dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk penular

96
demam berdarah dengue (PSN 3Mplus), larvasidasi selektif,
penyuluhan dan/atau pengabutan panas (pengasapan/ fogging)
dan/atau pengabutan dingin (ULV) menggunakan insektisida yang
masih berlaku dan efektif sesuai rekomendasi WHOPES dan/atau
Komisi Pestisida.
B. Tujuan Penanggulangan Fokus
Penanggulangan fokus dilaksanakan untuk membatasi/memutus
rantai penularan DBD dan mencegah terjadinya KLB di lokasi tempat
tinggal penderita dan rumah/ bangunan sekitar serta tempat-tempat
umum yang berpotensi menjadi sumber penularan DBD lebih lanjut.
C. Tindak lanjut hasil PE adalah sebagai berikut :
1. Bila ditemukan penderita infeksi dengue lainnya (1 atau lebih)
dan/atau ditemukan 3 atau lebih penderita demam tanpa sebab
yang jelas/ suspek infeksi dengue dan ditemukan jentik ≥ 5 % dari
rumah/bangunan yang diperiksa, maka dilakukan penggerakan
masyarakat dalam PSN 3Mplus, larvasidasi selektif, penyuluhan
dan pengasapan dengan insektisida di rumah penderita dan
rumah/ bangunan sekitarnya dalam radius minimal 200 meter,
pengasapan dilakukan 2 siklus dengan interval 1 minggu
2. Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut di atas,
tetapi ditemukan jentik, maka dilakukan penggerakan masyarakat
dalam PSN 3Mplus, larvasidasi selektif dan penyuluhan
3. Bila tidak ditemukan penderita lainnya seperti tersebut di atas
dan tidak ditemukan jentik, maka dilakukan penyuluhan kepada
masyarakat.
D. Langkah- Langkah Pelaksanaan Kegiatan:
1. Setelah kades/lurah menerima laporan hasil PE dari Puskesmas
dan rencana koordinasi penanggulangan fokus, meminta
ketua RW/RT agar warga membantu kelancaran pelaksanaan
penanggulangan fokus

97
2. Ketua RW/RT menyampaikan jadwal kegiatan yang diterima
dari petugas puskesmas setempat dan mengajak warga untuk
berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan penanggulangan fokus.
3. Kegiatan penanggulangan fokus sesuai hasil PE:
a. Penggerakan masyarakat dalam PSN DBD dan larvasidasi
1) Ketua RW/RT, Toma (tokoh masyarakat) dan kader
memberikan pengarahan langsung kepada warga pada
waktu pelaksanaan PSN DBD
2) Penyuluhan dan penggerakkan masyarakat PSN
DBD dan larvasidasi dilaksanakan sebelum dilakukan
pengabutan dengan insektisida. (teknis pemberian
larvasida agar dicantumkan)
b. Penyuluhan
Penyuluhan dilaksanakan oleh petugas kesehatan/
kader atau kelompok kerja (Pokja) DBD Desa/Kelurahan
berkoordinasi dengan petugas puskesmas, dengan materi
antara lain:
1) Situasi DBD di wilayahnya
2) Cara-cara pencegahan DBD yang dapat dilaksanakan
oleh individu, keluarga dan masyarakat disesuaikan
dengan kondisi setempat.
c. Pengabutan dengan insektisida
1) Dilakukan oleh petugas puskesmas atau bekerjasama
dengan dinas kesehatan kabupaten/kota. Petugas
penyemprot adalah petugas puskesmas atau petugas
harian lepas terlatih.
2) Ketua RT, Toma atau kader mendampingi petugas
dalam kegiatan pengabutan. (di lapangan tidak hanya
mendampingi tapi juga melakukan penyuluhan)
4. Hasil pelaksanaan penanggulangan fokus dilaporkan oleh
puskesmas kepada dinas kesehatan kabupaten/kota dengan
tembusan kepada camat dan kades/lurah setempat.

98
5. Hasil kegiatan pengendalian DBD dilaporkan oleh puskesmas
kepada dinas kesehatan kabupaten/kota setiap bulan dengan
menggunakan formulir K-DBD

Bagan Penanggulangan Kasus

Penderita infeksi dengue (DD/DBD/EDS)

Penyidikan Epidemiologi (PE) :


Kegiatanpencarian kasus infeksi denguedankasus suspek infeksi
denguelainnya dan pemeriksaan jentik nyamuk penular DBD di tempat
tinggal penderita dan rumah/bangunan sekitar, termasuk tempat-tempat
umum dalam radius sekurang-kurangnya 100 meter.

Positif : Negatif :
• Bila ditemukan 1 atau lebih penderita • Jika tidak memenuhi 2 kriteria
infeksi denguelainnya dan/atau ≥ 3 positif
penderitademam tanpa sebab yang
jelas dan
• Ditemukan jentik (HI) ≥ 5 %

Pada area radius minimal 200 m Pada area radius minimal 200 m
dilakukan tindakan : dilakukan tindakan
1. Intensifikasi PSN 1. Intensifikasi PSN
2. Larvasidasi 2. Larvasidasi
3. Penyuluhan 3. Penyuluhan
4. Fogging fokus (2 siklus interval 1
minggu)

Gambar 6.1 Bagan Penanggulangan Kasus

99
IV. Pengendalian Sebelum Musim Penularan
A. Sebelum Musim Penularan (SMP) adalah periode bulan yang
berdasarkan analisis data kasus rata-rata perbulan selama 3-5 tahun
terakhir memiliki jumlah rata-rata kasus paling rendah di suatu
wilayah. Periode Sebelum Musim Penularan biasanya terjadi sebelum
memasuki musim penghujan/ musim penularan DBD.
B. Pengendalian Sebelum Musim Penularan meliputi kegiatan
penyuluhan kepada masyarakat, Bulan Bakti Gerakan (BBG) PSN
3Mplus secara serentak dan larvasidasi.
1. Penyuluhan kepada masyarakat dapat dilakukan melalui
penyuluhan langsung dan/atau melalui media cetak dan/atau
media elektronik.
2. Bulan Bakti Gerakan (BBG) PSN 3Mplus dilaksanakan secara
serentak dengan melibatkan kepala daerah, seluruh satuan kerja
pemerintah daerah (SKPD) setempat beserta seluruh lapisan
masyarakat.
3. Larvasidasi dilakukan secara selektif pada tempat-tempat
penampungan air (TPA) dan tempat-tempat non TPA yang
berpotensi menjadi tempat perindukan jentik nyamuk Aedes.

V. Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)


A. Pengertian
Penanggulangan kejadian luar biasa (KLB) DBD adalah upaya
penanggulangan yang meliputi: pengobatan/perawatan terhadap
penderita, pemutusan rantai penularan/ pemberantasan vektor
penular, penyuluhan kepada masyarakat untuk melaksanakan
gerakan PSN 3M Plus secara serentak dan evaluasi/ penilaian
penanggulangan yang dilakukan di seluruh wilayah yang mengalami
KLB.

100
Tujuan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa adalah membatasi
penularan/ penyebaran KLB DBD, sehingga KLB yang terjadi di
suatu wilayah tidak meluas ke wilayah lainnya dan mencegah/
meminimalkan terjadinya kematian akibat DBD.
B. Penetapan Kejadian Luar Biasa (KLB)
Sesuai Permenkes Nomor 1501 tahun 2010 disebutkan 7 kriteria
KLB, tetapi dalam upaya pengendalian DBD ada 3 kriteria yang
direkomendasikan yaitu:
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu (DBD) yang
sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
2. Jumlah penderita baru (kasus DBD) dalam periode waktu satu
bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih dibandingkan
dengan angka rata-rata per bulan dalam tahun sebelumnya.
3. Angka kematian kasus suatu penyakit (Case Fatality Rate) dalam
1 (satu) kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% (lima
puluh persen) atau lebih dibandingkan dengan angka kematian
kasus suatu penyakit periode sebelumnya dalam kurun waktu
yang sama.
C. Langkah-langkah pelaksanaan penanggulangan KLB
Bila terjadi KLB/wabah, dilakukan pengasapan dengan insektisida (2
siklus dengan interval 1 minggu), PSN 3Mplus , larvasidasi, penyuluhan
di seluruh wilayah terjangkit KLB, dan kegiatan penanggulangan
lainnya yang diperlukan, seperti: pembentukan posko pengobatan
dan posko penangggulangan, penyelidikan KLB, pengumpulan dan
pemeriksaan spesimen serta peningkatan kegiatan surveilans kasus
dan vektor, dan lain-lain.
1. Pengobatan dan Perawatan Penderita
Penderita DBD derajat 1 dan 2 dapat dirawat di puskesmas yang
mempunyai fasilitas perawatan dan laboratorium memadai,
sedangkan DBD derajat 3 dan 4 harus segera dirujuk ke Rumah
Sakit.

101
2. Pemberantasan Vektor
a. Penyemprotan insektisida (pengasapan / pengabutan)
Pelaksana : Petugas dinas kesehatan kabupaten/kota,
puskesmas, dan tenaga lain yang telah dilatih.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Rumah dan tempat-tempat umum
Insektisida : Sesuai dengan dosis
Alat : hot fogger/mesin pengabut dan/atau ULV
Cara : Fogging/ULV dilaksanakan 2 siklus dengan
interval satu minggu
b. Pemberantasan sarang jentik/nyamuk (PSN 3Mplus)
Pelaksana : Masyarakat di lingkungan masing-masing.
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit dan
wilayah sekitarnya yang merupakan satu
kesatuan epidemiologis
Sasaran : Semua tempat potensial bagi perindukkan
nyamuk: tempat penampungan air, barang
bekas ( botol aqua, pecahan gelas,ban bekas,
dll) lubang pohon/tiang pagar/pelepah
pisang, tempat minum burung, alas pot,
dispenser, tempat penampungan air di bawah
kulkas, dibelakang kulkas dsb, di rumah/
bangunan dan tempat umum
Cara : Melakukan kegiatan PSN 3Mplus.
Kegiatan PSN 3M Plus meliputi :
• Menguras dan menyikat TPA (tempat penampungan
air)
• Menutup TPA
• Memanfaatkan/mendaur ulang barang bekas yang
berpotensi menjadi TPA atau membuangnya ke tempat
pembuangan sampah tertutup

102
PLUS :
• Menaburkan bubuk larvasida
• Memelihara ikan pemakan jentik
• Menanam pohon pengusir nyamuk (sereh, zodia,
lavender, geranium, dll)
• Memakai obat anti nyamuk (semprot, bakar maupun
oles),
• Menggunakan kelambu, pasang kawat kasa, dan lain-
lain
• Menggunakan cara lain disesuaikan dengan kearifan
lokal.
c. Larvasidasi
Pelaksana : Tenaga dari masyarakat dengan bimbingan
petugas puskesmas/ dinas kesehatan
kabupaten/ kota
Lokasi : Meliputi seluruh wilayah terjangkit
Sasaran : Tempat Penampungan Air (TPA) di rumah dan
Tempat-Tempat Umum (TTU)
Larvasida : Sesuai dengan dosis
Cara : larvasidasi dilaksanakan diseluruh wilayah
KLB
3. Penyuluhan
Penyuluhan dapat dilakukan oleh segenap tenaga kesehatan
dengan melibatkan kader jumantik ( juru pemantau jentik) yang
dikoordinasikan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota setempat.

D. Evaluasi Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)


1. Evaluasi pelaksanaan penanggulangan KLB
Penilaian operasional ditujukan untuk mengetahui persentase
(coverage) pemberantasan vektor dari jumlah yang direncanakan.
Penilaian ini dilakukan dengan melakukan kunjungan rumah

103
secara acak dan wilayah-wilayah yang direncanakan untuk
pengabutan, larvasidasi dan penyuluhan. Pada kunjungan
tersebut dilakukan wawancara apakah rumah sudah dilakukan
pengabutan, larvasidasi dan pemeriksaan jentik serta
penyuluhan.

2. Evaluasi Hasil penanggulangan KLB


Penilaian ini ditujukan untuk mengetahui dampak upaya
penanggulangan terhadap jumlah penderita dan kematian DBD.
Penilaian epidemiologis dilakukan dengan membandingkan data
kasus/ kematian DBD sebelum dan sesudah penanggulangan
KLB. Data-data tersebut digambarkan dalam grafik harian,
mingguan atau bulanan, serta dibandingkan pula dengan
keadaan tahun sebelumnya pada periode yang sama. (dalam
bentuk laporan)

104
BAB 7
PENYULUHAN DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

I. Penyuluhan
Kegiatan pemberdayaan dan peningkatan peran serta untuk meningkatkan
program pengendalian Demam Berdarah Dengue yang dilaksanakan
di masyarakat selalu melibatkan proses komunikasi. Salah satu yang
menentukan keberhasilan komunikasi adalah metode dan teknik yang
digunakan.
Metode dan teknik dalam menyampaikan informasi memang sangat
beragam, namun dalam pemilihannya harus dipertimbangkan secara
cermat dengan memperhatikan kemasan informasinya. Keadaan penerima
informasi termasuk sosial budaya dan hal lain yang merupakan lingkungan
komunikasi seperti tempat, ruang dan waktu. Dengan demikian, metode
dan teknik untuk menyampaikan informasi merupakan hal yang sangat
penting, sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik, efektif dan
tepat sasaran.

A. Penyuluhan di Rumah Sakit dan Fasilitas Kesehatan Lainnya


Penyuluhan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan dilakukan oleh
tenaga kesehatan di Rumah Sakit dan fasilitas kesehatan lainnya.

105
Sasaran :
Pasien dan keluarga
Metodenya :
1. Penyuluhan perorangan
2. Penyuluhan kelompok
3. Penyuluhan massa
Tujuan :
1. Individu, kelompok dan massa dapat mengetahui cara penularan
DBD dan cara pencegahan DBD.
2. Individu, kelompok dan massa mengetahui tindakan yang
dilakukan di rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya dalam
penanganan DBD.

B. Penyuluhan di Sekolah
Penyuluhan di sekolah dilakukan oleh guru, petugas puskesmas atau
tenaga kesehatan lainnya, melalui program UKS (Jumantik Anak
Sekolah, Dokter Kecil) ataupun melalui penugasan khusus yang
berkaitan dengan Pencegahan DBD.
Sasaran :
Siswa-siswi sekolah
Metodenya :
1. Penyuluhan pada kelompok anak sekolah
2. Penugasan khusus (Misalnya : pengumpulan jentik nyamuk yang
ditemukan dirumah, dll).
Tujuan :
1. Murid – murid mengetahui cara penularan DBD dan pencegahan
DBD.
2. Dapat menyebarluasan informasi mengenai DBD ke keluarga
dan teman – teman sebaya.

106
C. Penyuluhan di Pemukiman
Dapat dilakukan melalui penyuluhan secara perorangan, kelompok
dan massa.
1. Penyuluhan Perorangan
Penyuluhan perorangan dilakukan melalui kunjungan rumah dan
pemantauan kartu rumah oleh kader kesehatan/kader jumantik
atau dasawisma.
Sasaran :
Individu dan keluarga
Metode :
Metode yang digunakan dalam melakukan penyuluhan
perorangan adalah wawancara/tatap muka dan atau demonstrasi
atau peragaan.
Tujuan :
Individu dan keluarga mengetahui tentang cara penularan dan
cara pencegahan DBD.
2. Penyuluhan Kelompok
Penyuluhan kelompok dilakukan oleh kader kesehatan/kader
jumantik, tokoh masyarakat, tokoh agama dan tenaga kesehatan
Sasaran :
Kelompok tani, kelompok arisan, kelompo agama, kelompok
PKK dan sebaginya.
Metode :
Metode yang digunakan dalam melakukan penyuluhan
perorangan adalah wawancara/tatap muka dan atau demonstrasi
atau peragaan.

107
Tujuan :
a. Kelompok mengetahui tentang cara penularan, cara
pencegahan DBD serta cara pertolongan pertama penyakit
DBD.
b. Dapat memberikan informasi tentang DBD kepada keluarga
dan masyarakat sekitarnya.
3. Penyuluhan Melaui Media Massa
Penyuluhan yang dilakukan melalui TV, Radio dan Koran. Pada
penyuluhan melalui media massa biasanya tidak terjadi tanya
jawab (komunikasi satu arah).
Sasaran :
Masyarakat luas.
Metode :
Melalui TV, Radio, Koran.
Tujuan :
Masyarakat luas mengetahui informasi tentang cara penularan
dan pencegahan DBD serta bagaimana cara pertolongan
pertama pada penyakit DBD.

D. Penyuluhan di Tempat-Tempat Umum


Penyuluhan yang dilakukan di sarana umum seperti terminal, pasar dll.
Sasaran :
Masyarakat luas
Metode :
Penyuluhan langsung atau melalui media cetak/media elektronik
(foster, baligo, leaflet, televisi, radio atau internet).
Tujuan :
Masyarakat luas mengetahui informasi tentang cara penularan dan
pencegahan DBD serta bagaimana cara pertolongan pertama pada
penyakit DBD.

108
II. Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan menunjukkan bahwa
peran serta dibutuhkan untuk mengembangkan sinergi dalam hubungan
antara pemerintah dan masyarakat maupun sinergi dalam ”jejaring
komunitas”.
Peran serta masyarakat merupakan perwujudan dari kesadaran dan
kepedulian serta tanggungjawab masyarakat terhadap pentingnya
pembangunan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu hidup mereka.
Artinya melalui peran serta yang diberikan berarti benar-benar menyadari
bahwa kegiatan pembangunan bukanlah sekedar kewajiban yang harus
dijalankan oleh (aparat) pemerintah sendiri, tetapi menuntut keterlibatan
masyarakat yang akan diperbaiki mutu hidupnya.
Pemberdayaan masyarakat dalam PSN 3M Plus dilaksanakan melalui
pendekatan Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik.

A. Upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus


Upaya PSN 3M Plus adalah seluruh kegiatan masyarakat bersama
pemerintah untuk mencegah dan mengendalikan penyakit DBD
dengan melakukan pemberantasan sarang nyamuk secara terus
menerus dan berkesinambungan. Gerakan PSN 3M Plus ini
merupakan kegiatan yang paling efektif untuk mencegah terjadinya
penyakit DBD serta mewujudkan kebersihan lingkungan dan perilaku
hidup sehat.
Tujuan Kegiatan PSN 3M Plus adalah memberantas tempat-tempat
perkembangbiakan nyamuk aedes melalui upaya pembinaan peran
serta masyarakat sehingga penyakit DBD dapat dicegah atau dibatasi.
Sasaran Kegiatan PSN 3M Plus adalah semua keluarga dan pengelola
tempat umum melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik (G1R1J), dimana
tiap-tiap rumah tangga memiliki satu orang penanggungjawab
kegiatan PSN 3M Plus di rumahnya. Penanggungjawab tersebut
selanjutnya disebut Jumantik Rumah harus melaksanakan PSN 3M

109
Plus serta menjaga kebersihan di lingkungannya masing-masing
secara rutin sekurang-kurangnya seminggu sekali sehingga bebas dari
jentik nyamuk Aedes dan melakukan pencatatan hasil pemantauan
jentik tiap minggu pada kartu pemeriksaan jentik (Kartu Jentik).
Di samping itu para pengelola tempat-tempat umum/ institusi (TTU/
TTI) harus menunjuk/ menugaskan seorang/ lebih yang bertanggung
jawab untuk memantau dan melaksanakan PSN 3M Plus di tempat
kerjanya, sekaligus melakukan pencatatan hasil pemantauan jentik
pada kartu pemeriksaan jentik (kartu jentik), petugas pemantau
pada TTU/TTI ini selanjutnya disebut Jumantik Lingkungan.
Selain itu melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik diharapkan semua
keluarga :
1. Melaksanakan kegiatan pemantauan jentik dan PSN 3M Plus
secara rutin sekurangnya seminggu sekali.
2. Melakukan pencatatan hasil pemantauan jentik di rumah pada
kartu jentik.
3. Mengenal tanda dan gejala DBD sehingga segera melakukan
pemeriksaan kepada petugas kesehatan jika ada anggota
keluarga yang diduga menderita penyakit DBD.
4. Melaporkan kepada RT/RW, Kepala Desa/Kelurahan, jika
ada anggota keluarga yang diduga menderita penyakit DBD,
agar dilakukan penggerakan masyarakat di sekitarnya guna
mencegah meluasnya penularan penyakit ini.
5. Membantu kelancaran pengendalian vektor penyakit DBD yang
dilakukan oleh petugas kesehatan.
Gerakan PSN 3M Plus dilaksanakan dengan cara memotivasi
masyarakat (keluarga dan pengelola TTU) untuk melaksanakan
kegiatan pemberantasan jentik nyamuk di rumah dan lingkungannya
masing-masing.
Pelaksana motivasi kepada keluarga adalah kader dari masyarakat
setempat yang telah dilatih dalam melakukan pemeriksaan jentik,

110
kader ini disebut Koordinator Jumantik. Motivasi dilakukan dengan
cara melakukan kunjungan rumah secara berkala untuk memeriksa
tempat-tempat potensial untuk perkembangbiakan nyamuk Aedes
dan memberikan penyuluhan tentang DBD/ PSN 3M Plus. Ketua RT/
RW dapat menugaskan seorang/lebih kader sebagai Koordinator
Jumantik di tiap-tiap RT.
Kegiatan PSN 3M Plus di tingkat desa/kelurahan dikoordinasikan
oleh kelompok kerja pengendalian DBD atau disingkat POKJA DBD,
yang merupakan forum koordinasi kegiatan pengendalian DBD
dalam wadah LKMD. Tiap-tiap POKJA DBD di tiap desa/ kelurahan
menugaskan seorang/ lebih petugas Supervisor Jumantik yang
bertanggungjawab melakukan pembinaan/ pemantauan/ sosialisasi
kegiatan PSN 3M Plus kepada seluruh Koordinator Jumantik
dan Jumantik Rumah/ Jumantik Lingkungan di wilayahnya.
Pembinaan, monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan PSN 3M
Plus melalui Gerakan 1 Rumah 1 Jumantik dilakukan oleh Kelompok
Kerja Operasional pengendalian DBD atau disingkat POKJANAL DBD
tingkat Kecamatan yang di koordinir oleh puskesmas setempat,
POKJANAL DBD tingkat kabupaten/kota, POKJANAL DBD tingkat
provinsi dan POKJANAL DBD tingkat Pusat secara berjenjang.

B. Advokasi
Untuk memperoleh hasil pengerakan peran serta masyarakat
yang berkesinambungan, perlu adanya upaya pendekatan melalui
advokasi kepada para pengambil kebijakan kepada Kepala Wilayah
(Bupati/Walikota, Camat, Lurah/Kepala Desa).
Advokasi kesehatan adalah upaya secara sistimatis untuk
mempengaruhi pimpinan, pembuat/penentu kebijakan, keputusan
dan penyandang dana dan pimpinan media massa agar proaktif
dan mendukung berbagai kegiatan promosi penanggulangan
Penanggulangan DBD sesuai dengan bidang dan keahlian masing-
masing. Sementara itu ada pendapat populer bahwa advokasi adalah
melakukan kampanye pada media massa atau melakukan upaya
komunikasi, informasi dan edukasi.

111
Tujuan advokasi untuk mempengaruhi pimpinan/pengambil
keputusan dan penyandang dana dalam penyelengaraan program
Pengendalian DBD, sedangkan sasaran advokasi adalah:
1. Pimpinan legislatif (Komisi DPRD)
2. Pimpinan eksekutif (Gubernur, Bupati, Bappeda)
3. Penyandang dana
4. Pimpinan media massa
5. Pimpinan institusi lintas sektoral
6. Tokoh Agama/Masyarakat/PKK, organisasi profesi dan lain-lain.

Metode Advokasi:
1. Lobbi
2. Pendekatan Informal
3. Penggunaan media massa

Materi Pesan
1. Harus diketahui jumlah kasus DBD di wilayahnya
2. Program cara pencegahan dan pengendalian DBD
3. Kebijakan dalam pengendalian DBD (menyiapkan tenaga
kesehatan, dan lintas sektor lain untuk melaksanakan program
bebas DBD.
Hasil yang diharapkan:
1. Adanya dukungan politis, kebijakan/keputusan dan sumber daya
(SDM, dana dan sumber daya lainnya) dalam penanggulangan
DBD.
2. Terbentuknya forum komunikasi/komite/pokjanal yang
beranggotakan lembaga pemerintah, swasta, LSM, Dunia Usaha,
untuk membahas dan memberi masukan dalam penanggulangan
DBD

112
Kegiatan pokok dari penggerakan PSN DBD, terdiri dari :
1. Penggerakan PSN 3M Plus di Rumah (Tempat Permukiman)
Sasaran penggerakan PSN di desa/kelurahan adalah “keluarga”
yaitu dilaksanakannya PSN di rumah-rumah secara berkala dan
terus menerus.
Kegiatan Pokja DBD yang dilakukan di desa/kelurahan meliputi:
a. Kegiatan oleh masyarakat:
1) Juru pemantau jentik (Jumantik)/Kader yang telah
dilatih oleh Puskesmas di tingkat RT/RW melakukan
pemeriksaan jentik dan penyuluhan di tingkat RT/RW
setiap minggu..
2) Ketua RW/RT sekurang-kurangnya setiap bulan
melakukan pertemuan dengan PKK/Ketua Dasa Wisma
dan tokoh masyarakat untuk membahas pelaksanaan
dan hasil pemeriksaan jentik oleh Jumantik. Hasil
pertemuan dilaporkan kepada kepada desa/lurah.
3) Kepala Desa/Lurah membahas hasil laporan Ketua RW
dalam berbagai kesempatan pertemuan dan membahas
tindak lanjut umpan balik Pemeriksaan Jentik Berkala
(PJB) dari Puskesmas.
Kegiatan lain yang dapat diselenggarakan di desa/kelurahan
dalam penggerakan PSN DBD antara lain:
1) Masyarakat bergotong royong melakukan PSN DBD
dan kerja bakti membersihkan lingkungan seperti
Gerakan Jumat Bersih, atau kegiatan sejenis seminggu
sekali.
2) Penyuluhan kelompok masyarakat oleh kader dan tokoh
masyarakat antara lain di Posyandu, tempat ibadah dan
dalam pertemuan-pertemuan warga masyarakat.
b. Kegiatan oleh Puskesmas
1) Petugas Puskesmas melakukan bimbingan teknis
kepada Pokja DBD Desa/Kelurahan.

113
2) Petugas Puskesmas melakukan pemantauan jentik
berkala (PJB) setiap 3 bulan dengan cara memeriksa
100 rumah yang dipilih secara acak (random sampling)
untuk mengetahui hasil penggerakan PSN DBD oleh
desa/kelurahan (Jumantik). Hasil PJB dianalisis dengan
menggunakan indikator angka bebas jentik (ABJ) yaitu
persentasi jumlah rumah yang tidak ditemukan jentik
Aedes dibagi jumlah rumah yang diperiksa. Hasil PJB
(ABJ) ini dilaporkan kepada Camat dan diumpanbalikkan
kepada Kepala Desa/Lurah untuk tindak lanjut upaya
penggerakan PSN DBD di wilayahnya.

2. Penggerakan PSN DBD di Tempat-tempat Umum


a. Sekolah
i. Penggerakan PSN DBD di sekolah dikoordinasikan oleh
Kepala Sekolah.
ii. Kepala Sekolah melakukan pengawasan terhadap
kegiatan kebersihan di sekolah dan lingkungannya.
Petugas kebersihan sekolah melaksanakan PSN 3M
secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali
sehingga lingkungan sekolah bebas dari jentik nyamuk.
iii. Selain itu pembinaan kegiatan PSN DBD di sekolah
diintegrasikan dalam proses belajar mengajar, baik
melalui intra maupun ekstra kurikuler seperti program
- UKS.
b. Tempat-Tempat Umum lainnya (Tempat ibadah, perkantoran,
terminal, pasar, dll).
i. Penggerakan PSN DBD di TTU lainnya dikoordinasikan
oleh penanggung jawab TTU.
ii. Penanggung jawab TTU lainnya melakukan pengawasan
terhadap kegiatan kebersihan di bangunan TTU dan
lingkungannya. Petugas kebersihan TTU melaksanakan
PSN 3M secara teratur sekurang-kurangnya seminggu
sekali sehingga lingkungan TTU bebas dari jentik
nyamuk.

114
c. Puskesmas
i. Petugas Puskesmas melakukan bimbingan teknis
kepada Sekolah melalui kegiatan Usaha Kesehatan
Sekolah (UKS) dan kepada TTU melalui kegiatan rutin
pengawasan lingkungan TTU.
ii. Petugas Puskesmas melakukan pemantauan jentik
berkala (PJB) terhadap semua sekolah yang ada di
wilayah kerja puskesmas setiap 3 bulan dengan cara
memeriksa setiap tempat-tempat potensial untuk
perkembangbiakan nyamuk Aedes. Hasil PJB dilaporkan
kepada Camat dan diumpanbalikkan kepada Kepala
Sekolah
iii. Petugas Puskesmas melakukan pemantauan jentik
berkala (PJB) terhadap semua TTU lainnya yang
ada di wilayah kerjanya setiap 3 bulan dengan cara
memeriksa setiap tempat-tempat potensial untuk
perkembangbiakan nyamuk Aedes. Hasil PJB dilaporkan
ke Camat dan diumpanbalikkan kepada Penanggung
jawab TTU.

C. Penyuluhan Dan Motivasi Kepada Masyarakat


1. Penyuluhan kepada masyarakat dilaksanakan melalui media
massa seperti: TV, radio, bioskop, poster, surat kabar, majalah,
dsb.
2. Penyuluhan dapat dilakukan oleh petugas kesehatan dan sektor
lain terkait, pejabat pemerintah dan tokoh masyarakat/agama,
organisasi masyarakat (PKK, LPMD) dan LSM.
3. Jumantik memberikan penyuluhan tentang DBD dan
pencegahannya secara langsung kepada keluarga dari rumah ke
rumah.
4. Motivasi tentang PSN DBD dilakukan antara lain melalui berbagai
lomba misalnya lomba PSN Desa, Lomba sekolah sehat, Lomba
kebersihan tempat umum, penilaian Adipura dsb.

115
D. Pemantauan Dan Evaluasi Penggerakan PSN 3M Plus
1. Pemantauan dilaksanakan dengan melakukan pemeriksaan jentik
berkala (PJB) pada sejumlah sampel rumah, sekolah dan tempat
umum lainnya. Sebagai indikator keberhasilan penggerakan PSN
DBD di tempat pemukiman digunakan angka bebas jentik (ABJ)
≥ 95%.
2. Pemantauan penggerakan PSN DBD dilakukan oleh tim lintas
sektor yang diketuai oleh Kepala Daerah/Wilayah (POKJANAL
DBD) setiap 3 bulan secara berjenjang sbb:
3. Pemantauan oleh POKJANAL DBD tingkat Kecamatan
4. Hasil penggerakan PSN DBD di kelurahan/desa dipantau oleh
tim lintas sektor kecamatan (Pokjanal DBD tingkat Kecamatan)
yang dibentuk dan diketuai oleh Camat dengan sekretaris Kepala
Puskesmas. Anggota tim terdiri dari Kasi Kesra, kantor Depag
Kecamatan, UPTD terkait antara lain Dikbud, Dinsos, PKK, LKMD,
dll.
5. Indikator yang dipantau adalah ABJ di tiap-tiap kelurahan dan
ada tidaknya jentik Aedes di sekolah dan TTU lainnya. Indikator
tersebut disampaikan dalam pertemuan Pokjanal DBD tingkat
Kecamatan setiap 3 bulan dan dibahas rencana tindak lanjutnya.
6. Pemantauan oleh POKJANAL DBD tingkat Kab/Kota
7. Hasil penggerakan PSN DBD di wilayah kecamatan dipantau oleh
tim lintas sektor tingkat Kab/Kota (Pokjanal DBD tingkat Kab/
Kota) yang dibentuk dan diketuai oleh Bupati/Walikota dengan
sekretaris Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota. Anggota tim terdiri
dari Kabag Kesra, Kandepag Kab/Kota, SKPD terkait antara lain
Dikbud, Dinsos, PKK, LKMD, dll.
8. Pemantauan oleh POKJANAL DBD tingkat Provinsi
9. Hasil penggerakan PSN DBD di wilayah Kab/Kota dipantau oleh
tim lintas sektor tingkat Provinsi (Pokjanal DBD tingkat Provinsi)
yang dibentuk dan diketuai oleh Gubernur dengan sekretaris
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi. Anggota tim terdiri dari Kabag

116
Kesra, Kanwil Depag Provinsi, SKPD terkait antara lain Dikbud,
Dinsos, PKK, LKMD, dll.
10. Pemantauan Pokjanal DBD tingkat Pusat
11. Hasil penggerakan PSN DBD di Provinsi dipantau oleh tim lintas
sektor tingkat Pusat (Pokjanal DBD tingkat Pusat) yang dibentuk
dan diketuai oleh Direktur PPBB dengan sekretaris Kasubdit
Arbovirosis. Anggota tim terdiri dari Kesra, Depag, Dikbud,
Dinsos, PKK, LKMD, dll.
12. Indikator yang dipantau adalah:
13. ABJ Kecamatan yaitu rata-rata ABJ Desa/Kel di wilayah Kecamatan
yang bersangkutan
14. ABJ Sekolah (persentase sekolah yang tidak terdapat jentik Aedes
di wilayah Kab/Kota). ABJ Sekolah ini diperoleh dari rekapitulasi
hasil PJB di sekolah-sekolah yang dilaporkan oleh Puskesmas.
15. ABJ TTU lainnya (Persentase TTU lainnya yang terdapat jentik
Aedes dari sejumlah sampel TTU di wilayah Kab/Kota). ABJ TTU
ini diperoleh dari survei jentik yang dilakukan oleh Dinkes Kab/
Kota selama periode 3 bulan terakhir. Ada tidaknya jentik Aedes
diuraikan menurut jenis TTU, misalnya TTU tempat ibadah, pasar,
terminal, dll, dengan Indikator TTU adalah bebas jentik Aedes.
16. Hasil PJB disampaikan dalam pertemuan Pokjanal DBD tingkat
Kabupaten/Kota setiap 3 bulan dan dibahas rencana tindak
lanjutnya, serta melaporkan hasilnya kepada Pokjanal tingkat
provinsi.
17. Pokjanal tingkat provinsi melakukan pertemuan 3 bulan sekali
membahas hasil Pokjanak Kabupaten/Kota, serta melaporkan
hasilnya kepada Pokjanal tingkat pusat.
18. Pokjanal tingkat pusat melakukan pertemuan 3 bulan sekali
membahas hasil Pokjanal Provinsi

117
BAB 8
MONITORING DAN EVALUASI

Monitoring dan evaluasi merupakan kegiatan penting dalam upaya


pencegahan dan pengendalian demam berdarah. Melalui kegiatan monitoring
dan evaluasi dapat dilakukan penilaian terhadap efektifitas dari kegiatan yang
sedang dilaksanakan.
Tujuan dari evaluasi program :
• Menilai kemajuan dan pencapaian program.
• Mengetahui permasalahan dan penyelesaiannya.
• Menilai efektifitas dan efisiensi program
• Untuk mendapatkan arahan alokasi sumber daya
• Mendapatkan informasi untuk menetukan arah kebijakan dan
perencanaan.
I. MONITORING
Monitoring adalah kegiatan pengumpulan informasi selama pelaksanaan
program, sehingga dapat dilakukan penilaian dan identifikasi masalah
secepatnya dan kemudian dilakukan upaya penyelesaian. Melalui kegiatan
monitoring akan tersedia data yang diperlukan untuk pengambilan arah
kebijakan pengendalian demam berdarah. Secara garis besar, monitoring
mencakup hal-hal seperti kegiatan yang sedang dilaksanakan, sumber
daya manusia, pemanfaatan pelayanan, logistic dan peralatan, dan
pembiayaan.
Penting juga diperhatikan strategy pelaksanaan pengendalian demam
berdarah dan kualitas pelaksanaannya juga menggali penyebab
keberhasilan dan kegagalan. Monitoring harus dilakukan di semua
tingkatan, sehingga didapatkan gambaran yang utuh tentang kemajuan,
kekuatan dan kelemahan program.
II. EVALUASI
Disamping melakukan monitoring, juga penting untuk melakukan
evaluasi dengan interval waktu tertentu sehingga didapatkan gambaran
yang lebih tepat tentang kemajuan pelaksanaan program. Evaluasi
ini juga akan sangat berguna ketika program gagal mencapai target

118
atau tujuan, atau ketika program tidak mengalami kemajuan. Evaluasi
dilakukan secara sistematis dan mencakup semua unsur dalam program.
Evaluasi bertujuan untuk menentukan apakah program sudah berjalan
sebagaimana mestinya, juga untuk mengidentifikasi adanya kebutuhan-
kebutuhan seperti SDM, biaya, logistik, peralatan, bahan KIE dan lain
sebagainya. Evaluasi harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
• Evaluasi kebutuhan
• Evaluasi perencanaan
• Evaluasi pelaksanaan
• Evaluasi hasil
• Evaluasi dampak
Dalam merencana suatu evaluasi maka harus mencakup hal-hal sebagai
berikut:
• Tujuan evaluasi yang jelas, yang disetujui oleh semua pihak yang
berkepentingan
• Identifikasi dari sumber daya yang tersedia.
• Jenis evaluasi yang akan dilakukan
• Penetapan indikator: indikator yang baik berhubungan dengan
kegiatan program dan hasil.
• Rencana evaluasi yang terperinci termasuk tujuan, metodologi,
prosedur pengambilan sampel, sumber data dan metode analisa
data, pembiayaan dan adminitrasi. Juga harus dirinci tentang tugas
dan tanggung jawab masing-masing petugas, mekanisme pelaporan
dan strategi untuk memastikan bahwa hasil evaluasi akan dilakukan
untuk melakukan perbaikan.
• Pengumpulan data
• Interpretasi dan analisa data
• Perencanaan kembali
Aspek program yang dapat dievaluasi:

Input Proses Output Outcome Dampak

• Bangunan • Pelatihan • Pelayanan • Perubahan • Perubahan


• SDM • Perencanaan • Ketersediaan pengetahuan kondisi/
• Keuangan • Manajemen alat/logistik • Perubahan derajat
• Peralatan • Supervisi • SDM terlatih perilaku kesehatan
• logistik • Partisipasi
masyarakat

119
Lampiran 1
(Formulir PE)

FORMULIR PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGIS (PE)

Nama penderita : ………………………………………………………………….…........…...


Nama KK : …………………………………………………………………..…..........…
Alamat : …….………………………………………………………….……..........…
….……………………………...RT:.………….. RW : ……..……............
Kelurahan/Desa : ...............................................................................................
Kecamatan : ...........................................................................................................

No. Hasil Pemeriksaan


Demam Petekie/ Uji Tanda RDT RDT Jentik
Nama Nama
*) tanda Tournikuet renjatan/ IgM/IgG NS1 (+/-)
KK Penderita
perdarahan syok
lain

*) Termasuk yang menderita panas ±1 minggu yang lalu

Hasil PE : .............. (Positif ** / Negatif)

Kesimpulan: Ya Tidak

- Perlu pengasapan (fogging)


- Larvasidasi
- PSN 3Mplus
- Penyuluhan

**) Positif : Jika ada • 1 penderita infeksi dengue lainnya dan/atau


ada • 3 suspek infeksi dengue, dan ada jentik

Tanggal ................................. 20 .....

Petugas pelaksana PE

(.....................................................)

120
Lampiran 2 (Form Pemberitahuan Hasil PE DBD)

PUSKESMAS ……………………….
DINAS KESEHATAN KEBAPATEN/KOTA*) …………………………..

…………………., ……………..Tahun…..
Nomor : ………………….
Hal: Hasil Penyelidikan Epidemiologis DBD
Lampiran : Formulir PE

Kepada
Yth : Kepala Dinas Kesehatan ...............................
di-
Tempat

Dengan hormat,

Bersama ini kami beritahukan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan kami di lokasi
penderita dan bangunan di sekitar tempat tinggal penderita DBD:
Nama Penderita: ………………………………………………………………….
Umur : …………………………………………………………………….
Nama KK : …………………………………………………………………….
Alamat : …………………………………………………………………….
RT : …………. RW : …………. Kel/Desa : ……….......……….

dapat disimpulkan bahwa terdapat/tidak terdapat*) tanda-tanda penularan demam


berdarah di wilayah tersebut.
Oleh karena itu di wilayah RT/RW ………… Kel/Desa ………………. perlu dilakukan:

Penyuluhan kepada masyarakat.


„ Penggerakan masyarakat untuk melakukan pemberantasan sarang nyamuk
(PSN 3MPlus)
Larvasidasi
Pengasapan(fogging), rencananya akan kami lakukan pada tgl
……………………..........................…

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, mohon agar Bapak/Ibu dapat berperan serta dan
membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut.

Atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terimakasih.

Keterangan : KEPALA PUSKESMAS ……………


*)
Coret yang tidak perlu

Beritanda (V) untuk kegiatan (.....................................................)


yang akan dilakukan NIP.

Tembusan Kepada Yth.


Camat ........................
Lurah/Kades................
Ketua RT/RW .............

121
Lampiran 3 (Form Kegiatan Penanggulangan Fokus DBD)

PUSKESMAS …………………….
DINAS KESEHATAN KABUPATEN /KOTA*) ………………………

………………, …………….. Tahun……


Nomor :
Hal : Kegiatan Penanggulangan Fokus DBD
Lampiran :

Kepada
Yth. Lurah/Kades........
di-
Tempat

Dengan hormat,

Bersama ini kami sampaikan rencana kegiatan penanggulangan fokus DBD


di wilayah RT/RW ....……… Kel/desa ……………. Yang akan dilaksanakan pada:

Penyuluhan tgl ……………………………


Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN 3MPlus) tgl ………………… ………..
Larvasidasi tgl ………………… ………..
P Pengasapan (fogging) dilaksanakan tgl ……………… …………..

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, mohon agar Bapak/Ibu dapat berperan serta dan
membantu kelancaran pelaksanaan kegiatan tersebut

Demikian, atas perhatian dan kerjasamanya kami ucapkan terima kasih.

KEPALA PUSKESMAS ………………..

(………….................………………….)
NIP.
Tembusan Kepada Yth.
Kadinkes Kab/Kota........
Camat ……………………
Ketua RT/RW.................

Beri tanda V pada kotak untuk kegiatan yang dilaksanakan

122
Lampiran 4.a (Form K-DBD/ Laporan Kasus DBD Per Bulan Tingkat Provinsi)

DATA KASUS DBD PER BULAN PER KABUPATEN/KOTA


PROVINSI :
TAHUN :

IR Jumlahkasus
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nov Des Total (Kasus per CFR yangdi Jumlah
No. Kab/Kota 100.000 (%) konfirmasidgn kasus
pddk) RDT di PE
IgG/IgM NS1
P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
JUMLAH   
  

Mengetahui
Kepala...... PengelolaProgram

Lampiran 4.b (Form laporan bulanan Kasus DBD berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur)

DATAKASUSDBDPERGOLONGANUMUR
PROVINSI:
TAHUN:
Bulan:
Golongan Umur Jumlah
total
kasus
< 1 th 1 - 4 th 5 - 14 th 15 - 44 th > 44 th
No Kab/Kota
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
P M
P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M

JUMLAH

Mengetahui
Kepala...... PengelolaProgram

123
Lampiran 5.a (Form K-DBD/ Laporan Kasus DBD Per Bulan Tingkat Kab/Kota)

DATA KASUS DBD PER BULAN PER KECAMATAN


KABUPATEN/ KOTA :
TAHUN :

IR Jumlahkasus
Jan Feb. Maret April Mei Juni Juli Agt Sept Okt Nov Des Total (Kasus per CFR yangdi Jumlah
No. Kecamatan 100.000 (%) konfirmasidgn kasus
pddk) RDT di PE
IgG/IgM NS1
P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
  
JUMLAH  
  
Mengetahui
Kepala......
 PengelolaProgram

Lampiran 5.b(Form laporan bulanan Kasus DBD berdasarkan Jenis Kelamin dan Umur)

DATAKASUSDBDPERGOLONGANUMUR
KABUPATEN/KOTA:
TAHUN:
Bulan:
Golongan Umur Jumlah
total
kasus
< 1 th 1 - 4 th 5 - 14 th 15 - 44 th > 44 th
No PUSKESMAS
Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr Lk Pr
P M
P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M P M

JUMLAH

Mengetahui
Kepala...... PengelolaProgram

124
Lampiran 6 (Form P- DBD/ Laporan Penanggulangan DBD Tingkat Provinsi)

LAPORAN KEGIATAN PENANGGULANGAN DBD


PROVINSI:
BULAN : TAHUN :

No Kegiatan
Jumlahkasusdi JumlahKasus JumlahKasus ABJ
Kabupaten/Kota
PE diFogging DiLarvasidasi 
Fokus
   
     
     
     
   
     
     
   
     
     
     
   
     
     
     
   
     
     
     
   
     
    
   
 Jumlah    


Mengetahui
Kepala................. PengelolaProgram

125


Lampiran 7 (Form P- DBD/ Laporan Penanggulangan DBD Tingkat Kab/Kota)

LAPORAN KEGIATAN PENANGGULANGAN DBD


KAB/KOTA:
BULAN : TAHUN :

No Kegiatan
Jumlahkasusdi JumlahKasus JumlahKasus ABJ
Kecamatan
PE diFogging DiLarvasidasi 
Fokus
     
   
     
     
     
   
     
     
   
   
     
     
   
     
     
     
   
     
     
     
   
    
     
 Jumlah  


Mengetahui
Kepala................. PengelolaProgram

126
127
KEPUSTAKAAN

1. Departemen Kesehatan, 2006. Tatalaksana Demam Berdarah Dengue di


Indonesia
2. Departemen Kesehatan, 2005. Pencegahan dan Pemberantasan Demam
Berdarah Dengue di Indonesia
3. Departemen Kesehatan, 2003. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue
4. WHO SEARO, 1999. Guidelines for Treatment of Dengue Fever/ Dengue
Haemorrhagic Fever in Small Hospitals.
5. WHO, 1997. Dengue Haemorrhagic Fever, Diagnosis, Treatment, Prevention
And Control, second edition. World Health Organization,Geneva 1997.
6. Buku Ajar Infeksi Tropik FKUI, 2009
7. Kementerian Kesehatan, 2011. Modul Pencegahan dan Pemberantasan
Demam Berdarah Dengue di Indonesia.
8. WHO SEARO, 2011, Comprehensive Guideline for Prevention and Control
of Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever.
9. Kemenkes, 2013. Pedoman Pengendalian Demam Berdarah Dengue di
Indonesia
10. IDAI, 2014. Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana Infeksi Dengue pada
Anak; UKK Infeksi dan Penyakit Tropis, IDAI

128
Buku Saku
Petugas Kesehatan

Departemen Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
2011
Publikasi ini dibuat oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia dengan dukungan
C-Change (Communication for Change), sebuah proyek yang dikelola oleh Academy
for Educational Development (AED) dan didanai oleh U.S. Agency for International
Development (USAID).
 
Pendapat yang tertuang dalam publikasi ini tidak merefleksikan pendapat USAID atau
pemerintah Amerika Serikat.
Penerbit
Departemen Kesehatan RI

edisi 2011
I
Daftar Isi

1. Halaman pembuka ........................................ I

2. Daftar isi ........................................................ II

3. Kata Pengantar .............................................. III

4. Keterangan logo ............................................ IV

5. Diare .............................................................. 1

6. Rencana Terapi Penderita Diare .................... 6

7. Lintas Diare .................................................... 13


I. Berikan Oralit ........................................................ 14

II. Berikan tablet Zinc selama 10 hari berturut-turut . 18

III. Teruskan ASI - Makan ........................................... 26

IV. Berikan Antibiotik secara selektif .......................... 28

V. Berikan nasihat pada ibu/keluarga ........................ 30

8. Rangkuman ................................................... 33

II
KATA PENGANTAR
Penyakit Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
di Indonesia, karena angka kesakitan dan kematian yang masih
tinggi. Untuk mengatasi hal tersebut Departemen Kesehatan
telah menerbitkan buku Pedoman Pengendalian Penyakit Diare
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
dengan nomor 1216/MENKES/SK/XI/2001.

Untuk mempermudah Petugas Kesehatan lini terdepan dalam


menjalankan tugasnya maka dipandang perlu melengkapi
pengetahuan petugas tentang Lintas Diare secara praktis dalam
bentuk buku saku.

Buku saku ini disusun melalui pembahasan dengan para pakar


dari fakultas kedokteran bagian ilmu kesehatan anak di Indonesia
beserta penentu kebijakan dari berbagai lintas program terkait.

Terima kasih kami sampaikan kepada para kontributor dan


semua pihak yang telah membantu tersusunnya buku saku ini.

Buku saku ini sewaktu-waktu perlu ditinjau kembali untuk


disempurnakan sesuai dengan perubahan dan perkembangan
ilmu pengetahuan serta teknologi.

Direktur Jenderal PP & PL,

Prof. Dr. Tjandra Yoga Aditama, SpP(K), MARS, DTMH & DTCE
NIP. 19550903 198012 1 001

III
Penjelasan tentang Logo

• Warna biru dan butiran air menggambarkan


cairan dan tindakan rehidrasi yang harus dilakukan
pada penderita diare
• Warna ungu mewakili warna simbol sub direktorat
diare
• Gambar dua anak mewakili kelompok yang
menjadi sasaran prioritas. Posisi mereka di
tengah menandakan bahwa anak-anak akan
menjadi sehat dengan menerima lima langkah
untuk menuntaskan diare (LINTAS DIARE).

IV
DIARE

1
1. Apa yang dimaksud dengan diare?
Diare adalah suatu kondisi dimana seseorang
buang air besar dengan konsistensi lembek atau
cair, bahkan dapat berupa air saja dan frekuensinya
lebih sering (biasanya tiga kali atau lebih) dalam
satu hari.

2. Apa penyebab diare?


Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan
dalam 6 golongan besar yaitu infeksi (disebabkan
oleh bakteri, virus atau infestasi parasit),
malabsorpsi, alergi, keracunan, imunodefisiensi
dan sebab-sebab lainnya. Penyebab yang
sering ditemukan di lapangan ataupun secara
klinis adalah diare yang disebabkan infeksi dan
keracunan.

3. Apa saja jenis-jenis Diare ?


Jenis diare ada dua, yaitu Diare akut, Diare
persisten atau Diare kronik. Diare akut adalah
diare yang berlangsung kurang dari 14 hari,
sementara Diare persisten atau diare kronis
adalah diare yang berlangsung lebih dari 14
hari.

4. Apa saja derajat dehidrasi dalam Diare ?


Ada tiga derajat dehidrasi, yaitu:
a) Diare tanpa dehidrasi

2
b) Diare dengan dehidrasi ringan/ sedang
c) Diare dengan Dehidrasi berat.

5. Bagaimana cara menilai anak diare?


Tanya, lihat tanda-tanda dehidrasi pada anak

Tanya:
- Berapa lama anak sudah mengalami diare?
- Berapa kali anak buang air besar dalam satu hari?
- Apakah tinjanya ada darah?
- Apakah dia muntah?
- Apakah ada penyakit lainnya?

Lihat:
- Bagaimana keadaaan umum anak?
- Sadar atau tidak sadar?
- Lemas atau terlihat sangat mengantuk?
- Apakah anak gelisah?
- Berikan minum, apakah dia mau minum?
Jika iya, apakah ketika minum ia tampak sangat
haus atau malas minum?
- Apakah matanya cekung atau tidak cekung?
- Lakukan cubitan kulit perut (turgor).
Apakah kulitnya kembali segera, lambat, atau
sangat lambat (lebih dari 2 detik) ?

3
Klasiffikasikan tanda-tanda tersebut sesuai
dengan tabel derajat dehidrasi di bawah.

Diare
Gejala/ Diare
Diare tanpa dehidrasi
derajat dehidrasi
dehidrasi Ringan/
dehidrasi Berat
Sedang

Bila terdapat Bila terdapat Bila terdapat


dua tanda dua tanda dua tanda
atau lebih atau lebih atau lebih

Keadaan Lesu, lunglai /


Baik, sadar Gelisah, rewel
umum tidak sadar

Mata Tidak cekung Cekung Cekung

Keinginan Ingin minum


Normal, tidak
untuk terus, Malas minum
ada rasa haus
minum ada rasa haus

Kembali Kembali Kembali


Turgor
segera lambat sangat lambat

6. Bagaimana rencana terapi untuk masing-


masing penderita Diare? (lihat bagan).
1. Diare tanpa dehidrasi:
Rencana Terapi A;
2. Diare dengan dehidrasi ringan/ sedang:
Rencana Terapi B;
3. Diare dengan dehidrasi berat:
Rencana Terapi C.

4
7. Bagaimana cara mencegah dehidrasi sebelum
anak dibawa ke sarana kesehatan?
Berikan oralit, bila tidak tersedia berikan cairan
rumah tangga misalnya air tajin, kuah sayur,
sari buah, air teh, air matang dll.

8. Bagaimana cara melakukan pencegahan


Diare yang benar dan efektif?
1. Memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan dan
diteruskan sampai 2 tahun
2. Memberikan makanan pendamping ASI sesuai
umur
3. Memberikan minum air yang sudah direbus dan
menggunakan air bersih yang cukup
4. Mencuci tangan dengan air dan sabun sebelum
makan dan sesudah buang air besar
5. Buang air besar di jamban
6. Membuang tinja bayi dengan benar
7. Memberikan imunisasi campak

5
RENCANA TERAPI A

6
Diare tanpa dehidrasi
Bila terdapat dua tanda atau lebih
Keadaan Umum baik, sadar
Mata tidak cekung
A
minum biasa, tidak haus
Cubitan kulit perut / turgor kembali segera
RENCANA TERAPI A
UNTUK TERAPI DIARE TANPA DEHIDRASI
MENERANGKAN 5 LANGKAH TERAPI DIARE DI RUMAH
1. BERI CAIRAN LEBIH BANYAK DARI BIASANYA
• Teruskan ASI lebih sering dan lebih lama
• Anak yang mendapat ASI eksklusif, beri oralit atau air matang sebagai tambahan
• Anak yang tidak mendapat ASI eksklusif, beri susu yang biasa diminum dan oralit atau
cairan rumah tangga sebagai tambahan (kuah sayur, air tajin, air matang, dsb)
• Beri Oralit sampai diare berhenti. Bila muntah, tunggu 10 menit dan dilanjutkan sedikit
demi sedikit.
- Umur < 1 tahun diberi 50-100 ml setiap kali berak
- Umur > 1 tahun diberi 100-200 ml setiap kali berak.
• Anak harus diberi 6 bungkus oralit (200 ml) di rumah bila:
- Telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C.
- Tidak dapat kembali kepada petugas kesehatan jika diare memburuk.
• Ajari ibu cara mencampur dan memberikan oralit.
2. BERI OBAT ZINC
Beri Zinc 10 hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. Dapat diberikan dengan cara
dikunyah atau dilarutkan dalam 1 sendok air matang atau ASI.
- Umur < 6 bulan diberi 10 mg (1/2 tablet) per hari
- Umur > 6 bulan diberi 20 mg (1 tablet) per hari.
3. BERI ANAK MAKANAN UNTUK MENCEGAH KURANG GIZI
• Beri makan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada waktu anak sehat
• Tambahkan 1-2 sendok teh minyak sayur setiap porsi makan
• Beri makanan kaya Kalium seperti sari buah segar, pisang, air kelapa hijau.
• Beri makan lebih sering dari biasanya dengan porsi lebih kecil (setiap 3-4 jam)
• Setelah diare berhenti, beri makanan yang sama dan makanan tambahan selama 2 minggu
4. ANTIBIOTIK HANYA DIBERIKAN SESUAI INDIKASI. MISAL: DISENTERI, KOLERA dll
5. NASIHATI IBU/ PENGASUH
Untuk membawa anak kembali ke petugas kesehatan bila :
• Berak cair lebih sering
• Muntah berulang
• Sangat haus
• Makan dan minum sangat sedikit
• Timbul demam
• Berak berdarah
• Tidak membaik dalam 3 hari

7
RENCANA TERAPI B

8
Diare dehidrasi Ringan/ Sedang
Bila terdapat dua tanda atau lebih
Gelisah, rewel
Mata cekung
B
Ingin minum terus, ada rasa haus
Cubitan kulit perut / turgor kembali lambat
RENCANA TERAPI B
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI RINGAN/SEDANG
JUMLAH ORALIT YANG DIBERIKAN DALAM 3 JAM PERTAMA DI SARANA KESEHATAN
ORALIT yang diberikan =
75 ml x BERAT BADAN anak
• Bila BB tidak diketahui berikan oralit sesuai tabel di bawah ini:
UmurSampai 4 bulan 4 -12 bulan 12-24 bulan 2-5 tahun
Berat Badan < 6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg
Jumlah cairan 200-400 400-700 700-900 900-1400
• Bila anak menginginkan lebih banyak oralit, berikanlah.
• Bujuk ibu untuk meneruskan ASI.
• Untuk bayi < 6 bulan yang tidak mendapat ASI berikan juga 100-200 ml air masak selama masa ini.
• Untuk anak > 6 bulan, tunda pemberian makan selama 3 jam kecuali ASI dan oralit
• Beri obat Zinc selama 10 hari berturut-turut
AMATI ANAK DENGAN SEKSAMA DAN BANTU IBU MEMBERIKAN ORALIT:
• Tunjukkan jumlah cairan yang harus diberikan.
• Berikan sedikit demi sedikit tapi sering dari gelas.
• Periksa dari waktu ke waktu bila ada masalah.
• Bila kelopak mata anak bengkak, hentikan pemberian oralit dan berikan air masak atau ASI.
Beri oralit sesuai Rencana Terapi A bila pembengkakan telah hilang.

SETELAH 3-4 JAM, NILAI KEMBALI ANAK MENGGUNAKAN BAGAN PENILAIAN, KEMUDIAN
PILIH RENCANA TERAPI A, B ATAU C UNTUK MELANJUTKAN TERAPI
• Bila tidak ada dehidrasi, ganti ke Rencana Terapi A. Bila dehidrasi telah hilang, anak biasanya
kencing kemudian mengantuk dan tidur.
• Bila tanda menunjukkan dehidrasi ringan/ sedang, ulangi Rencana Terapi B
• Anak mulai diberi makanan, susu dan sari buah.
• Bila tanda menunjukkan dehidrasi berat, ganti dengan Rencana Terapi C

BILA IBU HARUS PULANG SEBELUM SELESAI RENCANA TERAPI B


• Tunjukkan jumlah oralit yang harus dihabiskan dalam Terapi 3 jam di rumah.
• Berikan oralit 6 bungkus untuk persediaan di rumah
• Jelaskan 5 langkah Rencana Terapi A untuk mengobati anak di rumah

9
RENCANA TERAPI C

10
Diare dehidrasi Berat
Bila terdapat dua tanda atau lebih
Lesu, lunglai / tidak sadar
Mata cekung
C
Malas minum
Cubitan kulit perut / turgor kembali sangat lambat
RENCANA TERAPI C
UNTUK TERAPI DIARE DEHIDRASI BERAT DI SARANA KESEHATAN

IKUTI TANDA PANAH.


Jika jawaban • Beri cairan Intravena segera.
“YA”, lanjutkan ke KANAN. Ringer Laktat atau NaCl 0,9% (bila RL tidak tersedia) 100 ml/kg BB,
Jika dibagi sebagai berikut:
“TIDAK”, lanjutkan ke BAWAH. UMUR Pemberian I Kemudian
30ml/kg BB 70ml/kg BB
Dapatkah Saudara Bayi < 1 tahun 1 jam* 5 jam
YA
memberikan cairan Intravena?
Anak ≥1 tahun 30 menit* 2 1/2 jam
* Diulangi lagi bila denyut nadi masih lemah atau tidak teraba

• Nilai kembali tiap 15-30 menit. Bila nadi belum teraba,


TIDAK
beri tetesan lebih cepat.
• Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) bila penderita bisa minum;
biasanya setelah 3-4 jam (bayi) atau1-2 jam (anak).
• Berikan obat Zinc selama 10 hari berturut-turut
• Setelah 6 jam (bayi) atau 3 jam (anak) nilai lagi derajat dehidrasi.
Kemudian pilihlah rencana terapi yang sesuai (A, B atau C ) untuk
melanjutkan terapi.
• Rujuk penderita untuk terapi Intravena.
Adakah Terapi terdekat
YA • Bila penderita bisa minum, sediakan oralit dan tunjukkan cara
(dalam 30 menit)?
memberikannya selama di perjalanan.
TIDAK • Mulai rehidrasi dengan oralit melalui Nasogastrik/ Orogastrik. Berikan
sedikit demi sedikit, 20 ml/kg BB/jam selama 6 jam
Apakah Saudara dapat • Nilai setiap 1-2 jam:
menggunakan pipa nasogastrik YA - Bila muntah atau perut kembung berikan cairan lebih lambat.
/orogastrik untuk rehidrasi? - Bila rehidrasi tidak tercapai setelah 3 jam rujuk untuk terapi Intravena.
• Setelah 6 jam nilai kembali dan pilih rencana terapi yang sesuai (A,
B atau C )
TIDAK
• Mulai rehidrasi dengan oralit melalui mulut.
Berikan sedikit demi sedikit, 20 ml/kg BB/jam selama 6 jam
• Nilai setiap 1-2 jam:
Apakah penderita bisa minum? YA
- Bila muntah atau perut kembung berikan cairan lebih lambat.
- Bila rehidrasi tidak tercapai setelah 3 jam, rujuk untuk terapi Intravena.
• Setelah 6 jam nilai kembali dan pilih rencana terapi yang sesuai.
TIDAK

Catatan :
• Bila mungkin amati penderita sedikitnya 6 jam setelah rehidrasi untuk
Segera rujuk anak untuk memastikan bahwa ibu dapat menjaga mengembalikan cairan yang
rehidrasi melalui
Nasogastrik/Orogastrik atau
hilang dengan memberi oralit.
Intravena. • Bila umur anak di atas 2 tahun dan kolera baru saja berjangkit di
daerah Saudara, pikirkan kemungkinan kolera dan beri antibiotika yang
tepat secara oral begitu anak sadar.

11
Cara Pemberian Obat Zinc
• Pastikan semua anak yang menderita Diare
mendapat obat Zinc selama 10 hari berturut-turut

• Dosis obat Zinc (1 tablet = 20 mg)


- Umur < 6 bulan : 1/2 tablet /hari
- Umur ≥ 6 bulan : 1 tablet /hari

• Larutkan tablet dalam satu sendok air matang atau


ASI (tablet mudah larut ± 30 detik), segera berikan
kepada anak.

• Bila anak muntah sekitar setengah jam setelah


pemberian obat Zinc, ulangi pemberian dengan cara
memberikan potongan lebih kecil dilarutkan
beberapa kali hingga satu dosis penuh.

• Bila anak menderita dehidrasi berat dan memerlukan


cairan infus, tetap berikan obat Zinc segera setelah
anak bisa minum atau makan.

12
Lintas Diare
Tanya jawab seputar Lima Langkah Tuntaskan diare
(LINTAS DIARE)

Lima Langkah Tuntaskan Diare (LINTAS DIARE):


1. Berikan oralit
2. Berikan tablet Zinc selama 10 hari berturut-
turut
3. Teruskan ASI-makan
4. Berikan antibiotik secara selektif
5. Berikan nasihat pada ibu/keluarga

13
1. Berikan oralit + O R A L I T

1. Apa itu oralit?


Oralit merupakan campuran garam elektrolit,
seperti natrium klorida (NaCl), kalium klorida
(KCl), dan trisodium sitrat hidrat, serta glukosa
anhidrat.

2. Apa manfaat oralit?


Oralit diberikan untuk mengganti cairan dan
elektrolit dalam tubuh yang terbuang saat
diare. Walaupun air sangat penting untuk
mencegah dehidrasi, air minum tidak mengandung
garam elektrolit yang diperlukan untuk
mempertahankan keseimbangan elektrolit dalam
tubuh sehingga lebih diutamakan oralit.
Campuran glukosa dan garam yang terkandung
dalam oralit dapat diserap dengan baik oleh
usus penderita diare.

3. Kapan oralit perlu diberikan?


Segera bila anak diare, sampai diare berhenti.

4. Bagaimana cara pemberian oralit?


Satu bungkus oralit dimasukkan ke dalam satu
gelas air matang (200 cc).
- Anak kurang dari 1 tahun diberi 50-100 cc
cairan oralit setiap kali buang air besar.

14
- Anak lebih dari 1 tahun diberi 100-200 cc
cairan oralit setiap kali buang air besar.

5. Dimana oralit bisa diperoleh?


Di apotek-apotek, toko obat, posyandu,
polindes, puskesmas pembantu, puskesmas,
rumah sakit atau ditempat-tempat pelayanan
kesehatan lainnya.

6. Mengapa diperlukan oralit formula baru?


Karena oralit formula lama biasanya menyebabkan
mual dan muntah, sehingga ibu enggan
memberikan kepada anaknya.

7. Apa perbedaan antara oralit lama dan oralit


baru?

Oralit lama Oralit formula baru


No
(WHO/UNICEF 1978) (WHO/UNICEF 2004)

1 NaCl : 3.5 g NaCl : 2.6 g


2 NaHCO3: 2.5 g Na Citrate: 2.9 g
3 KCl : 1.5 g KCl : 1.5 g
4 Glucose : 20 g Glucose : 13.5 g
Osmolar. 331 mmol/l Osmolar. 245 mmol/l

15
Oralit lama Oralit formula baru
No
(WHO/UNICEF 1978) (WHO/UNICEF 2004)

Dengan Osmolaritas
1 Na+ : 90 mEq/l Na+ : 75 mEq/l
2 K+ : 20 mEq/l K+ : 20 mEq/l
3 HCO3 : 30 mEq/l Citrate : 10 mmol/l
4 Cl- : 80 mEq/l Cl- : 65 mEq/l
5 Glucose : 111 mmol/l Glucose : 75 mmol/l
Osmolar. 331 mmol/l Osmolar. 245 mmol/l

Bedanya terdapat pada tingkat osmolaritas.


Osmolaritas oralit baru lebih rendah yaitu 245
mmol/l dibanding total osmolaritas oralit lama
yaitu 331 mmol/l.

8. Apa keunggulan Oralit formula baru?


Penelitan menunjukkan bahwa oralit formula baru
mampu:
a. Mengurangi volume tinja hingga 25%
b. Mengurangi mual-muntah hingga 30%
c. Mengurangi secara bermakna pemberian
cairan melalui intravena
Anak yang tidak menjalani terapi intravena,
tidak harus dirawat di rumah sakit. Ini artinya
risiko anak terkena infeksi di rumah sakit

16
berkurang, pemberian ASI tidak terganggu, dan
orangtua akan menghemat biaya.

9. Apa yang perlu dilakukan bila masih ada stok


oralit lama?
Oralit lama tetap bisa digunakan sampai stok
habis. Namun jika sudah tersedia oralit baru,
pertimbangkanlah untuk segera menggunakan
oralit baru. WHO dan UNICEF merekomendasikan
negara-negara di dunia untuk menggunakan dan
memproduksi oralit dengan osmolaritas rendah
(oralit baru).

17
II. Berikan Zinc selama 10 hari Z i n c

Z
berturut-turut Z I N C

Zinc merupakan salah satu zat gizi mikro yang


penting untuk kesehatan dan pertumbuhan anak.
Zinc yang ada dalam tubuh akan menurun dalam
jumlah besar ketika anak mengalami diare. Untuk
menggantikan zinc yang hilang selama diare,
anak dapat diberikan zinc yang akan membantu
penyembuhan diare serta menjaga agar anak tetap
sehat.

Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF


menandatangani kebijakan bersama dalam hal
pengobatan diare yaitu pemberian oralit dan
Zinc selama 10-14 hari. Hal ini didasarkan pada
penelitian selama 20 tahun (1980-2003) yang
menunjukkan bahwa pengobatan diare dengan
pemberian oralit disertai zinc lebih efektif dan
terbukti menurunkan angka kematian akibat diare
pada anak-anak sampai 40%.

1. Apa manfaat pengobatan zinc pada anak yang


terkena diare?
Pada saat diare, anak akan kehilangan zinc
dalam tubuhnya. Pemberian Zinc mampu
menggantikan kandungan Zinc alami tubuh
yang hilang tersebut dan mempercepat
18
penyembuhan diare. Zinc juga meningkatkan
sistim kekebalan tubuh sehingga dapat
mencegah risiko terulangnya diare selama 2-3
bulan setelah anak sembuh dari diare.
Berdasarkan studi WHO selama lebih dari 18
tahun, manfaat zinc sebagai pengobatan diare
adalah mengurangi :1) Prevalensi diare sebesar
34%; (2) Insidens pneumonia sebesar 26%; (3)
Durasi diare akut sebesar 20%; (4) Durasi diare
persisten sebesar 24%, hingga; (5) Kegagalan
terapi atau kematian akibat diare persisten
sebesar 42%.

2. Bagaimana mekanisme kerja Zinc dalam


meningkatkan sistim imun?
Kemampuan zinc untuk mencegah diare terkait
dengan kemampuannya meningkatkan sistim
kekebalan tubuh. Zinc merupakan mineral
penting bagi tubuh. Lebih 300 enzim dalam
tubuh yang bergantung pada zinc. Zinc juga
dibutuhkan oleh berbagai organ tubuh, seperti
kulit dan mukosa saluran cerna. Semua yang
berperan dalam fungsi imun, membutuhkan
zinc. Jika zinc diberikan pada anak yang sistim
kekebalannya belum berkembang baik, dapat
meningkatkan sistim kekebalan dan melindungi
anak dari penyakit infeksi. Itulah sebabnya
mengapa anak yang diberi zinc (diberikan sesuai
dosis) selama 10 hari berturut - turut berisiko
19
lebih kecil untuk terkena penyakit infeksi, diare
dan pneumonia.

3. Kapan dan berapa lama zinc diberikan?


Zinc diberikan satu kali sehari selama 10 hari
berturut-turut. Pemberian zinc harus tetap
dilanjutkan meskipun diare sudah berhenti. Hal
ini dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan
tubuh terhadap kemungkinan berulangnya diare
pada 2 – 3 bulan ke depan.

4. Bagaimana aturan penggunaan obat zinc?


Obat Zinc merupakan tablet dispersible yang larut
dalam waktu sekitar 30 detik.
Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut dengan
dosis sebagai berikut:
a. Balita umur < 6 bulan: 1/2 tablet (10 mg)/ hari
b. Balita umur ≥ 6 bulan: 1 tablet (20 mg)/ hari
Obat Zinc yang tersedia di Puskesmas baru
berupa tablet dispersible. Saat ini perusahaan
farmasi juga telah memproduksi dalam bentuk
sirup dan serbuk dalam sachet.

4. Bagaimana cara pemberian zinc?


Zinc diberikan dengan cara dilarutkan dalam
satu sendok air matang atau ASI. Untuk anak
yang lebih besar, zinc dapat dikunyah.

20
5. Apakah oralit dan zinc aman dikonsumsi
bersamaan?
Zinc aman dikonsumsi bersamaan dengan
oralit. Zinc diberikan satu kali sehari sampai
semua tablet habis (selama 10 hari) sedangkan
oralit diberikan setiap kali anak buang air besar
sampai diare berhenti.

6. Apakah tablet zinc bisa dilarutkan dalam cairan


oralit?
Bisa, namun tidak dianjurkan, karena jika
dilarutkan dalam oralit dikhawatirkan ibu akan
menghentikan pemberian zinc jika diarenya
berhenti.

7. Apakah jumlah oralit bisa dikurangi jika anak


sudah minum zinc?
Zinc memang akan mempercepat
penyembuhan, namun oralit harus tetap
diberikan dalam jumlah cukup karena fungsi
utamanya membantu menggantikan cairan yang
hilang sewaktu diare. Biasanya oralit diberikan
selama 2-3 hari seperti dosis yang dianjurkan,
sedangkan zinc harus diberikan sesuai dosis
yang dianjurkan selama 10 hari berturut-turut
sehingga selain memberikan pengobatan juga
dapat memberikan perlindungan terhadap
kemungkinan berulangnya diare selama 2 – 3
bulan ke depan.
21
8. Di mana zinc bisa diperoleh dan bagaimana
caranya?
Produk Zinc tersedia di apotek, puskesmas,
dan rumah sakit. Zinc dapat diperoleh dengan
resep dokter. Petugas kesehatan seperti bidan
dan perawat dapat memberikan zinc di bawah
pengawasan dokter.

9. Ada berapa macam bentuk Zinc ?


Produk zinc paling banyak tersedia dalam bentuk
tablet dispersible (tablet yang larut dalam air
selama ± 30 detik), dengan komposisi utamanya
zinc sulfat, acetate, atau gluconate yang setara
dengan zinc elemental 20 mg. Zinc juga tersedia
dalam bentuk sirup dan sirup kering untuk lebih
mempermudah pemberian bagi anak di bawah
6 bulan. Rasa produk zinc bermacam - macam
dari rasa vanilla, mix fruit, jeruk, tutti frutti, dan
lainnya untuk menekan rasa metal zinc agar
anak lebih mudah meminumnya.

10. Kenapa zinc harus tetap diberikan selama


10 hari walaupun diare sudah selesai?
Pemberian zinc selama 10 hari terbukti
membantu memperbaiki mucosa usus yang
rusak dan meningkatkan fungsi kekebalan
tubuh secara keseluruhan.

22
Ketika memberikan konseling pada ibu, petugas
kesehatan harus menekankan pentingnya
pemberian dosis penuh selama 10 hari dengan
menyampaikan pada ibu tentang manfaat
jangka pendek dan panjang zinc, termasuk
mengurangi lamanya diare, menurunkan
keparahan diare, membantu anak melawan
episode diare dalam 2-3 bulan selanjutnya
setelah perawatan. Selama itu juga zinc dapat
membantu pertumbuhan anak lebih baik dan
meningkatkan nafsu makan.

11. Apa saja efek samping zinc?


Efek samping zinc sangat jarang dilaporkan.
Kalaupun ada, biasanya hanya muntah. Namun,
pemberian zinc dalam dosis sebanyak 10-20
mg sesuai usia seperti dosis yang dianjurkan
seharusnya tidak akan menyebabkan muntah.
Zinc yang dilarutkan dengan baik akan
menyamarkan rasa metalik dari zinc.

12. Jika anak memuntahkan zinc apakah ia harus


diberikan zinc lagi?
Ya, apabila sekitar setengah jam anak muntah
setelah pemberian tablet zinc, berikan lagi
tablet zinc dengan cara memberikan potongan
lebih kecil dan diberikan beberapa kali sampai
satu dosis penuh.

23
13. Bagaimana jika anak minum lebih dari satu
tablet zinc?
Kelebihan satu atau dua tablet karena tidak
sengaja tidak akan membahayakan anak. Jika
anak mengkonsumsi terlalu banyak tablet, dia
mungkin akan memuntahkannya. Dan dengan
memuntahkannya maka kelebihan zinc dalam
tubuh sudah dinetralisir. Zinc dianjurkan hanya
dikonsumsi satu tablet saja dalam sehari. Maka
anjurkan ibu untuk menyimpan zinc jauh dari
jangkauan anak-anak di rumah untuk mencegah
hal ini. Bila dikonsumsi secara berlebihan, Zinc
dapat menggangu metabolisme tubuh dan
bahkan dapat mengurangi ketahanan tubuh.

14. Apakah zinc boleh diberikan dengan obat lain,


termasuk antibiotik?
Ya, zinc dapat diberikan dengan obat-obatan
lain yang sesuai dengan resep dokter di
klinik atau pekerja kesehatan. Jika digunakan
bersama dengan Fe, disarankan menggunakan
zinc beberapa jam sebelum atau sesudahnya.

15. Apakah anak yang terkena diare perlu juga


diberikan Probiotik ?
Berdasarkan WHO, Probiotik mungkin
bermanfaat untuk AAD (Antibiotic Associated
Diarrhea), tetapi karena kurangnya bukti
ilmiah dari studi yang dilakukan pada
24
kelompok masyarakat, maka WHO belum
merekomendasikan Probiotik sebagai bagian
dari tatalaksana pengobatan Diare. Secara
statistik, Probiotik memberikan efek signifikan
pada AAD sebanyak 0.48% (95% CI 0.35 -
0.65), tetapi tidak memberikan efek signifikan
untuk traveller’s diare yaitu 0.92 (95% CI 0.79 -
1.06) dan juga tidak memberikan efek signifikan
pada community-based diarrhea. Harus
diperhitungkan juga biaya dalam pemberian
pengobatan tambahan Probiotik.

16. Kalau anak diare berdarah, apakah tetap


diberikan zinc?
Ya, zinc tetap diberikan sesuai dosis jika
anak mengalami diare berdarah. Anak ini juga
memerlukan antibiotik.

25
III. Teruskan ASI dan pemberian makan

1. Apakah ASI menyebabkan diare?


Tidak. ASI bukan penyebab diare. ASI justru
dapat mencegah diare. Bayi dibawah 6 bulan
sebaiknya hanya mendapat ASI untuk mencegah
diare dan meningkatkan sistim imunitas tubuh
bayi.

2. Apakah anak tetap diberikan ASI bila diare?


Ya, jika anak masih mendapatkan ASI, maka
teruskan pemberian ASI sebanyak dia mau.
Jika anak mau lebih banyak dari biasanya itu
akan lebih baik. Biarkan dia makan sebanyak
dan selama dia mau.

3. Apakah anak diare diberi makan seperti


biasa?
Ya, anak harus diberi makan seperti biasa
dengan frekuensi lebih sering. Lakukan ini
sampai dua minggu setelah anak berhenti
diare. Jangan batasi makanan anak jika ia mau
lebih banyak, karena lebih banyak makanan
akan membantu mempercepat penyembuhan,
pemulihan dan mencegah malnutrisi.

4. Apakah ibu tetap bisa memberikan susu


formula pada saat anak terkena diare?
Untuk anak yang berusia kurang dari 2 tahun,
26
anjurkan untuk mulai mengurangi susu formula
dan menggantinya dengan ASI. Untuk anak yang
berusia lebih dari 2 tahun, teruskan pemberian
susu formula. Ingatkan ibu untuk memastikan
anaknya mendapat oralit dan air matang.

27
IV. Berikan antibiotik secara selektif X

1. Apakah setiap anak diare harus diberikan


antibiotik?
Tidak, karena tidak semua kasus diare
memerlukan antibiotik. Antibiotik hanya
diberikan jika ada indikasi, seperti diare
berdarah atau diare karena kolera, atau diare
dengan disertai penyakit lain. Ini sangat penting
karena seringkali ketika diare, masyarakat
langsung membeli antibiotik seperti Tetrasiklin
atau Ampicillin. Selain tidak efektif, tindakan
ini berbahaya, karena jika antibiotik tidak
dihabiskan sesuai dosis akan menimbulkan
resistensi kuman terhadap antibiotik.

2. Mengapa tidak boleh memberikan


antibiotik?
Selain bahaya resistensi kuman, pemberian
antibiotik yang tidak tepat bisa membunuh
flora normal yang justru dibutuhkan tubuh. Efek
samping dari penggunaan antibiotik yang tidak
rasional adalah timbulnya gangguan fungsi
ginjal, hati dan diare yang disebabkan oleh
antibiotik. Hal ini juga akan mengeluarkan biaya
pengobatan yang seharusnya tidak diperlukan.

3. Kenapa anti diare tidak boleh diberikan?


Ketika terkena diare, tubuh akan memberikan
28
reaksi berupa peningkatan motilitas atau
pergerakan usus untuk mengeluarkan kotoran
atau racun. Perut akan terasa banyak gerakan
dan berbunyi. Anti diare akan menghambat
gerakan itu sehingga kotoran yang seharusnya
dikeluarkan, justru dihambat keluar. Selain itu
anti diare dapat menyebabkan komplikasi yang
disebut prolapsus pada usus (terlipat/terjepit).
Kondisi ini berbahaya karena memerlukan
tindakan operasi. Oleh karena itu anti diare
seharusnya tidak boleh diberikan.

4. Siapa yang berhak memberi resep untuk


antibiotik?
Resep antibiotik seharusnya hanya boleh
dikeluarkan oleh dokter. Namun di daerah-
daerah terpencil dimana tenaga dokter belum
tersedia maka petugas kesehatan lainnya
seperti bidan/perawat dapat memberikannya
setelah mendapat pelimpahan wewenang
dari dokter puskesmas atau jika mereka
sudah mendapatkan pelatihan tatalaksana
diare seperti Manajemen Terpadu Balita Sakit
(MTBS).

29
V. Berikan Nasihat pada ibu/pengasuh

Berikan nasihat dan cek pemahaman ibu/pengasuh


tentang cara pemberian Oralit, Zinc, ASI/makanan
dan tanda-tanda untuk segera membawa anaknya
ke petugas kesehatan jika anak:
- Buang air besar cair lebih sering
- Muntah berulang-ulang
- Mengalami rasa haus yang nyata
- Makan atau minum sedikit
- Demam
- Tinjanya berdarah
- Tidak membaik dalam 3 hari

30
PENGELOLAAN
LOGISTIK
TARGET PENDERITA DIARE

Perhitungan kebutuhan logistik diare ditentukan berdasarkan


perkiraan jumlah penderita diare yang datang ke Sarana
Pelayanan Kesehatan (Puskesmas dan Kader). Perkiraan jumlah
penderita diare dihitung berdasarkan perkiraan penemuan
penderita, angka kesakitan, jumlah penduduk di suatu wilayah.

Target yang dilayani di suatu Puskesmas adalah:

Perkiraan Penderita Diare Yang Datang x Angka Kesakitan


x Jumlah Penduduk

Contoh : Pada tahun 2009


• Jumlah Penduduk di suatu daerah = 30.000 penduduk
• Angka Kesakitan Diare = 423/1000
(Angka Kesakitan Diare ini didapatkan dari Survei
Morbiditas Diare tahun 2006). Angka Kesakitan ini dapat
berubah sesuai dengan hasil Survei Morbiditas terbaru
• Perkiraan penderita diare yang datang ke sarana kesehatan= 10%
10 % x 423/1000 x 30.000 = 1.269 penderita

31
PERHITUNGAN KEBUTUHAN ORALIT & ZINC
ORALIT = Target Penderita Diare x 6 bungkus + Cadangan – Stok
ZINC = Jumlah Penderita Diare Balita x 10 Tablet

Keterangan :
Cadangan adalah perkiraan obat yang rusak biasanya 10 % dari
jumlah kebutuhan.
Stok adalah jumlah obat diakhir tahun, misalnya 1.000 bungkus.
Jumlah Penderita Diare Balita
Jumlah Balita x Episodeà (10 % x Jumlah Penduduk x 2 kali)
Angka 10 % adalah Proporsi Jumlah Balita.

Contoh Perhitungan Kebutuhan :


Kebutuhan ORALIT = Target Penderita Diare x 6
bungkus + Cadangan - Stok
= (1.269 x 6 ) + (10 % x 7.600) – 1.000 bks.
= 7.614 + 760 – 1.000
= 7.374 bungkus

Kebutuhan ZINC = Jumlah Penderita Diare Balita x


Episode x 10 tablet
= 10 % x 30.000 x 2 x 10 tablet
= 60.000 tablet atau 600 kotak

32
Rangkuman
LINTAS DIARE
(Lima langkah tuntaskan diare)
1. Oralit, berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan
mengatasi dehidrasi.
2. ZINC diberikan selama 10 hari berturut-turut, mengurangi
lama dan beratnya diare, mencegah berulangnya diare
selama 2-3 bulan. ZINC juga dapat mengembalikan nafsu
makan anak.
3. ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan
menu yang sama pada waktu anak sehat, untuk mencegah
kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang hilang.
4. Antibiotik hanya diberikan pada diare berdarah, kolera dan
diare dengan masalah lain.
5. Segera kembali ke petugas kesehatan jika ada demam, tinja
berdarah, muntah berulang, makan atau minum sedikit,
sangat haus diare makin sering atau belum membaik dalam
3 hari.

33
31
Penyakit diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang seperti di Indonesia, karena
morbiditas dan mortalitas-nya yang masih tinggi. Survei morbiditas yang dilakukan oleh Subdit Diare, Departemen Kesehatan
dari tahun 2000 s/d 2010 terlihat kecenderungan insidens naik. Pada tahun 2000 IR penyakit Diare 301/ 1000 penduduk, tahun
2003 naik menjadi 374 /1000 penduduk, tahun 2006 naik menjadi 423 /1000 penduduk dan tahun 2010 menjadi 411/1000
penduduk. Kejadian Luar Biasa (KLB) diare juga masih sering terjadi, dengan CFR yang masih tinggi. Pada tahun 2008 terjadi
KLB di 69 Kecamatan dengan jumlah kasus 8133 orang, kematian 239 orang (CFR 2,94%). Tahun 2009 terjadi KLB di 24
Kecamatan dengan jumlah kasus 5.756 orang, dengan kematian 100 orang (CFR 1,74%), sedangkan tahun 2010 terjadi KLB
diare di 33 kecamatan dengan jumlah penderita 4204 dengan kematian 73 orang (CFR 1,74 %.)

Salah satu langkah dalam pencapaian target MDG’s (Goal ke-4) adalah menurunkan kematian anak menjadi 2/3 bagian dari
tahun 1990 sampai pada 2015. Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), Studi Mortalitas dan Riset Kesehatan
Dasar dari tahun ke tahun diketahui bahwa diare masih menjadi penyebab utama kematian balita di Indonesia. Penyebab
utama kematian akibat diare adalah tata laksana yang tidak tepat baik di rumah maupun di sarana kesehatan. Untuk
menurunkan kematian karena diare perlu tata laksana yang cepat dan tepat.

A. Gambaran Berdasarkan Survei dan Penelitian

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)


Prevalensi diare dalam Riskesdas 2007 diukur dengan menanyakan apakah responden pernah didiagnosis diare oleh tenaga
kesehatan dalam satu bulan terakhir. Responden yang menyatakan tidak pernah, ditanya apakah dalam satu bulan tersebut
pernah menderita buang air besar >3 kali sehari dengan kotoran lembek/cair. Responden yang menderita diare ditanya apakah
minum oralit atau cairan gula garam.

Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (18,9%) dan terendah di DI Yogyakarta
(4,2%). Beberapa provinsi mempunyai prevalensi diare klinis >9% (NAD, Sumatera Barat, Riau, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tengara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo,
Papua Barat dan Papua) yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Sumber : Riset Kesehatan Dasar tahun 2007


Gambar 1. Prevalensi Diare Menurut Provinsi

1
Bila dilihat per kelompok umur diare tersebar di semua kelompok umur dengan prevalensi tertinggi terdeteksi pada anak balita
(1-4 tahun) yaitu 16,7%. Sedangkan menurut jenis kelamin prevalensi laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada
laki-laki dan 9,1% pada perempuan. Prevalensi diare menurut kelompok umur dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Sumber : Riset Kesehatan Dasar tahun 2007


Gambar 2. Prevalensi Diare Menurut Kelompok Umur

Prevalensi diare lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan, yaitu sebesar 10% di perdesaan dan 7,4 % di perkotaan.
Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah dan bekerja sebagai petani/nelayan dan buruh yang dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.

Sumber : Riset Kesehatan Dasar tahun 2007


Gambar 3. Prevalensi Diare Menurut Pendidikan

Sumber : Riset Kesehatan Dasar tahun 2007


Gambar 4. Prevalensi Diare Menurut Pekerjaan

2
Berdasarkan pola penyebab kematian semua umur, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-13 dengan proporsi
3,5%. Sedangkan berdasarkan penyakit menular, diare merupakan penyebab kematian peringkat ke-3 setelah TB dan Pneumo-
nia. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1.Pola Penyebab Kematian Semua Umur, Riskesdas 2007

Juga didapatkan bahwa penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%) dan pneumonia
(23,8%). Demikian pula penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%) dan pnemonia
(15,5%).

SDKI
Pada SDKI tahun 2007 dibahas mengenai prevalensi dan pengobatan penyakit pada anak. SDKI mengumpulkan data
beberapa penyakit infeksi utama pada anak umur di bawah lima tahun (balita), seperti infeksi saluran pernafasan atas (ISPA),
pneumonia, diare, dan gejala demam.

Dari hasil SDKI 2007 didapatkan 13,7% balita mengalami diare dalam waktu dua minggu sebelum survei, 3% lebih tinggi dari
temuan SDKI 2002-2003 (11 persen). Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan, diikuti umur 6-11 bulan
dan umur 23-45 bulan seperti pada Gambar 5. Dengan demikian seperti yang diprediksi, diare banyak diderita oleh kelompok
umur 6-35 bulan karena anak mulai aktif bermain dan berisiko terkena infeksi.

Sumber : SDKI tahun 2007


Gambar 5. Persentase balita yang diare dua minggu sebelum survei, berdasarkan kelompok umur.

3
Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8%) dibandingkan dengan anak perempuan (12,5%) dan lebih tinggi
pada balita di perdesaan (14,9%) dibandingkan dengan perkotaan (12,0%).

Ada hubungan negatif antara kejadian diare dengan tingkat pendidikan ibu dan indeks kekayaan kuantil. Semakin pendidikan
ibu meningkat dan semakin tinggi indeks kekayaan kuantil rumah tangga, semakin rendah prevalensi diare. Tidak ada pola yang
khas antara prevalensi diare dan sumber air minum serta fasilitas kakus. Terlihat bahwa persentase diare lebih rendah pada
anak yang tinggal di rumah dengan fasilitas kakus sendiri. Seperti yang diprediksi prevalensi diare paling tinggi terjadi pada
anak yang tinggal di rumah tanpa akses air bersih, yaitu yang memakai fasilitas kakus di sungai/kolam/danau (18,4%).

Sumber : SDKI tahun 2007


Gambar 6. Persentase balita yang diare dua minggu sebelum survei, berdasarkan tingkat pendidikan ibu

Sumber : SDKI tahun 2007


Gambar 7. Persentase balita yang diare dua minggu sebelum survei, berdasarkan indeks kekayaan kuantil

Sumber : SDKI tahun 2007


Gambar 8. Persentase balita yang diare dua minggu sebelum survei, berdasarkan sumber air minum

4
Sumber : SDKI tahun 2007
Gambar 9. Persentase balita yang diare dua minggu sebelum survei, berdasarkan fasilitas kakus

Survey Morbiditas Diare


Kejadian Diare juga menpunyai trend yang semakin naik pada periode tahun 1996-2006. Sedangkan dari tahun 2006 sampai
tahun 2010 terjadi sedikit penurunan angka kesakitan, yaitu dari 423 menjadi 411 per 1000 penduduk. Hasil Survei Morbiditas
Diare dari tahun 2000 s.d 2010 dapat dilihat trend sbb

Sumber : Kementerian Kesehatan, Survei morbiditas diare tahun 2010


Gambar 10. Angka kesakitan diare per 1000 penduduk pada semua umur tahun 1996-2010

Untuk angka kesakitan diare balita Tahun 2000-2010 tidak menunjukkan pola kenaikan maupun pola penurunan (berfluktuasi).
Pada tahun 2000 angka kesakitan balita 1.278 per 1000 turun menjadi 1.100 per 1000 pada tahun 2003 dan naik lagi pada
tahun 2006 kemudian turun pada tahun 2010 yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Sumber : Kementerian Kesehatan, Survei morbiditas diare tahun 2010


Gambar 11. Angka Kesakitan Diare Balita Tahun 2000-2010 (per 1000)

5
Pada tabel 2 dapat diketahui bahwa proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6 – 11 bulan yaitu
sebesar 21,65% lalu kelompok umur 12-17 bulan sebesar 14,43%, kelompok umur 24-29 bulan sebesar 12,37%, sedangkan
proporsi terkecil pada kelompok umur 54 – 59 bulan yaitu 2,06%.
Tabel 2. Distribusi Umur Penderita Diare Balita Tahun 2010

UMUR JUMLAH PROPORSI


(dalam bulan)
0– 5 23 11,86
6 – 11 42 21,65
12 – 17 28 14,43
18 – 23 22 11,34
24 – 29 24 12,37
30 – 35 14 7,22
36 – 41 18 9,28
42 – 47 8 4,12
48 – 53 11 5,67
54 – 59 4 2,06
JUMLAH 194 100

Sumber : Kementerian Kesehatan, Survei morbiditas diare tahun 2010

Sebagian besar penderita diare tidak datang berobat ke sarana kesehatan. Ada yang mengobati sendiri, ada yang berobat ke
praktek dokter swasta, ada ke Puskesmas, Rumah Sakit, dan ada yang tidak kemana-mana seperti terlihat pada gambar di
bawah ini.

Sumber : Survei Morbiditas diare tahun 2000, 2006, 2010 oleh Subdit Diare Kemenkes RI
Gambar 12. Gambaran tempat pengobatan penderita diare balita tahun 2000, 2006 dan 2010

B. Gambaran Berdasarkan Data Rutin Program

Data Laporan Rumah Sakit


Diare dan gastroenteritis merupakan penyakit urutan pertama yang menyebabkan pasien rawat inap di rumah sakit berdasarkan
tabel sepuluh peringkat utama pasien rawat inap di rumah sakit di bawah ini :
Tabel 3. Sepuluh Peringkat Utama Pasien Rawat Inap Di RS Di Indonesia Tahun 2008

Sumber : Ditjen Bina Yanmedik-Kemenkes RI

6
Data Laporan Puskesmas
Data mengenai diare yang bisa didapatkan dari laporan puskesmas berupa data jumlah penderita yang datang ke puskesmas,
cakupan pelayanan penderita diare KLB diare.
Jumlah penderita diare yang datang ke sarana kesehatan tahun 2000 s/d 2009 ( dalam ribuan )sebagai berikut :

Sumber : Laporan P2 diare yang diterima di Subdit Pengendalian Diare, dan Infeksi Saluran Pencernaan
tahun 2000 s/d 2009
Gambar 13. Jumlah Penderita Diare yang Datang ke Puskesmas Tahun 2000-2009 (dalam ribuan)

KLB diare masih sering terjadi dengan jumlah penderita dan kematian yang banyak. Rendahnya cakupan higiene sanitasi dan
perilaku yang rendah sering menjadi faktor risiko terjadinya KLB diare.

Sumber : Laporan Penanggulangan KLB Diare tahun 2002 s/d Desember 2010. Subdit Pengendalian Diare,
dan Infeksi Saluran Pencernaan
Gambar 14. Jumlah Penderita Diare Saat KLB Tahun 2001-2010

Sumber : Laporan Penanggulangan KLB Diare 2000 - 2010. Subdit Pengendalian Diare, dan Infeksi Saluran
Pencernaan
Gambar 15. CFR KLB Diare dari tahun 2000 s/d 2010

7
Data Laporan Subdit Surveilans dan Respon KLB
Penyakit diare termasuk dalam 10 penyakit yang sering menimbulkan kejadian luar biasa. Berdasarkan laporan Surveilans
Terpadu Penyakit bersumber data KLB (STP KLB) tahun 2010, diare menempati urutan ke 6 frekuensi KLB terbanyak setelah
DBD, Chikungunya, Keracunan makanan, Difteri dan Campak. Keadaan ini tidak berbeda jauh dengan tahun 2009, menurut
data STP KLB 2009 , KLB diare penyakit ke 7 terbanyak yang menimbulkan KLB.

Kelengkapan laporan secara umum dapat terbagi menjadi kelengkapan berdasarkan waktu (frekuensi) pelaporan yaitu mulai
Januari hingga Desember tahun bersangkutan dan kelengkapan berdasarkan jumlah unit pelapor misalnya jumlah puskesmas
sampai jumlah kabupaten/kota. Kelengkapan laporan STP KLB 2008-2010 menurut frekuensi waktu pelaporan mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Grafik di bawah ini menunjukkan kelengkapan laporan STP KLB 2010 mencapai 89%.

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 16. Kelengkapan Data STP KLB Menurut Tahun, Tahun 2008 - 2010

Peta di bawah ini menggambarkan kelengkapan data STP KLB tahun 2010 menurut provinsi. Sebagian besar provinsi (82%)
sudah memiliki kelengkapan data sebesar 100%, sebagian kecil memiliki kelengkapan < 90% (3 provinsi dengan kelengkapan
data antara 60-89% dan 1 provinsi dengan kelengkapan data 0,1-59 %). Dua provinsi yang tidak melaporkan STP KLB yaitu
provinsi Jawa Tengah dan provinsi Papua. Beberapa hal yang diidentifikasi sebagai masalah antara lain tidak adanya format
yang sesuai standar, perbedaan format pelaporan KLB antara provinsi dengan kabupaten dan lain-lain.

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 17. Kelengkapan Data Menurut Provinsi Tahun 2010

Berdasarkan laporan STP KLB 2009-2010, secara keseluruhan provinsi yang sering mengalami KLB pada tahun 2009 dan 2010
adalah Jawa Barat, Jawa Timur dan Banten, walaupun provinsi yang mengalami KLB terbanyak (urutan pertama) tersebut
setiap tahunnya berbeda (grafik di sebelah).

8
Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL
Gambar 18. Frekwensi KLB berdasarkan Provinsi Tahun 2009

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 19. Frekwensi KLB berdasarkan Provinsi Tahun 2010

Kejadian Luar Biasa Diare, 2009 – 2010


Pada peta di bawah ini menggambarkan sebaran frekuensi KLB diare yang umumnya lebih banyak di wilayah Sulawesi bagian
tengah kemudian Jawa bagian timur.

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 20. Frekwensi KLB Diare Tahun 2010

9
Grafik di bawah ini menggambarkan frekuensi KLB diare pada tahun 2010, lebih banyak terjadi di provinsi Sulawesi Tengah (27
kali) dan Jawa Timur (21 kali). Hal ini berbeda dengan tahun 2009 dimana KLB diare lebih banyak terjadi di provinsi Jawa Barat
(33 kali) dan Jawa TImur (5 kali).

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 21.Frekwensi KLB Diare Menurut Provinsi Tahun 2010

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 22. Frekwensi KLB Diare Menurut Provinsi Tahun 2009

Jumlah kasus KLB Diare pada tahun 2010 sebanyak 2.580 dengan kematian sebesar 77 kasus (CFR 2.98%). Hasil ini berbeda
dengan tahun 2009 dimana kasus pada KLB diare sebanyak 3.037 kasus, kematian sebanyak 21 kasus (CFR 0.69%). Perbe-
daan ini tentu saja perlu dilihat dari berbagai faktor, terutama kelengkapan laporannya. Selain itu faktor perilaku kesadaran dan
pengetahuan masyarakat, ketersediaan sumber air bersih, ketersediaan jamban keluarga dan jangkauan layanan kesehatan
perlu dipertimbangkan juga sebagai faktor yang mempengaruhi kejadian luar biasa diare.

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 23. Jumlah Kasus dan CFR KLB Diare, Tahun 2009 - 2010

10
Kasus KLB diare berdasarkan provinsi tahun 2010, kasus terbanyak terjadi di Sulawesi Tengah, namun CFR terbanyak terjadi di
provinsi Lampung. Hal ini berbeda dengan tahun 2009, kasus terbanyak di provinsi Jawa Barat tapi CFR terbesar terjadi di
provinsi Sulawesi Tenggara (gambar 25).

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 24. Jumlah Kasus dan CFR KLB Diare, Tahun 2009 - 2010

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 25. Jumlah Kasus dan CFR KLB Diare Menurut Provinsi Tahun 2010

Di bawah ini adalah peta sebaran kematian KLB diare tahun 2010. Kematian terbanyak terjadi di provinsi Sulawesi Tengah,
Jawa Timur kemudian disusul Sulawesi Selatan, Banten, Sulawesi Tenggara dan Bengkulu.

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 26. Sebaran Kematian KLB Diare Menurut Provinsi Tahun 2010

11
Pada grafik di bawah ini menggambarkan kasus KLB diare tahun 2009 lebih banyak terjadi pada bulan Agustus sedangkan CFR
lebih banyak terjadi pada bulan Februari. Hal ini berbeda dengan tahun 2010, kasus terbanyak terjadi pada bulan Februari dan
CFR terbesar terjadi pada bulan September. Dari gambar di bawah ini tampak puncak KLB diare dan CFR nya tidak terjadi
pada priode yang sama, sehingga kemungkinan ada faktor lain yang mempengaruhi.

Sumber: Subdit Surveilans


dan Respon KLB Ditjen PP
dan PL
Gambar 27. Jumlah Kasus
dan CFR KLB Diare
Menurut Bulan, Tahun
2009 – 2010

Bila dilihat berdasarkan golongan umur, kasus pada KLB diare lebih banyak terjadi pada golongan umur 1-4 tahun kemudian
golongan 20-44 tahun. Hal ini merupakan masalah kesehatan yang perlu diperhatikan terutama diare yang umumnya diderita
oleh balita dan menjadi penyumbang kematian pada balita. Faktor hygiene dan sanitasi lingkungan, kesadaran orang tua balita
untuk berperilaku hidup bersih dan sehat serta pemberian ASI menjadi faktor yang penting dalam menurunkan angka kesakitan
diare pada balita (grafik di bawah).

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 28. Jumlah Kasus Pada KLB Diare Menurut Golongan Umur Tahun 2010

Sedangkan bila dilihat dari jenis kelamin, kasus KLB diare pada tahun 2010 tidak berbeda jauh antar laki-laki (51%) dengan
perempuan (49%). Hal senada juga terjadi pada tahun 2009, tidak ada perbedaan yang signifikan kasus KLB diare antara
perempuan (51%) dengan laki-laki (49%). Hal ini menunjukkan bahwa penyakit diare merupakan penyakit yang tidak dipenga-
ruhi oleh jenis kelamin.

Sumber : Subdit Surveilans dan Respon KLB Ditjen PP dan PL


Gambar 29. Proporsi KLB Diare Menurut Jenis Kelamin Tahun 2009 - 2010

12
GAMBARAN SITUASI UPAYA PENCEGAHAN DAN TATA LAKSANA DIARE DI INDONESIA

A. SDKI
Cakupan Pemberian Oralit di Masyarakat
Menurut hasil SDKI tahun 2007, 51% anak balita yang diare dalam dua minggu sebelum survei dibawa ke fasilitas atau tenaga
kesehatan, sama seperti temuan dalam SDKI 2002-2003. Pengobatan diare beragam menurut umur anak, bayi di bawah umur
6 bulan cenderung tidak dibawa ke fasilitas atau tenaga kesehatan dibanding kelompok umur lainnya. Anak laki-laki sedikit lebih
banyak yang dibawa ke fasilitas kesehatan dibanding anak perempuan. Ada hubungan antara pengobatan diare dengan
pendidikan ibu dan status ekonomi rumah tangga. Semakin tinggi pendidikan ibu dan semakin tinggi tingkat ekonomi rumah
tangga, semakin tinggi persentase anak yang diare yang mendapat perawatan dari tenaga kesehatan dibanding dengan anak
lainnya.

Walaupun lebih dari 90 persen ibu mengetahui tentang paket oralit, hanya satu dari tiga (35%) anak yang menderita diare diberi
oralit, hasil tersebut sama dengan temuan SDKI 2002-2003. Pada 30 % anak yang diare diberi minuman lebih banyak, 22 %
diberi Larutan Gula Garam (LGG), dan 61 % diberi sirup/pil, sementara 14 % diberi obat tradisonal atau lainnya. Sedangkan 17
% anak yang menderita diare tidak mendapatkan pengobatan sama sekali.

Sumber : Data SDKI tahun 2007


Gambar 30. Persentase balita yang mendapatkan pengobatan rehidrasi oral dan dibawa ke fasilitas atau petugas kesehatan di Indonesia tahun 2007

B. Survei Morbiditas

1. Tata Laksana Diare Balita di Rumah Tangga


Beberapa perilaku masyarakat dalam penatalaksanaan diare di rumah tangga belum menunjukkan perbaikan dan belum sesuai
dengan harapan. Gambaran perilaku penanganan penderita diare di rumah tangga dapat di lihat dalam tabel berikut ini :

Tabel 4. Gambaran Tata Laksana Diare Balita di Rumah Tangga Tahun 2003, 2006, dan 2010
PENANGANAN DIARE TAHUN TAHUN TAHUN
BALITA DI RUMAH 2000 2006 2010 Ket
TANGGA (%) (%) (%)

N = 590 N= 868 N= 702


1.Penderita di bawa ke 73,05 61,06 73,22
petugas kesehatan
2. Penderita diberi oralit 45,92 27,88 36,18 Masih rendah
3. Penderita diberi CRT 56,10 98,62 100 Membaik
4.Peningkatan pemberian 20,17 50,0 27,07 Sudah
CRT (Cairan Rumah membaik tapi
Tangga) turun lagi
5.Menghentikan 0,85 0,81 0,28
pemberian ASI
6.Tidak memberi cairan 22,03 0,92 0 Membaik
7.Frekwensi Pemberian 83,90 86,29 79,91 Masih 20%
makan seperti biasa mengurangi
atau ditambah makan
Sumber : Laporan hasil survei Morbiditas dan Perilaku Tata Laksana Diare oleh Depkes tahun 2000,2006,2010

13
2. Pemberian ASI (periode sakit 2 minggu terakhir)

Tabel 5. Distribusi Penderita < 2 Tahun Yang Mendapat ASI, Survey Morbiditas Tahun 2010
SEBELUM DIARE SEWAKTU DIARE
Mendapat Jumlah % Jumlah %
ASI 196 78,72 Diteruskan 186 94,90
Dikurangi 8 4,08
Dihentikan 2 1,02
Tidak 53 21,28
Mendapat
ASI
JUMLAH 249 100
Sumber : Survei morbiditas diare tahun 2010

Tabel di atas memperlihatkan bahwa dari 249 orang penderita diare umur < 2 tahun, 196 orang (78,72%) mendapatkan ASI
sebelum diare, sedangkan sebanyak 53 orang (21,28%) tidak mendapatkan ASI. Dari sejumlah 196 orang penderita diare umur
< 2 tahun yang mendapatkan ASI sebelum diare, sebanyak 186 orang (94,90%) terus mendapatkan ASI sewaktu diare,
sebanyak 8 orang (1,22%) mengurangi ASI sewaktu diare dan 2 orang (1,02%) yang menghentikan ASI. Hal ini menunjukkan
sudah adanya pengetahuan para ibu bahwa ASI harus tetap diberikan pada anak yang menderita diare.

3. Cakupan pemberian oralit di masyarakat

Tabel 6. Distribusi Penderita Yang Mendapatkan Oralit & Obat Lainnya Tahun 2010
JUMLAH PENDERITA %
Oralit 188 37,0
LGG 37 7,28
Obat-obatan 159 31,30
Ramuan/Jamu 38 7,48
Tidak diberi apa-apa 128 25,20
Lain-lain 29 5,71
Jumlah 508 100,00
Sumber : Hasil Survei Morbiditas Diare Tahun 2010

Pada tabel di atas diketahui bahwa dari 508 penderita, sebanyak 188 orang (37,0%) diberikan oralit, 159 orang (31,30%)
diberikan obat-obatan, 128 orang (25,20%) tidak diberikan apa-apa, 38 orang (7,48%) diberikan ramuan/jamu, 37 orang (7,28%)
diberi LGG dan 29 orang (5,71%) di berikan lain-lain.

4. Makanan padat penderita diare

Tabel 7.Distribusi Penderita Yang Memberikan Makanan Padat/Lunak & Kualitas Pemberian Makan Tahun 2010
SEBELUM DIARE SEWAKTU DIARE

Jumlah % Jumlah %

Ditambah 90 18,0

Seperti 318 63,6


Mendapat Makanan 98,4 Biasa
Pada/Lunak 500
3
Dikurangi 83 16,6

Dihentikan 9 1,8

Tidak Diberi Makan 8 1,57


Padat/Lunak

JUMLAH 508 100

Sumber : Hasil Survei Morbiditas Diare Tahun 2010

Pada tabel di atas dapat diketahui dari 508 balita yang menderita diare terdapat 500 penderita yang mendapatkan makanan
padat/lunak sebelum diare dan 8 penderita (1,57%) tidak mendapatkan makanan padat/lunak. Dari sejumlah 500 penderita
diare yang mendapatkan makanan padat/lunak, ternyata sewaktu diare terdapat 318 penderita (63,6%) tetap diberikan makanan
padat/lunak seperti biasa, 90 penderita (18,0%) pemberian makanan padat/lunak ditambah pemberiannya, 83 penderita (16,6%)
pemberian makanan lunak/padat dikurangi dan 9 penderita (1,8%) pemberian makanan padat/lunak dihentikan.

14
D. Laporan Rutin Program

1. Cakupan Pelayanan Penderita Diare Tahun 2005-2009


Cakupan pelayanan penderita diare dari tahun 2005-2009 masih di bawah target yang ditentukan seperti ditunjukkan pada
gambar di bawah ini.

Sumber : Laporan rekap P2 Diare tahun 2005 s/d 2010


Gambar 31 :Realisasi cakupan pelayanan penderita diare tahun 2005-2010

2. Cakupan pemberian oralit

Sumber : Rekapitulasi laporan P2 Diare propinsi tahun 2009


Gambar 32. Cakupan Pemberian Oralit di Indonesia Tahun 2009

Pada gambar di atas dapat kita lihat bahwa proporsi penderita diberi oralit yang terkecil adalah di provinsi DKI Jakarta sebesar
10,6 %. Sedangkan proporsi penderita diberi oralit yang mencapai 100% ada di provinsi Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Barat, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, NTT, Babel.

3. Pemberian antibiotik tanpa indikasi ( Tidak rasional )

Sumber : Hasil Pemantauan cakupan dan kualitas tatalaksana diare tahun 2009
Gambar 33.Penggunaan antibiotika tanpa indikasi (Tidak rasional) pada penderita Diare propinsi tahun 2009

15
Pada gambar di atas dapat kita lihat bahwa provinsi yang jumlah penderita diarenya diberi antibiotik, tertinggi adalah Aceh,
Lampung, dan Irjabar masing-masing sebesar 100%. Sedangkan provinsi dengan jumlah penderita diare diberi antibiotik
terendah adalah Sumatera Barat (45,6%).

4. Pengetahuan petugas dalam tata laksana diare tahun 2006, 2007, dan 2009

Hasil pemantauan tata laksana diare dari tahun ke tahun terlihat bahwa pengetahuan petugas dalam tata laksana diare juga
masih rendah. Berikut ini adalah gambaran pengetahuan petugas dalam tata laksana diare tahun 2006 – 2009.

Tabel 8. Pengetahuan petugas dalam tata laksana diare tahun 2006, 2007, dan 2009

NO PETUGAS PUSKESMAS 2006 2007 2009 Ket


(%) (%) (%)

1. Mengetahui anamnesa penderita diare 43,3 48,8 43,7 Tahun 2008 tidak dilakukan
dengan benar. pemantauan pengetahuan
2. Tahu menetapkan klasifikasi derajat 41 43,2 29,9 petugas
dehidrasi
3. Tahu tata laksana diare tanpa 58,9 63,0 33,3
dehidrasi
4. Tahu tata laksana diare dehidrasi 35,9 40,9 12,6
ringan /sedang
5. Tahu tatalaksana diare dehidrasi berat 16,9 25 14,9
Sumber : Laporan Hasil Pemantauan Cakupan dan kualitas tata laksana diare tahun 2006, 2007, dan 2009
oleh Subdit Pengendalian Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Kemenkes RI

Pada tabel di atas dapat kita lihat bahwa persentase petugas kesehatan yang memiliki pengetahuan yang benar mengenai tata
laksana diare masih rendah.Terbukti pada tabel diatas persentase petugas yang tahu mengenai anamnesa diare, tahu
menetapkan klarifikasi derajat dehidrasi, tahu tata laksana diare tanpa dehidrasi, tahu tata laksana diare dengan dehidrasi
ringan dan berat pada tahun 2006-2009 masih di bawah 50%.

Tata laksana diare yang sesuai standar di Puskesmas juga masih rendah. Oralit belum seluruhnya diberikan pada penderita
diare. Penggunaan antibiotika masih berlebihan. Anti diare walaupun tidak direkomendasikan tetapi masih sering diberikan bagi
penderita diare balita. Berikut ini adalah gambaran pemberian obat bagi penderita diare yang diambil dari catatan medik di Pus-
kesmas.

Sumber : Laporan rutin Puskesmas-Subdit Pengendalian Diare dan Infeksi Saluran Pencernaan Kemenkes RI
Gambar 34. Kualitas tata laksana diare pada Balita di Puskesmas tahun 2006 s/d 2009 ( %)

16
KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

1. Berdasarkan Riskesdas
1. Prevalensi diare klinis adalah 9,0% (rentang: 4,2% - 18,9%), tertinggi di Provinsi NAD (4,2%) dan terendah di DI
Yogyakarta (18,9%)
2. Berdasarkan kelompok umur, prevalensi tertinggi diare terjadi pada anak balita (1-4 tahun) yaitu 16,7%.
3. Prevalensi laki-laki dan perempuan hampir sama, yaitu 8,9% pada laki-laki dan 9,1% pada perempuan
4. Prevalensi diare lebih banyak di perdesaan dibandingkan perkotaan, yaitu sebesar 10% di perdesaan dan 7,4 % di
perkotaan.
5. Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok pendidikan rendah dan bekerja sebagai petani/nelayan dan buruh yang
6. Penyebab kematian bayi (usia 29 hari-11 bulan) yang terbanyak adalah diare (31,4%).
7. Penyebab kematian anak balita (usia 12-59 bulan), terbanyak adalah diare (25,2%)

2. Berdasarkan SDKI
1. Persentase balita yang mengalami diare adalah 13,7%.
2. Prevalensi diare tertinggi adalah pada anak umur 12-23 bulan yaitu 20,7%.
3. Prevalensi diare sedikit lebih tinggi pada anak laki-laki (14,8 %) dibandingkan dengan anak perempuan (12,5 %).
4. Prevalensi diare lebih tinggi pada balita di perdesaan (14,9 %) dibandingkan dengan perkotaan (12,0 %).
5. Persentase anak balita yang diare dalam 2 minggu sebelum survei dibawa ke fasilitas atau tenaga kesehatan adalah 51%.
6. Hanya satu dari tiga (35%) anak yang menderita diare diberi oralit.
7. Persentase anak yang menderita diare tidak mendapatkan pengobatan sama sekali adalah 17 % anak.
8. Penderita diare yang mendapatkan makanan padat/lunak, sewaktu diare terdapat 63,6% tetap diberikan makanan padat/
lunak seperti biasa, 18,0% pemberian makanan padat/lunak ditambah pemberiannya, 16,6% pemberian makanan lunak/
padat dikurangi dan 1,8% pemberian makanan padat/lunak dihentikan.

3. Berdasarkan Survei Morbiditas Diare


1. Kejadian Diare menpunyai tren yang semakin naik pada periode tahun 1996-2010.
2. Untuk angka kesakitan diare balita Tahun 2000-2010 tidak menunjukkan pola kenaikan maupun pola penurunan
(berfluktuasi).
3. Proporsi terbesar penderita diare pada balita adalah kelompok umur 6 – 11 bulan yaitu sebesar 21,65%.
4. Persentase penderita diare umur < 2 tahun terus mendapatkan ASI sewaktu diare adalah 94,90%, 1,22% mengurangi ASI
sewaktu diare dan 1,02% yang menghentikan ASI.
5. Proporsi penderita yang diberikan oralit dan obat lainnya adalah 37,0% diberikan oralit, 31,30% diberikan obat-obatan,
25,20% tidak diberikan apa-apa, 7,48% diberikan ramuan/jamu, 7,28% diberi LGG dan 5,71% di berikan lain-lain.
6. Penderita diare yang mendapatkan makanan padat/lunak, sewaktu diare terdapat 63,6% tetap diberikan makanan padat/
lunak seperti biasa, 18,0% pemberian makanan padat/lunak ditambah pemberiannya, 16,6% pemberian makanan lunak/
padat dikurangi dan 1,8% pemberian makanan padat/lunak dihentikan

4. Laporan Rutin Program


1. Diare dan gastroenteritis merupakan penyakit urutan pertama yang menyebabkan pasien rawat inap di Rumah Sakit.
2. Cakupan pelayanan penderita diare dari tahun 2005-2009 masih di bawah target yang ditentukan.
3. Proporsi penderita diberi oralit yang terendah adalah di provinsi DKI Jakarta sebesar 10,6%. Sedangkan proporsi penderita
diberi oralit yang mencapai 100% ada di provinsi DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan,
Sulawesi Tenggara, NTT, Babel.
4. Provinsi yang jumlah penderita diarenya diberi antibiotika tertinggi adalah Aceh, Lampung, dan Papua Barat masing-
masing sebesar 100%. Sedangkan provinsi dengan jumlah penderita diare diberi antibiotik terendah adalah Sumatera
Barat (45,6%).
5. Pengetahuan petugas kesehatan tentang tata laksana diare yang benar masih rendah (kurang dari 50%).
6. Tata laksana diare sesuai standar di puskesmas masing kurang.

17
DAFTAR PUSTAKA

 Buku Saku Lintas Diare untuk Petugas Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan, Jakarta : 2010.
 Informasi Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan
Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta : 2009
 Manual Pemberantasan Penyakit Menular, Jakarta : 2009
 Profil Kesehatan Indonesia tahun 2009
 Riskesdas 2007
 Survei Morbiditas Diare Tahun 2010
 SDKI Tahun 2007
 Pedoman Pengendalian Penyakit Diare, Kementerian Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Jakarta : 2010.
 Rekapitulasi Laporan rutin P2 Diare
 Hasil Pemantauan Cakupan dan Kualitas tatalaksana Diare

Sumber: Buku Panduan Lintas Diare, www.promosikesehatan.com

18
Kebijakan pengendalian penyakit diare di Indonesia LINTAS Diare ( Lima Langkah Tuntaskan Diare )
bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan angka 1. Berikan Oralit
kematian karena diare bersama lintas program dan lintas
sektor terkait. Untuk mencegah terjadinya dehidrasi dapat dilakukan
mulai dari rumah tangga dengan memberikan oralit
Kebijakan yang ditetapkan pemerintah dalam menurunkan osmolaritas rendah, dan bila tidak tersedia berikan
angka kesakitan dan kematian karena diare adalah cairan rumah tangga seperti air tajin, kuah sayur, air
sebagai berikut : matang. Oralit saat ini yang beredar di pasaran sudah
 Melaksanakan tata laksana penderita diare yang oralit yang baru dengan osmolaritas yang rendah,
sesuai standar, baik di sarana kesehatan maupun di yang dapat mengurangi rasa mual dan muntah. Oralit
rumah tangga merupakan cairan yang terbaik bagi penderita diare
 Melaksanakan surveilans epidemiologi & untuk mengganti cairan yang hilang. Bila penderita
Penanggulan Kejadian Luar Biasa tidak bisa minum harus segera di bawa ke sarana
 Mengembangkan Pedoman Pengendalian Penyakit kesehatan untuk mendapat pertolongan cairan melalui
Diare infus.
 Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan petugas
dalam pengelolaan program yang meliputi aspek Derajat dehidrasi dibagi dalam 3 klasifikasi :
manejerial dan teknis medis. a) Diare tanpa dehidrasi
 Mengembangkan jejaring lintas sektor dan lintas Tanda diare tanpa dehidrasi, bila terdapat 2 tanda
program di bawah ini atau lebih :
 Pembinaan teknis dan monitoring pelaksanaan - Keadaan Umum : baik
pengendalian penyakit diare. - Mata : Normal
 Melaksanakan evaluasi sabagai dasar perencanaan - Rasa haus : Normal, minum biasa
selanjutnya. - Turgor kulit : kembali cepat

Strategi pengendalian penyakit diare yang dilaksanakan Dosis oralit bagi penderita diare tanpa dehidrasi
pemerintah adalah : sbb :
1. Melaksanakan tatalaksana penderita diare yang Umur < 1 tahun : ¼ - ½ gelas setiap kali
standar di sarana kesehatan melalui lima langkah anak mencret
tuntaskan diare ( LINTAS Diare). Umur 1 – 4 tahun : ½ - 1 gelas setiap kali
2. Meningkatkan tata laksana penderita diare di rumah anak mencret
tangga yang tepat dan benar. Umur diatas 5 Tahun : 1 – 1½ gelas setiap kali
3. Meningkatkan SKD dan penanggulangan KLB diare. anak mencret
4. Melaksanakan upaya kegiatan pencegahan yang b) Diare dehidrasi Ringan/Sedang
efektif. Diare dengan dehidrasi Ringan/Sedang, bila
5. Melaksanakan monitoring dan evaluasi. terdapat 2 tanda di bawah ini atau lebih:
 Keadaan Umum : Gelisah, rewel
 Mata : Cekung
 Rasa haus : Haus, ingin minum banyak
 Turgor kulit : Kembali lambat

19
Dosis oralit yang diberikan dalam 3 jam agar tetap kuat dan tumbuh serta mencegah
pertama 75 ml/ kg bb dan selanjutnya berkurangnya berat badan. Anak yang masih minum
diteruskan dengan pemberian oralit seperti Asi harus lebih sering di beri ASI. Anak yang minum
diare tanpa dehidrasi. susu formula juga diberikan lebih sering dari biasanya.
Anak uis 6 bulan atau lebih termasuk bayi yang telah
c) Diare dehidrasi berat mendapatkan makanan padat harus diberikan makanan
Diare dehidrasi berat, bila terdapat 2 tanda di yang mudah dicerna dan diberikan sedikit lebih sedikit
bawah ini atau lebih: dan lebih sering. Setelah diare berhenti, pemberian
 Keadaan Umum : Lesu, lunglai, atau tidak makanan ekstra diteruskan selama 2 minggu untuk
sadar membantu pemulihan berat badan.
 Mata : Cekung
 Rasa haus : Tidak bisa minum atau 4. Pemberian Antibiotika hanya atas indikasi
malas minum
 Turgor kulit : Kembali sangat lambat Antibiotika tidak boleh digunakan secara rutin karena
(lebih dari 2 detik) kecilnya kejadian diare pada balita yang disebabkan
oleh bakteri. Antibiotika hanya bermanfaat pada
Penderita diare yang tidak dapat minum harus penderita diare dengan darah (sebagian besar karena
segera dirujuk ke Puskesmas untuk di infus. shigellosis), suspek kolera.
2. Berikan obat Zinc Obat-obatan Anti diare juga tidak boleh diberikan pada
Zinc merupakan salah satu mikronutrien yang penting anak yang menderita diare karena terbukti tidak
dalam tubuh. Zinc dapat menghambat enzim INOS bermanfaat. Obat anti muntah tidak di anjurkan kecuali
(Inducible Nitric Oxide Synthase), dimana ekskresi muntah berat. Obat-obatan ini tidak mencegah
enzim ini meningkat selama diare dan mengakibatkan dehidrasi ataupun meningkatkan status gizi anak,
hipersekresi epitel usus. Zinc juga berperan dalam bahkan sebagian besar menimbulkan efek samping
epitelisasi dinding usus yang mengalami kerusakan yang bebahaya dan bisa berakibat fatal. Obat anti
morfologi dan fungsi selama kejadian diare. protozoa digunakan bila terbukti diare disebabkan oleh
parasit (amuba, giardia).
Pemberian Zinc selama diare terbukti mampu
mengurangi lama dan tingkat keparahan diare, 5. Pemberian Nasehat
mengurangi frekuensi buang air besar, mengurangi
volume tinja, serta menurunkan kekambuhan kejadian Ibu atau pengasuh yang berhubungan erat dengan
diare pada 3 bulan berikutnya.(Black, 2003). balita harus diberi nasehat tentang :
Penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa Zinc 1. Cara memberikan cairan dan obat di rumah
mempunyai efek protektif terhadap diare sebanyak 11 2. Kapan harus membawa kembali balita ke petugas
% dan menurut hasil pilot study menunjukkan bahwa kesehatan bila :
Zinc mempunyai tingkat hasil guna sebesar 67 %  Diare lebih sering
(Hidayat 1998 dan Soenarto 2007). Berdasarkan bukti  Muntah berulang
ini semua anak diare harus diberi Zinc segera saat  Sangat haus
anak mengalami diare.  Makan/minum sedikit
Dosis pemberian Zinc pada balita:
 Timbul demam
- Umur < 6 bulan : ½ tablet ( 10 Mg ) per hari
 Tinja berdarah
selama 10 hari
- Umur > 6 bulan : 1 tablet ( 20 mg) per hari  Tidak membaik dalam 3 hari.
selama 10 hari.
Zinc tetap diberikan selama 10 hari walaupun diare SISTEM KEWASPADAAN DINI (SKD)
sudah berhenti.
Cara pemberian tablet zinc : A. DEFINISI
Larutkan tablet dalam 1 sendok makan air matang
atau ASI, sesudah larut berikan pada anak diare. SKD merupakan kewaspadaan terhadap penyakit
berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang
3. Pemberian ASI / Makanan : mempengaruhinya dengan menerapkan teknologi
surveilan epidemiologi dan dimanfaatkan untuk meningkat-
Pemberian makanan selama diare bertujuan untuk kan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-upaya dan tindak
memberikan gizi pada penderita terutama pada anak

20
-an penanggulangan kejadian luar biasa yang cepat dan d. Hasil penyelidikan yang telah dilakukan
tepat (Permenkes RI No.949/MENKES/SK/VIII/2004). e. Hasil penanggulangan KLB dan rencana tindak
lanjut
B. TUJUAN
c. Pengumpulan data melalui studi kasus
1. Menumbuhkan sikap tanggap terhadap adanya
Pengumpulan data ini dapat dilakukan satu tahun
perubahan dalam masyarakat yang berkaitan
sekali, misalnya pada pertengahan atau akhir tahun.
dengan kesakitan dan kematian.
Tujuannya untuk mengetahui “base line data”
2. Mengarahkan sikap tanggap tersebut terhadap sebelum atau setelah program dilaksanakan dan
tindakan penanggulangan secara cepat dan hasil penilaian tersebut dapat digunakan untuk
tepat untuk mengurangi/mencegah kesakitan/ perencanaan di tahun yang akan datang.
kematian.
2. Pengolahan, Analisis, dan Interpretasi
3. Memperoleh informasi secara cepat, tepat dan
akurat. Data-data yang telah dikumpulkan diolah dan ditampil-
kan dalam bentuk tabel-tabel atau grafik, kemudian
C. PROSEDUR dianalisis dan diinterpretasi. Analisis ini sebaiknya dila-
kukan berjenjang dari Puskesmas hingga Pusat, se-
1. Pengumpulan Data Diare hingga kalau terdapat permasalahan segera dapat
Ada tiga cara pengumpulan data diare, yaitu diketahui dan diambil tindakan pemecahannya.
melalui :
3. Penyebarluasan Hasil Interpretasi
a. Laporan Rutin
Dilakukan oleh Puskesmas dan Rumah Sakit Hasil analisis dan interpretasi terhadap data yang telah
melalui SP2TP (LB), SPRS (RL), STP dan dikumpulkan, diumpanbalikkan kepada pihak-pihak
rekapitulasi diare. Karena diare termasuk pen- yang berkepentingan yaitu kepada pimpinan di daerah
yakit yang dapat menimbulkan wabah maka (kecamatan hingga Dinkes Propinsi) untuk mendapat-
perlu dibuat laporan mingguan (W2). Untuk da- kan tanggapan dan dukungan penangganannya.
pat membuat laporan rutin perlu pencatatan
setiap hari (register) penderita diare yang datang
ke sarana kesehatan, posyandu atau kader agar
KEJADIAN LUAR BIASA (KLB)
dapat dideteksi tanda–tanda akan terjadinya
Kejadian Luar Biasa (KLB) yaitu timbulnya atau meningkat-
KLB/wabah sehingga dapat segera dilakukan
nya kejadian kesakitan dan atau kematian yang bermakna
tindakan penanggulangan secepatnya. Laporan
secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu
rutin ini dikompilasi oleh petugas RR/Diare di
tertentu, dan merupakan keadaan yang dapat menjurus
Puskesmas kemudian dilaporkan ke Tingkat
pada terjadinya wabah (Permenkes RI No.949/Menkes/SK/
Kabupaten/Kota melalui laporan bulanan (LB)
VIII/2004).
dan STP setiap bulan.
Kriteria KLB Diare, sesuai Permenkes RI no.1501/
Petugas/Pengelola Diare Kabupaten/Kota mem-
MENKES/PER/X/2010:
buat rekapitulasi dari masing-masing Puskesmas
1. Timbulnya suatu penyakit menular tertentu sebagai-
dan secara rutin (bulanan) dikirim ke tingkat
mana dimaksud pada pasal 4 Permenkes RI No. 1501/
Propinsi dengan menggunakan formulir rekapitu-
MENKES/PER/2010.(Konfirmasi kolera) yang sebelum-
lasi diare. Dari tingkat Propinsi direkap berdasar-
nya tidak ada atau tidak dikenal pada suatu daerah.
kan kabupaten/kota secara rutin (bulanan) dan
2. Peningkatan kejadian kesakitan terus menerus selama
dikirim ke Pusat .
3 (tiga) kurun waktu dalam jam, hari, atau minggu
berturut turut.
b. Laporan KLB Diare
3. Peningkatan kejadian kesakitan dua kali atau lebih
Setiap terjadi KLB/wabah harus dilaporkan
dibandingkan dengan periode sebelumnya dalam
dalam periode 24 jam (W1) dan dilanjutkan den-
kurun waktu jam, hari atau minggu.
gan laporan khusus yang meliputi :
4. Jumlah penderita baru dalam periode waktu 1 (satu)
a. Kronologi terjadinya KLB
bulan menunjukkan kenaikan dua kali atau lebih di-
b. Cara penyebaran serta faktor-faktor yang
bandingkan dengan angka rata-rata per bulan dalam
mempengaruhinya
tahun sebelumnya.
c. Keadaan epidemiologis penderita

21
5. Rata rata jumlah kejadian kesakitan perbulan selama b. Tahapan penyelidikan KLB :
1(satu) tahun menunjukkan kenaikan dua kali atau
1) Mengumpulkan, mengolah dan menganalisis
lebih dibandingkan dengan rata rata jumlah kejadian
informasi termasuk faktor risiko yang ditemukan.
kesakitan perbulan pada tahun sebelumnya.
6. Angka kematian kasus (CFR) dalam 1(satu) kurun 2) Membuat kesimpulan berdasarkan :
waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih
dibandingkan dengan angka kematian kasus pada a) Faktor tempat yang digambarkan dalam
suatu periode sebelumnya dalam kurun waktu yang suatu peta (spotmap) atau tabel tentang :
sama.  Kemungkinan risiko yang menjadi sumber
penularan.
Manajemen KLB Diare  Keadaan lingkungan biologis (agen,
penderita), fisik dan sosial ekonomi.
Manajemen KLB/Wabah diare dapat dibagi tiga fase yaitu
 Cuaca
pra-KLB/Wabah, saat KLB/Wabah dan pasca KLB/Wabah.
 Ekologi
Pra-KLB/Wabah
 Adat kebiasaan
Persiapan yang perlu diperhatikan pada pra KLB/Wabah
 Sumber air minum dan sebagainya.
adalah:
1. Kab/Kota, Propinsi dan Pusat perlu membuat surat b) Faktor waktu yang digambarkan dalam grafik
edaran atau instruksi kesiapsiagaan di setiap histogram yang menggambarkan hubungan
tingkat waktu (harian), masa tunas serta agen. Sete-
lah dibuat grafiknya dapat diinterpretasikan :
2. Meningkatkan kewaspadaan dini (SKD) di wilayah
Puskesmas terutama di Desa rawan KLB  Kemungkinan penyebab KLB
3. Mempersiapkan tenaga dan logistik yang cukup di  Kecenderungan perkembangan KLB
Puskesmas, Kabupaten/Kota dan Propinsi dengan  Lamanya KLB
membentuk Tim TGC.
c) Faktor orang yang terdiri dari : umur, jenis
4. Meningkatkan upaya promosi kesehatan kelamin, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,
suku bangsa, adat istiadat, agama/
5. Meningkatkan kegiatan lintas program dan sektor
kepercayaan dan sosial ekonomi.

Saat KLB/Wabah
2. Pemutusan rantai penularan meliputi :
Kegiatan saat KLB :
a. Peningkatan kualitas kesehatan lingkungan yang
1. Penyelidikan KLB mencakup : air bersih, jamban, pembuangan sam-
pah dan air limbah.
a. Tujuan :
b. Promosi kesehatan yang mencakup : pemanfaatan
1) Memutus rantai penularan jamban, air bersih dan minum air yang sudah dima-
sak, pengendalian serangga/lalat.
2) Menegakkan diagnosa penderita yang
dilaporkan
3. Penanggulangan KLB
3) Mengidentifikasi etiologi diare.
a. Mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC)
4) Memastikan terjadinya KLB Diare TCG terdiri dari unsur lintas program dan lintas
5) Mengetahui distribusi penderita menurut waktu, sektor.
tempat dan orang.
b. Pembetukan Pusat Rehidrasi (Posko KLB Diare)
6) Mengidentifikasi sumber dan cara penularan
Pusat Rehidrasi dibentuk dengan maksud untuk
penyakit diare menampung penderita diare yang memerlukan
7) Mengidentifikasi populasi rentan perawatan dan pengobatan. Pusat Rehidrasi
dipimpin oleh seorang dokter dan dibantu oleh

22
tenaga kesehatan yang dapat melakukan Pra dan Saat KLB
tatalaksana kepada penderita diare. Tempat yang
Setelah KLB/wabah tenang, beberapa kegiatan yang perlu
dapat dijadikan sebagai Pusat Rehidrasi adalah
dilakukan :
tempat yang terdekat dari lokasi KLB diare dan
terpisah dari pemukiman. a. Pengamatan intensif masih dilakukan selama 2
minggu berturut-turut (2 kali masa inkubasi
terpanjang), untuk melihat kemungkinan timbulnya
Tugas-tugas di Pusat Rehidrasi :
kasus baru.
1) Memberikan pengobatan penderita diare
b. Perbaikan sarana lingkungan yang diduga
sesuai dengan tatalaksana standar serta
penyebab penularan.
mencatat perkembangan penderita
c. Promosi kesehatan tentang PHBS
2) Melakukan pencatatan penderita : nama, umur,
jenis kelamin, alamat lengkap, masa inkubasi,
gejala, diagnosa/klasifikasi dan lain-lain. PENCEGAHAN DIARE
3) Mengatur logistik obat–obatan dan lain lain. Kegiatan pencegahan penyakit diare yang benar dan
efektif yang dapat dilakukan adalah :
4) Pengambilan sampel usap dubur penderita
sebelum diterapi.
Perilaku Sehat
5) Penyuluhan kesehatan kepada penderita dan
1. Pemberian ASI
keluarganya.
ASI adalah makanan paling baik untuk bayi.
6) Menjaga agar Pusat Rehidrasi tidak menjadi
Komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang
sumber penularan (dengan mengawasi
ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara
pengunjung, isolasi dan desinfeksi).
optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk
7) Membuat laporan harian/mingguan penderita menjaga pertumbuhan sampai umur 6 bulan. Tidak
diare baik rawat jalan maupun rawat inap. ada makanan lain yang dibutuhkan selama masa ini.
8) Sistem rujukan
ASI bersifat steril, berbeda dengan sumber susu lain
seperti susu formula atau cairan lain yang disiapkan
c. Penemuan penderita Diare secara aktif untuk dengan air atau bahan-bahan dapat terkontaminasi
mencegah kematian di masyarakat, dengan dalam botol yang kotor. Pemberian ASI saja, tanpa
kegiatan : cairan atau makanan lain dan tanpa menggunakan
1) Penyuluhan intensif agar penderita segera botol, menghindarkan anak dari bahaya bakteri dan
mencari pertolongan. organisme lain yang akan menyebabkan diare.
2) Mengaktifkan Posyandu sebagai Pos Oralit. Keadaan seperti ini di sebut disusui secara penuh
(memberikan ASI Eksklusif).
3) Melibatkan Kepala Desa/RW/RT atau tokoh
masyarakat untuk membagikan oralit kepada
Bayi harus disusui secara penuh sampai mereka
warganya yang diare berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan dari kehidupannya,
pemberian ASI harus diteruskan sambil ditambahkan
d. Analisis tatalaksana penderita untuk memperoleh dengan makanan lain (proses menyapih).
gambaran :
1) Ratio pengunaan obat (oralit, Zinc, RL, ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik
antibiotika) dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang
dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan
2) Proporsi derajat dehidrasi terhadap diare. Pada bayi yang baru lahir, pemberian
3) Proporsi penderita yang dirawat di Pusat ASI secara penuh mempunyai daya lindung 4 kali lebih
Rehidrasi. besar terhadap diare daripada pemberian ASI yang
disertai dengan susu botol. Flora normal usus bayi
4) Dan lain-lain yang disusui mencegah tumbuhnya bakteri penyebab
botol untuk susu formula, berisiko tinggi menyebabkan
diare yang dapat mengakibatkan terjadinya gizi buruk.

23
2. Makanan Pendamping ASI Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
Pemberian makanan pendamping ASI adalah saat bayi a. Ambil air dari sumber air yang bersih
secara bertahap mulai dibiasakan dengan makanan
b. Simpan air dalam tempat yang bersih dan tertutup
orang dewasa. Perilaku pemberian makanan
serta gunakan gayung khusus untuk mengambil air.
pendamping ASI yang baik meliputi perhatian terhadap
kapan, apa, dan bagaimana makanan pendamping ASI c. Jaga sumber air dari pencemaran oleh binatang
diberikan. dan untuk mandi anak-anak
d. Minum air yang sudah matang (dimasak sampai
Ada beberapa saran untuk meningkatkan pemberian mendidih)
makanan pendamping ASI, yaitu: e. Cuci semua peralatan masak dan peralatan makan
a. Perkenalkan makanan lunak, ketika anak berumur dengan air yang bersih dan cukup.
6 bulan dan dapat teruskan pemberian ASI.
Tambahkan macam makanan setelah anak 4. Mencuci Tangan
berumur 9 bulan atau lebih. Berikan makanan lebih
sering (4x sehari). Setelah anak berumur 1 tahun, Kebiasaan yang berhubungan dengan kebersihan
berikan semua makanan yang dimasak dengan perorangan yang penting dalam penularan kuman
diare adalah mencuci tangan. Mencuci tangan dengan
baik, 4-6 x sehari, serta teruskan pemberian ASI
sabun, terutama sesudah buang air besar, sesudah
bila mungkin.
membuang tinja anak, sebelum menyiapkan makanan,
b. Tambahkan minyak, lemak dan gula ke dalam sebelum menyuapi makan anak dan sebelum makan,
nasi /bubur dan biji-bijian untuk energi. Tambahkan mempunyai dampak dalam kejadian diare
hasil olahan susu, telur, ikan, daging, kacang- ( Menurunkan angka kejadian diare sebesar 47%).
kacangan, buah-buahan dan sayuran berwarna
hijau ke dalam makanannya.
c. Cuci tangan sebelum meyiapkan makanan dan 5. Menggunakan Jamban
meyuapi anak. Suapi anak dengan sendok yang Pengalaman di beberapa negara membuktikan bahwa
bersih. upaya penggunaan jamban mempunyai dampak yang
d. Masak makanan dengan benar, simpan sisanya besar dalam penurunan risiko terhadap penyakit diare.
Keluarga yang tidak mempunyai jamban harus
pada tempat yang dingin dan panaskan dengan
membuat jamban dan keluarga harus buang air besar
benar sebelum diberikan kepada anak.
di jamban.

3. Menggunakan Air Bersih Yang Cukup


Yang harus diperhatikan oleh keluarga :
Penularan kuman infeksius penyebab diare ditularkan
a. Keluarga harus mempunyai jamban yang
melalui Face-Oral kuman tersebut dapat ditularkan bila
masuk ke dalam mulut melalui makanan, minuman berfungsi baik dan dapat dipakai oleh seluruh
atau benda yang tercemar dengan tinja, misalnya jari- anggota keluarga.
jari tangan, makanan yang wadah atau tempat makan- b. Bersihkan jamban secara teratur.
minum yang dicuci dengan air tercemar.
c. Gunakan alas kaki bila akan buang air besar.
Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air yang
benar-benar bersih mempunyai risiko menderita diare
lebih kecil dibanding dengan masyarakat yang tidak 6. Membuang Tinja Bayi Yang Benar
mendapatkan air bersih.
Banyak orang beranggapan bahwa tinja bayi itu tidak
Masyarakat dapat mengurangi risiko terhadap berbahaya. Hal ini tidak benar karena tinja bayi dapat
serangan diare yaitu dengan menggunakan air yang pula menularkan penyakit pada anak-anak dan orang
bersih dan melindungi air tersebut dari kontaminasi tuanya. Tinja bayi harus dibuang secara benar.
mulai dari sumbernya sampai penyimpanan di rumah.

24
Yang harus diperhatikan oleh keluarga: 3. Sarana Pembuangan Air Limbah
a. Kumpulkan segera tinja bayi dan buang di jamban Air limbah baik limbah pabrik atau limbah rumah tangga
harus dikelola sedemikian rupa agar tidak menjadi
b. Bantu anak buang air besar di tempat yang bersih
sumber penularan penyakit.
dan mudah di jangkau olehnya.
Sarana pembuangan air limbah yang tidak memenuhi
c. Bila tidak ada jamban, pilih tempat untuk
syarat akan menimbulkan bau, mengganggu estetika
membuang tinja seperti di dalam lubang atau di
dan dapat menjadi tempat perindukan nyamuk dan
kebun kemudian ditimbun.
bersarangnya tikus, kondisi ini dapat berpotensi
d. Bersihkan dengan benar setelah buang air besar menularkan penyakit seperti leptospirosis, filariasis
dan cuci tangan dengan sabun. untuk daerah yang endemis filaria. Bila ada saluran
pembuangan air limbah di halaman, secara rutin harus
dibersihkan, agar air limbah dapat mengalir, sehingga
7. Pemberian Imunisasi Campak tidak menimbulkan bau yang tidak sedap dan tidak
menjadi tempat perindukan nyamuk.
Pemberian imunisasi campak pada bayi sangat penting
untuk mencegah agar bayi tidak terkena penyakit
campak. Anak yang sakit campak sering disertai diare,
sehingga pemberian imunisasi campak juga dapat
mencegah diare. Oleh karena itu berilah imunisasi
campak segera setelah bayi berumur 9 bulan.

PENYEHATAN LINGKUNGAN
1. Penyediaan Air Bersih
Mengingat bahwa ada beberapa penyakit yang dapat
ditularkan melalui air antara lain adalah diare, kolera,
disentri, hepatitis, penyakit kulit, penyakit mata, dan
berbagai penyakit lainnya, maka penyediaan air bersih
baik secara kuantitas dan kualitas mutlak diperlukan
dalam memenuhi kebutuhan air sehari-hari termasuk
untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan. Untuk
mencegah terjadinya penyakit tersebut, penyediaan air
bersih yang cukup disetiap rumah tangga harus
tersedia. Disamping itu perilaku hidup bersih harus
tetap dilaksanakan.
2. Pengelolaan Sampah
Sumber: Buku Panduan Lintas Diare, www.promosikesehatan.com

Sampah merupakan sumber penyakit dan tempat


berkembang biaknya vektor penyakit seperti lalat,
nyamuk, tikus, kecoa dsb. Selain itu sampah dapat
mencemari tanah dan menimbulkan gangguan
kenyamanan dan estetika seperti bau yang tidak sedap
dan pemandangan yang tidak enak dilihat. Oleh karena
itu pengelolaan sampah sangat penting, untuk
mencegah penularan penyakit tersebut. Tempat
sampah harus disediakan, sampah harus dikumpulkan
setiap hari dan dibuang ke tempat penampungan
sementara. Bila tidak terjangkau oleh pelayanan
pembuangan sampah ke tempat pembuangan akhir
dapat dilakukan pemusnahan sampah dengan cara
ditimbun atau dibakar.

25
Abstract
Diarrhoeal disease is still a major problem in the world wide, especially in the developing countries. In the 1970 and 1980, the
international community committed itself to reduce child mortality from diarrhea by scaling up the use of oral rehydration therapy-
a low-cost and highly effective solution-coupled with programmes to educate caregivers on its appropriate use. The effort met
with great success. The figure has changed little since 2000. On the other hand, the morbidity of diarrhoeal has increased. This
paper is to review the morbidity and mortality of diarrhoeal disease, since year 2000 -2007, based on data of health services and
community.

The morbidity and mortality diarrhea disease are shown to increase in all age groups, with leading cause of overall morbidity
and leading cause of under five and infant mortality. Diarrhoeal disease affects rich and poor, old and young, and those in de-
veloped and developing countries alike, yet a strong relationship exists between poverty, an unhygienic environment, access to
clean water, health and hygiene behavior

Suggest to develop integrated between program and among related institutions to improve unsanitary environments, availability
suplay and access to clean water, and strategy that ensures all people especially children in need receive critical prevention
and treatment measures.

Keywords : diarrhea, prevalence, incidence rate, mortality rate, morbidity rate, children under 5 years

Pendahuluan

Penyakit diare masih merupakan masalah global dengan derajat kesakitan dan kematian yang tinggi di berbagai negara teru-
tama di negara berkembang, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kesakitan dan kematian anak di dunia.
Secara umum, diperkirakan lebih dari 10 juta anak berusia kurang dari 5 tahun meninggal setiap tahunnya, sekitar 20 % me-
ninggal karena infeksi diare.1,2,3,4 Kematian yang disebabkan diare di antara anak – anak terlihat menurun dalam kurun waktu
lebih dari 50 tahun.4 Meskipun mortalitas dari diare dapat diturunkan dengan program rehidrasi/terapi cairan namun angka ke-
sakitannya masih tetap tinggi. Pada saat ini angka kematian yang disebabkan diare adalah 3,8 per 1000 per tahun, median
insidens secara keseluruhan pada anak usia dibawah 5 tahun adalah 3,2 episode anak per tahun. 4

Setiap tahun diperkirakan 2,5 miliar kejadian diare pada anak balita, dan hampir tidak ada perubahan dalam dua dekade tera-
khir. Diare pada balita tersebut lebih dari separohnya terjadi di Afrika dan Asia Selatan, dapat mengakibatkan kematian atau
keadaan berat lainnya. Insidens diare bervariasi menurut musim dan umur. Anak-anak adalah kelompok usia rentan terhadap
diare, insiden diare tertinggi pada kelompok anak usia dibawah dua tahun, dan menurun dengan bertambahnya usia anak. 4

The Millenium Development Goals (MDG’s) menargetkan untuk menurunkan dua per tiga kematian anak dalam periode 1990-
2015. Diare menduduki urutan kedua penyebab kematian pada anak 5, dan sebagai salah satu penyebab utama tingginya
angka kematian anak di dunia4,5

Di Indonesia berdasarkan data laporan Surveilan Terpadu Penyakit (STP) puskesmas dan rumah sakit (RS) secara keseluruhan
angka insidens Diare selama kurun waktu lima tahun dari tahun 2002 sampai tahun 2006 cenderung berfluktuasi dari 6,7 per
1000 pada tahun 2002 menjadi 9,6 per 1000 pada tahun 2006 ( angka insiden bervariasi antara 4,5- 25,7 per 1000).6
Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 penyakit diare menduduki urutan ke dua dari penyakit infeksi den-

26
gan angka morbiditas sebesar 4,0% dan mortalitas 3,8%.7 Dilaporkan pula bahwa penyakit Diare menempati urutan tertinggi
penyebab kematian (9,4%) dari seluruh kematian bayi.8
Dari data riset kesehatan dasar (Riskesdas) Balitbangkes tahun 2007, dilaporkan bahwa prevalensi Diare 9,0%, dan diantara
33 provinsi bervariasi antara 4,2% - 18,9%.9

Adanya kesepakatan Internasional pada tahun 1970 dan 1980 untuk menurunkan angka kematian anak akibat Diare meng-
gunakan Oral Rehydration Salts (ORS), merupakan solusi yang efektif dan harga terjangkau. Saat ini hanya 39 % anak-anak
dengan Diare di negara berkembang yang menerima ORS, diteruskan dengan tetap mendapatkan asupan ASI/makanan.
Demikian pula pencapaian MDG’s dalam menurunkan angka kematian anak, dimana dilaporkan bahwa Diare merupakan salah
satu penyebab tingginya angka kematian pada anak. Meskipun mortalitas dari Diare dapat diturunkan dengan program re-
hidrasi/terapi cairan namun angka kesakitannya masih tetap tinggi, serta adanya tujuh rancangan pengendalian Diare dari
UNICEF dan WHO, maka dalam tulisan ini disampaikan kajian morbiditas dan mortalitas diare pada balita dan bayi di Indonesia
dari berbagai penelitian setelah tahun 2000, yang dapat bermanfaat sebagai informasi dalam perencanaan dan pengembang-
an upaya pengendalian Diare di Indonesia.

Morbiditas Diare
Diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan penularan
nya secara fekal-oral. Diare dapat mengenai semua kelompok umur dan berbagai golongan sosial, baik di negara maju mau-
pun di negara berkembang, dan erat hubungannya dengan kemiskinan serta lingkungan yang tidak higienis. 10

Di Indonesia, Diare merupakan penyakit endemis terdapat disepanjang tahun, dan puncak tertinggi pada peralihan musim
peghujan dan kemarau.11

Dari Gambar 1, data berbasis pelayanan kesehatan, setelah tahun 2000 insidens Diare pada semua kelompok umur terlihat
cenderung menurun pada tahun 2002, kemudian terjadi peningkatan dan penurunan yang bervariasi. Fluktuasi angka insidens
ini disebabkan persentasi kelengkapan laporan dari puskesmas dan rumah sakit (RS) yang bervariasi pula dari tahun ke tahun.
Perbedaan ini disebabkan data tidak dikirim ke pusat atau data yang dikirim kurang lengkap, mungkin karena adanya kebijakan
desentralisasi dari pusat termasuk bidang kesehatan pada tahun 2002. Dilaporkan oleh Ditjen PPM&PL, persentase kelengkap-
an laporan dari puskesmas dari tahun 2001-2004 berkisar 13,6%-24,4%, dan dari RS berkisar 15,4%-14,7%.12 Pada tahun
2008, tiga provinsi tidak mengirimkan laporan/data. Dari data STP Puskesmas yang diterima, kasus yang terbanyak adalah
pada kelompok umur 1- 4 tahun.13

Sumber: Data Surveilans 2000-2004 Direktorak Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Depkes RI 2005;
Buku Data 2006 Subdit. Surveilans Epidemiologi Dit. SEPIM KESMA Ditjen. PP & PL Depkes RI 2007;
Buku Data 2008 Subdit. Surveilans Epidemiologi Dit. SEPIM KESMA Ditjen. PP & PL Depkes RI 2009
Gambar 1: Insidens Diare pada semua kelompok umur tahun 2000-2008

27
Prevalensi Diare pada Balita

Penelitian yang berbasis masyarakat, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilaksanakan di 33 provinsi pada tahun 2007,
melaporkan bahwa angka nasional prevalensi klinis Diare 9,0%, dengan rentang 4,2% - 18,9%. Beberapa provinsi mempunyai
prevalensi Diare klinis diatas angka nasional (9%) di 14 provinsi, prevalensi tertinggi di NAD dan terendah di DI Yogyakarta.9
Terlihat ada kecenderungan peningkatan prevalensi Diare bila dibandingkan dengan SKRT 2001. Prevalensi Diare pada SKRT
tahun 2001 yaitu 4,0%, pada Riskesdas 2007 dilaporkan prevalensi Diare 9.0%. Prevalensi Diare berdasarkan kelompok umur,
dari SKRT 2001 prevalensi diare pada balita (1-4 tahun) 9,4% dan terlihat tinggi pada Riskesdas 2007 yaitu 16,7%. Demikian
pula pada bayi (<1 tahun), yaitu dari SKRT tahun 2001 prevalensi diare pada balita 9,4%, sedangkan pada Riskesdas 2007
dilaporkan 16,5%.9 Tingginya perbedaan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor, dilaporkan bahwa Diare berkait an erat
dengan sanitasi, akses terhadap air bersih dan perilaku hidup sehat dan pemanfaatan pelayanan kesehatan oleh masyarakat.

Meningkatkan pengetahuan masyarakat termasuk pengetahuan tentang hygiene kesehatan dan perilaku cuci tangan yang
benar, dapat mengurangi angka kesakitan Diare sebesar 45%.4 Dari Riskesdas 2007, meskipun terdapat 68,9% rumah tangga
memiliki jamban leher angsa, dan angka ini terlihat meningkat tinggi dibanding temuan Susenas tahun 2004 (49,3%) 14 , namun
menurut Joint Monitoring Program WHO/UNICEF, akses sanitasi disebut “baik” yaitu bila rumah tangga menggunakan sarana
pembuangan kotoran sendiri dengan jenis sarana jamban leher angsa hanya 43,0%. Demikian pula penduduk yang berperilaku
benar dalam BAB 71,1% dan mencuci tangan dengan benar 23,2%.9

Menurut Lee Yong-Wok, dengan meningkatkan suplai air bersih dapat mengurangi angka kesakitan Diare 6% - 25%, termasuk
memperhatikan faktor-faktor terkait lainnya.4 Di Indonesia, secara nasional terdapat 16,2% rumah tangga yang pemakaian air
bersihnya masih rendah yaitu 5,4% tidak memiliki akses pada air bersih dan 10,8% akses terhadap air bersih masih kurang,
berarti mempunyai risiko tinggi untuk mengalami gangguan kesehatan/penyakit.9

Sumber: RISKESDAS 2007


Gambar 2: Prevalensi Diare di Indonesia Tahun 2007

Dehidrasi merupakan salah satu komplikasi penyakit diare yang dapat menyebabkan kematian. 5,10,15 Secara nasional, respon-
den diare klinis yang mendapat oralit adalah 42,2%. Dua belas provinsi mempunyai proporsi pemberian oralit kurang dari pro-
porsi nasional, terendah ditemukan di provinsi Banten.9

28
Sumber : RISKESDAS 2007
Gambar 3: Proporsi penderita diare yang mendapat Oralit di Indonesia.

Adanya komitmen secara Internasional untuk menggunakan Oral rehydration salts (ORS) dalam pengendalian Diare secara
efektif dan harga terjangkau, yang telah sukses menurunkan angka kematian balita akibat Diare secara global, namun setelah
tahun 2000 terlihat statis, saat hanya 39% anak balita yang mendapatkan ORS dan dilanjutkan dengan tetap mendapatkan
asupan ASI/makanan hanya terlihat sangat sedikit semenjak tahun 2000.5
Dari Riskesdas 2007, terlihat penggunaan oralit pada Diare ditemukan pada semua kelompok umur, tertinggi pada balita dan
bayi. Kelompok balita dan bayi dengan prevalensi Diare tinggi, tidak selalu diberi oralit. Proporsi yang mendapat oralit pada
kedua kelompok tersebut berturut-turut balita 55,5% dan bayi 52,8%.

Sumber : RISKESDAS 2007


Gambar 4: Prevalensi Diare berdasarkan
oralit berdasarkan kelompok
umur

Sumber : RISKESDAS 2007


Gambar 5: Proporsi responden yang mengguna
kan kelompok umur

29
Penyakit Diare erat hubungannya dengan status ekonomi. 5,10,15 Pada Tabel 1, terlihat prevalensi diare cenderung lebih tinggi
pada kelompok dengan pengeluaran rumah tangga (RT) lebih rendah. Sedangkan yang menggunakan oralit hampir tidak ada
perbedaan diantara kelompok pengeluaran (RT) per kapita. Keadaan ini mungkin kurangnya pemanfaatan pelayanan kese-
hatan bagi masyarakat dengan pengeluaran (RT) rendah.

Tabel 1. Prevalensi responden diare yang menggunakan oralit berdasarkan tingkat pengeluaran per kapita
Tingkat pengeluaran
per kapita Diare Menggunakan Oralit
Kuintil.1 10,0% 41,8%
Kuintil.2 9,5% 43,0%
Kuintil.3 9,0% 41,5%
Kuintil.4 8,6% 42,2%
Kuintil.5 7,9% 41,9%
Sumber: RISKESDAS 2007

Mortalitas Diare
WHO melaporkan bahwa penyebab utama kematian pada balita adalah Diare (post neonatal) 14% dan Pneumonia (post neo-
natal) 14% kemudian Malaria 8%, penyakit tidak menular (post neonatal) 4% injuri (post neonatal) 3%, HIVAIDS 2%, campak
1% , dan lainnya 13%, dan kematian yang bayi <1 bulan (newborns death) 41%. Kematian pada bayi umur <1 bulan akibat
Diare yaitu 2%.16 Terlihat bahwa Diare sebagai salah satu penyebab utama tingginya angka kematian anak di dunia 4 .

Di Indonesia, penyebab kematian akibat Diare pada semua kelompok umur, dari SKRT tahun 2001 (17%) menduduki urutan ke
2; dari SKRT tahun 2003 (19%) menduduki urutan pertama dan dari Riskesdas 2007 pada penyakit menular (13,2%) men-
duduki urutan ke 4.17 Namun penyebab kematian akibat Diare pada balita pada SKRT 2003 (19%), angka ini ditemukan lebih
tinggi pada Riskesdas 2007 yaitu 25,2% dan menduduki urutan pertama / tertinggi. Demikian pula kelompok umur 29 hari-11
bulan (31,4%), juga menduduki urutan pertama/ tertinggi. Dalam hal ini ditemukan adanya peningkatan yang cukup tinggi pro-
porsi kematian balita akibat Diare. Peningkatan proporsi dapat dikatakan masih kurangnya pemanfaatan sarana pelayanan
kesehatan ( RS, puskesmas, puskesmas pembantu, dokter praktek dan bidan praktek) oleh masyarakat karena jaraknya jauh
dan waktu tempuh yang lama yaitu masih besarnya proporsi rumah tangga dengan jarak >5 km ke sarana pelayanan kesehatan
di pedesaan , demikian pula proporsi rumah tangga dengan >30 menit. Meskipun di pedesaan proporsi jarak rumah tangga ke
Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM) jauh lebih besar yaitu 78,9%, yang memanfaatkan posyandu hanya 27,3%. 9
Terlihat masih kurangnya pengetahuan dan perhatian masyarakat terhadap kesehatan.

Tabel 2. Proporsi Penyebab Kematian pada umur 29 hari


No. 29 hari - 11 bulan (n=173) % 1-4 tahun (n=103) %
1 Diare 31,4 Diare 25,2
2 Pnemonia 23,8 Pnemonia 15,5
3 Meningitis/Ensephalitis 9,3 NecroticansEntero Collitis (NEC) 10,7
4 Kelainan saluran pencernaan 6,4 Meningitis/Ensephalitis 8,8
5 Kelainan jantung kongenital 5,8 Demam berdarah dengue 6,8
dan hidrosefalus
6 Sepsis 4,1 Campak 5,8
7 Tetanus 2,9 Tenggelam 4,9
8 Malnutrisi 2,3 TB 3,9
9 TB 1,2 Malaria 2,9
10 Campak 1,2 Leukemia 2,9
Sumber: RISKESDAS 2007

30
Kesimpulan
Angka insidens Diare berbasis pelayanan kesehatan berfluktuasi dari tahun ke tahun, data yang diperoleh berdasarkan laporan
yang dikirimkan dari RS dan puskesmas. Masih ada daerah yang tidak mengirimkan laporan ke pusat, juga adanya data yang
dikirimkan kurang lengkap.

Berdasarkan informasi berbasis masyarakat yaitu SKRT dan Riskesdas ditemukan prevalensi Diare dari tahun 2001-2007
cenderung meningkat pada semua kelompok umur. Berdasarkan kelompok umur ditemukan peningkatan yang cukup tinggi baik
pada bayi maupun pada balita.

Penggunaan oralit pada Diare ditemukan pada semua kelompok umur, tertinggi pada balita dan bayi. Kelompok balita dan bayi
dengan prevalensi Diare tinggi, tidak selalu diberi oralit. Proporsi yang mendapat oralit pada kedua kelompok tersebut berturut-
turut balita 55,5% dan bayi 52,8%. Hampir tidak ada perbedaan penggunaan oralit berdasarkan pengeluaran rumah tangga per
kapita.

Penyakit Diare erat hubungannya dengan status ekonomi. Prevalensi Diare cenderung lebih tinggi pada kelompok dengan
pengeluaran rumah tangga (RT) per kapita yang lebih rendah.

Penyebab kematian akibat Diare masih menduduki urutan pertama dibanding penyakit menular lainnya, baik pada bayi maupun
balita.

Saran
Adanya program lintas program dan lintas sektor disertai adanya komitmen dari pemangku jabatan dengan memperhatikan
faktor-faktor terkait. Meningkatkan pengetahuan masyarakat termasuk pengetahuan tentang hygiene kesehatan, termasuk
berperilaku benar dan sehat, terpenuhinya kebutuhan masyarakat terhadap suplai air bersih, sarana pembuangan kotoran
sendiri. Adanya sarana dan prasarana dalam pengendalian kejadian Diare di masyarakat.

Mengingat Indonesia adalah daerah endemis Diare, diperlukan sistem data yang sederhana namun mencakup aspek-aspek
yang erat hubungannya dengan Diare dalam upaya perencanaan dan pengembangan upaya pengendalian morbiditas dan mor-
talitas Diare pada masyarakat.

Perlu dilakukan penelitian mengenai mikrobiologi penyebab Diare termasuk epidemiologi Diare sesuai situasi dan kondisi
setempat. Serta pengembangan laboratorium setempat untuk mengetahui mikrobiologi penyebab Diare. Dalam upaya mening-
katkan kualitas pelayanan, dan penentuan terapi yang tepat bagi masyarakat.

Sumber: Buku Panduan Lintas Diare, www.promosikesehatan.com

31
Daftar Pustaka
1. Black, R.E., Morris, S.S., and Bryce, JWhere and why are 10 million children dying
every year? Lancet . 2003, 361: 2226-2234.
2. Kosek, M., Bern, C., and Guerrant, R.L. The global burden of diarrhoeal disease, as
estimated from studies published between 1992 and 2000. Bull World Health Organ. 2003, 81: 197-204.
3. LEE Jong-wook, Director-General, World Health Organization. Water, sanitation and hygiene
links to health. Facts and figures updated November 2004

4. Parashar, U.D., Hummelman, E.G., Bresee, J.S., Miller, M.A., and Glass, R.I. (2003) Global
illness and deaths caused by rotavirus disease in children. Emerg Infect Dis 9: 565-572.
5. UNICEF-WHO. Diarhoea: Why children are still dying and what can be done. 2009
6. Ditjen.PP & PL. Departeman Kesehatan RI. Dit.Sepim Kesma. Buku data 2006
7. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Survei Kesehatan Rumah tangga 2001.
Laporan Studi mortalitas 2001: Pola Penyebab Kematian di Indonesia. 2002.
8. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Survei
Kesehatan Rumah tangga 2001. Laporan SKRT 2001: Studi Morbiditas dan Disabilitas 2002.
9. Badan penelitian dan pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) . 2007.
10. Gerald T. Keusch, Olivier Fontaine, Alok Bhargava. dkk. Diarrheal Diseases. di unduh dari Disease Control Priorities
Project. http://www.dcp2.org/pubs/DCP/19/, 15 Desember 2009
11. Magdarina D Agtini, Rooswanti Soeharno, Murad Lesmana, dkk. The burden of diarrhoea,
shigellosis, and cholera in North Jakarta, Indonesia: findings from 24 months surveillance.
BMC Infectious Diseases 2005, 5:89
12. Ditjen.PPM & PL. Departeman Kesehatan RI. Dit.Sepim Kesma. Data Surveilans 2000- 2004.
13. Ditjen.PPM & PL. Departeman Kesehatan RI. Dit.Sepim Kesma.Buku Data 2008
14. Badan Litbangkes Dep Kes RI. Susenas 2004.
15. WHO. Diarrhoeal disease . August 2009, diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs330/en/index.html. 4
Maret 2011
16. Badan Litbangkes Dep Kes RI. SKRT 2003
17. WHO. World Health Statistics 2010: Causes of death .

Sumber: Buku Panduan Lintas Diare, www.promosikesehatan.com

32
PENDAHULUAN

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan diare sebagai kejadian buang air besar dengan konsistensi lebih cair dari
biasanya, dengan frekuensi kali atau lebih selama 1 hari atau lebih. Definisi ini lebih menekankan pada konsistensi tinja
daripada frekuensinya. Jika frekuensi BAB meningkat namun konsistensi tinja padat, maka tidak disebut sebagai diare. Bayi
yang menerima ASI eksklusif sering mempunyai tinja yang agak cair, atau seperti pasta; hal ini juga tidak disebut diare. Ibu
biasanya mengetahui kapan anak mereka terkena diare dan dapat menjadi sumber diagnosis kerja yang penting. Diare
menyerang anak pada tahun-tahun pertama kehidupannya. Insidensi diare tertinggi pada anak di bawah umur 2 tahun, dan
akan menurun seiring bertambahnya usia.

Diare merupakan masalah kesehatan terutama pada balita baik di tingkat global, regional maupun nasional. Pada tingkat
global, diare menyebabkan 16% kematian, sedikit lebih rendah dibandingkan dengan pneumonia, sedangkan pada tingkat
regional (negara berkembang), diare menyumbang sekitar 18% kematian balita dari 3.070 juta balita. Di Indonesia, diare
menjadi penyebab utama kematian pada balita, yaitu 25,2%, lebih tinggi dibanding pneumonia, 15,5% (Riskesdas, 2007). Hal
ini tentu menjadi masalah yang serius untuk Indonesia dalam rangka mencapai tujuan keempat dari pembangunan milenium
(Millenium Development Goals/MDGs) yaitu menurunkan angka kematian bayi menjadi 2/3 dalam kurun waktu 25 tahun (1990-
2015).

DIARE ROTAVIRUS

ETIOLOGI
Diare merupakan suatu kumpulan dari gejala infeksi pada saluran pencernaan yang dapat disebabkan oleh beberapa
organisme seperti bakteri, virus dan parasit. Beberapa organisme tersebut biasanya menginfeksi saluran pencernaan manusia
melalui makanan dan minuman yang telah tercemar oleh organisme tersebut (food borne disease).

Organisme penyebab diare biasanya berbentuk renik dan mampu menimbulkan diare yang dapat dibedakan menjadi 3 jenis
berdasarkan gejala klinisnya. Jenis yang pertama adalah diare cair akut dimana balita akan kehilangan cairan tubuh dalam
jumlah yang besar sehingga mampu menyebabkan dehidrasi dalam waktu yang cepat. Jenis kedua adalah diare akut berdarah
yang sering disebut dengan disentri. Diare ini ditandai dengan adanya darah dalam tinja yang disebabkan akibat kerusakan
usus. Balita yang menderita diare berdarah akan menyebabkan kehilangan zat gizi yang berdampak pada penurunan status
gizi. Jenis yang ketiga adalah diare persisten dimana kejadian diare dapat berlangsung ≥14 hari. Diare jenis ini sering terjadi
pada anak dengan status gizi rendah, AIDS, dan anak dalam kondisi infeksi (WHO, 2010).

Beberapa jenis diare tersebut sering disebabkan oleh organisme renik seperti bakteri dan virus. Bakteri patogen seperti E.coli,
Shigella, Campylobacter, Salmonella dan Vibrio cholera merupakan beberapa contoh bakteri patogen yang menyebabkan
epidemi diare pada anak. Kolera merupakan salah satu contoh kasus epidemik dan sering diidentikkan dengan penyebabkan
kematian utama pada anak. Namun sebagian besar kejadian diare yang disebabkan oleh kolera terjadi pada dewasa dan anak
dengan usia yang lebih besar. Diare cair pada anak sebagian besar disebabkan oleh infeksi rotavirus , V. cholera dan E.coli.
Diare berdarah paling sering disebabkan oleh Shigela (UNICEF dan WHO, 2009). Sedangkan diare cair akut pada anak di
bawah lima tahun paling banyak disebabkan oleh infeksi rotavirus.

33
Gambar1. Kematian anak akibat diare rotavirus pada tahun 2004, sebesar 527.000 jiwa (WHO, 2005)

EPIDEMIOLOGI ROTAVIRUS

Rotavirus merupakan penyebab utama diare dengan dehidrasi berat pada anak dibawah 5 tahun di seluruh dunia. Sebuah studi
metaanalisis yang dilakukan oleh Parashar et al. (2009) menunjukkan bahwa infeksi rotavirus dapat menyebabkan 114 juta
episode diare, 24 juta kunjungan rawat jalan, 2,4 juta kunjungan rawat inap dan 610.000 kematian balita pada tahun 2004.
Diperkirakan 82% kematian akibat diare rotavirus terjadi pada negara berkembang, terutama di Asia dan Afrika, dimana akses
kesehatan dan status gizi masih menjadi masalah (Binka et al., 2003).

Kajian ARSN (Asian Rotavirus Surveillance Networks) kedua yang dilakukan di beberapa negara di Asia (Cina, Taiwan,
Hongkong, Vietnam, Myanmar, Thailand, Malaysia dan Indonesia) mendapatkan hasil bahwa infeksi rotavirus bertanggung
jawab terhadap 45% kejadian diare di Asia (Nelson et al., 2008). Hongkong merupakan daerah dengan prevalensi rotavirus
terendah (28%), sedangkan prevalensi tertinggi terdapat di negara Vietnam (59%). Namun demikian temuan ini perlu dikaji lebih
lanjut, oleh karena angka-angka tersebut merupakan hasil surveilans pada rumah sakit, dengan indikasi rawat inap pasien yang
berbeda, sedangkan sebagian besar diare rotavirus dibuktikan secara konklusif, bahwa bentuk diare dan dehidrasinya berat.
Dengan demikian, di rumah sakit yang kriteria rawat inap bukan hanya berdasar pada diare dan dehidrasi berat saja, maka
prevalensi rotavirusnya rendah.

Gambar 2. Persentasi kejadian infeksi rotavirus di beberapa Negara di Asia (Bresee, 2004)

34
Survei yang dilakukan di 6 rumah sakit di Indonesia dengan masa inkubasi 24-72 jam. Gejala yang timbul
melaporkan bahwa rotavirus bertanggung jawab terhadap bervariasi dari ringan sampai berat, didahului oleh muntah
60% angka kejadian diare. Pada survei rumah sakit -muntah yang diikuti 4-8 hari diare hebat yang dapat
tersebut ditunjukkan, bahwa kejadian diare rotavirus terjadi menyebabkan dehidrasi berat dan berujung pada
sepanjang tahun, dengan kejadian tertinggi pada musim kematian.
panas dan kering, yaitu sekitar bulan Juni-Agustus. Diare
karena rotavirus umumnya menyerang anak pada Sebuah studi yang dilakukan oleh Sungkapalee et al.
kelompok umur 6-24 bulan, dengan puncaknya pada usia (2006) pada 103 anak positif rotavirus menunjukkan
9-12 bulan. Bayi prematur, kelompok usia lanjut, dan orang bahwa gejala klinis dari infeksi rotavirus meliputi diare cair
dengan gangguan sistem imun rentan terhadap infeksi akut (79,6%), demam (81,5%), mual atau muntah (80,6%).
rotavirus. Nguyen et al. (2004) menunjukkan bahwa gejala klinis dari
infeksi rotavirus adalah gabungan antara demam, muntah
dan dehidrasi (42%), muntah-dehidrasi (20%) dan demam-
dehidrasi (14%). Studi yang dilakukan oleh Soenarto et al.
(2009) menunjukkan hal yang hampir sama bahwa anak
dengan infeksi rotavirus mengalami dehidrasi dan muntah
yang lebih tinggi secara bermakna dibanding dengan anak
diare yang tidak ditemukan rotavirus pada tinjanya.

DIAGNOSIS
Diagnosis rotavirus merupakan salah satu hal yang sulit,
namun bukan mustahil untuk dilakukan. Diagnosis
rotavirus dapat dilakukan dengan melihat gejala
berdasarkan manifestasi klinis penderita atau pemeriksaan
penunjang yang sifatnya tidak spesifik. Pengujian kadar
enzim (Enzyme Linked Immunosorbent Assay/ELISA) dan
aglutinasi lateks merupakan metode yang dapat digunakan
sebagai deteksi antigen rotavirus pada tinja dan telah
Gambar 3. Pengaruh musim terhadap diare rotavirus pada enam dipasarkan secara luas. Kedua jenis pemeriksaan tersebut
rumah sakit di Indonesia (Soenarto et al., 2009) memiliki spesifisitas yang tinggi.

PATOFISIOLOGI Metode lain dalam mendiagnosis rotavirus adalah dengan


Mekanisme terjadinya diare oleh infeksi rotavirus telah menggunakan mikroskop elektron dan teknik amplifikasi
diketahui melalui berbagai mekanisme yang berbeda. terhadap asam nukleat yang spesifik. Metode lainnya yang
Mekanisme ini meliputi malabsorbsi akibat kerusakan sel sering digunakan untuk mendiagnosis rotavirus antara lain
usus (enterosit), toksin, perangsangan saraf enterik serta radioimmunoassay, counter immune electro-osmophoresis
adanya iskemik pada vilus. dan kultur jaringan. Namun, metode ELISA dan aglutinasi
lateks merupakan metode yang paling sering digunakan
Rotavirus yang tidak ternetralkan oleh asam lambung akan karena memiliki spesifisitas yang tinggi, mudah dikerjakan,
masuk ke dalam bagian proksimal usus. Rotavirus serta hasilnya dapat diketahui dengan cepat.
kemudian akan masuk ke sel epitel dengan masa inkubasi
18-36 jam, dimana pada saat ini virus akan menghasilkan PENULARAN PENYAKIT
enterotoksin NSP-4. Enterotoksin ini akan menyebabkan Penderita diare rotavirus dapat mengekskresi virus dalam
kerusakan permukaan epitel pada vili, menurunkan sekresi jumlah besar, yang dapat menyebar melalui tangan yang
enzim pencernaan usus halus, menurunkan aktivitas Na+ terkontaminasi. Rotavirus merupakan virus yang tahan
kotransporter serta menstimulasi syaraf enterik yang terhadap berbagai lingkungan, sehingga dapat ditularkan
menyebabkan diare (Ramig, 2004). melalui berbagai benda yang terkontaminasi, air, maupun
makanan. Pada iklim tropis, rotavirus pada tinja dapat
GEJALA KLINIK bertahan hidup sampai 2 bulan. Para peneliti juga
Rotavirus adalah virus RNA yang tergolong dalam famili menduga bahwa rotavirus dapat ditularkan melalui udara,
Reoviridae. Penularan rotavirus terjadi melalui faecal-oral. karena virus ini juga terdeteksi di sekresi saluran nafas
Rotavirus akan menginfeksi dan merusak sel-sel yang pada anak yang menderita infeksi rotavirus.
membatasi usus halus dan menyebabkan diare cair akut

35
PENANGANAN
Penanganan diare rotavirus mengikuti manajemen utama VAKSIN ROTAVIRUS
diare yang disosialisasikan oleh DepKes dan IDAI, yaitu Infeksi pertama rotavirus akan menimbulkan kekebalan
“Lima Langkah Tuntaskan Diare” (LINTAS DIARE) yang terhadap infeksi rotavirus selanjutnya, dan dapat
mencakup: (1) Oralit formula baru (2) Pemberian zink melindungi terhadap infeksi rotavirus dengan strain yang
selama 10 hari (3) Melanjutkan pemberian ASI dan berbeda. Hal ini menjadi dasar pemikiran pembuatan
makanan (4) Pemberian antibiotik selektif sesuai indikasi vaksin untuk menginduksi kekebalan terhadap rotavirus.
dan (5) Konseling ibu. Untuk diare yang disebabkan oleh Vaksin rotavirus yang pertama kali dikeluarkan di dunia
rotavirus (tinja tanpa darah, muntah dan dehidrasi berat, pada tahun 1998 di Amerika Serikat, Rotashield,
diare berat, demam), tentu saja antibiotik tidak diberikan. menunjukkan perlindungan sebesar 80% dalam mencegah
Berdasarkan penelitian di rumah sakit Sardjito, dengan diare berat pada anak yang divaksinasi. Vaksin ini
pemberian zink, pasien dan dokter merasa puas karena kemudian ditarik dari peredaran oleh pabriknya karena
pasien merasa diberikan obat dan cepat sembuh. Namun dugaan kaitan dengan peningkatan risiko intususepsi
demikian, perlu ditekankan pentingnya meneruskan zink (sumbatan usus yang terjadi karena ‘melipatnya’ bagian
sampai 10 hari untuk mencegah berulangnya diare pada 3 usus ke dalam rongga usus itu sendiri), yang ditemukan <1
bulan mendatang. Tatalaksana tersebut berhasil kejadian dari 10.000 anak. (WHO, 2009).
menurunkan angka kematian, namun belum bisa
menurunkan angka kejadian diare. Pada tahun 2006, 2 vaksin rotavirus baru diedarkan,
setelah penelitian-penelitian membuktikan efikasi dan
Perbaikan status dehidrasi sangat penting untuk keamanannya di sejumlah negara-negara menengah ke
menghindari kematian, dengan mengganti cairan dan atas dan juga di negara-negara Asia Afrika. Vaksin
garam yang hilang, sampai perjalanan alamiah penyakit Rotarix® (GlaxoSmithKline) merupakan vaksin hidup pada
berhenti dengan sendirinya. Pada kasus-kasus yang lebih manusia yang dilemahkan. Vaksin ini diketahui secara
parah, muntah-muntah yang sering akan menghambat efektif menurunkan kejadian diare rotavirus sebesar 57%
terapi rehidrasi secara oral. Anak yang tidak dapat minum dan mempunyai efek proteksi lebih dari 70%. Vaksin ini
membutuhkan terapi intravena segera, jika pemberian diberikan secara oral dalam 2 dosis (106 cfu/ml/dosis)
cairan melalui nasogastrik juga tidak dapat dilakukan. dengan rentang waktu 8 minggu setiap pemberian vaksin.
Dosis pertama diberikan pada rentang usia 6-14 minggu,
Walaupun sebagian besar diare dapat ditangani di rumah dan dosis kedua pada umur 24 minggu. Vaksin Rotavirus
oleh orang tua pasien, sekitar 1 dari 65 kasus diare lainnya yang mengandung 5 strain rotavirus dikembangkan
rotavirus membutuhkan rawat inap di rumah sakit untuk dari serum manusia dan bovine (sapi), vaksin ini lebih
pemberian cairan intravena. Di negara-negara berkembang dikenal dengan nama RotaTeq® (Merck). RotaTeq®
dan miskin yang kekurangan rumah sakit dan fasilitas dilaporkan mempunyai efek perlindungan lebih dari 90%.
pemberian cairan lewat naso gastric tube atau intravena, RotaTeq diberikan secara oral dan dilakukan dalam 3
angka kematian dapat menjadi tinggi. Pencegahan dosis. Jarak pemberian antar dosis berkisar 4-10 minggu
penyakit adalah langkah terbaik untuk melindungi anak- sejak pemberian dosis pertama. Dosis pertama diberikan
anak di negara miskin. pada saat bayi berumur 1,5 bulan. Dosis ketiga maksimal
diberikan pada usia 8 bulan. Rotarix® dan RotaTeq® dapat
Status sosial ekonomi, hygiene dan pemberian makanan diberikan secara bersamaan dengan vaksin-vaksin lain
yang baik, termasuk pemberian ASI, berkaitan dengan pada anak, tanpa mengurangi efektivitasnya.
insidensi diare. Hasil penelitian melaporkan, tidak seperti Kontraindikasi diberikannya vaksin adalah hipersensitivitas
diare pada umumnya, khususnya pada disentri dimana terhadap komponen vaksin dan penderita SCID (Severe
cuci tangan dengan air mengalir dan sabun dapat secara Combined Immunodeficiency Disease). Sedangkan
bermakna menurunkan kejadian diare, pada diare rotavirus kejadian ikutan paska imunisasi yang dilaporkan adalah
tidak demikian halnya. Di negara maju dimana tingkat demam, tinja berdarah, muntah, diare, nyeri perut,
hygiene dan sanitasi tinggi, infeksi rotavirus masih tinggi. gastroenteritis, dan dehidrasi.
Oleh karena itu, dipercaya bahwa diare rotavirus tidak
dapat diatasi dengan upaya preventif standar saja. Sayangnya kedua vaksin rotavirus tersebut harganya
masih mahal. Walau GAVI (The Global Alliance for
Tingginya angka kejadian diare akibat rotavirus, serta Vaccines and Immunization) memberi bantuan kepada
tingginya angka kematian akibat diare rotavirus, yang tidak negara berpenghasilan rendah dalam pengadaan vaksin
dapat diatasi hanya dengan menjaga hygiene dan sanitasi, rotavirus, masih perlu dipikirkan kelangsungan programnya
menuntut adanya terobosan baru dalam mengatasi apabila dukungan dihentikan.
masalah kesehatan akibat rotavirus, yaitu dengan vaksin.

36
Untuk menjawab permasalahan tersebut, dilakukan berbagai alternatif pembuatan vaksin baru, yang lebih ekonomis, dan
berhasil guna yang lebih sesuai untuk negara-negara berkembang. Vaksin-vaksin baru terhadap rotavirus yang sedang
dikembangkan di dunia dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Jenis Vaksin Perusahaan Farmasi/ Tim Peneliti Tahap penelitian
Lamb, derived, live attenuated Lanzhou Ins. China Used in China;controlled phase III pending
Live human neonatal strain, oral Australia-Indonesia Phase I, Early phase II
(RV3)
Live attenuated, human neonatal India and PATH Phase I
strains, oral
RV VLPs Various research groups Preclinical

Sebuah inovasi alternatif pembuatan vaksin baru sedang dikembangkan melalui kerjasama Australia Indonesia, yaitu vaksin
oral RV3. Vaksin ini diharapkan memiliki harga terjangkau dan dapat memenuhi kebutuhan anak-anak di Indonesia serta
negara-negara berkembang lainnya. Vaksin ini berasal dari strain rotavirus yang ditemukan secara alami pada neonatus sehat,
sehingga dapat diberikan sejak lahir. Hal ini menguntungkan karena: (1) Melindungi terhadap infeksi rotavirus sedini mungkin
(infeksi pertama rotavirus biasanya terjadi pada usia 3 bulan), (2) mencegah risiko terjadinya intususepsi dan kejadian ikutan
paska imunisasi lainnya (KIPI), karena diisolasi dari neonatus sehat, dan juga karena kejadian alami intususepsi itu sendiri
sangat rendah pada usia kurang dari 3 bulan, dan (3) meningkatkan cakupan imunisasi.

Pada bulan April 2009, WHO merekomendasikan semua lembaga kesehatan di dunia untuk memberikan vaksinasi rotavirus
pada program imunisasi nasional. WHO menyatakan bahwa pengembangan vaksin rotavirus yang aman dan terjangkau harus
menjadi prioritas internasional dan WHO mendukung penuh kolaborasi Australia dan Indonesia dalam pengembangan vaksin
RV3. Beberapa tahun sejak ditemukannya rotavirus oleh Prof. Ruth Bishop; Indonesia, melalui Fakultas Kedokteran UGM telah
membangun kerjasama dalam melakukan surveilans rotavirus di Indonesia, dan telah menjadi anggota Asian Rotavirus
Surveillance Network yang didukung oleh WHO, US Centre for Disease Control (CDC), Program in Appropiate Technology in
Health (PATH), dengan banyak institusi lain. Di Indonesia sejak tahun 2005 telah dibentuk IRSN (Indonesian Rotavirus
Surveillance Network) yang beranggotakan: RS. Muhammad Husein, Palembang; RS. Cipto Mangunkusumo, Jakarta; RS.
Hasan Sadikin, Bandung; RSUP Sardjito, Yogyakarta; RSUD Wirosaban, Yogyakarta; RSUD Purworejo, Jawa Tengah; RS.
Sanglah, Bali; dan RSU. Mataram, Lombok. Pada tahun 2006, di keenam rumah sakit ini telah dilakukan surveilans untuk
mengetahui karakteristik infeksi rotavirus yang beredar di Indonesia.

Pengembangan vaksin rotavirus sangat penting bagi Indonesia agar dapat menurunkan kematian pada anak dan mencapai
MDG4. Dari sebuah studi kohort yang melibatkan 4,2 juta anak Indonesia, diperkirakan bahwa adanya imunisasi rutin dengan
vaksin Rotavirus dapat mencegah 8148 kematian, 176.375 kasus rawat inap dan 488.547 rawat jalan karena diare di Indonesia.
Kerjasama antara Academician-Business-Government (ABG) sangat menguntungkan untuk kesuksesan pengembangan vaksin
di Indonesia ini. Pada beberapa bulan terakhir ini, salah satu vaksin rotavirus telah disetujui ijin edarnya di Indonesia, dengan
harga yang sudah mengalami penurunan.

Pemberian vaksin rotavirus adalah salah satu dari 7 langkah yang direkomendasikan WHO untuk pengendalian diare secara
komprehensif. Langkah-langkah lainnya adalah: penggantian cairan untuk mencegah dehidrasi, terapi zink, vaksinasi rotavirus
dan campak, ASI eksklusif dan suplementasi vitamin A, membiasakan cuci tangan dengan sabun, meningkatkan suplai air
bersih, dan peningkatan sanitasi komunitas.

Pemberian vaksin rotavirus secepatnya secara global tidak hanya akan mencegah diare berat dan dehidrasi pada anak, tetapi
dapat pula memperkuat aspek pengendalian diare. Orang tua dan komunitas perlu mengerti bahwa vaksin baru ini hanya
mencegah sebagian dari seluruh penyakit diare, dan edukasi tentang vaksin harus mencakup strategi pencegahan lainnya
termasuk pengobatan yang bisa dilakukan di rumah dan kapan harus mencari pertolongan medis.

ACKNOWLEDGEMENT
Kami mengucapkan terima kasih kepada dr. Kristy Iskandar, PhD dan Rio Jati Kusuma, S. Gz dari Kantor Penelitian Bagian
Anak Fakultas Kedokteran UGM/RSUP Dr. Sardjito atas kontribusinya dalam penyusunan buletin ini.

37
REFERENSI
1. Angel J, Franco MA, Greenberg HB. “Rotavirus vaccines: recent developments and future considerations.” (Nat Rev Microbiol.) Jul;5
(7):529-39 ( 2007).Bass DM. Rotavirus vaccinology: good news and bad news. JPGN 2000; 38;10-11.
2. Bock HL. Rotavirus Vaccine -clinical update.Dipresentasikan pada Seminar on Vaccinology Update, Kinabalu
3. Barnes G. Rotavirus vaccine. JPGN 2000; 38:12-17.
4. Barnes GL, Lund JS, Mitchell SV, De Bruyn L, Piggford L, Smith AL, Furmedge J, Masendycz PJ, Bugg HC, Bogdanovic-Sakran N,
Carlin JB, Bishop RF. “Early phase II trial of human rotavirus vaccine candidate RV3.” (Vaccine. Jul 26;20(23-24):2950-6) 2002.
5. Bresee J, Fang ZY, Wang B, Nelson EA, Tam J, Soenarto Y, Wilopo SA, Kilgore P, Kim JS, Kang JO, Lan WS, Gaik CL, Moe K, Chen
KT, Jiraphongsa C, Ponguswanna Y, Nguyen VM, Phan VT, Le TL, Hummelman E, Gentsch JR, Glass R, dan Asian Rotavirus
Surveillance Network. “First report from the Asian Rotavirus Surveillance Network.” (Emerg Infect Dis.Jun;10(6):988-95. Review) 2004 .
6. Binka, F.N.; Anto, F.K.; Oduro, A.R.; Awini, E.A.; Nazzar, A.K.; Armah, G.E.; Asmah, R.H.; Hall, A.J.; Cutts, F.; Alexander, N.; Brown, D.;
Green, J.; Gray, J.; Itturiza-Gomara, M.; Navrongo Rotavirus Research Group. Incidence and risk factors of paediatric rotavirus diarrhoea
in northern Ghana. Trop Med Int Health 2003; 8(9):840-846.
7. Chan J, Nirwati H, Triasih R, Bogdanovic-Sakran N, Soenarto Y, Hakimi M, Duke T, Buttery JP, Bines JE, Bishop RF, Kirkwood CD,
Danchin MD. “Maternal antibodies to rotavirus: Could they interfere with live rotavirus vaccines in developing countries?” (Vaccine. Feb
1;29(6):1242-7. Epub 2010 Dec 13.) 2011.
8. E.A.S. Nelsona, ∗, J.S. Breseeb, U.D. Parasharb, M.-A. Widdowsonb, R.I. Glassc,. “Rotavirus epidemiology: The Asian Rotavirus
Surveillance Network.” Vaccine 26 (2008) 3192–3196 (t.thn.).
9. Fang, Z.Y.; Wang, B.; Breese, J.S.; Zhang, L.J.; Sun, L.W.; Du, Z.Q.; Tang, J.Y.; Hou, A.C.; Shen, H.; Song, X.B.; Nyambat, B.;
Hummelman, E.; Xu, Z.Y.; Glass, R.I. Sentinel hospital surveillance for rotavirus diarrhea in the People's Republic of China, August 2001
-July 2003. J Infect Dis 2005; Sep 1;192 Suppl 1:S94-9.
10. Juana Angel, Manuel A. Franco and Harry B. Greenberg. “Rotavirus vaccines: recent developments and future consideration.” (Nature
Reviews Microbiology) 5:529–539 (2007).
11. Linhares AC, Gabbay YB, Mascarenhas JD, Freitas RB, Flewett TH, Beards GM. “Epidemiology of rotavirus subgroups and serotypes in
Belem, Brazil: a three-year study.” (Ann. Inst. Pasteur Virol. 139 (1): 89–99) 1988.
12. Nelson EA, Bresee JS, Parashar UD, Widdowson MA, Glass RI, dan Asian Rotavirus Surveillance Network. “Rotavirus epidemiology: the
Asian Rotavirus Surveillance Network.” Vaccine. Jun 19;26(26):3192-6. Epub 2008 May 15. Review ( 2008).
13. Parashar, U.D., Gibson, C.J.; Bresse, J.S., Glass, R.I. Rotavirus and severe childhood diarrhea. Emerg Infect Dis 2006; 12(2): 304-306.
14. Parashar, U.D.; Burton, A.; Lanata, C.; Boschi-Pinto, C.; Shibuya, K.; Steele, D.; Birmingham, M.; Glass, R.I. Global Mortality Associated
With Rotavirus Disease Among Children in 2004. J Infec Dis 2009, 200 Suppl 1: S9-S15.
15. PH, Dennehy. Transmission of rotavirus and other enteric pathogens in the home . Pediatr. Infect. Dis. J. 19 (10 Suppl): S103–5, 2000.
16. Putnam SD, Sedyaningsih ER, Listiyaningsih E, Pulungsih SP, Komalarini, Soenarto Y, Salim OCh, Subekti D, Riddle MS, Burgess TH,
Blair PJ. “Group A rotavirus-associated diarrhea in children seeking treatment in Indonesia.” (J Clin Virol. Dec;40(4):289-94. Epub 2007
Oct 30) 2007.
17. Ramig, R.F. Minireview. Pathogenesis of Intestinal and Systemic Rotavirus Infection. Journal of Virology 2004; 78(19): 10213-10220.
18. Sadeghian, A.; Hamedi, A.; Sadeghian, M. and Sadeghian, H. Incidence of Rotavirus Diarrhea in Children Under 6 Years Reffered to the
Pediatric Emergency and Clinic of Ghaem Hospital, Mashhad, Iran. Acta Medica Iranica 2010; 48(4): 263-265.
19. Soenarto Y, Aman AT, Bakri A, Waluya H, Firmansyah A, Kadim M, Martiza I, Prasetyo D, Mulyani NS, Widowati T, Soetjiningsih,
Karyana IP, Sukardi W, Bresee J, Widdowson MA. “Burden of Severe Rotavirus Diarrhea in Indonesia.” (The Journal of Infectious
Diseases 200:S188–94) 2009.
20. Soenarto Y, Aman AT, Bakri A, Waluya WHO. External Review of Burden of Disease Attributable to Rotavirus. 2005
21. Sungkapalee, T., Puntukosit, P., Eunsuwan, O., Theamboonlers, A., Chongsrisawat, V., Poovorawan, Y. Incidence and clinical
manifestations of rotavirus infection among children with acute diarrhea admitted at Buri Ram Hospital, Thailand. Southeast Asian J Trop
Med Public Health. 2006 Nov;37(6):1125-31.
22. H, Firmansyah A, Kadim M, Martiza I, Prasetyo D, Mulyani NS, Widowati T, Soetjiningsih, Karyana IP, Sukardi W, Bresee J, Widdowson
MA. “Burden of Severe Rotavirus Diarrhea in Indonesia.” (The Journal of Infectious Diseases 200:S188–94) 2009.
23. Velázquez FR, Matson DO, Calva JJ, Guerrero L, Morrow AL, Carter-Campbell S, Glass RI, Estes MK, Pickering LK, Ruiz-Palacios GM.
“Rotavirus infections in infants as protection against subsequent infections.” (N. Engl. J. Med. 335 (14): 1022–8) 1996.
24. Vesikari T, Karvonen A, Korhonan T, Espo M, Lebacq E, Fosters J, Zepp F, Delem A, De Vos B. Safety and immunogenocity of RIX4414 live
attenuated human rotavirus vaccine in adults, toddlers and previously uninfected infants. Vaccine 2004; 22; 1836- 42.
25. WHO. 2006. Estimated rotavirus deaths for children under 5 years of age: 2004, 527 000.Available at http://www.who.int/
immunization_monitoring/burden/rotavirus_estimates/en/index.html. Accessed on 25 February 2011
26. WHO. Rotavirus vaccines win global recommendation. Nature, 2009.
27. WHO. Recommendation on global use of rotavirus vaccine. Weekly Epidemiological record, no.23, June 2009
28. WHO. 2009. Post-marketing surveillance of rotavirus vaccine safety. available from www.who.int/vaccines-documents. Accessed on 28
February 2011
29. Wilopo SA, Kilgore P, Kosen S, Soenarto Y, Aminah S, Cahyono A, Ulfa M, Tholib A. “Economic evaluation of a routine rotavirus
vaccination programme in Indonesia.” Vaccine. Nov 20;27 Suppl 5:F67-74 (2009).
30. Wilopo SA, Soenarto Y, Bresee JS, Tholib A, Aminah S, Cahyono A, Gentsch JR, Kilgore P, Glass RI. “Rotavirus surveillance to
determine disease burden and epidemiology in Java, Indonesia, August 2001 through April 2004.” Vaccine.Nov 20;27 Suppl 5:F61-6
( 2009 ).

38
Hindari makanan dan minu-
man yang tidak bersih

Cuci tangan pakai sabun dan


air bersih sebelum makan
dan sesudah buang air besar

Rebus air minum terlebih


dahulu

Gunakan air bersih untuk


memasak

Buang air besar di jamban


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

DAFTAR KONTRIBUTOR DAN EDITOR

Kontributor:
1. dr. H. Mohamad Subuh, MPPM
2. dr. Wiendra Waworuntu, MKM
3. dr. Sila Wiweka, Sp.P
4. dr. Iman Firmansyah, Sp.PD
5. dr. Dewi M, Sp.A
6. Dr. dr. Vivi Setyawati, M.Biomed
7. dr. Sholah Imari, M.Kes
8. dr. Ratna Budi Hapsari, MKM
9. dr. Elvieda Sariwati, M.Epid
10. dr. Dyah Armi R., MARS
11. dr. Irawati
12. Tulus Riyanto, SKM., MSc.
13. dr. Sinurtina Sihombing, M.Kes
14. dr. Soitawati, M.Epid
15. Rosmaniar, S.Kep., M.Kes
16. Eka Muhiriyah, S.Pd., M.Kes
17. Syamsu Alam, SKM., M.Epid.
18. Ali Mustaqim, SKM
19. Lia Septiana SKM., M.Kes
20. dr. Lanny Luhukay
21. dr. Sholiha Widiastuti, M.Epid

Editor:
1. dr. Ratna Budi Hapsari, MKM
2. Rosmaniar, S.Kep., M.Kes
3. Eka Muhiriyah, S.Pd., M.Kes
4. dr. Listiana Aziza
5. Maulidiah Ihsan, SKM
6. Adistikah Aqmarina, SKM
7. Sofya Umi Labiba
8. Dwi Annisa Fajria

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 2


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat-Nya, pedoman kesiapsiagaan menghadapi penyakit virus
Ebola selesai direvisi.

Penyakit Virus Ebola (PVE) merupakan penyakit yang mudah


menular melalui kontak langsung dan sering berakibat fatal,
dengan tingkat kematian berkisar 50-80%. Penyakit Virus Ebola
pernah menjadi KLB besar di 6 negara di Afrika Barat pada tahun
2014-2016, dengan kerugian ekonomi dan angka kematian yang
cukup tinggi. Pada tahun 2017 juga terjadi KLB di Republik
Demokratik Kongo yang tidak berhubungan dengan Afrika Barat.
Dengan demikian, Penyakit Virus Ebola terus mengancam kita.
Walaupun sampai saat ini belum dilaporkan adanya kasus di
Indonesia, namun risiko masuk melalui pelaku perjalanan dari dan
ke negara terjangkit, atau WNI yang sedang berada di negara
terjangkit, termasuk jamaah haji atau umroh yang kontak dengan
warga negara dari negara terjangkit. Oleh karena itu, upaya
kesiapsiagaan menjadi hal yang tetap penting dilakukan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola


diperlukan sebagai acuan dalam melakukan kesiapsiagaan Ebola.
Buku pedoman ini merupakan revisi dari buku serupa yang
diterbitkan tahun 2015 dengan perubahan pada beberapa
substansi sesuai perkembangan situasi dan pengetahuan. Dalam
buku ini diuraikan 6 bab yaitu:

1. Bab Komando dan Koordinasi


2. Bab Surveilans

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 3


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

3. Bab Tatalaksana Kasus


4. Bab Pengambilan, Pengepakan, Pengiriman Spesimen dan
Pemeriksaan Laboratorium
5. Bab Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
6. Bab Komunikasi Risiko

Buku pedoman ini akan terus disempurnakan seiring dengan


perkembangan situasi, ilmu pengetahuan dan teknologi di dunia
termasuk Indonesia.

Kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan


revisi buku ini, saya sampaikan terimakasih. Saya berharap buku
ini dapat dimanfaatkan sesuai tujuan disusunnya buku ini serta
menjadi acuan dalam kegiatan kesiapsiagaan seperti simulasi.

Jakarta, 2 Oktober 2017


Direktur Jenderal P2P

dr. H. Mohamad Subuh, MPPM


NIP. 196201191989021001

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 4


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................... 3


DAFTAR ISI ……................................................................. 5
DAFTAR GAMBAR …......................................................... 7
DAFTAR LAMPIRAN........................................................... 8
DAFTAR SINGKATAN ....................................................... 9
BAB I PENDAHULUAN……................................................ 11

A. LATAR BELAKANG…................................................. 11
B. TUJUAN...................................................................... 13
C. RUANG LINGKUP ...................................................... 14

BAB II KOMANDO DAN KOORDINASI….......................... 15


BAB III SURVEILANS ........................................................ 17
A. PENGERTIAN............................................................. 18
B. KEWASPADAAN, DETEKSI DINI DAN RESPON
............................................................ 22
C. PENYELIDIKAN EPIDEMIOLOGI DAN
PENANGGULANGAN KLB …..................................... 51
BAB IV TATA LAKSANA KASUS....................................... 54
A. LANGKAH – LANGKAH DIAGNOSIS ......................... 54
B. TATALAKSANA KASUS ............................................. 56
C. SISTEM RUJUKAN ............................................... 58
BAB V PENGAMBILAN, PENGEPAKAN, PENGIRIMAN
SPESIMEN DAN PEMERIKSAAN
LABORATORIUM ................................................... 60
A. PENGAMBILAN SPESIMEN ....................................... 60

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 5


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

B. PENGEPAKAN DAN PENGIRIMAN


SPESIMEN ................................................................. 62
C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM ............................ 65
BAB VI PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
INFEKSI .................................................................. 67
A. ELEMEN KUNCI PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT VIRUS EBOLA............. 68
B. STANDAR KEWASPADAAN DI FASILITAS
PELAYANAN KESEHATAN ……................................ 72
BAB VI KOMUNIKASI RISIKO …....................................... 76
DAFTAR PUSTAKA…......................................................... 81
LAMPIRAN …...................................................................... 84

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 6


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Alur Penemuan Kasus Di Pintu Masuk Negara .... 49


Gambar 3.2 Alur Penemuan Kasus Di Wilayah ....................... 50
Gambar 5.1 Kemasan Tiga Lapis untuk Spesimen EBOLA
(UN 2814) ............................................................ 63
Gambar 5.2 Alur Sistem Pengiriman Spesimen Kasus Dalam
Investigasi Ebola ke Laboratorium Rujukan .......... 64
Gambar 5.3 Algoritma Pemeriksaan Spesimen ........................ 66

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 7


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Penilaian Risiko Terinfeksi ....................... 84


Lampiran 2 Formulir Investigasi Kasus ..................................... 93
Lampiran 3 Formulir Laporan Kasus di Rumah Sakit ................ 97
Lampiran 4 Formulir Notifikasi Kedatangan Pelaku Perjalanan
Dari Negara Terjangkit........................................... 101
Lampiran 5 Formulir Pemantauan Kontak ................................ 102
Lampiran 6 Formulir Pengiriman Spesimen Tersangka Ebola . 103
Lampiran 7 Formulir Pemantauan Kasus Dalam Investigasi
Penyakit Virus Ebola ............................................. 109
Lampiran 8 Formulir Rekap Pemantauan Kasus Dalam
Investigasi Penyakit Virus Ebola ............................ 110
Lampiran 9 Formulir Rekap Pemantauan Kontak..................... 111
Lampiran 10 Surat Keterangan ................................................ 112
Lampiran 11 Formulir Pernyataan Kesehatan Perjalanan ........ 116
Lampiran 12 Cara Memakai dan Melepas APD ....................... 122
Lampiran 13 Langkah – Langkah Mencuci Tangan.................. 124
Lampiran 14 Pelaksanaan Disinfeksi Kapal Laut ..................... 128
Lampiran 15 Daftar Rumah Sakit Yang memiliki Ruang Isolasi
MDR dengan terlatih PPI (Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi) ............................................ 129
Lampiran 16 Daftar Kontak ...................................................... 131

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 8


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

DAFTAR SINGKATAN

APD : Alat Pelindung Diri


ATC : Air Traffic Control
Balitbangkes : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
CFR : Case Fatality Rate
Dirjen : Direktur Jenderal
Ditjen : Direktorat Jenderal
EDTA : Ethylenediamine Tetraacetic Acid
EID : Emerging Infectious Disease
Fasyankes : Fasilitas Pelayanan Kesehatan
FAQ : Frequent Ask Question
Gendec : General Declaration
HAC : Health Allert Card
HCW : Health Care Workers
HPAGD : Health Part of the Aircraft General Declaration
IATA : International Air Transport Association
ICAO : International Civil Aviation Organization
IHR : International Health Regulations
KIE : Komunikasi Informasi dan Edukasi
KLB : Kejadian Luar Biasa
KKMMD : Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang
Meresahkan Dunia
KKP : Kantor Kesehatan Pelabuhan
LCT : Latest Call Time
LPT : Latest Pick Up Time
NFP : National Focal Point

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 9


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit


PE : Penyelidikan Epidemiologi
PCR : Polymerase Chain Reaction
PHBS : Perilaku Hidup Bersih dan Sehat
PHEOC : Public Health Emergency Operation Center
PLBD : Pos Lintas Batas Darat
PPI : Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
PVE : Penyakit Virus Ebola
PVE-AR : Penyakit Virus Ebola – Analisis Risiko
PVE-NOT : Penyakit Virus Ebola – Notifikasi
PVE-IN : Penyakit Virus Ebola – Investigasi
RDK : Republik Demokratik Kongo
RS : Rumah Sakit
SDM : Sumber Daya Manusia
SKDR : Sistem Kewaspadaan Dini dan Respon
SOP : Standar Operasional Prosedur
TGC : Tim Gerak Cepat
WHO : World Health Organization

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 10


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Penyakit virus Ebola (PVE) adalah salah satu dari
penyakit yang gejala klinisnya demam dengan perdarahan
yang banyak mengakibatkan kematian pada manusia dan
primata (seperti monyet, gorila, dan simpanse) dengan Case
Fatality Rate (CFR) mencapai 90%. Gejalanya berupa
demam, sakit kepala, nyeri sendi dan otot, lemah, diare,
muntah, sakit perut, kurang nafsu makan, dan perdarahan
yang tidak biasa. Gejala paling banyak muncul sekitar 8-10
hari setelah terpapar virus Ebola. Virus ini menular melalui
darah dan cairan tubuh lainnya (termasuk feses, saliva,
urine, bekas muntahan dan sperma) dari hewan atau
manusia yang terinfeksi virus Ebola. Virus ini dapat masuk ke
tubuh orang lain melalui kulit yang terluka atau melalui
membran mukosa yang tidak terlindungi seperti mata, hidung
dan mulut. Virus ini juga dapat menyebar melalui jarum suntik
dan infus yang telah terkontaminasi. Kelompok yang paling
berisiko adalah keluarga, teman, rekan kerja dan petugas
medis.
Enam negara di Afrika Barat yang mengalami kejadian
luar biasa (KLB) yaitu Liberia, Guinea, Sierra Leone, Nigeria,
Sinegal, dan Mali dengan jumlah kasus 28.652, 11.325
kematian, dengan total kematian/ total kasus 39,52% (data
WHO per 10 Juni 2016). Penyakit virus Ebola yang berjangkit
di negara – negara di Afrika Barat merupakan kejadian luar

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 11


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

biasa yang juga bisa menjadi risiko kesehatan masyarakat


bagi negara lainnya. Virulensi virus, pola penularan di
masyarakat, sarana pelayanan kesehatan dan lemahnya
health systems pada negara – negara yang berisiko
memungkinkan terjadinya penyebaran secara global.
Berdasarkan hal tersebut WHO menyatakan penyakit virus
Ebola sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang
Meresahkan Dunia (KKMMD) pada 8 Agustus 2014.
Pernyataan status KKMMD telah dinyatakan berhenti pada
tanggal 29 Maret 2016. Pencabutan status ini didasarkan
pada tiga pertimbangan, yaitu penularan di Afrika Barat tidak
lagi pada situasi kejadian luar biasa, risiko penyebaran
internasional telah berkurang, dan negara terjangkit dinilai
telah memiliki kapasitas yang adekuat untuk melakukan
respon cepat dalam pengendalian.
Setelah penetapan status KKMMD dicabut, kemudian
ditemukan beberapa kasus kluster yang sumber
penularannya dari survivor Ebola baik di Liberia, Guinea, dan
Sierra Leone. Penularan tersebut diketahui karena adanya
kontak dengan cairan tubuh survivor. Pada 11 Mei 2017 telah
dilaporkan KLB di bagian utara Republik Demokratik Kongo
(RDK) yang tidak berhubungan dengan KLB di Afrika Barat
dengan 5 kasus dan 4 kematian. Pada 2 Juli 2017 WHO
mendeklarasikan berakhirnya KLB Ebola di RDK. KLB ini
merupakan KLB ke-8 di RDK sejak tahun 1976.
Berdasarkan situasi tersebut, maka mobilitas dari dan
ke negara terjangkit masih menjadi faktor risiko penyebaran
penyakit di Indonesia. Diperlukan pengawasan ketat di pintu

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 12


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

masuk negara dan di wilayah, mengingat masa inkubasi


penyakit ini (2 – 21 hari) yang memungkinkan ditemukannya
kasus baik di pintu masuk negara maupun di komunitas
(wilayah). Pada masa belum adanya kasus di Indonesia,
maka kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini menjadi faktor
kunci. Ketika sudah terdapat kasus konfirmasi dan atau
penularan lokal, maka respon menjadi faktor kunci disamping
tetap melakukan kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini.
Respon yang diperlukan pada kondisi ini terutama adalah 1)
penemuan kasus dan penelusuran kontak 2) isolasi dan
tatalaksana kasus 3) mobilisasi sosial 4) pemulasaran
jenazah yang aman.
Untuk melakukan kesiapsiagaan, kewaspadaan dini
dan respon yang adekuat dalam upaya mencegah dan
mengendalikan penyakit virus Ebola, maka perlu disusun
suatu pedoman yang menjadi acuan bagi petugas
kesehatan.

B. TUJUAN
Umum :
Mencegah dan mengendalikan penyebaran penyakit virus Ebola
di Indonesia
Khusus :
• Terlaksananya kesiapsiagaan menghadapi penyakit virus
Ebola.
• Terlaksananya deteksi dini kasus dan penelusuran kontak.
• Terlaksananya isolasi dan tatalaksana kasus sesuai standar.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 13


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Terlaksananya pengambilan, pengepakan dan pengiriman


spesimen yang aman.
• Terlaksananya pemeriksaan laboratorium sesuai standar.
• Terlaksananya pencegahan dan pengendalian infeksi di
fasilitas pelayanan kesehatan (rumah sakit, laboratorium, dll)
dan komunitas.
• Terlaksananya penyampaian komunikasi, informasi dan
edukasi kepada masyarakat, khususnya masyarakat risiko
tinggi.

C. RUANG LINGKUP
Pedoman ini menjadi panduan petugas kesehatan dalam
melakukan kewaspadaan dini dan respon yang adekuat dalam
upaya mencegah dan mengendalikan penyakit virus Ebola,
terdiri dari 6 komponen yaitu:
1. Komando dan koordinasi
2. Surveilans
3. Tatalaksana kasus
4. Pengambilan, pengepakan, pengiriman spesimen dan
pemeriksaan laboratorium
5. Pencegahan dan pengendalian infeksi
6. Komunikasi risiko;
Pedoman ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
rencana kontijensi Penyakit virus Ebola.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 14


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

BAB II
KOMANDO DAN KOORDINASI

Dalam kesiapsiagaan, kewaspadaan dini dan respon


menghadapi penyakit virus Ebola, diperlukan suatu pusat
komando operasional yang melibatkan lintas
kementerian/unit/lembaga dengan konsep one health. Dalam
lingkup kementerian kesehatan, fungsi ini dijalankan oleh
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
(P2P) melalui Public Health Emergency Operation Center
(PHEOC). PHEOC menjadi bagian tidak terpisahkan dengan
sistem penanggulangan krisis kesehatan Kementerian
Kesehatan dan komando pada rencana kontingensi
penanggulangan penyakit virus Ebola.
Fungsi PHEOC sebagai pusat komando pelaksanaan
dalam kesiapsiagaan, kewaspadaan dini dan respon penyakit
virus Ebola adalah:
1) Menerima laporan dari petugas kesehatan di pintu masuk
negara, fasyankes dan komunitas (wilayah) mengikuti
sistem pelaporan yang tersedia (existing system) melalui
media yang cepat dan tepat.
2) Melakukan verifikasi atas laporan dugaan kasus dalam
investigasi
3) Memberikan respon tindak lanjut atas notifikasi yang
diterima dari sektor lain tentang orang dengan riwayat
perjalanan dari negara terjangkit atau kasus dalam
investigasi
4) Mencari dan mendiseminasikan situasi global terbaru
secara berkala
5) Sebagai pusat komando pelaksanaan respon oleh tim gerak
cepat kesehatan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota
6) Koordinasi pelaksanaan respon KLB terhadap unit terkait

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 15


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

7) Pusat komunikasi dan informasi seputar penyakit menular


berpotensi wabah/KLB/PHEIC serta upaya kesiapsiagaan,
kewaspadaan dini dan respon
8) Melakukan analisis upaya kesiapsiagaan, kewaspadaan
dini dan respon
9) Memberikan laporan hasil kesiapsiagaan, kewaspadaan
dini dan respon kepada Direktur Jenderal P2P dan unit
terkait lainnya.
10) Memberikan rekomendasi kesiapsiagaan, kewaspadaan
dini dan respon yang tepat sebagai bahan pengambilan
kebijakan pimpinan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 16


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

BAB III
SURVEILANS

Mobilitas dari dan ke negara terjangkit merupakan


faktor risiko penyebaran penyakit di Indonesia. Diperlukan
pengawasan ketat di pintu masuk negara dan di wilayah,
mengingat masa inkubasi penyakit ini (2 – 21 hari) yang
memungkinkan ditemukannya kasus baik di pintu masuk
negara maupun di komunitas (wilayah). Pada masa belum
ada kasus di Indonesia, maka kesiapsiagaan dan
kewaspadaan dini menjadi faktor kunci. Ketika sudah
terdapat kasus konfirmasi dan atau penularan lokal, maka
respon menjadi faktor kunci disamping tetap melakukan
kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini. Respon yang
diperlukan pada kondisi ini terutama adalah 1) penemuan
kasus dan penelusuran kontak; 2) isolasi dan tatalaksana
kasus; 3) mobilisasi sosial; 4) pemulasaran jenazah yang
aman.
Faktor kunci keberhasilan dalam kesiapsiagaan,
kewaspadaan dini dan respon adalah 1) penguatan
surveilans dengan memanfaatkan sistem yang sudah ada; 2)
dilakukan di semua level baik nasional maupun daerah; 3)
alur informasi yang jelas.
Penguatan surveilans harus dilakukan mulai dari
sekarang ketika belum ada kasus konfirmasi di Indonesia.
Diharapkan Indonesia akan menjadi siap ketika ditemukan
kasus konfirmasi dan atau penularan lokal.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 17


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

A. PENGERTIAN
1. Kasus
a. Kasus dalam investigasi
1) Setiap orang yang memiliki gejala demam ( 38 C)
disertai minimal 3 gejala berikut:
• sakit kepala
• muntah (vomit)
• tidak nafsu makan (loss of appetite)
• diare (berdarah / tidak berdarah)
• lemah (weakness)
• nyeri perut
• nyeri otot (myalgia)
• sesak napas
• nyeri tenggorokan (throat pain)
• cegukan (hiccup)
Atau:
2) Setiap orang dengan perdarahan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya.
Atau:

3) Setiap kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan


penyebabnya.
DAN
Memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di daerah atau
negara terjangkit penyakit virus Ebola (PVE), atau kontak
dengan kasus PVE, dalam waktu 21 hari sebelum timbul
gejala.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 18


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

*) Daerah adalah Daerah di negara yang sudah terdapat


kasus konfirmasi dengan penularan terbatas.
**) Negara adalah Negara yang sudah terdapat kasus
konfirmasi dengan peyebaran kasus yang luas atau
penularan yang intensif.

b. Kasus konfirmasi
Kasus dalam investigasi dengan hasil pemeriksaan
Polymerase Chain Reaction (PCR) positif oleh
Laboratorium Balitbangkes.
Bukan Kasus: Setiap kasus dalam investigasi dengan
hasil laboratorium NEGATIF.

Selain kasus dalam investigasi dan kasus konfirmasi, pada


keadaan ketika kondisi klinis seseorang mengarah kuat
pada penyakit virus Ebola (hidup atau meninggal), namun
karena satu dan lain hal tidak bisa dilakukan pemeriksaan
konfirmasi laboratorium, dikenal istilah kasus probabel.
Kriteria kasus probable adalah:
1) Setiap kasus investigasi yang ditetapkan sebagai
kasus penyakit virus Ebola setelah dilakukan
pemeriksaan lanjut oleh klinisi di rumah sakit (RS)
rujukan dan tidak ditemukan sebab lain.
DAN
mempunyai kaitan epidemiologi dengan kasus
konfirmasi atau hewan penular Ebola
Atau:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 19


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

2) Setiap kasus dalam investigasi yang meninggal dan


tidak memungkinkan lagi untuk mengambil spesimen
untuk konfirmasi laboratorium, serta mempunyai kaitan
epidemiologi dengan kasus konfirmasi.

2. Orang dalam pengawasan


Orang dalam pengawasan adalah orang yang berada dalam
pengawasan petugas kesehatan selama 21 hari sejak:
1) Meninggalkan negara/daerah terjangkit, bagi yang
mempunyai riwayat perjalanan dari negara/daerah
terjangkit
Atau
2) Kontak terakhir dengan kasus konfirmasi, bagi orang
dengan riwayat kontak dengan kasus konfirmasi.
DAN
Tidak ditemukan tanda dan gejala penyakit yang dicurigai.

3. Klaster
Adalah bila terdapat dua orang atau lebih dengan gejala
penyakit virus Ebola, dan mempunyai riwayat kontak yang
sama dalam jangka waktu 21 hari. Kontak dapat terjadi pada
keluarga atau rumah tangga, dan berbagai tempat lain seperti
rumah sakit, ruang kelas, tempat kerja, barak militer, tempat
rekreasi, dan lainnya.

4. Kontak
Kontak adalah setiap orang (termasuk petugas kesehatan di
sarana pelayanan kesehatan dan komunitas) yang terpapar

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 20


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

(kontak fisik) dengan kasus dalam investigasi atau konfirmasi


PVE selama sakit melalui minimal 1 cara berikut:
a. Serumah dengan kasus
b. Pernah kontak langsung dengan kasus (hidup atau
meninggal)
c. Pernah kontak langsung dengan jenazah kasus
d. Pernah kontak dengan darah atau cairan tubuh kasus
e. Pernah kontak dengan pakaian atau linen kasus
f. Bayi yang disusui oleh kasus

5. Analisis risiko
Analisis risiko adalah penilaian risiko penularan pada
pelaku perjalanan dari daerah atau negara terjangkit. Pada
pelaku perjalanan dari daerah atau negara terjangkit,
analisis risiko dilakukan pada kesempatan pertama
pertemuan dengan pelaku perjalanan tersebut, baik di pintu
masuk negara maupun di wilayah menggunakan Form
Penilaian Risiko Terinfeksi (Form PVE-AR). Analisis risiko
dapat juga dilakukan pada orang yang akan berpergian ke
daerah atau negara terjangkit, sebagai bentuk komunikasi
risiko kepada yang bersangkutan.
Analisis risiko mencakup 3 aspek penilaian:
a. Riwayat perjalanan
b. Kegiatan selama berada di daerah/ negara terjangkit
c. Ada tidaknya tanda dan gejala PVE.

Hasil analisis risiko dikategorikan sebagai berikut:


a. Tidak berisiko
b. Risiko sangat rendah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 21


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

c. Risiko rendah
d. Risiko sedang
e. Risiko tinggi
Kriteria masing-masing tingkat risiko penularan secara rinci
terlampir.

B. KEWASPADAAN, DETEKSI DINI, DAN RESPON


1. Tindakan kewaspadaan Umum
1.1 Kewaspadaan harus dijalankan pada semua wilayah,
khususnya pada wilayah di bawah ini:
a. Perbatasan dengan daerah atau negara terjangkit
b. Kota- kota besar termasuk bandar udara, pelabuhan laut
dan fasilitas pelayanan kesehatan (terutama rumah sakit
milik Pemerintah Pusat dan Provinsi, rumah sakit swasta)
1.2 Kewaspadaan dilakukan terhadap orang yang memiliki
riwayat perjalanan dari negara/daerah terjangkit dan atau
memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi. Pelaku
perjalanan dari negara/daerah terjangkit harus melaporkan
diri ke petugas KKP untuk menyatakan kesehatan dirinya
dengan mengisi Form Health Declaration (Form PVE-HD).
1.3 Kewaspadaan ini dijalankan menggunakan surveilans
berbasis kejadian dengan memanfaatkan sistem yang
sudah ada yaitu: pengawasan orang, barang dan alat
angkut di pintu masuk negara, verifikasi rumor, dan Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respon (SKDR).
1.4 Pelaksana kewaspadaan adalah petugas kesehatan di
pintu masuk negara dan komunitas yang telah dilatih

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 22


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

memahami definisi kasus, pelaporan, dan prosedur


pencegahan dan pengendalian infeksi.
1.5 Untuk pelaksanaan kewaspadaan diperlukan dukungan
dalam komando dan koordinasi; isolasi dan tatalaksana
kasus di RS rujukan dengan ruang isolasi memadai;
pengambilan, pengepakan, pengiriman spesimen dan
pemeriksaan laboratorium sesuai standar; pencegahan dan
pengendalian infeksi; serta komunikasi risiko.
1.6 Pelaksanaan kewaspadaan dapat melibatkan lintas sektor
di luar bidang kesehatan.
1.7 Ketika kasus dalam invetigasi terdeteksi (hidup atau
meninggal), tim gerak cepat harus segera dikirimkan ke
tempat kasus ditemukan dalam waktu <24 jam untuk
melakukan penyelidikan epidemiologi (PE).
1.8 Pemberitahuan ke WHO melalui mekanisme International
Health Regulations (IHR)
Hasil investigasi kasus di bawah ini harus dilaporkan ke
WHO dalam waktu 6 jam melalui National Focal Point (NFP)
IHR, setelah sebelumnya dilaporkan kepada menteri
kesehatan dan sekretaris komisi nasional pengendalian
zoonosis yaitu:
a. Setiap kasus konfirmasi
b. Setiap kasus dalam investigasi yang memiliki
riwayat kontak dengan kasus konfirmasi dan atau
kasus yang diduga kuat menderita penyakit virus
Ebola (sesuai definisi kasus probabel).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 23


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Jiika kasus memenuhi kriteria kasus dalam investigasi, maka tindakan di


bawah ini harus segera dilakukan oleh petugas kesehatan (sesuai tupoksi
masing- masing):
1. Tempatkan kasus di ruang isolasi rumah sakit rujukan yang ditunjuk,
lakukan pengambilan spesimen untuk konfirmasi diagnosis laboratorium
oleh petugas laboratorium terlatih.
2. Lakukan pengambilan spesimen untuk konfirmasi PVE hari 1, 2, dan 3.
Pengambilan spesimen dilakukan setelah 3 hari (72 jam) sejak timbul
gejala.
3. Identifikasi seluruh kontak kasus. Seluruh kontak kasus dipantau
kesehatannya selama 21 hari sejak terakhir kontak dengan kasus.
Sampaikan informasi tentang hasil pemantauan kesehatan ini kepada
seluruh kontak. Kontak dihimbau membatasi aktivitas di luar rumah atau
berhubungan dengan orang banyak.
4. Selama melakukan penyelidikan epidemiologi juga lakukan komunikasi
risiko kepada masyarakat tentang situasi PVE saat ini, melaporkan
adanya kasus dan tindakan pencegahan dengan memperhatikan budaya
setempat.
5. Apabila hasil pemeriksaan ke-1 dan atau ke-2 negatif, maka harus tetap
dilakukan tatalaksana kasus di ruang isolasi dan pemantauan kontak tetap
dilakukan selama 21 hari sejak kontak terakhir.
6. Apabila pengambilan spesimen tidak sempat dilakukan sebanyak 3 kali
atau hasil laboratorium belum ada dan kasus sudah meninggal, maka
pemulasaran jenazah sesuai dengan penanganan jenazah PVE.
Pemantauan kontak tetap dilakukan selama 21 hari sejak kontak terakhir.

Hasil pemeriksaan laboratorium positif:


1. Tetap lakukan tatalaksana kasus di ruang isolasi.
2. Tetap lakukan praktik pencegahan dan pengendalian infeksi sesuai
standar, termasuk dalam pengelolaan limbah.
3. Teruskan pemantauan kontak selama 21 hari sejak kontak terakhir
dengan lebih intensif. Kontak harus dipastikan membatasi aktivitas di luar
rumah atau berhubungan dengan orang banyak. Kontak yang hilang harus
ditemukan.
Hasil pemeriksaan spesimen ke-1, 2 & 3 negatif:
1. Lakukan penilaian klinik ulang dan pertimbangkan kemungkinan
penyebab lain penyakit.
2. Apabila hasil penilaian klinis masih mendiagnosis PVE pemantauan
kontak tetap dilanjutkan selama 21 hari sejak kontak terakhir.
3. Apabila hasil penilaian klinis tidak mendiagnosis PVE. Pasien dikeluarkan
dari ruang isolasi khusus PVE dan tatalaksana kasus sesuai dengan
penyebab penyakit dan pemantauan kontak dapat dihentikan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 24


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

2. Kesiapsiagaan, Kewaspadaan dan Respon Di Pintu


Masuk Negara
a. Kesiapsiagaan
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) melakukan tinjauan
atas kesiapan perangkat surveilans yang ada dalam
menghadapi kemungkinan masuknya infeksi penyakit
virus Ebola ke wilayah Indonesia. Dalam praktisnya ada 2
hal yang harus disiapkan sebagai kesiapsiagaan yaitu :
1) Sumber Daya Manusia (SDM)
• Melalui pimpinan otoritas di pelabuhan/bandara dan
lintas batas darat, Kepala Kantor Kesehatan
Pelabuhan membentuk atau mengaktifkan Tim yang
sudah ada (seperti Tim Gerak Cepat) untuk
kewaspadaan penyakit infeksi emerging (emerging
infectious disease/EID) di pintu masuk negara
(bandar udara/ pelabuhan/lintas batas darat
negara). Tim terdiri dari petugas KKP yang didukung
oleh petugas karantina pertanian, Imigrasi, Bea
Cukai dan unit lain yang relevan di wilayah pintu
masuk negara yang memiliki kompetensi yang
diperlukan dalam pencegahan importasi penyakit.
• Peningkatan kapasitas SDM yang bertugas di pintu
masuk negara dalam kesiapsiagaan menghadapi
penyakit virus Ebola dengan pelatihan dan
melakukan simulasi (simulasi table top dan simulasi
lapangan).
• Meningkatkan jejaring kerja dengan semua unit
otoritas di bandar udara/pelabuhan/pos lintas batas

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 25


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

darat antara lain dengan menyusun rencana


kontijensi menghadapi penyakit infeksi emerging
(emerging infectious disease/EID).
2) Sarana dan prasarana
• Kesiapan sarana pelayanan kesehatan meliputi
tersedianya ruang khusus yang dapat digunakan
untuk melakukan wawancara kontak dan ruang
tatalaksana bagi kemungkinan kasus yang
terdeteksi di terminal kedatangan (sebelum dirujuk
ke RS rujukan yang ditunjuk). Penyediaan ruang
khusus ini dikoordinasikan dengan otoritas
bandara/administratur pelabuhan dan Komite
Fasilitasi Udara (untuk bandara).
• Memastikan alat transportasi (kendaraan khusus
untuk evakuasi penyakit menular atau ambulans)
dapat difungsikan setiap saat untuk mengangkut
kasus ke RS.
• Memastikan ketersediaan dan fungsi alat
komunikasi untuk koordinasi dengan unit-unit
terkait.
• Thermoscanner dan alat disinfeksi (body clean)
berfungsi baik dan tersedia bahan habis pakai
termasuk logistik pendukung termasuk health
declaration form, health allert card harus tersedia
dalam jumlah yang cukup.
• Menyiapkan logistik penunjang pelayanan
kesehatan yang dibutuhkan antara lain obat–obat
suportif (life saving), alat kesehatan, Alat Pelindung

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 26


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Diri (APD), tempat sampah infeksius, alat


dekontaminasi-disinfeksi, dan lain lain. Adapun APD
lengkap yang diperlukan antara lain:
- Sarung tangan non-steril atau sarung tangan
bedah;
- Penutup kepala;
- Masker respiratory partikulat;
- Goggle (Kaca mata khusus untuk melindungi
dari percikan tubuh) dan atau Pelindung wajah
(face shield);
- Gaun kedap air untuk menutupi pakaian dan
pajanan pada kulit;
- Apron tahan air (dikenakan menutupi gaun
tidak kedap air atau ketika kontak erat dengan
orang yang sedang dalam isolasi);
- Plastik penutup kaki (leg covers);
- Sepatu boot karet.
Dalam kondisi rutin untuk kewaspadaan, petugas
cukup menggunakan APD berupa masker N95 dan
hand scoon.
• Menyiapkan media komunikasi risiko atau bahan
Komunikasi Informasi dan Edukasi (KIE) dan
menempatkan bahan KIE tersebut di lokasi yang
tepat.
• Menyiapkan rumah singgah (asrama karantina)
yang memadai di lingkungan bandar
udara/pelabuhan/pos lintas batas darat dengan
kriteria sebagai berikut:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 27


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Tersedia kebutuhan dasar keseharian (alat


kebersihan diri, makanan, minuman, dll).
- Tersedia fasilitas praktik Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) (air bersih mengalir, sabun,
jamban, dll)
- Memiliki akses jaringan internet, jaringan
telepon dan televisi
- Kamar tidur dilengkapi dengan kamar mandi
dalam, meja dan kursi.
Rumah singgah ini dimanfaatkan pada situasi jika
didapatkan hasil penilaian risiko tinggi pada pelaku
perjalanan dari negara terjangkit. Difungsikan
berdasarkan penilaian potensi risiko yang dihadapi,
misalnya pada situasi ditemukan pelaku perjalanan
dengan hasil penilaian risiko tinggi dan ada potensi
pelaku perjalanan tidak kooperatif dalam
pemantauan kesehatannya, dan atau perlunya
diterapkan pembatasan aktifitas di luar rumah atau
berhubungan dengan orang banyak (karantina
kesehatan).
Penyediaan rumah singgah dilaksanakan dengan
dukungan lintas sektor, sesuai dengan rencana
kontijensi.

b. Kewaspadaan dan Deteksi Dini


Kewaspadaan dilakukan di wilayah bandar udara,
pelabuhan, dan pos lintas batas darat negara.
Upaya kewaspadaan yang dilakukan adalah:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 28


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

1) Pemutakhiran informasi untuk mengetahui


perkembangan penyakit dari negara-negara lain
melalui:
• Website WHO
(http://www.who.int/csr/disease/ebola/en/) untuk
mengetahui negara terjangkit serta jumlah kasus
dan kematian.
• Website Kementerian Kesehatan negara terjangkit
• Sumber lain yang terpercaya
2) Penyebarluasan informasi perkembangan penyakit
virus Ebola dan tindakan kewaspadaan kepada unit-
unit terkait di bandar udara/pelabuhan/Pos Lintas Batas
Darat (PLBD).
3) Mendeteksi kasus di pintu masuk negara, baik pada
pelaku perjalanan, petugas kesehatan, dan petugas
lain melalui pengamatan sindrom demam berdarah
akut (demam ( 38 C) disertai minimal 3 gejala lain
sesuai dengan definisi operasional kasus).
4) Selain poin nomor 3, kecurigaan penemuan kasus
dapat diperoleh berdasarkan informasi dari petugas
imigrasi, agen, maskapai atau sumber lain.
5) Bila menemukan kasus yang dicurigai maka langkah
selanjutnya mengikuti alur penemuan kasus penyakit
virus ebola di pintu masuk negara dan di wilayah.
6) Setiap penemuan kasus dilaporkan ke Dirjen P2P

melalui PHEOC.
Secara umum, pengawasan kedatangan terhadap orang,
barang dan alat angkut yang berpotensi membawa

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 29


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

penyakit Ebola dilakukan sesuai ketentuan dalam IHR


(2005) dan melengkapi dokumen kesehatan yang
dipersyaratkan.

c. Respon
1) Kasus di Pesawat
Jika terdapat penumpang dengan tanda dan gejala
sesuai kriteria kasus dalam investigasi, lakukan
langkah berikut:
a) Respon terhadap penumpang
- Awak pesawat memberikan pengumuman
kepada seluruh penumpang bahwa akan
dilakukan penanganan kesehatan oleh Petugas
KKP.
- Kontak kasus PVE dalam investigasi dan awak
pesawat yang menangani kasus menggunakan
masker dan antiseptik
- Penumpang/awak turun ke ruang tunggu yang
telah ditentukan yang terisolir dari ruang publik
untuk dilakukan pengawasan dengan
menggunakan alat pemindai suhu tubuh.
- Pemeriksaan Health Declaration Form dan atau
Health Allert Card (HAC) yang telah dibagikan di
pesawat. Bila crew/penumpang belum memiliki
HAC maka dibagikan HAC untuk diisi.
- Seluruh penumpang dan crew harus tetap berada
di ruang tunggu tersebut sampai pemeriksaan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 30


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

terhadap seluruh penumpang dan pemeriksaan


kontak kasus di poliklinik selesai.
- Penyelenggara Angkutan Udara wajib
menyampaikan informasi tentang penumpang
yang diduga dapat tertular penyakit kepada
Kantor Kesehatan Pelabuhan dengan mengisi
Public Health Passenger Locater Card.
- Seluruh kontak kasus sesuai dengan analisis
tingkat risikonya dapat dilakukan tindakan
karantina di rumah singgah sampai ada hasil
laboratorium kasus dalam investigasi. Bila
ternyata bukan PVE maka perlakuan karantina
terhadap seluruh penumpang dihentikan dan
penumpang diperbolehkan melanjutkan
perjalanan.
- Tetapi bila hasil konfirmasi laboratorium positif
maka tindakan karantina diteruskan sampai
masa inkubasi (21 hari) sejak kontak terakhir
dengan kasus PVE tersebut.
- Seluruh petugas yang bertugas menggunakan
APD lengkap.
- Petugas KKP juga memberikan penyuluhan
kepada awak tentang kewaspadaan terhadap
penyakit virus Ebola setelah seluruh penumpang
turun.
- Kompilasi hasil pemeriksaan HAC, dibuatkan
notifikasi ke Dinas kesehatan Provinsi/
Kabupaten/Kota.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 31


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

b) Respon terhadap orang sakit


- Jika memungkinkan, awak penerbang
menjauhkan penumpang tersebut dari
penumpang lainnya; penumpang yang sakit
sebaiknya didudukkan dekat dengan toilet yang
hanya diperuntukkan baginya.
- Menutupi hidung dan mulut pasien dengan
masker bedah serta menutupi seluruh tubuhnya
dengan selimut.
- Membatasi kontak dengan penumpang lain
seminimal mungkin. Bila penumpang sakit
memerlukan bantuan lebih lanjut maka hanya
satu atau dua awak kabin saja yang
mengurusnya dan sebaiknya hanya awak kabin
yang sebelumnya telah kontak dengan
penumpang itu. Awak kabin ini harus
menggunakan APD yang sesuai.
- Cuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah
melakukan kontak dengan penumpang sakit.
- Segera memberitahu otoritas di bandara tujuan
sesuai dengan prosedur yang dikeluarkan oleh
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional/
International Civil Aviation Organization (ICAO)
yaitu pilot melaporkan adanya penumpang sakit
ke Air Traffic Control (ATC), selanjutnya informasi
tersebut diteruskan ke otoritas Bandara untuk
dilakukan koordinasi lebih lanjut.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 32


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Petugas KKP dengan APD yang sesuai


membawa ambulan mendekati pesawat.
- Setelah pintu pesawat dibuka, petugas KKP
meminta dokumen General Declaration (Gendec)
atau Health Part of the Aircraft General
Declaration (HPAGD) kepada awak. Petugas
KKP wajib menyampaikan Standar Operasional
Prosedur (SOP) evakuasi penumpang sakit
kepada awak penerbang.
- Awak penerbang memberikan pengumuman
kepada seluruh penumpang bahwa akan
dilakukan penanganan kesehatan oleh Petugas
Kesehatan Bandara dan penumpang diminta
turun sebelum penumpang kontak dan kasus
diturunkan.
- Awak penerbang dan penumpang mendapat
HAC.
- Setelah seluruh penumpang dan penumpang
kontak turun, petugas KKP menuju penumpang
yang sakit dengan memakai APD yang sesuai
untuk melakukan verifikasi, apakah penumpang
yang sakit tersebut memenuhi kriteria kasus
dalam investigasi.
- Jika sesuai dengan kriteria kasus dalam
investigasi, maka lakukan tindakan sesuai yang
tertera pada tindakan kewaspadaan umum (lihat
kotak pada tindakan kewaspadaan umum).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 33


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Petugas KKP juga memberikan penyuluhan


kepada awak tentang kewaspadaan terhadap
penyakit virus Ebola setelah seluruh penumpang
turun.
c) Respon terhadap barang
- Terhadap barang yang dibawa oleh kasus dalam
investigasi dilakukan desinfeksi.
- Prosedur desinfeksi dilaksanakan sesuai
prosedur
d) Respon terhadap alat angkut
- Pesawat diparkir di remote area/designated area.
- Petugas KKP melakukan tindakan disinfeksi
pada tempat duduk penumpang sakit,
penumpang di sebelah kanan dan kiri, awak alat
angkut yang melayani kasus atau kontak dengan
kasus, serta permukaan interior kabin pesawat
lainnya yang diperkirakan kontak dengan kasus
dalam investigasi menggunakan bahan
disinfektan yang tidak merusak interior pesawat,
misalnya alkohol.
- Tata cara disinfeksi pesawat dilaksanakan sesuai
ketentuan yang berlaku.
e) Respon terhadap lingkungan pintu masuk negara
- Seluruh jalur evakuasi (jalur khusus) harus steril
dari pelaku perjalanan lainnya. Setelah evakuasi
dilakukan desinfeksi pada jalur evakuasi dengan
menggunakan klorin 0.5%.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 34


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Seluruh fasilitas yang digunakan oleh kasus PVE


dalam investigasi dilakukan tindakan desinfeksi

2) Kasus di kapal laut


Jika terdapat penumpang sakit dengan tanda dan
gejala sesuai kriteria kasus dalam investigasi, lakukan
langkah berikut:
a) Respon terhadap orang
- Kapten kapal melaporkan adanya penumpang
sakit kepada syahbandar melalui radio pandu.
Selanjutnya informasi tersebut diteruskan ke
otoritas pelabuhan terdekat untuk dilakukan
koordinasi lebih lanjut.
- Awak kapal menuju penumpang yang sakit
dengan memakai APD yang sesuai dan
menempatkan penumpang sakit di ruang medis
(yang diisolasi) di atas kapal. Bila tidak tersedia
ruang medis (yang diisolasi), maka penumpang
sakit tetap di kabin terpisah dan awak kapal
menjaga pintu kabin selalu tertutup.
- Menutupi hidung dan mulut penumpang sakit
dengan masker bedah serta menutupi seluruh
tubuhnya dengan selimut.
- Setiap orang yang memasuki ruang medis (yang
diisolasi) atau kabin tempat kasus dirawat harus
memakai APD yang sesuai.
- Sebelum keluar dari ruang medis (yang diisolasi)
atau kabin tempat kasus dirawat, APD harus

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 35


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

dilepas sesuai prosedur (lihat lampiran langkah


melepas APD).
- Batasi pergerakan/pemindahan kasus, hanya
untuk tujuan yang penting saja. Jika diperlukan
pergerakan/pemindahan, kasus harus memakai
masker bedah.
- Awak kapal harus mencatat data orang yang
masuk ke ruang medis (yang diisolasi) atau
kabin, hanya orang tertentu yang dapat masuk
dan tidak boleh bergantian (selanjutnya orang
tersebut sebagai kontak). Harus terpisah dengan
awak atau penumpang lainnya.
- Kapal berhenti di luar dam.
- Petugas KKP menuju kapal yang berada di luar
dam dengan kapal/boat khusus untuk evakuasi
kasus dengan menggunakan APD lengkap dan
identifikasi kontak serta pemberian HAC.
Penumpang sakit dibawa ke pelabuhan dan
dipindahkan ke ambulans menuju rumah sakit
rujukan.
- Lakukan tindakan sesuai yang tertera pada
tindakan kewaspadaan umum (lihat kotak pada
tindakan kewaspadaan umum).
- Penumpang/ABK kapal tidak diperkenankan
turun ke darat termasuk melakukan bongkar
muat barang sebelum ada konfirmasi
laboratorium terhadap kasus dalam investigasi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 36


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Bila kasus PVE dalam investigasi dengan hasil


pemeriksaan laboratorium positif PVE maka
seluruh penumpang/ABK akan dilakukan
pengawasan ketat selama masa inkubasi (21
hari)

b) Respon terhadap barang


- Lakukan pembersihan dan disinfeksi tumpahan
cairan tubuh tanpa menimbulkan aerosol.
- Linen, pakaian, peralatan makan, bahan cucian,
dan benda – benda lain yang dipakai kasus atau
yang kontak dengan cairan tubuh kasus harus
dikumpulkan terpisah dan didisinfeksi.
Disinfektan yang efektif adalah larutan natrium
hipoklorit 0.05 atau 500 ppm klorin, dengan
merendam selama 30 menit.
- Semua limbah yang dihasilkan di ruang isolasi
harus ditangani sesuai dengan SOP penanganan
limbah klinis di kapal. Jika tersedia incenerator di
kapal, maka limbah harus diincenerasi. Jika
limbah harus diturunkan ke darat, maka
diperlukan kewaspadaan khusus dan otoritas
pelabuhan harus diberitahu sebelum limbah
diturunkan.

c) Respon terhadap alat angkut


- Lakukan desinfeksi terhadap kabin atau ruang
isolasi dan jalur evakuasi penumpang sakit.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 37


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Desinfeksi dilakukan terhadap semua fasilitas


yang digunakan oleh kasus dalam investigasi

3. Kesiapsiagaan, Kewaspadaan dan Respon Di Wilayah


(Komunitas)
a. Kesiapsiagaan
Pusat, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota
melakukan tinjauan atas kesiapan perangkat surveilans
yang ada dalam menghadapi kemungkinan masuknya
infeksi penyakit virus Ebola ke wilayah Indonesia.
Kesiapan tersebut meliputi:
1) Sumber Daya Manusia (SDM)
Mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC) yang sudah ada
baik di tingkat Pusat, Provinsi dan Kab/Kota.
• Tim Gerak Cepat sebagaimana dimaksud sesuai
dengan Pasal 21 Permenkes Nomor
1501/MENKES/PER/X/2010, ditetapkan oleh:
- Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota atas
nama Bupati/Walikota untuk tingkat
Kabupaten/Kota;
- Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atas nama
Gubernur untuk tingkat Provinsi; dan
- Direktur Jenderal atas nama Menteri untuk
tingkat pusat.
• Tim Gerak Cepat terdiri dari: petugas surveilans,
klinisi, ahli/analis laboratorium, sanitarian, petugas
pengendali infeksi dan petugas dari unit terkait
lainnya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 38


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Peningkatan kapasitas SDM dalam kesiapsiagaan


menghadapi penyakit virus Ebola dengan melakukan
sosialisasi pengendalian penyakit virus Ebola, simulasi
(simulasi table top dan simulasi lapangan) dan
pelatihan.
Meningkatkan jejaring kerja surveilans dengan lintas
program dan lintas sektor terkait.
2) Sarana dan prasarana
• Kesiapan alat transportasi (ambulans khusus
penyakit infeksi) dan memastikan dapat berfungsi
dengan baik untuk merujuk kasus.
• Kesiapan sarana pelayanan kesehatan antara lain
meliputi tersedianya ruang isolasi di RS rujukan
sesuai standar.
• Kesiapan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi
untuk koordinasi dengan unit-unit terkait.
• Kesiapan logistik penunjang pelayanan kesehatan
yang dibutuhkan antara lain obat – obat suportif (life
saving), alat – alat kesehatan, APD, serta
melengkapi logistik jika masih ada kekurangan.
• Kesiapan bahan-bahan komunikasi informasi dan
edukasi (KIE) antara lain brosur, banner, leaflet,
serta media lainnya untuk melakukan komunikasi
risiko terhadap masyarakat.
3) Pembiayaan
Pembiayaan pada kejadian luar biasa (KLB)
ditanggung oleh pemerintah pusat dan daerah sesuai
dengan ketentuan yang berlaku. Saat ini pembiayaan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 39


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

untuk kasus PVE telah diatur dalam Peraturan Menteri


Kesehatan No 59 tahun 2016 tentang pembebasan
biaya pasien penyakit infeksi emerging tertentu.

b. Kewaspadaan dan Deteksi Dini


Peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit virus Ebola
di wilayah baik provinsi maupun kabupaten/ kota dapat
dilakukan dengan pemutakhiran informasi melalui:
• Website WHO
(http://www.who.int/csr/disease/ebola/en/)
untuk mengetahui antara lain:
- Jumlah kasus dan kematian
- Distribusi kasus berdasarkan waktu, tempat dan
orang
- Identifikasi negara-negara terjangkit
- Data dan informasi lain yang dibutuhkan
• Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk
mewaspadai rumor atau berita yang berkembang
terkait dengan penyakit virus Ebola pada pelaku
perjalanan dari negara terjangkit.

Deteksi dini dilakukan melalui peningkatan kegiatan


surveilans berbasis kejadian (event based surveillance)
yang dilakukan secara pasif maupun aktif.
1) Puskesmas
• Mendeteksi kasus klaster penyakit/ kematian yang
tidak diketahui penyebabnya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 40


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Melakukan pemantauan terhadap warga di


wilayahnya yang memiliki riwayat perjalanan dari
negara terjangkit dalam waktu 21 hari sejak
kepulangannya dari negara terjangkit berdasarkan
hasil surveilans aktif dan notifikasi dari Dinas
Kesehatan setempat atau KKP dan melaporkan
hasil pemantauan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota ditembuskan ke Dinas Kesehatan
Provinsi.
• Melakukan pemantauan terhadap kontak kasus
(termasuk petugas puskesmas, bila ada) selama 21
hari sejak kontak terakhir, berdasarkan notifikasi dari
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan melaporkan
hasil pemantauan ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota ditembuskan ke Dinas Kesehatan
Provinsi.
• Melapor kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
bila menemukan orang sakit yang memenuhi kriteria
kasus dalam investigasi.
2) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
• Melakukan pemantauan berita atau rumor yang
berkembang terkait dengan kasus penyakit virus
Ebola di wilayahnya melalui media atau sumber
informasi lainnya dan melakukan verifikasi terhadap
berita tersebut.
• Melakukan surveilans aktif rumah sakit untuk
menemukan kasus klaster penyakit/ kematian yang
tidak diketahui penyebabnya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 41


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Meneruskan notifikasi kasus dalam investigasi dan


kontak dari Dinas Kesehatan Provinsi atau KKP
kepada puskesmas setempat.
• Bersama dengan puskesmas melakukan
pemantauan terhadap warga di wilayahnya yang
memiliki riwayat perjalanan dari negara terjangkit
dalam waktu 21 hari sejak kepulangannya dari
negara terjangkit berdasarkan notifikasi dari Dinas
Kesehatan Provinsi atau KKP dan melaporkan hasil
pemantauan ke Dinas Kesehatan Provinsi
ditembuskan ke Ditjen P2P melalui PHEOC.
• Bersama dengan puskesmas melakukan
pemantauan terhadap kontak kasus (termasuk
petugas puskesmas, bila ada) selama 21 hari sejak
kontak terakhir, berdasarkan notifikasi dari Dinas
Kesehatan Provinsi atau KKP dan melaporkan hasil
pemantauan ke Dinas Kesehatan Provinsi
ditembuskan ke Ditjen P2P melalui PHEOC.
• Melapor kepada Dinas Kesehatan Provinsi bila
menemukan orang sakit yang memenuhi kriteria
kasus dalam investigasi dan ditembuskan ke Ditjen
P2P melalui PHEOC.
• Menganalisis laporan dari puskesmas
• Melakukan analisis situasi dan memberikan
rekomendasi sebagai bahan pengambilan kebijakan
dalam kesiapsiagaan, kewaspadaan dan respon di
tingkat kabupaten/kota.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 42


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan


kesiapsiagaan,kewaspadaan dan respon di tingkat
kabupaten/kota
• Memberikan bimbingan teknis dalam pelaksanaan
kesiapsiagaan,kewaspadaan dan respon di tingkat
kabupaten/kota
3) Dinas Kesehatan Provinsi
• Melakukan pemantauan berita atau rumor yang
berkembang terkait dengan kasus penyakit virus
Ebola di masyarakat melalui media atau sumber
informasi lainnya dan melakukan verifikasi terhadap
berita tersebut.
• Melakukan surveilans aktif rumah sakit untuk
menemukan kasus klaster penyakit/ kematian yang
tidak diketahui penyebabnya.
• Meneruskan notifikasi kasus dalam investigasi dan
kontak dari KKP kepada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
• Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam pemantauan pelaku
perjalanan dari negara terjangkit dan melaporkan
hasil pemantauan ke Ditjen P2P melalui PHEOC
• Melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota dalam pemantauan kontak dan
melaporkan hasil pemantauan ke Ditjen P2P melalui
PHEOC

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 43


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Melapor kepada Ditjen P2P melalui PHEOC bila


menemukan orang sakit yang memenuhi kriteria
kasus dalam investigasi.
• Menganalisis laporan dari Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota.
• Melakukan analisis situasi dan memberikan
rekomendasi sebagai bahan pengambilan kebijakan
dalam kesiapsiagaan,kewaspadaan dan respon di
tingkat provinsi.
• Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan
kesiapsiagaan,kewaspadaan dan respon di tingkat
provinsi
• Memberikan bimbingan teknis dalam pelaksanaan
kesiapsiagaan, kewaspadaan dan respon di tingkat
provinsi
4) Pusat
• Melakukan pemantauan berita atau rumor yang
berkembang terkait dengan kasus penyakit virus
Ebola di masyarakat melalui media atau sumber
informasi lainnya dan melakukan verifikasi terhadap
berita tersebut.
• Menganalisis laporan dari KKP atau Dinas
Kesehatan Provinsi.
• Melakukan analisis situasi dan memberikan
rekomendasi sebagai bahan pengambilan kebijakan
dalam kesiapsiagaan, kewaspadaan dan respon di
tingkat nasional.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 44


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan


kesiapsiagaan, kewaspadaan dan respon di tingkat
nasional
• Memberikan bimbingan teknis dalam pelaksanaan
kesiapsiagaan, kewaspadaan dan respon di tingkat
nasional.
• Menyebarkan informasi perkembangan situasi
terkini secara berkala

c. Respon
1) Puskesmas
• Melakukan tatalaksana dan rujukan sesuai dengan
SOP bila menemukan kasus dengan
memperhatikan prinsip-prinsip pengendalian infeksi.
• Melaporkan kasus dalam waktu <24 jam ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
• Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota melakukan penyelidikan
epidemiologi untuk mendapatkan kasus tambahan
dan identifikasi kontak.
• Melakukan pemantauan terhadap kontak kasus
penyakit virus Ebola dalam waktu 21 hari sejak
kontak terakhir.
• Melakukan komunikasi risiko terhadap masyarakat.
2) Rumah Sakit
• Melakukan tatalaksana kasus sesuai manifestasi
klinis yang muncul pada kasus.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 45


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Melakukan pengambilan spesimen untuk


pemeriksaan konfirmasi laboratorium.
• Berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat
dalam pengepakan dan pengiriman spesimen.
• Melaporkan kasus dalam waktu <24 jam ke Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota melalui sms atau
telepon ditembuskan ke Ditjen P2P melalui PHEOC.
• Melakukan komunikasi risiko dengan keluarga
kasus.
• Melakukan pemantauan kontak kasus pada petugas
rumah sakit.
• Melaporkan perkembangan kasus dan hasil
pemantauan kontak setiap hari ke Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota ditembuskan ke Ditjen P2P melalui
PHEOC.
3) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota
• Melaporkan kasus penyakit virus Ebola ke pusat
dalam waktu <24 jam melalui sistem pelaporan
cepat (sms gateway). Laporan cepat dapat
dilakukan juga melalui telp/ surel/fax/sms ke Dinas
Kesehatan Provinsi yang ditembuskan ke PHEOC.
• Menginformasikan notifikasi KKP tentang pelaku
perjalanan dari negara terjangkit kepada
Puskesmas.
• Melakukan penyelidikan epidemiologi bila ada
laporan kasus penyakit virus Ebola atau klaster
penyakit/kematian yang tidak diketahui
penyebabnya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 46


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Melakukan penanggulangan awal sesuai hasil


penyelidikan.
• Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat.
4) Dinas Kesehatan Provinsi
• Melaporkan kasus penyakit virus Ebola ke pusat
dalam waktu ≤24 jam melalui telp/surel/fax/sms ke
PHEOC
• Menginformasikan notifikasi KKP tentang pelaku
perjalanan dari negara terjangkit kepada Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota.
• Melakukan penyelidikan epidemiologi bila ada
laporan kasus penyakit virus Ebola.
• Melakukan penanggulangan awal sesuai hasil
penyelidikan.
• Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan
bila perlu.
• Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat.
• Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di
kab/kota.
• Membangun dan memperkuat jejaring kerja
surveilans dengan lintas program dan sektor terkait.
5) Pusat
• Melakukan penyelidikan epidemiologi dan
penanggulangan sesuai dengan kewenangan.
• Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan
bila perlu.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 47


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di


provinsi dan kab/kota.
• Membangun dan memperkuat jejaring kerja
surveilans dengan lintas program dan sektor terkait.
• Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat baik
melalui media cetak atau elektronik.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 48


ALUR PENEMUAN KASUS PENYAKIT VIRUS EBOLA DI PINTU MASUK NEGARA

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

49
Gambar 3.1 Alur Penemuan Kasus Di Pintu Masuk Negara
ALUR PENEMUAN KASUS PENYAKIT VIRUS EBOLA DI WILAYAH
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Gambar 3.2 Alur Penemuan Kasus Di Wilayah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 50


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

C. PENYELIDIKAN DAN PENANGGULANGAN KLB


Penyelidikan epidemiologi bertujuan untuk memastikan
diagnosis kasus, mengetahui perjalanan penyakit, mengetahui
gambaran epidemiologi, mengetahui faktor risiko, memastikan
adanya penularan secara efektif, mengetahui kasus tambahan,
melakukan identifikasi kontak dan melakukan penanggulangan
segera.
Penyelidikan epidemiologi dilakukan ketika:
1) Ditemukan kasus dalam investigasi
2) Ditemukan kasus konfirmasi
3) Ditemukan peningkatan sindrom penyakit yang dicurigai
melalui surveilans berbasis kejadian, misalnya ditemukan
klaster penyakit atau kematian yang tidak diketahui
penyebabnya.
Penyelidikan epidemiologi dilakukan oleh tim gerak cepat
(TGC) Kabupaten/Kota, Provinsi, dan Pusat sesuai dengan
besaran masalah. Hasil penyelidikan epidemiologi menjadi dasar
untuk menyatakan Kejadian Luar Biasa (KLB). Kejadian Luar
Biasa Penyakit Virus Ebola dinyatakan jika ditemukan 1
kasus konfirmasi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 51


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Langkah-langkah penyelidikan epidemiologi :


1. Persiapan: menyiapkan dokumen yang diperlukan (instrument PE
berupa formulir PE, surat tugas dsb), koordinasi dengan unit
terkait, menyiapkan alat transportasi, komunikasi, APD dan alat
pengolah data, serta mengumpulkan informasi yang diterima
sebelumnya.
2. Menggali informasi kasus: observasi rekam medis kasus,
wawancara petugas medis yang merawat, keluarga kasus dan
sumber informasi lainnya. Gunakan formulir PE (Form PVE-IN)
yang telah disiapkan dan pastikan form tersebut diisi dengan
lengkap.
3. Penelusuran dan pemantauan kontak: Pemantauan kontak
dilakukan setiap hari sejak kontak pertama dengan kasus sampai
21 hari sejak kontak terakhir dengan kasus. Pemantauan kontak
dilakukan untuk menanyakan status kesehatan kontak, dan
menjelaskan kepastian diagnosis kasus kepada kontak serta
membangun komunikasi dan kerjasama dengan kontak.
4. Komunikasi risiko terhadap kontak dan keluarga: komunikasi risiko
dilakukan untuk memberikan pemahaman kepada kontak maupun
keluarga kasus tentang pentingnya pencegahan penyakit virus
Ebola melalui PHBS, pemantauan kesehatan secara mandiri
selama 21 hari, membatasi aktivitas yang berhubungan dengan
orang banyak, dan sebagainya.
5. Laporan hasil PE secara berkala: Setiap selesai melakukan
penyelidikan KLB, dilakukan pengolahan dan analisis data untuk
mengambil kesimpulan dan rekomendasi tindak lanjut. Laporan
hasil penyelidikan epidemiologi dibuat secara berkala yaitu
laporan awal, laporan perkembangan dan laporan akhir dari
pengendalian KLB.
6. Ketika PE sedang berlangsung petugas sudah harus memulai
upaya – upaya penanggulangan seperlunya (sesuai dengan
Permenkes No. 1501 Tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular
Tertentu Yang Dapat Menimbulkan Wabah dan Upaya
Penanggulangannya) dalam rangka mencegah terjadinya
penyebaran penyakit. Upaya ini dilakukan berdasarkan pada hasil
PE yang dilakukan saat itu. Upaya penanggulangan seperlunya
yang bisa dilakukan yaitu:
- Lakukan prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi selama PE.
- Lakukan komunikasi risiko kepada petugas dan masyarakat
(sesuai dengan BAB Komunikasi Risiko).

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 52


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Sistematika penulisan laporan PE sebagai berikut:


1) Latar belakang dan tujuan
2) Metodologi
3) Hasil penyelidikan epidemiologi meliputi:
• Data umum
• Analisis kasus penyakit virus Ebola berupa gambaran
karakteristik kasus menurut variabel epidemiologi
(waktu kejadian, tempat dan orang).
• Analisis faktor risiko
• Analisis kontak kasus
• Hasil pemeriksaan laboratorium
• Upaya yang sudah dilakukan seperti tatalaksana kasus,
pemeriksaan laboratorium, tindakan pengendalian
faktor lingkungan dan sebagainya.
4) Kesimpulan dan rekomendasi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 53


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

BAB IV
TATALAKSANA KASUS

A. LANGKAH – LANGKAH DIAGNOSIS


1. Anamnesis
Melakukan Anamnesis meliputi:
a. Gejala dan tanda (sesuai dengan definisi kasus)
b. Riwayat kontak dengan kasus dalam investigasi dan kasus
konfirmasi PVE (dalam 21 hari terakhir)
c. Riwayat perjalanan dari daerah atau negara terjangkit
(dalam 21 hari terakhir)
Anamnesis dilakukan di ruang isolasi dengan meminimalisir
petugas yang kontak (menggunakan form PVE-LK). Pada
saat melakukan Anamnesis petugas sudah menggunakan
alat pelindung diri (APD) sesuai dengan BAB VI PPI.

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik dilakukan secara umum dan khusus sesuai


keadaan pasien. Pada kasus – kasus yang berat dapat
ditemukan perdarahan internal dan eksternal

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Penegakan Diagnosis PVE
Untuk diagnosis pasti PVE dilakukan pemeriksaan PCR,
sampel dikirim ke Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan (Balitbangkes) sesuai dengan prosedur BAB V.
Bahan pemeriksaannya adalah:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 54


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

❖ Spesimen darah dengan ethylenediamine tetraacetic


acid (EDTA) (vacutainer tutup ungu) 4 cc dan clot
activator (vacutainer tutup kuning) sebanyak 4 cc
sudah dilakukan sentrifuge sebelum dikirim.
❖ Pengambilan spesimen darah dilakukan setelah 3 hari
atau ≥ 72 jam setelah timbul gejala sehari sekali
selama 3 hari berturut – turut
b. Pemeriksaan penunjang lain untuk menyingkirkan
penyakit yang mempunyai gejala serupa seperti malaria,
demam dengue, leptospirosis, chikungunya, thypoid:
❖ Darah (hemoglobin, hematokrit, Trombosit, Leukosit,
SGOT, SGPT, ureum/kreatinin, analisis gas darah,
elektrolit dan gula darah)
❖ Urin lengkap
❖ Feses lengkap (bila diare)
❖ Pemeriksaan malaria (rapid test, pemeriksaan
mikroskopis: darah tebal, darah tipis)
❖ Pemeriksaan leptospirosis (rapid test, PCR)
❖ Pemeriksaan dengue/chikungunya (serologi, PCR,
NS 1)
❖ Pemeriksaan typhoid (tubex TF atau Widal)
❖ Pemeriksaan radiologis sesuai dengan gejala dan
tanda klinis.
4. Penetapan Kasus
Penetapan pasien sebagai kasus dalam investigasi atau
konfirmasi berdasarkan anamnesis dan tanda/gejala sesuai
dengan definisi kasus.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 55


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

B. TATALAKSANA KASUS
1. Di RS Non Rujukan/Fasyankes/KKP
Bila menemukan pasien sesuai dengan definisi kasus PVE
(membawa HAC), segera lakukan:
a. Isolasi pasien
b. Petugas memakai APD
c. Segera memberikan penjelasan kepada pasien/keluarga
tentang penyakitnya dan membuat informed consent
yang ditandatangani oleh keluarga dan pasien
d. Dokter membuat surat rujukan dan berkomunikasi
(termasuk tatacara transportasi pasien) dengan dokter
RS Rujukan tentang proses rujukan
e. Melakukan tatalaksana kedaruratan yang ditemukan
sebelum dirujuk
f. Melapor sesuai alur pelaporan

2. Di RS Rujukan PVE
Pasien datang di RS rujukan, meliputi:
a. Pasien rujukan dengan PVE dari RS Non
Rujukan/Fasyankes/KKP
b. Pasien langsung ke ruang isolasi untuk tatalaksana lebih
lanjut dan kepastian diagnosis.
c. Pasien dengan membawa HAC
- Isolasi pasien
- Petugas memakai APD
- Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik apabila
memenuhi definisi kasus PVE segera evakuasi ke

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 56


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

ruang isolasi untuk tatalaksana lebih lanjut. Bila tidak


memenuhi definisi kasus PVE lakukan tatalaksana
seperti pasien penyakit lain.
- Melaporkan kasus ke Ditjen P2P melalui Posko–KLB
ditembuskan kepada Dinas Kesehatan Provinsi
d. Pasien Umum :
- Lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik apabila
memenuhi definisi kasus PVE segera isolasi untuk
persiapan evakuasi ke ruang isolasi dan laporkan ke
Ditjen P2P melalui Posko–KLB ditembuskan kepada
Dinas Kesehatan Provinsi
- Bila tidak memenuhi definisi kasus PVE lakukan
tatalaksana seperti pasien penyakit lain.
- Melaporkan kasus ke Ditjen P2P melalui Posko–KLB
ditembuskan kepada Dinas Kesehatan Provinsi
Terapi dan tatalaksana komplikasi
a. Pasien dirawat di ruang isolasi
b. Berikan terapi simptomatis sesuai dengan temuan klinis
yaitu pemberian obat penurun panas, pemasangan
infus (terapi cairan kristaloid atau koloid sesuai klinis),
transfusi darah (jika perlu lakukan hemodialisa
dengan menggunakan hemofilter khusus virus),
pemberian O2, dan mengatasi infeksi sekunder
c. Dilakukan pemantauan ketat untuk perdarahan dan
komplikasi lainnya
d. Terapi definitif sampai saat ini belum ada
e. Kriteria pasien diperbolehkan pulang:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 57


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Pasien dirawat sampai dinyatakan sembuh oleh klinisi


dan bebas dari virus Ebola berdasarkan konversi hasil
laboratorium menjadi negatif.
- Bebas tanda dan gejala 3 hari berturut – turut.
f. Pada saat pulang pasien diberikan surat keterangan
bebas Ebola yang ditembuskan ke Dinas Kesehatan
setempat dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan
(fasyankes)/unit yang merujuk.

C. SISTEM RUJUKAN
1. Kasus penyakit virus Ebola (kasus dalam investigasi,
konfirmasi) harus dirawat di RS rujukan yang ditetapkan
2. Rujukan kasus dari RS non rujukan dan fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) lainnya atau Kantor Kesehatan
Pelabuhan (KKP) ke RS rujukan harus memperhatikan dan
mengikuti prosedur berikut:
a. RS non rujukan dan fasyankes lainnya/KKP pengirim
meminta persetujuan (informed consent) alasan dirujuk
kepada pasien dan atau keluarga, disertakan saat merujuk
pasien bersama surat rujukannya.
b. Dokter pengirim berkomunikasi dengan dokter di RS
rujukan yang dituju dalam hal:
➢ Pasien sesuai dengan definisi kasus
➢ Kelayakan pasien dalam perjalanan
➢ Penyediaan ambulan yang memenuhi syarat transport
penyakit virus Ebola (dapat disediakan oleh Dinas

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 58


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Kesehatan Provinsi atau KKP atau fasyankes pengirim


atau RS rujukan) sesuai dengan kondisi yang ada.
➢ Petugas pengantar pasien harus menggunakan APD
(sesuai dengan BAB VI PPI) dan melepaskan APD di
RS rujukan dan ditempatkan di kantong infeksius untuk
segera di masukkan dalam insenerator.
➢ Setelah mengantar pasien, bagian permukaan ambulan
yang kontak dengan pasien dan petugas harus
didesinfeksi di RS rujukan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 59


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

BAB V
PENGAMBILAN, PENGEPAKAN, PENGIRIMAN SPESIMEN
DAN PEMERIKSAAN LABORATORIUM

A. Pengambilan Spesimen
Sebelum kegiatan pengambilan spesimen dilaksanakan, harus
memperhatikan universal precaution atau kewaspadaan
universal untuk mencegah terjadinya penularan penyakit dari
pasien ke paramedis maupun lingkungan sekitar.
Hal tersebut meliputi:
1. Cuci tangan dengan menggunakan sabun/desinfektan
SEBELUM dan SESUDAH tindakan.
2. Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD), minimal yang
HARUS digunakan :
a. Sarung tangan ganda
b. Baju pelindung sekali pakai
c. Apron tahan air
d. Kaca mata (Goggle)
e. Sepatu boot karet/penutup sepatu
f. Masker respiratory partikulat

3. Alat dan bahan pengambilan spesimen :


a. Vacutainer EDTA (tutup ungu)
b. Vacutainer clot activator (tutup kuning)
c. Syringe
d. Alkohol swab
e. Torniquet
f. Ice pack dan Cold box

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 60


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

g. Label nama
h. Formulir pengambilan specimen (Form PVE-Lab)

Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium


yang terampil dan berpengalaman atau sudah dilatih sesuai
dengan kondisi dan situasi setempat.
Berdasarkan pedoman WHO Juni 2014, spesimen untuk
pemeriksaan penyakit virus Ebola adalah spesimen darah.
Virus Ebola juga dapat ditemukan di dalam cairan tubuh
lainnya seperti urin, cairan mani, dan feses tetapi kegunaan
sampel tersebut di dalam mendiagnosis infeksi penyakit virus
Ebola belum dapat dipastikan.
Pengambilan spesimen dilakukan dalam ≥ 72 jam setelah
timbul gejala (± 3 hari), sebanyak 3 kali selama 3 hari berturut-
turut. Spesimen harus tiba di laboratorium segera setelah
pengambilan. Penanganan spesimen dengan tepat saat
pengiriman adalah hal yang teramat penting. Sangat
disarankan agar pada saat pengiriman spesimen tersebut
ditempatkan di dalam cold box dengan kondisi suhu 0-4 C
atau bila diperkirakan lama pengiriman lebih dari 3 hari
disarankan spesimen dikirim dengan es kering (dry ice).
Sarung tangan, tissue, masker dan limbah lain yang berasal
dari pasien sesuai dengan penanganan limbah di rumah
sakit.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 61


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

B. Pengepakan dan Pengiriman Spesimen


Cara pengepakan untuk spesimen tersangka terinfeksi penyakit
virus Ebola menggunakan 3 lapis wadah yaitu wadah primer,
wadah kedua dan wadah terluar yang tahan pecah/banting
sesuai dengan standar International Air Transport Association
(IATA) untuk pengepakan spesimen infeksius, diberi label kode
UN 2814 dan TIDAK BOLEH DIBUKA.
Kotak spesimen dibuka di dalam laboratorium BSL 3 untuk
menghindari kontak dengan barang infeksius. Petugas penerima
spesimen di laboratorium Balitbangkes langsung memberikan
kepada petugas pemeriksa laboratorium. Pengiriman spesimen
sampai di laboratorium dalam 1 x 24 jam.
Berikut adalah definisi dari lapisan kemasan tersebut :
1. Wadah Primer (Primary Receptacle)
a. Merupakan tempat spesimen yang anti bocor
b. Terdapat Label
c. Tahan air (rapat), dibagian luar diberi tisu penyerap cairan
(jika terjadi kerusakan/kebocoran)
2. Wadah Kedua (Secondary Packaging)
a. Bio bottle
b. Tahan air (rapat)
c. Wadah anti bocor yang berisi wadah primer
d. Wadah terluar pengepakan (Outer Packaging)
3. Wadah terluar: Kuat/Kaku (kotak styroform/cool box)
a. Kemasan luar melindungi isi dari pengaruh luar,
kerusakan fisik dan saat transit. Keseluruhan dimensi
eksternal 10 x10 cm.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 62


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

b. Terdapat formulir
c. Ditempelkan izin yang diperlukan, alamat tujuan dan
alamat pengirim, kode UN 2814 (bila diperlukan).

Gambar 5.1 Kemasan Tiga Lapis untuk Spesimen EBOLA


(UN 2814)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 63


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Alur Sistem Pengiriman Spesimen Kasus Dalam Investigasi


Ebola ke Laboratorium Rujukan

Petugas Pengiriman
rumah sakit Balitbangkes ekspedisi khusus
rujukan yang bersertifikat
IATA

Petugas
Petugas Ditjen P2P
Surveilans
surveilans melalui
Kab/Kota,
Provinsi PHEOC
Provinsi

Gambar 5.2 Alur Sistem Pengiriman Spesimen Kasus Dalam Investigasi


Ebola ke Laboratorium Rujukan

Keterangan:
: garis koordinasi
: garis pengambilan spesimen
: garis komando

1. Petugas rumah sakit rujukan menghubungi Balitbangkes


tentang keberadaan kasus dalam investigasi
2. Petugas rumah sakit rujukan menghubungi petugas
surveilans kabupaten/kota atau provinsi tentang pengiriman
spesimen ke Balitbangkes

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 64


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

3. Petugas Balitbangkes menghubungi kontak ekspedisi khusus


untuk pengambilan paket spesimen.
4. Pihak perwakilan ekspedisi khusus di tiap provinsi akan
mengambil paket spesimen ke lokasi.
5. LCT (Latest Call Time/ Pemberitahuan Order Pengambilan
Barang) sebagai berikut:
a. Minimum 1 hari sebelum hari pengambilan untuk
pengambilan diwilayah Indonesia bagian barat
b. Minimum 2 hari sebelum hari pengambilan untuk
pengambilan diwilayah Indonesia bagian tengah & timur
6. LPT (Latest Pick Up Time/ Waktu Pengambilan Barang)
disesuaikan dengan jadwal keberangkatan pesawat dari
masing-masing daerah pengambilan. Selama spesimen
belum diambil oleh pihak ekspedisi, spesimen disimpan
dalam posisi berdiri di dalam kotak tertutup rapat dengan
suhu 2-8 ˚C.
7. Ekspedisi khusus bersertifikat IATA bertanggung jawab atas
paket spesimen mulai dari saat paket tersebut diterima
sampai dengan tiba di Laboratorium Rujukan.
8. Laboratorium Rujukan untuk pemeriksaan spesimen kasus
dalam investigasi Ebola adalah Laboratorium Balitbangkes
Kemenkes.

C. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan diagnosis laboratorium kasus dalam
investigasi penyakit virus Ebola dilakukan dengan metoda RT-
PCR dan dikonfirmasi dengan teknik sekuensing. Pengujian

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 65


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

ada/ tidaknya virus pada spesimen harus dilakukan di


laboratorium dengan peralatan yang memadai oleh staf yang
telah melalui pelatihan teknis dan prosedur keselamatan terkait.
Setelah teridentifikasi genom virus Ebola, kemudian
dilakukan sekuensing guna memperoleh konfirmasi. Hasil
pemeriksaan laboratorium yang resmi dikirim ke Dinas
Kesehatan Provinsi dan rumah sakit yang mengirimkan
ditembuskan kepada Ditjen P2P melalui PHEOC.

Kasus yang di Investigasi

Pengujian RT-PCR spesifik

Positif Negatif

Sekuensing

Kasus Positif Konfirmasi Negatif


Virus Ebola

Gambar 5.3 Algoritma Pemeriksaan Spesimen

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 66


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INFEKSI

Mencegah atau membatasi penularan infeksi di sarana


pelayanan kesehatan memerlukan penerapan prosedur dan protokol
yang disebut sebagai "kewaspadaan isolasi". Secara umum
pencegahan dan pengendalian infeksi pada penyakit virus Ebola
kewaspadaan standar dan kewaspadaan kontak. Pada tindakan
tertentu yang menghasilkan butir-butir aerosol (Inhalasi/Nebulizer)
dan tindakan invasive lainnya seperti melakukan intubasi, suctioning,
swab tenggorok dan hidung perlu dilakukan penambahan
kewaspadaan airborne.
Melakukan kebersihan tangan (hand hygiene) sesuai
prosedur. Ada 5-moments dimana harus dilakukan kebersihan
tangan yaitu sebelum kontak pasien, setelah kontak pasien, sebelum
melakukan tindakan medis, sesudah kontak dengan bahan infeksius
dan setelah kontak dengan lingkungan pasien. Langkah – langkah
cuci tangan atau alternatif cuci tangan (hand rub) ditunjukkan pada
gambar Lampiran 12 Langkah-langkah Mencuci Tangan.
Penggunaan APD sesuai dengan prosedur untuk memakai
dan melepaskan secara benar ditunjukkan pada gambar Lampiran
11 Cara Memakai dan Melepas APD.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 67


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

A. Element Kunci Pencegahan dan pengendalian infeksi pada


penyakit virus Ebola :
1. Petugas (SDM)/Health Care Workers (HCW)
a. Sudah terlatih PPI
b. Mempunyai dedikasi tinggi
c. Sehat jasmani
2. Sarana dan Prasarana
a. Sarana tempat pelayanan
• Memiliki ruang isolasi/ruangan yang disiapkan, tidak
menjadi tempat lalu lintas orang
• Memiliki tempat/kantong untuk limbah infeksius
• Memiliki sarana cuci tangan dan alternative cuci
tangan
• Memiliki sarana pengelolaan air limbah, benda padat
dan tajam
b. APD :
Digunakan untuk melindungi diri dari percikan dan kontak
langsung/tidak langsung.
APD untuk pelayanan kasus PVE digunakan hanya sekali
pakai, meliputi :
1) Sarung Tangan
2) Masker bedah, Masker Partikulat Respirasi (N95,
N98)
3) Penutup Kepala
4) Goggle/Kacamata Pelindung
5) Face shield/Tabir muka
6) Apron/Gaun Pelindung kedap air

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 68


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

7) Sepatu Boot/Shoe Cover yang kedap air


c. Sarana pembuangan limbah
1) Logistik :
➢ Kantong plastik infeksius (warna kuning/merah)
➢ Kontainer khusus benda tajam
➢ Alat angkut kontainer (troli, dll)
➢ Incenerator
➢ APD untuk pengelola limbah (sarung tangan
karet, baju kedap air/apron, masker bedah, kaca
mata, sepatu boot karet dapat digantikan dengan
penutup sepatu kedap air).
2) Prosedur pengelolaan limbah
➢ Semua limbah ditangani oleh petugas yang sudah
terlatih
➢ Benda tajam (jarum suntik, tabung suntik, benda
berbahan kaca) dan tabung yang kontak dengan
darah atau cairan tubuh diletakkan dalam
kontainer khusus benda tajam.
➢ Limbah infeksius padat dan tidak tajam
dikumpulkan ke dalam plastik kedap air dan
dimasukkan kedalam kontainer tertutup.
Kontainer tidak boleh bersentuhan dengan
petugas pembawa kontainer, dapat dipindahkan
dengan menggunakan alat (troli, dll).
➢ Semua limbah padat dan tajam segera
dimusnahkan menggunakan incenerator. Limbah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 69


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

cair diolah di Instalasi Pengelolaan Air Limbah


(IPAL).
➢ Tempat pengelolaan limbah akhir merupakan
area terbatas untuk orang lain dan terbebas dari
binatang.
d. Penanganan jenazah
1) Jenazah diperlakukan sesuai dengan agama dan
keyakinan yang berduka
2) Pemulasaran jenazah dilakukan oleh petugas yang
terlatih
3) Jenazah tidak boleh disentuh secara langsung
4) Petugas/keluarga yang menangani pemulasaran
jenazah menggunakan APD
5) Pemindahan jenazah dari ruangan ke kamar jenazah
sesegera mungkin menggunakan kantong jenazah
yang kedap air..
6) Melakukan kebersihan tangan (hand hygiene) sesuai
ketentuan menggunakan air mengalir dan sabun atau
sabun anti septik.
7) Perlakuan terhadap jenazah: luruskan tubuh, tutup
mata, telinga dan mulut dengan kapas/plester kedap
air, lepaskan alat kesehatan yang terpasang, setiap
luka harus diplester dengan rapat.
8) Memandikan jenazah tetap memperhatikan
kewaspadaan isolasi (kewaspadaan standar dan
kewaspadaan berdasarkan transmisi) disaksikan oleh
keluarga. Air untuk memandikan jenazah dicampur

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 70


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

bahan disinfektan (Natrium Hipoklorit) dengan


konsentrasi 0,5%.
9) Jenazah dikeringkan dengan handuk sekali pakai
10) Jenazah tidak boleh dibalsem, atau disuntik pengawet
11) Sebelum dimasukkan ke kantong jenazah dilakukan
prosesi sesuai dengan agama dan keyakinan
12) Kemudian jenazah dimasukkan dalam kantong
jenazah dan resleting ditutup dan di lem silicon, tidak
boleh dibuka lagi (kantong jenazah terbuat dari plastic
yang kedap air dengan ketebalan khusus)
13) Kantong jenazah dimasukkan dalam peti jenazah
yang diberi lem kayu sekelilingnya dan segera dikubur
14) Autopsi dapat dilakukan jika sudah ada izin dari pihak
keluarga dan direktur rumah sakit. Autopsi dilakukan
oleh petugas khusus dan dilakukan sebelum
pemulasaran jenazah.
15) Jenazah harus diantar/diangkut dengan mobil
jenazah.
16) Jenazah disemayamkan di dalam ruang
pemulasaraan jenazah tidak lebih dari 4 jam.
17) Setelah semua prosedur jenazah dilaksanakan
dengan baik, maka pihak keluarga dapat turut dalam
penguburan jenazah tersebut.
18) Penguburan dapat dilaksanakan di tempat
pemakaman umum.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 71


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

19) Petugas pemulasaran jenazah menempatkan semua


limbah yang terkait dengan pemulasaran jenazah
dalam kantong infeksius yang tertutup.

B. Standar Kewaspadaan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan


1. Kebersihan tangan
• Petugas tidak boleh memiliki kuku panjang, kuku harus
bersih (tidak memakai pewarna kuku), tidak
menggunakan perhiasan termasuk cincin.
• Bersihkan tangan dengan bahan berbasis alcohol (hand
rub) atau air mengalir dan sabun atau sabun anti septik.
• Cuci tangan dengan air dan sabun atau sabun antiseptik
dan bilas dengan air mengalir:
- Tangan kotor, mengandung cairan tubuh pasien yaitu
darah, ekskresi, ganti balutan walaupun memakai
sarung tangan.
- Sebelum dan setelah melepas sarung tangan.
- Sebelum dan setelah melakukan tindakan asepsis
- Setiap akan memeriksa pasien lain
- Setelah kontak dengan lingkungan dan benda mati di
area pasien
- Sebelum ke luar ruangan pasien, setelah melepas
APD
- Sebelum dan setelah makan minum atau
menggunakan toilet.
• Cuci tangan bisa dilakukan dengan hand rub bila tangan
tidak tampak kotor

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 72


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

2. Sarung tangan
• Gunakan sarung tangan ketika menyentuh darah, cairan
tubuh, sekresi, ekskresi, membran mukosa dan kulit yang
terbuka.
• Ganti sarung tangan ketika berpindah pasien setelah
menyentuh sesuatu yang berpotensi infeksius
• Lepaskan sarung tangan sebelum menyentuh sesuatu
yang tidak terkontaminasi, dan sebelum berpindah ke
pasien lain. segera cuci tangan setelah melepas sarung
tangan.
3. Pelindung wajah (mata, hidung dan mulut)
Gunakan masker bedah dan pelindung mata atau pelindung
wajah untuk melindungi mukosa membran mata, hidung, dan
mulut selama melakukan aktivitas yang bersentuhan dengan
darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi.
4. Baju Pelindung
• Gunakan untuk melindungi kulit dan baju selama
bersentuhan dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan
ekskresi.
• Lepas segera baju pelindung dan lakukan cuci tangan
dengan sabun dan air mengalir setelahnya.
5. Pencegahan tusukan jarum dan cedera benda tajam lainnya
seperti handling needles, scalpels, dan instrument tajam
lainnya.
6. Etika batuk
Orang dengan gejala gangguan pada saluran pernapasan
perlu menerapkan pengendalian dengan menutupi hidung

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 73


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

dan mulut ketika bersin/batuk dengan tisu/masker,dan segera


cuci tangan setelah menyentuh sekresi saluran pernapasan.
7. Pembersihan lingkungan
Gunakan prosedur yang adekuat untuk membersihkan
secara rutin dan desinfeksi lingkungan atau menyentuh
permukaan benda atau alat medis menggunakan
desinfektan.
8. Linen
• Prosedur penanganan, transport dan distribusi linen harus
jelas, aman, dan memenuhi kebutuhan pelayanan
• Linen dibagi menjadi linen kotor dan linen kontaminasi.
• Transportasi dengan troli bersih yang terpisah.
• Linen terkontaminasi dibungkus dengan kantong kuning.
9. Pengelolaan limbah
• Pastikan manajemen pengelolaan limbah dilakukan
dengan aman
• Perlakukan limbah yang terontaminasi dengan darah,
cairan tubuh, sekresi, ekskresi sebagai limbah medis
sesuai peraturan yang berlaku.
• Jaringan tubuh manusia dan limbah laboratorium
berhubungan langsung dengan spesimen harus
diperlakukan sebagai limbah medis.
10. Peralatan perawatan pasien
• Penanganan peralatan pasien yang terkontaminasi
dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan ekskresi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 74


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

• Bersihkan, desinfeksi, dan proses sterilisasi peralatan


yang digunakan kembali sebelum digunakan untuk
pasien lainnya.
• Buang jarum yang sudah digunakan dan benda tajam
lainnya.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 75


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

BAB VI
KOMUNIKASI RISIKO

Komunikasi risiko dilakukan kepada pemangku kepentingan


maupun kepada masyarakat. Komunikasi risiko kepada pemangku
kepentingan bertujuan untuk keperluan tindak lanjut sesuai tugas
dan kewenangannya. Komunikasi risiko kepada masyarakat
ditujukan untuk meminimalkan kecemasaan masyarakat dan
mempromosikan upaya yang membutuhkan peran aktif masyarakat
dalam pencegahan dan pengendalian PVE.

Situasi yang mungkin dihadapi dalam upaya pencegahan dan


pengendalian PVE ada 3 macam, yaitu:

1. Situasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini


Pada situasi ini biasanya tingkat kekuatiran masyarakat masih
pada kondisi normal.
Pada situasi ini, unit pengelola program PVE:
- menyiapkan informasi mengenai PVE yang akan
didiseminasi berdasarkan hasil penilaian risiko
- memilih sasaran yang akan diberikan informasi (pemangku
kepentingan maupun masyarakat)
- menyiapkan cara penyampaian informasi termasuk media
yang akan digunakan
- melakukan koordinasi lintas program lintas sektor untuk
mengidentifikasi dan menyiapkan database dan rencana
tindak lanjut yang akan dilakukan dalam kesiapsiagaan dan
kewaspadaan dini ebola

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 76


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- menghimpun tenaga kesehatan di fasyankes, tokoh agama,


tokoh masyarakat, serta public figure untuk membantu
menyampaikan komunikasi risko kepada masyarakat
- membuat rekomendasi penunjukan fokal poin atau juru
bicara yang akan menyampaikan informasi PVE pada
situasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan dini
- menentukan jenis dan informasi yang akan disampaikan
pada media KIE, melakukan uji coba media KIE serta
mekanisme pemberian media KIE pada kelompok berisiko
sehingga dapat memastikan kelompok/masyarakat dapat
mengakses informasi mengenai PVE. Media yang bisa
digunakan untuk melakukan komunikasi risiko melalui door
to door, ketemu per orang, radio, pamfelt, banner, leaflet.
- melakukan pemantauan topik pembicaraan di media sosial
dan melakukan intervensi yang dibutuhkan untuk dapat
meredam risiko meningkatnya keresahan yang mungkin
terjadi
- menghimpun database, kontak media massa serta data
logistik untuk melakukan konferensi pers dengan media
massa
- membentuk tim monitoring dan evaluasi yang bertugas
untuk melakukan penilaian terhadap efektifitas kegiatan
komunikasi risiko

2. Situasi ditemukannya kasus konfirmasi PVE pertama atau KLB


Pada situasi ini biasanya tingkat kekuatiran masyarakat mulai
tinggi sampai menimbulkan kepanikan dan kebingungan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 77


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Dalam situasi ini tokoh kunci sangat berperan untuk meredam


kekuatiran masyarakat. Sehingga selain masyarakat yang
menjadi sasaran utama, maka tokoh kunci juga menjadi
sasaran utama agar dapat menyampaikan informasi yang
tepat kepada masyarakat.
Pada situasi ini, unit pengelola program PVE:
- menyusun draft press release, penjelasan mengani kasus
pertama PVE, dan bahan komunikasi risiko lainnya
(rekomendasi) yang konsisten dan diharapkan dapat
memberikan pemahaman terhadap masyarakat dan
meredam kepanikan masyarakat
- menunjuk tokoh kunci yang mempunyai wewenang untuk
menyampaikan informasi kepada masyarakat
- melakukan monitoring terhadap informasi yang ada di
masyarakat
- memberikan konferensi pers dengan melibatkan media
massa dan pihak lainnya termasuk yang telah tergabung
sebelumnya.
- mengaktifkan kontak atau hotline yang dapat menampung
semua rumor dan laporan lainnya tentang PVE dari
masyarakat.
- melakukan koordinasi lintas program lintas sektor untuk
komunikasi dan sharing informasi
- menghimpun tenaga kesehatan di fasyankes untuk
membantu menyampaikan komunikasi risko kepada
masyarakat

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 78


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- melakukan pemantauan topik pembicaraan di media sosial


dan melakukan intervensi yang dibutuhkan untuk dapat
meredam risiko meningkatnya keresahan yang mungkin
terjadi
- melakukan update informasi mengenai situasi
terkini/monitoring harian maupun mingguan

3. Situasi berakhirnya status KLB PVE


Pada situasi ini pemerintah (pusat/daerah) menyampaikan
deklarasi berakhirnya situasi KLB.
Pada situasi ini, unit pengelola program PVE:
- penyusunan rencana transisi dan melakukan monitoring
evaluasi terkait komunikasi risiko yang telah diterapkan
- penilaian dan evaluasi terhadap komunikasi risiko yang telah
dilakukan
- penyusunan dokumentasi lesson learned dari kejadian
tersebut

Pesan kunci utama yang harus disampaikan dalam komunikasi


risiko pencegahan dan pengendalian PVE adalah:
1. Pengenalan penyakit virus Ebola
2. Cara penularan dan pencegahan penularan
3. Kelompok berisiko
4. Upaya yang dilakukan untuk orang yang bergejala sesuai
dengan penyakit virus Ebola
5. Upaya yang bisa dilakukan pada orang yang kontak dan pelaku
perjalanan dari dan ke negara terjangkit

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 79


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

6. Upaya yang dilakukan untuk orang yang berisiko tinggi


(petugas yang menangani pasien penyakit virus Ebola,
dan keluarga pasien)

Komunikasi risiko harus dilakukan dengan kesabaran dan


berulang-ulang. Frequent Ask Question (FAQ) harus disediakan
dan diupdate sesuai kebutuhan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 80


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. 2014. Interim Guidance for Monitoring and Movement


of Persons with Ebola Virus Disease Exposure.
http://www.cdc.gov/vhf/Ebola/hcp/monitoring-and-
movement-of-persons-with-exposure.html
2. CDC. 2014. Case Definition for Ebola Virus Disease.
3. CDC.2014. Specimen Collection, Transport, Testing, and
Submission for Patients with Suspected Infection with Ebola
Virus Disease. http://www.cdc.gov.ebola
4. CDC. 2014. Guidance on Air Medical Transport for Patients
with Ebola Virus Disease
5. CDC. 2014. Interim Guidance for Environmental Infection
Control in Hospitals for Ebola Virus
6. CDC. 2014. Key Messages – Ebola Virus Disease, West
Africa
7. CDC. 2014. Information Catalog of Guidance on Ebola
Outbreak Response CDC Ebola International Task Force
Version 2 (released September 12, 2014).
8. IATA guidelines for air crew to manage a suspected
communicable disease or other public health emergency on
board
9. IATA guideline for cleaning crew for an arriving aircraft with a
suspected case of communicable disease
10. International Civil Aviation Organization Technical
Instructions for the Safe Transport of Dangerous Goods by
Air, 2005-2006

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 81


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

11. ICAO Health related documents (1) Procedures for Air


Navigation Services; (2) Annex 6 – Medical Supplies
12. PAHO. 2014. Risk Communication Checklist for Ebola.
13. WHO. 2014. Ebola and Marburg virus disease epidemics:
preparedness, alert, control, and evaluation.
14. WHO. 2014. Risk Assessment Human infections with Zaïre
Ebolavirus in West Africa
15. WHO. 2014.Case definition recommendations for Ebola or
Marburg Virus Diseases
16. WHO. 2014. WHO Statement on the Meeting of the
International Health Regulations Emergency Committee
Regarding the 2014 Ebola Outbreak in West Africa
17. WHO. 2014. Interim Infection Prevention and Control
Guidance for Care of Patients with Suspected or Confirmed
Filovirus Haemorrhagic Fever in Health-Care Settings, with
Focus on Ebol
18. WHO.2014.Travel and transport risk assessment:
Recommendations for public health authorities and transport
sector
19. WHO Aviation Guide which includes information on sanitizing
of aircraft
20. WHO. 2014. Ebola Surveillance in Countries with No
Reported Cases of Ebola Virus Disease
21. WHO. 2014. Steps to put on personal protective equipment
(PPE)
22. WHO. 2014. Steps to remove on personal protective
equipment (PPE)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 82


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

23. WHO. 2014. Personal Protective Equipment in the Context of


Filovirus Disease Outbreak Response Rapid advice guideline
Summary of the recommendations
24. WHO.2014. Personal protective equipment (PPE) in the
context of filovirus disease outbreak response Technical
specifications for PPE equipment to be used by health
workers providing clinical care for patients
25. WHO. 2006. Your 5 Moment for Hand Hygiene
26. WHO. 2014. In-Country shipment : How to safely ship human
blood samples from suspected Ebola cases within a country
by road, rail and sea
27. WHO. 2014. Field situation: How to conduct safe and
dignified burial of a patient who has died from suspected or
confirmed Ebola virus disease.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 83


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 1 FORM PVE-AR

FORMULIR PENILAIAN RISIKO TERINFEKSI

1. Identitas

Nama :
Umur :
Jenis Kelamin : L / P (Lingkari
jawaban)
Nomor Telepon Seluler :
Nomor Paspor :
Nama & Nomor Penerbangan :
Nomor Tempat duduk :
Tanggal Kedatangan :
Alamat tinggal di Indonesia :

Keluarga dekat yang bisa dihubungi


Nama :
Hubungan keluarga : (Pilih salah satu)
a. Suami/ Istri c. kakak/ adik
kandung
b. Anak kandung d. lainnya,
Sebutkan……….
Nomor telepon/ telepon seluler :
Alamat (bila berbeda dengan di atas):

2. Riwayat perjalanan (Lingkari jawaban)


Apakah anda telah melakukan perjalanan ke beberapa
negara yang tengah terjangkit Kejadian Luar Biasa (KLB)
Ebola berikut ini:
a. Liberia
- Ya - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?
b. Guinea
- Ya - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 84


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

c. Sierra Leone
- Ya - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?
d. Mali
- Ya - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?
e. Demokratik Republic Kongo
- Ya - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?
f. Negara terjangkit PVE lainnya:
-Ya, negara:.............. - Tidak
Jika ya pada tanggal berapa anda tiba (date arrival)?

3. Kegiatan selama berada di area/ negara terjangkit


atau area berisiko (Lingkari jawaban)
a. Apa tujuan dari perjalanan ini
- Berwisata
- Bekerja sebagai tenaga kesehatan
- Sukarelawan
- Bisnis
- Mengunjungi teman
- Lainnya, sebutkan…..
b. Apakah ada kontak serumah yang diketahui
menderita sakit atau berisiko tinggi terhadap penyakit
virus Ebola?
- Ya - Tidak
c. Apakah anda pernah menjadi pasien, atau tenaga
kesehatan, atau berkunjung ke fasilitas pelayanan
kesehatan (fasyankes) di negara terjangkit?
- Ya - Tidak
Apakah terdapat seseorang yang diketahui atau
memiliki risiko tinggi terhadap penyakit virus Ebola
dirawat di fasyankes tersebut?
- Ya - Tidak
d. Apakah anda melakukan kontak dengan seseorang
yang diketahui atau memiliki risiko tinggi terhadap
penyakit virus Ebola?

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 85


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Ya - Tidak

Jika ya? Apa jenis kontaknya: (Pilih jawaban)


- Kontak langsung dengan kulit (bersalaman,
menyentuh bagian kulit lain)
- Kontak seksual
- Menyentuh cairan tubuh pasien (darah, sperma,
air mata, air ludah, air kencing, tinja)
- Memberikan perawatan pada pasien
- Berada pada jarak 1 meter dari pasien (bukan
sekedar berjalan)
- Menangani jenazah
- Sebagai petugas laboratorium yang menangani
pemeriksaan spesimen

Jika terdapat pilihan ya pada salah satu point


diatas:
• Apakah anda menggunakan Alat Pelindung
Diri (APD) yang tepat pada saat kontak?
- Ya - Tidak
• Apakah cara penggunaannya sudah tepat
(termasuk meletakkan dan melepasnya)?
- Ya - Tidak
• Apakah selalu menggunakan APD?
- Ya - Tidak
• Jika bekerja di laboratorium, apakah
menggunakan standar keamanan pada setiap
waktu?
- Ya - Tidak

e. Apakah anda memegang atau makan


1) sisa makanan kelelawar (buah) atau
2) daging (simpanse, gorilla, antelop hutan atau
hewan lainnya yang berisiko terinfeksi penyakit virus
Ebola).
- Ya - Tidak

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 86


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

4. Keberadaan atau ketiadaan gejala yang mengarah


pada penyakit virus Ebola
a. Apakah pasien dalam keadaan baik?
- Ya - Tidak

b. Apakah terdapat gejala yang mengarah pada penyakit


virus Ebola? (Lingkari jawaban)
- Demam (≥38◦C) - Sakit Kepala
- Lemas - Nyeri otot
- Diare - Nyeri perut
- Muntah - Nyeri tenggorokan
- Nyeri sendi - Batuk
- Bintik kemerahan / Rash
- Peradangan pada mata/ Conjunctivitis
- Perdarahan internal
- Perdarahan eksternal.

Jika ya, tanyakan beberapa hal berikut pada setiap


gejala yang ada
- Apa saja gejalanya?
- Kapan gejala tersebut mulai muncul?
- Berapa lama gejala tersebut berakhir?
- Seberapa parah gejala tersebut?

Panduan Kesimpulan bagi Tenaga Kesehatan yang telah


Melakukan Penilaian Risiko

A. Tabel Hasil Penilaian Risiko

Tingkat Kriteria
Risiko
Tidak - Tidak berada di area/ negara terjangkit
Berisiko
DAN

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 87


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Tidak diketahui keberadaan paparan dari orang yang


diketahui atau berisiko tinggi terhadap PVE

Risiko - Berada di area/ negara terjangkit


sangat DAN
rendah - Tidak diketahui keberadaan paparan yang berpotensi
(seperti tidak melakukan kontak dengan orang sakit
atau orang meninggal atau dengan cairan tubuh
mereka; atau melakukan perawatan kesehatan; atau
daging bush atau kelelawar).

Risiko - Sedang berada di area/negara terjangkit


rendah ATAU
- Menjadi pasien, pengunjung, atau pekerja di tempat
pelayanan kesehatan tanpa diketahui adanya kontak
dengan orang yang diketahui atau berisiko tinggi
terhadap PVE (catatan: risiko mungkin menjadi lebih
tinggi jika terdapat pasien PVE yang dirawat di
fasyankes yang sama).

Risiko - Selama berada di di area/negara terjangkit selalu


Menengah menggunakan APD dalam setiap waktu
DAN
- Melakukan kontak langsung atau kontak dekat
dengan orang yang diketahui atau berisiko tinggi
terhadap PVE (seperti menyentuh orang atau salah
satu diantara cairan tubuh atau berada dengan jarak
1 meter dengan mereka, tidak termasuk berjalan
melewati sampingnya).
ATAU
- Memberikan pelayanan kesehatan untuk orang yang
diketahui atau berisiko tinggi terhadap PVE
ATAU
- Sebagai tenaga laboratorium yang menangani
pemeriksaan specimen orang yang diketahui atau

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 88


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

berisiko tinggi terhadap PVE, dengan menggunakan


prosedur keamanan yang tepat setiap saat.
ATAU
- Melakukan kontak dengan tubuh orang mati.

Risiko - Selama berada di di area/ negara terjangkit tidak


tinggi selalu menggunakan APD dalam setiap waktu
DAN
- Memiliki percutaneous (seperti tertusuk jarum suntik)
atau mukosa membrane yang terpapar cairan tubuh
dari orang yang diketahui atau berisiko tinggi
terhadap PVE atau melakukan kontak seksual
dengan orang yang diketahui atau berisiko tinggi
terhadap PVE (terlepas dari penggunaan kondom).
ATAU
- Melakukan kontak langsung atau kontak dekat
dengan orang yang diketahui atau berisiko tinggi
terhadap PVE (seperti menyentuh orang atau salah
satu diantara cairan tubuh atau berada dengan jarak
1 meter dengan mereka, tidak termasuk berjalan
melewati sampingnya).
Hal ini dapat menentukan tingkat paparan risiko pada
kontak rumah tangga dan keluarga dan orang yang
duduk di sebelah orang di pesawat terbang.
ATAU
- Memberikan pelayanan kesehatan untuk orang yang
diketahui atau berisiko tinggi terhadap PVE.
ATAU
- Sebagai tenaga laboratorium yang menangani
pemeriksaan spesimen orang yang diketahui atau
berisiko tinggi terhadap PVE, tanpa menggunakan
prosedur keamanan yang tepat setiap saat.
ATAU
- Melakukan kontak dengan tubuh orang mati.
ATAU

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 89


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Memegang atau mengkonsumsi daging bush atau


kelelawar.

B. Tindakan yang dilakukan oleh petugas Kesehatan yang


disampaikan kepada pelaku perjalanan dari negara
terjangkit dengan berbagai tingkat risiko yang tidak
bergejala

Tingkat Tindakan yang dilakukan


risiko
paparan
PVE
Tidak 1. Berikan penyuluhan praktek PHBS secara umum
Berisiko dan pengetahuan tentang penyakit virus Ebola.
2. Bila timbul gejala dalam 21 hari setelah kepulangan
dari negara terjangkit agar segera mendatangi
fasyankes terdekat.
Gejala yang dicurigai adalah: demam disertai
satu/lebih gejala berikut: sakit kepala, muntah
(vomit), tidak nafsu makan (loss of appetite),diare
(berdarah/tidak berdarah), lemah (weakness), nyeri
perut, nyeri otot (myalgia), sesak napas, nyeri
tenggorokan (throat pain) dan cegukan (hiccup).
3. Pergerakan tidak dibatasi

Risiko 1. Berikan penyuluhan praktek PHBS secara umum dan


sangat pengetahuan tentang penyakit virus Ebola.
rendah 2. Lakukan pemantauan suhu sendiri sebanyak 2 kali
sehari dan tetap lakukan pemantauan terhadap
gejala lainnya selama 21 hari setelah meninggalkan
area/negara terjangkit.
3. Bila timbul gejala dalam 21 hari setelah kepulangan
dari negara terjangkit agar segera mendatangi
fasyankes terdekat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 90


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Gejala yang dicurigai adalah: demam disertai


satu/lebih gejala berikut: sakit kepala, muntah
(vomit), tidak nafsu makan (loss of appetite),diare
(berdarah/tidak berdarah), lemah (weakness), nyeri
perut, nyeri otot (myalgia), sesak napas, nyeri
tenggorokan (throat pain) dan cegukan (hiccup).
4. Pergerakan tidak dibatasi

Risiko 1. Berikan penyuluhan praktek PHBS secara umum dan


rendah pengetahuan tentang penyakit virus Ebola.
2. Lakukan pemantauan suhu sendiri sebanyak 2 kali
sehari dan tetap lakukan pemantauan terhadap
gejala lainnya selama 21 hari setelah meninggalkan
area/negara terjangkit.
3. Bila timbul gejala dalam 21 hari setelah kepulangan
dari negara terjangkit agar segera mendatangi
fasyankes terdekat.
Gejala yang dicurigai adalah: demam disertai
satu/lebih gejala berikut: sakit kepala, muntah
(vomit), tidak nafsu makan (loss of appetite),diare
(berdarah/tidak berdarah), lemah (weakness), nyeri
perut, nyeri otot (myalgia), sesak napas, nyeri
tenggorokan (throat pain) dan cegukan (hiccup).
4. Petugas puskesmas melakukan pemantauan tanda
dan gejala penyakit yang dicurigai setiap dua hari
sekali selama 21 hari sejak kepulangan dari negara
terjangkit.
5. Pergerakan tidak dibatasi

Risiko 1. Berikan penyuluhan praktek PHBS secara umum dan


Menengah pengetahuan tentang penyakit virus Ebola.
(selalu 2. Lakukan pemantauan suhu sendiri sebanyak 2 kali
mengguna sehari dan tetap lakukan pemantauan terhadap
kan APD gejala lainnya selama 21 hari setelah meninggalkan
area/negara terjangkit.
yang tepat
3. Bila timbul gejala dalam 21 hari setelah kepulangan
disetiap dari negara terjangkit agar segera mendatangi
saat) fasyankes terdekat.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 91


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Gejala yang dicurigai adalah: demam disertai


satu/lebih gejala berikut: sakit kepala, muntah
(vomit), tidak nafsu makan (loss of appetite), diare
(berdarah/tidak berdarah), lemah (weakness), nyeri
perut, nyeri otot (myalgia), sesak napas, nyeri
tenggorokan (throat pain) dan cegukan (hiccup).
4. Petugas puskesmas melakukan pemantauan tanda
dan gejala penyakit yang dicurigai setiap hari selama
21 hari sejak kepulangan dari negara terjangkit
5. Pergerakan tidak dibatasi

Risiko 1. Berikan penyuluhan praktek PHBS secara umum dan


tinggi pengetahuan tentang penyakit virus Ebola.
(tidak 2. Lakukan pemantauan suhu sendiri sebanyak 2 kali
selalu sehari dan tetap lakukan pemantauan terhadap
mengguna gejala lainnya selama 21 hari setelah meninggalkan
area/negara terjangkit.
kan APD
3. Bila timbul gejala dalam 21 hari setelah kepulangan
yang tepat dari negara terjangkit agar segera mendatangi
disetiap fasyankes terdekat.
saat) Gejala yang dicurigai adalah: demam disertai
satu/lebih gejala berikut: sakit kepala, muntah
(vomit), tidak nafsu makan (loss of appetite), diare
(berdarah/tidak berdarah), lemah (weakness), nyeri
perut, nyeri otot (myalgia), sesak napas, nyeri
tenggorokan (throat pain) dan cegukan (hiccup).
4. Petugas puskesmas melakukan pemantauan tanda
dan gejala penyakit yang dicurigai setiap hari selama
21 hari sejak kepulangan dari negara terjangkit
5. Petugas puskesmas memantau kegiatan sehari –
hari dan moda transportasi yang digunakan.
6. Pelaku perjalanan tersebut tidak boleh keluar dari
kota atau kampungnya selama periode pemantauan
agar akses terhadap pelayanan bisa mudah
dilakukan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 92


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 2 FORM PVE-IN

FORMULIR INVETIGASI KASUS

i. Data Dasar
Identitas Kasus
Nama :
Tgl lahir/ umur :
Jenis Kelamin :L/P (Lingkari jawaban)
Pekerjaan : (Sebutkan secara spesifik)
Alamat :

Yang diwawancarai: (nama & hub. dg pasien)


Tanggal mulai sakit, tanda dan gejala:
………………………………………………………………………....

Tanggal masuk RS /tanggal kunjungan ke layanan kesehatan:

Tgl Nama RS Ruang rawat


……………………. ……………………. …………………….
. . .
……………………. ……………………. …………………….
. . .
……………………. ……………………. …………………….
. . .
Daftar kontak kasus:
Nama Umur JK Hub. Alamat rumah No HP/telp
dg yang dapat
Kasus dihubungi

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 93


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Tanggal pegambilan specimen, pemeriksaan lab dan jenis spesimen:


Tgl Jenis Tgl
Jenis
Pengambilan Pemeriksaan Pemeriksaan
Spesimen
Sampel Lab Lab dan Hasil

ii. Informasi Paparan dan Riwayat Perjalanan


a. Riwayat kontak dengan hewan
- Jenis hewan : ……………………………………………………………..
- Tanggal kontak : ……………………………………………………………..
- Jenis kontak : ……………………………………………………………..
(missal penjaga hewan, pengunjung)
b. Riwayat kontak manusia
- Riwayat kontak dengan orang yang bergejala demam mendadak
disertai minimal 3 gejala (sakit kepala, muntah, diare, tidak nafsu
makan, lemah, nyeri perut, sakit otot atau sendi, sulit menelan,
sesak napas dan atau cegukan (hiccup), jenis kontak, frekuensi,
lama paparan dan lokasi
……………………………………………………………………………………………………..
- Riwayat dirawat di RS sebelumnya :
……………………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………………..

- Riwayat mengunjungi kasus yang dirawat di RS :


……………………………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………………………..

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 94


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

c. Paparan makanan
- Riwayat mengkonsumsi makanan atau minuman yang belum
dimasak:
……………………………………………………………………………………………………..
- Riwayat mengkonsumsi daging atau produk hewan setengah
matang :
……………………………………………………………………………………………………..
- Riwayat menyiapkan daging mentah untuk dimasak:
……………………………………………………………………………………………………..

d. Riwayat perjalanan
- Tanggal perjalanan : …..…………………………………………………………
- Tujuan : ..……………………………………………………………
- Durasi perjalanan : ..……………………………………………………………
- Moda Transportasi : ..……………………………………………………………
- Aktivitas selama perjalanan : ………………………………………………………
……………………………………………………………………………………………………..

e. Informasi klinis
Data klinis
- Tanggal dan mulai timbul gejala:
- Tanda dan gejala:
Kronologi sakit (tgl mulai ke pelayanan kesehatan, tgl masuk RS, tgl
mulai perburukan klinis, dan hasil akhir dirawat):
……………………………………………………………………………………………………
- Komplikasi yang terjadi:
……………………………………………………………………………………………………
- Adakah penyakit kronis lain:
……………………………………………………………………………………………………
- Tanggal dan hasil pemeriksaan penunjang (lab):
……………………………………………………………………………………………………
- Penggunaan alat bantu:
……………………………………………………………………………………………………
- Penggunaan obat:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 95


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- ……………………………………………………………………………………………………

f. Data laboratorium

Tgl Nama Ket.


Jenis Tgl dan Hasil
Pengam- Jenis Lab
Pemeriksa Pemeriksaan
bilan Spesimen pemeri-
an Lab Lab
Sampel ksa

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 96


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 3 FORM PVE-LK

FORMULIR LAPORAN KASUS DI RUMAH SAKIT

1. Identitas

Nama (Inisial) :
Umur :
Jenis Kelamin :L/P (Lingkari jawaban)
Pekerjaan :
Nomor Hp :
Asal kedatangan :
Tanggal kedatangan :
Riwayat perjalanan :

Alamat tinggal di Indonesia:

Alamat di Luar Negeri :

Keluarga dekat yang bisa dihubungi


Nama :
Hubungan keluarga : (Pilih salah satu)
Suami/ Istri c. kakak/ adik kandung
Anak kandung d. lainnya, sebutkan……
Nomor telepon/ Hp :
Alamat (bila berbeda dengan di atas):

2. Gejala utama yang dirasakan:


a. Sakit kepala g. Nyeri otot/ sendi
b. Nyeri perut h. Sulit bernapas
c. Sulit menelan i. Muntah
d. Cegukan j. Lemah
e. Diare k. Lainnya,
f. Kehilangan nafsu makan sebutkan......

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 97


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

3. Kapan gejala pertama kali muncul:


4. Riwayat penyakit sekarang:

5. Riwayat penyakit terdahulu:

6. Pemeriksaan Fisik:
- Mata:
Sclera: ikterik (+/-)
Konjungtiva: anemis (+/-)
- THT:

- Leher:

- Thoraks:
Jantung:
Bunyi jantung I/II:
Murmur:
Gallop:
Paru:
Vesikuler: (+/-)
Ronkhi: (+/-)
Wheezing: (+/-)
- Abdomen:
Hepar:
Lien:
Bising usus:
Turgor kulit:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 98


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

- Genital
- Ekstremitas:
Sianosis
Perdarahan (eritema)
Edema
- Temuan fisik lainnya:

7. Pemeriksaan penunjang:
a. Darah lengkap: (Hb, Ht, Leukosit, Hitung jenis
leukosit, Trombosit, MCV, MCH, MCHC, LED)

b. Hemostasis: (PT, APTT, Fibrinogen, D-dimer)

c. Elektrolit: (Na, K, Cl)

d. Urin lengkap

e. Feses lengkap

f. Analisis gas darah

g. Fungsi hati: (SGOT, SGPT, Gamma GT,


Cholinesterase)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 99


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

h. Fungsi ginjal: (ureum, kreatinin)

i. Radiologi (sesuai indikasi)

j. Pemeriksaan lainnya (sesuai indikasi)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 100


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

FORM PVE-NOT
Lampiran 4
FORMULIR NOTIFIKASI KEDATANGAN PELAKU PERJALANAN DARI NEGARA TERJANGKIT
KKP/ Dinas Kesehatan :
Tanggal :
Umur Berangkat dari Kondisi kesehatan/
No. No. Alamat di
No. Nama No.Hp (negara asal Keterangan
Paspor Seat L P Indonesia
kedatangan)

Keterangan: Form ini dikirimkan kepada Dinas Kesehatan setempat/ KKP dan ditembuskan ke
PHEOC.
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 5
FORM PVE-KONT
FORM PEMANTAUAN KONTAK
Nama :
Tempat pemantauan (rumah/ puskesmas/ RS/ KKP/ lainnya):
Kab/Kota :
Jenis Hasil Ket.
Tgl Tanggal dan hasil pemantauan*)
Um specimen & pemeriksa
No Nama L/P kontak
ur tanggal an
terakhir
pengambilan penunjang

Isikan tgl dan hasil pemantauan*) X : Sehat, S : Sakit memenuhi kriteria kasus
Keterangan: Form ini dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi setempat bila tempat pemantauan berada di rumah/
puskesmas/ RS.
Form dikirimkan ke PHEOC bila tempat pemantauan ada di KKP.
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

FORM PVE-LAB
Lampiran 6

FORMULIR PENGIRIMAN SPESIMEN TERSANGKA EBOLA


PUSAT BIOMEDIS DAN TEKNOLOGI DASAR KESEHATAN

IDENTITAS PELAPOR
Tanggal Laporan : / / Dilaporkan oleh:____________________________________
Rumah Sakit : _________________________Kota___________________Kab______________________
No Rekam Medis :
Spesimen diperiksa di laboratorium rujukan : ___________________
No. Identifikasi pasien: ____________________________________ ( diisikan oleh petugas Balitbangkes )

IDENTITAS PASIEN
Nama Pasien : _________________________________ bin/binti _________________________
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Tanggal lahir / Usia : / / atau Usia: _______th_______ Bulan_______


Jenis Kelamin : Pria Wanita
Nama Kepala Keluarga : _____________________________
Alamat : ______________________________________________________________________________
___________________________________________________Telepon____________________
_____________________________________________________________________________________
__________________________
RIWAYAT DIRAWAT
Tanggal dirawat
Kunjungan Pertama / / Rumah Sakit : _______________________
Kunjungan Kedua / / Rumah Sakit : _______________________
Kunjungan Ketiga / / Rumah Sakit : _______________________

TANDA & GEJALA


Tanggal onset gejala (panas) / /
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Gejala klinis saat dirawat di Rumah Sakit sekarang


Panas ≥ 38˚C Ya Tidak Tidak tahu
Lesu Ya Tidak Tidak tahu
Sakit Tenggorokan Ya Tidak Tidak tahu
Sakit Kepala Ya Tidak Tidak tahu
Mual Ya Tidak Tidak tahu
Nyeri Otot Ya Tidak Tidak tahu
Muntah Ya Tidak Tidak tahu
Diare Ya Tidak Tidak tahu
Pendarahan Ya Tidak Tidak tahu

PENGAMBILAN SAMPEL
Darah Tanggal diambil / / Lab _________________

/ /
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Serum Tanggal diambil Lab _________________


Urin Tanggal diambil / / Lab _________________
Semen Tanggal diambil / / Lab _________________
Biopsohati Tanggal diambil / / Lab _________________
CSF Tanggal diambil / / Lab _________________

RIWAYAT KONTAK/PAPARAN
Dalam 21 hari sebelum sakit, apakah pasien melakukan perjalanan ke daerah terjangkit Ebola (Afrika)
Ya Tidak Tidak tahu
Jika Ya : Sebutkan

Dalam 21 hari sebelum sakit, apakah pasien kontak dengan orang terjangkit virus Ebola
Ya Tidak
Jika Ya
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Tgl. Kontak Tgl. Kontak


Nama Alamat Hubungan
Pertama Terakhir

Apa orang tsb tersangka/terinfeksi Ebola? Ya Tidak Tidak tahu


Apa ada anggota keluarga yang sakitnya sama? Ya Tidak Tidak tahu
Dalam 21 hari sebelum sakit apakah pasien kontak dengan hewan (monyet, kera, kelelawar)?
Ya Tidak

HASIL
Pasien dipindahkan ke RS Rujukan? Ya Tidak Tidak tahu
Jika Ya, ke Rumah Sakit mana? ______________________________________________________
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Pasien meninggal sebelum dipindahkan atau selesai di investigasi : Ya Tidak

PENGAMBILAN SAMPEL
Jenis Tanggal sampel diambil
Sampel

CATATAN
Jika ada data, informasi, keterangan atau apa saja yang dianggap perlu silakan tulis.

Hasil-hasil laboratorium lainnya:


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 7 FORM PVE-KSS

FORMULIR PEMANTAUAN KASUS DALAM INVESTIGASI PENYAKIT VIRUS EBOLA


Nama :
Tgl MRS :
Nama RS :
Tgl Tanda/ Gejala Hasil Hasil Kondisi Umum Diagnosa Pengobatan yang
yang muncul lab pemeriksaan sementara diberikan
penunjang

Keterangan: Form ini dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi setempat.


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 8
FORM PVE-KSSEND

FORMULIR REKAP PEMANTAUAN KASUS DALAM INVESTIGASI PENYAKIT VIRUS EBOLA


Dinas Kesehatan :
Tgl Laporan :
Nama Gejala Hasil lab Hasil Kondisi Umum Diagnosa akhir Pengobatan yang
yang pemeriksaan diberikan
dirasakan penunjang

Keterangan: Form ini dikirim ke Dinas Kesehatan Provinsi Setempat. Form ini diisi setelah ada hasil
laboratorium penyakit diagnosis penyakit virus Ebola.
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 9 FORM PVE-KONTAKEND


FORMULIR REKAP PEMANTAUAN KONTAK
Provinsi :
Tanggal Laporan :
Jumlah Kontak Timbul Gejala
No. Nama Kab/Kota Upaya Yang dilakukan
L P Ya Tidak

Keterangan: Form ini dikirim ke PHEOC.


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 10

SURAT KETERANGAN
NO………………………………

Kami yang bertanda tangan di bawah ini menerangkan bahwa:


Nama : …………………………………………………………
Umur : …………………………………………………………
Jenis kelamin : …………………………………………………………
Alamat : …………………………………………………………
Kewarganegaraan :
…………………………………………………………
Pada saat ini tidak ada keluhan dan pada pemeriksaan fisik dalam
batas-batas normal dan hasil
pemeriksaan laboratorium tidak ada virus Ebola.
Demikianlah keterangan ini dibuat untuk dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
………………,………………
……………..20…………
An. Direktur RS
Dokter yang memeriksa

…………………………………………
NIP.
Lampiran 11 FORM PVE-HD

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 112


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Kementerian Ministry of Health


Kesehatan Republic of Indonesia
Republik Indonesia
Pernyataan Kesehatan Perjalanan/
Health Declaration on Traveller
Harap menjawab semua pertanyaan (Please complete all question)
Bandara- : Tanggal/date :
Pelabuhan/Port of
entry)
Maskapai- : No. :
Kapal/Airline-ships penerbangan/
flight No
No Kursi/Seat :
No
sesuai dengan dokumen perjalanan /boarding pass anda
as it appers on your travel or boarding documents
Nama Keluarga : Nama depan:
Sur name
First Name
Jenis Kelamin Laki-
Sex laki/Perempua
n*
Male/Female*
Kewarganegaraan : Tanggal Lahir
Nationality Date of birth
No Passport : Negara
Passport No Tempat
Tinggal
Country of
residence
Pekerjaan :
Occupation

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 113


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Alamat di : Telepon:
Indonesia Telephone:
Adress in Indonesia
Dalam 21 hari terakhir
in the last 21 days:
Harap menyebutkan negara yang :
pernah disinggahi : Please list the
name of countries where you stayed

Apakah anda mengalami gejala- Yes No


gejala berikut? Have you
experienced any of the following
symptoms?
- Demam 37,5 C atau merasa
meriang:
Fever of 37.5C or feeling
feverish
- Sakit kepala/ Headache
- Muntah / Vomiting
- Diare/ Diarrhea
- Kelelahan/ Exhaustion-Intense
fatigue
- Hilang Napsu Makan/ Loss of
appetite
- Nyeri perut/ Stomach or
abdominal pain
- Nyeri otot atau sendi / Muscle
or joint pain
- Mata merah/ Red eyes
(Conjuctivitis)
- Perdarahan yang tidak jelas - -
penyebabnya (perdarahan dari
rongga mulut, mimisan,

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 114


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

muntah, BAB darah, batuk


darah)/Unexplained bleeding
(bleeding from maouth,
nosebleed, bloody vomit,
bloody/black diarrhea,
coughing blood)
Saya menjamin kebenaran dari seluruh keterangan dalam pernyataan
ini/ I certify that all statements on this declaration are true and correct;
Tanda tangan /Signature:

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 115


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 11
CARA MEMAKAI DAN MELEPAS APD

CARA MEMAKAI APD


1. APD lengkap (baju pelindung, masker, kacamata, sarung
tangan, apron dan sepatu) yang diperlukan seperti pada gambar
berikut ini:

2. Pemakaian atau pelepasan APD harus dilakukan dibawah


pengawasan petugas yang terlatih. Petunjuk pemakaian ini
harus di tempelkan di dinding ruang ganti pakaian. Langkah –
langkah ini harus dipatuhi dalam menggunakan APD.
3. Pakailah scrub suit di ruang ganti.
4. Pakailah sepatu boot karet; jika tidak tersedia pastikan kaki
tertutup dengan sepatu yang tahan air dan terlindung dari
tusukan dan pakailah penutup sepatu.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 116


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

ATAU,JIKA
TIDAK
TERSEDIA
SEPATU
BOOT

5. Pakailah baju pelindung yang 6. Pakailah pelindung


menutupi seluruh tubuh wajah dantaranya:
6 a. Pakailah masker
medis

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 117


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

6 b. Pakailah kaca mata dan pelindung wajah

7. Jika terdapat lecet pada kulit kepala


atau khawatir terkena cipratan
ciaran, maka gunakan tutup kepala.

8. Cuci tangan secara hiegien

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 118


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

9. Pakailah sarung tangan


(melebihi manset)

10. Jika tidak tersedia baju


pelindung yang kedap
padahal harus melakukan
aktivitas berat (misalnya
mengangkat pasien), atau
melakukan pekerjaan
yang akan kontak dengan
darah dan cairan tubuh,
maka gunakan apron
tahan air di atas pakaian.

Walaupun Menggunakan APD :


- Hindari menyentuh atau mengimprove APD
- Buang sarung tangan yang robek atau rusak
- Ganti sarung tangan untuk pasien yang berbeda
- Cuci tangan sebelum memakai sarung tangan
yang baru

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 119


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

CARA MELEPAS APD


1. Lepaskan apron plastik dan buanglah 2. Jika Menggunakan pelindung
dengan aman, (jika apron digunakan sepatu, lepaskan saat masih
kembali, tempat di wadah disinfektan) menggunakan sarung tangan

3. Lepaskan gaun, sarung tangan dan rol 4. Jika Menggunakan Boot karet,
dan buang dengan aman. (menggunakan alat seperti
gambar) lepas tanpa menyentuh,
kemudian taruh di bak container
dan lakukan desinfeksi.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 120


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

6.jika menggunakan penutup kepala,


5. Cuci tangan secara higien
lepas sekarang (dari arah belakang
kepala)

7. Lepaskan pelindung wajah 7b. Lepaskan masker dari arah


7a. Lepaskan kaca mata dari arah belakang belakang kepala

8. Lakukan cuci tangan higienis

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 121


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 12

LANGKAH – LANGKAH MENCUCI TANGAN (HAND HYGIENE)

1.Tuangkan larutan antiseptik pada 2. Ratakan antiseptik pada


telapak tangan seluruh telapak tangan

3. ratakan pada sela – 4. . ratakan pada sela 5. putar jari – jari untuk
sela jari bagian – sela jari bagian meratakan
punggung bawah

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 122


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

6. gosok ibu jari 7. garuk bagian dalam 8. tangan sudah bersih


tangan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 123


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 13
Pelaksanaan Disinfeksi Kapal Laut
I. Persiapan Alat dan Bahan
1. Alat Pelindung Diri (APD)
2. Peralatan
- Mist Blower
- Hand Sprayer
- Kotak biohazard (Safety Box)
- Rambu/tanda dilarang masuk
- Kain kanebo
- Gelas ukur
- Corong
- Ember
-

3. Bahan
- Seal (Sealotip)
- Line
- Plastic khusus bahan berbahaya
- Disinfektan (Lysol atau Hypoclorite)
- Detergent
- Air bersih

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 124


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

II. Pelaksananaan Disinfeksi


1. Petugas disinfeksi memakai APD lengkap.
2. Identifikasi tempat-tempat yang akan dilakukan desinfeksi.
3. Persiapkan peralatan desinfeksi seperti mist blower atau
Hand sprayer dan diisi dengan bahan Disinfektant.
4. Pada alat angkut/kapal laut yang akan dilakukan disinfeksi,
petugas memasang tanda dan pembatas (Line dan rambu
dilarang masuk).
5. Penggunaan bahan disinfektant harus mempertimbangkan
karakteristik permukaan material yang yang akan
didesinfeksi. Bagian permukaan/interior kapal yang
terkontaminasi oleh cairan tubuh orang yang sakit seperti
muntahan atau yang lainnya dibersihkan menggunakan
bahan yang mampu menyerap cairan kemudian diberi
desinfektant.
6. Penggunaan bahan disinfektant tidak dapat dilakukan pada
bagian yang berpori seperti karpet, atau bahan linen (sepray,
sarung bantal dan selimut). Maka barang-barang tersebut
(karpet, linen, dll) pada kamar suspect di masukan ke dalam
plastik khusus bahan berbahaya dan di seal untuk
selanjutnya dimasukan kedalam kotak Bio hazard (safety
box).
7. Kotak bio hazard (safety box) yang berisi barang dari kabin
suspect seperti linen (sepray, sarung bantal dan selimut) dan
karpet, dikirim ketempat pembersihan (untuk dicuci) dan
disterilkan atau dapat dimusnahkan.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 125


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

8. Langkah pelaksanaan disinfeksi selanjutnya dilakukan pen-


seal-an pada jendela dan ventilasi di kamar atau kabin
suspect, kemudian dilakukan penyemprotan disinfektan.
9. Dilakukan pen-seal-an pada jendela dan ventilasi pada
kamar atau kabin yang lain kemudian dilakukan
penyemprotan disinfektan.
10. Petugas evakuasi setelah selesai melaksanakan tugasnya
didisinfeksi dari bagian atas sampai bawah, setelah
didisinfeksi APD dilepas dan dikumpulkan kedalam kotak
(safety box) dengan label bio hazard.
11. Petugas disinfeksi yang telah selesai melaksanakan
pekerjaan disinfeksi, secara bergantian melakukan disinfeksi
pada dari bagian tubuh petugas dari atas sampai kekaki,
setelah didisinfeksi APD dilepas dan dikumpulkan kedalam
kotak (safety box) dengan label bio hazard.
12. Bahan APD disposable dapat dikirim ke incinerator,
sedangkan untuk APD yang dapat dipakai kembali
dibersihkan dan disterilkan)

III. Pelaporan
1. Laporan pelaksanaan disinfeksi berisi: Jumlah petugas
pelaksana, Jenis bahan desinfektant, jumlah dan dosis
desinfektan yang dipergunakan, Lokasi serta luas area (M3)
pelaksanaan desinfeksi.
2. Data dari hasil pelaksanaan kegiatan disinfeksi dilaporkan
ke Kepala Seksi/Bidang Pengendalian Risiko Lingkungan,
untuk selanjutnya dilaporkan kepada Kepala KKP.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 126


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 127


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 14
Daftar Rumah Sakit Yang memiliki Ruang Isolasi MDR
dengan terlatih PPI
(Pencegahan dan Pengendalian Infeksi)
1. RSUP Persahabatan Jakarta,
2. RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Jakarta
3. RSUP Dr. Sarjito Yogyakarta
4. RSUP Sanglah Denpasar
5. RSUP Dr. Soetomo Surabaya
6. RSUP Dr, Wahidin Sudirohusodo Makassar
7. RSUP H. Adam Malik, Medan
8. RSUD Banjarmasin
9. RSUP Dr. Kariadi , Semarang
10. RSUP M. Hoesin Palembang
11. RSUD Jayapura
12. RSUD Dr. Yohannes Kupang
13. RSUP Prof. Dr. Kandou, Manado
14. RSUD dr. Zainal Abidin , Banda Aceh
15. RSUD Kanudjoso D., Balikpapan
16. RSUD Labuang Baji, Makassar
17. RSUD Bahteramas, Kendari
18. RSUD dr. Soedarso Pontianak
19. RSUD Embung Fatimah, Batam

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 128


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 15
DAFTAR KONTAK

1. PHEOC
Telp : 0214257125 – 02142877588 - 081219241850
SMS : 021-36840901
Fax : 021- 42802669
Surel : poskoklb@kemkes.go.id

2. BALITBANGKES
Alamat pengiriman spesimen :
Laboratorium Virologi
d.a. Laboratorium Nasional Prof. Sri Oemijati
Jalan Percetakan Negara 23 Jakarta 10560
Telp. 021-42887606

Kontak Person :
Dr. dr. Vivi Setiawaty, M.Biomed
d.a. Laboratorium Nasional Prof. Sri Oemijati
Jalan Percetakan Negara 23 Jakarta 10560
HP. 08179804571

3. EKSPEDISI KHUSUS YANG BERSERTIFIKAT IATA (MSA


KARGO)
a. Rahmat Hidayat
Mobile Phone : 081-8855212
Email : rahmat@msakargo.com
b. Sapto Yuwono
Mobile Phone : 0812-27277070
Email : sapto@msakargo.com
c. Harold Purba
Mobile Phone : 0813-8027 9497
Email : harold@msakargo.com

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 129


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

d. Kantor Pusat MSA Kargo:


Soewarna Bussiness Park Lot H5, Soekarno-Hatta
International Airport, Cengkareng Indonesia. Phone : +62-21-
55911688 (Hunting), Fax +62-21 55911689
Homepage : www.msakargo.co.id

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 130


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

Lampiran 16

Update informasi penularan PVE

PVE kemungkinan besar dapat menular melalui hubungan seksual


dari laki-laki ke perempuan, tetapi secara teoritis penularan dari
perempuan ke laki-laki dapat terjadi walaupun kemungkinannya
kecil.

Dari hasil penelitian didapatkan bahwa virus Ebola berada di cairan


sperma sampai 82 hari setelah timbul gejala. Berdasarkan
pemeriksaan nucleic acid amplification (seperti RT-PCR) pada
investigasi kasus terakhir, material genetik (RNA) virus dapat
bertahan selama 199 hari setelah timbul gejala. Sebagai contoh
penularan melalui hubungan heteroseksual dari kasus laki-laki
kepada perempuan pasangannya terjadi pada KLB Marburg
Filovirus tahun 1967.

RNA virus Ebola dapat terdeteksi melalui pemeriksaan RT-PCR


pada cairan vagina 33 hari setelah timbul gejala. Karena
keterbatasan data, tidak dapat diketahui lama waktu virus bertahan
di cairan vagina dan penularan seksual dari perempuan ke laki-laki
juga tidak dapat diketahui.

Masih dibutuhkan data surveilans dan penelitian lebih lanjut untuk


mengetahui risiko penularan seksual. Berdasarkan data saat ini,
WHO merekomendasikan beberapa hal sebagai berikut:

1. Semua kasus Ebola yang hidup dan pasangannya harus


menerima konseling untuk keamanan hubungan
seksualnya dengan menggunakan kondom sampai 2 kali
pemeriksaan negatif pada cairan sperma.
2. Kasus Ebola laki-laki yang hidup harus bersedia dilakukan
pemeriksaan cairan sperma 3 bulan setelah timbul gejala.
Bagi kasus yang menunjukkan hasil positif, dilakukan

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 131


Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi Penyakit Virus Ebola

pemeriksaan cairan sperma dengan RT-PCR setiap bulan


sampai hasilnya 2 kali negatif. Pemeriksaan dengan hasil
negatif tersebut dilakukan dengan interval waktu 1 minggu.
3. Kasus Ebola hidup dan pasangannya harus melakukan
beberapa hal berikut sampai 2 kali hasil pemeriksaan cairan
spermanya negatif:
a. Tidak melakukan semua jenis hubungan seksual
b. Melakukan hubungan seksual yang aman melalui
penggunaan kondom yang benar dan konsisten
4. Jika kasus Ebola hidup tidak melakukan pemeriksaan
cairan sperma, maka harus tetap melakukan hubungan
seksual yang aman minimal 6 bulan setelah timbul gejala.
5. Kasus Ebola hidup harus menjaga PHBS seperti cuci
tangan dengan menggunakan sabun setelah menyentuh
cairan sperma dan setelah masturbasi, menggunakan
kondom yang benar, serta membuang kondom bekas yang
aman sampai 2 kali hasil pemeriksaannya negatif.

Sumber: Interim Advice on The Sexual Transmission of The Ebola


virus Disease, WHO 8 May 2015.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia 132


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat-


Nya buku saku tentang “Penanganan Pasien Kusta” ini bisa
selesai tersusun.

Buku saku ini disusun dengan tujuan memudahkan


tenaga medis dalam menangani pasien kusta di Unit
Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet. Sehingga dalam menangani
pasien kusta bisa optimal.

Terimakasih kami sampaikan kepada semua pihak atas


masukan dan saran yang telah diberikan dalam penyusunan
buku saku ini.

Akhir kata, semoga buku saku penanganan pasien kusta


ini membawa manfaat dalam upaya penanganan pasien kusta
di Unit Rehabilitasi Kusta RSUD Kelet.
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................i


DAFTAR ISI. ...............................................................................ii
I. TINJAUAN PUSTAKA............................................................1
A. Definisi Kusta ......................................................... ........1
B. Etiologi dan Patogenesis ........................................ .......1
C. Manifestasi Klinis… ..................................................... ...2
D. Klasifikasi Penyakit Kusta… ....................................... ....5
E. Reaksi Kusta ..................................................................6
F. Diagnosis…...................................................................11
G. Diagnosis Banding… ................................................ ....15
H. Tata Laksana ............................................................. ...17
DAFTAR PUSTAKA ................................................................ .....28
I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Kusta

Kusta adalah penyakit infeksi kronis yang


disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae. Penyakit
ini mempunyai afinitas utama pada saraf tepi/perifer,
kemudian kulit, dan dapat mengenai organ tubuh lain
seperti mata, mukosa saluran napas atas, otot, tulang dan
testis.

B. Etiologi dan Patogenesis

Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae


yang ditemukan oleh G. A. Hansen pada tahun 1873 di
Norwegia, yang hingga saat ini belum dapat dibiakkan
dalam media artifisial. M. leprae mempunyai patogenitas
dan daya invasi yang rendah, sebab penderita yang
mengandung kuman lebih banyak belum tentu
memberikan gejala yang lebih berat, bahkan dapat
sebaliknya. Basil kusta masuk ke tubuh manusia melalui
kontak langsung dengan kulit atau mukosa nasal yang
berasal dari droplet. Basil dari droplet akan bertahan
hidup selama 2 hari dalam lingkungan yang kering, bahkan
hingga 10 hari pada lingkungan yang lembab dan suhu
yang rendah. Setelah infeksi terjadi, gejala klinis pada
saraf perifer atau kulit akan muncul dalam waktu 3 bulan

1
hingga 10 tahun.

C. Manifestasi Klinis

A. Kulit

Kelainan kulit dapat berbentuk makula atau bercak


hipopigmetasi dengan anestesi, atau makula
hipopigmetasi disertai tepi yang menimbul dan sedikit
eritematosa, atau berupa infiltrat/plak eritematosa,
atau dapat pula berbentuk papul dan nodul.
B. Saraf Perifer
Manifestasi neurologis terbanyak pada kusta ialah
adanya kerusakan saraf perifer yang menyertai lesi
kulit, terutama pada serabut saraf kulit dan trunkus
saraf. Gangguan pada saraf perifer tersebut meliputi
gangguan pada cabang saraf sensorik, otonom dan
motorik, seperti yang diuraikan berikut ini.
a. N. Ulnaris
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi pada
ujung jari bagian anterior kelingking dan jari manis.
Sedangkan gangguan saraf motorik menyebabkan
clawing jari kelingking dan jari manis, atrofi
hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot
lumbrikalis medial.
b. N. Medianus
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi pada
ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah. Pada gangguan saraf motorik dapat
menyebabkan ibu jari tidak mampu aduksi, serta
terjadi kontraktur ibu jari. Selain itu, juga terjadi
clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah.

2
c. N. Radialis
Gangguan saraf sensorik berupa anestesi dorsum
manus, serta ujung proksimal jari telunjuk. Pada
gangguan saraf motorik, pergelangan tangan
maupun jari-jari tangan tak mampu ekstensi,
sehingga menyebabkan paresis, disebut sebagai
tangan gantung (wrist drop).
d. N. poplitea lateralis
Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi
tungkai bawah bagian lateral dan dorsum pedis.
Gangguan pada saraf motorik menyebabkan kaki
gantung (foot drop) dan kelemahan otot peroneus.
e. N. tibialis posterior
Gangguan saraf sensorik dapat menyebabkab
anestesi telapak kaki. Sedangkan gangguan
motorik berupa claw toes, paralisis otot intrinsik
kaki dan kolaps arkus pedis.
f. N. Fasialis
Gangguan pada cabang temporal dan zigomatik
dapat menyebabkan lagoftalmos. Sedangkan
gangguan pada cabang bukal, mandibular, dan
servikal menyebabkan bibir mencong, sudut mulut
asimetris, dan kegagalan mengatupkan bibir, yang
disebut sebagai parese fasialis.
g. N. Trigeminus
Gangguan saraf sensorik menyebabkan anestesi
kulit wajah, kornea dan konjungtiva.
h. Kusta saraf murni
Kusta saraf murni atau yang dikenal sebagai pure
neural leprosy (PNL) merupakan penyakit kusta
yang hanya mengenai saraf, dengan gambaran
klinis hipoestesi atau anestesi tidak berbatas tegas,
dan tanpa lesi di kulit.

3
Gambar 1. Saraf Perifer yang Banyak Terlibat dan Mengalami
Pembesaran Pada Kusta.

C. Mata

Kerusakan mata pada penyakit kusta dapat terjadi


intraokular maupun ekstraokular. Kerusakan
intraokular berupa episkleritis, skleritis, iridosiklitis,
keratitis, ulkus kornea, serta penurunan sensibilitas
kornea. Sedangkan kerusakan ekstraokular yang
dapat terjadi berupa madarosis, lagoftalmus,
dakriosistisis, serta mata kering. Lebih lanjut,
kerusakan mata dapat menyebabkan kebutaan
padahal penderita kusta sangat bergantung pada
penglihatannya untuk mencegah tangan dan kakinya
yang kebas mengalami cedera.
D. Gangguan Psikiatrik
Kusta merupakan penyakit fisik yang sangat erat
hubungannya dengan dampak psikososial yang
dialami oleh pasien. Deformitas dan stigma yang

4
terkandung pada penyakit inilah yang membuat
kehidupan bagi penderita kusta menjadi semakin sulit.
Tidak jarang pasien akan mengalami perceraian,
kehilangan pekerjaan, atau bahkan dijauhi oleh
lingkungannya karena ketakutan akan gambaran
penularan.
D. Klasifikasi Penyakit Kusta

Klasifikasi penyakit kusta menurut WHO:

Tabel 1. Klasifikasi klinis kusta menurut WHO


(1995)

SIFAT PB MB

Lesi kulit 1-5 lesi >5 lesi hipopigmentasi/eritema,


(makula, plak, hipopigmentasi/ distribusi lebih simetris, hilangnya
papul, nodus) eritema, sensasi kurang
distribusi tidak jelas
simetris,
hilangnya
sensasi jelas
Kerusakan saraf hanya satu banyak cabang saraf
(sensasi hilang/ cabang saraf
kelemahan otot
yang dipersarafi
oleh saraf yang
terkena)

5
Tabel 2. Tanda lain untuk klasifikasi kusta
PB MB
Distribusi Unilateral Bilateral
atau
simetris
bilateral
asimetris
Permukaan Kering, Halus, mengkilap
bercak kasar
Batas Tegas Kurang tegas
bercak
Mati rasa Jelas Biasanya kurang jelas
pada
bercak
Deformitas Proses Terjadi pada tahap lanjut
terjadi lebih
cepat
Ciri-ciri - Madarosis, hidung
khas pelana, wajah singa
(facies leonina),
ginekomastia pada laki-
laki

E. Reaksi Kusta

Reaksi kusta merupakan episode akut yang timbul


di tengah proses perjalanan penyakit kusta yang kronis.
Berdasarkan hal tersebut, reaksi kusta dibagi menjadi
reaksi tipe 1 dan reaksi tipe 2.
Berikut adalah gambaran tipe reaksi yang terjadi
dan hubungannya dengan spektrum imunitas dan tipe

6
kusta menurut Ridley-Jopling.

Gambar 2. Hubungan tipe reaksi dengan klasifikasi


menurut Ridley dan Jopling.

A. Reaksi tipe 1

Reaksi tipe 1 lebih sering disebut sebagai reaksi


reversal. Tipe borderline ini merupakan tipe tidak
stabil, sehingga mudah berubah. Pada reaksi
reversal, respons imun seluler berperan penting,
yaitu terjadi peningkatan SIS mendadak. Reaksi
biasanya terjadi pada masa pengobatan MDT 6
bulan pertama. Perubahan lesi menjadi aktif dapat
digambarkan sebagai perubahan warna lesi menjadi
semakin eritem, udem, atau lesi menjadi lebih
infiltratif dan lebih luas.

B. Reaksi tipe 2

Reaksi tipe 2 terjadi pada pasien kusta dengan


jumlah bakteri sangat banyak. Reaksi sering disebut
sebagai reaksi ENL (eritema nodusum leprosum),
karena memberikan gambaran klinis munculnya
nodus di kulit. Berbeda dengan reaksi reversal, pada

7
patogenesis ENL yang berperan penting adalah
respons imun humoral. Reaksi ENL dapat terjadi
sebelum pengobatan, saat pengobatan ataupun
setelah selesai, namun banyak terjadi di tahun kedua
pengobatan MDT. Hal ini terjadi karena pada saat
pengobatan, banyak kuman M. leprae yang mati,
sehingga banyak antigen yang bereaksi dengan
antibodi dan membentuk kompleks imun. Kompleks
imun yang terbentuk selanjutnya masuk dalam
sirkulasi darah, kemudian akan mengendap di
berbagai organ tubuh dan menimbulkan gejala,
antara lain nodus eritem disertai nyeri yang terutama
muncul pada kulit lengan dan tungkai.
Perbedaan reaksi kusta tipe 1 dan 2 dapat dilihat
dalam tabel 3. Berikut ini
Tabel 3. Perbedaan reaksi tipe 1 dan 2.

No Gejala Tanda Reaksi Tipe 1 Reaksi Tipe 2

1 Tipe Kusta Dapat terjadi Hanya pada


pada kusta tipe kusta tipe MB.
PB maupun MB.
2 Waktu Biasanya Biasanya
timbulnya segera setelah
setelah mendapatkan
pengobatan. pengobatan
yang lama,
umumnya lebih
dari 6 bulan
3 Keada an Umumnya baik, Ringan sampai
umum demam ringan (sub- berat disertai
febris) atau tanpa kelemahan umum
demam. dan demam
tinggi.

8
4 Peradangan di Sebagian lesi Timbul nodus
Kulit lama menjadi eritema, lunak dan
lebih nyeri, dan dapat
aktif, eritem, berulserasi.
udem, berkilat, Biasanya pada
hangat. lengan dan tungkai.
Dapat timbul
lesi baru.
5 Saraf Sering terjadi neuritis, Sering
berupa nyeri saraf terjadi
dan atau gangguan neuritis.
fungsi saraf. Kadang
didapat kan silent
neuritis.
6 Peradangan Anestesi kornea dan Iritis, iridosiklitis,
pada mata lagoftalmos karena glaukoma, katarak
keterlibatan N.V dan dll.
N.VII
7 Peradangan Hampir tidak ada. Terjadi pada
pada organ testis, sendi,
lain ginjal, kelenjar
getah bening, dll.

Berdasarkan berat dan ringannya gejala,


reaksi kusta terbagi menjadi 2 yaitu reaksi ringan
dan berat. Sangat penting bagi tenaga kesehatan
untuk mengenali gejala reaksi tersebut karena dapat
menyebabkan kerusakan saraf tepi. Di samping itu,
pengenalan tentang berat dan ringannya gejala
penting ke layanan kesehatan yang lebih lengkap
untuk tatalaksana komprehensif.

Tabel 4. Perbedaan reaksi ringan dan berat pada


reaksi tipe 1 dan 2

9
Organ Reaksi tipe 1 Reaksi tipe 2
No yang
terkena Ringan Berat Ringan Berat

1 Kulit Lesi Lesi Nodus, Nodus eritem,

hipopig hipopigmen- eritem, panas dan

mentasi tasi menjadi panas nyeri, sering

men- eritem; dan menjadi ulkus.

jadi eritem nyeri, Jumlah banyak

eritem; semakin dapat

eritem eritem dan menjadi

semakin udem. ulkus.

eritem dan Timbul lesi Jumlah


sedikit
udem. baru.

Tidak ada Kadang

ulserasi. disertai

Tidak ada demam

udem dan

tangan malaise.

dan kaki Ulserasi (+)

10
Edema

tangan

dan kaki
(+)
2 Saraf tepi Membesar, Membesar, Membesar, tidak Membesar, nyeri
tidak nyeri. nyeri nyeri

Fungsi Fungsi Fungsi saraf Fungsi saraf


saraf tidak saraf tidak terganggu
terganggu terganggu terganggu

3 Gejala Demam: Demam: Demam: (±) Demam: (+)


konstitusi (-) (±)
4 Gangguan Tidak Tidak ada Tidak ada iridosiklitis,
pada organ ada orkhitis,nephritis,
lain limfadenitis, dsb

Catatan: bila ada reaksi pada lesi kulit yang


dekat dengan saraf, dikategorikan sebagai reaksi berat

F. Diagnosis

Diagnosis penyakit kusta ditetapkan berdasarkan temuan


satu dari tiga tanda kardinal kusta berikut ini, yaitu:
a. Kelainan kulit atau lesi yang khas kusta, dapat
berbentuk hipopigmentasi atau eritema yang mati
rasa (anestesi)
b. Penebalan saraf perifer disertai dengan gangguan
fungsi saraf akibat peradangan (neuritis) kronis.
Gangguan fungsi saraf ini dapat berupa:
1) Gangguan fungsi sensoris: anestesi

11
2) Gangguan fungsi motoris: paresis atau paralisis
otot

3) Gangguan fungsi otonom: kulit kering atau


anhidrosis dan terdapat fisura
c. Adanya basil tahan asam (BTA) pada kerokan
jaringan kulit (slit skin smear).
Untuk memastikan tanda kardinal
pertama, selanjutnya dilakukan pemeriksaan
gangguan sensibilitas pada lesi kulit. Pemeriksaan
gangguan rasa raba dilakukan dengan
menggunakan usapan ujung kapas pada lesi.
Gangguan terhadap suhu, dapat dilakukan dengan
menggunakan dua tabung reaksi berisi air hangat
bersuhu 400 C dan air dingin. Bila pasien tidak
dapat membedakan suhu hangat dan dingin, maka
telah terjadi gangguan sensibilitas. Gangguan
terhadap rasa nyeri diperiksa dengan
menggunakan ujung jarum. Bila pasien merasakan
ujung jarum tersebut tumpul, maka telah terjadi
hipoestesi. Tetapi bila tidak merasakan sakit,
berarti telah terjadi anestesi.
Tanda-tanda tersangka kusta yang perlu diwaspadai
ialah:

a. Tanda-tanda pada kulit


1. Lesi kulit yang eritema atau
hipopigmentasi (gambaran yang paling
sering ditemukan), datar atau menimbul
2. Lesi hipoestesi atau anestesi

3. Lesi yang tidak gatal

4. Anestesi atau parestesi pada tangan dan kaki

12
5. Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat
(anhidrosis), mengkilap atau kering bersisik,
dan atau alis mata tidak berambut
(madarosis).
6. Bengkak atau penebalan pada wajah dan
cuping telinga

7. Lepuh tidak nyeri pada tangan dan kaki

b. Tanda-tanda pada saraf :


1. Nyeri tekan dan atau spontan pada saraf

2. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk, dan nyeri


pada anggota gerak
3. Kelemahan anggota gerak dan atau kelopak
mata

4. Pembesaran saraf

5. Adanya cacat (disabilitas, deformitas)

6. Luka (ulkus) yang sulit sembuh

c. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan


mempunyai kelainan kulit yang tidak sembuh
dengan pengobatan rutin, terutama bila
terdapat keterlibatan saraf tepi
d. Tanda-tanda pada Mata
Inspeksi dilakukan pada ruangan yang agak
gelap dengan menggunakan lampu senter dan
kaca pembesar.
1. Pemeriksaan lesi di daerah wajah

2. Pemeriksaan tajam penglihatan

13
3. Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi

4. Fungsi kelopak mata

a) Laju berkedip

Normal setiap 15-25 detik dengan penilaian:


komplit/tidak, simetris/asimetris
b) Fungsi kelopak mata dinilai dengan:
dapat menutup dengan sempurna atau
tidak.
c) Mata ditutup perlahan dan dipertahankan
selama 10 detik, lalu jarak antara
kelopak mata atas dan bawah diukur
dengan penggaris.
d) Mata ditutup dengan kuat dan
dipertahankan selama 10 detik lalu jarak
antara kelopak mata atas dan bawah
diukur dengan penggaris.
e) Deformitas kelopak

5. Sekret mata

Penilaian ada tidaknya sekret dilaukan


dengan atau tanpa penekanan pada kantung
air mata.

6. Kemerahan pada mata.

7. Bilik mata depan

Pemeriksaan bilik mata depan dengan


menggunakan senter dan lup untuk mencari
adanya nanah yang membentuk “air- fluid
level” dalam bilik mata depan.

14
8. Lensa

Perhatikan ada tidaknya kekeruhan lensa


(katarak).

Gambar 3. Alur Diagnosis Kusta

G. Diagnosis Banding

Kusta disebut sebagai the greatest imitator, karena


secara klinis menyerupai berbagai penyakit kulit lain.

15
Beberapa kelainan kulit yang mirip dengan penyakit
kusta, antara lain:
a. Lesi eritem bersisik: psoriasis, pitiriasis rosea,
dermatitis seboroik, dermatofitosis
b. Lesi hipopigmentasi atau hiperpigmentasi tanpa
skuama: vitiligo
c. Lesi hipopigmentasi dengan skuama halus: pitirasis
versikolor, pitiriasis alba

d. Papul, plak atau nodul: neurofibromatosis, sarkoma


kaposi, veruka vulgaris, leukemia kutis, granuloma
anulare, tuberculosis kutis verukosus, xanthomatosis
Berbagai diagnosis banding penyakit kusta dapat
dilihat pada gambar berikut:
Diagnosis banding: lesi eritema dan berskuama

Gambar 4. Psoriasis Gambar 5.Tinea

16
Diagnosis banding: bercak putih/hipopigmenasi

Gambar 6. Gambar 7. Pitiriasis


Vitiligo Pigmen Versikolor Lesi berupa
kulit hilang bercak
total, hipopigmentasi
warna kulit amat dengan skuama halus.
putih, batas tegas.

H. Tata laksana

a. Farmakologis

Multi drug therapy

Multi Drug Therapy (MDT) adalah kombinasi dua atau


lebih obat anti kusta, salah satunya rifampisin sebagai
anti kusta yang bersifat bakterisidal kuat sedangkan
obat anti kusta lain bersifat bakteriostatik. Obat MDT
tersedia dalam bentuk blister untuk pasien dewasa
dan anak berusia 10-14 tahun.
Berikut ini merupakan kelompok orang yang
membutuhkan MDT:

1) Pasien yang baru didiagnosis kusta dan


belum pernah mendapat MDT.

17
2) Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami
hal-hal di bawah ini:
a) Relaps
b) Masuk kembali setelah putus
obat/default (dapat PB maupun MB)
c) Pindah berobat (pindah masuk)
d) Ganti klasifikasi/tipe.

Sebagai pedoman praktis untuk dosis MDT bagi


pasien kusta. Dapat dilihat pada tabel 5.

Tabel 5. Dosis MDT pada pasien kusta tipe PB

Jenis 10-<15 ≥ 15 tahun


Keterangan
Obat tahun (Dewasa)
(Anak)
Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln Minum di
depan
petugas
Dapson 50 mg/bln 100 mg/bln Minum di
(DDS) depan
petugas
50 mg/hari 100 mg/hari Minum di rumah

* Sesuaikan dosis bagi anak dengan usia yang lebih


kecil dari 10 tahun. Misalnya, dapson 25mg/hari dan
rifampisin 300 mg/bulan (diawasi).

18
Tabel 6. Dosis MDT pada pasien kusta tipe MB

10-<15
≥ 15 tahun
Jenis Obat tahun (Anak) Keterangan
(Dewasa)

Minum di depan
Rifampisin 450 mg/bln 600 mg/bln petugas

Minum di depan
Dapson 50 mg/bln 100 mg/bln
petugas
(DDS)

Minum di
50 mg/hari 100 mg/hari
rumah

Minum di depan
150 mg/bln 300 mg/bln
petugas
Klofazimin

50 mg setiap 2 Minum di
50 mg/hari
hari rumah

* Sesuaikan dosis bagi anak yang berusia < 10 tahun.


Misalnya, dapson 25mg/hari dan rifampisin 300 mg/bulan
(diawasi). Klofazimin 50 mg 2 kali seminggu, dan
Klofazimin 100 mg/bulan (diawasi).

19
Dewasa Anak-anak

Gambar 8. Gambar kemasan


(blister) PB

Dewasa Anak-anak
Gambar 9. Gambar kemasan (blister) Blister MB

b. Pengobatan pada kondisi khusus


1) Pasien yang tidak dapat menggunakan rifampisin
Rejimen pengobatan khusus dibutuhkan pada
pasien individual, yang tidak mampu menerima
rifampisin karena alergi atau penyakit yang
menyertai, seperti hepatitis kronik, atau pada
kusta resisten terhadap rifampisin.

20
Tabel 7. Pengobatan MB pada Pasien yang tidak
dapat menggunakan Rifampisin.
Lama
Obat Dosis
pengobatan
Klofazimin 50 mg/ hari
6 bulan Ofloksasin
400 mg/ hari
Minosiklin
100 mg/ hari
Dilanjutkan dengan
Klofazimin 50 mg/ hari

DAN
18 bulan 400 mg/ hari
Ofloksasin

ATAU
100 mg/ hari
Minosiklin

Catatan:

Pemberian harian klaritromisin 500 mg dapat menggantikan


rejimen diatas untuk ofloksasin atau minosiklin selama
pengobatan 6 bulan pertama, bagi pasien MB yang tidak
dapat mengonsumsi rifampisin.

2) Pasien yang menolak klofazimin


Pasien dengan kusta MB yang menolak
klofazimin karena perubahan warna kulit, tetap
membutuhkan pengobatan alternatif yang aman
dan efektif. Pada pasien seperti ini, klofazimin
pada terapi MDT normal 12 bulan dapat diganti
dengan:

21
a. Ofloksasin, 400 mg/ hari selama 12 bulan,
ATAU

b. Minosiklin, 100 mg/ hari selama 12 bulan

Pada 1997, WHO Expert Committee on


Leprosy juga merekomendasikan rejimen
alternatif pengobatan MDT selama 24 bulan
(3 obat) untuk pasien dewasa dengan kusta
MB, yang menolak klofazimin:
a) Rifampisin, 600 mg setiap bulan selama
24 bulan

b) Ofloksasin, 400 mg setiap bulan selama


24 bulan, dan

c) Minosiklin, 100 mg setiap bulan selama


24 bulan
3) Pasien yang tidak dapat mengonsumsi Dapson

Tabel 8. Pengobatan MB yang tidak dapat


mengonsumsi dapson
Rifampisin Klofazimin

600 mg 50 mg setiap hari dan


Dewasa 50- Diberikan satu
300 mg satu
70 kg kali setiap
kali setiap
bulan, dibawah
bulan, dibawah
pengawasan
pengawasan
Anak 10- 450 mg 50 mg diberikan
14 tahun Diberikan satu 150 mg satu kali setiap
kali setiap bulan, dibawah
bulan, dibawah pengawasan
pengawasan

22
c. Tata Laksana Reaksi Kusta
Obat anti reaksi terdiri atas:

1) Tatalaksana reaksi ringan

Prinsip pengobatan reaksi ringan


a) Berobat jalan, istirahat di rumah

b) Pemberian analgetik/antipiretik, obat


penenang bila perlu
c) MDT diberikan terus dengan dosis tetap
d) Menghindari/menghilangkan faktor pencetus

2) Tatalaksana reaksi berat


Tatalaksana yang dapat diberikan ialah:
a) MDT tetap diberikan dengan dosis tidak
diubah

b) Menghindari/menghilangkan faktor
pencetus

c) Memberikan obat anti reaksi (Prednison,


Klofazimin)

d) Pemberian analgetik/antipiretik, obat


penenang bila perlu
e) Bila ada indikasi rawat inap pasien

23
dikirim ke rumah sakit.
f) Reaksi tipe 2 berat yang berulang
diberikan prednison dan klofazimin.

Catatan untuk pemberian prednison:

1) Pemberian prednison harus di bawah


pengawasan dokter dan harus dicatat pada
formulir evaluasi pengobatan reaksi berat.
2) Kondisi pasien yang mungkin merupakan kontra
indikasi pemberian prednison: TB, kencing
manis, tukak lambung berat, infeksi sekunder
pada luka di tangan atau kaki yang memburuk.
Jika kondisi tersebut berat, maka pengobatan
reaksi harus di unit rujukan (rumah sakit rujukan)
3) Untuk reaksi, prednison diberikan dalam dosis
tunggal pagi hari sesudah makan, kecuali jika
keadaan terpaksa dapat diberikan secara dosis
bagi, misalnya 2 x4 tablet/hari. Perlu diingat
bahwa prednison bisa menyebabkan efek
samping yang serius. Tidak boleh dihentikan
tiba-tiba karena dapat menyebabkan
rebound phenomena (demam, nyeri otot,
nyeri sendi, malaise).

24
SKEMA PEMBERIAN PREDNISON

Minggu pertama 40mg/hari (1x6 tab) pagi harisesudah makan

Minggu kedua 30mg/hari (1x6 tab) pagi hari sesudah makan

Minggu ketiga 20mg/hari (1x4 tab) pagi hari sesudah makan

Minggu keempat 15mg/hari (1x3 tab) pagi hari sesudah


makan

Minggu kelima 10mg/hari (1x2 tab) pagi hari sesudah makan

Minggu kedua 5mg/hari (1x1 tab) pagi hari sesudah makan

Gambar 10. Skema Pemberian Prednison


d. Tata Laksana nyeri neuropatik pada kusta
Pasien dengan kusta, baik yang belum atau
sudah menerima terapi, dapat mengalami keluhan
neuropati yang dapat disertai nyeri. Nyeri pada kusta
dapat berupa (1) nyeri nosiseptif akibat stimulus
nosiseptif dan peradangan, ataupun (2) nyeri
neuropatik akibat keterlibatan dan disfungsi pada
jaras somatosensorik terutama pada saraf perifer.
Nyeri neuropatik memiliki karakteristik berupa nyeri
spontan atau nyeri yang diinduksi oleh stimulasi pada
daerah yang diinervasi oleh saraf yang mengalami
kerusakan dengan karakteristik nyeri yang timbul
spontan berupa rasa tersengat listrik, rasa
panas/bakar, sensasi seperti ditusuk-tusuk (pricking
pain), dan juga rasa baal.

Tata laksana nyeri neuropatik pada kusta

25
meliputi pengobatan yang adekuat terhadap kusta
yang mendasari ditambah dengan tata laksana sesuai
dengan panduan nyeri neuropatik, tercantum pada
gambar 1.

Gambar 11. Pilihan Tata Laksana NyerI


Neuropatik pada Kusta

a. Tata Laksana Psikiatri


Pengobatan gangguan kejiwaan pada
pasien kusta pada intinya sama dengan pasien
lainnya. Obat yang dapat diberikan adalah dari
golongan anti depresan, antiansietas, hingga
antipsikotik, dengan observasi ketat dari psikiater.
Psikoterapi adalah tatalaksana nonfarmologi yang

26
akan diberikan pada pasien dengan komorbiditas
kusta dan gangguan psikiatri. Dalam tatalaksana
kusta perlu dipertimbangkan penyelesaian masalah
psikologis pasien, yang seringkali tidak dikeluhkan.
Kondisi depresi terjadi akibat adanya stigma,
sehingga menimbulkan penurunan kualitas hidup,
bahkan pengobatan menjadi tidak tuntas.

b. Non Farmakologis
a. Tatalaksana Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi
Tujuan tatalaksana Kedokteran Fisik dan
Rehabilitasi ialah agar penderita kusta dapat
kembali ke masyarakat sebagai manusia yang
produktif dan berguna, melalui layanan rehabilitasi
medik berupa terapi fisik, terapi okupasi, pemberian
ortosis dan prosthesis, perawatan luka, supporting
psikologis melalui peresepan latihan yang sesuai.
Tatalaksana Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi
sebagai berikut:
1. Konseling dan Edukasi
Konseling membantu pasien agar menyadari
potensi yang dimiliki dan memanfaatkan potensi
mentalnya seoptimal mungkin untuk
meningkatkan kualitas penyesuaian baik dengan
dirinya sendiri maupun lingkungannya. Konseling
juga diberikan dengan tujuan untuk mengurangi
tingkat antisosial pasien kusta dengan disabilitas.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Pedoman Nasional Program Pengendalian


Penyakit Kusta, 2015, Kementerian Kesehatan RI.
2. Kar HK, Kumar B. IAL Textbook of Leprosy. 2nd Ed.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers Ltd
2016.
3. Kementerian Kesehatan RI Direktorat Jenderal
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit
Kusta. 2012.
4. Permenkes RI No.HK.01.07/MENKES/308/2019
Tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Kusta
5. WHO, 2017, World Epidemiological Record, 35th
edition, Geneva, World Health Organization (WHO).
6. WHO. Enhanced Global Strategy for Further Reducing
the Disease Burden Due to Leprosy. Geneva: World
Health Organization; 2009.
7. WHO Expert Committee on Leprosy: Eight report.
2012: Geneva, Switzerland

28
BUKU SAKU
TATALAKSANA KASUS MALARIA

Subdit Malaria Direktorat P2PTVZ


KEMETENTERIAN KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
2017
SAMBUTAN
Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat
yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok
risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu hamil, selain itu malaria
secara langsung menyebabkan anemia dan dapat menurun­kan
produktivitas kerja.
Pengendalian malaria dilakukan secara kompre­hensif dengan
upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, hal ini bertujuan
untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian serta mencegah
KLB. Untuk mencapai hasil yang optimal dan berkualitas upaya
tersebut harus dilakukan terintegrasi dengan layanan kesehatan
dasar dan program lainnya.
Penitikberatan pada penatalaksanaan kasus malaria yang
berkualitas diharapkan akan memberikan kontribusi langsung
upaya menuju bebas malaria di Indonesia. Buku saku ini berisi
standar dan pedoman tatalaksana malaria dan diharapkan dapat
membantu tenaga medis dan petugas kesehatan lainnya yang
melakukan tatalaksana kasus malaria.
Buku ini adalah buku standar dalam penatalaksanaan malaria yang
harus dipedomani bagi setiap dokter dalam menyelenggarakan
praktek kedokterannya dan merupakan revisi edisi tahun 2012
dengan menyesuaikan pedoman managemen kasus malaria oleh
WHO edisi ke-3 tahun 2015
Terimakasih kami ucapkan kepada anggota Komisi Ahli Diagnosis
dan Pengobatan Malaria, pakar malaria, IDI dan kontributor yang
telah menyusun buku saku ini.
Semoga buku ini bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat
pada pelayanan kesehatan masyarakat khususnya dalam
tatalaksana kasus malaria.

Jakarta, Agustus 2017


Direktur P2PTVZ

drg. Vensya Sitohang, M.Epid

iii
KATA PENGANTAR IDI
Malaria merupakan salah satu penyakit menular yang masih
menjadi masalah kesehatan di masyarakat luas dan mempengaruhi
berbagai aspek kehidupan bangsa Indonesia. Komitmen untuk
pengendalian penyakit malaria ini diharapkan menjadi perhatian
kita semua, tidak hanya secara nasional, namun juga regional
dan global sebagaimana yang dihasilkan pada pertemuan World
Health Assembly (WHA) ke-60 pada tahun 2007 di Geneva
tentang eliminasi malaria.
Komitmen Eliminasi Malaria ini didukung oleh Menteri Dalam
Negeri melalui Surat Edaran Mendagri No.443.41/465/SJ tahun
2010 tentang pelaksanaan program malaria dalam mencapai
eliminasi di Indonesia. Komitmen pemerintah ditunjukkan dalam
salah satu indikator RPJMN 2015-2019. Salah satu strategi dalam
pencapaian eliminasi malaria melalui Early Diagnosis and Prompt
Treatment, yaitu penemuan dini kasus malaria dan pengobatan
yang tepat dan cepat sehingga penularan dapat dihentikan.
Penyusunan buku saku ini ditujukan untuk memberikan panduan
terkini kepada para dokter di seluruh Indonesia, yang berpotensi
untuk berhadapan dengan pasien malaria kapan saja. Panduan
yang dapat digunakan untuk kasus malaria pada rawat jalan
maupun rawat inap ini bertujuan khusus untuk menurunkan angka
kejadian malaria berat karena keterlambatan penegakkan diagnosis
ataupun karena kesalahan penatalaksanaan dengan menggunakan
obat yang sudah resisten.
Buku ini adalah buku standar dalam penatalaksanaan malaria yang
harus dipedomani bagi setiap dokter dalam menyelenggarakan
praktek kedokterannya.
Kami mengucapkan terima kasih atas kerjasama dan peran aktif
semua pihak yang terkait dalam penyusunan buku ini. Semoga
buku saku ini dapat bermanfaat dan menjadi pedoman kita semua
dalam penatalaksanaan penyakit malaria.
Pengurus Besar IDI
Ketua Umum

Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG


iv
DAFTAR ISI

STANDAR TATA LAKSANA MALARIA.................... 1


BAB I. PENDAHULUAN................................. 3
BAB II. MALARIA........................................... 4
BAB III. DIAGNOSIS MALARIA.......................... 6
BAB IV. MALARIA BERAT................................ 8
BAB V. PENGOBATAN MALARIA TANPA
KOMPLIKASI...................................... 9
BAB VI. PENGOBATAN MALARIA
BERAT............................................... 13
BAB VII. PEMANTAUAN PENGOBATAN.............. 16

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Pengobatan malaria falsiparum menurut


berat badan dengan DHP...................... 10

Tabel 2. Pengobatan malaria vivaks menurut


berat badan dengan DHP...................... 10

Tabel 3. Pengobatan malaria campur/mixed


dengan DHP........................................ 11

Tabel 4. Pengobatan malaria falsiparum dan


vivaks pada ibu hamil........................... 12

vi
STANDAR TATALAKSANA MALARIA

STANDAR DIAGNOSIS
1. Setiap individu yang tinggal di daerah endemik malaria
yang menderita demam atau memiliki riwayat demam
dalam 48 jam terakhir atau tampak anemi; wajib
diduga malaria tanpa mengesampingkan penyebab
demam yang lain.
2. Setiap individu yang tinggal di daerah non endemik
malaria yang menderita demam atau riwayat demam
dalam 7 hari terakhir dan memiliki risiko tertular
malaria; wajib diduga malaria. Risiko tertular malaria
termasuk : riwayat bepergian ke daerah endemik malaria
atau adanya kunjungan individu dari daerah endemik
malaria di lingkungan tempat tinggal penderita.
3. Setiap penderita yang diduga malaria harus diperiksa
darah malaria dengan mikroskop atau RDT.
4. Untuk mendapatkan pengobatan yang cepat maka
hasil diagnosis malaria harus didapatkan dalam waktu
kurang dari 1 hari terhitung sejak pasien memeriksakan
diri.
STANDAR PENGOBATAN
1. Pengobatan penderita malaria harus mengikuti
kebijakan nasional pengendalian malaria di Indonesia.
2. Pengobatan dengan ACT hanya diberikan kepada
penderita dengan hasil pemeriksaan darah malaria
positif.
3. Penderita malaria tanpa komplikasi harus diobati
dengan terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT)
plus primakuin sesuai dengan jenis plasmodiumnya.
4. Setiap tenaga kesehatan harus memastikan kepatuhan
pasien meminum obat sampai habis melalui konseling
agar tidak terjadi resistensi Plasmodium terhadap obat.

1
5. Penderita malaria berat harus diobati dengan Artesunate
intramuskular atau intravena dan dilanjutkan ACT oral
plus primakuin.
6. Jika penderita malaria berat akan dirujuk, sebelum
dirujuk penderita harus diberi dosis awal Artesunate
intramuskular/ intravena.

STANDAR PEMANTAUAN PENGOBATAN


1. Evaluasi pengobatan dilakukan dengan pemerik­saan
klinis dan mikroskopis.
2. Pada penderita rawat jalan, evaluasi pengobatan
dilakukan setelah pengobatan selesai (hari ke-3), hari
ke-7, 14, 21, dan 28.
3. Pada penderita rawat inap, evaluasi pengobatan
dilakukan setiap hari hingga tidak ditemukan parasit
dalam sediaan darah selama 3 hari berturut-turut, dan
setelahnya di evaluasi seperti pada penderita rawat
jalan.

STANDAR TANGGUNG JAWAB KESEHATAN MASYARAKAT


1. Petugas kesehatan harus mengetahui tingkat
endemisitas malaria di wilayah kerjanya dengan
berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat.
2. Membangun jejaring layanan dan kemitraan bersama
dengan fasilitas layanan lainnya (pemerintah dan
swasta) untuk meningkatkan akses layanan yang
bermutu bagi setiap pasien malaria.
3. Petugas kesehatan memantau pasien malaria dengan
memastikan bahwa dilakukan penanganan yang sesuai
pedoman tatalaksana malaria.
4. Petugas harus melaporkan semua kasus malaria yang
ditemukan dan hasil pengobatannya kepada dinas
kesehatan setempat sesuai dengan ketentuan dan
kebijakan yang berlaku.

2
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pemerintah memandang malaria masih sebagai
ancaman terhadap status kesehatan masyarakat terutama
pada rakyat yang hidup di daerah terpencil. Hal ini tercermin
dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor: 2 tahun
2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Naional tahun 2015 - 2019 dimana malaria termasuk
penyakit prioritas yang perlu ditanggulangi.
Salah satu tantangan terbesar dalam upaya pengobatan
malaria di Indonesia adalah terjadinya penurunan efikasi
pada penggunaan beberapa obat anti malaria, bahkan
terdapat resistensi terhadap klorokuin. Hal ini dapat
disebabkan antara lain oleh karena penggunaan obat anti
malaria yang tidak rasional. Sejak tahun 2004 obat pilihan
utama untuk malaria falciparum adalah obat kombinasi
derivat Artemisinin yang dikenal dengan Artemisinin-
based Combination Therapy (ACT). Kombinasi artemisinin
dipilih untuk meningkatkan mutu pengobatan malaria yang
sudah resisten terhadap klorokuin dimana artemisinin ini
mempunyai efek terapeutik yang lebih baik.

Gambar 1. Peta Endemisitas Malaria di Indonesia Tahun 2016

3
BAB II
MALARIA

A. Penyebab Malaria
Penyebab Malaria adalah parasit Plasmodium yang
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina.
Dikenal 5 (lima) macam spesies yaitu: Plasmodium
falciparum, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale,
Plasmodium malariae dan Plasmodium knowlesi.
Parasit yang terakhir disebutkan ini belum banyak
dilaporkan di Indonesia.
B. Jenis Malaria
1. Malaria Falsiparum
Disebabkan oleh Plasmodium falciparum. Gejala
demam timbul intermiten dan dapat kontinyu. Jenis
malaria ini paling sering menjadi malaria berat yang
menyebabkan kematian.
2. Malaria Vivaks
Disebabkan oleh Plasmodium vivax. Gejala demam
berulang dengan interval bebas demam 2 hari.
Telah ditemukan juga kasus malaria berat yang
disebabkan oleh Plasmodium vivax.
3. Malaria Ovale
Disebabkan oleh Plasmodium ovale. Manifestasi
klinis biasanya bersifat ringan. Pola demam seperti
pada malaria vivaks.
4. Malaria Malariae
Disebabkan oleh Plasmodium malariae. Gejala
demam berulang dengan interval bebas demam
3 hari.
5. Malaria Knowlesi
Disebabkan oleh Plasmodium knowlesi. Gejala
demam menyerupai malaria falsiparum.

4
C. Gejala Malaria
Gejala demam tergantung jenis malaria. Sifat demam
akut (paroksismal) yang didahului oleh stadium dingin
(menggigil) diikuti demam tinggi kemudian berkeringat
banyak. Gejala klasik ini biasanya ditemukan pada
penderita non imun (berasal dari daerah non endemis).
Selain gejala klasik di atas, dapat ditemukan gejala lain
seperti nyeri kepala, mual, muntah, diare, pegal-pegal,
dan nyeri otot . Gejala tersebut biasanya terdapat pada
orang-orang yang tinggal di daerah endemis (imun).
D. Bahaya Malaria
1. Jika tidak ditangani segera dapat menjadi malaria
berat yang menyebabkan kematian
2. Malaria dapat menyebabkan anemia yang
mengakibatkan penurunan kualitas sumber daya
manusia.
3. Malaria pada wanita hamil jika tidak diobati dapat
menyebabkan keguguran, lahir kurang bulan
(prematur) dan berat badan lahir rendah (BBLR)
serta lahir mati.
E. Pencegahan Malaria
Upaya pencegahan malaria adalah dengan
meningkatkan kewaspadaan terhadap risiko malaria,
men­c egah gigitan nyamuk, pengendalian vektor
dan kemoprofilaksis. Pencegahan gigitan nyamuk
dapat dilakukan dengan menggunakan kelambu
berinsektisida, repelen, kawat kasa nyamuk dan lain-
lain.
Obat yang digunakan untuk kemoprofilaksis adalah
doksisiklin dengan dosis 100mg/hari. Obat ini diberikan
1-2 hari sebelum bepergian, selama berada di daerah
tersebut sampai 4 minggu setelah kembali. Tidak boleh
diberikan pada ibu hamil dan anak dibawah umur 8
tahun dan tidak boleh diberikan lebih dari 6 bulan.

5
BAB III
DIAGNOSIS MALARIA

Manifestasi klinis malaria dapat bervariasi dari ringan


sampai membahayakan jiwa. Gejala utama demam sering
didiagnosis dengan infeksi lain: seperti demam typhoid,
demam dengue, leptospirosis, chikungunya, dan infeksi
saluran nafas. Adanya thrombositopenia sering didiagnosis
dengan leptospirosis, demam dengue atau typhoid. Apabila
ada demam dengan ikterikbahkan sering diintepretasikan
dengan diagnosa hepatitis dan leptospirosis. Penurunan
kesadaran dengan demam sering juga didiagnosis sebagai
infeksi otak atau bahkan stroke.
Mengingat bervariasinya manifestasi klinis malaria maka
anamnesis riwayat perjalanan ke daerah endemis malaria
pada setiap penderita dengan demam harus dilakukan.
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit
lainnya berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium. Untuk malaria berat diagnosis
ditegakkan berdasarkan kriteria WHO ( lihat Bab IV).
Untuk anak <5 tahun diagnosis menggunakan MTBS
namun pada daerah endemis rendah dan sedang
ditambahkan riwayat perjalanan ke daerah endemis dan
transfusi sebelumnya.
Pada MTBS diperhatikan gejala demam dan atau pucat
untuk dilakukan pemeriksaan sediaan darah.
Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan
pemeriksaan sediaan darah secara mikroskopis atau uji
diagnostik cepat (Rapid Diagnostic Test=RDT).

A. Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan:

6
a. Keluhan : demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri
otot atau pegal-pegal.
b. Riwayat sakit malaria dan riwayat minum obat
malaria.
c. Riwayat berkunjung ke daerah endemis malaria.
d. Riwayat tinggal di daerah endemis malaria.

Setiap penderita dengan keluhan demam atau


riwayat demam harus selalu ditanyakan riwayat
kunjungan ke daerah endemis malaria

B. Pemeriksaan fisik
a. Suhu tubuh aksiler ≥ 37,5 °C
b. Konjungtiva atau telapak tangan pucat
c. Sklera ikterik
d. Pembesaran Limpa (splenomegali)
e. Pembesaran hati (hepatomegali)
C. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah (SD) tebal dan tipis
di Puskesmas/lapangan/ rumah sakit/laboratorium
klinik untuk menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
b) Spesies dan stadium plasmodium.
c) Kepadatan parasit.
b. Pemeriksaan dengan uji diagnostik cepat (Rapid
Diagnostic Test)
Mekanisme kerja tes ini berdasarkan deteksi antigen
parasit malaria, dengan menggunakan metoda
imunokromatografi. Sebelum menggunakan RDT
perlu dibaca petunjuk penggunaan dan tanggal
kadaluarsanya. Pemeriksaan dengan RDT tidak
digunakan untuk mengevaluasi pengobatan.

7
BAB IV
MALARIA BERAT

Malaria berat adalah : ditemukannya Plasmodium


falciparum stadium aseksual dengan minimal satu
dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil
laboratorium (WHO, 2015):
1. Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3)
2. Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan)
3. Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam
4. Distres pernafasan
5. Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik,
tekanan sistolik <80 mm Hg (pada anak: <70 mmHg)
6. Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit
>100.000)
7. Hemoglobinuria
8. Perdarahan spontan abnormal
9. Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%
Gambaran laboratorium :
1. Hipoglikemi (gula darah <40 mg%)
2. Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L).
3. Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi,
<7gr% untuk endemis sedang-rendah), pada dewasa
Hb<7gr% atau hematokrit <15%)
4. Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000
parasit /μL di daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit
atau 100.0000 parasit /μl di daerah endemis tinggi)
5. Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L)
6. Hemoglobinuria
7. Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)

Catatan :
pada penderita tersangka malaria berat, terapi dapat
segera diberikan berdasarkan pemeriksaan RDT

8
BAB V
PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI

Pengobatan malaria yang dianjurkan saat ini dengan


pemberian ACT. Pemberian kombinasi ini untuk
meningkatkan efektifitas dan mencegah resistensi. Malaria
tanpa komplikasi diobati dengan pemberian ACT secara
oral. Malaria berat diobati dengan injeksi Artesunat
dilanjutkan dengan ACT oral. Di samping itu diberikan
primakuin sebagai gametosidal dan hipnozoidal.

A. PENGOBATAN MALARIA TANPA KOMPLIKASI


1) Malaria falsiparum dan Malaria vivaks
Pengobatan malaria falsiparum dan vivaks saat ini
menggunakan ACT ditambah primakuin.
Dosis ACT untuk malaria falsiparum sama dengan
malaria vivaks, Primakuin untuk malaria falsiparum
hanya diberikan pada hari pertama saja dengan
dosis 0,25 mg/kgBB, dan untuk malaria vivaks
selama 14 hari dengan dosis 0,25 mg /kgBB.
Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi usia < 6
bulan. Pengobatan malaria falsiparum dan malaria
vivaks adalah seperti yang tertera di bawah ini:

Dihidroartemisinin-Piperakuin(DHP) + Primakuin

9
Tabel 1.
Pengobatan Malaria falsiparum menurut berat badan
dengan DHP dan Primakuin
Jumlah tablet per hari menurut berat badan

Hari Jenis obat <4 kg 4-6kg >6-10 kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg 41-59 kg ≥60kg
0-1 2-5 <6-11 1-4 5-9 10-14 ≥15 ≥15
bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun

1-3 DHP ⅓ ½ ½ 1 1½ 2 3 4

1 Primakuin - - ¼ ¼ ½ ¾ 1 1

Tabel 2.
Pengobatan Malaria vivaks menurut berat badan
dengan DHP dan Primakuin
Jumlah tablet per hari menurut berat badan

Hari Jenis obat <4 kg 4-6kg >6-10 kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg 41-59 kg ≥60kg

0-1 2-5 <6-11 1-4 5-9 10-14 ≥15 ≥15


bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun

1-3 DHP ⅓ ½ ½ 1 1½ 2 3 4

1-14 Primakuin - - ¼ ¼ ½ ¾ 1 1

Catatan :
Sebaiknya dosis pemberian DHP berdasarkan berat badan, apabila
penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka pemberian
obat dapat berdasarkan kelompok umur.
a. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan
(pada tabel pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah
berdasarkan berat badan.
b. Apabila pasien P.falciparum dengan BB >80 kg datang kembali
dalam waktu 2 bulan setelah pemberian obat dan pemeriksaan
Sediaan Darah masih positif P.falciparum, maka diberikan DHP
dengan dosis ditingkatkan menjadi 5 tablet/hari selama 3 hari.

10
2) Pengobatan malaria vivaks yang relaps
Pengobatan kasus malaria vivaks relaps (kambuh)
diberikan dengan regimen ACT yang sama tapi dosis
Primakuin ditingkatkan menjadi 0,5 mg/kgBB/hari.
3) Pengobatan malaria ovale
Pengobatan malaria ovale saat ini menggunakan
ACT yaitu DHP ditambah dengan Primakuin selama
14 hari. Dosis pemberian obatnya sama dengan
untuk malaria vivaks.
4) Pengobatan malaria malariae
Pengobatan P. malariae cukup diberikan ACT 1 kali
perhari selama 3 hari, dengan dosis sama dengan
pengobatan malaria lainnya dan tidak diberikan
primakuin
5) Pengobatan infeksi campur P. falciparum
+ P. vivax/P.ovale
Pada penderita dengan infeksi campur diberikan ACT
selama 3 hari serta primakuin dengan dosis 0,25
mg/kgBB/hari selama 14 hari.

Tabel 3.
Pengobatan infeksi campur P.falciparum P.vivax/P.ovale
dengan DHP + Primakuin
Jumlah tablet per hari menurut berat badan

Hari Jenis obat <4 kg 4-6kg >6-10 kg 11-17 kg 18-30 kg 31-40 kg 41-59 kg ≥60kg

0-1 2-5 <6-11 1-4 5-9 10-14 ≥15 ≥15


bulan bulan bulan tahun tahun tahun tahun tahun

1-3 DHP ⅓ ½ ½ 1 1½ 2 3 4

1-14 Primakuin - - ¼ ¼ ½ ¾ 1 1

11
Catatan :
a. Sebaiknya dosis pemberian obat berdasarkan berat badan,
apabila penimbangan berat badan tidak dapat dilakukan maka
pemberian obat dapat berdasarkan kelompok umur.
b. Apabila ada ketidaksesuaian antara umur dan berat badan
(pada tabel pengobatan), maka dosis yang dipakai adalah
berdasarkan berat badan.
c. Untuk anak dengan obesitas gunakan dosis berdasarkan berat
badan ideal.
d. Primakuin tidak boleh diberikan pada ibu hamil.

B. PENGOBATAN MALARIA PADA IBU HAMIL


Pada prinsipnya pengobatan malaria pada ibu hamil
sama dengan pengobatan pada orang dewasa lainnya.
Pada ibu hamil tidak diberikan Primakuin.

Tabel 4.
Pengobatan malaria falsiparum dan malaria vivaks
pada ibu hamil

UMUR KEHAMILAN PENGOBATAN


Trimester I-III (0-9 bulan) ACT tablet selama 3 hari

Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan


dalam keadaan perut kosong karena bersifat iritasi
lambung. Oleh sebab itu penderita harus makan
terlebih dahulu setiap akan minum obat anti malaria.

12
BAB VI
PENGOBATAN MALARIA BERAT

Semua penderita malaria berat harus ditangani di Rumah Sakit


(RS) atau puskesmas perawatan. Bila fasilitas maupun tenaga
kurang memadai, misalnya jika dibutuhkan fasilitas dialisis, maka
penderita harus dirujuk ke RS dengan fasilitas yang lebih lengkap.
Prognosis malaria berat tergantung kecepatan dan ketepatan
diagnosis serta pengobatan.

A. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik non


Perawatan
Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat
inap, pasien malaria berat harus langsung dirujuk ke
fasilitas yang lebih lengkap. Sebelum dirujuk berikan
artesunat intramuskular (dosis 2,4mg/kgbb)

B. Pengobatan malaria berat di Puskesmas/Klinik


Perawatan atau Rumah Sakit
Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika
tidak tersedia dapat diberikan kina drip.

Kemasan dan cara pemberian artesunat


Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60
mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam
ampul yang berisi natrium bikarbonat 5%. Keduanya
dicampur untuk membuat 1 ml larutan sodium
artesunat. Kemudian diencerkan dengan Dextrose 5%
atau NaCL 0,9% sebanyak 5 ml sehingga didapat
konsentrasi 60 mg/6ml (10mg/ml). Obat diberikan
secara bolus perlahan-lahan.
Artesunat diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb intravena
sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan

13
2,4 mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari sampai
penderita mampu minum obat.
Contoh perhitungan dosis :
Penderita dengan BB = 50 kg.
Dosis yang diperlukan : 2,4 mg x 50 = 120 mg
Penderita tersebut membutuhkan 2 vial artesunat
perkali pemberian.
Bila penderita sudah dapat minum obat, maka
pengobatan dilanjutkan dengan regimen DHP atau
ACT lainnya (3 hari) + primakuin (sesuai dengan jenis
plasmodiumnya).

Kemasan dan cara pemberian kina drip


Kina drip bukan merupakan obat pilihan utama untuk
malaria berat. Obat ini diberikan pada daerah yang
tidak tersedia artesunat intramuskular/intravena.
Obat ini dikemas dalam bentuk ampul kina dihidroklorida
25%. Satu ampul berisi 500 mg / 2 ml.
Pemberian kina pada dewasa :
1) loading dose : 20 mg garam/kgbb dilarutkan dalam
500 ml (hati-hati overload cairan) dextrose 5% atau
NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama.
2) 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5%
atau NaCl 0,9%.
3) 4 jam berikutnya berikan kina dengan dosis rumatan
10 mg/kgbb dalam larutan 500 ml (hati-hati
overload cairan) dekstrose 5 % atau NaCl.
4) 4 jam selanjutnya, hanya diberikan cairan Dextrose
5% atau NaCl 0,9%.
5) Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti di
atas sampai penderita dapat minum kina per-oral.

14
6) Bila sudah dapat minum obat pemberian kina iv
diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis
10 mg/kgbb/kali diberikan tiap 8 jam. Kina oral
diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada
orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil.
Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak
pemberian kina perinfus yang pertama.

Pemberian kina pada anak :


Kina HCl 25 % (per-infus) dosis 10 mg/kgbb (bila umur
< 2 bulan : 6 - 8 mg/kg bb) diencerkan dengan Dekstrosa
5 % atau NaCl 0,9 % sebanyak 5 - 10 cc/kgbb diberikan
selama 4 jam, diulang setiap 8 jam sampai penderita
dapat minum obat.

Catatan :
1) Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena
toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.
2) Dosis kina maksimum dewasa : 2.000 mg/hari.

C. Pengobatan malaria berat pada ibu hamil


Pengobatan malaria berat untuk ibu hamil dilakukan
dengan memberikan artesunat injeksi atau kina HCl
drip intravena.

15
BAB VII
PEMANTAUAN PENGOBATAN

A. Rawat Jalan
Pada penderita rawat jalan evaluasi pengobatan
dilakukan pada hari ke 3, 7, 14, 21 dan 28 dengan
pemeriksaan klinis dan sediaan darah secara
mikroskopis. Apabila terdapat perburukan gejala
klinis selama masa pengobatan dan evaluasi, penderita
segera dianjurkan datang kembali tanpa menunggu
jadwal tersebut di atas.

B. Rawat Inap
Pada penderita rawat inap evaluasi pengobatan
dilakukan setiap hari dengan pemeriksaan klinis
dan darah malaria hingga klinis membaik dan hasil
mikroskopis negatif. Evaluasi pengobatan dilanjutkan
pada hari ke 7, 14, 21 dan 28 dengan pemeriksaan
klinis dan sediaan darah secara mikroskopis.

16
LAMPIRAN

Algoritme 1.
Alur Penemuan Penderita Malaria

17
Algoritme 2.
Tatalaksana Penderita Malaria

18
Algoritme 3.
Penatalaksanaan Malaria Berat
di Pelayanan Primer dan Sekunder

19
Algoritme 4.
Penatalaksanaan Malaria Berat di RS Rujukan

20
Algoritme 5.
Penatalaksanaan Malaria Serebral

21
Algoritme 6.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Gagal Nafas

22
Algoritme 7.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Gagal Ginjal

23
Algoritme 8.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Ikterus

24
Algoritme 9.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Anemia

25
Algoritme 10.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Black Water
Fever / Hemoglobinuri

26
Algoritme 11.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Hipoglikemia

27
Algoritme 12.
Penatalaksanaan Malaria Berat dengan Koagulasi
Intravaskular Diseminata

28
Pengarah : 1. Prof. Dr. Ilham Oetama Marsis, SpOG
2. drg.Vensya Sitohang, M.Epid

Koordinator : dr. Elvieda Sariwati, M.Epid


Kontributor : 1. Prof. Inge Sutanto,M.Phil
2. Dr. Ali Sungkar, SpOG
3. dr. Hussein Gassem, Sp.PD,KPTI
4. dr. Doni P. Wijisaksono, Sp.PD
5. dr. Paul Harijanto, Sp.PD
6. dr. Asep Purnama, SpPD
7. dr. Yovita Hartantri, Sp.PD
8. dr. Erni Juwita Nelwan,Sp.PD
9. dr. Jeanne Rini P, SpA, PhD
10. dr. Suryadi T, Sp.A
11. dr. Mulya Rahma Karyanti, Sp.A(K)
12. dr. Ayodhia P, M.Ked(Ped), SpA,PhD
13. dr. Darma Imran, Sp.S(K)
14. dr. Tony Loho, SpPK
15. dr. Jemfy Naswil
16. Prof. Emiliana Tjitra, PhD
17. dr. Ferdinand J Laihad,MPH
18. dr. Rita Kusriastuti, MSc
19. dr. Endang Sumiwi,MSc
20. dr. Dewi Noviyanti
21. dr. Marti Kusumaningsih, M.Kes

Editor : 1. dr. Iriani Samad, MSc


2. dr. Minerva Theodora,MKM
3. dr. Pranti Sri Mulyani,MSc

29
30
DIAGNOSTIK MALARIA
OBAT-OBAT MALARIA TERKINI
TOPIK UTAMA

Malaria merupakan salah satu masalah kesehatan Program eliminasi malaria di Indonesia tertuang dalam
masyarakat yang dapat menyebabkan kematian terutama keputusan Menteri Kesehatan RI No 293/MENKES/SK/
pada kelompok risiko tinggi yaitu bayi, anak balita, ibu IV/2009. Pelaksanaan pengendalian malaria menuju
hamil, selain itu malaria secara langsung menyebabkan eliminasi dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau
anemia dan dapat menurunkan produktivitas kerja. beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna
Penyakit ini juga masih endemis di sebagian besar wilayah terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas
Indonesia. dari penularan malaria sampai tahun 2030. Status
Indonesia masih tahap pertama yaitu pada eliminasi
Dalam rangka pengendalian penyakit malaria banyak hal malaria di DKI, Bali dan Barelang Binkar pada tahun 2010.
yang sudah maupun sedang dilakukan baik dalam skala
global maupun nasional. Malaria merupakan salah satu Untuk melihat sejauh mana perkembangan pengendalian
indikator dari target Pembangunan Milenium (MDGs), penyakit malaria pada tulisan ini akan dibahas situasi
dimana ditargetkan untuk menghentikan penyebaran dan epidemiologi dan upaya/program pengendalian malaria di
mengurangi kejadian insiden malaria pada tahun 2015 Indonesia yang dilihat dari hasil survei dan laporan
yang dilihat dari indikator menurunnya angka kesakitan program malaria.
dan angka kematian akibat malaria. Global Malaria
Programme (GMP) menyatakan bahwa malaria A. SITUASI MALARIA DI INDONESIA
merupakan penyakit yang harus terus menerus dilakukan
pengamatan, monitoring dan evaluasi, serta diperlukan 1. Gambaran Berdasar Laporan Rutin Program
formulasi kebijakan dan strategi yang tepat. Di dalam GMP
ditargetkan 80% penduduk terlindungi dan penderita a. Stratifikasi Malaria
mendapat pengobatan Arthemisinin based Combination Upaya penanggulangan penyakit malaria di Indonesia sejak tahun
Therapy (ACT). Dan melalui Roll Back Malaria Partnership 2007 dapat dipantau dengan menggunakan indikator Annual
ditekankan kembali dukungan tersebut. Karena pentingnya Parasite Incidence (API). Hal ini sehubungan dengan kebijakan
penanggulangan Malaria, maka beberapa partner Kementerian Kesehatan mengenai penggunaan satu
internasional salah satunya Global Fund, memberikan indikator untuk mengukur angka kejadian malaria, yaitu
bantuan untuk pengendalian malaria. dengan API. Pada tahun 2007 kebijakan ini mensyaratkan
bahwa setiap kasus malaria harus dibuktikan dengan hasil
Dalam pengendalian malaria, yang ditargetkan penurunan pemeriksaan sediaan darah dan semua kasus positif harus
angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. diobati dengan pengobatan kombinasi berbasis artemisinin
atau ACT (Artemisinin-based Combination Therapies).

1 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TOPIK UTAMA

Penyakit malaria masih ditemukan di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan API, dilakukan stratifikasi wilayah dimana
Indonesia bagian Timur masuk dalam stratifikasi malaria tinggi, stratifikasi sedang di beberapa wilayah di Kalimantan, Sulawesi
dan Sumatera sedangkan di Jawa-Bali masuk dalam stratifikasi rendah, meskipun masih terdapat desa/fokus malaria tinggi.

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 1. Peta Stratifikasi Malaria 2008

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 2. Peta Stratifikasi Malaria 2009

API dari tahun 2008 – 2009 menurun dari 2,47 per 1000 penduduk menjadi 1,85 per 1000 penduduk. Bila dilihat per provinsi dari tahun
2008 – 2009 provinsi dengan API yang tertinggi adalah Papua Barat, NTT dan Papua terdapat 12 provinsi yang diatas angka API nasional.

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 2


TOPIK UTAMA

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 4. API per 100.000 Penduduk per provinsi Tahun 2009

Dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 pengendalian malaria merupakan salah satu penyakit
yang ditargetkan untuk menurunkan angka kesakitannya dari 2 menjadi 1 per 1.000 penduduk. Dari gambar diatas angka
kesakitan malaria (API) tahun 2009 adalah 1,85 per 1000 penduduk, sehingga masih harus dilakukan upaya efektif untuk
menurunkan angka kesakitan 0,85 per 1000 penduduk dalam waktu 4 tahun, agar target Rencana Strategis Kesehatan Tahun
2014 tercapai.

b. Plasmodium
Plasmodium penyebab malaria yang ada di Indonesia terdapat beberapa jenis yaitu plasmodium falsifarum, plasmodium vivax,
plasmodium malariae, plasmodium ovale dan yang mix atau campuran.

Pada tahun 2009 penyebab malaria yang tertinggi adalah plasmodium vivax (55,8%), kemudian plasmodium falsifarum,
sedangkan plasmodium ovale tidak dilaporkan. Data ini berbeda dengan data riskesdas 2010, yang mendapatkan 86,4%
penyebab malaria adalah plasmodium falsifarum, dan plasmodium vivax sebanyak 6,9%.

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 5. Plasmodium Penyebab Malaria Tahun 2009

3 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TOPIK UTAMA

c. Sebaran Kejadian Luar Biasa (KLB) Tahun 2006 - 2009

Dari tahun 2006 – 2009 Kejadian Luar Biasa (KLB) selalu terjadi di pulau Kalimantan walaupun kabupaten/kota yang
terjangkit berbeda-beda tiap tahun. Pada tahun 2009 , KLB dilaporkan terjadi di pulau Jawa (Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Banten), Kalimantan (Kalimantan Selatan), Sulawesi (Sulawesi Barat), NAD dan Sumatera (Sumatera
Barat, Lampung) dengan total jumlah penderita adalah 1.869 orang dan meninggal sebanyak 11 orang. KLB
terbanyak di pulau Jawa yaitu sebanyak 6 kabupaten/kota . Sebaran KLB dari tahun 2006 – 2009 dapat dilihat pada
Gambar 6 di bawah ini.

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 6. Kejadian Luar Biasa (KLB) Tahun 2006 - 2009

d. Data rumah sakit


Menurut data statistik rumah sakit, angka kematian (CFR) penderita yang disebabkan malaria untuk semua kelompok umur
menurun drastis dari tahun 2004 ke tahun 2006 (dari 10,61% menjadi 1,34%). Namun dari tahun 2006 sampai tahun 2009 CFR
cenderung meningkat hingga lebih dua kali lipat. Hal ini perlu menjadi perhatian dan dilakukan evaluasi agar dapat diketahui
penyebab meningkatnya angka kematian dan dilakukan upaya pencegahannya.

Sumber : Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI, 2009


Gambar 7. Gambar Pasien Rawat Inap Penyakit Malaria tahun 2004 - 2009

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 4


TOPIK UTAMA

Sedangkan untuk jumlah pasien rawat inap yang keluar dari tahun 2004 - 2009 berfluktuatif dan pasien rawat inap
laki-laki lebih banyak dari perempuan.

Sumber : Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI, 2009


Gambar 8. Gambar Pasien Rawat Inap Berdasarkan Jenis Kelamin Penyakit Malaria
Tahun 2004 - 2009

Masih dari data statistik rumah sakit, admission rate dari tahun 2004 – 2008 cenderung meningkat (Gambar 9). Pada tahun
2004 admision rate 1,19 meningkat menjadi 1,53 pada tahun 2008. Untuk rawat jalan tahun 2004 – 2006 pasien baru lebih
banyak laki-laki sedangkan tahun 2007 – 2008 pasien baru lebih banyak perempuan yang dapat dilihat pada gambar 9.

Sumber : Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI, 2009


Gambar 9. Gambar Admission rate dari tahun 2004 - 2008

5 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TOPIK UTAMA

Sumber : Ditjen Bina Pelayanan Medik Depkes RI, 2009


Gambar 10. Gambar Pasien Rawat Jalan Berdasarkan Jenis Kelamin Penyakit Malaria Tahun 2004 - 2008

2. Situasi Malaria Berdasarkan Survei dan Penelitian


a. Prevalensi malaria berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Tahun 2010
Prevalensi malaria berdasarkan Riskesdas 2010 diperoleh dalam bentuk point prevalence. Point prevalence menunjukan
proporsi orang di populasi yang terkena penyakit pada waktu tertentu. Data malaria dikumpulkan dengan dua cara yaitu
wawancara terstruktur menggunakan kuesioner dan pemeriksaan darah menggunakan dipstick (Rapid Diagnostic Test/
RDT). Besarnya sampel untuk pemeriksaan RDT yang merupakan subsampel dari sampel Kesehatan masyarakat adalah
sejumlah 75.192 dan yang dapat dianalisis adalah 72.105 (95,9%).

Dari hasil Riskesdas diperoleh Point prevalence malaria adalah 0,6%, namun hal ini tidak menggambarkan kondisi malaria
secara keseluruhan dalam satu tahun karena setiap wilayah dapat mempunyai masa-masa puncak (pola epidemiologi)
kasus yang berbeda-beda. Spesies parasit malaria yang paling banyak ditemukan adalah Plasmodium falciparum (86,4%)
sedangkan sisanya adalah Plasmodium vivax dan campuran antara P. falciparum dan P. Vivax. Namun data sebaran
parasit perwilayah tidak diperoleh, sehingga tidak dapat diketahui jenis parasit yang dominan per suatu wilayah.

Sumber : Riskesdas 2010

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 6


TOPIK UTAMA

Menurut karakteristik umur, point prevalence paling tinggi adalah pada umur 5-9 tahun (0,9%), kemudian pada kelompok umur 1
-4 tahun (0,8%) dan paling rendah pada umur <1 tahun (0,3%). Sedangkan menurut period prevalence, prevalens paling tinggi
adalah pada kelompok umur >15 tahun (10,8%), nomor dua paling tinggi pada kelompok umur 1-4 tahun (10,7%) dan paling
rendah tetap pada umur <1 tahun (8,2%). Dari data diatas tampak kecenderungan kelompok yang berisiko tinggi terkena
malaria bergeser dari usia >15 tahun ke usia 1-4 tahun. Oleh karena itu perlu intervensi pencegahan malaria pada usia 1-4
tahun, memperkuat promosi anak dibawah lima tahun tidur dibawah kelambu berinsektisida serta menyediakan obat malaria
yang sesuai dengan umur balita.
Untuk karakteristik jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan dan pekerjaan, point prevalensi dan period prevalensi hampir
sama. Pada point prevalensi, prevalensi pada laki-laki sama dengan perempuan (0,6%), di perdesaan (0,8%) dua kali
prevalensi di perkotaan (0,4%). Kelompok pendidikan tidak tamat SD (0,7%) dan tidak pernah sekolah (0,8%) merupakan dua
kelompok yang paling tinggi prevalensinya dan kelompok tamat PT merupakan kelompok yang paling rendah prevalensinya
(0,2%). Kelompok “sekolah” dan petani/nelayan/buruh merupakan kelompok pekerjaan yang tertinggi prevalensinya (masing-
masing 0,7%) sedangkan yang paling rendah adalah Pegawai/TNI/POLRI (0,3%).

Sumber : Riskesdas 2010


Gambar 12. Point Prevalence Malaria Menurut Karakteristik Responden

b. Mass Blood Survei (MBS)


Pada tahun 2008 dilakukan Mass Blood Survei (MBS) di 14 provinsi (Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Bengkulu, Riau,
Sumatera Selatan, Lampung, Jambi, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Maluku Utara, Papua Barat, Papua, Maluku,
Nusa Tenggara Timur) yang menjadi wilayah kegiatan The Global Fund to Fight AIDS, Tuberculosis and Malaria (GF ATM).
Pada MBS dilakukan pengambilan sediaan darah berdasarkan mikroskop dan Rapid Diagnostic Test (RDT). Hasil MBS
menunjukkan bahwa Provinsi dengan kasus positif tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (32.321 orang) dan Maluku
(23.754 orang). Jumlah sediaan darah yang diambil dan kasus positif malaria dapat dilihat pada Gambar 13 di bawah ini.

Sumber : Mass Blood Survey


Gambar 13. Jumlah sediaan darah yang diambil dan kasus positif malaria Tahun 2008

7 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TOPIK UTAMA

Infeksi malaria pada kehamilan sangat merugikan bagi ibu dan janin yang dikandungnya, karena dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Pada ibu, malaria dapat menyebabkan anemia, malaria serebral, edema paru,
gagal ginjal bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada janin, dapat menyebabkan abortus, persalinan prematur, berat
badan lahir rendah, dan kematian janin.
Menurut Mass Blood Survei (MBS) pada tahun 2008 kasus infeksi pada ibu hamil yang terbanyak adalah Nusa Tenggara
Timur (624 orang), kemudian Maluku (455 orang). Secara absolut provinsi yang mempunyai kasus bumil malaria tertinggi
adalah NTT, namun provinsi yang mempunyai persentase kasus bumil malaria tertinggi adalah Sumatera Barat (6,36%) dan
Riau (2,24%) yang dapat dilihat pada Gambar 14 di bawah ini.

Sumber : Mass Blood Survey


Gambar 14. Jumlah Kasus Ibu Hamil dan Persentase Ibu Hamil Positif yang Terinfeksi Malaria Tahun 2008

c. Vektor Malaria di Indonesia


Di Indonesia konfirmasi vektor telah dilakukan sejak tahun 1919 sampai tahun 2009, dan selama periode tersebut terdapat
25 spesies ditemukan positif membawa parasit malaria, dengan penyebaran seperti ditunjukan dalam peta di bawah ini.

18 19
25
17
11 22 20 5
25 14 13 21 8
9
16 2 10
16 6
14 15 12
23 15 21
21
1
24
1 22
3 20 17
20 20
16 4 7
21
24

Keterangan :
1. An.aconitus 6. An. flavirostris 11. An. ludlowi 16. An. sinensis
2. An.balabacensis 7. An. koliensis 12. An.maculates 17. An.subpictus
3. An.bancrofti 8. An.letifer 13. An.minimus 18 An.sundaicus
4. An.barbirostris 9. An.leucosphyrus 14.An.nigerrimus 19. An. vagus
5. An.farauti 10. An.karwari 15. An.punctulatus 20. An. umbrosus
21. An.tesellatus 22. An.parangensis 23.An. kochi 24.An.ludlowi
25.An.annullaris

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 15. Vektor Malaria di Indonesia

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 8


TOPIK UTAMA

Menurut tempat berkembang biak, vektor malaria dapat dikelompokkan dalam tiga tipe yaitu berkembang biak di
persawahan, perbukitan/hutan dan pantai/aliran sungai. Vektor malaria yang berkembang biak di daerah persawahan
adalah An. aconitus, An. Annullaris, An. barbirostris, An. kochi, An karwari, An.nigerrimus, An.sinensis, An.tesellatus,
An.Vagus, An. letifer. Vektor malaria yang berkembang biak di perbukitan/hutan adalah An.balabacensis, An.bancrofti,
An.punculatus, An.Umbrosus. Sedangkan untuk daerah pantai/aliran sungai jenis vekor malaria adalah An.flavirostris,
An.Koliensis, An.ludlowi, An.minimus, An.punctulatus, An.parangensis, An.sundaicus, An.subpictus.
Waktu aktivitas menggigit vektor malaria yang sudah diketahui yaitu jam 17.00-18.00, sebelum jam 24 (20.00-23.00), sete-
lah jam 24 (00.00-4.00).Vektor malaria yang aktivitas menggigitnya jam 17.00-18.00 adalah An.tesselatus, sebelum jam 24
adalah An.Aconitus, An.annullaris, An.barbirostris, An.kochi, An.sinensis, An.Vagus, sedangkan yang menggigit setelah jam
24 adalah An.farauti, An.koliensis, An.leucosphyrosis, An.unctullatus.
Perilaku vektor malaria seperti tempat berkembang biak dan waktu aktivitas menggigit ini sangat penting diketahui oleh
pengambil keputusan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan intervensi dalam pengendalian vektor yang lebih
efektif.

B. UPAYA PENGENDALIAN MALARIA


Upaya untuk menekan angka kesakitan dan kematian dilakukan melalui program pemberantasan malaria yang kegiatannya
antara lain meliputi diagnosis dini, pengobatan cepat dan tepat, surveilans dan pengendalian vektor yang kesemuanya ditujukan
untuk memutus mata rantai penularan malaria.

Indikator keberhasilan Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2010-2014 adalah menurunkan angka kesakitan
malaria dan kematian penyakit malaria, pada tahun 2015 menjadi 1 per 1.000 penduduk dari baseline tahun 1990 sebesar 4,7
per 1.000 penduduk. Indikator lain yang perlu diperhatikan adalah target MDGs yaitu angka kematian malaria dan proporsi
balita yang tidur dalam perlindungan kelambu berinsektisida dan proporsi balita yang diobati.
1. Upaya pengendalian yang dilaporkan melalui Laporan Rutin Program
Terdapat beberapa upaya yang dilakukan dalam program pencegahan malaria seperti pemakaian kelambu, pengendalian
vektor.

a. Pemakaian Kelambu
Pemakaian kelambu adalah salah satu dari upaya pencegahan penularan penyakit malaria. Melalui bantuan Global Fund
(GF) komponen malaria ronde 1 dan 6 telah dibagikan kelambu berinsektisida ke 16 provinsi. Seperti terlihat pada gambar
16, kelambu dibagikan terbanyak di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Sedangkan di Sumatera Barat tidak ada laporan,
hal ini perlu dievaluasi untuk mengetahui penyebab tidak adanya laporan.

Sumber: GF Round 1 dan 6


Gambar 16. Jumlah Kelambu Berinsektisida 2009

9 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TOPIK UTAMA

Cakupan kelambu berinsektisida yang dibagikan kepada penduduk yang berisiko malaria terbanyak pada tahun 2007 adalah di
Timor Leste (25,54%), tahun 2008 dan 2009 adalah Srilanka (23,21% dan 40,39%). Pada tahun 2009 cakupan kelambu di
Indonesia masuk sebagai 3 terendah di negara SEARO.

Sumber: Sheet validation WMR (WHO)


Gambar 17. Cakupan Kelambu Berinsektisida tahun 2007-2009

b. Pengendalian Vektor
Untuk meminimalkan penularan malaria maka dilakukan upaya pengendalian terhadap Anopheles sp sebagai nyamuk
penular malaria. Beberapa upaya pengendalian vektor yang dilakukan misalnya terhadap jentik dilakukan larviciding
(tindakan pengendalian larva Anopheles sp secara kimiawi, menggunakan insektisida), biological control ( menggunakan
ikan pemakan jentik), manajemen lingkungan, dan lain-lain. Pengendalian terhadap nyamuk dewasa dilakukan dengan
penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS/ indoors residual spraying) atau menggunakan kelambu
berinsektisida. Namun perlu ditekankan bahwa pengendalian vektor harus dilakukan secara REESAA (rational, effective,
efisien, suntainable, affective dan affordable) mengingat kondisi geografis Indonesia yang luas dan bionomik vektor yang
beraneka ragam sehingga pemetaan breeding places dan perilaku nyamuk menjadi sangat penting. Untuk itu diperlukan
peran pemerintah daerah, seluruh stakeholders dan masyarakat dalam pengendalian vektor malaria.

c. Diagnosis dan Pengobatan


Selain pencegahan, diagnosis dan pengobatan malaria juga merupakan upaya pengendalian malaria yang penting.
Pemeriksaan Sediaan Darah (SD)
Untuk diagnosis malaria salah satu yang perlu dilihat adalah pemeriksaan sediaan darah. Untuk pemeriksaan sediaan
darah dari tahun 2008 sampai tahun 2010 terjadi peningkatan penderita malaria klinis yang diperiksa sediaan darahnya.
Pada tahun 2008 dari 1.912.698 malaria klinis diperiksa sediaan darahnya hanya 921.599 (48,18%). Tahun 2009 dan 2010
malaria klinis yang diperiksa sedian darahnya sudah di atas 50% (tahun 2009 sebesar 75,61%, tahun 2010 sebesar
64,44%). Pencapaian ini dapat dipertahankan dan terus ditingkatkan dengan dukungan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk
menjaminan ketersediaan bahan/reagen lab/mikroskospis malaria, kemampuan petugas kesehatan, jangkauan pelayanan kesehatan dan
ketersediaan obat malaria.

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 18. Malaria Klinis, Sediaan Diperiksa dan Positif Malaria Di Indonesia Tahun 2008-2010

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 10


TOPIK UTAMA

Pada tahun 2009-2010, beberapa provinsi telah melaporkan bahwa seluruh kasus malaria klinis (100%) diperiksa sediaan da-
rahnya, pada tahun 2009 sebanyak 6 provinsi dan tahun 2010 sebanyak 3 provinsi. Gambar 19 dan 20 di bawah ini juga
menunjukkan adanya pemeriksaan sediaan darah pada malaria klinis yang melebihi 100% (tahun 2009 : papua; tahun 2010 =
Papua, NTB, Aceh), hal ini dapat terjadi karena data yang dilaporkan bercampur antara laporan/data rutin dan data survei.

Dari kondisi ini tampak perlu ada upaya yang dapat memvalidasi data laporan, serta perlu dibuat suatu standar sistem pencata-
tan dan pelaporan yang dapat memisahkan antara laporan rutin dan survei.

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009 Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009
Gambar 19. Persentase Pemeriksaan SD di Indonesia Tahun 2009 Gambar 20. Persentase Pemeriksaan SD di Indonesia Tahun 2010

Cakupan Pengobatan ACT


Pengendalian malaria selalu mengalami perkembangan, salah satunya dalam hal pengobatan. Dulu malaria diobati dengan
klorokuin, setelah ada laporan resistensi, saat ini telah dikembangkan pengobatan baru dengan tidak menggunakan obat
tunggal saja tetapi dengan kombinasi yaitu dengan ACT (Artemisinin-based Combination Therapy).
Pada tahun 2010, dari 1.191.626 kasus malaria klinis yang diperiksa sediaan darahnya terdapat 237.394 kasus yang positif
menderita malaria, dan dari yang positif malaria, 211.676 (89,17%) mendapat pengobatan ACT. Pencapaian ini jauh lebih tinggi
daripada laporan Riskesdas tahun 2010, yang mendapatkan bahwa pengobatan efektif baru mencapai 33%. Sebahagian besar
pengobatan belum efektif, sehingga perlu ada upaya baik dari pemerintah daerah dan pusat agar lebih yang memperhatikan
aksesibilitas/jangkauan pelayanan penderita malaria dan ketersediaan obat dan tenaga kesehatan di daerah risiko tinggi
malaria.

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 21. Malaria Klinis, SD Darah dan Positif Malaria, ACT di Indonesia Tahun 2010

11 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TOPIK UTAMA

Berdasarkan Gambar 22 dibawah ini terdapat 8 provinsi yang seluruh kasus malaria dengan pemeriksaan sediaan darah
positif yang diobati, yaitu Jawa Barat, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua, Jawa Tengah dan
Gorontalo. Hal ini harus dipertahankan karena dengan pengobatan seluruh kasus malaria dengan sediaan darah positif dapat
memutus rantai penularan. Sedangkan untuk yang persentasinya rendah perlu dievaluasi apa yang menyebabkan rendahnya
penggunaan ACT, apakah karena ketidaktahuan petugas medis atau penolakan pasien mendapat obat ACT karena
keterbatasan pengetahuan/informasi tentang efek samping obat.

Sumber : Ditjen PP & PL Depkes RI, 2009


Gambar 22. Persentase Pengobatan ACT di Indonesia Tahun 2010

2. Upaya pengendalian yang dilaporkan dari Survei dan Penelitian

a. Riskesdas 2010
Salah satu upaya pengendalian penyakit malaria yang paling sering dan masih menjadi andalan adalah
pengobatan penderita. Pengobatan yang efektif ini harus memenuhi tiga katagori, yaitu (1) jenis obat yang
diperoleh adalah ACT, (2) obat tersebut diperoleh penderita maksimum 24 jam setelah sakit dan (3) dosis obat
diperoleh untuk 3 hari dan diminum seluruhnya. Persentase penderita (semua umur) yang memenuhi persyaratan
tersebut adalah 33,7% dan untuk balita 22,3% seperti tabel di bawah ini:

Tabel 1.
Persentase Penderita Malaria Satu Bulan Terakhir dengan Pengobatan Artemisinin-based

Sumber : Riskesdas 2010

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 12


TOPIK UTAMA

Pengobatan efektif malaria dengan menggunakan Artemisinin-based menurut provinsi berkisar 0%- 81,9%, yang paling rendah
DI Yogyakarta dan Sulawesi Tenggara (0%) dan paling tinggi adalah Banten (81,9%). Di daerah-daerah dengan kasus malaria
tinggi (Papua, Papua Barat, NTT), kasus malaria mendapat pengobatan masih kurang dari 50% (Papua Barat 10,2%, NTT
11,8% dan Papua 44,4%), hal ini sangat menghambat program eliminasi malaria. Sebaliknya beberapa provinsi dengan
prevalensi malaria klinis rendah menunjukkan proporsi pengobatan dengan obat malaria yang cukup tinggi (>50%) seperti
Banten, Bali, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Riau dan Sulawesi Barat.

Sumber : Riskesdas 2010


Gambar 23. Persentase Penderita Malaria Yang Mendapat Pengobatan Efektif Artemisinin-based

Bila dibandingkan dengan Riskesdas tahun 2007, cakupan pengobatan malaria lebih tinggi (44,7%) dari cakupan pengobatan
Riskesdas tahun 2010 (33,7%). Hal ini karena pengobatan menurut Riskesdas tahun 2010 adalah pengobatan yang efektif
sesuai kategori yang telah disebutkan diatas, sedangkan pada Riskesdas tahun 2007 tidak dipersyaratkan.

Cakupan tertinggi pengobatan efektif malaria menurut adalah pada kelompok umur >= 15 tahun (35,5%). Cakupan pada laki-
laki (34,4%) lebih tinggi dari pada perempuan (32,8%). Cakupan di perkotaan (40,1%) lebih tinggi daripada di perdesaan
(30,8%). Kelompok pendidikan yang paling tinggi cakupannya adalah pada kelompok tamat SMP (41%) dan berangsur-angsur
menurun ke pendidikan lebih rendah dan lebih tinggi. Cakupan menurut pekerjaan tertinggi pada pekerjaan “lainnya” (52,8%)
dan terendah pada pegawai/TNI/Polri (25,2%).

Sumber: Riskesdas 2010


Gambar 24. Persentase Penderita Malaria Positif Satu Bulan Terakhir Dengan Pengobatan
Efektif Malaria Menurut Karakteristik.

13 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TOPIK UTAMA

Untuk mengendalikan malaria selain pengobatan sangat penting pencegahan terjadinya malaria. Salah satu pencegahannya
adalah dengan memakai kelambu sewaktu tidur. Besarnya persentase pemakaian kelambu (dengan dan tanpa insektisida)
nasional adalah 26,1 persen dengan kisaran menurut provinsi dari 0,8 persen di Bali sampai 84,6 persen di Sulawesi Barat.
Persentase pemakaian kelambu berinsektisida di seluruh Indonesia adalah 12,9 persen dengan kisaran menurut provinsi dari
0,6 persen di Sulawesi Selatan sampai 66,1 persen di Papua Barat yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Sumber : Riskesdas 2010


Gambar 25. Persentase Pemakaian Kelambu Berinsektisida dan Tidak Menurut Provinsi

Sumber : Riskesdas 2010


Gambar 26. Persentase Pemakaian Kelambu Berinsektisida Menurut Provinsi

Untuk mengetahui cara pencegahan malaria di masyarakat, kepada responden umur ≥ 15 tahun ditanyakan tentang
pencegahan malaria. Jawaban terbanyak adalah “memakai obat nyamuk bakar/elektrika” (57,6%), “tidur menggunakan
kelambu” (31,9%) dan yang paling sedikit adalah “minum obat pencegahan bila bermalam di daerah endemis malaria” (4,7%)
seperti yang terlihat pada Gambar 27 di bawah ini.

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 14


TOPIK UTAMA

Sumber: Riskesdas 2010


Gambar 27. Pencegahan Malaria Umur ≥15 Tahun Menurut Cara Pencegahan

b. Survei Khusus

Pada tahun 1973 ditemukan pertama kali adanya kasus resistensi Plasmodium falciparum terhadap klorokuin di Kalimantan
Timur. Sejak itu kasus resistensi terhadap klorokuin yang dilaporkan semakin meluas. Sejak tahun 1990, dilaporkan telah
terjadi resistensi parasit P. falciparum terhadap klorokuin dari seluruh provinsi di Indonesia. Selain itu, dilaporkan juga
adanya kasus resistensi plasmodium terhadap Sulfadoksin-Pirimethamin (SP) di beberapa tempat di Indonesia. Dari
penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Litbangkes dan Lembaga Penelitian lainnya telah ditemukan adanya resistensi
plasmodium vivax terhadap klorokuin di beberapa wilayah di Indonesia (Bangka, Papua). Keadaan ini perlu dicegah dengan
pengobatan yang tepat dan efektif sehingga dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria.

15 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TOPIK UTAMA

KESIMPULAN DAN SARAN sebanyak 455 orang. Provinsi yang mempunyai


Kesimpulan persentase kasus bumil malaria tertinggi adalah
Sumatera Barat (6,36%) dan Riau (2,24%).
A. Laporan Rutin Program
1. Dari tahun 2007 – 2009 upaya penanggulangan penyakit
Saran
malaria di Indonesia dipantau dengan menggunakan indikator
API. API dari tahun 2008 – 2009 menurun dari 2,47 per
1. Memperkuat sistem pencatatan dan pelaporan malaria
100.000 penduduk menjadi 1,85 per 100.000 penduduk.
rutin dan non rutin di fasilitas kesehatan dan Dinas
2. Pada tahun 2009 KLB terbanyak di pulau Jawa yaitu
Kesehatan Kabupaten/Kota dan Provinsi.
sebanyak 6 kabupaten/kota
2. Memisahkan data laporan rutin dan data survei
3. Dibandingkan dengan negara-negara SEARO, kelambu
sehingga dapat melihat situasi malaria yang
berinsektisida yang telah dibagikan di Indonesia
sebenarnya.
jumlahnya cukup banyak, akan tetapi cakupannya
3. Memperkuat promosi kepada masyarakat tentang
termasuk nomor 3 terendah.
penggunaan kelambu berinsektisida pada balita.
4. Secara nasional, Provinsi NTT mendapatkan
4. Perlunya dukungan dari pemerintah daerah dan
pembagian kelambu berinsektisida paling banyak.
masyarakat di daerah risiko tinggi malaria agar pengo-
Sedangkan Papua, provinsi dengan kasus malaria
batan efektif malaria, berupa obat ACT yang diperoleh
terbesar hanya berada pada urutan keempat terbanyak
penderita maksimum 24 jam setelah sakit dan dosis
mendapatkan kelambu.
obat diperoleh untuk 3 hari serta diminum seluruhnya,
5. Pada tahun 2010, dari 1.191.626 kasus malaria klinis
dapat dilaksanakan sehingga dapat menurunkan angka
yang diperiksa sediaan darahnya ada 237.394
kesakitan dan kematian akibat malaria dan mencegah
(19,92%) yang positif menderita malaria, dan dari yang
resistensi
positif malaria ada 211.676 (89,17) yang mendapat
5. Perlu adanya upaya pendampingan dari kader
pengobatan ACT
kesehatan bagi penderita malaria dalam mendukung
B. Rumah Sakit
kepatuhan minum obat ACT
Angka kematian (CFR) untuk semua kelompok umur
6. Perlu ditingkatkan konfirmasi (pemetaan) ulang vektor
menurun drastis dari tahun 2004 ke tahun 2006 (dari
sehingga diketahui perilaku vektor malaria seperti
10,61% pada tahun 2004 menjadi 1,34% pada tahun
tempat berkembang biak dan waktu aktivitas menggigit,
2006). Namun dari tahun 2006 sampai tahun 2009
sebagai dasar petimbangan untuk menentukan
CFR terus meningkat lebih 2 kali lipat.
intervensi dalam pengendalian vektor yang lebih efektif.
C. Riskesdas 2010
1. Point prevalence malaria adalah 0,6%
DAFTAR PUSTAKA
2. Spesies parasit malaria yang paling banyak ditemukan
adalah Plasmodium falciparum (86,4%).
3. Cakupan pengobatan efektif malaria adalah 33,7% 1. Rencana Strategis Kementrian Kesehatan 2010-2014
untuk semua umur dan 22,3% untuk balita. Cakupan 2. Pedoman Surveilans Malaria, Departemen Kesehatan
tertinggi pengobatan efektif malaria adalah pada RI
kelompok umur >= 15 tahun (35,5%). Cakupan pada 3. Pedoman SKD KLB Malaria, Departemen Kesehatan
laki-laki (34,4%) lebih tinggi dari pada perempuan RI
(32,8%), cakupan di perkotaan (40,1%) lebih tinggi 4. Kepmenkes Nomor 239/menkes/sk/iv/2009 tentang
daripada di perdesaan (30,8%) dan kelompok eleminasi malaria di Indonesia
pendidikan yang paling tinggi cakupannya adalah pada 5. Bahan Presentasi, Direktur P2BB, Kementerian
kelompok tamat SMP (41%) dan berangsur-angsur Kesehatan RI
menurun ke pendidikan lebih rendah dan lebih tinggi. 6. Laporan Tahunan Subdit Malaria
7. Informasi Vektor Malaria di Indonesia, Subdit Vektor
D. Mass Blood Survey(MBS) Ditjen P2 & PL, Kementerian Kesehatan RI
1 Pada tahun 2008 hanya dilaksanakan di 14 provinsi 8. Laporan Subdit Malaria ke Global Fund
lokasi kegiatan GF ATM
2 Provinsi dengan kasus positif tertinggi adalah Nusa
Tenggara Timur (32.321 orang) dan Maluku (23.754
orang).
3 Kasus infeksi pada ibu hamil yang terbesar adalah
Nusa Tenggara Timur (624 orang), kemudian Maluku

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 16


OPINI

Latar belakang: Di Indonesia ada berbagai suku bangsa dengan ragam


Malaria masih merupakan salah satu masalah kesehatan kebiasaan dan perilaku, yang merupakan faktor
masyarakat yang utama, karena mempengaruhi angka berpengaruh dalam menunjang keberhasilan partisipasi
kesakitan bayi, balita dan ibu melahirkan serta masyarakat dalam program pengendalian malaria. Masih
menimbulkan kejadian Luar Biasa (KLB). Jumlah terbatasnya studi tentang pengetahuan, sikap dan perilaku
kabupaten/kota endemik tahun 2004 sebanyak 424 dari masyarakat yang telah dilakukan, beberapa studi yang
579 kabupaten/kota, dengan perkiraan persentase sudah ada diantaranya adalah di Jawa Tengah, Jawa
penduduk yang berisiko penularan sebesar 42,42 %. Barat, NTB (Lombok), Riau, dan Papua (Timika). Beberapa
Masalah malaria di kawasan Timur Indonesia meliputi perilaku yang tidak menunjang dalam upaya pengendalian
seluruh wilayah baik dari tingkat desa, kecamatan, malaria ini adalah kebiasaan masyarakat yang biasa
Kabupaten dan Propinsi sedangkan dikawasan lainnya mencari pengobatan sendiri dengan membeli obat ke
penularannya lokal spesifik dalam wilayah tertentu. warung terdekat dan menggunakan obat dengan dosis
tidak tepat, kebiasaan berada di luar rumah atau
Dalam tahun 2006 terjadi KLB malaria di beberapa daerah. beraktivitas pada malam hari tanpa perlindungan dari
Upaya penanggulangan baik dengan pengobatan secara gigitan nyamuk, dan adanya penebangan hutan bakau oleh
massal, survei demam, penyemprotan rumah, penyelidikan masyarakat yang akan mengakibatkan terbentuknya
vektor penyakit dan tindakan lain misalnya pengeringan tempat perindukan baru vektor malaria.
tempat perindukan telah dilakukan dengan baik.
Penanggulangan malaria selama ini lebih banyak dilakukan
Beberapa Kejadian Luar Biasa diakibatkan oleh adanya secara terpusat terutama dalam program pembasmian
perubahan lingkungan dimana tempat perindukan potensial malaria melalui Komando Pembasmian Malaria (KOPEM).
semakin meluas atau semakin bertambah. Secara rinci
perubahan lingkungan berkait dengan masalah penye- Menuju Eliminasi Malaria 2030:
baran malaria diuraikan sebagai berikut : Sejak kemerdekaan pengendalian malaria diarahkan me-
1. Akibat dari beberapa pembangunan proyek konstruksi lalui kegiatan intervensi lingkungan yang menjadi sumber
yang tidak berwawasan lingkungan, seperti di Indragiri penularan malaria terutasama didaerah pesisir pantai dan
Hilir, galian pasir Pulau Batam dan Bintan, galian pengobatan malaria terutama dengan obat Kina.
timah di Bangka Belitung, penambang liar di
Kabupaten Landak Kalimantan Barat, Kota Baru Kali- Program pembasmian malaria tahun 1959-1965 dengan
mantan Selatan dan tempat cucian rumput laut di kegiatan intensif penyemprotan rumah dan pengobatan
Pulau Seribu Jakarta . masal dengan Klorokuin terutama di Jawa dan Bali. Pro-
2. Perubahan iklim setempat misalnya di Sukabumi, gram Pemberantasan Malaria diberlakukan kembali sete-
Bukit Menoreh, Samosir, Wonosobo, Purbalingga lah WHO mencanangkan Strategi Global Pemberntasan
Malaria tahun 1992 di Amsterdam.
Beberapa bencana alam seperti Tsunami dan gempa bumi
di Alor (NTT), Aceh, Sumatera Utara dan Nabire (Papua) Tahun 1998 WHO mencanangkan kemitraan untuk pem-
mengakibatkan terjadinya perubahan lingkungan yang berantasan malaria melalui Gerakan Roll Back Malaria dan
berdampak pada meluasnya tempat perindukan nyamuk di Indonesia dikenal dengan Gebrak Malaria yang di-
Anopheles dan mempertinggi risiko penularan malaria cananggkan tahun 2000 di Kupang, Nusa Tenggara Timur.
karena perpindahan penduduk.

17 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


OPINI

Sejak tahun 2009 pemerintah telah menetapkan melalui  Dekonsentrasi yang dilakukan melalui gubernur dan
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 293/MENKES/SK/ instansi vertikal di daerah
IV/2009 tanggal 28 April 2009 bahwa upaya pengendalian  Desentralisasi: yang dilakukan melalui daerah otonom
malaria dilakukan dalam rangka eliminasi malaria di Indo- serta desentralisasi fungsional kepada BUMN, otorita
nesia. dll
 Tugas pembantuan: yang dilakukan melalui Pemerin-
Adapun pelaksanaan pengendalian malaria menuju tah daerah dan pemerintah desa.
eliminasi dilakukan secara bertahap dari satu pulau atau
beberapa pulau sampai seluruh pulau tercakup guna Negara kita merupakan negara kesatuan & negara hukum
terwujudnya masyarakat yang hidup sehat yang terbebas dimana pemerintah membentuk daerah otonom dimana
dari penularan malaria sampai tahun 2030 dengan penyerahan setiap urusan yang didesentralisasikan diatur
tahapan sebagai berikut: secara hukum.
2010: Eliminasi malaria di DKI, Bali dan Barelang Binkar,
dimana seluruh sarana pelayanan kesehatan telah mampu Hubungan antara pusat dan daerah dalam era desen-
melakukan konfirmasi laboratorium kasus malaria yang tralisasi dan otonomi adalah sebagai berikut:
rendah.  Koordinasi, sinkronisasi, keterpaduan, dan sinergitas
2015: Pembebasan Jawa, Aceh dan Kepulauan Riau. kebijakan, program dan kegiatan penyelenggaraan
2020: Pembebasan Sumatera, NTB, Kalimantan, dan urusan pemerintahan
Sulawesi.  Pemerintah Pusat akan melaksanakan pembinaan -
2030: Pembebasan Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku pengawasan, monitoring - evaluasi, supervisi dan
Utara, dan NTT Fasilitasi kepada Pemerintah Daerah
 Gubernur sebagai wakil pemerintah Pusat melaksana-
Eliminasi malaria di daerah yang sudah rendah malarianya kan pembinaan-pengawasan, monitoring-evaluasi,
akan berhasil bila penanggulangan dilaksanakan secara supervisi dan fasilitas sesuai dengan PP 19/2010.
intensif yaitu dengan menambah tenaga terampil, mening-
 Kabupaten/Kota melaksanakan otonomi daerah den-
katkan akses penderita terhadap pengobatan dan
gan memberikan pelayanan yang optimal.
pencegahan dan digunakan teknologi tepat guna yaitu
obat ACT setelah konfirmasi diagnosis, pengamatan kasus
Urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh masing
dan vektor yang intensif dan upaya memutuskan rantai
masing tingkatan pemerintahan berdasarkan 3 kriteria:
penularan antara lain dengan penyediaan LLIN yang
1. Pusat : Berwenang membuat norma-norma, standar,
melindungi 80% penduduk sasaran. Ini perlu didukung
prosedur dan kriteria (NSPK), monitoring-evaluasi, su-
dengan komitmen yang kuat dari pemerintah setempat dan
pervisi, fasilitasi dan urusan-urusan pemerintahan den-
melibatkan masyarakat
gan eksternalitas Nasional.
2. Provinsi: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-
Terdapat 4 tahapan dalam mencapai eliminasi malaria
urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional
yaitu tahap pemberantasan, tahap pra eliminasi, tahap
(lintas Kabupaten/Kota)
eliminasi dan tahap pemeliharaan.
3. Kab/Kota: Berwenang mengatur dan mengurus urusan-
urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal (dalam
Setiap satuan wilayah berupa Kabupaten/Kota perlu
satu Kabupaten/Kota)
menilai tentang status wilayah terhadap tahapan eliminasi
tersebut diatas dalam merencakan kegiatan pengendalian Penanggulang Malaria dalam era otonomi dan desen-
yang sesuai diwilayah masing masing. trasasi:
Penanggulangan malaria dalam era otonomi dan
Desentralisasi dan otonomi di Indonesia desentralisasi dilakukan berdasarkan surat edaran
Desentralisasi di Indonesia bertujuan untuk meningkatkan MENDAGRI No.443.41/465/SJ tentang Eliminasi Malaria di
kesejahteraan masyarakat melalui kegiatan yang efektif, Indonesia yang telah dijabarkan sebagai berikut:
efisien, ekonomis yang akuntabel dalam memperkuat de-
mokrasi melalui pendidikan politik masyakarat sipil setem- Pemerintahan Daerah Provinsi
pat menuju masyarakat sejahtera. 1. Menyusun strategi penanggulangan malaria melalui
suatu komitmen yang dituangkan dalam perundangan
Strategi dan pendekatan pemerintah dalam mensejahtera- daerah sebagai penjabaran pedoman eliminasi malaria
kan masyarakat dilakukan melalui beberapa azas sebagai di Indonesia.
berikut: 2. Memberikan asistensi dan advokasi kepada Pemerintah

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 18


OPINI

Kabupaten/Kota, lembaga legislatif, serta instansi 4. Mengkoordinasikan kegiatan eliminasi malaria


sektor mengenai strategi dan kebijakan yang akan dengan lintas program dan sektor terkait.
ditempuh dalam eliminasi malaria. 5. Melaksanakan sistem kewaspadaan dini.
3. Mengkoordinasikan kegiatan program malaria dengan 6. Menyediakan sarana dan prasarana dalam eliminasi
instasi/sektor terkait dalam mendukung eliminasi malaria termasuk penanggulangan KLB serta
malaria. pendistribusiannya.
4. Melakukan sosialisasi dan menggerakkan potensi 7. Melaksanakan penanggulangan KLB, bencana dan
sektor swasta, LSM, Organisasi Profesi dan pengungsian.
Organisasi lain yang terkait. 8. Melaksanakan jejaring Surveilans Epidemiologi dan
5. Menggerakkan potensi Sumber Daya dalam Sistem Informasi Malaria.
mendukung pelaksanaan program nasional eliminasi 9. Memfasilitasi tercapainya akses penemuan dan pen-
malaria secara sinergis baik yang berasal dari dalam gobatan bagi semua penderita.
negeri maupun luar negeri sesuai ketentuan 10. Melaksanakan pelatihan teknis dan manajemen
perundangan yang berlaku. dalam eliminasi malaria termasuk manajemen
6. Mengkoordinasikan, membina dan mengawasi terpadu balita (MTBS) dan ibu hamil sakit malaria
program eliminasi malaria di Kabupaten/Kota dalam bagi tenaga kesehatan di tingkat pelayanan dasar
wilayahnya. dan rujukan (dokter, perawat, bidan).
7. Melaksanakan pelatihan teknis dan manajemen dalam 11. Melakukan pemetaan daerah endemik, potensi KLB
eliminasi malaria termasuk manajemen terpadu balita dan resisten.
sakit (MTBS) bagi tenaga kesehatan di tingkat 12. Melaksanakan survei-survei (Dinamika Penularan,
pelayanan dasar dan rujukan (dokter, perawat dan MBS/MFS, Resistensi Insektisida, Entomologi dan
bidan). lain-lain)
8. Menyediakan sarana dan prasarana dalam upaya 13. Melakukan pengadaan dan pendistribusian bahan
eliminasi malaria termasuk dalam antisipasi terjadinya dan alat, termasuk obat anti malaria dan insektisida.
KLB serta pendistribusiannya. 14. Menyiapkan Juru Malaria Desa dan kader posmal-
9. Memantau pelaksanaan Sistem Kewaspadaan Dini. des di desa-desa endemik terpencil dan tidak ter-
10. Memfasilitasi penanggulangan KLB, Dampak bencana jangkau pelayanan petugas kesehatan.
dan pengungsian di Provinsi dan Kabupaten/Kota. 15. Melaksanakan sosialisasi, advokasi dan asistensi
11. Mengembangkan jejaring Surveilans Epidemiologi dan bagi sector swasta, LSM, Organisasi Profesi, Civil
Sistem Informasi Malaria. Society, dan Organisasi lain yang terkait.
12. Melaksanakan monitoring efikasi obat dan resistensi 16. Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pelaporan
vektor. upayan eliminasi malaria dalam pencapaian status
13. Melaksanakan monitoring, evaluasi dan pelaporan eliminasi di wilayahnya.
upaya eliminasi malaria dalam pencapaian status 17. Mengalokasikan Anggaran Program Eliminasi
eliminasi di wilayah kabupaten/kota dalam wilayahnya. Malaria dalam APBD Kabupaten/Kota.
14. Mengalokasikan Anggaran Program Eliminasi Malaria 18. Menyampaikan laporan tahunan dan berkala tentang
dalam APBD Provinsi. pelaksanaan dan pencapaian program eliminasi
15. Menyampaikan laporan tahunan dan berkala tentang malaria di wilayah kabupaten/kota kepada Gubernur.
pelaksanaan dan pencapaian program eliminasi
malaria di wilayah provinsi kepada Menteri Kesehatan
Republik Indonesia melalui Dirjen PP dan PL. Pemerintah daerah dalam melaksanakan kegiatannya
16. Melaksanakan koordinasi dan kerjasama dengan didaerah perlu memperhatikan hal hal sebagai berikut:
1. Kepmenkes Nomor 293/MENKES/SK/IV/2009
daerah lain dalam mendukung eliminasi malaria.
tentang Eliminasi Malaria di Indonesia.
2. Meningkatkan koordinasi antara Kementerian
Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota Kesehatan dengan Pemda Provinsi dan Kabupaten/
Kota serta Dinas Instansi terkait.
1. Menyusun prosedur standar operasional eliminasi 3. Mendukung pembiayaan program eliminasi malaria
malaria di wilayah kabuapten/kota dalam suatu di daerah dalam APBD secara proporsional.
komitmen yang dituangkan dalam perundangan 4. Perlu dilaksanakan program Monev melalui Kepala
daerah. Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota.
2. Melaksanakan kegiatan eliminasi malaria. 5. Melaporkan perkembangan pelaksanaan program
3. Menggerakkan potensi Sumber Daya (manusia, dan kegiatan eliminasi malaria tersebut secara
anggaran, sarana dan prasarana serta dukungan berkala kepada Menteri Dalam Negeri c.q. Ditjen
lainnya) dalam melaksanakan eliminasi malaria. Otda dan Menteri Kesehatan c.q. Ditjen P2PL.

19 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


OPINI

Pengalaman, tantangan dan tindak lanjut menuju elimi-  Batam-Rempang-Galang-Bintan-Karimun


nasi malaria di Indonesia (Barelang Binkar): Kegiatan yang dilakukan meliputi
kegiatan yang selama ini masih dilakukan di Jawa -
Pengalaman dalam pembasmian malaria 1955-1969
didunia: Bali dengan melibatkan sektor swasta dan sektor
Berdasarkan pengalaman dalam melaksanakan pem- pemerintah lainnya di kabupaten antara lain pekerjaan
umum, Bappeda Kabupaten dan parawisata dalam
basimian malaria maka dunia telah berhasil mengeliminasi
malaria dibanyak negara di benua Eropa, Amerika, bekerjasama melakukan eliminasi malaria.Kegiatan
penemuan penderita dengan menggunakan tenaga
Australia, Timur Tengah dan Asia melalui kegiatan yang
teroganisir secara nasional dengan cakupan pencegahan Juru Malaria Desa/Lingkungan (JMD/L) baik secara
dan pengobatan yang tinggi dan dilakukan secara ber- aktif dan pasif serta penyemprotan rumah.
tahap sesuai dengan tahap persiapan, penyerangan,
konsolidasi dan pemeliharaan yang diikuti dengan pembe-  Kepulauan seribu DKI Jakarta: Kegiatan yang dila-
rian sertifikat bagi negara yang telah dinyatakan bebas. kukan meliputi kegiatan penemuan penderita aktif dan
pasif dengan memanfaatkan tenaga kesehatan yang
Namun kegiatan pembasmian akirnya digantikan dengan ada yang tersebar diberbagai pulau kecil di Kepu-
pemberantasan akibat masalah teknis, administraitif, lauan seribu. Disamping itu melakukan upaya pen-
socio-economic, keuangan dan politik yang mempengaruhi yemprotan rumah dan perbaikan lingkungan dan
status kesehatan di-negara2 berkembang dengan pelaya- modifikasi lingkungan yang dilakukan diwilayah di-
nan dasar kesehatan yang kurang memadai serta mana terdapat sumber sarang nyamuk malaria yang
kurangnya tenaga yang terlatih. telah dipetakan sebelumnya. Pemerintah juga
mengembangkan upaya pengamatan penduduk yang
Masalah tersebut diatas antara lain akibat: bermigrasi baik secara formal dan informal seperti
 Berkurangnya bantuan luar-negeri secara mendadak nelayan dsb. Saat ini di DKI Jakarta sudah tidak dite-
yang diikuti dengan terjadinya krisis energi dan eko- mukan lagi kasus malaria dengan penularan setem-
nomi. pat. Sehingga DKI Jakarta telah memasuki tahap
 Meningkatnya harga insektisida dan berkembangnya Eliminasi malaria.
resistan vektor malaria terhadap DDT dan
organochlorine lainnya.  Kota Sabang: Sabang merupakan wilayah endemis
 Meningkatnya resistan Plasmodium falsiparum terha- malaria sebelum terjadinya Tsunami dan menjadi
dap obat anti malaria yang ada. stigma dalam masyarakat bahwa Sabang adalah
daerah endemis tinggi malaria. Setelah bencana Tsu-
Pengalaman pengendalian menuju eliminasi malaria di nami tahun 2004 telah dilakukan intensifikasi kegiatan
Indonesia: pengendalian malaria di Sabang dengan pendduk
 Jawa-Bali: Kegiatan di Jawa Bali sejak Komando 30.000 jiwa. Upaya yang dilakukan meliputi pene-
Pembasmian Malaria (KOPEM) masih tetap memper- muan penderita aktif dan pasif dengan IRS dan ke-
tahankan infrastrukture pembasmian malaria antara lambu berinsektisida dengan melibatkan Institute
lain kegiatan penemuan kasus aktif dan pasif serta penelitian untuk mendukung penyediaan informasi
pengobatan masal penderita demam yng dilakukan dan bukti. Jumlah kasus menurun secara bermakna
tenaga Juru Malaria Desa (JMD) dan penyemprotan dari 2.368 kasus positif malaria tahun 2004 menjadi
rumah. Di wilayah ini upaya pengendalian malaria kurang dari 100 kasus dalam tahun 2009. Sabang
diprioritaskan pada desa-desa focus tinggi malaria telah mencanangkan untuk eliminasi Malaria tahun
yang dikenal dengan desa high case incidence (HCI) 2013.
dimana jumlah Annual Parasite Incidence (API) lebih
 Halmahera Selatan: Halmahera Selatan merupakan
dari 5 kasus per 1000 penduduk. Desa lainnya adalah
daerah dengan kasus malaria yang tinggi di Propinsi
desa Moderate Case Incidence (MCI) dimana API
Maluku Utara. Walaupun belum melakukan eliminasi
antara 1-5 kasus per 1000 penduduk dan Low Case
dengan kegiatan penemuan aktif dan pasif namun
Incidence (LCI) dimana API dibawah 1 kasus per
upaya pemberdayaan masyarakat melalui Partisipa-
1000 penduduk. Kegiatan tersebut bias memper-
tory Learning and Action (PLA) yg didukung pemerin-
tahankan jumlah kasus malaria yang rendah di Jawa-
tah Kabupaten telah memberikan contoh yang baik
Bali walaupun beberapa Kejadian Luar Biasa mere-
untuk melakukan upaya pemberdayaan masyarakat
bak akibat krisis ekonomi dunia yang mempengaruhi
menuju eliminasi malaria di daerah yang sesuai.
Indonesia ditahun 1996-1999 dimana jumlah kasus
malaria yang meningkat sangat tinggi di kawasan
Bukit Menoreh dan Banjarnegara.

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 20


OPINI

Pemberdayaan Masyarakat melalui PLA di Halmahera Selatan:

Tantangan eliminasi malaria di Indonesia:  Indonesia berbatasan dengan negara2 yang mempu
Beberapa tantangan untuk mencapai eliminasi malaria di nyai tingkat endemisitas malaria yang tinggi antara
Indonesia tahun 2030 sebagai berikut: lain Timor Leste dan Papua New Guinea.
 Adanya perbedaan tingkat endemisitas malaria di
Indonesia yang sangat bervariasi mulai dari yang
tinggi tingkat endemisitas sampai dengan tak adanya Tindak lanjut menuju eliminasi malaria di Indonesia:
penularan malaria yang tersebar menurut kabupaten, Dalam menuju eliminasi tahun 2030 diperlukan semua
kecamatan dan desa bahkan sampai ke dusun dan wilayah Kabupaten dan Kota dengan penularan malaria
satuan terkecil masyarakat di pedesaan/kelurahan. dapat bergerak bersama sama menyelesaikan permasala-
han malaria diwilayahnya sesuai dengan tahapan yang
 Tersedianya nyamuk penular malaria yang cukup
ada. Untuk itu diperlukan tindak lanjut sebagai berikut:
banyak baik yang dipengaruhi sesuai habitat Asia,
Australia dan berada diantara kedua kawasan terse-  Pelatihan tenaga di Propinsi untuk melakukan pe-
but. metaan tahapan eliminasi di Kabupaten/Kota
 Infrastuktur kesehatan yang masih belum merata  Melakukan pemetaan Kabupaten/kota untuk mengeta-
diberbagai daerah terutama di daerah yang sangat hui status dalam tahapan eliminasi.
terpencil dipedalaman maupun yang berada di kepu-  Komitmen daerah dalam pelaksanaan tahapan taha-
lauan terpencil. pan pengendalian malaria di Kabupaten secara
 Tingkat kemampuan daerah dalam pembiayaan kese- berkesinambungan.
hatan yang sangat berbeda menurut kemampuan  Komitmen yang menyangkut kebijakan daerah yang
sumberdaya alam di masing masing wilayah. mendukung, perencanaan, alokasi penganggaran,
 Sumberdaya tenaga kesehatan yang tersedia dan dukungan legislasi dan pengawasan, dukungan
ketrampilannya dalam mengelola program dan ke- swasta dan partisipasi masyarakat.
mampuan teknis guna mengeliminasi malaria.
 Dukungan penelitian guna menopang kegiatan elimi-
nasi malaria yang masih lebih banyak berada di kawa-
san barat Indonesia.
 Dukungan peraturan perundang-undangan menuju
eliminasi yang masih terbatas dalam mengarahakan
masyarakat untuk berperilaku mendukung upaya
eliminasi malaria di Indonesia.
 Perpindahan penduduk yang cukup tinggi antar
daerah dan antar pulau yang mengakibatkan pengen-
dalian malaria perlu lebih waspada tentang jalur per-
pindahan penduduk tersebut.

21 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


OPINI

DAFTAR PUSTAKA
1. Laporan tahunan Direktorat PPBB tahun 2006, Direkorat PPBB, Depkes, 2007
2. Scalling Up LLIN for Prevention in Eastern Indonesia, Proposal Round Seven, Global Fund against TB, AIDS, Malaria,
2007
3. Pedoman Program Nasional Pengendaliaan Malaria di Indonesia (2007–2029), Direktorat Penegendalian Penyakit
Bersumber Binatang, Ditjen PP & LP, 2007
4. Bruce-Chwatt’s, Essential Malariology, third edition
5. First Annual Public Health Forum, Malaria –Waiting for the Vaccine, 1991, London School for Hygiene and Tropical
Medicine.
6. Emilio Pampana, Malaria Eradication, 1969
7. Drs. Faebuadodo Hia, M.Si, Kasubdit Lingkup IV Dit. UPD Ditjen Otda, Depdagri, Peran Pemerintah Daerah dalam Elimi-
nasi Malaria, Palangkaraya, 19 Agustus 2010.
8. Keputusan Menteri Kesehatan RI, no 293/MENKES/SK/IV/2009, Eliminasi Malaria di Indonesia, 28 April 2009.

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 22


TULISAN TERKAIT TOPIK

M
alaria masih merupakan penyakit infeksi yang resistensi dan mencegah timbulnya resistensi terhadap obat
menjadi perhatian WHO untuk dapat dilakukan primernya. Penggunaan artemisinin dipakai juga pada ma-
eradikasi disamping tuberkulosis dan HIV/AIDS. laria berat yaitu dengan menggunakan artesunate intra-
Sebagian besar daerah di Indonesia masih me- vena. Dengan tatalaksana baru malaria ini diharapkan akan
rupakan daerah endemik infeksi malaria, Indonesia bagian mendukung program pemerintah cq Kementerian Kese-
timur seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, hatan untuk melakukan eliminasi malaria dari bumi Indone-
Kalimantan dan bahkan beberapa daerah di Sumatra sia. Pengobatan yang dianjurkan ialah pengobatan yang
seperti Lampung, Bengkulu, Riau. Daerah di Jawa dan Bali efektif, radikal, membunuh semua stadium parasit yang ada
pun walaupun endemitas sudah sangat rendah, masih ser- di dalam tubuh. Tujuan pengobatan ini ialah penyembuhan
ing dijumpai letupan kasus klinis, parasitologik dan memu-
malaria, dan tentu saja hal ini tuskan rantai penularan.
disebabkan mudahnya trans-
portasi untuk mobilisasi pen- TATA LAKSANA KASUS MA-
duduk,sehingga sering menye- LARIA RINGAN/ TANPA
babkan timbulnya malaria im- KOMPLIKASI :
port. Perkembangan resistensi
pengobatan malaria terhadap Tatalaksana kasus malaria untuk
obat konvensional seperti plasmodium (P) falsiparum dan
klorokuin dan sulfadoksin- P.vivax pada dasarnya sama
pirimetamin telah melampaui yaitu memakai obat golongan
batas toleransi sehingga perlu ACT, perbedaan terjadi pada
diambil langkah-langkah baru pengobatan radikal, yaitu pe-
dalam pengobatan malaria. makaian primakuin pada P. fal-
Laporan resistensi pengobatan siparum dengan primakuin 45 mg/
malaria terhadap obat lama hari sebagai dosis tunggal dan
(klorokuin, sulfadoksin - pada P.vivaks primakuin dipakai
pirimetamin dan kina) dalam 10 dosis 15 mg ( 1 tablet) tiap hari
tahun terakhir memang meng- selama 14 hari.
kawatirkan, dimana terjadi lebih
dari 25% propinsi di Indonesia. Keadaan ini menyebabkan ACT yang tersedia di Indonesia ialah :
Kementerian Kesehatan melalui pertemuan- pertemuan  Kombinasi Artesunate + Amodiakuin ( AS+AQ)
komisi ahli (KOMLI) malaria telah mengambil keputusan
untuk merubah strategi pengobatan malaria yakni dengan
 Kombinasi Artemether – Lumefantrine (AL)
penggunaan obat ACT (artemisinin base combination treat-  Kombinasi Dihydroartemisinin- Piperaquine (DHP )
ment). Hal ini seirama dengan pedoman WHO dimana se- Contoh penggunaan ACT (AS+AQ) pada malaria ringan/
cara global pengobatan malaria sudah dianjurkan untuk tanpa komplikasi. Artesunate + Amodiakuin ( 1 tablet ar-
berubah dengan penggunaan obat ACT. Seperti pada pen- tesunate 50 mg dan 1 tablet amodiakuin 200 mg (~ 153 mg
gobatan penyakit infeksi pada umumnya, kecenderungan basa). Dosis artesunate ialah 4 mg/kg BB/hari selama 3 hari
penggunaan obat kombinasi semakin kuat dalam mengatasi dan dosis amodiakuin ialah 10 mg/kg BB/hari selama 3 hari.

23 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TULISAN TERKAIT TOPIK

Tabel 1 . Penggunaan Menurut Umur Dengan ACT ( AS+AQ)

Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur


Hari Dosis tunggal 0–1 2 – 11 1-4 5-9 10 - 14 > 15
bulan bulan tahun tahun tahun tahun
1 Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
Fal: Primakuin -- -- ¾ 1½ 2 2-3
2 Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
3 Artesunate ¼ ½ 1 2 3 4
Amodiakuin ¼ ½ 1 2 3 4
1-14 Vivaks: - - ¼ ½ ¾ 1
Primakuin
AS+AQ efektif untuk P.falsiparum dan P.Vivax, hanya pada beberapa daerah telah dilaporkan
kegagalan yang tinggi (> 20%) seperti di Papua, Lampung, Sulawesi Utara, Nusatenggara.

Obat ACT yang lain ialah kombinasi Artemeter-lumefantrine (Coartem). Merupakan kombinasi tetap ( fixed dose combination ),
dapat dipakai untuk malaria falsiparum dan malaria vivaks. Studi di Papua respon terhadap vivaks lebih rendah dibanding
kombinasi lainnya. Adapun dosis Coartem seperti pada tabel 2.

Tabel 2. Dosis penggunaan artemeter-lumefantrine (A-L)


Jenis obat Umur < 3 tahun > 3 - 8 tahun > 9 – 14 th > 14 th
Hari Berat Badan (Kg) Jam 5 – 14 kg 15 – 24 kg 25 – 34 kg > 34 kg
1 A-L 0 jam 1 2 3 4
A-L 8 jam 1 2 3 4
Falc: Primakuin 12 jam ¾ 1½ 2 2-3
2 A-L 24 jam 1 2 3 4
A-L 36 jam 1 2 3 4
3 A-L 48 jam 1 2 3 4
A-L 60 jam 1 2 3 4
H Vivaks : ¼ ½ ¾ 1
1-14 Primakuin

AL merupakan ACT yang disiapkan untuk sektor swasta sehingga obat ini tidak tersedia sebagai
obat program departemen kesehatan. AL, berisi Artemeter 20 mg dan lumefantrine 120 mg.

ACT yang relatif baru yaitu dihydroartemisinin + piperakuin (DHP). Kombinasi ini dipilih untuk mengatasi kegagalan kombinasi
sebelumnya yaitu artesunate + amodiakuin. Obat ini efektif untuk P. Falsiparum dan P.vivax, merupakan ACT yang dikemas
secara FDC dan diberikan sebagai dosis tunggal selama 3 hari. Obat ini disiapkan untuk program dan dipakai di Puskesmas/
RS pemerintah. Adapun dosisnya seperti pada table 3.

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 24


TULISAN TERKAIT TOPIK

Tabel 3. Dosis Pengobatan DHP Pada Malaria Falsiparum

Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur


Hari Dosis tung- 0-1 >1-11 1-4 5- 9 10 - 14 > 15
gal bulan bulan tahun tahun tahun tahun
H1-3 DHP ¼ ½ 1 1½ 2 3-4
Falc: H1 Primakuin - - ¾ 1½ 2 2-3
Vivaks: Primakuin - - ¼ ½ ¾ 1
H1-14
Dihydroartemisinin : 2-4 mg/kg BB
Piperakuin : 16-32 mg/kg BB
Primakuin : 0.75 mg/kgBB

Pemantauan (Follow – up) pengobatan malaria :


Penderita perlu diperiksa sediaan darah untuk malaria pada hari ke 2, 3 dan hari 7, 14, 21 dan 28. Bila penderita rawat jalan
dan tidak memungkinkan kembali hari ke-2 (48 jam setelah mulai pengobatan), boleh datang hari ke-3. Penderita yang terma-
suk gagal pengobatan dini ataupun kasep harus diberikan pengobatan yang lain. Dikatakan gagal pengobatan, bila terdapat
salah satu/lebih kriteria berikut (WHO, 2003) :
a. Gagal pengobatan dini (early treatment failure) : didefinisikan sebagai berkembangnya menjadi 1 atau lebih kondisi beri-
kut ini pada 3 hari pertama :
 Parasitemia dengan komplikasi klinis malaria berat pada hari 1, 2, 3.
 Parasitemia pada hari ke 2 > hari 0.
 Parasitemia pada hari ke 3 (>25 % dari hari 0)
 Parasitemia pada hari ke 3 masih positif + suhu aksila > 37,5 o C.
b. Gagal pengobatan kasep (late treatment failure) : didefinisikan sebagai berkembangnya menjadi 1 atau lebih kondisi
berikut ini antara hari ke 4 s/d ke 28, dan dibagi dalam 2 sub grup :
Late Clinical (and Parasitological) Failure (LCF) :
 Parasitemia (spesies sama dengan hari ke 0) dengan komplikasi malaria berat setelah hari ke 3.
 Suhu aksila > 37,5 o C disertai parasitemia antara hari ke 4 s/d ke 28.
Late Parasitological Failure (LPF) :
Ditemukan parasitemia (spesies sama dengan hari ke 0) pada hari ke 7 sampai hari 28 tanpa disertai peningkatan suhu
aksila < 37,5 oC.
Catatan :
Bila SD negatif dan masih ada gejala diberi pengobatan simptomatik dan ini tidak termasuk kegagalan pengobatan.
Bila terjadi kegagalan pada pengobatan ACT ( lini I ), diberikan pengobatan dengan ACT lain yang lebih efektif atau lini II yang
terdiri dari kombinasi Kina + Doksisiklin atau Tetrasiklin + Primakuin. Doksisiklin 1 tablet 100 mg dosis 3 – 5 mg/kg BB satu kali
sehari selama 7 hari, dan tetrasiklin 250 mg ( dosis 4 mg/kg BB) 4 x sehari. Untuk wanita hamil dan anak dibawah 11 tahum
TIDAK boleh memakai doksisiklin/ tetrasiklin dan menggunakan clindamycin 10 mg/kgBB 2 x sehari selama 7 hari

25 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TULISAN TERKAIT TOPIK

Tabel 4. Pengobatan lini II ( bila gagal pengobatan ACT/ lini I ) :

Jenis obat Jumlah tablet menurut kelompok umur


Hari Dosis tunggal 0 - 11 1-4 5- 9 10 - 14 tahun > 15
bulan tahun tahun tahun
1 Kina *) 3x½ 3x1 3x1½ 3 x (2-3)
Doksisiklin -- -- -- 2 x 50 mg 2 x 100 mg
Fal :Primakuin - ¾ 1½ 2 2–3
2-7 Kina *) 3x½ 3x1 3x1½ 3x2
Doksisiklin -- -- -- 2 x 50 mg 2 x 100 mg
Dosis TETRASIKLIN -- -- -- 4x4 mg/kg BB 4 x 250 mg
Dosis CLINDAMYCIN -- -- -- 2x10 mg/kg BB 2x10 mg/kg BB
Keterangan :
Primakuin tidak boleh diberikan pada bayi dan ibu hamil.
Perhitungan dosis berdasarkan berat badan : Primakuin : 0,75 mg/KgBB / dosis tunggal untuk malaria
falsiparum, dan 0.25 mg/kg BB/ hari selama 14 hari untuk malaria vivaks.

TATALAKSANA KASUS MALARIA BERAT bunuh parasit yang cepat dan menetap ii) efektif terhadap
parasit yang resisten, iii) memberikan perbaikan klinis yang
Malaria berat merupakan komplikasi dari infeksi malaria cepat, iv) menurunkan gametosit, v) bekerja pada semua
yang sering menimbulkan kematian. Faktor yang menye- bentuk parasit baik pada bentuk tropozoit dan schizont
babkan perlangsungan menjadi berat ataupun kematian maupun bentuk-bentuk lain, vi) untuk pemakaian
ialah keterlambatan diagnosis, mis-diagnosis (salah diag- monoterapi perlu lama pengobatan 7 hari. Artemisinin juga
nose ) dan penanganan yang salah/ tidak tepat/ terlambat. menghambat metabolisme parasit lebih cepat dari obat
Perubahan yang besar dalam penanganan malaria berat antimalaria lainnya. Ada 3 jenis artemisinin yang di per-
ialah pemakaian artesunate intravena untuk menurunkan gunakan parenteral untuk malaria berat yaitu artesunate,
mortalitas 34% dibandingkan dengan penggunaan kina. artemeter dan arteether. Artesunate lebih superior diband-
Pengobatan malaria berat secara garis besar terdiri atas 3 ingkan artemeter dan artemotil. Pada studi SEQUAMAT,
komponen penting yaitu : artesunate telah dibandingkan dengan kina HCl, artesunate
menurunkan mortalitas 34.7%.
1. Pengobatan spesifik dengan kemoterapi anti malaria.
2. Pengobatan supportif (termasuk perawatan umum dan a) Pemberian OAM (Obat Anti Malaria) secara parenteral :
pengobatan simptomatik) i) ARTESUNATE INJEKSI ( 1 flacon = 60 mg), Dosis
3. Pengobatan terhadap komplikasi i.v 2,4 mg/kg BB/ kali pemberian.
(1) Pemberian intravenous : dilarutkan pada pela-
Pemberian obat anti malaria rutnya 1ml 5% bicarbonate dan diencerkan
Pemberian obat anti malaria(OAM) pada malaria berat ber- dengan 5-10 cc 5% dekstrose disuntikan bolus
beda dengan malaria biasa karena pada malaria berat intravena. Pemberian pada jam 0, 12 jam , 24
diperlukan daya membunuh parasit secara cepat dan ber- jam dan seterusnya tiap 24 jam sampai
tahan cukup lama di darah untuk segera menurunkan dera- penderita sadar. Dosis tiap kali pemberian 2,4
jat parasitemianya. Oleh karenanya dipilih pemakaian obat mg/kgBB. Bila sadar diganti dengan tablet
per parenteral ( intravena, per infus/ intra muskuler) yang artesunate oral 2 mg/kgBB sampai hari ke-7
berefek cepat dan kurang menyebabkan terjadinya resis- mulai pemberian parenteral. Untuk mencegah
tensi. rekrudensi dikombinasikan dengan doksisiklin 2
x 100 mg/hari selama 7 hari atau pada wanita
Derivat Artemisinin : hamil/ anak diberikan clindamisin 2 x 10 mg/kg
Merupakan obat baru yang berasal dari China (Qinghaosu) BB. Pada pemakaian artesunate TIDAK
yang memberikan efektivitas yang tinggi terhadap strain memerlukan penyesuaian dosis bila gagal
yang multi resisten. Artemisinin mempunyai kemampuan organ berlanjut. Obat lanjutan setelah
farmakologik sebagai berikut, yaitu : i) mempunyai daya parenteral dapat menggunakan obat ACT .

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 26


TULISAN TERKAIT TOPIK

(1) ARTEMETER i.m ( 1 ampul 80 mg ) Keputusan seorang dokter untuk menggunakan artesunate
 Diberikan atas indikasi : i.v pada malaria berat sudah berkonstribusi untuk menu-
(a) Tidak boleh pemberian intravena/ infus runkan angka kematian. Hal ini lebih nyata pada keadaan
(b) Tidak ada manifestasi perdarahan ( purpura keperparasitemia. Masalah berikutnya ialah penanganan
dsb) terhadap kegagalan fungsi organ yang sering ialah fungsi
(c) Pada malaria berat di RS perifer/ Puskesmas ginjal dan paru.
 Dosis artemeter : Hari I : 1,6 mg/kg BB tiap 12
jam, Hari-2 – 5 : 1,6 mg/kg BB.

TINDAKAN TERHADAP KOMPLIKASI


Manifestasi/ Komplikasi Tindakan awal
Coma (malaria serebral) Pertahankan oksigenasi, letakkan pada sisi tertentu, sampingkan penyebab
lain dari coma (hipoglikemi, stroke, sepsis, diabetes coma, uremia, gangguan
elektrolit ),hindari obat tak bermanfaat, intubasi bila perlu.
Hiperpireksia Turunkan suhu badan dengan kompress, fan, air condition, anti-piretika
Convulsi/kejang Pertahankan oksigenasi, pemberian anti-kejang iv/ per rectal diazepam, i.m.
paraldehyde
Hipoglikemia ( Gl darah < 40 Beri 50 ml dextrose 40% dan infus dextrose 10% smapai gula darah stabil,
mg%) cari penyebab hipoglikemia
Anemia berat ( Hb < 5 gr% atau Berikan transfusi darah darah segar, cari penyebab anemianya
PCV < 15% )
Edema Paru Akut , sesak Tidurkan 450, oksigenasi, berikan Furosemide 40 mg iv, perlambat cairan
nafas, resp > 35 x infus, intubasi-ventilation PEEP,
Gagal Ginjal Akut Kesampingkan gagal gijal pre-renal, bila dehidrasi à koreksi; bila gagal ginjal
renal segera dialysis
Perdarahan spontan/ Berikan vitamin K 10 mg/ hari selama 3 hari; transfusi darah segar; pastikan
koagulopati bukan DIC
Asidosis Metabolik Kesampingkan/ koreksi bila hipoglikemia, hipovolemia, septichaemia. Bila
perlu dialysis/ hemofiltrasi
Syok Pastikan tidakhipovolemia, cari tanda sepsis, berikan anti-biotika broad-
spektum yang adequat
Hiperparasitemia Segera anti malaria (artesunate), transfusi ganti (exchange transfusion)

Ringkasan :
Infeksi malaria masih merupakan masalah kesehatan yang mendapat penanganan prioritas secara nasional dan global untuk
dilakukan eliminasi. Salah satu strategi untuk eliminasi ialah penanganan/ pengobatan yang tepat dan efektif. Saat ini Depart.
Kesehatan telah mensosialisasikan pengobatan baru untuk malaria dengan penggunaan obat ACT ( Artemisinin base Combina-
tion Therapy). Ada 3 jenis ACT yang tersedia di Indonesia ialah kombinasi Artesunate + Amodiaquine, Artemether-
Lumefantrine dan Dihydroartemisinin- Piperakuin. Untuk pengobatan malaria berat di pakai artesunate injeksi secara intra-vena.

27 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TULISAN TERKAIT TOPIK

Daftar Pustaka :

1. ACCESS : ACT NOW. To get malaria treatment that works in Afrika.Medicine Sans Frontieres, 2003
2. Gasem MH et all : Therapeutic efficacy of combination Artesunate plus Amodiaquine for uncomplicated malaria in Banjar-
negara district, Central Java. Proceeding Symposium of Malaria Control in Indonesia. TDRC Airlangga University Sura-
baya, Novemver 29 – 30, 2004
3. Greenwood BM, Fidock DA, Kyle DE et all : Malaria : progress, perils, and prospects for eradication. Journal of Clin. In-
vest, 2008 ; 118 : 1266 – 1276.
4. Hasugian AR, Purba HL, Kenangalem E et all : Didydroartemisinin-piperaquine versus Artesunate-amodiaquine : superior
efficacy and posttreatment prophylaktis against multidrug-resistant Plasmodium falciparum and plasmodium vivax malaria.
Clin Infect Dis. 2007; 44(8): 1075-7.
5. Inge Sutanto : Penggunaan artesónate-amodiaquine sebagai obat pilihan malaria di Indonesia. Proceeding Symposium of
Malaria Control in Indonesia. TDRC Airlangga University Surabaya, Novemver 29 – 30, 2004
6. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, et all : Two fexd-dose artemisinin combinations for drug-resistant falciparum and
vivax malaria in Papua Indonesia : an open-label randomized comparison. Lancet 2007; 369(9563): 757-65,
7. RBM : ACT : the way forward for treating Malaria. http://www.rbm.who.int/cmc_upload/0/000/015/364/RBInfosheet_9.htm
8. South East Asian Quinine Artesunate Malaria Trial (SEAQUAMAT) Group. Artesunate versus quinine for treatment of
severe falciparum malaria : a randomized trial. Lancet 2005; 366: 717-725.
9. Warrell DA, Molyneux ME, Beales PF. Severe and complicated malaria. Trans R Soc Trop Med Hyg. 1990; 84 (suppl. 2):
1-65.
10. White NJ : Qinghaosu (Artemisinin): The Price of Success. Science, 2008 ; 320 : 330 - 334
11. WHO; Guidelinesfor the treatment Malaria. WHO Geneve 2006.
12. WHO; Guidelinesfor the treatment Malaria. Second edition WHO Geneve 2010
13. WHO : The Use of Artemisinin & its derivates as Anti-Malarial Drugs. Report of a joint CTD/DMP/TDR Informal Consulta-
tion, Geneve, 10 -12 June 1998
14. WHO : Antimalarial Drug Combination Therapy. Report of a WHO Technical Consultation. Geneve 4-5 April 2001

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 28


TULISAN TERKAIT TOPIK

1. Pendahuluan 2. Malaria pada Kehamilan


Malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat yang Diperkirakan diseluruh dunia terdapat 82,6 juta bayi lahir
penting dan mengenai hampir setengah dari seluruh pen- dari ibu yang berisiko terkena malaria falciparum dan/atau
duduk dunia [1]. Kondisi ini dikaitkan dengan morbiditas malaria vivax, dan 54,4 juta diantaranya terjadi di daerah
dan mortalitas yang tinggi [2] dan apabila mengenai ibu Asia-Pasifik [12]. Ibu hamil dengan malaria mempunyai
hamil, dapat berakibat buruk terhadap ibu dan janin nya risiko terkena anemia [13, 14] dan meninggal [15]. Bayi
[3]. berat badan lahir rendah (termasuk bayi prematur) meru-
pakan faktor risiko utama kematian bayi di daerah endemis
Malaria pada ibu hamil dihubungkan dengan risiko yang malaria [4, 14, 16]. Lihat juga gambar 1.
lebih tinggi untuk mengalami anemia (Hb < 11g/dl) atau
anemia berat (Hb < 7g/dl), mempunyai bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR), mengalami kelahiran prematur 2.1. Anemia maternal
dan kematian perinatal, semua kondisi ini memberikan Prevalensi anemia sedang dan berat pada ibu hamil den-
kontribusi terhadap tingginya angka kematian ibu dan bayi gan malaria di daerah dengan transmisi malaria tinggi
di daerah endemis malaria [3-6]. Selain itu, janin yang berkisar antara 1-20% [14], angka ini lebih rendah dari
terpapar parasit malaria dapat mengalami infeksi kongeni- angka kejadian anemia (35%) di daerah dengan en-
tal maupun mengalami modifikasi sistem imun terhadap demisitas sedang di perbatasan Thailand-Burma [13]. Hal
malaria yang akan mempengaruhi respons imun bayi ter- ini dapat dikaitkan dengan tingkat kekebalan yang lebih
hadap malaria dimasa 1-2 tahun pertama kehidupannya rendah (dan juga kemungkinan ada penyebab lain dari
[7]. anemia) dari ibu hamil yang tinggal di daerah tersebut.
Kondisi ini diperburuk oleh menyebarnya resistensi P. Anemia berat karena malaria merupakan penyebab kema-
falciparum terhadap klorokuin (Cq) dan sulfadoxine- tian maternal yang bermakna pada primigravida [15].
pyrimethamine (SP) [8-10] dan P. vivax terhadap klorokuin
[11] di daerah endemis malaria. Hal ini merupakan tantan- Selain pada infeksi falciparum, risiko terkena anemia juga
gan serius bagi efektifitas program penanggulangan ma- lebih tinggi pada ibu dengan malaria vivax dibandingkan
laria pada kehamilan. dengan ibu yang tidak mengalami malaria [6, 19, 20]. Hal
ini dapat dikaitkan dengan kejadian relaps dan infeksi
Berdasarkan hal tersebut diatas, artikel ini akan memba- berulang dari infeksi P. vivax [13, 21].
has dampak malaria pada kehamilan serta upaya penang-
gulangannya dikaitkan dengan tingginya angka resistensi 2.2. Efek malaria terhadap janin
parasit terhadap obat anti malaria lama (Cq dan SP). Hasil
penelitian kami di Timika (Papua) akan digunakan sebagai BBLR merupakan efek buruk akibat malaria dalam kehami-
contoh pengalaman di Indonesia. lan di semua tingkat endemisitas [13, 14, 17, 19, 22, 23].
Baik malaria falciparum maupun vivax dihubungkan den-
gan risiko yang lebih tinggi untuk mempunyai bayi dengan
berat lahir rendah [6, 13, 24].

1.Berat badan lahir < 2500 gram tanpa memperhatikan umur kehamilan. BBLR meliputi bayi dengan pertumbuhan Janin terhambat ataupun kelahiran premature.
2Kematian janin pada masa gestasi 22 minggu, atau berat janin 500 gr, sampai dengan 7 hari setelah lahir.

29 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TULISAN TERKAIT TOPIK

Patogenesis terjadinya efek buruk pada janin dihubungkan dengan malaria pada plasenta [5, 22, 24, 27]. Sedangkan
dengan insufisiensi plasenta akibat infeksi dan respons di daerah dimana baik P. falciparum dan P. vivax sama-
inflamasi sistemik. Terjadinya BBLR dihubungkan dengan sama prevalen, efek malaria terhadap prematuritas dan
terdapatnya obstruksi mekanik parasit malaria yang me- kematian perinatal dikaitkan dengan efek sistemik malaria,
nempel pada reseptor Chondroitin Sulphate A (CSA) di seperti panas dan anemia [4, 6, 18].
syncytiotrophoblast plasenta yang menyebabkan gang-
guan sirkulasi dari ibu ke janin [25] dan berdampak terha- Penelitian mengenai efek infeksi P. falciparum terhadap
dap transport oksigen dan nutrisi [26]. Selain itu respons kehamilan sudah banyak dilakukan sedangkan data men-
inflamasi terhadap malaria juga dapat menyebabkan penu- genai infeksi P. vivax masih terbatas, sementara itu diselu-
runan berat badan lahir. TNF (tumor necrosis factor) α, IFN ruh dunia terdapat 92 juta ibu hamil yang hidup didaerah
(interferon) γ dan IL (interleukin)-8 –T cells helper tipe 1– endemis P. vivax dengan 59 juta bayi baru lahir yang ber-
diketahui dapat menyebabkan vasodilatasi yang akan irisiko terkena efek samping malaria vivax pada kehamilan
mempengaruhi hemodinamika utero plasental dan penu- [12]. Pendapat terdahulu yang menganggap infeksi P.
runan perfusi darah ke plasenta dan janin nya [26]. vivax tidak berbahaya adalah tidak benar, karena P. vivax
dalam kehamilan juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
Didaerah dimana infeksi P. falciparum sangat prevalen, terkena anemia dan BBLR [6, 19, 20].
kelahiran prematur dan kematian perinatal dihubungkan

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 30


TULISAN TERKAIT TOPIK

3. Penanggulangan malaria pada kehamilan yai angka kegagalan yang tinggi untuk mengobati malaria
falciparum di Afrika dan di daerah Asia Pasifik [8-10]. Se-
Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan
mentara itu resistensi obat terhadap P. vivax malaria juga
tiga strategi penanggulangan malaria pada kehamilan
sudah menyebar [11]. Meskipun kina masih efektif untuk
yaitu: deteksi dini dan pengobatan malaria yang efektif,
digunakan sebagai antimalaria namun mengalami masalah
pencegahan malaria secara intermiten dengan mengguna-
dalam kepatuhan berobat, karena harus diminum selama 7
kan SP dan penggunaan kelambu berinsektisida [2, 28]}.
hari, 3 kali sehari [9]. Disamping itu, rasa pahit kina juga
Namun terdapat beberapa hal yang dapat mengurangi menghambat kepatuhan. Di Timika (Papua), angka kega-
efektifitas strategi ini. Pertama, semakin menyebarnya galan pengobatan malaria dengan menggunakan klorokuin
parasit yang resisten terhadap obat malaria lama (klorokuin dan SP dan kina tanpa supervisi adalah tinggi dengan
dan SP). Kedua, diagnosis malaria pada kehamilan adalah angka kegagalan pada hari ke 28 mencapai 65% setelah
sulit, karena parasit malaria dapat menempel semua di pengobatan malaria vivax dengan klorokuin dan 48% sete-
plasenta tanpa ditemukan parasit sama sekali di dalam lah menggunakan klorokuin dan SP untuk falciparum ma-
darah tepi [27, 29]. Terakhir, malaria tanpa gejala pada laria dan 67% setelah kina tanpa supervisi [9].
kehamilan dapat menyebabkan efek buruk pada ibu dan
Rekomendasi pengobatan malaria pada kehamilan teru-
janinnya [5, 6, 17].
tama berdasarkan pendapat ahli ataupun bukti yang terba-
Selain itu, sebagian besar penelitian mengenai program tas. Hal ini disebabkan karena pada penelitian obat, ibu
penanggulangan malaria terutama menyangkut infeksi P. hamil selalu dieksklusi. Sementara itu, karena kondisi ke-
falciparum. Sementara masih sedikit yang diketahui ten- hamilannya, sangat mungkin terdapat modifikasi dari far-
tang penanggulangan infeksi P. vivax. Perbedaan pato- makokinetik obat antimalaria sehingga dibutuhkan penye-
genesis dari kedua infeksi tersebut sangat memungkinkan suaian dosis [30]. Oleh sebab itu data klinis dan farmakoki-
untuk diperlukan pendekatan yang berbeda. netik obat antimalaria pada ibu hamil amat sangat diperlu-
kan [30]. Walaupun demikian mengingat dampak buruk
3.1. Deteksi dini dan pengobatan yang efektif malaria pada kehamilan, WHO tetap merekomendasikan
Deteksi dini dan pemberian obat antimalaria yang efektif penggunaan terapi kombinasi artemisinin (Artemisinin com-
akan mengurangi risiko efek buruk malaria pada kehamilan bination therapy) sebagai lini pertama untuk pengobatan P.
[8, 30]. Metoda pemeriksaan malaria dengan mikroskop falciparum dan P. vivax yang telah resisten klorokuin pada
merupakan cara yang paling banyak dipakai. Namun cara ibu hamil trimester kedua dan tiga [8].
ini membutuhkan tenaga mikroskopis yang berpengala-
man. Sebagai alternatif, Rapid Diagnostic Test (RDT) da- 3.2 Kelambu berinsektisida
pat digunakan pada tempat-tempat dengan sumber daya Penggunaan kelambu berinsekstisida pada ibu hamil di
dan fasilitas yang terbatas [31]. Afrika adalah efektif untuk mengurangi kejadian malaria
pada plasenta, malaria perifer pada semua kehamilan
Di daerah endemis malaria, seringkali semua parasit P.
serta penurunan angka kejadian BBLR, lahir mati dan
falciparum menempel di plasenta dan tidak ditemukan
keguguran pada kehamilan 1 sampai 4 saja [35]. Data
parasit dalam darah tepi sama sekali [27, 29]. Hasil peneli-
efikasi kelambu berinsektisida di Asia (daerah dengan
tian menunjukkan bahwa RDT yang mendeteksi antigen
transmisi P. falciparum dan P. vivax) masih sangat terba-
HRP-2 pada darah perifer adalah lebih sensitif untuk men-
tas. Penggunaan kelambu berinsektisida pada ibu hamil di
deteksi malaria falciparum pada plasenta (sensitivitas 80-
Asia dihubungkan dengan penurunan risiko mengalami
89%) [29, 32] jika dibandingkan dengan test yang mende-
lahir mati atau keguguran pada semua kehamilan namun
teksi enzim Lactate Dehydrogenase parasit (sensitivitas
tidak berefek terhadap BBLR [36].
38%) [33]. Dipihak lain, test untuk mendeteksi antigen HRP
-2 mempunyai keterbatasan dalam mendeteksi jumlah
3.3. Pencegahan malaria secara intermiten
parasit yang rendah (<100 parasites/mL) dengan sensitivi-
tas hanya 88% [34]. Sensitivitas RDT untuk mendeteksi Pencegahan malaria secara intermiten adalah memberikan
infeksi non falciparum malaria adalah sangat rendah (50- obat antimalaria dengan dosis kuratif tanpa melalui konfir-
52%) [34], sehingga mikroskopis masih merupakan pilihan masi dan diberikan dengan interval yang telah ditentukan
yang terbaik. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan [37].
RDT tetap lebih baik daripada tidak dilakukan deteksi ma-
laria sama sekali. Pemberian obat pencegahan malaria dapat dilakukan se-
cara mingguan ataupun intermittent. Di Perbatasan Thai-
Obat antimalaria pada kehamilan land dan Burma, profilaksis malaria mingguan pada ibu
Obat antimalaria yang lama, seperti Cq dan SP mempun- hamill

31 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


TULISAN TERKAIT TOPIK

hamil dengan menggunakan Mefloquine yang dimulai hamil tersebut, 70% diantaranya tidak mempunyai gejala
dalam masa kehamilan 20 minggu adalah efektif untuk sama sekali. Primigravida mempunyai risiko lebih tinggi
mencegah malaria falciparum dan vivax [38]. Hasil peneli- untuk terkena malaria (OR=1,3 [95%CI, 1,2-1,6],p<0,001),
tian di Kenya menunjukkan bahwa efektifitas pemberian namun multigravida pun mempunyai risiko yang hampir
SP secara mingguan ataupun intermitent adalah sama sama untuk terkena malaria.
efektif nya untuk mengurangi kejadian malaria plasenta
[39]. Oleh sebab itu untuk alasan kepraktisan WHO mere- Malaria pada kehamilan, walaupun tanpa gejala, dihubung-
komendasikan penggunaan satu dosis SP pada kehamilan kan dengan efek buruk pada ibu hamil dan juga janinya.
trimester dua dan satu dosis lagi pada awal trimester Malaria falciparum merupakan faktor risiko untuk terjadinya
ketiga untuk semua ibu hamil tanpa melihat paritas [40]. anemia berat (OR=2,8 [95%CI, 2,1-3,7], p<0,0001), se-
dangkan malaria vivax dihubungkan dengan anemia se-
Dalam kurun waktu 10 tahun setelah penggunaan dang (OR=1,5 [95%CI, 1,1-2,0], p=0,006 ). Baik infeksi P.
pencegahan malaria dengan menggunakan SP ditetapkan, falciparum (OR=2 [95%CI, 1,6-2,6], p<0.001) maupun P.
beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencegahan vivax (OR=1,5 [95%CI, 1,1-2,1], p=0,01) dihubungkan
dengan SP adalah efektif untuk mengurangi risiko malaria dengan risiko mempunyai bayi dengan berat lahir rendah.
plasenta dan/atau BBLR [39, 41]. Namun, dengan ting- Malaria dalam kehamilan merupakan faktor risiko inde-
ginya resistensi terhadap SP, maka penggunaan SP dapat penden untuk terjadinya kelahiran prematur (AOR=1,4
sangat mengurangi efektifitas dari program [42]. Oleh se- [(95%CI, 1,1-1,7], p=0,005). Infeksi P. falciparum di-
bab itu perlu untuk segera dicari obat antimalaria alternatif hubungkan dengan risiko tinggi untuk mengalami kematian
yang dapat menggantikan SP [37]. perinatal (OR=2.9 [95%CI: 1.9-4.2], p<0.0001), demikian
juga ibu dengan anemia berat (OR=2.6 [95%CI,1.7-3.8],
p<0.0001). Kejadian malaria kongenital adalah 1%
4. Skrining malaria pada kehamilan dan pengobatan
(32/4268) dari kelahiran hidup.
yang efektif
Melihat hal tersebut diatas, malaria skrining atau deteksi Masalah resistensi obat yang tinggi di Timika, juga meru-
dini malaria pada kehamilan tanpa melihat gejala dan pem- pakan ancaman bagi kondisi kesehatan ibu hamil dengan
berian obat yang efektif merupakan pilihan terbaik yang malaria. Sampai bulan Maret 2006, pengobatan malaria
ada saat ini. Skrining malaria mingguan telah diterapkan di pada ibu pada kehamilan trimester 2 dan 3 di Timika masih
kamp pengungsi di perbatasan Thailand dan Burma dan menggunakan klorokuin dan kina. Berdasarkan hasil
terbukti dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penelitian efikasi obat malaria baru yang dilakukan di
malaria dalam kehamilan [13]. Namun pencegahan ming- Timika, maka mulai Maret 2006 protokol pengobatan ma-
guan dianggap kurang relevan dengan kebanyakan kondisi laria lini pertama diubah menjadi dihydroartemisinin
di daerah endemis malaria lain, sehingga perlu dipikirkan piperaquine (DHP, salah satu bentuk ACT) yang terbukti
untuk mencari interval pemeriksaan yang paling efektif. sangat efektif untuk mengobati baik malaria falciparum
Berikut adalah pengalaman penanganan malaria dalam maupun vivax [43]. Mengingat terbatasnya pilihan obat
kehamilan di Timika (Papua) dengan metode skrining ma- antimalaria, DHP juga direkomendasikan untuk pengo-
laria dan pengobatan malaria yang efektif bagi semua ibu batan malaria tanpa komplikasi pada ibu hamil trimester ke
hamil yang akan melahirkan di rumah sakit. dua dan tiga kehamilan. Sebagai informasi, Timika meru-
pakan tempat yang pertama di dunia yang menggunakan
Malaria dalam kehamilan di Timika: Peran deteksi dini DHP sebagai lini pertama pengobatan pada ibu hamil tri-
dan pengobatan yang efektif mester 2 dan 3.

Malaria pada ibu hamil dan bayi merupakan masalah kese- Selama periode observasi, kami mempunyai 1160 data
hatan di Timika, Papua. Baik ibu hamil dengan malaria pengobatan DHP terhadap ibu hamil dengan malaria, yang
falciparum maupun vivax, semuanya dihubungkan dengan mana 765 ibu hamil mendapatkan pengobatan malaria
efek buruk pada kehamilan. Mulai bulan April 2004 sampai saat dirawat di RSMM dan 395 ibu hamil mempunyai ri-
dengan September 2008, semua ibu hamil yang masuk wayat pengobatan malaria dengan DHP selama kehami-
dibagian kebidanan RS Mitra Masyarakat (RSMM) diambil lannya yang sekarang. Dari hasil pengamatan kami, peng-
data klinisnya serta diperiksa malaria dalam darahnya gunaan DHP tidak dihubungkan dengan peningkatan risiko
tanpa melihat gejala. efek samping yang merugikan kehamilan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi malaria Pada ibu hamil yang mendapatkan DHP saat dirawat di
pada ibu hamil dan melahirkan adalah tinggi (18%, RSMM, tidak didapatkan kematian neonatus pada 3 hari
808/4419) dan 60% disebabkan oleh P. falciparum, 32% P. pertama kehidupan (0/107) sementara angka kematian
vivax, 4,5% infeksi campuran dan 3,5% lain-lain. Dari ibu bayi pada ibu hamil yang mendapatkan kina oral tanpa

Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011 32


TULISAN TERKAIT TOPIK

supervisi adalah 6,5% (3/46), p=0,026. Selain itu, tidak Daftar Pustaka
didapatkan peningkatan risiko terjadinya malformasi kon- 1. WHO. World Malaria Report 2008. Geneva, 2008.
genital pada ibu dengan riwayat pengobatan DHP (IR=0 2. WHO. World Malaria Report 2009. Geneva, 2009.
[95%CI, 0-20]) selama kehamilan dibandingkan dengan ibu 3. Desai M, ter Kuile FO, Nosten F, et al. Epidemiology
dengan riwayat pengobatan dengan kina atau klorokuin and burden of malaria in pregnancy. Lancet Infect Dis
(IR=15 [95%CI, 0,4-80]), p=0,515. 2007 Feb;7(2):93-104.
Ibu dengan riwayat pengobatan malaria dengan kina mem- 4. Luxemburger C, McGready R, Kham A, et al. Effects of
punyai risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria saat malaria during pregnancy on infant mortality in an area
melahirkan (OR=2,7 [95%CI 1,94-3,76], p<0,001,) kema- of low malaria transmission. Am J Epidemiol 2001 Sep
tian perinatal (OR=3,25 [95%CI 1,20-8,78], p=0,020) dan 1;154(5):459-65.
malaria kongenital (OR=15,88 [95%CI, 2,19-324,32], 5. van Geertruyden JP, Thomas F, Erhart A, D'Alessan-
p=0,001) jika dibandingkan dengan ibu dengan riwayat dro U. The contribution of malaria in pregnancy to peri-
pengobatan dengan DHP selama kehamilan. natal mortality. Am J Trop Med Hyg 2004 Aug;71(2
Suppl):35-40.
6. Poespoprodjo JR, Fobia W, Kenangalem E, et al. Ad-
5. Kesimpulan dan Saran verse pregnancy outcomes in an area where multidrug-
1. Malaria dalam kehamilan merupakan masalah kese- resistant plasmodium vivax and Plasmodium falcipa-
hatan yang serius dan dihubungkan dengan tingginya rum infections are endemic. Clin Infect Dis 2008 May
angka kematian ibu dan bayi didaerah endemis ma- 1;46(9):1374-81.
laria. Strategi penanggulangan malaria dalam kehami- 7. Brabin BJ. Congenital malaria--a recurrent problem.
lan yang ideal adalah disesuaikan dengan tingkat Ann Trop Paediatr 2007 Jun;27(2):95-8.
endemisitas dan kondisi epidemiologis masing-masing 8. WHO. Guidelines for the treatment of malaria. Geneva,
daerah. 2006.
2. Sesuai rekomendasi WHO, deteksi dini dan pengo- 9. Ratcliff A, Siswantoro H, Kenangalem E, et al. Thera-
peutic response of multidrug-resistant Plasmodium
batan yang efektif berarti adalah menggunakan ACT
falciparum and P. vivax to chloroquine and sulfadoxine-
untuk mengobati malaria tanpa komplikasi dan peng-
pyrimethamine in southern Papua, Indonesia. Trans R
gunaan artesunat intravena untuk menangani malaria
Soc Trop Med Hyg 2007 Apr;101(4):351-9.
berat pada ibu hamil trimester kedua dan tiga.
10. Wongsrichanalai C, Pickard AL, Wernsdorfer WH,
3. Tingginya resistensi parasit terhadap SP, membuat Meshnick SR. Epidemiology of drug-resistant malaria.
program pencegahan malaria dengan menggunakan Lancet Infect Dis 2002 Apr;2(4):209-18.
SP menjadi tidak efektif, sehingga skrining malaria 11. Baird JK, Schwartz E, Hoffman SL. Prevention and
intermiten dan pengobatan yang efektif merupakan treatment of vivax malaria. Curr Infect Dis Rep 2007
salah satu pilihan terbaik saat ini untuk menanggu- Jan;9(1):39-46.
langi malaria dalam kehamilan. 12. Dellicour S, Tatem AJ, Guerra CA, Snow RW, ter Kuile
4. Hasil penelitian kami di Timika menunjukkan bahwa FO. Quantifying the number of pregnancies at risk of
skrining malaria dengan mikroskopis pada setiap kon- malaria in 2007: a demographic study. PLoS Med
tak dengan ibu hamil dan memberikan pengobatan 2010;7(1):e1000221.
yang efektif dapat mengurangi risiko efek buruk ma- 13. Nosten F, ter Kuile F, Maelankirri L, Decludt B, White
laria dalam kehamilan. Ditempat dengan sumber daya NJ. Malaria during pregnancy in an area of unstable
yang terbatas, RDT (tes HRP-2 ataupun kombinasi endemicity. Trans R Soc Trop Med Hyg 1991 Jul-
dengan enzim aldolase untuk mendeteksi malaria non Aug;85(4):424-9.
falciparum) dapat dipakai sebagai alat skrining alter- 14. Steketee RW, Nahlen BL, Parise ME, Menendez C.
natif yang cukup sensitif terutama untuk mendeteksi The burden of malaria in pregnancy in malaria-endemic
malaria falciparum. areas. Am J Trop Med Hyg 2001 Jan-Feb;64(1-2
5. Untuk mencapai hasil yang optimal, masih perlu dikaji Suppl):28-35.
interval skrining yang paling efektif didaerah dengan 15. Brabin BJ, Hakimi M, Pelletier D. An analysis of anemia
sarana terbatas yang dapat mengurangi dampak bu- and pregnancy-related maternal mortality. J Nutr 2001
ruk malaria dalam kehamilan. Feb;131(2S-2):604S-14S; discussion 14S-15S.
16. Guyatt HL, Snow RW. Malaria in pregnancy as an indi-
rect cause of infant mortality in sub-Saharan Africa.
Trans R Soc Trop Med Hyg 2001 Nov-Dec;95(6):569-
76.
17. McGregor IA. Epidemiology, malaria and pregnancy.

33 Buletin Jendela DATA & INFORMASI KESEHATAN, Volume 1, TRIWULAN i 2011


Pedoman
Kesiapsiagaan Menghadapi
Middle East Respiratory Syndrome

MERS di INDONESIA

Cetakan Ketiga
Edisi Revisi
Tahun 2015

Kementerian Kesehatan RI
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2017
Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA a
Editor
dr. Elvieda Sariwati, M.Epid
dr. Nani Riskiyati, M.Kes

Kontributor
dr. Sigit Priohutomo, MPH
dr. Pompini Sp.P(K)
dr. Darmawan BS, Sp.A(K)
dr. Slamet, MHP
dr. Arie Bratasena
Martahan Sitorus, SKM,MPH
dr. Erlang Samoedro
dr. Sholah Imari, M.Sc
dr. Nadhirin
dr. Totok Hariyanto
dr. Zamhir Setiawan, M.Epid
dr. Ratna Budi Hapsari, MKM
dr. Benget Saragih, M.Epid
dr. Soitawati, M.Epid
dr. Suhesti Dumbela
dr. Dyan Sawitri
dr. Marlinggom Silitonga
dr. Endang Widuri Wulandari
dr. Rian Hermana
Gunawan Wahyu Nugroho, SKM, MKM
Dr. dr. Vivi Setiawaty, M. Biomed
Hana Apsari Pawestri, M.Sc
dr. Ni Ketut Susilarini, MS
dr. Krisna Nur Andriana P,MS
dr. Roselinda, M.epid
Prof. Mohammad Sudomo. PhD
Ahmat Fandil, ST
dr. Erlina Burhan Sp.P(K)
dr. Diah Handayani, Sp.P
dr. Heidi Agustin, Sp.P
dr. Sardikin Giriputro, Sp.P(K)
dr. Fauzi Mahfud, Sp.A

b Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


KATA PENGANTAR

Puji Syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat
rahmat dan karunianya, Pedoman Middle East Respiratory Syndrome
(MERS) edisi tahun 2013 selesai direvisi. Pedoman ini diharapkan menjadi
pedoman yang lebih ter-update dengan kondisi kekinian MERS.

Virus MERS adalah strain baru dari virus Corona yang belum pernah
dikenal oleh manusia. Virus ini mulai menyerang manusia di Arab Saudi
sejak bulan September 2012. Penyebaran Virus ini dari Arab Saudi ke Eropa
dan Asia dan masih memungkinkan tersebar ke benua yang lain.

Usaha untuk mencegah penyebaran virus tersebut dilakukan dengan


upaya kesiapsiagaan menghadapi pandemi, karena pencegahan dengan
vaksin dan terapi definitif untuk penyakit ini sampai tahun 2015 masih
belum ada, selain itu penularannya antar manusia begitu mudah melalui
kontak langsung dan tak langsung.

Walaupun sampai tahun 2015 tidak ada warga negara Indonesia di


wilayah Indonesia yang terkonfirmasi sebagai penderita MERS, namun masih
ada kemungkinan terjadinya penularan pada warga negara Indonesia saat
berada di negara terjangkit. Kelompok warga negara Indonesia yang berisiko
tinggi ini adalah Jamaah Haji (pada musim haji), jamaah umrah dan Tenaga
Kerja Indonesia (yang bisa masuk ke negara terjangkit sepanjang tahun).
Jumlah kuota haji yang mendekati angka 200.000 calon jamaah, merupakan
kelompok risiko tinggi untuk terpapar virus tersebut, namun pengawasannya
masih lebih mudah dibandingkan dengan jamaah umrah (mendekati angka
750.000 orang ) dan TKI.

Adanya Jamaah haji/umrah dan TKI yang merupakan kelompok


risiko tinggi karena berkunjung ke negara terjangkit MERS tersebut di atas
perlu disikapi dengan mempersiapkan upaya kesiapsiagaan dan respon
klinik berupa Pedoman Middle East Respiratory Syndrome (MERS) yang
memberikan pedoman dalam hal Kebijakan Pemerintah Republik Indonesia
dalam rangka Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi (MERS), Surveilans dan

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA i


Respon Kesiapsiagaan Menghadapi MERS, Tatalaksana Klinis Kesiapsiagaan
Menghadapi MERS, Kewaspadaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi,
Pedoman Pengambilan Spesimen dan Diagnostik Kesiapsiagaan Menghadapi
MERS dan Laboratorium.

Buku Pedoman Middle East Respiratory Syndrome (MERS) ini bersumber


dari peraturan perundangan tentang kesehatan dan adaptasi dari Pedoman
WHO untuk Kesiapsiagaan Menghadapi MERS.

Buku Pedoman MERS ini akan terus dikembangkan sesuai dengan


meningkatnya ilmu dan pengetahuan manusia tentang virus MERS.

Kepada semua pihak yang telah memberikan konstribusinya dalam


revisi pedoman ini, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
karena manfaat pedoman ini sangat besar sebagai acuan kesiapsiagaan
dan respon menghadapi kemungkinan penularan MERS pada warga negara
Indonesia.

Jakarta, November 2015

Direktorat Jenderal PP dan PL

dr. HM. Subuh, MPPM

ii Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................ 1


1.1. Latar Belakang ................................................................ 1
1.2. Tujuan ............................................................................. 2
1.3. Dasar Hukum .................................................................. 2
1.4. Ruang Lingkup ................................................................ 2

BAB 2 SURVEILANS DAN RESPONS ................................................... 3


2.1. Pengertian ....................................................................... 3
2.2. Surveilans ....................................................................... 6
2.3. Pencatatan dan Pelaporan ............................................... 33
2.4. Upaya Penguatan Kinerja Surveilans ............................... 37

BAB 3 MANAJEMEN KLINIS ISPA BERAT KASUS DALAM INVESTIGASI


MERS ....................................................................................... 39
3.1 Deteksi Dini dan Rujukan Kasus dalam Investigasi
MERS .............................................................................. 40
3.2 Tatalaksana pasien kasus dalam investigasi MERS
di RS Rujukan ................................................................. 46
3.3 Pengumpulan dan Pengambilan Sampel ........................... 47
3.4 Tatalaksana Gangguan Napas Berat,
Hipoksemia dan ARDS ..................................................... 48
3.5 Tatalaksana Syok Sepsis .................................................. 51
3.6 Pencegahan Komplikasi ................................................... 54

BAB 4 PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN INPEKSI ......................... 55


4.1 Prinsip Pencegahan Infeksi dan Strategi Pengendalian
Berkaitan dengan Pelayanan Kesehatan ........................... 56
4.2 Kewaspadaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi ........ 58
4.3 Perawatan di rumah, kasus dalam investigasi MERS ....... 64
4.4 Pemulasaran Jenazah ...................................................... 68

BAB 5 PENGAMBILAN, PENGEPAKAN, DAN PENGIRIMAN SPESIMEN 69


5.1 Pengambilan dan Pengiriman Spesimen ........................... 69
5.2 Pemeriksaan laboratorium ............................................... 75

Daftar Pustaka ......................................................................... 79
Lampiran ................................................................................. 87

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA iii


iv Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Middle East Respiratory Syndrome (MERS) adalah suatu subtipe baru


dari virus corona yang belum pernah ditemukan menginfeksi manusia
sebelumnya. Virus corona merupakan keluarga besar dari virus yang dapat
menimbulkan kesakitan maupun kematian pada manusia dan hewan. Virus
corona dapat menimbulkan kesakitan pada manusia dengan gejala ringan
sampai berat seperti selesma (common cold), Sindroma Saluran Pernapasan
Akut yang berat (SARS/ Severe Acute Respiratory Syndrome).

Beberapa negara di Timur Tengah telah melaporkan kasus infeksi MERS


pada manusia, antara lain Jordania, Qatar, Saudi Arabia, dan Uni Emirat
Arab. Beberapa kasus juga dilaporkan dari negara-negara di Eropa antara
lain Inggris, Perancis, Italia, dan Tunisia. Hampir semua kasus di Eropa
dan Tunisia mempunyai kesamaan yaitu timbulnya gejala penyakit setelah
melakukan perjalanan ke negara tertentu di Timur Tengah yang diikuti
dengan adanya penularan terbatas di lingkungan keluarga. Di samping itu
penularan MERS antar manusia juga terjadi di rumah sakit pada petugas
yang merawat kasus konfirmasi MERS. Namun demikian, sejauh ini belum
dapat dibuktikan adanya penularan yang berkelanjutan.

Berdasarkan data WHO, kasus MERS sebagian besar menunjukkan


tanda dan gejala pneumonia. Hanya satu kasus dengan gangguan kekebalan
tubuh (immuno compromised) yang gejala awalnya demam dan diare, berlanjut
pneumonia. Komplikasi kasus MERS adalah pneumonia berat dengan gagal
napas yang membutuhkan alat bantu napas non invasif atau invasif, Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dengan kegagalan multi-organ yaitu
gagal ginjal, Disseminated Intravascular Coagulopathy (DIC) dan perikarditis.
Beberapa kasus juga memiliki gejala gangguan gastrointestinal seperti diare.
Dari seluruh kasus konfirmasi, separuh diantaranya meninggal dunia.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 1


1.2. Tujuan

Umum : Menyelenggarakan kesiapsiagaan dalam menghadapi KLB/


wabah MERS di Indonesia

Khusus :
1.
Melaksanakan surveilans dan respon KLB/wabah
2.
Melaksanakan tatalaksana kasus sesuai standar
3.
Melakukan pengendalian infeksi
4.
Melakukan pemeriksaan laboratorium

1.3 Dasar Hukum


1.
UU No. 4 tahun 1984 pasal 1 Tentang Wabah Penyakit Menular
2.
PP No. 40 tahun 1991 pasal 7 Tentang Kejadian Luar Biasa (KLB)
3.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.1501/Menkes/PER/X/2010
Tentang Penetapan kondisi KLB dan Wabah
4.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.949/Menkes/SK/VIII/2004
Tentang SKD KLB
5.
Peraturan Menteri Kesehatan RI No.82 Tahun 2014 Tentang
Penyakit Menular

1.4 Ruang lingkup


Pedoman ini meliputi surveilans, tatalaksana kasus, pengendalian
infeksi dan laboratorium.

2 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


BAB II
SURVEILANS DAN RESPONS

2.1 Pengertian
2.1.1 Definisi Kasus MERS
Merujuk pada definisi kasus WHO, klasifikasi kasus MERS adalah
sebagai berikut :

2.1.1.1 Kasus dalam penyelidikan (under investigated case) *)


a. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)
dengan tiga keadaan di bawah ini:
• Demam (> 38OC) atau ada riwayat demam,
• Batuk,
• Pneumonia berdasarkan gejala klinis atau gambaran
radiologis yang membutuhkan perawatan di rumah sakit.
Perlu waspada pada pasien dengan gangguan sistem
kekebalan tubuh (immuno compromised) karena gejala dan
tanda tidak jelas.

DAN

salah satu kriteria berikut :

1) Seseorang yang memiliki riwayat perjalanan ke Timur


Tengah (negara terjangkit) dalam waktu 14 hari sebelum
sakit kecuali ditemukan etiologi/penyebab penyakit lain.

2) Adanya petugas kesehatan yang sakit dengan gejala sama


setelah merawat pasien ISPA berat (SARI / Severe Acute
Respiratory Infection), terutama pasien yang memerlukan
perawatan intensif, tanpa memperhatikan tempat tinggal
atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan etiologi/penyebab
penyakit lain.

3) Adanya klaster pneumonia (gejala penyakit yang sama)


dalam periode 14 hari, tanpa memperhatikan tempat tinggal

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 3


atau riwayat bepergian, kecuali ditemukan etiologi/penyebab
penyakit lain.

4) Adanya perburukan perjalanan klinis yang mendadak


meskipun dengan pengobatan yang tepat, tanpa
memperhatikan tempat tinggal atau riwayat bepergian,
kecuali ditemukan etiologi/penyebab penyakit lain.

b. Seseorang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA)


ringan sampai berat yang memiliki riwayat kontak erat dengan
kasus konfirmasi atau kasus probable infeksi MERS dalam
waktu 14 hari sebelum sakit

2.1.1.2 Kasus Probabel

a. Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan bukti klinis,


radiologis atau histopatologis
DAN
Adanya hubungan epidemiologis langsung dengan kasus
konfirmasi MERS.
DAN
Tidak tersedia pemeriksaan untuk MERS atau hasil
laboratoriumnya negatif pada satu kali pemeriksaan spesimen
yang tidak adekuat.

b. Seseorang dengan pneumonia atau ARDS dengan bukti klinis,


radiologis atau histopatologis
DAN
Adanya hubungan epidemiologis langsung dengan kasus
konfirmasi MERS dan/atau memiliki riwayat tinggal atau
berpergian dari negara terjangkit sejak 14 hari terakhir
DAN
Hasil pemeriksaan laboratorium inkonklusif (pemeriksaan
skrining hasilnya positif tanpa konfirmasi lebih lanjut).

4 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


2.1.1.3 Kasus Konfirmasi
Seseorang yang terinfeksi MERS dengan hasil pemeriksaan
laboratorium positif.

2.1.2 Klaster

adalah bila terdapat dua orang atau lebih memiliki penyakit yang
sama, dan mempunyai riwayat kontak yang sama dalam jangka waktu
14 hari. Kontak dapat terjadi pada keluarga atau rumah tangga, dan
berbagai tempat lain seperti rumah sakit, ruang kelas, tempat kerja,
barak militer, tempat rekreasi, dan lainnya.

2.1.3 Hubungan Epidemiologis Langsung

Adalah apabila dalam waktu 14 hari sebelum timbul sakit :

• Melakukan kontak fisik erat, yaitu seseorang yang kontak fisik atau
berada dalam ruangan atau berkunjung (bercakap-cakap dengan
radius 1 meter) dengan kasus probable atau konfirmasi ketika
kasus sedang sakit.

Termasuk kontak erat antara lain :

 Petugas kesehatan yang memeriksa, merawat, mengantar dan


membersihkan ruangan di tempat perawatan kasus

 Orang yang merawat atau menunggu kasus di ruangan

 Orang yang tinggal serumah dengan kasus

 Tamu yang berada dalam satu ruangan dengan kasus

• Bekerja bersama dalam jarak dekat atau di dalam satu ruangan

• Bepergian bersama dengan segala jenis alat angkut / kendaraan

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 5


2.1.4 Pneumonia yang Memerlukan Perawatan

Adalah seseorang yang didiagnosis oleh dokter pemeriksa sebagai


pneumonia yang memerlukan perawatan inap di rumah sakit.

2.2 Tujuan

Umum :
Deteksi dini kasus MERS untuk mencegah penyebaran yang lebih luas
Khusus :

• Mendeteksi kasus dan penularan berkelanjutan dari manusia ke


manusia.

• Mengetahui karakteristik epidemiologi, klinis dan virus penyakit

• Melakukan respons cepat terhadap kasus MERS dan populasi yang


berisiko

• Mengidentifikasi faktor risiko infeksi MERS

• Tersedianya informasi epidemiologi MERS sebagai dasar pengambilan


kebijakan.

• Memastikan tidak adanya transmisi virus MERS di Indonesia

2.3 Ruang Lingkup

Bab ini meliputi pendahuluan, pengertian, surveilans di pintu masuk,


surveilans di wilayah, penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan
KLB, jejaring surveilans, pencatatan dan pelaporan, upaya penguatan
kinerja surveilans serta penutup.

2.4 SURVEILANS

2.4.1 Surveilans di Pintu Masuk

Surveilans di pintu masuk dilakukan untuk mendeteksi dini dan


respons serta memastikan wilayah bandara, pelabuhan, bandara dan lintas
batas negara dalam keadaan tidak ada transmisi virus MERS.

6 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


2.4.1.1 Kewaspadaan

Kewaspadaan dilakukan terhadap dua hal yaitu waspada terhadap


kasus MERS yang masuk ke Indonesia untuk dilakukan deteksi dini dan
respons, serta waspada terhadap keamanan (transmisi virus MERS) wilayah
bandara, pelabuhan dan lintas batas negara (antar pengunjung, dari dan
ke petugas bandara serta keluarganya petugas, terutama petugas kesehatan
yang kontak dengan kasus).

Upaya kewaspadaan yang dilakukan antara lain :

a. Pemutakhiran informasi untuk mengetahui perkembangan penyakit


dari negara-negara lain melalui:
• Website WHO
(http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/en/index.html
untuk mengetahui negara terjangkit serta jumlah kasus dan
kematian.
• Sumber lain yang terpercaya misalnya web pemerintah/Kementerian
Kesehatan Kerajaan Saudi Arabia (www.moh.gov.sa/en/)
• Untuk musim haji, melakukan updating informasi kondisi
kesehatan jamaah haji di Arab Saudi melalui komunikasi telepon
dan akses Siskohat Kesehatan.

Kemudian disebarluaskan ke unit-unit terkait di otoritas bandara/


pelabuhan/PLBD melalui sirkulasi surat edaran dan ringkasan Weekly
Epidemiological Report (WER).

b. Mengidentifikasi faktor risiko yang memberi peluang terjadinya transmisi


virus MERS di bandara dan tindakan perbaikan (respons), misalnya
petugas tidak menggunakan masker , prosedur pemeriksaan pasien
dalam investigasi, sirkulasi udara ruangan pemeriksaan rentan (risiko
pada petugas) dan sebagainya. Kegiatan identifikasi dilakukan dengan
pengamatan visual, pemeriksaan fisik dan inspeksi ke unit pelayanan
kesehatan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 7


c. Mendeteksi adanya kasus dalam penyelidikan atau suspek infeksi MERS
di poliklinik.

Surveilans pasif dilakukan dengan,


-
menerima laporan penyakit dari pelayanan poliklinik
-
menerima notifikasi melalui telepon, SMS, WA, dan radio komunikasi

Surveilans aktif dengan melakukan poliklinik register kaji ulang secara


berkala khususnya terhadap pasien dengan gejala demam, batuk dan atau
pneumonia di antara petugas KKP atau otoritas bandara/pelabuhan/PLBD
dan operator/ agen alat angkut yang kontak dengan penumpang dari jazirah
Arab atau negara terjangkit.

Zero reporting
Zero reporting adalah pelaporan mingguan penyakit dari pelayanan
poliklinik ke KKP terhadap adanya kasus penyakit yang diwaspadai yaitu
penyakit yang berpotensi KLB dan Penyakit yang ditetapakan sebagai Public
Health Emergency of Internasional Concern (PHEIC).

2.4.1.2 Kesiapsiagaan
Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) melakukan kaji ulang secara
berkala atas kesiapan sistem surveilans di pintu masuk negara dalam
menghadapi kemungkinan masuknya infeksi MERS ke wilayah Indonesia.
Untuk kesiapsiagaan ada beberapa hal yang harus disiapkan yaitu peraturan,
pedoman, standar operasional prosedur, Tim Gerak Cepat, petugas terlatih,
sarana, logistik dan biaya.

Secara umum kesiapsiagaan tersebut meliputi:

1. Sumber Daya Manusia (SDM)

• Membentuk atau mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC) di wilayah


otoritas pintu masuk negara di pelabuhan laut/ udara/ lintas batas
darat. Tim terdiri atas petugas KKP, Imigrasi, Bea Cukai dan unit lain
yang relevan di wilayah otoritas pintu masuk negara yang memiliki
kompetensi yang diperlukan dalam pencegahan importasi penyakit.

8 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


• Peningkatan kapasitas SDM yang bertugas di pintu masuk negara
dalam kesiapsiagaan menghadapi MERS dengan melakukan table top
exercise dan simulasi penanggulangan MERS

• Meningkatkan kemampuan jejaring kerja lintas program dan lintas


sektor dengan semua unit otoritas di bandara/pelabuhan/PLBD
negara

2. Sarana dan Prasarana


Kesiapan sarana pelayanan kesehatan meliputi:
• Tersedianya ruang wawancara, dan ruang karantina untuk
tatalaksana penumpang. Jika tidak tersedia, maka menyiapkan
ruang yang dapat dimodifikasi dengan cepat untuk melakukan
tatalaksana penumpang sakit yang sifatnya sementara
• Memastikan alat transportasi (ambulans) yang dapat difungsikan
setiap saat untuk mengangkut/merujuk ke RS rujukan, adalah
rumah sakit tertinggi di provinsi masing-masing atau rumah sakit
yang ditunjuk.
• Memastikan fungsi alat deteksi dini dan alat penyehatan serta
ketersediaan bahan pendukung
• Memastikan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk
koordinasi dengan unit-unit terkait.
• Menyiapkan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang dibutuhkan
antara lain obat–obat suportif (life saving), alat kesehatan, APD, Health
Alert Card, dan melengkapi logistik, jika masih ada kekurangan.
• Menyiapkan media komunikasi risiko atau bahan KIE dan
menempatkan bahan KIE tersebut di lokasi yang tepat.
• Ketersediaan pedoman pengendalian MERS untuk petugas kesehatan,
termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana dan rujukan kasus.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 9


3. Pembiayaan
Pembiayaan yang diperlukan untuk surveilans di pintu masuk dalam
menghadapi MERS bersumber dari anggaran pemerintah dan anggaran
lain yang tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan yang berlaku.

2.4.1.3 Deteksi Dini


Deteksi dini dilakukan melalui pengawasan kedatangan terhadap
orang, barang dan alat angkut yang datang dari negara terjangkit.

2.4.1.3.1 Pengawasan terhadap orang :


• Pemberian Health Alert Card (HAC) bagi pelaku perjalanan dari
negara terjangkit.
• Untuk jamaah haji yang kembali dilakukan pengawasan dengan
membubuhkan tanggal kedatangan di Kartu Kewaspadaan
Kesehatan Jamaah Haji (K3JH).
• Menerima laporan HPAGD / Gendec dari awak/ operator/ agen
alat angkut yang datang dari daerah terjangkit mengenai ada
tidaknya penumpang yang sakit, terutama yang menderita
infeksi saluran pernapasan akut. Untuk penerbangan haji
dilengkapi dengan laporan pengawasan kedatangan jamaah haji
dari dokter/tenaga kesehatan kloter (Form terlampir).
• Jika ada penumpang yang mengalami sakit (demam >38ºC
tanpa gejala lain) maka dicatat dalam form notifikasi ke dinas
kesehatan asal atau menginformasikan ke PHEOC Ditjen P2P.
(Form Notifikasi Terlampir).
• Petugas KKP aktif menanyakan pada operator/ agen alat angkut
mengenai ada tidaknya penumpang yang sakit, terutama yang
menderita infeksi saluran pernapasan akut. Hal ini dilakukan
pada saat petugas melakukan boarding ke pesawat.
• Petugas KKP aktif menanyakan pada semua unit otoritas di
bandara/pelabuhan/PLBD dan operator/ agen alat angkut
mengenai ada tidaknya petugas yang menderita infeksi saluran
pernafasan akut. Hal ini dilakukan khususnya kepada petugas
yang berhubungan lansung dengan penumpang.
• Dalam keadaan tertentu, dilakukan deteksi panas tubuh

10 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


semua penumpang dari negara terjangkit melalui penggunaan
pemindai suhu tubuh di terminal kedatangan. Bila ditemukan
adanya penumpang yang mengalami demam > 38 OC dibawa
ke ruang khusus untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Bila penumpang dikategorikan kasus dalam penyelidikan atau
suspek infeksi MERS maka dirujuk ke RS rujukan MERS, maka
diberikan notifikasi lansung ke Dinas Kesehatan asal atau
melalui PHEOC Ditjen P2P
• Rujukan suspek MERS dari pintu masuk
Menginformasikan rencana rujukan suspek MERS ke RS
Rujukan yang dilakukan oleh dokter pelabuhan ke dokter
rumah sakit segera setelah ditemukan adanya suspek. Rujukan
dilakukan oleh KKP setelah mendapatkan konfirmasi balik
kesiapan rumah sakit untuk menerima rujukan. (Algoritme
rujukan sebagaimana terlampir).

2.4.1.3.2 Pengawasan Terhadap Barang Bawaan Penumpang


• Dilakukan pengawasan terhadap barang-barang yang dibawa
penumpang dari negara terjangkit. Jika ditemukan penumpang
yang memenuhi kriteria kasus dalam penyelidikan atau suspek
infeksi MERS maka terhadap barang-barang yang dibawa
penumpang dan kontak dekatnya serta jika dianggap perlu
terhadap semua barang penumpang dilakukan tindakan
penyehatan.

2.4.1.3.3 Pengawasan Terhadap Alat Angkut:


• Pengawasan dan pemeriksaan terhadap dokumen-dokumen
kesehatan alat angkut diantaranya HPAGD, sertifikasi
penyehatan alat angkut dan dokumen lainnya.
• Pemeriksaan langsung kesehatan alat angkut oleh tim petugas
KKP. Dilakukan terhadap alat angkut yang datang dari Negara
terjangkit.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 11


2.4.1.3.4 Respons
Respons dilakukan terhadap laporan dari awak pesawat yang
menyatakan bahwa ada penumpang yang sakit dengan gejala panas, batuk
dan sesak nafas di atas pesawat sebelum landing, maka petugas KKP
melakukan persiapan untuk mengevakuasi penumpang yang sakit. Persiapan
yang dilakukan adalah
• petugas yang akan boarding ke pesawat menggunakan APD standar
(masker dan sarung tangan),
• Menyiapkan boarding kit
• menyiapkan ambulans evakuasi penyakit menular/ambulans,
• Menyiapkan masker untuk dibawa ke atas pesawat dan
• Menyiapkan ruang isolasi sementara untuk melakukan tindakan
pertolongan pertama sebelum dilakukan rujukan

Prosedur respons yang dilakukan:


a. Pesawat setelah mendarat, diparkir di area isolasi pesawat (remote area)
b. Setelah pintu pesawat dibuka, petugas KKP meminta HPAGD/Gendec
kepada awak pesawat
c. petugas KKP wajib menyampaikan SOP evakuasi penumpang sakit
kepada awak pesawat.
d. Awak pesawat memberikan pengumuman kepada seluruh penumpang
bahwa akan dilakukan penanganan
e. Awak pesawat menunjukkan posisi duduk penumpang yang sakit
f. Petugas KKP memberikan pertolongan medis dengan sebelumnya
memakaikan masker bedah kepada penumpang yang sakit
g. Menentukan kontak erat penumpang sakit :
1. Penumpang yang duduk di kursi 2 baris di kanan, kiri, depan, dan
belakang.
2. Awak pesawat yang memberikan pelayanan kepada penumpang
sakit
3. Penumpang lain yang kontak erat dengan penumpang sakit
berdasarkan hasil penilaian. Kepada kontak erat, dipasangkan
masker N95 dan berikan penjelasan kepada penumpang tersebut.

12 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Penumpang yang duduk 2 baris di depan, belakang samping
diturunkan dari pesawat setelah penumpang yang lain turun.

4. Penumpang yang sehat diarahkan ke terminal kedatangan dengan


melewati thermal scanner. Jika ada yang terdeteksi suhu tubuh
lebih > 38ºC derajat celcius maka diarahkan ke ruang periksa

5. Untuk penumpang yang duduk dua baris di depan dan belakang


penumpang suspek :
• Dibawa ke ruang wawancara oleh Ground Handling
• Di ruang wawancara diberikan penyuluhan PHBS
• Mengisi Health Alert Card
• Petugas KKP mencatat identitas penumpang tersebut.

6. Untuk Penumpang yang sakit dengan gejala batuk, panas dan


pneumonia berat dilakukan :
• Pertolongan medis untuk memperbaiki Keadaan Umum yang
sakit sebelum dirujuk ke RS Rujukan di ruang/tenda isolasi
yang sudah disiapkan dengan seluruh kelengkapannya.
• Sebelum melakukan rujukan menginformasikan rencana
rujukan oleh dokter pelabuhan ke dokter rumah sakit segera
setelah ditemukan adanya Kasus Dalam Investigasi (KDI).
Rujukan dilakukan setelah mendapat konfirmasi balik kesiapan
rumah sakit untuk menerima kasus.
• Petugas merujuk dengan menggunakan Ambulans ke RS
Rujukan
• Petugas yang merujuk menggunakan APD (Masker N95 dan
Sarung Tangan)

7. Penumpang yang sakit pneumonia ringan dan sedang :


• Dibawa ke ruang/tenda isolasi yang ada di Bandara dengan
ambulans untuk dilakukan penanganan medis.
• Diberikan penyuluhan tentang PHBS, Jika sakit semakin
berlanjut cepat berobat ke puskesmas atau RS dengan membawa
HAC

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 13


• Penumpang yang sakit ini di minta untuk membatasi diri (Isolasi
diri) di rumah dan selalu menggunakan masker dirumah serta
istirahat.
• Diperbolehkan pulang

8. Petugas KKP melakukan tindakan disinfeksi pada tempat duduk


penumpang sakit dan 2 baris di depan/belakang dengan bahan
disinfektan alkohol yang tidak merusak interior pesawat dengan
cara dilap.

9. KKP mencatat data penumpang dengan pneumonia dan melaporkan


data tersebut ke PHEOC dan ditembuskan ke Dinas Kesehatan
Provinsi (format KKP-Notifikasi terlampir).

10. Mencatat data petugas semua unit otoritas bandara / pelabuhan/


PLBD yang sakit dan mengirimkan data tersebut setiap minggu ke
PHEOC, termasuk bila tidak ada petugas yang sakit / zero reporting
(Format KKP-Petugas terlampir)

11. Melaporkan kasus dalam penyelidikan ke PHEOC dengan tembusan


Dinas Kesehatan Provinsi dalam waktu 24 jam

2.4.1.3.5 Penumpang Lain dari Daerah Terjangkit (Jazirah Arab)

a. Seluruh penumpang turun dari pesawat harus melewati alat deteksi


panas (thermal scanner)
b. Penumpangi dengan demam, dilakukan pemeriksaan oleh KKP.
c. Bila didiagnosis pneumonia, penumpang diberikan masker,
pengobatan yang diperlukan, serta edukasi untuk isolasi diri
(membatasi lingkungan di rumah) dan berobat ke rumah sakit di
wilayahnya bila gejala sakit bertambah berat.
d. Bila ditemukan kasus dalam penyelidikan (demam, batuk,
dan pneumonia berat yang memerlukan perawatan), lakukan
tatalaksana kasus, rujuk ke RS rujukan sesuai SOP dengan
memperhatikan prinsip–prinsip pencegahan dan pengendalian
infeksi seperti kewaspadaan baku (universal precaution) serta
kewaspadaan terhadap risiko potensi pajanan yang akan terjadi
.

14 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


e. Petugas KKP juga memberikan penyuluhan kepada crew tentang
kewaspadaan terhadap MERS setelah seluruh penumpang turun
f. Petugas KKP melakukan tindakan disinfeksi pada tempat duduk
penumpang sakit dan 2 baris di depan/belakang dan 2 baris di
kiri kanan dengan bahan disinfektan alkohol yang tidak merusak
interior pesawat.
g. KKP mencatat data penumpang dengan pneumonia dan melaporkan
data tersebut ke PHEOC dan ditembuskan ke Dinas Kesehatan
Provinsi (format KKP-Notifikasi terlampir).
h. Mencatat data petugas semua unit otoritas bandara / pelabuhan/
PLBD yang sakit dan mengirimkan data tersebut setiap minggu ke
PHEOC, termasuk bila tidak ada petugas yang sakit / zero reporting
( Format KKP-Petugas terlampir)
i. Melaporkan kasus dalam penyelidikan ke PHEOC dengan tembusan
Dinas Kesehatan Provinsi dalam waktu 24 jam

2.4.2 Surveilans di Wilayah

2.4.2.1 Kewaspadaan dan Deteksi Dini

Kewaspadaan terhadap MERS di wilayah baik provinsi maupun


kabupaten/kota dilakukan dengan pemutakhiran informasi melalui :

• Website WHO
http://www.who.int/emergencies/MERS/en/
untuk mengetahui antara lain :
- Jumlah kasus dan kematian
- Distribusi kasus berdasarkan waktu, tempat dan orang
- Identifikasi negara-negara terjangkit
- Data dan informasi lain yang dibutuhkan

• Laporan harian tentang kondisi jamaah haji di Saudi Arabia


(berkoordinasi dengan Kantor Kesehatan Pelabuhan dan Pusat),
antara lain :
- Laporan notifikasi dari KKP

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 15


- Identifikasi jamaah haji berisiko, jumlah kasus ILI/ISPA pada
jemaah
- Data dan informasi lain yang dibutuhkan

• Laporan kejadian kasus di Pintu Masuk Negara dari KKP ke Pusat


dengan notifikasi ke dinkes provinsi

• Sumber lain yang terpercaya misalnya web pemerintah/ Kementerian


Kesehatan Kerajaan Saudi Arabia (www.moh.gov.sa/en/)

• Sumber media cetak atau elektronik nasional untuk mewaspadai


rumor atau berita yang berkembang terkait dengan MERS pada
jemaah haji/umroh atau pelaku perjalanan lainnya dari negara
terjangkit.

Deteksi dini dilakukan melalui peningkatan kegiatan surveilans berbasis


indikator atau surveilans rutin dan berbasis kejadian (event based surveillance)
yang dilakukan secara pasif maupun aktif. Kegiatan tersebut dilakukan
untuk menemukan adanya indikasi kasus suspek MERS yang memerlukan
tindak lanjut penyelidikan epidemiologi termasuk pengambilan spesimen
klinis untuk mendapatkan konfirmasi laboratorium serta tatalaksana kasus.
1) Puskesmas

• Meningkatkan surveilans ILI dan pneumonia

• Mendeteksi kasus klaster pneumonia yang terjadi dalam waktu


14 hari

• Melakukan surveilans aktif/pemantauan jamaah haji atau


pelaku perjalanan lainnya dari negara terjangkit selama 14 hari
sejak kedatangan ke wilayahnya melalui buku K3JH atau HAC

• Melakukan surveilan aktif/pemantauan terhadap jamaah haji


yang dilaporkan melalui notifikasi dari dinas kesehatan

• Melakukan pemantauan terhadap petugas kesehatan yang


kontak dengan kasus MERS apakah mengalami demam, batuk
dan atau pneumonia

16 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


• Melakukan pemantauan kontak kasus dalam penyelidikan
selama 1 kali masa inkubasi terpanjang

2) Rumah Sakit

• Meningkatkan surveilans SARI

• Mendeteksi kasus klaster pneumonia dalam periode 14 hari

• Mendeteksi kasus pneumonia dengan riwayat bepergian


ke negara terjangkit dalam waktu 14 hari sebelum sakit
(menunjukkan K3JH dan HAC)

• Melakukan pemantauan terhadap petugas kesehatan yang


kontak dengan kasus MERS yang dirawat apakah mengalami
demam, batuk dan atau pneumonia.

3) Dinas Kesehatan Kab/kota :

• Melakukan pemantauan berita atau rumor yang berkembang


terkait dengan kasus MERS di masyarakat melalui media atau
sumber informasi lainnya dan melakukan verifikasi terhadap
berita tersebut.

• Melakukan analisis laporan dari puskesmas dan melaporkan


hasil analisis tersebut ke pusat secara berjenjang.

• Melakukan pemantauan terhadap populasi berisiko (jemaah


haji/umroh, pekerja, pelajar, wisatawan) dengan menganalisis
data populasi berisiko. Sumber data diperoleh dari penyelenggara
haji/umrah, agen travel, agen pengiriman tenaga kerja atau
dinas/unit terkait.

• Melakukan surveilans aktif rumah sakit untuk menemukan


kasus MERS

4) Dinas Kesehatan Provinsi :

• Melakukan pemantauan berita atau rumor yang berkembang


terkait dengan kasus MERS di masyarakat melalui media atau

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 17


sumber informasi lainnya dan melakukan verifikasi terhadap
berita tersebut.

• Melakukan pemantauan terhadap populasi berisiko (jemaah


haji/umroh, pekerja, pelajar, wisatawan) dengan menganalisis
data populasi berisiko. Sumber data diperoleh dari penyelenggara
haji/umrah, agen travel, agen pengiriman tenaga kerja atau
dinas/unit terkait.

• Melakukan analisis data dari notifikasi KKP dan melaporkan ke


pusat

5) Pusat :
• Melakukan pemantauan berita atau rumor yang berkembang
terkait dengan kasus MERS di masyarakat melalui media atau
sumber informasi lainnya dan melakukan verifikasi terhadap
berita tersebut.

• Melakukan pemantauan terhadap populasi berisiko (jemaah


haji/umroh, pekerja, pelajar, wisatawan) dengan menganalisis
data populasi berisiko. Sumber data diperoleh dari Pusat
Kesehatan Haji, KKP, Dinas Kesehatan Provinsi, unit terkait
lainnya.

• Menganalisis laporan notifikasi jemaah haji dari KKP atau dari


provinsi.

• Menganalisis laporan kasus MERS dari kabupaten/kota dan


KKP.

2.4.2.2 Kesiapsiagaan
Pusat, Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/Kota melakukan tinjauan
atas kesiapan perangkat surveilans yang ada dalam menghadapi
kemungkinan masuknya infeksi MERS ke wilayah Indonesia.
Kesiapan tersebut meliputi :
1) Sumber Daya Manusia (SDM)
• Mengaktifkan Tim Gerak Cepat (TGC) yang sudah ada baik di
tingkat Pusat, Provinsi dan kab/kota.

18 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


ü Tim Gerak Cepat sebagaimana dimaksud sesuai
dengan Pasal 21 Permenkes Nomor 1501/MENKES/
PER/X/2010, ditetapkan oleh:
- Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota atas nama Bupati/
Walikota untuk tingkat Kab/Kota;
- Kepala Dinas Kesehatan Provinsi atas nama Gubernur
untuk tingkat Provinsi; dan
- Direktur Jenderal atas nama Menteri untuk tingkat
pusat.
ü Tim Gerak Cepat terdiri dari : petugas surveilans, klinis,
ahli/analis laboratorium, sanitarian, petugas pengendali
infeksi dan petugas dari unit terkait lainnya.

• Peningkatan kapasitas SDM dalam kesiapsiagaan menghadapi


MERS dengan melakukan sosialisasi pengendalian MERS,
table top exercises dan simulasi penanggulangan MERS.

• Meningkatkan jejaring kerja surveilans dengan lintas


program dan lintas sektor terkait.

2) Sarana dan prasarana

• Kesiapan alat transportasi (ambulans) dan memastikan


dapat berfungsi dengan baik untuk merujuk kasus.

• Kesiapan sarana pelayanan kesehatan antara lain meliputi


tersedianya ruang isolasi untuk melakukan tatalaksana
kasus, alat-alat kesehatan dan sebagainya.

• Kesiapan ketersediaan dan fungsi alat komunikasi untuk


koordinasi dengan unit-unit terkait.

• Kesiapan logistik penunjang pelayanan kesehatan yang


dibutuhkan antara lain obat – obat suportif (life saving),
alat–alat kesehatan, APD, dan sebagainya serta melengkapi
logistik, jika masih ada kekurangan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 19


• Kesiapan bahan-bahan KIE antara lain brosur, banner,
leaflet, dan sebagainya serta media untuk melakukan
komunikasi risiko terhadap masyarakat.

• Kesiapan pedoman pengendalian MERS untuk petugas


kesehatan, termasuk mekanisme atau prosedur tata laksana
dan rujukan kasus.

3) Pembiayaan

Bagi jemaah haji dengan pneumonia yang memerlukan


perawatan RS dalam 14 hari sejak kepulangannya, maka
pembiayaan perawatan RS ditanggung oleh Kementerian
Kesehatan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebagaimana diatur dalam Permenkes No. 59 tahun
2016 tentang.

2.4.2.3 Respons

1) Puskesmas

• Melakukan tatalaksana kasus sesuai SOP bila menemukan


kasus dengan pneumonia ringan, berikan edukasi untuk isolasi
diri (self isolation/home care) dan ke rumah sakit bila bertambah
parah.

• Melakukan tatalaksana dan rujukan sesuai dengan SOP bila


menemukan kasus dalam penyelidikan dengan pneumonia
berat, dengan memperhatikan prinsip-prinsip pengendalian
infeksi.

• Melaporkan kasus dalam waktu 24 jam ke Dinas Kesehatan


Kab/kota melalui sms atau telepon.

• Melakukan penyelidikan epidemiologi bila menemukan kasus


MERS di bawah koordinasi Dinas Kabupaten/kota

20 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


• Melakukan surveilans ketat bila ditemukan kasus MERS yang
dinyatakan probable atau konfirmasi dari pemeriksaan lebih
lanjut.

• Melakukan komunikasi risiko terhadap masyarakat

• Meningkatkan jejaring kerja dengan pemangku kewenangan,


lintas sektor dan tokoh masyarakat setempat

2) Rumah sakit

• Melakukan tatalaksana kasus sesuai dengan SOP bila


menemukan kasus dengan memperhatikan prinsip-prinsip
pengendalian infeksi.

• Melakukan pengambilan dan pengiriman sampel.

• Melaporkan kasus dalam waktu 24 jam ke Dinas Kesehatan


Kab/kota melalui sms atau telepon.

• Melakukan komunikasi risiko dengan keluarga kasus

3) Dinas Kesehatan Kab/kota

• Melaporkan kasus MERS ke pusat dalam waktu 24 jam melalui


sistem pelaporan cepat (sms gateway) bagi provinsi yang
menerapkan DSO project (District Surveillance Officer/petugas
surveilans kab/kota). Laporan cepat dapat dilakukan juga
melalui telp/surel/fax/sms ke PHEOC yang ditembuskan ke
Dinas Kesehatan Provinsi.

• Melakukan penyelidikan epidemiologi bila ada laporan kasus


MERS atau klaster pneumonia dalam 14 hari.

• Melakukan penyelidikan dugaan KLB bila terjadi alert terhadap


kasus ILI atau pneumonia di wilayahnya bagi kabupaten/kota
yang sudah menerapkan SKDR (EWARS).

• Melakukan penyelidikan dugaan KLB bila terjadi peningkatan


kasus ILI atau pneumonia yang bermakna secara epidemiologis
bagi kabupaten/kota yang belum menerapkan SKDR (EWARS)

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 21


• Melakukan penanggulangan awal sesuai hasil penyelidikan

• Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat

• Membangun dan memperkuat jejaring kerja surveilans dengan


lintas program dan sektor terkait.

4) Dinas Kesehatan Provinsi

• Melaporkan kasus MERS ke pusat dalam waktu 24 jam melalui


telp/surel/fax/sms ke PHEOC

• Melakukan penyelidikan epidemiologi bila ada laporan kasus


MERS

• Melakukan penanggulangan awal sesuai hasil penyelidikan

• Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan bila perlu

• Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat

• Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di kab/kota

• Membangun dan memperkuat jejaring kerja surveilans dengan


lintas program dan sektor terkait.

5) Pusat

• Melakukan penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan


sesuai dengan kewenangan

• Melakukan mobilisasi sumber daya yang dibutuhkan bila perlu

• Membangun dan memperkuat jejaring kerja surveilans dengan


lintas program dan sektor terkait.

• Melakukan umpan balik dan pembinaan teknis di provinsi dan


kab/kota

• Melakukan komunikasi risiko pada masyarakat baik melalui


media cetak atau elektronik

22 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


2.4.3 Penyelidikan Epidemiologi dan penanggulangan KLB

Setiap kasus suspek, probable atau kasus klaster MERS harus


dilakukan penyelidikan epidemiologi. Penyelidikan KLB bertujuan
mengetahui besar masalah KLB dan gambaran epidemiologi KLB
berdasarkan waktu, tempat dan orang, untuk memastikan ada
tidaknya penularan yang efektif dari manusia ke manusia, serta
mengetahui karakteristik epidemiologi virus dan klinis MERS.
Informasi ini akan dapat memberikan arahan kepada program dalam
rangka penanggulangan atau pemutusan penularan secara lebih
cepat.

2.4.3.1 Definisi KLB


Apabila ditemukan 1 kasus MERS konfirmasi maka dinyatakan
sebagai Kejadian Luar Biasa, dan dilakukan penyelidikan epidemiologi lebih
lanjut serta pengendalian sesuai hasil penyelidikan

2.4.3.2 Tujuan PE KLB

Tujuan Umum :

Mengetahui besar masalah KLB dan mencegah penyebaran yang lebih luas.

Tujuan Khusus :
1) Mengetahui karakteristik epidemiologi, klinis dan virus
2) Mengidentifikasi faktor risiko
3) Mengetahui kasus tambahan untuk menilai keefektifan penularan dari
manusia ke manusia
4) Memberikan rekomendasi upaya penanggulangan

Langkah Penyelidikan Epidemiologi KLB

1. Konfirmasi awal KLB


Petugas surveilans atau penanggung jawab surveilans puskesmas/Dinas
Kesehatan melakukan konfirmasi awal untuk memastikan terjadinya
KLB MERS dengan cara wawancara dengan petugas puskesmas atau
dokter yang menangani kasus

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 23


2. Pelaporan segera
Mengirimkan laporan W1 dan telp/sms ke Dinas Kesehatan Kab/Kota
dalam waktu < 24 jam, kemudian diteruskan oleh Dinas Kesehatan
Kab/kota melalui sms gateway atau ke PHEOC

3. Persiapan penyelidikan
1) Persiapan lapangan, menginformasikan kepada petugas kesehatan
di lokasi dimana terdapat kasus.
2) Persiapan formulir penyelidikan
3) Persiapan Tim Penyelidikan
4) Persiapan logistik dan obat-obatan
5) Persiapan pengambilan spesimen.

4. Penyelidikan epidemiologi
1) Identifikasi kasus
Melakukan kunjungan wawancara ke tempat dimana kasus dirawat
termasuk dokter/petugas medis yang melakukan perawatan,
dengan menggunakan formulir investigasi yang sudah disiapkan
sebelumnya. Informasi yang perlu digali antara lain :
• Identitas dan karakteristik kasus : Nama, Umur, Jenis kelamin,
Alamat tempat tinggal, kerja, atau sekolah, Pekerjaan)
• Gejala dan tanda – tanda penyakit, Riwayat perjalanan penyakit,
termasuk komplikasi yang terjadi.
• Pengobatan yang sudah didapat, hasil – hasil pemeriksaan
laboratorium dan radiologis yang sudah dilakukan,

2) Identifikasi faktor risiko


• Riwayat
o Penyakit penyerta.
o Potensi pajanan dalam 14 hari sebelum timbul gejala sakit.
• Perjalanan ke daerah terjangkit
• Kontak dengan kasus MERS atau ISPA berat
• Dirawat di sarana pelayanan kesehatan
• Pajanan dengan hewan (jenis hewan dan kontak)
• Konsumsi bahan makanan mentah / belum diolah.
• Informasi rinci tentang waktu, durasi, dan intensitas pajanan
dan jenis kontak

24 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


3) Identifikasi kontak kasus dengan menggunakan formulir yang telah
disiapkan sebelumnya.

• Selama penyelidikan, petugas dilapangan melakukan identifikasi


siapa saja yang telah melakukan kontak erat dengan kasus yang
sedang diselidiki.

• Pelacakan dilakukan terutama di lingkungan sarana pelayanan


Kesehatan, anggota keluarga/rumah tangga, tempat kerja,
sekolah, dan lingkungan sosial. Disamping itu perlu
diidentifikasi juga:
• Waktu kontak terakhir
• Bentuk / jenis kontak
• Lama (durasi) kontak
• Frekuensi kontak

• Petugas Kesehatan melakukan pemantauan terhadap kontak


erat selama 14 hari setelah kontak terakhir dengan kasus,baik
suspek, probable, maupun konfirmasi. Pemantauan dilakukan
untuk menemukan gejala pneumonia yang mungkin muncul
pada masa pemantauan. Catat tanggal kontak mulai sakit,
tingkat keparahan, perjalanan penyakit.

• Kontak erat yang menunjukkan gejala pneumonia harus


diambil spesimennya untuk diperiksa secara molekuler dengan
polymerase chain reaction (PCR) dan serologis.

• Identifikasi dan pengamatan ini dilakukan untuk mendeteksi


bukti penularan dari manusia ke manusia, perkiraan angka
serangan sekunder, durasi masa infektivitas, dan masa inkubasi

4) Pengambilan spesimen

• Untuk keperluan diagnostik infeksi MERS, spesimen klinis


yang diperlukan adalah spesimen saluran pernapasan bagian
bawah, seperti dahak (sputum), bilasan bronkhoalveolar, yang
berdasarkan bukti yang ada saat ini, lebih baik daripada yang
berasal dari saluran pernapasan atas (nasofaring / orofaring).

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 25


• Pengambilan spesimen dilakukan oleh tenaga / teknisi
laboratorium yang berpengalaman dan untuk dahak / sputum,
petugas harus dapat memastikan bahwa yang diambil adalah
benar – benar dahak, bukan air liur.

• Tata cara pengambilan, penyimpanan dan pengiriman specimen


sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dan dikirim ke ke Pusat
Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (BTDK) Balitbangkes.

5) Penanggulangan Awal

Ketika penyelidikan sedang berlangsung petugas sudah harus


memulai upaya – upaya pengendalian pendahuluan dalam rangka
mencegah terjadinya penyebaran penyakit kewilayah yang lebih
luas. Upaya ini dilakukan berdasarkan pada hasil penyelidikan
epidemiologis yang dilakukan saat itu.

Meskipun saat ini belum ada obat – obatan termasuk vaksin yang
dapat menghambat perkembangan virus tetapi upaya melokalisir
penyebaran infeksi dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip-
prinsip pencegahan dan pengendalian infeksi mulai dari yang
sederhana yaitu mencuci tangan sebelum dan setelah kontak
dengan / merawat kasus, pengelolaan limbah yang baik bahkan
sampai isolasi kasus.

Upaya-upaya tersebut dilakukan terhadap orang, masyarakat


maupun lingkungan, antara lain dengan:
• Menjaga kebersihan / hygiene tangan, saluran pernapasan
• Penggunaan APD sesuai risiko pajanan
• Sedapat mungkin membatasi kontak dengan kasus yang sedang
diselidiki dan bila tak terhindarkan buat jarak dengan kasus.
• Isolasi kasus dirumah
• Asupan gizi yang baik guna meningkatkan daya tahan tubuh
• Pengendalian sarana, lingkungan dan hewan pembawa penyakit
Apabila diperlukan untuk mencegah penyebaran penyakit dapat
dilakukan tindakan isolasi, evakuasi dan karantina.

26 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


• Isolasi penderita atau tersangka penderita dengan cara
memisahkan seorang penderita agar tidak menjadi sumber
penyebaran penyakit selama penderita atau tersangka penderita
tersebut dapat menyebarkan penyakit kepada orang lain. Isolasi
dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, rumah atau tempat
lain sesuai dengan kebutuhan.

• Evakuasi dengan memindahkan seseorang atau sekelompok


orang dari suatu wilayah agar terhindar dari penularan
penyakit. Evakuasi ditetapkan oleh bupati/walikota atas usulan
tim penanggulangan wabah berdasarkan indikasi medis dan
epidemiologi.

• Tindakan karantina dengan melarang keluar atau masuk


orang dari dan ke daerah rawan untuk menghindari terjadinya
penyebaran penyakit. Karantina ditetapkan oleh bupati/
walikota atas usulan tim penanggulangan wabah berdasarkan
indikasi medis dan epidemiologi.

5. Pengolahan dan analisis data

Setiap selesai melakukan penyelidikan KLB, dilakukan pengolahan


dan analisis data untuk mengambil kesimpulan dan rekomendasi
tindak lanjut.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 27


6. Penulisan laporan

Setelah selesai melakukan penyelidikan epidemiologi maka dibuat


laporan tertulis hasil Investigasi dan perkembangan KLB meliputi:

1) Latar belakang dan tujuan

2) Metodologi

3) Hasil penyelidikan epidemiologi meliputi :

a. Data umum

b. Analisis kasus MERS berupa gambaran karakteristik kasus


menurut variabel epidemiologi (waktu kejadian, tempat dan
orang).

c. Analisis faktor risiko

d. Analisis kontak kasus

e. Hasil pemeriksaan laboratorium

f. Upaya yang sudah dilakukan seperti tatalaksana kasus,


pemeriksaan laboratorium, tindakan pengendalian faktor
lingkungan dan sebagainya

4) Kesimpulan dan rekomendasi.

28 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


ALUR PENEMUAN KASUS DAN RESPONS DI PINTU MASUK

Perjalanan dari negara terjangkit

Jamaah Haji

TKHI (Dokter Kloter) Pelaku perjalanan lainnya

Demam, Pneumonia Pneumonia yang perlu


batuk perawatan di RS
Skrining temperatur

Ya
Pemeriksaan KKP DEMAM

• Masker
• Edukasi : etika Pneumonia yang perlu TIDAK
Pneumonia
batuk CTPS, PHBS perawatan di RS
• Pulang

• Pulang, HAC
• Pengobatan • Pemantauan
• Masker selama 14 hari
gejala berlanjut • Edukasi
dalam 14 hari • Notifikasi
• Pulang
• Tata laksana kasus dan
rujukan sesuai SOP
• Lakukan tindakan terhadap
barang dan alat angkut
Puskesmas / gejala bertambah • Laporkan dalam 24 jam ke
RS setempat berat dalam 14 hari PHEOC cc Dinkes Prov
• Pemantauan kontak kasus

Rujuk ke RS

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 29


ALUR PENEMUAN KASUS DAN RESPONS DI WILAYAH

Pelaku perjalanan
Jamaah Haji Masyarakat
lainnya

Gejala Demam, batuk dengan riwayat


Klaster Pneumonia
bepergian dari negara terjangkit

Puskesmas / RS

Pemeriksaan lebih lanjut


• HAC/K3JH, riw penyakit
• Pemeriksaan fisik
• Pemeriksaan penunjang

Pneumonia Pneumonia yang memerlukan


perawatan di RS

• Pengobatan • Tata laksana kasus dan rujukan sesuai


• Pemantauan kontak SOP
• Edukasi, pulang • Pengambilan dan pengiriman
• Isolasi diri specimen
• Laporkan dalam 24 jam ke • Laporkan dalam 24 jam ke Dinkes
Dinkes Kab/Kota Kab/Kota
• Penyelidikan epid • Penyelidikan Epid
• Penaggulangan awal
Bila gejala • Pemantauan kontak kasus
bertambah berat • Surveilans ketat

Rujuk ke RS

30 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


2.4.4 JEJARING KERJA SURVEILANS

Penyelenggaraan jejaring kerja surveilans kesehatan dalam


pengendalian MERS dilaksanakan oleh unit penyelenggara surveilans
kesehatan meliputi :
• Unit-unit utama pusat : Ditjen P2P (Subdit PIE, Subdit ISPA, Subdit
Surveilans dan Respons KLB, Subdit Karantina Kesehatan dan subdit
lain yang terkait), Pusat Komunikasi Publik, Pusat Kesehatan Haji, Ditjen
Bina Upaya Kesehatan Rujukan, Ditjen Bina Upaya Kesehatan Dasar,
Balitbangkes, Pusat Promosi Kesehatan, Pusat Data dan Informasi, dan
unit utama lain yang terkait
• UPT Kementerian Kesehatan : Kantor Kesehatan Pelabuhan, RS
Pemerintah Pusat, UPT pusat lainnya yang terkait
• Dinas kesehatan provinsi dan kab/kota serta UPT pemerintah daerah
• Lintas sektor : otoritas bandara/pelabuhan/PLBD, maskapai
penerbangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Luar Negeri,
Kementerian Agama, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif,
organisasi profesi, Badan Internasional dan lintas sektor lainnya yang
terkait.

Jejaring kerja surveilans dilakukan untuk memperbaiki, mempertahankan


dan meningkatkan koordinasi dan kemitraan dengan unit-unit terkait dalam
hal berbagi data dan informasi, upaya peningkatan kewaspadaan, mobilisasi
sumber daya, serta pemberdayaan masyarakat dalam menghadapi MERS.

Upaya koordinasi dan kemitraan dengan unit-unit terkait dilakukan antara


lain melalui:

a) Pertemuan dengan semua unit terkait untuk mensosialisasikan MERS


dan rencana tindakan yang dilakukan.

b) Pertemuan dengan operator/agen alat angkut (pesawat, kapal laut,


roda-4) untuk membantu menginformasikan pada semua penumpang
alat angkut yang datang dari negara terjangkit, tentang :
• Penjelasan sederhana dan umum tentang MERS.
• Kartu kewaspadaan kesehatan (Health Alert Card/HAC) dan tindakan
yang dilakukan bila sakit selama 14 hari setelah menerima HAC.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 31


c) Berbagi data dan informasi secara berkala berkala tentang
perkembangan penyakit kepada unit-unit terkait.
d) Melakukan simulasi penanggulangan MERS, baik dalam ruangan (table
top) maupun lapangan.
e) Memobilisasi sumber daya antara lain alat transportasi, logistic, SDM
dan sebagainya, yang diperlukan untuk pengendalian MERS dengan
unit-unit terkait.

Secara singkat skema jejaring kerja surveilans dapat dilihat pada bagan
berikut :

SKEMA JEJARING KERJA SURVEILANS

Ditjen P2P
cq PHEOC

32 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


3 PENCATATAN DAN PELAPORAN

1. Di pintu masuk

a) Laporan harian poliklinik (jumlah petugas (3 shift), jumlah


pengunjung, jumlah kasus ISPA & demam lainnya, jumlah
kasus pneumonia, jumlah kasus pneumonia dirujuk ke RS)
(Form Poli KKP terlampir).

Daftar petugas jaga (absensi) harus terdokumentasi di KKP.


Harapannya jumlah pengunjung dan kasus ISPA ada, tetapi
kasus pneumonia zero. Jika pengunjung rendah dan ISPA tidak
pernah ada, berarti poliklinik tidak jalan dengan bagus. Kaji
ulang berkala dan sidak diperlukan.

b) Laporan harian sakit petugas bandara (dibagi petugas poliklinik


KKP dan poliklinik lain jika ada, petugas KKP yg lain, petugas
bandara selain petugas KKP, dan karyawan swasta (restoran,
tukang sapu, dsb). Terdiri dari kasus ISPA, pneumonia,
pneumonia dirujuk (Form Petugas KKP terlampir).

c) Selama haji, laporan dibuat harian oleh kepala unit teknis di


KKP melalui email (excel) ke PHEOC untuk memonitor mutu
kewaspadaan, dan laporan resmi mingguan oleh kepala KKP
sebagai zero reporting.

d) PHEOC melakukan diseminasi informasi laporan KKP ke semua


kepala KKP, subdit ISPA, subdit Karkes, Subdit PIE dan Pusat
Kesehatan haji melalui dalam excel (berisi laporan situasi setiap
KKP haji) dan sedikit analisis yang diperlukan dan update
perkembangan MERS melalui email, serta Provinsi, Kota yang
ada embarkasinya, dan BTKL-PP. Diseminasi ini sebagai zero
reporting nasional (situasi di KKP) dan sekaligus umpan balik,
ungkapan terimakasih pada KKP dan provokasi pada KKP
untuk melaporkan dengan benar dan teratur.

e) Setiap kasus dalam penyelidikan dengan pneumonia berat atau


probable yang ditemukan di pintu masuk maka harus dilaporkan
kurang dari 24 jam dengan menggunakan formulir KLB (W1) ke

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 33


PHEOC dengan tembusan ke Dinas Kesehatan Provinsi. Kasus
dalam penyelidikan dengan pneumonia berat atau probable
dicatat dalam formulir laporan kasus (form S-MERS terlampir)
dan kasus kontak dicatat dalam formulir laporan kontak (form
S-MERS-k terlampir).

f) Kasus dalam investigasi dengan pneumonia ringan dicatat


dalam format notifikasi (form KKP Notifikasi terlampir).

2. Di wilayah

Setiap kasus dalam penyelidikan atau probable yang ditemukan di


puskesmas atau rumah sakit maka harus dilaporkan kurang dari 24
jam dengan menggunakan formulir KLB (W1) ke Dinas kesehatan
Kab/kota. Kasus dalam penyelidikan atau probable dicatat dalam
formulir laporan kasus (form S-MERS terlampir). Dan kasus kontak
dicatat dalam formulir laporan kontak (form S-MERS-k terlampir).

Rumah sakit dan puskesmas mengirimkan laporan mingguan


petugas yang sakit setelah merawat kasus (Form Petugas RS/Pusk
terlampir).

Dinas Kesehatan Kab/kota yang menerapkan DSO (District


Surveillance Officer) project meneruskan laporan puskesmas atau
RS ke pusat melalui system pelaporan cepat (sms gateway).

Kode penyakit untuk MERS ke sms center yaitu V MERS. Untuk


lebih rinci dapat mengirim sms dengan ketik Info kodesms atau
untuk format sms ketik Info formatsms.

Dinas Kesehatan Kab/kota yang tidak menerapkan DSO project,


laporan diteruskan ke PHEOC dengan tembusan ke Dinas
Kesehatan Provinsi, melalui :
Telp : 021 - 4257125 atau 021 - 4265974
SMS/WA : 087806783906/081219241850
Surel : poskoklb@yahoo.com

34 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Pusat melalui sms center meneruskan laporan Dinas Kesehatan
Kab/kota ke Dinas Kesehatan Provinsi.

Dinas Kesehatan Provinsi dan Kab/kota melakukan kompilasi


setiap minggu dari laporan yang masuk untuk dianalisis dan
dilakukan tindakan seperlunya sesuai hasil analisis.

PHEOC melakukan kompilasi setiap minggu dari laporan yang


masuk untuk disebarluaskan kepada pihak terkait.

Setiap penyelidikan epidemiologi yang dilakukan harus dilengkapi


dengan laporan penyelidikan, yang dilaporkan bersama form KLB
(W1), form laporan kasus (S-MERS) dan form laporan kontak
(S-MERS-k).

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 35


Secara ringkas alur pelaporan dapat dilihat pada bagan di bawah ini :

ALUR PELAPORAN

Pusat c.q PHEOC

36 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


4 UPAYA PENGUATAN KINERJA SURVEILANS

1. Pembinaan

Pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan surveilans MERS


dilakukan oleh pusat, provinsi dan kab/kota secara berjenjang.
Pembinaan dan pengawasan dilakukan terhadap masukan, proses
dan keluaran surveilans MERS.
Input meliputi sumber daya manusia, sarana dan prasarana,
pembiayaan. Proses meliputi perencanaan, pelaksanaan serta
monitoring dan evaluasi. Keluaran meliputi capaian indikator kinerja.
Bimbingan teknis dilakukan sesuai jenjangnya. Dalam melakukan
bimbingan teknis menggunakan Check-List dan hasilnya dilakukan
umpan balik kepada program dan unit terkait.

2. Monitoring dan Evaluasi

Untuk memantau pelaksanaan sistem surveilans MERS maka


dilakukan kegiatan monitoring dan evaluasi. Monitoring dilakukan
secara berkala, meliputi penyelenggaraan surveilans MERS seperti
proses pengumpulan data termasuk pencatatan dan pelaporan,
pengolahan, analisis, penyebarluasan informasi ataupun umpan
balik serta kapasitas laboratorium baik ketersediaan logistik, sumber
daya manusia, maupun sarana.

Evaluasi dilakukan secara berkala untuk menilai kinerja sistem


surveilans MERS dan menganalisis hambatan yang ditemukan.
Mekanisme evaluasi dapat dilakukan melalui pertemuan kaji ulang/
validasi data di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota, membahas
tentang:
a. Analisis penyelenggaraan Surveilans MERS
b. Pencapaian Kinerja Surveilans MERS
c. Dukungan Laboratorium
d. Analisis kasus MERS
e. Permasalahan dan upaya pemecahan

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 37


3. Indikator Kinerja

• Jumlah rumor yang diverifikasi

• Kelengkapan dan ketepatan laporan notifikasi KKP

• Kelengkapan dan ketepatan laporan Petugas KKP

• Kelengkapan dan ketepatan laporan SKDR

• Jumlah alert yang dilakukan respons

• Jumlah KLB yang dilakukan penyelidikan dan penanggulangan


dalam 24 jam

38 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


BAB III

Manajemen Klinis
Infeksi Saluran Pernapasan Akut Berat
Kasus dalam Investigasi MERS

Pengantar
Middle East Respiratory Syndrome sebagai infeksi zoonosis, dapat juga
menginfeksi manusia melalui kontak dengan unta atau hasil produk unta
secara langsung maupun tidak langsung (infeksi primer). Jumlah kasus
primer ini sedikit dibanding keseluruhan kasus. Sebagian besar kasus adalah
sekunder akibat penularan dari manusia ke manusia di pelayanan kesehatan
karena kurangnya penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi. Virus
ini tidak mudah transmisi dari manusia ke manusia kecuali ada kontak erat
seperti tenaga kesehatan yang merawat pasien terinfeksi tanpa menerapkan
dengan ketat kewaspadaan dan pengendalian higiene lingkungan.

Gambaran klinis infeksi MERS bervariasi mulai dari tanpa gejala


(asimptomatik) hingga penumonia berat, bahkan sering terjadi komplikasi
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), syok sepsis, gagal multi organ
hingga kematian. Gejala dan tanda awal yang paling sering ditemukan
pada infeksi berat adalah demam (98%), menggigil (87%), batuk (83%) dan
sesak (72%). Hampir 25% kasus dilaporkan memiliki gejala gastrointestinal
seperti muntah dan diare. Demam bisa tidak ditemukan pada 15% kasus
yang dirawat di rumah sakit. Perburukan cepat menjadi pneumonia berat
dan gagal napas biasanya terjadi dalam minggu pertama (dengan rata-rata 7
hari dari munculnya gejala hingga memerlukan ventilasi mekanik). Kelainan
laboratorium yang dilaporkan berupa lekopeni, limfopeni, trombositopenia,
peningkatan pemakaian faktor koagulopati, peningkatan kreatinin serum,
laktat dehidrogenase dan kadar enzim hati. Ko-infeksi degan infeksi virus lain
dan bakteri patogen juga dilaporkan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 39


Sebagian besar kasus yang telah dilaporkan terdapat pada orang
dewasa (98%), laki-laki (66%, n=1329), dengan rerata usia 50 tahun (9 bulan
– 99 tahun, n=1335). Pada 76% kasus yang memiliki sedikitnya 1 penyakit
komorbid (status imun yang menurun/imuno kompromis, keganasan, obesitas,
diabetes, penyakit jantung, ginjal dan penyakit paru), berisiko kematian lebih
tinggi. Faktor usia >65 tahun sebagai prediktor independen risiko peningkatan
kematian. Kadar albumin serum rendah sebagai prediktor infeksi berat.

Gambaran klinis infeksi MERS telah diketahui sejak 3 tahun lalu, tetapi
sampai saat ini patogenesis penyakit masih belum diketahui dengan jelas dan
belum tersedia pengobatan spesifik terhadap virus MERS (vaksin atau obat
antivirus). Pedoman ini akan terus berkembang dan diperbaharui, digunakan
untuk membantu tatalaksana infeksi saluran napas akut (ISPA) berat,
keadaan kritis yang memerlukan perawatan di Intensive Care Unit (ICU),
disamping menggunakan pedoman Sepsis Campaign terbaru. Pedoman ini
tidak menghilangkan kewenangan klinis spesialistik akan tetapi membantu
dalam penatalaksanaan klinis pasien.

A. Deteksi Dini dan Rujukan Kasus dalam Investigasi MERS


1. Kenali manifestasi klinis Infeksi Saluran Pernapapasan Akut
Berat

Manifestasi klinis infeksi MERS yang mengancam jiwa berupa


pneumonia berat, ARDS, sepsis dan syok sepsis. Pengenalan
dini gejala klinis akan menentukan waktu yang tepat penerapan
pencegahan dan pengendalian infeksi serta tatalaksana.

40 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Tabel 1. Definisi

Infeksi Saluran Pernapasan Infeksi saluran pernapasan akut dengan riwayat demam
Akut (ISPA) berat atau demam > 380C dan batuk, onset dalam 10 hari dan
memerlukan perawatan rumah sakit. Tidak adanya demam
bukan menyingkirkan infeks MERS. Pada pasien tanpa
demam tetapi memiliki riwayat batuk atau gejala respirasi
seharusnya dievaluasi untuk risiko MERS

Kasus dalam investigasi Sesuai surveilans

Kasus Probabel Sesuai surveilans

Kasus konfirmasi Sesuai surveilans

Pneumonia berat Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau diduga
infeksi pernapasan, batuk, frekuensi pernapasan> 30
kali/ menit, gangguan pernapasan berat, saturasi oksigen
(SpO) <90% room air, anak dengan retraksi dinding dada,
tanda-tanda distres napas (naoas cuping hidung, napas
berbunyi, sianosis sentral, tidak dapat minum, letargi,
SpO2 < 90% atau takipnea (<2 month, frekuensi napas >
60x/mnt, 2-11 bulan, frekuensi napas >50x/mnt, 1-5 thn
> 40x/mnt atau gambaran radiologis berupa konsolidasi,
ground glass, efusi pleura

Acute Respiratory Distress Onset: timbulnya gejala respirasi baru atau perburukan
Syndrome (ARDS) dalam waktu 1 minggu

Gambaran radiologis (misalnya X-ray atau CT scan):


opasitasbilateral, yang belum dapat dibedakan apakah
karena efusi, kolapsparu / lobar atau nodul.

Sifat Edema paru: gagal napas bukan akibat gagal jantung


atau overload cairan. Diperlukan pemeriksaan objektif
(ekokardiografi) untuk membuktikan edema bukan akibat

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 41


kelainan hidrostatik
Oksigenasi:
200 mm Hg <PaO2/FiO2 < 300 mm Hg dengan PEEP atau
CPAP > 5 cm H2O (ARDS Ringan);
100 mm Hg <PaO2/FiO2 < 200 mm Hg dengan PEEP > 5
cm H2O (ARDS Sedang);
PaO2/FiO2 < 100 mm Hg dengan PEEP > 5 cm H2O
(ARDS Berat).

Ketika PaO2 tidak tersedia, rasio SpO2/FiO2 < 315


menunjukkan ARDS.

Sepsis Infeksi atau diduga infeksi dengan disfungsi organ seperti


oliguria, AKI, hipoksemia (PaO2/FiO2 < 300), peningkatan
serum transaminase, koagulopati, trombositopenia,
penurunan kesadaran, ileus, hiperbilirubinemia ATAU
tanda hipoperfusi seperti asidosis laktat, penurunan
pengisian kapiler atau kulit pucat ATAU hipotensi

Syok septik Hipotensi akibat Sepsis meskipun sudah resusitasi


cairan adekuat (Sistole<90 mm Hg, MAP < 70mm Hg atau
penurunan sistole>40 mm Hg atau sekurangnya terdapat
dua parameter dibawah nilai normal sesuai umur pada
anak) atau terdapat tanda-tanda hipoperfusi (laktat > 4
mmol/L)

SpO2 : saturasi oksigen, PaO2 : tekanan parsial oksigen, FiO2 : fraksi oksigen inspirasi,

CPAP : continuous positive airway pressure, PEEP : tekanan akhir ekspirasi positif, HR :

denyut jantung, RR : tingkat pernapasan, PaCO2 : tekanan parsial karbon dioksida, SBP :

tekanan darah sistolik.

42 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


2. Rujukan Kasus Dalam Investigasi MERS

Manifestasi klinis infeksi MERS bermacam-macam mulai dari tanpa


gejala hingga pneumonia berat dengan ARDS dan komplikasi lain yang
berisiko kematian. Gejala ringan biasanya tidak khas seperti sakit
kepala, lelah, demam, batuk ringan, nyeri tenggorok, pilek. Kadang pada
beberapa pasien disertai gejala gastrointestinal berupa diare ringan.

Pada kasus dalam investigasi MERS dengan gejala sesak napas yang
ditandai frekeunsi napas > 30x/mnt (dewasa), takipnea (bayi <2 bulan),
frekuensi napas > 60x/mnt, 2-11 bulan, frekuensi napas >50x/mnt,
anak 15 thn > 40x/mnt atau pada foto toraks didapatkan gambaran
pneumonia maka dilakukan perawatan isolasi di rumah sakit rujukan.

Penemuan kasus dalam investigasi MERS yang memenuhi kriteria


perawatan rumah sakit bisa berasal dari Kantor Kesehatan Pelabuhan
(KKP), Rumah sakit bukan rujukan, praktek dokter swasta atau
pelayanan kesehatan primer. Bila mendapatkan kasus ini maka segera
dirujuk ke runah sakit rujukan, pasien dirujuk dengan menggunakan
ambulans penyakit infeksi dengan menerapkan standar pencegahan dan
pengendalian infeksi berbasis transmisi droplet.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 43


Alur penemuan kasus dan rujukan (sesuai surveilans)

ALUR PENEMUAN KASUS DAN RESPON

KKP
Puskesmas

Perjalanan dari Gejala demam S> 380C


negara terjangkit batuk, sesak FP>30x/m

Rumah Sakit
TIDAK

Riwayat perjalanan negara


terjangkit dalam 14 hari
Pemantauan 14 YA atau kontak erat
hari melalui HAC

TIDAK

Gejala demam, YA
batuk, sesak
Tata laksana kasus
sesuai penyebab

TIDAK Underinvestigation MERS

Rujuk; pemeriksaan specimen;


Pemantauan tata laksana kasus
dihentikan

Lab (+) Lab (-)

Penyelidikan MERS Tata laksana


Epidemiologi Konfirm sesuai
penyebab

Penanggulangan sesuai hasil


penyelidikan epidemiologi

44 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Pada kasus dalam investigasi MERS dengan gejala ringan, cukup dilakukan
isolasi rumah dengan memperhatikan:

• Hindari atau batasi tamu/pengunjung dan tidak melakukan perjalanan


ke luar rumah

• Menerapkan kewaspadaan standar dan droplet

• Tutup hidung dan mulut saat batuk atau bersin

• Pantau gejala setiap hari terutama demam, gejala respirasi seperti batuk
atau sesak

• Bila gejala memberat muncul segera lapor ke petugas kesehatan untuk


dirujuk ke rumah sakit rujukan (alur dari surveillance)

• Bersihkan dan lakukan disinfektan secara rutin pada daerah


terkontaminasi di ruangan isolasi rumah

Kasus dalam investigasi MERS menjalani isolasi rumah selama masa inkubasi
dan gejala tidak memberat. Pemantau kasus dalam investigasi MERS akan
dilakukan oleh petugas kesehatan layanan primer yang berkoordinasi dengan
dinas kesehatan setempat.

Bila ditemukan kasus RT-PCR MERS positif dan tidak ada gejala maka pasien
dilakukan isolasi rumah dengan pemantauan seperti diatas. Pasien dapat
kembali bekerja apabila hasil RT-PCR MERS negatif dalam 2 kali pengambilan
sampel berturut-turut dengan jarak waktu minimal 24 jam. Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan secepatnya minimal setiap minggu sampai hasil tes
pertama negatif lalu dilanjutkan setiap 24 – 48 jam untuk mengurangi waktu
isolasi di rumah.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 45


B. Tatalaksana pasien kasus dalam investigasi MERS di Rumah
Sakit Rujukan
I. Pasien Dewasa

II. Pasien Anak

Terapi suportif awal dan pemantauan pasien ISPA berat

a. Berikan terapi suplementasi oksigen pada pasien ISPA dengan


tandatanda gangguan pernapasan berat, hipoksemia (SpO2 <90%)
atau pada keadaan syok tiba-tiba.
- Mulai terapi oksigen dengan 5 L / menit dan titrasi hingga
mencapai target SpO2 > 90% pada orang dewasa yang tidak
hamil dan anak serta SpO2 > 92-95% pada pasien hamil
- Pulse oksimetri, oksigen, selang oksigen dan masker harus
tersedia di semua area di mana pasien dengan ISPA berat
dirawat, bersifat sekali pakai
- Terapkan kewaspadaan standar saat kontak dengan selang,
masker oksigen yang telah terkontaminasi

b. Gunakan manajemen cairan konservatif pada pasien ISPA


berat tanpa syok. Pada pasien ISPA berat harus hati-hati dalam
pemberian cairan intravena, karena resusitasi cairan secara agresif
dapat memperburuk oksigenasi, terutama dalam situasi terdapat
keterbatasan ketersediaan ventilasi mekanis

c. Monitor dengan ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami


perburukan seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi
secepat mungkin

d. Berikan antibiotik empirik untuk mengobati pneumonia. Pada


pasien pneumonia komunitas dan diduga terinfeksi MERS, dapat
diberikan antibiotik secara empirik (berdasarkan epidemiologi dan
pola kuman lokal) secepat mungkin sampai diketahui jenis kuman
penyebab dari pemeriksaan sputum. Terapi empirik kemudian
dapat disesuaikan berdasarkan hasil uji kepekaan. Pada kasus

46 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


dalam investigasi MERS dengan sepsis berikan antibiotik empirik
yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam

e. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik dosis tinggi atau


terapi tambahan lainnya untuk pneumonitis virus atau ARDS
diluar konteks uji klinis dan dapat diberikan untuk indikasi lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi
dapat menyebabkan efek samping yang serius pada pasien dengan
ISPA berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik, avascular nekrosis,
infeksi baru bakteri dan replikasi virus mungkin berkepanjangan.
Oleh karena itu, kortikosteroid harus dihindari kecuali diindikasikan
untuk alasan lain.

f. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif.


Terminasi kehamilan menjadi tantangan dan harus hati-hati serta
mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia kehamilan, kondisi
ibu dan janin. Perlu dipertimbangkan oleh dokter kandungan, anak
dan ICU

C. Pengumpulan dan Pengambilan Sampel


Kumpulkan spesimen saluran pernapasan dan lainnya untuk pengujian
laboratorium
- Spesimen klinis rutin (misalnya kultur bakteri darah dan dahak)
pada pasien dengan pneumonia, idealnya sebelum penggunaan
antimikroba.
- Spesimen pernapasan dari saluran napas atas (yaitu hidung,
nasofaring dan / atau usap tenggorokan) dan saluran napas bawah
(yaitu sputum, aspirasi endotrachea, bronchoalveolar lavage) untuk
MERS dan virus pernapasan lain (seperti influenza A dan B,virus
influenza A subtipe H1, H3, dan H5 di negara-negara dengan
virus H5N1 beredar di kalangan unggas;RSV, virus parainfluenza,
rhinoviruses, adenonviruses, metapneumoviruses manusia, dan
non-SARS coronaviruses) dan bakteri

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 47


- Pengambilan spesimen saluran napas atas harus menggunakan
swab dakron atau rayon steril
- Sampel dikirim dengan menggunakan media transpor virus
- Pada kasus berat atau pneumonia , spesimen yang lebih tepat untuk
pemeriksaan MERS adalah dari saluran napas bawah. Data selama
ini menunjukkan bahwa hasil lebih banyak positif dari saluran napas
bawah dibanding saluran napas atas dan virus dapat dideteksi lebih
lama di saluran napas bawah
- Pemeriksaan antibodi dilakukan dengan menggunakan sampel dari
serum yang berpasangan

Pemeriksaan spesimen dilakukan dengan menggunakan reverse


transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR) bila tidak tersedia
dikirim ke Laboratorium Badan Litbangkes RI Jakarta.

D. Tatalaksana Gangguan Napas Berat, Hipoksemia dan ARDS

1. Kenali kasus dengan gagal napas akibat hipoksemia berat, tidak


cukup hanya diberikan oksigen saja, walaupun sudah diberikan
aliran yang tinggi.

Meskipun aliran oksigen yang diberikan sudah tinggi (10 sampai 15 L /


menit) dengan reservoir mask, dan konsentrasi oksigen (FiO2) yang tinggi
(antara 0,60 dan 0,95), pasien terus meningkatan kerja otot napas.
Gagal napas hipoksemik pada ARDS terjadi akibat tingginya fraksi shunt
intrapulmoner dan keadaan ini membutuhkan ventilasi mekanis.

2. Apabila tersedia alat dan petugas yang terlatih, pemberian oksigen


aliran tinggi (sampai 50 L/menit) dapt dilakukan, harus hati-hati dan
pada kasus gagal napas hipoksemik nonhiperkapnik

Saat ini ada sistem baru pengiriman oksigen dengan aliran tinggi sampai
50-60 L/menit menggunakan nasal kanul tipe baru. Pemakaian alat ini
menunjukkan perbaikan distres napas dan oksigenasi dibanding nasal
kanul model lama (tradisional). Alat ini tidak bisa digunakan pada pasien
dengan hiperkapnia akibat PPOK eksaserbasi, edema paru kardiogenik,

48 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


hemodinamik tidak stabil atau pada pasien dengan penurunan kesadaran.
Hingga saat ini belum ada laporan yang ditulis mengenai penggunaan
oksigen aliran tinggi pada infeksi MERS

3. Ventilasi mekanis harus diberikan secara dini pada pasien dengan


peningkatan kerja otot napas atau hipoksemia yang tetap terjadi
meskipun telah diberikan oksigen aliran tinggi

Pada kondisi sumber daya yang terbatas, pilihan ventilasi mekanis


berdasarkan ketersediaan alat, pengalaman klinisi dan analisa
keuntungan dan kerugiannya. Pemberian ventilasi mekanik dapat berupa
ventilasi non-invasif (NIV) yaitu pemberian ventilasi melalui masker
melekat dengan ketat dan pas pada wajah dengan tekanan atau ventilasi
mekanik invasif melalui endotracheal tube atau tracheostomi.

4. Pasien ISPA berat dengan gagal napas hipoksemik nonhiperkapnik


dapat menggunakan NIV jika alat tersedia dan terdapat klinisi yang
terlatih.

Non invasive ventilation (NIV) yang digunakan dengan mode ventilasi


bilevel positive airway pressure melalui masker ketat. Hal ini dapat
mengurangi kebutuhan untuk intubasi endotrakeal pada pasien dengan
PPOK eksaserbasi berat dan edema paru kardiogenik. Terdapat bukti
yang cukup untuk penggunaan NIV pada pasien pneumonia berat
atau ARDS, kecuali imunosupresi. Pasien dengan ARDS ringan dapat
dipertimbangkan untuk diberikan NIV.

5. Jika diberikan NIV, pantau pasien secara ketat di ICU, jika NIV tidak
berhasil, jangan menunda intubasi endotrakeal.

Pemakaian NIV, potensial untuk membentuk airborne karena itu


gunakan kewaspadaan bebrasis trasnmisi airborne

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 49


6. Jika tersedia peralatan dan staf terlatih, dengan NIV tidak berhasil
lanjutkan dengan intubasi endotrakeal untuk memberikan ventilasi
mekanik invasif.

Pasien dengan ARDS, terutama pada pasien obesitas atau hamil, dapat
terjadi desaturasi cepat selama intubasi. Pasien dilakukan oksigenasi
pra intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2)100% selama 5 menit, melalui
bagvalve masker/ambu bag atau NIV dan kemudian dilanjutkan dengan
intubasi. Perhatikan untuk menerapkan kewaspadaan berbasis airborne.

7. Gunakan lung protective strategy ventilation (LPV) untuk pasien


dengan ARDS

Menerapkan strategi ventilasi menggunakan volume rendah dan tekanan


rendah, targetvolume tidal 6 ml / kgbb, tekanan plateau (Pplat) dari
cm H2O dan SpO2 88-93 % atau PaO2 55-80 mmHg (7,3-10,6 kPa) telah
terbukti mengurangi angka kematian pada populasi pasien ARDS.

Untuk mencapai target LPV, dimungkinkan permisif hypercapnia.

Untuk mencapai target SpO2, gunakan PEEP adekuat ( untuk menjaga


aleveoli tetap teroksigenasi) untuk mengatasi hipoksemia.

- Double triggering, bentuk umum dari asynchrony, dapat diatasi


dengan meningkatkan aliran inspirasi, memperpanjang waktu
inspirasi, suction trachea, membuang air dari tabung ventilator,
dan mengatasi kebocoran sirkuit.

- Pertimbangkan untuk sedasi dalam jika tidak dapat mengendalikan


volume tidal.

- Hindari terlepasnya pasien dari ventilator. Bila terjadi terlepasnya


ventilator dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan kolaps paru.

- Gunakan kateter untuk suction sekret jalan napas

- Minimalkan transportasi.

50 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Pada pasien dengan ARDS sedang- berat, pertimbangkan terapi
ajuvan awal, terutama jika gagal mencapai target LPV

- Pemberian blokade neuromuskular dalam 48 jam akan


meningkatkan lama tahun hidup dan peningkatan waktu bebas
ventilator tanpa menyebabkan kelemahan otot yang signifikan.

- Posisi prone pada pasien dapat meningkatkan oksigenasi dan lama


tahan hidup pada pasien dengan ARDS berat (PaO2/FiO2< 150) jika
pasien diletakkan posisi prone sejak awal dan sekurang-kurangnya
selama 16 hari. Perlu diperhatikan saat mengubah posisi pasien
agar tetap aman

- Lung Recruitment Manuver dan PEEP yang tinggi pada ARDS sedang
dan berat akan memperbaiki angka tahan hidup berdasarkan meta
analisis

- Gunakan strategi tatalaksana cairan konservatif untuk pasien ARDS


yang tidak syok untuk mempersingkat durasi penggunaan ventilasi
mekanik

E. Tatalaksana Syok Sepsis


Kenali syok sepsis yaitu ketika pasien mengalami hipotensi (TD
sistolik <90 mmHg, MAP<70mmHg, atau penurunan TD sistolik > 40
mMHg dibanding TD sistolik sebelum sakit atau sekurang-kurangnya
dua nilai kurang dari normal sesuai usia) yang menetap setelah
resusitasi cairan adekuat atau terdapat tanda-tanda hipoperfusi
jaringan (konsentrasi laktat darah> 4 mmol / L).

Prosedur resusitasi tersedia di situs Surviving Sepsis Campaign. Dalam


kondisi terbatasnya sumber daya, tindakan intervensi dapat dimodifikasi
berdasarkan ketersediaan dan pengalaman dengan alat pemantauan
hemodinamik invasif (yaitu central vena kateter, kateter arteri) dan obat-
obatan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 51


Berikan cairan infus kristaloid secara dini dan cepat untuk syok
sepsis

- Berikan cairan kristaloid, yaitu normal saline atau larutan RL untuk


mencapai kebutuhan minimum 30 ml/kgBB dalam 1 jam untuk
dewasa dan 20 ml/kgBB dalam 15-20 menit untuk anak

- Tentukan butuh atau tidaknya bolus cairan selanjutnya (250-1000


ml untuk dewasa, atau 10-20 ml/KgBB untuk anak) berdasarkan
respons klinis dan target perbaikan perfusi (misalnya apakah target
perfusi membaik atau tidak). Target perfusi perbaikan adalah MAP>
65 mmHg, produksi urin > 0,5-1 ml/kgBB/jam pada dewasa dan
anak 1 ml/kgBB/jam, perbaikan turgor kulit, sensorik dan pengisian
kapiler

- Resusitasi cairan yang berlebihan dapat menyebabkan gangguan


pernapasan.

- Jika tidak ada respons terhadap resusitasi cairan dan ditemukan


tanda-tanda volume overload (ronki basah halus pada auskultasi,
edema paru pada foto toraks), pemberian cairan harus dikurangi
atau dihentikan. Hal ini sangat penting khususnya pada sumber
daya yang terbatas di mana ventilasi mekanik tidak tersedia.

- Jangan memberikan cairan hipotonik atau cairan dekstrose. Cairan


mengandung dekstrose berhubungan dengan peningkatan insiden
disfungsi dan gagal ginjal

- Jangan gunakan balans cairan sebagai panduan untuk memberikan


atau mengurangi jumlah volume loading cairan

Gunakan vasopressor ketika syok tetap berlanjut meskipun resusitasi


cairan telah diberikan secara adekuat

- Vasopressors (norepinefrin, epinefrin dan dopamin) paling aman


diberikan melalui kateter vena sentral, dengan pengawasan ketat.
Pemantauan tekanan darah dilakukan lebih sering. Pemberian
vasopresor diberikan secara titrasi dimulai dengan dosis minimum
yang diperlukan untuk mempertahankan perfusi (TD sistolik

52 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


> 90 mm Hg) dan mencegah efek samping. Pada pasien dengan
hipertensi kronik, target MAP lebih tinggi yaitu MAP>80 mmHg
untuk mengurangi risiko kerusakan ginjal. Pemakian dopamin
hanya terbatas untuk pasien dengan risiko rendah takiaritmia
atau pasien dengan bradikardi karena efek samping dopamin yaitu
aritmia kardiak

- Jika masih terdapat tanda-tanda perfusi yang kurang baik dan


disfungsi jantung meskipun target MAP sudah tercapai dengan
cairan dan vasopresor, perlu dipertimbangkan penggunaan inotropik
seperti dobutamin

- Dalam kondisi keterbatasan sumber daya, jika kateter vena sentral


tidak tersedia, vasopressor dapat diberikan dengan hati-hati melalui
IV perifer dan dipantau dengan seksama tanda-tanda ekstravasasi
dan nekrosis. Jika hal ini terjadi, hentikan infus.

- Pertimbangkan pemberian hidrokortison intravena (sampai 200 mg


/ hari) atau prednisolon (sampai 75 mg / hari) pada pasien dengan
syok persisten yang membutuhkan peningkatan dosis vasopresor.
Turunkan dengan tapering ketika syok mulai perbaikan

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 53


F. Pencegahan Komplikasi
Terapkan tindakan berikut untuk mencegah komplikasi pada pasien kritis/berat

Antisipasi Dampak Tindakan


Mengurangi waktu - Protokol penyapihan meliputi penilaian harian
penggunaan ventilasi kesiapan bernapas spontan
mekanis invasif (IMV) - Protokol Sedasi untuk titrasi pemberian obat
penenang pada target tertentu, dengan atau
tanpa interupsi harian infus obat penenang
Mengurangi kejadian - Intubasi oral adalah lebih baik daripada
ventilator-associated intubasi nasal
pneumonia - Lakukan perawatan antiseptik oral secara
teratur
- Jaga pasien dalam posisi semi-telentang
- Gunakan sistem suction tertutup, kuras dan
buang kondensat dalam pipa secara periodik
- Gunakan sirkuit ventilator baru untuk setiap
pasien, ganti sirkuit jika kotor atau rusak
- Ganti alat heat moisture exchanger jika tidak
berfungsi, ketika kotor atau setiap 5-7 hari
- kurangi hari IMV

Mengurangi kejadian - Gunakan obat profilaksis (heparin 5000 unit


tromboemboli vena subkutan dua kali sehari) pada pasien tanpa
kontraindikasi.
- Pasien dengan kontraindikasi, gunakan
perangkat profilaksis mekanik seperti
intermiten pneumatic compression device.

Mengurangi kejadian infeksi Gunakan checklist sederhana selama


terkait pemakaian kateter pemasangan kateter IV sebagai pengingat
IV ke aliran darah dari setiap langkah yang diperlukan untuk
pemasangan yang steril dan pengingat harian
untuk melepas kateter jika tidak diperlukan

Mengurangi kejadian ulkus Rubah posisi pasien setiap dua jam


karena tekanan

Mengurangi kejadian stres Berikan nutrisi enteral dini (dalam waktu 24-48
ulcer dan pendarahan jam pertama), berikan antihistamin-2 receptor
lambung atau proton-pump inhibitors

Mengurangi kejadian Mobilisasi dini


kelemahan karena
perawatan ICU

54 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


BAB IV

Pencegahan dan Pengendalian Infeksi selama


perawatan khusus dalam investigasi Infeksi Virus
Middle East Respiratory Syndrome (MERS)

Latar belakang

Penularan infeksi MERS dari manusia ke manusia hampir sebagian besar


terjadi di layanan kesehatan sementara di masyarakat penularannya masih
terbatas. Penularan terjadi karena ada kontak erat melalui transmisi droplet
atau kontak dengan pasien yang sakit berat baik di rumah maupun disarana
pelayanan kesehatan. Hingga saat ini masih diperlukan penelitian lebih lanjut
mengenai faktor risiko penularan dari hewan ke manusia dan manusia ke
manusia.

Keberhasilan pencegahan penyebaran infeksi MERS tergantung pada


penemuan dini kasus dan pelaksanaan komponen utama program
pencegahan dan pengendalian infeksi. Sebagian besar penularan terjadi
karena tidak adanya tindakan pencegahan dengan menerapkan pencegahan
dan pengendalian infeksi standar sebelum pasien dinyatakan sebagai suspek
atau konfirmasi karena itu penting untuk menerapkan pencegahan dan
pengendalian infeksi secara terus menerus untuk mengurangi penyebaran
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di layanan kesehatan saat merawat
pasien dengan gejala ISPA.

Tindakan pencegahan tambahan ketika merawat pasien probabel atau


konfirmasi MERS harus diterapkan guna mengurangi risiko penularan.
Sarana pelayanan kesehatan disarankan untuk memperkuat upaya
pelayanan dalam mengawasi mereka yang memberi perawatan / pelayanan
kesehatan untuk memastikan lingkungan yang aman bagi pasien dan petugas
kesehatan. Disamping itu ketersediaan APD penting bagi petugas kesehatan
dalam merawat / melayani pasien terinfeksi MERS.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 55


Pedoman/petunjuk ini dibuat untuk memberikan rasa aman bagi petugas
kesehatan, manajer perawatan kesehatan, dan tim IPC ketika memberi
perawatan/pelayanan terhadap pasien diduga/probabel / konfirmasi
terinfeksi MERS. Pengendalian infeksi MERS pada prinsipnya sama dengan
pengendalian infeksi Flu burung (H5N1) dan pedoman ini menggaris bawahi
hal-hal penting pada pengendalian infeksi MERS, untuk hal-hal yang lebih
terperinci dapat dilihat pada buku pedoman pencegahan dan pengendalian
infeksi di rumah sakit dan pelayanan kesehatan lainnya. Rekomendasi
yang digunakan dalam panduan/petunjuk teknis ini merupakan cermin
pemahaman tentang MERS yang ada saat ini dan akan diperbaharui bila
ditemukan adanya bukti–bukti perubahan perkembangan penyakit dan pada
faktor risiko.

A. Prinsip Pencegahan Infeksi dan Strategi Pengendalian


Berkaitan dengan Pelayanan Kesehatan

Mencegah atau membatasi penularan infeksi di sarana pelayanan kesehatan


memerlukan penerapan prosedur dan protokol yang disebut sebagai
“pengendalian”. Secara hirarkis hal ini telah di tata sesuai dengan efektivitas
pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI), yang meliputi : pengendalian
bersifat administratif, pengendalian dan rekayasa lingkungan dan alat
pelindung diri (APD)

1. Pengendalian administratif.

Kegiatan ini merupakan prioritas pertama dari strategi PPI, meliputi


penyediaan kebijakan infrastruktur dan prosedur dalam mencegah,
mendeteksi, dan mengendalikan infeksi selama perawatan kesehatan.
Kegiatan akan efektif bila dilakukan mulai dari antisipasi alur pasien
sejak saat pertama kali datang sampai keluar dari sarana pelayanan.

Pengendalian administratif dan kebijakan–kebijakan yang diterapkan


pada ISPA meliputi penyediaan infrastruktur dan kegiatan PPI yang
berkesinambungan, pembekalan pengetahuan petugas kesehatan,
mencegah kepadatan pengunjung di ruang tunggu, menyediakan
ruang tunggu khusus untuk orang sakit dan penempatan pasien rawat

56 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


inap, mengorganisir pelayanan kesehatan agar persedian perbekalan
digunakan dengan benar, prosedur–prosedur dan kebijakan semua
aspek kesehatan kerja dengan penekanan pada surveilans ISPA diantara
petugas–petugas kesehatan dan pentingnya segera mencari pelayanan
medis, dan pemantauan tingkat kepatuhan disertai dengan mekanisme
perbaikan yang diperlukan.

Langkah-langkah penting dalam pengendalian administratif, meliputi


identifikasi dini pasien dengan ISPA/ILI (Influenza like Illness) baik
ringan maupun berat yang diduga terinfeksi MERS, diikuti dengan
penerapan tindakan pencegahan yang cepat dan tepat, serta pelaksanaan
pengendalian sumber infeksi. Untuk identifikasi awal semua pasien ISPA
digunakan triase klinis. Pasien ISPA yang diidentifikasi harus ditempatkan
di area terpisah dari pasien lain, dan segera dilakukan kewaspadaan
tambahan IPC seperti yang akan dijelaskan dibagian lain dari pedoman
ini. Aspek klinis dan epidemiologi kasus harus segera dievaluasi dan
penyelidikan harus dilengkapi dengan evaluasi laboratorium.

2. Pengendalian dan rekayasa lingkungan.

Kegiatan ini dilakukan termasuk di infrastruktur sarana pelayanan


kesehatan dasar dan di rumah tangga yang merawat kasus dengan gejala
ringan dan tidak membutuhkan perawatan di RS. Kegiatan pengendalian
ini ditujukan untuk memastikan bahwa ventilasi lingkungan cukup
memadai di semua area didalam fasilitas pelayanan kesehatan serta di
rumah tangga, serta kebersihan lingkungan yang memadai. Harus dijaga
pemisahan jarak minimal 1 m antara setiap pasien ISPA dan pasien
lain, termasuk dengan petugas kesehatan (bila tidak menggunakan
APD). Kedua kegiatan pengendalian ini dapat membantu mengurangi
penyebaran beberapa patogen selama pemberian pelayanan kesehatan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 57


3. Alat Perlindungan Diri (APD).

Penggunaan secara rasional dan konsisten APD yang tersedia serta


higiene sanitasi tangan yang memadai juga akan membantu mengurangi
penyebaran infeksi. Meskipun memakai APD adalah langkah yang paling
kelihatan dalam upaya pengendalian dan penularan infeksi, namun
upaya ini adalah yang terakhir dan paling lemah dalam hirarki kegiatan
IPC. Oleh karena itu jangan mengandalkannya sebagai strategi utama
pencegahan. Bila tidak ada langkah pengendalian administratif dan
rekayasa teknis yang efektif, maka APD hanya memiliki manfaat yang
terbatas.

B. Kewaspadaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi


II.1 Kewaspadaan standar/Standard Precaution

Kewaspadaan standar adalah tonggak yang harus selalu diterapkan di semua


fasilitas pelayanan kesehatan dalam memberikan pelayanan kesehatan
yang aman bagi semua pasien dan mengurangi risiko infeksi lebih lanjut.
Kewaspadaan baku meliputi kebersihan tangan dan penggunaan APD
untuk menghindari kontak langsung dengan darah, cairan tubuh, sekret
(termasuk sekret pernapasan) dan kulit pasien yang terluka. Disamping itu
juga mencakup: pencegahan luka akibat benda tajam dan jarum suntik,
pengelolaan limbah yang aman, pembersihan, desinfeksi dan sterilisasi linen
dan peralatan perawatan pasien, dan pembersihan dan desinfeksi lingkungan.
Orang dengan gejala sakit saluran pernapasan harus disarankan untuk
menerapkan kebersihan / etika pernafasan.

Petugas kesehatan harus menerapkan “5 momen kebersihan tangan”, yaitu:


sebelum menyentuh pasien, sebelum melakukan prosedur kebersihan atau
aseptik, setelah berisiko terpajan cairan tubuh, setelah bersentuhan dengan
pasien, dan setelah bersentuhan dengan lingkungan pasien, termasuk
permukaan atau barang-barang yang tercemar.
• Kebersihan tangan mencakup mencuci tangan dengan sabun dan air
atau menggunakan antiseptik berbasis alkohol
• Cuci tangan dengan sabun dan air ketika terlihat kotor
• Penggunaan APD tidak menghilangkan kebutuhan untuk kebersihan

58 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


tangan. Kebersihan tangan juga diperlukan ketika menggunakan dan
terutama ketika melepas APD.

Pada perawatan rutin pasien, penggunaan APD harus berpedoman pada


penilaian risiko / antisipasi kontak dengan darah, cairan tubuh, sekresi dan
kulit yang terluka. Ketika melakukan prosedur yang berisiko terjadi percikan
ke wajah dan / atau badan, maka pemakaian APD harus ditambah dengan,

• Pelindung wajah dengan cara memakai masker medis/bedah dan


pelindung mata / eye-visor / kacamata, atau pelindung wajah, dan

• Gaun dan sarung tangan bersih.

Pastikan bahwa prosedur – prosedur kebersihan dan desinfeksi diikuti secara


benar dan konsisten. Membersihkan permukaan–permukaan lingkungan
dengan air dan deterjen serta memakai disinfektan yang biasa digunakan
(seperti hipoklorit) merupakan prosedur yang efektif dan memadai. Pengelolaan
laundry, peralatan makan dan limbah medis sesuai dengan prosedur rutin.

II.2. kewaspadaan Pencegahan dan Pengendalian Infeksi tambahan ketika


merawat pasien infeksi saluran pernapasan akut (ISPA)

Tambahan pada Kewaspadaan Standar, bahwa semua individu termasuk


pengunjung dan petugas kesehatan yang melakukan kontak dengan pasien
dengan ISPA harus:

• Memakai masker medis ketika berada dekat (yaitu dalam waktu kurang
lebih 1 m) dan waktu memasuki ruangan atau bilik pasien.

• Membersihkan tangan sebelum dan sesudah bersentuhan dengan pasien


dan lingkungan nya dan segera setelah melepas masker medis.

II.3. kewaspadaan pencegahan dan pengendalian Infeksi pada prosedur/


tindakan medik yang menimbulkan aerosol

Suatu prosedur / tindakan yang menimbulkan aerosol didefinisikan sebagai


tindakan medis yang dapat menghasilkan aerosol dalam berbagai ukuran,
termasuk partikel kecil (<5 mkm). Terdapat bukti yang baik yang berasal dari
studi tentang Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) yang disebabkan

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 59


oleh virus corona (SARS-CoV), dimana terdapat hubungan yang konsisten
antara transmisi patogen dengan intubasi trakea. Selain itu, beberapa studi
juga menunjukkan adanya peningkatan risiko Infeksi SARS-COV yang terkait
dengan trakeostomi, ventilasi non-invasif dan penggunaan ventilasi manual
sebelum dilakukan intubasi. Namun, karena temuan ini diidentifikasi hanya
dari beberapa studi yang kualitasnya dinilai rendah, maka interpretasi dan
aplikasi praktis sulit dilakukan. Tidak ditemukan prosedur lain yang secara
signifikan berhubungan dengan peningkatan risiko penularan ISPA.

Tindakan kewaspadaan tambahan harus dilakukan saat melakukan prosedur


yang menghasilkan aerosol dan mungkin berhubungan dengan peningkatan
risiko penularan infeksi, khususnya, intubasi trakea.

Tindakan kewaspadaan tambahan saat melakukan prosedur medis yang


menimbulkan aerosol:
• Memakai respirator partikulat (N95) ketika mengenakan respirator
partikulat disposable, periksa selalu sealnya.
• Memakai pelindung mata (yaitu kacamata atau pelindung wajah)
• Memakai gaun lengan panjang dan sarung tangan bersih, tidak steril,
(beberapa prosedur ini membutuhkan sarung tangan steril)
• Memakai celemek kedap air untuk beberapa prosedur dengan volume
cairan yang tinggi diperkirakan mungkin dapat menembus gaun
• Melakukan prosedur di ruang berventilasi cukup, yaitu disarana– sarana
yang dilengkapi ventilasi mekanik, minimal terjadi 6 sampai 12 kali
pertukaran udara setiap jam dan setidaknya 60 liter / detik / pasien di
sarana–sarana dengan ventilasi alamiah.
• Membatasi jumlah orang yang hadir di ruang pasien sesuai jumlah
minimum yang diperlukan untuk memberi dukungan perawatan pasien
• Membersihkan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan nya dan setelah pelepasan APD

60 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


II.4. Kewaspadaan pencegahan dan pengendalian infeksi ketika merawat
pasien probabel atau konfirmasi terinfeksi MERS

Batasi jumlah petugas kesehatan, anggota keluarga dan pengunjung yang


melakukan kontak dengan pasien suspek, probabel atau konfirmasi terinfeksi
MERS.

• Tunjuk tim petugas kesehatan terampil khusus yang akan memberi


perawatan secara ekslusif kepada pasien terutama kasus probabel dan
konfirmasi untuk menjaga kesinambungan pencegahan dan pengendalian
serta mengurangi peluang ketidakpatuhan menjalankannya yang dapat
mengakibatkan tidak adekuatnya perlindungan terhadap pajanan.

• Anggota keluarga dan pengunjung yang kontak dengan pasien harus


dibatasi hanya pada mereka yang berkepentingan membantu pasien dan
harus diberi latihan tentang risiko–risiko penularan dan kewaspadaan
pengendalian infeksi sama seperti yang diberikan kepada petugas
kesehatan yang merawat pasien. Mungkin dibutuhkan pelatihan lanjut
dalam mengatur penempatan dimana pasien rawat inap sering dirawat
oleh anggota keluarganya.

Selain Kewaspadaan baku, semua individu termasuk pengunjung dan petugas


kesehatan, ketika melakukan kontak dekat (dalam jarak kurang dari 1 m)
dengan pasien atau setelah memasuki ruangan atau bilik pasien probable
atau konfirmasi terinfeksi MERS, harus selalu:
• Memakai mask medis / bedah.
• Memakai pelindung mata (yaitu kacamata atau pelindung wajah)
• Memakai gaun lengan panjang, dan sarung tangan bersih, tidak steril,
(beberapa prosedur mungkin memerlukan sarung tangan steril);
• Membersihkan tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan
lingkungan nya dan segera setelah melepas APD

Jika memungkinkan, gunakan peralatan sekali pakai atau yang dikhususkan


untuk pasien tertentu (misalnya stetoskop, manset tekanan darah dan
termometer). Jika peralatan harus digunakan untuk lebih dari satu pasien,
maka sebelum dan sesudah digunakan peralatan harus dibersihkan dan

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 61


disinfeksi. Petugas kesehatan harus menahan diri agar tidak menyentuh/
menggosok–gosok mata, hidung atau mulut dengan sarung tangan yang
berpotensi tercemar atau dengan tangan telanjang.

Tempatkan pasien probable atau konfirmasi terinfeksi MERS di ruangan/


kamar dengan ventilasi yang memadai dengan kewaspadaan penularan
Airborne, jika mungkin kamar yang digunakan untuk isolasi (yaitu satu
kamar per pasien) terletak di area yang terpisah dari tempat perawatan pasien
lainnya. Bila tidak tersedia kamar untuk satu orang, tempatkan pasien-pasien
dengan diagnosis yang sama di kamar yang sama. Jika hal ini tidak mungkin
dilakukan, tempatkan tempat tidur pasien terpisah jarak minimal 1 m.

Selain itu, untuk pasien probabel atau konfirmasi terinfeksi MERS:

• Hindari membawa dan memindahkan pasien keluar dari ruangan atau


daerah isolasi kecuali diperlukan secara medis. Hal ini dapat dilakukan
dengan mudah bila menggunakan peralatan X-ray dan peralatan
diagnostik portable penting lainnya. Jika diperlukan membawa pasien,
gunakan rute yang dapat meminimalisir pajanan terhadap petugas,
pasien lain dan pengunjung.

• Memberi tahu daerah/unit penerima agar dapat menyiapkan


kewaspadaan pengendalian infeksi sebelum kedatangan pasien.

• Bersihkan dan disinfeksi permukaan peralatan (misalnya tempat tidur)


yang bersentuhan dengan pasien setelah digunakan.

• Pastikan bahwa petugas kesehatan yang membawa/mengangkut pasien


harus memakai APD yang sesuai dengan antisipasi potensi pajanan dan
membersihkan tangan sesudah melakukannya.

Di negara-negara dengan sumber daya terbatas, tidak semua pasien suspek


MERS akan dimasukkan ke fasilitas pelayanan kesehatan. Mungkin mereka
lebih memilih untuk tinggal/dirawat di rumah untuk menghindari adanya
biaya ekstra bagi keluarga yang mengantar dan tinggal jauh dari rumah.

62 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


II.5. Durasi tindakan isolasi untuk pasien terinfeksi MERS

Lamanya masa infeksius MERS masih belum diketahui. Disamping


Kewaspadaan baku yang harus senantiasi dilakukan, kewaspadaan isolasi
harus diberlakukan selama gejala penyakit masih ada dan dilanjutkan selama
24 jam setelah gejala hilang. Mengingat terbatasnya informasi yang tersedia
saat ini mengenai virus shedding dan potensi transmisi MERS, maka perlu
dilakukan pemeriksaan virus shedding untuk membantu dalam pengambilan
keputusan. Informasi mengenai pasien (misalnya usia, status kekebalan
tubuh dan pengobatan) juga harus dipikirkan pada situasi ada kekhawatiran
bahwa mungkin terjadi shedding virus dari pasien untuk waktu yang lama.

II.6. Pengumpulan dan penanganan spesimen laboratorium

Semua spesimen harus dianggap berpotensi menular, dan petugas yang


mengambil atau membawa spesimen klinis harus secara ketat mematuhi
Kewaspadaan baku guna meminimalisir kemungkinan pajanan patogen:
• Pastikan bahwa petugas yang mengambil spesimen memakai APD yang
sesuai.
• Memastikan bahwa petugas yang membawa/mengantar spesimen
telah dilatih mengenai prosedur penanganan spesimen yang aman dan
dekontaminasi percikan/tumpahan spesimen.
• Tempatkan spesimen yang akan dibawa/antar dalam kantong spesimen
anti bocor (wadah sekunder) yang memiliki seal terpisah untuk spesimen
(yaitu kantong spesimen plastik Biohazard), dengan label pasien pada
wadah spesimen (wadah primer), dan form permintaan yang jelas.
• Pastikan bahwa laboratorium di fasilitas pelayanan kesehatan mematuhi
praktek biosafety yang tepat dan persyaratan pengiriman sesuai dengan
jenis organisme yang ditangani.
• Bila memungkinkan semua spesimen dapat diserahkan langsung. Untuk
membawa spesimen, jangan menggunakan system tabung pneumatic.
• Bersama dengan form permintaan, tuliskan nama dari tersangka infeksi
secara jelas. Beritahu laboratorium sesegera mungkin bahwa spesimen
sedang diangkut.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 63


Untuk informasi lebih lanjut mengenai penanganan spesimen di laboratorium
dan pengujian laboratorium untuk MERS, lihat petunjuk pengambilan
spesimen manusia yang dicurigai atau konfirmasi MERS dan pengujian
laboratorium untuk MERS.

C. Perawatan di Rumah kasus dalam investigasi MERS


Gambaran klinis infeksi MERS mulai dari tanpa gejala hingga pneumonia
berat dengan ARDS dan komplikasi lain yang berisiko kematian. Tergantung
pada situasi dan ketersediaan sumber daya setempat, kasus dengan gejala
yang ringan dan tidak memiliki kondisi kesehatan tertentu yang meningkatkan
risiko komplikasi, dapat diberikan perawatan dirumah. Prinsip perawatan di
rumah yang serupa juga diterapkan kepada pasien-pasien yang tidak perlu
(lagi) dirawat di RS. Keputusan ini diambil berdasarkan penentuan klinis yang
hati–hati dan harus melihat juga segi keamanan lingkungan rumah pasien.

Karena kemungkinan perkembangan yang cepat dari penyakit menjadi acute


respiratory distress syndrome (ARDS), komplikasi yang mengancam kehidupan
meskipun pasien sebelumnya tampak sehat. Kontak yang mengalami gejala
atau kasus dalam investigasi harus ditempatkan dalam pengamatan medis
yang ketat bila diberikan perawatan di rumah. Pasien dan anggota keluarga
harus mendapatkan pengetahuan tentang higiene perorangan dan dasar–
dasar langkah pencegahan infeksi dan pengendalian infeksi serta harus selalu
mentaati rekomendasi berikut ini:

ü Sedapat mungkin membatasi kontak dengan orang yang sakit. Anggota


keluarga sebaiknya tinggal di ruangan yang berbeda dengan pasien atau
jika tidak memungkinkan jagalah jarak paling tidak 1 meter dari pasien
(tidur di tempat tidur yang berbeda)

ü Pastikan bahwa setiap orang yang berisiko sakit berat tidak merawat
atau mendekat pada pasien. Kelompok yang saaat ini berisiko tinggi
untuk infeksi MERS adalah mereka yang mengidap sakit jantung, ginjal,
dan saluran pernapasan kronis, serta usia lanjut. Jika kontak dengan
pasien tidak dapat di hindari oleh mereka maka pertimbangkan untuk
mencari alternatif tempat tinggal bagi mereka.

64 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


ü Melakukan higiene tangan setelah melakukan kontak dengan
pasien atau lingkungan sekitar pasien. Hal ini juga harus dilakukan
sebelum dan sesudah menyiapkan makanan, sebelum makan, setelah
menggunakan toilet, dan ketika tangan tampak kotor. Membersihkan
tangan dengan menggunakan air dan sabun. Jika tangan tidak tampak
kotor pembersihan dapat dilakukan dengan menggunakan hand rub
alkohol. Membantu pasien melakukan higiene tangan dapat diberikan
bila diperlukan. Lebih baik mengeringkan tangan dengan kertas tissu
tapi jika tidak ada dapat memakai handuk dan segera ganti bila sudah
terasa basah.

ü Semua orang terutama pasien harus melakukan higiene pernapasan.


Termasuk dalam higiene pernapasan antara lain, menutup mulut dan
hidung ketika batuk atau bersin dengan menggunakan masker medis/
bedah, masker kain, kertas tissue atau sisi dalam lengan atas untuk
kemudian diikuti dengan membersihkan tangan.

ü Membuang material–material yang habis digunakan untuk menutup


mulut dan hidung atau bersihkan dengan benar setelah digunakan
(mencuci sapu tangan menggunakan air dan sabun biasa / detergen).

ü Petugas yang merawat harus menggunakan masker medis dengan benar


ketika berada didalam ruangan yang sama dengan pasien. Jangan
menyentuh bagian luar masker selama pemakaian. Masker segera diganti
bila telah basah atau kotor. Buang masker dan lakukan kebersihan
tangan segera setelah melepas masker.

ü Pastikan bahwa ruangan–ruangan di rumah dan kamar pasien


mempunyai ventilasi yang baik (jendela yang dapat dibuka).

ü Hindari kontak langsung dengan cairan tubuh pasien terutama sekret


mulut dan hidung dan tinja. Jika memungkinkan,gunakan sarung
tangan ketika merawat bagian mulut dan hidung serta ketika menangani
tinja dan urin pasien. Lakukan kebersihan tangan segera setelah melepas
sarung tangan.

ü Sarung tangan, tissue, masker dan limbah lain yang berasal pasien atau
perawatan pasien harus dimasukkan dalam kantongan (ditempatkan

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 65


dalam kontainer yang ada di kamar pasien) sebelum dibuang ke tempat
sampah.

ü Hindari bentuk–bentuk pajanan lain dengan pasien sakit atau bahan


terkontaminasi dilingkungan pasien sakit. Contoh, hindari penggunaan
bersama alat–alat makan dan minum, handuk, waslap dsb. Alat makan
harus dicuci menggunakan air dan sabun segera setelah digunakan.

ü Permukaan–permukaan yang disentuh oleh pasien, seperti meja


disamping tempat tidur, tempat tidur, dan furnitur kamar tidur lain,
harus lebih sering dibersihkan dengan menggunakan pembersih rumah
tangga atau larutan pemutih (perbandingan 1 bagian pemutih dengan 99
bagian air)

ü Bersihkan bak mandi dan toilet setiap hari dengan menggunakan


pembersih rumah tangga atau larutan pemutih

ü Pakaian, seprei, handuk tangan dan mandi, dll milik pasien dapat
dibersihkan dengan menggunakan air dan sabun biasa serta dikeringkan
dengan baik. Letakkan kain yang terkontaminasi kedalam kantong
laundry. Cucian yang kotor sebaiknya tidak di kucek-kucek dan
sebaiknya hindari pakaian yang terkontaminasi material yang berasal
dari pasien sakit.

ü Pertimbangkan untuk menggunakan sarung tangan dan pelindung


pakaian (apron plastik) ketika membersihkan atau menangani
permukaan mebeler, pakaian atau kain yang kotor akibat cairan tubuh
pasien. Segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.

ü Sesorang yang mengalami gejala harus tetap berada dirumah sampai


terjadi perbaikan gejala yang memuaskan. Keputusan untuk memindah
pasien dari pemantauan di rumah harus dibuat berdasarkan temuan–
temuan klinis atau laboratoris atau keduanya.

ü Semua anggota keluarga harus dianggap sebagai kontak dan perlu


dipantau kesehatannya seperti dijelaskan berikut ini

66 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Tatalaksana kontak

Melihat bukti saat ini tentang transmisi MERS dari manusia ke manusia
yang masih terbatas dan terutama kurangnya bukti bahwa penyakit dapat
bertransmisi pada stadium pre-simptomatik atau gejala awal maka pada saat
ini belum diperlukan untuk melakukan isolasi atau karantina kontak. Orang–
orang termasuk petugas kesehatan yang mungkin terpajan dengan pasien
probabel atau konfirmasi infeksi MERS harus disarankan untuk memantau
kesehatannya selama 14 hari sejak pajanan terakhir dan segera mencari
pengobatan bila timbul gejala terutama demam, gejala saluran pernapasan
seperti batuk atau sesak napas atau diare.

Selama proses 14 hari pemantauan, harus tersedia saluran komunikasi


dengan petugas kesehatan. Petugas kesehatan harus terlibat dalam
melakukan tinjauan status kesehatan terkini dari kontak melaui telepon dan
yang ideal dengan melakukan kunjungan secara berkala (harian), melakukan
peemeriksaan laboratorium khusus bila diperlukan.

Petugas sebaiknya memberi saran–saran mengenai kemana mencari


pertolongan bila kontak mengalami sakit, moda transportasi apa yang
sebaiknya digunakan, kapan dan kemana unit tujuan di sarana kesehatan
yang telah ditunjuk serta kewaspadaan apa yang dilakukan dalam pencegahan
dan pengendalian infeksi.

Tempat pelayanan yang akan menerima harus diberitahu bahwa akan


datang kontak yang mempunyai gejala infeksi MERS. Ketika melakukan
perjalanan menuju sarana pelayanan rujukan, pasien harus menggunakan
masker medis/bedah jika tersedia. Sebaiknya menghindari menggunakan
transportasi umum. Jika kontak yang sakit menggunakan mobil sendiri, bila
mungkin bukalah jendelanya. Kontak sakit disarankan untuk melakukan
kebersihan pernapasan serta sedapat mungkin berdiri atau duduk jauh (> 1
meter) dari orang lain ketika sedang transit dan berada di sarana kesehatan.
Kontak sakit dan petugas yang merawat harus melakukan kebersihan tangan
secara benar. Setiap permukaan peralatan yang menjadi kotor oleh sekret
pernapasan atau cairan tubuh ketika dibawa, harus dibersihkan dengan
menggunakan pembersih rumah tangga atau larutan pembersih.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 67


D. Pemulasaran Jenazah
• Petugas kesehatan harus menjalankan Kewaspadaan Standar ketika
menangani pasien yang meninggal akibat penyakit menular.

• APD lengkap harus digunakan petugas yang menangani jenazah jika


pasien tersebut meninggal dalam masa penularan.

• Jenazah harus terbungkus seluruhnya dalam kantong jenazah yang


tidak mudah tembus sebelum dipindahkan ke kamar jenazah.

• Jangan ada kebocoran cairan tubuh yang mencemari bagian luar


kantong jenazah.

• Pindahkan sesegera mungkin ke kamar jenazah setelah meninggal


dunia.

• Jika keluarga pasien ingin melihat jenazah, diijinkan untuk


melakukannya sebelum jenazah dimasukkan ke dalam kantong
jenazah dengan menggunakan APD.

• Petugas harus memberi penjelasan kepada pihak keluarga tentang


penanganan khusus bagi jenazah yang meninggal dengan penyakit
menular. Sensitivitas agama, adat istiadat dan budaya harus
diperhatikan ketika seorang pasien dengan penyakit menular
meninggal dunia.

• Jenazah tidak boleh dibalsem atau disuntik pengawet.

• Jika akan diotopsi harus dilakukan oleh petugas khusus, jika diijinkan
oleh keluarga dan Direktur Rumah Sakit.

• Jenazah yang sudah dibungkus tidak boleh dibuka lagi.

• Jenazah hendaknya diantar oleh mobil jenazah khusus.

• Jenazah sebaiknya tidak lebih dari 4 (empat) jam disemayamkan di


pemulasaraan jenazah.

68 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


BAB V

Pengambilan, Pengepakan, dan Pengiriman Spesimen


serta Pemeriksaan Laboratorium Untuk Middle East
Respiratory Syndrom (MERS)

A. Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Berdasarkan informasi yang terkini dari WHO pertanggal 3 Juli 2013,


spesimen yang mempunyai titer virus MERS tertinggi terdapat pada
saluran pernapasan bawah yaitu dahak, aspirat trakea dan bilasan
bronkoalveolar. Pemeriksaan diagnosis MERS dilakukan paling baik pada
spesimen saluran pernafasan bawah walaupun spesimen dari saluran
pernapasan atas (nasofaring dan orofaring) tetap diambil terutama bila
spesimen dari saluran pernapasan bawah tidak memungkinkan untuk
diambil dan pasien tidak memiliki tanda-tanda atau gejala infeksi pada
saluran pernapasan bawah. Pengambilan spesimen nasofaringeal (NP)
dan orofaringeal (OP), sebaiknya menggunakan swab khusus yang di
desain untuk pengambilan spesimen virus. Di dalam kit swab ini juga
terdapat viral transport medium. Swab NP dan OP harus dimasukkan
dalam tabung spesimen yang sama untuk meningkatkan viral load.
Baik spesimen dari saluran napas atas dan bawah harus diambil bila
memungkinkan.

Spesimen dari saluran napas atas dan bawah sebaiknya ditempatkan


terpisah karena jenis spesimen untuk saluran napas atas dan bawah
berbeda. Virus MERS juga dapat ditemukan pada urin, dan feses tetapi
jumlah virusnya lebih rendah dibandingkan pada saluran pernapasan
bawah.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 69


1. Cara pengambilan spesimen3

Pada rentang waktu yang pendek (< 72 jam), spesimen sebaiknya


disimpan pada suhu 2-80C, bila terjadi penundaan pemeriksaan > 72 jam,
spesimen dibekukan pada suhu -700C segera setelah spesimen diambil.
Label yang dicantumkan pada tabung spesimen meliputi identitas pasien,
tipe spesimen dan tanggal pengambilan.

Spesimen saluran pernapasan

a. Saluran pernapasan bawah


• Bronchoalveolar lavage, tracheal aspirate, pleural fluid
Kumpulkan 2-3 mL ke dalam wadah steril yang anti bocor

• Sputum
Pasien berkumur terlebih dahulu dengan air, kemudian pasien
diminta mengeluarkan dahaknya dengan cara batuk yang
dalam. Sputum ditampung pada wadah steril yang anti bocor

b. Saluran pernapasan atas


Swab NP dan OP dilakukan dengan menggunakan swab sintetis
dengan tangkai yang terbuat dari plastic. Jangan menggunakan
swab dengan tangkai kayu karena mengandung kalsium alginate
atau bahan dapat menginaktivasi virus dan menghambat
pemeriksaan PCR. Masukkan swab segera ke dalam tabung steril
yang mengandung 2–3 mL viral transport media.
• NP swab : Masukkan swab ke dalam lubang hidung paralel
untuk langit-langit. Biarkan swab selama beberapa detik untuk
menyerap sekresi. Usap kedua daerah nasofaring.
• OP swab : usap faring posterior, hindari swab mengenai lidah NP
wash/aspirat atau aspirat hidung : kumpulkan 2-3 mL ke dalam
wadah steril yang anti bocor

70 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Serum
a. untuk pemeriksaan serologi
Sampel serum berpasangan diperlukan untuk konfirmasi, dengan
serum awal dikumpulkan di minggu pertama penyakit dan
serum yang kedua idealnya dikumpulkan 2-3 minggu kemudian.
Jika hanya serum tunggal yang dapat dikumpulkan, ini harus
diambil setidaknya 14 hari setelah onset gejala untuk penentuan
kemungkinan kasus.

b. untuk pemeriksaan rRT-PCR


Spesimen serum tunggal yang diambil secara optimal selama 10-12
hari setelah onset gejala sangat dianjurkan.

Jumlah minimum serum diperlukan untuk pengujian MERS (baik


serologi atau rRT-PCR) adalah 200 uL. Jika pemeriksaan serologi
dan rRT-PCR dilakukan, jumlah minimum serum yang dibutuhkan
adalah 400 uL (200 uL untuk setiap tes). Tabung pemisah serum
harus disimpan tegak selama minimal 30 menit, dan kemudian
disentrifugasi pada 1.000-1.300 relative centrifugal force (RCF) selama
10 menit sebelum memindahkan serum dan menempatkannya
dalam sebuah tabung steril terpisah untuk pengiriman (seperti
cryovial).

Anak-anak dan dewasa: dibutuhkan darah whole blood (3-5 mL) dan
disentrifus untuk mendapatkan serum sebanyak 1,5-3 mL.

Bayi: Minimal 1 mL whole blood diperlukan untuk pemeriksaan


pasien bayi. Jika memungkinkan, mengumpulkan 1 mL serum.

Jika pengujian awal dari swab nasofaring pada pasien yang diduga
kuat memiliki infeksi MERS adalah negatif, maka spesimen harus
diperiksa ulang dengan menggunakan spesimen baru yang diambil
dari saluran pernapasan bawah atau mengulangi pemeriksaan
spesimen nasofaring dan spesimen orofaringeal serta sera akut dan
konvalesen untuk pengujian serologis.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 71


2. Cara pengepakan specimen

Spesimen harus tiba di laboratorium segera setelah pengambilan.


Penanganan spesimen dengan tepat saat pengiriman adalah hal yang
sangat penting. Sangat disarankan agar pada saat pengiriman spesimen
tersebut ditempatkan di dalam cool box dengan kondisi suhu 2-80C atau
bila diperkirakan lama pengiriman lebih dari tiga hari spesimen dikirim
dengan menggunakan es kering (dry ice).

Spesimen dari pasien yang diduga MERS harus dikemas, dikirim, dan
diangkut sesuai dengan International Air Transport Association (IATA)
yang terbaru. Spesimen harus disimpan dan dikirim pada suhu yang
sesuai (lihat Tabel 1).

Semua spesimen harus pra-kemas untuk mencegah kerusakan dan


tumpahan. Tabung spesimen harus disegel dengan Parafilm® dan
ditempatkan dalam plastik ziplock. Tambahkan bahan penyerap cukup
untuk menyerap seluruh isi wadah kedua dan pisahkan tiap tabung
spesimen untuk mencegah kerusakan. Kirim spesimen dengan cool box.
Hal ini untuk mencegah bocor dan munculnya tumpahan. Bila terdapat
sejumlah besar spesimen yang akan dikirim, gunakan cryobox untuk
mengatur spesimen secara berurutan.

72 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Tabel 1. Jenis spesimen untuk pengujian MERS, berikut cara penanganannya
Kategori Spesimen
Jenis Media Pengiriman ke
bahaya Catatan yang harus
spesimen pengiriman laboratorium
pengiriman diambil
Dahak yang Tidak ada • Bila spesimen Zat biologis, Pastikan WAJIB
dihasilkan sampai di Kategori B spesimen
secara alami * laboratorium diambil
pemeriksa dari
< 72 jam, saluran
penyimpanan pernapas-
dan pengiriman
spesimen an bawah
dilakukan pada
suhu 40C.
• Bila specimen
sampai di lab
pemeriksa
> 72 jam,
penyimpanan
specimen pada
suhu -800C
dan pengiriman
speci men
dilakukan
menggunakan
es kering
Bilasan Tidak ada Idem Idem Mungkin BILA
bronkoalveolar terjadi MEMUNG
(Bronchoalveolar peng- KINKAN
lavage) enceran
(dilusi)
virus,
namun
spesimen
masih
dapat
digunakan
Aspirat trakea Tidak ada Idem Idem Harus
diambil bila
memung-
kinkan

Aspirat Tidak ada Idem Idem Harus


nasofaring diambil
bila me-
mungkin
kan

Kombinasi usap Media Penyimpanan dan Idem Virus telah WAJIB


hidung/tenggoro transport pengiriman terdeteksi
kan virus spesimen pada jenis
dilakukan spesimen
pada suhu 2-80C. ini

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 73


Swab nasofaring Media penyimpanan dan Idem WAJIB
transport pengiriman
virus spesimen
dilakukan
pada suhu 2-80C.

Jaringan yang Media • Bila spesimen Idem BILA


diambil dari transport sampai di MEMUNG
biopsi atau virus laboratorium KINKAN
otopsi, termasuk atau garam pemeriksa
dari paru-paru fisiologis < 72 jam,
penyimpanan
dan pengiriman
spesimen
dilakukan pada
suhu 40C.

• Bila specimen
sampai di lab
pemeriksa
> 72 jam,
penyimpanan
specimen pada
suhu -800C
dan pengiriman
spesimen
dilakukan
menggunakan
es kering

Serum untuk Tidak ada Idem Idem WAJIB


serologi atau
deteksi virus

Spesimen darah EDTA Penyimpanan dan Idem Untuk BILA


(whole blood) antikoagulan pengiriman deteksi MEMUNG
spesimen virus, KINKAN
dilakukan sebaiknya
pada suhu 2-80C. pada
minggu
pertama
sakit

* Pengambilan sampel sputum dengan cara induksi dapat menimbulkan resiko


infeksi tambahan bagi petugas kesehatan.

74 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


B. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan diagnosis laboratorium kasus infeksi MERS dilakukan


dengan metoda rRT-PCR dan dikonfirmasi dengan teknik sekuensing.1
Pengujian ada/tidaknya virus pada spesimen harus dilakukan di
laboratorium dengan peralatan yang memadai oleh staf yang telah
melalui pelatihan teknis dan prosedur keselamatan terkait. Pemeriksaan
laboratorium diagnostik untuk MERS mencakup pemeriksaan pada gen
protein E (upE)4, gen ORF1b, gen ORF1a5. Selain itu, telah teridentifikasi
beberapa situs target pada genom MERS untuk sekuensing guna
membantu memperoleh konfirmasi. Situs-situs tersebut ada pada gen
protein RNA polymerase pada RdRp RNA dan nukleokapsid (N)4.

Bila terdapat hasil yang berbeda dari dua pengujian pada situs-situs
unik pada genom MERS, harus dilakukan sekuensing dari amplikon
(produk PCR) yang dihasilkan dari pengujian RT-PCR yang sesuai
guna memastikan hasil pengujian. Data sekuen tersebut, selain untuk
memastikan ada/tidaknya virus, juga merupakan sumber informasi yang
berharga untuk memahami asal virus, apakah virus tersebut berasal
dari satu atau beberapa sumber. Oleh karena itu, sekuensing terhadap
nukleotida dan asam amino dari sebanyak mungkin spesimen positif
sangatlah direkomendasikan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 75


Gambar 1: Algoritma pemeriksaan laboratorium untuk kasus-kasus MERS1

76 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Keterangan:

* Panah merah: pemeriksaan diagnostik rRT-PCR dapat dilakukan di


laboratorium pelaksana yang memadai dan laboratorium rujukan
(Balitbangkes) secara paralel.

* Panah hijau: pemeriksaan konfirmasi dilakukan di laboratorium rujukan


(Balitbangkes)

Salah satu syarat berikut harus dipenuhi untuk menyatakan sebuah kasus
telah mendapatkan konfirmasi laboratorium (gambar 1):

Hasil uji PCR POSITIF untuk setidaknya DUA target spesifik berbeda pada
genom MERS
ATAU

Satu hasil uji PCR POSITIF untuk SATU target spesifik pada genom MERS
dan HASIL SEKUENSING pada salah satu PCR produk berbeda, yang
memastikan kesamaan identitas dengan sekuen virus baru yang telah
dikenal.i

Satu hasil positif uji PCR untuk satu target spesifik tanpa uji lebih lanjut
belumlah kuat untuk membuktikan infeksi MERS. Klasifikasi akhir kasus
akan bergantung pada informasi klinis dan epidemiologis yang dikombinasikan
dengan data laboratorium. Penting untuk diingat bahwa serangkaian hasil
negatif tidak berarti mengeliminasi kemungkinan infeksi pada pasien yang
menunjukan gejala klinis. Sejumlah faktor juga dapat menghasilkan hasil
negatif yang salah, misalnya saja faktor-faktor:

• Kualitas spesimen yang buruk, misalnya spesimen saluran pernapasan


yang terlalu banyak mengandung materi orofaringeal

• Spesimen yang terlalu dini/lambat saat diambil

• Spesimen yang tidak ditangani dan dipindahkan dengan baik

• Faktor teknis selama pengujian, misalnya mutasi virus atau hambatan


PCR

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 77


Saat bukti klinis dan epidemiologi menunjukkan adanya infeksi MERS
meskipun hasil PCR nya negatif, pengujian serologis dapat dilakukan untuk
memastikan terjadinya infeksi. Oleh karena itulah penting untuk mengambil
sampel serum berpasangan dari kasus yang diperiksa.

78 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Daftar Pustaka

1. Current guidelines were published in 2008. Dellinger RP, et al. Surviving


sepsis campaign: international guidelines for management of severe
sepsis and septic shock: 2008. Critical Care Medicine 2008; 36:296–327.
http://www.survivingsepsis.org/About_the_Campaign/Documents/
Fi nal%2008%20SSC%20Guidelines.pdf

2. IMAI District Clinician Manual: Hospital Care for Adolescents and Adults.
Geneva: WHO Press; 2011. Available at
http://www.who.int/influenza/patient_care/IMAI_DCM/en/index.html

3. The ACCM/SCCM Consensus Conference Committee. Definitions for


Sepsis and Organ Failure and Guidelines for the Use of Innovative
Therapies in Sepsis. Chest 1002; 101: 1644–55.

4. Tran K, Cimon K, Severn M, Pessoa-Silva CL, Conly J. Aerosol generating


procedures and risk of transmission of acute respiratory infections to
healthcare workers: a systematic kaji ulang. PloS One 2012;7:e35797.
http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.
phone.0035797

5. WHO. Pulse oximetry training manual.


http://www.who.int/patientsafety/safesurgery/pulse_oximetry/tr_
ma terial/en/

6. Pebody R, Chand M, Thomas H, et al. The United Kingdom public health


responsse to an imported laboratory confirmed case of a novel coronavirus
in September 2012. Euro surveillance : bulletin europeen sur les maladies
transmissibles = European communicable disease bulletin 2012;17.
http://www.eurosurveillance.org/ViewArticle.aspx?ArticleId=20292

7. Dunser MW, Festic E, Dondorp A, et al. Recommendations for sepsis


management in resource-limited settings. Intensive Care Medicine
2012;38:557–74.

8. WHO. Clinical management of human infection with pandemic (H1N1) 2009:


revised guidance.
http://www.who.int/csr/resources/publications/swineflu/clinical_
ma nagement/en/index.html

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 79


9. Sztrymf B, Messika J, Mayot T, Lenglet H, Dreyfuss D, Ricard JD. Impact
of high-flow nasal cannula oxygen therapy on intensive care unit patients
with acute respiratory failure: a prospective observational study. Journal
of Critical Care 2012;27:324 e9–13.

10. Keenan SP, Sinuff T, Burns KE, et al. Clinical practice guidelines for the
use of noninvasive positif-pressure ventilation and noninvasive continuous
positif airway pressure in the acute care setting. CMAJ : Canadian
Medical Association Journal = journal de l’Association medicale canadienne
2011;183:E195–214.

11. Nava S, Schreiber A, Domenighetti G. Noninvasive ventilation for patients


with acute lung injury or acute respiratory distress syndrome. Respiratory
Care 2011;56:1583–8.

12. Refer to NIH NHLBI ARDS Clinical Network’s mechanical ventilation


protocol card
http://www.ardsnet.org/system/files/Ventilator%20Protocol%20
Card.pdf

13. Dellinger RP, et al. Surviving sepsis campaign: international guidelines


for management of severe sepsis and septic shock: 2008. Critical Care
Medicine 2008; 36:296–327.
http://www.survivingsepsis.org/About_the_Campaign/Documents/
Final%2008%20SSC%20Guidelines.pdf

14. Papazian L, Forel JM, Gacouin A, et al. Neuromuscular blockers in early


acute respiratory distress syndrome. The New England Journal of Medicine
2010;363:1107–16

15. Messerole E, Peine P, Wittkopp S, Marini JJ, Albert RK. The pragmatics
of prone positioning. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine 2002;165:1359–63.

16. Sud S, Friedrich JO, Taccone P, et al. Prone ventilation reduces mortality
in patients with acute respiratory failure and severe hypoxemia: systematic
kaji ulang and meta-analysis. Intensive Care Medicine 2010;36:585–99.

80 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


17. Meade MO, Cook DJ, Guyatt GH, et al. Ventilation strategy using low
tidal volumes, recruitment maneuvers, and high positif end-expiratory
pressure for acute lung injury and acute respiratory distress syndrome:
a randomized controlled trial. JAMA : the Journal of the American Medical
Association 2008;299:637–45.

18. The National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) Clinical Trials Network. Comparison of two
fluidmanagement strategies in acute lung injury. The New England Journal
of Medicine 2006;354:2564–75.

19. Perner A, Haase N, Guttormsen AB, et al. Hydroxyethyl starch 130/0.42


versus Ringer’s acetate in severe sepsis. The New England Journal of
Medicine 2012;367:124–34.

20. Myburgh JA, Finfer S, Bellomo R, et al. Hydroxyethyl starch or saline for
fluid resuscitation in intensive care. The New England Journal of Medicine
2012;367:1901–11

21. Pronovost P, Needham D, Berenholtz S, et al. An intervention to decrease


catheter-related bloodstream infections in the ICU. The New England
Journal of Medicine 2006;355:2725–32.

22. WHO. 2012. Laboratory testing for novel coronavirus. Interim


Recommendation.
http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/
LaboratoryTestingNovelCoronavirus

23. WHO. 2013. Interim Surveillance recommendation for human infection


with middle east respiratorysyndrome coronavirus.
http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/InterimRevisedS
urveillanceRecommendations_nCoVinfection_27Jun13.pdf

24. Corman VM, Eckerle I, Bleicker T, Zaki A, Landt O, Eschbach-Bludau M,


van Boheemen S, Gopal R, Ballhause M, Bestebroer TM, Muth D, Müller
MA, Drexler JF, Zambon M, Osterhaus AD, Fouchier RM, Drosten C (2012)
Detection of a novel human coronavirus by real-time reverse- transcription
polymerase chain reaction. Euro Surveill 17: pii=20285.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 81


25. Corman VM, Müller MA, Costabel U, Timm J, Binger T, Meyer B, Kreher P,
Lattwein E, EschbachBludau M, Nitsche A, Bleicker T, Landt O, Schweiger
B, Drexler JF, Osterhaus AD, Haagmans BL, Dittmer U, Bonin F, Wolff T,
Drosten C. Assays for laboratory confirmation of novel human coronavirus
(hCoV-EMC) infections. Euro Surveill. 2012;17(49) :pii=20334.

26. Van Boheemen S, et al. 2012. Genomic characterization of a newly


discovered coronavirus associated with acute respiratory distress syndrome
in humans. mBio 3(6): e00473-12. doi :10.1128/mBio.00473-12.

27. Messerole E, Peine P, Wittkopp S, Marini JJ, Albert RK. The pragmatics
of prone positioning. American Journal of Respiratory and Critical Care
Medicine 2002;165;1359–63

28. Sud S, Friedrich JO, Taccone P, et al. Prone ventilation reduces mortality
in patients with acute respiratory failure and severe hypoxemia: systematic
kaji ulang and meta-analysis. Intensive Care Medicine 2010;36:585–99.

29. Meade MO, Cook DJ, Guyatt GH, et al. Ventilation strategy using low
tidal volumes, recruitment maneuvers, and high positif end-expiratory
pressure for acute lung injury and acute respiratory distress syndrome:
a randomized controlled trial. JAMA : the Journal of the American Medical
Association 2008;299:637–45.

30. The National Heart, Lung, and Blood Institute Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) Clinical Trials Network. Comparison of two
fluidmanagement strategies in acute lung injury. The New England Journal
of Medicine 2006;354:2564–75.

31. Perner A, Haase N, Guttormsen AB, et al. Hydroxyethyl starch 130/0.42


versus Ringer’s acetate in severe sepsis. The New England Journal of
Medicine 2012;367:124–34.

32. Myburgh JA, Finfer S, Bellomo R, et al. Hydroxyethyl starch or saline for
fluid resuscitation in intensive care. The New England Journal of Medicine
2012;367:1901–11

33. Pronovost P, Needham D, Berenholtz S, et al. An intervention to decrease


catheter-related bloodstream infections in the ICU. The New England
Journal of Medicine 2006;355:2725–32.

82 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


34. Infection prevention and control of epidemic- and pandemic-prone acute
respiratory diseases in health care - WHO Interim Guidelines. Geneva,
World Health Organization, 2007. Available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/swineflu/WHO_CDS_
EP R_2007_6/en/.

35. For the latest information, please consult the WHO coronavirus web page
at http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/en/.

36. The WHO case definitions for reporting are available at


http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/case_definition/en/

37. Clinical management of severe acute respiratory infections when novel


coronavirus is suspected: What to do and what not to do. Geneva, World
Health Organization, 2013. Available at
http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/
InterimGuidance_ClinicalManagement_NovelCoronavirus_11Feb13u.pdf

38. The Health Protection Agency (HPA) UK Novel Coronavirus Investigation


team. Evidence of person-to-person transmission within a family cluster
of novel coronavirus infections, United Kingdom, February 2013. Euro
Surveill. 2013; 18(11):pii=20427. Available online:
http://www.eurosurveillance.org/ViewArticle.aspx?ArticleId=20427

39. Core components of infection prevention and control programmes in health


care. Aide-memoire. Geneva, World Health Organization, 2011. Available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/AM_core_components_
IPC/en/

40. Interim surveillance recommendations for human infection with novel


coronavirus. Geneva, World Health Organization, 2013. Available at
http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/
InterimRevisedSurveillanceRecommendations_nCoVinfection_18Mar13.
pdf

41. Essential environmental health standards in health care. Geneva, World


Health Organization, 2008. Available at
http://www.who.int/water_sanitation_health/hygiene/settings/ehs_hc/
en /index.html.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 83


42. Natural ventilation for infection control in health-care settings. Geneva,
World Health Organization, 2009. Available at
http://www.who.int/water_sanitation_health/publications/natural_
ventil ation/en/index.html

43. Jefferson T, Del Mar CB, Dooley L et al. Physical interventions to interrupt
or reduce the spread of respiratory viruses. Cochrane Database of
Systematic Kaji ulangs, 2011, 7:CD006207. Available at
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/14651858.CD006207.
pub4/abstract;jsessionid=074644E776469A4CFB54F28D01B82835.
d03t02.

44. WHO Guidelines on hand hygiene in health care. Geneva, World Health
Organization, 2009. Available at
http://whqlibdoc.who.int/publications/2009/9789241597906_eng.pdf.

45. Standard Precautions are basic precautions designed to minimize direct,


unprotected exposure to potentially infected blood, body fluids or secretions
applicable to all patients. See also Standard precautions in health care.
Geneva, World Health Organization, 2007. Available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/EPR_AM2_E7.pdf.

46. A visual aid on how to put on and take off PPE is available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/putontakeoffPPE/en/

47. In this document, the term “medical mask” refers to disposable surgical or
procedure masks.

48. Tran K, Cimon K, Severn M, Pessoa-Silva CL, Conly J. Aerosol generating


procedures and risk of transmission of acute respiratory infections to
healthcare workers: a systematic kaji ulang. PloS One 2012;7:e35797.
Available at
http://www.plosone.org/article/info%3Adoi%2F10.1371%2Fjournal.
pone.0035797

49. Examples of acceptable, disposable particulate respirators in use in various


parts of the world include: Australia/New Zealand: P2 (94%), P3 (99.95%);
China: II (95%), I (99%); European Union: CE-certified filtering face-piece
class 2 (FFP2) (95%), class 3 (FFP3) (99.7%); Japan: 2nd class (95%), 3rd

84 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


class (99.9%); Republic of Korea: 1st class (94%), special (99.95%); United
States: NIOSH-certified N95 (95%), N99 (99%), N100 (99.7%).

50. A visual aid on how to perform a particulate respirator seal check is


available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/respiratorsealcheck/en/

51. A Lai MY, Cheng PK, Lim WW. Survival of severe acute respiratory
syndrome coronavirus. Clinical Infectious Diseases, 2005, 41(7):67–71.

52. Community case management during an influenza outbreak. A training


package for community health workers. Geneva, World Health Organization,
2011. Available at
http://www.who.int/influenza/resources/documents/community_
case_m anagement_flipbook/en/index.html

53. Infection-control measures for health care of patients with acute respiratory
diseases in community settings. Trainer’s Guide. Geneva, World Health
Organization, 2009. Available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_HSE_GAR_
BDP_2009_1/en/index.html

54. Infection-control measures for health care of patients with acute respiratory
diseases in community settings. Trainee’s Guide. Geneva, World Health
Organization, 2009. Available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/WHO_HSE_GAR_
BDP_2009_1a/en/index.html

55. In studies conducted in Hong Kong SAR, China, no SARS-CoV was


cultured from the clinical specimens from infected patients once they
were asymptomatic (see Chan KH, Poon LL, Cheng VC et al. Detection of
SARS coronavirus in patients with suspected SARS. Emerging Infectious
Diseases, 2004, 10(2):294–299).

56. Available at
http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/
NovelCoronaviru s_InterimRecommendationsLaboratoryBiorisk_190213/
en/index.html

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 85


57. Available at
http://www.who.int/csr/disease/coronavirus_infections/
LaboratoryTestin gNovelCoronavirus_21Dec12.pdf

58. WHO laboratory biosafety manual. Geneva, World Health Organization,


2004. Available at
http://www.who.int/csr/resources/publications/biosafety/WHO_CDS_
CSR_LYO_2004_11/en/

59. WHO. 2015. Laboratory Testing for Middle East Respiratory Syndrome
Coronavirus (MERS-CoV) Interim Guidance updated June 2015.
http://apps.who.int/iris/bitstream/10665/176982/1/WHO_MERS_
LAB_15.1_eng.pdf?ua=1

60. Drosten C et al. Clinical features and virological analysis of a case of Middle
East respiratory syndrome coronavirus infection. Lancet 2013; published
online June 17. http://dx.doi.org/10.1016/S1473-3099(13)70154-3

61. CDC.Interim Guidelines for Collecting, Handling, and Testing Clinical


Specimens from Patients Under Investigation (PUIs) for Middle
East Respiratory Syndrome Coronavirus (MERS-CoV) – Version 2.1.
http://www.cdc.gov/coronavirus/mers/guidelines-clinical-specimens.
html

86 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Lampiran 1
S-MERS

Form Investigasi Kasus


(Kasus dalam investigasi/kasus probable/kasus konfirmasi)

i. Data Dasar
Identitas kasus No. Klaster :
Nama :
Tgl lahir/umur :
Jenis Kelamin :
Pekerjaan : (sebutkan secara spesifik)
Alamat :
Yang diwawancarai :
Tanggal Mulai sakit, tanda dan gejala :
………………………………………………………………………………………………
Tanggal masuk RS/tanggal kunjungan ke layanan kesehatan :
Tgl Nama RS Ruang rawat
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………
……………………….. …………………………………………………………

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 87


Tanggal notifikasi dari WHO (masuk ke rekap data)

Nama kontak kasus :

Alamat No Hp/telp
Hubungan dg
Nama Umur JK yang dapat
kasus Rumah dihubungi

Tanggal pengambilan sampel, pemeriksaan lab dan jenis spesimen (cth : swab
nasopharing, sputum, dll) :

Tgl Pengambilan Jenis Pemeriksaan Tgl Pemeriksaan


Jenis Spesimen
Sampel Lab Lab dan Hasil

ii. Informasi Paparan dan Riwayat Perjalanan

a. Riwayat kontak hewan :

- Jenis hewan :……………….

- Tanggal kontak :……………….

- Jenis kontak :……………….


(misal penjaga peternakan, pengunjung peternakan, pengunjung
pasar hewan hidup, terlibat dalam pemotongan hewan,
dll)

88 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


b. Riwayat kontak manusia

- Riwayat kontak dengan orang yang menderita sakit pernapasan


dan atau gejala gastrointestinal, termasuk orang yang sakit berat
atau meninggal, jenis kontak, frekuensi, lama paparan dan lokasi :
……………………………………………………………………………………..

- Riwayat dirawat di RS sebelumnya :
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

- Riwayat mengunjungi kasus yang dirawat di RS :
……………………………………………………………………………………..

- Riwayat mengunjungi pengobat tradisional :
……………………………………………………………………………………..

Paparan makanan

- Riwayat mengkonsumsi makanan atau minuman yang belum
dimasak :
……………………………………………………………………………………..

- Riwayat mengkonsumsi daging atau produk darah setengah
matang:
……………………………………………………………………………………..

- Riwayat menyiapkan daging mentah untuk dimasak :
……………………………………………………………………………………..

- Riwayat menggunakan alat khusus merokok (shisha, dll) :
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 89


c. Riwayat Perjalanan
- Tanggal perjalanan :
……………………………………………………………………………………..
-
Tujuan :
……………………………………………………………………………………..
- Durasi perjalanan :
……………………………………………………………………………………..
- Moda transportasi :
……………………………………………………………………………………..
- Aktivitas selama perjalanan :
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

d. Informasi Klinis
Data klinis :

- Tanggal mulai timbul gejala :

- Tanda dan gejala :

- Kronologis sakit (tanggal mulai ke pelayanan kesehatan, tanggal


masuk RS, tgl mulai perburukan klinis, dan hasil akhir dirawat) :
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

- Adakah pneumonia dan perburukan ke arah gagal napas ? Adakah
ARDS? :
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

- Komplikasi yang terjadi (seperti gagal ginjal atau kegagalan fungsi
organ lain, koagulopati, infeksi sekunder, sepsis, dll) :
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

90 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


- Adakah penyakit kronis lain (missal immunosupresi, kanker,
penurunan fungsi ginjal, hemoglobinophati, penyakit hati,
penyakit neurologi, penyakit metabolic endokrin, dll) :
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

- Tanggal dan hasil pemeriksaan penunjang (Lab, x ray, ct scan, dll):
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

- Penggunaan alat bantu pernapasan (oksigen, ventilator, penggunaan
inhalasi, ECMO (extra corporeal membrane oxygenation), dll) :
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

- Penggunaan obat (antibiotic, kortikosteroid, dll) :


……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..
……………………………………………………………………………………..

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 91


e. Data laboratorium :

Tanggal Tanggal dan


Jenis Jenis Nama Lab
Pengambilan Hasil Keterangan
Spesimen Pemeriksaan Pemeriksa
Spesimen Pemeriksaan

92 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Lampiran 2
S-MERS-k
Form Pemantauan Kontak

Tempat pemantauan (Rumah/Puskesmas/RS/lainnya): Nama Kasus :


Kab/Kota: No. Epid :

Jenis Hasil Pemeriksaan


U Tanggal dan hasil pemantauan *
Tgl Spesimen Penunjang
m
No. Nama L/P Kontrak & tgl Lab Ket
u
terakhir Pengambil (darah, Ro’
r
an sputum)

* Isikan : Tgl dan hasil pemantauan :


X = sehat ; D = Demem ; B = Batuk ; S = Sesak napas

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


93
Notifikasi KKP

94
Form Notifikasi

No. Nama No PPH Umur L/P Alamat Asal Gejala Pengobatan yang diberikan

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Form Poli KKP

Laporan Pemantauan Kasus ISPA, Pneumonia dan Pneumonia Berat


di Poliklinik KKP

No. Diagnosa
Hari/Tanggal No Nama Lengkap Umur L/P Alamat No. Telp Regu Rombongan Pengobatan Ket.
PPH ISPA Pneumonia Pn. Berat

Keterangan: Petugas KKp :


Formulir ini diisi oleh Petugas KKP 1.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


95
Form JH Kloter

96
Laporan Pemantauan Jamaah Haji dengan Pasien Pneumonia Berat *
Pada Jamaah Haji dalam Perjalanan menuju Debarkasi

Tanggal : Kloter : Debarkasi :


Diagnosa
No.
No Nama Lengkap Umur L/P Alamat No. Telp Regu Rombongan Pneumonia Pengobatan Ket.**
PPH Pneumonia
Berat

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Keterangan : TKHI Kloter :
Kontak dekat pasien Pneumonia
* Berat : 1.
- Jamaah Haji yang duduk di 2 baris ke depan dari
Pasien Pneumonia Berat 2.

- Jamaah Haji yang duduk di 2 baris ke belakang dari


3.
Pasien Pneumonia Berat

- Jamaah Haji yang duduk di 2 baris ke samping kanan


dari Pasien Pneumonia Berat

- Jamaah Haji yang duduk di 2 baris ke samping kiri


dari Pasien Pneumonia Berat

- Kolom keterangan diisi dengan apakah merupakan

** pasien atau kontak


Formulir ini diserahkan pada petugas KKP di
Debarkasi

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


97
Form Petugas KKP

98
Laporan Pemantauan Kasus ISPA, Pneumonia dan Pneumonia Berat
Terhadap Petugas KKP dan Petugas di Otoritas Bandara/Pelabuhan dan Pos Lintas Batas Darat

Diagnosa
Hari/Tanggal No Nama Lengkap Umur Alamat No. Telp Pengobatan Ket.
ISPA Pneumonia Pn. Berat

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Keterangan : Petugas KKP :
- Zero Reporting 1.
- Laporan diisi oleh Petugas KKP 2.
3.
Form Petugas RS/Pusk
Laporan Pemantauan Kasus ISPA, Pneumonia dan Pneumonia Berat
Terhadap Petugas Rumah Sakit dan Puskesmas

RS/Puskesmas : ..............................................
Kabupaten/Kota : ..............................................
Provinsi : ..............................................

Diagnosa
Hari/Tanggal No Nama Lengkap Umur Alamat No. Telp Pengobatan Ket.
ISPA Pneumonia Pn. Berat

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


99
RS / Puskesmas
Lampiran 4.

Advis perjalanan WHO tentang infeksi MERS bagi para Jemaah


yang ke Kerajaan Saudi Arabia.

1. Pendahuluan
Suatu KLB infeksi saluran pernapasan akut yang disebabkan oleh
virus corona baru dan kemudian dinamakan Middle East Respiratory
Syndrome (MERS), pertama kali dilaporkan pada 2012.Sampai saat ini
9 negara telah melaporkan adanya kasus tersebut. Melalui mekanisme
IHR (2005), WHO telah melakukan koordinasi respons global terhadap
perkembangan virus ini. Rekomendasi ini diharapkan dapat menjadi
pedoman bagi otoritas nasional dari mana Jemaah akan melakukan
perjalanan Umrah dan Haji pada waktu dekat guna mencegah,
mendeteksi, dan memberikan tatalaksana kasus–kasus import MERS.
Saat ini risiko Jemaah perorangan untuk terinfeksi MERS diperkirakan
masih rendah.

2. Informasi mengenai Komunikasi risiko efektip


Bagi negara–negara penting untuk menggunakan semua cara–cara
praktis dan efektip dalam mengkomunikasikan informasi selama periode
sebelum, selama, dan setelah melakukan ibadah Umrah dan Haji kepada
semua penanggung jawab dan Jemaah yang akan bepergian Umrah dan
Haji, terutama kepada populasi kelompok rentan, pejabat Kesehatan,
industri transportasi dan turisme, dan masyarakat umum.

2.1. Kegiatan yang harus dilakukan sebelum Umrah dan Haji


Ø Negara–negara harus memberikan nasehat / saran–saran kepada
Jemaah yang mempunyai kondisi Kesehatan tertentu (penyakit kronis
seperti, diabetes, penyakit paru kronis, gangguan kekebalan tubuh)
yang dapat meningkatkan kemungkinan untuk jatuh sakit termasuk
infeksi MERS, selama melakukan perjalanan ibadah tersebut. Oleh
karena itu Jemaah harus melakukan konsultasi dengan petugas
Kesehatan / dokter sebelum berangkat untuk mengkaji risiko dan
menilai apakah keberangkatan jemaah dapat dilakukan.

100 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


Ø Negara harus memberikan informasi kepada jemaah yang akan
berangkat dan kepada agen perjalanan mengenai kewaspadaan
kesehatan yang umum dalam melakukan perjalanan guna
menurunkan risiko infeksi termasuk untuk penyakit influenza dan
diare. Berikan penegasan khusus untuk senantiasa:
• Mencuci tangan dengan air dan sabun. Bila tangan tidak tampak
kelihatan kotor gunakan antiseptik.
• Menjaga hygiene perorangan,
• Mematuhi praktek–praktek pengamanan makanan seperti
menghindari daging yang tidak dimasak atau penyediaan
makanan dengan kondisi sanitasi yang baik, Mencuci buah dan
sayuran dengan benar,
• Menghindari kontak yang tidak perlu dengan hewan–hewan yang
diternakkan, hewan peliharaan dan hewan liar.

Ø Petunjuk Kesehatan harus tersedia bagi semua yang melakukan


perjalanan Umrah atau Haji yang disampaikan melalui kerjasama
dengan agen perjalanan dan menaruh material–material tertentu
dilokasi strategis (seperti Kantor - kantor agen perjalanan atau titik–
itik keberangkatan di bandara).
• Bentuk lain komunikasi seperti pemberian kartu health alerts
ketika berada diatas pesawat dan kapal, pemasangan banner,
pamflet, dan pengumuman melalui radio di pintu masuk
internasional juga dapat digunakan.
• Petunjuk Kesehatan sebaiknya meliputi informasi terbaru
mengenai MERS serta pedoman tentang bagaimana menghindari
penyakit selama melakukan perjalanan.

Ø Pedoman–pedoman WHO terbaru dan nasional tentang surveilens,


langkah–langkah pencegahan dan pengendalian infeksi serta
tatalaksana kasus sebaiknya didistribusikan kepada praktisi
Kesehatan dan sarana–sarana Kesehatan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 101


Ø Negara harus menjamin tersedianya layanan laboratorium untuk
pemeriksaan MERS dan informasi mengenai hal ini dan juga
mekanisme rujukan yang harus di diketahui oleh petugas dan
sarana–sarana Kesehatan.

Ø Petugas Kesehatan pendamping jemaah harus di berikan informasi


dan pedoman terbaru mengenai MERS termasuk bagaimana
mengenali secara dini gejala dan tanda–tanda infeksi MERS,
mempertimbangkan siapa yang merupakan kelompok risiko tinggi,
dan apa yang dilakukan bila diketahui ada kasus suspek dan langkah
sederhana penanggulangannya untuk mengurangi penularan.

2.2. Kegiatan–kegiatan yang harus dilakukan selama melakukan ibadah


Umrah atau Haji
Jemaah / Pelancong yang mengalami sakit saluran pernapasan akut
yang ditandai demam dan batuk (sehingga mengganggu aktivitas sehari–
hari) sebaiknya disarankan untuk:
Ø Mengurangi kontak dengan orang lain agar tidak terinfeksi,
Ø Menutup mulut dan hidung menggunakan saputangan / tissue
ketika bersin dan batuk dan membuang nya ke tempat sampah
serta segera mencuci tangan atau jika tidak mungkin bersin dan
batuk ke lengan baju tapi bukan ke tangan,
Ø Segera lapor ke petugas Kesehatan pendamping kelompok atau
sarana Kesehatan setempat.

2.3. Kegiatan–kegiatan yang harus dilakukan setelah melakukan ibadah


Umrah atau Haji
Ø Jemaah yang kembali harus diberi saran bahwa jika mereka
mengalami sakit saluran pernapasan akut disertai demam dan
batuk (cukup mengganggu kegiatan sehari–hari) pada periode 2
minggu (14 hari) setelah kembali untuk segera mencari pengobatan
dan memberitahu otoritas Kesehatan setempat.

Ø Orang-orang yang kontak erat dengan jemaah atau pelancong yang


mengidap gejala tanda sakit saluran pernapasan akut yang disertai

102 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


demam dan batuk (sehingga cukup mengganggu kegiatan sehari
hari), disarankan untuk melapor ke otoritas Kesehatan setempat
guna mendapat pemantauan MERS dengan membawa kartu health
alert yang dibagikan ketika berada diatas alat angkut atau ketika
tiba di bandara kedatangan.

Ø Dokter dan sarana–sarana harus mewaspadai akan adanya


kemungkinan infeksi MERS pada jemaah / pelancong yang baru
kembali dengan sakit saluran napas akut yang dengan demam dan
batuk serta sakit jaringan paru bawah (seperti pneumonia atau
ARDS). Jika gambaran klinis mengindikasikan infeksi MERS maka
harus segera dilakukan pemeriksaan laboratorium diikuti dengan
pelaksanaan langkah–langkah pencegahan dan pengendalian infeksi.
Klinisi juga harus waspada terhadap kemungkinan gambaran yang
atipikal terutama pada kasus dengan gangguan sistem kekebalan
tubuh.

III. Langkah–langkah penanggulangan di Lintas batas dan alat angkut


Ø WHO tidak merekomendasikan adanya pelarangan perdagangan
dan perjalanan atau skrining di pintu–pintu masuk.

Ø WHO mendorong negara–negara untuk membangkitkan


perhatiannya terhadap saran–saran perjalanan ini guna mengurangi
risiko infeksi MERS diantara jemaah-jemaah dan para pelancong
lain termasuk operator tranportasi dan staf didarat, serta mengenai
pelaporan penyakit mereka kepada klinisi atau otoritas kesehatan
setempat.

Ø Seperti yang diminta dalam IHR, negara–negara harus memastikan


bahwa langkah–langkah kegiatan rutin berjalan sebagaimana
mestinya untuk melakukan penilaian terhadap jemaah / pelancong
sakit yang ditemukan diatas alat angkut (pesawat atau kapal laut),
di pintu–pintu masuk dan juga langkah–langkah yang aman dalam
mengangkut pelancong sakit ke RS atau sarana Kesehatan yang
ditugaskan melakukan penilaian dan pengobatan.

Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA 103


Ø Jika jemaah / pelancong yang sakit berada diatas pesawat maka
form lokasi penumpang dapat digunakan untuk mengetahui
informasi kontak kasus dengan penumpang lainnya dalam rangka
pemantauan kontak

104 Pedoman Kesiapsiagaan Menghadapi MERS di INDONESIA


PNEUMONIA
Dr. Irvan Medison SpP

Bagian Pulmonologi dan Ilmu


Kedokteran Respirasi FK
Unand
Pneumonia
Definisi :
• Pneumonia didefinisikan sebagai suatu
peradangan paru yang disebabkan oleh
mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit).

• Pneumonia yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis tidak termasuk
• Sedangkanperadangan paru yang disebabkan
oleh nonmikroorganisme (bahan kimia, radiasi,
aspirasi bahan toksik, obat-obatan dan lain -
lain) disebut pneumonitis.
Epidemiologi
Dari Kepustakaan pneumonia komuniti (CAP)
yang diderita oleh masyarakat luar negeri
banyak disebabkan bakteri Gram positif,
Namun akhir-akhir ini laporan dari beberapa
kota di Indonesia menunjukkan bahwa bakteri
yang ditemukan dari pemeriksaan dahak
penderita pneumonia komuniti adalah bakteri
Gram negatif.

Sedangkan pneumonia di rumah sakit (HAP)


banyak disebabkan bakteri Gram negatif

Sedangkan pneumonia aspirasi banyak


disebabkan oleh bakteri anaerob.
ETIOLOGI
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai
macam mikroorganisme, yaitu
– bakteri,
– virus,
– jamur
– protozoa.
1. Bakteri
• Streptokokkus pneumoniae
• Stafilokokus aureus
• Stafilokokus piogenes
• Klebsiella pneumonia (Friedlander
bacillus)
• Escherichia Coli
• Pseudomonas aeruginosa
2. Virus
• Influenza
• Para influenza
• RSV (respiratory syncytial virus)
• Adenovirus
3. Jamur
• Actinomyces israeli
• Aspergillus fumigatus
• Histoplasma capsulatum
• dll

4. Protozoa
• Pneumocystis carinii
(sering pada penderita AIDS)
• Toxoplasma gondii
FAKTOR RISIKO PNEUMONIA

1. Umur > 65 tahun


2. Tinggal di rumah perawatan tertentu
(panti jompo)
3. Alkoholismus : meningkatkan resiko
kolonisasi kuman, mengganggu refleks
batuk, mengganggu transport
mukosiliar dan gangguan terhadap
pertahanan sistem seluler
4. Malnutrisi : menurunkan
immunoglobulin A dan gangguan
terhadap fungsi makrofag
4. Kebiasaan merokok juga mengganggu
transport mukosiliar dan sistem
pertahanan selular dan humoral.
5. Keadaan kemungkinan terjadinya aspirasi
misalnya gangguan kesadaran, penderita
yang sedang diintubasi
6. Adanya penyakit – penyakit penyerta :
PPOK, kardiovaskuler, DM, gangguan
neurologis.
8. Infeksi saluran nafas bagian atas :
+ 1/3 – 1/ 2 pneumonia didahului oleh
infeksi saluran nafas bagian atas /
infeksi virus
KLASIFIKASI PNEUMONIA
• Klassifikasi pneumonia secara garis
besar dapat dibagi :
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
a. Pneumonia komuniti (Community Acquired
Pneumonia = CAP)
b. Pneumonia Nosokomial (Hospital Acquired
Pneumonia)
c. Pneumonia Aspirasi
d. Pneumonia pada penderita
Immunocompromised
2. Berdasarkan bakteri penyebab
a. Pneumonia tipikal :
bakteri Gram positif. Biasanya
disebabkan bakteri ekstraseluler, S.
pneumonia, S. piogenes dan H.
influenza.
b. Pneumonia Atipikal :
b. Mycoplasma pneumonia
c. Legionella pneumophila
d. Chlamydia pneumoniae
c. Pneumonia Virus
d. Pneumonia Jamur
3. Berdasarkan predileksi lokasi /
luasnya infeksi
a. Pneumonia Lobaris
b. Bronkopneumonia
c. Pneumonia Interstitialis

Secara garis besar klassifikasi


yang banyak dipakai adalah :
q Pneumonia Komuniti (CAP)
q Pneumonia Nosokomial
Klasifikasi Pneumonia yang sering dipakai
à secara klinis epidemiologis

• Community
CAP Acquired Pneumonia

• Hospital Associated
HAP Pneumonia

• Ventilator Associated
VAP Pneumonia
Definisi
Community Acquired Pneumonia
(CAP)
Suatu infeksi akut parenkim paru yang
sesuai dengan gejala infeksi akut, diikuti
dengan infiltrat pada foto toraks,
auskultasi sesuai dengan pneumonia,
• à Pasien tidak pernah dirawat atau
berada di fasilitas kesehatan lebih dari 14
hari sebelum timbul gejala.

Bartlett. Clin Infect Dis 2000;31:347-82.


Definisi
Hospital-acquired pneumonia
(HAP)
Pneumonia terjadi ³48 jam setelah
masuk rumah sakit

Ventilator-associated pneumonia
(VAP)
Pneumonia terjadi>48-72 jam
setelah intubasi
PATOGENESIS
Dalam keadaan sehat, tidak terjadi pertumbuhan
mikroorganisme di paru. Keadaan ini disebabkan
oleh mekanisme pertahanan paru.
Apabila terjadi ketidak seimbangan antara daya
tahan tubuh, mikroorganisme dan lingkungan,
maka mikroorganisme dapat berkembang biak dan
menimbulkan penyakit.

Risiko infeksi di paru sangat tergantung pada


kemampuan mikroorganisme untuk sampai dan
merusak permukaan epitel saluran napas.
Ada beberapa cara mikroorganisme
mencapai permukaan saluran napas :

1. Inokulasi langsung
a. Intubasi trakhea
b. Luka tembus yang mengenai paru
2. Penyebaran melalui pembuluh darah dari
tempat lain di luar paru misalnya endokarditis
3. Inhalasi dari aerosol yang mengandung
kuman
4. Kolonisasi di permukaan mukosa
Aspirasi sekret orofaring yang mengandung
kuman
PATOLOGI
} Kuman yang telah masuk ke dalam parenkim
paru akan berkembang biak dengan cepat
masuk ke dalam alveoli dan menyebar ke
alveoli - alveoli lain melalui pori interalveolaris
dan percabangan bronkus.

} Selanjutnya pneumonia karena pneumokokkus


ini akan mengalami 4 stadium yang
overlapping; (Stadium engorgment, Stadium
hepatisasi merah, Stadium hepatisasi kelabu
dan Statium resolusi).
1. Stadium Engorgment
Kapiler di dinding alveoli mengalami
kongesti dan alveoli berisi cairan
oedem. Bakteri berkembang biak
tanpa hambatan

2. Stadium Hepatisasi Merah


kapiler yang telah mengalami
kongesti disertai dengan diapedesis
dari sel - sel eritrosit
3. Stadium Hepatisasi Kelabu
Alveoli dipenuhi oleh eksudat dan
kapiler menjadi terdesak dan jumlah
leukosit meningkat. Dengan adanya
eksudat yang mengandung leukosit ini
maka perkembang biakan kuman
menjadi terhalang bahkan kuman –
kuman pada stadium ini akan di
fagositosis. Pada stadium ini akan
terbentuk antibodi.
4. Stadium Resolusi
Pada stadium ini terjadi bila tubuh berhasil
membinasakan kuman. Makrofag akan
terlihat dalam alveoli beserta sisa – sisa sel.
Yang khas adalah tidak adanya kerusakan
dinding alveoli dan jaringan interstitial.
Arsitektur paru kembali normal
Terdapat 4 zona dalam daerah
peradangan
1. Zona luar : alvioli terisi kuman pneumokok dan
cairan edema
2. Zona permulaan kosolidasi : terdiri dari PMN dan
beberapa eksudasi sel darah merah
3. Zona konsolidasi yang luas : daerah dimana
terjadi fagositosis dengan jlh
PMN yang banyak
4. Zona resolusi : daerah dimana terjadi rosulusi
dengan bakteri yang mati ,
leukosit dan makrofag alveolar.

• Hepatisasi merah : daerah ferifer diman terdapat edema dan


perdarahan
• Hepatisasi abu abu: daerah kosulidasi luas.
Luasnya jaringan paru yang terkena
selain tergantung kepada jumlah dan
virulensi kuman, daya tahan tubuh
juga tergantung kepada :
– Kemampuan / kecenderungan kuman
untuk merangsang timbulnya cairan
oedem yang banyak.

S. pneumoniae Cairan oedem banyak

Pneumonia Lobaris
red89
Pada pneumonia:

q Stafilokokus piogenes

q Klebsiella pneumoniae
(Friedlander’s basillus)
cenderung terjadi kerusakan
jaringan nekrosis parenkim paru
sehingga sering terjadi Abses
paru dan empyema

§ Friedlander’s pneumonia :
◦ Sering mengenai lobus atas atau
lebih dari satu lobus
◦ Bisa berbentuk fibrokavernosus
sehingga menyerupai TB paru

23
Pneumonia atipik
• Pada pneumonia selain ditemukan bakteri
penyebab yang tipik sering pula dijumpai bakteri
atipik.
• Bakteri atipik yang sering dijumpai adalah
– Mycoplasma pneumoniae,
– Chlamydia pneumoniae,
– Legionella spp.
– Penyebab lain
• Chlamydia psittasi
• Coxiella burnetti
• virus Influenza tipe A& B
• Adenovirus
• Respiratori syncitial virus.
GAMBARAN KLINIS
• Diantara faktor – faktor risiko yang telah
dikemukakan di atas, faktor risiko yang
paling sering adalah infeksi saluran
nafas bagian atas (50%).
• Setelah + 1 minggu temperatur
mendadak meningkat, kadang – kadang
disertai menggigil
qNyeri pleuritik pada daerah lobus yang
terkena
qBatuk – batuk yang disertai dahak
seperti karat besi (rusty sputum)
qSputum kadang – kadang purulen,
kadang kadang berbercak / garis
darah
qMyalgia
qHerpes simplex pada daerah bibir
pada hari – hari pertama

27
PEMERIKSAAN FISIS
§ Penderita sakit tampak berat
§ Kadang-kadang sianosis
§ Nafas cepat dan dangkal
§ Kadang-kadang ada nafas cuping
hidung
§ Adanya herpes simplex disekitar bibir
§ Demam dan nadi cepat

28
Pemeriksaan Fisik TORAKS
} Terdapat tanda – tanda konsolidasi jaringan
paru.
} Kelainan yang ditemukan tergantung kepada
luasnya jaringan paru yang terkena.
} Dari kasus – kasus yang dirawat di rumah
sakit yang juga mempunyai kelainan
radiologis hanya 1/3 yang memperlihatkan
tanda – tanda konsolidasi jaringan paru dari
pemeriksaan fisik.
• Kelainan yang mungkin ditemukan pada
pemeriksaan fisik paru :
– Inspeksi
• Bagian yang sakit tertinggal dalam pernafasan
– Palpasi
• Fremitus meningkat
– Perkusi
• Pada perkusi redup / pekak
– Auskultasi
• Adanya pleural friction rub ( pleuropneumonia)
• Nafas bronkial
• Ronkhi basah
PEMERIKSAAN PENUNJANG
• LABORATORIUM
• DARAH
§ Leukosit 10.000 – 15.000 / mm3
tidak > 30.000 / mm3
+ 20% kasus leukosit bisa normal
Kalau leukosit < 3000 / mm3 prognosa jelek
§ Hitung jenis (diff. Count) leukosit, neutrofil
batang banyak
§ LED / ESR / BBS sangat tinggi
§ Bilirubin serum
§ kultur darah (+) pada 20 – 30%
RADIOLOGIS
Setiap lobus bisa terkena sebagian
atau seluruhnya
Yang sering lobus bawah
Perselubungan yang relatif homogen
pada daerah yang terkena
Untuk Menentukan Kausanya
Diperlukan Pemeriksaan :
• Sputum
– Langsung
– Kultur
jika sputum susah didapat, dapat dilakukan:
– Apusan faring
– Apusan laring
– Aspirasi trakhea (Pneumonia Nosokomial)
– Kultur darah
– Cairan pleura (kalau ada)
– Urine (Legionella)
• Pada keadaan – keadaan tertentu dimana
pemeriksaan – pemeriksaan di atas tidak
memberikan hasil diperlukan tindakan
yang invasif :
– Aspirasi trakhea
– Bronkoskopi
– Transtorakal biopsi
– Transbronkial biopsi
– Biopsi paru secara langsung
Community Acquired Pneumonia
(CAP)
• Pneumonia yang didapat di masyarakat (di
luar rumah sakit) yang merupakan masalah
kesehatan yang menimbulkan angka kesakitan
dan angka kematian yang tinggi di dunia.

• Penyebab terbanyak selama ini adalah


S. pneumonia.

• Pneumokokkus terdapat 20 – 40% di daerah


nasofaring orang normal.
DIAGNOSIS
• Diagnosis pneumonia komuniti didapat
dari anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan
fisis, foto toraks dan laboratorium.

• Diagnosis pasti pneumonia komuniti


ditegakkan jika pada foto toraks terdapat
infiltrat baru atau
Penilaian derajat keparahan penyakit
pneumonia komuniti

Dapat dilakukan dengan menggunakan sistem


skor menurut hasil penelitian Pneumonia
Patient Outcome Research Team (PORT)
seperti tabel di bawah ini :
Kerakteristik Penderita Jumlah Poin
Sistem skor pada Pneumonia Faktor Demografi

komuniti berdasarkan PORT • Usia : laki laki Umur ( tahun)


perempuan Umur ( tahun) -
Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia 10

komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan • Perawatan di rumah + 10


sistem skor menurut hasil penelitian • penyakit penyerta
Pneumonia Patient Outcome Research Team • keganasan + 30
(PORT) seperti tabel di samping • penyakit hati + 20
Berdasar kesepakatan perhimpunan Dokter Paru • Gagal jantung kongestif + 10
Indonesia) PDPI, kriteria yang dipakai untuk • Penyakit serebrovaskuler + 10
indikasi rawat inap pneumonia komuniti • penyakit ginjal + 10
adalah :
• Pemeriksaan fisik
1. Skor PORT lebih dari 70
• Perubahan status mental + 20
2. Bila skor PORT kurang < 70 maka penderita • Pernafasan > 30 x / menit + 20
tetap perlu dirawat inap bila dijumpai salah
• tekanan darah + 20
satu dari kriteria dibawah ini.
• Suhu tubuh < 35 00 C arau > 40 0 C + 15
v Frekuensi napas > 30/menit
v PaOz/FiOz kurang dari 250 mmHg • Nadi > 125 x / menit + 10

v Foto toraks pam menunjukkan kelainan bilateral • Hasil laboratorium / Radiologi


v Foto toraks paru melibatkan > 2 lobus • Analisis gas darah arteri : pH 7,35 + 30
v Tekanan sistolik < 90 mmHg • BUN > 30 mg/dl + 20
v Tekanan diastolik < 60 mmHg • Natrium < 130 mEq/liter + 20
3. Pneumonia pada pengguna NAPZA • Glukosa > 250 mgldL + 10
• Hematokrit <30 % + 10
• PO2 ≤ 60 mmHg + 10
• Efusi pleura + 10
DIAGNOSA BANDING
1. INFARK PARU
2. PLEURITIS EKSUDATIVA KARENA TB
3. CA PARU
PENATALAKSANAAN
• Dalam hal mengobati penderita
pneumonia perlu diperhatikan keadaan
klinisnya.
– Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi
rawat dapat diobati di rumah.
• Juga diperhatikan ada tidaknya faktor
modifikasi yaitu keadaan yang dapat
meningkatkan risiko infeksi dengan
mikroorganisme patogen yang spesifik
misalnya S. pneumoniae yang resisten
penisilin.
Yang termasuk dalam faktor
modifikasis adalah: (ATS 2001)
Penatalaksanaan pneumonia
komuniti dibagi menjadi :
a. Penderita rawat jalan
§ Pengobatan suportif / simptomatik
• Istirahat di tempat tidur
• Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
• Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun
panas
• Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan Ekspektoran
§ Pemberian antibiotik harus diberikan (sesuai bagan)
kurang dari 8 jam
b. Penderita rawat inap di ruang
rawat biasa
§ Pengobatan suportif / simptomatik
- Pemberian terapi oksigen
- Pemasangan infus untuk rehidrasi dan
koreksi kalori dan elektrolit
- Pemberian obat simptomatik antara lain
antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik harus diberikan
(sesuai bagan) kurang dari 8 jam
C. Penderita rawat inap di Ruang Rawat
Intensif

• Pengobatan suporlif / simptomatif


– Pemberian terapi oksigen
– Pemasangan infus untuk rehidrasi dan
koreksi kalori dan elektrolit
– Pemberian obat simptomatik antara lain
antipiretik, mukolitik
• Pengobatan antibiotik (sesuai bagan.)
kurang dari 8 jam
• Bila ada indikasi penderita dipasang
ventilator mekanik
Petunjuk terapi empiris menurut PDPI
Rawat jalan q Tanpa faktor modifikasi : Golongan B laktam atau B laktam + anti B
laktamase
q Dengan faktor modifikasi: Golongan B laktam + anti B laktamase atau
q Fluorokuinolon respirasi (levofl oksasin, moksifl oksasin, gatifloksasin)
q Bila dicurigai pneumonia atipik: makrolid baru (roksitromisin,
klaritromisin, azitromisin)
Rawat inap q Tanpa faktor modifikasi :
q- Golongan betalaktam + anti bektalaktamase iv , atau
q- Sefalosporin G2, G3 iv, atau
q- Fluorokuinolon respirasi iv
q Dengan faktor modihkasi:
q- Selalosporin G2. G3 iv . atau
q- Fluorokuinolon respirasi iv
q Bila curiga disertai infeksi bakteri atipik ditambah makrolid baru
Tidak ada faktor
Ruang rawat q Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas
intensif q Sefalosporin G3 iv non pseudmonas ditambah makrolid baru atau
fluorokuinolon respirasi iv
q Ada faktor risiko infeksi pseudomonas:
q Sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv ditambah
fluorokuinolon anti pseudomonas (siprofloksasin) iv atau aminoglikosida iv
q Bila curiga disertai infeksi bakteri atipikE sefalosporin anti pseudomonas
iv atau carbapenem iv ditambah aminoglikosida iv, ditambah lagi makrolid
baru atau fluorokuinolon respirasi iv
Pengobatan pneumonia atipik
Antibiotik terpilih pada pneumonia atipik yang
disebabkan oleh Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumoniae, Legionella adalah :
q Golongan Makrolid baru :
v Azitromisin,
v Klaritromisin,
v Roksitromisin
q Fluorokuinolon respirasi .
q Doksisiklin
Terapi Sulih (switch therapy)
q Adalah perubahan obat suntik ke oral dilanjutkan dengan
berobat jalan, hal ini untuk mengurangi biaya perawatan
dan mencegah infeksi nosokomial.

q Perubahan obat suntik ke oral dapat diberikan secara:


q sequential (obat sama, potensi sama),
Contoh : levofloksasin, moksifl oksasin, gatifl oksasin
q switch over (obat berbeda, potensi sama)
Contoh : seftazidin iv ke siprofloksasin oral
q step down (obat sama atau berbeda, potensi lebih rendah)
Contoh : Amoksisilin, sefuroksim, sefotaksim iv ke cefiksim oral.

v Obat suntik dapat diberikan 2-3 hari, paling aman 3 hari,


kemudian pada hari ke 4 diganti obat oral dan penderita
dapat berobat jalan.
Kriteria untuk perubahan obat suntik ke oral
pada pneumonia komuniti
1. Tidak ada indikasi untuk pemberian suntikan lagi
2. Tidak ada kelainan pada penyerapan saluran cerna
3. Penderita sudah tidak panas ± 8 jam
4. Gejala klinik membaik (mis : frekuensi pernapasan, batuk)
5. Leukosit menuju normal / normal
Evaluasi pengobatan

• Jika setelah diberikan pengobatan


secara empiris selama 24 - 72jam tidak
ada perbaikan kita harus meninjau
kembali :
q Diagnosis,
q Faktor faktor penderita,
q Obat-obat yang telah diberikan
q Bakteri penyebabnya,
Penderita yang tidak respon dengan pengobatan empiris

Diagnosis sudah
Salah diagnosis
benar
Gagal
jantung
Emboli paru Faktor Faktor
Faktor obat
Keganasan penderita bakteri
Sarkaidosis
• Kelaianan lokal • Salah memilih • Kuman resisten
Reaksi obat
( sumbatan oleh obat terhadap obat
Perdarahan • Bakteri patogen
benda asing ) • Salah dosis/
• Respon cara pemberian yang lain
penderita yang obat • Bakteri ( miko
tidak adekuat • Komplikasi bakteria atau
• Komplikasi • Reaksi obat nokardia)
• Superinfeksi • Nonbakteriial
paru (jamur atau
• Empiema virus)

Gambar . Penderita yang tidak respon dengan pengobatan terapi empirik yang
diberikan
Prognosis
v Pada umumnya prognosis adalah baik,
tergantung faktor penderita,, bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik yang
tepat serta adekuat.
v Perawatan yang baik dan intensif sangat pnguruhi prognosis penyakit pada
penderita yang dirawat.
q Angka kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5 % pada
penderita rawat jalan, sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit
menjadi 20%.
q Menurut Infectious Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian
pneumonia komuniti pada rawat jalan berdasarkan kelas yaitu :
q Kelas I 0,I %
q Kelas II 0,6 %
q Kelas III sebesar 2,8
q Kelas IV 8,2%
q Kelas v 29,2 %.
Hal ini menunjukkan bahwa meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia
komuniti dengan peningkatan risiko kelas.
§ Di RS Persahabatan pneumonia rawat inap angka kematian tahun 1998
adalah I3,8 %, tahun 1999 adalah 21 %, sedangkan
§ Di RSUD Dr. Soetomo angka kematian 20 – 35 %.
Pencegahan
a. Pola hidup sehat termasuk tidak merokok
b. Vaksinasi (vaksin pneumokokal dan vaksin
influenza)
– Sampai saat ini masih perlu dilakukan penelitian
tentang efektivitinya.
– Pemberian vaksin tersebut diutamakan untuk
golongan risiko tinggi misalnya:
• usia lanjut,
• penyakit kronik,
• Diabetes
• Penyakit jantung koroner
• PPOK
• HIV
• Dll.
Hospital-Acquired Pneumonia
(HAP)
Definisi
• Pneumonia Nosokomial atau Hospital-Acquired
Pneumonia (HAP)
• Adalah pneumonia yang terjadi setelah pasien
48 jam di rawat di rumah sakit dan disingkirkan
semua infeksi yang terjadi sebelum masuk
rumah sakit
Klasifikasi
Berdasarkan onset penyakitnya HAP dibagi atas
q Onset dini
HAP Onset dini ,didefinisikan sebagai pneumoni yang terjadi dalam 4 hari
pertama rawat inap,
biasanya membawa prognosis yang lebih baik, dan lebih mungkin
disebabkan oleh bakteri antibiotic sensitive
q Onset lanjut
HAP onset lanjut didefinisikan sebagai pneumoni yang terjadi pada hari ke 5
rawat inap atau lebih,

lebih mungkin disebabkan oleh bakteri pathogen resisten (MDR) ,


dan berhubungan dengan mortalitas dan morbiditas pasien meningkat

Penetuan onset pneumonia merupakan hal penting karena berhubungan


dengan :
v variabel epidemiologi ( kuman penyebab )
v Risiko patogen penyebab à pemilihan antibiotika yg tepat
v Prognosis dan hasil pengobatan.

ATS/IDSA. Am J Respir Crit Care Med. 2005;171:388-416.


Heyland DK et al. Am J Respir Crit Care Med. 1999;159:1249-1256.
Diagnosis of HAP
q Diagnosis HAP diperlukan rontgen toraks à menunjukkan
infiltrat atau konsolidasi dengan atau tanpa efusi, dan dua
dari tanda-tanda dan gejala berikut:
v Batuk produktif yg bertambah atau memburuk
v sputum purulen;
v Ronkhi dan / atau tanda-tanda konsolidasi paru; dyspnoea;
takipnea; dan / atau hipoksemia.
v Selain itu, setidaknya dua dari temuan berikut yang diperlukan:
§ demam (≥38 oC
§ Pernapasan > 30 kali /menit
§ TD sistolik <90 mmHg
§ Frekuensi jantung ≥ 120 kali/ menit
§ perubahan status mental
§ jumlah leukosit ≥ 10.000 sel / mm-3, dengan ≥ 15% neutrofil imatur
atau ≤ 4.500 sel / mm-3.

Gejala dan temuan radiologis harus sudah mulai > 48 jam setelah
masuk rumah sakit
Eur Respir J 2007; 29: 548–560
DOI: 10.1183/09031936.00080206
CopyrightERS Journals Ltd 2007
Definitions
• Hospital-acquired • Health care-associated
pneumonia (HAP) pneumonia (HCAP)
– Pneumonia occurring – Includes HAP and VAP
³48 hours post-hospital – Pneumonia in patients
admission • Hospitalized for ³2 days in an
acute care facility within 90
• Ventilator-associated days of infection
pneumonia (VAP) • Residing in a nursing home or
– Pneumonia occurring long-term care (LTC) facility
>48-72 hours post- • Attending a hospital or
intubation hemodialysis clinic
• Receiving immunosuppressive
therapy or wound care within
30 days of infection

ATS/IDSA. Am J Respir Crit Care Med.


2005;171:388-416.
Pedoman pemilihan antibiotik pada HAP
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial ialah :
1. Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan pilihan antibiotik yang harus
mampu mencakup sekurang-kurangnya 90% dari patogen yang mungkin sebagai
penyebab, perhitungkan pola resistensi setempat
2. Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat dibutuhkan dosis dan
cara pemberian yang adekuat untuk menjamin efektiviti yang maksimal.
Pemberian terapi emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien yang
terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran cerna yang baik.
3. Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus dipertimbangkan setelah ada hasil
kultur yang berasal dari saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4. Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan kemungkinan terinfeksi
kuman MDR
5. Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika keadaan klinis
memburuk
6. Data mikroba dan sensitiviti dapat digunakan untuk mengubah pilihan empirik
apabila respons klinis awal tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik
berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan mengubah mortaliti
apabila terapi empirik telah memberikan hasil yang memuaskan.
Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan
Pneumonia Nosokomial di Indonesia
Dosis antibiotik intravena awal secara empirik untuk HAP dan VAP pada
pasien dengan onset lanjut atau terdapat faktor risiko patogen MDR
(mengacu pada ATS/IDSA 2004)

Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan


Pneumonia Nosokomial di Indonesia
Pneumonia Aspirasi
• Pneumonia aspirasi
adalah peradangan paru dan saluran bronkial
yang terjadi setelah menghirup benda asing.

Sering dihubungkan dgn anaerobik


pneumonia.

Kondisi ini disebabkan oleh menghirup bahan-


bahan seperti muntah, makanan, atau cairan.
Siapa Yang Berisiko Untuk
Pneumonia Aspirasi?
Risiko tertinggi kondisi ini terlihat pada orang
tua dengan riwayat:
• Penyakit paru-paru
• kejang
• Stroke
• masalah gigi
• membutuhkan bantuan makan
Orang dengan sakit maag dan penyakit
gastroesophageal reflux (GERD) juga berada
pada peningkatan risiko.
Apa Penyebab Pneumonia
Aspirasi?
Penyebab kondisi ini termasuk:
• Gangguan kerongkongan
• minum alkohol dalam jumlah besar
• Kesadaran menurun
• berkurangnya tingkat kewaspadaan
• gangguan menelan
• Anestesi
• Usia tua
• masalah gigi
• pemekaian obat penenang
Menghirup bahan asam dapat menyebabkan cedera parah
pada paru-paru. Hal ini tidak dapat menyebabkan infeksi
paru-paru. Namun, masih membutuhkan perhatian dan
perawatan medis.
Apa Apakah Gejala Dari
Pneumonia Aspirasi?
• Gejala kondisi ini mirip dengan jenis lain dari
pneumonia.
• Nyeri dada
• sesak napas
• mengi
• kelelahan
• perubahan warna biru pada kulit
• batuk, mungkin dengan dahak hijau, darah,
• nanah, atau bau busuk
• kesulitan menelan
• bau mulut
• keringat berlebihan

Pemeriksaan fisik
– Tergantung luasnya kelaianan
Diagnosis
• kultur sputum
• hitung darah lengkap
• Analisa Gas darah arteri
• Bronkoskopi
• Foto toraks
CT scan toraks
• Kultur darah
Differential Diagnosis

• Atelektasis
• Efusi pleura
• Tumor paru
Tatalaksana
q Terapi suportif Umum
q Terapi O2 untuk mencapai PaO2 80-100 mmHg atau saturasi 95-96 %
berdasarkan pemeriksaan analisis gas darah .
q Humidifikasi dengan netribulizer untuk pengenceran dahak kental ,
dapat disertai dengan nebulizer untuk pemberian bronkodilator jika
ada bronkospasme
q Pengaturan cairan .
q Ventilasi mekanis
q Pemberian antibiotik
q Dimaksudkan sebagai terapi kausal terhadap organisme penyebab
infeksi .
- Dosis tinggi dari Penisilin G 6-12000000 unit / hari
- Ampicilin / Amoxicilin 3-4 x ( 500-1000 ) mg / hari
- Eritromisin 3-4 x 500 mg / hari
- Cephalosporin dosis sesuai dengan jenis sediaan
- Cotrimoxazol 2 x ( 1-2 ) tablet
- Bisa juga diberikan klindamycin selama 1 sampai 2 minggu .
Prognosis
Banyak orang yang memiliki kondisi yang memudahkan
terjadinya aspirasi.
Jika pengobatan diperoleh segera , kondisi ini jarang
menyebabkan komplikasi. Prognosis keseluruhan Anda
tergantung pada :
• berapa banyak kelaian paru
• tingkat keparahan pneumonia
• jenis bakteri penyebab infeksi
Tanpa pengobatan yang tepat , pneumonia dapat
menyebabkan masalah jangka panjang . Lung masalah abses
dan inflamasi dapat terjadi . Beberapa orang akan
mengembangkan kegagalan pernafasan akut . Ini bisa
berakibat fatal .
Pencegahan

Mengurangi risiko terjadinya aspirasi dengan:


– menghindari perilaku yang mengarah pada
aspirasi, seperti minum berlebihan
– mengenali risiko aspirasi dalam situasi tertentu
komplikasi

• Penyebaran infeksi hematogen ( bakteremia )
• Hipotensi
• Syok
• Akut Respiratory Distress Syndrome ( ARDS )
• Pneumonia dengan abses paru
• Efusi pleura
• Empiema
• Sepsis
1
DETEKSI DINI DAN PERAN MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS

Penulis:
Suharyo
Sri Andarini Indreswari
Kismi Mubarokah

ISBN: 878-602-61215-3-0

Desain Sampul dan Tata Letak:


Kismi Mubarokah

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menerjemahkan sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin tertulis dari penerbit.

Cetakan pertama: Oktober 2017

Diterbitkan oleh:
Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang
Gedung F1, Kampus Sekaran Gunungpati, Kota Semarang 50229
Surel : fik@mail.unnes.ac.id
Laman : fik.unnes.ac.id
Telp./Faks. : +6224 8508007

2
PRAKATA

Pada beberapa tahun terakhir ini, pengendalian TB di Indonesia mengalami


kemajuan yang cukup pesat, hal ini antara lain dibuktikan dengan tercapainya banyak
indikator penting dalam pengendalian TB. Faktor keberhasilan tersebut antara lain: akses
pelayanan kesehatan semakin baik, pendanaan semakin memadai, dukungan pemerintah
pusat dan daerah, peran serta masyarakat dan swasta semakin meningkat, membaiknya
teknologi pengendalian TB. Banyak kegiatan terobosanyang diinisiasi baik dalam skala
nasional maupun lokal.
Dengan mengucap puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat,
karunia dan hidayahNya telah berhasil disusun Buku suplemen Ilmu Penyakit menular
yang berjudul Deteksi Dini dan Peran Masyarakat dalam Penanggulangan Tuberkulosis.
Buku ini berisi tentang epidemiologi, pemeriksaan, pengobatan, dan program
penanggulangan tuberkulosis. selain itu terdapat bab khusus yang menyajikan tentang
peran masyarakat dalan penanggulangan tuberkulosis.
Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi kita semua khususnya mahasiswa yang
sedang belajar tentang penyakit menular sehingga lebih menambah wawasan tentang
upaya penanggulangan TB di Indonesia. Demi kesempurnaan buku ini kami
mengharapkan masukan, saran dan kritik atau tanggapan yang bersifat membangun.

Semarang, Oktober 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

PRAKATA .............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS ..................................................................... 4
Distribusi Penyakit .............................................................................................. 4
Etiologi ............................................................................................................... 8
Penularan Kontak Serumah dan Patofisiologi Penyakit Tuberkulosis .............. 8
PEMERIKSAAN TUBERKULOSIS ..................................................................... 16
Penegakan Diagnosis atau Pemeriksaan ............................................................. 16
Deteksi Dini Tuberkulosis dengan Indikator Interferon Gamma ....................... 17
PENGOBATAN TUBERKULOSIS ...................................................................... 31
PROGRAM PENANGGULANGAN TUBERKULSOSIS .................................... 32
Program Imunisasi .............................................................................................. 32
Pencegahan ......................................................................................................... 33
Penemuan Penderita TB Paru ............................................................................. 34
PERAN MASYARAKAT DALAM PENANGGULANGAN TUBERKULOSIS.. 35
Daftar Pustaka .......................................................................................................... 45
Biodata Penulis

4
EPIDEMIOLOGI TUBERKULOSIS

A. Distribusi Penyakit
Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh Mycobakterium
tuberkulosis dan bersifat menular. WHO menyatakan bahwa sepertiga penduduk dunia
telah terinfeksi kuman tuberkulosis. Setiap detik ada satu orang yang terinfeksi
tuberkulosis (WHO, 2000). Di Indonesia pemberantasan penyakit tuberkulosis telah
dimulai sejak tahun 1950 dan sesuai rekomendasi WHO sejak tahun 1986 regimen
pengobatan yang semula 12 bulan diganti dengan pengobatan selama 6-9 bulan. Strategi
pengobatan ini disebut DOTS (Directly Observed Treatment Short Course
Chemotherapy). Cakupan pengobatan dengan strategi DOTS tahun 2000 dengan
perhitungan populasi 26 juta, baru mencapai 28% (Depkes RI, 1997).
Penyakit TB paru, masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Karena bakteri
Mycobacterium tuberculosis ini sangat mudah menular melalui udara pada saat pasien TB
paru batuk atau bersin, bahkan pada saat meludah atau berbicara. Satu penderita bisa
menyebarkan bakteri Mycobacterium tuberculosis ke 10-15 orang dalam satu tahun.
Belakangan, masalah TB paru diperberat dengan infeksi HIV/AIDS yang berkembang
cepat. Selain itu, juga muncul kasus TB-MDR (Multi Drugs Resistant-kebal terhadap
bermacam obat). Meskipun Indonesia telah berhasil mencapai angka keberhasilan
pengobatan sesuai dengan target global, yaitu 85% dan tetap dipertahankan dalam empat
tahun terakhir. namun 54.2% setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat
juta kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan
oleh TBC. Di Indonesia, TB paru masih sulit dikendalikan karena penyakit tersebut
mempunyai dimensi sosial dan ekonomi. Di daerah yang padat penduduk biasanya
permukiman rapat dan tidak memenuhi syarat rumah sehat. Kesadaran masyarakat akan
kesehatan dan lingkungan juga rendah. Di Indonesia, TB paru merupakan pembunuh
nomor satu di antara penyakit menular dan penyebab kematian nomor tiga setelah
penyakit jantung dan penyakit pernapasan akut pada seluruh kalangan usia.
Laporan TB dunia oleh WHO yang terbaru (2010), masih menempatkan Indonesia
pada ranking kelima negara dengan beban TB tertinggi didunia. Estimasi prevalensi TB
semua kasus adalah sebesar 660.000 dan estimasi insidensi berjumlah 430.000 kasus baru
per tahun. Jumlah kematian akibat TB diperkirakan 61.000 kematian per tahunnya.

5
Meskipun memiliki beban penyakit TB yang tinggi, Indonesia merupakan negara pertama
diantara High Burden Country (HBC) di wilayah WHO South-East Asian yang mampu
mencapai target global TB untuk deteksi kasus dan keberhasilan pengobatan pada tahun
2006. Pada tahun 2009, tercatat sejumlah 294.732 kasus TB telah ditemukan dan diobati
(data awal Mei 2010) dan lebih dari 169.213 diantaranya terdeteksi BTA+. Dengan
demikian, Case Notification Rate untuk TB BTA+ adalah 73 per 100.000 (Case
Detection Rate 73%). Rerata pencapaian angka keberhasilan pengobatan selama 4 tahun
terakhir adalah sekitar 90%. Pencapaian target global tersebut merupakan tonggak
pencapaian program pengendalian TB nasional yang utama.
Berdasarkan Global Tuberculosis Control WHO Report tahun 2011. Pada tahun
2010, angka insidensi semua tipe TB, 450.000 kasus atau 189 per 100.000 penduduk,
angka prevalensi semua tipe TB, 690.000 atau 289 per 100.000 penduduk dan angka
kematian TB, 64.000 atau 27 per 100.000 penduduk atau 175 orang per hari sedangkan
angka insidensi kasus baru TB Paru BTA positif pada tahun 2010 tidak tersedia.
Pada tahun 2005 dikatakan bahwa lebih dari sepertiga penduduk dunia terinfeksi
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB paru menyerang sebagian besar
kelompok usia antara 15-35 tahun, terutama mereka yang bertubuh lemah, kurang gizi,
atau yang tinggal satu rumah dan berdesak-desakan bersama penderita TB paru. Pada
pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TB paru dapat terdeteksi kalau diketahui
adanya kontak dengan pasien TB paru dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak
dengan penderita TB paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia
3 bulan – 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA
(+), dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan darah.
Di seluruh dunia sekitar 19-43% populasi saat ini terinfeksi TB, frekuensi
penyakit TB paru di Indonesia masih tinggi dan menduduki ranking kelima negara
dengan beban TB tertinggi didunia. Di Indonesia TB paru masih merupakan problem
utama baik dalam hal kesakitan maupun kematian. Data TB paru di Indonesia menurut
Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Prof. dr. Tjandra Yoga
Aditama, tahun 2009 1,7 juta orang meninggal karena TB (600.000 diantaranya
perempuan) sementara ada 9,4 juta kasus baru TB (3,3 juta diantaranya perempuan).
Berdasarkan prevalensi BTA (+) tahun 2010-2011 per provinsi triwulan 2 tahun 2011
adalah 41/100.000 penduduk, tertinggi di Sulawesi Utara dan terendah di D.I Yogyakarta.
Sedangkan semua kasus TB tahun 2010-2011 adalah 68 / 100.000 penduduk, tertinggi di
DKI Jakarta dan terendah di D.I Yogyakarta.
6
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan semua negara,
khususnya di Afrika dan Asia, mengadopsi program bernama “Directly Observed
Treatment, Short-course (DOTS)”. DOTS menganjurkan orang sehat untuk memonitor
pasien, meyakinkan pasien mengikuti proses pengobatan secara lengkap. Di Indonesia,
program ini dinamakan Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan untuk TB paru
perlu jangka waktu yang lama (6-8 bulan) dan penting dipahami bahwa semua obat TB
paru harus dipakai untuk jangka waktu sesuai perintah dokter. Tugas PMO di antaranya
mengawasi pasien TB paru agar menelan obat teratur sampai selesai pengobatan,
memberi dorongan agar pasien bersedia berobat secara teratur, mengingatkan pasien
untuk pemeriksaan ulang dahak serta memberi penyuluhan pada anggota keluarga. Upaya
pencegahan dan menurunkan penularan penyakit TB paru yang ditularkan melalui udara
juga dapat dengan perbaikan sistem ventilasi serta aliran udara dalam ruangan,
pengaturan kepadatan persatuan rumah (satu kamar dihuni tidak boleh lebih dari 4 orang),
gizi yang baik, serta tentu saja imunisasi atau vaksin BCG atau Bacille Calmette Geurin.
Berbagai studi memberikan kesimpulan bahwa apabila seseorang tinggal bersama
penderita TB paru aktif untuk beberapa waktu lamanya, kemungkinan akan terinfeksi
atau tertular sebesar 25 %-50 %. Kuman TB paru yang dikeluarkan bersama batuk, akan
berada di lingkungan rumah selama beberapa minggu hingga beberapa bulan. Dalam
keadaan lembab dan sirkulasi udara yang buruk dalam kamar atau bangunan, maka
kuman TB paru akan bertahan lebih lama dan siap menginfeksi orang-orang serumah,
terutama anak-anak. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat (misalnya
keluarga serumah) akan dua kali lebih beresiko dibandingkan kontak biasa (tidak
serumah). Dalam hal ini koordinator TB paru juga mempunyai peranan penting dalam
pencegahan penularan TB paru yaitu dengan melaksanakan program rutin kunjungan ke
rumah penderita TB paru untuk melihat kondisi pasien, menanyakan apakah keluarga
yang tinggal satu rumah ada yang menunjukkan gejala penyakit TB paru, memberikan
pengarahan dan menyarankan keluarga yang tinggal satu rumah untuk melakukan
pemeriksaan dahak sebagai tindakan pencegahan penularan TB paru.
Tuberkulosis (Tb) paru di Indonesia merupakan masalah penyakit dengan
prevalensi tinggi urutan ketiga setelah India dan Cina. Kontribusi India, Cina dan
Indonesia hampir 50% dari seluruh kasus TBC yang terjadi di dunia. Berdasarkan Global
Tuberkulosis Kontrol tahun 2011 (data 2010) angka prevalensi semua tipe TB adalah
sebesar 289 per 100.000 penduduk atau sekitar 690.000 kasus. Insidensi kasus baru TBC
dengan BTA positip sebesar 189 per 100.000 penduduk atau sekitar 450.000 kasus.
7
Kematian akibat TB di luar HIV sebesar 27 per 100.000 penduduk atau 182 orang per
hari (WHO. 2011).

Berdasarkan data WHO Global Report 2012, Indonesia berada di peringkat ke-9
dari 27 negara dengan beban MDR TB (Multi Drug Resistant Tuberculosis) terbanyak di
dunia. WHO menyatakan insidens TB-MDR meningkat secara bertahap rerata 2% per
tahun. Diperkirakan pasien MDR TB di Indonesia mencapai 6.620 orang. Rinciannya,
MDR TB di antara TB kasus baru 5.700 kasus dan MDR TB di antara kasus TB yang
pernah mendapat pengobatan 920 kasus (WHO, 2012). Hingga tahun 2012, tercatat
terjaring 4.297 suspek MDR TB dengan 1.005 pasien. Salah satu penyebabnya adalah
ketidak patuhan penderita dalam minum obat. Menurut laporan WHO tahun 2013,
Indonesia menempati urutan ke tiga jumlah kasus tuberkulosis setelah India dan Cina
dengan jumlah sebesar 700 ribu kasus. Angka kematian masih sama dengan tahun 2011
sebesar 27 per 100.000 penduduk, tetapi angka insidennya turun menjadi 185 per 100.000
penduduk di tahun 2012 (WHO, 2013)
Salah satu pilar penanggulangan penyakit tuberkulosis dengan strategi DOTS
adalah dengan penemuan kasus sedini mungkin. Hal ini dimaksudkan untuk
mengefektifkan pengobatan penderita dan menghindari penularan dari orang kontak yang
termasuk subclinical infection.
Berdasarkan Profil Kesehatan 2010 di Kota Semarang menggambarkan Penemuan suspek
tahun 2010 sebanyak 10971 orang mengalami peningkatan bila dibanding tahun 2009.
Penemuan penderita TB paru BTA positif sebanyak 872 orang (55%), mengalami
peningkatan 79 kasus (5%) bila dibandingkan tahun 2009 (50%). Penemuan kasus TB
anak sejumlah 371 kasus (15%) , fluktuasi hasil kegiatan disebabkan karena deteksi kasus
TB. Penemuan Suspek TB dari tahun ke tahun mengalami fluktuasi, Tahun 2008
ditemukan sebanyak 8.511 (54%) , tahun 2009 ditemukan 8.003 (51%) dan meningkat
18% menjadi 10.971 (69%) pada tahun 2010. Sedangkan jumlah penemuan kasus suspect
(tersangka) masih jauh dari target. Sejak tahun 2009 sampai tahun 2011 kuartil ke 1,
angka pencapaian penemuan suspect hanya berkisar 53%. Angka tersebut sangat jauh
dari target sehingga diperkirakan penularan penyakit tuberkulosis akan semakin meluas
(Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012).

8
B. Etiologi
Tuberkulosis dikenal sebagai penyakit infeksi yang bersifat menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, sebagian besar menyerang paru tetapi
dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Tuberkulosis dapat memasuki tubuh barsama
butir-butir debu atau percikan dahak (Droplet) yang menyebar keudara sewaktu penderita
tuberkulosis batuk atau bersin (Yoga. Tjandra, 1999).
Mycobacterium Tuberculosis berbentuk batang ramping, lurus atau sedikit
bengkok dengan kedua ujungnya membulat. Basil ini sulit sekali diwarnai, tetapi sekali
terwarnai maka ia akan menahan zat warna itu dengan baik sekali dan tidak dapat lagi
dilunturkan walaupun dengan asam alkohol. Oleh karena itu disebut juga sebagai Basil
Tahan Asam (BTA). Zat lilin yang ada di dinding selnya yang menyebabkan sulit
diwarnai dan kesulitan ini dapat diatasi bila digunakan zat warna yang melunturkan lilin
sambil dilakukan pemanasan. Untuk mewarnai kuman ini lazimnya digunakan zat warna
Zeihl-Neelsen (ZN). Basil ini cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat
bertahan hidup beberapa jam ditempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh,
Mycobacterium Tuberculisis dapat dormant (tertidur/tidak aktif) selama beberapa tahun
(Jawetz. 1996).

C. Penularan Kontak Serumah dan Patofisiologi Penyakit Tuberkulosis


Sumber penularan adalah penderita tuberkulosis BTA positif, pada waktu batuk
atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan
dahak). Beberapa faktor yang mengakibatkan menularnya penyakit itu adalah kebiasaan
buruk pasien TB paru yang meludah sembarangan. Selain itu, kebersihan lingkungan juga
dapat mempengaruhi penyebaran virus. Misalnya, rumah yang kurang baik dalam
pengaturan ventilasi. Kondisi lembab akibat kurang lancarnya pergantian udara dan sinar
matahari dapat membantu berkembangbiaknya virus (Singh MM. 1999). Oleh karena itu
orang sehat yang serumah dengan penderita TB paru merupakan kelompok sangat rentan
terhadap penularan penyakit tersebut. Lingkungan rumah, lama kontak serumah dan
perilaku pencegahan baik oleh penderita maupun orang yang rentan sangat
mempengaruhi proses penularan penyakit TB paru.
Bila penderita baru pertama kali tertular kuman tuberkulosis terjadi suatu proses
dalam paru-parunya yang disebut infeksi primer. Droplet yang terhirup sangat kecil
ukurannya sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosiler bronkus dan terus
berjalan sampai alveolus. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil
9
berkembangbiak dengan pembelahan diri di paru-paru yang berakibat peradangan di
dalam paru-paru. Terjadi sel eksudasi dari sel karena proses dimakannya kuman
tuberkulosis oleh sel makrofag. Lesi dapat terjadi pada kelenjar limfe yang disebabkan
lepasnya kuman pada saluran limfe, saluran limfe akan membawa kuman tuberkulosis ke
kelenjar limfe disekitar hilus paru, dan ini disebut komplek primer (Crevel RV, et al.
2001).
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung dari banyaknya kuman yang masuk
dan besar respon daya tahan tubuh. Pada umumnya reaksi daya tahan tubuh dapat
menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis, meskipun demikian ada beberapa
kuman akan menetap sebagai kuman dormant. Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak
mampu menghentikan perkembangan kuman, akibatnya dalam beberapa bulan yang
bersangkutan akan menjadi penderita tuberkulosis. Masa inkubasi yaitu waktu yang di
perlukan mulai terinfeksi kuman tuberkulosis sampai dengan timbulnya gejala penyakit,
diperkirakan 6 bulan. Proses pemusnahan kuman tuberkulosis oleh sel makrofag
menimbulkan kekebalan spesifik terhadap kuman tuberkulosis. Memperhatikan proses
patofisiologi tersebut maka dibutuhkan suatu standar deteksi dini bagi orang yang kontak
serumah dengan penderita Tb paru.
TB paru diklasifikasikan menjadi TBC paru-paru dan TBC ekstra paru, adapun
penjelasannya adalah sebagai berikut :
1. TBC paru-paru adalah TBC yang menyerang jaringan paru-paru, TBC paru-paru
dibedakan menjadi dua macam :
a. TBC paru-paru BTA positif (sangat menular)
1) Pada TBC paru-paru BTA positif penderita telah melakukan pemeriksaan
sekurang-kurangnya 2 dari 3 kali pemeriksaan dahak dan memberikan hasil
positif
2) Satu kali pemeriksaan dahak yang memberikan hasil yang positif dan foto
rontgen dada yang menunjukkan TBC aktif
b. TBC paru-paru BTA negatif
Penderita paru-paru BTA negatif, yaitu apabila pada pemeriksaan dahak dan foto
rontgen menunjukkan TBC aktif, tetapi hasilnya meragukan karena jumlah
kuman (bakteri) yang ditemukan pada waktu pemeriksaan belum memenuhi
syarat positif.

10
2. TBC ekstra paru adalah TBC yang menyerang organ tubuh lain selain paru-paru,
misal selaput paru, selaput otak, kelenjar getah bening, tulang, usus, ginjal, saluran
kencing dan lain-lain.
Adapun klasifikasi TB paru menurut The American Thoracic Society (1981) adalah :
1. Klasifikasi 0 : tidak pernah terinfeksi, tidak ada kontak, tidak menderita TBC
2. Klasifikasi I : tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TBC
3. Klasifikasi II : terinfeksi TBC / test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TBC
(gejala TBC tidak ada, radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif)
4. Klasifikasi III : sedang menderita TBC
5. Klasifikasi IV : pernah TBC, tapi saat ini tidak ada penyakit aktif
6. Klasifikasi V : dicurigai TBC.
Teori John Gordon, mengemukakan terdapat tiga faktor utama yang berperanan
penting yang memberikan gambaran tentang hubungan terjadi penyakit dan masalah
kesehatan lainnya, tiga faktor utama tersebut adalah faktor penjamu (Host), faktor
penyebab (Agent) dan faktor lingkungan (Environment). Ketiga faktor utama ini disebut
dengan Segitiga Epidemiologi (Trias Epidemiologi). Timbulnya penyakit berkaitan
dengan gangguan interaksi antara ketiga faktor ini. Keterhubungan antara penjamu, agen,
dan lingkungan ini merupakan suatu kesatuan yang dinamis yang berada dalam
keseimbangan pada seorang individu yang sehat. Jika terjadi gangguan terhadap
keseimbangan hubungan segitiga inilah yang akan menimbulkan status sakit.

Faktor Penjamu (Host)


Penjamu adalah manusia atau makhluk hidup lainnya, termasuk burung dan
arthropoda, yang menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. Host
untuk kuman tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi host yang dimaksud
dalam penelitian ini adalah manusia. Beberapa faktor host yang mempengaruhi
penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
1. Jenis Kelamin
Ditemukan penyakit tuberkulosis yang terjadi lebih banyak atau hanya mungkin pada
wanita. Menurut WHO, kematian wanita karena TB lebih banyak daripada kematian
karena kehamilan, persalinan serta nifas.

11
2. Keadaan Imunologis
Kekebalan yang diperoleh karena adanya infeksi sebelumnya atau pemberian
kekebalan buatan vaksinasi BCG (Bacillus Calmette Guerin). Tetapi bila kekebalan
tubuh lemah maka kuman tuberkulosis paru akan mudah menyebabkan penyakit
tuberkulosis paru.
3. Keadaan sosial ekonomi
Penyakit Tuberkulosis Paru umumnya menyerang golongan usia produktif dan
golongan sosial ekonomi rendah sehingga berdampak pada pemberdayaan sumber
daya manusia yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi negara.
4. Status Gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap infeksi
kuman tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka akan
mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena kekurangan kalori
dan protein serta kekurangan zat besi, dapat meningkatkan risiko tuberkulosis
paru.
5. Lama Kontak
Penyakit TB Paru ditularkan orang dewasa kepada anak-anak, dan tidak dari anak ke
dewasa. Sumber penularan yang paling berbahaya adalah penderita TB Paru dewasa
dan orang dewasa yang menderita TB paru dengan kavitas (caverne). Kasus seperti
ini sangat infeksius dan dapat menularkan penyakit melalui batuk, bersin dan
percakapan. Semakin sering dan lama kontak, makin besar pula kemungkinan terjadi
penularan. Sumber penularan bagi bayi dan anak yang disebut kontak erat, adalah
orangtuanya, orang serumah atau orang yang sering berkunjung.
Hal-hal berikut dapat terjadi pada bayi dan anak yang mempunyai kontak erat
dengan penderita TB Paru dewasa. Anak mungkin tidak pernah terkena infeksi,
terkena infeksi tetapi tidak sampai menderita penyakit, mengalami infeksi yang
kemudian menjadi penyakit, atau mengalami infeksi laten beberapa lama kemudian
(akan mengalami penyakit apabila terjadi penurunan daya tahan tubuh). Anak yang
rawan tertular TB Paru adalah anak yang berusia dibawah 5 tahun. Bila terinfeksi,
mereka mudah terkena penyakit TB, dan cenderung menderita TB Paru berat seperti
TB Paru meningitis, TB Paru milier atau penyakit paru berat.

12
6. Infeksi Virus HIV
Infeksi kuman tuberkulosis yang telah terjadi biasanya tercegah dengan adanya
sistem pertahanan tubuh. Orang yang sehat (tidak mengidap HIV/AIDS) akan
menderita TBC. Jika seseorang telah mengidap HIV, 10% kemungkinan akan sakit
TBC hanya dalam waktu 1 tahun saja. Hal tersebut tidak mengherankan karena TBC
adalah penyakit infeksi yang berkaitan erat dengan kerusakan sistem kekebalan
seluler, sedangkan orang yang terinfeksi HIV, imunitas selulernya rusak.
Angka TBC pada Odha (Orang dengan HIV&AIDS) sering kali 40 kali lebih
tinggi dibanding angka untuk orang yang tidak terinfeksi HIV. Angka TBC diseluruh
dunia meningkat karena HIV. TBC dapat merangsang HIV agar lebih cepat
menggandakan diri, mengurangi jumlah CD4 dan memburukkan infeksi HIV. Karena
itu, penting agar orang dengan HIV mencegah dan mengobati HIV. TBC adalah penyakit
berat dan membunuh lebih banyak Odha dibanding dengan semua penyakit lain. TBC
dan HIV saling memburukkan.
1. Faktor Penyebab (Agent)
Mycobacterium Tuberculosis termasuk dalam familie Mycobacteriaceae yang
mempunyai berbagai genus, satu diantaranya adalah Mycobacterium, yang salah
satu spesiesnya adalah M.Tuberculosis. Ada tiga jenis kuman yang satu keluarga
dengan Mycobacterium Tuberculosis, yaitu Mycobacterium bovis yang
menyebabkan penyakit hewan pada sapi perahan, Mycobacterium Tuberculosis
sendiri, dan Mycobacterium leprae yaitu penyebab penyakit lepra atau kusta.
Mycobacterium bovis juga dapat menyebabkan penyakit pada manusia, terutama
apabila minum susu sapi yang sedang menderita penyakit tersebut.
Mycobacterium Tuberculosis merupakan yang paling berbahaya bagi
manusia adalah tipe humanis (kemungkinan infeksi tipe bovinus saat ini diabaikan,
setelah higiene peternakan makin ditingkatkan). Kalau untuk bakteri-bakteri lain
hanya diperlukan beberapa menit sampai 20 menit untuk mitosis, basil TB
memerlukan waktu 12 sampai 24 jam. Hal ini memungkinkan pemberian obat secara
intermiten (2-3 hari sekali).
Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa
menit saja akan mati. Ternyata kerentanan ini terutama terhadap gelombang cahaya
ultraviolet. Basil TB juga rentan terhadap panas-basah, sehingga dalam 2 menit saja
berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100 oC.
Basil TB juga akan terbunuh bila terkena alkohol 70% atau lisol 5%.

13
2. Faktor Lingkungan (Environment)
Lingkungan adalah semua faktor luar dari suatu individu yang dapat berupa
lingkungan fisik, biologis dan sosial. Faktor lingkungan memegang peranan
penting dalam penularan, terutama lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat.
Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar
terhadap status kesehatan penghuninya.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh rumah sehat secara fisiologis
yang berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis paru antara lain:
1. Kepadatan Penghuni Rumah
Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan
standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan
diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≥ 10 m²/orang
dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi
antara luas lantai dengan jumlah penghuni ≤ 10 m²/orang.
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh
bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya
akan menyebabkan perjubelan (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena disamping
menyebabakan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, terutama tuberkulosis akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.

2. Kelembaban
Kelembaban udara dalam rumah minimal 40%-70 % dan suhu ruangan yang
0 0
ideal antara 18 C- 30 C. Bila kondisi suhu ruangan tidak optimal, misalnya terlalu
panas akan berdampak pada cepat lelahnya saat bekerja dan tidak cocoknya untuk
istirahat. Sebaliknya, bila kondisinya terlalu dingin akan tidak menyenangkan dan
pada orang-orang tertentu dapat menimbulkan alergi. Rumah yang tidak memiliki
kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi
penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
mikroorganisme, antara lain bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang
tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang
efektif dalam menghadang mikroorganisme. Kelembaban udara yang meningkat

14
merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri termasuk bakteri tuberkulosis.
Untuk mengatasi kelembaban, maka perhatikan kondisi drainase atau saluran air
di sekeliling rumah, lantai harus kedap air, sambungan pondasi dengan dinding harus
kedap air, atap tidak bocor dan tersedia ventilasi yang cukup.
3. Suhu
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat
tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi:
1) Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah
diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara
24 – 34 ºC.
2) Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air,
umumnya lebih rendah dari pada suhu kering, yaitu antara 20 - 25 ºC.
Secara umum, penilaian suhu rumah dengan menggunakan termometer
ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu rumah yang
memenuhi syarat kesehatan adalah antara 20-30 ºC, dan suhu rumah yang tidak
memenuhi syarat kesehatan adalah < 20 ºC atau > 30 ºC . Suhu dalam rumah akan
membawa pengaruh bagi penguninya.

4. Ventilasi
Jendela dan lubang ventilasi selain sebagai tempat keluar masuknya udara
juga sebagai lubang pencahayaan dari luar, menjaga aliran udara di dalam rumah
tersebut tetap segar. Menurut indikator pengawasan rumah, luas ventilasi yang
memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang
tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah. Luas ventilasi
rumah yang < 10% dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan
mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksien dan bertambahnya konsentrasi
karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Kelembaban ruangan yan
tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya
bakteri-bakteri patogen termasuk kuman tuberkulosis.
Ventilasi rumah mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara dalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan O2 yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap terjaga.
Fungsi kedua dari ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-
bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus

15
menerus. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga afar ruangan rumah selalu tetap
dalam kelembaban (humudity) yang optimum.
5. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak
terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam rumah, terutama cahaya
matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik
untuk hidup dan berkembangnya bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya
dalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya dapat merusak mata.
Seyogyanya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai
20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruangan rumah.
6. Lantai
Ubin atau semen adalah baik, namun tidak cocok untuk kondisi pedesaan.
Lantai kayu sering terdapat pada rumah-rumah orang yang mampu di pedesaan, dan
ini pun mahal. Oleh karena itu, untuk lantai rumah pedesaan cukuplah tanah biasa
yang dipadatkan. Syarat yang penting di sini adalah tidak berdebu pada musim
kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang
padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan
dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan
bersebu menimbulkan sarang penyakit.
7. Dinding
Dinding berfungsi sebagai pelindung, baik dari gangguan hujan maupun angin
serta melindungi dari pengaruh panas dan debu dari luar serta menjaga kerahasiaan
(privacy) penghuninya. Tembok adalah baik, namun disamping mahal tembok
sebenarnya kurang cocok untuk daerah tropis, lebih-lebih bila ventilasi tidak cukup.
Dinding rumah di daerah tropis khususnya pedesaan, lebih baik dinding atau papan.
Sebab meskipun jendela tidak cukup, maka lubang-lubang pada dinding atau papan
tersebut dapat merupakan ventilasi, dan dapat menambah penerangan alamiah.

16
PEMERIKSAAN TUBERKULOSIS

A. Penegakan Diagnosis atau Pemeriksaan


Diagnosa tuberkulosis adalah upaya untuk menegakkan atau mengetahui jenis
penyakit yang diderita seseorang. Untuk menegakkan diagnosis tuberkulosis dilakukan
secara bersama-sama, yaitu : anamnesa, gejala klinis dari penyakit tuberkulosis,
pemeriksaan bakterologis ditunjang pemeriksaan radiologist dan tes tuberkulin (Yoga.
Tjandra. 1999).
a. Anamnesa
Penderita biasanya mengeluh batuk terus menerus dan berdahak selama
tiga minggu atau lebih, dahak bercampur darah, rasa nyeri dada dan sesak nafas.
b. Gejala klinis penyakit tuberkulosis
Gejala klinis pada penderita tuberkulosis adalah wajah tampak pucat,
batuk berdahak, badan lemah, berat badan turun, badan berkeringat pada malam
hari walaupun tanpa kegiatan, malaise, suhu badan sedikit meningkat siang atau
sore hari yang berlangsung selama empat minggu.
c Pemeriksaan Bakteriologis
Diagnosa yang paling pasti untuk penyakit tuberkulosis adalah dengan cara
mengisolasi kumannya. Bahan spesimen dapat berupa dahak segar, cairan
lambung, urine, cairan pleura, cairan otak, cairan sendi dan biopsi (Crevel RV, et
al.).
Pemeriksaan bahan sampel dahak penderita tersangka secara mikroskopis
dilakukan dengan menggunakan pewarna Ziel Neelsen. Pemeriksaan mikroskopis
untuk diagnosis adalah cara termudah, tercepat dan termurah.

Konfirmasi bakteriologis tidak mungkin dilakukan untuk menegakkan


diagnosis tuberkulosis primer karena kuman tuberkulosis belum ada dalam dahak
penderita. Pada tuberkulosis milier sulit dilakukan konfirmasi bakteriologis tetapi
dapat dilakukan dengan cara usap tenggorokan sedangkan pada tuberkulosis pasca
primer. Hal ini merupakan salah satu upaya yang penting untuk konfirmasi
diagnosis (Kresno SB. 2001).

17
d. Pemeriksaan Radiologis
Apabila dari tiga kali pemeriksaan dahak hasilnya negatif sedangkan
secara klinis mendukung sebagai tersangka penderita tuberkulosis, perlu
dilakukan pemeriksaan radiologis (Kresno SB. 2001).
e. Tes Tuberkulin
Pada tes tuberkulin diagnosis ditegakkan dengan melihat luasnya daerah
indurasi pada kulit tetapi saat ini di Indonesia, tes tidak mempunyai arti dalam
menentukan diagnosis tuberkulin pada orang dewasa sebab sebagian besar
masyarakat sudah terinfeksi dengan Mycobakterium tuberculosis karena tingginya
prevalensi tuberkulosis. Hasil tes tuberkulin positif hanya menunjukkan bahwa
yang dites pernah terpapar dengan kuman tuberkulosis dan tes bisa negatif
meskipun orang tersebut menderita penyakit tuberkulosis, misalnya pada
penderita HIV/AIDS, malnutrisi berat, tuberkulosis milier dan morbili (Yoga.
Tjandra. 1999).

B. Deteksi Dini Tuberkulosis dengan Indikator Interferon Gamma


Limfosit T hanya dapat mengenali antigen asing apabila molekul tersebut
diekspresikan bersama molekul MHC. Penyajian antigen oleh MHC kelas I atau kelas II
menentukan jenis limfosit yang bereaksi. Antigen peptida dipresentasikan bersama

molekul MHC kelas I kepada sel T CD8⁺, sedangkan MHC kelas II kepada sel T CD4⁺.

Sel Th CD4⁺ yang telah mengenal peptida tersebut akan diaktifkan menuju jalur yang
berbeda berdasarkan konsep proliferasi Th1 dan Th2. Jenis penyakit karena infeksi
mikroorganisme tertentu mempengaruhi fenotip respon tertentu pula. Infeksi dengan
mikobakterium tuberkulosis cenderung mengaktifkan jalur Th1 dari pada Th2. Namun
dalam perjalanan penyakit TBC fenotipe Th1 dan Th2 dapat saling bergeser (switching)
tergantung dari berbagai kondisi, misalnya keparahan penyakit, pengaruh pengobatan dan

sebagainya. Aktivasi fenotipe Th1 menghasilkan pola produksi sitokin antara lain IFN-Ǵ,
sedangkan fenotipe Th2 menghasilkan sitokin antara lain IL-4. Pada penelitian ini
dikaitkan dengan kesembuhan dalam pengobatan dengan strategi DOTS selama 2 bulan
awal (Chackerian AA, Perera TV, Behar SM. 2001).
Hubungan produksi atau kadar sitokin di dalam serum dengan pengobatan telah banyak

diteliti, di Indonesia telah diteliti di Yogyakarta dengan hasil produksi IFN-Ǵ pada

18
PBMC penderita TBC paru aktif yang distimulasi dengan PPD dan mikobakterium
sonicate jauh lebih rendah dibanding kontrol sehat dan penyakit paru non tuberkulosis.
Tidak terdapat perbedaan pada stimulasi dengan PHA, hal ini menunjukkan penderita
tuberkulosis mempunyai defisiensi yang sifatnya spesifik dalam kapasitasnya

memproduksi IFN-Ǵ. Ditemukan produksi IL-13 tidak terdapat perbedaan dengan


kontrol. Pada evaluasi terhadap penderita dengan pengobatan strategi DOTS didapatkan
produksi IFN-ɤ yang rendah sebelum terapi, menjadi normal secara cepat setelah
pengobatan, sejalan dengan perkembangan penyakit secara klinis, tetapi tidak terdapat
perbedaan secara signifikan pada produksi IL-13 (Chackerian AA, Perera TV, Behar
SM. 2001).
Penelitian yang telah dilakukan oleh pengusul berkenaan dengan penyakit
tuberkulosis adalah peran faktor imunogenetika terhadap kesembuhan pengobatan pada
penderita TB paru. Penelitian tersebut bertujuan menjelaskan hubungan faktor HLA-DRB
dengan kesembuhan klinis, dalam hal ini terjadinya konversi BTA pasca 2 bulan
pengobatan dengan strategi DOTS dan bagaimana hubungannya dengan kapasitas

produksi IFN-Ǵ dan IL-4 di dalam supernatan kultur PBMC. Penelitian dilakukan dengan
menggunakan rancangan nested case control, pada pasien baru tuberkulosis paru dengan
pemeriksaan sputum BTA positip yang mendapat pengobatan strategi DOTS selama 2
bulan. Jenis alel (HLA-DRB) yang ditemukan dengan pemeriksaan PCR dinyatakan
sebagai variabel paparan, variabel efek adalah hasil pemeriksaan sputum (BTA) dengan
pengecatan Ziehl Neelsen yang diteruskan dengan tes Niacin pasca 2 bulan pengobatan,

serta produksi IFN-Ǵ dan IL-4 (diperiksa dengan metoda ELISA). Sebagai variabel
perancu ditetapkan BMI dan jenis kelamin. Analisis dilakukan dengan menghitung rasio
odds dengan chi-square dan logistic regression. Untuk hubungannya dengan produksi
sitokin dilakukan analisis dengan T- test.
Penelitian dilakukan pada sampel sejumlah 73, diperoleh dari 158 pasien baru
berobat jalan yang diikuti selama 2 bulan, terdiri dari 34 kasus (tidak terjadi
konversi/BTA +) dan 39 kontrol (terjadi konversi/BTA -). Penelitian dilakukan di BP4,
12 Puskesmas dan RSUD Kota Semarang. Hasil penelitian adalah alel HLA-DRB1*1502
dan HLA-DRB5*01 merupakan alel yang bersifat risiko pada kasus dibandingkan kontrol
terhadap tidak terjadinya konversi BTA pasca 2 bulan pengobatan dengan OR = 3,2
(95% CI: 1,103-9,287). Sedangkan alel HLA-DRB1*1201 dan alel HLA-DRB3*01
merupakan alel yang bersifat protektif pada kasus dibandingkan kontrol, dengan OR=
19
0,305 (95%CI: 0,117-0,798), alel HLADRB3*01 dengan OR= 0,214 (95%CI: 0,077-
0,592). Apabila dilakukan penggabungan, alel HLA-DRB1*1502 bersama dengan alel
HLA-DRB5*01 dengan OR 4,21 (95% CI: 1,312-13,510), sedangkan alel HLA-
DRB1*1201 bersama alel HLA-DRB3*01 dengan OR 0,201 (95% CI: 0,64-0,628).
Population Attributable Risk (PAR) untuk alel HLA-DRB1*1502 bersama dengan HLA-
DRB5*01 sebesar 63,99%. Apabila variabel perancu dimasukkan ke dalam analisis, maka
hanya alel HLA-DRB1*1502 yang secara signifikan merupakan faktor risiko untuk tidak
terjadinya konversi BTA dengan OR= 4,9 (95% CI: 1,234 -15,617). Probabilitas untuk
HLA-DRB1*1502 adalah sebesar 70,57%. Kapasitas produksi IFN-ɤ dan IL-4 tidak
berhubungan dengan timbulnya kekebalan maupun kerentanan terhadap konversi BTA
yang diakibatkan oleh alel HLA-DRB1*1502, HLA-DRB5*01, HLA-DRB1*1201, dan

HLA-DRB3*01. Rerata produksi IFN-Ǵ di dalam kultur PBMC dengan stimulasi 0,5
ug/mL adalah sebesar 22,51 ± 26,17 pg/mL, dengan stimulasi PPD 5 ug/mL : 24,70 ±
26,15pg/mL. Dengan stimulasi PHA 50 ug/mL sebesar 152,92 ± 54,55 pg/mL, sedangkan
tanpa stimulasi sebesar 3,15 ± 6,19 pg/mL. Produksi IL-4 hanya terdeteksi dengan
stimulasi PHA sebesar 15,78 ± 18,70 pg/mL
Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah Alel HLA-DRB1*1502 merupakan
faktor risiko bagi pasien untuk tidak terjadinya konversi BTA pasca 2 bulan pengobatan
strategi DOTS, dengan probabilitas cukup besar. Tidak terdapat hubungan antara

kapasitas produksi IFN-Ǵ dan IL-4 di dalam supernatan kultur PBMC pasien dengan
faktor HLA-DRB. Sehingga disarankan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang

pola produksi IFN-Ǵ pada orang yang kontak serumah dengan penderita TB paru dan juga
perlu dilakukan penelitian pada aspek farmakogenetik dalam upaya pemberantasan
penyakit tuberkulosis paru di Indonesia.
Pada kelompok sampel dengan hasil tes mantoux yang positif pada kelompok kontak
serumah (79,4%) jauh lebih besar dari kelompok yang tidak kontak serumah (5,9%),
sedangkan pada hasil tes mantoux yang negatif, proporsinya pada kelompok tidak kontak
serumah dengan penderita tb paru 4 kali lebih besar dibanding kelompok yang kontak
serumah. Setelah dilakukan uji Chi square, diperoleh p value sebesar 0,0001dan nilai x2
sebesar 34,631. Ini berarti status responden (terpapar dan tidak terpapar) berhubungan
signifikan dengan hasil tes mantoux.
Rerata kadar interferon gamma pada kelompok yang terpapar kontak serumah
dengan penderita Tb paru sebesar 5,32 pg/ml sedangkan pada kelompok yang tidak
20
terpapar lebih kecil yaitu 1,1 pg/ml. Demikian pula nilai maksimum dan minimum, pada
kelompok yang terpapar kontak serumah dengan penderita Tb paru lebih besar daripada
kelompok yang tidak terpapar dengan nilai 38,2 pg/ml dan 0,54 pg/ml dibanding 2,7
pg/ml dan 0,14 pg/ml.
Setelah dilakukan uji statistik beda rerata dengan menggunakan Man Whitney U test
(data kadar interferon gamma berdistribusi tidak normal) menunjukkan p-value 0,0001.
Hal ini menunjukkan terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan
antara kelompok terpapar kontak serumah dengan penderita tb paru dengan kelompok
yang tidak terpapar.
Pada penelitian ini ingin dibandingkan hasil pemeriksaan Uji Tuberkulin dengan
pemeriksaan serologis kadar IFN gamma pada kelompok kontak serumah dengan
penderita TBC yang mempunyai hasil pemeriksaan BTA+. Kit yang dipergunakan masih
menggunakan Human IFN gamma Quantikine Kit, tidak menggunakan QuantiFeron-TB
Gold (QFT-G) atau T-SPOT yang telah dianjurkan pemakaiannya oleh CDC ( the US
Centers for Disease Control and Prevention) sejak Tahun 2005 kemudian diperbaharui
dan di publikasikan kembali pada tanggal 25 Januari tahun 2010 (Wongtim S et all, 1999,
Lee JY, Choi HJ, 2006, Miranda C, 2010), serta dibuktikan mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi (Soysal A, 2008).
Mengapa masih dipergunakan Human IFN gamma Quantikine Kit? Hal ini mengingat
hasil penelitian oleh peneliti sebelumnya menunjukkan terdapatnya hubungan kadar IFN
gamma pada proses kesembuhan penderita TBC (Sri Andarini I, 2009). Oleh peneliti lain
di Yogyakarta didapatkan juga terdapatnya hubungan kadar IFN gamma dengan kadar
TH1 dan TH2 (Subronto YW, 2002).
Disamping harga dari Kit tersebut yang relatif lebih murah apabila dibandingkan
dengan kedua Kit terbaru tersebut, sehingga apabila ditemukan hasil yang signifikan
dapat secara lebih ekonomis dpergunakan untuk deteksi dini penyakit TBC paru.
Hasil penelitian tahun pertama ini sudah menunjukkan terdapatnya hubungan kadar IFN
gamma pada kelompok terpapar dan tidak terpapar (p value 0,0001). Harapan peneliti
dengan mengikuti perjalanan paparan selama 6-8 bulan kemudian, dapat ditemukan
perkembangan yang signifikan dari kadar IFN gamma tersebut. Perkembangan penyakit
kemudian diikuti dengan pembuktian secara klinis sesuai dengan ketetapan pelaksanaan
Program Pemberantasan Penyakit TBC Paru yaitu pemeriksaan dahak, rontgenologis dan
keadaan klinis dari kelompok terpapar tersebut.

21
Meskipun TST (Tuberkuline Skin Test)/Tes Mantoux dalam beberapa dekade
telah dipergunakan sebagai standar untuk mendeteksi TBC laten tetapi masih
mempunyai keterbatasan. Vaksinasi BCG dikatakan masih dapat mempengarui hasil
positif dari pemeriksaan tersebut (fals positif). Kemudian ditemukan bahwa IFN release
assays dapat dipergunakan sebagai alternatif standar di dalam penentuan TBC laten.
Implementasi yang berhasil pengunaaan IFN release Assays telah dibuktikan pada
penelitian terhadap pekerja kesehatan, personil laboratorium, dan klinisi yang patut
diduga menderita TBC laten . Penelitian menggunakan TB-Gold In Tube test dengan
standar ≥ 0,35 IU ml/>25% dari nilai Nul (Wongtim S et all, 1999, Lee JY, Choi HJ,
2006, Miranda C, 2010).
Pada penelitian ini adalah penderita kontak serumah dengan penderita TBC aktif
(BTA +). Karakteristik sampel di kedua kelompok yaitu terpapar dan tidak terpapar tidak
jauh berbeda, hanya pada umur secara rerata pada kelompok terpapar jauh lebih tua dari
kelompok tidak terpapar. Namun demikian faktor umur belum ada laporan yang
menyebutkan dapat mempengaruhi kadar interferon gamma. Oleh karena itu dari segi
pemilihan sampel sudah tidak berpengaruh terhadap faktor penelitian. Demikian pula
status imunisasi BCG dan status gizi tidak menunjukkan ada hubungan dengan kadar
interferon gamma. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara status paparan dengan hasil pemeriksaan TST (p value, 0001), serta
terdapat perbedaan rerata kadar interferon gamma secara signifikan berdasarkan status
paparan. Rerata kadar interferon gamma pada kelompok terpapar 5 kali lebih besar
dibanding rerata pada kelompok tidak terpapar. Ini menunjukkan bahwa kadar interferon
gamma sudah mulai menunjukkan peluang untuk menjadi indikator dalam melihat
perkembangan penyakit TBC pada kelompok yang rentan khususnya yang kontak
serumah dengan penderita. Penelitian sebaiknya dilanjutkan untuk mengikuti
perkembangan kadar IFN gamma pada penderita kontak serumah tersebut sehingga dapat
melihat keterkaitannya dengan perkembangan gejala fisiknya.
Penelitian di Yunani menyebutkan terdapat hubungan siknifikan antara indurasi
TST dan parut BCG yang terdapat (p < 0,0001), tetapi tidak terdapat hubungan signifikan
pada kelompok umur yang berbeda (6,12,15 tahun) pada diameter dari indurasi TST
(Lalvani A, Pareek M. 2010, Pareek M. 2011, Briassoulis G. 2005). Oleh karena Baku
Emas (Gold standard) untuk infeksi TBC laten belum ada maka sulit untuk menilai
apakah uji baru lebih baik dari uji tuberkulin. Penilaian sensitivitas dan spesitivitas alat
uji baru sulit dilakukan tanpa referensi uji sebagai baku emas (Subagyo A, 2006).

22
Di beberapa negara telah banyak dilakukan penelitian yang membandingkan
efektifitas dari IFN gamma release assays dengan TST. Diantaranya di Korea Selatan,
suatu negara dengan keadaan intermediate TB burden, telah dibandingkan hasil dari
TST, QFT-G dan T-SPOT TB assays. Dari 224 partisipan, didapatkan hasil dari 168
pasien, 87 orang menderita TB aktif, 131 orang dari kelompok dengan risiko rendah
untuk TBC. Dengan penetapan cut off untuk TST 10mm, didapatkan sensitivitas untuk
SPOT (96,6%), secara signifikan lebih tinggi dari TST (66,7%) dan QFT-G (70,1%).
Untuk spesivisitas QFT-G lebih tinggi dari pada TST (91,6% versus 78,6%).
Spesivisitas QFT-G lebih tinggi dari pada SPOT ( 91,6% versus 84,7%). (Legesse M,
2011)
Penelitian di Belanda menyebutkan bahwa hasil positif pemeriksaan dengan darah
(serologis) berhubungan dengan pajanan, tetapi pemeriksaan dengan TST tidak
berhubungan dengan pajanan. Terjadi kurang sensitifan dari IFN assays di dalam
mendeteksi individu dengan hasil pemeriksaan TST > dari 15 mm atau lebih serta status
imunisasi BCG (Koksal D, 2006).
Peneliti lain menyebutkan bahwa QFT-G dapat dipergunakan sebagai pengujian
penelitian yang bersifat seri. Akan tetapi pengulangan tes harus dibaca secara ber-hati-
hati oleh karena dapat dimungkinkan terjadinya infeksi non spesifik baru (Wong Cf, et
all , 2003)
Pemeriksaan IFN gamma dari cairan pleura pada pleuritis TBC dapat
dipergunakan sebagai diagnostik marker. Kadar IFN gamma secara siknifikan ditemukan
lebih tinggi pada penderita TBC dibanding individu non TBC (131,3 pg/ml versus 50,4
pg/ml dengan p value < 0,01). Penelitian dilakukan di sebuah RS Bangkok (Arend SM,
2007, Pai M, Joshi R, 2006), penelitian lain menyebutkan apabila cut off values 60 pg/ml
ditemukan sensitifitas sebesar 79,4% dan spesifisitas 100% untuk pemeriksaan dengan
IFN release assay. (Carandang EH. 1988)
Penetapan cut off values untuk TST, QFT dan SPOT dapat meningkatkan
sensitifitas untuk masing-masing assay tetapi spesifisitas untuk QFT tetap. Ditemukan
sensitivitas untuk TST 70%, QFT 78%, T SPOT 83,5%. Sedangkan spesifisitas TST
35%, QFT 89,4% dan T-SPOT 84,8%. QFT dan T-SPOT secara signifikan lebih spesifik
dibanding TST (p value < 0,01). Apabila cut off values dinaikkan maksimal sebesar 0,818
IU/ml untuk QFT sensitifitas tidak berkurang, meningkatkan untuk TST dan T
SPOTtetapi secara signifikan menurunkan spesifitasnya (Lee JY, Choi HJ et all, 2006),

23
demikian juga penelitian di Kuwait menyebutkan QFT-G-IT dan T-SPOT.TB dapat
dipergunakan untuk Penderita TBC dengan infeksi laten. (Arend SM, et all, 2001).
ACS (an Advisory Committee Statement) dari CTC ( Canadian Tuberculosis
Committee) memberikan rekomendasi dan melakukan pembaruan rekomendasi pada
tahun 2008 yang menyatakan bahwa pada orang dewasa atau anak-anak yang mengalami
kontak dengan penderita TBC paru aktif direkomendasikan dapat menggunakan IGRA
sebagai tes konfirmasi pada individu dewasa atau anak yang mempunyai hasil TST
positif pada pemeriksaan Tes Tuberkulin yang patut diduga dapat mengalami TBC laten
(LTBI/ Latent Tuberculosis Infection), serta diduga tidak akan berisiko menjadi kasus
TBC aktif. Sedangkan pada kontak yang dekat yang patut diduga dapat mengalami
pengembangan menjadi kasus aktif apabila terinfeksi, TST atau TST dan IGRA harus
dipergunakan. Apabila TST dan IGRA dilakukan direkomrendasikan hasil IGRA sebagai
penggambaran keadaan sebelum atau pada waktu TST dibaca. (Miranda C. et all, 2010).
Di Turki di dapatkan hasil penelitian yang menunjukkan IGRA merupakan alat
diagnostik yang mempunyai nilai diagnostik dengan dengan sensitifitas dan spesifisitas
yang lebih tinggi. Turki merupakan negara dengan insidensi rendah (Soysal A. et all,
2008). IGRA dapat dipergunakan untuk diagnosa TBC aktif dan latent, sedangkan T-
SPOT TB assay dipergunakan dengan menggunakan ESAT-6 dan CFP-10 untuk pasien
TBC yang sedang di dalam pengobatan (CCDR. 2008). Igra apabila sensitifitasnya
dikembangkan dapat dipergunakan untuk melakukan eksklusi penderita LTBI dengan
keadaan immunocompromised (Zhao J. et all, 2011. Ahmad S. 2010). Skrining dengan
menggunakan Igra untuk LTBI merupakan suatu hal yang cost efektif, hal ini telah
dibuktikan pada penelitian yang dilakukan pada kaum imigran di London Inggris di
dalam upaya pencegahan penyakit menjadi TBC aktif (Pareek M, 2011).
Tetapi penelitian lain menyebutkan bahwa ESAT-6 dan CFP-10 kurang sensitif
apabila dipergunakan untuk mendiagnosis LTBI dibanding PPD (67 versus 100%)
(Dilektasli AG. Et all, 2010). Meskipun pada beberapa negara telah dibuktikan
sensitifitas dan spesifisitas dari T-TPOT.TB; akan tetapi pada penelitian yang dilakukan
di China pada 899 pelajar untuk melakukan skrining terhadap LTBI, ditemukan bahwa
terdapat hasil: Positip untuk untuk T-SPOT .TB 13,0% (95% CI 10,4-15,4) dan 24,9%
untuk TST (95% CI 21,5-28,6) pada sampel dengan parut BCG ( agreement 72,3%; 95%
CI: 68,6-75,8). Pada sampel tanpa parut BCG 17,3% (95% CI 11,7-24,2) dan 23,7%
(95%CI: 17,3-31,2) sedangkan agreement 73,1% (95% CI 65,4-79,9). Hasil ini

24
menunjukkan rendahnya hasil dibandingkan agreement (kesepakatan) yang telah
dtetapkan untuk pemeriksaan TST dan T-SPOT.TB (Zhang S. et all, 2010).
Dengan melihat hasil-hasil penelitian di beberapa negara tersebut, pemeriksaan
maupun skrining untuk penderita yang diduga menderita infeksi TBC laten, masih
memerlukan penelitian-penelitian lebih lanjut dengan melihat prevalens TBC pada suatu
negara.
Setelah diikuti selama dua tahun, pada kelompok yang kontak serumah dengan
penderita Tb paru terdapat 25% yang menunjukkan gejala klinis seperti batuk, nafsu
makan berkurang, dan berkeringat dingin di malam hari. Gejala ini menunjukkan adanya
suspek tuberkulosis. Sedangkan pada kelompok yang tidak kontak serumah dengan
penderita tb paru, setelah diikuti selama dua tahun, semuanya tidak menunjukkan gejala
klinis.
Hasil pemeriksaan kadar interferon gamma menunjukkan semua baik pada
kelompok yang kontak serumah maupun tidak kontak serumah dengan penderita tb paru
kadarnya di bawah 15,6 pg/ml. Perbandingan kadar IFN Gamma ditunjukkan pada tabel
berikut ini.

Tabel 1. Perbandingan antara Kadar Interferon Gamma Antara Kelompok Terpapar dan
Tidak Terpapar Kontak Serumah

Kadar IFN Gamma Kelompok


(pg/ml) Kontak Serumah Tidak Kontak serumah
Rerata 4,292 1,127
Minimal 0,203 0,203
Maksimal 15,232 2,756

Rerata kadar interferon gamma pada kontak serumah dengan penderita tb paru
lebih besar (hampir empat kali lipat) dibandingkan dengan kelompok yang tidak kontak
serumah. Sedangkan nilai maksimal kadar interferon gamma pada kontak serumah
hampir tujuh kali lipat lebih besar dibanding pada kelompok yang tidak terpapar. Kadar
IFN gamma berbeda secara signifikan (p value = 0,004) antara kelompok Kontak
serumah dengan yang tidak kontak serumah (dengan penderita tb paru).

25
25
20,954

20
15,232
15

10
4,78 4,292
92
5 2,68 2,756
756
1,188 1,127 1,376 0,203
0,136 0,203
0
Mean Minimum Maksimum

Kontak Serumah
Ser (1) Tidak Kontak Serumah (1)
Kontak Serumah
Ser (2) Tidak Kontak Serumah (2)

Grafik 1. Perbandingan
ngan IFN
I gamma antar kelompok pada tahunn 2011 (1) dengan tahun
2013 (2)
Jika dibandingkan
ingkan dengan pemeriksaan kadar interferon gamma
gamm dua tahun yang
lalu, reratanya baikk pada kontak serumah maupun tidak kontak
tak serumah
se mengalami
penurunan berkisarr 12,5%.
12,5 Demikian pula pada nilai minimum
um maupun
m maksimum,
mengalami penurunan
nan ha
hampir sepertiganya. Namun pada kelompok
mpok yang tidak kontak
serumah sedikit mengal
engalami kenaikan berkisar 0,1pg/ml baik
ik pad
pada nilai minimum
maupun maksimum.

2,5

1,5 th 2011

1 th 2013

0,5

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Grafik 2. Perbandinga
ndingan Kadar IFN Gamma pada kelompok tidakidak Kontak
K Serumah
dengan
gan Penderita
Pe Tb Paru antara tahun 2011 dengan
gan 2013
20

26
25

20

15
th 2011
10 th 2013

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Grafik 3. Perbandingan Kadar IFN Gamma pada kelompok Kontak Serumah dengan
Penderita Tb Paru antara tahun 2011 dengan 2013

Hasil perbandingan kadar IFN gamma pada kelompok Kontak Serumah dengan
Penderita Tb Paru setelah dua tahun diikuti, sebagian besar (75%) mengalami penurunan.
Demikian pula pada kelompok yang tidak kontak serumah, 65% mengalami penurunan
pada kadar IFN gammanya.

Hasil Analisis Recieve Operating Curve (ROC)

ROC Curve
1,0

,8

,5

,3
Kadar IFN
Sensitivity

0,0
0,0 ,3 ,5 ,8 1,0

1 - Specificity

Grafik 4. Kurva ROC Kadar IFN Gamma terhadap status Klinis pada Kelompok yang
Kontak Serumah dengan Penderita Tb Paru
27
Grafik di atas menunjukkan bahwa kadar IFN gamma mempunyai nilai diagnostik
yang cukup baik karena kurva jauh dari daris 50% dan mendekati 100%. Hasil analisis
diperoleh area under curve (AUC) sebesar 70,4% (95%IK 40,8% - 99,9%). Secara
statistik nilai 70,4% tergolong cukup kuat untuk mendiagnosis tuberkulosis. Ini berarti
jika kadar IFN gamma digunakan untuk mendiagnosis tuberkulosis diantara 100 orang
yang kontak serumah dengan penderita tb paru, maka kesimpulan yang tepat akan
diperoleh pada 70 orang yang kontak serumah. Namun demikan hasil penelitian
menunjukkan p value 0,309. Artinya AUC yang diperoleh belum berbeda secara
bermakna dengan nilai AUC 50%. Secara klinis, nilai AUC kadar IFN gamma sudah
memuaskan karena lebih besar dari yang diharapkan yaitu 70%.

1,2

0,8

0,6 Sensitivity
Specificity
0,4

0,2

0
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Grafik 5. Kurva ROC Kadar IFN Gamma terhadap status Klinis pada Kelompok yang
Kontak Serumah dengan Penderita Tb Paru
Guna keperluan skrining maka hasil analisis menunjukkan bahwa cut off point
(titik potong) kadar IFN gamma pada kontak serumah dengan penderita tb paru diambil
nilai dengan sensitifitas dan spesifitas yang optimal secara statistik yaitu pada nilai 3,277
dengan nilai sensitiftas dan spesifitas masing-masing sebesar 67,7%..

28
Sedangkan pada anak, dilakukan skoring sesuai tabel berikut:

Tabel 2. Skoring DiagnosaTuberkulosis Pada Anak

PARAMETER 0 1 2 3 JUMLAH
Kontak TB Tidak Laporan keluarga, BTA positif
jelas BTA negatifatau
tidak tahu BTA
tidak jelas
Uji tuberculin Negatif Positif (≥ 10
mm, atau ≥ 5
mm pada
keadaan
imunosupresi)
Berat Bawah garis Klinis gizi buruk
badan/keadaan merah (BB/U < 60%)
gizi (KMS) atau
BB/U ≤ 80%
Demam tanpa ≥ 2 minggu
sebab jelas
Batuk ≥ 3 mingu
Pembesaran ≥ 1 cm,
kelenjar limfe jumlah≥ 1,
koli, aksila, tidak nyeri
inguinal
Pembengkakan Ada
tulang / sendi pembengkak
panggul, lutut, an
falang
Foto torak Normal / Sugestif TB
tidak
jelas
Jumlah

Catatan :
a. Diagnosis dengan system skoring ditegakkan oleh dokter.
b. Batuk*dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronok lainnya
seperti asma, sinusitis, dan lain-lain.
c. Jika dijumpai skrofulodermata ** (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosa TB anak.
d. Berat badan dinilai pada saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan table
berat badan.
e. Foto toraks bukan alat diagnosis utama pada TB anak.
f. Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.
g. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥ 6, (skor maksimal 13)
h. Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

29
*Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik lainnya
seperti asma, sinusitis, refluks gastroesofageal dan lainnya.
**Skrofulodermata adalah suatu bentuk reaksivitas infeksi TB, diawali oleh suatu
limfadenitis atau osteomielitis yang membentuk sinus dipermukaan kulit.
Skrofulodermata ditandai oleh masa yang padat atau fluktuatif, sinus yang mengeluarkan
cairan, ulkus dengan dasar bergranulasi dan tidak beraturan serta tepi bergaung, serta
sikatris yang menyerupai jembatan. Biasanya ditemukan di daerah leher atau wajah,
tetapi dapat juga dijumpai di ekstremitas atau trunkus
1. Diagnosis Tuberkulosis Anak
Diagnosis dari tuberkulosis anak :
a. Dicurigai tuberkulosis
1) Anak sakit dengan riwayat kontak penderita tuberkulosis dengn diagnosis
pasti (BTA +).
2) Anak dengan :
a) Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk
rejan.
b) Barat badan menurun, batuk dan mengi tidak membaik dengan
pengobatan antibiotic untuk penyakit pernapasan.
c) Pembesaran kelenjar superfisialis yang tidak sakit.
b. Mungkin tuberkulosis
Anak dicurigai tuberkulosis ditambah :
1) Uji tuberculin + ( 10 mm / lb )
2) Foto rontgen paru sugestif tuberkulosis
3) Pemeriksaan histologis paru sugestif tuberkulosis
4) Respon yang baik pada pengobatan OAT
c. Pasti Tuberkulosis
Ditemukan basil tuberkulosis pada pemeriksaan langsung atau biakan.
Identifikasi Mycobacterium tuberculosispada karakteristik biakan.
2. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari TB Paru :
a. Terhadap infeksi TB
1). Pencegahan terhadap sputum yang infeksius
a). Case finding
1). Foto Ro dada masal
30
2). Uji tuberkulin secara mantoux
b). Isolasi penderita dan mengobati penderita
c). Ventilasi harus baik.
d). Kepadatan penduduk dikurangi
2). Pasteurilisasisusu sapi oleh karena banyak pula sapi yang menderita TB
Paru
b. Meningkatkan daya tahan tubuh
1. Memperbaiki standar hidup
a). Makanan 4 sehat 5 sempurna
b). Perumahan dengan ventilasi yang cukup
c). Cukup tidur teratur
d). Olaraga di udara segar
2. Meningkatkan daya tahan tubuh dengan vaksin BCG.
Mengenai vaksin BCG ini hanya sebagian daerah kecil di dunia ini yang
tidak setuju, tetapi untuk Indonesia saat ini masih sangat penting. Banyak
keuntungannya dibanding kerugiannya. Saat sekarang vaksin yang tersedia
dalam bentuk bubuk kering disimpan dalam temperatur dibawah 60 C pada
daerah tropis dapat tahan 1 minggu.
3. Pencegahan dengan mengobati penderita yang sakit dengan obat anti TB
seperti yang tersebut di atas.

31
PENGOBATAN TUBERKULOSIS

Tujuan pengobatan TB paru adalah menyembuhkan penderita, mencegah


kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah
terjadinya resistensi terhadap OAT. Untuk itu diperlukan OAT yang efektif dengan
pengobatan jangka pendek. Standarisasi regimen untuk pengobatan TB paru didasarkan
pada rekomendasi WHO.
Terdapat 3 aktifitas anti tuberkulosis yaitu :
1. Obat bakterisidal : INH, rifampisin, pirazinamid
2. OAT dengan kemapuan sterilisasi : Rifampisin, PZA
3. OAT dengan kemampuan mencegah resistensi : Rifampisin dan INH, sedangkan
streptomisin dan etambutol kurang efektif.
Pengobatan TB paru menggunakan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) dengan
metode Directly Treatment Shortcourse (DOTS).
1. Kategori I (2 HRZE / 4 H3R3) untuk pasien TBC baru
Indikasi :
a. Penderita TB paru BTA (+)
b. Penderita TB paru BTA (-), Ro (-) yang sakit berat.
2. Kategori II (2 HRZES / HRZE / 5 H3R3E3) untuk pasien ulangan (pasien yang
pengobatan kategori I-nya gagal atau pasien yang kambuh)
3. Kategori III (2 HRZ / 4 H3R3) untuk pasien baru dengan BTA (-), Ro (+), sakit
ringan. Misal TBC kelenjar limfe.
4. Sisipan (HRZE) digunakan sebagai tambahan bila pada pemeriksaan akhir tahap
intensif dari pengobatan dengan kategori I atau kategori II ditemukan BTA (+)
Obat diminum sekaligus satu jam sebelum makan pagi.
Pengobatan pada anak :
a. Dari segi kegiatan bakterisidal dan cara penyusunan panduan obat-obat TB pada
anak dan dewasa tidak ada perbedaan.
b. Ritme pemberian 2-3 x seminggu hanya pada orang dewasa saja.
c. Kadar RMP dalam serum darah sesudah 6 jam sesudah obat diminum paling tinggi
pada bayi, paling rendah pada anak / dewasa.
d. Lokalisasi dan jenis kelainan spesifik di paru pda golongan anak kurang
menguntungkan pertumbuhan basil TB

32
PROGRAM PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS

A. Program Imunisasi
Sejak tahun 1980 pemerintah telah mencanangkan program imunisasi dengan
mengembangkan 6 jenis antigen yaitu BCG, DPT, Polio, Campak, TT dan DT.
Sepuluh tahun perjalanan program imunisasi maka tahun 1990 telah mampu
mewujudkan Universal Child Imunizationserta mengembangkan program vaksin HB
PID. Perkembangan berikutnya sampai tahun 2009 dikenal 7 vaksin yang di
programkan oleh pemerintah yaitu Hepatitis B, BCG, DPT/HB, Polio, Campak DT
dan TT.
Vaksin Bacillus Calmette Guerin (BCG) terdiri atas Paris No. 1173.P2 dan
starin Danish 1331. Imunisasi BCG berfungsi untuk mencegah penularan TBC
(tuberkulosis). Pada manusia TBC terutama menyerang sistem pernapasan TB paru.
Ketahanan terhadap penyakit TB berkaitan dengan keberadaan virus tubercle bacil
yang hidup di dalam darah. Itulah mengapa agar memiliki kekebalan aktif,
dimasukkan basil ini kedalam tubuh, yaitu Vaksin BCG ( Bacillus Celmette Guerin).
Setelah diberikan imunisasi BCG, reaksi yang timbul tidak seperti pada
imunisasi dengan vaksin lain. Imunisasi BCG tidak menyebabkan demam. Setelah 1
- 2 minggu diberikan imunisasi, akan timbul indurasi atau kemerahan di tempat
suntikan yang berubah menjadi pustule, kemudian pecah menjadi luka. Luka tidak
perlu pengobatan khusus karena luka ini akan sembuh dengan sendirinya secara
spontan. Kadang terjadi pembesaran kelenjar regional di ketiak atau leher.
Pembesaran kelenjar ini terasa padat, namun tidak menimbulkan demam
Penularan penyakit TBC terhadap seorang anak dapat terjadi karena
terhirupnya percikan dahak di udara yang mengandung bakteri
tuberkulosis.Imunisasi BCG tidak mencegah infeksi TB tetapi mengurangi resiko TB
beratseperti Meningitis TB atau TB milliar. Faktor-faktor yang mempengaruhi
efektifitas BCG terhadap TB adalah Perbedaan Vaksin BCG, lingkungan, Faktor
genitik, status gizi dan faktor lain seperti paparan sinar ultraviolet terhadap vaksin.
Vaksin BCG adalah vaksin hidup bentuk beku kering yang mengandung
mycobacterium yang dilemahkan. Dimaksud untuk memberikan kekebalan aktif
terhadap tuberkulosa. Kemasan ampul beku kering, 1 box berisi 10 vial vaksin.

33
Setiap vial vaksin disertai dengan 1 mil sausation menggunakan alat suntik 5 ml,
dapat digunakan untuk 20 dosis.
Dosis pemberian 0,05 ml, sekali pemberian untuk bayi < 1 tahun. Disuntikkan
secara intrakutan di daerah lengan kanan atas menggunakan alat suntik dosis tunggal
dengn jarum suntik 26 G. Vaksin yang sudah dilarutkan harus digunakan sebelum
lewat waktu 3 jam.
Penyimpanan vaksin pada suhu 2 – 8oC. Vaksin BCG kadarwarsa selama 1
tahun. Pendistribusian dalam keadaan dingin dengan sistem rantai dingin (Cool
chain).Produsen membawa vaksin ke ruangan dingin propinsi dan pendistribusian
propinsi ke kabupaten menggunakan cool box mobile.Distribusi vaksin ke unit
pelayanan imunisasi menggunakan vaccine carrier yang dilengkapi dengan kotak
dingin cair (cool pack) dan thermometer pemantau suhu serta freezz tag. Suhu panas
melebihi 8o C atau terkena sinar matahari langsung dapat merusak vaksin.
1. Imunisasi Rutin
Imunisasi rutin diberikan pada bayi di bwah umur 1 tahun, wanita usia
subur adalah, yaitu wanita berusia 15 tahun hingga 39 tahun termaksud ibu hamil
dan calon pengantin. Vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin meliputi pada
bayi : hepatitis B, BCG, Polio, DPT, dan campak. Pada anak sekolah : DT (Difteri
Tetanus), campak dan tetanus Tosoid, sedangkan pada wanita usia subur diberikan
tetanus Toksoid.
2. Imunisasi Tambahan
Imunisasi tambahan akan diberikan bila di perlukan. Imunisasi tambahan
diberikan pada bayi dan anak usia sekolah dasar. Imunisasi tambahan sering
dilakukan misalnya ketika terjadi suatu wabah penyakit tertentu dalam wilayah
dan waktu tertentu misalnya, pemberian polio pada Pekan Imunisasi Nasional
(PIN) dan pemberian imunisasi campak pada anak sekolah.

B. Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan untuk menghindari TB Paru :
1. Terhadap infeksi TB
a). Pencegahan terhadap sputum yang infeksius
1). Foto Ro dada masal
2). Uji tuberkulin secara mantoux

34
b). Isolasi penderita dan mengobati penderita
c). Ventilasi harus baik.
d). Kepadatan penduduk dikurangi
2. Pasteurilisasisusu sapi oleh karena banyak pula sapi yang menderita TB Paru
a. Meningkatkan daya tahan tubuh
4. Memperbaiki standar hidup
a). Makanan 4 sehat 5 sempurna
b). Perumahan dengan ventilasi yang cukup
c). Cukup tidur teratur
d). Olaraga di udara segar

C. Penemuan Penderita TB Paru


Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis,
penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah
pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan
pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian
akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan
pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan
1. Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan
tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan
penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk
meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB.
2. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif, yang
menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya.
3. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

35
PERAN MASYARAKAT DALAM
PENANGGULANGAN
TUBERKULOSIS
Dalam buku pedoman TB panduan pengobatan yang dianjurkan adalah
menyembuhkan sebagian besar pasien TB baru tanpa memicu munculnya kuman resistan
obat. Untuk terjadi hal tersebut, sangat penting memastikan bahwa pasien menelan
seluruh obat yang diberikan sesuai anjuran dengan cara pengawasan langsung oleh
seorang PMO (Pengawas Menelan Obat) agar tidak terjadi resistensi obat. Jika tidak ada
faktor penyulit, pengobatan dapat diberikan secara rawat jalan. Persyaratan PMO antara
lain:
a) Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan
maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien.
b) Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien.
c) Bersedia membantu pasien dengan sukarela.
d) Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien
Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat,
Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan
yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI,
PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga. Tugas seorang PMO
meliputi;
a) Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.
b) Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur.
c) Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan.
d) Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-
gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan
Kesehatan.
Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obat
dari unit pelayanan kesehatan. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk
disampaikan kepada pasien dan keluarganya yaitu;
a) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan
b) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur
c) Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya.

36
d) Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan)
e) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur
f) Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta
pertolongan ke fasyankes.
Kelompok teman sebaya memiliki peran yang sangat penting baik secara emosional
maupun secara sosial. Kelompok teman sebaya merupakan sumber afeksi, simpati,
pemahaman, dan panduan moral, tempat bereksperimen, dan setting untuk mendapatkan
otonomi dan independensi. Keterlibatan teman sebaya penderita tb paru, selain menjadi
sumber dukungan emosional yang penting. Lima jenis dukungan sosial antara lain: a.
Dukungan emosional. Aspek ini mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan ini menyediakan rasa nyaman, ketentraman
hati, perasaan dicintai bagi seseorang yang mendapatkannya. b. Dukungan penghargaan.
Aspek ini terjadi lewat ungkapan penghargaan positif untuk individu bersangkutan,
dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan atau perasaan individu dan
perbandingan positif individu dengan orang-orang lain. c. Dukungan instrumental. Aspek
ini mencakup bantuan langsung yang dapat berupa jasa, waktu, dan uang. d. Dukungan
informatif. Aspek ini mencakup memberi nasihat, petunjukpetunjuk, saran-saran,
informasi, dan umpan balik. e. Dukungan jaringan sosial. Aspek ini mencakup perasaan
keanggotaan dalam kelompok. Dukungan jaringan sosial merupakan perasaan
keanggotaan dalam suatu kelompok, saling berbagi kesenangan dan aktivitas sosial.
Individu dengan dukungan sosial tinggi memiliki pengalaman hidup yang lebih baik,
harga diri yang lebih tinggi, serta pandangan hidup yang lebih positif dibandingkan
dengan individu yang memiliki dukungan sosial yang lebih rendah. Ciri-ciri orang
dengan harga diri tinggi menunjukkan perilaku-perilaku seperti mandiri, aktif, berani
mengemukakan pendapat, dan percaya diri. Sedangkan seseorang dengan harga diri yang
rendah menunjukkan perilaku seperti kurang percaya diri, cemas, pasif, serta menarik diri
dari lingkungan. Teman sebaya merupakan sumber penting dukungan sosial yang
berpengaruh terhadap rasa percaya diri. Dukungan emosional dan persetujuan sosial
dalam bentuk konfirmasi dari orang lain merupakan pengaruh yang penting bagi rasa
percaya diri. Hubungan pribadi yang berkualitas memberikan stabilitas, kepercayaan, dan
perhatian, dapat meningkatkan rasa kepemilikan, harga diri dan penerimaan diri siswa,
serta memberikan suasana yang positif untuk pembelajaran. Dukungan interpersonal yang
positif dari teman sebaya, pengaruh keluarga, dan proses pembelajaran yang baik dapat
meminimalisir faktor-faktor penyebab kegagalan pengobatan (Sarafino, E.P. 1994).
37
Hasil penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2011 menunjukkan bahwa 73,5%
orang yang kontak serumah tidur sekamar dengan penderita Tb paru. Sedangkan menurut
tingkat pendidikannya, 29,5% orang kontak serumah sudah berpendidikan tinggi
(Andarini, Sri I, Suharyo 2012)
Teman sebaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah orang kontak serumah
atau hidup dalam satu rumah dengan penderita Tb paru dan mempunyai karakteristik
individu yang dapat berkomunikasi dengan baik terhadap mereka. Potensi yang ada pada
penderita Tb paru adalah sebagian besar sudah mengetahui dengan baik tentang seputar
tuberkulosis meliputi penyebab, gejala, cara dan kedisiplinan pengobatan, cara penularan,
cara pencegahan, pengelolaan dahak, perilaku batuk, dan upaya perawatan. Masih ada
dua penderita yang tidak mempunyai pengawas minum obat (PMO). Mereka juga
mempunyai sarana-sarana seperti yang dimiliki oleh orang kontak serumah meliputi
sarana komunikasi (handphone), kendaraan, dan televisi sebagai sumber informasi.
Subjek penelitian orang kontak serumah sebagian besar (77%) adalah suami atau
istri dari penderita tuberkulosis, ada 2 orang ibu dan 2 ayah dari penderita. Sebagian
besar umurnya di atas 50 tahun, hanya satu yang berumur 30 tahun. Sebagian besar
(82,3%) hanya mencapai pendidikan tingkat menengah, 1 lulusan perguruan tinggi, dan
ada yang tidak lulus SD sebanyak 2 orang. Sebagian besar subjek penelitian bekerja
sebagai pedagang atau berwiraswasta, hanya ada seorang yang berprofesi sebagai guru.
Sesuai dengan jenis pekerjaan baik dari penderita maupun pasangannya suami atau istri,
diketahui bahwa tingkat ekonomi sebagian besar subjek penelitian adalah menengah ke
bawah. Pendapatannya sebagian besar kurang dari 2 juta per bulan. Meski demikian,
semua subjek penelitian telah dapat memenuhi kebutuhan gizinya dengan cukup, tiap
harinya makan minimal 3 kali.
Orang kontak serumah merupakan populasi yang mempunyai risiko terbesar dalam
penularan tuberkulosis dilihat dari indikator IFN gammanya (Indreswari, SA & Suharyo,
2014). Menurut karakteristik individunya, maka orang kontak serumah tidak jauh berbeda
dengan penderita sehingga ini menjadi potensi yang baik guna menunjang komunikasi
dan pendampingan terhadap penderita Tb paru. Bahkan pengetahuannya tentang
tuberkulosis lebih baik. Keadaan ini sangat menguntungkan agar orang kontak serumah
dapat memebrikan motivasi dan meningkatkan keteraturan berobat pada penderita tb paru
sehingga dapat meningkatkan kesembuhan dan mencegah terjadinya multi drug resistance
(MDR). Hal ini sesuai bahwa dengan meningkatkan motivasi dan keteraturan berobat
dapat mencegah MDR (Dwi Sarwani SR, dkk, 2012).
38
Usia penderita tb paru sebagian besar (74%) berkisar antara umur 30 – 60 tahun,
ada dua orang yang masih anak-anak yang berumur 4 dan 5 tahun. Lebih dari 60%
penderita berjenis kelamin perempuan. Ditinjau dari pekerjaannya, sebagian besar (lebih
dari 70%) penderita tb paru bekerja sebagai buruh. Hanya ada 2 penderita yang berprofesi
sebagai pekerja swasta di perusahaan mebel dan 1 orang yang masih pelajar SMA.
Sebagian besar (88,2%) penderita hanya berpendidikan tingkat menengah, ada 1 orang
yang tidak sekolah dan seorang lulusan perguruan tinggi. Sebagian besar penderita tb
paru tersebut merupakan penderita baru di tahun 2016.
Terjadi pergeseran karakteristik penderita Tb paru, dimana pada tahun 2012
penderita Tb paru sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (Suharyo, 2013) tapi sekarang
sebagian besar perempuan. Hal ini menunjukkan kerentanan perempuan dalam
menanggung beban penyakit penyakit Tb paru semakin besar di daerah pedesaan.
Sedangkan dilihat dari umur, jenis pekerjaan, dan tingkat pendidikan tidak terjadi
perubahan secara signifikan dibandingkan dengan tahun 2012. Sesuai dengan laporan
WHO tahun 2015, bahwa sebagian besar penderita tuberkulosis adalah usia produktif,
menimpa khususnya pekerja buruh, dan pendidikannya tidak terlalu tinggi (WHO, 2015).
Dari hasil FGD, maka dapat disimpulkan masalah dan kendala yang dihadapi oleh
sebagian besar orang kontak serumah adalah keterampilan tentang teknik pemberian
dukungan dan pendampingan belum sepenuhnya baik sesuai kebutuhan penderita. Belum
mempunyai investasi dan perencanaan pembiayaan berkaitan pengobatan penderita
tuberkulosis. Keyakinan akan kesehatan adalah modal utama dalam beraktifitas belum
sepenuhnya baik. Pengetahuan tentang perawatan penderita termasuk asupan gizi
penderita tb paru belum baik. Rendahnya keterampilan deteksi dini penyakit tb paru.
Informasi tentang seputar tb paru diperoleh hanya dari media televisi sehingga informasi
secara akurat dan kontinyu belum dapat diakses orang kontak serumah.
Kendala-kendala tersebut perlu menjadi pertimbangan dalam menyusun rancangan
model peer support. Diharapkan peer support mampu dan terampil dalam memberi
pendampingan terhadap penderita Tb paru. Oleh karena itu perlu upaya pengkondisian
calon peer support baik melalui pelatihan maupun pendidikan singkat dan fasilitasi
informasi tentang penyakit tuberkulosis. Tenaga pendamping yang diharapkan
mempunyai standard pelatihan, supervisi atau pengawasan, dan tujuan atau harapan
perannya sebagai peer support (Maclellan,J; dkk. 2015)
Memperhatikan kondisi penderita tb paru, potensi orang kontak serumah, dan
kendala serta masalah yang dimiliki orang kontak serumah, maka rancangan model orang
39
kontak serumah sebagai peer support bagi penderita secara garis besar meliputi
persyaratan, kinerja atau target capaian, peran, dan kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan serta sarana yang dapat menunjang pekerjaan sebagai peer support.
Persyaratan orang kontak serumah sebagai peer support perlu ditetapkan dengan
beberapa syarat. Syarat tersebut meliputi; 1) Mempunyai komitmen dan tanggungjawab
yang tinggi untuk membantu suksesnya pengobatan penderita tuberkulosis. 2)
Mempunyai pengetahuan yang baik tentang penyakit tuberkulosis dan penanganannya. 3)
Orang kontak serumah dianggap sebagai panutan atau yang dianggap penting dalam
kehidupan penderita tuberkulosis. 4) Mempunyai pendidikan yang cukup untuk dapat
melaksanakan tugas sebagai peer support. Berkaitan kinerja yang harus dicapai oleh
orang kontak serumah sebagai peer support antara lain; 1) Tuntasnya pengobatan
penderita tuberkulosis sesuai rekomendasi petugas kesehatan. 2) terdeteksinya penderita
tuberkulosis paru di antara anggota keluarga sendiri dan tetangga sekitar. 3) Pencegahan
penularan penyakit tb paru di dalam keluarga.
Peran yang harus dilakukan oleh orang kontak serumah sebagai peer support
meliputi; 1) Sebagai motivator bagi penderita Tb paru. 2) Sebagai pengawas pengobatan
penderita tb paru. 3) Sebagai petugas deteksi dini penyakit Tb paru di keluarga dan
tentangga sekitar. 4) Sebagai manajer penderita penyakit tb paru. Sedangkan kegiatan
yang harus dilakukan oleh orang kontak serumah sebagai peer support mencakup; 1)
Memberikan nasihat dan penguatan bagi penderita tb paru. 2) Melakukan pengawasan
jadwal pengobatan dan saat minum obat dari penderita tb paru. 3) Melakukan
pengawasan gizi penderita tb paru. 4) Melakukan pengawasan perilaku penderita dalam
batuk dan pengelolaan dahaknya. 5) Melakukan pengawasan terhadap kondisi rumah
yang dapat mempengaruhi pengobatan atau penularan dari penderita tb paru. 6)
Melakukan konsultasi dengan petugas kesehatan jika ditemui masalah atau hambatan
dalam pengobatan penderita. 7) Memberikan fasilitas yang diperlukan penderita dalam
menjalani program pengobatan. 8) Memastikan penderita tb paru agar dapat mengakses
pengobatan. 9) Mengatur ketersediaan semua pembiayaan yang dibutuhkan penderita
dalam pengobatannya. 10) Melakukan deteksi dini terhadap anggota keluarga dan
tetangga sekitar jika ada indikasi tertular penyakit tb paru. 11) Melakukan edukasi
terhadap penderita, anggota keluarga, dan tetangga tentang tb paru. Sarana yang perlu
disediakan untuk mendukung kegiatan orang kontak serumah sebagai peer support
minimal; 1) Media informasi tentang tb paru yang akurat dan mudah dipahami. 2) Media
monitoring program pengobatan penderita tb paru. 3) Instrumen deteksi dini penyakit tb
40
paru. 4) Media edukasi penyakit tb paru. Disamping itu diperlukan peran institusi
kesehatan (puskesmas atau dinas kesehatan) dalam mendukung kegiatan orang kontak
serumah sebagai peer support. Sebagai fasilitator peningkatan kapasitas orang kontak
serumah sebagai peer support. Sebagai fasilitator upaya pengobatan dan upaya
pencegahan tb paru.
Keberlanjutan pengobatan penderita Tb paru akan berlangsung baik jika dilakukan
langkah praktis walaupun kecil seperti promosi pada kelompok penderita (Massaut, S, &
Kwaak, AVD. 2014). Rancangan model peer support tersebut telah memiliki unsur
minimal yang ada pada program penguatan motivasi dan promosi untuk penderita.
Bahkan telah sesuai kebutuhan penderita potensi, dan kebiasaan atau budaya yang
dimiliki oleh orang kontak serumah. Penelitian di lima negara termasuk Indonesia
menyebutkan bahwa dengan sedikit upaya inisiasi program dan layanan kesehatan maka
dapat muali mengubah respon penderita terhadap upaya keteraturan berobat (Massaut, S,
& Kwaak, AVD. 2014). Pada rancangan peer support tersebut, juga sudah mencakup
keterampilan deteksi dini yang memang sangat diperlukan di Indonesia yang memiliki
populasi risiko tinggi tertular tuberkulosis. guna keberhasilan penemuan kasus baru
melalui contact tracing maka diperlukan orang yang memahami diagnosis dini
tuberkuloasis (Cresweel, J. 2014).

Hasil ujicoba penerapan model pendampingan penderita Tb paru oleh peer support
menunjukkan hasil sebagai berikut;
Tabel 3. Distribusi Kategori Pengetahuan Penderita Tb Paru
Sebelum Sesudah
Pendampingan Peer Pendampingan Peer
Kategori Pengetahuan
Support Support
Jumlah % Jumlah %
Kurang baik 6 35,3 1 5,9
Baik 11 64,7 16 94,1
Total 17 100,0 17 100,0
Sumber: Data primer, 2016
Pada saat sebelum dilakukan pendampingan oleh peer support, sebagian besar
(64,7%) penderita telah mengetahui tentang penyakit tb paru dengan menyebutkan
penyakit tersebut adalah penyakit menular, penyakit paru, dengan gejala batuk-batuk.
Namun masih ada 35,3% subjek penelitian yang menjawab kurang tahu tentang
tuberkulosis. Informan tidak mengetahui penyebab penyakit tuberkulosis, hanya sebagian
kecil yang tahu, itupun hanya menyebutkan penyebabnya adalah bakteri dan akibat ada

41
penderita lain yang menular. Setelah dilakukan pendampingan, terjadi kenaikan
pengetahuan penderita Tb paru. Berkaitan dengan gejala dan tanda penyakit tuberkulosis,
hampir semua penderita sudah mengetahuinya dengan menyebutkan seperti batuk
berkepanjangan, panas dan demam, tidak mau makan, dan berat badan menurun.
Sebagian besar penderita sudah mengetahui cara penularan dan pengobatan tuberkulosis.
Mereka menyebutkan bahwa penularan tuberkulosis menular lewat udara, kontak
langsung, dan bicara berdekatan dengan penderita. Pengobatan tuberkulosis yang
disebutkan oleh subjek penelitian adalah dengan berobat rutin, minum obat rutin dan
menuruti kata dokter sampai selesai. Namun masih ada informan yang menyebutkan
dengan minum jamu dulu baru ke dokter. Hampir semua penderita mengetahui cara
pencegahan tuberkulosis, mereka menyebutkan tuberkulosis dapat dicegah dengan
meningkatkan kekebalan tubuh, olahraga, kalau pagi ventilasi dibuka, kalau batuk
ditutup, tidak boleh merokok, makan buah, minum vitamin, dan memakai masker.
Setelah dilakukan intervensi pendampingan peer support terjadi peningkatan secara
signifikan (p value = 0,03) pengetahuan yang baik menjadi 94,1%.
Tabel 4. Distribusi Waktu Pengobatan Penderita Tb Paru
Sebelum Sesudah
Kategori Keterlambatan Pendampingan Peer Pendampingan Peer
Pengambilan Obat support support
Jumlah % Jumlah %
< 1 minggu 3 17,6 1 5,9
>1 minggu 3 17,6 0 0,0
Tepat waktu 11 64,8 16 94,1
Total 17 100,0 17 100,0
Sumber: Data primer, 2016
Kepatuhan waktu pengambilan obat di puskesmas sangat mempengaruhi
kepatuhan pengobatan secara keseluruhan. Jika pengambilan obat terlambat maka akan
berpengaruh terhadap stok obat yang seharusnya diminum oleh penderita. Data hasil
intervensi dengan pendampingan oleh peer support menunjukkan bahwa terjadi
penurunan yang cukup signifikan dari 17,6% yang terlambat mengambil obat lebih dari
satu minggu menjadi 0,0% (p value= 0,02).

Tabel 5. Distribusi Praktik Pencegahan penularan Tb Paru oleh Penderita


Kategori Praktik Pencegahan Sebelum Sesudah
Penularan Pendampingan Peer Pendampingan Peer

42
Support Support
Jumlah % Jumlah %
Kurang baik 8 47,1 2 11,8
Baik 9 52,9 15 88,2
Total 17 100,0 17 100,0
Sumber: Data primer, 2016
Praktik pencegahan penularan penyakit tuberkulosis yang dilakukan oleh
penderita Tb Paru sebelum dilakukan pendampingan, sebagian besar hanya menutup
hidung dengan masker, itupun sering lupa dan hanya di tempat umum seperti di
puskesmas. Sedangkan di rumah atau tempat lain, malu memakai masker. Setelah
pendampingan oleh peer support terjadi peningkatan praktik pencegahan penularan yang
baik dari 52,9% menjadi 88,2% (p value = 0,03) .
Pada awal penelitian terdapat 17 penderita Tb Paru yang masih aktif pengobatan
di puskesmas Mijen Kota Semarang. Sejak pendampingan penderita oleh peer support,
terjadi peningkatan perilaku penderita yang baik termasuk pengetahuan dan praktik
pencegahannya. Pada awal Agustus 2016 sudah ada 41% yang sudah tuntas pengobatan
dan dinyatakan negatif (sembuh). Oleh karena itu terjadi penurunan prevalensi pada akhir
penelitian.
Peer support berperan lebih dari sekedar dukungan keluarga. Peer support
melakukan pendidikan, pendampingan dan konsultasi terhadap penderita. Pada kasus
droup out pengobatan dukungan keluarga yang sudah baik ternyata tidak mampu
mengatasi kejadian tersebut (Randhy AN, 2011). Peningkatan pengetahuan tentang
tuberkulosis dan praktik pencegahan penularan oleh penderita merupakan bukti bahwa
rancangan peer support oleh orang kontak serumah dapat mengatasi masalah fungsi
dukungan keluarga dan program PMO. Hal ini sesuai dengan kesimpulan penelitian
bahwa pendidikan dan kegiatan dukungan psikologis dapat membantu meningkatkan
kepedulian penderita Tb paru untuk melakukan pengobatan yang teratur dan pencegahan
penularan penyakitnya ke orang sekitarnya (Agarwal,U; dkk. 2014).
Orang kontak serumah sangat potensial menjadi peer support bagi penderita Tb
paru dan contact tracing di lingkungan sekitar rumahnya. Potensi yang menjadi syarat
sebagai peer support, antara lain memiliki pengetahuan tentang tuberkulosis yang cukup,
mempunyai kewenangan yang cukup dalam mengambil keputusan dalam keluarga,
memiliki motivasi dan komunikasi yang baik, serta memiliki sumberdaya baik material
maupun sikap empati yang baik terhadap kesehatan khususnya terhadap penderita
tuberkulosis. potensi-potensi tersebut secara sistematis dapat mendukung proses

43
pengobatan, penyediaan sarana dan prasarana, pengaturan pola makan, dan penguatan
motivasi pada penderita tuberkulosis.
Setelah dilaksanakan ujicoba pendampingan penderita tuberkulosis oleh Peer
support sesuai rancangan, hasil menunjukkan ada peningkatan pengetahuan, kepatuhan,
dan praktik pencegahan penularan oleh penderita Tb paru setelah dilakukan
pendampingan peer support. Selain itu terjadi penurunan prevalensi sebesar 41% setelah
dilakukan intervensi peer support.
Kepatuhan atau ketaatan (compliance/ adherence) adalah tingkat melakukan
pengobatan pasien dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau orang lain.
Kepatuhan pasien berarti perilaku pasien yang mengikuti ketentuan yang diberikan
petugas kesehatan profesional. Faktor yang Memengaruhi Kepatuhan antara lain;
a) Faktor demografi seperti usia, jenis kelamin, status sosio ekonomi dan pendidikan,
b) Faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi,
c) Faktor program pelayanan seperti kompleksitas program dan efek samping yang tidak
menyenangkan,
d) Faktor psikososial seperti intelegensia atau tingkat pengetahuan, sikap terhadap tenaga
kesehatan, penerimaan, atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau
budaya dan biaya finansial dan lainnya.
Faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat
bagian antara lain :
a) Pemahaman tentang instruksi, tidak seorang pun dapat mematuhi instruksi jika ia salah
paham tentang instruksi yang diberikan padanya.
b) Kualitas interaksi, kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien
merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan.
c) Isolasi sosial dan keluarga. Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh
dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan dan nilai kesehatan individu serta
juga dapat menentukan program pengobatan yang dapat mereka terima.
d) Keyakinan, sikap dan kepribadian. Model keyakinan kesehatan berguna untuk
memperkirakan adanya ketidakpatuhan.
Ketidakpatuhan seseorang ditentukan oleh kompleksitas prosedur pengobatan,
derajat perubahan gaya hidup yang dibutuhkan, lamanya waktu dimana pasien harus
mematuhi program tersebut, apakah penyakit tersebut benar-benar menyakitkan, apakah
pengobatan itu berpotensi menyelamatkan hidup, keparahan penyakit yang dipersepsikan

44
sendiri oleh pasien dan bukan petugas kesehatan. Strategi Meningkatkan Kepatuhan
dapat dilakukan melalui;
1) Dukungan Profesional Kesehatan
Dukungan profesional kesehatan sangat diperlukan untuk meningkatkan kepatuhan,
contoh yang paling sederhana dalam hal dukungan tersebut adalah dengan adanya
teknik komunikasi. Komunikasi memegang peranan penting karena komunikasi yang
baik diberikan oleh profesional kesehatan baik dokter/ perawat dapat menanamkan
ketaatan bagi pasien.
2) Dukungan Sosial/ Keluarga
Dukungan sosial yang dimaksud adalah keluarga. Para profesional kesehatan yang
dapat meyakinkan keluarga pasien untuk menunjang peningkatan kesehatan pasien
maka ketidakpatuhan dapat dikurangi.
3) Perilaku Sehat
Modifikasi perilaku sehat sangat diperlukan. Untuk pasien dengan penggunaan
narkoba suntik diantaranya adalah tentang bagaimana cara untuk menghindari akibat
yang lebih berat lebih lanjut apabila tetap menggunakan narkoba suntik. Modifikasi
gaya hidup dan kontrol secara teratur atau minum obat sangat perlu bagi pasien.
4) Pemberian Informasi
Pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang
dideritanya serta cara pengobatannya.

45
DAFTAR PUSTAKA

Agarwal, U; Sharma, J; Sarin R; 2014. Counselling and adherence to an arduous


treatment; lesson learnt from an HIV Programme. The International Journal of
Tuberculosis and Lung Disease. Volume 18 number 11, November 2014
Creswell, J; Sahu, S; Stevens, R; Blok, L; Bakker, M. 2014. The TB Reach Initiative;
driving Global Case Finding in Vurnerable Populations. The International Journal
of Tuberculosis and Lung Disease. Volume 18 number 11, November 2014
Dinas Kesehatan Kota Semarang, 2012, Profil Kesehatan Kota Semarang 2011,
Semarang
Dwi Sarwani SR, Sri Nurlaela, Isnaeni Zahrotul A. 2012. Faktor Risiko Multidrug
Resistant Tuberculosis (Mdr-Tb). Jurnal Kemas Vol. 8 No.1 Juli 2012
Ditjen PP dan PL Kementrian Kesehatan RI. Strategi Nasional Pengendalian
Tuberkulosis Di Indonesia Tahun 2010-2014. Jakarta. 2015
Indreswari, SA & Suharyo 2014. Diagnosis Dini Tuberkulosis pada Kontak Serumah
dengan Penderita Tuberkulosis Paru melalui Deteksi Kadar IFN-g. Jurnal “Kesmas”
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, Vol 9, nomor 1, Agustus 2014
Maclellan, J; Surey, J; Abubakar, I; Stagg HR. 2015. Peer Support Workers in Health: A
Qualitative Metasynthesis of Their Experiences. Plos One |
DOI:10.1371/journal.pone.0141122, Oktober 30, 2015
Massaut, S, & Kwaak, AVD. 2014. Patient-Centeredness; a Realist Inquiry. The
International Journal of Tuberculosis and Lung Disease. Volume 18 number 11,
November 2014
Randhy, AN, 2011. Studi Kualitatif Faktor Yang Melatarbelakangi Drop Out Pengobatan
Tuberkulosis Paru. Jurnal Kemas Volume 7 Nomor 1 Juli 2011
Suharyo. 2013. Determinasi Penyakit Tuberkulosis Di Daerah Pedesaan.
Jurnal KEMAS Vol. 9 No.1.
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas/article/view/2834.
diunduh tanggal 22 April 2014
WHO. 2011 WHO Report 2011-Global Tuberculosis Control. www.who.int/tb/data.
diunduh tanggal 12 Januari 2012
WHO. 2012. WHO Report 2012-Global Tuberculosis Control. www.who.int/tb/data.
diunduh tanggal 22 Maret 2013.
WHO.2013. WHO Report 2013-Global Tuberculosis Control. www.who.int/tb/data.
diunduh tanggal 31 Oktober 2013
WHO. 2015. Global Tuberculosis Report 2015. www.who.int/tb/data. diunduh tanggal 2
Mei 2016

46
Biodata Penulis

Suharyo, S.KM, M.Kes lahir di Kota Pekalongan tahun 1979, penulis


menamatkan program pendidikan Sarjana Kesehatan Masyarakat di
Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Diponegoro Semarang
(2001). Setelah tamat program sarjana kemudian menjadi asisten peneliti
dosen FKM Universitas Diponegoro dan mulai Pebruari 2002 sampai
sekarang menjadi dosen di Fakultas Kesehatan Universitas Dian
Nuswantoro Semarang. Bidang konsentrasi yang ditekuni adalah
epidemiologi penyakit tropis khususnya tuberkulosis. Pelatihan yang pernah diikuti
bidang penyakit tropis adalah pelatihan pemetaan persebaran penyakit dan pelatihan
pengendalian vektor penyakit. Sejak lulus dari program pasca sarjana Universitas
Diponegoro dengan konsentrasi Kesehatan Reproduksi dan HIV&AIDS, penulis ikut
aktif berperanserta dalam pembuatan Perda penanggulangan HIV&AIDS di Kota
Semarang. Penulis turut aktif dalam organisasi profesi seperti PERSAKMI, IAKMI, dan
Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI). Buku yang pernah diterbitkan dan
berkaitan dengan tuberkulosis adalah Buku Pedoman Orang Kontak Serumah sebagai
Peer Support bagi Penderita Tuberkulosis (TBC) tahun 2016.

Dr. dr. Sri Andarini, M.Kes. Dedikasi seorang dokter alumni Fakultas Kedokteran UGM
tahun 1972 ini lama di bidang manajemen program kesehatan baik di
Puskesmas, Rumah Sakit, dan Kantor Wilayah Kesehatan Propinsi Jawa
Tengah. Sehingga pada tahun 1996 – 1998 beliau melanjutkan studi
Magister Kesehatan bidang Manajemen Kesehatan di UGM pula. Tahun
2006, lulus dari Program Doktor Ilmu Kedokteran Universitas
Diponegoro. Fokus penelitian yang diminati adalah tuberkulosis dan
penanggulangannya. Beliau aktif di Perkumpulan Pemberantasan
Tuberkulosis Indonesia Pengurus Daerah Jawa Tengah. Jabatan terakhir beliau adalah
Dekan Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro Semarang, 2 periode sejak
tahun 2009 – 2017.

Kismi Mubarokah, SKM, M.Kes. Dilahirkan di Banjarnegara pada


tahun 1984. Penulis memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat
(2006) dan Master Kesehatan (2009) di Universitas Diponegoro,
Semarang. Kedua gelarnya diperoleh dengan spesifikasi keilmuan yang
sama yaitu promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Saat ini Penulis
bekerja sebagai dosen di Program Studi S1 Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Universitas Dian Nuswantoro sejak tahun 2011,
untuk matakuliah Teknik Fasilitasi, Sosio Antro Kesehatan,
Pengembangan dan Pengorganisasian Masyarakat, dan Promosi
Kesehatan. Penulis juga aktif dalam organisasi profesi PERSAKMI (Perhimpunan
Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia), IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat
Indonesia) dan PPPKMI (Perkumpulan Promotor & Pendidik Kesehatan Masyarakat
Indonesia). Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kegiatan pelatihan dan kongres.

47

Anda mungkin juga menyukai