PUISI-PUISI KHANAFI
Langit Tanpa Angin Kulihat Kembali Malam yang Sama
saat memandang langit dengan alis yang tenang Di Atas Rerumputan Bermain-main dengan Hujan Sepanjang laut
pelan-pelan kabut pagi luluh dan bersembunyi Ombak-ombak seperti kenangan
di dalam hutan hitam yang lebat itu di halaman ini aku berbaring Di halamanku Ikan-ikan adalah bingkai dari sebuah kegembiraan
menjelma serigala kecil memasuki belantara melindungi wajahku dari matahari yang suka mengintip Hujan semakin memanja Sedang pelayaran adalah jalan
di kedalaman matamu bayang-bayang pohonan jatuh bersama tubuhku Bertebaran membasahi jiwa Menuju pulau kenangan
yang pandai menyimpan kesedihan bocah-bocah bermain menendang bola
Sepertinya, tanaman yang berbuah sayang
pada garis-garis di dahimu mengalir sungai keruh hampir jam lima matahari bermandikan warna Semakin tumbuh dan berkembang Sabda Kampung
dan wajah sedih cinta ada wanita di hatiku terbang bagai kupu-kupu di ladang Lalu memanjang
aku pejamkan mataku dan melihat itu Malam begitu malu
lelaki itu memandang langit angin berembus dari cabang pepohonan melenyapkannya Setes demi setetes Menampakkan wajahnya di kampungku
tenang dan bening dari matanya Aku mulai belajar tentang kerinduan Pada cemeti jalanan, ketika rindu digugatkan
seolah bintang-bintang mengambang di dalamnya aku berbaring mendengar bunyi bola ditendang Di antara kemarau yang digantungkan Hanya aroma kampung dan peta ingatan
dan kerisik pohon bambu yang tertiup angin Aku memilih hujan demi tanaman-tanaman Berbisik dalam pikiran
matahari masih setia mengintip wajahku
Peta Hujan berusaha menemukan mataku Hujan semakin lihai Serupa senyum anyelir
aku menunggu Meniti halaman dan ladang-ladang Melampaui batas waktu
pagi pagi ketika suara anak berangkat ke sekolah bayang-bayang dijemput malam Derap perjalanan tiba-tiba terhenti seketika
tanpa sebisik kata pun hujan luluh di atas jalan di atas rerumputan segalanya hitam Koyak waktu meregguk sisa kenang masa lalu
yang terhampar tidur segelap kematian Bandar Hujan Serupa bingkai harapan yang tertindas waktu
di luar jendela langit bagai turut berduka Sesekali hujan gugur di setiap atap rumahku Malam, menjelma sepertiga malam
aku memandangnya dan hanya mendapati diriku Kembali Tempat gerimis jalan-jalan pada tubuh kami Saat detik begitu nakal menaiki tangga perjalanan
serupa bocah tua Pada rintik hujan yang semakin melekat di kaca jendela Meniti diam-diam
aku kembali dan merindukan lelaki itu lagi Pada tiap-tiap tirai yang kedinginan Agar tak ada sisa luka yang harus dikenang
kamarku kosong dari segala tentang cinta di sumur tua aku berpikir Menguras segala tenang Yang harus dipertualangkan
buku-buku bertumpuk dan kertas awan gugur di tubuh bulan yang langsir
berisi puisi yang belum jadi seorang lelaki yang bagai kenangan Sesekali hujan senyap Maka tibalah di sepertiga malam
tembok dan langit-langit berwarna pucat terbentang luas di hadapan Di halaman-halaman yang basah Saat waktu terjepit di kampung halaman
catnya mengelupas mataku seperti daun nangka yang jatuh ke pasir Pada rimbun pohon beringin, daunnya berguguran
abu-abu menyedihkan Membaca angin yang lahir pada tiap musim hujan
hujan deras di luar membusuk bersama wajah-wajah dulu Pandangan yang Kesekian
apakah ada air yang netes di atap kamar Tubuhku semakin nakal saja :Laylatin Khairica Aris
menimbulkan bercak mirip airmata aku kembali dan segalanya berjatuhan di sana-sini Membaca variasi hujan bulan Januari
di kantung mata di dahan tanganmu bagai siap rontok Tentang epilog musim Aku melihatmu, tepat hari Jumat
atau mimpi buruk ketika terjaga? beberapa hujan mewarnai matamu pada masanya, Di bawah pohon kelapa
dan mematahkan aku berkali-kali adalah liburan tanggal-tanggal yang dialmanakkan Tempat segala senyum diselipkan
sesungguhnya Dari balik kerudung sore yang kesekian
aku telah menghilang dari jalan-jalan Khanafi lahir di
yang menjadikan sejarah kenangan Banyumas, Jawa Ten- Melukis Kenangan Kau cium tangan ibumu
jika pun aku sering membuka gah, 4 Maret 1995. Dengan perlakuan rindumu
lembaran-lembaran kertas kemudian Puisi-puisinya tersiar Tiba-tiba senja diam Memeluk segala ingatan yang diarsipkan
menulis puisi seolah membentangkan rute baru di beberapa media, Di pekarangan langit yang bisu Sebelum beranjak pulang
semata-mata aku ingin menyatakan perasaanku yang sepi baik koran lokal atau Tempat segala ingatan dilantunkan
sebelum tempat yang jauh merenggutmu daring, seperti linikini. Juga tabir kerinduan semakin dewasa dalam bayang- Sedang waktu diam-diam saja
juga ikut membinasakanku id, tembi.net, litera. bayang Mengulurkan setiap tatapan senja
co.id, sastra biem.co, Semakin melambai bagai pepohonan diterjang angin Memejamkan perjumpaan
jalan mana, perkampungan, atau kota yang lain radarbanyuwangi, ra- sakal Melepas rindu yang kesekian
hujan ini senantiasa mengalir ke sana dar banyumas, serta tergabung dalam buku antologi Daunnya yang rimbun
membuat peta masa lalu mengikuti mataku puisi seperti; Antologi Puisi Negeri Bahari dan Negeri Menabur segala kenang dalam pandangan
tapi yang tersisa dari bayangan terakhirmu Pesisiran: Dari Komunitas Negeri Poci, Hujan Di Bulan Rahem lahir di Giliyang, Sumenep, Madura, 20 April 1999.
adalah rerumputan itu Purnama: Tembi Rumah Budaya, Senyuman Lembah Ijen, Senja semakin malu saja Alumni Miftahul Ulum Bancamara Giliyang dan MA Nasy’atul
di setiap kuinjak Epitaf Kota Hujan, Matahari Di Bumi Blambangan: Cer- Menutup wajahnya kala itu Muta’allimin Gapura Timur. Gemar menulis dan membaca, saat
kesedihan turun di hatiku sesaat pen & Puisi Pilihan Jawa Pos Radar Banyuwangi 2018, Menghapus segala tenteram yang disemayamkan ini aktif di Kelas Puisi Bekasi dan Competer Madura. Beberapa
dan abadi dan lain-lain. Sekarang penulis tinggal di Purwokerto. Dalam pintu-pintu langit yang menyimpan segala tenang puisinya tersebar di Radar Madura, Bali Post, Bangka Post, Radar
Tempat segala doa ditaburkan Cirebon, dan antologi bersama salah satunya “Festival Sastra
Mencari jati dirinya agar dilangitkan Internasional Gunung Bintan 2019”.
WWW.POSBALI.CO.ID