CERPEN
D
ia. Anak laki-laki itu, yang sedang
duduk di kursinya barisan dua sisi
kanan sedang asyik ngobrol dengan
teman laki-lakinya. Aku. Yang dari tadi
menahan langkah terduduk di kursiku,
berusaha keras mendiamkan kesalku. Anak
laki-laki itu memang tidak berubah-ubah
semenjak dulu. Seenak jidatnya selalu. Apa
tadi dia bilang? Dia tidak bisa ikut
mengerjakan tugas kelompok karena sudah
janji dengan teman-temannya naik gunung.
Dia membuatku geli sekali. Naik gunungnya
jauh lebih penting ketimbang kuliahnya.
Ingin sekali kutinju mukanya itu!
Beruntung Nay membawaku segera
minggat dari kelas. Nay tahu sekali wajahku
sudah seperti air rebus. Jangan sampai
dibiarkan matang. Nanti banyak asapnya.
Sebaiknya langsung dipadamkan apinya. Nay
membawaku jajan tempura di depan
kampus. “Vey, kita bisa kok ngerjai tugasnya
tanpa Bagas. Nanti laporannya Bagas aja
yang ngerjai semuanya. Dia juga yang
ngeprint. Plus buat power pointnya. Aku SKETSA
yakin dia mau aja kok.” Nay mencomot DUA pejalan kaki
tempura pertamanya. melitas di depan sebuah
“Baguslah kalau dia nggak ikut. Aku nggak karya senirupa sketsa
lihat muka dia besok satu harian.” Nay dalam format cetak
tersedak. Tersenyum setengah tertawa. baliho panjang dii
“Nggak boleh benci-benci kali, Vey. dinding stasiun kereta
Kebanyakan terlalu benci bisa cinta. Gitu sih MRT di Kuala Lumpur,
kebanyakan. Aku ngomong berdasarkan fakta Malaysia yang sedang
di sekitar ya, Vey. Jadi akurat.” “Aku lagi males direnovasi.
bercanda, Nay.” Nay hanya balas menyengir.
̈ medanbisnis/diur
Aku dan anak laki-laki itu entah kenapa
selalu sekelas sejak SMP. Bahkan masih juga
sekelas saat kuliah. Ah, iya. Dia masih anak-
anak di mataku. Entah karena membencinya. bertengkar. Tapi juga tidak pernah berteman. Meski hanya sekali. Dan berita-berita pacaran seperti ini... Aduh...” Aku bertahan di kamar Dia duduk sambil membaca. Kami sedang
Jadi, aku enggan menyebutnya sebagai lelaki. *** yang kelewat batas hingga ‘kecelakaan’ dan mandi fakultas. Akhirnya dengan amat menunggu mata kuliah selanjutnya. Di sela
Kami tidak pernah bertengkar sebenarnya. “Vey, kalau ada laki-laki yang baik yang akhirnya harus menikah dengan terpaksa. Itu terpaksa, aku mengalah dengan rasa maluku itu, teman perempuanku Mila yang terkenal
Tidak pernah adu mulut sekalipun. Karena ingin menikah dengan Vey saat ini. Vey yang membuat ibu dan ayah sangat sendiri. Tidak mungkin aku tidak masuk cantik dan baiknya menghampiri anak kutub
selalu, jika aku kesal dan marah-marah bersedia?” Tanya ibu dengan nada hati- mempertimbangkannya. Mereka merasa kelaskan? Meski aku tidak tahu harus Selatan itu dan berdiri di depan duduknya.
padanya. Dia hanya menanggapinya dengan hati sambil mengelus rambutku. Aku benar-benar khawatir dengan pergaulan anak menaruh wajahku di mana saat melihatnya. “Hm.. Bagas, Mila belum terlalu paham tugas
sikap dingin. Terakhir kali, aku merecoki sedikit kaget dan geli. “Ibu, Vey baru saja muda masa kini. Merasa harus segera Rasanya jika sampai di kelas, aku ingin dari Pak Saragih tadi. Karena kita satu
telinganya dengan mulutku saat tahun semester dua di kuliah. Masih mau serius membuatku menikah. Apalagi ditambah menggerebek mejanya dan meninju kelompok. Nanti sebelum pulang tolong jelasi
pertama di SMA. Saat aku marah-marah, belajar.” Jawabku sambil lanjut membaca. dengan adegan ayah dan ibu yang sudah mukanya. Aih, itu kriminal namanya. Oh iya, ke Mila dulu, ya.” “Iya, bisa, Mila. Tapi, nggak
tiba-tiba seisi kelas melihat ke arah kami. “Tapi menurut Ibu, Vey sudah bisa. Dan ingin menimang cucu. Karena aku anak yang dia melamar, bukan berarti tidak bisa aku bisa lama ya.” “Cieee.....................” Satu kelas
Kelas terasa benar-benar tegang. Merasa menikah bukan berarti nggak bisa belajar sulung. tolakkan? Ya Tuhan, kenapa aku tidak kompak menyoraki mereka.
diperhatikan seisi kelas, aku mendiamkan serius. Asal paham tanggung jawab, insya Ha, bagaimana ini? Bagaimana nanti aku berpikir dari kemarin. Aih, betapa bodohnya Dari awal masuk, teman-teman memang
mulutku. Sedang anak laki-laki itu berdiri dari Allah semua akan lancar.” “Vey belum mau, harus bertemu muka dengannya? Bagaimana pikiranku. Iya, aku harus menolaknya. suka menjodoh-jodohkan satu dengan yang
bangkunya, pergi meninggalkan kelas dengan Bu.” “Kalau Ibu jadi Vey, Ibu takut kalau teman-teman SMP, SMA, kuliah, Bagaimana bisa aku menikah dengan laki-laki lain. Dan di kelas ini, anak kutub Selatan itu
sikap dinginnya. Sejujurnya, aku merasa menyesal menolaknya. Dia anak yang baik, semuanya tahu? Mereka semua tahu bahwa sedingin es di kutub Selatan. Aaahh, aku tidak dijodoh-jodohkan dengan Mila hanya karena
bersalah telah memarahinya di depan teman- cerdas, wajahnya tampan, dari keluarga ada perang dingin antar aku dan anak laki- mau membayangkan menikah dengannya. Mila sering bertanya pada anak laki-laki itu
teman kami. Dan sejak saat itu, aku tidak lagi yang baik-baik juga.” Aku langsung bangkit laki itu. Karena memang aku sering Hoy, kabar ini seperti mimpi buruk bagiku. soal tugas dan mata kuliah. Jodoh-jodohan
berkeinginan untuk menceracau mulutku dari tiduran di paha ibu. Merasa tertarik. menunjukkannya. Meski tidak dengan Aku harus segera menelpon ibu. Aku harus begitu aku tidak pernah peduli. Itu olokan
padanya. Meski ia sering membikin darahku “Memangnya siapa yang melamar Vey, merepet di depan mukanya. Tapi saat diskusi segera bilang aku SAMA SEKALI tidak paling kekanak-kanakan menurutku. Karena
naik. Tapi aku selalu berusaha menahannya. Bu?” “Tapi tadi katanya belum mau.” Ibu di kelas, kami sering saling menjatuhkan. Aih, bersedia menikah dengan anak laki-laki dari itu hanya membuat malu, salah tingkah, dan
Dari awal mengenalnya, aku memang menggodaku. “Hehe.. Nanya siapakan bahkan guru-guru dan dosen-dosen tahu, kutub Selatan itu. Entah dari mana dia dapat serba salah kepada yang sedang dijodoh-
sudah tidak suka padanya. Dia anak yang bukan berarti mau, Bu. Nanya doang bagaimana dinginnya kami saat saling beradu ide melamarku. jodohkan. Apalagi jika yang dijodoh-jodohkan
pendiam. Tapi teman-temanku selalu bilang hehehe..” Ibu tersenyum. “Bagas, Nak. pendapat. Kalau sudah begitu, seisi kelas “Taruh semua tas kalian di depan kelas. memang memiliki rasa suka terpendam. Bisa
senang mengobrol dengannya. Meski dia Teman kamu.” Mataku membelalak. tidak ada yang berani menganggu. Kita tes hari ini. Jelek nilai kalian, nggak usah makin banyak salah tingkahnya.
lebih banyak mendengarkan. Tapi dia benar- Mulutku menganga lebar. Mengeluarkan Membiarkan kami berdua saling lulus di mata kuliahku. Jumpa lagi tahun Tapi, saat ini. Saat ini rasanya. Kenapa aku
benar peduli terhadap lawan bicaranya. bunyi dua huruf dengan rasa terkejut menjatuhkan. Guru atau dosen di depan, depan. Tahunya aku, sayang kalian samaku.” merasa peduli dengan olokan itu. Kenapa aku
Pendengar yang baik. Meski ada saat-saat dia paling tinggi. “HA???????!” Jantungku biasa juga hanya ikut memperhatikan. Dan Handphoneku hampir loncat dari tanganku. merasa olokan itu benar-benar menjadi
terbahak lama sekali. Tapi itu adegan yang seperti diledakkan dan pecah hingga kebanyakan berakhir dengan tertawa Pak Saragih masuk dengan tiba-tiba. Tes hidup untuk anak kutub Selatan itu dan Mila.
jarang terjadi. Berbeda denganku yang ceria. tercecer kemana-mana. bersama kalimat, “Bagas, Vey, sudah cukup. berjalan 30 menit. Aku lancar saja Untuk pertama kalinya, aku tidak suka anak
Meski dimarahi ibu di rumah. Aku bisa tetap Yang benar saja. Anak laki-laki itu sudah Kalian tidak boleh sering-sering begini. mengerjakannya karena memang setiap laki-laki kutub Selatan itu dijodoh-jodohkan
riang di sekolah. Rasa semakin tidak suka itu gila kupikir. Berani-beraninya dia. Dia pikir Jadilah yang ditengah-tengah. Terlalu cinta malam aku belajar. Aku meletakkan penaku. dengan Mila atau barangkali juga dengan
semakin besar saat ternyata dia juara kelas. dia siapa. Apa tadi ibu bilang, sudah sejak juga tidak baik. Terlalu benci apalagi. Hati- Bersiap bangkit dari kursi. Tapi, anak kutub siapapun. Kenapa aku malah tidak lagi
Sedang peringkatku satu tangga di bawahnya. kelulusan SMA dia datang dengan orang hati, jangan-jangan nama kalian nanti satu Selatan itu lebih dulu bangkit dan berniat menelpon ibu. Kenapa sepertinya aku
Aku merasa sudah benar-benar berada di tuanya saat aku tidak di rumah. Tapi saat itu tempat di kartu undangan.” Seisi kelas mengantarnya di meja dosen. Huh. Aku merasa cemburu.
atas langit waktu itu. Tapi mendengar ibu dan ayah menolaknya secara halus. Dan menertawakan kami. memonyongkan bibirku melihatnya.
pengumuman juara kelas, langitku runtuh dua hari lalu, dia sendiri datang saat aku tidak *** Kelas Pak Saragih satu setengah jam (Penulis adalah Alumnus P
(Penulis endidikan
Pendidikan
seketika. Sejak itu, aku benar-benar merasa di rumah lagi. Kali ini ayah dan ibu “Aduh.. Bagaimana ini.. Kalau begini, bisa- kemudian selesai. Aku melihat ke arahnya. Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU)
dia adalah saingan beratku bahkan sampai mempertimbangkannya. Karena melihat aku bisa aku ingin pindah kelas. Ah, pindah Dia selalu duduk di baris kedua sisi kanan.
hari ini. Kami memang tidak pernah sudah berani diantar pulang teman laki-laki. kampus sekalian. Awas saja, gara-gara dia aku Sedang aku duduk di barisan ketiga sisi kiri.