5
CERPEN
ORANG-ORANG mengira bahwa aku adalah se- Perihal cara makanku, akan kujelaskan
batang pohon. Padahal, aku adalah seekor binatang. padamu: Aku memiliki akar, tapi aku makan bu-
Dua bulan lalu, pada tengah malam, aku kan melaluinya—bagian itu hanyalah “alat untuk
muncul begitu saja di lapangan ini—entah karena berdiri”—melainkan melalui mulut yang terletak di
apa. Sedari muncul, batangku sudah setinggi 10 meter puncak batangku. Mulut itu mengeluarkan aroma
dan berdiameter 2 meter. Ketika pagi tiba dan akti- yang “menarik” sehingga mangsaku akan mema-
vitas orang-orang dimulai, tak ada seorang pun yang sukinya. (Biasanya, yang menjadi mangsaku adalah
tak terkejut begitu melihatku. Keterkejutan itu pun kaum insek dan aves.) Dan, tentu saja mulutku akan
membuat mereka segera mengerubungiku. langsung bekerja begitu ada mangsa yang masuk.
“Oh, besar sekali!” seru seseorang. “Pohon apa “Kalau tidak memakannya, bagaimana bisa
ini?!” kau menikmati-secara-utuh pemujaan yang dilakukan
“Aku bukan pohon!” sahutku. “Aku adalah orang-orang?”
binatang!” “Aku tak perlu dipuja-puja seperti itu, meski
“Hei! Kalian dengar suara itu?” aku tak mempermasalahkan pemujaan yang mereka
“Suara apa?” lakukan!”
“Ya suara itu!” “Oh, baiklah .... Setidaknya, Kawan, aku
Aku menyahut lagi, “Itu suaraku!” senang kau dipuja-puja. Karena dengan begitu, aku
“Suara itu terdengar lagi!” bisa menikmati banyak sesajen setiap hari.”
“Ah! Aku mendengarnya!” “Oh ya,” sambung si Makhluk Halus, “perihal
“Yang mirip serdawa itukah?” kebinatanganmu itu … jangankan mereka, aku yang
“Ya! Suara yang itu!” belakangan ini terus bersamamu pun masih sulit
Aku lantas menyadari: orang-orang itu tak memercayai bahwa kau adalah seekor binatang.”
mengerti bahasaku—sedangkan aku mengerti bahasa “Tapi, seperti yang sudah kubilang, aku
mereka. Maka, dapat disimpulkan, memberitahukan mempunyai mulut, Makhluk Halus! Mulut bukanlah
mereka bahwa aku ini adalah seekor binatang tidaklah ciri isik tumbuhan!”
mudah. “Tapi, kan, mulutmu tak kelihatan, tertutup
“Aku juga mendengarnya! Dan, kuyakin suara oleh daun-daunmu sendiri. Jadi, wajar saja mereka
itu berasal dari pohon ini!” tidak tahu kalau kau mempunyai ciri yang sah sebagai
“Bagaimana bisa sebatang pohon bersuara?” binatang.”
“Bagaimana bisa pohon ini berada di sini?” “Lantas, aku mesti bagaimana?”
“Ini pohon pasti bukan sembarang pohon!” “Selain mulut, apa saja ciri sahmu sebagai
tiba-tiba si Tetua berkata. “Ini pohon pasti titisan binatang?”
Dewa!” Aku berpikir beberapa jenak. “Aku tidak ber-
Berkat kalimat si Tetua itulah aku jadi dipu- fotosintesis. Bukankah itu termasuk ciri binatang?”
ja-puja oleh banyak orang setiap hari. Di kemudian “Hmmm … kurang memenuhi. Asal kau tahu,
hari, aku dinamai Pohon Dewa oleh mereka. ada beberapa binatang yang berfotosintesis, semisal
Kalau kupikir-pikir, tak bisa aku menyalah- Elysia chlorotica dan Anemonia viridis.”
kan mereka karena menyangka aku adalah sebatang “Ada ciri yang lain?” sambungnya cepat.
pohon. Sebab, bukan hanya mereka saja yang me- “Aku memiliki penis dan anus, di bawah
nyangka demikian, melainkan .... tanah.”
“Sejak kemarin, kuperhatikan kau berdiri Si Makhluk Halus mengernyit. “Kau serius?”
terus di dekatku,” ucapku kepada si Makhluk Halus— “Ya.”
entah ia laki-laki atau perempuan. “Apa yang sebena- “Syukurlah kalau memang di bawah tanah.
rnya sedang kaulakukan?” Jadi, aku dan orang-orang tak perlu melihatnya.”
“Sejak kemarin, aku adalah penunggumu,” “Oh ya, aku memiliki sistem saraf.”
sahutnya. “Yah, ini semua gara-gara pohon yang se- “Hmm … ada ciri yang lain?”
belumnya kutunggui ditebang oleh seseorang. Jadi, “Ciri kebinatangan seperti apa lagi yang
terpaksalah aku berpindah tempat dan menungguimu, harus kumiliki?!”
meski aku sendiri tak tahu pohon apakah kau ini.” “Tentu saja ciri kebinatangan yang mudah
“Aku bukan pohon! Aku adalah binatang!” dilihat dengan mata telanjang.”
Si Makhluk Halus pun terdiam beberapa Aku merenung. Satu menit .... Tiga menit.
jenak. Matanya menatapku lekat-lekat. “Tidak mung- “Tak ada,” jawabku pada akhirnya.
kin,” ucapnya kemudian. “Ya sudahlah. Semoga hidupmu bahagia,
“Tapi aku tak berbunga pun berbuah, Makh- Pohon.”
luk Halus! Sebab, aku ini binatang!”
“Tapi, lihatlah, kau ini berbatang, bercabang, ***
beranting, dan berdaun.”
“Tapi aku bermulut! Mana ada pohon yang Tadi pagi, si Makhluk Halus tiba-tiba saja berkata,
bermulut?!” “Aku mendapat ide! Aku tahu bagaimana cara agar
“Di mana mulutmu? Aku tidak melihatnya.” kebinatanganmu diakui!” dan terbang-pergi selama toh.” disentakkannya tangan kanannya dengan kuat hingga
“Di puncak batangku, tertutup oleh daun- beberapa menit. Ketika si Makhluk Halus kembali— “Nah! Momen inilah yang kutunggu-tunggu, terputus. Segeralah tubuhnya menghantam tanah,
daunku!” dengan terbang pula—ia membawa sebuah benda Kawan,” ucap si Makhluk Halus dengan antusias. lantas ia tak bergerak-bersuara lagi.
“Kalau memang ada, tapi tak terlihat, bisa pipih dan menyangkutkannya di rantingku. “Sebentar lagi ia akan menyadari kebinatanganmu! Orang-orang menjerit.
saja dianggap tak ada, kan?” “Apa yang kaulakukan, heh?!” tanyaku. Dan, saat ia sudah menyadari kebinatanganmu, “Ini semua gara-gara kau, Makhluk Halus!”
Apakah semua Makhluk Halus semenyebal- “Lihat saja nanti, Kawan. Aku mencuri benda semoga saja ia akan memberitahukan apa yang baru hardikku.
kan ini? pikirku. ini dari langit.” disadari-dirinya-seorang itu ke banyak orang!” “Orang-orang akan segera sadar bahwa kau
Tak lama kemudian, datanglah dua orang Si Pria lalu berjongkok di samping mulutku. adalah seekor binatang!” balas si Makhluk Halus,
*** laki-laki: bocah dan dewasa. Aku segera bersuara, berharap si Pria ketakutan dan bangga.
“Di sana!” si Pria berkata sembari menunjuk segera turun. Beberapa orang lantas mengangkat jasad si
Saban pagi, aku selalu ditemani oleh orang-orang ke arah benda pipih yang disangkutkan di rantingku. “Eh? Dari situ juga, toh, sumber suaranya?” Pria dan mengaraknya entah ke mana, diikuti oleh
yang berdoa—kepadaku—bersama. Setelah acara “Apa yang harus kita lakukan, Ayah?” ucap Tangan kanannya kemudian bergerak ... memasuki yang lainnya.
berdoa bersama usai, mereka akan meninggalkan si Bocah. “Itu layangan kesayanganku!” Ia pun jatuh- “jebakan”-ku. “Dewa tidak mungkin sebrutal itu!” samar-
sesajen masing-masing di sini, di tanah yang terseli- terduduk di tanah dan menangis tersedu-sedu. “Ayah, Sayangnya, mulutku tak bisa berhenti bekerja— samar kudengar salah seorang dari mereka berkata,
muti bayangan daun-daunku. Kala siang tiba, mereka panjatlah Pohon Dewa! Ambilkan layanganku! Kumo- karena memang begitulah mulutku. ketika jarak mereka sudah agak jauh dariku.
akan kembali kemari untuk membawa sesajen-sesajen hon!” “Tolong!!!” pekik si Pria, seraya berusaha “Apakah tadi kalian dengar? Sebelum tewas,
itu pergi. “Memanjat Pohon Dewa?!” Si Pria mendelik. menarik tangan kanannya dari mulutku. pria ini berkata bahwa Pohon Dewa mempunyai mu-
Kutegaskan, apa yang kupermasalahkan “Itu adalah perbuatan yang sungguh tidak sopan, Nak! Si Bocah pun berlari menjauhiku, menghilang lut,” kata seseorang yang lain. “Mana ada pohon yang
hanyalah kebinatanganku yang tak diakui. Aku tak Bisa-bisa Pohon Dewa marah!” entah ke mana. Beberapa saat kemudian, si Bocah bermulut?!”
peduli mau seperti apa orang-orang memujaku. “Pokoknya ambilkan, Ayah!” kembali kemari bersama begitu banyak orang. (Mer- “Kalau bukan pohon, lantas apa?”
Omong-omong, sebelum aku ada, siapakah Mungkin sebab tidak ingin mendengar eka tak membawa sesajen sama sekali.) “Jangan-jangan, sebenarnya Pohon Dewa itu
yang mereka puja? tangisan si Bocah lebih lama lagi, si Pria akhirnya “Ayah di sana!” pekik si Bocah—ia menangis adalah seekor binatang!”
“Orang-orang itu pintar memilih sesajen, ya,” memanjati tubuhku. “Maafkan aku, Pohon Dewa,” lagi. “Kau dengar itu?” ucap si Makhluk Halus
kata si Makhluk Halus suatu waktu, terdengar agak ucapnya lirih. Tak butuh waktu lama baginya untuk “Tolong! Pohon ini bermulut!” pekik si Pria. padaku, dan tersenyum puaslah ia.
tak jelas sebab ia berbicara sembari mengunyah wujud menggapai layangan itu. “Mungkin itu hukumanmu karena berani-
halus salah satu sesajen yang dipersembahkan buatku. Tangisan si Bocah usai sudah. beraninya memanjati Pohon Dewa!” kata seseorang. ***
“Eh, kau yakin tak mau memakan sesajen-sesajen ini? Tiba-tiba si Pria tertegun. Tatapannya ter- “Kasihan suamiku!” ujar seorang wanita, Malamnya — masih pada hari di mana si Pria tewas
Enak, lho.” paku pada mulutku. “Apa itu?” gumamnya. Pria itu sesenggukan. “Berikanlah ia pertolongan!” — orang-orang dewasa, termasuk si Tetua, datang
“Tidak. Aku mempunyai makanan dan cara pun berjalan perlahan di dahanku, mendekati mu- Tangan kanan si Pria makin hancur di mu- mengerubungiku entah buat apa. Masing-masing dari
makanku sendiri.” lutku. “Bau ‘menarik’ itu ternyata berasal dari situ, lutku. Ia pun terjatuh—ke belakang—dariku begitu mereka membawa obor. Dan tampak marah.
Membuat Ketetapan
Puisi-puisi
Puisi-puisi terjadi adalah caci-maki
l SHELA KUSUMA
detik adalah hidup Lama mengurung lantaran sepi
lAZIZI SULUNG menit adalah perjalanan pengetuk
dan waktu adalah pengembaraan
Rindu Ibu tanpa lalu Gandrung Meramal Angka Sibuk selalu menghampiri bersamaan
dengan peluang
rindu ini adalah lautan semenjak detak jam dinding
mengeram ombak dan mengajariku bertabah Kode kode peristiwa ditafsirkan Helaan heran memenuhi rongga pikir
menyimpan juang para nelayan merampungkan segala rencana Lagi lagi termenung merupakan
menjadi angka
juga ikan-ikan dan batu karang menitipkan segala rindu pada kelana
meraung, melontar keruh Pintu untuk tujuh, asalnya dari Jawa, kelegaan sesaat
tak kuasa memikul karat rindu sia-sia, pitu maksudnya Membiarkan yang masuk berkeliaran
yang sudah sekian lama tumbuh hingga pada detik terakhir
waktu tetap mengantar wajah Begitu pula dengan rentetan Tersentak dengan kejutan kejutan yang
dan membiru
gelisah dan gundah yang merambah peristiwa serupa nyaris membuyarkan
rindu ini adalah matahari waktu bagi kita tetap luka yang basah. Tentu memunculkan barisan angka Tebakan soal mendatang melenceng
ia memilih mengutuk diri Jangan ditertawakan
selamanya akan menjadi setia dari susunan
atas nama cahaya Semua elemen berlomba menembak Pertanyaan Kepatuhan
Pergi untuk merenungi
tak peduli awan pekat Melesatkan asa kemujuran
curah hujan yang menghujam Kusaksikan Hujan Usai Di Matamu Memprediksi sekaligus menata kemung
Siapa yang kuasa menolak dengan Sesepuh ajarkan laku yang teratur
selamanya matahari akan kinan yang perlu diambil
memilih setia gelisah yang dihantar malam iming iming menggiurkan
menuntaskan perjalananku Tak satupun yang menempel
atas nama rindu dan cahaya Siapa mampu membendung kecemasan
memburu hujan Menua dengan melenggang tiada
: hujan yang menampung segala rahasia Pulpen dan berlembar kertas beradu yang setia menempel
rindu ini adalah kobaran api pedoman
menyulut segala sunyi dan rindu yang menggebu Memindahkan tebakan tebakan Adakah cara mengusir keraguan yang
membakar segala yang akan pergi Buah-buah memilih diam
yang kerap menjebak selalu menggetarkan
asapnya akan berkabar matahari kusaksikan tanggal
Wajar terombang ambing buaian angin
bahwa sudah tak ada kuasa bagi terburu-buru Mencocokkan yang lalu agar muncul Banyak yang menyarankan untuk be
kayu bakar mengajakku kembali melebur yang kelak Kadang jatuh di tanah empuk
rani memutuskan
setelah menyerahkan segala juang pada kelam malam Bisa pula tersangkut di sungai keruh
demi rinduku ibu tersayang : malam yang menumpahkan Justru itulah peliknya
segala kesal dan dendam Meminta petunjuk ke kerabat Lebih baik meringkuk lalu menghilang
rindu ini adalah Tuhan yang konon bisa menerawang Pertanyaan kepatuhan terlontar
dengan segala keutuhannya yang sesekali rintik bermula di
tak mungkin terdustakan. kelopak matamu Nyatanya gagal tertembus Mengaitkan dengan penandaan
memburu desau angin dan purba Besaran jerih menguap, berhamburan Siapa kendali yang menggerakkan?
silam kenangan
: kenangan yang menuntaskan masuk ke para pemain besar Lantas mengapa ada perihal soal jatuh,
segala peristiwa Seringkali mujur, meski lebih sering bangkit, dan upaya penyembuhan?
Cerita Pagi yang hati ini sama sepakat membuang makian
menjadikan segalanya Bagaimana jika melanggar?
:k. jalal Begitulah angka sukar dibidik
sebagai rahasia.
membaca hidup Sementara orang-orang riuh
bak menerka riak air
hingga pada hilir yang mana ia menyorakkan untuk menyeragamkan
akan berhenti mengalir? Dengan lantang merobohkan
Ucapmu, Pulanglah!
mata menerawang yang tampak asing
menyusur jalan-jalan panjang sudah lama aku menunggu hujan
rasanya tak cukup ikhtiar luruh membasuh keluh
sebagai muara bersandar membasahi jalan-jalan kering Patuh untuk satu dan sama tak dilarang
dan menuntaskannya lewat doa dan jarak yang menghunusku
tak pernah berpaling Jangan sampai menjegal perjalanan
dan bersabar
Mereka yang memilih menepi
ucapmu, pulanglah! Tiga Gumam Andalan
memecah takdir Berada di kerumunan terkadang
sama halnya memahat hilir lambaikan tanganmu pada waktu
:ke mana ia berkehendak, janganlah lagi menoleh menyeramkan
karena sesal akan berkejaran Tak banyak rapalan pedoman
ke arah yang sama nasib akan beranjak. Beda sebenarnya tak usah
dan langkahmu akan disambut yang diingat
sebagai kenangan. dikhawatirkan
Hanya selintas yang tertanam, itu pun
penggalan pendek
Lubtara Wajar saja, sebab dini tiada sentuhan
ke silam tubuhmu Hujan Sore Hari
aku mengembara mencari masa lalu Belakangan ini disebarkan manfaat
melewati jalan buntu dan berbatu hujan sore hari
masihkah dapat kutemukan sejarah memeluk gerimis Kedahsyatan satu jenis bacaan itu
setelah berulangkali terjarah menangkup ritmis
Komat kamit lirih menjejalkan ke otak
segala tentangmu telah rampung
pada purba tubuhmu kueja bersama rintik Ruang-ruang kosong mulai terisi
kuasaku memahat namamu yang baru. dan sempurna terlahir sebagai Terkucuri penyejuk yang melegakan
suatu yang sangat puitis.
l Anggur Merah Persibu Ngampoeng Seni untuk Fenomena 27 dalam 72… l Spirit Ruh Bangsa, Tes Ke-Indonesiaan Raya Kita