DI SUSUN OLEH :
RADHIA MIFA, Amd. Keb
NIM 211000415201167
Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat allah SWT, dan senantiasa mengharapkan
rahmat, taufik serta hidayah-Nya. Tak lupa Shalawat dan salam bagi junjungan nabi besar
kita yaitu Nabi Muhammad SAW. Alhamdullah penulis masih diberi kesehatan dan umur
sampai saat ini sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hambatan
Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya Penurunan Angka
Kematian Ibu (Aki) di Desa Embacang Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas
Kabupaten Bungo Tahun 2022 “
Dalam penyusunan makalah ini penulis sadar bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dan mungkin jauh dari sempurna seperti dalam pepatah “ Tak ada gading yang
tak retak “ begitu pun dengan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran dari para
pembaca, sangat penulis harapkan untuk perbaikan dimasa yang akan datang.
Demikian lah kami buat makalah ini untuk pegangan buat kita semua, semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bungo, Juli
2022
penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….3
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Komunikasi Terapeutik
2.1.1 Arti Penting Komunikasi
Pada abad modern ini, dimana komunikasi adalah sudah dianggap salah satu
kebutuhan pokok, orang menganggap bahwa proses komunikasi bukanlah salah satu
yang mandiri, lepas dari dunia lain. Dunia lain dimaksudkan, bahwa komunikasi
selalu berada dalam ruang atau batas waktu tertentu dan komunikasi tidak lepas dari
komponen-kompenen itu. Pada taraf sederhana, komunikasi hanya diartikan sebagai
setiap pembicaraan satu atau sekelompok lainnya tanpa melalui perantara atau media
apa pun. Sekarang, komunikasi telah sangat kompleks dan rumit, aksessnya sangat
luas, dan dengan biaya yang makin murah. Hal ini menjadi penanda bahwa seiring
dengan perkembangan teknologi komunikasi dan tigkat kebutuhan manusia akan
media komunikasi memberikan peluang setiap orang untuk berkomunikasi dengan
orang lain.
Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin communis yang artinya
membuat kebersamaaan atau membangun kebersamaan antara dua orang lebih.
Komunikasi juga berasal dari asal kata dalam bahasa latin Communico yang artinya
membagi sebuah definisi singkat oleh Harols D. Lasswell bahwa cara yang tepat
untuk menerapkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “siapa yang
menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa
pengaruhnya. Paradigma Lasswell dari siapa yang menyampaikan?, apa yang
disampaikan? melalui saluran apa?, kepada siapa?Dari perspektif agama bahkan
Tuhanlah yang mengajarkan manusia berkomunikasi, dengan menggunakan akal dan
kemampuan bahasa yang dianugerakan kepadanya. Allah berfirman dalam surah Ar-
Rahman (55):1-4
Terjemahnya:
Tuhan yang maha pemurah, yang telah mengajarkan al-Qur’an. Dia
menciptakan manusia mengajarkan pandai bicara. Akhir surah yang lalu (Al-
Qamar) ditutup dengan pernyataan tentang keagungan kuasa dan kesempurnaan
kodrat Allah. Itu tidaklah sempurna kecuali jika disertai dengan rahmat yang
mencakup semua makhluk, karena itu surah ini dimulai dengan menyebut sifat
rahmat-Nya yang menyeluruh yaitu ar-Rahman,yakni Allah yang menyurahkan
rahmat kepada seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini, baik manusia atau jin
yang taat dan durhaka, malaikat, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan dan lain-lain.
Allah ar-Rahman yang mengajarkan al-Qur’an itu Dialah yang menciptakan manusia
makhluk yang paling membutuhkan tuntunan-Nya, sekaligus yang paling berpotensi
memanfaatkan tuntunan itu dan mengajarnya ekspresi yakni kemampuan menjelaskan
apa yang ada dalam benaknya, dengan berbagai cara utamanya adalah bercakap
dengan baik. dan benar.
2.2 Artikel Masalah Komunitas Efektif Dalam Pelayanan Kebidanan Yang Terjadi
Di Indonesia
HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK BIDAN KEPADA IBU HAMIL DALAM
UPAYA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU (AKI) DI SERANG (STUDI DESKRIPTIF
KUALITATIF TENTANG HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK BIDAN KEPADA IBU
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Komunikasi terapeutik sangat dekat dengan kehidupan manusia, karena hampir setiap
individu telah mengalaminya. Jika seseorang sakit, bertemu dengan tenaga medis, terjadilah
komunikas terapeutik. Begitupun halnya tenaga medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan
bidan. Bidan harus memiliki keterampilan komunikasi terapeutik yang baik, agar dia dapat
menjalin hubungan rasa percaya dengan pasien, memberikan kepuasan profesional dalam
pelayanan kebidanan, dan meningkatkan citra profesi kebidanan. Namun yang terpenting
adalah mengamalkan ilmunya untuk menolong terhadap sesama manusia.
Komunikasi menciptakan hubungan antara bidan dengan pasien untuk mengenal
kebutuhan dan menentukan rencana tindakan. Kemampuan komunikasi tidak terlepas dari
tingkah laku yang melibatkan aktifitas fisik, mental dan dipengaruhi oleh latar belakang
sosial, pengalaman, usia, pendidikan dan tujuan.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan
dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik mengarah pada bentuk
komunikasi interpersonal. Stuart G.W. (1998) mengatakan bahwa komunikasi terapeutik
merupakan hubungan interpesonal antara bidan dengan pasien, dalam hubungan ini bidan dan
pasien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman
emosional pasien. Seorang bidan tentu harus memerhatikan proses komunikasi terapeutik
yang dilakukannya selama berinteraksi dengan pasien. Pasien akan mengharapkan pelayanan
yang optimal dari tenaga medis agar tercapainya perolehan informasi yang dibutuhkan
tentang kesehatannya. Jika bidan mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada
pasiennya, maka hal inipun akan meningkatkan citra profesi kebidanan. Bidan dikenal oleh
masyarakat sebagai tenaga medis yang biasa membantu proses persalinan ibu hamil. Dalam
hal ini, bidan pun perlu memahami pentingnya Angka Kematian Ibu (AKI) menurun atau
meningkat di suatu daerah.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh
Bidan sebagai salah satu tenaga medis yang menangani langsung komunikasi terapeutik
kepada ibu hamil. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
yang terdapat di situs republika online, yaitu Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes
Kabupaten Serang, Agus Sukmayadi, menurutnya medis sangat berperan untuk menekan
angka kematian ibu, melalui sistem rujukan yang dimaksimalkan dengan pelayanan prima
untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Namun, selain medis yang menjadi faktor tingginya
kematian ibu juga faktor sosial masyarakat yang belum sadar akan pentingnya keselamatan.
Meski sebelumnya juga faktor ekonomi yang sering menjadi alasan utama penyebab
kematian tersebut. Hal inipun dipertegas oleh penuturan Sekretaris Daereah Kabupaten
Serang, Lalu Atharussalam, yang menegaskan bahwa tingginya angka kematian ibu (AKI)
di Serang harus menjadi bahan evaluasi dari kinerja dinkes dan mitranya dalam menekan aki
tersebut, karena AKI di Kabupaten Serang tertinggi di Banten. Untuk menurunkan AKI,
Dinas Kesehatan harus bekerja sama dengan organisasi-organisasi lainnya. Dalam hal ini,
pihak Dinas Kesehatan telah membuat MAF (MDGs Acseleration framework) atau kerangka
kerja untuk mengoptimalkan MDGs. Komunikasi terapeutik yang dilakukan Bidan kepada
Ibu Hamil pun tentu harus semakin optimal, sebagai upaya untuk menurunkan Angka
Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Serang.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti semakin tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam
Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Serang. Peneliti ingin
mengetahui bagaimana hambatan komunikasi terapeutik yang terjadi antara Bidan dengan Ibu
Hamil tersebut. Hambatan apa yang menyebabkan AKI ini tetap tinggi padahal komunikasi
terapeutik dari Bidan kepada Ibu Hamil terus berlangsung. Apalagi mengingat bahwa data
yang menunjukkan AKI yang tinggi terdapat di Kabupaten Serang. Dinas Kesehatan pun
terus mengupayakan bekerjasama dengan semua pihak, termasuk rumah sakit dan Puskesmas
yang tersebar di Kabupaten Serang.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di Puskesmas Tunjung
Teja, Kabupaten Serang. Hal ini dikarenakan data dari Dinas Kesehatan yang menunjukkan
AKI di puskesmas tersebut sangat tinggi. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode deskriptif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi. Peneliti juga menggunakan teori komunikasi yang cocok
digunakan untuk menganalisis penelitian ini yakni teori interaksi simbolik.
KERANGKA KONSEPTUAL
2. Pesan
Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator
(Effendy, 1998). Dalam menyampaikan pesan secara lisan, faktor pemilihan kata-kata
merupakan hal yang sangat penting agar sasaran yang dituju mengerti dengan maksud
yang disampaikan.
a. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik
perhatian komunikan.
b. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa
cara untuk memeroleh kebutuhan tersebut.
c. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memeroleh kebutuhan tadi yang layak bagi
situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk
memberikan pendapat dalam mencapai tujuan (Rakhmat, 2008:92).
3. Komunikan Dari pesan-pesan tersebut, maka seorang komunikator harus dapat
menyampaikan pesan dengan baik, misalnya bagaimana kejelasan isi pesan tersebut,
bahasa yang digunakan apakah mudah dipahami, isi pesan tersebut apakah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Komunikan memainkan peranan yang sangat penting dalam proses
komunikasi, sebab ia menerangkan bagaimana pesan kita diterima dan ditanggapi oleh
komunikan atau tidak. Umpan balik dari komunikan bisa bersifat verbal dalam bentuk,
seperti “ya” untuk tanda setuju atau “tidak” untuk tanda menolak, bias juga bersifat non
verbal dalam bentuk gerakan anggota kepala tanda tidak mau, mengerutkan kening tanda
tidak mengerti, mencibirkan bibir tanda mengejek,dan lain-lain. (Effendy, 1998).
Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti akan meneliti hambatan komunikasi yang
terjadi dalam komunikasi terapeutik yang dilakukan bidan kepada ibu hamil. Dengan
demikian, jelaslah bahwa komunikasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan
manusia sehari-hari baik perorangan maupun kelompok. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya dalam latar belakang masalah bahwa penelitian ini juga mengkaji bagaimana
bidan sebagai salah satu tenaga medis, berkomunikasi dengan ibu hamil, termasuk dalam
kajian komunikasi antar pribadi.
Dengan kata lain konsep diri perilaku manusia, tergantung bagaimana pola
interaksi individu dengan lingkungannya, bagaimana kita memandang diri kita sendiri dan
bagaimana orang lain memandang kita, sangat berpengaruh pada interaksi kita dengan
orang lain. Hambatan Komunikasi Meskipun informasi yang disampaikan sebenarnya
mudah dimengerti, tetapi ternyata komunikasi yang terjalin tersebut tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan atau diinginkan. Hal ini dapat terjadi sebab didala peleksanaan
komunikasi banyak sekali hambatan-hambatan yang mungkin timbul. Penurunan isi dan
mutu pesan dapat terjadi pada setiap tahap dalam proses komunikasi mulai dari perumusan
konsep gagasan didalam kata-kata sampai saat pemanfaatan yang diterima. Lebih lanjut
hambatan-hambatan ini secara umum dapat di klasifikasikan menjadi tiga menurut Arni
Muhammad (2009) yaitu :
1) Hambatan Pribadi (Psikologis) adalah gangguan komunikasi yang timbul dari emisi,
nilai dan kebiasaan menyimak yang tidak baik. Hambatan pribadi seringkali mencakup
jarak psikologi diantaranya orang-orang yang serupa dengan jarak fisik sesungguhnya.
2) Hambatan Fisik adalah gangguan komunikasi yang terjadi di lingkungan tempat
berlangsungnya komunikasi.
3) Hambatan Semantik adalah hambatan ini berasal dari keterbatasan simbol-simbol itu
sendiri. Ada beberapa karakteristik dari bahasa yang menyebabkan proses decording
dalam bahasa semakin sulit antara lain :
a. Bahasa itu statis sedangkan realitasnya dinamis,
b. Bahasa itu terbatas sedangkan realitasnya tidak terbatas,
c. Bahasa itu bersifat abstrak.
Selain tahap-tahap dan akibat adanya hambatan dalam komunikasi, maka umpan
balik sangat diperlukan. Umpan balik merupakan arah yang utama bagi pengirim pesan
untuk memonitor apakah pesannya dimengerti dan dimanfaatkan oleh penerima sesuai
dengan harapannya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa komunikasi atau kurangnya
komunikasi akan membuat pekerjaan menjadi kurang maksimal dan akan terjadinya
kesalahpahaman dalam menangkap suatu informasi. Komunikasi pun sering dikutip
sebagai masalah nomor satu di dalam sebuah hubungan. Jika dua perangkat komunikasi
(komunikator dan komunikan) memahami hal ini, serta berusaha untuk sering
berkomunikasi, maka tidak akan mengalami permasalahan yang cukup signifikan. Namun
sebaliknya jika tidak memperhatikan beberapa faktor penyebab masalah dalam
berkomunikasi maka kemungkinan besar lambat laun komunikasi yang dibina akan
"mati". Ada beberapa hambatan komunikasi dari perspektif lain yang mungkin terjadi
dalam menjalin komunikasi dua arah.
1) Bahasa
Jika seorang komunikator atau komunikan berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda,
kemungkinan akan terjadi banyak kesalahpahaman bahkan terjadinya hubungan yang tidak
jelas. Jika pada proses komunikasi komunikator merasa bahasa yang digunakannya tidak
dipahami, maka komunikator harus sering meluangkan waktu untuk menjelaskan tentang
beberapa hal yang ingin di bicarakan kepada komunikan.
2) Budaya
Hambatan budaya ini menjadi hal yang sangat penting. Satu pantangan bagi sang
komunikator untuk beranggapan, bahwa komunikan tumbuh dengan filosofi, gaya hidup,
adat istiadat yang sama. Maka kita tidak boleh "menyamaratakan" penggunaan teknik
berkomunikasi kepada setiap komunikan. Hindari anggapan bahwa komunikan
mempunyai pemikiran yang sama ketika menghadapi suatu permasalahan. Jika
komunikator menemukan miskomunikasi dalam suatu hubungan, atau bahkan komunikan
merasa tersinggung, maka cepatlah lakukan analisis mengapa komunikan punya anggapan
lain terhadap pesan yang disampaikan. Hal ini bisa saja terjadi karena budaya yang
berbeda yang dimiliki oleh sang komunikan. jika hal ini terjadi maka Hormati persepsi
komunikan dan cobalah temukan beberapa persamaan persepsi maka disanalah peluang
komunikator untuk kembali membangun komunikasi yang "nyambung".
3) Salah paham
Hambatan komunikasi yang paling utama pada awalnya bersumber dari dari satu hal, yaitu
kesalahpahaman. Interpretasi, respon, asumsi seseorang dalam menghadapi suatu
permasalahan berbeda-beda, komunikan akan memahami yang komunikator katakan. Jika
komunikator menelisik lebih jauh jika ada pertentangan dalam suatu proses komunikasi.
Dalam hambatan ini komunikator harus menjauhi sikap menyimpan permasalahan atau
kesalahpahaman yang terjadi.
4) Sisi historis atau pengalaman
Pada umumnya komunikator menjadikan filosofis dan pengalaman hidup masa lalu
sebagai rujukan komunikasi agar sang komunikan mengerti. Tidak ada salahnya
melakukan hal ini, terkecuali jika komunikator menjadikan pengalaman sebagai rujukan
tersebut tidak dengan sikap prasangka, maksudnya memproyeksikan pengalaman hidup
terdahulu untuk menjadikan solusi untuk permasalahan komunikan, karena pengalaman
hidup yang dialami komunikator terdahulu tidak akan sama persis dengan yang dialami
komunikan.
5) Mendominasi pembicaraan
Mendominasi pembicaraan, hal ini sering terjadi. Seorang komunikator merasa
pendapatnya paling benar sehingga tidak memberikan kesempatan komunikan untuk
berbicara. Bahkan lebih jauh komunikator selalu memotong pembicaraan, padahal pesan
yang disampaikan komunikan belum disampaikan secara utuh, sehingga sering terjadi
kesalahpahaman. Ketika Berkomunikasi dengan seseorang hindarilah sikap mendominasi
pembicaraan agar bisa saling memberikan komentar. Namun jika komunikator melihat hal
ini terjadi, cobalah meminta komunikator untuk bersi keras memberikan komentar, agar
komunikasi yang dijalin dapat berimbang. (Damaiyanti, 2010)
Teori Interaksi Simbolik
Esensi dari interaksi simbolik menekankan pada suatu aktivitas yang merupakan
ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana,
2010: 68). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu
sebagai manusia merupakan hal yang paling penting. Mereka mengatakan bahwa individu
adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan
individu yang lain. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) interaksi
simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan
bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide
dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri
(Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan akhir untuk memediasi,
serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut
menetap. Mind, Self and Society merupakan judul buku yang menjadi rujukan utama teori
interaksi simbolik, merefleksikan tiga konsep utama dari teori.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, yaitu:
1. Pikiran (Mind)
Pikiran adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial
yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui
interaksi dengan individu lain (West dan Turner, 2007: 102).
Simbol yang bermakna adalah tindakan verbal berupa bahasa yang merupakan
mekanisme utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh
manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind)
yang memungkinkannya menginternalisasi masyarakat. Jadi menurut Mead, pikiran
mensyaratkan adanya masyarakat; dengan kata lain masyarakat harus lebih dulu ada
sebelum adanya pikiran (Mulyana, 2010: 84).
Dengan demikian pikiran adalah bagian integral dari dari proses sosial, bukan
sebaliknya proses sosial adalah produk pikiran. Menurut Mead, lewat berfikir yang
terutama ditandai degan kesadaran,manusia mampu mencegah tindakannya sendiri
untuk sementara, menunda reaksinya terhadap suatu stimulus (Mulyana, 2010: 86).
Manusia juga mampu mengambil suatu stimulus diantara sekian banyak stimulus alih-
alih bereaksi terhadap stimulus yang pertama dan yang paling kuat. Manusia pun
mampu pula memilih suatu tindakan di antara berbagai tindakan yang direncanakan
atau dibayangkan.
2. Diri (Self)
Diri adalah kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri dari sudut pandang atau
pendapat orang lain. Disini diri tidak dapat dilihat dari dalam diri seseorang melalui
introspeksi diri. Bagi Mead, diri hanya bisa berkembang melalui kemampuan
pengambilan peran, yaitu membayangkan diri dari pandangan orang lain (West dan
Turner, 2007 : 103).
Konsep melihat diri dari pandangan orang lain sebenarnya sebuah konsep yang pernah
disampaikan oleh Charles Cooley pada 1912. Konsepnya adalah the looking glass self
yaitu kemampuan melihat diri melalui pantulan dari pandangan orang lain. Cooley
meyakini bahwa ada tida prinsip perkembangan sehubungan dengan the looking glass
self, yaitu (1) membayangkan penampilan kita di hadapan orang lain, (2)
membayangkan penilaian mereka terhadap penampilan kita, dan (3) merasa sakit hati
atau bangga karena perasaan diri.
3. Masyarakat (Society)
adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh
tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku
yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. Oleh karena itu masyarakat
terdiri dari individu-individu yang terbagi kedalam dua bagian masyarakat yang
mempengaruhi pikiran dan diri. Masyarakat yang pertama disebut Mead sebagai
particular others yang berisikan individu yang bermakna bagi individu yang
bersangkutan seperti anggota keluarga, teman dan rekan kerja, sedangkan masyarakat
yang kedua adalah generalized others yang merujuk pada kelompok sosial dan
budayanya secara keseluruhan. Generalized others menyediakan informasi tentang
peranan, peraturan dan sikap yang digunakan bersama oleh komunitas, sedangkan
particular others memberikan perasaan diterima dalam masyarakat dan penerimaan diri.
Generalized others seringkali membantu mengatasi konflik yang terjadi dalam
particular others. Dari pemaparan tentang latar belakang pemikiran besar tentang
manusia yang mempengaruhi pemikirannya.
METODE PENELITIAN
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, ada beberapa temuan di
lapangan berkaitan dengan topik penelitian peneliti, yakni hambatan komuikasi terapeutik
bidan kepada ibu hamil dalam upaya penurunan AKI di kabupaten Serang. Hasil penelitian
yang dilakukan menunjukkan bahwa proses komunikasi terapeutik yang dilakukan bidan
kepada ibu hamil pada hakikatnya adalah proses penyampaian lambang yang berarti oleh
bidan kepada ibu hamil, baik dengan maksud agar mengerti maupun agar berubah
perilakunya. Terlihat bahwa dalam komunikasi terdapat tiga unsur penting, yaitu :
komunikator, pesan, dan komunikan.
Komunikator adalah sumber yang memiliki ide atau gagasan mengenai sesuatu yang
akan disampaikan kepada komunikan. Pesan adalah gagasan yang berupa lambang-lambang
yang berarti dan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan, sedangkan komunikan
adalah orang atau badan yang menerima pesan. Kegiatan komunikasi tidak akan berjalan
secara efektif apabila tidak didukung dengan ketiga faktor tersebut yaitu komunikator, pesan,
dan komunikan.
Dengan demikian, agar komunikasi berlangsung secara efektif maka kita harus
memerhatikan faktor-faktor tersebut, yaitu komunikator, pesan, dan komunikan. Faktor lain
yang penting dalam suatu proses komunikasi adalah umpan balik atau efek. Umpan balik
memegang peranan penting dalam komunikasi sebab ia menentukan berlanjutnya komunikasi
atau berhentinya komunikasi yang dilancarkan oleh komunikator . Dengan kata lain, umpan
balik menentukan sukses atau tidaknya sebuah proses komunikasi dilangsungkan.
1. Bidan sebagai Komunikator
Kredibilitas merupakan salah satu faktor dari komunikator yang mempunyai peranan
penting agar pesan yang dikomunikasikan dapat berjalan lancar dan dapat diterima atau
dipahami komunikan. Menurut Jalaludin Rakhmat (2008:257), dalam bukunya psikologi
komunikasi, kredibilitas adalah, “seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh
komunikator. Dalam penelitian peneliti, kredibilitas bidan tentu menjadi point penting
yang menunjang keberhasilan proses komunikasi terapeutik.
2. Sosialisasi sebagai Pesan
Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator
Effendy, 1998). Dalam menyampaikan pesan secara lisan, faktor pemilihan kata-
katamerupakan (hal yang sangat penting agar sasaran yang dituju mengerti dengan maksud
yang disampaikan. Dalam penelitian ini, bidan menyampaikan sosialisasi kepada para
pasien yang berkaitan dengan upaya penurunan AKI di kabupaten Serang.
3. Pasien Ibu Hamil sebagai
Komunikan Pasien yang menjadi komunikan dalam hal ini bisa siapa saja, tetapi untuk
kasus AKI biasanya diberikan pesan secara spesifik kepada para ibu hamil. Umpan balik
dari komunikan bisa bersifat verbal dalam bentuk, seperti “ya” untuk tanda setuju atau
“tidak” untuk tanda menolak, bisa juga bersifat non verbal dalam bentuk gerakan anggota
kepala tanda tidak mau, mengerutkan kening tanda tidak mengerti, mencibirkan bibir
tanda mengejek, dan lain-lain. (Effendy, 1994).
Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan kepada Ibu Hamil dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Peneliti melakukan observasi partisipan untuk
mengetahui lebih jelas tentang proses komunikasi terapeutik yang telah dilakukan kepada
pasien. Hal ini ditujukan agar peneliti dapat memahami hambatan apa saja yang
menyebabkan AKI ini masih tinggi, khususnya di kabupaten Serang. Melalui observasi
partisipan, peneliti dapat mengamati langsung proses komunikasi terapeutik yang
dilakukan, termasuk feedback yang diberikan oleh pasien. Maka, dari situlah, peneliti
menemukan hambatan-hambatan komunikasi terapeutik bidan kepada ibu hamil, yang
menyebabkan AKI nya pun masih tetap tinggi. Selain itu, peneliti pun melakukan proses
wawancara dengan beberapa informan, yaitu kepada Bidan sebagai komunikator, dan para
pasien sebagai komunikan, yang dalam hal ini berperan sebagai komponen komunikasi
terapeutik. Bidan Koordinator, Rina, yang menangani beberapa kasus kesehatan di
puskesmas Tunjung Teja ini, mengatakan bahwa: “Betul, ada beberapa kasus kesehatan
yang datanya itu tinggi sekali di puskesmas ini. Salah satunya, ya Angka Kematian Ibu
(AKI), yang gak ada ujungnya. Hampir setiap tahun AKI ini menunjukkan jumlah yang
tinggi.
Kami sebagai tenaga medis di sini tentunya makin prihatin dengan kondisi ini.
Padahal berbagai upaya telah kami lakukan, ada bidan desa, yang pastinya turun langsung
ke desa-desa, penyuluhan yang rutin juga kami agendakan supaya para pasien semakin
mengerti dengan kondisi AKI yang memprihatinkan ini. Malahan, saya sendiri aktif untuk
berkomunikasi langsung dengan para ibu itu, jadi dibuatlah kaderisasi ibu-ibu, supaya saya
mudah untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada mereka.” Pernyataan tersebut
telah menunjukkan bahwa pihak dinas kesehatan di kabupaten Serang, khususnya dalam
penelitian ini adalah puskesmas Tunjung Teja, telah melakukan berbagai upaya guna
menunjang terealisasinya penurunan AKI di kabupaten Serang. Peneliti pun mengamati
langsung bagaimana Koordinator Bidan tersebut melakukan proses komunikasi terapeutik
kepada para pasiennya. Beliau sangat gesit dan informatif dalam menyampaikan pesan-
pesan penting yang semestinya diketahui oleh para pasien. Proses komunikasi yang
tampak pun berjalan lancar. Begitupun halnya ketika peneliti melakukan wawancara
kepada Neneng, sebagai bidan desa. Mereka memberikan penuturan yang serupa, bahwa
mereka merasa telah melakukan berbagai upaya kepada para pasien, khususnya di sini,
adalah ibu hamil, agar semakin mengerti dan berupaya mendukung program pemerintah
kabupaten Serang untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI). Peneliti pun melakukan
wawancara dengan beberapa pasien untuk mendapatkan data yang akurat tentang
hambatan komunikasi terapeutik ini. Adapun hasil penelitian yang ditemukan peneliti
tentang hambatan komunikasi terapeutik ini, digolongkan dalam beberapa hal di bawah
ini:
1. Hambatan Semantik (Bahasa).
Seorang pasien bernama Sumiati, berusia 45 tahun, telah memiliki 4 orang anak,
menyampaikan penuturannya kepada peneliti ketika ditanyakan tentang proses komunikasi
terapeutik yang dilakukan bidan : “Iya bu, saya suka dikasih tau soal Angka Kematian Ibu
(AKI). Ngeri yah, tapi gimana ya, kadang saya juga ya gitu bu, ngerti gak ngerti gitu,
hehe... Jadi saya kalo dibilangin tuh, iya iya aja gitu bu. Terus kalo ngobrol sama tetangga,
saudara juga, kita ngobrolin yang umum aja gitu bu, gak pernah ngobrolin ya soal apa itu,
Angka Kematian Ibu ya. Saya gak ngerti juga bu dari bahasa-bahasanya kadang istilahnya
gak ngeuh gitu bu, hehe..”Pasien selanjutnya, bernama Isti, berusia 28 tahun, sudah
memiliki 2 orang anak, juga memiliki pendapat yang hampir sama dengan informan
sebelumnya: “Iya suka ada penyuluhan di puskesmas Tunjung Teja ini, saya suka disuruh
ikut sama bidan desanya, malahan suka ditelponin sama bidan koordinatornya, bu Rina itu
baik banget bu, perhatian gitu sama warga di desa sini tuh. Terus suka ngasih informasi
macem-macem bu, gak cuma soal apa tuh, Angka Kematian Ibu yah, tapi soal gizi buruk
juga buat anak sama ibu hamilnya. Tapi ya gimana bu, saya kadang gak ngerti juga, terus
kalo udah di rumah ya jadi lupa lagi gitu bu, hehe... Apalagi kalo udah kerja, kan saya
suka ikut ke sawah gitu bu, seharian, ya pulang-pulang pas udah sore aja, makan ya
seingetnya aja gitu bu, anak juga kalo saya ke sawah, ga makan juga kayaknya,
hehe...Tapi gimana lagi bu, kan hidup juga perlu uang ya bu..” Hasil wawancara yang
dilakukan peneliti dari informan ini menunjukkan adanya hambatan yang pertama, dalam
proses komunikasi terapeutik bidan kepada pasiennya, yakni hambatan semantik atau
bahasa. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan di atas bahwa hambatan
semantik adalah hambatan yang berasal dari keterbatasan simbol-simbol itu sendiri. Ada
beberapa karakteristik dari bahasa yang menyebabkan proses decording dalam bahasa
semakin sulit antara lain :
a. Bahasa itu statis sedangkan realitasnya dinamis
b. Bahasaituterbatas sedangkan realitasnya tidak terbata
c. Bahasa itu bersifat abstrak.
Hal ini terbukti dengan hasil wawancara yang dilakukan kepada para pasien yang
berperan sebagai komunikan dalam proses komunikasi terapeutik ini. Jadi, hambatan yang
pertama adalah bahasa, bahwa ketika para bidan atau tenaga medis lainnya telah
menyampaikan berbagai macam informasi pesan yang sangat penting, dalam berbagai
macam bentuk, termasuk dengan menggunakan media, seperti spanduk, brosur, pamflet,
dan lain-lain, ternyata bahasa yang diterima oleh para pasien dianggap sebagai bahasa
yang sulit untuk dimengerti. Meskipun, bidan koordinator, telah melakukan pendekatan
psikologis, sampai membentuk kaderisasi ibu-ibu untuk memudahkan koordinasi dalam
penyampaian informasi. Ketika peneliti melanjutkan wawancara kepada para pasien
tentang informasi pesan yang disampaikan melalui media, Sumiati menjawab sebagai
berikut: “Aduh, saya ga tau, gak pernah merhatiin juga, hehe... gak pernah ngeuh gitu bu
kalo ada spanduk, ada poster, sama yang lain. Iya kalo ada juga banyak dipasang di sini,
tapi saya nya ga baca aja mungkin ya, hehe..” Berdasarkan wawancara tersebut, jadi
ditemukanlah hambatan yang pertama dalam komunikasi terapeutik bidan kepada
pasiennya ini adalah hambatan semantik (bahasa).
2. Hambatan Budaya
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan hambatan yang
kedua dalam proses komunikasi terapeutik ini, yaitu hambatan budaya. Hambatan budaya
ini menjadi hal yang sangat penting. Satu pantangan bagi sang komunikator untuk
beranggapan, bahwa komunikan tumbuh dengan filosofi, gaya hidup, adat istiadat yang
sama. Maka kita tidak boleh "menyamaratakan" penggunaan teknik berkomunikasi kepada
setiap komunikan. Hal ini bisa saja terjadi karena budaya yang berbeda yang dimiliki oleh
sang komunikan. Dalam penelitian peneliti, komunikan di sini adalah para pasien atau ibu
hamil tersebut. Peneliti melihat adanya hambatan budaya dalam proses komunikasi
terapeutik ini karena pernyataan informan, Isti, yang memberikan penuturan sebagai
berikut: “Kalau soal informasi yang umum tadi itu ya udah dikasih tau sama bidan-
bidannya bu, termasuk bidan koordinator, bu Rina yang paling gesit ngasih kabar gitu.
Tapi saya kalo ga ngerti ya gimana juga bu, apalagi saya sekolah kan sampai SD aja bu,
jadi ya ga begitu paham juga. Kalo saya sih ngertinya, ya ngikutin kata orangtua di desa-
desa aja, kan kalo udah takdirnya meninggal, ya gimana ya bu, kan katanya udah ada
Allah yang ngatur soal hidup dan mati ya. Kalo saya ngobrol sama ibu-ibu yang lain juga
ya gitu sama bu, iya udah takdirnya aja sih. Jadi, kadang ga ngerti juga kalo udah dikasih
tau soal Angka Kematian Ibu yang tinggi, ya gimana lagi.” Berdasarkan pernyataan di
atas, peneliti menemukan adanya hambatan budaya yang menjadi hambatan juga dalam
proses komunikasi terapeutik yang dilakukan bidan kepada pasiennya, khususnya dalam
upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Peneliti melihat adanya budaya, tradisi, dan
kepercayaan yang mereka pegang kuat jikalau itu berasal dari orangtua, leluhur, atau
nenek moyangnya. Mereka lebih mempercayai itu dibandingkan dengan fakta yang
ditunjukkan oleh para tenaga medis yang ada, seperti bidan, perawat, dokter, dan lain-lain.
Budaya memegang perana penting dalam keberhasilan proses komunikasi terapeutik.
Apalagi jika telah berhubungan dengan kepercayaan yang menyebar secara turun temurun,
adat istiadat dan budaya lah yang akan berhasil dalam proses penyampaian pesan.
3. Hambatan Psikologis
Selain kedua hambatan di atas, peneliti juga menemukan adanya hambatan
psikologis yang menjadi gangguan / noise dalam proses komunikasi terapeutik yang
dilakukan bidan kepada pasiennya. Hambatan Pribadi (Psikologis) adalah gangguan
komunikasi yang timbul dari emisi, nilai, dan kebiasaan menyimak yang tidak baik.
Hambatan pribadi seringkali mencakup jarak psikologi di antaranya orang-orang yang
serupa dengan jarak fisik sesungguhnya. (Arni Muhammad: 2009). Berdasarkan definisi di
atas, hambatan psikologis juga terjadi dalam proses komunikasi terapeutik ini. Peneliti
melihat adanya hambatan psikologis, karena ada emisi, nilai, dan kebiasaan menyimak
yang tidak baik, yang ada dalam diri para pasien sebagai komunikan. Hal ini tercermin
dalam penuturan informan, Sumiati, yang bercerita tentang dirinya: “Hehe..iya bu jadi
kalo pas bidan lagi menyampaikan informasi tuh yah, ya soal AKI ini, gizi buruk, atausoal
kasus yang lain, pas lagi itu aja saya iya iya gitu, padahal kadang saya ga menyimak juga
bu. Kan kalo kurang tidur misalnya bu, saya jadi ngantuk bu, belum lagi kalo banyak
pikiran ya bu, aduh apalagi kalo gak punya uang, haha.. Jadi, saya kadang ngedengerin
bener tapi jadi lupa lagi, tapi kadang gak merhatiin juga gitu bu. Abis gimana lagi ya bu,
saya juga bingung, hehe..” Peneliti menemukan adanya hambatan psikologis yang
dirasakan para pasien, sebagai komunikan dalam proses komunikasi terapeutik yang
dilakukan bidan kepada pasiennya. Hambatan psikologis ini tampak sepele, tapi bisa
menjadi gangguan yang utama, apalagi jika sesuai dengan yang disampaikan oleh
penuturan informan, karena ini sangat erat dengan diri seseorang. Mulai dari tingkat
kognisi, pemahaman, dan perilaku individu, dalam hal ini adalah para pasien, tentu akan
memicu timbulnya hambatan psikologis. Analisis Teori Interaksi Simbolik George Herbert
Mead menjelaskan konsep dasar dari interaksi simbolik, yang dapat disimpukan bahwa
terdapat tiga tema konsep interaksi simbolik, yaitu :
a) Pentingnya makna bagi perilaku manusia, dalam penelitian peneliti, pentingnya makna
penurunan AKI yang harus disepakati oleh bidan dan pasien.
b) Pentingnya konsep mengenai diri, dalam penelitian peneliti, pentingnya konsep diri setiap
pasien dalam memahami pesan yang disampaikan oleh bidan.
c) Hubungan antara individu dengan masyarakat, dalam penelitian ini, terlihat adanya
hubungan antara pasien dengan lingkungan masyarakatnya, yang akan mempengaruhi
keberhasilan proses komunikasi terapeutik yang dilakukan bidan dalam upaya penurunan
AKI di kabupaten Serang.
Aktivitas individu dalam menggunakan simbol atau bahasa dilakukannya melalui
interaksi dengan masyarakat. Hasil aktivitas individu ini akan berpengaruh pada
masyarakat tempat individu tersebut berinteraksi. Hubungan antara masyarakat dan
individu yang berinterkasi menggunakan simbol-simbol yang sama, akan mereka maknai
sesuai dengan interaksi mereka tersebut. Interaksi menggunakan simbol yang sama dalam
suatu masyarakat ini dapat membentuk konstruksi realitas sosial bagi individu yang
terlibat di dalamnya. Simbolisme suatu makna bukan hanya bahasa, simbolisme adalah
semua aspek tindakan manusia. Hal ini bukanlah ide baru, tetapi bahasa telah sangat
diistimewakan dalam karya-karya para ahli interaksi simbolik. Interaksi simbolik
memungkinkan manusia untuk memahami realitas dan berinteraksi dengan manusia lain
dalam suatu proses komunikasi, dalam arti pesan yang dimaknai dan ditransformasikan
pada pihak lain pada akhirnya dapat mempengaruhi pihak kedua dalam suatu proses
komunikasi yang timbal balik.
Hal ini relevan dengan penelitian peneliti, para informan, dalam hal ini adalah para
pasien yang mengalami transformasi pesan, di mana pesan yang dimaknai dan
ditransformasikan pada para anggotanya dapat mempengaruhi proses komunikasi yang terjadi
di antara mereka. Meskipun sedikit demi sedikit, informasi yang disampaikan oleh bidan lalu
diserap oleh para pasien, hal ini dapat membantu proses keberhasilan komunikasi terapeutik
yang dilakukan bidan. Adanya hambatan bahasa, hambatan budaya, dan hambatan psikologis
yang terjadi selama proses komunikasi terapeutik ini, tentu memungkinkan para pasien untuk
memahami realitas dan berinteraksi dengan bidan dalam proses transformasi pesan, seperti
yang diungkapkan George Herbert Mead melalui teori interaksi simbolik ini.
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti
menyimpulkan adanya hambata komunikasi terapeutik bidan kepada ibu hamil dalam upaya
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di kabupaten Serang, sebagai berikut:
1. Hambatan Semantik (Bahasa)
Hambatan yang pertama adalah bahasa, bahwa ketika para bidan atau tenaga medis
lainnya telah menyampaikan berbagai macam informasi pesan yang sangat penting, dalam
berbagai macam bentuk, termasuk dengan menggunakan media, seperti spanduk, brosur,
pamflet, dan lain-lain, ternyata bahasa yang diterima oleh para pasien dianggap sebagai
bahasa yang sulit untuk dimengerti. Meskipun, bidan koordinator, telah melakukan
pendekatan psikologis, sampai membentuk kaderisasi ibu-ibu untuk memudahkan koordinasi
dalam penyampaian informasi.
2. Hambatan Budaya
Peneliti melihat adanya budaya, tradisi, dan kepercayaan yang mereka pegang kuat
jikalau itu berasal dari orangtua, leluhur, atau nenek moyangnya. Mereka lebih mempercayai
itu dibandingkan dengan fakta yang ditunjukkan oleh para tenaga medis yang ada, seperti
bidan,perawat, dokter, dan lain-lain.
3. Hambatan Psikologis
Hambatan psikologis ini tampak sepele, tapi bisa menjadi gangguan yang utama,
apalagi jika sesuai dengan yang disampaikan oleh penuturan informan, karena ini sangat erat
dengan diri seseorang. Mulai dari tingkat kognisi, pemahaman, dan perilaku individu, dalam
hal ini adalah para pasien, tentu akan memicu timbulnya hambatan psikologis.
Saran
saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan
tentang hambatan komunikasi terapeutik bidan kepada ibu hamil dalam upaya penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI) di kabupaten Serang. Dalam upaya mencapai keberhasilan
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), sebaiknya pihak tenaga medis, dalam hal ini bidan
maupun tenaga medis lainnya, tetap semangat dan saling bekerjasama untuk memerhatikan
setiap hambatan komunikasi yang menjadi gangguan dalam proses komunikasi terapeutik
tersebut.
Hal ini mengingat, bukanlah hal yang mudah untuk mengatasi setiap hambatan
komunikasi yang ada, tetapi sebagai komunikator, dituntut untuk selalu aktif agar tujuan
pesannya tersebut dapat tercapai. Setelah ditemukannya hambatan dalam proses komunikasi
terapeutik ini, alangkah baiknya jika dilakukan evaluasi dalam menyusun rencana atau
program baru yang lebih variatif agar pasien semakin paham dengan konsep pentingnya
penurunan AKI tersebut.
REFERENSI
Sajjad Ahmed Siddiqui Aim: Genital Tract Fistula Is A Known Tragedy In Pakistan.
We Know The Causes Of This Tragedy And We Also Know The Methods To Eradicate This
Curse From The Community. Despite The Initiative From Unfpa, Islamic Development Bank
And Other Concerned Stake Holders The Government Of Pakistan Has Failed To Address
The Issue And An Organized System Is Not Developed To Reduced Maternal Death Rate
And ... [Show Full Abstract]
Read More Article Kepatuhan Bidan Desa Terhadap Standart Pelayanan Antenatal Di
Jawa Timur (Antenatal Care Services St... August 2017 · Jurnal Ners
Recruit Researchers, Join For Free Company About Us News Careers Support Help
Center Business Solutions Advertising Recruiting © 2008-2022 Researchgate Gmbh. All
Rights Reserved.
https://www.researchgate.net/publication/
330929576_HAMBATAN_KOMUNIKASI_TERAPEUTIK_BIDAN_KEPADA_IBU_HAM
IL_DALAM_UPAYA_PENURUNAN_ANGKA_KEMATIAN_IBU_AKI_DI_SERANG_ST
UDI_DESKRIPTIF_KUALITATIF_TENTANG_HAMBATAN_KOMUNIKASI_TERAPEU
TIK_BIDAN_KEPADA_IBU_HAMIL_D
2.5 Kasus Komunikasi Yang Saya Alami Sebagai Bidan Desa Embacang Gedang
(Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di desa Embacang Gedang Kecamatan
Tanah Sepenggl Lintas Tahun 2022
Bismillahhirrohmanirrohim
Nama saya Bidan Radhia Mifa, Amd. Keb usia 32 Tahun. Berprofesi sebagai
bidan merupakan Pilihan hidup saya. Saya begitu bangga dengan profesi ini. Sebab,
itulah yang menjadi andalan hidup setelah melewati proses pendididkan kebidanan
yang butuh perjuangan. September 2011 saya menamatkan pendidikan D3 Kebidanan
di Akademi Kebidanan Imam Bonjol Padang Panjang. Tahun saat mulai
diberlakukannya surat tanda registrasi jika ingin bekerja menjadi Bidan PTT.
Akhirnya saya memutuskan 1 Tahun untuk bekerja diBPS sambil menunggu STR
keluar. Tahun 2012 STR saya keluar. Kala itu saya mendaftar menjadi Bidan Honorer
di Dinas Kesehatan Kabupaten Bungo. Alhamdulillah lulus. Saya di tempatkan di
Puskesmas Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Pertama
bekerja di bulan September 2012 saya berdinas di Puskesmas, beberapa bulan
kemudian di tempatkan di UGD. Januari 2013 saya dinas di ruangan Persalinan
Puskesmas. Pada 28 Agustus Tahun 2013 saya dipindah tugaskan menjadi Bidan Desa
Embacang Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, mengisi kekurangan Tenaga
Kesehatan Bidan Desa di Desa tersebut.
Berbekal Ilmu pengetahuan yang saya dapatkan dibangku perkuliahan,
pengalaman kerja diBPS, Puskesmas, UGD dan ruangan persalinan saya memulai
tugas baru menjadi Bidan Desa Embacang Gedang. Saya yang merupakan warga
pendatang awalnya merasa berat menjalani tugas ini. Karena agak sulit berintekrasi
dengan masyarakat sekitar, mereka keras dan jarang mau diberi pendapat. Banyak
kasus pernikahan dini, hamil di usia kurang 20 tahun. Persalinan saat itu ditolong oleh
Mak Dukun beranak. Mayoritas penduduk desa itu adalah pribumi. Sementara saya
asli Minang. Bahasa yang berbeda, kebiasaan, adat istiadat dan cara Mak dukun
beranak dalam membantu persalinan saat itupun berbeda dengan Teori pembelajaran
Asuhan Persalinan Normal yang saya pelajari di Akademi Kebidanan. Pantangan
makanan yang tidak boleh untuk ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, bayi dan balita pun
masih sangat banyak. Sementara sebenarnya ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, bayi
dan balita membutuhkan banyak gizi. Persentase IMD dan Asi Eksklusif pun masih
sangat rendah.
Bulan pertama menjadi bidan desa saya mulai melakukan pendekatan kepada
Mak dukun, agar mau melakukan kerja sama saat menolong persalinan. mengaktifkan
posyandu, mengangkat mak dukun dan beberapa warga menjadi kader diposyandu
dan kader untuk beberapa program kesehatan. Bekerja sama dengan Tuk rio,
perangkat desa, untuk membantu saya merubah persepsi dan kebiasaan masyarakat
tentang kesehatan kearah yang sebenarnya. Bermodalkan keberanian, tahan banting
dan skill kebidanan saya menjalankan tugas untuk terampil serta bisa mengambil
keputusan dengan cepat dan tepat, terutama saat ada kasus gawat darurat. Memeriksa
ibu hamil, membantu kelahiran, mengontrol pasca melahirkan, pelayanan KB,
Imunisasi, pelayanan kesehatan kepada bayi, balita, apras, usia sekolah, remaja, catin,
menopause dan lansia merupakan pekerjaan saya sehari-hari sebagai bidan desa.
Semua saya kerjakan berdasarkan ilmu yang didapat dibangku kuliah dan
pengalaman kerja. Menjadi bidan desa menuntut saya harus bisa melakukan semua
pelayanan kesehatan termasuk pengobatan. Baik kepada wanita sepanjang daur
kehidupan yang menjadi sasaran utama pekerjaan saya maupun pengobatan penyakit
umum pada masyarakat. Lucunya saya juga harus mampu mengobati hewan ternak
warga yang sakit. Sementara ilmu meresep obat sedikit saya dapatkan dijenjang
pendidikan D3 Kebidanan. Untuk meresep obat saya banyak belajar dari BPS,
Puskesmas, UGD, dan ruang persalinan secara ilmu turun temurun dari Bidan senior.
01 September 2013 saya mulai bertugas menajadi Bidan Desa Embacang
Gedang. Saat ini lah dimulai kasus komunikasi berat yang saya alami dengan warga
dusun Embacang Gedang. Sementara tugas saya menjadi seorang bidan menjadi ujung
tombak kesehatan dalam melayani masyarakat. Puskesmas jauh jaraknya 8 kilo meter
dari tempat tugas saya yang baru. Namun hal itu tak membuat saya patah semangat
dalam memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat desa Embacang Gedang. Bidan
dimasyarakat dituntut untuk profesional dan mampu memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan tergantung dari kompetensi
bidan, ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung, kondisi lingkungan kerja
yang kondusif serta standar mutu pelayanan kesehatan lainnya dalam hal ini
pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) dan Angka kematian Bayi (AKB) di Desa
Embacang Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas Kabupaten Bungo awal mula
yang saya rasakan saat pertama kali bertugas. Saat saya memulai tugas dengan
melakukan pendataan ibu hamil bersama mak dukun dan kader penolakan terhadap
saya dimulai. Saya memberikan buku KIA, memasang stiker P4k, pemberian tablet
Fe, memberikan promosi kesehatan ibu dan anak, pemeriksaan ibu dan janin,
meyarankan persalinan difaskes. Banyak dari ibu hamil yang seakan menganggap
tindakan saya konyol. Katanya “Dak iluk kalu orang tau kito hamil pamali, makanan
yang kami makan suailah dengan makanan yang dimakan ninek kami buko, dak perlu
diperikso, cukup diurut, jadilah beranak diumah samo dukun beranak mintak aek
selusuh pak imam, uweh-uweh daun jadilah payah gi munum ubat”, begitulah
beberapa kalimat yang saya dengar dari warga.
Saat pertama menolong persalinan Oktober 2013 di Desa Embacang Gedang
keluarga pasien menjemput saya kerumah tengah malam. Katanya disuruh mak
dukun. Alhamdlillah saya sudah berhasil saat pertama masuk desa melakukan
pendekatan dengan mak dukun dan melakukan kolaborasi menolong persalinan.
Bermodalkan Bidan kid saya meluncur dengan sepeda motor suami pasien kerumah
ibu bersalin. Saya kaget bukan main. Ibu bersalin baring dikasur tanpa alas didapur.
Dengan lampu togok dan senter hp saya dan mak dukun menolong persalinan. Mak
dukun melakukan Pd tanpa hand scoon. Ibu bersalin disuruh minum kopi telur,
minum air putih selusuh dan makan nasi putih dicampur air the. Katanya itu tradisi.
Saat bayi mau lahir mak dukun menekan perut ibu. Setelah bersalin bayi langsung
dimandikan, dikasi bedak, ibu tak boleh makan selain nasi putih dan sayur jantung
pisang dicampur ikan tri rebus. bayi lahir langsung dikasi madu. Semua bertentangan
dengan ilmu kebidanan yang saya pelajari. Saya mencoba menjelaskan perlahan tapi
mendapat penolakan.
Tidak samapai disana saja. Saya masih mengalami kesulitan saat mengajak ibu
hamil, bayi dan balita keposyandu. Saya memulai komunikasi dengan bantuan kader
untuk melakukan posyandu dari rumah kerumah warga. Turun kunjungan rumah lagi
untuk menjelaskan kepada pasien yang terdiagnosa TBC, gangguan jiwa bersama
warga. Ini sangat berat. Lgi-lagi saya diusir, dibentak, ada yang sampai memusuhi
saya kaena mengatakan dia sakit padahal dia orang mampu secara ekonomi.
Baru-baru ini saya juga kesulitan mengajak warga Isolasi mandiri bagi yang
terpapar covid-19 dan untuk vaksin covid-19. Karna tidak ada warga yg mau datang
saya pun bersama petugas vaksinator kerumah warga melakukan vaksinasi. Diawal
awal bukannya berhasil malah ssat melihat kami warga menutup pintu, ada yang
marah-marah bahkan mengusir. Warga tidak mau untuk sweb dan melakukan isolasi
mandiri.
Saya mencoba sebagai bidan yang memiliki keterampilan komunikasi
terapeutik yang baik, menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan kebidanan, dan meningkatkan citra profesi
kebidanan. Namun yang terpenting adalah mengamalkan ilmunya untuk menolong
terhadap sesama manusia. Dengan komunikasi terapeutik saya berharap untuk
mengurangi beban perasaan dan rasa takut yang ada pada pasien, mengurangi
keraguan pasien serta dapat mempengaruhi orang lain dan lingkungan. Pentingnya
komunikasi terapeutik dalam membantu menurunkan rasa sakit dan takut dalam
proses persalinan menurut saya sangat diperlukan. Oleh karena itu, saya dalam
persalinan harus bisa membuat pasien lebih percaya diri karena bila pasien itu grogi
atau gugup dalam persalinanannya baik secara fisik maupun mental belum siap maka
timbul rasa ketakutan sehingga rasa sakit dan takut itu akan bertambah, maka dengan
komunikasi terapeutik inilah dapat mengatasi masalah pasien tersebut.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang saya rencanakan secara sadar,
bertujuan dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik termasuk
komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar bidan
dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi ini membuat rasa adanya saling
membutuhan antara bidan dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam
komunikasi pribadi di antara bidan dan pasien, bidan membantu dan pasien menerima
bantuan. Inilah yang selalu saya terapkan untuk mengatasi masalah komunikasi saya
dengan warga Desa.
Berlahan seiring waktu saya mencoba merubah semua itu. Dengan terus
pendekatan dengan mak dukun, ibu hamil sudah bisa saya bawa bersalin dirumah
saya, dan sekarang semua ibu hamil sudah saya arahkan melahirkan bersama saya
difaskes. Posyandu sudah aktif tiap bulan dengan sasaran yang datang lebih dari 50%.
PTM, KLS ibu hamil, KLS Balita, Pertemuan Remaja, Posyandu lansia juga sudah
bisa saya ajak warga untuk ikut serta nsetiap bulan. Stanting pun juga sudah tidak ada
didesa saya bekerja. Vaksin covid berjalan lancar, 85% warga sudah mendapatkan
sampai dosis ke-2. Warga yang terpapar covid sudah mau isolasi mandiri berkat kerja
sama kami nakes puskesmas taseplin dengan pak camat, tuk rio, pemuka adat,
kepolisian, dan babinsa. Warga Desa Embacang Gedan sekarang sudah paham akan
kesehatan selalu memeriksakan diri ketenaga kesehatan.
Tanggal 2-3 Oktober 2021 saya memutuskan mengikuti pelatihan Midwifery
Update di Jambi. Ternyata saya merasa jauh tertinggal. Ilmu Kebidanan berkembang
begitu pesat dalam kurun waktu 10 Tahun setelah saya tamat D3 kebidanan. Saya
merasa bersalah jika saya tetap mempertahankan ilmu lama dalam memberi asuhan
kebidanan. Saya tidak mau tertinggal dan berusaha untuk dapat menjalani profesi
sesuai apa yang seharusnya dilakukan. Saya niatkan dalam hati saya harus menjadi
bidan yang Update.
Tahun 2022 saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Sarjana
Kebidanan di Institut Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi. Saya ingin mengupdate
ilmu karna S1 kebidanan banyak mengajarkan teori agar bidan bisa profesionalisme
dalam praktek. Sejalan dengan Perkuliahan S1 kebidanan yang saat ini saya jalani dan
tetap menjalani tugas sebagai Bidan Desa membuat saya berlahan menjadi bidan yang
multitalenta, mampu berkomunikasi efektif dalam praktek kebidanan. Dalam meresep
obat pun saya merasa lebih percaya diri dengan ilmu farmakologi klinis bagi bidan
yang saya dapatkan. Saya bisa lebih memahami biologi reproduksi, genetika,
embriologi, endokrionologi, fisiologi kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir,
askeb remaja, perimenoupose, askep pranikah, dan prakonsepsi. Karena saya merasa
bidan pekerjaan yang mulia, seorang bidan bertugas membantu kehadiran manusia
baru kedunia ini. Saya bercita-cita nanti setelah tamat S1 kebidanan ingin lanjut
profesi. Agar saya bisa memberikan pelayanan kesehatan yang lebih optimal kepada
pasien, Dengan bermodal ilmu evidencebased dan menjadi bidan yang mampu
memanfaatkan kecanggihan ilmu teknologi berlandaskan pendidikan budaya anti
korupsi.
Sekarang seiring berjalannya Perkulihan Sarjana kebidanan saya bercita-cita
setelah nanti menamatkan profesi ingin menjadi Dosen, melanjutkan pendidikan S2,
membuka Klinik dan predikat bidan delima, bisa bekerja sama dengan dokter praktek
untuk mendampingi, dan dapat membuka lowongan pekerjaan juga buat tamatan
sekolah kesehatan nantinya. Saya ingin menjadi maunusia yang berguna. Amin,
Amin, Yarobbal Allamin.
Sedikit cerita dari saya, Radhia Mifa, Amd. Keb, Tempat Tugas Bidan Desa
Embacang Gedang, Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo, Provinsi
Jambi, UPT puskesmas Tanah Sepenggal Lintas. Menjadi Bidan Desa dari Tahun
2013- Tahun 2022. Terima Kasih. Semoga cerita saya menjadi bidan yang dulu dan
sekarang bisa menginspirasi banyak orang. Amin
Gambar 2.1 cara pengukuran status gizi
Setelah dilakukan pengukuran timbang berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas,
bidan melakukan penghitungan IMT sebagai dasar dalam memberikan konseling. Hal ini
dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 3.1 Pengukuran status gizi
Hasil pengukuran status gizi dijadikan dasar oleh bidan untuk memberikan konseling
gizi seimbang seperti pada gambar berikut :
B. Perjalanan Penyakit
Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) atau Virus Papiloma Manusia biasa terjadi pada
perempuan usia reproduksi. Infeksi ini dapat menetap, berkembang menjadi displasi atau
sembuh sempurna. Virus ini ditemukan pada 95% kasus Kanker Leher Rahim. Ada dua
golongan HPV yaitu HPV risiko tinggi atau disebut HPV onkogenik yaitu utamanya tipe
16, 18, dan 31, 33, 45, 52, 58; sedangkan HPV risiko rendah atau HPV non-onkogenik yaitu
tipe 6, 11, 32, dsb.
Proses terjadinya Kanker Leher Rahim sangat erat berhubungan dengan proses
metaplasia. Masuknya mutagen atau bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel secara
genetik pada saat fase aktif metaplasia dapat berubah menjadi sel yang berpotensi ganas.
Perubahan ini biasanya terjadi di daerah transformasi. Sel yang mengalami mutasi
disebut sel displastik dan kelainan epitelnya disebut displasia (Neoplasia Intraepitel Leher
rahim/ NIS). Dimulai dari displasia ringan, sedang, berat dan karsinoma in-situ dan
kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Lesi displasia dikenal juga sebagai ”lesi
prakanker”. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel yang mengalami
kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah
gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif tetapi membrana
basalisnya masih utuh. Pada lesi prakanker derajat ringan dapat mengalami regresi spontan
dan menjadi normal kembali. Tetapi pada lesi derajat sedang dan berat lebih berpotensi
berubah menjadi kanker invasif.
C. Faktor Resiko
Faktor yang menyebabkan perempuan terpapar HPV (sebagai etiologi dari Kanker Leher
Rahim) adalah :
1. Menikah/ memulai aktivitas seksual pada usia muda (kurang dari 20 tahun).
2. Berganti-ganti pasangan seksual.
3. Berhubungan seks dengan laki-laki yang sering berganti pasangan.
4. Riwayat infeksi di daerah kelamin atau radang panggul.
5. Perempuan yang melahirkan banyak anak.
6. Perempuan perokok mempunyai risiko dua setengah kali lebih besar untuk
menderita Kanker Leher Rahim dibanding dengan yang tidak merokok.
7. Perempuan yang menjadi perokok pasif (yang tinggal bersama keluarga yang
mempunyai kebiasaan merokok) akan meningkat risikonya 1,4 (satu koma empat)
kali dibanding perempuan yang hidup dengan udara bebas.
8. Perempuan yang pernah melakukan pemeriksaan skrining (Papsmear atau IVA)
akan menurunkan risiko terkena Kanker Leher Rahim.
D. Deteksi Dini/Skrining
Ada beberapa metode yang dikenal untuk melakukan skrining Kanker Leher Rahim. Tujuan
skrining untuk menemukan lesi prakanker. Beberapa metode itu antara lain:
1. Inspeksi Visual dengan Aplikasi Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan dengan cara mengamati dengan menggunakan spekulum, melihat leher rahim
yang telah dipulas dengan asam asetat atau asam cuka (3-5%). Pada lesi prakanker akan
menampilkan warna bercak putih yang disebut acetowhite epitelium.
2. Pemeriksaan Sitologi (Papanicolaou/Papsmear)
Merupakan suatu prosedur pemeriksaan sederhana melalui pemeriksaan sitopatologi, yang
dilakukan dengan tujuan untuk menemukan perubahan morfologis dari sel-sel epitel leher
rahim yang ditemukan pada keadaan prakanker dan kanker.
E. Kelompok Sasaran Skrining
Melihat dari perjalanan penyakit Kanker Leher Rahim, kelompok sasaran skrining
Kanker Leher Rahim adalah:
1. Perempuan berusia 30 - 50 tahun
2. Perempuan yang menjadi klien pada klinik IMS dengan discharge (keluar cairan) dari
vagina yang abnormal atau nyeri pada abdomen bawah (bahkan jika di luar
kelompok usia tersebut).
3. Perempuan yang tidak hamil (walaupun bukan suatu hal yang rutin, perempuan yang
sedang hamil dapat menjalani skrining dengan aman, tetapi tidak boleh menjalani
pengobatan dengan krioterapi) oleh karena itu IVA belum dapat dimasukkan
pelayanan rutin pada klinik antenatal.
4. Perempuan yang mendatangi Puskesmas, klinik IMS, dan klinik KB dianjurkan untuk
skrining Kanker Leher Rahim.
F. Frekuensi Skrining
Seorang perempuan yang mendapat hasil tes IVA-negatif, harus menjalani skrining 3- 5
tahun sekali. Mereka yang mempunyai hasil tes IVA-positif dan mendapatkan
pengobatan, harus menjalani tes IVA berikutnya enam bulan kemudian.
g. Pendokumentasian Hasil Pemeriksaan IVA Test
Gambar 6.1 Pendokumentasian Hasil Pemeriksaan IVA (sumber : Kemenkes)
H. Formulir IVA Positif
MATERI 7
MENYIAPKAN SEDIAAN PEMERIKSAAN PAPSMEAR
CEKLIST SEDIAAN PEMERIKSAAN PAP-SMEAR
Nilai 0 = Jika Tidak Dilakukan
Nilai 1 = Dilakukan Kurang Sempurna Nilai 2 = Dilakukan Dengan Sempurna
NO BUTIR YANG DINILAI 0
1 2
A SIKAP DAN PERILAKU
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilaksanakan
2 Melakukan komunikasi selama tindakan
3 Melakukan cuci tangan dan keringkan dengan handuk pribadi
(pra dan paska tindakan)
4 Memakai dan melepas sarung tangan steril atau DTT
5 Melakukan dekontaminasi alat paska tindakan
Score : 10
B PENILAIAN CONTENT/ISI
6 Mempersilakan pasien untuk melepas pakaian dalam, meminta
pasien untuk mengosongkan kandung kemih
7 Memposisikan pasien di meja Gynekologi dengan posisi
litotomi
8 Memakai APD (celemek, topi, kacamata, dan masker)
9 Menghidupkan lampu sorot, diarahkan dengan benar pada
bagian yang akan diperiksa
10 Posisi pemeriksa duduk menghadap ke arah vulva dan
melakukan inspeksi di daerah vulva dan perineum
11 Melakukan vulva hygiene dengan kapas DTT (kapas satu
persatu)
12 Memasang spekulum, menguncinya dengan benar dan hati
- hati
13 Melakukan inspeksi porsio
Mengambil sekret dengan spatula Ayre dengan ujung pendek
14 mengusap 360 derajat sesuai arah jarum jam pada ektoserviks
Mengoleskan sekret dari spatula Ayre pada permukaan obyek
15 glass sekali usap, tipis dan merata berlawanan arah jarum jam
16 Obyek glass dimasukkan pada larutan fiksasi alkohol 95%
selama 30 menit
17 Melepas spekulum dengan hati – hati
Memberitahukan kepada pasien bahwa pemeriksaan sudah
18 selesai, merapikan pasien dan menyampaikan hasil pemeriksaan
19 Membereskan alat dan membuang sampah pada tempatnya
Score : 28
C TEKNIK
20 Melaksanakan tindakan secara sistematis/berurutan
21 Menjaga privasi pasien
Score : 4
Total Score : 42
NILAI AKHIR = (Total Score/42) x 100
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti dalam
penelitian ini, peneliti dapat menyimpulkan tentang Hambatan Komunikasi Terapeutik
Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di Desa
Embacang Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas Kabupaten Bungo Tahun 2022,
sebagai berikut:
(1) Hambatan pendidikan warga desa Embacang Gedang, sebagai komunikan dalam
kegiatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya Penurunan
Angka Kematian Ibu
(2) Hambatan budaya warga desa Embacang Gedang , yang masih kental denga nilai-
nilai kearifan lokal yang berkembang di desa Embacang Gedang
(3) Hambatan psikologis, perasaan takut, cemas, khawatir yang berlebihan jika
melahirkan difasilitas Kesehatan.
(4) bahasa karena perbedaan asal daerah antara bidan dan ibu hamil, latar belakang
budaya yang berbeda yang menyebabkan psikologi bidan dan ibu hamil seringkali
mengalami ketidak cocokan misalnya intonasi suara dan terakhir
(5) faktor lingkungan misalnya suasana besing yang menyebabkan komunikasi tidak
berlangsung baik.
3.2 Saran
Adapun saran yang ingin diberikan penulis terkait dengan penelitian yang telah
dilakukan ini, yaitu Penulis melihat adanya hambatan pendidikan, hambatan budaya, dan
hambatan psikologis dalam Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam
Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki). Oleh karena itu, sebaiknya pihak kader,
aparat desa, Puskesmas, beserta Dinas atau lembaga lain yang terkait, tetap optimis
melakukan koordinasi dan evaluasi dalam setiap program kegiatan. Penulis menyadari
bahwa keterpaksaan bukanlah hal yang baik, artinya kita tetap menghargai budaya yang
dijunjung tinggi oleh warga desa, tetapi berusaha meluruskan berbagai informasi
kesehatan yang belum terbukti kebenarannya secaramedis, misalnya dengan
mengoptimalkan peran media promosi kesehatan. Saya berharap kepada bidan
memberikan terapeutik dengan lebih baik lagi agar para ibu hamil menyukai tindakan
yang dilakukan oleh bidan dengan cara lebih meningkatkan komunikasi yang baik dan
benar. Dan kepada ibu hamil yang melaksanakan terapeutik agar mendegarkan bidan
ketika sedang diberikan terapeutik karena semua demi kebaikan ibu hamil dan bayi juga
agar ibu dan bayi sehat, selamat.
DAFTAR PUSTAKA
Http://Eprints.Poltekkesjogja.Ac.Id/1815/3/BAB%20I.Pdf
Http://Repository2.Unw.Ac.Id/1189/6/D3_040117A001_BAB%20I%20-%20Almaraaa%20I
%20K.Pdf
Http://Repository.Poltekkes-Denpasar.Ac.Id/4532/2/BAB%20I%20PENDAHULUAN.Pdf
Http://Repository.Poltekkes-Denpasar.Ac.Id/8281/2/BAB%20I.Pdf
Http://Repositori.Uin-Alauddin.Ac.Id/2139/1/NUR%20RAHMA.Pdf
Https://Www.Kompasiana.Com/Devitaserlyadewii/54f34b28745513932b6c6f6d/
Ketidakbertahanan-Bidan-Ptt-Mengabdi-Di-Desa
Https://Www.Researchgate.Net/Publication/
330929576_HAMBATAN_KOMUNIKASI_TERAPEUTIK_BIDAN_KEPADA_IBU_HAMIL_
DALAM_UPAYA_PENURUNAN_ANGKA_KEMATIAN_IBU_AKI_DI_SERANG_STUDI_
DESKRIPTIF_KUALITATIF_TENTANG_HAMBATAN_KOMUNIKASI_TERAPEUTIK_BID
AN_KEPADA_IBU_HAMIL_D