Anda di halaman 1dari 106

TUGAS MAKALAH

KOMUNIKASI EFEKTIF DALAM PRAKTIK KEBIDANAN


Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di Desa Embacang Gedang
Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas Kabupaten Bungo
Tahun 2022

DI SUSUN OLEH :
RADHIA MIFA, Amd. Keb
NIM 211000415201167

Dosen Pengampu : Mira Susanti, S. ST, MM

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI BIDAN


INSTITUT KESEHATAN PRIMA NUSANTARA BUKITTINGGI
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirohmanirohhim

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat allah SWT, dan senantiasa mengharapkan
rahmat, taufik serta hidayah-Nya. Tak lupa Shalawat dan salam bagi junjungan nabi besar
kita yaitu Nabi Muhammad SAW. Alhamdullah penulis masih diberi kesehatan dan umur
sampai saat ini sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Hambatan
Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya Penurunan Angka
Kematian Ibu (Aki) di Desa Embacang Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas
Kabupaten Bungo Tahun 2022 “

Dalam penyusunan makalah ini penulis sadar bahwa masih banyak terdapat
kekurangan dan mungkin jauh dari sempurna seperti dalam pepatah “ Tak ada gading yang
tak retak “ begitu pun dengan makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran dari para
pembaca, sangat penulis harapkan untuk perbaikan dimasa yang akan datang.

Demikian lah kami buat makalah ini untuk pegangan buat kita semua, semoga
makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

Bungo, Juli
2022

penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang…………………………………………………………………….1


1.2 Tujuan Penelitian…………………………………………………………………. 3

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….3

2.1 Komunikasi Terapeutik……………………………………………………………4


2.1.1 Arti Penting Komunikasi…………………………………………………..4
2.1.2 Pengertian Komunikasi Terapeutik………………………………………..5
2.1.3 Tujuan Dari Komunikasi Terapeutik………………………………………7
2.1.4 Teknik Komunikasi Terapeutik……………………………………………7
2.1.5 Proses Komunikasi Terapeutik Dalam Kebidanan………………………...8
2.1.6 Komunikasi Terapeutik Sebagai Bagian Dari Komunikasi Interpersonal…
2.1.7 Angka Kematian Ibu (AKI)……………………………………………….
2.1.8 Faktor penyebab Kematian Ibu…………………………………………….
2.1.9 Upaya Menurunkan AKI…………………………………………………..
2.2 Artikel Masalah Komunitas Efektif Dalam Pelayanan Kebidanan Yang Terjadi Di
Indonesia …………………………………………………………………………
2.3 Analisis masalah ………………………………………………………………....
2.4 Pemecahan Masalah……………………………………………………………....
2.5 Kasus Komunikasi Yang Saya Alami Selama Menjadi Bidan Desa Embacang
Gedang (Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam
Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di Desa Embacang Gedang
Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas Kabupaten Bungo Tahun
2013-2022)………………………………………………………………….......

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………….


3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………….
3.2 Saran………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….. iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Komunikasi terapeutik sangat dekat dengan kehidupan manusia, karena
hampir setiap individu telah mengalaminya. Jika seseorang sakit, bertemu dengan
tenaga medis, terjadilah komunikas terapeutik. Begitupun halnya tenaga medis yang
terdiri dari dokter, perawat, dan bidan. Bidan harus memiliki keterampilan
komunikasi terapeutik yang baik, agar dia dapat menjalin hubungan rasa percaya
dengan pasien, memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan kebidanan, dan
meningkatkan citra profesi kebidanan. Namun yang terpenting adalah mengamalkan
ilmunya untuk menolong terhadap sesama manusia. Komunikasi menciptakan
hubungan antara bidan dengan pasien untuk mengenal kebutuhan dan menentukan
rencana tindakan. Kemampuan komunikasi tidak terlepas dari tingkah laku yang
melibatkan aktifitas fisik, mental dan dipengaruhi oleh latar belakang sosial,
pengalaman, usia, pendidikan dan tujuan. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi
yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
Komunikasi terapeutik mengarah pada bentuk komunikasi interpersonal. Stuart G.W.
(1998) mengatakan bahwa komunikasi terapeutik merupakan hubungan interpesonal
antara bidan dengan pasien, dalam hubungan ini bidan dan pasien memperoleh
pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional
pasien. memberikan pelayanan yang terbaik kepada pasiennya, maka hal inipun akan
meningkatkan citra profesi kebidanan. Bidan dikenal oleh masyarakat sebagaitenaga
medis yang biasa membantu proses persalinan ibu hamil. Dalam hal ini, bidan pun
perlu memahami pentingnya Angka Kematian Ibu (AKI) menurun atau meningkat di
suatu daerah. Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan hal yang sangat penting
diperhatikan oleh Bidan sebagai salah satu tenaga medis yang menangani langsung
komunikasi terapeutik kepada ibu hamil.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator
keberhasilan layanan suatu negara. Setiap hari, sekitar 830 wanita
meninggal karena sebab yang dapat dicegah terkait dengan kehamilan dan
persalinan. 99% dari semua kematian ibu terjadi di negara berkembang.
Sekitar 830 wanita meninggal karena komplikasi kehamilan atau persalinan
di seluruh dunia setiap hari. Salah satu target di bawah Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan (TPB) 3 adalah untuk mengurangi rasio
kematian ibu bersalin global menjadi kurang dari 70 per 100.000 kelahiran,
dengan tidak ada negara yang memiliki angka kematian ibu lebih dari dua
kali rata-rata global (WHO,2018).
Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi. AKI
merupakan salah satu indikator kesehatan masyarakat. AKI
menggambarkan jumlah wanita yang meninggal oleh suatu penyebab
kematian terkait gangguan kehamilan atau penanganannya (tidak termasuk
kecelakaan atau kasus insidental) selama kehamilan, melahirkan dan
dalam masa 42 hari setelah melahirkan tanpa memperhitungkan lama
kehamilan per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI dan Measure DHS
ICFInternational,2012).
Saat ini, penurunan AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB) masih
menjadi prioritas program kesehatan di Indonesia. Bidan sebagai pemberi
asuhan kebidanan memiliki posisi strategis untuk berperan dalam upaya
percepatan penurunan AKI. Paradigma baru dalam upaya menurunkan angka
kematian ibu yaitu dengan asuhan secara berkesinambungan. Asuhan secara
berkesinambungan diberikan agar kejadian AKI dapat ditekan karena komplikasi
selama kehamilan sampai masa nifas terdeteksi sedini mungkin (Kemenkes RI, 2015).
Asuhan berkesinambungan adalah perawatan dengan mengenal dan
memahami ibu untuk menumbuhkan rasa saling percaya agar lebih mudah
dalam memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan ibu dengan
memberikan kenyamanan dan dukungan, tidak hanya kehamilan dan
selama persalinan, tetapi juga setelah persalinan dan kelahiran (Fraser dan
Cooper,2009).
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI)
2012, AKI di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran
hidup (Kemenkes RI dan Measure DHS ICF International, 2012). Menurut
pelaporan pada tahun 2013 AKI di Yogyakarta sebesar 101 per 100.000
kelahiran hidup (Dinkes Provinsi DIY 2013). Pada tahun 2014, AKI di
Kota Yogyakarta sebesar 46 per 100.000 kelahiran hidup (Dinkes Kota
Yogyakarata, 2015).
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Bungo
Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes Kabupaten Bungo, menurutnya medis
sangat berperan untuk menekan angka kematian ibu, melalui sistem rujukan yang
dimaksimalkan dengan pelayanan prima untuk menyelamatkan ibu dan bayi.
Namun, selain medis yang menjadi faktor tingginya kematian ibu juga faktor
sosial masyarakat yang belum sadar akan pentingnya keselamatan. Meski sebelumnya
juga faktor ekonomi yang sering menjadi alasan utama penyebab kematian tersebut.
Hal inipun dipertegas oleh penuturan Sekretaris Daereah Kabupaten Bungo yang
menegaskan bahwa tingginya angka kematian ibu (AKI) harus menjadi bahan
evaluasi dari kinerja dinkes dan mitranya dalam menekan aki tersebut. Komunikasi
terapeutik yang dilakukan Bidan kepada Ibu Hamil pun tentu harus semakin optimal,
sebagai upaya untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Bungo.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti semakin tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam
Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Bungo. Peneliti ingin
mengetahui bagaimana hambatan komunikasi terapeutik yang terjadi antara Bidan
dengan Ibu Hamil tersebut. Hambatan apa yang menyebabkan AKI ini tetap tinggi
padahal komunikasi terapeutik dari Bidan kepada Ibu Hamil terus berlangsung.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di Desa Embacang Gedang,
Kabupaten Bungo Tahun 2022.

1.2 Tujuan Penulisan

Untuk mengetahui Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu


Hamil Dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di Desa Embacang
Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas Kabupaten Bungo Tahun 2022.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Komunikasi Terapeutik
2.1.1 Arti Penting Komunikasi
Pada abad modern ini, dimana komunikasi adalah sudah dianggap salah satu
kebutuhan pokok, orang menganggap bahwa proses komunikasi bukanlah salah satu
yang mandiri, lepas dari dunia lain. Dunia lain dimaksudkan, bahwa komunikasi
selalu berada dalam ruang atau batas waktu tertentu dan komunikasi tidak lepas dari
komponen-kompenen itu. Pada taraf sederhana, komunikasi hanya diartikan sebagai
setiap pembicaraan satu atau sekelompok lainnya tanpa melalui perantara atau media
apa pun. Sekarang, komunikasi telah sangat kompleks dan rumit, aksessnya sangat
luas, dan dengan biaya yang makin murah. Hal ini menjadi penanda bahwa seiring
dengan perkembangan teknologi komunikasi dan tigkat kebutuhan manusia akan
media komunikasi memberikan peluang setiap orang untuk berkomunikasi dengan
orang lain.
Istilah komunikasi berpangkal pada perkataan latin communis yang artinya
membuat kebersamaaan atau membangun kebersamaan antara dua orang lebih.
Komunikasi juga berasal dari asal kata dalam bahasa latin Communico yang artinya
membagi sebuah definisi singkat oleh Harols D. Lasswell bahwa cara yang tepat
untuk menerapkan suatu tindakan komunikasi ialah menjawab pertanyaan “siapa yang
menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa dan apa
pengaruhnya. Paradigma Lasswell dari siapa yang menyampaikan?, apa yang
disampaikan? melalui saluran apa?, kepada siapa?Dari perspektif agama bahkan
Tuhanlah yang mengajarkan manusia berkomunikasi, dengan menggunakan akal dan
kemampuan bahasa yang dianugerakan kepadanya. Allah berfirman dalam surah Ar-
Rahman (55):1-4
Terjemahnya:
Tuhan yang maha pemurah, yang telah mengajarkan al-Qur’an. Dia
menciptakan manusia mengajarkan pandai bicara. Akhir surah yang lalu (Al-
Qamar) ditutup dengan pernyataan tentang keagungan kuasa dan kesempurnaan
kodrat Allah. Itu tidaklah sempurna kecuali jika disertai dengan rahmat yang
mencakup semua makhluk, karena itu surah ini dimulai dengan menyebut sifat
rahmat-Nya yang menyeluruh yaitu ar-Rahman,yakni Allah yang menyurahkan
rahmat kepada seluruh makhluk dalam kehidupan dunia ini, baik manusia atau jin
yang taat dan durhaka, malaikat, binatang, maupun tumbuh-tumbuhan dan lain-lain.
Allah ar-Rahman yang mengajarkan al-Qur’an itu Dialah yang menciptakan manusia
makhluk yang paling membutuhkan tuntunan-Nya, sekaligus yang paling berpotensi
memanfaatkan tuntunan itu dan mengajarnya ekspresi yakni kemampuan menjelaskan
apa yang ada dalam benaknya, dengan berbagai cara utamanya adalah bercakap
dengan baik. dan benar.

2.1.2 Pengertian Komunikasi Terapeutik


Komunikasi terapeutik merupakan bentuk komunikasi yang bertujuan untuk
menyembuhkan. Stuart dalam buku Suciata menyatakan bahwa untuk komunikasi ini
menggunakan prinsip hubungan interpersonal. Istilah ini juga sering dipakai dalam
psikologi konseling dalam hubungan antara konselor dan klien. Klien secara sukarela
akan mengekspresikan perasaan dan pikirannya, sehingga beban emosi dan
ketegangan yang dirasakan dapat hilang sama sekali dan kembali seperti semula.
Stuart dan Sundeen, menyatakan beberapa hal tentang tujuan umum dari sebuah
hubungan terapeutik
1. Kesadaran, penerimaan, dan harga diri klien meningkat.
2. Pemahaman identitas, diri dan integrasi diri meningkat
3. Kemampuan membina hubungan akrab, interpendensi pribadi, keterampilan
menerima, dan member kasih sayang meningkat.
4. Pemenuhan kebutuhan diri dan tujuan yang realistis meningkat.
Pada dasarnya komunikasi terapeutik merupakan komunikasi professional
yang mengarah pada tujuan yaitu penyembuhan pasien. Komunikasi interpersonal
antara bidan dan pasien karena adanya saling membutuhkan dan mengutamakan
saling pengertian yang direncanakan secara sadar dengan mengunakan ungkapan-
ungkapan atau isyarat tertentu dan bertujuan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi
terapeutik berbeda dari komunikasi social, yaitu pada komunikasi terapeutik selalu
terdapat tujuan atau arah yang spesifik untuk komunikasi; oleh karena itu, komunikasi
terapeutik yaitu komunikasi yang terencana. Komunikasi paling therapeutic
berlangsung ketika pasien dan bidan keduanya menunjukkan sikap hormat akan
individualitas dan harga diri, bidan yang terapeutik berarti dalam melakukan interaksi
dengan klien atau pasien, interaksinya tersebut memfasilitasi proses penyembuhan.
Sedangkan hubungan terapeutik artinya adalah suatu hubungan interaksi yang
mempunyai sifat menyembuhkan, dan tentu saja hal ini berbeda dengan hubungan
sosial. Komunikasi yang efektif dan penggunaan komunikasi terapeutik merupakan
komponen penting dalam kualitas asuhan kebidannan. Komunikasi yang efektif
memiliki peranan penting bagi kepuasan pasien, pemenuhan kebidanan dan proses
pemulihan. Praktik komunikasi terapeutik itu sendiri sangat dipengaruhi oleh latar
belakang suasana. Seorang bidan membutuhkan dasar-dasar komunikasi terapeutik
yang sangat kuat ketika harus bertemu dengan ibu hamil. Oleh karena itu, suasana
yang nyaman akan sangat mendukung proses berlangsungnya komunikasi terapeutik.

2.1.3. Tujuan dari Komunikasi Terapeutik

Pelaksana komunikasi terapeutik bertujuan membantu pasien memperjelas dan


mengurangi beban pikiran dan perasaan untuk dasar tindakan guna mengubah situasi
yang ada apabila pasien percaya pada hal-hal yang diperlukan. Komunikasi dengan
pasien pada umumnya diawali sosial secara singkat. Pesan yang disampaikan bersifat
umum,belum membahas sesuatu secara rinci.interaksi pada tahap ini membuat kedua
belah pihak merasa aman karena dalam perbincangan yang dilakukan tidak terdapat
niat yang bertujuan menyingkap tabir rahasia seseorang. Mampu terapeutik berarti
seseorang mampu melakukan atau mengkomunikasikan perkataan, perbuatan, atau
ekspresi yang memfasilitasi proses kesembuhan.

2.1.4 Teknik Komunikasi Terapeutik


Stuart dan Sundeen dalam Suciata menyatakan bahwa dalam sebuah
komunikasi terapeutik dapat menerapkan beberapa teknik tertentu. Teknik-teknik
tersebut antara lain:
1) Mendegarkan (listening) Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan
nonverbal bahwa perawat memberikan perhatian terhadap kebutuhan dan masalah
klien. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan upaya untuk mengerti
seluruh pesan verbal dan nonverbal yang sedang dikomunikasikan. Keterampilan
mendengarkan penuh perhatian adalah dengan: pandang klien ketika sedang
bicara, pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk
mendengarkan, sikap tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak
menyilangkan kaki atau tangan, hindarkan gerakan yang tidak perlu, anggukan
kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan balik,
condongkan tubuh ke arah lawan bicara.
2) Bertanya (question) Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan
informasi yang spesifik mengenai klien. Paling baik jika pertanyaan dikaitkan
dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-kata dalam konteks sosial
budaya klien. Selama pengkajian, ajukan pertanyaan secara berurutan.
3) Penerimaan Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk
mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau tidak setuju. Tentu
saja sebagai perawat, kita tidak harus menerima semua perilaku klien. Bidan
sebaiknya menghindarkan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang menunjukkan
tidak setuju, seperti mengerutkan kening atau menggelengkan kepala seakan tidak
percaya.
4) Klarifikasi Apabila terjadi kesalahpahaman, perawat perlu menghentikan
pembicaraan untuk mengklarifikasi dengan menyamakan pengertian, karena
informasi sangat penting dalam memberikan pelayanan kebidanan. Agar pesan
dapat sampai dengan benar, bidan perlu memberikan contoh yang konkrit dan
mudah dimengerti klien.
5) Menyampaikan Hasil Observasi Bidan perlu memberikan umpan balik kepada
klien dengan menyatakan hasil pengamatannya, sehingga dapat diketahui apakah
pesan diterima dengan benar. Bidan menguraikan kesan yang ditimbulkan
oleh syarat nonverbal klien. Menyampaikan hasil pengamatan perawat sering
membuat klien berkomunikasi lebih jelas tanpa harus bertambah memfokuskan
atau mengklarifikasi pesan.

2.1.5 Proses Komunikasi Terapeutik Dalam Kebidanan


1) Proses Komunikasi
a. Reference, stimulus yang memotifikasi seseorang untuk berkomunikasi
dengan orang lain. Dapat berupa pengalaman, idea tau
tindakan.
b. Pengiriman/sumber/encorder, disebut juga komunikator. Bisa perorangan
atau kelompok.
c. Pesan/berita, informasi yang dikirimkan. Dapat berupa kata-kata,
gerakan tubuh atau ekspresi wajah.
d. Media/ saluran, alat untuk sarana yang dipilih pengirim untuk
menyampaikan pesan penerima/ sasaran.
2) Komunikasi Terapeutik dalam Kebidanan
a. Pengkajian, menentukan kemampuan dalam proses informasi,
mengevaluasi data tentang status mental pasien untuk menentukan
batas interview
b. Diagnose keperawatan, analisa tertulis dari penemuan pengkajian,
diskusi dengan klien dan keluarga untuk menentukan metode
implementasi.
c. Rencana tujuan, membantu pasien untuk memenuhi kebutuhan sendiri
d. Implementasi, memperkenalkan diri kepada pasien, membantu pasien untuk
dapat menggambarkan pengalaman pribadinya.
e. Evalusai, pasien dapat mengembangkan kemampuan dalam mengkaji dan
memenuhi kebutuhan sendiri.

2.1.6 Komunikasi Terapeutik Sebagai Bagian Dari Komunikasi Interpersonal


1. Konsep Komunikasi Interpersonal Komunikasi atau communication
berasal dari bahasa latin “communis”. Communis atau dalam bahasa
inggrisnya “common” berarti sama. Jadi, apabila seseorang berkomunikasi (to
communicate), ini berarti bahwa orang tersebut berada dalam keadaan
berusaha untuk menimbulkan suatu persamaan (commonness) dalamhal sikap
dengan seseorang. Jadi, pengertian komunikasi adalah sebagai proses
menghubungi atau mengadakan perhubungan. Komunikasi interpersonal
sangat potensial untuk memengaruhi atau membujuk orang lain, karena dapat
menggunakan kelima alat indra untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang
kita komunikasikan.
Sebagai komunikasi yang paling lengkap dan paling sempurna,
komunikasi interpersonal berperan penting sehingga kapan pun, selama
manusia masih memiliki emosi. Kenyataannya komunikasi tatap muka ini
membuat manusia lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi
lewat media massa seperti surat kabar dan televisi atau telepon genggam, E-
mail yang membuat manusia merasa terasing. Menurut R.D Laing dalam Alo
Liliweri persepsi terhadap relasi antarpersonal dapat diarahkan untuk
memahami inti relasi, berdasarkan pemahaman terhadap inti relasi ini, maka
individu akan dapat menjelaskan bagaimana relasi manusia dibangun dan
dikembangkan melalui persepsi terhadap mereka. Komunikasi merupakan
dasar dari seluruh interaksi antar manusia.
Oleh Karena tanpa komunikasi, interaksi manusia baik secara
perorangan maupun kelompok tidak mungkin terjadi. Sebagaian besar
interaksi antara manusia berlangsung dalam komunikasi interpersonal. Secara
umum komunikasi interpersonal diartikan sebagai proses pertukaran makna
antar orang-orang yang saling berkomunikasi. Pengertian proses mengacu
pada perubahan dan tindakan yang berlangsung secara terus menerus.
Pengertian proses mengacu pada perubahan dan tindakan yang berlangung
secara terus menerus. Pengertian pertukaran yaitu tindakan menyampaikan dan
menerima pesan secara timbal balik. Makna yaitu sesuatu yang dipertukarkan
dalam proses tersebut. Sejauh mana orang mampu mempertukarkan makna
dalam proses komunikasinya, maka sejauh itu pula komunikasi interpersonal
akan semakin terasa diantara mereka yang melakukan proses komunikasi dan
juga sebaliknya.
Komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara komunikator
dengan komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam upaya
mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang karena sifatnya dialogois,
berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung. Komunikator mengetahui
tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan.
Komunikator mengetahui pasti apakah komunikasinya itu positif atau
negative, berhasil atau tidak. Komunikasi interpersonal (interpersonal
Communication) adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka,
yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara
langsung, baik secara verbal maupun non verbal. Menurut Hafied Cangara,
komunikasi interpersonal dibedakan atas dua macam, yaitu sebagai berikut:
a. Komunikasi diadik. Komunikasi diadik adalah proses komunikasi yang
berlangsung antara dua orang dalam situasi tatap muka. Komunikasi diadik
menurut Wayne Pace yang dikutip Hafied Cangara, dapat dilakukan dalam
tiga bentuk, yakni percakapan, dialog dan wawancara. Percakapan
berlangsung dalam suasana bersahabat dan informal, dialog berlangsung
dalam suasana yang lebih dalam dan personal, sedangkan wawancara
sifatnya lebih serius, yakni adanya pihak yang dominan pada posisi
bertanya dan yang lainnya pada posisi menjawab.
b. Komunikasi kelompok kecil adalah proses komunikasi yang berlangsung
antara tiga orang atau lebih secara tatap muka, dimana anggota-anggotanya
saling berinteraksi atau terlibat dalam suatu proses komunikasi yang
berlangsung secara tatap muka. Selain itu, pembicaraan berlangsung secara
terpotong-potong dimana semua peserta berbicara dalam kedudukan yang
sama atau tidak ada pembicara tunggal yang mendominasi situasi. Dalam
situasi seperti ini semua anggota biasa berperan sebagai sumber dan juga
sebagai penerima seperti yang sering ditemukan pada kelompok studi dan
kelompok diskus. Hafied Cangara mengutip pendapat Asnawir Dan
Basyiruddin, menyebutkan enam karakteristik yang menentukan proses
dalam komunikasi interpersonal sebagai berikut:
1) Komunikasi interpersonal dimulai dengan diri pribadi (self). Berbagai
persepsi yang menyangkut pengamatan dan pemahaman berasal dari dalam
diri kita sendiri, yang artinya dibatasi oleh siapa diri kita dan bagaimana
pengalaman diri kita.
2) Komunikasi interpersonal bersifat transaksional. Pengertian ini mengacu
pada terjadinya proses pertukaran pesan yang bermakna diantara mereka
yang berinteraksi.
3) Komunikasi interpersonal mencakup aspek-aspek isi pesan dan kualitas
hubungan, artinya dalam proses komunikasi antarpribadi tidak hanya
menyangkut pertukaran isi pesan saja akan tetapi berkaitan dengan sifat
hubungan dalam arti siapa pasangan komunikasi kita dan bagaimana
hubungan kita dengan pasangan tersebut.
4) Komunikasi interpersonal masyarakat adanya kedekatan fisik diantara
pihak-pihak nyang berkomunikasi.
5) Komunikasi interpersonal melibatkan pihak-pihak yang saling tergantung
satu sama lainnya (independen) dalam proses komunikasinya.
6) Komunikasi interpersonal tidak dapat diubah maupun diulang atau suatu
pernyataan tidak dapat diulang dengan harapan mendapatkan hasil yang
sama karena didalam proses komunikasi antarmanusia sangat tergantung
dari respons pasangan komunikasi.
2. Fungsi Komunikasi Interpersonal Menurut definisinya, fungsi adalah
tujuan dimana komunikasi digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Fungsi
utama komunikasi ialah mengendalikan lingkungan guna memperoleh
imbalan-imbalan tertentu berupa fisik, ekonomi dan social. Sebagaimana telah
dikemukakan bahwa komunikasi insani atau human communication baik non-
interpersonal maupun yang interpersonal semuanya mengenai pengendalian
lingkungan guna mendapatkan imbalan seperti dalam bentuk fisik, ekonomi,
dan social.
Adapun yang dimaksud dengan imbalan ialah setiap akibat berupa
perolehan fisik, ekonomi, dan social yang dinilai positif. Uang sebagai akibat
perolehan ekonomi yang dinilai positif. Jika seseorang pengawai perilaku
berhasil mengendalikan atasannya, seperti rajin, presestasi kerja baik, dan
jujur, maka menurut logikanya ia akan memperoleh kenaikan upah dan gaji.
Bagi atasannya, juga mendapatkan imbalan dalam bentuk social berupa
kepuasaan karena ia merasa puas akan kinerja bawahannya yang baik. Kita
dapat membedakan pengendalian lingkungan dalam dua tingkatan, yaitu:
1) Hasil yang diperoleh sesuai dengan apa yang diinginkan yang dinamakan
compliance.
2) Hasil yang diperoleh mencerminkan adanya kompromi dari keinginan
semula bagi pihak-pihak yang terlibat, yang dinamakan penyelesaian
konflik atau conflict resolution.. Ciri-Ciri Komunikasi Interpersonal Berikut
ini merupakan ciri-ciri komunikasi interpersonal:
a) Arus pesan dua arah arus pesan secara dua arah ini berlangsung secara
berkelanjutan. Komunikator dan komunikan dapat berganti peran secara
cepat, komunikator dapat berubah peran sebagai penerima pesan maupun
sebaliknya.
b) Suasana nonformal komunikasi interpersonal yang terjalin biasanya
berlangsung dalam suasana nonformal dan pendekatan pribadi.
c) Umpan balik segera karena komunikasi interpersonal berlangsung secara
tatap muka, maka umpan balik dapat diketahui dengan segera.
Komunikan segera memberikan respons secara verbal berupa kata-kata
atau nonverbal misalnya pandangan mata, raut muka, anggukan, dan
sebagainya.
d) Peserta komunikasi berada dalam jarak dekat jarak dekat yang dimaksud
yaitu fisik (peserta komunikasi saling bertatap muka dalam satu lokasi)
maupun psikologis (menunjukkan hubungan keintiman antar-individu).
Peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan
spontan, baik secara verbal maupun nonverbal Untuk meningkatkan
keefektifan komunikasi interpersonal, peserta komunikasi berupaya saling
meyakinkan, dengan mengoptimalkan penggunaan pesan verbal maupun
nonverbal secara bersamaan, saling mengisi, saling memperkuat, sesuai
tujuan komunikasi. Sementara itu, Judy C. Pearson sebagaimana dikutip
oleh Suranto, menyebutkan enam ciri-ciri komunikasi interpersonal,
yaitu22:
1) Komunikasi interpersonal dimulai dengan diri pribadi. Artinya, proses
penafsiran pesan maupun penilaian mengenai orang lain berangkat dari diri
sendiri.
2) Komunikasi interpersonal bersifat transaksional, artinya komunikasi
interpersonal bersifat dinamis, merupakan pertukaran pesan secara timbal
balik dan berkelanjutan.
3) Komunikasi interpersonal menyangkut aspek isi pesan dan hubungan
antarpribadi, artinya keefektifan komunikasi interpersonal tidak hanya
ditentukan oleh kualitas pesan, tetapi juga ditentukan oleh kadar hubungan
antar-individu.
4) Komunikasi interpersonal mensyaratkan adanya kedekatan fisik antara
pihak-pihak yang berkomunikasi, apabila pihak-pihak yang berkomunikasi
ini saling bertatap muka, maka komunikasi interpersonal lebih efektif.
5) Komunikasi interpersonal menempatkan kedua belah pihak yang
berkomunikasi saling tergantung satu dengan lainnya (interdependensi). Hal
ini mengindikasikan bahwa komunikasi interpersonal melibatkan ranah
emosi, sehingga saling ketergantungan emosional antara pihak- pihak yang
berkomunikasi.
6) Komunikasi interpersonal tidak dapat diubah maupun diulang, artinya apa
yang telah diucapkan tidak bisa dihapus atau diulang. Apabila terlanjur
salah ucap, walau dapat meminta maaf dan diberi maaf tetapi, tidak berarti
menghapus apa yang telah diucapkan.
3. Karakteristik Efektifitas Komunikasi Interpersonal Pada hakikatnya
komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antar komunikator dengan
komunikan. Komunikasi ini paling efektif mengubah sikap, pendapat atau
perilaku seseorang. Komunikasi antarpribadi bersifat dialogis. Artinya, arus
balik terjadi langsung. Komunikator dapat mengetahui tanggapan
komunikan saat itu juga. Komunikator mengetahui secara pasti apakah
komunikasinya positif, negatif, berhasil atau tidak. Jika tidak berhasil maka
komunikator dapat memberi kesempatan kepada komunikan untuk bertanya
seluas-luasnya.
Efektifitas komunikasi antarpribadi mempunyai lima ciri, sebagai berikut:
1) Keterbukaan (openess). Kemauan menanggapi dengan senang hati
informasi yang diterima didalam menghadapi hubungan antarpribadi;
2) Empati (empathy). Merasakan apa yang dirasakan orang lain;
3) Dukungan (supportiveness). Situasi yang terbuka untuk mendukung
komunikasi berlangsung efektif;
4) Rasa positif (positiveness). Seseorang harus memiliki perasaan positif
terhadap dirinya, mendorong orang lain lebih efektif berpartisipasi, dan
menciptakan situasi komunikasi yang kondusif untuk interaksi yang efektif;
5) Kesetaraan (equality). Pengakuan secara diam-diam bahwa kedua belah
pihak menghargai, berguna, dan mempunyai sesuatu yang penting untuk
disumbangkan. Sumber-sumber informasi di pedesaan dari negara-negara
berkembang, seperti Indonesia, cenderung melalui jalur komunikasi
interpersonal. Caranya menggunakan jasa juru penerangan, penyuluh,
tokoh masyarakat, dan tokoh agama. Peranan keempat sumber informasi
tersebut cukup penting sebagai agen perubahan dalam menyebarkan ide-ide
baru.
Ketika seseorang tidak mempunyai banyak informasi mengenai isu
tertentu, maka pesan dari sumber yang mempunyai kredibilitas tinggi dapat
dengan mudah diterima tanpa banyak berpikir. Umpan balik yang diperoleh
dalam komunikasi antarpribadi adalah berupa umpan balik positif, negatif, dan
netral. Komunikasi interpersonal mempunyai peranan cukup besar mengubah
sikap. Hal itu karena komunikasi ini merupakan proses penggunaan informasi
secara bersama (sharing process). Peserta komunikasi memperoleh kerangka
pengalaman (frame of experience) yang sama menuju saling pengertian yang
lebih besar mengenai makna informasi tersebut. Kerangka pengalaman yang
sama diartikan sebagai akumulasi dari pengetahuan, nilai-nilai, kepercayaan,
dan sifat-sifat lain yang terdapat dalam diri seseorang. Komunikasi
berlangsung efektif apabila kerangka pengalaman peserta komunikasi tumpang
tindih (overlapping), yang terjadi saat individu mempersepsi, mengorganisasi,
dan mengingat sejumlah besar informasi yang diterima dari lingkungannya.
Derajat hubungan antarpribadi turut mempengaruhi keluasan (breadth) dari
informasi yang dikomunikasikan dan kedalaman (depth) hubungan psikologis
seseorang). Komunikasi interpersonal mempunyai berbagai macam manfaat
antara lain, dapat megenal diri sendiri dan orang lain, dapat mengetahui dunia
luar, dapat menjalin hubungan yang lebih bermakna. Melalui komunikasi
interpersonal seseorang bisa mengubah nilai-nilai dan sikap hidup,
memperoleh hiburan dan menghibur orang lain, sebagaimana dalam firman
Allah dalam surah Al-Qahfi ayat37-38.
Terjemahnya:
Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya - sedang Dia bercakap-
cakap dengannya: "Apakah kamu kafir kepada (tuhan) yang menciptakan
kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu
seorang laki- laki yang sempurna?, tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah,
Tuhanku, dan aku tidak mempersekutukan seorangpun dengan Tuhanku24(QS.
Al-Qahfi:37-38).
Ucapan sang mukmin temannya tentang asal usul kejadian manusia,
merupakan nasihat agar yang bersangkutan tidak angkuh. Betapa seseorang
manusia akan angkuh sedang asal usulnya adalah sesuatu yang sangat remeh,
hanya bagian dari setetes air, yang dia sendiri jijik jika melihatnya. Belum lagi
jika kecil dia menyadari apa yang dikandung badannya dari kotoran dan
bagaimana kesudahannya setelah ruh meninggalkan badannya. Selanjutnya
betapa dia kafir dan tidak mensyukuri Allah padahal potensi yang dimilikinya
sehingga dia menjadi manusia sempurna, dapat berusaha dan berhasil,
kesemuanya adalah anugerah Allah Swt. Sungguh kekufuran tersebut adalah
sesuatu yang sangat mengherankan. Di sisi lain ucapan sang mukmin itu
merupakan juga pelusuran terhadap keraguan temannya terhadap kebangkitan
setelah kematian. Bukanlah Allah yang menciptakan dari tanah bahkan dari
tiada kalau dia mati dan telah bercampur atau beralih menjadi tanah, maka dia
tetap diciptakan dan dibangkitkan lagi oleh Allah. Bukanlah dia sebelumnya
juga berasal dari tanah, bahkan dari tiada sama sekali.
Komunikasi Terapeutik dalam Pandangan Islam Sumanteri
menguraikan bahwa dalam perjalanan hidupnya, manusia menjalani tiga
keadaan penting: sehat, sakit, atau mati. Kehidupan itu sendiri selalu diwarnai
oleh hal-hal yang saling bertentangan, yang saling berganti mengisi hidup ini
tanpa pernah kosong sedikit pun. Sehat dan sakit merupakan warna kehidupan
yang selalu ada dalam diri manusia selama ia masih hidup. Tetapi kebanyakan
manusia memperlakukan sehat dan sakit secara tidak adil. Kebanyakan
manusia memperlakukan sehat dan sakit secara tidak adil.
Kebanyakan mereka menganggap sehat itu saja yang mempunyai
makna. Sementara sakit hanya dianggap sebagai beban dan penderitaan, yang
tidak ada maknanya sama sekali. Orang yang beranggapan demikian jelas
keliru, sebab Allah Swt selalu menciptakan sesuatu atau memberikan suatu
ujian kepada hambanya pasti ada hikmah atau pelajaran di balik itu semua.
Walaupun begitu tidak seorang pun mengiginkan dirinya sakit. Tetapi kalau
penyakit itu datang, manusia tidak kuasa untuk menolaknya. Dalam keadaan
sakit, seseorang selain mengeluhkan penderitaan fisiknya juga biasanya
disertai gangguan atau guncangan jiwa dengan gejala ringan seperti: Stress
sampai tingkat yang lebih berat. Hal ini wajar, karena secara fisik seseorang
yang sedang sakit akan dihadapkan pada tiga alternatif kemungkinan yang
akan dialaminya yaitu: sembuh sempurna, sembuh disertai cacat, sehingga
terdapat kemunduran menetap pada fungsi-fungsi orang tubuhnya, atau
meninggal dunia.
Gangguan psikis lainnya yang sering dialami orang sakit adalah rasa
putus asa, terutama bagi penderita penyakit kronis dan susah sembuh. Karena
tipisnya akidah (keimanan), kemudian muncul keinginan untuk mengakhiri
hidup dengan jalan yang tidak diridhai Allah Swt. Semua ini diakibatkan oleh
hilangnya keyakinan kepada Allah Swt, sehingga terkadang ada pasien yang
sengaja meninggalkan ibadah sehari-hari, seperti doa, zikir, atau shalat.
Akibatnya, kondisi psikis dan keimanan serta nurani orang tersebut, semakin
gersang. Sakit merupakan salah satu ciptaan Allah Swt. Karena itu, pasti ada
hikma di baliknya. Salah satumya hikmahnya, Allah Swt sedang menguji
keimanan seseorang. Apakah dengan penyakit itu ia menjadi lebih sadar dan
menjadi lebih baik, atau
malah sebaliknya, menjadi kufur nikmat. Hal ini dapat diliht dari firman Allah
Swt dalam QS Al-Baqarah ayat 21
Terjemahnya:
Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk syurga, Padahal belum
datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu
sebelum kamu? mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta
digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul
dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan
Allah?" Ingatlah, Sesungguhnya pertolongan Allah itu Amat dekat. (QS. Al-
Baqarah: 214)
Ayat diatas dapat dipahami bahwa Allah Swt akan menguji hamba-
hambanya dengan kebaikan dan keburukan. Dia menguji manusia berupa
kesehatan, agar mereka bersyukur dan mengetahui keutamaan Allah Swt, serta
kebaikannya kepada mereka. Kemudian Allah Swt juga akan menguji manusia
dengan kebutuhan seperti: sakit dan miskin, agar mereka bersabar dan
memohon perlindungan serta berdoa kepadaNya. Dalam kehidupan ini, banyak
orang yang tidak memahami makna hakiki sakit. Dalam kata lain, sedikit
sekali yang mau memahami mengapa ia harus sakit, sehingga terkadang,
secara tidak sadar ia menganggap bahwa penyakit yang dideritanya tersebut
merupakan musibah atau kutukan Allah yang dijatuhkan kepadanya. Tidak
sedikit orang yang putus asa ketika ditimpa penyakit, kehilangan pegangan,
bahkan berburuk sangka kepada Allah Swt. Lalu timbul rasa tidak puas kepada
Allah Swt, bahkan menganggap Allah tidak adil.

2.1.7 Kematian Ibu (AKI)


Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih sangat tinggi. AKI merupakan salah
satu indikator kesehatan masyarakat. AKI menggambarkan jumlah wanita yang
meninggal oleh suatu penyebab kematian terkait gangguan kehamilan atau
penanganannya (tidak termasuk kecelakaan atau kasus insidental) selama kehamilan,
melahirkan dan dalam masa 42 hari setelah melahirkan tanpa memperhitungkan lama
kehamilan per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI dan Measure DHS ICF
International, 2012). Saat ini, penurunan AKI dan Angka Kematian Bayi (AKB)
masih menjadi prioritas program kesehatan di Indonesia. Bidan sebagai pemberi
asuhan kebidanan memiliki posisi strategis untuk berperan dalam upaya percepatan
penurunan AKI dan AKB. Paradigma baru dalam upaya menurunkan angka kematian
ibu, bayi, dan anak yaitu dengan asuhan secara berkesinambungan. Asuhan secara
berkesinambungan diberikan agar kejadian AKI dan AKB dapat ditekan karena
komplikasi selama kehamilan sampai masa nifas terdeteksi sedini mungkin
(Kemenkes RI, 2015). Asuhan berkesinambungan adalah perawatan dengan mengenal
dan memahami ibu untuk menumbuhkan rasa saling percaya agar lebih mudah dalam
memberikan pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan ibu dengan memberikan
kenyamanan dan dukungan, tidak hanya kehamilan dan selama persalinan, tetapi juga
setelah persalinan dan kelahiran (Fraser dan Cooper, 2009). Berdasarkan Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, AKI di Indonesia masih tinggi
sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup (Kemenkes RI dan Measure DHS ICF
International, 2012).
Setiap tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. TemaPeringatan
Hari Ibu (PHI) ke-91 tahun 2019 ini adalah “Perempuan Berdaya, Indonesia Maju”.
Untuk membuat berdaya, segala aspek kehidupan perempuan yang berkaitan dengan
kualitas hidupnya harus dipenuhi, termasuk aspek pendidikan dan kesehatan. Di
bidang kesehatan, Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk
melihat derajat kesehatan perempuan dan menjadi salah satu komponen indeks
pembangunan maupun indeks kualitas hidup (Sumarmi, 2017). Menurut Ketua
Komiten Ilmiah International Conference on Indonesia Family Planning and Health
(ICIFPRH), Meiwita Budhiharsana, hingga tahun 2019 AKI Indonesia masih tetap
tinggi, yaitu 305 per 100.000 kelahiran hidup. Padahal, target13Vol.XI,
No.24/II/Puslit/Desember Reproductive /2019 AKI Indonesia pada tahun 2015 adalah
102 per 100.000 kelahiran hidup. Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, dalam acara Nairobi Summit dalam
rangka ICPD 25 (International Conference on Population and Development ke-25)
yang diselenggarakan pada tanggal 12-14 November 2019 menyatakan bahwa
tingginya AKI merupakan salah satu tantangan yang harus dihadapi Indonesia
sehingga menjadi salah satu komitmen prioritas nasional, yaitu mengakhiri kematian
ibu saat hamil dan melahirkan. Tulisan singkat ini akan membahas mengenai faktor
penyebab tingginya AKI dan upaya apa saja yang telah dilakukan untuk menurunkan
AKI.
Penurunan AKI sebagai Target SDGs Meningkatkan kesehatan ibu adalah
tujuan kelima Millenium Development Goals (MDGs) yang harus dicapai oleh 191
negara anggota PBB pada tahun 2015, termasuk Indonesia. Mengurangi 2/3 AKI saat
melahirkan (1990-2015) menjadi salah satu target meningkatkan kesehatan ibu, selain
akses terhadap pelayanan kesehatan standar hingga tahun 2015. AKI ditargetkan turun
dari 390 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1990 menjadi 102 per 100.000
kelahiran hidup pada tahun 2015. Hingga tahun 2015, ternyata target MDGs 5
tersebut tidak dapat dicapai. Hal ini memang sudah diprediksi sebelumnya. Dengan
prediksi linier AKI, Kementerian Kesehatan telah memperkirakan pada tahun 2015
Indonesia baru akan mencapai angka 161 per 100.000 kelahiran hidup. Hasil Survei
Demografi Kesehatan Indonesia 2012 menunjukkan AKI sebesar 359 per 100.000
kelahiran hidup. Sedangkan hasil SurveiPenduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015
menunjukkan AKI sebesar 305 per 100.000 kelahiran hidup, masih sangat tinggi
dibandingkan perkiraan Kementerian Kesehatan.
Data lain ditunjukkan oleh Bank Dunia yang menyatakan bahwa sejak 2000,
AKI di Indonesia menunjukkan tren menurun, dengan menyebutkan bahwa rasio AKI
di Indonesia sebesar 177 per 100.000 kelahiran hidup pada 2017. Dalam Tujuan
Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDGs), target AKI
adalah 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2030. Untuk mencapai target
tersebut diperlukan kerja keras, terlebih jika dibandingkan dengan beberapa negara
ASEAN, AKI di Indonesia relatif masih sangat tinggi. AKI di negara-negara ASEAN
rata-rata sebesar 40-60 per 100.000 kelahiran hidup. Bahkan, persalinan AKI di
Singapura sebesar 2-3 per 100.000 kelahiran hidup.

2.1.8 Faktor Penyebab Kematian Ibu


Masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan, termasuk AKI tidak
dapat dilepaskan dari berbagai faktor yang mempengaruhinya, antara lain status
kesehatan ibu dan kesiapan untuk hamil, pemeriksaan antenatal (masa kehamilan),
pertolongan persalinan dan perawatan segera setelah, serta faktor sosial budaya (E.
Kristi Poerwandari dan Yenina Akmal, 2000: 436). Dalam konteks Indonesia,
terbatasnya akses perempuan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi yang
berkualitas, terutama bagi perempuan miskin di Daerah Tertinggal,
Terpencil,Perbatasan dan Kepulauan (DTPK) merupakan salah satu tantangan yang
dihadapi dalam pencapaian MDG 5 Target 5A (Bappenas, 2010: 90).
Penyediaan fasilitas PONEK, PONED, posyandu, dan unit transfusi darah
belum merata dan belum seluruhnya terjangkau oleh seluruh penduduk. Sistem
rujukan dari rumah ke Puskesmas dan ke rumah sakit juga belum berjalan dengan
optimal. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya AKI adalah akses jalan yang
buruk ke tempat pelayanan kesehatan. Bappenas (2010: 90) menambahkan faktor lain,
yaitu faktor budaya di daerah tertentu. Secara nasional, menurutnDetty S. Nurdiati,
pakar Ilmu Kebidanan dan Penyakit kandungan, penyebab AKI paling tinggi adalah
pendarahan. Sedangkan menurut McCharty J. Maine DA sebagaimana dikutip Nurul
Aeni (2013), kematian ibu merupakan peristiwa kompleks yang disebabkan oleh
berbagai penyebab yang dapat dibedakan atas determinan dekat, determinan antara,
dan determinan jauh. Determinan dekat yang berhubungan langsung dengan kematian
ibu merupakan gangguan obstetrik seperti pendarahan, preeklamsi/eklamsi, dan
infeksi atau penyakit yang diderita ibu sebelum atau selama kehamilan yang dapat
memperburuk kondisi kehamilan seperti penyakit jantung, malaria, tuberkulosis,
ginjal, dan acquired immunodeficiency syndrome. Determinan dekat secara langsung
dipengaruhi oleh determinan antara yang berhubungan dengan faktor kesehatan,
seperti status kesehatan ibu, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan,
dan perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan.
Determinan jauh berhubungan dengan faktor demografi dan sosiokultural.
Kesadaran masyarakat yang rendah tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan
perempuan yang tidak baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga,
lingkungan masyarakat dan politik, serta kebijakan secara tidak langsung diduga ikut
berperan dalam meningkatkan kematian ibu. Berperannya determinan dekat dan
determinan jauh dalam AKI antara lain dapat dilihat dari hasil penelitian Pertiwi
(2012) yang menunjukkan bahwa persentase persalinan dibantu oleh dukun,
persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih sehat, dan persentase sarana
kesehatan di tiap kabupaten/kota di Jawa Timur berpengaruh secara signifikan
terhadap jumlah kematian ibu. Penelitian Aristia (2011) juga menyatakan bahwa
persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih sehat berpengaruh secara signifikan
terhadap jumlah kematian ibu.
Upaya Menurunkan AKI Upaya penurunan AKI merupakan salah satu target
Kementerian Kesehatan. Beberapa program yang telah dilaksanakan antara lain
Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Bantuan 15
akses perempuan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas,
terutama bagi perempuan miskin di Daerah Tertinggal, Terpencil, Perbatasan dan
Kepulauan (DTPK) merupakan salah satu tantangan yang dihadapi dalam pencapaian
MDG 5 Target 5A (Bappenas, 2010: 90). Penyediaan fasilitas PONEK, PONED,
posyandu, dan unit transfusi darah belum merata dan belum seluruhnya terjangkau
oleh seluruh penduduk. Sistem rujukan dari rumah ke Puskesmas dan ke rumah sakit
juga belum berjalan dengan optimal. Faktor lain yang mempengaruhi tingginya AKI
adalah akses jalan yang buruk ke tempat pelayanan kesehatan. Bappenas (2010: 90)
menambahkan faktor lain, yaitu faktor budaya di daerah tertentu. Secara nasional,
menurut Detty S. Nurdiati, pakar Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, penyebab
AKI paling tinggi adalah pendarahan. Sedangkan menurut McCharty J. Maine DA
sebagaimana dikutip Nurul Aeni (2013), kematian ibu merupakan peristiwa kompleks
yang disebabkan oleh berbagai penyebab yang dapat dibedakan atas determinan dekat,
determinan antara, dan determinan jauh.
Determinan dekat yang berhubungan langsung dengan kematian ibu
merupakan gangguannobstetrik seperti pendarahan, preeklamsi/eklamsi, dan infeksi
atau penyakit yang diderita ibu sebelum atau selama kehamilan yang dapat
memperburuk kondisi kehamilan seperti penyakit jantung, malaria, tuberkulosis,
ginjal, dan acquired immunodeficiency syndrome. Determinan dekat secara langsung
dipengaruhi oleh determinan antara yang berhubungan dengan faktor kesehatan,
seperti status kesehatan ibu, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan,
dan perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan.
Determinan jauh berhubungan dengan faktor demografi dan sosiokultural.
Kesadaran masyarakat yang rendah tentang kesehatan ibu hamil, pemberdayaan
perempuan yang tidak baik, latar belakang pendidikan, sosial ekonomi keluarga,
lingkungan masyarakat dan politik, serta kebijakan secara tidak langsung diduga ikut
berperan dalam meningkatkan kematian ibu. Berperannya determinan dekat dan
determinan jauh dalam AKI antara lain dapat dilihat dari hasil penelitian Pertiwi
(2012) yang menunjukkan bahwa persentase persalinan dibantu oleh dukun,
persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih sehat, dan persentase sarana
kesehatan di tiap kabupaten/kota di Jawa Timur berpengaruh secara
signifikanterhadap jumlah kematian ibu. Penelitian Aristia (2011) juga menyatakan
bahwa persentase rumah tangga berperilaku hidup bersih sehat berpengaruh secara
signifikan terhadap jumlah kematian ibu.

2.1.9 Upaya Menurunkan AKI


Upaya penurunan AKI merupakan salah satu target Kementerian Kesehatan.
Beberapa program yang telah dilaksanakan antara lain Program Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) dan Bantuan penggunaan fasilitas
pelayanan kesehatan dapat ditingkatkan. Upaya untuk menurunkan AKI tidak akan
akan efektif jika hanya mengandalkan program dari pemerintah tanpa peran serta
semua pihak. Dalam konteks ini, inovasi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan
Kabupaten Kapuas Hulu dapat menjadi contoh bagi pemerintah daerah yang lain
untuk menggerakkan potensi yang ada dalam masyarakat agar berperan serta dalam
penurunan AKI.
DPR RI melalui fungsi yang dimiliki juga dapat berperan serta dalam
menurunkan AKI dengan mengefektifkan fungsi pengawasan melalui komisi terkait,
yaitu Komisi VIII yang bermitra dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak dan Komisi IX yang bermitra dengan Kementerian Kesehatan.
Referensi Aeni, Nurul. (2013).

2.2 Artikel Masalah Komunitas Efektif Dalam Pelayanan Kebidanan Yang Terjadi
Di Indonesia
HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK BIDAN KEPADA IBU HAMIL DALAM
UPAYA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU (AKI) DI SERANG (STUDI DESKRIPTIF
KUALITATIF TENTANG HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK BIDAN KEPADA IBU

HAMIL DI PUSKESMAS TUNJUNG TEJA, KABUPATEN SERANG)

February 2017, Jurnal Nomosleca 2(2) DOI:10.26905/nomosleca.v2i2.606


Authors: Discover the world's research 20+ million members, 135+ million
publications, 700k+ research projects, Join for free

Studi Deskriptif Kualitatif tentang Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan


kepada Ibu Hamil di Puskesmas Tunjung Teja, Kabupaten Serang Ditha Prasanti,
Ikhsan Fuady, Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran
dithaprasanti@gmail.com
ABSTRACT

As a health worker, midwife should have a good therapeutic communication skills, so


that he can establish a relationship of trust with the patient, providing professional
satisfaction inobstetric care, and improve the image of the profession of midwifery. But the
most important is to apply their knowledge to help their fellow human beings.
Maternal Mortality Rate (MMR) is one of the indicators that should be considered by
the midwife. If the Maternal Mortality Rate (MMR) increases, the solution must be found in
order to prevent this AKI. This is why researchers are interested to raise the research on
Therapeutic Communication Barriers To Midwives Pregnancy Prevention in Maternal
Mortality Rate (MMR).
The purpose of this study is the researcher wanted to know how therapeutic
communication barriers between midwives to pregnant women in the prevention of maternal
mortality is increasing. Based on data obtained from the Department of Health, the maternal
mortality is very high in Serang district.
Therefore, in this study, the researchers raised the case of therapeutic communication
barriers midwives to pregnant women in the of Serang. In this study, researcher used a
qualitative approach with descriptive methods.
The data collection techniques are observation, interviews, and documentation study.
The theory of communication shall be used to analyze this research is the theory of symbolic
interaction.
Results of research have shown that therapeutic communication barriers that occur
between midwives to pregnant women in Puskesmas Tunjung Teja Serang Regency is a
semantic barriers (language), cultural barriers, and psychological barriers. Keywords:
Barriers, Therapeutic Communication, Midwives, Pregnancy, Serang.

ABSTRAK

Sebagai seorang tenaga kesehatan, Bidan harus memiliki keterampilan komunikasi


terapeutik yang baik, agar dia dapat menjalin hubungan rasa percaya dengan pasien,
memberikan kepuasan profesional dalam pelayanan kebidanan, dan meningkatkan citra
profesi kebidanan. Namun yang terpenting adalah mengamalkan ilmunya untuk menolong
terhadap sesama manusia.
Angka Kematian Ibu (AKI) adalah salah satu indikator yang harus diperhatikan oleh
para Bidan. Jika Angka Kematian Ibu (AKI) semakin meningkat, maka harus segera
ditemukan solusi dalam upaya pencegahan AKI ini. Hal inilah yang menyebabkan peneliti
tertarik untuk mengangkat penelitian tentang Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan
Kepada Ibu Hamil dalam Upaya Pencegahan Angka Kematian Ibu (AKI).
Tujuan penelitian ini adalah peneliti ingin mengetahui bagaimana hambatan
komunikasi terapeutik antara Bidan kepada Ibu Hamil dalam upaya pencegahan AKI yang
semakin meningkat. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan bahwa AKI di
kabupaten Serang sangat tinggi.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti mengangkat kasus hambatan
komunikasi terapeutik Bidan kepada Ibu Hamil di kabupaten Serang.
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode
deskriptif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, wawancara,
dan studi dokumentasi. Teori komunikasi yang sesuai digunakan untuk menganalisis
penelitian ini adalah teori interaksi simbolik.
Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa hambatan komunikasi
terapeutik yang terjadi antara Bidan kepada Ibu Hamil di Puskesmas Tunjung Teja
Kabupaten Serang adalah hambatan semantik (bahasa), hambatan budaya, dan hambatan
psikologis.

Kata Kunci: Hambatan, Komunikasi Terapeutik, Bidan, Ibu Hamil, Serang.

PENDAHULUAN

Komunikasi terapeutik sangat dekat dengan kehidupan manusia, karena hampir setiap
individu telah mengalaminya. Jika seseorang sakit, bertemu dengan tenaga medis, terjadilah
komunikas terapeutik. Begitupun halnya tenaga medis yang terdiri dari dokter, perawat, dan
bidan. Bidan harus memiliki keterampilan komunikasi terapeutik yang baik, agar dia dapat
menjalin hubungan rasa percaya dengan pasien, memberikan kepuasan profesional dalam
pelayanan kebidanan, dan meningkatkan citra profesi kebidanan. Namun yang terpenting
adalah mengamalkan ilmunya untuk menolong terhadap sesama manusia.
Komunikasi menciptakan hubungan antara bidan dengan pasien untuk mengenal
kebutuhan dan menentukan rencana tindakan. Kemampuan komunikasi tidak terlepas dari
tingkah laku yang melibatkan aktifitas fisik, mental dan dipengaruhi oleh latar belakang
sosial, pengalaman, usia, pendidikan dan tujuan.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan
dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik mengarah pada bentuk
komunikasi interpersonal. Stuart G.W. (1998) mengatakan bahwa komunikasi terapeutik
merupakan hubungan interpesonal antara bidan dengan pasien, dalam hubungan ini bidan dan
pasien memperoleh pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman
emosional pasien. Seorang bidan tentu harus memerhatikan proses komunikasi terapeutik
yang dilakukannya selama berinteraksi dengan pasien. Pasien akan mengharapkan pelayanan
yang optimal dari tenaga medis agar tercapainya perolehan informasi yang dibutuhkan
tentang kesehatannya. Jika bidan mampu memberikan pelayanan yang terbaik kepada
pasiennya, maka hal inipun akan meningkatkan citra profesi kebidanan. Bidan dikenal oleh
masyarakat sebagai tenaga medis yang biasa membantu proses persalinan ibu hamil. Dalam
hal ini, bidan pun perlu memahami pentingnya Angka Kematian Ibu (AKI) menurun atau
meningkat di suatu daerah.
Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan hal yang sangat penting diperhatikan oleh
Bidan sebagai salah satu tenaga medis yang menangani langsung komunikasi terapeutik
kepada ibu hamil. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Serang
yang terdapat di situs republika online, yaitu Kepala Bidang Pelayanan Kesehatan Dinkes
Kabupaten Serang, Agus Sukmayadi, menurutnya medis sangat berperan untuk menekan
angka kematian ibu, melalui sistem rujukan yang dimaksimalkan dengan pelayanan prima
untuk menyelamatkan ibu dan bayi. Namun, selain medis yang menjadi faktor tingginya
kematian ibu juga faktor sosial masyarakat yang belum sadar akan pentingnya keselamatan.
Meski sebelumnya juga faktor ekonomi yang sering menjadi alasan utama penyebab
kematian tersebut. Hal inipun dipertegas oleh penuturan Sekretaris Daereah Kabupaten
Serang, Lalu Atharussalam, yang menegaskan bahwa tingginya angka kematian ibu (AKI)
di Serang harus menjadi bahan evaluasi dari kinerja dinkes dan mitranya dalam menekan aki
tersebut, karena AKI di Kabupaten Serang tertinggi di Banten. Untuk menurunkan AKI,
Dinas Kesehatan harus bekerja sama dengan organisasi-organisasi lainnya. Dalam hal ini,
pihak Dinas Kesehatan telah membuat MAF (MDGs Acseleration framework) atau kerangka
kerja untuk mengoptimalkan MDGs. Komunikasi terapeutik yang dilakukan Bidan kepada
Ibu Hamil pun tentu harus semakin optimal, sebagai upaya untuk menurunkan Angka
Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Serang.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti semakin tertarik untuk melakukan
penelitian tentang Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam
Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Kabupaten Serang. Peneliti ingin
mengetahui bagaimana hambatan komunikasi terapeutik yang terjadi antara Bidan dengan Ibu
Hamil tersebut. Hambatan apa yang menyebabkan AKI ini tetap tinggi padahal komunikasi
terapeutik dari Bidan kepada Ibu Hamil terus berlangsung. Apalagi mengingat bahwa data
yang menunjukkan AKI yang tinggi terdapat di Kabupaten Serang. Dinas Kesehatan pun
terus mengupayakan bekerjasama dengan semua pihak, termasuk rumah sakit dan Puskesmas
yang tersebar di Kabupaten Serang.
Dalam penelitian ini, peneliti mengambil lokasi penelitian di Puskesmas Tunjung
Teja, Kabupaten Serang. Hal ini dikarenakan data dari Dinas Kesehatan yang menunjukkan
AKI di puskesmas tersebut sangat tinggi. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif dengan
metode deskriptif. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi. Peneliti juga menggunakan teori komunikasi yang cocok
digunakan untuk menganalisis penelitian ini yakni teori interaksi simbolik.

KERANGKA KONSEPTUAL

Komunikasi Terapeutik Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan


secara sadar dan tujuan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik
dianggap sebagai proses yang khusus dan memiliki arti dalam hubungan antar manusia. Pada
praktik kebidanan, komunikasi terapeutik lebih bermakna karena merupakan modal utama
dalam mengimplementasikan asuhan kebidanan. Artinya, dalam komunikasi terapeutik bidan
tidak hanya dituntut memiliki pengalaman ilmu, intelektual, dan teknik menolong pasien,
tetapi juga didukung kasih sayang, peduli dan berkomunikasi dengan baik (Machfoedz:
2009).
Komunikasi terapeutik bukan pekerjaan yang bisa dikesampingkan, namun harus
direncanakan, disengaja, dan merupakan tindakan profesional. Akan tetapi, jangan sampai
karena terlalu asyik bekerja, kemudian melupakan pasien sebagai manusia dengan beragam
latar belakang dan masalahnya. (Machfoed, 2009).
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Machfoed, 2009), tujuan hubungan terapeutik
diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :
1. Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya pada hal
yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Tujuan terapeutik akan tercapai bila bidan memiliki karakteristik sebagai berikut
(Machfoed,2009) :
a. Kesadaran diri.
b. Klarifikasi nilai.
c. Eksplorasi perasaan.
d. Kemampuan untuk menjadi model peran
e. Rasa tanggung jawab dan etik.
Menurut Roger dalam (Machfoed: 2009), terdapat beberapa karakteristik dari seorang
bidan yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik. Berikut komponen-
komponen komunikasi terapeutik tersebut antara lain:
a. Kejujuran (trustworthy) : Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan
komunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan
saling percaya. Klien hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi
yang benar hanya bila yakin bahwa bidan dapat dipercaya.
b. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif: Dalam berkomunikasi hendaknya bidan
menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus
mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan
klien menjadi bingung.
c. Bersikap positif; Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh
perhatian dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan
terapeutik adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.
d. Empati bukan simpati; Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan kebidanan, karena
dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien
seperti yang dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang bidan dapat
memberikan alternatif pemecahan masalah bagi klien, karena meskipun dia turut
merasakan permasalahan yang dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah
tersebut sehingga perawat dapat memikirkan masalah yang dihadapi klien secara objektif.
e. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien; Dalam memberikan asuhan
keperawatan perawat harus berorientasi pada klien Taylor, dkk, 1997 (dalam Machfoed:
2009) . Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah klien perawat harus
memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat harus
menggunakan teknik active listening dan kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien.
Jika perawatmenyimpulkan secara tergesa-gesa dengan tidak menyimak secara
keseluruhan ungkapan klien akibatnya dapat fatal, karena dapat saja diagnosa yang
dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya tindakan yang
diberikan dapat tidak membantu bahkan merusak klien.
f. Menerima klien apa adanya; Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa
nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik.
g. Sensitif terhadap perasaan klien: Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit
terjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif bidan dapat saja melakukan pelanggaran
batas, privasi dan menyinggung perasaan klien.
h. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri. Seseorang
yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu
berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika ia
sendiri memiliki segudang masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya. (Machfoed,
2009).
Proses Komunikasi
Proses komunikasi pada hakikatnya adalah proses penyampaian lambang yang berarti
oleh seseorang kepada orang lain, baik dengan maksud agar mengerti agar berubah
perilakunya. Suatu komunikasi dapat dikatakan efektif atau berhasil bilamana di antara
penyebar pesan (komunikator) dan penerima pesan (komunikan) terdapat satu pengertian
yang sama mengenai isi pesan. Isi pesan disampaikan oleh penyebar melalui lambang yang
berarti. Lambang-lambang itu dapat dikatakan sebagai “titian” atau “kendaraan” untuk
membawa pesan kepada si penerima pesan. Terlihat bahwa dalam komunikasi terdapat tiga
unsur penting, yaitu : komunikator, pesan, dan komunikan. Komunikator adalah sumber yang
memiliki ide atau gagasan mengenai sesuatu yang akan disampaikan kepada komunikan.
Pesan adalah gagasan yang berupa lambing lambang yang berarti dan disampaikan oleh
komunikator kepada komunikan, sedangkan komunikan adalah orang atau badan yang
menerima pesan. Kegiatan komunikasi tidak akan berjalan secara efektif apabila tidak
didukung dengan ketiga faktor tersebut yaitukomunikator, pesan, dan komunikan.
Dengan demikian, agar komunikasi berlangsung secara efektif maka kita harus
memerhatikan faktor-faktor tersebut, yaitu komunikator, pesan, dan komunikan. Faktor lain
yang penting dalam suatu proses komunikasi adalah umpan balik atau efek. Umpan balik
memegang peranan penting dalam komunikasi sebab ia menentukan berlanjutnya komunikasi
atau berhentinya komunikasi yang dilancarkan oleh komunikator .
Dengan kata lain, umpan balik menentukan sukses atau tidaknya sebuah proses
komunikasi dilangsungkan.
1. Komunikator
Kredibilitas merupakan salah satu faktor dari komunikator yang mempunyai peranan
penting agar pesan yang dikomunikasikan dapat berjalan lancar dan dapat diterima atau
dipahami komunikan. Menurut Jalaludin Rakhmat (2008:257), dalam bukunya psikologi
komunikasi, kredibilitas adalah, “seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh
komunikator.

2. Pesan
Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator
(Effendy, 1998). Dalam menyampaikan pesan secara lisan, faktor pemilihan kata-kata
merupakan hal yang sangat penting agar sasaran yang dituju mengerti dengan maksud
yang disampaikan.
a. Pesan harus dirancang dan disampaikan sedemikian rupa sehingga dapat menarik
perhatian komunikan.
b. Pesan harus membangkitkan kebutuhan pribadi komunikan dan menyarankan beberapa
cara untuk memeroleh kebutuhan tersebut.
c. Pesan harus menyarankan suatu jalan untuk memeroleh kebutuhan tadi yang layak bagi
situasi kelompok di mana komunikan berada pada saat ia digerakkan untuk
memberikan pendapat dalam mencapai tujuan (Rakhmat, 2008:92).
3. Komunikan Dari pesan-pesan tersebut, maka seorang komunikator harus dapat
menyampaikan pesan dengan baik, misalnya bagaimana kejelasan isi pesan tersebut,
bahasa yang digunakan apakah mudah dipahami, isi pesan tersebut apakah sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Komunikan memainkan peranan yang sangat penting dalam proses
komunikasi, sebab ia menerangkan bagaimana pesan kita diterima dan ditanggapi oleh
komunikan atau tidak. Umpan balik dari komunikan bisa bersifat verbal dalam bentuk,
seperti “ya” untuk tanda setuju atau “tidak” untuk tanda menolak, bias juga bersifat non
verbal dalam bentuk gerakan anggota kepala tanda tidak mau, mengerutkan kening tanda
tidak mengerti, mencibirkan bibir tanda mengejek,dan lain-lain. (Effendy, 1998).
Berkaitan dengan penelitian ini, peneliti akan meneliti hambatan komunikasi yang
terjadi dalam komunikasi terapeutik yang dilakukan bidan kepada ibu hamil. Dengan
demikian, jelaslah bahwa komunikasi mempunyai peranan penting dalam kehidupan
manusia sehari-hari baik perorangan maupun kelompok. Seperti yang telah diuraikan
sebelumnya dalam latar belakang masalah bahwa penelitian ini juga mengkaji bagaimana
bidan sebagai salah satu tenaga medis, berkomunikasi dengan ibu hamil, termasuk dalam
kajian komunikasi antar pribadi.
Dengan kata lain konsep diri perilaku manusia, tergantung bagaimana pola
interaksi individu dengan lingkungannya, bagaimana kita memandang diri kita sendiri dan
bagaimana orang lain memandang kita, sangat berpengaruh pada interaksi kita dengan
orang lain. Hambatan Komunikasi Meskipun informasi yang disampaikan sebenarnya
mudah dimengerti, tetapi ternyata komunikasi yang terjalin tersebut tidak sesuai dengan
apa yang diharapkan atau diinginkan. Hal ini dapat terjadi sebab didala peleksanaan
komunikasi banyak sekali hambatan-hambatan yang mungkin timbul. Penurunan isi dan
mutu pesan dapat terjadi pada setiap tahap dalam proses komunikasi mulai dari perumusan
konsep gagasan didalam kata-kata sampai saat pemanfaatan yang diterima. Lebih lanjut
hambatan-hambatan ini secara umum dapat di klasifikasikan menjadi tiga menurut Arni
Muhammad (2009) yaitu :
1) Hambatan Pribadi (Psikologis) adalah gangguan komunikasi yang timbul dari emisi,
nilai dan kebiasaan menyimak yang tidak baik. Hambatan pribadi seringkali mencakup
jarak psikologi diantaranya orang-orang yang serupa dengan jarak fisik sesungguhnya.
2) Hambatan Fisik adalah gangguan komunikasi yang terjadi di lingkungan tempat
berlangsungnya komunikasi.
3) Hambatan Semantik adalah hambatan ini berasal dari keterbatasan simbol-simbol itu
sendiri. Ada beberapa karakteristik dari bahasa yang menyebabkan proses decording
dalam bahasa semakin sulit antara lain :
a. Bahasa itu statis sedangkan realitasnya dinamis,
b. Bahasa itu terbatas sedangkan realitasnya tidak terbatas,
c. Bahasa itu bersifat abstrak.
Selain tahap-tahap dan akibat adanya hambatan dalam komunikasi, maka umpan
balik sangat diperlukan. Umpan balik merupakan arah yang utama bagi pengirim pesan
untuk memonitor apakah pesannya dimengerti dan dimanfaatkan oleh penerima sesuai
dengan harapannya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi
sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Tanpa komunikasi atau kurangnya
komunikasi akan membuat pekerjaan menjadi kurang maksimal dan akan terjadinya
kesalahpahaman dalam menangkap suatu informasi. Komunikasi pun sering dikutip
sebagai masalah nomor satu di dalam sebuah hubungan. Jika dua perangkat komunikasi
(komunikator dan komunikan) memahami hal ini, serta berusaha untuk sering
berkomunikasi, maka tidak akan mengalami permasalahan yang cukup signifikan. Namun
sebaliknya jika tidak memperhatikan beberapa faktor penyebab masalah dalam
berkomunikasi maka kemungkinan besar lambat laun komunikasi yang dibina akan
"mati". Ada beberapa hambatan komunikasi dari perspektif lain yang mungkin terjadi
dalam menjalin komunikasi dua arah.
1) Bahasa
Jika seorang komunikator atau komunikan berkomunikasi dengan bahasa yang berbeda,
kemungkinan akan terjadi banyak kesalahpahaman bahkan terjadinya hubungan yang tidak
jelas. Jika pada proses komunikasi komunikator merasa bahasa yang digunakannya tidak
dipahami, maka komunikator harus sering meluangkan waktu untuk menjelaskan tentang
beberapa hal yang ingin di bicarakan kepada komunikan.
2) Budaya
Hambatan budaya ini menjadi hal yang sangat penting. Satu pantangan bagi sang
komunikator untuk beranggapan, bahwa komunikan tumbuh dengan filosofi, gaya hidup,
adat istiadat yang sama. Maka kita tidak boleh "menyamaratakan" penggunaan teknik
berkomunikasi kepada setiap komunikan. Hindari anggapan bahwa komunikan
mempunyai pemikiran yang sama ketika menghadapi suatu permasalahan. Jika
komunikator menemukan miskomunikasi dalam suatu hubungan, atau bahkan komunikan
merasa tersinggung, maka cepatlah lakukan analisis mengapa komunikan punya anggapan
lain terhadap pesan yang disampaikan. Hal ini bisa saja terjadi karena budaya yang
berbeda yang dimiliki oleh sang komunikan. jika hal ini terjadi maka Hormati persepsi
komunikan dan cobalah temukan beberapa persamaan persepsi maka disanalah peluang
komunikator untuk kembali membangun komunikasi yang "nyambung".
3) Salah paham
Hambatan komunikasi yang paling utama pada awalnya bersumber dari dari satu hal, yaitu
kesalahpahaman. Interpretasi, respon, asumsi seseorang dalam menghadapi suatu
permasalahan berbeda-beda, komunikan akan memahami yang komunikator katakan. Jika
komunikator menelisik lebih jauh jika ada pertentangan dalam suatu proses komunikasi.
Dalam hambatan ini komunikator harus menjauhi sikap menyimpan permasalahan atau
kesalahpahaman yang terjadi.
4) Sisi historis atau pengalaman
Pada umumnya komunikator menjadikan filosofis dan pengalaman hidup masa lalu
sebagai rujukan komunikasi agar sang komunikan mengerti. Tidak ada salahnya
melakukan hal ini, terkecuali jika komunikator menjadikan pengalaman sebagai rujukan
tersebut tidak dengan sikap prasangka, maksudnya memproyeksikan pengalaman hidup
terdahulu untuk menjadikan solusi untuk permasalahan komunikan, karena pengalaman
hidup yang dialami komunikator terdahulu tidak akan sama persis dengan yang dialami
komunikan.
5) Mendominasi pembicaraan
Mendominasi pembicaraan, hal ini sering terjadi. Seorang komunikator merasa
pendapatnya paling benar sehingga tidak memberikan kesempatan komunikan untuk
berbicara. Bahkan lebih jauh komunikator selalu memotong pembicaraan, padahal pesan
yang disampaikan komunikan belum disampaikan secara utuh, sehingga sering terjadi
kesalahpahaman. Ketika Berkomunikasi dengan seseorang hindarilah sikap mendominasi
pembicaraan agar bisa saling memberikan komentar. Namun jika komunikator melihat hal
ini terjadi, cobalah meminta komunikator untuk bersi keras memberikan komentar, agar
komunikasi yang dijalin dapat berimbang. (Damaiyanti, 2010)
Teori Interaksi Simbolik
Esensi dari interaksi simbolik menekankan pada suatu aktivitas yang merupakan
ciri khas manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna (Mulyana,
2010: 68). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu
sebagai manusia merupakan hal yang paling penting. Mereka mengatakan bahwa individu
adalah objek yang bisa secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan
individu yang lain. Menurut Ralph Larossa dan Donald C. Reitzes (1993) interaksi
simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia, bersama dengan orang lain, menciptakan dunia simbolik dan
bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia. Interaksi simbolik ada karena ide-ide
dasar dalam membentuk makna yang berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri
(Self), dan hubungannya di tengah interaksi sosial, dan tujuan akhir untuk memediasi,
serta menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut
menetap. Mind, Self and Society merupakan judul buku yang menjadi rujukan utama teori
interaksi simbolik, merefleksikan tiga konsep utama dari teori.
Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, yaitu:
1. Pikiran (Mind)
Pikiran adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang mempunyai makna sosial
yang sama, dimana tiap individu harus mengembangkan pikiran mereka melalui
interaksi dengan individu lain (West dan Turner, 2007: 102).
Simbol yang bermakna adalah tindakan verbal berupa bahasa yang merupakan
mekanisme utama interaksi manusia. Penggunaan bahasa atau isyarat simbolik oleh
manusia dalam interaksi sosial mereka pada gilirannya memunculkan pikiran (mind)
yang memungkinkannya menginternalisasi masyarakat. Jadi menurut Mead, pikiran
mensyaratkan adanya masyarakat; dengan kata lain masyarakat harus lebih dulu ada
sebelum adanya pikiran (Mulyana, 2010: 84).
Dengan demikian pikiran adalah bagian integral dari dari proses sosial, bukan
sebaliknya proses sosial adalah produk pikiran. Menurut Mead, lewat berfikir yang
terutama ditandai degan kesadaran,manusia mampu mencegah tindakannya sendiri
untuk sementara, menunda reaksinya terhadap suatu stimulus (Mulyana, 2010: 86).
Manusia juga mampu mengambil suatu stimulus diantara sekian banyak stimulus alih-
alih bereaksi terhadap stimulus yang pertama dan yang paling kuat. Manusia pun
mampu pula memilih suatu tindakan di antara berbagai tindakan yang direncanakan
atau dibayangkan.
2. Diri (Self)
Diri adalah kemampuan untuk merefleksikan diri sendiri dari sudut pandang atau
pendapat orang lain. Disini diri tidak dapat dilihat dari dalam diri seseorang melalui
introspeksi diri. Bagi Mead, diri hanya bisa berkembang melalui kemampuan
pengambilan peran, yaitu membayangkan diri dari pandangan orang lain (West dan
Turner, 2007 : 103).
Konsep melihat diri dari pandangan orang lain sebenarnya sebuah konsep yang pernah
disampaikan oleh Charles Cooley pada 1912. Konsepnya adalah the looking glass self
yaitu kemampuan melihat diri melalui pantulan dari pandangan orang lain. Cooley
meyakini bahwa ada tida prinsip perkembangan sehubungan dengan the looking glass
self, yaitu (1) membayangkan penampilan kita di hadapan orang lain, (2)
membayangkan penilaian mereka terhadap penampilan kita, dan (3) merasa sakit hati
atau bangga karena perasaan diri.
3. Masyarakat (Society)
adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan, dibangun, dan dikonstruksikan oleh
tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap individu tersebut terlibat dalam perilaku
yang mereka pilih secara aktif dan sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia
dalam proses pengambilan peran di tengah masyarakatnya. Oleh karena itu masyarakat
terdiri dari individu-individu yang terbagi kedalam dua bagian masyarakat yang
mempengaruhi pikiran dan diri. Masyarakat yang pertama disebut Mead sebagai
particular others yang berisikan individu yang bermakna bagi individu yang
bersangkutan seperti anggota keluarga, teman dan rekan kerja, sedangkan masyarakat
yang kedua adalah generalized others yang merujuk pada kelompok sosial dan
budayanya secara keseluruhan. Generalized others menyediakan informasi tentang
peranan, peraturan dan sikap yang digunakan bersama oleh komunitas, sedangkan
particular others memberikan perasaan diterima dalam masyarakat dan penerimaan diri.
Generalized others seringkali membantu mengatasi konflik yang terjadi dalam
particular others. Dari pemaparan tentang latar belakang pemikiran besar tentang
manusia yang mempengaruhi pemikirannya.
METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma


konstruktivis dengan metode deskriptif. Metode deskriptif adalah suatu metode dalam
meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran,
ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang.
Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskipsi, gambaran atau
lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan
antar fenomena yang diselidiki. “Metodologi adalah proses, prinsip, dan prosedur yang kita
gunakan untuk mendekati problem dan mencari jawaban” (Mulyana, 2008: 145).
Menurut Sugiyono (2007: 1), metode penelitian kualitatif merupakan suatu penelitian
yang digunakan untuk meneliti pada objek yang alamiah dimana peneliti adalah sebagai
instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara gabungan, analisis data bersifat
induktif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna daripada generalisasi.
Penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan
menganalisis kualitas-kualitasnya, alih-alih mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif
(Mulyana, 2008: 150).
Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode penelitian deskriptif dengan analisis data kualitatif. Disebut sebagai metode deskriptif
karena penelitian ini tidak menggunakan hipotesis dan variabel melainkan hanya
menggambarkan dan menganalisis kejadian yang ada tanpa perlakuan khusus atas objek-
objek yang diteliti. Mengenai tipe deskriptif, Jalaludin Rakhmat dalam buku Metode
Penelitian Komunikasi menjelaskan bahwa “Penelitian deskriptif hanyalah memaparkan
situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji
hipotesis atau membuat prediksi”. (Rakhmat, 2008: 24) Lebih lanjut Jalaludin Rakhmat
menjelaskan “Ciri lain metode deskriptif ialah titik berat pada observasi dan suasana alamiah
(naturalisasi setting). Peneliti bertindak sebagai pengamat. Ia hanya membuat kategori
pelaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi”. (Rakhmat, 2008: 25).
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian kualitatif adalah dengan
melakukanobservasi, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi.
1) Observasi
Observasi yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pengamatan. Pengamatandilakukan
dengan cara participant observation, terhadap objek yang diteliti yaitu yang berkaitan
dengan hambatan komunikasi terapeutik yang dilakukan Bidan kepada Ibu Hamil dalam
upaya penurunan AKI di kabupaten Serang. Observasi yang peneliti lakukan yaitu
penelitian berdasarkan kondisi di lapangan, peneliti terlibat dalam kegiatan komunikasi
terapeutik tersebut lalu mengamati gejala-gejala yang ada di lapangan yang kemudian
dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan.
2) Wawancara
Wawancara yang dilakukan penulis dalam penelitian dimaksudkan untuk mengetahui
pandangan, kejadian, kegiatan, pendapat, perasaan dari nara sumber (subjek matter
expert). Wawancara yang dilakukan yaitu untuk mengetahui mengenai hambatan
komunikasi terapeutik yang dilakukan Bidan kepada ibu hamil. Penggunaan teknik ini
sangat penting bagi penelitian kualitatif, terutama untuk melengkapi data dan upaya
memperoleh data yang akurat dan sumber data yang tepat.
3) Studi Dokumentasi
Burhan Bungin (2007: 121), metode dokumenter adalah metode yang digunakan untuk
menelusuri data historis. Dokumentasi dalam penelitian ini diperlukan terutama untuk
memperkaya landasan-landasan teoritis dan mempertajam analisis penelitian yang
berkaitan dengan hambatan komunikasi terapeutik bidan kepada ibu hamil dalam upaya
penurunan AKI di kabupaten Serang.
Informan Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik sampling purposive, yakni memilih
informan sesuai dengan kebutuhan peneliti. Jadi, peneliti mengambil empat informan
yaitu:
1. Bidan Koordinator, Rina
2. Bidan Desa, Neneng
3. Pasien, Sumiati, 45 tahun, memiliki 4 orang anak
4. Pasien, Isti, 28 tahun, memiliki 2 orang anak

HASIL DAN PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang dilakukan, ada beberapa temuan di
lapangan berkaitan dengan topik penelitian peneliti, yakni hambatan komuikasi terapeutik
bidan kepada ibu hamil dalam upaya penurunan AKI di kabupaten Serang. Hasil penelitian
yang dilakukan menunjukkan bahwa proses komunikasi terapeutik yang dilakukan bidan
kepada ibu hamil pada hakikatnya adalah proses penyampaian lambang yang berarti oleh
bidan kepada ibu hamil, baik dengan maksud agar mengerti maupun agar berubah
perilakunya. Terlihat bahwa dalam komunikasi terdapat tiga unsur penting, yaitu :
komunikator, pesan, dan komunikan.
Komunikator adalah sumber yang memiliki ide atau gagasan mengenai sesuatu yang
akan disampaikan kepada komunikan. Pesan adalah gagasan yang berupa lambang-lambang
yang berarti dan disampaikan oleh komunikator kepada komunikan, sedangkan komunikan
adalah orang atau badan yang menerima pesan. Kegiatan komunikasi tidak akan berjalan
secara efektif apabila tidak didukung dengan ketiga faktor tersebut yaitu komunikator, pesan,
dan komunikan.
Dengan demikian, agar komunikasi berlangsung secara efektif maka kita harus
memerhatikan faktor-faktor tersebut, yaitu komunikator, pesan, dan komunikan. Faktor lain
yang penting dalam suatu proses komunikasi adalah umpan balik atau efek. Umpan balik
memegang peranan penting dalam komunikasi sebab ia menentukan berlanjutnya komunikasi
atau berhentinya komunikasi yang dilancarkan oleh komunikator . Dengan kata lain, umpan
balik menentukan sukses atau tidaknya sebuah proses komunikasi dilangsungkan.
1. Bidan sebagai Komunikator
Kredibilitas merupakan salah satu faktor dari komunikator yang mempunyai peranan
penting agar pesan yang dikomunikasikan dapat berjalan lancar dan dapat diterima atau
dipahami komunikan. Menurut Jalaludin Rakhmat (2008:257), dalam bukunya psikologi
komunikasi, kredibilitas adalah, “seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh
komunikator. Dalam penelitian peneliti, kredibilitas bidan tentu menjadi point penting
yang menunjang keberhasilan proses komunikasi terapeutik.
2. Sosialisasi sebagai Pesan
Pesan merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator
Effendy, 1998). Dalam menyampaikan pesan secara lisan, faktor pemilihan kata-
katamerupakan (hal yang sangat penting agar sasaran yang dituju mengerti dengan maksud
yang disampaikan. Dalam penelitian ini, bidan menyampaikan sosialisasi kepada para
pasien yang berkaitan dengan upaya penurunan AKI di kabupaten Serang.
3. Pasien Ibu Hamil sebagai
Komunikan Pasien yang menjadi komunikan dalam hal ini bisa siapa saja, tetapi untuk
kasus AKI biasanya diberikan pesan secara spesifik kepada para ibu hamil. Umpan balik
dari komunikan bisa bersifat verbal dalam bentuk, seperti “ya” untuk tanda setuju atau
“tidak” untuk tanda menolak, bisa juga bersifat non verbal dalam bentuk gerakan anggota
kepala tanda tidak mau, mengerutkan kening tanda tidak mengerti, mencibirkan bibir
tanda mengejek, dan lain-lain. (Effendy, 1994).
Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan kepada Ibu Hamil dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Peneliti melakukan observasi partisipan untuk
mengetahui lebih jelas tentang proses komunikasi terapeutik yang telah dilakukan kepada
pasien. Hal ini ditujukan agar peneliti dapat memahami hambatan apa saja yang
menyebabkan AKI ini masih tinggi, khususnya di kabupaten Serang. Melalui observasi
partisipan, peneliti dapat mengamati langsung proses komunikasi terapeutik yang
dilakukan, termasuk feedback yang diberikan oleh pasien. Maka, dari situlah, peneliti
menemukan hambatan-hambatan komunikasi terapeutik bidan kepada ibu hamil, yang
menyebabkan AKI nya pun masih tetap tinggi. Selain itu, peneliti pun melakukan proses
wawancara dengan beberapa informan, yaitu kepada Bidan sebagai komunikator, dan para
pasien sebagai komunikan, yang dalam hal ini berperan sebagai komponen komunikasi
terapeutik. Bidan Koordinator, Rina, yang menangani beberapa kasus kesehatan di
puskesmas Tunjung Teja ini, mengatakan bahwa: “Betul, ada beberapa kasus kesehatan
yang datanya itu tinggi sekali di puskesmas ini. Salah satunya, ya Angka Kematian Ibu
(AKI), yang gak ada ujungnya. Hampir setiap tahun AKI ini menunjukkan jumlah yang
tinggi.
Kami sebagai tenaga medis di sini tentunya makin prihatin dengan kondisi ini.
Padahal berbagai upaya telah kami lakukan, ada bidan desa, yang pastinya turun langsung
ke desa-desa, penyuluhan yang rutin juga kami agendakan supaya para pasien semakin
mengerti dengan kondisi AKI yang memprihatinkan ini. Malahan, saya sendiri aktif untuk
berkomunikasi langsung dengan para ibu itu, jadi dibuatlah kaderisasi ibu-ibu, supaya saya
mudah untuk menyampaikan pesan-pesan penting kepada mereka.” Pernyataan tersebut
telah menunjukkan bahwa pihak dinas kesehatan di kabupaten Serang, khususnya dalam
penelitian ini adalah puskesmas Tunjung Teja, telah melakukan berbagai upaya guna
menunjang terealisasinya penurunan AKI di kabupaten Serang. Peneliti pun mengamati
langsung bagaimana Koordinator Bidan tersebut melakukan proses komunikasi terapeutik
kepada para pasiennya. Beliau sangat gesit dan informatif dalam menyampaikan pesan-
pesan penting yang semestinya diketahui oleh para pasien. Proses komunikasi yang
tampak pun berjalan lancar. Begitupun halnya ketika peneliti melakukan wawancara
kepada Neneng, sebagai bidan desa. Mereka memberikan penuturan yang serupa, bahwa
mereka merasa telah melakukan berbagai upaya kepada para pasien, khususnya di sini,
adalah ibu hamil, agar semakin mengerti dan berupaya mendukung program pemerintah
kabupaten Serang untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI). Peneliti pun melakukan
wawancara dengan beberapa pasien untuk mendapatkan data yang akurat tentang
hambatan komunikasi terapeutik ini. Adapun hasil penelitian yang ditemukan peneliti
tentang hambatan komunikasi terapeutik ini, digolongkan dalam beberapa hal di bawah
ini:
1. Hambatan Semantik (Bahasa).
Seorang pasien bernama Sumiati, berusia 45 tahun, telah memiliki 4 orang anak,
menyampaikan penuturannya kepada peneliti ketika ditanyakan tentang proses komunikasi
terapeutik yang dilakukan bidan : “Iya bu, saya suka dikasih tau soal Angka Kematian Ibu
(AKI). Ngeri yah, tapi gimana ya, kadang saya juga ya gitu bu, ngerti gak ngerti gitu,
hehe... Jadi saya kalo dibilangin tuh, iya iya aja gitu bu. Terus kalo ngobrol sama tetangga,
saudara juga, kita ngobrolin yang umum aja gitu bu, gak pernah ngobrolin ya soal apa itu,
Angka Kematian Ibu ya. Saya gak ngerti juga bu dari bahasa-bahasanya kadang istilahnya
gak ngeuh gitu bu, hehe..”Pasien selanjutnya, bernama Isti, berusia 28 tahun, sudah
memiliki 2 orang anak, juga memiliki pendapat yang hampir sama dengan informan
sebelumnya: “Iya suka ada penyuluhan di puskesmas Tunjung Teja ini, saya suka disuruh
ikut sama bidan desanya, malahan suka ditelponin sama bidan koordinatornya, bu Rina itu
baik banget bu, perhatian gitu sama warga di desa sini tuh. Terus suka ngasih informasi
macem-macem bu, gak cuma soal apa tuh, Angka Kematian Ibu yah, tapi soal gizi buruk
juga buat anak sama ibu hamilnya. Tapi ya gimana bu, saya kadang gak ngerti juga, terus
kalo udah di rumah ya jadi lupa lagi gitu bu, hehe... Apalagi kalo udah kerja, kan saya
suka ikut ke sawah gitu bu, seharian, ya pulang-pulang pas udah sore aja, makan ya
seingetnya aja gitu bu, anak juga kalo saya ke sawah, ga makan juga kayaknya,
hehe...Tapi gimana lagi bu, kan hidup juga perlu uang ya bu..” Hasil wawancara yang
dilakukan peneliti dari informan ini menunjukkan adanya hambatan yang pertama, dalam
proses komunikasi terapeutik bidan kepada pasiennya, yakni hambatan semantik atau
bahasa. Berdasarkan tinjauan pustaka yang telah dijelaskan di atas bahwa hambatan
semantik adalah hambatan yang berasal dari keterbatasan simbol-simbol itu sendiri. Ada
beberapa karakteristik dari bahasa yang menyebabkan proses decording dalam bahasa
semakin sulit antara lain :
a. Bahasa itu statis sedangkan realitasnya dinamis
b. Bahasaituterbatas sedangkan realitasnya tidak terbata
c. Bahasa itu bersifat abstrak.
Hal ini terbukti dengan hasil wawancara yang dilakukan kepada para pasien yang
berperan sebagai komunikan dalam proses komunikasi terapeutik ini. Jadi, hambatan yang
pertama adalah bahasa, bahwa ketika para bidan atau tenaga medis lainnya telah
menyampaikan berbagai macam informasi pesan yang sangat penting, dalam berbagai
macam bentuk, termasuk dengan menggunakan media, seperti spanduk, brosur, pamflet,
dan lain-lain, ternyata bahasa yang diterima oleh para pasien dianggap sebagai bahasa
yang sulit untuk dimengerti. Meskipun, bidan koordinator, telah melakukan pendekatan
psikologis, sampai membentuk kaderisasi ibu-ibu untuk memudahkan koordinasi dalam
penyampaian informasi. Ketika peneliti melanjutkan wawancara kepada para pasien
tentang informasi pesan yang disampaikan melalui media, Sumiati menjawab sebagai
berikut: “Aduh, saya ga tau, gak pernah merhatiin juga, hehe... gak pernah ngeuh gitu bu
kalo ada spanduk, ada poster, sama yang lain. Iya kalo ada juga banyak dipasang di sini,
tapi saya nya ga baca aja mungkin ya, hehe..” Berdasarkan wawancara tersebut, jadi
ditemukanlah hambatan yang pertama dalam komunikasi terapeutik bidan kepada
pasiennya ini adalah hambatan semantik (bahasa).
2. Hambatan Budaya
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, peneliti menemukan hambatan yang
kedua dalam proses komunikasi terapeutik ini, yaitu hambatan budaya. Hambatan budaya
ini menjadi hal yang sangat penting. Satu pantangan bagi sang komunikator untuk
beranggapan, bahwa komunikan tumbuh dengan filosofi, gaya hidup, adat istiadat yang
sama. Maka kita tidak boleh "menyamaratakan" penggunaan teknik berkomunikasi kepada
setiap komunikan. Hal ini bisa saja terjadi karena budaya yang berbeda yang dimiliki oleh
sang komunikan. Dalam penelitian peneliti, komunikan di sini adalah para pasien atau ibu
hamil tersebut. Peneliti melihat adanya hambatan budaya dalam proses komunikasi
terapeutik ini karena pernyataan informan, Isti, yang memberikan penuturan sebagai
berikut: “Kalau soal informasi yang umum tadi itu ya udah dikasih tau sama bidan-
bidannya bu, termasuk bidan koordinator, bu Rina yang paling gesit ngasih kabar gitu.
Tapi saya kalo ga ngerti ya gimana juga bu, apalagi saya sekolah kan sampai SD aja bu,
jadi ya ga begitu paham juga. Kalo saya sih ngertinya, ya ngikutin kata orangtua di desa-
desa aja, kan kalo udah takdirnya meninggal, ya gimana ya bu, kan katanya udah ada
Allah yang ngatur soal hidup dan mati ya. Kalo saya ngobrol sama ibu-ibu yang lain juga
ya gitu sama bu, iya udah takdirnya aja sih. Jadi, kadang ga ngerti juga kalo udah dikasih
tau soal Angka Kematian Ibu yang tinggi, ya gimana lagi.” Berdasarkan pernyataan di
atas, peneliti menemukan adanya hambatan budaya yang menjadi hambatan juga dalam
proses komunikasi terapeutik yang dilakukan bidan kepada pasiennya, khususnya dalam
upaya penurunan Angka Kematian Ibu (AKI). Peneliti melihat adanya budaya, tradisi, dan
kepercayaan yang mereka pegang kuat jikalau itu berasal dari orangtua, leluhur, atau
nenek moyangnya. Mereka lebih mempercayai itu dibandingkan dengan fakta yang
ditunjukkan oleh para tenaga medis yang ada, seperti bidan, perawat, dokter, dan lain-lain.
Budaya memegang perana penting dalam keberhasilan proses komunikasi terapeutik.
Apalagi jika telah berhubungan dengan kepercayaan yang menyebar secara turun temurun,
adat istiadat dan budaya lah yang akan berhasil dalam proses penyampaian pesan.
3. Hambatan Psikologis
Selain kedua hambatan di atas, peneliti juga menemukan adanya hambatan
psikologis yang menjadi gangguan / noise dalam proses komunikasi terapeutik yang
dilakukan bidan kepada pasiennya. Hambatan Pribadi (Psikologis) adalah gangguan
komunikasi yang timbul dari emisi, nilai, dan kebiasaan menyimak yang tidak baik.
Hambatan pribadi seringkali mencakup jarak psikologi di antaranya orang-orang yang
serupa dengan jarak fisik sesungguhnya. (Arni Muhammad: 2009). Berdasarkan definisi di
atas, hambatan psikologis juga terjadi dalam proses komunikasi terapeutik ini. Peneliti
melihat adanya hambatan psikologis, karena ada emisi, nilai, dan kebiasaan menyimak
yang tidak baik, yang ada dalam diri para pasien sebagai komunikan. Hal ini tercermin
dalam penuturan informan, Sumiati, yang bercerita tentang dirinya: “Hehe..iya bu jadi
kalo pas bidan lagi menyampaikan informasi tuh yah, ya soal AKI ini, gizi buruk, atausoal
kasus yang lain, pas lagi itu aja saya iya iya gitu, padahal kadang saya ga menyimak juga
bu. Kan kalo kurang tidur misalnya bu, saya jadi ngantuk bu, belum lagi kalo banyak
pikiran ya bu, aduh apalagi kalo gak punya uang, haha.. Jadi, saya kadang ngedengerin
bener tapi jadi lupa lagi, tapi kadang gak merhatiin juga gitu bu. Abis gimana lagi ya bu,
saya juga bingung, hehe..” Peneliti menemukan adanya hambatan psikologis yang
dirasakan para pasien, sebagai komunikan dalam proses komunikasi terapeutik yang
dilakukan bidan kepada pasiennya. Hambatan psikologis ini tampak sepele, tapi bisa
menjadi gangguan yang utama, apalagi jika sesuai dengan yang disampaikan oleh
penuturan informan, karena ini sangat erat dengan diri seseorang. Mulai dari tingkat
kognisi, pemahaman, dan perilaku individu, dalam hal ini adalah para pasien, tentu akan
memicu timbulnya hambatan psikologis. Analisis Teori Interaksi Simbolik George Herbert
Mead menjelaskan konsep dasar dari interaksi simbolik, yang dapat disimpukan bahwa
terdapat tiga tema konsep interaksi simbolik, yaitu :
a) Pentingnya makna bagi perilaku manusia, dalam penelitian peneliti, pentingnya makna
penurunan AKI yang harus disepakati oleh bidan dan pasien.
b) Pentingnya konsep mengenai diri, dalam penelitian peneliti, pentingnya konsep diri setiap
pasien dalam memahami pesan yang disampaikan oleh bidan.
c) Hubungan antara individu dengan masyarakat, dalam penelitian ini, terlihat adanya
hubungan antara pasien dengan lingkungan masyarakatnya, yang akan mempengaruhi
keberhasilan proses komunikasi terapeutik yang dilakukan bidan dalam upaya penurunan
AKI di kabupaten Serang.
Aktivitas individu dalam menggunakan simbol atau bahasa dilakukannya melalui
interaksi dengan masyarakat. Hasil aktivitas individu ini akan berpengaruh pada
masyarakat tempat individu tersebut berinteraksi. Hubungan antara masyarakat dan
individu yang berinterkasi menggunakan simbol-simbol yang sama, akan mereka maknai
sesuai dengan interaksi mereka tersebut. Interaksi menggunakan simbol yang sama dalam
suatu masyarakat ini dapat membentuk konstruksi realitas sosial bagi individu yang
terlibat di dalamnya. Simbolisme suatu makna bukan hanya bahasa, simbolisme adalah
semua aspek tindakan manusia. Hal ini bukanlah ide baru, tetapi bahasa telah sangat
diistimewakan dalam karya-karya para ahli interaksi simbolik. Interaksi simbolik
memungkinkan manusia untuk memahami realitas dan berinteraksi dengan manusia lain
dalam suatu proses komunikasi, dalam arti pesan yang dimaknai dan ditransformasikan
pada pihak lain pada akhirnya dapat mempengaruhi pihak kedua dalam suatu proses
komunikasi yang timbal balik.
Hal ini relevan dengan penelitian peneliti, para informan, dalam hal ini adalah para
pasien yang mengalami transformasi pesan, di mana pesan yang dimaknai dan
ditransformasikan pada para anggotanya dapat mempengaruhi proses komunikasi yang terjadi
di antara mereka. Meskipun sedikit demi sedikit, informasi yang disampaikan oleh bidan lalu
diserap oleh para pasien, hal ini dapat membantu proses keberhasilan komunikasi terapeutik
yang dilakukan bidan. Adanya hambatan bahasa, hambatan budaya, dan hambatan psikologis
yang terjadi selama proses komunikasi terapeutik ini, tentu memungkinkan para pasien untuk
memahami realitas dan berinteraksi dengan bidan dalam proses transformasi pesan, seperti
yang diungkapkan George Herbert Mead melalui teori interaksi simbolik ini.
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, peneliti
menyimpulkan adanya hambata komunikasi terapeutik bidan kepada ibu hamil dalam upaya
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di kabupaten Serang, sebagai berikut:
1. Hambatan Semantik (Bahasa)
Hambatan yang pertama adalah bahasa, bahwa ketika para bidan atau tenaga medis
lainnya telah menyampaikan berbagai macam informasi pesan yang sangat penting, dalam
berbagai macam bentuk, termasuk dengan menggunakan media, seperti spanduk, brosur,
pamflet, dan lain-lain, ternyata bahasa yang diterima oleh para pasien dianggap sebagai
bahasa yang sulit untuk dimengerti. Meskipun, bidan koordinator, telah melakukan
pendekatan psikologis, sampai membentuk kaderisasi ibu-ibu untuk memudahkan koordinasi
dalam penyampaian informasi.
2. Hambatan Budaya
Peneliti melihat adanya budaya, tradisi, dan kepercayaan yang mereka pegang kuat
jikalau itu berasal dari orangtua, leluhur, atau nenek moyangnya. Mereka lebih mempercayai
itu dibandingkan dengan fakta yang ditunjukkan oleh para tenaga medis yang ada, seperti
bidan,perawat, dokter, dan lain-lain.
3. Hambatan Psikologis
Hambatan psikologis ini tampak sepele, tapi bisa menjadi gangguan yang utama,
apalagi jika sesuai dengan yang disampaikan oleh penuturan informan, karena ini sangat erat
dengan diri seseorang. Mulai dari tingkat kognisi, pemahaman, dan perilaku individu, dalam
hal ini adalah para pasien, tentu akan memicu timbulnya hambatan psikologis.

Saran
saran yang diberikan peneliti berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan
tentang hambatan komunikasi terapeutik bidan kepada ibu hamil dalam upaya penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI) di kabupaten Serang. Dalam upaya mencapai keberhasilan
penurunan Angka Kematian Ibu (AKI), sebaiknya pihak tenaga medis, dalam hal ini bidan
maupun tenaga medis lainnya, tetap semangat dan saling bekerjasama untuk memerhatikan
setiap hambatan komunikasi yang menjadi gangguan dalam proses komunikasi terapeutik
tersebut.
Hal ini mengingat, bukanlah hal yang mudah untuk mengatasi setiap hambatan
komunikasi yang ada, tetapi sebagai komunikator, dituntut untuk selalu aktif agar tujuan
pesannya tersebut dapat tercapai. Setelah ditemukannya hambatan dalam proses komunikasi
terapeutik ini, alangkah baiknya jika dilakukan evaluasi dalam menyusun rencana atau
program baru yang lebih variatif agar pasien semakin paham dengan konsep pentingnya
penurunan AKI tersebut.
REFERENSI

Arni Muhammad. 2009. Komunikasi Organisasi. Jakarta: Bumi Aksara


Bungin, Burhan. 2007. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Damaiyanti, Mukhripah. 2010. Komunikasi Terapeutik Dalam Praktik Keperawatan.
Bandung:
Rifika Aditama.Cetakan Kedua.
Depkes, Ri Nomor: 63/ Kes / 23 / 2011. Tentang Pedoman Umum Asuhan Kesehatan.
Effendy, Onong Uchjana. 1998. Ilmu Komunikasi, Teori, Dan Praktek. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Hakim, M. Lukman, Sinduwiatmo, Kukuh. Jurnal Elektronik : Pengaruh Komunikasi
Terapeutik Bidan
Terhadap Kepuasan Pasien Bersalin Di Rumah Sakit Bhayangkara Pusdik Brimob
Watukosek Gempol
Pasuruan. Jurnal Online Kanal, Vol. 2, No. 1, September 2013.
Machfoedz, Mahmud. 2009. Komunikasi Terapeutik, Yogyakarta: Ganbika
Mulyana, Deddy. 2008. Metodologi Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda
Karya.
Rakhmat, Jalaludin. 2008. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Rakhmat, Jalaludin. 2009. Metode Penelitian Komunikasi. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Kuantitatif, Kuantitatif Dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
West, Richard. Lynn H.Turner. 2007. “Pengantar Teori Komunikasi”. Jakarta:
Salemba Humanika.
Implementation Of Public Services: Terapeutic Communication Of Health
Professional To Patients In Serang Regency
Articleoct 2019 Ditha Prasanti Ikhsan Fuady View Recommended
Publicationsdiscover More Article
Full-Text Available Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesediaan Bidan Di
Desa Untuk Tetap Bekerja Dan Tinggal Di Des... June 2004 Makara Of Health Series
Sandra Fikawati, Wastidar Musbir, Ahmad Syafiq Factors Related To Willingness
Of Village Midwifes To Work And To Stay In The Village In Tangerang District,Banten
Province Year 2003. One Important Effort That Has Been Implemented By The Government
Of Indonesia Toaccelerate The Reduction Of Mmr (Maternal Mortality Rate) And Imr (Infant
Mortality Rate) In Indonesia Is Narrowingthe Distance Between Health Care Services And
Community Including ... [Show Full Abstract]
View Full-Text Chapter Lessons From Chiapas: Caring For Indigenous Women
Through A Femifocal Model Of Care January 2018
Cristina Alonso, Alison Danch, Jenna Murray De López, Janell Tryon By
Highlighting The Various Ways In Which Indigenous Women In The Colonial City Of San
Cristóbal De Las Casas Manage Maternal Health And Birth Care, In This Chapter We Intend
To Provide A Counter-Narrative To The Dominant Approach Which Conflates Medicalized
Maternal Health With Low Mortality Ratios; Regardless Of The Quality Of Interventions
And The Cultural Preferences Of Diverse Populations. ... [Show Full Abstract]
Read More, Article Fistula Prevention Awareness November 2018 · Nepal Journal Of
Obstetrics And Gynaecology

Sajjad Ahmed Siddiqui Aim: Genital Tract Fistula Is A Known Tragedy In Pakistan.
We Know The Causes Of This Tragedy And We Also Know The Methods To Eradicate This
Curse From The Community. Despite The Initiative From Unfpa, Islamic Development Bank
And Other Concerned Stake Holders The Government Of Pakistan Has Failed To Address
The Issue And An Organized System Is Not Developed To Reduced Maternal Death Rate
And ... [Show Full Abstract]
Read More Article Kepatuhan Bidan Desa Terhadap Standart Pelayanan Antenatal Di
Jawa Timur (Antenatal Care Services St... August 2017 · Jurnal Ners

Purwaningsih, Ni Ketut Alit, Esti Yunitasari, Introduction: The High Maternal


Mortality Rate (Mmr) Require Attention To Implementing Improvement Programs And
Improving Maternal Health. According To Data From East Java Health Offi Ce Aki During
2009 Were 260/100,000 Live Births. Indicators Of Maternal Monitoring Imple Can Be Seen
From Figure K1 Coverage (Visit Pregnant Women In The First Pregnancy) And K4 (Contact
At Least 4 Times During ... [Show Full Abstract]
Read More Last Updated: 05 Jul 2022 Top Of Form Bottom Of Form Discover By
Subject Area

Recruit Researchers, Join For Free Company About Us News Careers Support Help
Center Business Solutions Advertising Recruiting © 2008-2022 Researchgate Gmbh. All
Rights Reserved.

Terms, Privacy, Copyright, Imprint


HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK BIDAN KEPADA IBU HAMIL DALAM
UPAYA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU (AKI) DI SERANG (STUDI
DESKRIPTIF KUALITATIF TENTANG HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK
BIDAN KEPADA IBU HAMIL DI PUSKESMAS TUNJUNG TEJA, KABUPATEN
SERANG)

https://www.researchgate.net/publication/
330929576_HAMBATAN_KOMUNIKASI_TERAPEUTIK_BIDAN_KEPADA_IBU_HAM
IL_DALAM_UPAYA_PENURUNAN_ANGKA_KEMATIAN_IBU_AKI_DI_SERANG_ST
UDI_DESKRIPTIF_KUALITATIF_TENTANG_HAMBATAN_KOMUNIKASI_TERAPEU
TIK_BIDAN_KEPADA_IBU_HAMIL_D

February 2017, Jurnal Nomosleca 2(2) DOI:10.26905/nomosleca.v2i2.606 Authors: Discover


the world's research 20+ million members, 135+ million publications, 700k+ research
projects, Join for free

HAMBATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK BIDAN KEPADA IBU HAMIL DALAM


UPAYA PENURUNAN ANGKA KEMATIAN IBU (AKI) DI SERANG
Studi Deskriptif Kualitatif tentang Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan kepada Ibu
Hamil di Puskesmas Tunjung Teja, Kabupaten Serang Ditha Prasanti, Ikhsan Fuady, Prodi
Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran dithaprasanti@gmail.com
ABSTRACT

As a health worker, midwife should have a good therapeutic communication skills, so


that he can establish a relationship of trust with the patient, providing professional
satisfaction inobstetric care, and improve the image of the profession of midwifery. But the
most important is to apply their knowledge to help their fellow human beings. Maternal
Mortality Rate (MMR) is one of the indicators that should be considered by the midwife. If
the Maternal Mortality Rate (MMR) increases, the solution must be found in order to prevent
this AKI. This is why researchers are interested to raise the research on Therapeutic
Communication Barriers To Midwives Pregnancy Prevention in Maternal Mortality Rate
(MMR).
The purpose of this study is the researcher wanted to know how therapeutic
communication barriers between midwives to pregnant women in the prevention of maternal
mortality is increasing. Based on data obtained from the Department of Health, the maternal
mortality is very high in Serang district. Therefore, in this study, the researchers raised the
case of therapeutic communication barriers midwives to pregnant women in the of Serang. In
this study, researcher used a qualitative approach with descriptive methods. The data
collection techniques are observation, interviews, and documentation study. The theory of
communication shall be used to analyze this research is the theory of symbolic interaction.
Results of research have shown that therapeutic communication barriers that occur between
midwives to pregnant women in Puskesmas Tunjung Teja Serang Regency is a semantic
barriers (language), cultural barriers, and psychological barriers. Keywords: Barriers,
Therapeutic Communication, Midwives, Pregnancy, Serang

2.3 Analisis Masalah


Berdasarkan penjelasan artikel tentang kasus yang berkaitan dengan masalah
komunikasi efektif dalam pelayanan kebidanan yang terjadi di Indonesia maka
menurut pendapat saya permasalahan tersebut bisa terjadi karena:
1. Bagaimana komunikasi terapeutik para bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di Indonesia?
2. Faktor-faktor apa yang menghambat komunikasi terapeutik antara bidan dan Ibu
Hamil dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di Indonesia?

2.4 Pemecahan Masalah


Cara pemecahan masalah dari analisis permasalahan Hambatan Komunikasi
Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu
(Aki) menurut saya Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokusnya adalah :
1. Fokus Penelitian
Agar tidak terjadi salah pengertian terhadap konsep-konsep yang
digunakan dalam penelitian ini, maka perlu untuk memberi batasan pengertian.
Adapun focus penelitian yaitu: Komunikasi Terapeutik Antara bidan dan Ibu
Hamil. Pembahasan dalam penelitian ini lebih terfokus Dalam Upaya Penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI)
2. Deskripsi Fokus Komunikasi terapetik suatu bakat komunikasi yang membahas
tentang bagaimana komunikasi dua arah antara komunikator dan komunikan atau
komunikasi antara bidan dan ibu hamil, komunikasi antara orang-orang secara
tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain
secara langsung, baik verbal maupun non verball. Sedangkan pada terapeutik
disini lebih memfokuskan pada bentuk komunikasi yang bertujuan Penurunan
Angka Kematian Ibu (Aki), bidan adalah juru yang berupaya Dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) sedangkan ibu hamil seorang yang
membutuhkan komunikasi terapeutik.
Komunikasi terapeutik antara bidan dan ibu hamil , jika telah berlangsung
dengan baik. Hal ini akan tercermin dari cara bidan memberikan komunikasi
secara langsung yang lembut dan ekspresi wajah yang menyenangkan kepada
ibu hamil juga dengan bakat perhatian kepada ibu hamil dengan mendegarkan
keluhan-keluhan ibu hamil dengan seksama, memberikan umpan balik yang
mudah di mengerti dan selalu tersenyum dengan ramah dan berbahasa dengan
santun.
Komunikasi terapeutik para bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya Penurunan
Angka Kematian Ibu (Aki) melalui hubungan terapeutik diarahkan pada pertumbuhan
klien meliputi :
(1) Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran
serta dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien
pecaya pada hal yang diperlukan.
(2) Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
(3) Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Tujuan terapeutik akan tercapai bila bidan memiliki karakteristik sebagai berikut :
a. Kesadaran diri.
b. Klarifikasi nilai.
c. Eksplorasi perasaan.
d. Kemampuan untuk menjadi model peran
e. Rasa tanggung jawab dan etik.
Karakteristik dari seorang bidan yang dapat memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang
terapeutik. Berikut komponen-komponen komunikasi terapeutik tersebut antara lain:
a. Kejujuran (trustworthy)
b. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif
c. Bersikap positif
d. Empati bukan simpati
e. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien
f. Menerima klien apa adanya
g. Sensitif terhadap perasaan klien
h. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri
Faktor-faktor yang menghambat komunikasi terapeutik antara bidan dan Ibu Hamil
dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di Indonesia yaitu :
(1) Hambatan Pribadi (Psikologis) adalah gangguan komunikasi yang timbul dari
emisi, nilai dan kebiasaan menyimak yang tidak baik. Hambatan pribadi
seringkali mencakup jarak psikologi diantaranya orang-orang yang serupa dengan
jarak fisik sesungguhnya.
(2) Hambatan Fisik adalah gangguan komunikasi yang terjadi di lingkungan tempat
berlangsungnya komunikasi.
(3) Hambatan Semantik adalah hambatan ini berasal dari keterbatasan simbol-simbol
itu sendiri.
Ada beberapa karakteristik dari bahasa yang menyebabkan proses decording dalam
bahasa semakin sulit antara lain :
a.Bahasa itu statis sedangkan realitasnya dinamis,
b.Bahasa itu terbatas sedangkan realitasnya tidak terbatas,
Bahasa itu bersifat abstrak. Selain tahap-tahap dan akibat adanya hambatan
dalam komunikasi, maka umpan balik sangat diperlukan. Umpan balik merupakan
arah yang utama bagi pengirim pesan untuk memonitor apakah pesannya dimengerti
dan dimanfaatkan oleh penerima sesuai dengan harapannya.

2.5 Kasus Komunikasi Yang Saya Alami Sebagai Bidan Desa Embacang Gedang
(Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di desa Embacang Gedang Kecamatan
Tanah Sepenggl Lintas Tahun 2022

Bismillahhirrohmanirrohim

Nama saya Bidan Radhia Mifa, Amd. Keb usia 32 Tahun. Berprofesi sebagai
bidan merupakan Pilihan hidup saya. Saya begitu bangga dengan profesi ini. Sebab,
itulah yang menjadi andalan hidup setelah melewati proses pendididkan kebidanan
yang butuh perjuangan. September 2011 saya menamatkan pendidikan D3 Kebidanan
di Akademi Kebidanan Imam Bonjol Padang Panjang. Tahun saat mulai
diberlakukannya surat tanda registrasi jika ingin bekerja menjadi Bidan PTT.
Akhirnya saya memutuskan 1 Tahun untuk bekerja diBPS sambil menunggu STR
keluar. Tahun 2012 STR saya keluar. Kala itu saya mendaftar menjadi Bidan Honorer
di Dinas Kesehatan Kabupaten Bungo. Alhamdulillah lulus. Saya di tempatkan di
Puskesmas Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Pertama
bekerja di bulan September 2012 saya berdinas di Puskesmas, beberapa bulan
kemudian di tempatkan di UGD. Januari 2013 saya dinas di ruangan Persalinan
Puskesmas. Pada 28 Agustus Tahun 2013 saya dipindah tugaskan menjadi Bidan Desa
Embacang Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, mengisi kekurangan Tenaga
Kesehatan Bidan Desa di Desa tersebut.
Berbekal Ilmu pengetahuan yang saya dapatkan dibangku perkuliahan,
pengalaman kerja diBPS, Puskesmas, UGD dan ruangan persalinan saya memulai
tugas baru menjadi Bidan Desa Embacang Gedang. Saya yang merupakan warga
pendatang awalnya merasa berat menjalani tugas ini. Karena agak sulit berintekrasi
dengan masyarakat sekitar, mereka keras dan jarang mau diberi pendapat. Banyak
kasus pernikahan dini, hamil di usia kurang 20 tahun. Persalinan saat itu ditolong oleh
Mak Dukun beranak. Mayoritas penduduk desa itu adalah pribumi. Sementara saya
asli Minang. Bahasa yang berbeda, kebiasaan, adat istiadat dan cara Mak dukun
beranak dalam membantu persalinan saat itupun berbeda dengan Teori pembelajaran
Asuhan Persalinan Normal yang saya pelajari di Akademi Kebidanan. Pantangan
makanan yang tidak boleh untuk ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, bayi dan balita pun
masih sangat banyak. Sementara sebenarnya ibu hamil, ibu bersalin, ibu nifas, bayi
dan balita membutuhkan banyak gizi. Persentase IMD dan Asi Eksklusif pun masih
sangat rendah.
Bulan pertama menjadi bidan desa saya mulai melakukan pendekatan kepada
Mak dukun, agar mau melakukan kerja sama saat menolong persalinan. mengaktifkan
posyandu, mengangkat mak dukun dan beberapa warga menjadi kader diposyandu
dan kader untuk beberapa program kesehatan. Bekerja sama dengan Tuk rio,
perangkat desa, untuk membantu saya merubah persepsi dan kebiasaan masyarakat
tentang kesehatan kearah yang sebenarnya. Bermodalkan keberanian, tahan banting
dan skill kebidanan saya menjalankan tugas untuk terampil serta bisa mengambil
keputusan dengan cepat dan tepat, terutama saat ada kasus gawat darurat. Memeriksa
ibu hamil, membantu kelahiran, mengontrol pasca melahirkan, pelayanan KB,
Imunisasi, pelayanan kesehatan kepada bayi, balita, apras, usia sekolah, remaja, catin,
menopause dan lansia merupakan pekerjaan saya sehari-hari sebagai bidan desa.
Semua saya kerjakan berdasarkan ilmu yang didapat dibangku kuliah dan
pengalaman kerja. Menjadi bidan desa menuntut saya harus bisa melakukan semua
pelayanan kesehatan termasuk pengobatan. Baik kepada wanita sepanjang daur
kehidupan yang menjadi sasaran utama pekerjaan saya maupun pengobatan penyakit
umum pada masyarakat. Lucunya saya juga harus mampu mengobati hewan ternak
warga yang sakit. Sementara ilmu meresep obat sedikit saya dapatkan dijenjang
pendidikan D3 Kebidanan. Untuk meresep obat saya banyak belajar dari BPS,
Puskesmas, UGD, dan ruang persalinan secara ilmu turun temurun dari Bidan senior.
01 September 2013 saya mulai bertugas menajadi Bidan Desa Embacang
Gedang. Saat ini lah dimulai kasus komunikasi berat yang saya alami dengan warga
dusun Embacang Gedang. Sementara tugas saya menjadi seorang bidan menjadi ujung
tombak kesehatan dalam melayani masyarakat. Puskesmas jauh jaraknya 8 kilo meter
dari tempat tugas saya yang baru. Namun hal itu tak membuat saya patah semangat
dalam memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat desa Embacang Gedang. Bidan
dimasyarakat dituntut untuk profesional dan mampu memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas kepada masyarakat. Pelayanan kesehatan tergantung dari kompetensi
bidan, ketersediaan sarana dan prasarana yang mendukung, kondisi lingkungan kerja
yang kondusif serta standar mutu pelayanan kesehatan lainnya dalam hal ini
pelayanan kesehatan ibu dan anak.
Hambatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya
Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) dan Angka kematian Bayi (AKB) di Desa
Embacang Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas Kabupaten Bungo awal mula
yang saya rasakan saat pertama kali bertugas. Saat saya memulai tugas dengan
melakukan pendataan ibu hamil bersama mak dukun dan kader penolakan terhadap
saya dimulai. Saya memberikan buku KIA, memasang stiker P4k, pemberian tablet
Fe, memberikan promosi kesehatan ibu dan anak, pemeriksaan ibu dan janin,
meyarankan persalinan difaskes. Banyak dari ibu hamil yang seakan menganggap
tindakan saya konyol. Katanya “Dak iluk kalu orang tau kito hamil pamali, makanan
yang kami makan suailah dengan makanan yang dimakan ninek kami buko, dak perlu
diperikso, cukup diurut, jadilah beranak diumah samo dukun beranak mintak aek
selusuh pak imam, uweh-uweh daun jadilah payah gi munum ubat”, begitulah
beberapa kalimat yang saya dengar dari warga.
Saat pertama menolong persalinan Oktober 2013 di Desa Embacang Gedang
keluarga pasien menjemput saya kerumah tengah malam. Katanya disuruh mak
dukun. Alhamdlillah saya sudah berhasil saat pertama masuk desa melakukan
pendekatan dengan mak dukun dan melakukan kolaborasi menolong persalinan.
Bermodalkan Bidan kid saya meluncur dengan sepeda motor suami pasien kerumah
ibu bersalin. Saya kaget bukan main. Ibu bersalin baring dikasur tanpa alas didapur.
Dengan lampu togok dan senter hp saya dan mak dukun menolong persalinan. Mak
dukun melakukan Pd tanpa hand scoon. Ibu bersalin disuruh minum kopi telur,
minum air putih selusuh dan makan nasi putih dicampur air the. Katanya itu tradisi.
Saat bayi mau lahir mak dukun menekan perut ibu. Setelah bersalin bayi langsung
dimandikan, dikasi bedak, ibu tak boleh makan selain nasi putih dan sayur jantung
pisang dicampur ikan tri rebus. bayi lahir langsung dikasi madu. Semua bertentangan
dengan ilmu kebidanan yang saya pelajari. Saya mencoba menjelaskan perlahan tapi
mendapat penolakan.
Tidak samapai disana saja. Saya masih mengalami kesulitan saat mengajak ibu
hamil, bayi dan balita keposyandu. Saya memulai komunikasi dengan bantuan kader
untuk melakukan posyandu dari rumah kerumah warga. Turun kunjungan rumah lagi
untuk menjelaskan kepada pasien yang terdiagnosa TBC, gangguan jiwa bersama
warga. Ini sangat berat. Lgi-lagi saya diusir, dibentak, ada yang sampai memusuhi
saya kaena mengatakan dia sakit padahal dia orang mampu secara ekonomi.
Baru-baru ini saya juga kesulitan mengajak warga Isolasi mandiri bagi yang
terpapar covid-19 dan untuk vaksin covid-19. Karna tidak ada warga yg mau datang
saya pun bersama petugas vaksinator kerumah warga melakukan vaksinasi. Diawal
awal bukannya berhasil malah ssat melihat kami warga menutup pintu, ada yang
marah-marah bahkan mengusir. Warga tidak mau untuk sweb dan melakukan isolasi
mandiri.
Saya mencoba sebagai bidan yang memiliki keterampilan komunikasi
terapeutik yang baik, menjalin hubungan rasa percaya dengan klien, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan kebidanan, dan meningkatkan citra profesi
kebidanan. Namun yang terpenting adalah mengamalkan ilmunya untuk menolong
terhadap sesama manusia. Dengan komunikasi terapeutik saya berharap untuk
mengurangi beban perasaan dan rasa takut yang ada pada pasien, mengurangi
keraguan pasien serta dapat mempengaruhi orang lain dan lingkungan. Pentingnya
komunikasi terapeutik dalam membantu menurunkan rasa sakit dan takut dalam
proses persalinan menurut saya sangat diperlukan. Oleh karena itu, saya dalam
persalinan harus bisa membuat pasien lebih percaya diri karena bila pasien itu grogi
atau gugup dalam persalinanannya baik secara fisik maupun mental belum siap maka
timbul rasa ketakutan sehingga rasa sakit dan takut itu akan bertambah, maka dengan
komunikasi terapeutik inilah dapat mengatasi masalah pasien tersebut.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang saya rencanakan secara sadar,
bertujuan dan dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Komunikasi terapeutik termasuk
komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antar bidan
dengan pasien. Persoalan mendasar dan komunikasi ini membuat rasa adanya saling
membutuhan antara bidan dan pasien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam
komunikasi pribadi di antara bidan dan pasien, bidan membantu dan pasien menerima
bantuan. Inilah yang selalu saya terapkan untuk mengatasi masalah komunikasi saya
dengan warga Desa.
Berlahan seiring waktu saya mencoba merubah semua itu. Dengan terus
pendekatan dengan mak dukun, ibu hamil sudah bisa saya bawa bersalin dirumah
saya, dan sekarang semua ibu hamil sudah saya arahkan melahirkan bersama saya
difaskes. Posyandu sudah aktif tiap bulan dengan sasaran yang datang lebih dari 50%.
PTM, KLS ibu hamil, KLS Balita, Pertemuan Remaja, Posyandu lansia juga sudah
bisa saya ajak warga untuk ikut serta nsetiap bulan. Stanting pun juga sudah tidak ada
didesa saya bekerja. Vaksin covid berjalan lancar, 85% warga sudah mendapatkan
sampai dosis ke-2. Warga yang terpapar covid sudah mau isolasi mandiri berkat kerja
sama kami nakes puskesmas taseplin dengan pak camat, tuk rio, pemuka adat,
kepolisian, dan babinsa. Warga Desa Embacang Gedan sekarang sudah paham akan
kesehatan selalu memeriksakan diri ketenaga kesehatan.
Tanggal 2-3 Oktober 2021 saya memutuskan mengikuti pelatihan Midwifery
Update di Jambi. Ternyata saya merasa jauh tertinggal. Ilmu Kebidanan berkembang
begitu pesat dalam kurun waktu 10 Tahun setelah saya tamat D3 kebidanan. Saya
merasa bersalah jika saya tetap mempertahankan ilmu lama dalam memberi asuhan
kebidanan. Saya tidak mau tertinggal dan berusaha untuk dapat menjalani profesi
sesuai apa yang seharusnya dilakukan. Saya niatkan dalam hati saya harus menjadi
bidan yang Update.
Tahun 2022 saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan Sarjana
Kebidanan di Institut Kesehatan Prima Nusantara Bukittinggi. Saya ingin mengupdate
ilmu karna S1 kebidanan banyak mengajarkan teori agar bidan bisa profesionalisme
dalam praktek. Sejalan dengan Perkuliahan S1 kebidanan yang saat ini saya jalani dan
tetap menjalani tugas sebagai Bidan Desa membuat saya berlahan menjadi bidan yang
multitalenta, mampu berkomunikasi efektif dalam praktek kebidanan. Dalam meresep
obat pun saya merasa lebih percaya diri dengan ilmu farmakologi klinis bagi bidan
yang saya dapatkan. Saya bisa lebih memahami biologi reproduksi, genetika,
embriologi, endokrionologi, fisiologi kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir,
askeb remaja, perimenoupose, askep pranikah, dan prakonsepsi. Karena saya merasa
bidan pekerjaan yang mulia, seorang bidan bertugas membantu kehadiran manusia
baru kedunia ini. Saya bercita-cita nanti setelah tamat S1 kebidanan ingin lanjut
profesi. Agar saya bisa memberikan pelayanan kesehatan yang lebih optimal kepada
pasien, Dengan bermodal ilmu evidencebased dan menjadi bidan yang mampu
memanfaatkan kecanggihan ilmu teknologi berlandaskan pendidikan budaya anti
korupsi.
Sekarang seiring berjalannya Perkulihan Sarjana kebidanan saya bercita-cita
setelah nanti menamatkan profesi ingin menjadi Dosen, melanjutkan pendidikan S2,
membuka Klinik dan predikat bidan delima, bisa bekerja sama dengan dokter praktek
untuk mendampingi, dan dapat membuka lowongan pekerjaan juga buat tamatan
sekolah kesehatan nantinya. Saya ingin menjadi maunusia yang berguna. Amin,
Amin, Yarobbal Allamin.
Sedikit cerita dari saya, Radhia Mifa, Amd. Keb, Tempat Tugas Bidan Desa
Embacang Gedang, Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas, Kabupaten Bungo, Provinsi
Jambi, UPT puskesmas Tanah Sepenggal Lintas. Menjadi Bidan Desa dari Tahun
2013- Tahun 2022. Terima Kasih. Semoga cerita saya menjadi bidan yang dulu dan
sekarang bisa menginspirasi banyak orang. Amin
Gambar 2.1 cara pengukuran status gizi

Setelah dilakukan pengukuran timbang berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas,
bidan melakukan penghitungan IMT sebagai dasar dalam memberikan konseling. Hal ini
dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 3.1 Pengukuran status gizi
Hasil pengukuran status gizi dijadikan dasar oleh bidan untuk memberikan konseling
gizi seimbang seperti pada gambar berikut :

Gambar 4.1 Gizi seimbang

Gambar 5.1 Empat pilar gizi seimbang


Berdasarkan gambar di atas, dalam merencanakan kehamilan sehat, calon pengantin/calon
ibu harus memahami mengenai gizi seimbang dan menerapkan 4 pilar gizi seimbang
dalam kehidupan sehari-hari dan ditambah mengkonsumsi asam folat untuk membantu
memenuhi kebutuhan asam folat dalam tubuh. Untuk calon pengantin yang mengalami
anemia defisiensi besi, suplementasi Fe sangat dibutuhkan dan perlu dilakukan evaluasi
kenaikan kadar Hb sebelum terjadi kehamilan.
1. Skrining Status Imunisasi TT
Imunisasi TT menjadi salah satu program yang wajib dilakukan oleh calon pengantin
sebagai syarat mendaftar menikah. Hal ini merupakan upaya untuk mencegah terjadinya
tetanus neonatorum. Adapun penjelasan imunisasi TT tertera pada gambar berikut ini :

Gambar 6.1 Imunisasi Tetanus

Gambar 7.1 Status Imunisasi Tetanus


Berdasarkan gambar di atas, bidan dituntut untuk memiliki keahlian dalam menggali
informasi mengenai status imunisasi TT pada calon pengantin.

2. Menjaga Kesehatan Organ Reproduksi


KIE yang dapat diberikan untuk menjaga kesehatan organ reproduksi wanita meliputi :
a. Menggunakan pakaian dalam berbahan katun menyerap
b. Cebok dari arah vagina ke dubur
c. Mengganti pembalut maksimal 4 jam sekali
d. Tidak perlu menggunakan cairan pembersih vagina terlalu sering
e. Jangan mengenakn pembalut tipis terlalu sering
f. Gunakan handuk kering dan bersifat pribadi
g. Dan lain-lain

3. Kondisi Kesehatan Yang Perlu Di Waspadai


Beberapa kondisi kesehatan sebelum hamil harus menjadi perhatian khusus agar tidak
mempengaruhi kehamilan. beberapa kondisi kesehatan yang perlu di waspadai akan
dijelaskan pada gambar berikut :
a. Anemia

Gambar 8.1 Anemi


b. Hepatitis B

Gambar 9.1 Hepatitis B


c. Diabetes Mellitus

Gambar 10.1 Diabetes Mellitus

d. Malaria dan TORCH

Gambar 11.1 Malaria dan TORCH


Gambar 12.1 Penjelasan TORCH dan Malaria

e. Penyakit genetik thalasemia

Gambar 13.1 Thalasemia


Gambar 14.1 penjelasan thalassemia

f. Penyakit genetik hemofilia


Gambar 15.1 Hemofilia

Gambar 16.1 Penjelasan hemophilia

STANDAR OPERATING PROSEDUR


PRODI KIE PERSIAPAN KEHAMILAN SEHAT
KEBIDANAN
PROGRAM NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN
PROFESI
PROSEDUR DITETAPKAN OLEH
TANGGAL
TETAP
DITETAPKAN
( )
Pengertian Memberikan konseling edukatif mengenai persiapan kehamilan
sehat agar terjadi perubahan pengetahuan dan perilaku calon
pengantin / calon orang tua untuk mempersiapkan kehamilan dengan
baik.
Indikasi Untuk semua calon pengantin/pasangan yang merencanakan
kehamilan
Tujuan 1. Untuk mempersiapkan kehamilan sehat tanpa komplikasi
Petugas Mahasiswa Kebidanan
Skenario Seorang perempuan datang ke Puskesmas bersama pasangannya untuk
berkonsultasi mengenai perencanaan kehamilan.
Pengkajian Mengkaji keadaan umum pasien
Persiapan pasien Menjelaskan tujuan dilakukan KIE
Persiapan ruang dan Persiapan ruang
alat 1. Ruangan yang nyaman dan tertutup
2. Tenang dan jauh dari keramaian
3. Ventilasi cukup Persiapan Alat
4. Timbangan
5. Pengukur tinggi badan
6. Pengukur lila
7. Food model
8. Lembar balik
9. dokumentasi
10. Bolpoin
Langkah-langkah 1. Menjelaskan tujuan KIE pada calon pengantin/calon ibu
2. Melakukan pemeriksaan status gizi
3. Menghitung IMT catin dan menjelaskan hasil perhitungan
4. Menjelaskan setiap pasangan catin untuk mengkonsumsi
makanan gizi seimbang
5. Menjelaskan bahwa setiap catin perempuan dianjurkan
mengkonsumsi tablet tambah darah yang mengandung zat besi
dan asam folat minimal seminggu sekali
6. Menjelaskan manfaat imunisasi TT
7. Menjelaskan jangka waktu pemberian imunisasi TT
8. Menjelaskan mengenai anemia dan bahayanya
9. Menjelaskan mengenai kekurangan gizi dan bahayanya
CEKLIST KIE PERSIAPAN KEHAMILAN SEHAT
Petunjuk penilaian :
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
NO ASPEK YANG DINILAI NILAI
A SIKAP DAN PERILAKU 0 1 2
1 Menyambut pasien dengan sopan dan ramah
2 Memperkenalkan diri kepada pasien
3 Menjelaskan prosedur yang akan dilaksanakan
4 Menjaga privasi pasien
5 Tanggap terhadap reaksi pasien dan kontak mata
Score :10
B ISI/KONTEN
Persiapan gizi
6 Menghitung IMT catin dan menjelaskan hasil perhitungan
7 Menjelaskan setiap pasangan catin untuk mengkonsumsi
makanan gizi seimbang
8 Menjelaskan bahwa setiap catin perempuan dianjurkan
mengkonsumsi tablet tambah darah yang mengandung zat besi
dan asam folat minimal seminggu sekali
Persiapan imunisasi
9 Menjelaskan manfaat imunisasi TT
10 Menjelaskan jangka waktu pemberian imunisasi TT
Konseling kondisi kesehatan yang perlu diwaspadai
11 Menjelaskan mengenai anemia dan bahayanya
12 Menjelaskan mengenai kekurangan gizi dan bahayanya
13 Menjelaskan mengenai hepatitis B dan upaya pencegahan pada
catin
14 Menjelaskan mengenai diabetes melitus dan resikonya
15 Menjelaskan mengenai malaria dan dampaknya bagi catin
16 Menjelaskan mengenai TORCH dan dampaknya bagi catin
Konseling penyakit genetik yang dapat mempengaruhi
kehamilan dan kesehatan janin
17 Menjelaskan mengenai thalasemia dan dampaknya pada catin
18 Menjelaskan mengenai pencegahan thalasemia bagi catin
19 Menjelaskan mengenai hemofilia dan dampaknya pada catin
20 Menjelaskan mengenai pencegahan hemofilia pada catin
Score : 30
C TEKNIK
21 Teruji melaksanakan secara sistematis
22 Teruji menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
23 Teruji memberikan perhatian terhadap respon pasien
24 Teruji melaksanakan dengan percaya diri dan tidak ragu-ragu
25 Teruji mendokumentasikan hasil
Score : 10
Total Score : 50
Nilai akhir = (Total score :50) x 100
MATERI 2
ANAMNESA PRANIKAH DAN PRAKONSEPSI
STANDAR OPERATING PROSEDUR
PRODI KEBIDANAN ANAMNESA PRANIKAH DAN PRAKONSEPSI
PROGRAM PROFESI NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN
PROSEDUR TETAP DITETAPKAN OLEH
TANGGAL
DITETAPKAN
( )
Pengertian 1. mengumpulkan informasi tentang riwayat kesehatan dan
kehamilan yang dapat digunakan dalam proses membuat
keputusan klinik untuk menentukan diagnosis dan
mengembangkan rencana asuhan atau perawatan yang
sesuai
Indikasi 2. Untuk semua calon pengantin/pasangan yang
merencanakan kehamilan
Tujuan 3. Untuk mengetahui kesehatan sebelum hamil
Petugas 4. Mahasiswa Kebidanan
Skenario Seorang perempuan datang ke Puskesmas bersama pasangannya
membawa pengantar dari KUA untuk mendapatkan layanan
pranikah.
Pengkajian Mengkaji keadaan umum pasien
Persiapan pasien Menjelaskan tujuan dilakukan anamnesa
Persiapan ruang dan alat Persiapan ruang
5. Ruangan yang nyaman dan tertutup
6.Tenang dan jauh dari keramaian
7.Ventilasi cukup Persiapan Alat
8. Lembar dokumentasi
9. Bolpoin
Langkah-langkah 1. Menjelaskan tujuan anamnesa pada calon
pengantin/calon ibu
2. Melakukan anamnesa pada ibu meliputi :
a) Menanyakan identitas pasien dan suami
b) Menanyakan keluhan pada ibu
c) Menanyakan apakah ini perencanaan kehamilan yang
pertama/pernikahan yang pertama
d) Mengkaji ulang atau menanyakan mengenai riwayat
kehamilan terdahulu tentang paritas
e) Mengkaji riwayat kontrasepsi
f) Mengkaji ulang dan menanyakan mengenai menstruasi
meliputi HPHT dan masalah seputar menstruasi dan
keputihan
g) Mengkaji riwayat penyakit seperti DM, asma, hipertensi,
jantung
h) Mengkaji penyakit genetik pada keluarga ibu maupun
suami seperti thalasemia,hemofilia, lupus
i) Mengkaji riwayat penyakit menular seperti hepatitis B,
j) TORCH, HIV atau IMS lainnya
k) Mengkaji pola nutrisi pada ibu
l) Mengkaji personal hygine pada ibu
m) Mengkaji kebiasaan mengkonsumsi minuman keras pada ibu
maupun suami
n) Mengkaji kebiasaan merokok pada ibu maupun suami
o) Mengkaji penggunaan NAFZA pada ibu maupun suami
p) Mengkaji riwayat imunisasi TT pada ibu
q) Mengkaji upaya yang sudah dilakukan ibu dalam persiapan
pranikah dan prakonsepsi
Referensi 2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018.
Kesehatan Reproduksi Dan Seksual Bagi Calon Pengantin
CEKLIST ANAMNESA PRANIKAH/PRAKONSEPSI
Petunjuk penilaian :
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
NO BUTIR YANG DINILAI NILAI
A SIKAP DAN PERILAKU 0 1 2
1 Menyambut pasien dengan sopan dan ramah
2 Memperkenalkan diri kepada pasien
3 Menjelaskan prosedur yang akan dilaksanakan
4 Menjaga privasi pasien
5 Tanggap terhadap reaksi pasien dan kontak mata
Score :10
B CONTENT/ISI
6 Menanyakan identitas pasien dan suami
7 Menanyakan keluhan pada ibu
8 Menanyakan apakah ini perencanaan kehamilan yang
pertama/pernikahan yang pertama
9 Mengkaji ulang atau menanyakan mengenai riwayat kehamilan
terdahulu tentang paritas
10 Mengkaji riwayat kontrasepsi
11 Mengkaji ulang dan menanyakan mengenai menstruasi
meliputi HPHT dan masalah seputar menstruasi dan keputihan
12 Mengkaji riwayat penyakit seperti DM, asma, hipertensi,
jantung
13 Mengkaji penyakit genetik pada keluarga ibu maupun suami
seperti thalasemia,hemofilia, lupus
14 Mengkaji riwayat penyakit menular seperti hepatitis B, TORCH,
HIV atau IMS lainnya
15 Mengkaji pola nutrisi pada ibu
16 Mengkaji personal hygine pada ibu
17 Mengkaji kebiasaan mengkonsumsi minuman keras pada ibu
maupun suami
18 Mengkaji kebiasaan merokok pada ibu maupun suami
19 Mengkaji penggunaan NAFZA pada ibu maupun suami
20 Mengkaji riwayat imunisasi TT pada ibu
21 Mengkaji upaya yang sudah dilakukan ibu dalam persiapan
pranikah dan prakonsepsi
Score : 32
C TEKNIK
22 Teruji melaksanakan secara sistematis
23 Teruji menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
24 Teruji memberikan perhatian terhadap respon pasien
25 Teruji melaksanakan dengan percaya diri dan tidak ragu-ragu
26 Teruji mendokumentasikan hasil
Score : 10
Total Score : 52
Nilai akhir = (Total score :52) x 100
MATERI 3
PENDIDIKAN KESEHATAN KURVA SUHU BASAL, PEMERIKSAAN MUCUS
SERVIKS UNTUK MENGENAL MASA SUBUR
A. KURVA SUHU BASAL
1. Cara kerja
Suhu tubuh basal adalah suhu terendah yang dicapai oleh tubuh selama istirahat atau
dalam keadaan istirahat (tidur). Pengukuran suhu basal dilakukan pada pagi hari segera
setelah bangun tidur dan sebelum melakukan aktivitas lainnya.Tujuan pencatatan suhu
basal untuk mengetahui kapan terjadinya masa subur/ovulasi. Suhu basal tubuh diukur
dengan alat yang berupa termometer basal. Termometer basal ini dapat digunakan secara
oral, per vagina, atau melalui dubur dan ditempatkan pada lokasi serta waktu yang sama
selama 5 menit.
Suhu normal tubuh sekitar 35,5-36 derajat Celcius. Pada waktu ovulasi, suhu akan turun
terlebih dahulu dan naik menjadi 37-38 derajat kemudian tidak akan kembali pada suhu
35 derajat Celcius. Pada saat itulah terjadi masa subur/ovulasi. Kondisi kenaikan suhu
tubuh ini akan terjadi sekitar 3-4 hari, kemudian akan turun kembali sekitar 2 derajat dan
akhirnya kembali pada suhu tubuh normal sebelum menstruasi. Hal ini terjadi karena
produksi progesteron menurun.
Apabila grafik (hasil catatan suhu tubuh) tidak terjadi kenaikan suhu tubuh, kemungkinan
tidak terjadi masa subur/ovulasi sehingga tidak terjadi kenaikan suhu tubuh. Hal ini terjadi
dikarenakan tidak adanya korpus luteum yang memproduksi progesteron. Begitu
sebaliknya, jika terjadi kenaikan suhu tubuh dan terus berlangsung setelah masa
subur/ovulasi kemungkinan terjadi kehamilan. Karena, bila sel telur/ovum berhasil
dibuahi, maka korpus luteum akan terus memproduksi hormon progesteron. Akibatnya
suhu tubuh tetap tinggi.
2. Manfaat
Metode suhu basal tubuh berguna bagi pasangan yang menginginkan kehamilan.
3. Efektifitas
Metode suhu basal tubuh akan efektif bila dilakukan dengan benar dan konsisten. Suhu
tubuh basal dipantau dan dicatat selama beberapa bulan berturut-turut dan dianggap akurat
bila terdeteksi pada saat ovulasi. Tingkat keefektian metode suhu tubuh basal sekitar 80
persen atau 20-30 kehamilan per 100 wanita per tahun. Secara teoritis angka kegagalannya
adalah 15 kehamilan per 100 wanita per tahun. Metode suhu basal tubuh akan jauh lebih
efektif apabila dikombinasikan dengan metode kontrasepsi lain seperti kondom, spermisida
ataupun metode kalender atau pantang berkala (calender method or periodic abstinence).
4. Faktor Yang Mempengaruhi Keandalan Metode Suhu Basal
a) Penyakit.
b) Gangguan tidur.
c) Merokok dan atau minum alkohol.
d) Penggunaan obat-obatan ataupun narkoba.
e) Stres.
f) Penggunaan selimut elektrik.
5. Keuntungan
a) Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pada pasangan suami istri tentang masa
subur/ovulasi.
b) Membantu wanita yang mengalami siklus haid tidak teratur mendeteksi masa
subur/ovulasi.
c) Dapatdigunakan sebagaikontrasepsi ataupun meningkatkan kesempatan
untuk hamil.
d) Membantu menunjukkan perubahan tubuh lain pada saat mengalami masa
subur/ovulasi seperti perubahan lendir serviks.
e) Metode suhu basal tubuh yang mengendalikan adalah wanita itu sendiri.
6. Kekurangan
a) Membutuhkan motivasi dari pasangan suami istri.
b) Memerlukan konseling dan KIE dari tenaga medis.
c) Suhu tubuh basal dapat dipengaruhi oleh penyakit, gangguan tidur, merokok,
alkohol, stres, penggunaan narkoba maupun selimut elektrik.
d) Pengukuran suhu tubuh harus dilakukan pada waktu yang sama.
e) Tidak mendeteksi awal masa subur.
f) Membutuhkan masa pantang yang lama.
7. Cara mengukur suhu
a) Mengukur suhu pada waktu yang hampir sama setiap pagi ( sebelum bangkit dari
tempat tidur ) dan mencatat suhu ibu pada kartu yang telah disediakan
b) Memakai catatan suhu pada kartu tersebut untuk 10 hari pertama dari siklus haid
untuk menentukan suhu tertinggi dari suhu yang normal, rendah. Mengabaikan
suhu tinggi yang disebabkan oleh demam atau gangguan lain.
c) Menarik garis pada 0,05°C – 0,1°C di atas suhu tertinggi dari 10 suhu 10 hari
tersebut. Ini dinamakan garis pelindung ( cover line ) atau garis suhu.
d) Masa tak subur mulai pada sore setelah hari ketiga berturut-turut suhu berada di
atas garis pelindung tersebut.
Catatan :
Jika salah satu dari 3 suhu tersebut di bawah garis pelindung (cover line ) selama
perhitungan 3 hari, ini mungkin tanda bahwa ovulasi belum terjadi. Untuk menghindari
kehamilan menunggu sampai 3 hari berturu-turut suhu tersebut di atas garis pelindung
sebelum memulai senggama.
Ketika mulai masa tak subur, tidak perlu untuk mencatat suhu basal ibu. Ibu dapat berhenti
mencatat sampai haid berikut mulai dan bersenggama sampai hari pertama haid
berikutnya.
8. Pemeriksaan Mucus Serviks
a) Pengertian
Pemeriksaan mucus serviks dilakukan dengan cara mengenali masa subur dari siklus
menstruasi dengan mengamati lendir serviks dan perubahan rasa pada vulva menjelang
hari-hari ovulasi. Metode lendir serviks adalah metode mengamati kualitas dan kuantitas
lendir serviks setiap hari. Periode subur ditandai dengan lendir yang jernih, encer, dan
licin.
b) Cara kerja
Pengamatan lendir serviks dapat dilakukan dengan merasakan perubahan rasa pada vulva
sepanjang hari dan melihat langsung lendir pada waktu tertentu. Menjelang ovulasi lendir
ini akan mengandung banyak air (encer) sehingga mudah dilalui sperma. Setelah ovulasi
lendir kembali menjadi lebih padat. Jika lendir mulai keluar atau bagi wanita yang
mengalami keputihan (sering mengeluarkan lendir) lendir mengencer, bergumpal-gumpal dan
lengket, hal ini menunjukan akan terjadi ovulasi. Pada puncak masa subur, yaitu menjelang
dan pada saat ovulasi lendir akan keluar dalam jumlah lebih banyak menjadi transparan,
encer dan bening seperti putih telur dan dapat ditarik diantara dua jari seperti
benang.Sehingga ini adalah waktu terbaik untuk senggama bila hendak merencanakan
kehamilan.
Lendir dari serviks tidak dapat diamati pada saat sedang terangsang dan beberapa jam
setelah senggama, karena dinding vagina juga akan mengeluarkan lendir yang akan
memalsukan lendir serviks.
c) Manfaat
Metode mucus serviks bermanfaat untuk mencegah kehamilan yaitu dengan berpantang
senggama pada masa subur. Selain itu, metode ini juga bermanfaat bagi wanita yang
menginginkan kehamilan.
d) Kelebihan
1) Mudah digunakan.
2) Tidak memerlukan biaya
3) Metode mucus serviks merupakan metode keluarga berencana alami lain yang
mengamati tanda-tanda kesuburan.
e) Kekurangan
1) Tidak efektif bila digunakan sendiri, sebaiknya dikombinasikan
2) Tidak cocok untuk wanita yang tidak menyukai menyentuh alat
kelaminnya.
3) Wanita yang memiliki infeksi saluran reproduksi dapat mengaburkan tanda-
tanda kesuburan.
4) Wanita yang menghasilkan sedikit lendir.
f) Indikasi
1) Semua perempuan semasa reproduksi, baik siklus haid teratur maupun tidak
teratur, tidak haid baik karena menyusui maupun pramenopause.
2) Semua perempuan dengan paritas berapa pun termasuk nulipara.
3) Perempuan kurus atau gemuk.
4) Perempuan yang merokok.
5) Perempuan dengan alasan kesehatan tertentu seperti hipertensi sedang,
varises, dismenorea, sakit kepala sedang atau hebat, mioma uteri, endometritis,
kista ovarii, anemia defisiensi besi, hepatitis virus, malaria, trombosis vena
dalam, atau emboli paru
6) Pasangan yang ingin dan termotivasi untuk mengobservasi, mencatat, dan
menilai tanda dan gejala kesuburan.
g) Kontraindikasi
1) Perempuan yang dari segi umur, paritas atau masalah kesehatannya membuat
kehamilan menjadi suatu kondisi risiko tinggi.
2) Perempuan sebelum mendapat haid (menyusui, segera setelah abortus)
3) Perempuan dengan siklus haid yang tidak teratur
4) Perempuan yang pasangannya tidak mau bekerjasama
5) Perempuan yang tidak suka menyentuh daerah genitalianya

STANDAR OPERATING PROSEDUR


PRODI KEBIDANAN PENDIDIKAN KESEHATAN METODE LENDIR SERVIKS
PROGRAM PROFESI NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN
PROSEDUR TETAP DITETAPKAN OLEH
TANGGAL
DITETAPKAN
( )
Pengertian Memberikan pendidikan kesehatan metode lender serviks untuk
mengetahui kesuburan pada pasangan yang hendak
merencanakan kehamilan
Indikasi Untuk semua calon pengantin/pasangan yang merencanakan
kehamilan
Tujuan Untuk mengetahui masa subur berdasarkan lendir serviks
Petugas Mahasiswa Kebidanan
Skenario Seorang perempuan datang ke PMB untuk berkonsultasi
mengenai cara mengetahui masa subur.
Pengkajian Mengkaji cara mengetahui masa subur
Persiapan pasien Menjelaskan tujuan dilakukan pendidikan kesehatan metode
lendir serviks
Persiapan ruang dan Persiapan ruang
alat 1. Ruangan yang nyaman dan tertutup
2. Tenang dan jauh dari keramaian
3. Ventilasi cukup Persiapan Alat
1. Lembar dokumentasi
2. Bolpoin
3. Lembar balik
Langkah-langkah 1. Menjelaskan tujuan pendidikan kesehatan pada klien
2. Menjelaskan pengertian metode lendir serviks
3. Menjelaskan syarat-syarat yang boleh melakukan metode
lendir serviks
4. Menjelaskan manfaat metode lendir serviks
5. Menjelaskan menentukan waktu yang tepat untuk senggama
6. Menjelaskan kelebihan metode lendir serviks
7. Menjelaskan kekurangan metode lendir serviks
8. Memberikan kesempatan klien untuk menanyakan hal –
hal yang belum jelas
Referensi 3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Kesehatan
Reproduksi Dan Seksual Bagi Calon Pengantin

CEKLIST PENDIDIKAN KESEHATAN


METODE LENDIR SERVIKS
Nilai 0 : Jika Tidak Dilakukan
Nilai 1 : Dilakukan Kurang Sempurna
Nilai 2 : Dilakukan Dengan Sempurna
NILAI
NO BUTIR YANG DINILAI
0 1 2
A SIKAP DAN PERILAKU
1 Menyambut pasien dengan sopan dan ramah
2 Memperkenalkan diri pada pasien
3 Mempersilahkan pasien duduk
4 Menunjukkan rasa empati
5 Menjaga privasi pasien
Score : 10
B CONTENT
1 Menjelaskan tujuan
2 Menjelaskan pengertian metode lendir serviks
3 Menjelaskan syarat-syarat yang boleh melakukan
metode lendir serviks
4 Menjelaskan manfaat metode lendir serviks
5 Menjelaskan menentukan waktu yang tepat untuk
senggama
6 Menjelaskan kelebihan metode lendir serviks
7 Menjelaskan kekurangan metode lendir serviks
8 Memberikan kesempatan klien untuk menanyakan
hal – hal yang belum jelas
Score : 16
C. TEKNIK
1 Melaksanakan pendidikan kesehatan secara
sistematis
2 Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
3 Tanggap terhadap reaksi pasien
4 Melaksanakan tindakan dengan percaya diri
5 Mendokumentasikan hasil tindakan
Score : 10
Total Score : 36
NILAI AKHIR : (Total Score/36) x 100

CEKLIST PENDIDIKAN KESEHATAN


METODE SUHU BASAL
Nilai 0 : Jika Tidak Dilakukan
Nilai 1 : Dilakukan Kurang Sempurna
Nilai 2 : Dilakukan Dengan Sempurna
NILAI
NO LANGKAH
0 1 2
A SIKAP DAN PERILAKU
1 Menyambut pasien dengan sopan dan ramah
2 Memperkenalkan diri pada pasien
3 Mempersilahkan pasien duduk
4 Menunjukkan rasa empati
5 Menjaga privasi pasien
Score : 10
B CONTENT
1 Menjelaskan tujuan konseling
2 Menjelaskan pengertian metode suhu basal
3 Menjelaskan syarat-syarat yang boleh
melakukan metode suhu basal
4 Menjelaskan manfaat metode suhu basal
5 Menjelaskan efektifitas metode suhu basal
6 Menjelaskan cara menerapkan aturan
perubahan suhu
7 Menjelaskan menentukan waktu yang tepat untuk
senggama
8 Memberikan kesempatan klien untuk
menanyakan hal – hal yang belum jelas
Score : 16
C. TEKNIK
1 Melaksanakan konseling secara sistematis
2 Menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
3 Tanggap terhadap reaksi pasien
4 Melaksanakan tindakan dengan percaya diri
5 Mendokumentasikan hasil tindakan
Score : 10
Total Score : 36
NILAI AKHIR : (Total Score/36) x 100
MATERI 5
KIE PERSIAPAN MENJADI ORANG TUA
STANDAR OPERATING PROSEDUR
PRODI KIE PERSIAPAN MENJADI ORANG TUA
KEBIDANAN
PROGRAM NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN
PROFESI
PROSEDUR DITETAPKAN OLEH
TETAP TANGGAL
DITETAPKAN
( )
Pengertian Memberikan informasi kepada pasangan yang merencanakan
kehamilan mengenai persiapan menjadi orang tua
Indikasi Untuk semua pasangan yang merencanakan kehamilan
Tujuan Untuk meningkatkan pengetahuan pasangan mengenai kesiapan
menjadi orang tua
Petugas Mahasiswa Kebidanan
Skenario Seorang perempuan datang ke Puskesmas bersama pasangannya
untuk melakukan konsultasi perencanaan kehamilan
Pengkajian Mengkaji keadaan umum pasien
Persiapan pasien Menjelaskan tujuan dilakukan KIE
Persiapan ruang Persiapan ruang
dan alat 1. Ruangan yang nyaman dan tertutup
2. Tenang dan jauh dari keramaian
3. Ventilasi cukup
Persiapan Alat
1. Lembar balik
2. Bolpoin
Langkah-langkah 1. Menyambut klien dengan ramah
2. Mengucapkan salam
3. Meperkenalkan diri
4. Meyakinkan bahwa privasi dan kerahasiaan klien di hormati
dan dijaga
5. Menjelaskan tujuan KIE pada pasangan
6. Melakukan KIE persiapan menjadi orangtua pada pasangan
meliputi :
a. Persiapan fisik
b. Persiapan mental
c. Persiapan ekonomi
d. Kesetaraan gender dalam rumah tangga dalam hal berbagi
peran menjadi orangtua
Referensi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2018. Kesehatan
Reproduksi Dan Seksual Bagi Calon Pengantin

CEKLIST KIE PERSIAPAN MENJADI ORANGTUA


Petunjuk penilaian :
0 = tidak dilakukan
1 = dilakukan tidak sempurna
2 = dilakukan dengan sempurna
NO BUTIR YANG DINILAI NILAI
A SIKAP DAN PERILAKU 0 1 2
1 Menyambut pasien dengan sopan dan ramah
2 Memperkenalkan diri kepada pasien
3 Menjelaskan prosedur yang akan dilaksanakan
4 Menjaga privasi pasien
5 Tanggap terhadap reaksi pasien dan kontak mata
Score :10
B CONTENT/ISI
6 Menanyakan identitas pasien dan suami
7 Menanyakan alasan berkunjung
8 Menjelaskan tujuan KIE persiapan menjadi orang tua
Persiapan fisik
9 Memberikan KIE usia yang ideal untuk menjadi orangtua
10 Memberikan KIE persiapan gizi pada calon ayah maupun
calon ibu
11 Memberikan KIE persiapan imunisasi pada calon ibu
12 Memberikan KIE gaya hidup sehat pada calon orang tua
Persiapan mental
13 Memberikan KIE adaptasi psikologis pada kehamilan kepada
calon orangtua
Persiapan ekonomi
14 Menjelaskan hal-hal yang harus disiapkan berkaitan dengan
ekonomi sebagai persiapan menjadi orang tua meliputi
kebutuhan saat hamil, bersalin, imunisasi anak dan perawatan
anak
Kesetaraan gender dalam persiapan menjadi orangtua
15 Memberikan KIE mengenai peran suami dan istri dalam
keluarga
16 Memberikan KIE mengenai peran ayah dan ibu bagi anak
Score : 22
C TEKNIK
1 Teruji melaksanakan secara sistematis
2 Teruji menggunakan bahasa yang mudah dimengerti
3 Teruji memberikan perhatian terhadap respon pasien
4 Teruji melaksanakan dengan percaya diri dan tidak ragu-ragu
5 Teruji mendokumentasikan hasil
Score : 10
Total Score : 42
Nilai akhir = (Total score :42) x 100
MATERI 6
MELAKUKAN SKRINNING CA CERVIX DENGAN IVA
A. Kanker Leher Rahim (Ca Cervix)
Kanker Leher Rahim adalah keganasan yang terjadi pada leher rahim yang merupakan
bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama. Epitel leher
rahim terdiri dari 2 (dua) jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar. Daerah
pertemuan kedua jenis epitel disebut Sambungan Skuamosa-Kolumnar (SSK) dan letaknya
dipengaruhi oleh faktor hormonal yang berkaitan dengan umur, aktivitas seksual dan
paritas. Pada perempuan berusia sangat muda dan menopause, SSK terletak di dalam
ostium. Sedangkan pada perempuan usia reproduksi/seksual aktif, SSK terletak di ostium
eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan perempuan terjadi perubahan fisiologis pada epitel leher rahim, epitel
kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga berasal dari cadangan epitel
kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel skuamosa disebut proses
metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang rendah. Aktivitas metaplasia yang
tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat dari proses metaplasia ini maka secara
morfogenik terdapat 2 (dua) SSK, yaitu SSK asli dan SSK baru yang menjadi tempat
pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel kolumnar. Daerah di antara kedua SSK
disebut daerah transformasi.

B. Perjalanan Penyakit
Infeksi Human Papilloma Virus (HPV) atau Virus Papiloma Manusia biasa terjadi pada
perempuan usia reproduksi. Infeksi ini dapat menetap, berkembang menjadi displasi atau
sembuh sempurna. Virus ini ditemukan pada 95% kasus Kanker Leher Rahim. Ada dua
golongan HPV yaitu HPV risiko tinggi atau disebut HPV onkogenik yaitu utamanya tipe
16, 18, dan 31, 33, 45, 52, 58; sedangkan HPV risiko rendah atau HPV non-onkogenik yaitu
tipe 6, 11, 32, dsb.
Proses terjadinya Kanker Leher Rahim sangat erat berhubungan dengan proses
metaplasia. Masuknya mutagen atau bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel secara
genetik pada saat fase aktif metaplasia dapat berubah menjadi sel yang berpotensi ganas.
Perubahan ini biasanya terjadi di daerah transformasi. Sel yang mengalami mutasi
disebut sel displastik dan kelainan epitelnya disebut displasia (Neoplasia Intraepitel Leher
rahim/ NIS). Dimulai dari displasia ringan, sedang, berat dan karsinoma in-situ dan
kemudian berkembang menjadi karsinoma invasif. Lesi displasia dikenal juga sebagai ”lesi
prakanker”. Perbedaan derajat displasia didasarkan atas tebal epitel yang mengalami
kelainan dan berat ringannya kelainan pada sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah
gangguan maturasi epitel skuamosa yang menyerupai karsinoma invasif tetapi membrana
basalisnya masih utuh. Pada lesi prakanker derajat ringan dapat mengalami regresi spontan
dan menjadi normal kembali. Tetapi pada lesi derajat sedang dan berat lebih berpotensi
berubah menjadi kanker invasif.
C. Faktor Resiko
Faktor yang menyebabkan perempuan terpapar HPV (sebagai etiologi dari Kanker Leher
Rahim) adalah :
1. Menikah/ memulai aktivitas seksual pada usia muda (kurang dari 20 tahun).
2. Berganti-ganti pasangan seksual.
3. Berhubungan seks dengan laki-laki yang sering berganti pasangan.
4. Riwayat infeksi di daerah kelamin atau radang panggul.
5. Perempuan yang melahirkan banyak anak.
6. Perempuan perokok mempunyai risiko dua setengah kali lebih besar untuk
menderita Kanker Leher Rahim dibanding dengan yang tidak merokok.
7. Perempuan yang menjadi perokok pasif (yang tinggal bersama keluarga yang
mempunyai kebiasaan merokok) akan meningkat risikonya 1,4 (satu koma empat)
kali dibanding perempuan yang hidup dengan udara bebas.
8. Perempuan yang pernah melakukan pemeriksaan skrining (Papsmear atau IVA)
akan menurunkan risiko terkena Kanker Leher Rahim.
D. Deteksi Dini/Skrining
Ada beberapa metode yang dikenal untuk melakukan skrining Kanker Leher Rahim. Tujuan
skrining untuk menemukan lesi prakanker. Beberapa metode itu antara lain:
1. Inspeksi Visual dengan Aplikasi Asam Asetat (IVA)
Pemeriksaan dengan cara mengamati dengan menggunakan spekulum, melihat leher rahim
yang telah dipulas dengan asam asetat atau asam cuka (3-5%). Pada lesi prakanker akan
menampilkan warna bercak putih yang disebut acetowhite epitelium.
2. Pemeriksaan Sitologi (Papanicolaou/Papsmear)
Merupakan suatu prosedur pemeriksaan sederhana melalui pemeriksaan sitopatologi, yang
dilakukan dengan tujuan untuk menemukan perubahan morfologis dari sel-sel epitel leher
rahim yang ditemukan pada keadaan prakanker dan kanker.
E. Kelompok Sasaran Skrining
Melihat dari perjalanan penyakit Kanker Leher Rahim, kelompok sasaran skrining
Kanker Leher Rahim adalah:
1. Perempuan berusia 30 - 50 tahun
2. Perempuan yang menjadi klien pada klinik IMS dengan discharge (keluar cairan) dari
vagina yang abnormal atau nyeri pada abdomen bawah (bahkan jika di luar
kelompok usia tersebut).
3. Perempuan yang tidak hamil (walaupun bukan suatu hal yang rutin, perempuan yang
sedang hamil dapat menjalani skrining dengan aman, tetapi tidak boleh menjalani
pengobatan dengan krioterapi) oleh karena itu IVA belum dapat dimasukkan
pelayanan rutin pada klinik antenatal.
4. Perempuan yang mendatangi Puskesmas, klinik IMS, dan klinik KB dianjurkan untuk
skrining Kanker Leher Rahim.
F. Frekuensi Skrining
Seorang perempuan yang mendapat hasil tes IVA-negatif, harus menjalani skrining 3- 5
tahun sekali. Mereka yang mempunyai hasil tes IVA-positif dan mendapatkan
pengobatan, harus menjalani tes IVA berikutnya enam bulan kemudian.
g. Pendokumentasian Hasil Pemeriksaan IVA Test
Gambar 6.1 Pendokumentasian Hasil Pemeriksaan IVA (sumber : Kemenkes)
H. Formulir IVA Positif

Gambar 6.2 Formulir IVA Positif


I. Diagram Alur Untuk Pencegahan Kanker Leher Rahim
Gambar 6.3 Diagram Alur untuk Pelayanan Kanker Serviks

STANDAR OPERATING PROSEDUR


PRODI KEBIDANAN PEMERIKSAAN IVA
PROGRAM PROFESI NO DOKUMEN NO REVISI HALAMAN
PROSEDUR TETAP DITETAPKAN OLEH
TANGGAL
DITETAPKAN
( )
Pengertian Pemeriksaan leher rahim secara visual menggunakan asam cuka
(IVA) berarti melihat leher rahim dengan mata telanjang
untuk mendeteksi abnormalitas setelah pengolesan asam asetat
atau cuka (3–5%). Daerah yang tidak normal akan berubah
warna dengan batas yang tegas menjadi putih (acetowhite),
yang mengindikasikan bahwa leher rahim mungkin memiliki
lesi prakanker.
Indikasi Untuk semua perempuan yang telah aktif secara seksual,
PUS,menopause dan lansia
Tujuan Untuk mengetahui cara mendeteksi dini kanker
serviks menggunakan metode IVA
Petugas Mahasiswa Kebidanan
Skenario Seorang perempuan datang ke Puskesmas untuk melakukan
pemeriksaan IVA
Pengkajian Mengkaji keadaan umum pasien
Persiapan pasien Menjelaskan tujuan dilakukan KIE
Persiapan ruang dan Persiapan ruang dan alat
alat 1. Ruangan yang nyaman dan tertutup
2. Ventilasi cukup
3. Spekulum
4. Swab lidi
5. Asam asetat 5%
6. Lampu sorot
7. Air DTT
8. Kapas DTT
9. Tempat cuci tangan
10. Handuk/lap bersih
11. Sabun cuci tangan
Langkah-langkah 1. Penilaian klien dan persiapan
2. Test IVA
3. Tindakan pasca test IVA
4. Konseling pasca tindakan IVA
Referensi Peraturan Menteri Kesehatan No 35 Tahun 2015 Tentang
Penanggulangan Kanker Payudara dan Kanker Leher Rahim

CEKLIST PEMERIKSAAN IVA TEST


Nilai 0 = Jika Tidak Dilakukan
Nilai 1 = Dilakukan Kurang Sempurna
Nilai 2 = Dilakukan Dengan Sempurna
NO BUTIR YANG DINILAI 0 1 2
A SIKAP DAN PERILAKU
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilaksanakan
2 Melakukan komunikasi selama tindakan
3 Melakukan cuci tangan dan keringkan dengan handuk pribadi
(pra dan paska tindakan)
4 Memakai dan melepas sarung tangan steril atau DTT
5 Melakukan dekontaminasi alat paska tindakan
Score : 10
B PENILAIAN CONTENT/ISI
Penilaian klien dan persiapan
Sebelum melakukan tes IVA, diskusikan tindakan dengan
ibu/klien. Jelaskan mengapa tes tersebut dianjurkan dan apa
1 yang akan terjadi pada saat pemeriksaan. Diskusikan juga
mengenai sifat temuan yang paling mungkin dan tindak lanjut
atau pengobatan yang mungkin diperlukan.
Pastikan semua peralatan dan bahan yang diperlukan tersedia,
termasuk spekulum steril atau yang telah di DTT, kapas lidi
2 dalam wadah bersih, botol berisi larutan asam asetat dan
sumber cahaya yang memadai. Tes sumber cahaya untuk
memastikan apakah masih berfungsi.
Bawa ibu ke ruang pemeriksaan. Minta dia untuk Buang Air
Kecil (BAK) jika belum dilakukan. Jika tangannya kurang
3 bersih, minta ibu membersihkan dan membilas daerah
kemaluan sampai bersih. Minta ibu untuk melepas pakaian
(termasuk pakaian dalam) sehingga dapat dilakukan
pemeriksaan panggul dan tes IVA.
Bantu ibu untuk memposisikan dirinya di meja ginekologi
4 dan tutup badan ibu dengan kain, nyalakan lampu/senter dan
arahkan ke vagina ibu.
5 Memakai APD (celemek, topi, kacamata, dan masker)
Cuci tangan secara merata dengan sabun dan air sampai
benar-benar bersih, kemudian keringkan dengan kain bersih
atau diangin-anginkan. Lakukan palpasi abdomen, dan
6 perhatikan apabila ada kelainan. Periksa juga bagian lipat
paha, apakah ada benjolan atau ulkus (apabila terdapat ulkus
terbuka, pemeriksaan dilakukan dengan memakai sarung
tangan). Cuci tangan kembali.
Pakai sepasang sarung tangan periksa yang baru pada kedua
7 tangan atau sarung tangan bedah yang telah di- DTT1.
Pemeriksaan IVA
Posisi pemeriksa duduk menghadap ke arah vulva dan
8 melakukan inspeksi di daerah vulva dan perineum.
Inspeksi/periksa genitalia eksternal dan lihat apakah terjadi
discharge pada mulut uretra. Palpasi kelenjar Skene’s and
Bartholin’s. Jangan menyentuh klitoris, karena akan
menimbulkan rasa tidak nyaman pada ibu. Katakan pada
ibu/klien bahwa spekulum akan dimasukkan dan mungkin ibu
akan merasakan beberapa tekanan.
9 Melakukan vulva hygiene dengan kapas DTT (kapas satu
persatu)
Dengan hati-hati masukkan spekulum sepenuhnya atau sampai
terasa ada tahanan lalu secara perlahan buka bilah/daun
spekulum untuk melihat leher rahim. Atur spekulum sehingga
seluruh leher rahim dapat terlihat. Hal tersebut mungkin sulit
10 pada kasus dengan leher Rahim yang berukuran besar atau
sangat anterior atau posterior. Mungkin perlu menggunakan
spatula atau alat lain untuk mendorong leher rahim dengan
hati-hati ke atas atau ke bawah agar dapat terlihat.
Amati leher rahim apakah ada infeksi (cervicitis) seperti
11 discharge/cairan keputihan mucous ectopi (ectropion); kista
Nabothy atau kista Nabothian, nanah, atau lesi
“strawberry”(infeksi Trichomonas).
Gunakan kapas lidi bersih untuk membersihkan cairan yang
12 keluar, darah atau mukosa dari leher rahim. Buang kapas lidi
ke dalam wadah anti bocor atau kantung plastik.
Basahi kapas lidi dengan larutan asam asetat 3-5% dan
oleskan pada leher rahim. Bila perlu, gunakan kapas lidi
13 bersih untuk mengulang pengolesan asam asetat sampai
seluruh permukaan leher rahim benar-benar telah dioleskan
asam asetat secara merata. Buang kapas lidi yang telah
dipakai.
Menungggu 1 menit dan melakukan interpretasi hasil :
a. Positif apabila porsio berubah warna dari asli merah menjadi
14 putih pucat/aceto white ephitelium
b. Negatif apabila tidak terjadi perubahan warna pada porsio
Bila pemeriksaan visual pada leher rahim telah selesai, gunakan
15 kapas lidi yang baru untuk menghilangkan sisa asam asetat dari
leher rahim dan vagina. Buang kapas sehabis dipakai pada
tempatnya.
Lepaskan spekulum secara halus. Jika hasil tes IVA negatif,
16 letakkan spekulum ke dalam larutan klorin 0,5% selama 10
menit untuk didesinfeksi.
Lakukan pemeriksaan bimanual dan rectovagina (bila
diindikasikan). Periksa kelembutan gerakan leher rahim; ukuran,
17 bentuk, dan posisi rahim; apakah ada kehamilan atau
abnormalitas dan pembesaran uterus atau kepekaan (tenderness)
pada adnexa.
Memberitahukan kepada pasien bahwa pemeriksaan sudah
18 selesai, merapikan pasien dan menyampaikan hasil pemeriksaan
19 Membereskan alat dan membuang sampah pada tempatnya
Tindakan Pasca Test IVA
Bersihkan lampu dengan lap yang dibasahi larutan klorin 0.5%
20 atau alkohol untuk menghindari kontaminasi silang antar pasien.
Diskusikan dengan klien hasil tes IVA dan pemeriksaan panggul
21 bersama Ibu/klien. Jika hasil tes IVA negatif, beritahu kapan
klien harus kembali untuk tes IVA
Jika hasil tes IVA positif atau diduga ada kanker, katakan
pada ibu/klien langkah selanjutnya yang dianjurkan. Jika
pengobatan dapat segera diberikan, diskusikan kemungkinan
tersebut bersamanya. Jika perlu rujukan untuk tes atau
pengobatan lebih lanjut, aturlah waktu untuk rujukan dan
22 berikan formulir yang diperlukan sebelum ibu/klien tersebut
meninggalkan Puskesmas/klinik. Akan lebih baik jika
kepastian waktu rujukan dapat disampaikan pada waktu itu
juga.
Score : 44
C TEKNIK
1 Melaksanakan tindakan secara sistematis/berurutan
2 Menjaga privasi pasien
Score : 4
Total Score : 58
NILAI AKHIR = (Total Score/.....................) x 100

MATERI 7
MENYIAPKAN SEDIAAN PEMERIKSAAN PAPSMEAR
CEKLIST SEDIAAN PEMERIKSAAN PAP-SMEAR
Nilai 0 = Jika Tidak Dilakukan
Nilai 1 = Dilakukan Kurang Sempurna Nilai 2 = Dilakukan Dengan Sempurna
NO BUTIR YANG DINILAI 0
1 2
A SIKAP DAN PERILAKU
1 Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilaksanakan
2 Melakukan komunikasi selama tindakan
3 Melakukan cuci tangan dan keringkan dengan handuk pribadi
(pra dan paska tindakan)
4 Memakai dan melepas sarung tangan steril atau DTT
5 Melakukan dekontaminasi alat paska tindakan
Score : 10
B PENILAIAN CONTENT/ISI
6 Mempersilakan pasien untuk melepas pakaian dalam, meminta
pasien untuk mengosongkan kandung kemih
7 Memposisikan pasien di meja Gynekologi dengan posisi
litotomi
8 Memakai APD (celemek, topi, kacamata, dan masker)
9 Menghidupkan lampu sorot, diarahkan dengan benar pada
bagian yang akan diperiksa
10 Posisi pemeriksa duduk menghadap ke arah vulva dan
melakukan inspeksi di daerah vulva dan perineum
11 Melakukan vulva hygiene dengan kapas DTT (kapas satu
persatu)
12 Memasang spekulum, menguncinya dengan benar dan hati
- hati
13 Melakukan inspeksi porsio
Mengambil sekret dengan spatula Ayre dengan ujung pendek
14 mengusap 360 derajat sesuai arah jarum jam pada ektoserviks
Mengoleskan sekret dari spatula Ayre pada permukaan obyek
15 glass sekali usap, tipis dan merata berlawanan arah jarum jam
16 Obyek glass dimasukkan pada larutan fiksasi alkohol 95%
selama 30 menit
17 Melepas spekulum dengan hati – hati
Memberitahukan kepada pasien bahwa pemeriksaan sudah
18 selesai, merapikan pasien dan menyampaikan hasil pemeriksaan
19 Membereskan alat dan membuang sampah pada tempatnya
Score : 28
C TEKNIK
20 Melaksanakan tindakan secara sistematis/berurutan
21 Menjaga privasi pasien
Score : 4
Total Score : 42
NILAI AKHIR = (Total Score/42) x 100
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi yang dilakukan peneliti dalam
penelitian ini, peneliti dapat menyimpulkan tentang Hambatan Komunikasi Terapeutik
Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki) di Desa
Embacang Gedang Kecamatan Tanah Sepenggal Lintas Kabupaten Bungo Tahun 2022,
sebagai berikut:
(1) Hambatan pendidikan warga desa Embacang Gedang, sebagai komunikan dalam
kegiatan Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam Upaya Penurunan
Angka Kematian Ibu
(2) Hambatan budaya warga desa Embacang Gedang , yang masih kental denga nilai-
nilai kearifan lokal yang berkembang di desa Embacang Gedang
(3) Hambatan psikologis, perasaan takut, cemas, khawatir yang berlebihan jika
melahirkan difasilitas Kesehatan.
(4) bahasa karena perbedaan asal daerah antara bidan dan ibu hamil, latar belakang
budaya yang berbeda yang menyebabkan psikologi bidan dan ibu hamil seringkali
mengalami ketidak cocokan misalnya intonasi suara dan terakhir
(5) faktor lingkungan misalnya suasana besing yang menyebabkan komunikasi tidak
berlangsung baik.

3.2 Saran
Adapun saran yang ingin diberikan penulis terkait dengan penelitian yang telah
dilakukan ini, yaitu Penulis melihat adanya hambatan pendidikan, hambatan budaya, dan
hambatan psikologis dalam Komunikasi Terapeutik Bidan Kepada Ibu Hamil Dalam
Upaya Penurunan Angka Kematian Ibu (Aki). Oleh karena itu, sebaiknya pihak kader,
aparat desa, Puskesmas, beserta Dinas atau lembaga lain yang terkait, tetap optimis
melakukan koordinasi dan evaluasi dalam setiap program kegiatan. Penulis menyadari
bahwa keterpaksaan bukanlah hal yang baik, artinya kita tetap menghargai budaya yang
dijunjung tinggi oleh warga desa, tetapi berusaha meluruskan berbagai informasi
kesehatan yang belum terbukti kebenarannya secaramedis, misalnya dengan
mengoptimalkan peran media promosi kesehatan. Saya berharap kepada bidan
memberikan terapeutik dengan lebih baik lagi agar para ibu hamil menyukai tindakan
yang dilakukan oleh bidan dengan cara lebih meningkatkan komunikasi yang baik dan
benar. Dan kepada ibu hamil yang melaksanakan terapeutik agar mendegarkan bidan
ketika sedang diberikan terapeutik karena semua demi kebaikan ibu hamil dan bayi juga
agar ibu dan bayi sehat, selamat.
DAFTAR PUSTAKA

Http://Eprints.Poltekkesjogja.Ac.Id/1815/3/BAB%20I.Pdf

Http://Repository2.Unw.Ac.Id/1189/6/D3_040117A001_BAB%20I%20-%20Almaraaa%20I
%20K.Pdf

Http://Repository.Poltekkes-Denpasar.Ac.Id/4532/2/BAB%20I%20PENDAHULUAN.Pdf

Http://Repository.Poltekkes-Denpasar.Ac.Id/8281/2/BAB%20I.Pdf

Http://Repositori.Uin-Alauddin.Ac.Id/2139/1/NUR%20RAHMA.Pdf

Https://Www.Kompasiana.Com/Devitaserlyadewii/54f34b28745513932b6c6f6d/
Ketidakbertahanan-Bidan-Ptt-Mengabdi-Di-Desa

Https://Www.Researchgate.Net/Publication/
330929576_HAMBATAN_KOMUNIKASI_TERAPEUTIK_BIDAN_KEPADA_IBU_HAMIL_
DALAM_UPAYA_PENURUNAN_ANGKA_KEMATIAN_IBU_AKI_DI_SERANG_STUDI_
DESKRIPTIF_KUALITATIF_TENTANG_HAMBATAN_KOMUNIKASI_TERAPEUTIK_BID
AN_KEPADA_IBU_HAMIL_D

Anda mungkin juga menyukai