Anda di halaman 1dari 19

BAB 1

Pendahuluan

Dalam rangka untuk mempelajari Al qur’an secara dalam dan rinci kami berniat untuk mengawali
studi Al qur’an dengan menghadirkan pengetahuan pengantar mengenai Al qur’an ini. Pengetahuan
pengantar Al qur’an ini mencakup:
1. tempat dan waktu penurunan Al qur’an
2. bahasa yang dengannya Al qur’an diturunkan
3. struktur Al qur’an (jumlah surat atau chapter dan susunannya, jumlah ayat dan susunannya)
4. durasi penurunan Al qur’an hingga lengkap
5. cara-cara Al qur’an diturunkan
6. tujuan dasar penurunannya
7. kesamaan ajaran utama antara Al qur’an, Taurat (versi sekarang) dan Injil (versi sekarang)
8. otentisitas Al qur’an

Kami berharap pengetahuan pengantar ini dapat bermanfaat untuk kami sendiri dan orang
lain. Kami menyadari bahwa judul-judul yang akan disajikan di dalam makalah ini bukanlah hal-hal
yang baru di dalam dunia akademik terutama terkait kepada studi kitab suci, kami hanya mencoba
untuk mempermudah orang-orang yang ingin mempelajari Al qur’an secara dalam dan rinci dengan
memberikan pengetahuan pengantar atau pengetahuan “kulit” tentang Al qur’an. Kami tidak
memunculkan ide baru untuk menjadi bahan diskursus di dalam dunia akademik yang terkait kepada
agama tetapi kami hanya mencoba untuk menyajikan pengetahuan-pengetahuan pengantar seputar
Al qur’an saja dengan cara mengumpulkan pengetahuan-pengetahuan yang terkait kepada judul-
judul yang telah disebutkan tadi dari berbagai sumber yang sudah diteliti dan ditulis oleh para
ilmuwan. Demikianlah yang dapat kami sampaikan dalam bab pendahuluan ini, atas perhatian para
pembaca kami ucapkan terimakasih.
BAB 2

Pembahasan

Tempat dan Waktu Penurunan Al qur an

Pembicaraan tentang tempat dan waktu penurunan Al qur an bukanlah sesuatu yang sulit
karena hal ini sudah dikabarkan dan dicatat oleh banyak orang dari dulu hingga sekarang, salah satu
riwayat yang dapat kita rujuk adalah riwayat berikut ini.

Di Gua Hira

Dari beberapa hasil pengamatan Rasulullah sebelum itu telah membentangkan jarak pemikiran
antara beliau dengan kaum beliau. Selagi usia Rasulullah hampir mencapai empat puluh tahun,
sesuatu yang paling disukai adalah mengasingkan diri. Dengan membawa roti dari gandum dan air
beliau pergi ke Gua Hira di Jabal Nur, yang jaraknya kira-kira dua mil dari Makkahh, suatu gua yang
tidak terlalu besar, yang panjangnya 4 hasta dan lebarnya antara ¾ hingga 1 hasta. Kadang-kadang
keluarga beliau ada yang menyertai ke sana. Selama bulan Ramadhan beliau berada di gua ini, dan
tak lupa memberikan makanan kepada setiap otang miskin yang juga datang ke sana. Beliau
menghabiskan waktunya untuk beribadah, memikirkan keagungan alam di sekitarnya dan kekuatan
tak terhingga di balik alam. Beliau tidak pernah puas melihat keyakinan kaumnya yang penuh
kemusyrikan dan segala persepsi mereka yang tak pernah lepas dari tahayul. Sementara itu, di
hadapan beliau juga tidak ada jalan yang jelas dan mempunyai batasan-batasan tertentu, yang bisa
menghantarkan kepada keridhaan dan kepuasan hati beliau.

Pilihan beliau untuk mengasingkan diri ini termasuk satu sisi dari ketentuan Allah atas diri
beliau, selagi langkah persiapan untuk menerima utusan besar sedang ditunggunya. Ruh manusia
mana pun yang realitas kehidupannya akan disusupi suatu pengaruh dan dibawa ke arah lain, maka
ruh itu harus dibuat kosong dan mengasingkan diri untuk beberapa saat, dipisahkan dari berbagai
macam kesibukan duniawi dan gejolak kehidupan serta kebisingan manusia yang membuatnya sibuk
pada urusan kehidupan. Begitulah Allah mengatur dan mempersiapkan kehidupan Muhammad,
untuk mengemban amanat yang besar, mengubah wajah dunia dan meluruskan garis sejarah. Allah
telah mengatur pengasingan ini selama tiga tahun bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam
sebelum membebaninya dengan risalah. Beliau pergi untuk mengasingkan diri ini selama jangka
waktu sebulan, dengan disertai ruh yang suci sambil mengamati kegaiban yang tersembunyi di balik
alam nyata, hingga tiba saatnya berhubungan dengan kegaiban itu tatkala Allah sudah
memperkenalkannya. 1

Riwayat di atas menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam sering menghabiskan
waktunya menyendiri di Gua Hira dimana di gua inilah Allah akan menurunkan wahyu Al qur an

1
Al mubarakfuri, shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. Penerjemah : Kathur Suhardi. Jakarta : Al-Kautsar, 1997.
Hal : 61-62.
kepada beliau untuk pertama kalinya melalui Jibril ‘alaihissalaam,akan kita lihat kelanjutan riwayat
tersebut pada bagian berikut ini.

Jibril Turun Membawa Wahyu

Selagi usia beliau genap 40 tahun, suatu awal kematangan dan ada yang berpendapat bahwa
pada usia inilah para rasul diangkat menjadi rasul, mulai tampak tanda-tanda nubuwah yang
menyembul dari balik kehidupan pada diri beliau. Diantara tanda-tanda itu adalah mimpi yang
hakiki. Selama enam bulan mimpi yang beliau alami itu hanya menyerupai fajar subuh yang
menyingsing. Mimpi ini termasuk salah satu bagian dari 46 bagian dari nubuwah. Akhirnya pada
bulan Ramadhan pada tahun ketiga dari masa pengasingan di Gua Hira’, Allah berkehendak untuk
melimpahkan rahmat-Nya kepada penghuni bumi, memuliakan beliau dengan nubuwah dan
menurunkan Jibril kepada beliau sambil membawa ayat-ayat Al qur’an.

Setelah mengamati dan meneliti berbagai dalil dan perbandingan yang lain, maka
memungkinkan bagi kami untuk membuat ketetapan tentang hari itu, yaitu pada hari Senin, malam
tanggal 21 dari bulan Ramadhan, atau bertepatan dengan tanggal 10 Agustus 610 M. Usia beliau saat
itu genap 40 tahun lebih 6 bulan 12 hari menurut perhitungan kalender Hijriyah, atau 39 tahun lebih
3 bulan 20 hari menurut perhitungan kalender syamsiyah. 2

Riwayat diatas menceritakan bahwa Gua Hira adalah tempat pertama penurunan Al qur’an kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wassalam dan juga disebutkan oleh Syaikh Shafiyyurrahman al mubarakfuri
bahwa pengamatan dan penelitian beliau menetapkan hari senin malam tanggal 21 Ramadhan atau
bertepatan dengan tanggal 10 Agustus tahun 610 M sebagai waktu penurunan pertama Al qur an ke
bumi ini.

Bahasa Al qur an

Sebenarnya tentang bahasa Al qur an juga merupakan hal yang sudah jelas, kita
semua tahu bahwa Al qur an diturunkan dalam bahasa Arab, kita ketahui hal ini tentu saja
dari pembacaan kita terhadap Al qur an ini atau dari buku sejarah yang menceritakan tentang
kejadian penurunan Al qur an ini dimana Nabi diperintahkan oleh Malaikat untuk mengikuti
apa yang disebutkan olehnya dan apa yang disebutkan oleh Malaikat kepada Nabi adalah
kalimat-kalimat berbahasa Arab yang kemudian diketahui bahwa kalimat-kalimat tersebut
adalah wahyu atau ucapan Sang Pencipta yang dikehendakiNya untuk turun ke bumi ini.
Selain dari dua hal tersebut Al qur an juga menyinggung tentang pemilihan bahasa wahyu ini
pada beberapa ayat nya yang akan kita tuliskan berikut ini.

1. Surah Asy syu’ara (26) ayat : 195


“bilisānin 'arabiyyim mubīn”
artinya :
“dengan bahasa Arab yang jelas.”

2
Ibid. Hal : 62
2. Surah Yusuf (12) ayat : 2
“innā anzalnāhu qur`ānan 'arabiyyal la'allakum ta'qilụn”
artinya :
“Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur'an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”

3. Ar-Ra’du (13) ayat : 37


“wa każālika anzalnāhu ḥukman 'arabiyyā, wa la`inittaba'ta ahwā`ahum ba'da mā jā`aka
minal-'ilmi mā laka minallāhi miw waliyyiw wa lā wāq”
artinya :
“Dan demikianlah Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) sebagai peraturan (yang benar)
dalam bahasa Arab. Sekiranya engkau mengikuti keinginan mereka setelah datang
pengetahuan kepadamu, maka tidak ada yang melindungi dan yang menolong engkau dari
(siksaan) Allah.”

4. An Nahl (16) ayat : 103


“wa laqad na'lamu annahum yaqụlụna innamā yu'allimuhụ basyar, lisānullażī yul-ḥidụna
ilaihi a'jamiyyuw wa hāżā lisānun 'arabiyyum mubīn”
artinya :
“Dan sesungguhnya Kami mengetahui bahwa mereka berkata, “Sesungguhnya Al-Qur'an itu
hanya diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad).” Bahasa orang yang mereka
tuduhkan (bahwa Muhammad belajar) kepadanya adalah bahasa ‘Ajam, padahal ini (Al-
Qur'an) adalah dalam bahasa Arab yang jelas.”

5. Thoha (20) ayat ke-113 :


“wa każālika anzalnāhu qur`ānan 'arabiyyaw wa ṣarrafnā fīhi minal-wa'īdi la'allahum
yattaqụna au yuḥdiṡu lahum żikrā”
artinya:
“Dan demikianlah Kami menurunkan Al-Qur'an dalam bahasa Arab, dan Kami telah
menjelaskan berulang-ulang di dalamnya sebagian dari ancaman, agar mereka bertakwa, atau
agar (Al-Qur'an) itu memberi pengajaran bagi mereka.”

6. Az Zumar (39) ayat ke-28 :


“qur`ānan 'arabiyyan gaira żī 'iwajil la'allahum yattaqụn”
artinya:
“(Yaitu) Al-Qur'an dalam bahasa Arab, tidak ada kebengkokan (di dalamnya) agar mereka
bertakwa.”

7. Fushilat (41) ayat ke-3 :


“kitābun fuṣṣilat āyātuhụ qur`ānan 'arabiyyal liqaumiy ya'lamụn”
artinya:
“Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan, bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang
mengetahui,”

8. Asy-Syuuroo` (42) ayat ke-7 :


“wa każālika auḥainā ilaika qur`ānan 'arabiyyal litunżira ummal-qurā wa man ḥaulahā wa
tunżira yaumal-jam'i lā raiba fīh, farīqun fil-jannati wa farīqun fis-sa'īr”
artinya :
“Dan demikianlah Kami wahyukan Al-Qur'an kepadamu dalam bahasa Arab, agar engkau
memberi peringatan kepada penduduk ibukota (Mekah) dan penduduk (negeri-negeri) di
sekelilingnya serta memberi peringatan tentang hari berkumpul (Kiamat) yang tidak
diragukan adanya. Segolongan masuk surga dan segolongan masuk neraka.”

9. Az Zukhruf (43) ayat ke-3 :


“innā ja'alnāhu qur`ānan 'arabiyyal la'allakum ta'qilụn”
artinya:
“Kami menjadikan Al-Qur'an dalam bahasa Arab agar kamu mengerti.”

10. Al Ahqoof (46) ayat ke-12 :


“wa ming qablihī kitābu mụsā imāmaw wa raḥmah, wa hāżā kitābum muṣaddiqul lisānan
'arabiyyal liyunżirallażīna ẓalamụ wa busyrā lil-muḥsinīn”
artinya :
“Dan sebelum (Al-Qur'an) itu telah ada Kitab Musa sebagai petunjuk dan rahmat. Dan (Al-
Qur'an) ini adalah Kitab yang membenarkannya dalam bahasa Arab untuk memberi
peringatan kepada orang-orang yang zalim dan memberi kabar gembira kepada orang-orang
yang berbuat baik.”

Jadi sudah dapat kita jawab bahasa apa yang dijadikan bahasa pengantar Al Qur an yaitu
bahasa Arab. Tetapi dari singgungan Al qur an terhadap bahasa yang dijadikan bahasa Al qur
an membuat kita bertanya kenapa harus bahasa Arab? Apakah ada alasan tertentu dan
mendasar kenapa bahasa Arab yang dijadikan bahasa perantara antara Sang Pencipta dan
ciptaan Nya? Kita akan mencoba untuk memberikan sedikit jawaban kenapa bahasa Arab
yang dipilih oleh Nya untuk menjadi bahasa perantara atau pengantar penyampaian wahyu
kepada makhluq- makhluq Nya.

Hikmah Pemilihan Bahasa Arab Untuk Wahyu

Salah satu hikmah pemilihan bahasa Arab sebagai bahasa wahyu menurut kami
adalah karena orang-orang yang dipilih oleh Sang Pencipta untuk menerapkan dan
menyebarkan amanat-amanat Nya adalah orang-orang yang menggunakan bahasa Arab
sehingga agar mereka dapat memahami dengan benar dan murni pesan-pesan Nya, pendapat
ini kami dasari kepada pengabaran Al qur an sendiri seperti yang ada di ayat berikut.

“innā anzalnāhu qur`ānan 'arabiyyal la'allakum ta'qilụn”


artinya :
“Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur'an berbahasa Arab, agar kamu mengerti.”
(QS. Yusuf (12) : 2).

Ayat di atas secara harfiah dapat dipahami dengan jelas bahwa tujuan penurunan Al qur an
dalam bahasa Arab adalah “... agar kalian mengerti”, dan bisa kita pahami bahwa orang-
orang yang diberikan amanat wahyu Al qur an ini adalah orang-orang yang menggunakan
bahasa Arab dalam penuturan sehari-hari mereka sehingga penurunan Al qur an dalam bahasa
Arab tersebut merupakan sesuatu yang wajar. Tetapi kita masih dirangsang untuk bertanya
dengan pertanyaan “kenapa Sang Pencipta memilih bangsa Arab sebagai bangsa yang
dipercaya untuk menjalankan dan menyebarkan amanat Nya di muka bumi ini padahal kita
tahu bahwa pada masa tersebut sudah ada beberapa bangsa yang secara pemikiran dan
kebudayaan sudah besar dan melampaui bangsa-bangsa lain terutama bangsa Arab sendiri
seperti bangsa romawi dan persia?”, apa yang bisa kita berikan sebagai jawaban untuk
pertanyaan seperti ini? Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthy menulis di dalam bukunya
“Fiqh Assirah : Dirasat Manhajiah ‘Ilmiyah li Siratil-Musthafa ‘alaihish-Shalatu was-Salam
(pada edisi terjemahan diberi judul Sirah Nabawiyah : Analisis Ilmiah Manhajiah Sejarah
Pergerakan Islam di Masa Rasulullah SAW). Cet 1 Jakarta : Rabbani Press, 1999)” pada
bagian “Rahasia dipilihnya Jazirah Arabia sebagai tempat Kelahiran dan Pertumbuhan Islam”
bahwa”.. di Jazirah Arabia, bangsa Arab hidup dengan tenang, jauh dari bentuk keguncangan
tersebut (moral, pemikiran dan kebudayaan sebagaimana yang dialami oleh bangsa-bangsa di
luar Jazirah Arabia). Bangsa Arab tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia yang
memungkinkan mereka kreatif dan pandai menciptakan kemerosotan-kemerosotan, filsafat
keserbabolehan, dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama. Mereka tidak
memiliki kekuatan militer Romawi yang mendorong mereka melakukan ekspansi ke negara-
negara tetangga. Mereka tidak memiliki kemegahan filosofis dan dialektika Yunani yang
menjerat mereka menjadi mangsa mitos dan khurafat. Karakteristik mereka seperti bahan
baku yang belum diolah dengan bahan lain; masih menampakkan fitrah kemanusiaan dan
kecenderungan yang sehat dan kuat serta cenderung kepada kemanusiaan yang mulia, seperti
setia, penolong, dermawan, rasa harga diri, dan kesucian. Hanya saja, mereka tidak memiliki
ma’rifat (pengetahuan) yang akan mengungkapkan jalan ke arah itu karena mereka hidup di
dalam kegelapan, kebodohan, dan alam fitrah yang pertama. Akibatnya, mereka sesat jalan,
tidak menemukan nilai-nilai kemanusiaan tersebut. Selanjutnya, mereka membunuh anak
dengan dalih kemuliaan dan kesucian, memusnahlan harta kekayaan dengan alasan
kedermawanan, dan membangkitkan peperangan di antara mereka dengan alasan harga diri
dan kepahlawanan. Kondisi inilah yang diungkapkan oleh Allah dengan dhalal ketika
menyifati dengan firman-Nya.

“Dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (QS.
Al Baqarah (2) : 198).

Suatu sifat, apabila dinisbatkan kepada kondisi umat-umat lain pada waktu itu, lebih
banyak menunjukkan kepada i’tidzar (excuse) daripada kecaman, celaan, dan hinaan kepada
mereka. Ini dikarenakan umat-umat lain tersebut melakukan penyimpangan-penyimpangan
terbesar dengan “bimbingan” sorot peradaban, pengetahuan, dan kebudayaan. Mereka
terjerembab kedalam kubang kerusakan dengan penuh kesadaran, perencanaan, dan
pemikiran. Disamping itu, Jazirah Arab secara geografis terletak di antara umat-umat yang
sedang dilanda pergolakan. Bila diperhatikan sekarang, seperti dikatakan oleh Ustadz
Muhammad Mubarak, akan diketahui betapa Jazirah Arab terletak di antara dua peradaban.
Pertama, peradaban Barat yang materialistis telah menyajikan suatu bentuk kemanusiaan
yang tidak utuh. Kedua, peradaban spiritual penuh khayalan di ujung timur, seperti umat-
umat yang hidup di India, Cina, dan sekitarnya. Jika telah kita ketahui kondisi bangsa Arab di
Jazirah Arab sebelum Islam dan kondisi umat-umat lain di sekitarnya, dengan mudah kita
dapat menjelaskan hikmah Ilahiyah yang telah berkenan menentukan Jazirah Arabia sebagai
tempat kelahiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam dan kerasulannya, dan mengapa
bangsa Arab ditunjuk sebagai generasi perintis yang membawa cahaya dakwah kepada dunia
menuju agama Islam yang memerintahkan seluruh manusia di dunia ini agar menyembah
Allah semata.”3

Jadi dapat kita simpulkan bahwa alasan pemilihan bangsa Arab oleh Sang Pencipta untuk
menjalankan dan menyebarkan wahyu Nya adalah kemurnian kemanusiaan orang-orang Arab
tersebut yang tidak dimiliki oleh bangsa-bangsa di luar Jazirah Arab. Orang-orang Arab
tersebut secara dominan didorong oleh sifat-sifat dasar manusia dalam menjalani kehidupan
mereka, mereka tidak dikuasai oleh pemikiran-pemikiran yang menyelisihi kesadaran baik
dan buruk dalam gerak-gerik kehidupan mereka, malah pemikiran dan kebudayaan mereka
secara dominan didasari oleh kebaikan-kebaikan seperti beberapa contoh yang diberikan Dr.
Ramadhan Al-Buthy di atas. Mereka menghamburkan uang dengan berjudi dan membeli
khamr didasari oleh kesadaran terhadap kedermawanan, mereka suka berperang antara satu
dengan yang lain didasari oleh kesetiaan, rasa persaudaraan, keberanian, dan kepahlawanan
meskipun terkadang perang-perang mereka hanya disebabkan oleh hal-hal sepele. Rasa
kemanusiaan yang tinggilah yang menjadikan mereka cocok untuk mengemban wahyu dan
amanat Sang Pencipta sehingga diantara banyak bangsa yang ada di bumi pada masa itu
bangsa Arab lah yang dipilih oleh Nya untuk menjalankan dan menyebarkan wahyu Nya.
Karena pada dasarnya amanat Sang Pencipta atau wahyu adalah sesuatu yang diturunkan
untuk manusia karena wahyu tersebut merupakan suatu penyempurna kemanusiaan manusia
yang dengan pelaksanaannya maka keutuhan dan kesempurnaan kemanusiaan akan
didapatkan oleh manusia. Sang Pencipta menyinggung masalah kecocokan antara wahyu Nya
dengan sifat dasar manusia pada ayat berikut.

“maka hadapkanlah wajahmu kepada addiin (agama) secara lurus (haniifaa), (karena addiin
sesuai dengan) Fithrah Allah yang mana Allah telah menciptakan (meng-orisinal-kan/fa tha
ra) manusia di atasnya, tidak ada perubahan pada ciptaan Allah, itulah addiin yang lurus,
akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum (30): 30).

Kecocokan antara kehendak Sang Pencipta dengan kemanusiaan merupakan sesuatu yang
sudah ditetapkan oleh-Nya dan pada dasarnya segala ciptaan memang diciptakan untuk
mengemban kehendak-kehendakNya sehingga pelaksanaan manusia atas wahyu Nya
merupakan sesuatu yang wajar dan murni.

Jadi sesuai dengan argumentasi di atas pemilihan bahasa Al Qur an terkait kepada pemilihan
bangsa pertama sebagai pelaksana dan penyebar wahyu Nya, yaitu bangsa Arab, dan
pemilihan bangsa Arab ini sebagai pelaksana dan penyebar wahyu Nya yang pertama
disebabkan oleh kemanusiaan mereka yang masih murni dan menjadi dasar yang dominan
atas gerak-gerik kehidupan dan kebudayaan mereka yang mana dominasi rasa kemanusiaan

3
Al Buthy, Muhammmad Sa’id Ramadhan, Dr. Sirah Nabawiyah: Analisis Ilmiyah Manhajiah Sejarah Pergerakan
Islam di Masa Rasullullah saw. Penj: Aunur Rafiq Shaleh Tamhid Lc. Cet 1 Jakarta: Rabbani Press, 1999. Hal: 10-
12.
ini pada masa itu tidak ditampakkan oleh bangsa-bangsa dan kebudayaan-kebudayaan lain di
luar Jazirah Arab. Maka kemanusiaan adalah awal dari keimanan kepada Sang Pencipta,
sehingga tanpa kemanusiaan agama tidak akan bisa terlaksana sesuai dengan ide-ide dasar
yang dikehendaki oleh Sang Pencipta.

Struktur Al Qur an

Pembicaraan tentang struktur Al qur an mencakup jumlah surat dan susunan surat,
jumlah ayat dan susunan ayat. Kita akan memulai dari pembahasan mengenai jumlah surat
dan susunannya yang membangun Al qur an.

Jumlah Surat dan Susunannya

Al qur an terdiri atas 114 surah. Masing-masing memiliki sebuah nama yang
mencerminkan isi atau kandungannya, tetapi ada juga surah-surah yang memiliki lebih dari
satu nama, di antaranya sebagai berikut :

1. al fatihah dinamakan juga Ummul Qura’ dan Sab’ul Matsani


2. At taubah dinamakan juga Baraa’ah
3. Al israa’ dinamakan juga Bani Israil
4. Fatir dinamakan juga Al Malaaikah
5. Gaafir dinamakan juga Al Mu’min
7. Al Insaan, dinamakan juga Ad Dahr
8. Al Mutaffifiin dinamakan juga At Tatfif
9. Al Lahab dinamakan juga Al Masad4

Jumlah 114 ini adalah jumlah yang umum diketahui oleh orang-orang tetapi ternyata ada
beberapa perbedaan pendapat mengenai jumlah surah yang membangun Al qur an, seperti
pendapat yang diambil dari Mujahid bahwa jumlah surah yang membangun Al qur an adalah
113 surah dengan menggabungkan surat al-Anfal dengan surat al-Tawbah menjadi satu
surat.5 Ibnu Mas’ud dalam mushafnya terdapat 112 surat. Ini karena ia tidak memasukan dua
surat terakhir (mu’awidzatani) yang oleh Montgomery Watt dikatakan sebagai jimat-jimat
pendek. Sementara sebagian di antara ulama Syi’ah menetapkan bahwa jumlah surat al-
Qur’an 116. Hal ini karena mereka memasukan surat qunut yang dinamai surat al-khaf (al
khal’u) dan al-hafd yang oleh ditulis oleh Ubay di kulit al-Qur’an.6

Terkait kepada susunan atau urutan surah-surah Al qur an maka urutan surah-surah
Al qur an merupakan hal yang berdasarkan kepada petunjuk Allah Ta’ala atau bersifat
tauqifiy dan tidak didasari oleh pemikiran (ijtihad) Jibril, Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam
atau para sahabat radhiAllahu ‘anhum. Sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Muhammad
Mahmud Hijazi, ”sama halnya dengan urutan ayat Al Qur an yang bersifat tauqiifi
(bersumber dari petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam.), tata urutan surah, menurut

4
Syaamil Al- Qur’an Miracle The Reference. Bandung : Sygma Publishing. Hal : 1215.
5
Idamatussilmi, Vina. Surat dan Ayat Makalah Al Quran dan Hadits. Hal : 17.
6
Ibid.
pendapat yang paling shahih juga bersifat tauqiifi.”.7

Jumlah Ayat dan susunannya

Sebagai mana adanya perselisihan dalam penetapan jumlah surat yang membangun Al
qur an maka di dalam penetapan jumlah ayat Al qur an juga kita dapati ada perselisihan. Para
Ulama berselisih pendapat mengenai jumlah ayat Al qur an dan perselisihan ini disebabkan
oleh beberapa hal yang akan disebutkan berikut ini.
1. Sebagian Ulama memandang fawatih al-suwar (pembuka-pembuka surat) seperti:

‫ ا ل م ص‬،‫ ا ل م ر‬،‫ ا ل ر‬،‫ا ل م‬

Sebagai ayat, akan tetapi sebagian yang lain tidak menghitungnya sebagai ayat.

2. Bacaan yang diwakafkan oleh Nabi, ada yang menganggapnya sebagai tanda berakhirnya
suatu ayat , sementara yang lain tidak memandang sebagai akhir ayat (fashilah).

Dalam kaitan masalah penghitungan dan perincian ayat dari tiap-tiap surat yang ada dalam
Al-Qur’an, al-Muwashshili mengatakan: surat-surat dalam Al-Qur’an itu dapat dibedakan
kedalam tiga bagian, yaitu:

1. kelompok surat-surat yang tidak diperselisihkan tentang jumlah ayat-ayatnya baik secara
keseluruhan maupun perinciannya. Jumlah surat yang digolongkan kedalam kelompok ini
sebanyak 40 surat, di antaranya surat-surat Yusuf [12] 111 ayat, Al-Hijr [15] 99 ayat, Al-
Jumu’ah [62] 11 ayat, dan Al-‘Adiyat [100] 11 ayat.

2. kelompok surat-surat yang jumlah keseluruhan ayatnya disepakati, tetapi perinciannya


secara detail diperselisihkan. Kelompok ini sebanyak empat surat, yakni surat-surat: Al-
Qashash [28] 88 ayat, Al-‘Ankabut [29] 69 ayat, dan Al-‘Ashr [103] 3 ayat.

3. kelompok surat-surat yang jumlah ayatnya diperselisihkan baik mengenai jumlah


keseluruhannya maupun tentang perinciannya. Jumlah surat-suratnya sebanyak 70 surat.
Contoh: surat Al-Baqarah [2], ada yang mengatakan 285 ayat, ada yang berpendapat 286 ayat
dan ada pula yang bependirian 287 ayat.8

Meskipun terjadi perselisihan di antara para Ulama terkait kepada jumlah ayat Al-Qur’an
namun, suatu hal yang telah disepakati oleh mereka tentang bilangan ayat Al-Qur’an ialah
bahwa jumlah ayat Al-Qur’an itu tidak kurang dari 6000 ayat. Yang mereka perselisihkan
adalah kelebihannya dari 6000 ayat. Menurut penyelidikan Ulama Madinah, jumlah ayat Al-
Qur’an sebanyak 6210, kata ahli Bashrah sebanyak 6204, kata ahli Syam 6226, kata ahli
Kufah 6217, dan menurut penyelidikan Ibnu Abbas adalah 6616.9 Kemudian, terkait kepada
susunan ayat-ayat Al-Qur’an maka hal ini merupakan sesuatu yang bersifat tauqiifi (sesuai
dengan petunjuk Allah Ta’ala) sebagaimana susunan surah-surah Al-Qur’an menurut

7
Hijazi, Muhammad Mahmud. Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an. Jakarta : GEMA INSANI, 2010. Hal : 7.
8
Muhammad Amin Suma. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Pers, 2013. Hal: 72-73.
9
Ibid. Hal: 72.
pendapar yang paling shahih juga bersifat tauqiifi. Ada dua riwayat yang dapat kita jadikan
dasar untuk mengatakan sifat tauqiifi dari susunan ayat-ayat Al-Qur’an, yang pertama:

Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad dari Utsman bin Abil Ash yang berkata, “Suatu hari,
saya duduk di samping Rasulullah. Tiba-tiba beliau mendongakkan pandangan ke atas.
Setelah meluruskannya kembali, beliau kemudian berkata, ‘Baru saja Jibril datang dan
memerintahkanku untuk meletakkan ayat 90-91 surah an-Nahl, ‘Sesungguhnya Allah
menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat...,’ di
tempat ini dan di surah ini.’”10

Yang kedua:

Hadits riwayat Imam Bukhari dari Ibnuz Zubair yang berkata, “Saya berkata kepada Utsman
bin Affan, ‘Sesungguhnya ayat 240 al-Baqarah, ‘Dan orang-orang yang akan mati di antara
kamu dan meninggalkan istri-istri, hendaklah membuat wasiat untuk istri-istrinya, (yaitu)
nafkah sampai setahun tanpa mengeluarkannya (dari rumah)...,’ telah di-nasakh dengan ayat
234 al-Baqarah, ‘Dan orang-orang yang mati di antara kamu serta meninggalkan istri-istri
hendaklah mereka menunggu empat bulan sepuluh hari...’ Akan tetapi, mengapa engkau
tetap menuliskannya?’ [Atau, dalam riwayat lain, ‘Mengapa engkau biarkan ia tetap tertulis
padahal ia telah mansukh?’] Utsman lalu menjawab, ‘Wahai putra saudaraku, aku tidak
berhak mengubah suatu (ayat) apa pun dari tempatnya (yang telah ditentukan).’”11

Maka dari dua riwayat tersebut kita dapat menyimpulkan dan mengatakan bahwa susunan
ayat-ayat Al-Qur’an memang bersifat tauqiifi dan tidak dipengaruhi oleh pemikiran atau
ijtihad makhluq.

Durasi Penurunan Al-Qur’an Hingga Lengkap

Dikabarkan bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam menghabiskan waktu untuk
menyebarkan wahyu dan mengajak manusia kepadanya selama 23 tahun, dimana beliau shalallahu
‘alaihi was sallam menghabiskan 13 tahun di Makkah dan 10 tahun sisanya di Madinah (Yatsrib).
Tetapi itu adalah durasi Nabi menjalankan tugasnya sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira
di muka bumi ini. Apakah bisa kita samakan durasi Nabi menjalankan tugas dengan durasi
penurunan Al-Qur’an sehingga kita bisa menyimpulkan bahwa Al-Qur’an diturunkan ke bumi dari
awal sampai lengkap selama 23 tahun juga? Apakah Al-Qur’an sudah selesai diturunkan secara
lengkap sebelum Nabi menyelesaikan tugas beliau di bumi ini?.

Untuk mengetahui berapa lama waktu yang dikehendaki oleh Allah Ta’ala pada penurunan Al
Qur’an kepada Nabi hingga lengkap maka kita bisa mengetahuinya melalui penjumlahan antara
waktu Nabi mengajak manusia-manusia untuk beriman kepada-Nya dan kitab-Nya pada fase
makkiyah atau fase sebelum hijrah dan waktu ayat Al Qur’an yang terakhir diturunkan kepada Nabi
shalallahu ‘alaihi was sallam. Dikatakan bahwa Nabi menghabiskan waktu selama 13 tahun di fase
makkiyah atau fase sebelum hijrah dalam mengajak manusia-manusia kepada Allah Ta’ala dan

10
Hijazi, Muhammad Mahmud. Kesatuan Tema dalam Al-Qur’an. Jakarta : GEMA INSANI, 2010. Hal: 4.
11
Ibid. Hal: 5.
menurut perhitungan Syekh Muhammad Al Khudari Al Qur’an terakhir kali turun kepada beliau
pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun ke- 10 sesudah hijrah (Maret 632 Masehi) 12, maka apabila kita
jumlahkan kedua waktu ini akan kita dapatkan durasi total dari penurunan Al Qur’an hingga lengkap,
yaitu selama 23 tahun atau tepatnya penurunan Al Qur’an dari awal hingga lengkap menghabiskan
waktu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari menurut perhitungan Syekh Muhammad Al Khudari
Bek.13

Cara- Cara Al Qur’an diturunkan

Sebelum kita membahas cara-cara Al Qur’an diturunkan kepada Nabi shalallahu ‘alaihi was
sallam, kita akan membahasa sedikit tentang penurunan Al Qur’an dari Allah ke langit dunia. Ada
beberapa pendapat mengenai proses penurunan Al Qur’an dari Allah sampai kepada Nabi
Muhammad. Perbedaan pendapat itu pada dasarnya dapat dibedakan ke dalam tiga kelompok
besar, yaitu:
pertama, kelompok yang berpendapat bahwa Al-Qur’an diturunkan sekaligus (dari awal
sampai akhir) ke langit dunia pada malam al-Qadar. Kemudian sesudah itu diturunkan secara
berangsur-angsur dalam tempo 20, 23 atau 25 tahun sesuai dengan perbedaan pendapat di antara
mereka.
kedua, golongan yang berpendirian bahwa Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia bagian demi
bagian (tidak sekaligus) pada setiap malam al-Qadar karena tidak ada kesepakatan di kalangan
kelompok ini. Jadi, menurut mereka, setiap datang malam al-Qadar pada setiap Ramadhan, bagian
tertentu Al-Qur’an diturunkan ke langit dunia sekadar kebutuhan untuk selama satu tahun, sampai
ketemu malam al-Qadar tahun berikutnya. Menurut pendapat ini, penurunan Al-Qur’an bagaikan
sistem paket yang dilakukan sekali dalam satu tahun, tepatnya setiap malam al-Qadar.
ketiga, aliran yang menyimpulkan bahwa Al-Qur’an itu untuk pertama kali diturunkan pada
malam al-Qadar sekaligus, dari Lauh Mahfudz ke Bait al-‘izzah dan kemudian setelah itu diturunkan
sedikit demi sedikit dalam berbagai kesempatan sepanjang masa-masa kenabian/kerasulan
Muhammad Saw.

Berkenaan dengan proses penurunan Al-Qur’an, al-Zarqani menyebutkan tiga macam


tahapan:
tahapan pertama, Al-Qur’an diturunkan Allah ke Lauh al Mahfuzh, susuai dengan ayat:

]٢٢[‫] يِف ْ لَ ْو ٍح حَّمْ ُف ْو ٍظ‬٢١[‫بَ ْل ُه َو ُق ْراٰ ٌن جَّمِ ْي ٌد‬.


Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur’an yang mulia, yang (tersimpan) dalam Lauh
Mahfuzh. (QS Al-Buruj [85]:21-22)

Al-Zarqani tidak menyinggung lebih jauh tentang penurunan Al-Qur’an ke Lauh al- Mahfudz
ini. Ia hanya menyatakan bahwa kapan persisnya Al-Qur’an diturunkan ke Lauh al-Mahfudz dan
bagaimana caranya, tidak bisa diketahui dengan pasti selain oleh Allah sendiri. Ia menambahkan
bahwa rahasia penurunan Al-Qur’an kepada Nabi secara pasti tidak bisa direkayasa dengan akal.

12
Ibid. Hal: 43.
13
Ibid. Hal: 43.
Tahapan kedua, Al-Qur’an diturunkan dari Lauh Mahfudz ke Bait al-Izzah di langit dunia,
sesuai dengan beberapa ayat:

]٣[‫اِنَّٓا اَْنَزلْنٰهُ يِف ْ لَْيلَ ٍة ُّمٰبَر َك ٍة اِنَّا ُكنَّا ُمْن ِذ ِريْ َن‬.
Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi dan
sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. (QS. Al-Dukhan [44]:3)

]١[‫اِنَّٓا اَْنَزلْنٰهُ يِف ْ لَْيلَ ِة الْ َق ْد ِر‬.


Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an itu di malam Al-Qadar. (QS. Al-Qadar [97]:1)

]١٨٥[‫ضا َن الَّ ِذيْٓ اُنْ ِز َل فِْي ِه الْ ُق ْراٰ ُن‬


َ ‫ َش ْه ُر َر َم‬.
Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an. (QS. Al-Baqarah [2]:185)

Ketiga ayat tersebut menegaskan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada suatu malam yang
dinamakan Lailah Mubarakah dan Lailah al-Qadar, yang terjadi pada bulan Ramadhan. Guna
mendukung pendapatnya, al-Zarqani mengutip beberapa riwayat di antaranya:

‫ ثم أنزل بعد ذلك في عشرين‬، ‫ أنزل القران جملة واحدة الي سماء الدنيا ليلة القدر‬: ‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما انه قال‬
]‫سنة [أخرجه النساءي و الحاكم و البيهقي‬

“Dari Ibn ‘Abbas r.a, sesungguhnya dia berkata: Al-Qur’an diturunkan sekaligus ke langit
dunia pada malam al-Qadar, kemudian setelah itu diturunkan dalam waktu 20 tahun.”
(Ditakhrij oleh al-Nasa’i, al-Hakim dan al-Bayhaqi)

‫ ثم أنزل علي مواقع النجوم‬، ‫ في ليلة القدر جملة واحدة‬، ‫انه أنزل في رمضان‬: ‫عن ابن عباس رضي هللا عنهما انه قال‬
]‫ [أخرجه ابن مردويه و البيهقي‬. ‫ترتيال في الشهور و األيام‬

“Dari Ibn ‘Abbas r.a., ia berkata: Sesungguhnya Al-Qur’an itu diturunkan di bulan Ramadhan
(tepatnya) pada malam al-Qadar sekaligus, kemudian diturunkan bagian demi bagiannya
secara berangsur-angsur pada beberapa bulan dan hari.” (Ditakhrijkan oleh Ibn Marduwaih
dan al-Bayhaqi).

Tahapan ketiga atau terakhir, Al-Qur’an diturunkan dari Baiyt al-‘Izzah kepada Nabi
Muhammad Saw. dengan perantaraan Malaikat Jibril, seperti tertera dalam ayat:

ُّ ‫] َنَز َل بِِه‬193[ ۙ ‫ك لِتَ ُك ْو َن ِم َن الْ ُمْن ِذ ِريْ َن‬


[194] ُ ‫الر ْو ُح ااْل َِمنْي‬ َ ِ‫ۙ َع ٰلى َق ْلب‬
Dia (Al-Qur’an) dibawa turun oleh Al-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan. (QS. Al-
Syu’ara [26]:193-194)

Lepas dari berbagai pendapat yang ada dengan segala macam perbedaan dan
variasinya, yang pasti Al-Qur’an untuk pertama kali diturunkan pada malam hari bulan
Ramadhan, yang oleh Al-Qur’an dijuluki dengan malam kemuliaan (Lailah al-Qadar) dan
malam yang diberkahi (Lailah al-Mubarakah). Kesimpulan ini didasarkan pada beberapa ayat
yang telah dituliskan di atas, yakni: ayat 1 surat Al-Qadar [97], ayat 2 surat Al-Dukhan [44],
dan ayat 185 surat Al-Baqarah [2].14

Dari uraian di atas kita telah mengetahui beberapa pendapat mengenai penurunan Al-
Qur’an dari Rabbil ‘Izzati sampai kepada Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam, kemudian kita
akan menguraikan bagaimana Nabi shalallahu ‘alaihi was sallam mengalami penurunan
wahyu dari Jibril kepada beliau, sebelum itu akan kita sebutkan beberapa cara Allah
menyampaikan wahyu-Nya kepada para Nabi dan Rasul-Nya.

1. Allah mencampakkan pengetahuan ke dalam jiwa Nabi tanpa melalui perantaraan


Malaikat. Termasuk kedalam bagian ini ialah mimpi yang benar, seperti mimpinya Nabi
Ibrahim Khalilullah a.s ketika diperintahkan agar menyembelih putranya (Isma’il a.s)
sebagaimana diungkapkan kembali dalam Al-Qur’an.

ِ ‫ال ٰيٓاَب‬ ِ
‫ت ا ْف َع ْل‬ َ ُ‫ال ٰيبُيَنَّ ايِّن ْٓي اَٰرى ىِف الْ َمنَ ِام اَيِّن ْٓي اَ ْذحَب‬
َ َ َ‫ك فَانْظُْر َما َذا َت ٰر ۗى ق‬ َ َ‫الس ْع َي ق‬
َّ ُ‫َفلَ َّما َبلَ َغ َم َعه‬
‫الصرِب ِ يْ َن‬ ِ ٰ ِ ِ 102[ ‫ما ُت م ۖ ُر‬
ّٰ ‫]ستَج ُديِن ْٓي ا ْن َشاۤءَ اللّهُ م َن‬ َ َ ‫َ ْؤ‬
Ibrahim berkata: “Wahai anakku! Sesungguhnya ku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu .” Isma’il menjawab: “Wahai
Bapakku ! kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu , Insya Allah akan mendapatiku
termasuk orang-orang yang sabar”. (QS Al-Shaffat [37]:102)

Wahyu dalam bentuk mimpi yang tepat dan benar in pernah pula dialami oleh Nabi Yusuf
a.s., Nabi Muhammad Saw., dan lain-lain. Bahkan insan-insan tertentu yang tidak sampai
derajat kenabian dan/ atau kerasulan bisa diberi/menerima “wahyu” dalam bentuk ini.

2. Allah memperdengarkan suara dari balik tabir seperti yang dialami oleh Nabi Musa a.s
ketika menerima pengangkatan kenabiannnya. Firman Allah:

[11]‫ي مٰي ُْو ٰ ٓسى‬ ِ


َ ‫ۙ َفلَ َّمٓا اَٰت َىها نُ ْود‬
ِ ‫َّك بِالْ َو ِاد الْ ُم َقد‬
[12]‫َّس طًُوى‬ ِ َ ۚ ‫ۗ اِيِّن ْٓي اَن ۠ا ربُّك فَاخلَع نعلَي‬
َ ‫ك ان‬ ْ َْ ْ ْ َ َ َ
[13]‫استَ ِم ْع لِ َما يُ ْو ٰحى‬
ْ َ‫ك ف‬
َ ُ‫اخَت ْرت‬
ْ ‫َواَنَا‬
14
Ibid. Hal:37-39.
Maka ketika ia (Musa) datang ke tempat api itu, ia dipanggil: “Wahai Musa sesungguhnya
Aku inilah Tuhanmu, maka lepaskanlah kedua sandalmu: sesungguhnya kamu berada di
lembah suci, yakni Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan
diwahyukan (kepadamu). (QS. Thaha [20]: 11-13)

Dalam surat Al-Nisa’ ayat 164, Allah berfirman:

‫َو َكلَّ َم ال ٰلّهُ ُم ْو ٰسى تَكْلِْي ًم ۚا‬


Dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung. (QS Al Nisa’ [4]:164)

Cara penyampaian wahyu seperti ini pernah pula dialami oleh Nabi Muhammad Saw. pada
malam hari di waktu mi’raj.

3. Melalui seorang utusan, yaitu malaikat. Dalam hal ini ada dua macam:

a. Nabi dapat melihat malaikat Jibril adakalanya dalam bentuk yang asli (hal ini jarang
terjadi) dan adakalanya Jibril menjelma sebagai seorang manusia.
b. Nabi tidak melihat Jibril sewaktu menerima wahyu, akan tetapi beliau mendengar suara
seperti suara lebah atau gemerincingnya suara lonceng pada waktu Jibril datang.

Al-Qur’an diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. dalam bentuk yang ketiga ini, yaitu
melalui al-Ruh al-Amin (Jibril a.s) sebagaimana telah diterangkan pada pembahasan
terdahulu.

Dari uraian di atas dapatlah ditarik kesimpulan bahwa cara-cara penyampaian wahyu Allah
Swt. kepada para nabi itu pada hakikatnya melalui dua cara, yaitu:

1. Secara langsung, tidak melalui perantaraan malaikat.


Dalam hal ini ada dua macam:
a. Allah menghembuskan suatu pengetahuan ke dalam jiwa nabi.
b. Allah berbicara kepada nabi dari balik tabir, dengan maksud nabi tidak melihat Dzat Allah.

2. Tidak secara langsung, yaitu melalui perantaraan Jibril.


Dalam hal ini ada dua macam pula:
a. Nabi dapat melihat Jibril, dan dalam hal ini ada dua macam pula:
1) Jibril dilihat oleh Nabi dalam bentuk aslinya.
2) Jibril dilihat oleh Nabi dalam bentuk seorang manusia.
b. Nabi tidak melihat Jibril sewaktu menerima wahyu.15

Setelah uraian mengenai cara-cara Allah menyampaikan atau menurunkan wahyu kepada
para nabi dan rasul di atas, selanjutnya kita akan membahas tentang bagaimana Nabi
Muhammad Saw mengalami penurunan wahyu.

Ibnul Qayyim menyebutkan tingkatan-tingkatan wahyu, yaitu:

15
Ibid. Hal: 83-85.
1. Mimpi yang hakiki. Ini merupakan permulaan wahyu yang turun kepada Nabi Shalallahu
‘alaihi wassallam.
2. Apa yang disusupkan ke dalam jiwa dan hati beliau, tanpa dilihatnya, sebagaimana yang
dikatakan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam, “Sesungguhnya Ruhul-Qudus menghembuskan
ke dalam diriku, bahwa suatu jiwa sama sekali tidak akan mati hingga disempurnakan
rezekinya. Maka bertakwalah kepada Allah, baguskan dalam meminta, dan janganlah kalian
menganggap lamban datangnya rezeki, sehingga kalian mencarinya dengan cara
mendurhakai Allah, karena apa yang ada di sisi Allah tidak akan bisa diperoleh kecuali
dengan menaati-Nya.”
3. Malaikat muncul di hadapan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam dalam rupa seorang laki-
laki, lalu berbicara dengan beliau hingga beliau bisa menangkap secara langsung apa yang
dibicarakannya. Dalam tingkatan ini kadang-kadang para sahabat juga bisa melihatnya.
4. Wahyu itu datang menyerupai bunyi gemerincing lonceng. Ini merupakan wahyu yang
paling berat dan malaikat tidak terlihat oleh pandangan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam,
hingga dahi beliau berkerut mengeluarkan keringat sekalipun pada waktu yang sangat dingin,
dan hingga hewan tunggangan beliau menderum ke tanah jika beliau sedang menaikinya.
Wahyu seperti ini sekali pernah datang tatkala paha beliau berada di atas Zaid bin Tsabit,
sehingga Zaid merasa keberatan dan hampir saja tidak kuat menyangganya.
5. Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam bisa melihat malaikat dalam rupa aslinya, lalu
menyampaikan wahyu seperti yang dikehendaki Allah kepada beliau. Wahyu seperti ini
pernah datang dua kali, sebagaimana yang disebutkan Allah dalam surat An-Najm.
6. Wahyu yang disampaikan Allah kepada beliau, yaitu di atas lapisan-lapisan langit pada
malam Mi’raj, berisi kewajiban shalat dan lain-lainnya.
7. Allah berfirman secara langsung dengan Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam tanpa
menggunakan perantara, sebagaimana Allah berfirman dengan Musa bin Imran. Wahyu
semacam ini pasti berlaku bagi Musa berdasarkan nash Al-Qur’an dan menurut penuturan
beliau dalam hadits tentang Isra’.16

Ketujuh uraian di atas merupakan gambaran dari bagaimana Nabi Shalallahu ‘alaihi wassallam
mengalami penurunan wahyu kepada beliau. Cara-cara tersebut merupakan cerminan kongkrit dari
kehendak Allah Ta’ala yang mutlak atas segala hal yang diciptakan-Nya, seandainya Dia
menghendaki wahyu turun kepada Nabi shalallahu ‘alaihi wassallam dengan satu cara saja maka hal
tersebut tidak mustahil sama sekali, kehendak-Nya mutlak dan meliputi seluruh alam.

Tujuan Dasar Penurunan Al-Qur’an

Pembicaraan tentang tujuan dasar penurunan Al-Qur’an adalah pembicaraan yang pada
dasarnya terkait mutlak kepada alasan personal Si Penurun Al-Qur’an tersebut, sehingga secara logis
kita hanya perlu menanyakan kepada Yang Menurunkan Al-Qur’an tersebut kenapa Dia menurunkan
Al-Qur’an atau apa tujuan-Nya menurunkan Al-Qur’an. Pertanyaan tersebut mungkin untuk diajukan
tetapi bagaimana kita mengetahui jawaban pertanyaan tersebut? Tidak perlu menunggu jawaban
dengan spekulasi-spekulasi dan terkaan-terkaan terhadap kejadian-kejadian alam yang kita tunggu-
tunggu sebagai tanda-tanda dari-Nya, karena pada kenyataannya apabila kita membaca Al-Qur’an

16
Al mubarakfuri, shafiyyurrahman. Sirah Nabawiyah. Penerjemah : Kathur Suhardi. Jakarta : Al-Kautsar, 1997.
Hal : 67-68.
tersebut kita akan mendapatkan jawaban dari pertanyaan kita tadi, contoh pada ayat-ayat berikut
ini:

1. Surah Al- Takwir (81) : 27

‫اِ ْن ُه َو اِاَّل ِذ ْكٌر لِّْل ٰعلَ ِمنْي ۙ َن‬


“(Al-Qur’an itu ) tidak lain adalah peringatan bagi seluruh alam,”

2. Surah Ibrahim (14) : 1

ِ ‫ت اِىَل النُّو ِر ەۙ بِاِ ْذ ِن رهِّبِم اِىٰل ِصر‬


‫اط الْ َع ِزيْ ِز احْلَ ِمْي ۙ ِد‬ ِ ‫ك لِتُخرِج النَّاس ِمن الظُّلُ ٰم‬ ِ ِ
َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ‫ٰب اَْنَزلْنٰهُ الَْي‬
ٌ ‫ال ٰۤر ۗ كت‬
“Alif Lam Ra. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu (Muhammad) agar engkau
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang-benderang dengan izin Tuhan,
(yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Mahaperkasa, Maha Terpuji.”

3. Surah Al-Ma’idah (5): 15-16

‫ٰب َو َي ْع ُف ْوا َع ْن َكثِرْيٍ ەۗ قَ ْد‬


ِ ‫ٰب قَ ْد َجاۤء ُكم ر ُس ْولُنَا يَُبنِّي ُ لَ ُكم َكثِْيرا مِّمَّا ُكْنتُم خُتْ ُف ْو َن ِمن الْ ِكت‬
َ ْ ً ْ َْ َ
ِ ‫ٰيٓاَ ْهل الْ ِكت‬
َ
‫ٰب ُّمبِنْي ۙ ٌن‬ ِ ِٰ
ٌ ‫َجاۤءَ ُك ْم ِّم َن اللّه نُ ْوٌر َّوكت‬
‫ت اِىَل الن ُّْو ِر بِاِ ْذنِهٖ َو َي ْه ِديْ ِه ْم اِىٰل‬
ِ ‫الس ٰل ِم وخُيْ ِرجهم ِّمن الظُّلُ ٰم‬ ْ ‫يَّ ْه ِد ْي بِِه ال ٰلّهُ َم ِن اتَّبَ َع ِر‬
َ ْ ُ ُ َ َّ ‫ض َوانَهٗ ُسبُ َل‬
‫اط ُّم ْستَ ِقْي ٍم‬
ٍ ‫ِصر‬
َ
“Wahai Ahli Kitab! Sungguh, Rasul Kami telah datang kepadamu, menjelaskan kepadamu
banyak hal dari (isi) kitab yang kamu sembunyikan, dan banyak (pula) yang dibiarkannya.
Sungguh, telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan Kitab yang menjelaskan (15).
Dengan Kitab itulah Allah memberi petunjuk kepada orang yang mengikuti keridaan-Nya ke
jalan keselamatan, dan (dengan Kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang itu dari gelap gulita
kepada cahaya dengan izin-Nya, dan menunjukkan ke jalan yang lurus.(16)”

4. Surah Yunus (10) : 57-58

ِِ ُّ ‫َّاس قَ ْد َجاۤءَتْ ُك ْم َّم ْو ِعظَةٌ ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو ِش َفاۤءٌ لِّ َما ىِف‬ ٓ
َ ‫الص ُد ْو ۙ ِر َو ُه ًدى َّو َرمْح َةٌ لِّْل ُمْؤ مننْي‬ ُ ‫ٰياَيُّ َها الن‬
‫ك َف ْلَي ْفَر ُح ْو ۗا ُه َو َخْيٌر مِّمَّا جَيْ َمعُ ْو َن‬ ِ ٰ ْ ‫قُل بَِف‬
َ ‫ض ِل اللّ ِه َوبَِرمْح َتِهٖ فَبِ ٰذل‬ ْ
“Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur'an) dari Tuhanmu,
penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang
beriman(57). Katakanlah (Muhammad), “Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah
dengan itu mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.”(58).”

5. Surah Al-A’raf (7) : 203

‫صاۤ ِٕى ُر ِم ْن َّربِّ ُك ْم‬ ۗ ِ ِ ٓ ِ ۗ ٍ ِ‫هِت‬ ِ


ْ ‫َوا َذا مَلْ تَْأ ْم بِاٰيَة قَالُْوا لَ ْواَل‬
َ َ‫اجتََبْيَت َها قُ ْل امَّنَٓا اَتَّبِ ُع َما يُ ْو ٰحى ايَلَّ م ْن َّريِّب ْي ٰه َذا ب‬
‫َو ُه ًدى َّو َرمْح َةٌ لَِّق ْوٍم يُّْؤ ِمُن ْو َن‬
“Dan apabila engkau (Muhammad) tidak membacakan suatu ayat kepada mereka, mereka
berkata, “Mengapa tidak engkau buat sendiri ayat itu?” Katakanlah (Muhammad),
“Sesungguhnya aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan Tuhanku kepadaku. (Al-Qur'an)
ini adalah bukti-bukti yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.””

6. Surah Al-Jatsiyah (45) : 20

‫َّاس َو ُه ًدى َّو َرمْح َةٌ لَِّق ْوٍم يُّ ْوقُِن ْو َن‬
ِ ‫صاۤ ِٕى ُر لِلن‬
َ َ‫ٰه َذا ب‬
“(Al-Qur'an) ini adalah pedoman bagi manusia, petunjuk dan rahmat bagi kaum yang
meyakini.”

7. Surah An-Nahl (16) : 102

ِِ ِ ِ ِّ‫قُل َنَّزلَهٗ روح الْ ُق ُد ِس ِمن َّربِّك بِاحْل ِّق لِيثب‬


َ ‫ت الَّذيْ َن اٰ َمُن ْوا َو ُه ًدى َّوبُ ْش ٰرى ل ْل ُم ْسلمنْي‬
َ َُ َ َ ْ ُ ُْ ْ
“Katakanlah, “Rohulkudus (Jibril) menurunkan Al-Qur'an itu dari Tuhanmu dengan
kebenaran, untuk meneguhkan (hati) orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta
kabar gembira bagi orang yang berserah diri (kepada Allah)”

8. Surah An-Nahl (16) : 89

ٓ ِ
‫ك‬ َ ِ‫ث يِف ْ ُك ِّل اَُّم ٍة َش ِهْي ًدا َعلَْي ِه ْم ِّم ْن اَْن ُف ِس ِه ْم َوجْئ نَا ب‬
َ ‫ك َش ِهْي ًدا َع ٰلى ٰهُؤ اَل ۤ ۗ ِء َو َنَّزلْنَا َعلَْي‬ ُ ‫َو َي ْو َم َنْب َع‬
ِِ ِ ٍ ِ ‫الْ ِكت‬
َ ‫ٰب تْبيَانًا لِّ ُك ِّل َش ْيء َّو ُه ًدى َّو َرمْح َةً َّوبُ ْش ٰرى ل ْل ُم ْسلمنْي‬ َ
“Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas
mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas
mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu,
sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim).”

9. Surah Yusuf (11) : 111


‫ص ِديْ َق الَّ ِذ ْي َبنْي َ يَ َديِْه‬ ِ ِ
ْ َ‫ب َما َكا َن َحد ْيثًا يُّ ْفَت ٰرى َوٰلك ْن ت‬ ِ ۗ ‫ص ِه ْم ِعْبَرةٌ اِّل ُوىِل ااْل َلْبَا‬ِ ‫لََق ْد َكا َن يِف قَص‬
َ ْ
‫صْي َل ُك ِّل َش ْي ٍء َّو ُه ًدى َّو َرمْح َةً لَِّق ْوٍم يُّْؤ ِمُن ْو َن‬
ِ ‫وَت ْف‬
َ
“Sungguh, pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang yang mempunyai
akal. (Al-Qur'an) itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab)
yang sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu, dan (sebagai) petunjuk dan rahmat bagi orang-
orang yang beriman.”

10. Surah Az-Zukhruf ( ) : 43-44

‫اط ُّم ْستَ ِقْي ٍم‬ ِ‫ي اُو ِحي اِلَيك ۚا‬ ٓ ‫ك بِالَّ ِذ‬
ٍ ‫َّك ع ٰلى ِصر‬
َ َ َ ‫ن‬ َ ْ َ ْ ْ ْ ‫استَ ْم ِس‬
ْ َ‫ف‬
ِ َّ‫واِنَّهٗ لَ ِذ ْكر ل‬
‫ف تُ ْٔسـَلُ ْو َن‬ َ ‫ك َول َق ْو ِم‬
َ ‫ك ۚ َو َس ْو‬ َ ٌ َ
“Maka berpegang teguhlah engkau kepada (agama) yang telah diwahyukan kepadamu.
Sungguh, engkau berada di jalan yang lurus.(43). Dan sungguh, Al-Qur'an itu benar-benar
suatu peringatan bagimu dan bagi kaummu, dan kelak kamu akan diminta
pertanggungjawaban.(44).”

11. Surah Ali-Imran (3) : 3

‫ص ِّدقًا لِّ َما َبنْي َ يَ َديِْه َواَْنَز َل الت َّْو ٰرىةَ َوااْلِ جْنِ ْي ۙ َل‬
َ ‫ٰب بِاحْلَ ِّق ُم‬
ِ َ ‫َنَّز َل علَي‬
َ ‫ك الْكت‬ َْ
“Dia menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) yang mengandung kebenaran,
membenarkan (kitab-kitab) sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil,”.

12. Surah Ali-Imran (3) : 103

ِ ِ ٰ ‫صموا حِب ب ِل ال ٰلّ ِه مَجِ يعا َّواَل َت َفَّر ُقوا ۖواذْ ُكروا نِعم‬ ِ
‫ف َبنْي َ ُقلُ ْوبِ ُك ْم‬ َ َّ‫ت اللّه َعلَْي ُك ْم ا ْذ ُكْنتُ ْم اَ ْع َداۤءً فَاَل‬ َ َْ ُْ َ ْ ًْ َْ ْ ُ َ‫َو ْاعت‬
ٖ‫ك يَُبنِّي ُ ال ٰلّهُ لَ ُك ْم اٰيٰتِه‬ ِ ۚ ِ
َ ‫ا َو ُكْنتُ ْم َع ٰلى َش َفا ُح ْفَر ٍة ِّم َن النَّا ِر فَاَْن َق َذ ُك ْم ِّمْن َها ۗ َك ٰذل‬¢ً‫صبَ ْحتُ ْم بِنِ ْع َمتِهٖٓ ا ْخ َوان‬
ْ َ‫فَا‬
‫لَ َعلَّ ُك ْم َت ْهتَ ُد ْو َن‬
“Dan berpegangteguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah)
bermusuhan, lalu Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi
bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu
agar kamu mendapat petunjuk.”

Ayat-ayat tersebut mengabarkan secara jelas dan tetap terkait kepada tujuan Al-Qur’an diturunkan,
keterangan-keterangan ayat-ayat tersebut merupakan jawaban yang bersifat personal dan tetap dari
Sang Pencipta terkait kepada tujuan-Nya menurunkan Al-Qur’an sehingga mungkin kita akan cukup
dengan pengabaran-Nya melalui kitab suci yang Dia turunkan kepada para nabi dan rasul. Dapat kita
rangkum tujuan-tujuan penurunan Al-Qur’an sebagai berikut :

1. Al-Qur’an sebagai “Adzikru lil ‘alaamiin” atau peringatan untuk seluruh alam (Surah Al- Takwir
(81) : 27)

2. Al-Qur’an sebagai sebab keluarnya manusia dari kegelapan kepada cahaya (Surah Ibrahim (14) : 1)

3. Al-Qur’an sebagai petunjuk ke “subulus salaam”, pengeluar dari kegelapan kepada cahaya, dan
petunjuk ke “shirath mustaqiim” (Surah Al-Ma’idah (5): 15-16)
4. Al-Qur’an sebagai “mau’izhah”, “syifaa”, “huda”, dan “rahmah” (Surah Yunus (10) : 57-
58)

5. Al-Qur’an sebagai “bashaair”, “huda”, dan “rahmah” (Surah Al-A’raf (7) : 203)

6. Al-Qur’an sebagai “bashaair”, “huda”, dan “rahmah” (Surah Al-Jatsiyah (45) : 20)

7. Al-Qur’an sebagai peneguh orang-orang yang telah beriman, “huda”, dan “busyraa” (Surah
An-Nahl (16) : 102)

8. Al-Qur’an sebagai “tibyan li kulli syai”, “huda”, “rahmah”, dan “busyraa” (Surah An-Nahl
(16) : 89)

9. Al-Qur’an sebagai “tashdiiq”, “tafshiil kulli syai”, “huda”, dan “rahmah” (Surah Yusuf
(11) : 111)

10. Al-Qur’an sebagai “dzikrun” (. Surah Az-Zukhruf ( ) : 43-44)

11. Al-Qur’an sebagai “mushaddiqa limaa baina yadaihi” (Surah Ali-Imran (3) : 3)

12. Al-Qur’an sebagai “hablullahi” (Surah Ali-Imran (3) : 103)

Penjelasan dari beberapa istilah yang digunakan untuk menyatakan tujuan penurunan Al-
Qur’an akan kita bahas sebagai berikut.

1.

Anda mungkin juga menyukai