Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN SMALL GROUP DISCUSSION LBM 1

BLOK ENDOKRIN & METABOLISME


“Kencingku Berbuih”

Disusun oleh :

NAMA : Isnatiya Noviana


NIM : 020.06.0037
KELOMPOK SGD : 3
KELAS :A
TUTOR : dr. Dian Rahardianti, M. Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
MATARAM
2021

1
KATA PENGANTAR
Puja dan puji syukur penulis panjat kan kehadirat tuhan yang mahaesa karena atas
rahmat-nya penulis dapat melaksanakan dan menyusun makalah yang berjudul “Small Group
Discussion Lbm 1”.
Makalah ini penulis susun untuk memenuhi persyaratan sebagai syarat nilai SGD. Dalam
penyusunan makalah ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan
dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang
tulus kepada:
1. dr. Dian Rahardianti, M. Biomed selaku Fasilitator SGD kelompok 3 yang senantiasa
memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Bapak/ ibu dosen universitas islam al-azhar yang telah memberikan masukan terkait
makalah yang penulis buat.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan perlu pendalaman lebih
lanjut. Oleh karna itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya
konstruktif demi kesempurnaan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 7 Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I

- Skenario LBM 1 4

- Deskripsi masalah 4

BAB II

- Pembahasan LBM 1 5

BAB III

- Kesimpulan 13

DAFTAR PUSTAKA 14

3
BAB I
PENDAHULUAN
SKENARIO LBM 1
Kencingku Berbuih
Seseorang laki-laki berusia 54 tahun datang ke poli RS dengan keluhan buang air kecil
tidak lancar dan sering tersendat serta kencing berbuih. Memiliki riwayat Diabetes Melitus sejak
5 tahun yang lalu, kontrol tidak teratur dan jarang minum obat diabetes. Selain itu juga pasien
ngeluh sakit pinggang, sering kesemutan pada tungkai bawah dan pandangan kabur.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD: 150/85 mmHg, N: 88x/menit, Tax: 37,4 C,
RR: 18x/menit. Menurut anda apa yang dialami oleh pasien tersebut dan pemeriksaan apa saja
yang perlu dilakukan?

DESKRIPSI MASALAH
Dari scenario diatas pada seseorang laki-laki memiliki riwayat dia betes mellitus sejak 5
tahun yang lalu, kontrolnya tidak teratur dan jarang minum obat diabetes. Diabetes merupakan
satu entitas penyakit tunggal, namun lebih merupakan suatu kelompok kelainan metabolik yang
memiliki latar belakang yang serupa yaitu hiperglikemia. Hiperglikemia pada diabetes
disebabkan oleh defek pada sekresi insulin, kerja insulin, atau paling sering, oleh keduanya.
Diabetes adalah suatu penyakit yang berbahaya oleh karena metabolisme glukosa yang abnormal
dan gangguan metabolisme lainnya memiliki efek patologis yang serius pada hampir seluruh
sistem dalam tubuh. Komplikasi diabetes yang paling penting adalah abnormalitas pembuluh
darah, kerusakan ginjal dan lesi yang mengenai saraf perifer dan mata. Terdapat variasi yang
sangat besar saat mulai timbulnya komplikasi di antara pasien, berat ringannya, dan organ
tertentu yang terkena. (Robbins, 2013)
Pada pemeriksaan fisik dapat di lakukan dari beberapa pemeriksaan yaitu, ada penilaian
berat badan, pemeriksaan pada mata yaitu dicari penurunan visus, lensa mata buram. Dan
pemeriksaan pada extremitas untuk uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen. Untuk
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan pada saat gula darah puasa, gula darah 2 jam post
prandial dan urinalisis. Terapi nutrisi medis Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang
jadwal makan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya, terutama pada
pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah maupun insulin. (Robbins, 2013)

4
BAB II
PEMBAHASAN
KLASIFIKASI DM.
Diabetes Melitus merupakan penyakit kelainan metabolisme yang disebabkan kurangnya
hormon insulin hormon insulin normal hanya reseptor insulin kurangnya sehingga glukosa
menumpuk di dalam darah kemudian menyebabkan kadar gula darah meningkat. Hormon insulin
dihasilkan oleh sekelompok sel beta di kelenjar pangkreas dan sangat berperan dalam
metabolisme glukosa dalam sel tubuh. Diabetes melitus adalah penyakit yang disebabkan oleh
gagalnya penguraian zat gula didalam tubuh (darah) pada tubuh normal, zat gula harus diurai
menjadi glukosa dan glikogen oleh hormon insulin yang diproduksi sel beta pankreas. Glukosa
dan glikogen inilah yang kemudian oleh tubuh melalui proses metabolisme atau pembakaran
diubah menjadi energy. Diabetes melitus sangat tepat didefinisikan sebagai serangkaian
gangguan atau sindoma, di mana tubuh tidak mampu mengatur secara tepat pengolahan, atau
metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Ini disebabkan oleh kekurangan baik maupun
utlakinsulin hormon penting, yang dihasilkan dan dilepas oleh sel-sel khusus/sesel beta yang
terletak di pankreas. Diabetes Melitus adalah suatau kumpulan gejala yang timbul pada
seseorang yang disebabkan adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin
baik absolut maupun relatif. Untuk dapat memahami definisi itu lebih jelas, ada baiknya
diterangkan terlebih dahulu apa yang terjadi pada orang yang tidak menderita diabetes.
(Robbins, 2013)
Klasifikasi DM berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015) adalah sebagai berikut:
a. Diabetes melitus (DM) tipe 1
DM yang terjadi karena kerusakan atau destruksi sel beta di pankreas. kerusakan ini
berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang terjadi secara absolut. Penyebab dari
kerusakan sel beta antara lain autoimun dan idiopatik.
b. Diabetes melitus (DM) tipe 2
Penyebab DM tipe 2 seperti yang diketahui adalah resistensi insulin. Insulin dalam jumlah
yang cukup tetapi tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula
darah tinggi di dalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada penderita
DM tipe 2 dan sangat mungkin untuk menjadi defisiensi insulin absolut.

Gejala khas DM terdiri dari poliuria, polidipsia, polifalgia, penurunan berat badan yang

5
tidak diketahui penyebabnya. Sedangkan gejala tidak khas DM di antaranya lemas, kesemutan,
luka yang sulit sembuh, gatal, penglihatan kabur, disfungsi ereksi pada pria, dan pruritus vulva
pada wanita. Apabila ditemukan gejala khas DM, pemeriksaan glukosa darah abnormal hanya
satu kali sudah cukup untuk menegakkan diagnosis, namun apabila tidak ditemukan gejala khas
DM, maka diperlukan dua kali pemeriksaan glukosa darah abnormal. Diagnosis DM dapat
ditegakkan melalui tiga kriteria yaitu jika keluhan klasik ditemukan maka pemeriksaan glukosa
darah sewaktu ≥ 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM, jika keluhan klasik
ditemukan, dilakukan pemeriksaan glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dL, bila ada keraguan perlu
dilakukan tes toleransi glukosa oral (TTGO) dengan mengukur kadar glukosa darah 2 jam
setelah minum 75 g glukosa. (Robbins, 2013)

ETIOLOGI.
Pada penderita diabetes mellitus pangaturan sistem kadar gula darar terganggu, insulin
tidak cukup mengatasi dan akibatnya kadar gula dalam darah bertambah tinggi. peningkatan
kadar glukosa darah akan menyumbat seluruh sistem energi dan tubuh berusaha kuat
mengeluarkannya melalui ginjal. Kelebihan gula dikeluarkan didalam air kemih ketika makan
makanan yang banyak kadar gulanya. Peningkatan kadar gula dalam darah sangat cepat pula
karena insulin tidak mencukupi jika ini terjadi maka terjadilah diabetes mellitus. Insulin
berfungsi untuk mengatur kadar gula dalam darah guna menjamin kecukupan gula yang
disediakan setiap saat bagi seluruh jaringan dan organ, sehingga proses-proses kehidupan utama
bisa berkesinambungan. Pelepasan insulin dihambat oleh adanya hormonhormon tertentu
lainnya, terutama adrenalin dan nonadrenalin, yang dihasilkan oleh kelenjarkelenjar adrenal,
yang juga dikenal sebagai katekolamin, dan somatostatin. (Bogdan Mc Wright, MD. 2008)
Etiologi diabetes mellitus adalah diabetes mellitus tipe I, yaitu Diabetes yang tergantung
insulin ditandai dengan penghancuran sel-sel beta pankreas yang disebabkan oleh: a) Faktor
genetik Penderita tidak mewarisi diabetes tipe itu sendiri, tetapi mewarisi suatu predisposisi atau
kecenderungan genetic kearah terjadinya diabetes tipe I. b) Faktor imunologi Adanya respon
autoimun yang merupakan respon abnormal dimana antibodi terarah padaaringan normal tubuh
dengan cara bereaksi terhadap jaringan tersebut yang dianggapnya seolah-olah sebagai jaringan
asing. c) Faktor lingkungan Virus atau toksin tertentu dapat memicu proses autonium yang
menimbulkan ekstruksi sel beta.

6
Diabetes Mellitus tipe II Disebabkan oleh kegagalan relative sel beta dan resistensi
insulin. Faktor resiko yang berhubungan dengan proses terjadinya diabetes mellitus tipe II antara
lain: a). Usia Resistensi insulin cenderung meningkat pada usia diatas 65 tahun, tetapi pada usia
remaja pun diabetes mellitus dapat terjadi juga pada umur 11 sampai 13 tahun karena sejak awal
pankreas tidak menghasilkan insulin. b). Obesitas Karena ketidakseimbangan hormon dalam
tubuh akan membuat hormon insulin tidak dapat bekerja secara maksimal dalam menghantar
glukosa yang ada dalam darah. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan
dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa. Obesitas terjadi karena tubuh
kelebihan lemak minimal 20% dari berat badan ideal. Menurut Adriani (2012) obesitas
digolongkan menjadi 3 kelompok yaitu Obesitas ringan: kelebihan berat badan 20-40%, Obesitas
sedang: kelebihan berat badan 41-100%, dan Obesitas berat : kelebihan berat badan >100%. c).
Riwayat dalam keluarga Pada riwayat keluarga yang salah satunya memiliki riwayat diabetes
mellitus bisa diturunkan sejak remaja pada anaknya. Kaum pria sebagai penderita sesungguhnya
dan perempuan sebagai pihak pembawa gen atau keturunan. Gen yang mempengaruhi pada
diabetes tipe II adalah gen TC7L2. Gen ini sangat berpengaruh pada pengeluaran insulin dan
produksi glukosa. (Bogdan Mc Wright, MD. 2008)

KOMPLIKASI DARI DM.


Komplikasi DM adalah semua penyulit yang timbul sebagai akibat dari DM, baik
sistemik, organ ataupun jaringan tubuh lainnya. Diabetes melitus jika tidak ditangani dengan
segera akan menimbulkan berbagai macam komplikasi. Komplikasi diabetes melitus secara garis
besar terbagi menjadi dua yaitu komplikasi akut dan kronis. Beradasarkan kasus pada 11
skenario di atas menunjukkan komplikasi yang kronis. Pada komplikasi kronis dibagi menjadi
dua yaitu makroangiopati dan mikroangiopati. Berdasarkan keluhan utama pasien tersebut
menunjukan komplikasi kronis mikroangiopati. Komplikasi mikroangiopatik dapat berupa,
retinopati diabetic, nefropati diabetic, neuropati, di mana terjadi hilangnya sensasi distal yang
menimbulkan risiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan meningkatkan risiko amputasi,
dengan gejala berupa kaki terasa terbakar dan bergetar sendiri, dan terasa lebih sakit di malam
hari. Skrining dapat dilakukan menggunakan monofilamen 10 gram. Setiap penyandang DM
yang disertai neuropati perifer perlu diberikan edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko
ulkus kaki. (Adi, 2019)

7
Berdasarkan skenario yang sudah diberikan pada SGD LBM 1 sesi pertama dan sesi
kedua dapat saya diagnosa pasien mengalami diabetes melitus tipe 2 dengan komplikasi kronis
mikroangiopati nefropati diabetic. Mengapa demikian karena pasien sudah berusia lanjut yakni
54 tahun yang mana hal tersebut merupakan salah satu faktor penyebab dari diabetes melitus tipe
kedua. Lalu komplikasinya saya katakan kronis yaitu nefropati diabetic karena pasien tersebut
dilihat dari pemeriksaan penunjangnya dipaparkan dengan jelas bahwa pada urinenya terdapat
kandungan protein serta kadar gula yang sangat tinggi. Apabila hal tersebut terjadi sudah jelas
bahwa organ yang mengalami kerusakan disana adalah ginjal. Ginjal sendiri memiliki fungsi
untuk menyaring urine namun ketika seseorang menderita diabetes melitus lama kelamaan maka
aliran darah akan menyempit dan menyebabkan suplai darah ke ginjal berkurang sehingga
bagian-bagian ginjal seperti nefron dan glomerulus tersebut bisa rusak dan akhirnya kencing
akan terlihat berbuih karena terdapat kandungan protein pada urine tersebut yang tidak disaring
oleh ginjal. Penyempitan pembuluh darah akibat penumpukan glukosa juga menjadi alasan
mengapa pasien pada skenario saat diperiksa memiliki tekanan darah yang tinggi. Dengan
alasan-alasan tersebut, maka saya mendiagnosa pasien mengalami diabetes melitus tipe 2 dengan
komplikasi kronis mikroangiopati nefropati diabetic. Oleh karena itu tata laksana yang harus
dilakukan adalah:
1. Nefropati diabetik merupakan penyebab paling utama dari Gagal Ginjal Stadium Akhir.
2. Sekitar 20 -40% penyandang diabetes akan mengalami nefropati diabetik.
3. Didapatkannya albuminuria persisten pada kisaran 30-299 mg/24 jam merupakan tanda dini
nefropati diabetik pada DM tipe 2
4. Pasien yang disertai dengan albuminuria persisten pada kadar 30-299 mg/24 jam dan berubah
menjadi albuminuria persisten pada kadar 2 300 mg/24 jam sering berlanjut menjadi gagal
ginjal kronik stadium akhir.
5. Diagnosis nefropati diabetik ditegakkan jika didapatkan kadar albumin> 30 mg dalam urin 24
jam pada 2 dari 3 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan, tanpa penyebab
albuminuria lainnya
6. Klasifikasi nefropati diabetik tidak lagi menggunakan istilah mikroalbuminuria dan
makroalbuminuria tetapi albuminuria saja. Nefropati diabetik dibagi atas albuminuria
persisten pada level 30- 299 mg/24 jam dan albuminuriapersisten pada level 2 300mg/24 jam.
7. Pemeriksaan lainnya adalah rasio albumin kreatinin. Nilai diagnosis adalah:

8
a. Normal:< 30 mg/g
b. Rasio albumin kreatinin 30-299 mg/g
c. Rasio albumin kreatinin 2 300 mg/g
8. Penapisan dilakukan:
a. Segera setelah diagnosis DM tipe 2 ditegakkan.
b. Lika albuminuria < 30 mg/24 jam dilakukan evaluasi ulang setiap tahun.
9. Metode Pemeriksaan
a. Rasio albumin/kreatinin dengan urin sewaktu
b. Kadar albumin dalam urin 24 jam: Pemantauan albumin urin secara kontinu untuk
menilai respon terapi dan progresivitas penyakit masih dapat diterima.
10. Penatalaksanaan
a. Optimalisasi kontrol glukosa untuk mengurangi risiko ataupun menurunkan progresi
nefropati.
b. Optimalisasi kontrol hipertensi untuk mengurangi risiko ataupun menurunkan progresi
nefropati.
c. Pengurangan diet protein pada diet pasien diabetes dengan penyakit ginjal kronik tidak
direkomendasikan karena tidak mengubah kadar glikemik, risiko kejadian
kardiovaskular, atau penurunan GFR. d. Terapi dengan penghambat ACE atau obat
penyekat reseptor angiotensin II tidak diperlukan untuk pencegahan primer.

FAKTOR RESIKO DARI DM.


Adapun terdapat beberapa faktor resiko pada Diabetes Melitus yaitu, ada faktor usia
dimana terjadinya DM tipe 2 dengan pertambahan usia (jumlah sel β yang produktif berkurang
seiring pertambahan usia). Kemudian, ada berat badan yaitu jika berat badan lebih Body Mass
Index (BMI) >25 atau kelebihan berat badan 20% meningkatkan dua kali risiko terkena DM.
Prevalensi Obesitas dan diabetes akan berkolerasi positif, terutama pada obesitas sentral Obesitas
menjadi salah satu faktor resiko utama untuk terjadinya penyakit DM. Obesitas dapat membuat
sel tidak sensitif terhadap insulin (retensi insulin). Semakin banyak jaringan lemak dalam tubuh
semakin maka resisten terhadap kerja insulin, terutama jika lemak 16 tubuh terkumpul di daerah
sentral atau perut. Riwayat Keluarga, dimana orang tua atau saudara kandung mengidap DM.
Sekitar 40% diaebetes terlahir dari keluarga yang juga mengidap DM, dan + 60%-90% kembar

9
identic merupakan penyandang DM. (Robbins, 2013)
Gaya hidup, merupakan perilaku seseorang yang ditujukkan dalam aktivitas sehari-hari.
Makanan cepat saji (junk food), kurangnya berolahraga dan minum-minuman yang bersoda
merupakan faktor pemicu terjadinya diabetes melitus tipe 2 ini. Penderita DM diakibatkan oleh
pola makan yang tidak sehat dikarenakan pasien kurang pengetahuan tentang bagaimanan pola
makan yang baik dimana mereka mengkonsumsi makanan yang mempunyai karbohidrat dan
sumber glukosa secara berlebihan, kemudian kadar glukosa darah menjadi naik sehingga perlu
pengaturan diet yang baik bagi pasien dalam mengkonsumsi 17 makanan yang bisa diterapkan
dalam kehidupan sehari-harinya. Dan, Riwayat Diabetes pada kehamilan (Gestational), pada
seorang ibu yang hamil akan menambah konsumsi makanannya, sehingga berat badannya
mengalami peningkatan 7-10 kg, saat makanan ibu ditambah konsumsinya tetapi produksi
insulin kurang mencukupi maka akan terjadi DM. Memiliki riwayat diabetes gestational pada
ibu yang sedang hamil 18 dapat meningkatkan resiko DM, diabetes selama kehamilan atau
melahirkan bayi lebih dari 4,5 kg dapat meningkatkan resiko DM tipe II. (Robbins, 2013)

PENENTUAN DIAGNOSIS KERJA.


Kadar glukosa darah secara normal dipertahankan pada jarak sangat sempit, biasanya
antara 70 hingga 120 mg/dL. Diagnosis diabetes ditegakkan dengan peningkatan glukosa darah
melalui satu dari tiga kriteria yaitu, pertama ada konsentrasi glukosa darah sewaktu 200 mg/dL
atau lebih, dengan tanda dan gejala klasik (dibahas kemudian), ke dua konsentrasi glukosa puasa
126 mg/dL atau lebih pada lebih dari satu kesempatan. Kemudian ada tes toleransi glukosa oral
(TTGO) abnormal, yang dimana konsentrasi glukosanya adalah 200 mg/dL atau lebih, 2 jam
setelah pemberian beban karbohidrat standar (75 g glukosa). (Robbins, 2013)
Gangguan metabolisme karbohidrat berlangsung terus. Seseorang dengan nilai glukosa
puasa serum kurang dari 110 mg/ dL, atau TTGO kurang dari 140 mg/ dL, disebut euglikemik.
Akan tetapi, mereka dengan glukosa puasa serum lebih dari 110 namun kurang dari 126 mg/dL,
atau nilai TTGO lebih besar dari 140 tetapi kurang dari 200 mg/dL, disebut memiliki toleransi
glukosa terganggu, yang dikenal juga sebagai prediabetes. Sejalan dengan berjalannya waktu,
orang dengan gangguan toleransi glukosa memiliki risiko bermakna untuk berkembang menjadi
diabetes yang nyata, sekitar 5% hingga 10% berlanjut menjadi diabetes melitus penuh per tahun.
Selain itu, mereka dengan toleransi glukosa terganggu berisiko menderita penyakit

10
kardiovaskular, sebagai konsekuensi dari metabolism karbohidrat yang abnormal dan adanya
faktor risiko lain secara bersamaan. (Robbins, 2013)

PATOFISIOLOGI.
Terjadi pada kaki diawali dengan adanya hiperglikemia pada penyandang DM yang
menyebabkan kelainan neuropati dan kelainan pada pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati
sensorik maupun motorik dan autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan
otot yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada telapak kaki dan
selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya kerentanan terhadap infeksi
menyebabkan infeksi mudah merebak menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang
kurang juga akan lebih lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes. Ulkus diabetikum
terdiri dari kavitas sentral biasanya lebih besar dibanding pintu masuknya, 10 dikelilingi kalus
keras dan tebal. Awalnya pembentukan ulkus berhubungan dengan hiperglikemia yang berefek
terhadap saraf perifer, kolagen, keratin, dan suplai vaskuler. Dengan adanya tekanan mekanik
terbentuk keratin keras pada daerah kaki yang mengalami beban terbesar. Neuropati sensoris
perifer memungkinkan terjadinya trauma berulang mengakibatkan terjadinya kerusakan jaringan
area kalus. Selanjutnya terbentuk kavitas yang membesar dan akhirnya ruptur sampai permukaan
kulit menimbulkan ulkus. Adanya iskemia dan penyembuhan luka abnormal menghalangi
resolusi. Mikrooranisme yang masuk mengadakan kolonasi di daerah ini. Drainase yang
inadekuat menimbulkan closed space infection. Akhirnya sebagai konsekuensi sistem imun yang
abnormal, bakteria sulit dibersihkan dan infeksi menyebar ke jaringan sekitarnya.
Penyakit neuropati dan vaskuler adalah faktor utama yang mengkontribusi terjadinya
luka. Masalah luka yang terjadi pada pasien diabetik terkait dengan adanya pengaruh pada saraf
yang terdapat pada kaki dan biasanya dikenal sebagai neuropati perifer. Pada pasien dengan
diabetik sering kali mengalami gangguan pada sirkulasi. Gangguan sirkulasi ini adalah yang
berhubungan dengan “pheripheral vascular diseases”. Efek sirkulasi inilah yang menyebabkan
kerusakan pada saraf. Hal ini terkait dengan diabetik neuropati yang berdampak pada sistem
saraf autonom, yang mengontrol fungsi otot-otot halus, kelenjar dan organ viseral. Dengan
adanya gangguan pada saraf autonom pengaruhnya adalah terjadinya perubahan tonus otot yang
menyebabkan abnormalnya aliran darah. Dengan demikian kebutuhan akan nutrisi dan oksigen
maupun pemberian antibiotik tidak menyukupi atau tidak dapat mencapai jaringan perifer, juga

11
tidak memenuhi kebutuhan metabolisme pada lokasi tersebut. Efek pada autonomi neuropati ini
akan menyebabkan kulit menjadi kering, antihidrosis yang memudahkan kulit menjadi rusak dan
mengkontribusi untuk terjadinya ganggren. Dampak lain adalah karena adanya neuropati perifer
yang mempengaruhi kepada saraf sensorik dan motorik yang menyebabkan sensasi nyeri,
tekanan dan perubahan temperatur. (Adi, 2019)
Ada berbagai macam penyebab diabetes dan yang menyebabkan defisiensi insulin,
kemudian menyebabkan glikogen meningkat sehingga terjadi proses pemecahan gula baru
(glukoneogenesis) dan menyebabkan metabolisme lemak meningkat titik kemudian akan terjadi
proses pembentukan (ketogenesis). Peningkatan keton di dalam plasma akan mengakibatkan
ketonuria (keton dalam urin) dan kadar natrium akan menurun serta pihak serum menurun dan
terjadi asidosis. (PriceWilson, 2012)
Insulin mengakibatkan penggunaan glukosa menurun Sehingga menyebabkan kadar
glukosa dalam plasma tinggi (hiperglikemia). Jika hiperglikemia parah dan lebih dari ambang
ginjal maka akan menyebabkan glukosasuria. Glukosuria akan menyebabkan diuresis osmotik
yang meningkatkan peningkatan air kencing (polyuria) dan akan timbul rasa haus (polidipsi)
yang menyebabkan seseorang dehidrasi. Glukosuria juga menyebabkan keseimbangan kalori
negatif sehingga menimbulkan rasa lapar yang tinggi (polifagia). Penggunaan glukosa oleh sel
menurun akan mengakibatkan produksi metabolisme energi menurun Sehingga tubuh akan
menjadi lemah. (PriceWilson, 2012)
Hiperglikemia dapat mempengaruhi pada pembuluh darah kecil sehingga menyebabkan
suplai nutrisi dan oksigen ke perifer berkurang. Kemudian bisa mengakibatkan luka tidak
kunjung sembuh karena terjadi infeksi dan gangguan pembuluh darah akibat kurangnya suplai
nutrisi dan oksigen. Gangguan pembuluh darah mengakibatkan aliran darah ke retina menurun
Sehingga terjadi penurunan suplai nutrisi dan oksigen yang menyebabkan pandangan menjadi
kabur. Akibat utama dari perubahan mikrovaskuler adalah yaitu perubahan pada struktur dan
fungsi ginjal yang menyebabkan terjadinya nefropati yang berpengaruh pada saraf perifer, sistem
saraf otonom serta sistem saraf pusat. (PriceWilson, 2012)
Nefropati diabetes merupakan penyebab utama penyakit ginjal stadium akhir di Amerika
Serikat. Manifestasi nefropati diabetes paling dini adalah ditemukannya albumin dalam jumlah
kecil di urin (lebih besar dari 30 namun kurang dari 300 mg/ hari contoh, mikroalbuminuria).
Tanpa intervensi khusus, sekitar 80% pasien diabetes tipe 1 dan 20% hingga 40% pasien diabetes

12
tipe 2 akan berkembang menjadi nefropati nyata dengan makroalbuminuria (ekskresi lebih dari
300 mg/hari) setelah 10 hingga 15 tahun, biasanya diikuti oleh munculnya hipertensi. Progresi
dari nefropati nyata menjadi penyakit ginjal stadium akhir dapat sangat bervariasi dan ditandai
oleh turunnya laju filtrasi glomerulus secara progresif. Dua puluh tahun setelah diagnosis, lebih
dari 75% pasien diabetes tipe 1 dan sekitar 20% pasien diabetes tipe 2 dengan nefropati nyata
akan berkembang menjadi penyakit ginjal stadium akhir, yang memerlukan dialisis atau
transplantasi ginjal. (Robbins, 2013)
Neuropati diabetes dapat menimbulkan bermacam-macam sindrom klinis, mengenai
sistem saraf pusat, saraf sensorimotor perifer, dan sistem saraf autonom. Pola keterlibatan yang
paling sering adalah suatu polineuropati simetris distal pada ekstremitas bawah yang mengenai
baik fungsi motorik maupun sensorik, terutama sensorik. Dengan berjalarnya waktu, ekstremitas
atas juga dapat terlibat sehingga membentuk polineuropati dengan pola menyerupai "sarung
tangan dan stocking". Bentuk lain adalah neuropati autonom, yang menimbulkan gangguan
fungsi usus dan kandung kemih dan kadang-kadang impotensi seksual, serta mononeuropati
diabetes yang dapat bermanifestasi sebagai footdrop, wristdrop mendadak atau kelumpuhan saraf
kranial yang tersendiri. (Robbins, 2013)

Pada pemeriksaan fisik yaitu dapat di lakukan dari beberapa pemeriksaan yaitu, ada
penilaian berat badan, pemeriksaan pada mata yaitu dicari penurunan visus, lensa mata buram.
Dan pemeriksaan pada extremitas untuk uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen. Untuk
pemeriksaan penunjang yaitu pemeriksaan pada saat gula darah puasa, gula darah 2 jam post
prandial dan urinalisis. Hipoglikemia dapat terjadi setiap saat dan pada siapa saja, biasanya
disebabkan karena terlalu banyak produksi insulin dan mengkonsumsi obat hipoglikemia oral,
terlalu sedikit mengkonsumsi makanan, dan aktivitas fisik yang berlebihan. Hipoglikemia sering
terjadi sebelum makan, terutama jika makan terlambat atau pasien DM tidak mau makan.
(Robbins, 2013)

PENATALAKSANAAN FARMAKOLOGI DAN NON FARMAKOLOGI.


Penatalaksaan pada pasien diabetes dapat dibedakan menjadi dua yaitu terapi
farmakologis dan nonfarmakologi. Pada terapi farmakologi, pemberian terapi farmakologi diikuti
dengan pengaturan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat
oral dan obat suntikan, yaitu pertama obat antihiperglikemia oral berdasarkan cara kerjanya obat

13
ini dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain adalah Pemacu sekresi insulin yaitu,
Sulfonilurea dan Glinid, efek utama dari obat sulfonilurea ini yaitu memacu sekresi insulin oleh
selbeta pancreas. Cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja obat sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial. Penurunan sensitivitas terhadap insulin yaitu, Metformin dan Tiazolidindion
(TZD). Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati (gluconeogenesis) dan
memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa di
perifer. Penghambat absorpsi glukosa yaitu penghambat glukosidase alfa. Fungsi obat ini adalah
bekerja dengan memperlambat absopsi glukosa dalam usus halus, sehingga memiliki efek
menurunkan kadar gula darah dalam tubuh sesudah makan. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl
Peptidase-IV), merupakan obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat
kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glucagon sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent). (Perkeni, 2015).
Kemudian yang ke dua yaitu kombinasi obat oral dan suntikan insulin. Kombinasi obatan
tihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obatan
tihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut biasanya dapat mengendalikan kadar
glukosa darah dengan baik jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Ketika kadar glukosa
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obatan tihiperglikemia
oral dihentikan. (Perkeni, 2015)
Pada terapi nonfarmakologi yaitu terdiri dari edukasi, terapi nutrisi medis, dan latihan
jasmani atau olahraga. Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup menjadi sehat.
Hal ini perlu dilakukan untuk upaya pencegahan dan bisa digunakan sebagai pengelolaan DM
secara holistic. Terapi nutrisi medis (TNM) Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang
jadwal makan yang teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya, terutama pada
pasien yang menggunakan obat penurun glukosa darah maupun insulin. Latihan jasmani atau

14
olahraga, pada pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 haridalam seminggu
selama 30 sampai 45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dan dengan jeda antar latihan
tidak lebih dari 2 hari berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic dengan
intensitas sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung maksimal seperti : jalan cepat, sepeda
santai, berenang, dan jogging. Denyut jantung maksimal dihitung dengan cara: 220– usia pasien.
Penatalaksaan pada pasien diabetes dapat dibedakan menjadi dua yaitu terapi
farmakologis dan nonfarmakologi. Pada terapi farmakologi, pemberian terapi farmakologi diikuti
dengan pengaturan pola makan dan gaya hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat
oral dan obat suntikan, yaitu pertama obat antihiperglikemia oral berdasarkan cara kerjanya obat
ini dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain adalah Pemacu sekresi insulin yaitu,
Sulfonilurea dan Glinid, efek utama dari obat sulfonilurea ini yaitu memacu sekresi insulin oleh
selbeta pancreas. Cara kerja obat glinid sama dengan cara kerja obat sulfonilurea, dengan
penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama yang dapat mengatasi hiperglikemia
post prandial. Penurunan sensitivitas terhadap insulin yaitu, Metformin dan Tiazolidindion
(TZD). Efek utama metformin yaitu mengurangi produksi glukosa hati (gluconeogenesis) dan
memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan efek dari Tiazolidindion (TZD) adalah menurunkan
resistensi insulin dengan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan glukosa di
perifer. Penghambat absorpsi glukosa yaitu penghambat glukosidase alfa. Fungsi obat ini adalah
bekerja dengan memperlambat absopsi glukosa dalam usus halus, sehingga memiliki efek
menurunkan kadar gula darah dalam tubuh sesudah makan. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl
Peptidase-IV), merupakan obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi untuk menghambat
kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam konsentrasi yang
tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan
sekresi glucagon sesuai kadar glukosa darah (glucose dependent). (Perkeni, 2015)
Kemudian yang ke dua yaitu kombinasi obat oral dan suntikan insulin. Kombinasi obatan
tihiperglikemia oral dan insulin yang banyak dipergunakan adalah kombinasi obatan
tihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin kerja panjang), yang
diberikan pada malam hari menjelang tidur. Terapi tersebut biasanya dapat mengendalikan kadar
glukosa darah dengan baik jika dosis insulin kecil atau cukup. Dosis awal insulin kerja
menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis
tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Ketika kadar glukosa

15
darah sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin basal, maka perlu
diberikan terapi kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obatan tihiperglikemia
oral dihentikan. Pada terapi nonfarmakologi yaitu terdiri dari edukasi, terapi nutrisi medis, dan
latihan jasmani atau olahraga. Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup menjadi
sehat. Hal ini perlu dilakukan untuk upaya pencegahan dan bisa digunakan sebagai pengelolaan
DM secara holistic.
Terapi nutrisi medis Pasien DM perlu diberikan pengetahuan tentang jadwal makan yang
teratur, jenis makanan yang baik beserta jumlah kalorinya, terutama pada pasien yang
menggunakan obat penurun glukosa darah maupun insulin. Latihan jasmani atau olahraga, pada
pasien DM harus berolahraga secara teratur yaitu 3 sampai 5 haridalam seminggu selama 30
sampai 45 menit, dengan total 150 menit perminggu, dan dengan jeda antar latihan tidak lebih
dari 2 hari berturut-turut. Jenis olahraga yang dianjurkan bersifat aerobic dengan intensitas
sedang yaitu 50 sampai 70% denyut jantung maksimal seperti: jalan cepat, sepeda santai,
berenang, dan jogging. (Perkeni,2015)

KIE DIABETES MELITUS.


Pasien perlu diedukasi untuk menghindari gula dan asupan lemak jenuh, rokok, dan
alkohol. Pasien perlu menjaga berat badannya di kisaran indeks massa tubuh (IMT) normal serta
berolahraga secara teratur, setidaknya 30 menit selama 3 kali seminggu. Pasien dengan status
baru mengalami onset diabetes melitus tipe 1, membutuhkan edukasi ekstensif untuk dapat
menangani penyakitnya secara efektif dan aman. Hal ini diupayakan untuk meminimalkan
komplikasi jangka panjang. (Adi, 2019)
Dokter memberikan edukasi dan pengetahuan kepada pasien anak, orangtuanya dan/atau
pengasuh mengenai: Pemahaman bahwa penyakit ini merupakan penyakit kronis yang
berlangsung seumur hidup dan membutuhkan kontrol gaya hidup dan makanan secara ketat
untuk mencegah terjadinya komplikasi. Memberikan harapan kepada pasien dan keluarga bahwa
walau penyakit ini berlangsung seumur hidup, tetapi bila ditangani dengan benar maka prognosis
akan baik. Cara menyuntikkan insulin sendiri di rumah serta tanda dan gejala hipoglikemia
akibat suntikan insulin, dan cara mengatasinya. Edukasi cara spesifik pengontrolan makan, dan
jadwal diet. Self-monitoring berupa monitor dan pencatatan kadar gula darah harian, umumnya
dilakukan pagi hari sebelum makan dan malam hari sebelum tidur. (Adi, 2019)

16
Pasien yang diterapi dengan insulin dapat mengalami hipoglikemia dengan gejala umum
berupa kepala terasa seperti melayang, ringan, kebingungan, gemetaran, keringatan, dan sakit
kepala. Bila terjadi, edukasi pasien untuk segera makan permen atau gula, dan membawanya ke
manapun pasien pergi bila sewaktu-waktu diperlukan. Dalam situasi emergensi, pengasuh,
anggota keluarga atau orangtua pasien juga diajarkan untuk menyuntikkan glukagon secara
subkutan atau intramuskular. Segera bawa pasien ke praktik dokter terdekat atau ke rumah sakit
setelah penanganan awal tersebut. Pasien juga perlu diedukasi bahwa diabetes mellitus tipe 2
merupakan penyakit kronis yang belum dapat disembuhkan namun dengan perubahan gaya
hidup dan pengobatan teratur, penyakit ini dapat dikontrol sehingga tidak menyebabkan
komplikasi. Untuk itu, pasien perlu dimotivasi untuk minum obat secara terus-menerus walau
tidak merasa sakit, kontrol rutin setiap 3-6 bulan, dan melakukan pemeriksaan kaki dan mata
secara berkala. (Adi, 2019)

17
BAB III
KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa komplikasi pada Diabetes Melitus dapat
merupakan suatu penyakit yang berbahaya oleh karena metabolism glukosa yang abnormal dan
gangguan metabolism lainnya memiliki efek patologis yang serius pada hampir seluruh sistem
dalam tubuh. Komplikasi diabetes yang paling penting adalah abnormalitas pembuluh darah,
kerusakan ginjal dan lesi yang mengenai saraf perifer dan mata. Penatalaksaan pada pasien
diabetes dapat dibedakan menjadi dua yaitu terapi farmakologis dan nonfarmakologi. Pada terapi
farmakologi, pemberian terapi farmakologi diikuti dengan pengaturan pola makan dan gaya
hidup yang sehat. Terapi farmakologi terdiri dari obat oral dan obat suntikan, yaitu pertama obat
antihiperglikemia oral berdasarkan cara kerjanya obat ini dibedakan menjadi beberapa golongan,
antara lain adalah Pemacu sekresi insulin yaitu, Sulfonilurea dan Glinid, efek utama dari obat
sulfonilurea ini yaitu memacu sekresi insulin oleh selbeta pancreas.

18
DAFTAR PUSTAKA

Hendra Zufry. 2016. Konsultan Divisi Endokrinologi, Metabolik and Diabetes Melitus.
Department Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala Rumah Sakit
Umum dr. Zainoel Abidin.
Kurniawan, Shahdevi Nandar. 2019. “Patofisiologi Biomolekular Neuropati Diabetes
Biomolecular Pathophysiology Of Diabetic Neuropathy” Vol 29. Staf Pengajar SMF/Lab
Neurologi FK Universitas Brawijaya/RS Saiful Anwar, Malang.
Longnecker D. 2014. Anatomy and histology of the pancreas. The Pancreapedia: Exocrine
Pancreas Knowledge Base.
PERKENI, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.
Setiati, S. 2017. “Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam”. Edisi VI. Jilid II. Interna Publishing. Jakarta
Pusat.
Sylvia A. Prince. Lorraine M. Wilson. 2019. “Buku Ajar Patofisiologi”. Edisi Keenam. Volume
1. Elsevier. Singapore.
Vinay, Kumar. 2013. “Buku Ajar Patofisiologi Robbins”. Edisi 9. Elsevier.

19

Anda mungkin juga menyukai