Anda di halaman 1dari 180

i

PENULIS
Dr. Ir. Ardi Novra, MP

ISBN: 9786025094637

EDITOR:
Ir. M. Afdhal, MSc., PhD
Prof. Dr. Ir. H. Nurhayati, MSc.agr
Dr. Sc.agr. Ir. Tedja Kaswari, MSc

PENYUNTING:
Dr. Ir. Pahantus Maruli, MSi

DESAIN SAMPUL DAN TATA LETAK:


Dr. Ir. Ardi Novra, MP

PENERBIT:
Unit Publikasi Fakultas Peternakan Universitas Jambi

REDAKSI:
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Kampus UNJA Pinang Masak Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15
Mendalo Indah - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: fapet@unja.ac.id

DISTRIBUTOR TUNGGAL
Unit Publikasi Fapet Unja Kampus UNJA Pinang Masak
Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15 Mendalo Darat - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: fapet@unja.ac.id

Cetakan Pertama, Desember 2019

Hak cipta dilindungi undang-undang


Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan
cara apapun tanpa ijin tertulis dari penerbit

ii
PENGANTAR
Rektor Universitas Jambi

NKRI membutuhkan model kebijakan pembangunan yang mampu mendorong


pemanfaatan sumberdaya alam secara efisien, efisien dan berkelanjutan.
Kebijakan yang didasari pada keselarasan antara kebutuhan dan potensi yang
dikembangkan secara kreatif dan inovatif melalui riset dan pengembangan
jangka panjang. Kebijakan- kebijakan yang berorientasi untuk kemakmuran dan
berkeadilan melalui pemberdaan kelompok masyarakat sasaran.
Model pembangunan partisipatif dan kolektif pada sektor peternakan sapi potong
diharapkan mampu mengurangi dan bahkan melepaskan negara ini dari
ketergantungan yang tinggi kepada negara lain guna memenuhi kebutuhan salah
satu bahan pangan sumber protein hewani ini. Sumberdaya alam yang melimpah
dengan kondisi iklim yang mendukung kegiatan produksi sepanjang tahun sudah
selayaknya menjadikan Indonesia sebagai negara produsen atau ekportir daging
dan ternak sapi dunia.
Sebagai Rektor Universitas Jambi, saya sangat berharap curahan pemikiran staf
pengajar dalam buku ini dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam
pengambilan kebijakan. Kepada dosen atau staf pengajar, saya menghimbau
untuk dapat memanfaatkan buku ini sebagai bahan ajar dalam matakuliah terkait.
Sangat jarang ditemui buku-buku yang disusun berdasarkan pengalaman
panjang sebuah riset dan didasarkan analisis kondisi lapangan. Melalui tulisan
yang komprehensif ini tujuan bersama kita untuk membekali dan memperluas
wawasan peserta didik dapat terwujud.
Akhir kata, saya ucapkan selamat kepada Penulis dan teruslah berkarya dengan
ilmu dan pengetahuan yang sudah dikarunia Allah SWT demi kemasyalahatan
umat manusia.
Wassalam dan terima kasih

Jambi, Januari 2020

Prof. Drs. H. Sutrisno, MSc., PhD


Rektor Universitas Jambi

iii
PENGANTAR
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi

Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan sumber daya
alam termasuk sumber daya pendukung pengembangan sub sektor peternakan.
Ketersediaan daging yang cukup pada era orde baru dan awal reformasi mampu
memenuhi kebutuhan daging nasional sehingga tidak tergantung pada daging
impor. Pasca reformasi, situasi ini berubah dimana perubahan fungsi lahan yang
cukup signifikan menyebabkan sistem peternakan yang dikembangkan tidak
berkelanjutan dan penghargaan terhadap petani peternak semakin rendah.
Akibatnya upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani tidak dapat dicapai dan
solusi pemerintah melalui impor daging beku juga tidak dapat menyelesaikan
persoalan harga daging dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Terbitnya
buku ini ‘Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat, Sustainable
Integrated Farming System (SIFAS) Approach” diharapkan dapat menjadi acuan
bagi pemangku kepentingan terkait pengembangan peternakan rakyat sehingga
Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor daging.
Buku ini selain menggambarkan kondisi peternakan rakyat dan permasalahan
yang ada juga memberikan alternatif solusi program dan kegiatan yang dapat
dilakukan guna kembali memberdayakan peternakan rakyat yang terintegrasi
dengan potensi wilayah setempat terutama dengan perkebunan sawit sehingga
dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan kuantitas dan kualitas daging
yang dihasilkan juga ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah
perkebunan sawit sebagai bahan pakan dan limbah peternakan sebagai pupuk di
lahan perkebunan.
Akhirnya semoga buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai
acuan bagi mahasiswa dan dosen Peternakan, pengambil kebijakan dan
pemangku kepentingan lainnya untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai
negara penghasil daging yang cukup secara kualitas dan kuantitas guna
pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia.

Jambi, Januari 2020

Prof. Dr. Ir. Hj. Nurhayati, MSc. agr


Dekan Fapet Universitas Jambi

iv
PENGANTAR
Pengamat Pembangunan Peternakan

Diantara banyak penulis buku yang diterbitkan mengenai ternak sapi potong di
Indonesia, buku yang ditulis Saudara Ardi Novra, merupakan buku yang cukup
komprehensif mengungkap semua masalah yang terjadi mengenai
pembangunan peternakan sapi potong. Penulis mampu mengungkap berbagai
persoalan aktual dan sangat spesifik, mulai dari Kebijakan dasar pembangunan
peternakan sapi potong sampai kepada masalah zooteknis yang sangat detail.
Buku ini, sangat layak dibaca berbagai lapisan masyarakat terutama pelajar,
mahasiswa dan kalangan kampus karena akan sangat bemanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan ternak sapi potong. Sedangkan bagi para
praktisi dan pengusaha sangat penting karena mereka memerlukan informasi
aktual mengenai kebijakan dan aspeksosial ekonomi lainnya tentang
pembangunan peternakan terutama berkaitan dengan berbagai alternatif
pengembangan peternakan pada masa akan agar tidak lagi konvensional.
Beberapa contoh-contoh alternatif integrasi yang aktual dan implementatif dapat
diadopsi para penentu kebijakan, khususnya pemerintah baik pusat maupun
daerah.
Saya percaya dan sangat yakin dengan kemampuan dan pengalaman Penulis
menuangkannya dalam buku ini sangat sarat dengan data-data akurat. Sehingga
sangat pantas buku ini dijadikan rujukan bagi para pihak yang memerlukannya.
Sebagai rekan sejawat di Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan
(PERSEPSI), saya mengucapkan selamat atas penerbitan buku ini, kiranya kami
menunggu karya-karya berikutnya yang mampu mewarnai pembangunan
peteranakn sapi potong nasional.
Wassalam dan terima kasih

Bandung, 10 Januari 2020

Dr. Ir. Rochadi Tawaf, MS

v
PRAKATA

Indonesia adalah net importir daging sapi dengan trend perkembangan volume
dan nilai impor selama periode 2010 sampai 2017 terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Ketidakberdayaan produksi domestik guna memenuhi
kebutuhan konsumen yang terus meningkat menyebabkan negara yang kaya
sumberdaya alam peternakan ini terus mengalami pengurasan devisa. Salah
satu sumber yang diduga menjadi penyebab adalah inkonsistensi dalam
kebijakan seperti yang akan disajikan pada BAB I tentang analisis kebijakan
pembangunan peternakan sapi potong sejak dicanangkannya program PSDS
2007 sampai berlangsung program UPSUS SIWAB era pemerintahan kabinet
kerja sekarang. Inkonsistensi kebijakan yang menyebabkan tidak hanya terjadi
pembangunan yang tidak fokus dan tidak berkelanjutan tetapi juga menyebabkan
pemborosan sumberdaya dan kebingungan implementasi bagi instansi teknis
dan pengambil kebijakan di daerah. Semoga pada masa akan datang, kebijakan
yang didasari oleh ego sektoral dan kekuasan dan bahkan ego keilmuan tidak
lagi terjadi seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru terlepas dari
siapapun nanti yang terpilih sebagai nahkoda Negara Kesatuan Republik
Indonesia tercinta ini.
Kata orang bijak “menjadi berguna tidak harus menunggu jadi utama” adalah
ungkapan penuh makna yang dapat diaplikasikan dalam peningkatan peran
sektor peternakan dalam pembangunan. Posisi mayoritas usaha peternakan sapi
potong selama ini bukan sebagai sumber pendapatan (pekerjaan) utama tetapi
lebih sebagai sumber pendapatan tambahan dan malahan sebagai tabungan.
Posisi peternakan sapi potong dalam kenyataannya tidak membuat komoditas ini
merasa terabaikan karena mampu hadir sebagai solusi pemecahan masalah
dalam kehidupan masyarakat terutama rumah tangga pertanian. Pada BAB II
tentang Perkembangan Sistem Integrasi akan dijelaskan tentang peran usaha
ternak sapi potong dalam berbagai kondisi perekonomian. Usaha ternak sapi
potong bisa hadir sebagai solusi alternatif dalam krisis ekonomi 1997 dan
ekonomi global 2008, serta pasca kebakaran hutan dan lahan 2015 dan program
pengendalian karhutla berbasis pemberdayaan masyarakat sekitas kawasan
konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Bahkan peternakan sapi potong
berpotensi bisa hadir sebagai solusi pemecahan masalah kehilangan
pendapatan sementara (temporary lost income) sebelum dan selama proses
peremajaan sawit dan karet rakyat.
Buku sistem integrasi tanaman ternak berkelanjutan (Sustainable integrated
farming system atau SIFAS) ini merupakan rangkuman perjalanan panjang
kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta kerjasama
penyusunan rencana program dan kegiatan beberapa lembaga terkait sejak
tahun 2007, antara lain:
1. Percepatan Swasembada Daging Sapi 2012 menuju Surplus Produksi 2017:
Roadmap Produk Unggulan Peternakan Provinsi Jambi, kerjasama dengan
Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2007)
2. Study Kelayakan Pengembangan Wilayah Integrasi Ternak Sapi Potong
Provinsi Jambi, kerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2008).

vi
3. Solusi Alternatif Penanganan Dampak Krisis Global Terhadap Keragaan
Sosial Ekonomi Rumah Tangga Perkebunan, Hibah Kompetitif Penelitian
Sesuai Strategis Nasional Bacth III, Kerjasama Kementan RI dan Dikti
(2009)
4. Kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk Mendukung Program SAMISAKE,
Kerjasama dengan BALITBANGDA Provinsi Jambi (2010)
5. Pengembagan Kelompok Mitra Pengelola “Buffer Stock” Ternak Sapi
Pemerintah untuk Tujuan Stabilisasi Harga Daging, kerjasama dengan
BAPPEDA Provinsi Jambi (2010)
6. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit Sapi (ISS) PT. Perkebunan
Nusantara VI, kerjasama dengan PTPN VI Persero Wilayah Sumbar-Jambi
(2011)
7. Redesain Sistem Distribusi Ternak Bibit dalam Rangka Penguatan Kapasitas
Kelembagaan Untuk Penanganan Dini Pengurasan Sapi Betina Produktif,
Penelitian Hibah Bersaing DP2M Dikti (2012)
8. Desain Kebijakan dan Model Kelembagaan Partisipatif Program
Penanganan Pengurasan Ternak Sapi Betina Produktif, Hibah Penelitian
Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti (2012 - 2013).
9. Pengembangan dan Penguatan Kelompok Usaha Pelaku Integrasi Sawit
Sapi berbasis Limbah di Kecamatan Mestong, IPTEKDA-LIPI (2013 dan
2015).
10. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena Dampak
Kebakaran Hutan dan Lahan, Program Pengabdian kepada Masyarakat
(PPM) Karhutla LPPM Universitas Jambi (2016)
11. Rencana Pengembangan Kawasan SPR (Sentra Peternakan Rakyat)
Kabupaten Merangin, kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Merangin (2016).
12. Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi
“Temporary Lost Income” Program Replanting Karet Rakyat, Hibah
Penprinas MP3EI DPRM Kemenristek Dikti (2015 - 2017).
13. Implementasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Desa di
Sekitar Perkebunan Sawit PT. Bahari Gembira Ria, kerjasama LPPM Unja,
PT. BGR dan Minamas Plantation (2018)
Ucapan terima kasih disampaikan khusus kepada Rektor, Dekan Fakultas
Peternakan dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
(LPPM) Universitas Jambi. Teruntuk rekan-rekan staf pengajar Fapet Unja yang
selama ini telah berkerja sama dalam berbagai kegiatan penelitian, pengabdian
dan kerjasama terucap salah kompak selalu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Adriani, MSi., Dr. Ir. Yusrizal, MSc., Dr. Ir. Suparjo, MP, Dr. Firmansyah, SPt, MP.,
Ir. Sri Novianti, MP., Drs. Nelson, MSi, Ir. Abdul Latief, MSi., Ir. Suhessy Syarif,
MP dan lain-lain atas kerjasama dan dukungannya.
Ucapan terima kasih juga untuk Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kepala BAPPEDA dan BALITBANGDA Provinsi Jambi periode 2007 sampai
2016 atas kepercayaan yang telah diberikan. Terspesial untuk para petani mitra
kerjasama lapangan terutama Kelompok Tani Sumber Rezeki Desa Mestong
Kabupaten Batanghari dan Kelompok Tani Mekar Jaya Desa Dataran Kempas

vii
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Semangat dan motivasi kalian adalah pemacu
bagi Penulis untuk dapat berkontribusi dalam lebih besar dalam
mengembangkan riset berbasis kebutuhan “At this type of event you meet people
that you wouldn’t ordinarily meet, and they can give you really interesting insights
into the kinds of things that are needed. And there are a lot of users here, as
opposed to researchers, and therefore you start thinking about the kinds of
products that we need to deliver as scientists. We essentially want to make our
research demand-driven”.
Bak kata pepatah Tidak Ada Gading yang Tak Retak karena kesempurnaan itu
hanya milik Sang Pencipta Langit dan Bumi Allah, SWT. Masih banyak
kelemahan dan kekurangan dalam tulisan ini dan untuk itu Penulis membuka luas
masukan dan kritikan.
Akhirnya, semoga isi dalam buku ini bermanfaat bagi kita semua baik dalam
pengambilan kebijakan, implementasi lapangan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Sbelumnya diucapkan salam dan terima kasih atas masukan dan
kritik yang disampaikan.

Jambi, 12 Januari 2020


Penulis

Dr. Ir. Ardi Novra, MP

viii
DAFTAR ISI

PENGANTAR .............................................................................................. iii


PRAKATA .................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
BAB I. Ternak Sapi Potong: Masalah dan Kebijakan ............................. 1
1.1. Pemenuhan Kebutuhan Daging Nasional ........................... 2
1.2. Dilema Kebijakan Pengembangan Sapi Potong .................. 6
BAB II. Industrialisasi Peternakan: Reposisi Peran Usaha Ternak Sapi
Potong ......................................................................................... 10
2.1. Grand Desain Pengembangan Ternak Sapi dan Kerbau .... 11
2.2. Agenda Besar Pembangunan Peternakan Sapi Potong
2045 ..................................................................................... 14
2.2.1. Transformasi Usaha Peternakan Rakyat ................. 16
2.2.2. Membangkitkan Wirausaha Sapi Potong.................. 18
2.2.3. Jadi “Kita” Pilih yang Mana? .................................... 22
2.3. Reposisi Peran dan Kedudukan Peternakan Sapi Potong .. 23
2.3.1. Skala Makro: Spesialisasi Wilayah dan Fokus
Prioritas .................................................................... 24
2.3.2. Reposisi Skala Mikro: Berdaya Guna Tak Harus
Jadi yang Utama ...................................................... 29
2.4. Implementasi: Beberapa Contoh Program dan Kegiatan .... 34
2.4.1. Penguatan Kelompok Usaha Pelaku Integrasi
Sawit-Sapi ................................................................ 34
2.4.2. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit
Pasca Karhutla 2015 ................................................ 37
2.4.3. Pengembangan Intercropping Sekitar Tegakan
Karet Replanting ...................................................... 41
BAB III. Integrasi Ternak Sapi: Warisan Budaya dan Perkembangan....... 47
3.1. Integrasi: Warisan Budaya Melayu ...................................... 47
3.2. Usahatani Monokultur dan Kebangkitan Integrasi................ 49
3.3. Pembelajaran Kejadian Karhutla Besar tahun 2015 ............ 51
3.4. Pembelajaran Apa yang Bisa Diambil? ............................... 56
BAB IV. Kawasan Integrasi: Teori Dasar dan Model Integrasi ................. 58
4.1. Konsep Dasar Pengembangan Kawasan ............................ 59
4.2. Pengembangan Kawasan Peternakan ................................ 62
4.3. Kawasan Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi .................... 69
4.4. Interaksi Antar Komoditas Pada Sistem Integrasi ............... 71
4.4.1. Kawasan Integrasi Sapi Sawit ................................. 72
4.4.2. Kawasan Integrasi Sapi Karet ................................. 73
4.4.3. Kawasan Integrasi Sapi Pangan .............................. 75
4.4.4. Kawasan Integrasi Sapi Tebu .................................. 78
4.5. Profil Investasi Integrasi Tanaman Ternak Sapi .................. 80
4.5.1. Integrasi Pangan dan Sapi Potong Rakyat .............. 82
4.5.2. Integrasi Sawit dan Sapi Potong Rakyat .................. 86
4.5.3. Dukungan Kebijakan Pengembangan IFS Sapi
Potong Rakyat ......................................................... 93

ix
4.6. Model dan Kelayakan Integrasi Sawit Sapi (ISS) BUMN
Perkebunan .......................................................................... 95
4.6.1. Analisis Potensi Pasar dan Strategi Pemasaran...... 97
4.6.2. Aspek Managemen dan Organisasi ......................... 101
4.6.3. Aspek Teknis dan Produksi ..................................... 105
4.6.4. Aspek Finansial dan Ekonomi ................................. 109
4.6.5. Kesimpulan Analisis Kelayakan ISS ........................ 113
BAB V. SIFAS: Sustainable Integrated Farming Siystem ........................ 116
5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak ................................ 117
5.2. Membangun Sistem Integrasi Berkelanjutan ....................... 119
5.2.1. Teknologi Sebagai Penghubung .............................. 120
5.2.2. Teknologi Introduksi dan Penguatan Kelembagaan. 122
5.2.3. Kebijakan Pendukung .............................................. 124
BAB VI. Kelembagaan SIFAS: Tatakelola Kolektif Industrialisasi Sapi
Potong ......................................................................................... 126
6.1. Model Kelembagaan SIFAS ................................................ 127
6.2. Peran dan Kedudukan Pelaku dalam SIFAS ...................... 129
6.2.1. Peran dan Kedudukan Rumah Tangga Peternak..... 129
6.2.2. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ............. 131
6.2.3. Peran dan Kedudukan Sentra Jasa Layanan .......... 136
BAB VII. Penutup ....................................................................................... 139
REFERENSI ................................................................................................ 142
APPENDIX 1. PANDUAN PRODUKSI: Trychokompos Insitu (Pupuk
Organik Padat) ..................................................................... 145
APPENDIX 2. PANDUAN PRODUKSI: Biourine “A” Plus (Pupuk Organik
Cair) ..................................................................................... 153

x
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Perkembangan Harga Daging Sejenis Lembu Negara Asal


Impor Indonesia (CIF: US$/kg) …………………………………. 4
Tabel 2.1. Produktivitas Tanaman Pangan Intercropping dan Estimasi
Biaya dan Penerimaan ,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,,, 44
Tabel 2.2. Dampak Budidaya Intercropping terhadap Tanaman Karet
Replanting …………………………………………………………. 45
Tabel 2.3. Daya Substitusi Masing-masing Tanaman Pangan ………….. 45
Tabel 4.1. Analisis Kelayakan Finansial Usaha Integrasi Sapi-Sawit
PTPN VI …………………………………………………………… 112
Tabel 5.1. Daftar Teknologi Pengolahan Limbah Tersedia sebagai
Penghubung (Interfance) Sistem Integrasi Tanaman dan
Ternak Sapi ……………………………………………………….. 120
Tabel 5.2. Matrix Skala Prioritas Kebutuhan Teknologi Penghubung
dalam Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi ………….. 121
Tabel 5.3. Jenis Layanan Teknologi Introduksi yang Dibutuhkan dalam
Peningkatan Daya Saing Ternak Sapi dalam Sistem Integrasi 122

xi
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. 1. Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Sejenis


Lembu Indonesia (2010 - 2017) ………..……………………. 2
Gambar 1. 2. Negara Asal Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia
Tahun 2017……………………………………………………... 3
Gambar 1. 3. Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia 2010 - 2019 …... 4
Gambar 1. 4. Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Sapi
dan Kerbau (2010 - 2017) ……………………………………. 5
Gambar 2.1. Roadmap Pengembangan Sapi dan Kerbau ………………. 11
Gambar 2.2. Tahapan Transformasi Struktur Produksi Daging Sapi dan
Kerbau 14
Gambar 2.3. Rumah Besar Industri Peternakan Sapi Potong …..………. 26
Gambar 2.4. Skema Pengembangan Industri Peternakan Sapi
Potong ………………………………………………………….. 28
Gambar 2.5. Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat…….. 33
Gambar 2.6. Model Tatakelola Usaha Kelompok KIAT ….………………. 36
Gambar 2.7. Aliran Sumberdaya Pada Kelompok Mekar Jaya …………. 39
Gambar 2.8. Mekanisme Pengelolaan Program Aksi Kolektif ..…………. 42
Gambar 2.9. Metode Sharing Cropping antara Kelompok dan Pemilik
Lahan……………………………………………………………. 43
Gambar 4.1. Model Pengembangan Cluster ………………………………. 65
Gambar 4.2. Konsepsi Pengembangan Sentra Peternakan Rakyat ……. 67
Gambar 4.3. Pola Interaksi Tinggi Wilayah Integrasi Sawit-Sapi ……….. 72
Gambar 4.4. Pola Interaksi Rendah Wilayah Integrasi Sawit-Sapi ……... 73
Gambar 4.5. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Karet-Sapi ……………….. 74
Gambar 4.6. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Padi-Sapi ………………… 77
Gambar 4.7. Potensi Integrasi Sapi-Pangan Lahan Kering ……………… 78
Gambar 4.8. Pola Interaksi Wilayah Integrasi Tebu-Sapi …………..…… 80
Gambar 4.9. Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Pangan-Sapi…………. 83
Gambar 4.10. Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Sawit-Sapi……………. 87
Gambar 4.11. Fluktuasi dan Trend Harga Daging dan Sapi Siap Potong .. 100
Gambar 4.12. Aktivitas dalam Manajemen Fattening …………………….... 102
Gambar 4.13. Prosedur Tetap dan Tahapan Usaha Pembibitan Sapi
Potong ………………………………………………………….. 103
Gambar 4.14. Struktur Manajemen Usaha Integrasi Sawit-Sapi ………….. 104
Gambar 5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi ……………….. 119
Gambar 5.2. Tiga Komponen dalam Menuju Integrasi Berkelanjutan…… 119
Gambar 5.3. Unit Usaha dan Keuangan Jasa Layanan Teknologi
Introduksi ……………………………………………………….. 124
Gambar 5.4. Rangkaian Program dalam Membangun Integrasi
Berkelanjutan ………………………………………………….. 125

xii
Gambar 6.1. Kebijakan Satu Pintu dalam Tatakelola Kawasan SIFAS…. 128
Gambar 6.2. Bak Koleksi Urine dan Pengeringan Limbah Padat ………. 130
Gambar 6.3. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ……………….. 132
Gambar 6.4. Pohon Industri Komoditas Sapi Potong ……………………. 134
Gambar 6.5. Pemberdayaan dan Kelembagaan Kelompok Peternak
Sapi ……………………………………………………………... 135
Gambar 6.6. Jasa Layanan Peternakan …………………………………… 136
Gambar 6.7. Siteplan Pengembangan Sentra Jasa Layanan …………… 137

xiii
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Masalah utama dalam pengembangan


sapi potong di Indonesia masih berputar
pada kesenjangan antara konsumsi
(demand) dan produksi (supply) yang
menyebabkan harga daging sapi tidak
terjangkau dan bahkan menjadi barang
mewah (luxury) terutama bagi rumah
tangga berpendapatan rendah. Hal ini
menyebabkan kebijakan pembangunan
peternakan sapi potong masih fokus
pada sektor produksi tetapi dalam
pengambilan kebijakan seringkali terasa
tidak berkesinambungan. Pergantian
rezim dan pejabat pengambil keputusan
selalu diikuti dengan perubahan fokus
kebijakan sehingga terlihat beberapa
program yang belum tuntas diganti
dengan program dan kebijakan baru.

Kebijakan yang terkadang esensinya


sama tetapi diurai dalam kalimat berbeda
tidak hanya menimbulkan pemborosan
sumberdaya tetapi juga membingungkan
bagi pemerintah daerah dan pelaku
usaha baik dunia usaha maupun
peternak rakyat di lapangan. Fenomena
ini terlihat dari perjalanan kebijakan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-1
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

pembangunan peternakan pasca reformasi sampai pada saat sekarang, dimana


konsistensi dan keberlanjutan tidak terjaga secara baik. Kebijakan baru sering
benar-benar baru dan mengabaikan program-program dalam kebijakan
sebelumnya. Padahal dalam suatu kebijakan baru seharusnya menjadi pelengkap
dan dapat diintegrasikan dengan program sebelumnya guna menghindari
terjadinya inefisiensi dalam pembangunan. Untuk itu pada bagian awal akan
dibahas tentang dilema kebijakan pembangunan peternakan sapi potong dengan
dasar kinerja dan permasalahan dalam pembangunan peternakan sapi potong itu
sendiri.

1.1. Pemenuhan Kebutuhan Daging

Indonesia merupakan negara net impor produk daging sapi dengan volume dan
nilai impor (harga CIF) pada tahun 2017 masing-masing 160.198 ton dan US $
572.029 ribu. Volume dan nilai impor daging sejenis lembu ini mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun seperti disajikan pada Gambar 1.1

Gambar 1.1.
Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia (2010 - 2017)

Volume impor daging sejenis lembu mengalami peningkatan sebesar 20,04% dari
140.141 ton tahun 2010 menjadi 160.198 ton pada tahun 2017 atau mengalami
peningkatan rata-rata 2,86% (2.865 ton) setiap tahunnya. Peningkatan laju
pertumbuhan volume impor diikuti dengan kenaikan laju pertumbuhan nilai impor
yang lebih besar yaitu 48,59% dari US$ 394.99 juta tahun 2010 menjadi US$

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-2
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

572,03 juta pada tahun 2017 atau mengalami peningkatan sebesar 6,94% (US$
177,04 juta) setiap tahunnya. Perkembangan data impor daging ini tidak hanya
menyajikan laju pertumbuhan impor yang semakin meningkat tetapi dengan laju
pertumbuhan nilai yang lebih besar dibanding volume impor mengindikasikan
terjadinya kenaikan harga daging sapi di pasar internasional atau negara asal
daging impor..

Negara utama asal impor daging sejenis lembu di Indonesia berdasarkan data
perdagangan luar negeri Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Australia, Amerika
Serikat dan Selandia Baru seperti disajikan pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2.
Negara Asal Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia Tahun 2017

Pada tahun 2017 negara asal terbesar impor daging sejenis lembu adalah
Australia dengan proporsi 53,18% atau lebih dari separo impor daging Indonesia,
kemudian diikuti Selandia Baru dan USA. Komposisi impor daging terbesar dari
Australia dan Selandia Baru ini diduga bukan karena faktor harga yang lebih
murah tetapi lebih kepada sejarah hubungan perdagangan bilateral antara kedua
negara serta faktor kedekatan wilayah dan ketersediaan daging di Australia dan
Selandia Baru. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan harga daging (CIF)
masing-masing negara asal impor daging Indonesia pada Tabel 1.1.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-3
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Tabel 1.1.
Perkembangan Harga Daging Sejenis Lembu Negara Asal Impor Indonesia
(CIF: US$/kg).

Harga (US$/kg) Kenaikan pertahun


No Negara Asal
2010 2017 US$/kg %

1 Australia 2,88 3,48 0,09 2,69

2 Selandia Baru 3,04 3,44 0,06 1,78

3 Amerika Serikat 1,90 3,88 0,28 9,81

4 Lainnya 1,82 3,68 0,27 9,70

Rataan 2,82 3,57 0,11 3,36


Sumber: Olahan Data BPS (2018)

Harga CIF (Cost Insurance, and Freight) adalah harga daging setelah
ditambahkan dengan biaya pengiriman termasuk asuransi sampai ke pelabuhan
Indonesia yang ditanggung oleh eksportir. Perbandingan harga CIF ini
mengindikasikan bahwa harga pokok pembelian daging sapi pada setiap negara
hampir sama tetapi karena biaya pengiriman dari Australia lebih murah maka
harga CIFnya juga lebih rendah. Terkait dengan perkembangan harga impor,
yang lebih menarik untuk dibahas adalah terjadinya kenaikan harga pada pasar
internasional. Selama periode tahun 2010 - 2017 setiap tahun harga daging impor
mengalami kenaikan sebesar 3,36% (US$ 0,11/kg). Kenaikan volume yang diikuti
dengan kanaikan harga impor akan menyebabkan semakin besarnya devisa
negara terkuras untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.

Gambar 1.3.
Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia 2010 - 2019

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-4
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Kenaikan harga daging sapi global (Gambar 1.3) diduga karena peningkatan
permintaan (demand) daging sapi dunia lebih besar dibanding pertumbuhan
produksi (supply). Harga daging sapi dunia sudah mulai mengalami kenaikan
sejak tahun 2010 sampai mencapai puncaknya pada tahun 2014 dimana harga
mendekati sekitar US$ 5/kg. Harga tertinggi ini tidak bertahan lama karena pada
tahun 2015 terjadi penurunan drastis sehingga mencapai tingkat harga US$ 4,061
pada tahun 2016. Trend kenaikan volume, nilai dan harga daging impor ternyata
belum mampu mendorong perbaikan kinerja peternakan sapi potong domestik
yang terlihat dari laju pertumbuhan populasi yang negatif seperti Gambar 1.4.

Gambar 1.4.
Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Sapi dan Kerbau (2010 - 2017)

Selama periode tahun 2010 - 2017 masih terjadi peningkatan pemotongan ternak
sapi domestik yang menyebabkan populasi ternak sapi mengalami penurunan
penurunan. Laju pertumbuhan pemotongan ternak sapi 2,72%/tahun diikuti
dengan laju penurunan populasi sebesar 2,35%/tahun. Peningkatan jumlah
pemotongan ternak sapi berkaitan dengan menurunnya laju pertumbuhan
pemotongan ternak kerbau. Laju penurunan pemotongan ternak kerbau
6,91%/tahun diikuti dengan laju penurunan populasi yang lebih cepat yaitu
14.32%/tahun. Banyak indikasi yang dapat kita ambil dari perkembangan kinerja
kedua jenis ternak ruminansia besar ini antara lain tekanan terhadap populasi
ternak sapi masih terus terjadi dengan semakin meningkatnya pemotongan dan
semakin langkanya ketersediaan barang substitusi sempurnanya yang berasal
dari pemotongan ternak kerbau.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-5
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

1.2. Dilema Kebijakan Pengembangan Sapi Potong

Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 yang merupakan program yang
keempat kalinya sejak dicanangkan pada tahun 1995 telah gagal dalam
pencapaiannya (Tawaf, 2015). Penyebab kegagalan karena ‘kesalahan hitung”
yang dikemukakan Mentan Suswono pada akhir masa jabatannya merupakan
manivestasi dari kontroversi yang terjadi antara ‘farming system versus sistem
agribisnis’ yang sejak lama menjadi perdebatan dalam implementasi. Pilihan
antara pengembangan farming system yang lebih dikenal dengan istilah usaha
ternak rakyat/peternakan rakyat, atau perusahaan peternakan yang menganut
konsep sistem agribisnis dalam membangun peternakan.

Kebijakan pembangunan peternakan di Indonesia terutama pasca reformasi


cenderung berubah, inkonsistensi dan dapat dikatakan tanpa keberlanjutan.
Anekdot “kebijakan berubah sesuai selera penguasa” maka salah satunya dapat
ditemukan dalam kebijakan pembangunan sektor peternakan. Pada awal
terbentuknya Kabinet Indonesia Kerja 2014 - 2019, pemerintah melalui dirjend
PKH mencanangkan program SPR (Sentra Peternakan Rakyat) sebagai
pengganti Program Swasembada Daging Sapi (PSDS). Program SPR menurut
Dirjend PKH Muladno (2016) merupakan program penataan ternak sekaligus
peternak rakyat bertujuan untuk mewujudkan usaha peternakan rakyat dalam
suatu perusahaan kolektif yang dikelola dalam satu manajemen, meningkatkan
daya saing usaha peternakan melalui peningkatan pengetahuan, kesadaran dan
penguatan keterampilan peternak rakyat. Program yang lebih menekankan pada
transfer pengetahuan dan teknologi (knowledge and technolgy transfer) ini pada
awalnya disebut sebagai salah satu terobosan baru yang bertujuan untuk
menyejahterakan rakyat Indonesia.

Program SPR baru berjalan dalam hitungan tahunan (< 2 tahun) tiba-tiba
digantikan dengan Upsus-Siwab (Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan
Kerbau Bunting). Salah satu penyebab program ini belum berjalan baik karena
masih ada tarik menarik soal jumlah SPR antara Dirjen PKH yang mencanangkan
500 ribu SPR, sementara Menteri Pertanian hanya menginginkan 50 SPR.
Program Upsus Siwab yang diluncurkan Kementan sejak 2016 mencakup dua
program utama yaitu peningkatan populasi melalui Inseminasi Buatan (IB) dan
Intensifikasi Kawin Alam (Inka). Secara teoritis menurut Ilham (2017) kerangka

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-6
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

pikir siklus kerja dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program Upsus
Siwab dimulai dari kondisi ternak betina sasaran, kondisi ternak pejantan atau
petugas, fasilitas IB, dan kemampuan peternak. Program Siwab merupakan
amanat dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016
tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau
Bunting menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah penanganan
gangguan reproduksi dan IB yang membutuhkan keahlian dan dukungam fasilitas
berupa kontainer di depo Kabupaten/Kota, serta komunikasi dan harmonisasi
pelaksanaan lapangan.

Program Upsus-Siwab yang kinerjanya dinyatakan cukup berhasil pada tahun


2017 dimana capaian kinerja pelayanan IB dari Januari 2017 sampai Maret 2018
(14 bulan), yaitu a) relisasi IB pada 4.905.881 ekor jauh melebihi target yang
ditetapkan yaitu 4 juta ekor, b) menghasilkan sapi dalam kondisi bunting
2.186.892 ekor dan kelahiran ternak sampai bulan Maret 2018 sebanyak
1.051.688 ekor. Penulis coba komparasi dengan target yang ditetapkan
pemerintah yaitu dari 4 juta ekor betina produktif apsektor IB ditargetkan minimal
75% (3 juta ekor) dapat bunting dan memperoleh pedet baru (Kementan 2017).
Sepertinya dengan angka konsepsi (conception rate) 44,56% dan kelahiran
(fertilty rate) sementara 21,44% baru target realisasi pelaksanaan IB yang sudah
dan bahkan melampaui target tetapi capaian kinerja IB itu sendiri masih jauh di
bawah yang ditargetkan.

Melakukan justifikasi apakah program Upsus-Siwab telah berhasil atau gagal


dengan perjalanan yang masih pendek 1 - 2 tahun bukan merupakan sesuatu
yang fair juga. Secara teknis apakah itu efektif dalam akselerasi pertumbuhan
populasi dan secara ekonomi apakah efektif mendorong kesejahteraan
masyarakat peternak kita harus menunggu beberapa tahun lagi. Namun demikian
ada satu hal yang perlu dipertimbangkan yaitu penggunaan kata WAJIB dalam
Siwab (betina produktif wajib bunting) yang sepertinya mendahului kehendak
yang maha kuasa, karena menyangkut makhluk hidup (bernyawa) yang hanya
Tuhan yang maha berkehendak. Sekedar untuk penyegaran saja sebelum
membaca lebih lanjuta “takutnya nanti akan timbul pula peraturan yang mengatur
sanksi bagi betina bunting karena adanya kata WAJIB tersebut”. Sebagai bangsa
yang berkeTuhanan Yang Maha Esa kita hanya bisa berusaha untuk akselerasi
pertumbuhan populasi ternak sapi potong sementara haslnya adalah atas izinNya.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-7
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

Meski terkesan “receh bin remeh” selayaknya juga dipertimbangkan misalnya


mengganti kata Wajib Bunting dengan Ayo Bunting (Siwab menjadi Siab) atau
lainnya sepanjang tidak merubah esensi dari program ini sendiri.

Program Upsus-Siwab tidak hanya menyebabkan program SPR menjadi tidak


tuntas tetapi membuat para pengambil kebijakan di daerah menjadi “sedikit
bingung dan pusing” tentang pengelolaan kawasan yang telah ditetapkan.
Perangkat SPR berupa 50 Gugus Perwakilan Pemilik Ternak (GPPT) yang telah
direkrut, dilatih dan bahkan sudah diperintah untuk melakukan koordinasi
pelaksanaan kegiatan pada tahun 2016 mau diarahkan kemana?. Bagaimana
kelanjutan nasib para manajer SPR dan perangkat yang dipimpinnya serta
peternak yang sudah dilatih dan diberi berbagai program pembekalan. Banyak
pertanyaan yang muncul dan tidak akan terjawab tetapi “kebingungan terbesar”
adalah menjawab ketika masyarakat bertanya dan menagih janji yang telah
tersosialisasikan. Guna meningkatkan produksi peternakan sapi potong
pemerintah gencar menggulirkan program baru yaitu program Sentra Peternakan
Rakyat (SPR) yang rencananya mulai dilaksanakan tahun 2016 dan setiap SPR
mendapatkan alokasi dari APBN sekitar Rp 1 Miliar (Jatimprov.go.id, 2015).

Sebelum program SPR ada kawasan sentra-sentra produksi (KSP) yang


terbengkalai atau dalam istilah kita bersama sudah menjalani “mati suri” dan
sekarang menyusul kawasan SPR yang bernasib sama. Padahal menurut
pemikiran Penulis antara program SPR dan Upsus-Siwub potensial dan sangat
baik bila diintegrasikan dalam suatu program pembangunan peternakan yang
berkelanjutan. Program SPR yang bertujuan untuk menata usaha peternakan
rakyat melalui aksi kolektif dimana setiap SPR terdiri dari beberapa kelompok
dengan jumlah ternak sapi minimal 1.000 ekor akan meningkatkan efektivitas dan
efisiensi biaya implementasi program Upsus-Siwub. Kita semua pasti sepakat
dengan populasi ternak yang terkonsentrasi dan terkoordinasi pada suatu
kawasan SPR akan memudahkan implementasi sinkronisasi birahi dan IB
(Inseminasi Buatan) yang menjadi rohnya Upsus-Siwub. Monitoring dan evaluasi
keberhasilan program Upsus-Siwub akan lebih mudah termasuk dalam
menentukan lokasi dan kapasitas sarana dan prasarana pendukung seperti ruang
dan tabung penyimpanan sperma IB dan bahan untuk sinkronisasi birahi, evaluasi
keberhasilan dan transfer IPTEK reproduksi terkoordinasi melalui kelembagaan
yang terstruktur dan jelas. Harapan kita bersama semoga dengan terbentuknya

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-8
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat

kabinet baru diiringi dengan kebijakan yang lebih implementatif, terintegrasi dan
berkelanjutan. Kebijakan yang lebih mengutamakan kemakmuran stakeholder
peternakan dan bukan karena adanya ego kekuasaan, ego sektoral apalagi ego
bidang keilmuan.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-9
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Industrialisasi peternakan yang tangguh,


terjadi karena terintegrasinya proses
produksi dari hulu ke hilir yang dibangun
berdasarkan potensi dan kemampuan
industri hulu. Pembangunan peternakan
berbasis industri dimulai sejak pemerintah
menetapkan konsep sistem agribisnis,
pada era tahun 2000an. Pada era
digitalisasi saat ini, konsep pembangunan
industrialisasi peternakan tidak bisa lepas
dari efisiensi usaha dengan memadukan
sistem agribisnis dengan pengembangan
usaha peternakan rakyat. Konsep ini bisa
dilakukan melalui pola klustering, dimana
para peternak rakyat dengan usaha
sejenis beraktiivtas dalam suatu kawasan
(horizontal agribisnis). Kegiatan lanjutan
dari klustering ini dihubungkan oleh
sistem aplikasi digital yang bersifat
tertutup secara vertikal antar kelompok
peternak kluster.

Hubungan usaha antar sub-sistem


bersifat kaptif akan memberikan suatu
kepastian (certainty) pasar dan jaminan
(insurance) dalam menjalankan usaha.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-10
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Konsep ini merupakan model industri peternakan pada masa akan datang yang
menggabungkan antara konsep farming system dengan sistem agribisnis yang
berkerakyatan (Tawaf, 2019). Arah dan kebijakan pembangunan peternakan sapi
potong terlihat dari grand desain atau lebih terinci pada roadmap (peta jalan)
pengembangan sapi dan kerbau tahun 2016 - 2045.

2.1. Grand Desain Pengembangan Sapi dan Kerbau

Grand desain pengembangan sapi dan kerbau tahun 2045 dicapai melalui 4
(empat) tahapan sesuai dengan roadmap pengembangan sapi dan kerbau
(Gambar 2.1), yaitu a) swasembada dan rintisan ekspor pada tahun 2022, b)
ekspor pada tahun 2026, c) pemantapan ekspor pada tahun 2035, dan d)
lumbung pangan Asia pada tahun 2045.

Gambar 2.1.
Roadmap Pengembangan Sapi dan Kerbau
(Sumber: Dirjen PKH)

Pondasi menuju swasembada daging sapi tahun 2022 yaitu dengan percepatan
peningkatan populasi sapi, khususnya jumlah indukan sapi sebagai basis sumber
produksi melalui program Upsus Siwab 2017 dengan target kebuntingan
sapi/kerbau tiga juta ekor dari empat juta ekor asepktor (75%). Kebijakan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-11
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

pengembangan sapi adalah peningkatan populasi untuk mendorong peningkatan


share produksi daging domestik/lokal, meningkatnya kemampuan ekspor dan
bertambahnya usaha sapi berskala komersial. Upaya mewujudkan capaian
tersebut menurut Dirjen PKH Kementan Diarmita dalam Infovet (2018). yaitu

1. Melakukan sosialisasi tentang program dan kegiatan tersebut baik pada


jajaran pemerintah, akademisi, swasta dan masyarakat peternak. Kemudian
mendorong kinerja petugas teknis lapangan dengan melakukan bimbingan
teknis pelaporan untuk petugas inseminator, pelatihan petugas baru dibidang
IB (inseminator, PKb dan ATR) dan menyediakan alat dan sarana IB (semen
beku, N2 cair, kontainer, gun, plastik glove dan lain lain), serta menyediakan
insentif berupa biaya operasional pelayanan kepada para petugas
inseminator, PKb dan ATR.

2. Memperkuat aspek perbenihan dan perbibitan untuk menghasilkan benih dan


bibit unggul berkualitas dan tersertifikasi dengan penguatan tujuh Unit
PelaksanaTeknis (UPT) Perbibitan yaitu BPTU HPT (Balai Pembibitan
Ternak Unggul) Padang Mangatas, BPTU HPT Siborong-borong, BPTU HPT
Pelaihari, BPTU HPT Denpasar, BPTU HPT Sembawa, BPTU HPT
Baturraden, BPTU HPT Indrapuri, dengan demikian diharapkan adanya
peningkatan kualitas genetik dan populasi di masing-masing UPT Perbibitan.

3. Penambahan indukan impor baik oleh pemerintah ataupun melalui peran dan
kontribusi swasta (feedlotter) yang memasukkan indukan sebagai prasyarat
impor sapi bakalan. Penambahan sapi indukan impor pengembangannya
akan difokuskan pada enam UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,
yaitu BPTU-HPT Indrapuri, Siborong-borong, Sembawa, Padang Mangatas,
Pelaihari dan BBPTU-HPT Baturraden, 39 UPTD provinsi/kabuapten/kota
dan padang penggembalaan milik pemerintah daerah.

4. Pengembangan HPT (Hijauan Pakan Ternak) melalui penyediaan


lahan/penanaman HPT seluas 338,5 ha pada 2018. Pengembangan HPT
untuk pengembangan sapi potong juga dilakukan melalui pengembangan
padang penggembalaan dengan target pembangunan seluas 200 ha pada
2018, melalui optimalisasi lahan ex-tambang dan kawasan padang
penggembalaan di Indonesia Timur. Selain itu, juga dilakukan pemeliharaan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-12
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

terhadap 600 ha padang penggembalaan yang sudah dibangun oleh Ditjen


PKH.

5. Penanganan gangguan reproduksi bertujuan untuk mempertahankan jumlah


sapi betina produktif, sehingga angka jumlah akseptor yang akan dilakukan
IB dan bunting meningkat. Target pelaksanaan gangguan reproduksi sebesar
200.000 ekor. Operasional pendanaan penanganan gangguan reproduksi
dialokasikan pada delapan UPT Kesehatan Hewan (BBVet atau Bvet) dan
lima provinsi, yaitu Bengkulu, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan
dan Lampung. Komponen penanganan gangguan reproduksi terdiri dari
pelaksanaan identifikasi status reproduksi, pengadaan obat dan hormon.

6. Pengendalian pemotongan betina produktif, bekerjasama dengan Baharkam


Mabes Polri, bertujuan untuk menurunkan jumlah pemotongan sapi betina
produktif, mempertahankan akseptor Upsus-Siwab dan menyelamatkan
kelahiran pedet melalui pencegahan pemotongan sapi betina bunting.

Target bertambahnya usaha sapi skala menengah dan besar jika dimaknai
dengan peningkatan skala kepemilikan rumah tangga dan target kontirbusi usaha
peternakan rakyat 20% tahun 2045, maka ada beberapa simpulan yang bisa
diambil:

1. Ada upaya mendorong perkembangan populasi ternak dalam rumah tangga


meskipun tidak disebutkan secara rinci besaran skala menengah dan besar
tersebut.

2. Peningkatan skala usaha rakyat menjadi skala menengah dan besar secara
tidak langsung akan menggeser peran usaha ternak sapi dalam rumah
tangga dari usaha sambilan atau sekedar tabungan menjadi industri atau
usaha pokok (utama) atau minimal cabang usaha.

3. Tranformasi dari usaha peternakan rakyat (skala kecil) menuju usaha


peternakan menengah dan besar sebagai andalan dalam pemenuhan
kebutuhan daging nasional dan untuk tujuan ekspor.

Tahapan swasembada dan rintisan ekspor tahun 2022, berdasarkan roadmap


pengembangan sapi potong dan kerbau (Gambar 2.1) menargetkan a) populasi
ternak sapi dan kerbau mencapai 23,23 juta ekor, b) kebutuhan dan produksi
domestik masing-masing 769.566 ton dan 688.914 ton (90% kebutuhan)

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-13
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

diharapkan 75% masih dari usaha peternakan rakyat. Memasuki SDG


(sustainable development goal) yaitu pada tahun 2045 diharapkan Indonesia
telah menjadi lumbung pangan dunia (daging sapi) dengan populasi sapi dan
kerbau mencapai 41,74 juta, produksi domestik menembus angka satu juta yaitu
1.151. 698 ton dengan kontribusi usaha peternakan rakyat hanya tinggal 5% dan
sisanya 95% dari peternakan menengah dan besar. Pada tahun 2045 jumlah
penduduk di Indonesia diroyeksi mencapai 309 juta jiwa (Mulyani, 2019)
sedangkan konsumsi daging sapi meningkat menjadi 2,79 kg/kapita/tahun (10,3%)
pada tahun 2025, dan 3,04 kg/kapita/tahun (20,4%) pada tahun 2045 (Arifin,
2019). Artinya, pada tahun 2045 Indonesia membutuhkan daging sapi sekitar
939,36 ribu ton/tahun atau hampir 78,28 ribu ton/bulan atau 2,57 ribu ton/hari.
Artinya dengan angka proyeksi kebutuhan tahun 2045 sebesar 1.151.698 ton
dipenuhi dari ternak sapi 939,36 ribu ton dan kerbau 212,34 ribu ton.

2.2. Agenda Besar Pembangunan Peternakan Sapi Potong 2045

Agenda besar pencapaian target sasaran untuk menjadi lumbung pangan Asia
tahun 2045 tidak hanya ditandai dengan peningkatan produksi, populasi dan
ekpor komoditas ternak sapi dan kerbau tetapi juga dengan perubahan struktural
pelaku usaha peternakan. Jika selama ini pemasok utama kebutuhan daging
domestik adalah usaha peternakan rakyat, maka pada tahun 2045 lebih
mengandalkan usaha ternak sapi potong skala menengah dan besar (80%) dan
sisanya 20% dari usaha peternakan rakyat (Gambar 2.2)..

Gambar 2.2.
Tahapan Transformasi Struktur Produksi Daging Sapi dan Kerbau

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-14
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Hasil sensus peternakan tahun 2013 sebagai basis, maka 5,07 juta rumah tangga
peternak sapi potong dimana 66,34% mengusahakan hanya 1 - 2 ekor ternak sapi
dan 75,75% tujuan pemeliharaan rumah tangga adalah untuk dikembangbiakan
dan bukan untuk dijual. Pemeliharaan ternak sapi hanya 65,96% dari 5,07 juta
rumah tangga peternak yang mengandangkan ternaknya, sedangkan 34,14%
sengaja dilepas seperti pola peternakan di Australia (Suryamin, 2014). Survey
Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 mencatat populasi ternak sapi potong
mencapai 16,4 juta ekor, sapi perah 0,58 juta ekor dan kerbau 0,89 juta ekor yang
dijadikan sebagai Angka Tetap (Populasi Awal) untuk estimasi angka populasi
sampai sensus berikutnya tahun 2023. Jika kita asumsikan bahwa jumlah
populasi ternak sapi yang dipelihara usaha peternakan rakyat tahun 2045 adalah
8,35 juta (20% dari 41,74 juta). Artinya, dengan rata-rata kepemilikan 2 ekor maka
akan diperoleh jumlah rumah tangga peternak rakyat sekitar 4,17 juta. Suatu
angka penurunan yang sangat cukup realistis dari 5,07 juta rumah tangga tahun
2013 atau menurun sebesar 0,90 juta atau mengalami penurunan 17,75% selama
kurun waktu 2013-2045 (32 tahun) atau rata-rata menurun sekitar 0.55%/tahun.

Bak “Naik Turun Tangga”, menurun akan terasa lebih mudah dibanding dengan
naik tangga yang membutuhkan sumberdaya dan energi yang lebih besar untuk
sampai pada anak tangga terakhir. Turun dalam roadmap tidak serta merta
diartikan sebagai penurunan total jumlah rumah tangga peternak tetapi sebagian
peternak rakyat bertransformasi menjadi peternak skala menengah dan/atau
besar. Transformasi struktural inilah yang seharusnya menjadi agenda terbesar
dalam pencapaian target dan sasaran grand desain dan roadmap pengembangan
sapi dan kerbau, yaitu melalui.

1. Transformasi sebahagian usaha peternakan skala kecil (rakyat) menjadi


usaha skala menengah/besar (peningkatan kepemilikan ternak pada tingkat
rumah tangga).

2. Peningkatan jumlah pelaku wirausaha atau pengusaha baru pada sektor


usaha peternakan sapi potong.

Artinya bahwa tidak akan ada niat dari pemerintah untuk mengurangi atau
menghambat peternakan rakyat tetapi didorong untuk memiliki skala ekonomis
dengan tetap memotivasi timbulnya wirausaha baru. Kembali kepada naik turun
tangga maka kita abaikan cara untuk turun dan fokus pada bahasan cara naik

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-15
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

karena butuh energi besar dan kadang banyak ditemui kendala. Pengalaman
berbagai program dan kegiatan pada masa lalu tentu dapat menjadi rujukan agar
lebih mudah menapaki setiap anak tangga untuk mencapai tujuan utama. Agar
pada masa datang tak timbul lagi “kebijakan yang tidak bijak” dan bahkan
bernuansa “komedi”. Kebijakan yang katanya berorientasi kepada rakyat tetapi
dalam implikasinya terkesan mengabaikan peternakan rakyat, kebijakan yang
katanya berbasis pemanfaatannya potensi sumberdaya yang kaya raya tetapi
dalam skenarionya masih tetap fokus pada wilayah prioritas tertentu yang kadang
sudah eksis dan sulit dipaksakan untuk berkembang. Pada program PSDS 2014,
dari 18 provinsi sebagai sentra sapi potong telah dikelompokkan menjadi 3
kelompok daerah prioritas.

1. Kelompok I Daerah Prioritas Inseminasi Buatan yaitu Provinsi Jawa Barat,


Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur dan Bali.

2. Kelompok II Daerah Campuran Inseminasi Buatan dan Kawin Alam yaitu


Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Nusa
Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, dan Gorontalo.

3. Kelompok III Daerah Prioritas Kawin Alam yaitu Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.

2.2.1. Transformasi Usaha Peternakan Rakyat

Upaya mendorong peningkatan skala kepemlikan (usaha) rumah tangga peternak


sapi potong selama ini dapat dikatakan kurang berhasil dan selalu dikaitkan
dengan faktor permodalan. Faktor ketersediaan modal diakui memang menjadi
salah satu faktor kendala tetapi hanya menjadi bagian kecil karena lebih banyak
dipengaruhi oleh karakteristik dan perilaku rumah tangga peternak sapi itu sendiri.
Fenomena lapangan yang terjadi selama ini menunjukkan beberapa karakteristik
dan perilaku yang melekat pada rumah tangga peternak potensial menjadi faktor
kendala peningkatan skala usaha, antara lain:

1. Ternak sapi yang dipelihara oleh mayoritas rumah tangga peternak sapi
rakyat adalah bagian tak terpisahkan dari usahatani lainnya baik rumah
tangga petani pangan maupun perkebunan atau dengan kata lain usaha
ternak sapi bukan merupakan usaha tunggal (utama) .

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-16
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2. Tujuan utama pemeliharaan ternak sapi bagi rumah tangga perdesaan bukan
untuk dijual tetapi lebih sebagai tabungan yang hanya akan dilepas untuk
memenuhi kebutuhan yang memerlukan dana besar seperti acara selamatan
(aqiqah, kitanan, pernikahan), memasuki tahun ajaran baru sekolah, dan
ibadah (haji, umroh dan lainnya) serta kebutuhan acara adat istiadat terkait
dengan budaya setempat.

3. Usaha ternak bukan merupakan sumber pendapatan yang bersifat harian


dan bahkan bulanan (short run) tetapi lebih bersifat tahunan (long run) bagi
rumah tangga terutama untuk ternak sapi pembibitan. Harga jual ternak sapi
berfluktuasi sepanjang tahun tetapi memiliki kecenderungan terus mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun. Fluktuasi harga pasar komoditas ternak
sapi sudah sangat mudah diprediksi sehingga proses pelepasan ternak oleh
rumah tangga biasanya dilakukan pada periode waktu tertentu.

4. Ternak sapi bagi rumah tangga usahatani terdiversifikasi adalah asset yang
fleksibel, sehingga ketika terjadi kelangkaan sumberdaya tenaga kerja maka
dalam rangka rasionalisasi pilihan prioritas utama adalah pelepasan ternak
sapi dibanding pelepasan asset lain seperti lahan. Kasus yang dapat
dijadikan contoh adalah pada saat musim kemarau panjang dan kebakaran
hutan dan lahan akibat elnino tahun 2015. Pada saat terjadi kelangkaan
sumber pakan hijauan ternak banyak rumah tangga yang melakukan
rasionalsasi usaha ternak dengan menjual ternak sapi karena tenaga kerja
yang tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak.

5. Peningkatan kesejahteraan dan aktiivtas ekonomi rumah tangga pada


beberapa kasus juga menjadi faktor pendorong pelepasan ternak sapi.
Contoh kasus pada rumah tangga petani eks-transmigran di Provinsi Jambi
yang berhenti melakukan usaha ternak sapi pasca tanaman karet dan sawit
sudah mampu memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga terutama pasca
krisis ekonomi 1997 dimana harga kedua komoditas melambung tinggi.
Kecamatan Rimbo Bujang, Jujuhan, Kuamang Kuning, Sungai Bahar dan
Rantau Rasau yang dulunya dikenal sebagai lumbung ternak sapi mengalami
pengurasan populasi yang sangat drastis.

Beberapa karakteristik dan perilaku tersebut diatas tidak akan pernah terungkap
dalam data statistik termasuk dalam buku-buku teks tetapi merupakan realita

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-17
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

yang diyakini pasti ada pada peternakan sapi potong rakyat. Secara teoritis ilmu
ekonomi semua dapat dijelaskan yang akan berujung pada suatu kesimpulan
bahwa “rumah tangga peternak sapi potong adalah pelaku ekonomi yang
rasional” yang selayaknya jadi bahan pemikiran dalam pengambilan keputusan
atau kebijakan. Selama ini mereka hanya dianggap sebagai objek bagi kita yang
“merasa sangat tahu”, padahal peran mereka sebagai pelaku sangat menentukan
keberhasilan suatu kebijakan. Semuanya tergantung para pemegang kuasa
kebijakan, apakah akan memaksakan target skala usaha dengan mengabaikan
perilaku peternak atau tetap mengakomodir perilaku tersebut dengan mengurangi
target sasaran yang ingin dicapai.

2.2.2. Membangkitkan Wirausaha Sapi Potong

Agenda kedua dalam transformasi dari usaha peternakan skala kecil menuju
usaha menengah dan besar adalah membangkitkan wirausaha baru dalam
bidang usaha peternakan sapi potong. Selama ini investasi dalam usaha
peternakan sapi potong masih relatif “sangat rendah” dan hanya terbatas pada
sektor jasa dan perdagangan seperti feedlot (penggemukan). Feedlot adalah
suatu sistem manajemen di mana penggembalaan ternak sapi dilakukan secara
alami pada areal terbatas yang tidak menghasilkan pakan dan pakan ternak
dipasok dari tempat lain atau stok pakan yang ada. Sejauh ini dikenal empat
sistem penggemukan yang diterapkan, yakni sistem pasture fattening, dry lot
fattening, sistem kombinasi yakni pasture dan dry lot fattening, dan sistem
kereman (penggemukan) dry lot fattening yang lebih sederhana.

Penggemukan merupakan usaha budidaya ternak dalam waktu tertentu dengan


cara membeli bakalan untuk kemudian diberi pakan untuk meningkatkan bobot
badan sapi, dan pada waktu yang telah ditentukan sapi tersebut dijual untuk
dipotong. Pada feedlot pemeliharaan dan penggemukan dilakukan secara intensif
dengan waktu tertentu yang telah ditetapkan (misalkan 3, 4, 6 dan 9 bulan) dan
sering dilakukan rekayasa pakan untuk mendapatkan pakan dengan kualitas
nutrisi baik tapi bernilai ekonomis, sehingga bobot potong yang tinggi dan kualitas
karkas yang baik dapat tercapai. Keuntungan yang dapat diperoleh dengan
menerapkan teknologi feedlot dibandingkan dengan penggemukan yaitu lahan
yang dibutuhkan untuk budidaya relatif tidak sebanyak biasanya, karena sudah
diprogram dengan lahan tertentu untuk jumlah ternak tertentu dan dalam jangka

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-18
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

waktu tertentu ternak tersebut diganti dengan ternak bakalan yang baru.
Manajemen tata laksana pemeliharaannya juga relatif lebih mudah dan lebih
sederhana, sehingga kita dapat dengan mudah melakukan pengawasan terhadap
aktivitas usaha ternak.

Pada sisi lain, investasi dalam usaha peternakan sapi untuk tujuan pembibitan
masih sangat langka dan mayoritas merupakan investasi publik yang dilakukan
terbatas hanya oleh pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah dan dunia usaha
dalam usaha pengembangbiakan ini masih sangat rendah karena membutuhkan
investasi besar dan bersifat jangka panjang (long-run investment) serta memiliki
margin keuntungan yang rendah. Hasil analisis kelayakan Balai Pembibitan
Ternak (BPT) Sapi Potong Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
menunjukkan bahwa pada aspek finansial diperoleh tingkat pengembalian modal
(IRR) hanya 3,56% (Novra et al, .2009).

Pengembangan BPT ini meskipun masih layak bagi proyek pembangunan sektor
publik tetapi kurang diminati para pemilik modal swasta karena daya saing
investasi sektor atau proyek pembibitan sapi potong relatif lebih rendah dibanding
sektor lainnya. Padahal dari aspek ekonomi dampak pegembangan BPT Sapi
Potong melalui pola kemitraan memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat
mitra binaan, mengurangi ketergantungan dan belanja daerah untuk pengadaan
bibit, memperkuat daya tahan ekonomi rumah tangga perdesaan melalui
diversifikasi sumber-sumber pendapatan serta dapat diintegrasikan dengan
pengembangan desa mandiri energi dan pangan, pemenuhan kebutuhan pupuk
organik substitusi pupuk komersial dan upaya transformasi sistem pemeliharaan
menuju sistem pemeliharaan ternak sapi secara intensif.

Pengembangan usaha pembibitan sangat penting karena selama ini usaha


penggemukan skala menengah mulai mengalami kelangkaan pasokan bakalan,
sedang usaha feedlot skala besar lebih mengandalkan pasokan bakalan dari luar
negeri (impor). Kementerian Pertanian mencatat realisasi impor sapi bakalan
hingga akhir 2018 mencapai 205.527 ekor, sementara impor sapi indukan baru
sebanyak 21 ribu ekor. Permentan No. 02/Permentan/PK.440/2/2017 tentang
perubahan Permentan No. 49/Permentan/PK.440/10/2016 tentang Pemasukan
Ternak Ruminisia Besar ke Dalam Wilayah RI telah menerbitkan skema 5 : 1 bagi
importir sapi. Skema 5:1 mewajibkan perusahaan pengimpor sapi diwajibkan lima

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-19
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sapi bakalan dan satu sapi indukan yang diperuntukkan untuk budidaya kembali
oleh petani.

Upaya pemerintah dalam mendorong lahirnya para peternak atau pengusaha


peternakan sapi potong skala menengah sudah pernah dilakukan melalui jalur
akademisi yaitu program SMD (Sarjana Membangun Desa). Kegagalan program
SMD dalam mencetak wirausahawan baru usaha sapi potong dapat dijadikan
proses pembelajaran untuk membangun industri sapi potong skala menengah.
Kegagalan program ini menunjukkan bahwa mencetak pengusaha bukan hanya
sekedar penguasaan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) tetapi lebih
dari itu adalah bagaimana membangkitkan motivasi. Saat seleksi sering timbul
pertanyaan tentang siapa dan bagaimana kriteria calon pengusaha yang kita cari,
apakah yang kita cari calon peternak atau pengusaha ternak sapi. Jawaban
“pasti” semua pihak adalah kita mencari calon pengusaha ternak sapi tetapi
mayoritas yang terjaring malah “calon wirausaha berCAP pengusaha” bukan
“calon wirausaha yang pengusaha”. Banyak peserta SMD yang kemudian
usahanya tidak berkembang dan bahkan meninggalkan usaha kelompoknya
karena mendapatkan pekerjaan baru.

Padahal keberadaan SMD di kelompok ternak berbekal ilmu dan teknologi,


kreativitas serta wawasan agribisnis, diharapkan dapat berinteraksi dan bersinergi
membangun kerjasama yang harmonis dengan mengelola agribisnis berbasis
peternakan. Program SMD dilaksanakan sejak tahun 2007 dan sampai tahun
2012 tercatat jumlah total penerima manfaat program sebanyak 2,694 kelompok
dengan total anggaran yang telah dikucurkan sebesar Rp 778.82 Miliar. Hasil
penelitian Refita et al (2017) menunjukkan bahwa program SMD belum
dilaksanakan berdasarkan potensi wilayah kelompok penerima dan belum efektif
baik ditinjau dari indikator ekonomi dan teknis maupun kelembagaan. Faktor
penghambat efektivitas program SMD adalah belum adanya rencana strategis,
partisipasi para pemimpin pemerintahan dan masyarakat setempat masih rendah,
dan kurang efektivitasnya proses seleksi (perekrutan), pelaporan, serta
monitoring dan evaluasi program.

Gambaran singkat tentang program SMD dalam menciptakan para pengusaha


peternakan terutama sapi potong ini sangat mirip dengan struktur pasar tenaga
kerja alumni perguruan tinggi peternakan dan kesehatan hewan. Meskipun tidak
tersedia data dan informasi yang cukup valid tapi dari fenomena yang ada sangat

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-20
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sedikit dari mereka yang bertahan jadi pengusaha peternakan sapi potong.
Banyak penyebab dari kegagalan bertahan tersebut dan tidak hanya berkaitan
dengan hal teknis misalnya kerugian usaha akibat kinerja usaha tidak mencapai
target sasaran. Sebahagian ada yang berhenti karena mendapatkan pekerjaan
baru dan bahkan karena performans yang bagus diangkat menjadi pegawai
pemerintah meskipun sebagai honorer dengan gaji yang lebih kecil.

Makna di balik semua itu adalah ternyata mereka yang sudah mencoba untuk
terjun jadi pengusaha peternakan sapi potong itu sendiri tidak percaya bahwa
usaha yang dimodali pemerintah bisa menjadi jaminan hidup. Mereka lebih
memilih pekerjaan lain meskipun untuk sementara harus mendapat gaji yang
lebih kecil tetapi lebih bisa menjamin keberlangsungan kehidupan masa depan.
Menyalahkan mereka juga “sesuatu yang salah” karena memang realitanya
seperti itu karena hal yang sama juga terjadi pada para pengusaha yang sudah
teruji memiliki naluri bisnis. Seberapa banyak para pemilik modal dinegeri ini yang
tertarik untuk investasi pada usaha peternakan sapi potong dan jika ada
mayoritas cenderung pada bisnis perdagangan dan feedlotter dibanding sektor
produksi. Padahal dari sisi ilmu ekonomi, insentif apa yang kurang dari komoditas
penghasil daging merah di negeri ini. Bukankah, harga yang tinggi dan cenderung
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun merupakan insentif untuk investasi dan
didukung dengan pangsa pasar terbuka lebar dan selalu akan meningkat seiring
meningkatnya pendapatan dan taraf hidup konsumen.

Pemerintah juga sudah berupaya memotivasi dengan berbagai insentif seperti


kredit pembiayaan bunga rendah (subsidi) seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR)
khusus Peternakan. KUR yang mulai disalurkan pada tanggal 6 Desember 2018
sebesar Rp 8,9 miliar pada 69 anggota kelompok peternakan rakyat di Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah dengan skema subdisi bunga. Suku bunga yang
sebelumnya 12% selanjutnya sejak 1 Januari 2018, tersebut diturunkan pada titik
terendah sebesar 7%. Pada pemerintahan periode sebelumnya dikenal juga
Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) yang diatur melalui Peraturan Menteri
Pertanian No. 40/Permentan/PD.400/9/2009 tanggal 8 September 2009 tentang
Pedoman Pelaksanaan Kredit Usaha Pembibitan Sapi. Suku bunga yang
dibebankan kepada pelaku usaha sebesar 5 %/tahun dalam jangka waktu kredit
paling lama 6 tahun, dengan masa tenggang (grace period) paling lama 24 (dua
puluh empat) bulan. Meski menjadi tulang punggung pencapaian swasembada

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-21
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

daging sapi 2014, program KUPS belum berjalan seperti yang diharapkan dan
terbukti hingga tanggal 4 Mei 2010 hanya terealisasi Rp 56,75 milyar dari plafon
alokasi anggaran Rp. 145 milyar. Menurut hasil penelitian Susanti et al (2012)
menyimpulkan bahwa realisasi pencapaian kinerja KUPS penambahan induk,
penambahan pelaku usaha pembibitan, dan penyaluran kredit sangat rendah
sehingga kredit program KUPS belum berhasil dan efektif untuk mendukung
Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014.

Rendahnya tingkat efektivitas program SMD dalam mencetak wirausaha baru dan
serapan kredit usaha peternakan bunga bersubsidi menunjukkan ada sesuatu
yang salah. Berbagai insentif kebijakan pada sektor riel yang diharapkan mampu
menggerakkan sisi supply belum bekerja secara efektif dan efisien dalam
mendukung pencapaian swasembada daging. Insentif kebijakan dianggap belum
mampu mendorong “brand image” agribisnis peternakan sebagai salah satu
ladang bisnis yang menarik dan menguntungkan. Untuk itu, pada masa akan
datang dibutuhkan arah dan kebijakan yang tidak hanya mampu menjanjikan
tingkat keuntungan atau pengembalian modal yang berdaya saing tetapi juga
mampu memberikan jaminan keberlansungan pendapatan dan kehidupan para
pelaku usaha. Berbagai usaha dapat dilakukan antara lain dengan mendorong
peningkatan nilai tambah (value added) dan diversifikasi nilai manfaat usaha
peternakan itu sendiri dengan tetap berbasis pada usaha ternak sapi potong yang
efisien dan bersandar pada potensi sumberdaya yang tersedia.

2.2.3. Jadi “Kita” Pilih yang Mana?

Setelah membaca dan memahami berbagai kendala yang akan dihadapi dalam
transformasi struktural peternakan sapi potong diatas, akan timbul pertanyaan
“Kita Akan Pilih yang Mana?. Jika Penulis sebagai pengambil kebijakan akan
menjawab “Saya Akan Pilih Keduanya” tetapi dengan “Syarat dan Ketentuan
Berlaku” (meminjam istilah populer dalam masyarakat bisnis jasa di Indonesia).
Menurut Tawaf (2019), terdapat dua model pendekatan pembangunan
peternakan yang digunakan selama ini yaitu sistem agribisnis yang
diintroduksikan era tahun 2000an (lahir di Amerika serikat tahun 1950an yang
berbasis korporasi) dan konsep usaha tani rakyat (farming system) yang lebih
dikenal dengan konsep ekonomi kerakyatannya (ekonomi Pancasila). Kedua
model pendekatan ini sebenarnya dapat dikombinaskan dan secara kasat mata

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-22
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sebenarnya ada dalam rohnya program Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang
sempat dikembangkan.

Pada program SPR bukan usahanya yang diubah dari usaha tani rakyat (farming
system) menjadi agribisnis tetapi lebih ditekankan pada perubahan perilaku.
Usaha peternakan tetap sebagai usaha rakyat tetapi dalam menjalankan usaha
menerapkan kaedah-kaedah bisnis yang dilakukan secara kolektif dalam suatu
kelembagaan yang disebut SPR. Konsep SPR menawarkan jasa layanan yang
terintegrasi termasuk jasa layanan iptek produksi, reproduksi, kesehatan hewan,
pengolahan pakan dan limbah sampai pengolahan hasil pasca pemotongan.
Selain itu SPR juga didukung dengan manajemen pemasaran, akses pasar dan
pembiayaan serta lembaga keuangan mikro yang lebih terkoordinir sehingga
dapat salah satu alternatif upaya pencegahan penjualan dan pemotongan ternak
sapi betina produktif. SPR juga menawarkan partisipasi banyak stakeholder baik
para pelaku dalam sistem agribisnis (peternak, pedagang, petugas IB dan
Keswan) maupun pihak eksternal pemilik modal dan bahkan mahasiswa dan para
peneliti baik perguruan tinggi maupun lembaga litbang lainnya.

Secara umum, SPR adalah suatu aksi kolektif (collective action) para pelaku
usaha peternakan rakyat dalam suatu sistem agribisnis yang terintegrasi dan
terkoordinasi untuk mencapai tujuan bersama. Individu masyarakat secara alami
cenderung memilih aksi bersama ketika ada kesamaan dalam hal tujuan yang
ingin dicapai dan ketika merasa adanya ketidakpastian dan resiko yang dihadapi
jika bergerak sendirian (Syamsuddin et al., 2007). Pada kawasan SPR tidak
hanya berbicara tentang bisnis tetapi juga koneksitas antar pihak, riset dan
pengembangan, transfer ilmu dan teknologi serta industri pendukung (investasi
dan lembaga keuangan). Pada tataran yang lebih luas, SPR memiliki kemiripan
dengan Sains and Techno Park (STP) sebagai suatu kawasan yang dikelola multi
stakeholder, berbasis Iptek dan mengedepankan R & D serta membuka ruang
partisipasi pihak eksternal dalam satu manajemen. , .

2.3. Reposisi Peran dan Kedudukan Peternakan Sapi Potong

Reposisi (repositioning) dalam strategi pemasaran menurut Lamb et. al (2003)


adalah merubah persepsi konsumen dari relasi brand menjadi kompetisi brand.
Reposisi dilakukan untuk menyangga pertumbuhan permintaan pada saat pasar
sedang melemah atau untuk mengoreksi kesalahan posisi. Sasaran utama

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-23
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

strategi reposisi adalah membentuk citra merek tertentu di benak konsumen


sehingga berhubungan erat dengan pengambilan keputusan. Memposisikan
produk tidak hanya sekedar konsumen mengetahui keberadaan produk tapi juga
dapat memberi kepuasan berarti bagi konsumen. Reposisi produk (repositioning)
yang dilakukan bertujuan untuk menempatkan suatu posisi yang unik di benak
konsumen, sehingga konsumen diharapkan akan memiliki kesan tertentu
terhadap merek tertentu atau dikenal dengan brand image.

Konsep reposisi dalam strategi pemasaran ini pada dasarnya dapat dijadikan
acuan dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan sub-sektor
peternakan termasuk peternakan sapi potong. Usaha peternakan sapi potong di
Indonesia mayoritas (98%) adalah usaha peternakan rakyat dengan karakteristik
skala usaha relatif kecil; merupakan usaha rumah tangga dan usaha sampingan;
menggunakan teknologi sederhana; dan bersifat padat karya berbasis organisasi
kekeluargaan (Aziz, 1993). Indikator keberhasilan industrialisasi ditentukan oleh
kinerja dari industri meskipun bukan menjadi tujuan akhir dari pembangunan
ekonomi, Industrialisasi menurut Robiani (2005) merupakan upaya mencapai
tingkat pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan, yang selanjutnya akan
menciptakan pendapatan per kapita yang tinggi. Kebijakan industrialisasi
peternakan telah mengubah mind set pejabat pemerintah dan meninggalkan
realita kondisi yang sesungguhnya yaitu meninggalkan peternakan rakyat skala
kecil/tradisional. Kesan bahwa pembangunan industri peternakan tidak lagi
pro-produsen atau peternak rakyat yang terlihat dari grand design pembangunan
sapi potong dan kerbau bahwa populasi peternakan rakyat di tahun 2045 hanya
tinggal 20% (Tawaf, 2019).

2.3.1. Skala Makro: Spesialisasi Wilayah dan Fokus Prioritas

Langkah pertama dari aspek makro adalah reposisi dalam aspek kewilayahan
agar memiliki skala prioritas tertentu untuk wilayah dengan karakteristik potensi
sumberdaya alam dan pasar tertentu. Pemahaman terhadap ekonomi industri
menjadi sesuatu hal yang penting dalam membangun industri peternakan.
Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif
lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi
struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar. Beberapa alasan kenapa

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-24
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

ekonomi industri menjadi semakin penting untuk dipelajari, baik di negara-negara


maju maupun di negara yang sedang berkembang (Hasibuan, 1994), yaitu:

1. Praktek-praktek struktur pasar yang semakin terkonsentrasi dalam kegiatan


bisnis dan praktek-praktek perilakunya menimbulkan kerugian bagi
konsumen.

2. Semakin tinggi konsentrasi industri cenderung mengurangi persaingan antar


perusahaan sehingga menciptakan perilaku yang kurang efisien.

3. Konsentrasi industri yang tinggi membawa konsentrasi kekayaan yang


melemahkan usaha-usaha pemerataan, baik dilihat dari pemerataan
pendapatan, kesempatan kerja, maupun kesempatan berusaha.

4. Kaitan struktur industri dengan penyelesaian masalah-masalah ekonomi


membawa lebih jauh intervensi pemerintah.

5. Kajian-kajian tentang struktur-perilaku dan kinerja industri tidak terlepas dari


masalah-masalah produksi dan distribusi (Hasibuan, 1994).

Pada prinsipnya lokasi industri dapat dipengaruhi oleh pertimbangan ekonomi


meski pertimbangan non-ekonomi juga dapat mempengaruhi lokasi beberapa unit
industri. Menurut Setiawan (2017), terdapat 11 faktor yang dipertimbangkan
dalam menentukan lokasi sebuah industri, yaitu

1. Ketersediaan bahan baku yaitu kedekatan dengan sumber bahan baku


sangat penting guna meminimalisir biaya produksi.

2. Ketersediaan tenaga kerja yaitu kedukupan pasokan tenaga kerja murah dan
terampil diperlukan untuk perkembangan industri yang ditentukan
berdasarkan rasio biaya tenaga kerja terhadap total biaya produksi.

3. Jarak ke daerah pemasaran yaitu akses ke pasar seperti industri yang


menghasilkan komoditas mudah rusak atau besar yang tidak dapat diangkut
melalui jarak jauh umumnya terletak di dekat pasar.

4. Fasilitas transportasi baik menggunakan mode transportasi (air, jalan, dan rel
secara kolektif) dan kebijakan transportasi pemerintah.

5. Energi termasuk ketersediaan listrik, air, angin, batubara, gas dan minyak
bumi yang akan mempengaruhi fleksibelitas dan arah penyebaran atau
desentralisasi industri.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-25
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

6. Layanan yaitu keberadaan layanan penunjang publik bisa mempengaruhi


penempatan sebuah industri.

7. Keuangan diperlukan untuk mendirikan sebuah industri, untuk pengelolaan,


dan juga pada saat ekspansi.

8. Alam dan iklim seperti cuaca, curah hujan, kelembaban, topografi daerah,
fasilitas air dan drainase termasuk pembuangan produk limbah,

9. Instuisi “feeling” atau anggapan pribadi yang dimiliki oleh para pelaku industri
itu sendiri dan kadang berkaitan dengan budaya.

10. Pertimbangan strategi terutama pada era modern dimana strategi sangat
memainkan peran penting dalam penentuan lokasi industri.

11. Ekonomi eksternal timbul karena pertumbuhan anak perusahaan di berbagai


negara terutama saat persaingan industri mulai ketat.

Pada kontek reposisi pembangunan industri peternakan sapi potong nasional


dapat mempertimbangkan tiga point pertama yaitu kedekatan dengan bahan baku
terutama pakan, tenaga kerja (sumberdaya manusia) dan aksesibilitas pasar
(sentra konsumen). Membangun industri peternakan sapi potong bak
membangun sebuah rumah yang selalu memperhatikan kepentingan para
penghuninya. Setiap penghuni selalu ingin mendapat perlakuan kebijakan dan
ditempatkan pada lokasi yang sesuai dengan peran dan karakteristik mereka.
Membangun rumah industri peternakan sapi potong Indonesia dapat dimulai
dengan desain kamar-kamar yang akan ditempati oleh para pelaku usaha dengan
karakteristik dan tujuan tertentu. Peternakan sapi potong sebagai suatu industri
pada dasarnya dibangun diatas keterlibatan 5 komponen pelaku yaitu pengusaha
pembibitan (breeding), pemeliharaan (pengemukan dan pengembangbiakan),
pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan industri pendukung (Gambar 2.3).

Secara umum sistem pemeliharaan ternak sapi di Indonesia umumnya masih


bertujuan ganda karena masih belum begitu banyak pengusaha yang secara
khusus memproduksi anak sapi calon penggemukan. Hal ini berbeda dengan
negara-negara maju seperti Eropa, Amerika dan Australia dimana usaha
penggemukan dan pengembangbiakan untuk produksi sapi bakalan merupakan
usaha yang terpisah dan dikenal dengan istilah

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-26
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

a) Cattle Feeder (penggemukan) yaitu peternak yang khusus melakukan usaha


penggemukan dan tidak memproduksi anak sapi ataupun calon-calon sapi
pengganti yang akan digemukkan.

b) Feeder cattle (pengembangbiakan) yaitu pengusaha ternak sapi yang secara


khusus memproduksi anak sapi (bakalan) dan tidak membesarkan atau
melakukan usaha penggemukan.

Gambar 2.3.
Rumah Besar Industri Peternakan Sapi Potong

Pemeliharaan ternak sapi pada usaha penggemukan cenderung bersifat intensif


pada areal yang terbatas dengan dukungan teknologi yang dominan adalah
teknologi pakan karena tujuan utama mendapatkan pertambahan bobot badan.
Pakan menjadi komponen biaya produksi terbesar disamping bakalan yang
diberikan dalam bentuk konsentrat dan hijauan hanya sebagai pelengkap. Usaha
penggemukan ini umumnya dilakukan pada wilayah dengan areal lahan terbatas
dan cenderung menjadikan kedekatan dengan konsumen (akses pasar) sebagai
pertimbangan utama dalam menentukan lokasi usaha. Pada saat ini di Indonesia
untuk usaha skala besar lebih dikenal dengan nama “fedloter” dan berkembang di
sekitar wilayah Jawa (Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat dan Banten) serta
beberapa provinsi penyangga seperti Lampung. Pangsa pasar utama fedloter
adalah wilayah Jakarta dan sekitarnya atau dikenal dengan Jabodetabek dan saat
ini sumber utama bakalan adalah sapi impor yang tergolong dalam ras sapi
unggul (bobot badan besar).

Pada sisi lain, pemeliharaan ternak sapi untuk tujuan utama pengembangbiakan
lebih tersebar merata di seluruh Indonesia dan mayoritas dilakukan oleh usaha

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-27
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

peternakan rakyat. Produk utama yang diharapkan adalah berupa anakan baik
jantan maupun betina sehingga teknologi produksi yang paling dibutuhkan adalah
teknologi reproduksi seperti Inseminasi Buatan (IB), INKA (intensifikasi kawin
alami), sinkronisasi birahi, pemeriksaan kebuntingan sampai pada teknologi
embrio transfer (ET). Mayoritas sistem pemeliharaan ternak adalah semi-intensif
dan bahkan ekstensif (pengembalaan) sehingga membutuhkan lahan yang lebih
luas sehingga sebenarnya tidak begitu cocok dikembangkan di daerah padat
penduduk seperti Pulau Jawa dan Bali. .

Kedua jenis usaha pemeliharaan sapi tersebut perlu didukung dengan usaha
pembibitan ternak sapi guna menghasilkan ternak sapi unggul atau pemurnian
sapi lokal. Profil usaha pembibitan umumnya adalah investasi besar, bersifat
jangka panjang serta padat tekhnologi sehingga kurang diminati oleh sektor privat
atau swasta. Intervensi pemerintah dengan mengambil alih peran dalam usaha
pembibitan telah dilakukan selama sejak lama dengan berkembangnya berbagai
Balai Pembibitan Ternak Sapi Unggul (BPTU). Peran BPTU tidak hanya
menyedikan ternak unggul (pejantan dan induk) tetapi juga menyediakan material
dan layanan jasa teknologi reproduksi seperti bahan (semen beku) dan peralatan
Inseminasi Buatan (IB), sinkronisasi birahi dan embryo transfer (ET).

Berdasarkan uraian diatas maka skema dan model tata kelola serta keterkaitan
antar pelaku dan wilayah dalam industri peternakan sapi potong di Indonesia
secara ringkas disajikan pada Gambar 2.4. Segmentasi wilayah antara Jawa-Bali
dengan wilayah lainnya dalam industri peternakan sapi potong bukan berarti
bahwa untuk wilayah Jawa-Bali seluruh usaha adalah cattle feeder begitu juga
sebaliknya. Pada wilayah luar Jawa dan Bali masih terbuka lebar untuk
pengembangan cattle feeder karena juga banyak konsumen tetapi bukan menjadi
prioritas pembangunan, begitu juga sebaliknya pada wilayah Jawa dan Bali
feeder cattle masih terbuka tetapi bukan menjadi piroritas kebijakan dalam
anggaran. Segmentasi digunakan sebagai dasar dalam menentukan fokus
kebijakan pengembangan agar penganggaran lebih fokus sesuai kebutuhan
spesifik wilayah. Penggunaan sumberdaya akan dapat lebih dioptimalkan guna
mencapai tujuan serta saling ketergantungan antar wilayah yang kita harus kita
yakini akan mampu menciptakan kebersamaan. Hal inilah yang disebut dengan
clusterisasi dimana dalam suatu wilayah industri ada spesialisasi baik dalam
komoditas, pelaku dan kebijakan..

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-28
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 2.4.
Skema Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong

Terdapat 3 (tiga) peran penting pemerintah dalam menjaga keberlanjutan industri


peternakan yaitu sebagai regulator melalui berbagai kebijakan dan sebagai
fasilitaor dan motivator guna menjaga keberlanjutan industri. Peran sebagai
regulator adalah dengan memilih dan mendesain berbagai kebijakan yang sesuai
kebutuhan dan potensi sumberdaya wilayah. Peran sebagai fasilitator melalui
kebijakan yang mampu mengakselerasi pertumbuhan dunia usaha misalnya
melalui kebijakan subsidi bunga investasi dan menjadi penjamin dalam kredit
usaha peternakan. Peran pemerintah sebagai motivator melalui berbagai
kebijakan yang secara tidak langsung mampu mendorong terciptanya lingkungan
kondusif bagi dunia usaha. Lingkungan kondusif bagi dunia usaha jaminan
operasional usaha dengan tersedianya sarana dan prasarana produksi (hulu) dan
kepastian pasca produksi (pasar) termasuk industri pengolahan. Pada prinsipnya,
rumah besar industri peternakan akan berkelanjutan jika “kegembiraan” menjadi
menu keseharian dalam operasional dunia usaha tanpa ada kekuatiran dan
ketidakpastian dalam mendapatkan input dan memasarkan output.

2.3.2. Reposisi Skala Mikro: Berdaya Guna Tak Harus Jadi yang Utama

Usaha peternakan sapi potong di Indonesia umumnya masih dikelola secara


tradisional, yang bercirikan dengan usaha hanya sebagai usaha keluarga atau

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-29
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sebagai usaha sampingan. Menurut Santoso et al (2012) tipologi usaha


peternakan dibagi berdasarkan skala usaha dan kontirbusinya terhadap
pedapatan rumah tangga dapat diklasifikasikan atas a) usaha sambilan dimana
usaha ternak diusahakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsistence)
dengan kontribusi dari usaha ternak < 30%, b) cabang usaha dimana petani
peternakan mengusahakan pertanian campuran (mixed farming) dengan ternak
sebagai cabang usaha dengan kontribusi usaha ternak 30-70% (semi komersial
atau usaha terpadu), c) usaha pokok dimana peternak mengusahakan ternak
sebagai usaha pokok dan usaha komoditas lain sebagai usaha sambilan (single
commodity) dengan kontribusi usaha ternak 70-100%, dan d) usaha industri
dimana komoditas ternak diusahakan secara khusus (specialized farming)
sehingga kontribusi usaha ternak 100% (komoditas pilihan).

Membangun industri peternakan sapi potong yang tangguh jangan dimaknai


sebagai upaya mentransformasi seluruh atau mayoritas usaha peternakan
sebagai usaha pokok apalagi sebagai industri. Membangun industri peternakan
dalam kontek ke-Indonesiaan sebaiknya lebih dimaknai sebagai upaya
mendorong usaha peternakan sapi untuk berperilaku dan beroperasi layaknya
sebagai sebuah industri. Industri yang berdaya saing adalah industri yang
berhasil mentransformasi keunggulan komparatif (comparative advantage) yang
dimiliki menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage) dengan cara
memperhatikan prinsip-prinsip dasar efisiensi ekonomis. Efisiensi ekonomis
merupakan produk efisiensi teknik dan harga, sehingga akan tercapai jika
efisiensi teknis dan harga sudah tercapai. Efisiensi ekonomis merupakan efisiensi
dari sudut pandang makro dan mempunyai jangkauan lebih luas dibanding
efisiensi teknis (mikro). Pengukuran efisiensi teknis cenderung terbatas pada
hubungan teknis dan operasional dalam proses konversi input menjadi output,
sehingga untuk meningkatkan efisiensi teknis hanya butuh kebijakan mikro yang
bersifat internal, yaitu dengan pengendalian dan alokasi sumberdaya yang
optimal.

Daya saing industri peternakan sapi potong nasional tidak hanya terbatas dengan
daya saing dengan komoditas sejenis produksi negara lain, tetapi lebih luas dari
itu adalah daya saing dalam komoditas usaha tani. Pelepasan ternak sapi potong
oleh rumah tangga yang dengan mudah dilakukan dan rendahnya minat usaha
dan invesasi pada usaha peternakan sapi potong selama ini tidak terlepas dari

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-30
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

daya saingnya yang lemah terhadap komoditas atau jenis usaha lainnya. Pada
rumah tangga perdesaan dengan usahatani terdisversifikasi akan lebih mudah
untuk mengurangi skala usaha ternak sapi dibanding usaha tani lainnya karena
tidak begitu signifikan mempengaruhi ekonomi rumah tangga. Para pelaku usaha
(pemilik modal), pilihan usaha (investasi) pada sektor pertanian lain seperti
perkebunan lebih menjanjikan dibanding usaha (investasi) pada sektor usaha
peternakan yang memberikan tingkat keuntungan atau pengembalian modal lebih
rendah. Hal yang sama juga terjadi pada penduduk usia produktif, berkerja pada
bidang atau sektor peternakan sapi potong belum menjadi pilihan prioritas karena
brand image yang sering muncul adalah kurangnya kepastian keuntungan usaha
yang dapat menjamin keberlangsungan pendapatan mereka.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa selama ini usaha peternakan sapi potong
belum memiliki “brand image” sebagai usaha yang dapat diandalkan sebagai
sumber pendapatan utama (usaha pokok dan industri), menjadi sektor usaha dan
investasi yang menarik karena menjanjikan keuntungan dan keberlanjutan
pendapatan. Hal inilah yang menjadi pertimbangan utama kenapa penegasan
kembali (reposisi) peran dan kedudukan usaha peternakan sapi potong dalam
kerangka membangun industri peternakan yang tangguh. Berdasarkan
permasalahan, kondisi eksisting, sebaran potensi sumberdaya alam dan manusia,
serta efektifitas kebijakan yang telah dilakukan, maka beberapa langkah strategis
dalam rangka reposisi peran dan kedudukan usaha peternakan sapi potong
antara lain adalah:

1. Proses industrialisasi selayaknya dipandang sebagai upaya pada sudut


pandang makro tetapi implementasinya dalam skala mikro (rumah tangga)
tidak terlalu memaksakan transformasi usaha peternakan rakyat menjadi
usaha pokok dan/atau industri tetapi cukup menjadi cabang usaha terutama
untuk tujuan pengembangbiakan (feeder cattle). .

2. Peternakan sapi potong sebagai cabang usaha terutama pada perdesaan


sebagai wilayah konsentrasi peternak dicirikan rumah tangga usahatani
campuran (mix farming) baik tanaman pangan maupun perkebunan.

3. Upaya peningkatan status sebagai cabang usaha tidaklah cukup dengan


peningkatan kepemilikan atau skala usaha ternak sapi tetapi perlu juga upaya

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-31
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

lain guna mendorong peningkatan nilai tambah (value added) usaha ternak
sapi potong.

4. Peningkatan nilai tambah tersebut dilakukan melalui diversifikasi


sumber-sumber pendapatan asal usaha ternak dengan karakteristik sebagai
berikut:

a. Mampu mengotimalkan pemanfaatan sumberdaya ternak sapi yang


dimiliki tanpa menambah beban kerja yang melebihi kapasitas dan
ketersediaan sumberdaya itu sendiri.

b. Mampu mengubah karakteristik pendapatan usaha ternak sapi dari


sekedar pendapatan jangka panjang (tahunan atau semesteran)
menjadi pendapatan jangka pendek (bulanan atau harian).

c. Mampu mendorong transformasi sistem pemeliharaan dari ekstensif


(pengembalaan) dan semi-intensif (pengembalaan terbatas) menjadi
intensif.

d. Mampu meningkatkan kontribusi usaha ternak sapi terhadap


pendapatan rumah tangga serta mempu mendorong efisiensi usahatani
lainnya (perkebunan atau tanaman pangan).

5. Produk yang dihasilkan bersifat komersial dan memiliki pangsa pasar yang
masih terbuka luas serta potensial mendukung pertanian ramah lingkungan
atau pertanian ekologis terpadu.

6. Pengelolaan sumberdaya non-produk utama ternak sapi potong (anakan dan


pertambahan bobot badan) sebaiknya dilakukan secara kolektif melalui
pengembangan sentra-sentra produksi kelompok.

Konsep dasar “Berdaya Guna Tanpa Harus Menjadi Utama” merupakan upaya
untuk menciotakan “brand image” usaha peternakan sapi potong sebagai suatu
cabang usaha yang memiliki kemampuan berkontribusi bagi ekonomi rumah
tangga. Peningkatan kontribusi usaha ternak sapi potong dilakukan melalui
diversifikasi sumber-sumber pendapatan sehingga upaya peningkatan skala
ternak dapat berjalan seiring dengan peningkatan nilai tambah produk sampingan
(langsung) dan produktivitas (tidak langsung). Peningkatan kontribusi terhadap
usahatani lain melalui pemanfaatan produk olahan industri atau usaha kelompok

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-32
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sebagai substitusi input komersil tidak hanya mendorong efisiensi (keuntungan)


usaha tetapi juga ramah lingkungan (Gambar 2.5).

Gambar 2.5.
Membangun Peternakan Sapi Potong Rakyat

Pendekatan pembangunan industri peternakan sapi potong rakyat seperti ini akan
efektif menciptakan “brand image” positif dan potensial diintegrasikan dengan
berbagai program prioritas pembangunan lainnya. Jaminan profitabilitas dan
keberlanjutan usaha diharapkan mampu mengubah paradigma penduduk usia
produktif untuk menjadikan usaha ternak sapi potong sebagai pilihan alternatif
kesempatan berusaha. Para pemilik modal akan lebih tertarik dan investasi dalam

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-33
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

mendukung berbagai program pemberdayaan peternak akan mengalir termasuk


investasi sosial perusahaan dalam bentuk program tanggung jawab sosial
perusahaan atau CSR (corporate social responsibilty) dan pemberdayaan
masyarakat atau CD (community development) lainnya.

2.4. Implementasi: Beberapa Contoh Pogram dan Kegiatan

Implementasi upayas untuk mendorong industrialisasi usaha peternakan sapi


potong rakyat sebenarnya sudah mulai dilakukan dan berikut beberapa program
yang telah dilakukan sebagai gambaran awal aplikasi limplementasi lapangan.

2.4.1. Penguatan Usaha Kelompok Pelaku Integrasi Sawit-Sapi

Program penguatan kelompok usaha


pelaku integrasi sawit sapi ini
merupakan kegiatan pengembangan
KIAT (Kelompok Intermediasi Alih
Teknologi) yang didanai melalui
program IPTEKDA-LIPI tahun anggaran
2013 dan 2015. Pada awal kegiatan
pemberdayaan kelompok direncanakan
3 (tiga) jenis produk berbasis limbah
yang dikembangkan yaitu kompos
(pupuk padat), bio-urine (pupuk cair)
dan wafer ransum komplit (WRC)
pelepah sawit. Hasil kegiatan selama
satu tahun berjalan menunjukkan jenis
produk berbasis limbah yang telah
dikembangkan dan siap memasuki
pasar komersial adalah pupuk organik
padat (kompos) dan pupuk cair
(bio-urine), sedangkan untuk WRC
masih sebatas pada pemanfaatan
limbah pelepah kelapa sawit untuk fermentasi sebagai bahan pakan ternak sapi
kelompok.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-34
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Produksi dan penerimaan usaha kelompok Sumber Rezeki berfluktuasi karena


sangat terkait dengan ketersediaan bahan baku (pelepah sawit, urine dan feses)
dan kondisi cuaca terutama untuk pengeringan bahan baku feses dan perajangan
pelepah sawit. Guna mengurangi fluktuasi produksi yang akan berimplikasi pada
penerimaan kelompok maka telah diatasi dengan pembangunan lantai jemur dan
pembuatan ruang chooper yang terlindung dari hujan. Kegiatan secara finansial
mampu meningkatkan kas tunai usaha kelompok sekitar Rp. 12,76 juta
sedangkan dana bagi hasil KIAT
sebesar Rp. 418.250 digunakan untuk
perbaikan kandang. Program penguatan
tahun 2015 sebagai lanjutan program
pengembangan usaha kelompok pelaku
integrasi sawit sapi berbasis limbah
tahun 2013. Berbagai kendala yang
dihadapi pada masa pengembangan
mampu dicarikan solusi pemecahan
masalahnya pada masa penguatan
termasuk perbaikan teknologi proses,
fokus produksi berbasis market demand
dan perluasan sarana dan prasarana
produksi. Kegiatan ditujukan untuk
peningkatan kapasitas produksi sentra
pengolahan limbah terpadu yang
dikelola kelompok Sumber Rezeki
sebagai mitra KIAT Produk Unggulan
Daerah Fakultas Peternakan UNJA .

Program penguatan yang dilakukan


sebagai upaya akselerasi dan
peningkatan kapasitas produksi melalui
perbaikan teknologi proses, yaitu a)
pengembangan teknologi proses
produksi Biourine “Aerasi” Plus dengan membangun instalasi pengolahan limbah
cair (IPLC) yang mampu mempercepat jangka waktu produksi dari 21 - 28 hari
menjadi 16 hari dengan kualitas biourine yang dihasilkan lebih bersih dari material

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-35
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

butiran dan bau menyengat jauh berkurang, dan perbaikan teknologi proses
produksi dari biokompos menjadi Trychokompos Insitu yang diikuti dengan
peningkatan fasilitas Instalasi Pengolahan Limbah Padat (IPLP). Teknologi ini
mampu memperpendek waktu komposing dari awalnya 2 minggu (14 hari)
menjadi 1 minggu (7 hari) dan seiring meningkatkan fasilitas IPLP maka kapasitas
produksi persatuan waktu akan mengalami peningkatan. Hasil kegiatan dilihat
dari kondisi eksisting perkembangan usaha pengolahan limbah terpadu kelompok
sudah berkembang baik dengan kapasitas “terpasang” masing-masing jenis
produk adalah Biourine “A” Plus 4.800 liter/bulan dan Trychokompos Insitu 10
ton/bulan. Peningkatan produksi baru dapat dicapai pada bulan Agustus untuk
Biourine Aerasi Plus sedangkan untuk Trychokompos Insitu pada bulan
September. Kendala yang dihadapi adalah dari kontinuitas bahan baku karena
adanya fluktuasi pasokan limbah cair dan padat kandang seiring perubahan
populasi ternak sapi. Untuk itu dikembangkan kemitraan input bahan baku
dengan peternak sapi potong non-anggota kelompok baik dalam desa maupun
luar kawasan desa, dengan pola rantai pasok seperti Gambar 2.6.

Gambar 2.6.
Model Tatakelola Usaha Kelompok KIAT Membangun Industri Peternakan Sapi Potong
Rakyat

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-36
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Perjalanan kelompok usaha pelaku integrasi sawit sapi berbasis limbah ini
sempat mengalami stagnasi akibat kekurangan bahan baku limbah ternak sapi
potong. Kemarau panjang akibat el-nino tahun 2015 menyebabkan banyak rumah
tangga yang menjual atau mengurangi populasi ternak sapi akibat kelangkaan
sumber pakan hijauan ternak sapi. Keterbatasan tenaga kerja keluarga untuk
meramban mendorong terjadinya rasionalisasi jumlah ternak anggota kelompok
dan masyarakat sekitar desa. Pada sisi lain, ternak yang dipelihara dalam
kandang kelompok sebagai sumber utama bahan baku masih terjaga populasinya
karena memanfaatkan pakan rajangan pelepah sawit yang difermentasi. Sentra
pengolahan limbah terpadu kelompok usaha Sumber Rezeki yang terletak di
Desa Baru Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi sampai saat ini masih
operasional tetapi pemanfaatan produk kompos lebih banyak digunakan untuk
kebutuhan budidaya tanaman hortikultura. Hal ini tak terlepas dari upaya rumah
tangga petani untuk bertahan menghadapi turunnya pendapatan akibat anjolknya
harga komoditas karet (crumb rubber) dan sawit (tandan buah kosong).

2.4.2. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Pasca Karhutla 2015

Sedikit berbeda dengan kelompok tani Sumber Rezeki, dampak kemarau panjang
dan kebakaran hutan dan lahan 2015 malah menjadi awal kebangkitan usaha
komposing kelompok tani Mekar Sari di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) Universitas Jambi dengan judul
“Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena Dampak Kebakaran
Hutan dan Lahan 2015, berhasil menginisiasi berkembangnya usaha kelompok
tani Mekar Sari. Kegiatan PPM di Desa Dataran Kempas selama enam bulan
bertujuan untuk pemulihan ekonomi rumah tangga pelaku integrasi sapi sawit
yang terkena dampak karhutla khususnya kelompok tani Mekar Jaya (PMJ). Desa
Dataran Kempas merupakan desa dengan mayoritas rumah tangga adalah petani
perkebunan sawit rakyat dengan luas areal sekitar 382 Ha dengan masa tanam
tahun 1995/1996 sehingga 1 - 3 tahun lagi memasuki masa peremajaan (umur
tanaman non-produktif 25 tahun). Pasca kejadian kebakaran lahan dan hutan
besar pada tahun 2015 perekonomian desa mengalami kemunduran drastis
akibat anjloknya produktsi tanaman sawit masyarakat. Pemulihan kembali
produktivitas tanaman sawit pasca karhutla besar 2015 diperkirakan berlangsung

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-37
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2 - 3 tahun, sedangkan harga jual TBS pada saat yang hampir bersamaan
mencapai harga terendah yaitu Rp. 600/kg.

Metode pemberdayaan masyarakat guna


pemulihan ekonomi rumah tangga terkena
dampak kabakaran lahan dan hutan tahun 2015
menggunakan pendekatan partisipatif
(Participatory Rural Appraisal/PRA) yaitu suatu
metode pendekatan dalam proses
pemberdayaan dan peningkatan partisipasi
masyarakat yang ditekankan pada keterlibatan
masyarakat dalam keseluruhan kegiatan
pembangunan (Firmansyah, 2013). PRA
merupakan salah satu bentuk community-based
method yang berada dalam konteks
collaborative decision making dimana koleksi
dan analisis data dilakukan oleh masyarakat
lokal dan pihak luar lebih berperan sebagai
fasilitator dibanding pengontrol kebijakan
(Syahyuti, 2008). Pada sisi lain individu
masyarakat secara alami cenderung memilih
aksi bersama ketika ada kesamaan dalam hal
tujuan yang ingin dicapai dan ketika merasa
adanya ketidakpastian dan resiko yang dihadapi
jika bergerak sendirian (Syamsuddin et al.,
2007).

Program PPM mampu menjadi pemantik


partisipasi pihak dunia usaha melalui program
CD atau CSR. Program dan kegiatan dilakukan
secara terintegrasi dengan kontribusi
masing-masing pihak adalah tim PPM Unja
disamping melakukan pembinaan juga memberi
dukungan finansial pembangunan rumah dan
alat pengayak kompos, PT. WKS berkontribusi
dalam perbaikan jalan produksi dan menjadi

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-38
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

mitra utama penyerap produk kompos, dan Tim MP3EI UGM berkerjasama
dengan Puslit CSR UNJA berkontribusi dalam pengadaan timbangan dan alat
jahit karung produk kemasan.

Bank Indonesia berkomitmen memberikan bantuan modal perluasan rumah


kompos dan perbaikan kandang guna akselerasi target produksi sesuai perjanjian
kerjasama antara PMJ dan PT. WKS pada saat lounching perdana yaitu 200
ton/bulan dari capaian produksi 50-60 ton/bulan saat ini. Pemasok utama bahan
baku limbah usaha pupuk kompos adalah rumah tangga peternak sapi setempat
dan desa sekitar (Gambar 2.7).

Gambar 2.7.
Aliran Sumberdaya Pada Kelompok Mekar Jaya

Jaringan rantai pasok menunjukkan bahwa usaha komposing kelompok Mekar


Jaya berdampak ke belakang dan depan atau biasa disebut dengan bacward and
forward linkage. Kebelakang usaha kompos kelompok memberi manfaat bagi
pemasok bahan baku yaitu rumah tangga peternak sapi potong termasuk
perubahan sistem pemeliharaan menjadi pengembalaan terbatas dan intensif.
Limbah padat kandang yang memiliki harga jual mendorong peternak untuk
mengandangkan ternak sapi agar mudah untuk dikumpulkan dan dimasukkan
dalam karung-karung sebelum diambil oleh usaha komposing. Kebutuhan PT.
WKS yang besar mendorong berkembangnya usaha kelompok sejenis baik pada
Desa Dataran Kempas (3 kelompok) maupun desa tetangga Purwodadi dan
Delima. Limbah sawit yang awalnya hanya tertumpuk di areal PKS kini mulai
memiliki harga jual karena menjadi bahan baku campuran utama usaha kompos

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-39
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2.4.3. Pengembangan Model Intercropping Sela Tanaman Karet Replanting

Peran lain yang dapat dijadikan


pembelajaran membangun industri
peternakan tanpa harus menjadi yang
utama adalah program peremajaan
karet rakyat. Penelitian selama 3 tahun
(2015 - 2017) skim MP3EI DPRM
Ristekdikti dengan judul “Model Aksi
Kolektif untuk Kemandirian Rumah
Tangga Menghadapi “Temporary Loss
Income” Program Replanting Karet”.
Produk Tyrchokompos Insitu (pupuk
organik padat) dan Biourine A Plus
(pupuk organik cair) yang diproduksi
kelompok digunakan untuk budidaya
beberapa jenis tanaman pangan sekitar
tegakan tanaman karet muda replanting.
Selama masa menunggu tanaman karet
kembali menghasilkan tingkat produksi
ekonomis bagi rumah tangga, lahan
sekitar tanaman karet dapat
dimanfaatkan untuk budidaya tanaman
pangan. Hasil dari budidaya ini
diharapkan dapat menjadi pengganti
pendapatan yang hilang pasca
penanaman kembali tanaman karet.
Pada kegiatan riset ini dilakukan uji
coba dengan membangun demplot
budidaya 4 jenis komoditas pangan
yaitu kedele, padi gogo, jagung dan
sorghum. Mekanisme yang dikembangkan dan disepakati dalam kegiatan pada
Gambar 2.8.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-40
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 2.8. Mekanisme Pengelolaan Program

Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa tindakan kolektif dilakukan mulai dari
kandang sapi kolektif kelompok, pengolahan limbah di IWP, mekanisme
tumpangsari, dan pemasaran produk. Sumber bahan baku untuk IWP berasal dari
kandang pribadi anggota kelompok dan kandang kolektif kelompok, serta tidak
menutup peluang bersumber dari para peternak sapi sekitar. Untuk itu, kandang
pribadi maupun kolektif harus dilengkapi dengan tempat untuk penampung limbah
cair dan pengeringan limbah padat. Masing-masing limbah mentah diharga Rp
300/kg untuk limbah padat dan Rp 700/liter limbah cair yang dapat dibayar tunai
atau dihitung sebagai simpanan peternak pemasok. Terkait dengan pemanfaatan
hasil pengolahan limbah sebagai contoh untuk produk TCI dapat dijual atau
digunakan untuk program tumpang sari. Jika dijual, maka pendapatan bersih
(Rp340/kg) yaitu margin antara harga jual (Rp1.100/kg) dan biaya pokok produksi
(Rp760/kg) dikali kuantitas atau volume produksi. Pendapatan bersih kemudian

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-41
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

didistribusikan untuk pembayaran bahan baku pemasok, biaya produksi IWP, dan
setoran tunai bagi kelompok. Jika tidak dikomersialkan dan digunakan untuk
tumpangsari maka akan dihitung sebagai bagian dari biaya budidaya. Secara
khusus, mekanisme pembagian keuntungan dalam program tumpang sari di
sekitar tegakan karet muda hasil replanting diilustrasikan dalam Gambar 2.9.

Gambar 2.9.
Mekanisme Share Cropping antara Kelompok dan Pemilik Lahan

Demplot dikembangkan pada lahan karet replanting umur 3 tahun dengan luas
total 2 ha (0,5 ha setiap komoditas) dengan perlakuan pupuk sama yaitu
menggunakan TCI 5 ton/ha. Pupuk komersial (Urea, KCl, TSP, dan Dolomite)
masih digunakan sebagai pupuk awal saat penanaman, sedangkan pemanfaatan
Biourine A Plus hanya pada tanaman jagung dan sorgum (1: 10) setelah tanaman
berumur 2 minggu selama 2 bulan dengan frekuensi setiap dua minggu. Rataan
tingkat produktivitas dan analisis biaya manfaat untuk setiap tanaman pangan
disajikan pada Tabel 2.1.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-42
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Table 2.1.
Produktivitas Tanaman Pangan Intercropping dan Estimasi Biaya dan
Penerimaan

Produksi Penerimaan Biaya Pendapatan


No Jenis Pangan
(ton/Ha) (Rp/Ha) (Rp/Ha) (Rp/Ha)

1 Kedele 2,044 5.530.000 2.720.850 2.809.150

2 Padi Gogo 3,028 5.522.000 2.487.050 3.034.950

3 Jagung 2,832 5.947.200 2.740.310 3.206.890

4 Sorghum 2,624 5.440.000 2.661.650 2.778.350

Produktivitas tanaman pangan di demplot lebih rendah daripada beberapa hasil


penelitian tumpangsari seperti 2,12 ton/ha (Sopandie dan Trikoesoemaningtyas,
2011) untuk kedelai dan 3,80 ton/ha (Arifin dan Toha, 1996) untuk padi gogo,
4,246 ton/ha (Sahuri, 2017) untuk jagung, dan 2,69 ton/ha (Sahuri, 2017).
Perbanding produktivitas keempat tanaman pangan dengan hasil penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa hanya produktivitas sorgum yang mendekati.
Pengamatan selama periode pemeliharaan menunjukkan bahwa perlakuan
Biourine A Plus (BA+) memiliki pengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman
jagung dan sorgum. Tinggi rata-rata tanaman sorgum yang disiram dengan BA+
mencapai 277,5 cm, jauh lebih tinggi daripada tanpa penyiraman (185,0 cm) dan
hal yang sama untuk tanaman jagung mencapai 213,8 cm dibanding tanpa
penyiraman (171,3 cm). Secara statistik, capaian tinggi tanaman saat panen
antara sorgum dan jagung berbeda signifikan dengan perbedaan mencapai 53,45
cm. Tanaman yang diberi perlakuan BA+ menghasilkan ketinggian panen yang
berbeda sekitar 69,07 cm dibandingkan tanpa disiram. Setiap sentimeter
peningkatan tinggi tanaman secara signifikan meningkatkan bobot panen 4,31
gram. Budidaya tumpangsari juga berdampak positif bagi pertumbuhan tanaman
karet replanting seperti disajikan pada Tabel 2.2.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-43
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Table 2.2.
Dampak Budidaya Intercropping Terhadap Tanaman Karet Replanting

Performans
No Variabel Satuan
Intercropping Non-Intercropping
1 Lingkar Batang
a. Awal cm 4,68 5,05
b. Akhir cm 6,53 7,41
2 Perubahan (105 hari) cm 1,85 2,86
3 Perubahan harian cm/hari 0,02 0,02
4 Pertumbuhan (105 hari) % 0,42 0,46
5 Pertumbuhan harian %/hari 0,39 0,44

Berdasarkan pendapatan bersih masing-masing tanaman pangan dan sistem


bagi hasil yang disepakati (60: 40), maka dapat diperoleh daya substitusi untuk
masing-masing komoditas. Survei rumah tangga petani yang memelihara karet
umur tua atau produktivitas rendah (2017) menunjukkan bahwa rata-rata
kepemilikan tanah 2,60 ha/rumah tangga, dan potensi kehilangan pendapatan
bulanan rata-rata jika dilakukan peremajaan karet adalah Rp1,85 juta/rumah
tangga atau Rp770,713/Ha. Menggunakan asumsi bahwa dalam satu tahun terdiri
dari 2 musim tanam, daya substitusi setiap komoditas pangan (Tabel 2.3).
Tabel 2.3.
Daya Substitusi Masing-masing Komoditas Tanaman Pangan

Revenue pemilik lahan (Rp) Daya Substitusi


No Jenis Komoditas
Tahunan Bulanan (%)
Kedele 4.686.000 390.500 50,67
Padi Gogo 3.729.360 310.780 40,32
Jagung 5.163.288 430.274 55,83
Sorghum 4.649.040 387.420 50,27
Rataan 4.556.992 379.744 49,27
Sources: Novra et al, 2017

Secara umum, daya substitusi tanaman pangan masih belum penuh, yaitu
rata-rata 49,07% dengan kemampuan tertinggi pada tanaman jagung (55,83%).
aya substitusi yang rendah disebabkan oleh musim tanam yang maksimum hanya
2 kali dalam satu tahun. Kondisi tanah yang berada pada ketinggian sedang dan
cukup bergelombang, dan ketersediaan air sangat bergantung pada musim.
Faktor lain terkait dengan tingkat kesuburan tanah yang mulai menurun sehingga
produktivitas tanaman pangan juga tidak optimal.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-44
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Integrasi secara terminologi memiliki


makna lebih luas dibanding dengan
diversifikasi usaha karena dalam
integrasi ada hubungan saling
melengkapi dan saling menguntungkan
(symbiosis mutualism) antara berbagai
cabang usaha sehingga akan
membentuk sebuah sistem. Kesamaan
keduanya adalah dari aspek tujuan yaitu
untuk memperkuat daya tahan ekonomi
rumah tangga dari berbagai pengaruh
eksternal dengan tidak hanya
bergantung pada sumber tunggal atau
dalam pertanian dikenal dengan
usahatani monokultur. Pada sistem
integrasi yang baik, antara cabang usaha
akan saling mendukung dan
mempengaruhi satu sama lain sehingga
berbeda dengan diversifikasi dimana
seringkali antara cabang usaha memiliki
keterkaitan yang lemah dan bahkan
saling lepas (independen).

3.1. Integrasi: Warisan Budaya Melayu

Usaha integrasi tanaman dan ternak


sudah dikenal oleh masyarakat
perdesaan sejak zaman dahulu termasuk

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-45
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

di kalangan masyarakat Melayu Jambi. Hal ini dibuktikan dari petitih yang
berkembang di kalangan masyarakat adat Melayu Jambi yang berbunyi “Ado Padi
Sagalo Jadi, Ado Ternak Sagalo Enak dan Ado Parah Sagalo Murah”(ada padi
semuanya jadi, anak ternak semuanya akan terasa enak dan ada parah semua
yang akan dibeli terasa murah). Padi adalah tanaman yang diusahakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan beras untuk dikonsumsi sehari-sehari oleh rumah
tangga. Ternak (kerbau) adalah hewan yang dipelihara untuk memenuhi
kebutuhan insidental yang membutuhkan biaya besar seperti khitanan,
pernikahan, acara adat, naik haji, membangun rumah dan bahkan kebutuhan
pendidikan anggota keluarga,

Parah adalah sebutan tradisional untuk tanaman perkebunan karet rakyat


sehingga getah karet yang disadap disebut juga dengan getah parah. Selama
tanaman parah masih mengalirkan getah, maka hasil penjualan getah digunakan
untuk memenuhi kebutuhan belanja harian selain beras mulai dari sayuran dan
lauk pauk sampai kebutuhan sandang lainnya seperti baju, sepatu dan
perlengkapan rumah tangga dan sekolah. Harga getah karet yang memadai dan
kepemilikan perkebunan karet rakyat yang luas serta dapat dipanen setiap hari
menyebabkan dalam pembelian kebutuhan non-beras tersebut terasa murah.
Murah dalam kontek masyarakat perdesaan adalah terjangkau oleh daya beli
mereka dari hasil penjulan getah tanaman karet.

Petitih ini mengandung makna yang mendalam tentang bagaimana masyarakat


bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan jangka pendek, menengah dan
panjang. Ketiga komoditas usaha tani memiliki peran masing-masing dalam
kehidupan dan saling melengkapi sehingga bertahan lama dalam kehidupan
masyarakat Melayu Jambi. Seiring dengan semakin maraknya konversi kawasan
hutan dan sawah menjadi perkebunan yang menjadi tempat pengembalaan
ternak maka populasi ternak kerbau terus mengalami penurunan. Posisi daging
ternak kerbau sebagai barang pengganti sempurna (perfect substitution) daging
ternak sapi, maka kenaikan permintaan dan harga daging sapi telah
menyebabkan pengurasan populasi ternak kerbau. Populasi ternak kerbau terus
mengalami penurunan akibat pemotongan secara berlebihan guna memenuhi
kebutuhan daging konsumsi. Populasi ternak kerbau selama periode tahun 2000 -
2008 menurut Asriyani (2012) mengalami penurunan sekitar 8,85% atau
mengalami laju penurunan setiap tahun sekitar 1,03%. Hal yang sama juga

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-46
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dinyatakan oleh Maira (2011) bahwa populasi ternak kerbau mengalami


penurunan sebesar 26% dari 3,3 juta ekor pada tahun 1985 menjadi hanya sekitar
2,4 juta ekor tahun 2001.

3.2. Usahatani Monokultur dan Kebangkitan Integrasi

Budaya usaha tani tradisional warisan nenek moyang masyarakat Melayu Jambi
ini mulai memudar seiring perkembangan zaman. Usahatani dengan diversifikasi
sumber pendapatan rumah yang telah menciptakan ekonomi rumah tangga
perdesaan yang stabil dan tahan terhadap goncangan eksternal mulai
menghilang seiring semakin berkembangnya budaya usahatani tunggal
(monokultur). Harga komoditas perkebunan (karet dan kelapa sawit) yang
semakin membaik dan mampu menunjang ekonomi rumah tangga mendorong
berkembangnya budaya usaha tani yang cenderung monokultur dengan hanya
mengandalkan satu komoditas untuk sumber pendapatan rumah tangga petani di
perdesaan.

Kecenderungan ini sangat terlihat pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia
pada tahun 1998 dimana komoditas perkebunan menjadi “komoditas idola” tujuan
ekspor. Pada sisi lain, kehadiran perkebunan swasta besar tidak hanya
mendorong konversi kawasan hutan tetapi juga semakin meluasnya konversi
lahan sawah menjadi perkebunan baik karet maupun kelapa sawit. Pembebasan
lahan untuk pembangunan perkebunan besar dengan “kedok” kemitraan
inti-plasma telah menyebabkan masyarakat perdesaan secara sadar dan
sukarela menyerahkan sebagian lahannya untuk dikonversi termasuk lahan
tanaman pangan (sawah). Besarnya kontribusi perkebunan terhadap ekonomi
rumah tangga menyebabkan rumah tangga lebih fokus pada komoditas komersial
ini dan mengabaikan cabang usahatani keluarga lain termasuk peternakan sapi
potong.

Fenomena terbentuknya pola pikir yang


berorientasi pada budidaya monokultur
masyarakat perdesaan ini berlangsung
cukup lama (± 10 tahun) sampai
terjadinya krisis ekonomi global pada
tahun 2008. Pada saat krisisnya situasi
berbalik, dimana harga komoditas

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-47
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

perkebunan mengalami penurunan drastis (anjlok) meskipun nilai tukar rupiah


kembali mengalami pelemahan. Terpuruknya harga kelapa sawit di tingkat petani
sudah berlangsung sejak Juni 2008, mengikuti anjloknya harga minyak kelapa
sawit (crude palm oil) dunia. Harga CPO sempat mencapai US$ 1.400 per ton,
tetapi resesi global perlahan-lahan menurunkan harga hingga menjadi US$
400-500/ton pada awal tahun 2009 (Iswara et al, 2009). Selanjutnya dikatakan
bahwa harga TBS hanya Rp 700/kg jauh di bawah harga keemasan yang sempat
mencapai Rp 2.100 - 3.500/kg awal tahun 2008. Persoalan menarik dari krisis ini
adalah bahwa kemerosoatn TBS jauh lebih cepat dibanding turunya harga produk
hilir sawit dan bahkan dikuwatirkan bahwa harga produk turunan tidak mengalami
penurunan, melainkan penurunan permintaan karena adanya penurunan daya
beli (Simatupang, 2009).

Krisis ekonomi global juga menyebabkan


harga komoditas perkebunan lainnya seperti
kopi, karet, kakao, dan teh mengalami
penurunan drastis. Para petani karet di
sejumlah sentra produksi panik karena
harga bahan olahan karet anjlok dari
Rp10.500 menjadi Rp 6.000/kg, sedangkan
harga di tingkat petani karet lebih parah lagi karena harga turun drastis menjadi
Rp 4.000 – 4.500/kg. Penurunan harga ini menurut Irwansyah (2008) disebabkan
harga karet di pasar dunia ambruk dari US$ 2,9 menjadi US$ 2,5 jenis TSR di
Singapura Commodity Exchange (Sicom).

Krisis ekonomi global ini menyebabkan gangguan besar pada ekonomi rumah
tangga, sementara biaya pemeliharaan tanaman perkebunan mengalami semakin
meningkat seiring naiknya harga input terutama pupuk. Anjloknya harga
komoditas (TBS dan Bokar) di tingkat petani telah menyebabkan gangguan tidak
hanya terhadap rumah tangga pertanian tetapi juga sektor ekonomi lainnya.
Aktivitas ekonomi daerah yang membaik pada saat harga TBS tinggi berbalik
setelah anjloknya harga TBS. Pendapatan rumah tangga petani sawit menurun
memperlemah daya beli, sehingga mempengaruhi sektor jasa dan transportasi.
Aktivitas perdagangan dan transportasi yang selama ini ramai menjadi menurun
berakibat pada rendahnya pendapatan rumah tangga yang menggantungkan
hidupnya kepada kedua sektor ini. Sektor jasa pembiayaan seperti perbankan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-48
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dan lembaga pembiayaan lainnya juga terganggu akibat banyaknya kredit macet
sektor perumahan dan otomotif.

Hasil analisis situasi dampak krisis terhadap ekonomi rumah tangga perkebunan
karet dan sawit oleh Novra et, al (2009) menyimpulkan bahwa a) penurunan
harga komoditas tidak diikuti dengan penurunan biaya produksi dan bahkan
sebaliknya beban biaya meningkat akibat kenaikan harga input terutama pupuk
an-organik (komersial), b) kenaikan
harga pupuk yang diikuti turunnya harga
output direspon sebagian besar rumah
tangga dengan mengurangi dosis dan
komposisi penggunaan pupuk,
penundaan waktu pemupukan dan
pemanfaatan pupuk alam seperti abu,
dan c) guna menghindari resiko dampak
negatif jangka panjang berupa gangguan pertumbuhan dan produktivitas
tanaman sebagian rumah tangga meningkatkan penggunaan pupuk kandang
sebagai suplemen pupuk komersial.

3.3. Pembelajaran Kedua: Karhutla Besar tahun 2015

Ketidakberdayaan rumah tangga petani budidaya monokultur dalam menghadapi


goncangan faktor eksternal kembali terulang dengan kejadian kebakaran hutan
dan lahan (karhutla) besar pada tahun 2015. Paparan kabut asap dan kemarau
panjang mengakibatkan produktivitas beberapa jenis tanaman mengalami
penurunan produktifitas seperti duku,
durian dan tanaman perkebunan lain
termasuk kelapa sawit. Produktivitas
tanaman duku menurun drastis dari
normalnya 120 batang bisa panen 20 ton
namun pasca karhutla menurun drastis
menjadi 4 ton. Hal yang sama terjadi
pada tanaman durian yang seharusnya
bulan Februari 2016 sudah memasuki musim durian, namun faktanya banyak
pohon yang tak berbuah. Karhutla yang bertepatan dengan awal munculnya putik
buah durian membuat putik berguguran sehingga pohon tak berbuah dan jika

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-49
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

masih ada biasanya 10 buah/batang dan menurut warga ini persis seperti yang
terjadi di tahun 1997 silam.

Hal yang sama terjadi pada tanaman perkebunan berupa turun drastisnya
produktivitas sawit akibat kabut asap karena terganggunya proses fotosintesa
(Erwinsyah, 2014). Gangguan fotosintesis nutrisi menyebabkan klorofil daun
memasak makanan tidak maksimal karena tercemarnya karbondioksida yang
dibutuhkan tanaman (Biocond, 2016). Penanganan pasca karhutla adalah semua
usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan
evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar.
Salah satu bentuk penanganan adalah rehabilitasi yaitu seluruh kegiatan dalam
rangka merehabilitasi kawasan bekas dan terdampak akibat kebakaran dengan
mempertimbangkan rekomendasi dan/atau masukan berdasarkan data dan
informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi. Pemulihan produktivitas tanaman
kelapa sawit secara alami menurut Erwinsyah (2014) membutuhkan waktu cukup
lama bisa 2 - 3 tahun. Pemulihan menggunakan bahan kimia untuk memacu
pertumbuhan bunga disamping mahal juga belum tentu efektif sehingga tidak
direkomendasikan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah melalui penguatan
ekonomi rumah tangga petani dengan memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya
sekitar (insitu) seperti limbah tanaman pertanian dan peternakan. Menurut Novra
et al (2016) pemulihan ekonomi rumah tangga petani sawit terkena dampak
kabakaran hutan dan lahan tahun 2015 lebih krusial dibanding dengan rehabilitasi
tanaman karean membutuhkan waktu cukup lama.

Salah satu wilayah yang terkena dampak karhutla 2015 adalah Desa Dataran
Kempas di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi
Jambi. Mayoritas rumah tangga di desa ini merupakan rumah tangga perkebunan
sawit dengan luas areal sekitar 382 Ha dengan masa tanam tahun 1995/1996 dan
sekitar 1 - 3 tahun lagi harus dilakukan peremajaan (memasuki masa
non-produktif 25 tahun). Pasca kejadian kebakaran hutan dan lahan besar pada
tahun 2015 perekonomian desa mengalami kemunduran drastis akibat anjloknya
produksi tanaman sawit, sementara untuk pemulihan tanaman sawit tua tidak
efisien. Pada tahun 2016 melalui Tim PPM Universitas Jambi mulai diinisiasi
pengembangan pupuk kompos (padat) dan pupuk cair dengan memanfaatkan
sumberdaya limbah kandang ternak sapi dan pabrik kelapa sawit (PKS). Program
PPM dengan topik Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-50
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan berhasil mendorong berkembangnya


usaha pupuk kompos kelompok tani Mekar Jaya.

Progam PPM program mampu memantik partisipasi pihak dunia usaha melalui
program CD atau CSR (Novra et al, 2016). Program dan kegiatan dilakukan
secara terintegrasi dengan kontribusi masing-masing pihak adalah tim PPM Unja
disamping melakukan pembinaan juga memberi dukungan finansial
pembangunan rumah dan alat pengayak kompos, PT. WKS berkontribusi dalam
perbaikan jalan produksi dan menjadi mitra utama penyerap produk kompos, dan
Tim MP3EI UGM berkerjasama dengan Puslit CSR UNJA berkontribusi dalam
pengadaan timbangan dan alat jahit karung produk kemasan. Bank Indonesia
berkomitmen memberikan bantuan modal perluasan rumah kompos dan
perbaikan kandang guna akselerasi target produksi sesuai perjanjian kerjasama
antara PMJ dan PT. WKS pada saat lounching perdana yaitu 200 ton/bulan dari
capaian produksi 50-60 ton/bulan saat ini.

Informasi terbaru, pada tahun 2019 tercatat 7 kelompok usaha yang sudah
berkembang melalui program DMPA dan menjadi mitra usaha BUMDes Gerbang
Nusantara. Produk unggulan utama adalah pupuk kompos (organik) dengan
bahan baku utama adalah limbah pabrik kelapa sawit (PKS), limbah padat
peternakan sapi potong serta daunan dan legume disekitar lokasi. Usaha pupuk
kompos dikembangkan oleh 3 kelompok tani yaitu Poktan Mekar Jaya, Karya
Trans Mandiri dan Sekawan Inti Sejahtera dengan kapasitas produksi pada tahun
2018 mencapai 12.000 ton/bulan yang dipasok sebagian besar ke PT. WKS
dengan nilai Rp 13,62 milyar. Tenaga kerja yang diserap mencapai 130 orang
yang berasal dari Desa Dataran Kempas sendiri dan desa-desa sekitar dengan
upah mencapai 3 - 4 juta/bulan. Selain sebagai pemasok utama ke PT. WKS
sebagian dari produk kompos sudah dikomersialkan dengan merk dagang “Raja
Kompos dan Ratu Kompos” serta sebagian mendukung budidaya pertanian
organik oleh kelompok usaha lainnya.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-51
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Sedangkan 4 kelompok lain bergerak di sektor budidaya yaitu 1) budidaya Ikan


Nila oleh Karang Taruna Laskar Nusa dengan penerima manfaat 30 orang,
kapasitas produksi 30.000 ekor nila atau 3,6 ton/periode panen, 2) budidaya
tanaman jahe merah, labu madu, labu sayur, terung, mentimun, kangkung serta
usaha ternak sapi, domba, kambing dan ikan nila dengan 65 orang pekerja oleh
Kelompok Tani Karya Trans Mandiri (KTM) pada lahan seluas 1.5 ha, 3) budidaya
tanaman hortikultura oleh Kelompok Wanita Tani (KWT) Maju Bersama
beranggotakan 15 ibu rumah tangga dengan luas garapan 0,5 Ha dan estimasi
nilai produksi mencapai Rp 66,8 juta, dan 4) budidaya jahe merah oleh KWT
Mekar Wangi yang beranggotakan 130 ibu rumah tangga dari 13 RT dengan
kapasitas produksi mencapai mencapai lebih dari 7 ton dengan estimasi nilai
produksi Rp 180 juta.

Succes Story program PPM Unja tidak terlepas dari tindak lanjut yang dilakukan
PT. Wira Karya Sakti dalam dengan program DMPA sejak tahun 2017, Program
DMPA (Desa Makmur Peduli Api) yang diinisiasi oleh Asian Pulp and Paper Sinar
Mas bertujuan membangun hubungan harmonis dengan komunitas yang berada
sekitar konsesi dan sebagai solusi jangka panjang mencegah karhutla. Bukti
keberhasilan program terlihat dari berbagai penghargaan yang diperoleh Desa
Datran Kempas antara lain a) penghargaan Proklim bagi Kelompok Masyarakat
Peduli Api (MPA) pada Kategori Program Kampung Iklim Utama dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, b) penghargaan sebagai Kepala Desa
terbaik lomba Kades dan Lurah tingkat Provinsi Jambi (regional) tahun 2018 dari
Dirjend Bina Pemerintahan Desa Kemendari RI, c) penghargaan bagi TP PKK
atas partisipasi dan dukungan menjadi yang terbaik tingkat regional Provinsi
Jambi berupa tropi dan pandel dari Kemendari, dan d) perwakilan Jambi dalam
Pekan Inovasi Perkembangan Desa dan Kelurahan (Pindeskel), di Kompleks
Garuda Wisnu Kencana, Badung, Bali.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-52
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-53
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

3.4. Pembelajaran Apa yang Bisa Diambil?.

Berbagai fenomena yang menggambarkan fluktuasi perkembangan usahatani


terintegrasi memberi banyak pembelajaran bagi para pelaku (praktisi), akademisi
dan peneliti serta pengambil kebijakan pembangunan peternakan sapi potong.
Bagi rumah tangga petani, fenomena eksternal yang terjadi memberikan
pembelajaran antara lain a) daya tahan ekonomi rumah tangga akan rentan dan
mudah tergoncang jika usahatani bersifat monokultur dan b) usaha peternakan
sapi potong tidak hanya mampu memberi nilai tambah berupa pertambahan bobot
badan dan perkembangan populasi (kelahiran anak) tetapi juga menyediakan
kebutuhan pendukung ekonomi keluarga dan usahatani tanaman, dan c). nilai
pupuk organik, pestisida dan herbisida alami yang dihasilkan bahkan berpotensi
lebih besar dibanding produk utama.

Bagi para akademisi dan peneliti memberi


pembelajaran bahwa diversifikasi usaha
untuk memperkuat daya tahan dan
keberlanjuan ekonomi rumah tangga
petani belum cukup kuat jika tidak diiringi
dengan hubungan saling melengkapi dan
saling menguntungkan antar cabang
usaha seperti dalam sistem terintegrasi.
Makna integrasi juga harus dipahami lebih luas sebagai penggunaan sumberdaya
bersama secara kolektif dan bukan dimaknai terbatas sebagai kegiatan lebih dari
satu cabang usahatani pada lahan yang sama. Reposisi peran dan kedudukan
peternakan sapi potong tidak harus menjadi yang utama dengan mendorong
usaha ternak sapi menjadi sumber pendapatan (pekerjaan) utama, tetapi
biarkanlah tetap sebagai cabang usaha pendamping yang mampu berkontribusi
positif bagi usaha tani baik tanaman pangan maupun perkebunan dan
pendapatan rumah tangga petani.

Reposisi akan lebih bermakna dan berdaya guna jika usaha ternak sapi mampu
menjadi solusi pemecahan masalah yang dihadapi petani sebagaimana
kehadiran peternakan sapi potong mengatasi masalah dampak krisis ekonomi
(1997) dan krisis ekonomi global (2008), dampak negatif asap tebal kabakaran
hutan dan lahan (2015) yang menyebabkan turunnya produktivitas tanaman

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-54
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

perkebunan. Usaha peternakan juga potensial mengambil peran dalam berbagai


program seperti pengendalian kejadian karhutla, mempersiapkan rumah tangga
petani dalam menghadapi program peremajaan tanaman perkebunan seperti
kelapa, kelapa sawit dan karet terutama terkait masalah kehilangan pendapatan
sementara (temporary lost income) program peremajaan. Program peremajaan
atau replanting akan menyebabkan kehilangan pendapatan rumah tangga yang
berlangsung sejak awal dan selama proses peremajaan sampai tanaman
perkebunan dapat berproduksi ekonomis kembali. Usaha peternakan sapi potong
dan pemanfaatan limbah diharapkan dapat menjadi pengganti pendapatan yang
hilang dan diperkirakan akan dialami rumah tangga selama 4 - 5 tahun.

Bagi pengambil kebijakan bahwa


kebijakan antisipatif selayaknya lebih
diprioritaskan dibanding kebijakan
responsif yang terpikirkan setelah suatu
peristiwa terjadi. Pada masa akan datang,
kebijakan pembangunan peternakan
diharapkan lebih komprehensif, konsisten,
terintegrasi dan berkelanjutan serta dapat
diimplementasikan secara kolektif dan partisipatif dengan mulai meninggalkan
ego sektoral apalagi ego kekuasaan dan bidang keilmuan. Hindarilah kebijakan
pembangunan yang tidak hanya menimbulkan ketidak pastian pelaksana teknis
dan pelaku usaha di lapangan tetapi juga menyebabkan pemborosan
sumberdaya pembangunan.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-55
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-56
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pembangunan merupakan suatu proses


perubahan dalam suatu negara seperti
struktur, kelembagaan dan lainnya untuk
mencapai suatu pertumbuhan, dimana
pertumbuhan itu sendiri dimaknai
sebagai peningkatan pendapatan
(income) perkapita atau kesejahteraan
(welfare) akibat pergeseran kemampuan
produksi. Persyaratan dasar dalam
pembangunan ekonomi adalah
a) atas dasar kekuatan sendiri yaitu
hasrat untuk memperbaiki diri harus
muncul dari diri sendiri dan tidak
dapat dicangkokkan dari negara lain,
b) menghilangkan imperfect market
yaitu ketidaksempurnaan pasar
penyebab “immobility factor” dan
menghambat ekspansi sektoral
dalam pembangunan,
c) perubahan struktural yaitu peralihan
dari masyarakat pertanian tradisionil
menuju industri modern yang
mencakup kelembagaan, sikap
sosial dan motivasi kerja, dan
d) pembentukan modal yang menjadi
faktor penting dan strategis dalam
proses pembangunan atau kunci
utama pembangunan ekonomi.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-57
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

4.1. Konsep Dasar Pengembangan Kawasan

Pengembangan wilayah mengandung arti luas, namun pada prinsipnya


merupakan berbagai upaya yang dilakukan untuk memperbaiki tingkat
kesejahteraan hidup di wilayah tertentu, memperkecil kesenjangan pertumbuhan,
dan ketimpangan kesejahteraan antar wilayah. Konsep-konsep sebelumnya
umumnya didominasi oleh ilmu ekonomi regional, walaupun dalam penerapannya
lebih banyak tergantung pada potensi pertumbuhan setiap wilayah yang akan
berbeda dengan wilayah lainnya, baik potensi SDA, kondisi sosial budaya dan
ekonomi masyarakat, ketersediaan infrastruktur, dan lainnya. beberapa konsep
konvensional pengembangan wilayah yang berkembang dan bagaimana
keterkaitan konsep-konsep tersebut dengan tantangan eksternal dan internal di
Indonesia.

1. Konsep wilayah berbasis karakter sumber daya yang dimiliki yang umumnya
didasari atas adanya masalah-masalah ketidakseimbangan demografi suatu
daerah, tingginya biaya, turunnya taraf hidup masyarakat, ketertinggalan
pembangunan suatu daerah dengan daerah lainnya, dan adanya kebutuhan
yang sangat mendesak di daerah tertentu.

2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang dengan 3


kebijakan berbasis tata ruang, yaitu

a. Pusat Pertumbuhan yang menekankan pada perlunya investasi pada


suatu wilayah yang memiliki infrastruktur baik GUNA menghemat investasi
prasarana dasar dengan harapan perkembangan sektor unggulan dapat
mengembalikan modal dengan cukup cepat. Pengembangan wilayah di
sekitarnya diharapkan diperoleh melalui proses tetesan (trickle down
effect) ke bawah dan salah satu contoh implementasi di Indonesia adalah
kawasan andalan. Kawasan Andalan meski istilah tersebut tidak
sepenuhnya sama dengan konsep pusat pertumbuhan namun penentuan
kawasan andalan dimaksudkan sebagai kawasan yang dapat
menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya melalui pengembangan
sektor-sektor unggulan.

b. Integrasi fungsional pendekatan yang mengutamakan adanya integrasi


yang diciptakan secara sengaja di berbagai pusat pertumbuhan karena
adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini kemudian berkembang

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-58
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dengan konsep integrasi center–periphery fungsional yang bertujuan agar


terjadi ikatan kuat ke depan maupun ke belakang dari suatu proses
produksi.

c. Desentralisasi yang dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran


keluar dari sumber daya modal dan sumber daya manusia.

3. Konsep Pengembangan Wilayah Terpadu yang pada awalnya merupakan


upaya pembangunan wilayah-wilayah khusus yang bersifat lintas sektoral
dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta
penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah yang relatif tertinggal. Konsep
ini berorientasi pada strategi pemerataan pembangunan, yang dapat
berorientasi pada a) sektoral apabila terkait dengan beragamnya kegiatan
sektoral dalam satu wilayah, dan b) regional apabila terkait dengan upaya
suatu wilayah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan dari
suatu kawasan tertentu agar dapat memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih
meningkat. Sasaran utama dari program-program ini umumnya adalah
peningkatan kesejahteraan dan mutu sumber daya manusia, perbaikan mutu
lingkungan hidup kawasan, dan pembangunan wilayahnya.

4. Konsep pengembangan berdasarkan “cluster” yang terfokus pada keterkaitan


dan ketergantungan antara pelaku-pelaku (stakeholders) dalam suatu
jaringan kerja produksi, sampai kepada jasa pelayanan, dan upaya-upaya
inovasi pengembangannya.

Konsep pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu


dari semua kegiatan, yang didasarkan atas sumber daya alam yang ada dan
kontribusinya pada pembangunan suatu wilayah tertentu yang dapat dilakukan
melalui 4 pendekatan pengembangan wilayah berdasarkan karakter sumber daya
daerah, yaitu

1. Pendekatan pengembangan wilayah berbasis input yang dapat dikategorikan


atas beberapa kondisi antara lain:

a. Wilayah yang memiliki SDM banyak namun lahan dan SDA terbatas
maka “labor surplus strategy” cukup relevan untuk diterapkan dengan
tujuan utama menciptakan lapangan kerja yang bersifat padat karya dan
mengupayakan ekspor tenaga kerja ke wilayah lain.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-59
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

b. Wilayah berbasis input namun surplus sumber daya alam sebagai


upaya agar surplus sumberdaya alam dapat diekspor ke wilayah lain
baik dalam bentuk bahan mentah maupun bahan setengah jadi. Hasil
ekspor ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan impor
produk yang sangat terbatas di wilayah tersebut misalnya barang modal,
bahan baku, bahan penolong, dan barang konsumsi atau jasa.

c. Wilayah berbasis sumber daya modal dan manajemen yaitu strategi


yang berdasarkan pengembangan lembaga keuangan yang kuat
dengan sistem manajemen yang baik, yang dapat ditempuh oleh
wilayah yang memiliki keterbatasan dalam hal modal dan manajemen.

d. Wilayah berbasis seni budaya dan keindahan alam untuk wilayah


dengan potensi-potensi pantai dan pemandangan indah, seni budaya
menarik dan unik, dengan cara membangun transportasi, perhotelan
dan restoran, indutri-industri kerajinan, pelayanan travel, dan lainnya
yang terkait dengan pengembangan kepariwisataan.

2. Pendekatan pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan, yaitu


pendekatan yang menekankan pada pilihan komoditas unggulan suatu
wilayah sebagai motor penggerak pembangunan baik di tingkat domestik
maupun internasional. Peluang keberhasilan pembangunan dengan
mengarus utamakan pembangunan produk unggulan sebagai leading
commodity menjadi terbuka dengan semakin luasnya wewenang pemerintah
daerah dalam mengelola sumberdaya perekonomian. Peningkatan daya
saing wilayah difokuskan pada sektor-sektor ekonomi yang dapat berperan
sebagai penggerak ekonomi wilayah (regional economic prime mover), yang
diharapkan memberikan efek pengganda (mulitflier effects) terhadap
perekonomian daerah dan khususnya pada sektor basis (Rustiadi et al, 2009).
Sebuah produk (komoditas) dapat disebut unggulan dapat dilihat dari
beberapa perspektif, yaitu:

a. Perspektif Product Life-cycle disebut unggulan dengan melihat tahap


kematangan, apakah dalam tahap mature karena saat ini unggul
dibanding lain (meskipun kemungkinan besar akan mengalami decline
setelah melewati fase mature), atau saat ini tidak terlalu unggul namun
berpotensi besar unggul di masa depan (fase growth).

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-60
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

b. Perspektif Tujuan disebut unggulan dengan pertimbangan tindak lanjut


atau tujuan atau target yang ingin dicapai.

c. Perspektif Keberpihakan, disebut unggulan dengan melibatkan unsur


keberpihakan misalnya keperpihakan pada pengusaha lokal.

d. Perspektif Skenario Kebijakan, disebut unggulan apakah karena dilihat


dari kondisi saat ini (existing) tanpa melihat kontradiksi dengan skenario
normatif kebijakan pemerintah.

3. Pendekatan Pengembangan Wilayah Berbasis Efisiensi yang menekankan


pengembangan wilayah melalui pembangunan bidang ekonomi yang
porsinya lebih besar dibandingkan dengan bidang-bidang lain dalam
kerangka pasar bebas.

4. Pendekatan Pengembangan Wilayah Berbasis Pelaku Pembangunan.


Peranan setiap pelaku pembangunan menjadi fokus utama dalam
pengembangan wilayah konsep ini. Pelaku pembangunan ekonomi dapat
dipilah dalam 5 kelompok yaitu a) usaha kecil/rumah tangga (household),
lembaga sosial (non-profit institution), lembaga non keuangan (non-financial
institution), lembaga keuangan (financial institution), dan pemerintah
(government). Khusus di Indonesia, di samping ke-5 pelaku tersebut, juga
terdapat pelaku pembangunan ekonomi lain yaitu koperasi (UUD 1945).

4.2. Pengembangan Kawasan Peternakan

Arah pembangunan sub sektor peternakan adalah meningkatkan populasi


maupun produksi ternak dan hasil ikutannya. Target utama pembangunan
peternakan adalah mendongkrak pendapatan rumah tangga petani ternak melalui
diversifikasi pangan dan perbaikan mutu gizi masyarakat serta mengembangkan
pasar ekspor dalam kerangka mencapai kedaulatan pangan. Salah satu strategi
adalah pengembangan kawasan “cluster” peternakan guna menjamin
keberlanjutan pra-produksi, proses produksi, dan pasca produksi dalam sistem
agribisnis termasuk terhimpunnya SDM peternakan terampil dalam suatu
kawasan yang akan memudahkan pembinaan dan peningkatan keterampilan.
Klaster (cluster) adalah konsentrasi geografis berbagai kegiatan di kawasan
tertentu yang satu sama lain saling melengkapi, saling bergantung, dan saling
bersaing dalam melakukan aktivitas bisnis.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-61
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pengembangan komoditas ternak sapi sebagai komoditas unggulan dilakukan


melalui pendekatan kawasan yang diklasifikasikan atas 3 kelompok, yaitu

a. Kawasan Nasional yang ditetapkan berdasarkan SK Mentan dalam memilih


komoditi dan lokasi yang dikembangkan secara nasional dengan fasilitas
APBN (dilengkapi dokumen SID dan Roadmap) didukung APBD dan swasta.

b. Kawasan Provinsi yang ditetapkan berdasarkan SK Gubernur dalam memilih


komoditas dan lokasi pengembangan potensial provinsi dengan fasilitas
APBD Provinsi didukung oleh APBN, APBD Kabupaten dan Swasta.

c. Kawasan Kabupaten yang ditetapkan berdasarkan SK Bupati dengan fasilitas


APBD Kabupaten didukung APBD Provinsi, APBN dan Swasta.

Kawasan peternakan adalah suatu wilayah dengan batas-batas tertentu yang


didalamnya terdapat bangunan dan sarana produksi lain dengan berbagai
aktivitas kegiatan yang berkaitan dengan usaha peternakan mulai dari pengadaan
input, budidaya sampai kegiatan lain pasca panen (jual beli dan pemotongan).
Menurut Dirjend PKH (2014) bahwa pengembangan kawasan peternakan
menjadi penting (urgensi) untuk 1) menghindari tumpang tindih antar kegiatan dan
eksternalitas negatif, serta meningkatkan efektifitas dan efisiensi pelayanan jasa
penunjang, 2) menjamin keberlanjutan kegiatan pra-produksi, proses produksi,
pasca produksi dalam sistem agribisnis, 3) memudahkan keterkaitan antar
komoditas, 4) terhimpunnya SDM yang terampil dalam suatu kawasan
memudahkan dalam pembinaan dan peningkatan keterampilannya, dan 5)
memudahkan dalam monitoring, pengawasan dan publikasi. Selanjutnya
dinyatakan bahwa arah dan kebijakan pengembangan kawasan adalah

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-62
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

1. Efisiensi dan Efektivitas Pelayanan Teknis dan Ekonomis: Pelayanan teknis


(IB, Keswan, Pakan, Bibit) dan pelayanan ekonomis (pasar, RPH, perkreditan
dan permodalan) yang terbatas dana, sarana dan tenaga menjadi lebih
terfokus untuk satu kawasan.

2. Pemasaran Hasil Lebih Ekonomis/Pelayanan Pasar: pelayanan pemasaran


hasil dapat menjadi lebih ekonomis karena dengan cluster memungkinkan
terjadinya pemasaran hasil bersama.

3. Peningkatan Investasi: Melalui pengembangan kawasan dapat dikembangkan


investasi yang menarik bagi semua pihak karena sudah tersedia ternak dan
pelayanan‐pelayanan bersifat teknis dan ekonomis

4. Pusat Pertumbuhan Komoditas: Pengembangan kawasan pada akhirnya


dapat diarahkan menjadi sentra‐sentra produksi utama suatu komoditas yang
mengarah kepada keunggulan komparativ suatu wilayah (One Village One
Product)

Pada suatu kawasan peternakan sapi potong satu rumah tangga peternak
memiliki 2 - 3 ekor sapi potong dimana satu cluster terdiri dari Gapoktan dengan
jumlah minimal ternak 300 ekor (Gambar 4.1).

INDUSTRI

RTP INFRASTRUKTUR
KONSUMEN
RTP
RTP

RTP KOMODITAS KELEMBAGAAN


RTP
HOREKA

PERMODALAN
RTP RTP DAN USAHA
RT
RTP

TRANSPORTASI

Gambar 4.1.
Model Pengembangan Cluster

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-63
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Jumlah ternak ini sudah dianggap memenuhi syarat minimal untuk disebut
sebagai skala ekonomi sehingga memerlukan layanan teknis yaitu layanan
perbibitan, budidaya, pakan, layanan kesehatan hewan dan layanan kesehatan
masyarakat veteriner. Selain itu, satu clusternya masih diperlukan layanan
bersifat ekonomi dan kelembagaan yaitu layanan infrastruktur terpadu yang
mencakup pengolahan dan pemasaran, layanan permodalan, layanan
transprortasi yaitu untuk pengangkutan ternak dan jalan usaha tani serta layanan
pendampingan (kelembagaan). Bentuk-bentuk layanan ekonomis ini dapat
menangani beberapa cluster dalam satu kawasan. Apabila cluster atau kawasan
sapi potong sudah terbentuk maka akan berjalan secara alami atau dibentuk
jaringan pemasaran kedaerah konsumen yaitu konsumen, hotel, restoran,
katering dan industri. Beberapa kriteria kawasan peternakan adalah 1) tingkat
perkembangan kawasan, 2) type kawasan, 3) potensi dasar kawasan, 4) jumlah
fasilitas layanan peternakan, 5) nisbah lahan pangan terhadap populasi penduduk,
6) kapasitas tampung ternak, 7) Indeks Konsentrasi Ternak, 8) Jarak ke sentra
pengembangan, 9) pengetahuan peternak dan lainnya.

Sejak jaman dahulu sampai saat ini dan ke depan, pola pemeliharaan ternak di
Indonesia akan tetap didominasi oleh usaha peternakan berskala kecil dengan
karakteristik sebagai berikut: 1) rata-rata kepemilikan ternak rendah 2) ternak
sebagai tabungan hidup, 3) dipelihara dalam pemukiman padat penduduk dan
dikandangkan di belakang rumah, 4) terbatas lahan pemeliharaannya sehingga
pakan harus dicari di kawasan yang seringkali jauh dari rumahnya, 5) usaha
beternak dilakukan secara turun temurun dan 6) jika tidak ada modal untuk
membeli ternak, mereka menggaduh dengan pola bagi hasil. Peternak berskala
kecil yang berjumlah 4.204.213 orang pada tahun 2011 menguasai lebih dari 98%
ternak sapi di Indonesia dengan jumlah masing-masing ternak sapi pedaging 14.8
juta ekor, sapi perah 0.597 juta ekor, kerbau 1.305 juta ekor, kambing 16.946 juta
ekor, domba 11.791 juta ekor, kuda 0.409 juta ekor, babi 7.525 juta ekor, ayam
lokal 264.340 juta ekor, dan itik 43.488 juta ekor. Jutaan peternak dan ratusan juta
ternak tersebut merupakan aset penting dalam membantu program pemerintah
menyediakan produk ternak bagi bangsa Indonesia.

Sentra Peternakan Rakyat (SPR) diilhami dari Sekolah Peternakan Rakyat yang
bertujuan untuk memberi ilmu pengetahuan kepada peternak berskala kecil
tentang berbagai aspek teknis peternakan dan nonteknis yang melandasi

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-64
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

terwujudnya perusahaan kolektif dalam satu manajemen yang dikelola oleh satu
manajer dalam rangka meningkatkan daya saing usahanya untuk meningkatkan
pendapatannya serta kesejahteraannya. Hasil yang diharapkan dari Sekolah
Peternakan Rakyat ini adalah a) Berdirinya perusahaan kolektif peternakan
berbadan hukum milik peternak berskala kecil yang dikelola secara profesional
dan proporsional, b) Ternak pedaging atau ternak perah atau ternak unggas yang
berkualitas dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan bagi masyarakat
Indonesia, c) Ternak bibit bersertifikat (pedaging, perah, atau unggas) untuk
memenuhi kebutuhan peternak lainnya, dan d) Kedaulatan peternak berskala
kecil dan posisi tawar yang lebih tinggi.

SPR ini berangkat dari filosofi bahwa pembangunan peternakan dan kesehatan
hewan yang mensejahterakan peternak rakyat hanya dapat diperoleh apabila
pemerintah dan para pihak melakukan berbagai upaya yang memperhatikan
prinsip satu manajemen, pengorganisasian (konsolidasi) pelaku, dan
pemberdayaan peternak dalam rangka
terwujudnya populasi ternak
berencana. SPR adalah pusat
pertumbuhan komoditas peternakan
dalam suatu kawasan peternakan
sebagai media pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan
yang di dalamnya terdapat satu
populasi ternak tertentu yang dimiliki oleh sebagian besar peternak yang
bermukim di satu desa atau lebih, dan sumber daya alam untuk kebutuhan hidup
ternak (air dan bahan pakan). SPR mengoptimalkan pelayanan (teknis, ekonomi,
pendampingan dan pemasaran), pemanfaatan sumber dana dan sumber daya
menuju bisnis kolektif yang diinisiasi melalui Sekolah-PR.

Sekolah-PR merupakan pengungkit dan agen perubahan dalam pengelolaan


kelembagaan dan SDM peternakan menuju terbentuknya usaha peternakan
kolektif yang mandiri dan berorientasi bisnis profit melalui pendampingan,
pengawalan, aplikasi teknologi dan informasi, transfer ilmu pengetahuan.
Konsepsi pengembangan SPR sebagaimana disajikan pada Gambar 4.2.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-65
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 4.2.
Konsepsi Pengembangan Sentra Peternakan Rakyat

Sesuai konsepsi tersebut diatas, pengembangan komoditas peternakan dan


kesehatan hewan akan menitikberatkan relasi antara lokus potensial, obyek
(ternak) dengan subyek (peternak). Secara garis besar prinsip pengembangan
SPR adalah sebagai berikut:

1. Satu manajemen: Pengelolaan usaha peternakan secara kolektif dalam satu


aturan menyangkut pelayanan teknis, pendampingan/ pengawalan, ekonomis,
dan pemasaran.

2. Penguatan pelayanan: Pemenuhan pelayanan teknis minimal dan kebutuhan


pelayanan lainnya untuk meningkatkan produksi ternak dan daya saing
peternakan. Contoh: Setiap SPR minimal harus ada Puskeswan dan Pos IB.

3. Penguatan kelembagaan: Membentuk organisasi SPR untuk mewujudkan


usaha peternakan yang berorientasi bisnis dan berbadan hukum.\

4. Peningkatan SDM: Meningkatkan kemampuan pengurus SPR (GPPT dan


Manajer) dalam pengelolaan organisasi dan kewirausahaan. Disamping itu,
juga meningkatkan kemampuan peternak dalam mengakses informasi, ilmu
pengetahuan, teknologi, serta penguatan kendali produksi dan pasca produksi
ternak.

5. Memenuhi Skala Usaha: Mengelola peternak skala kecil dengan kriteria


populasi tertentu sebagai produsen yang diorganisasi berorientasi bisnis.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-66
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

6. Kemandirian usaha: mendorong usaha peternakan menjadi usaha utama


sebagai usaha pokok untuk kesejahteraan peternak.

7. Integrasi kewenangan: membangun peternakan dan kesehatan hewan


diperlukan sinergi fungsi dan kewenangan pemangku kepentingan dalam hal
pengelolaan, diperlukan sinergi instansi pusat, daerah, perguruan tinggi/litbang,
sektor dan sub sektor lainnya. Sedangkan dalam hal penganggaran SPR
diperlukan sinergi antara APBN, APBD I, APBD II, Swasta, BUMN-D, dan
masyarakat.

8. Pendampingan dan pengawalan (Litbang dan PT): pendampingan dan


pengawalan diperlukan untuk transfer informasi dan teknologi secara efektif
dan efisien sesuai kondisi spesifik daerah baik oleh perguruan tinggi setempat
maupun instansi litbang (bagi daerah yang tidak ada perguruan tinggi).

9. Multi produk dan komoditas: produk yang dikembangkan dalam SPR tidak
hanya komoditas utama peternakan saja melainkan bisa juga produk di luar
peternakan.

Prosedur pembentukan SPR sangat ditentukan berbagai pihak, tidak hanya Ditjen
PKH. Partisipasi dalam bentuk usulan calon lokasi SPR dari masyarakat menjadi
penting dalam keberlanjutan SPR. Persetujuan dari Pemerintah Daerah menjadi
pondasi dan dukungan atas pembentukan SPR daerah. Keterlibatan Perguruan
Tinggi dan lembaga penelitian pertanian atau lembaga sejenisnya menjadi
penting untuk mendampingi SPR dalam melakukan transfer pengetahuan dan
teknologi, serta penguatan kapasitas peternak berskala kecil. Demikian halnya
dengan keberadaan GPPT sangat menentukan dalam hal membangun
kesadaran untuk bertindak secara kolektif dari peternak rakyat yang menjadi
sasaran dalam pelaksanaan SPR.Sebagai “perpanjangan tangan” Dirjen PKH,
keberadaan manajer penting untuk menyampaikan laporan terkait segala hal
yang terjadi di lapangan.

4.3. Kawasan Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi

Pembangunan peternakan terutama sapi potong sangat terkait dengan


sumberdaya lahan meskipun dalam pemeliharaannya tidak membutuhkan lahan
yang luas. Pada usaha peternakan sapi potong yang intensif sekalipun, meski
dalam pemeliharaan tidak membutuhkan lahan luas tetapi dalam memenuhi

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-67
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

kebutuhan hijauan pakan ternak tetap tergantung pada sumberdaya lahan. Pada
sisi lain, ketersediaan lahan secara khusus untuk peternakan sapi potong seperti
padang rumput atau pengembalaan sudah semakin sempit seiring dengan
perkembangan penduduk dan kebutuhan manusia terhadap lahan. Upaya-upaya
pemenuhan kebutuhan hijauan pakan ternak ini mendorong berbagai inovasi dan
alternatif pilihan termasuk dalam pemanfaatan limbah baik limbah tanaman
maupun industri pengolahan produk pertanian.

Pola pemikiran ini menjadi pertimbangan utama kebijakan pembangunan


peternakan sapi potong seperti di Provinsi Jambi, dimana pengembangan
kawasan selayaknya mengikuti sebaran komoditas sektor pertanian tanaman.
Jenis tanaman pertanian yang dipilih selain karena merupakan tanaman unggulan
daerah juga memiliki hamparan yang luas pada suatu kawasan sehingga limbah
yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan sumber pakan ternak sapi potong
dalam jumlah (skala) yang cukup besar. Beberapa komoditas pertanian yang
memiliki hamparan luas pada suatu wilayah di Provinsi Jambi adalah kelapa sawit,
karet, kopi, teh, tebu, kelapa dalam, pinang, dan jenis tanaman pangan lahan
basah (sawah). Tidak semua jenis komoditas tanaman tersebut memiliki limbah
tanaman dan indstri pengolahan yang memadai untuk pemenuhan kebutuhan
pakan ternak dalam jumlah besar seperti;

a. Tanaman Teh memiliki potensi limbah tanaman relatif kecil karena daun teh
adalah produk utama sehingga limbah hijauan relatif kecil dan lokasi terbatas
hanya di Kabupaten Kerinci dan milik BUMN Perkebunan.

b. Tanaman Kopi meskipun tersebar di beberapa wilayah seperti Kerinci,


Merangin, Tanjab Barat dan Tanjab Timur tetapi helai daun yang menjadi
limbah sangat sedikit (merusak tanaman jika langsung diambil) sedangkan
limbah kulit kopi jumlahnya relatif kecil.

c. Tanaman Pinang dan Kelapa Dalam merupakan tanaman yang banyak


tumbuh di kawasan pesisir timur Provinsi Jambi yaitu Kabupaten Tanjab
Barat dan Tanjab Timur. Daun dan pelepah pinang sebagai sumber utama
hijauan pakan volumenya relatif sedikit dan jika dimanfaatkan daun dan
pelepah jatuh membutuhkan sumberdaya (tenaga, waktu dan teknologi)
cukup besar untuk mengolahnya. Pada sisi lain, luasan tanam kedua jenis

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-68
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

komoditas ini mulai mengalami penurunan terutama akibat ekspansi


perkebunan kelapa sawit.

Pada sisi lain, beberapa komoditas potensial untuk menjadi sasaran


pengembangan kawasan adalah kelapa sawit, karet dan padi sawah dengan
pertimbangan untuk masing-masing komoditas sebagai berikut:

a. Tanaman Kelapa Sawit merupakan komoditas unggulan Provinsi Jambi


dengan luasan terbesar (657,93 ribu Ha) diantara komoditas perkebunan
lainnya. Potensi terbesar perkebunan sawit sebagai sumber pakan ternak
adalah pelepah sawit yang diperoleh dari pemotongan pelepah setiap habis
panen buah sawit. Potensi lainnya adalah tandan buah kosong dan limbah
industri pengolahan seperti bungkil dan lumpur sawit.

b. Tanaman Karet juga merupakan komoditas unggulan dan bahkan disebut


sebagai tanaman tradisonal masyarakat Provinsi Jambi dengan luasan
sekitar 384,78 ribu Ha. Meskipun luas arealnya lebih rendah dibanding sawit
tetapi jumlah rumah tangga petani karet (255.66 KK) adalah yang terbesar.
Potensi sumber bahan pakan dari tanaman karet tidak terlalu besar seperti
dari daun dan biji karet yang jatuh (butuh proses dan teknologi pengolahan),
tetapi memilik komoditas ini lebih pada pertimbangan sosial budaya. Selain
jumlah rumah tangga serta menjadi komoditas perkebunan tradisional, juga
pola diversifikasi seakan sudah melekat pada rumah tangga petani karet.
Petitih Jambi yang berbunyi “Ado Padi Segalo Jadi, Ado Ternak Segalo Enak
dan Ado Parah Segalo Murah” mengandung makna diversifikasi usaha dalam
rumah tangga. Petitih itu mengandung arti bahwa jika padi (humo) sudah ada
maka hidup akan aman (life security), jika ada ternak maka apapun yang
dilakukan termasuk untuk keperluan dengan kebutuhan biaya besar seperti
perkawinan, sekolah dan bahkan ibadah haji maka ternak akan menjadi
andalan. Terakhir, ada parah (getah) yang mengalir terus maka berapapun
harga kebutuhan harian akan terasa murah (uang tersedia sepanjang waktu).

c. Tanaman Padi Sawah luas areal sawah 113,55 ribu Ha dan luas panen
125,67 ribu Ha adalah tulang punggung ketahanan pangan daerah dan
menjadi kewajiban semua pihak untuk mempertahankannya. Perlunya
insentif bagi rumah tangga petani padi sawah merupakan syarat mutlak bagi
menjaga kelestarian lahan pangan seperti yang diamantkan Undang-undang

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-69
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan


Berkelanjutan. Potensi limbah tanaman padi sawah (jerami) dan industri
pengolahan (dedak dan bekatul) merupakan sumber pakan ternak sapi yang
potensial, sedangkan pemanfaatan pupuk kompos asal ternak sapi
diharapkan mampu memberikan insentif keuntungan yang lebih tinggi
(efisiensi biaya) bagi RT petani sawah.

d. Tanaman Tebu pada dasarnya memiliki potensi besar untuk mendukung


perkembangan peternakan sapi potong karena memiliki potensi limbah
tanaman dan pengolahan yang cukup besar. Pohon tebu yang tidak
digunakan (batang bagian atas dan daun) serta limbah pengolahan
merupakan sumber pakan ternak sapi yang baik tetapi pola panen yang
bersifat musiman (sekali panen) menyebabkan volume ketersediaannya juga
bersifat musiman dan luas hamparan tanaman tebu masih sangat terbatas
sehingga belum menjadi prioritas utama untuk sementara waktu.

4.4. Interaksi Antar Komoditas Pada Sistem Integrasi

Menurut FAO secara garis besar sistem produksi ternak di dunia dapat dibagi
menjadi 1) sistem produksi berbasis ternak (solely livestock production system),
dimana 90% bahan pakan dihasilkan "on farm" dan penghasilan kurang dari 10%
dari kegiatan non peternakan, dan 2) sistem campuran (mix farming system),
dimana pakan ternak memanfaatkan hasil sampingan tanaman. Berbasis
klasifikasi tersebut diatas, maka sesuai strategi pengembangan kawasan
diharapkan akan tercipta sentra-sentra pertumbuhan peternakan baru, dimana
komoditas ternak menjadi unggulan (solely livestock production system) atau
komoditas ternak hanya sebagai penunjang dan atau menyatu dengan usaha tani
lainnya (mix farming system).

4.4.1. Kawasan Integrasi Sapi Sawit

Pengembangan kawasan integrasi sapi-sawit meskipun belum tertata dengan


baik tetapi sudah mulai berkembang di Provinsi Jambi baik oleh peternakan
rakyat secara individual maupun kelompok maupun oleh swasta atau dunia usaha.
Sumber potensi pakan terbesar (utama) dalam integrasi sapi sawit adalah
pelepah sawit sedangkan untuk limbah tanaman lain seperti tandan buah kosong
dan serat sawit akan lebih efektif dan efisien digunakan sebagai bahan baku

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-70
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

campuran limbah padat kandang untuk pembuatan pupuk kompos. Konsep dasar
integrasi sapi sawit lebih pada pemanfaatan sumberdaya bersama (Gambar 4.3)
dibanding dengan sekedar pemanfaatan SD lahan bersama (Gambar 4.4). Pola
Integrasi sapi sawit yang dilakukan para buruh kebun dan masyarakat sekitar
areal perkebunan kelapa sawit PTPN VI di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten
Bungo. Pemeliharaan ternak sapi hampir mendekati sistem pemeliharaan
ekstensif, dimana ternak sapi dipelihara dalam kandang koloni milik kelompok dan
pada jam tertentu dilepas atau digembalakan pada areal perkebunan sawit.
PEMELIHARAAN

PEMELIHARAAN
TANAMAN

TANAMAN

Gambar 4.3.
Pola Interaksi Tinggi Wilayah Integrasi Sapi Sawit

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-71
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 4.4.
Pola Interaksi Rendah Wilayah Integrasi Sapi Sawit

Sistem integrasi seperti ini memiliki keunggulan antara lain efisien dalam tenaga
kerja sehingga seorang peternak dapat memelihara puluhan ternak sapi. Pada
sisi lain, sistem ini potensial menimbulkan konflik antara pemilik kebun
(perusahaan) dengan peternak karena adanya kekuatiran akan menurunkan
produktifitas tanaman sawit. Over grazing (pengembalaan berlebihan) tidak hanya
potensial menimbulkan kerusakan pada tanaman tetapi juga pada lahan karena
adanya injakan ternak sapi menyebabkan terganggunya akar tanaman
permukaan tanaman sawit dan pemadatan akibat injakan ternak sapi dalam
jumlah besar. Potensi kematian pada ternak sapi akibat keracunan dapat saja
terjadi karena tercemarnya rumput dari sisa pestisida dan herbisida yang
digunakan pemilik kebun untuk pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman.
Pola ini pada dasarnya memiliki sifat keterkaitan antara tanaman dan ternak
lemah karena hanya memanfaatkan hijauan antar tanaman (HAT) sawit.

4.4.2. Kawasan Integrasi Sapi Karet

Tanaman karet tidak memiliki potensi besar dalam penyediaan pakan ternak sapi
seperti halnya perkebunan kelapa sawit karena terbatas hanya daun dan biji karet
yang jatuh. Pada sisi lain, teknologi pengolahan kedua sumber pakan potensial itu
sampai saat sekarang belum begitu efisien dan aplikatif di lapangan (masyarakat).
Untuk itu upaya pengayaan sumberdaya pakan dari areal perkebunan karet

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-72
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sangat dibutuhkan baik melalui tanaman hijuan sela (tutupan areal perkebunan
tidak serapat tanaman sawit), tanaman pagar (pembatas) dan areal
pengembalaan sekitar kebun. Sebagaimana sebelumnya dijelaskan bahwa
pemilihan integrasi sapi karet lebih pada pertimbangan sosial, ekonomi dan
budaya. Pada aspek sosial ekonomi, tanaman karet merupakan komoditas
perkebunan rakyat terluas dan rumah tangga terlibat terbesar. Pada aspek sosial
budaya upaya mempertahankan pola diversifikasi tradisional (karet, kerbau dan
sawah) guna meningkatkan daya tahan ekonomi rumah tangga tetapi dengan
perubahan komoditas kerbau menjadi sapi potong. Interaksi antara komoditas
karet dan sapi masih potensial ditingkatkan dengan pola seperti Gambar 4.5.
PEMELIHARAAN
TANAMAN

Gambar 4.5.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Karet

Pola interaksi antara komoditas dalam integrasi sapi karet relatif rendah dan
kurang seimbang dimana kontribusi peternakan dalam mendukung usaha tani

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-73
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

karet relatif lebih besar dibanding dengan sebaliknya. Kapasitas perkebunan


karet yang rendah dalam penyediaan sumber pakan ternak sapi membutuhkan
dukungan sumber pakan lainnya. Jika usahatani pada wilayah perkebunan karet
rakyat masih terdisversifikasi dengan tanaman pangan lainnya baik ladang
maupun sawah maka limbah tanaman pangan dapat menjadi alternatif pilihan.
Sebaliknya, jika tidak terdiversifikasi dengan tanaman pangan maka program
budidaya rumput unggul menjadi pilihan baik melalui pengembangan kebun
rumput, tanaman hijauan pakan sela tanaman karet muda maupun tanaman
pagar dan pekarangan.

4.4.3. Kawasan Integrasi Sapi Tanaman Pangan

Pola interaksi antara tanaman pangan terutama padi sawah dengan ternak sapi
sebagaimana pada integrasi sapi sawit akan lebih erat dibanding dengan interaksi
antara sapi dan karet. Limbah tanaman dan industri pengolahan produk pangan
menyediakan sumber pakan bagi ternak sapi dan sebaliknya ternak sapi mampu
menyediakan sumber unsur hara (pupuk organik) bagi tanaman pangan.
Komoditas tanaman pangan berdasarkan kondisi lahan budidaya dapat
diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar yaitu tanaman pangan lahan basah
dengan komoditas tunggal padi sawah, dan tanaman pangan lahan kering
dengan komoditas lebih bervariasi seperti jagung, kedele, padi ladang, ubi-ubian
dan bahkan sorghum. Secara umum pola interaksi antar komoditas pada kedua
kelompok hampir sama tetapi dalam penanganannya akan sedikit berbeda satu
sama lainnya.

Pada integrasi sapi sawah limbah industri pengolahan dapat dioptimalkan karena
merupakan bagian dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Hal ini
berbeda dengan limbah industri pengolahan kelapa sawit yang umumnya adalah
milik perusahaan swasta sehingga membutuhkan suatu ikatan perjanjian dalam
pemanfaatannya. Artinya, terdapat 2 kelompok limbah pertanian yang dapat

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-74
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dioptimalkan manfaatnya untuk mendukung pengembangan kawasan integrasi


sapi sawah, yaitu:

a. Limbah tanaman yaitu jerami padi yang dapat dilakukan proses pengolahan
baik basah (silase) maupun kering (hay). Kedua metode pengolahan
bertujuan untuk meningkatkan stock pakan ternak sapi yang dipelihara oleh
rumah tangga peternak. Penggunaan lain dari jerami padi adalah sebagai
bahan baku dalam pengembangan pupuk organik melalui proses komposing
yang dapat dilakukan langsung pada areal persawahan maupun pada unit
pengolahan limbah terpadu milik kelompok. Pilihan dan cara pemanfaatan
jerami sangat tergantung pada ketersediaan teknologi meskipun dalam
prakteknya jerami padi yang diolah sebagai pakan ternak tetap akan berujung
pada pemanfaatan sebagai pupuk organik padat (biokompos) dan cair
(biourine).

b. Limbah industri pengolahan padi dapat berupa bekatul dan dedak yang
potensi menjadi sumber pakan konsentrat untuk ternak sapi, serta sekam
padi yang potensial sebagai bahan baku pupuk organik padat.

Pola interaksi antar komoditas dalam kawasan integrasi sapi sawah (Gambar 4.6)
menunjukkan suatu pola pemanfaatan limbah yang saling terkait satu sama
lainnya.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-75
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 4.6.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Padi

Pola interaksi yang sama juga terjadi dalam integrasi sapi dan pangan lahan
kering tetapi tidak semua komoditas pangan dapat dimanfaatkan limbah industri
pengolahan. Beberapa pola pemanfaatan limbah tanaman yang potensial dalam
integrasi sapi pangan lahan kering adalah jagung, sorghum, kedele, dan
holtikultura (sayuran).

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-76
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 4.7.
Potensial Integrasi Sapi Pangan Lahan Kering

4.4.4. Kawasan Integrasi Sapi Tebu

Model integrasi sapi dengan tebu saling


mendukung satu sama lain karena
produk ikutan tebu dapat dimanfaatkan
secara optimal sebagai bahan baku
pakan alternatif ternak sapi potong.
Pada sisi lain, limbah ternak sapi
berupa feses, urin dan sisa-sisa
makanan dapat dimanfaatkan sebagai
sumber bahan baku pupuk organik, yang sangat berguna bagi kesuburan
tanaman tebu. produk ikutan dapat dihasilkan dari industri gula tebu (atau
pengolahan tanaman tebu adalah

a. Pucuk tebu merupakan ujung atas batang tebu berikut 5 - 7 helai daun yang
dipotong dari tebu yang dipanen (13 - 15% bobot panen atau ±3,8 ton/ha
bahan kering) dengan daya tampung ±1,4 ST sapi/Ha/tahun.

b. Daun kletekan adalah daun tebu yang diperoleh dengan cara melepaskan 3-4
daun tebu sebelum dipanen, pada saat tebu berumur 4, 6 dan 8 bulan yang
masing-masing disebut kletekan 1, 2 dan 3.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-77
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

c. Sogolan adalah tunas-tunas tebu yang diafkir yang bersama daun kletekan
merupakan sumber pakan ternak potensial didayagunakan baik secara
langsung maupun diolah dahulu.

d. Ampas Tebu adalah salah satu sisa produksi pembuatan gula, yang
merupakan hasil limbah kasar setelah tebu digiling (Serat kasar cukup tinggi
yang terdiri dari sellulosa, pentosan dan lignin sehingga dapat digunakan
sebagai sumber serat kasar ternak ruminansia dengan batas penggunaan
maksimum 25% total pakan).

e. Empulur Ampas Tebu (baggase pith) merupakan hasil samping dari


pengolahan ampas tebu (bagasse) yang telah diambil seratnya untuk
keperluan serat kertas.

f. Tetes adalah cairan kental hasil ikutan pemurnian gula yang merupakan sisa
nira yang telah mengalami proses kristalisasi.

g. Blotong adalah kotoran yang dapat dipisahkan dengan proses penapisan


dalam proses klarifikasi nira dan mengandung bahan organik, mineral, protein
kasar dan gula yang masih terserap di dalam kotoran tersebut.

Berdasarkan kondisi eksisting industri tebu Provinsi Jambi yang masih berupa
pengolahan tebu rakyat untuk produksi gula merah, maka hanya beberapa produk
ikutan yang tersedia yaitu ampas
tebu dan tetes. Sebagaimana
halnya kelapa sawit, maka
penyediaan sumber pakan dari
limbah tanaman tebu dapat
berlangsung sepanjang musim
tanam yaitu daun kletekan dan
sogokan sepanjang masa
pemeliharaan, pucuk tebu pada saat pasca panen dan ampas tebu dan tetes
pada pengolahan hasil (Gambar 4.8).

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-78
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

KEBUTUHAN PUPUK
TANAMAN

Gambar 4.8.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Tebu

4.5. Profil Investasi Tanaman dan Ternak Sapi

Sistem integrasi tanaman dan ternak sapi pada skala usaha tani rakyat lebih
efektif jika dilakukan melalui aksi kolektif dengan dukungan pemerintah. Pada
bagian ini akan dibahas 2 contoh model kelayakan program pemerintah yaitu IFS
Pangan Sapi dan IFS Sawit Sapi (ISS PT. Perkebunan Nusantara VI). Salah satu
program prioritas Pemperintah Provinsi Jambi adalah pengembangan wilayah
integrasi sapi potong dengan komoditas pertanian lain. Pogram pembangunan
agribisnis ternak sapi potong dengan pendekatan Spesialisasi Terintegrasi
Agribisnis Sapi Potong (SPINTAS). SPINTAS merupakan integrasi antara
spesialisasi usaha dengan divisi tugas dan wewenang tertentu masing-masing

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-79
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

pihak pada suatu lokasi sentra pengembangan ternak sapi potong, dengan uraian
definsi sebagai berikut:
1. Spesialisasi menunjukkan bahwa setiap kegiatan dilakukan oleh kelompok
tertentu yang terdiri dari pengolahan limbah perkebunan/pangan menjadi
pakan ternak, usaha pembibitan (breeding), penggemukan (fattening), dan
pengolahan produk sampingan (by product).
2. Terintegrasi menunjukan bahwa usaha-usaha tersebut dilakukan pada lokasi
sentra pengembangan (cluster industries) dalam bentuk integrasi antara;
a. Integrasi usaha yaitu usaha pengolahan pakan ternak dari limbah
pertanian, usaha pembibitan dan penggemukan, dan usaha pengolahan
produk utama dan sampingan
b. Integrasi konsep pembangunan yaitu pemberdayaan masyarakat sebagai
implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (Coorporate Social
Responsibilities), sentra pembibitan perdesaan (Village Breeding Center),
peningkatan nilai tambah (value added) melalui manajemen usaha tanpa
limbah (Zero Waste Management), dan perlindungan betina produktif atau
Unit Reproduction Control (URC), serta konsep percepatan diffusi dan
pemanfaatan IPTEK.
c. Integrasi tugas dan wewenang masing-masing pihak yaitu pemerintah
daerah melalui SKPD terkait, perusahaan swasta baik perkebunan
maupun no-perkebunan, perguruan tinggi serta masyarakat peternak.
3. Agribisnis sapi potong menunjukkan bahwa cakupan kegiatan adalah dari
hulu sampai hilir yang terdiri dari;
a. Penyediaan faktor produksi seperti bibit, dan pakan ternak, dan sumber
pembiayaan investasi dan modal kerja,
b. Budidaya ternak yang tercakup dalam usaha pembibitan (breeding) dan
penggemukan (fattening) dengan hubungan dan aturan kelembagaan
yang disepakati secara bersama.
c. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung serta faktor pendukung lain
berupa penyediaan Pos Pelayanan Terpadu (PPT) untuk pelayanan IB
dan Keswan.
d. Pemasaran dan pengolahan hasil baik langsung ke pasar (ternak hidup)
maupun melalui Rumah Potong Hewan (daging) serta langsung

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-80
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

konsumen (rumah tangga atau perusahaan) untuk produk sampingan


berupa bio-gass dan pupuk organik.
Berdasarkan kepada hal tersebut dalam rangka menindak lanjuti program dalam
roadmap komoditas unggulan daerah Provinsi Jambi maka dirasa perlu untuk
melakukan suatu kajian untuk menilai kelayakan pengembangan wilayah integrasi.
Tujuan kegiatan adalah untuk mengevaluasi tingkat kelayakan pengembangan
wilayah integrasi ternak sapi potong dengan tanaman pangan (padi sawah) dan
perkebunan (sawit).

4.5.1. Integrasi Tanaman Pangan dan Ternak Sapi

Pola integrasi yang dikembangkan adalah usaha peternakan sapi potong untuk
tujuan ganda (multi objective) yaitu produksi ternak bibit dan penggemukan.
Pengembangan dilakukan pada kawasan sentra tanaman pangan dan hortikultura
dengan luas hamparan 25 Ha yang diusahakan oleh 50 rumah tangga petani atau
rata-rata setiap RTP mengusahakan 0,5 Ha tanaman pangan. Sasaran awal
kegiatan adalah 25 KK yang dibagi dalam 5 kelompok petani peternak sapi. Pada
tahap awal akan didistribusikan 105 ekor ternak sapi yang terdiri dari 50 ekor
betina, 5 ekor pejantan dan 50 ekor bakalan. Ternak betina dewasa (induk)
merupakan ternak gaduhan dan harus dikembalikan kepada pemerintah (pemilik
modal) dalam bentuk 2 ekor ternak sapi remaja Pemeliharaan untuk betina
dilakukan secara semi intensif (digembalakan pada siang hari dan dikandangkan
pada malam hari secara berkelompok). Tujuan pengandangan induk dan
dicampur pejantan secara berkelompok adalah untuk meningkatkan efektifitas
perkawinan alami, dengan tingkat kelahiran mencapai 70%.

Teknologi yang diaplikasikan adalah fermentasi jerami padi dengan


menggunakan mikroorganisme (EM4), serta pengembangan stok hijauan pakan
ternak berupa budidaya rumput unggul pematang sawah dan pekarangan serta
pembangunan kebun hijauan pakan kelompok. Pupuk organik yang dihasilkan
akan digunakan sebagai substitusi pupuk an-organik untuk tanaman pangan
sendiri dan pemeliharaan tanaman hijauan pakan ternak sehingga biaya pupuk
hanya untuk pupuk dasar tanaman pangan (hasil wawancara dengan petani
pangan peternak di Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung). Pupuk
kandang atau kompos yang dihasilkan digunakan sendiri dan tidak untuk dijual,
sehingga nilai manfaat dihitung dari perubahan produktivitas tanaman padi.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-81
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Perhitungan biogas berdasarkan interview peternak gaduhan PT. Petrochina di


Desa Geragai Kabupaten Tanjabtim, dimana setiap 3 - 4 ekor ternak sapi yang
dipelihara mampu menghemat penggunaan bahan bakar fosil (minyak tanah)
untuk memasak. Pemakaian minyak tanah untuk memasak setiap keluarga
adalah 2 liter/hari atau setara dengan Rp. 5.000 (harga Rp. 2.500/liter). Dedak
padi dimanfaatkan sebagai sumber konsentrat yang pemberiannya dapat
dicampur dengan rumput hasil rambanan dan rumput unggul budidaya untuk
ternak sapi penggemukan.

KONSENTRAT

FERMENTASI/ HAY

Gambar 4.9.
Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Tanaman Pangan dan Sapi

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-82
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pembiayaan integrasi bersumber dari bantuan pemerintah, kredit perbankan


dengan fasilitasi pemerintah dan pendanaan mandiri rumah tangga sasaran.
Sumberdana pemerintah bersumber dari APBN dan/atau APBD Provinsi dan/atau
APBD Kabupaten, yang dapat digunakan untuk;

1. Bantuan modal kerja dalam bentuk ternak induk sebanyak 2 ekor/RT yang
didistribusikan dalam bentuk gaduhan dengan pengembalian 2 ekor ternak
remaja (umur 1 tahun) dan untuk menjaga keberlanjutan usaha penggemukan
maka yang diserahkan hanya ternak betina..

2. Bantuan sarana pendukung berupa pejantan kelompok (1 ekor/kelompok)


yang dipelihara oleh kelompok atau orang yang ditunjuk, alat pencacah
rumput/jerami (chooper), sarana pelayanan kesehatan dan IB serta biaya
pembelian bibit rumput unggul dan pembangunan kebun rumput.

3. Bantuan pembinaan berupa petugas pendamping (Penyuluh Lapangan) yang


operasionalnya ditanggung pemerintah termasuk gaji dan biaya operasional.

Setiap rumah tangga sasaran kegiatan akan difasilitasi untuk mendapat kredit
melalui program kredit revitalisasi (suku bunga 7%) atau kredit UMKM (suku
bunga 14%), dengan jangka waktu pengembalian 10 tahun. Besarnya angsuran
pertahun yang diberikan tergantung besarnya fasilitas kredit, yang terdiri dari;

1. Pengadaan bakalan penggemukan 2 (dua) ekor/RT dengan harga Rp. 5


juta/ekor.

2. Instalasi pengolahan limbah biogas 1 unit/rumah tangga dengan harga subsisi


perunit Rp. 4,5 juta.

3. Sarana dan prasarana pengeringan ampas biogas dan kotoran dengan nilai
investasi Rp. 2 juta/KK.

Sumberdana mandiri merupakan fasilitas utama yang dibiayai sendiri oleh rumah
tangga sasaran, antara lain;

1. Pembuatan kandang dan perlengkapan dengan biaya Rp. 500 ribu/unit atau
sekitar 1 juta/RT.

2. Biaya pemeliharaan ternak dan penanaman serta pemeliharaan hijauan


pematang dan pekarangan.

Asumsi yang digunakan sebagai koefisien teknis dalam kajian kelayakan dalam
kajian kelayakan integrasi tanaman pangan dan ternak sapi adalah:

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-83
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

1. Harga ternak sapi induk (betina dewasa) adalah Rp. 7 juta/ekor, bakalan Rp. 5
juta/ekor, dan pejantan Rp. 10 juta/ekor.

2. PBB penggemukan 0,5 kg/hari, harga sapi hidup Rp. 20.000/kg, lama
penggemukan 240 hari, sehingga diperoleh selisih bobot 120 kg atau senilai
2,4 juta (nilai jual penggemukan 7,4 juta/ekor).

3. Angka kelahiran adalah 80% dengan imbangan jantan dan betina (1 : 1)


sehingga dari 50 ekor sapi induk pada tahun pertama akan menghasilkan
masing-masing 20 ekor anak jantan dan betina.

4. Produktivitas tanaman pangan meningkat minimal 10% dengan adanya


pemupukan lebih teratur, sehingga rataan produksi meningkat sebesar 0,5
ton/ha (dari 5 ton/ha menjadi 5,5 ton/ha).

5. Perhitungan nilai biogas menggunakan pendekatan biaya pengganti


(replacement cost) yaitu nilai substitusi penggunaan biogas untuk kebutuhan
memasak yaitu 2 liter/hari/rumah tangga.

Sumberdana dari peternak berupa kredit investasi senilai Rp. 398.750.000


(30,16%) akan dibayar melalui cicilan kredit oleh peternak. Menggunakan suku
bunga pinjaman 14% dan jangka waktu pengembalian 10 tahun, maka setiap
tahun jumlah angsuran kredit adalah Rp. 76.445.774 atau setiap rumah tangga
Rp. 3.057.831 atau Rp. 254.819/bulan. Biaya operasional ditentukan oleh skala
usaha (jumlah ternak yang dipelihara masyarakat sasaran) yang dapat diprediksi
menggunakan dinamika populasi berdasarkan koefisien teknis usaha ternak.
Investasi yang dikeluarkan pemerintah untuk pengadaan ternak sapi sebanyak 55
ekor (5 pejantan dan 50 induk) dengan sistem gaduhan 1 kembali 2. Melalui
sistem ini kewajiban peternak sasaran untuk mengembalikan ternak mencapai
110 ekor dan berdasarkan dinamika populasi maka jangka waktu pengembalian
ternak adalah 7 tahun. Setelah tahun ini seluruh ternak yang berasal dari gaduhan
pemerintah sepenuhnya menjadi hak rumah tangga sasaran. Pada tahun
kesepuluh setelah kredit lunas maka seluruh hasil dari usaha ternak termasuk
penggemukan bakalan sepenuhnya akan dinikmati oleh rumah tangga sasaran.

Secara ringkas profil investasi pengembangan wilayah integrasi sapi potong dan
pangan adalah;

a. Skala Usaha Awal : 105 ekor (5 pejantan, 50 ekor induk dan 50 ekor
bakalan)

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-84
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

b. Skala Akhir (10 tahun) : Sepenuhnya asset peternak (5 ekor pejantan, 66


ekor induk, 18 ekor betina remaja, 38 ekor anak
jantan dan betina serta 67 ekor bakalan)
c. Sasaran : 5 kelompok atau 25 rumah tangga
d. Wilayah integrasi : 25 Ha lahan pangan
e. Total nilai investasi : Rp. 1.322.045.000
f. Nilai kredit : Rp. 15.950.000 per RT sasaran
g. Bunga/jangka waktu/cicilan : 14%/10 thn (Rp. 3.057.831)
h. Kelayakan tanpa olah limbah : NPV = Rp. 468,37 jt, Net BCR = 1,96 dan IRR =
23,11%
i. Kelayakan dengan olah limbah : NPV = Rp. 654,96 jt, Net BCR = 2,43 dan IRR =
27,33%

Tingkat kelayakan usaha semakin meningkat dengan memasukkan nilai-nilai


output hasil pengolahan kotoran ternak menjadi biogas dan pupuk organik.
Perbandingan antara kedua pendekatan analisis ini penting agar dapat
mengubah paradigma selama ini bahwa usaha peternakan sapi potong hanya
mampu menghasilkan produk akhir berupa daging, tetapi juga dapat memberi
manfaat bagi pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan usaha tani pangan.
Tingkat kelayakan akan meningkat apabila dengan sentuhan pembinaan, pupuk
kandang dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan tambahan atau memiliki
nilai komersial. Secara umum pengembangan wilayah integrasi ternak sapi
potong dan pangan layak secara ekonomi maupun finansial ditinjau dari nilai NPV
dan Net BCR pada suku bunga 14%. Tingkat pengembalian modal (internal rate
of return) baik secara finansial maupun ekonomi lebih tinggi dibanding suku
bunga tabungan yang berlaku saat ini, sehingga akan lebih baik menggunakan
dana potensial dan menganggur untuk berinvestasi di bidang peternakan sapi
potong.

4.5.2. Intergrasi Tanaman Sawit dan Ternak Sapi

Pola integrasi yang dikembangkan adalah uaha peternakan sapi potong untuk
tujuan ganda (multi objective) yaitu produksi ternak bibit dan penggemukan.
Pengembangan dilakukan pada areal sekitar perkebunan sawit baik perkebunan
rakyat maupun perusahaan. Sesuai konteks peningkatan partisipasi dunia usaha
(swasta) dalam pembangunan daerah dan pengembangan ekonomi produktif
dalam implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), maka dalam profil
investasi dilakukan analisis pada perkebunan swasta plasma. Pengembangan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-85
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

integrasi pada perkebunan berpotensi sebagai sarana pemberdayaan internal


(buruh tani atau buruh panen) dan eksternal (masyarakat sekitar). Pembangunan
perkebunan kelapa sawit biasanya dilakukan perblok dengan luas setiap blok
bervariasi antara 25 – 30 Ha, sehingga dengan skala mendekati skala integrasi
sapi dan pangan. Integrasi ternak sapi dengan sawit dengan skala 100 ekor
dilakukan pada areal seluas 50 Ha atau 2 blok dengan jumlah rumah tangga
sasaran 24 KK (terbagi dalam 2 kelompok atau 12 KK/kelompok). Jumlah ternak
awal untuk masing-masing kelompok adalah 52 ekor yang terdiri dari 24 ekor
induk (2 ekor/KK) dan 24 ekor bakalan (2 ekor/KK), serta 2 ekor pejantan.

Teknologi
Fermentasi

ampas

Gambar 4.10.
Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Sawit Sapi

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-86
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pemeliharaan induk digabung dengan


pejantan (tujuan pembibitan) dilakukan
dengan sistem semi intensif (siang
digembalakan pada areal perkebunan)
dan malam dikandangkan pada
kandang bersama (koloni). Setiap ekor
induk akan diberi eartag agar
kepemilikan jelas, sehingga ketika
melahirkan dapat ditentukan pemilik
dan menjelang dan setelah melahirkan
anak dipindahkan ke kandang
individual. Anak sapi yang dihasilkan
akan dipelihara sampai umur 1 tahun
(remaja) dan jika betina akan
dikembalikan kepada perusahaan
sesuai perjanjian gaduhan, sedangkan
untuk jantan akan menjadi ternak
bakalan untuk penggemukan yang
sepenuhnya murni milik rumah tangga
peternak. Pemeliharaan bakalan pada
masing-masing rumah tangga dengan
sistem intensif dan pakan disediakan
sendiri oleh rumah tangga baik dengan
cara meramban maupun pengolahan
pelepah sawit dan limbah pertanian
lainnya.

Teknologi yang diaplikasikan adalah


pengolahan campuran serat, lumpur
dan bungkil sawit dalam bentuk Urea
Saka Block (USB) dan pencacahan pelepah sawit menggunakan choper dan
selanjutnya difermentasi untuk meningkatkan palatabilitas. Pengembangan stok
hijauan pakan ternak berupa budidaya rumput unggul pekarangan serta
pembangunan kebun bibit hijauan pakan kelompok. Kotoran ternak akan
dimanfaatkan sebagai bahan baku biogas dan ampasnya dimanfaatkan sebagai

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-87
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

sumber pupuk organik baik untuk perkebunan (substitusi pupuk organik untuk
tanaman sawit dan tanaman sela) dan kebutuhan eksternal untuk kebun bibit
hijauan unggul dan hijauan pekarangan, serta penjualan jika terjadi surplus
produksi. Pembiayaan integrasi bersumber dari dana pemerintah, perusahaan
perkebunan, lembaga keuangan dengan jaminan perusahaan (avalis) dan rumah
tangga sasaran. Sumberdana pemerintah bersumber dari APBN dan/atau APBD
Provinsi dan/atau APBD Kabupaten, yang dapat digunakan untuk;

1. Bantuan sarana pendukung untuk kelompok yaitu alat pencacah pelepah


sawit dan rumput (chooper), sarana pelayanan kesehatan dan IB serta biaya
pembelian bibit rumput unggul dan pembangunan kebun rumput.

2. Bantuan pembinaan berupa petugas pendamping (Penyuluh Lapangan) yang


operasionalnya ditanggung pemerintah termasuk gaji dan biaya perjalanan.

a. Sumberdana Dunia Usaha

Sumberdana perusahaan dapat berupa dana penyisihan keuntungan perusahaan


(2% BUMN) untuk pengembangan UMKM, atau dana yang disediakan secara
khusus untuk implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) yang akan
digunakan untuk;

1. Pengadaan 2 ekor sapi induk untuk masing-masing rumah tangga sasaran


dengan pola gaduhan 1 kembali 1.

2. Pengadaan 1 ekor pejantan untuk setiap 10 ekor induk yang dipelihara oleh
ketua kelompok atau orang yang ditunjuk kelompok.

3. Pengadaan sapi bakalan untuk penggemukan sebanyak 2 (dua) ekor dengan


harga perekor Rp. 5 juta rupiah dengan pola bagi hasil 50 : 50.

4. Penyediaan bantuan kawat untuk pengembangan sistem rotasi guna


meminimalisir over grazing yang akan berdampak negatif terhadap tanaman
kelapa sawit.

Setiap rumah tangga sasaran kegiatan akan difasilitasi untuk mendapat kredit
melalui program kredit revitalisasi (suku bunga 7%) atau kredit UMKM (suku
bunga 14%) dengan jangka waktu 10 tahun. Besarnya angsuran pertahun yang
diberikan tergantung besarnya fasilitas kredit, yang digunakan untuk;

1. Instalasi pengolahan limbah biogas dengan harga perunit Rp. 5,5 juta
ditambah kompor gas Rp. 500.000/unit untuk setiap rumah tangga.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-88
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2. Sarana dan prasarana pengeringan ampas biogas dan kotoran basah dengan
nilai investasi Rp. 12,5 juta/kelompok.

b. Peternak Sasaran (Tunai)

Sumberdana mandiri merupakan fasilitas utama yang dibiayai sendiri oleh rumah
tangga sasaran, antara lain;

1. Pembuatan kandang dan perlengkapan dengan perkiraan biaya Rp. 500


ribu/unit atau sekitar 1 juta/rumah tangga.

2. Pembuataan kandang bersama (koloni) kapasitas 1 jantan 10 betina dengan


jumlah setiap kelompok 2 unit dan kebutuhan biaya investasi diperkirakan Rp.
12,5 juta/unit.

3. Biaya pemeliharaan ternak sapi dan penanaman serta pemeliharaan hijauan


unggul pagar kebun dan pekarangan.

Asumsi yang digunakan sebagai koefisien teknis dalam kajian kelayakan integrasi
tanaman sawit dan sapi ini adalah;

1. Harga ternak sapi induk (betina dewasa) adalah Rp. 7 juta/ekor, bakalan Rp. 5
juta/ekor, dan pejantan Rp. 10 juta/ekor.

2. PBB penggemukan adalah 0,5 kg/hari, harga sapi hidup Rp. 20.000/kg, lama
penggemukan 240 hari. Berdasarkan asumsi ini diperoleh selisih bobot badan
120 kg atau senilai 2,4 juta sehingga nilai jual ternak hasil penggemukan
adalah 7,4 juta/ekor.

3. Angka kelahiran 80% dengan imbangan jantan dan betina (1 : 1) sehingga


dari 50 ekor sapi induk pada tahun pertama akan menghasilkan
masing-masing 20 ekor anak jantan dan betina.

4. Angka kematian 1% untuk ternak remaja dan dewasa serta 5% untuk anak
sapi baik jantan maupun betina.

5. Perhitungan nilai biogas menggunakan asumsi bahwa seluruh kotoran yang


dihasilkan dari usaha ternak mampu mengganti kebutuhan bahan bakar
dalam satu hari. Nilai output biogas berdasarkan hasil interview dengan
peternak gaduhan PT. Petrochina di Desa Geragai Kabupaten Tanjabtim
Provinsi Jambi, dimana setiap 3 atau 4 ekor ternak sapi yang dipelihara
mampu menghemat penggunaan bahan bakar fosil (minyak tanah) untuk
memasak. Pemakaian minyak tanah untuk memasak setiap keluarga rata-rata

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-89
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

2 liter/hari atau setara dengan Rp. 5.000 (harga subsidi Rp. 2.500/liter) atau
sekitar Rp. 912.500/tahun/RT.

6. Nilai pupuk organik dengan asumsi setiap 1 Satuan Ternak (ST) yang
dikandangkan menghasilkan 8 – 10 kg kotoran basah atau 4 – 5 kg kotoran
kering, dan jika dimanfaatkan untuk produksi biogas maka terjadi penyusutan
separo sehingga pupuk organik kering ampas biogas diperkirakan hanya
tinggal 2,5 kg/ST/hari. Hal ini berarti bahwa dalam setahun setiap 1 ST yang
dikandangkan selama penggemukan (240 hari) menghasilkan 600 kg/pupuk
organik kering, dan dengan harga jual Rp. 750/kg maka setiap tahun nilai
output mencapai Rp. 450.000/ST/tahun.

7. Untuk perhitungan manfaat tidak langsung termasuk penghematan biaya


tenaga kerja dan obat-obatan untuk penyiangan diproyeksi dengan cara
valuasi ekonomi sumberdaya menggunakan pendekatan replacement cost
method (metode biaya pengganti). Setiap tahun dilakukan penyiangan
menggunakan obat-obatan (rondap) sebanyak 2 kali dengan tenaga kerja 2
orang selama 2 hari serta 2 kaleng rondap. Sehingga perusahaan setiap
tahun untuk setiap Ha harus mengeluarkan biaya untuk upah tenaga kerja
untuk 8 HOK dan 4 kaleng rondap. Jika upaha tenaga kerja adalah Rp.
27.500/orang/hari dan harga rondap Rp. 75.000/kaleng, maka biaya yang
dikeluarkan adalah Rp. 520.000/Ha/tahun.

Investasi ditanggung bersama baik dalam bentuk tunai (in-cash) maupun


non-tunai (in-kind). Proporsi investasi terbesar ditanggung oleh perusahaan
melalui dana CSR atau laba usaha yang disisihkan untuk pengembangan UMKM
sekitar. Proporsi dana pemerintah relatif kecil karena hanya sebagai fasilitator dan
membantu dalam penyediaan pelayanan kesehatan hewan dan IB serta
pembinaan. Kredit investasi peternak ditujukan agar rasa memiliki akan
memotivasi mereka untuk menjaga sarana dan prasarana rumah tangga sendiri,
sedangkan untuk lainnya untuk pengadaan kandang sebagai prasyarat penerima
bantuan gaduhan dan biaya pemeliharaan. Biaya operasional ditentukan oleh
skala usaha (jumlah ternak yang dipelihara masyarakat sasaran) yang dapat
diprediksi menggunakan dinamika populasi berdasarkan koefisien teknis usaha
ternak.

Analisis kelayakan dilakukan untuk melihat kelayakan usaha dari sisi pihak-pihak
(perusahaan, peternak dan pemerintah), dengan memasukkan nilai-nilai manfaat

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-90
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

tidak langsung (direct benefit). Nilai tidak langsung untuk peternak adalah nilai
substitusi biaya bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga, dan nilai pupuk
organik yang dihasilkan dari ampas biogas, sedangkan untuk perusahaan
memasukkan nilai penghematan tenaga kerja dan penggunaan rondap
(obat-obatan). Pada sisi perusahaan ada beberapa manfaat dan biaya yang tidak
dapat dihitung (non-applicable) yaitu peningkatan citra perusahaan (manfaat tidak
langsung) serta dampak positif atau negatif terhadap produktivitas lahan
perkebunan. Menggunakan tingkat suku bunga 14%, maka diperoleh tingkat
kelayakan usaha baik secara parsial maupun overall. Secara ringkas profil
investasi pengembangan wilayah integrasi sapi potong dan pangan adalah;

a. Skala Usaha Awal : 102 ekor (4 pejantan, 48 ekor induk dan 48 ekor
bakalan)
b. Skala Akhir (10 tahun) : Sepenuhnya asset peternak 5 ekor pejantan, 66
ekor induk, 18 ekor betina remaja, 38 ekor anak
jantan dan betina serta 67 ekor bakalan
c. Sasaran : 2 kelompok atau 24 rumah tangga
d. Wilayah integrasi : 40 Ha lahan perkebunan sawit
e. Total nilai investasi : Rp. 1,119,840,750
f. Nilai kredit total : Rp. 189.320.750
g. Nilai kredit/KK : Rp. 6.000.000
h. Bunga/jangka waktu/cicilan : 14%/10 tahun/Rp. 1.150.281 pertahun
i. Kelayakan Sisi Pemerintah : NPV = - 93,281 jt(tidak layak)
j. Kelayakan Sisi Pemrakarsa : NPV = -9,285 jt dan Net BCR = 0,97 (tidak layak)
k. Kelayakan Sisi Peternak : NPV = 621,71 jt dan Net BCR = 12,15 (layak)
l. Overall Kelayakan : NPV = 519,14 jt, Net BCR = 2,52 dan IRR =
25,80%

Berdasarkan hasil analisis kelayakan memberikan suatu informasi baik secara


parsial maupun overall, sebagai berikut;
1. Secara parsial pemerintah mengalami kerugian pada tingkat suku bunga
berapapun, tetapi dengan mempertimbangkan nilai kelayakan secara overall
maka pemerintah akan mengambil kebijakan untuk mengembangkan program
integrasi. Hal ini terkait dengan fungsi pemerintah sebagai motivator dan tidak
berorientasi profit.
2. Pada sisi perusahaan degan tingkat suku bunga 14% adalah tidak layak,
tetapi jumlah nilai positif tanpa discount factor mengindikasikan bahwa biaya
yang dikeluarkan lebih kecil dibanding dengan manfaat yang diterima. Nilai

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-91
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

NPV < 0 (negatif) dan Net-BCR < 1 hanya menunjukkan bahwa tingkat
pengembalian modal perusahaan (IRR) lebih kecil dari 14%. Perusahaan
sebagai pelaksana CSR akan melihat pelaksanaan fungsi sosial dibanding
orientasi memperoleh keuntungan bisnis atau lebih mempertimbangkan
dampak pelaksanaan CSR terhadap lingkungan binaan. Peningkatan citra
perusahaan dan dengan sistem bantuan bergulir untuk pengembangan
ekonomi produktif akan meningkatkan jangkauan pelayanan akan
meningkatkan efisiensi biaya pembinaan lingkungan. Biaya implementasi
CSR akan kembali sebahagian baik dalam bentuk pengembalian ternak bibit
maupun nilai bagi hasil penggemukan, serta adanya penghematan biaya
operasional pemeliharaan perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa secara
finansial pengembangan CSR model ini jauh lebih layak daripada
pengembangan CSR yang bersifat tidak produktif (charity) dan jangka pendek
serta sekali habis. Hasil ini mengindikasikan bahwa pengembangan CSR
dengan sistem ini sangat layak bagi perusahaan.
3. Pada sisi kelompok peternak sasaran, maka dengan nilai NPV > 0 (positif)
dan Net-BCR > 1 maka akan sangat memberikan manfaat bagi ekonomi
rumah tangga mereka. Pada saat pengembalian ternak dengan bantuan
bergulir lunas, maka perkembangan skala usaha ternak sapi akan meningkat.
Peningkatan pendapatan dari tahun ke tahun didorong oleh peningkatan nilai
penjualan ternak hasil penggemukan non-bagi hasil (ternak sendiri hasil
pembibitan).

4.5.3. Dukungan Kebijakan Pengembangan IFS Sapi Potong Rakyat

Berdasarkan hasil kajian kelayakan pengembangan wilayah integrasi dapat


diambil beberapa rekomendasi sebagai berikut;
1. Pengembangan wilayah integrasi ternak sapi potong dan tanaman pangan.
a. Merupakan upaya untuk meningkatkan ketahanan ekonomi rumah tangga
petani dan mengurangi ketergantungan dari input (pupuk dan minyak
tanah) eksternal.
b. Pengembangan membutuhkan dukungan tatanan kelembagaan termasuk
aturan main agar dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat lebih
besar bagi ekonomi rumah tangga dan daerah.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-92
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

c. Komoditas pangan (padi sawah) dalam jangka panjang dapat menjadi


komoditas ekspor unggulan daerah karena dapat dikembangkan menjadi
kawasan sentra produksi tanaman organik (green products).
d. Manajemen pembiayaan dikembangkan sesuai dengan kapasitas dan
kemampuan rumah tangga dengan fasilitasi pemerintah untuk
mendapatkan kredit bersubsidi.
2. Pengembangan wilayah integrasi ternak sapi potong dan tanaman
perkebunan kelapa sawit.
a. Kekuatiran stake holder perkebunan akan dampak negatif pengembangan
integrasi dapat diatasi dengan pengaturan sistem pemeliharaan dalam
suatu kerangka kerjasama kelembagaan yang tertata dengan baik.
b. Pengembangan wilayah integrasi merupakan salah satu pilihan dalam
implementasi program CSR perkebunan sawit yang mampu meminimalisir
konflik vertikal, meningkatkan citra positif perusahaan dari lingkungan
sosial sekitar, dan bahkan memperbaiki citra produk sawit di pasar dunia
melalui konsep “zero waste management”.
c. Diversifikasi usaha dalam integrasi akan memperkuat daya tahan ekonomi
rumah tangga perdesaan sehingga dapat menjadi salah satu alternatif
pilihan bagi pemerintah guna mengurangi dampak negatif krisis global
akibat fluktuasi harga TBS di tingkat petani.
d. Pengembangan wilayah integrasi juga potensial mengurangi tingkat
ketergantungan rumah tangga perdesaan terhadap pupuk komersial dan
bahan bakar (minyak tanah) untuk kebutuhan rumah tangga.
e. Sumber pembiayaan untuk pengembangan wilayah integrasi lebih
bervariasi tetapi lebih ditekankan pada pembiayaan dari sektor swasta
atau dunia usaha.
Untuk pengembangan wilayah integrasi baik pangan maupun kelapa sawit
membutuhkan dukungan kebijakan antara lain;
1. Pada tataran kelembagaan pemerintah perlu mengembangkan aturan main
dengan prinsip kesetaraan yang mampu menjamin kepastian hukum bagi
pihak-pihak bekerjasama.
2. Perubahan paradigma pemerintah dalam sistem gaduhan perlu dilakukan dari
pendekatan percepatan perluasan jangkauan jumlah rumah tangga menjadi
percepatan pencapaian skala ekonomis usaha peternakan rakyat.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-93
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

3. Pemerintah daerah perlu meninjau kembali dan menyusun suatu regulasi


yang mampu meningkatkan daya saing ekonomi usaha ternak sapi potong
dengan komoditas lainnya, antara lain;

- Peninjauan kembali sistem pengembalian ternak sapi gaduhan dari 1


kembali 2 perlu menjadi sistem 1 kembali 1 karena apapun sistem
pengembalian yang dilakukan tidak akan mempengaruhi jumlah populasi
ternak di masyarakat.

- Peninjauan kembali sistem bagi hasil usaha penggemukan dari sistem


antara pemodal dan peternak dari 50 : 50 menjadi 40 : 60 agar mampu
memberikan nilai tambah lebih besar bagi peternak.

- Peninjauan kembali sistem distribusi ternak sapi dari pendekatan


pemerataan yang menyebabkan luasnya wilayah pembinaan menjadi
pendekatan terkonsentrasi yang mampu mendorong peningkatan efisiensi
pembinaan.

- Peninjauan kembali sistem penentuan peternak sasaran penerima


bantuan sapi potong dengan lebih mempertimbangkan ketepatan sasaran
sesuai dengan kondisi sosial dan budaya terutama budaya kerja dan cara
pandang masyarakat terhadap usaha ternak sapi.
4. Pengembangan awal usaha peternakan rakyat membutuhkan kebijakan
subsidi kredit tetapi dengan semakin mandiri dan berkembangnya skala
usaha maka hanya dibutuhkan fasilitasi untuk mendapatkan kemudahan
kredit komersial.
5. Pemerintah provinsi perlu menyusun suatu regulasi guna menginisiasi daerah
kabupaten/kota untuk pengembangan wilayah integrasi sesuai dengan
potensi daerah masing-masing.

4.6. Model dan Kelayakan Integrasi Sawit Sapi (ISS) Perkebunan

Ketahanan pangan dan energi merupakan pilar utama stabilitas nasional dan
ketergantungan terhadap pangan impor tidak hanya menyebabkan pemborosan
devisa tetapi juga dapat menyebabkan in-stabilitas sosial politik. Tujuan
penyediaan pangan menurut UU No. 68 Tahun 2002 harus sesuai dengan porsi
pengeluaran yaitu penyediaan pangan untuk memenuhi konsumsi seluruh rumah
tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu serta tersedianya cadangan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-94
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

pangan untuk antisipasi kekurangan dan kelebihan pangan, gejolak harga dan
atau keadaan darurat. Komoditas daging sapi menjadi salah satu dari 5
komoditas strategis dalam program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (RPPK) yang menegaskan kesadaran untuk menempatkan kembali
arti penting pertanian secara proposional dan kontekstual.

Kandang Penggemukan Kandang Koloni

Jalan Lorong Gerobak Motor

Tempat Pakan dan Minum Tempat Pengolahan Pakan

Pengembangan usaha integrasi sawit dan ternak sapi didasarkan pada pemikiran
pemanfaatan sumberdaya pada suatu komoditas bagi pengembangan komoditas
lain guna mendorong terciptanya interaksi saling menguntungkan (simbiosis
mutualism). Industri persawitan baik perkebunan maupun industri pengolahan
(CPO) menyediakan sumber pakan yang sangat potensial dalam pengembangan
usaha peternakan sapi potong, dan sebaliknya limbah peternakan berupa feses
bercampur sisa pakan akan menjadi sumber pupuk organik untuk perkebunan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-95
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

kelapa sawit. Lokasi pengembangan usaha integrasi sawit sapi PTPN VI di Desa
Muhajirin memiliki aksesibilitas sangat baik dengan jalan masuk sekitar 2 km dari
jalan raya Ness (jalan pengerasan) dengan jarak dari pasar sasaran potensial
(konsumen) relatif dekat yaitu Kota Jambi (±40 km), Sengeti (±18 km) dan Muaro
Bulian ± 9 km. Pada sisi lain areal pengembangan juga dekat dengan sumber
input pakan utama (pelepah sawit) yaitu areal perkebunan PTPN VI di Kabupaten
Batanghari dan Muaro Jambi.

Usaha integrasi merupakan upaya tindak lanjut himbauan Menteri Negara BUMN
(Dahlan Iskan) kepada BUMN Perkebunan agar dapat menjadi pelopor
pengembangan usaha integrasi sawit sapi. Sebagai bentuk implementasi maka
telah dibentuk suatu unit usaha tersendiri (coorporate) yang langsung berada di
bawah komando Direktur Perencanaan dan Pengembangan (Renbang).
Pembentukan struktur manajemen usaha integrasi sawit sapi berdasarkan pada
SK. No. 08/06.D1/III/2012 tanggal 27 Maret 2012 tentang Penyempurnaan
Struktur Organisasi (SO) PTP Nusantara VI (Persero). Usaha integrasi sawit sapi
potong memiliki tujuan ganda yaitu menyediakan ternak sapi siap potong melalui
unit usaha penggemukan (fattening) dan ternak sapi bibit sebar melalui unit usaha
pembibitan (breeding) serta beberapa tujuan lain, yaitu a) memanfaatkan limbah
perkebunan kelapa sawit terutama pelepah sawit sebagai sumber pakan ternak
sapi potong, b) menyediakan pupuk organik padat berupa limbah usaha ternak
sapi potong guna memenuhi kebutuhan pupuk tanaman kelapa sawit, c)
memanfaatkan areal dan bangunan eks pabrik crumb rubber milik PTPN VI untuk
pengembangan usaha produktif, d) menyediakan kesempatan kerja bagi
masyarakat sekitar lokasi pengembangan usaha integrasi sawit sapi, dan e)
membantu pemerintah daerah setempat dalam penyediaan daging ternak sapi
potong.

4.6.1. Analisis Potensi Pasar dan Strategi Pemasaran

Pangsa produk usaha peternakan sapi potong dapat berupa pasar produk primer,
sekunder dan tertier baik untuk produk utama (ternak sapi siap potong, ternak
bibit dan daging), produk ikutan usaha peternakan (olahan limbah kandang
seperti feses dan urine) maupun produk ikutan hasil pemotongan ternak sapi
(jeroan, kulit, tanduk dan lain-lain). Pada konteks usaha integrasi sawit sapi yang
dikelola unit usaha PTPN VI maka pangsa pasar sasaran produk terbatas pada
pasar primer dengan jenis produk sebagai berikut a) ternak sapi siap potong yaitu

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-96
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

ternak sapi yang memenuhi syarat sebagai ternak potong terdiri dari ternak jantan
hasil penggemukan dan ternak afkir (pejantan dan induk) serta ternak betina
muda teridentifikasi majir (tidak produktif) dan b) ternak betina bibit sebar yaitu
ternak betina muda yang melalui proses seleksi bibit tidak digunakan sebagai
ternak bibit pengganti (replacement) dan peningkatan skala usaha. Beberapa
alternatif jalur pemasaran produk yang dapat ditempuh oleh manajemen usaha
integrasi ternak sawit sapi adalah:

a. Pemasaran langsung ternak sapi siap potong kepada pedagang baik


pengumpul maupun pengecer untuk dipasarkan ke wilayah lain baik dalam
maupun luar Provinsi Jambi.

b. Pemasaran langsung sapi siap potong kerjasama dengan RPH terdekat untuk
selanjutnya hasil pemotongan dipasarkan oleh para pedagang pengecer
pasar tradisional dan modern.

c. Khusus pemasaran sapi potong betina bibit disamping langsung kepada


pedagang juga dapat dilakukan kerjasama pemasaran dengan pihak internal
dan eksternal seperti:

- Manajemen PTPN VI (internal) dan perusahaan lain (eksternal) guna


memenuhi kebutuhan bantuan ternak sapi bibit program CSR (kemitraan
atau bina lingkungan).

- Pemerintah daerah (Kota/Kabupaten/Provinsi) melalui berbagai instansi


terkait guna memenuhi kebutuhan distribusi ternak sapi bibit bantuan
bergulir pemerintah.

- Pihak-pihak internal lain yang membutuhkan sapi betina bibit seperti


kelompok tani dan pemilik modal individual yang membutuhkan ternak
sapi potong betina bibit.

Populasi ternak sapi potong menjadi salah satu indikator perkembangan produksi
daging sapi di Provinsi Jambi dengan laju peningkatan populasi selama periode
2007 – 2011 rata-rata mencapai 6,72% pertahun. Kebutuhan daging sapi setiap
tahun rata-rata mencapai 3,86 juta kg atau setara dengan 24.846 ekor ternak sapi
siap potong yang dipenuhi melalui pemotongan ternak sapi domestik dan impor
dari wilayah provinsi lainnya. Impor untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tidak
akan tergambar secara jelas jika melihat dari produksi dan konsumsi daging sapi
Provinsi Jambi karena umumnya impor tidak langsung dalam bentuk komoditas

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-97
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

daging tetapi dilakukan dalam bentuk impor sapi bakalan atau ternak sapi bibit.
Kapasitas produksi sapi siap potong yang mampu disediakan oleh usaha
peternakan sapi potong domestik baru mencapai rata-rata 16.167 ekor/tahun dan
masih jauh (65,07%) dari kebutuhan yang mencapai 24.486 ekor/tahun.

Kapasitas produksi usaha peternakan domestik yang masih dibawah kebutuhan


sapi potong juga akan tergambarkan dari neraca perdagangan ternak sapi
Provinsi Jambi yaitu perbandingan antara jumlah ternak sapi masuk dan keluar
dari dan ke Provinsi Jambi. Defisit neraca perdagangan rata-rata mencapai
11.607 ekor/tahun atau setara Rp 71,005 milyar jika diasumsikan harga ternak
sapi Rp. 5 jt.ekor. Nilai defisit perdagangan komoditas ini akan mengalami
peningkatan sepanjang tahun jika tidak ada investasi baru yang signifikan dalam
mendorong perkembangan sektor peternakan sapi termasuk investasi pemerintah,
dunia usaha dan masyarakat. Pada konteks ini maka pengembangan usaha
integrasi sawit sapi PTPN VI tidak hanya sekedar bisnis murni tetapi juga
potensial mendukung penyediaan atau mengurangi ketergantungan daging sapi
daerah.

Komoditas daging sapi tergolong sebagai barang normal (normal goods) dimana
permintaan akan komoditas ini akan mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan pendapatan masyarakat. Pada sisi lain permintaan juga akan
mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
kesadaran akan pentingnya protein hewani. Selama ini peningkatan laju
pertumbuhan permintaan daging sapi belum mampu diikuti oleh laju pertumbuhan
produksi sehingga defisit produksi terhadap konsumsi semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi Provinsi Jambi
sebagian masih tergantung pada wilayah lain seperti Lampung, Bengkulu dan
bahkan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pengadaan kebutuhan tidak langsung
dalam bentuk impor daging sapi tetapi dalam bentuk ternak sapi bakalan dan sapi
siap potong. Produksi domestik diperkirakan hanya mampu memenuhi 50 – 60%
dari kebutuhan ternak sapi potong sehingga pangsa pasar ternak sapi siap
potong dan bibit masih sangat terbuka terutam pangsa pasar ternak sapi siap
potong yang berasal dari pasar impor (non-domestik). Produksi sapi siap potong
usaha integrasi termasuk ternak sapi pejantan dan induk afkir dapat
menggantikan antara 10 – 15% pangsa pasar sapi siap potong yang bersumber
dari impor (wilayah provinsi lain).

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-98
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Salah satu karakteristik dari pasar ternak sapi potong adalah harga jual yang
berfluktuasi sepanjang tahun karena sangat tergantung pada permintaan pasar.
Trend harga sapi siap potong diindikasikan dari perkembangan harga daging di
pasar dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun tetapi faktor penting yang
perlu diamati adalah fluktuasi harga daging sepanjang tahun. Harga daging ternak
sapi mengalami peningkatan pada saat-saat menjelang hari besar keagamaan
seperti menyambut bulan puasa, lebaran idul fitri dan idul adha serta memasuki
pergantian tahun seiring dengan perayaan hari besar keagamaan lain seperti
natal dan tahun baru. Pada periode-periode ini akan terjadi peningkatan signifikan
permintaan daging sapi yang akan mendorong kenaikan harga sapi siap potong di
pasar domestik. Gambaran umum perubahan harga produk daging dan ternak
sapi siap potong disajikan pada Gambar 4.11.

Gambar 4.11.
Fluktuasi dan Trend Harga Daging dan Sapi Siap Potong

Keuntungan usaha integrasi akan sangat terkait dengan kondisi harga dan
permintaan pasar sehingga dibutuhkan suatu strategi penjualan yang mencakup
dimensi waktu dan skala penjualan ternak sapi potong hasil penggemukan.
Pengadaan sapi bakalan sebaiknya dilakukan beberapa bulan (minimal 6 bulan)
sebelum memasuki puasa sehingga penjualan ternak sapi tepat waktu dimana
permintaan sedang tinggi yaitu sebelum dan awal puasa (Ramadhan), seminggu
sebelum lebaran Idul Fitri (1 Syawal) dan Idul Adha (Lebaran Haji). Strategi
pemasaran ini akan memberikan 2 (dua) keuntungan bagi usaha integrasi sawit
sapi yaitu dari pertambahan bobot badan dan selisih harga jual persatuan.

PTP Nusantara sebagai salah satu BUMN juga memiliki tanggung jawab sosial
dalam membantu pemerintah daerah setempat dalam penyediaan kebutuhan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-99
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

masyarakat sehingga tidak selalu hanya berorientasi pada keuntungan. Salah


satu cara yang dapat dilakukan unit usaha integrasi sawit sapi adalah melalui
pengendalian pemasaran sapi siap potong yang disesuaikan dengan kebutuhan
pasar (permintaan pasar daging sapi). Untuk itu akan dikembangkan suatu sistem
pemasaran yang teralokasi baik dengan memperhatikan pencapaian profit dan
pelaksanaan fungsi sosial melalui penjualan harian dan khusus yang berimbang,
yaitu:

a. Untuk memenuhi kebutuhan harian (311 hari kalender) akan disediakan 45%
dari jumlah stock ternak sapi siap potong tahunan usaha integrasi sawit sapi.
Jenis produk yang dijual diutamakan ternak sapi afkir (pejantan dan induk
serta betina non-produktif) serta sisa penjualan periode sebelumnya pada
tahun yang sama.

b. Untuk memenuhi kebutuhan pada hari-hari tertentu dimana permintaan pasar


mengalami peningkatan akan disediakan 55% dari jumlah stock ternak sapi
siap potong tahunan usaha integrasi sawit sapi. Jenis produk yang dijual
diutamakan adalah ternak sapi siap potong hasil unit usaha penggemukan.

Jika diasumsikan stock ternak siap potong yang tersedia sepanjang tahun adalah
2.000 ekor, maka pada hari biasa dilepas 3 ekor ternak siap potong. Guna
membantu pemerintah dalam mengatasi peningkatan permintaan masyarakat
selama puasa dan lebaran akan disediakan masing-masing 350 ekor untuk
kebutuhan puasa (menjelang dan selama puasa), 400 ekor dalam menyambut
lebaran Idul Fitri dan 300 ekor menyambut lebaran haji (Idul Adha). Melalui sistem
alokasi pemasaran ini, disamping membantu pemerintah dalam pengadaan
kebutuhan ternak sapi siap potong juga untuk menghindari terjadinya over supply
yang dapat menganggu stabilitas harga pasar daging yang merugikan para
peternak sapi potong rakyat.

Produk lain yang dihasilkan dalam usaha integrasi sawit sapi adalah ternak sapi
betina bibit yaitu ternak sapi remaja yang tidak digunakan sebagai ternak bibit
pengganti (replacement) induk dan pengembangan usaha. Kelompok ternak
betina muda usaha pembibitan meskipun tidak lolos seleksi sebagai calon induk
tetapi masih tergolong ternak produktif sehingga dapat dijual sebagai ternak
betina bibit sebar. Pangsa atau pasar sasaran ternak sapi bibit yang dihasilkan
usaha integrasi akan dijual dengan beberapa alternatif yaitu penjualan internal
PTPN VI untuk program PKBL, dan penjualan eksternal baik langsung kepada

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-100
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

para pedagang atau peternak sapi potong maupun melalui lembaga lain yang
membutuhkan seperti pemerintah daerah (SKPD) sebagai ternak sapi bantuan
(distribusi) dan perusahaan lain yang membutuhkan ternak bibit program PKBL
atau CSR.

4.6.2. Aspek Managemen dan Organisasi

Usaha integrasi sawit sapimemiliki struktur manajemen yang dikelola oleh


organisasi tersendiri karena menjadi salah satu unit usaha di bawah koordinasi
PTPN VI. Secara umum manajemen fattening terdiri dari 3 (tiga) aktivitas yaitu
pengadaan (pemasukan) sapi bakalan, pemeliharaan (penggemukan) dan
penjualan (pengeluaran) ternak sapi potong siap jual (Gambar 4.12).

Gambar 4.2.
Aktivitas dalam Manajemen Fattening

Pelaksanaan fungsi manajemen mencakup upaya pengawasan ternak sapi


masuk (bakalan), pemeliharaan (budidaya) dan keluar (sapi siap potong atau jual)
melalui proses pencatatan (recording) yang mencakup;

a. Recording ternak bakalan masuk baik melalui proses pembeliaan (lingkungan


eksternal) maupun dari unit usaha pembibitan yang mencakup waktu (tanggal,
bulan dan tahun), jumlah ternak, jenis atau bangsa ternak sapi, serta status
kesehatan dan umur ternak bakalan. Setiap ternak bakalan yang masuk akan
ditandai dengan pemberian nomor telinga (eartag) atau kalung leher Kaidah
pemberian nomor mulai angka 0001 sampai dengan tak terhingga dan
berurutan dari terendah berdasarkan sapi terdata.

b. Recording ternak bakalan selama proses pemeliharaan (budidaya) untuk


proses penggemukan mencakup jumlah ternak untuk setiap unit kandang,
ternak sakit dan mati. Penempatan ternak sapi untuk setiap unit kandang

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-101
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

diupayakan seragam baik dari sisi umur maupun bobot badan guna
menghindari ternak sapi yang tidak memperoleh pakan cukup akibat kalah
bersaing dengan ternak sapi lainnya dalam kandang koloni yang sama.
Pengamatan ternak bakalan penggemukan dilakukan secara berkala dan
yang mengalami gejala serangan penyakit akan dipindahkan ke kandang
isolasi, sedang ternak yang kalah bersaing dipindah ke unit kandang lain yang
memiliki bobot tubuh yang relatif seragam.

c. Recording ternak sapi siap potong keluar areal usaha integrasi sawit sapibaik
untuk tujuan dijual atau dipotong disesuaikan dengan capaian bobot badan
akhir (siap jual) dan jangka waktu penggemukan serta situasi permintaan
pasar. Informasi yang dicatat mencakup jumlah dan jenis ternak sapi siap
potong yang akan dijual serta bobot badan dan kondisi kesehatan ternak.

Manajemen pembibitan adalah kegiatan yang mencakup kegiatan-kegiatan dari


pemasukan dan penangganan bibit dasar sampai pada pemanfaatan bibit hasil
produksi. Gambaran umum proses produksi bibit sapi potong dalam suatu model
manajemen yang berkelanjutan disajikan pada Gambar 4.13.

Gambar 4.13.
Prosedur Tetap atau Tahapan Usaha Pembibitan Sapi Potong

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-102
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Tujuan unit usaha pembibitan adalah untuk menghasilkan bibit ternak baik betina
calon induk maupun bakalan dengan pertimbangan daya adaptasi ternak baik
terhadap iklim mikro maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pemasukan
ternak bibit dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu ternak bibit stock awal (tahun 1 - 4)
dan ternak pengganti (replacement) sesuai kebutuhan dan ketersediaan ternak
bibit pada unit usaha pembibitan. Untuk menentukan bibit calon induk yang
dipelihara digunakan kriteria umum dan khusus bibit Sapi Potong berdasarkan
Good Breeding Practice (GBP). dengan kriteria umum sebagai berikut a) sapi bibit
sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti kebutaan, tanduk patah, pincang,
lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung
atau cacat tubuh lainnya, b) semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat
reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan, c) sapi
bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat
kelaminnya, d) sistem perkawinan ternak sapi terdiri dari perkawinan alami dan IB
(Inseminasi Buatan).

Pada saat ini struktur pimpinan organisasi usaha integrasi sawit sapidipimpin oleh
seorang manager yang dibantu oleh seorang kepala operasional. Kepala
operasional dibantu oleh 2 (dua) orang asisten yaitu asisten kesehatan ternak dan
asisten pemeliharaan ternak yang selanjutnya melakukan koordinasi dengan
asisten administrasi dan keuangan serta perwira keamanan yang langsung
berada pada garis komando manajer. Asisten administrasi dan keuangan dibantu
oleh seorang krani yang mengkoordinir kegiatan para petugas administrasi.
Sedangkan asisten pemeliharaan ternak dibantu oleh seorang mandor dan
petugas administrasi pemeliharaan ternak. Mandor bertugas sebagai pengawas
kegiatan para operator chopper dan mixer yang dipimpin oleh seorang kepala
kerja proses pakan, dan mengawasi petugas anak kandang yang dipimpin oleh
seorang kepala kerja perawatan ternak. Organisasi bidang teknik, transaksi dan
CD yang juga dibawah koordinasi kepala operasional terdiri dari Krani teknik,
transkasi dan CD yang dibantu beberapa petugas teknis transaksi dan CD serta
Mandor Operasional yang dibantu beberapa petugas mekanik pemeliharaan
mesin, listrik, lingkungan dan CD serta operator mesin rumput.

Secara umum struktur organisasi dalam manajemen usaha integrasi sawit sapi ini
masih mengacu pada struktur organisasi yang biasa digunakan dalam usaha
perkebunan. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa tugas dan tanggung jawab
yang saling tumpang tindih dan menyebabkan kurangnya efisiensi usaha. Untuk

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-103
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

itu pada masa akan perlu adanya perubahan dalam struktur organisasi
manajemen dengan bentuk sesuai dengan jenis usaha yaitu peternakan sapi
potong tujuan ganda (fattening dan breeding) sehingga pembagian tugas dan
tanggung jawab dapat menjadi lebih jelas. Mengacu pada karakteristik usaha dan
struktur organisasi yang diterapkan pada Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU)
Sembawa, Sumatera Selatan, maka disarankan struktur organisasi manajemen
usaha integrasi sapi sawit seperti pada Gambar 4.14, Seorang top manager yaitu
manager usaha integrasi sawit sapi dibantu oleh 4 orang asisten manager yang
terdiri dari 3 orang asisten manager khusus (I, II dan III) yang secara
terspesialisasi membidangi 3 kegiatan utama usaha integrasi sawit sapi yaitu unit
usaha penggemukan, unit usaha pembibitan dan pengolahan pakan ternak sapi
potong serta asisten manager umum yang membidangi kegiatan umum dalam
bidang administrasi dan keuangan.

Gambar 4.14
Struktur Dasar Manajemen Usaha Integrasi Sawit Sapi

4.6.3. Aspek Teknis dan Produksi

Ternak sapi yang dipelihara terdiri dari 2 (dua) jenis bangsa sapi yaitu Sapi Bali
dan Peranakan Ongol (PO) yang berasal dari Provinsi Lampung. Sesuai dengan
tujuan pengembangan usaha maka kelompok ternak sapi bibit terdiri dari betina
muda (calon induk) untuk tujuan usaha pembibitan (breeding) dan ternak bakalan
(jantan muda) untuk tujuan penggemukan (fattening). Pengadaan ternak bibit
dilakukan secara bertahap selama 4 (empat) tahun dengan jumlah total 8.000

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-104
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

ekor dengan komposisi bervariasi sepanjang tahun. Pengadaan ternak bakalan


kedua jenis bangsa setiap tahun komposinya semakin kecil karena setelah tahun
ke-3 (2014) sebagian akan diperoleh dari hasil pembibitan sendiri dan setelah
tahun ke 4 (2015) seluruh bakalan merupakan hasil pembibitan sendiri. Hal yang
sama juga dilakukan pada ternak sapi untuk tujuan pembibitan (betina muda
calon induk) setelah tahun ke-4 dihentikan dengan asumsi bahwa seluruh ternak
sapi induk telah mampu memenuhi kebutuhan baik untuk penyediaan ternak sapi
bakalan maupun pengganti (replacement) induk yang sudah tidak produktif dan
dijual dalam bentuk ternak afkir.

Sumber utama pakan ternak sapi potong yang dibudidayakan adalah limbah
perkebunan berupa pelepah sawit dan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) berupa
bungkil kelapa sawit. Sumber utama limbah sebagai bahan pakan ternak sapi
potong berasal dari perkebunan sawit terutama yang terdapat pada wilayah
Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi serta PKS milik PTPN VI yang tersebar
pada beberapa wilayah kerja perusahaan. Berdasarkan indikator asumsi dari
9.521 Ha areal perkebunan sawit setiap tahun akan mampu menghasilkan 59.906
ton pelepah sawit segar dan dengan penggunaan 80% sebagai bahan pakan
penyusuan ransum dan rataan konsumsi ternak sapi 10 kg/ekor/hari maka
pelepah sawit yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan 20.516 ekor ternak
sapi potong. Pemberian pelepah sawit kepada ternak sapi potong dilakukan
setelah dilakukan perajangan dengan menggunakan beberapa unit mesin
perajang (chopper). Setiap unit chopper dioperasikan oleh 4 orang, dan
selanjutnya akan dicampur dengan bahan baku pakan lain dengan menggunakan
mixer (mesin pengaduk). Bungkil kelapa sawit dengan kandungan protein
mencapai 15% digunakan sebagai sumber protein yang dicampur langsung
dengan hasil rajangan pelepah sawit dan bahan pakan lainnya. Bungkil kelapa
sawit dibawa langsung dari sejumlah PKS yang sampai tahun 2011 tercatat ada 5
unit PKS milik PTPN VI dengan kapasitas produksi mencapai 230 ton TBS/jam.
Perolehan sumber bahan pakan utama berupa pelepah dan bungkil kelapa sawit
adalah dari unit usaha lain (perkebunan dan PKS PTPN VI) sedangkan bahan
penyusun pakan lain diperoleh melalui pembelian. Penggunaan bahan penyusun
pakan olahan sendiri sebagai bahan pakan utama diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi usaha integrasi dan memberikan keuntungan lebih besar
pada perusahaan.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-105
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Sarana utama berupa kandang pemeliharaan dipisah antara sapi potong untuk
tujuan usaha pembibitan dan penggemukan. Pemeliharaan ternak untuk
penggemukan dilakukan secara intensif pada kandang koloni dengan kapasitas
sesuai ukuran kandang koloni. Pemeliharaan ternak sapi bibit akan dilakukan
secara semi-intesif dengan menyediakan umbaran (tempat bermain) bagi ternak
betina pada areal sekitar kandang. Kandang penggemukan merupakan
eks-pabrik crumb rubber PTPN VI yang ditata ulang untuk pemeliharaan ternak
sapi potong yang terdiri dari 35 unit kandang koloni. Kandang kelompok atau
dikenal dengan koloni/komunal merupakan model kandang dalam suatu ruangan
kandang ditempatkan sejumlah ternak, secara bebas tanpa diikat. Keunggulan
model kandang koloni dibanding kandang individu adalah efisiensi dalam
penggunaan tenaga kerja rutin terutama pembersihan kotoran kandang, Tipe
lantai yang digunakan adalah alas litter, dan pembongkaran litter lantai kandang
di lakukan apabila tinggi litter mencapai setinggi 20 cm, atau dilakukan
pembersihan sekitar 3 – 4 kali dalam setahun.

Pemanfaatan bangunan eks-pabrik crumb rubber sebagai kandang


penggemukan didasarkan pada pertimbangan bahwa kandang untuk
penggemukan tidak butuh banyak variasi sehingga rekonstruksi atau modifikasi
dapat dengan mudah dilakukan. Kandang kelompok atau dikenal dengan
koloni/komunal merupakan model kandang dalam suatu ruangan kandang
ditempatkan sejumlah ternak, secara bebas tanpa diikat. Variasi kandang koloni
hanya pada ukuran kandang yang selanjutnya akan mempengaruhi kapasitas
tampung dari masing-masing kandang. Luas kandang untuk penggemukan
seluruhnya mencapai 4.148 m2 yang terbagi dalam 41 unit kandang koloni
dengan 13 variasi ukuran, daya tampung total mencapai 1.381 ekor. Penentuan
kapasitas kandang berdasarkan pada standar ideal yang telah ditetapkan bahwa
setiap ekor ternak sapi dewasa membutuhkan ruang kandang dengan rataan luas
rata 3 m2.

Kandang untuk ternak sapi tujuan pembibitan lebih bervariasi tergantung pada
umur dan kondisi ternak sapi yang dipelihara yang secara umum dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Kandang induk dan/atau calon induk (betina remaja) dibangun berbentuk


kandang koloni beratap sebagian pada bagian depan kandang (terutama
tempat lungan) dan model kandang kelompok ini identik disebut juga dengan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-106
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

kandang umbaran terbatas. Lantai kandang model ini menggunakan lantai


semen atau beton berpori (model wavin) terutama pada bagian lantai yang
tidak beratap. Pada bagian belakang kandang dilengkapi selokan
pembuangan terutama untuk menjaga kebersihan lantai kandang pada musim
hujan. Alas lantai pada model kandang ini tidak menggunakan alas dasar litter,
namun bahan alas litter hanya disebarkan pada lantai (terutama lantai yang
beratap) yang becek.

b. Kandang induk bunting dan melahirkan dikembangkan dalam bentuk kandang


individu dengan dua baris dengan penempatan sapi pada posisi ekor
berlawanan (tail to tail) sehingga tempat pakan terletak masing-masing sisi
kandang.

Pada tahun selanjutnya juga akan dikembangkan kandang khusus untuk sapi
bunting lebih dari 6 bulan sampai melahirkan dan kandang anak (pedet) sampai
umur 1 tahun serta berbagai sarana pendukung lainnya termasuk kandang isolasi
dan karantina, kandang jepit (penimbangan, pemeriksaan kebuntingan, deteksi
penyakit dan inseminasi buatan) serta sarana bongkar muat ternak (modifikasi
lokasi bongkar muat eks-pabrik CRF).

Sesuai dengan tujuan usaha yaitu penggemukan (fattening) dan pembibitan


(breeding) maka produk utama usaha adalah ternak sapi siap potong (hasil
penggemukan) dan ternak betina muda calon induk atau bibit sebar (umur > 1
tahun). Volume produksi yang dihasilkan setiap tahun dalam usaha integrasi sawit
sapi tergantung pada proses pengadaan dan perkembangan populasi ternak
dipelihara. Produk utama usaha integrasi adalah penggemukan dan pembibitan
tetapi sumber penerimaan usaha tidak hanya ternak sapi bakalan siap jual (hasil
penggemukan) dan bibit sebar (betina muda > 1 tahun) tetapi juga bersumber
dari:

a. Penjualan ternak sapi afkiran yaitu induk dan pejantan yang dianggap atau
hasil pengamatan sudah tidak produktif dan untuk memenuhi kebutuhan
dilakukan replacement dengan ternak sapi jantan dan betina muda hasil
seleksi (layak bibit).

b. Penjualan betina majir yaitu ternak betina muda yang awalnya disiapkan
sebagai calon induk tetapi dalam perjalanannya ternyata tidak memiliki
kemampuan reproduksi (tidak mengalami kebuntingan dan melahirkan anak).

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-107
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pada tahun awal kegiatan (4 tahun pertama), sumber utama penjualan adalah
ternak sapi siap potong hasil penggemukan yang disupplay dari luar usaha
peternakan (eksternal). Peningkatan pada tahun ke-4 karena sumber bakalan
disamping dari luar usaha sendiri juga berasal dari ternak bakalan hasil
pembibitan sendiri dan setelah tahun-tahun tersebut pengadaan bakalan mulai
dikurangi dan beralih pada bakalan yang berasal dari usaha pembibitan sendiri
(mandiri). Seluruh pedet setelah dikurangi hasil seleksi jantan muda sebagai
calon ternak sapi pejantan akan digunakan untuk penggemukan. Jantan muda
hasil seleksi akan digunakan untuk replacement (pengganti) pejantan akhir dan
sesuai perkembangan populasi induk sehingga imbangan ideal 1 : 10 dapat
dipertahankan. Komponen jenis output yang dijual setiap tahun tetap sapi siap
potong hasil penggemukan dan diikuti dengan sapi betina bibit sebar. Penjualan
pejantan dan induk hanya dilakukan setelah masa afkir dan digantikan dengan
ternak hasil pembibitan sendiri. Pemeliharaan pejantan tetap menjadi sesuatu
yang penting meskipun nantinya dalam perjalanan usaha integrasi untuk
perkembangan biakan tidak mengandalkan kawin alami tetapi lebih pada
Inseminasi Buatan (IB). Setelah tahun ke 8 proyek atau tahun 2020 pertumbuhan
volume penjualan ternak sapi masing-masing kelompok produk ternak akan
menjadi stabil dengan skala usaha antara 12.000 – 13.000 ekor dengan volume
penjualan mencapai sekitar 3.500 ekor/tahun yang terdiri dari 5 jenis produk.

4.6.5. Aspek Finansial dan Ekonomi

Penerimaan usaha integrasi sawit sapi terdiri dari nilai penjualan produk utama
yaitu ternak sapi siap potong hasil penggemukan dan ternak sapi betina bibit
sebar hasil pembibitan. Seluruh kelompok ternak yang dijual kecuali ternak sapi
betina bibit sebar yang digunakan untuk pengembangbiakan adalah untuk tujuan
dipotong. Harga dapat mengalami perubahan karena tidak hanya tergantung
pada performance (bobot) ternak sapi, bagsa dan jenis kelamin ternak, tujuan
pembelian oleh konsumen tetapi juga sangat tergantung pada waktu penjualan
(permintaan pasar). Harga jual ternak sapi potong pada saat menjelang hari besar
keagamaan (puasa, idul fitri dan idul adha) relatif lebih tinggi dibanding hari biasa.
Untuk memudahkan analisis maka digunakan standar harga yang diperoleh dari
harga jual rata-rata tahun 2012. Penerimaan tahun 1 dan 2 proyek relatif sama
dan seluruhnya berasal dari penggemukan ternak sapi bakalan yang dipasok dari
luar. Penerimaan sedikit mengalami penurunan pada tahun ke-3 seiring dengan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-108
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

berkurangnya pasokan eksternal sapi bakalan program penggemukan dan tahun


ke-4 penerimaan akan mulai di dominasi dari ternak usaha pembibitan sendiri.
Setelah tahun ke-5 semua seluruh penerimaan usaha merupakan hasil
pembibitan sendiri baik bakalan maupun ternak sapi bibit. Secara umum
penerimaan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sesuai dengan
perkembangan skala usaha integrasi sawit sapi tetapi tetap didominasi oleh
penjualan ternak hasil penggemukan sapi bakalan sendiri. Sumber penerimaan
lain usaha integrasi sawit sapi adalah hasil penjualan ternak sapi yang sudah
tidak produktif baik berupa pejantan dan induk afkir maupun ternak sapi betina
muda yang tidak lolos seleksi karena memiliki kemampuan reproduksi rendah
(majir). Harga jual kelompok ternak sapi ini dengan umur yang sama relatif lebih
rendah dan digunakan sebagai ternak sapi potong.

Penerimaan dari kelompok sapi non-produktif baru diperoleh pada tahun ke-3
(2014) kegiatan proyek untuk ternak sapi betina muda majir dan tahun ke-5 (2018)
untuk ternak sapi induk dan pejantan afkir. Pejantan dan induk afkir selanjutnya
dilakukan penggantian (replacement) dengan cara seleksi betina dan jantan
muda hasil pembibitan sendiri sehingga tidak dibutuhkan penambahan bibit dari
luar. Hal ini berarti bahwa pemeliharaan ternak sapi betina muda hasil pembibitan
disamping untuk pengembangan usaha juga sebagai ternak pengganti induk afkir.
Proses afkir pejantan dan induk dilakukan secara bertahap dan diambil dari 25%
hasil seleksi ternak sapi remaja umur 1 – 2 tahun. Secara umum trend
penerimaan dari kelompok produk ini mengalami peningkatan dari tahun ketahun
dengan sedikit lonjakan pada tahun ke 5 dan 6 (2016 – 2017). Sumber
penerimaan lain adalah pupuk organik padat yang berasal dari limbah kandang
litter yang nilainya diprediksi dengan menggunakan asumsi bahwa setiap ekor
ternak sapi yang dipelihara dengan kandang sistem litter menghasilkan paling
sedikit 10 kg feses setiap hari. Untuk estimasi produk limbah kandang dalam satu
tahun, maka untuk ternak bibit menggunakan jumlah hari 360 sedangkan untuk
penggemukan dan bibit sebar menggunakan jumlah hari 180. Penerimaan dari
limbah kandang disebut sebagai penerimaan tersamar karena ada kemungkinan
digunakan untuk pupuk tanaman sawit milik PTPN VI sendiri (tidak ada proses
transaksi tunai).

Investasi usaha integrasi sawit sapi dilakukan secara bertahap selama beberapa
tahun sampai tercapai suatu kondisi dimana populasi dan produksi menjadi stabil
yaitu sampai tahun 2019 (tahun ke-7). Biaya investasi mencakup pengadaan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-109
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

ternak sapi bibit, kandang dan sarana pendukung, mesin dan peralatan
pengolahan pakan serta kendaraan untuk operasional. Untuk pengembangan
usaha integrasi sawit sapi maka dibutuhkan investasi sebesar Rp. 75 Milyar yang
bersumber dari 20% dana sendiri atau PTPN VI (Rp. 15 Milyar) dan 80% kredit
investasi atau pinjaman (Rp. 60 Milyar). Proses pencairan dana investasi tidak
dilakukan secara langsung tetapi dilakukan secara bertahap selama 3 tahun
(tahun 2013 – 2015). Penggunaan dana investasi tidak hanya untuk menutupi
biaya investasi tetapi untuk biaya operasional. Khusus untuk dana investasi yang
bersumber dari pinjaman akan dikembalikan dalam bentuk angsuran (anuitas)
bulanan dengan besaran sesuai dengan jumlah dan jangka waktu pinjaman.
Menggunakan pendekatan anuitas biasa (ordinary annuity) maka cicilan tahunan
yang harus dibayarkan usaha integrasi sawit sapi pada tingkat suku bunga 12%
pa. Menggunakan tahapan pencairan kredit di atas, maka diharapkan pada tahun
2026 (umur proyek mencapai 15 tahun) seluruh kredit dana investasi yang
dipinjam telah lunas dikembalikan.

Ternak sapi bakalan yang dibeli tergolong dalam input tidak tetap (input variabel)
sehingga tergolong pada biaya operasional karena siklus produksi tidak sampai
pada satu periode proyek dan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan produksi.
Komponen biaya operasional lain adalah biaya pakan yang terbagi dua kelompok
yaitu biaya pembelian dan pengolahan pakan. Pengadaan bahan pakan berupa
bungkil kelapa sawit, sludge, mineral dan garam termasuk obat-obatan ditentukan
berdasarkan harga pembelian sedangkan untuk pakan utama berupa rajangan
pelepah sawit ditentukan berdasarkan biaya operasional untuk pembuatan pakan
yang mencakup biaya bahan bakar mesin choper dan mixer serta upah tenaga
kerja (KHL). Seluruh komponen biaya sesuai dengan kebutuhan termasuk biaya
tenaga kerja yang terdiri dari tenaga kerja tetap (KHT) dan tidak tetap (KHL) serta
biaya adminsitrasi untuk kelancaran operasional usaha integrasi sawit sapi. Pada
periode 2012 – 2014 biaya pengadaan sapi bakalan mendominasi biaya
operasional dan setelah tahun 2015 seiring dengan tersedianya sapi bakalan
hasil pembibitan sendiri maka biaya operasional akan didominasi oleh biaya
pakan baik pembelian pakan maupun biaya pengolahan pelepah sawit. Mulai
pada tahun 2018 seluruh ternak sapi bakalan bersumber dari hasil pembibitan
sendiri sehingga tidak ada lagi komponen biaya pengadaan sapi bakalan untuk
tujuan penggemukan.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-110
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Berdasarkan pada penerimaan (benefit) dan pengeluaran (cost) tahunan selama


15 tahun proyek maka dapat ditentukan kelayakan usaha integrasi sawit sapi
dengan rincian seperti pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1.
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Integrasi Sawit Sapi PTPN VI
Net Present Value
Benefit Cost DF
Tahun Benefit (PV)
(B) (C)
B-C 12% 18% 12% 18%
0 11.841,28 18.226,53 -6.385,26 1,00 1,00 -6.385,26 -6.385,26
1 12.832,32 26.700,86 -13.868,54 0,89 0,85 -12.382,62 -11.753,00
2 15.736,03 32.223,26 -16.487,23 0,80 0,72 -13.143,52 -11.840,87
3 19.772,76 30.273,96 -10.501,20 0,71 0,61 -7.474,55 -6.391,35
4 23.602,26 22.466,28 1.135,98 0,64 0,52 721,93 585,93
5 27.502,18 20.678,45 6.823,74 0,57 0,44 3.871,97 2.982,72
6 30.287,89 21.473,91 8.813,98 0,51 0,37 4.465,43 3.264,97
7 33.424,55 21.554,69 11.869,86 0,45 0,31 5.369,32 3.726,25
8 34.685,23 20.664,49 14.020,74 0,40 0,27 5.662,74 3.730,05
9 35.371,58 20.814,10 14.557,48 0,36 0,23 5.249,57 3.282,07
10 35.685,97 20.668,06 15.017,92 0,32 0,19 4.835,37 2.869,39
11 35.634,19 20.580,07 15.054,13 0,29 0,16 4.327,70 2.437,55
12 35.446,21 20.454,21 14.992,00 0,26 0,14 3.848,07 2.057,19
13 35.154,86 20.300,27 14.854,59 0,23 0,12 3.404,29 1.727,41
14 94.289,27 20.132,51 74.156,76 0,20 0,10 15.173,94 7.308,07
NPV 17.544,41 -2.398,88
Net BCR 1,45 0,93
IRR 17,28%

Pada tingkat suku bunga 12% usaha integrasi masih layak dibiayai yang ditandai
dengan Net Present Value (NPV) positif (> 0) dan Net Benefit Cost Ratio (Net
BCR) > 1. Sebaliknya pada tingkat suku bunga 18% usaha integrasi tidak layak
untuk dibiayai karena NPV negatif (< 0) dan Net BCR < 1. Hal ini berarti bahwa
tingkat suku bunga yang layak dalam pembiayaan investasi usaha integrasi sawit
sapi berkisar antara 12% – 18% dan berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan pendekatan interpolasi diperoleh tingkat pengembalian modal (IRR)
17,28%. Berdasarkan kepada hasil analisis finansial maka pembiayaan investasi
dengan tingkat suku kredit perbankan di bawah 17,28% layak untuk dilakukan
dan sebaliknya pada tingkat suku bunga kredit perbankan di atas 17,28% maka
investasi tidak layak untuk dilakukan.

Usaha integrasi sawit sapi memiliki dampak ekonomi baik bagi masyarakat sekitar
lokasi proyek maupun perekonomian daerah, antara lain:

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-111
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

a. Menyediakan kesempatan kerja dan membuka peluang usaha bagi


masyarakat sekitar lokasi usaha integrasi sawit sapi. Potensi terbesar
kesempatan kerja yang dapat diisi oleh tenaga kerja lokal adalah sebagai
Karyawan Harian Lepas (KHL) dan beberapa posisi sebagai karyawan bulan
atau tetap (KT). Pengisian jabatan pada level rendah (low) dan menengah
(middle) manajemen pada tahun-tahun selanjutnya juga potensial untuk
tenaga kerja lokal dengan spesifikasi pendidikan dan pengalaman yang
memadai.

b. Menyediakan kebutuhan akan daging sapi serta mengurangi tingkat


ketergantungan terhadap daerah lain. Usaha integrasi sawit sapi yang
dikembangkan setelah tahun ke 5 mampu menyediakan sekitar 4 - 5% dari
kebutuhan ternak sapi siap potong atau menggantikan 10 – 15% impor ternak
sapi siap potong Provinsi Jambi.

c. Memberikan kontribusi bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan mengurangi


aliran belanja masyarakat keluar daerah. Pajak pertambahan nilai dan
keuntungan perusahaan dapat menjadi salah satu sumber penerimaan
negara, sedangkan sumber pendapatan daerah akan diperoleh dari restribusi
ternak selama proses tataniaga dan pemotongan. Potensi terbesar bagi
ekonomi daerah adalah penghematan belanja daerah untuk pemenuhan
kebutuhan ternak sapi siap potong melalui penurunan impor bakalan dan sapi
betina bibit. Penghematan belanja daerah ini terutama setelah tahun ke-3
yaitu saat unit usaha pembibitan telah menghasilkan bakalan dan ternak sapi
betina bibit sebar.

d. Produk ikutan berupa limbah kandang yang digunakan sebagai pupuk organik
dapat menghemat penggunaan pupuk komersial terutama bagi usaha
perkebunan atau tanaman lainnya. Harga pupuk komersial yang semakin
meningkat dan posisi Provinsi Jambi sebagai wilayah konsumen (tidak
memiliki pabrik pupuk) juga akan menghemat belanja daerah, sedangkan
pada aspek lingkungan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat
penggunaan pupuk kimia.

7.5. Penutup

Berdasarkan analisis pada berbagai aspek, maka dapat disimpulkan bahwa


secara umum usaha integrasi sawit sapi PTP. Nusantara layak untuk
dilaksanakan dengan rincian sebagai berikut:

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-112
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

- Pada aspek komersial output utama yang dihasilkan yaitu sapi siap potong,
dan sapi betina bibit memiliki potensi pasar yang masih sangat terbuka
terutama untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik Provinsi Jambi.

- Pada aspek manajemen dan kelembagaan usaha integrasi sawit sapi cukup
layak meskipun masih membutuhkan penataan terutama terkait dengan
struktur organisasi agar lebih sesuai karakteristik usaha peternakan dan
spesifikasi unit usaha integrasi sawit sapi.

- Pada aspek teknis dan produksi usaha integrasi sawit sapi layak dilaksanakan
karena didukung oleh ketersediaan pelepah sawit sebagai bahan penyusun
pakan utama.

- Kebutuhan investasi untuk pengembangan usaha integrasi sawit sapi


mencapai Rp. 75 Milyar yang bersumber dari dana sendiri sebesar Rp 15
Milyar (20%) dan pinjaman kredit investasi Rp. 60 Milyar (80%).

- Pinjaman kredit investasi dilakukan secara bertahap selama 3 (tiga) tahun


proyek (2013 – 2015) dengan jangka waktu pengembalian sesuai dengan
target pelunasan pada tahun 2026.

- Pada aspek finansial dengan tingkat pengembalian modal (IRR) mencapai


17,25% maka usaha integrasi sawit sapi layak untuk dibiayai melalui kredit
modal investasi dengan suku bunga rata-rata kredit investasi sekitar 12 - 14%.

- Pada aspek ekonomi usaha integrasi sawit sapi mampu memberikan manfaat
berupa penyediaan lapangan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitar,
mendukung upaya pemerintah daerah dalam penyediaan sapi siap potong
dan mengurangi ketergantungan sapi potong terhadap daerah lain dan
bahkan mampu memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah (pajak
dan restribusi) serta menghemat belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
daging sapi.

- Pada aspek lingkungan, pemanfaatan limbah kandang sebagai sumber pupuk


organik pengganti pupuk komersial untuk tanaman perkebunan dapat
meminimalisir resiko pencemaran lingkungan akibat penggunaan pupuk
kimia.

Berdasarkan tingkat kelayakan usaha integrasi sawit sapi pada masing-masing


aspek maka rencana kerja tindak lanjut yang akan dilakukan, antara lain:

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-113
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

- Unit usaha integrasi sawit sapi akan segera melakukan penyusunan Prosedur
Tetap (Protap) terkait dengan penataan struktur organsiasi (kelembagaan)
agar divisi tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam
manajemen usaha integrasi sawit sapi lebih jelas.

PTP Nusantara VI (Persero) sebagai pemrakarsa usaha integrasi sawit sapi akan
segera melakukan penyusunan dokumen lingkungan dalam bentuk Upaya
Pengelolaan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau dokumen
UKL-UPL sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau kegiatan
yang tidak diwajibkan menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UPL).

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-114
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Pengalaman masa lalu menunjukkan


bahwa pendekatan parsial dalam
pembangunan peternakan ternyata
belum efektif dalam mendorong
berkembangnya usaha ternak sapi yang
berdaya saing dan berkelanjutan.
Beberapa persoalan yang dihadapi
dalam pembangunan peternakan sapi
potong terutama pada skala rumah
tangga petani (RTP) perdesaan adalah:

a. Posisi daya saing usaha ternak sapi


masih lemah dibanding komoditas
lainnya sehingga menjadi alternatif
utama untuk dilepas ketika ada
perubahan dalam ekonomi RTP
perdesaan (non-sustanaible).

b. Rendahnya posisi daya saing


disebabkan karena masih
rendahnya nilai tambah (value
added) yang mampu diberikan
usaha peternakan sapi potong
dibanding komoditas lainnya.

c. Perubahan dalam sistem ekonomi


RTP perdesaan yang mendorong
pelepasan ternak sapi akibat

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-115
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

kebutuhan biaya mendesak yang harus segera dipenuhi, ketersediaan


tenaga kerja keluarga yang semakin menipis, dan peningkatan peran produk
pertanian (perkebunan) sehingga RTP merasa nyaman dengan komoditas
tunggal.

5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak

Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah
suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama
untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai suatu
tujuan. Sistem juga merupakan
kesatuan bagian-bagian yang
saling berhubungan yang berada
dalam suatu wilayah serta
memiliki item-item penggerak.
Sistem adalah himpunan suatu
“benda” nyata atau abstrak (a
set of thing) yang terdiri dari
bagian–bagian atau komponen-komponen saling berkaitan, berhubungan,
berketergantungan, saling mendukung, yang secara keseluruhan bersatu dalam
satu kesatuan (unity) untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien dan efektif”.

Menurut Jogianto (2005) bahwa sistem minimal memiliki 4 (empat) karekteristik


atau sifat-sifat khusus, yakni :

a. Komponen: Sistem terdiri dari sejumlah komponen yang saling berinteraksi,


yang artinya saling bekerja sama membentuk satu kesatuan.
Komponen-komponen sistem atau elemen-elemen sistem dapat berupa suatu
sub-sistem yang memiliki sifat-sifat untuk menjalankan suatu fungsi tertentu
guna mempengaruhi proses sistem secara keseluruhan.

b. Batasan Sistem (boundary) merupakan daerah yang membatasi antara suatu


sistem dengan sistem yang lainnya atau dengan lingkungan luarnya atau
menunjukan ruang lingkup dari sistem tersebut.

c. Lingkungan (evinronment) Sistem adalah lingkungan diluar batas sistem yang


mempengaruhi operasi dari sistem tersebut baik menguntungkan maupun
merugikan. Lingkungan luar yang menguntungkan berupa energi dari sistem
dan dengan demikian harus tetap dijaga dan dipelihara, sedangkan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-116
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

lingkungan luar merugikan harus ditahan dan dikendalikan, kalau tidak maka
akan menggangu kalangsungan hidup dari sistem.

d. Penghubung Sistem (interfance) merupakan media penghubung antara satu


sub-sistem dengan subsistem lainya. Penghubung ini memungkinkan
sumber-sumber daya mengalir dari satu subsistem ke subsistem yang lainya
atau integrasi antara subsistem yang membentuk satu kesatuan.

Berdasarkan karakteristik sistem dalam kaitannya dengan sistem integrasi


tanaman dan ternak sapi maka keempat karakteristik tersebut dapat didefinisikan
sebagai berikut:

a. Komponen Sistem Integrasi adalah cabang usahatani yang diusahakan yaitu


usahatani tanaman dan ternak sapi potong. Pada sistem integrasi seluruh
komponen (cabang usaha) yang ada harus saling berinteraksi dan bekerja
sama untuk membentuk satu kesatuan guna sehingga sistem tersebut dapat
berjalan.

b. Batasan (boundary) Sistem Integrasi merupakan wilayah yang membatasi


antara suatu sistem dengan sistem yang lainnya atau dengan lingkungan
luarnya atau menunjukan ruang lingkup dari sistem tersebut.

c. Lingkungan (evinronment) Sistem Integrasi adalah lingkungan diluar batas


sistem yang potensial mempengaruhi operasional dari sistem integrasi
tersebut seperti kelembagaan, kebijakan pemerintah dan kondisi pasar.

d. Penghubung (interfance) Sistem Integrasi merupakan media penghubung


sub-sistem yaitu teknologi yang memungkinkan sumber-sumber daya mengalir
dari satu cabang usahatani ke cabang usahatani lainya. Teknologi yang
dimaksud dalam hal ini adalah Teknologi Tepat Guna (TTG) yaitu teknologi
yang ditemukan atau diciptakan dengan tujuan untuk semakin meningkatkan
atau membuat pekerjaan semakin lancar, mampu meningkatkan nilai ekonomi,
dan tidak hanya dibuat namun dibuat dengan tepat sesuai kebutuhan.

Sistem integrasi tanaman dan ternak ditujukan untuk memperkuat interaksi antar
komoditas tanaman dan ternak sapi potong melalui pemanfaatan teknologi guna
mengalirkan sumberdaya potensial berupa limbah dari suatu komoditas (cabang
usaha) untuk komoditas (cabang usaha) lainnya. Aliran sumberdaya ini tidak
hanya untuk mendukung usahatani lainnya tetapi juga diharapkan mampu

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-117
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

memberikan nilai tambah (value added) bagi rumah tangga baik langsung
maupun tidak langsung (Gambar 5.1).

Gambar 5.1.
Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi

5.2. Membangun Sistem Integrasi Berkelanjutan

Membangun sistem integrasi tanaman dan ternak sapi potong berkelanjutan


dapat dilakukan secara efektif dengan memperhatikan karakteristik dari sistem
integrasi tersebut. Pengembangan sistem integrasi hendaknya dilakukan secara
terstruktur dan bertahap dan dengan menggunakan tahapam Simpul Tali Sepatu
(Gambar 5.2).

Ikat elemen sistem Perkuat sistem integrasi Jaga sistem yang terbentuk
integrasi melalui melalui introduksi dari gangguan lingkungan
teknologi pengolahan teknologi produksi dan eksternal melalui tata kelola
limbah sebagai kelembagaan guna kelembagan guna menjaga
penghubung (interfance) mendorong sistem harmonisasi dan
guna memperlancar integrasi berkerja efisien keberlanjutan sistem
aliran sumberdaya dan efektif integrasi

Gambar 5.2.
Tiga Komponen Menuju Sistem Integrasi Berkelanjutan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-118
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

5.2.1..Teknologi Sebagai Penghubung (Interfance)

Sumberdaya potensial yang dapat dialirkan


antar komoditas (elemen) dalam sistem
integrasi adalah sumberdaya limbah baik
yang berasal dari tanaman maupun ternak
sapi potong. Perbedaan karakteristik limbah
terutama limbah tanaman membutuhkan
teknologi pengolahan yang berbeda antar
model kawasan integrasi. Teknologi pengolahan limbah kandang antar kawasan
integrasi secara umum adalah sama dan kemungkinan hanya akan berbeda pada
bahan baku tambahan yang digunakan. Pada sisi lain, jenis teknologi pengolahan
limbah tanaman yang diterapkan akan berbeda pada masing-masing kawasan
integrasi sesuai dengan sumberdaya limbah yang tersedia baik limbah tanaman
maupun limbah pengolahan hasil. Berdasarkan jenis teknologi sebagai
penghubung (interfance) antar komoditas dalam sistem integrasi (Tabel 5.1)
maka dapat disusun matriks kebutuhan teknologi untuk masing-masing jenis
kawasan integrasi (Tabel 5.2).

Tabel 5.1.
Daftar Teknologi Pengolahan Limbah Tersedia sebagai Penghubung (Interfance)
Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi

No JENIS TEKNOLOGI OUTPUT TEKNOLOGI


A TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH PERTANIAN
1. Silase (Basah)
Teknologi Pengolahan Limbah
1 2. Hay (Kering)
Tanaman
3. Amoniasi
1. Wafer Ransum Komplit (WRC)
Teknologi Pengolahan Pakan
2 2. Urea Saka Block (USB)
Konsentrat
3. Urea Molasses Block (UMB)
B TEKNOLOGI PENGOLAHAN LIMBAH KANDANG
Teknologi Pengolahan Limbah 1. Biogas
1
Padat 2. Trychokompos Insitu
1. Biourine “Aerasi” Plus
2 Teknologi Pengolahan Limbah Cair
2. Biopestisida/Bioherbisida

Penentuan skala prioritas didasarkan pada jenis bahan baku tersedia serta
penggunaan dari masing-masing produk teknologi bagi rumah tangga peternak.
Masing-masing jenis teknologi memiliki tingkat kebutuhan berbeda antar berbagai
jenis sistem integrasi, misalnya untuk integrasi sapi sawit dan sapi sawah

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-119
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

(pangan) sangat membutuhkan teknologi prosukdi silase tetapi pada integrasi


sapi karet tidak terlalu membutuhkan. Hal yang sama dalam teknologi produksi
biopestisida, pada integrasi sapi sawah dan sapi tebu sangat dibutuhkan tetapi
tidak terlalu dibutuhkan pada integrasi sapi sawit. Berdasarkan pertimbangan
bahan baku dan penggunaan produk teknologi bagi rumah tangga pelaku
integrasi dan masyarakat sekitar maka matrik skala prioritas disajikan seperti
pada Tabel 5.2.

Tabel 5.2.
Matrik Skala Prioritas Kebutuhan Teknologi Penghubung dalam Sistem Integrasi
Tanaman dan Ternak Sapi

Kawasan Integrasi dan Tingkat Kebutuhan


No TEKNOLOGI PRODUKSI
Sawit Karet Pangan Tebu
1 Silase (Basah) PR BP PR PR
2 Hay (Kering) TP BP PR PR
3 Amoniasi TP BP PR PR
4 Wafer Ransum (WRC) BP TP PR TP
5 Urea Saka Block (USB) BP TP TP PR
6 Urea Molasses Block (UMB) TP TP PR PR
7 Biogas BP BP BP BP
8 Trychokompos Insitu PR PR PR PR
9 Biourine “Aerasi” Plus PR PR PR PR
10 Bio Pestisida/Herbisida BP BP PR PR
Ket: PR = Prioritas, BP = Belum Prioritas dan TP = Tidak Prioritas

Definisi status kelompok teknologi penghubung yaitu prioritas (PR), belum


prioritas (BP) dan tidak prioritas (TP) berdasarkan pada kebutuhan dan
keselarasan dengan sumber daya tersedia. Suatu teknologi penghubung disebut
teknologi prioritas (PR) jika teknologi tersebut benar-benar menentukan pola
aliran sumberdaya dan dapat digunakan secara langsung dalam sistem integrasi.
Belum prioritas (BP) jika teknologi penghubung tersebut dibutuhkan tetapi
sebenarnya ada teknologi lain yang bisa digunakan secara langsung sehingga
tanpa teknologi ini sistem integrasi masih dapat berlangsung. Selanjutnya disebut
tidak prioritas (TP) jika tidak sesuai dengan potensi sumberdaya bahan baku
sehingga jika dilaksanakan akan sangat tergantung pada faktor eksternal
dan/atau penggunaannya tidak banyak memberikan dampak bagi sistem integrasi.
Implementasi teknologi penghubung perlu dukungan kelembagaan yang mampu
mendorong partisipasi anggota kelompok sehingga nilai manfaat dapat
terdistribusi lebih luas.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-120
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

5.2.2. Teknologi Introduksi dan Penguatan Kelembagaan

Sistem integrasi sapi dan tanaman akan lebih bertahan jika diikuti dengan upaya
peningkatan daya saing komoditas ternak sapi potong terhadap komoditas
usahatani. Artinya, usaha ternak sapi potong perlu didorong agar lebih produktif
dan menguntungkan (profitable) baik melalui akselerasi populasi maupun
produksi. Teknologi introduksi sebagai bagian upaya peningkatan produktivitas
disamping teknologi pakan yang sudah melekat sebagai teknologi penghubung
disajikan Tabel 5.3.

Tabel 5.3.
Jenis Layanan Teknologi Introduksi yang Dibutuhkan dalam Peningkatan Daya
Saing Ternak Sapi dalam Sistem Integrasi

No Teknologi Introduksi Ruang Lingkup Teknologi Introduksi

a. Seleksi ternak sapi bibit (induk dan pejantan)


b. Teknik recording dan silsilah ternak sapi bibit
Teknologi
1 c. Penjaringan ternak sapi betina produktif
Pembibitan
d. Pengadaan dan penanganan ternak sapi bibit
e. Mekanisme pelepasan sapi betina produktif
a. Intensifikasi Kawin Alami (INKA)
b. Inseminasi Buatan (IB)
Teknologi
2 c. Embryo Transfer (ET)
Reproduksi
d. Deteksi birahi dan pemeriksaan kebuntingan
e. Penanganan induk dan anak sapi baru lahir
a.Pengenalan jenis dan teknik deteksi dini penyakit
b.Vaksinasi dan pencegahan penyakit ternak
3 Kesehatan Hewan
c. Penggunaan obat-obatan ternak tradisional
d.Pengobatan dan penanganan ternak terjangkit
a.Pengenalan dan pencegahan penularan penyakit
Kesehatan
hewan kepada manusian
4 Masyarakat
b.Penanganan dini dan pengobatan penyakit manusia
Veteriner
akibat tertular ternak (hewan)

Layanan teknologi introduksi tersebut sebagian dapat dilakukan secara swadaya


oleh peternak tetapi sebagian lainnya membutuhkan keahlian khusus. Penguatan
layanan teknologi yang dapat dilakukan langsung oleh peternak dilakukan
melalui pengembangan SDM peternak baik melalui penyuluhan maupun pelatihan,
sedangkan untuk yang membutuhkan skill atau keahlian tertentu dilakukan
melalui unit-unit jasa layanan teknologi, sebagai berikut:

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-121
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

1. Unit Jasa Layanan Inseminasi Buatan (IB) yang bertugas tidak hanya
menyediakan semen beku tetapi juga melakukan IB baik pada lokasi yang
ditentukan maupun langsung pada lokasi peternakan rakyat. Petugas IB tidak
hanya dibekali dengan semen beku, alat dan peralatan IB tetapi juga
dilengkapi dengan alat komunikasi guna memudahkan peternak untuk
menghubunginya.

2. Unit Jasa Layanan Kesehatan Hewan (Keswan) yang bertugas tidak hanya
menyediakan obat, vaksin dan vitamin ternak tetapi juga memberikan
pelayanan kesehatan hewan berupa pemeriksaan dan penyuntikan (vaksin,
vitamin dan obat) jika diminta oleh peternak baik pada lokasi yang telah
ditentukan maupun langsung pada lokasi pemeliharaan (kandang ternak sapi).
Sebagaimana halnya petugas IB maka petugas keswan tidak hanya dilengkapi
alat dan bahan untuk pengobatan tetapi juga alat komunikasi guna
memudahkan peternak untuk memesan jasa layanan keswan terutama pada
kondisi penanganan segera.

3. Unit Jasa Layanan Konsultasi dan Informasi yang bertugas tidak hanya untuk
menyediakan data dan informasi dari dan untuk peternak tetapi juga
mendesain jasa layanan pelatihan teknologi dan wirausaha, fasilitasi kegiatan
magang dan penelitian serta pendampingan bagi wirausaha baru peternakan
sapi potong.

4. Unit Jasa Layanan Pemasaran Ternak yang memiliki tugas untuk kontrol
ternak masuk dan keluar (pasar ternak), pengadaan ternak sapi bibit (calon
induk dan bakalan), penjaringan dan penanganan ternak sapi betina produktif
serta pengelolaan rumah potong hewan dan kandang inap sementara ternak
sapi yang akan dijual dan sedang perawatan kesehatan.

Implementasi teknologi introduksi selayaknya didukung dengan SDM terlatih dan


manajemen organisasi berorientasi bisnis baik pada tingkat kelompok maupun
kawasan. Keberlanjutan operasional jasa layanan sangat ditentukan oleh
kapasitas pengelola dalam menggali sumber-sumber penerimaan potensial
(Gambar 5.4).

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-122
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 5.4.
Unit Usaha dan Keuangan Jasa Layanan Teknologi Introduksi

5.2.3. Kebijakan Pendukung

Menjaga atau mempertahankan keberadaan sistem integrasi membutuhkan suatu


lingkungan kondusif baik dalam batas-batas sistem (internal) maupun lingkungan
luar (eksternal) sistem integrasi. Untuk itu peranan pemerintah baik pusat maupun
daerah (Provinsi dan Kabupaten) melalui kebijakan (regulasi) guna mendorong
terciptanya lingkungan kondusif sangat dibutuhkan. Secara umum terdapat 2
bentuk sifat kebijakan yang dapat diambil guna menjaga keberlanjutan sistem
integrasi, yaitu:

1. Kebijakan protektif (Protective Policies) yaitu kebijakan yang bertujuan untuk


melindungi sistem integrasi dari dampak negatif yang berpotensi menjadi
sumber gangguan sistem, antara lain melalui:

a. Kebijakan yang mampu memperkuat sistem integrasi antara lain melalui


penguatan kelembagaan (aturan main dan organisasi) yang sudah
terbentuk dalam sistem integrasi.

b. Kebijakan yang mampu mencegah masuknya atau melindungi sistem


integrasi dari pengaruh negatif lingkungan luar (eksternal) sehingga
potensial merusak tatanan yang telah terbentuk.

2. Kebijakan progresif (Progressive Policies) yaitu kebijakan yang bertujuan


untuk mempercepat (akselerasi) berkembangnya sistem integrasi sehingga

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-123
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

nilai-nilai manfaat (benefit values) lebih besar dan terdistribusi secara adil dan
merata diantara para pelaku sistem integrasi.

Berdasarkan pendekatan yang digunakan dalam pembangunan sistem integrasi


berkelanjutan yang akan menjadi acuan penyusunan program dan kegiatan
pengembangan kawasan (Gambar 5.5).

BIOPESTISIDA
BIOGAS DAN
WRC, USB, UMB
DAMPAK POSITIF

KONSENTRAT/

BIO-URINE,
SILASE, HAY,

KOMPOS
Minimalisasi sumberdaya
AMONIASI

PELLET terbuang, bonus nilai


tambah, kemandirian input
UT tanaman, efisiensi TK
(meramban), ketergantungan
antar cabang UT, daya saing
Residual Limbah UT, welfare dan daya tahan Limbah Limbah
Panen PHP ekonomi RT meningkat Padat Cair

TEKNOLOGI INTERFANCE
Pengolahan Limbah

USAHA USAHA
TANI INTERAKSI TERNAK
TANAMAN SAPI

SISTEM INTEGRASI USAHATANI BERKELANJUTAN


SIFAS: Sustainable Integrated Farming System

TEKNOLOGI INTRODUKSI dan INTERVENSI KEBIJAKAN


KELEMBAGAAN (REGULASI)
Perbibitan (seleksi bibit unggul) Pasar dan Manajemen Pemasaran
Reproduksi (IB + Sinkronisasi Birahi) Iklim investasi dan aksesibiltas modal
Keswan dan masyarakat veteriner Perlindungan dan tatakelola kawasan
Kapasitas SDM Keswan Manajemen Peningkatan kapasitas SDM
Penataan dan tatakelola kawasan Program transfer IPTEK

Gambar 5.5.
Rangkaian Program Membangun Sistem Integrasi Berkelanjutan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-124
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Kelembagaan secara umum menyangkut


2 hal yaitu organisasi (a player of game)
dan aturan main (rule of the games).
Kelembagaan menurut Ruttan dan
Hayami (1984) adalah aturan dalam
suatu kelompok atau organisasi
masyrakat yang memfasilitasi koordinasi
antar anggota untuk membantu setiap
orang atau organisasi mencapai tujuan
bersama yang diinginkan. Sedangkan
definisi kelembagaan menurut Ostrom
(1985) merupakan suatu aturan dan
rambu-rambu sebagai panduan yang
dipakai oleh anggota untuk mengatur
hubungan yang saling mengikat dan
tergantung satu sama lain. North (1990)
lebih menekankan kelembagaan sebagai
aturan main dalam suatu kelompok yang
sangat dipengaruhi faktor-faktor ekonomi,
sosial dan politik. Kelembagaan sebagai
perangkat aturan yang mengarahkan
perilaku masyarakat dalam memenuhi
kebutuhan berbeda dengan organisasi
karena kelembagaan lebih kental dengan
peraturan dan organisasi terfokus pada
struktur.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-125
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Menurut Tjondronegoro (1984), kelembagaan masyarakat berkembang secara


kontinum, dari lembaga menjadi organisasi, meski antara lembaga atau institusi
sulit dipisahkan karena memiliki ciri-ciri yang kadang sama dan kadang berbeda.
Lembaga berorientasi pada kebutuhan, peranan yang dimainkan, pengawasan
sosial, pengakuan budaya, pendukung yang terlibat, tradisi, berpegang pada
norma, usia prioritas dan gengsi serta sifat memenuhi kebutuhan. Sedangkan
organisasi berorientasi pada tujuan, tugas yang dilaksanakan, prosedur,
pengawasan peraturan, pengakuan karena didirikan resmi, kebiasaan rutin,
digagas dan diwujudkan, kesetiaan dan ikatan pada tujuan, prioritas pada
keterampilan, kemampuan dan alat mencapai tujuan.

6.1. Model Kelembagaan SIFAS

Uphoff (1986) mengidentifikasi kelembagaan secara hirarkis dan vertikal dimana


kelembagaan mikro atau lokal merupakan kelembagaan pada komunitas yang
dinamis, partisipatori baik publik maupun swasta yang meliputi lembaga-lembaga
yang tumbuh dalam masyarakat dan dibangun secara sukarela dan swadaya.
Perangkat kelembagaan yang mengatur hak, kewajiban dan tanggung jawab bagi
anggota dan menyediakan jaminan sosial, kepercayaan dan perlindungan
ekonomi (aturan main dan ”kepastian” tentang siapa memperoleh apa dan berapa
banyak) secara sosiologis berpotensi menurunkan derajat ketidakpastian dalam
kehidupan masyarakat (Berkes dkk., 1998). Kelembagaan lokal dapat berupa
kelembagaan bisnis dalam suatu wilayah seperti kelembagaan pertanian,
perdagangan, kerajinan, industri dan kelembagaan lainnya yang berorientasi
profit (Uphoff, 1986). Pada perspektif sosiologi, kelembagaan yang hidup dalam
suatu komunitas dapat dianalisis dalam dua perspektif yaitu a) kelembagaan
sebagai nilai, norma, aturan perilaku dan aturan main, dan b) kelembagaan
sebagai institusi/organisasi atau struktur (Hidayat, 2010).

Aplikasi kelembagaan harus disesuaikan dengan kebutuhan domestik agar


realisasi usaha pemerintah dapat diterima masyarakat perdesaan dan mampu
menjadi proses pembelajaran bagi komunitas lokal dalam usaha mereka
(Punong-ong, 1997). Pada sisi lain keberlanjutan kelembagaan (Institutional
Sustainability) ditentukan oleh kemampuan investigasi asumsi dalam melakukan
aksi, aturan dan tanggung jawab yang disepakati termasuk akuntabilitas atas
tindakan pihak-pihak, dan kemampuan menyusun atribut outcome (Johnson dan

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-126
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Wilson, 1999). Model tata kelola kelembagaan program SPR (Sentra Peternakan
Rakyat) relatif lebih selaras dan sesuai digunakan dalam membangun industri
peternakan sapi potong rakyat dengan pendekatan SIFAS. Secara umum terdpat
3 (tiga) segmen kelembagaan yang perlu dikembangkan, yaitu rumah tangga
peternak sapi potong rakyat sebagai objek sasaran utama, kelompok sebagai
bentuk implementasi aksi kolektif peternak, dan sentra jasa layanan sebagai
gusus depan dari suatu kawasan terintegrasi (Gambar 6.1).

Gambar 6.1.
Kebijakan Satu Pintu Tatakelola Kawasan SIFAS

Secara umum pada suatu kawasan SIFAS terdapat 3 (tiga) pelaku utama yaitu
rumah tangga peternak sapi potong (RTP), kelompok petani peternak sapi potong
(KPT) dan sentra jasa layanan (SJL). Tatakelola kelembagaan untuk setiap
kawasan SIFAS harus didorong agar berperilaku sebagai sebuah kawasan
industri yang memiliki kemampuan untuk melindungi kepentingan seluruh pelaku
dalam kawasan tersebut. Selama ini para pengambil kebijakan cenderung lebih
pada membangun organisasi peternak dibanding melakukan penataan
kelembagaan, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Kata
“kelembagaan” merupakan padanan kata Inggris institution, atau lebih tepatnya
social institution; sedangkan “organisasi” padanan dari organization atau social

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-127
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

organization. Meskipun kedua kata sudah umum dikenal masyarakat, namun


pengertian dalam sosiologi berbeda sebagaimana menurut Horton dan Hunt
(1984) “What is an institution? The sociological concept is different from the
common usage”. Institusi merupakan suatu bentuk organisasi yang secara tetap
tersusun dari pola-pola kelakuan, peranan-peranan dan relasi sebagai cara yang
mengikat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar. Kedua kata tersebut
pada mulanya digunakan secara bolak balik, baur dan luas tetapi memiliki
hubungan yang kuat, sering sekali muncul secara bersamaan, namun juga sering
digunakan secara bolak balik karena menyangkut objek yang sama atau banyak
kesamaannya.

6.2. Peran dan Kedudukan Pelaku dalam SIFAS

Penataan kelembagaan (institutional arrangements) ditentukan oleh beberapa


unsur: aturan operasional pemanfaatan sumber daya, aturan kolektif untuk
menentukan, menegakan hukum atau aturan itu sendiri dan untuk merubah
aturan operasional serta mengatur hubungan kewenangan organisasi. Aturan
main yang harus ditaati akan menentukan peran masing-masing stakeholder
berdasarkan kedudukan mereka dalam kelembagaan SIFAS.

6.2.1. Peran dan Kedudukan Rumah Tangga Peternak

Peran dan kedudukan RTP sapi potong mengacu pada Peraturan Menteri
Pertanian RI No. 46/Permentan/PK.210/8/2015 tentang Pedoman Budidaya Sapi
Potong yang Baik bahwa peternak adalah orang perseorangan Warga Negara
Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan. Sumber daya
manusia yang terlibat dalam usaha budidaya sapi potong harus memenuhi
persyaratan antara lain: a) sehat jasmani dan rohani; b) mempunyai keterampilan
sesuai dengan bidangnya dan memahami risiko pekerjaan; c) memiliki
kemampuan dan pengetahuan di bidang usaha budidaya sapi potong; dan d)
menerapkan keselamatan dan keamanan kerja sesuai peraturan
perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Untuk mendapatkan SDM
tersebut maka pada usaha peternakan rakyat dengan skala kecil dan umumnya
kapasitas SDM rendah (pendidikan) maka mereka berhak untuk mendapatkan
pembinaan melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan agar mampu
menerapkan budidaya sapi potong yang baik. Peternak yang telah menerapkan
Pedoman Budidaya Sapi Potong yang Baik diberikan surat keterangan cara

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-128
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

budidaya sapi potong yang baik oleh dinas kabupaten/kota yang membidangi
fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pada konteks pengembangan kawasan
SIFAS maka kewajiban tambahan yang perlu dipenuhi oleh para peternak sapi
potong antara lain:

1. Membangun konstruksi kandang terutama lantai yang memudahkan


penampungan atau koleksi limbah baik padat atau cair (Gambar 6.2).

2. Menyediakan sarana penampungan sementara limbah kandang yang terdiri


dari pondok pengeringan limbah padat (feses dan sisa hijauan pakan) dan
bak penampung atau koleksi limbah cair (urine).

3. Menyediakan sarana dan prasarana untuk pengolahan limbah tanaman


sebagai sumber pakan ternak seperti pondok fermentasi (pakan basah) dan
penyimpanan stock olahan hijauan kering (hay).

Kandang Sapi

Pondok
Pengeringan

Bak
Koleksi
Gambar 6.2.
Bak Koleksi Urine dan Pengeringan Limbah Padat

Faktor penting dari fasilitas kandang tambahan adalah kemiringan lantai baik
lantai kandang maupun lantai pondok pengeringan limbah padat kandang, dan
biasaya menggunakan tingkat kemiringan 5 - 7 cm tergantung pada lebar
kandang. Hal ini dilakukan agar aliran urine pada kandang bisa mengalir dan
terkumpul pada bak koleksi dan hal yang sama pondok pengeringan agar aliran
air yang membasahi tumpukan limbah padat secara alamiah bisa dikurangi dan
proses pengeringan lebih cepat.

6.2.2. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-129
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Kelompok peternak adalah kumpulan peternak yang dibentuk atas dasar


kesamaan kepentingan, kondisi lingkungan, sosial ekonomi dan sumberdaya
serta keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota.
Kelompok peternak merupakan organisasi non formal yang terbentuk di
pedesaan yang mana anggotanya memiliki ternak. Tujuan utama berkelompok
adalah untuk meningkatkan kesejahteraan para anggotanya. Ciri-ciri kelompok
peternak yaitu, saling kenal dan akrab, mempunyai kepentingan yang sama,
kesamaan jenis usaha yaitu beternak, memiliki kesamaan tradisi dan lokasi,
memiliki aturan yang dibentuk atas kesepakatan bersama dan keberadaannya
harus dirasakan manfaatnya oleh seluruh anggota kelompok, dengan
melaksanakan fungsi kelompok sebagai:

1. Kelas Belajar: Kelompok peternak merupakan tempat para anggota


kelompok untuk belajar baik pakanmanagemen ternak maupun
agribisnisnya. Hal tersebut berguna untuk meningkatkan. pengetahuan,
sikap dan keterampilan para anggota kelompok agar tumbuh dan
berkembang menjadi usaha peternakan yang maju dan mandiri. Semakin
tinggi kualitas sumberdaya manusia anggota kelompok, semakin baik
pengelolaan managemen kelompok tersebut. Sebaiknya anggota kelompok
peternak terus belajar mengasah ilmu peternakan sehingga peningkatan
kemampuan manajemen usaha peternakan meningkat yang akan
memudahkan pengelolaan usaha ternak.

2. Wahana Kerjasama: Sesama anggota kelompok peternak harus menjalin


kerjasasama yang baik agar usaha ternak bisa berjalan dengan lancar.
Kerjasama dalam menanggulangi masalah-masalah peternakan yang
dialami baik masalah penangulangan pakan, kesehatan ternak maupun
pemasaran hasil. Sifat gotong-royong harus tumbuh dalam jiwa-jiwa setiap
anggota kelompok.

3. Unit Produksi: Keberadaan kelompok peternak harus bisa meningkatkan


jumlah populasi ternak dan meningkatkan kualitas ternak menjadi ternak
unggul. Kelompok peternak yang lebih maju bisa memproduksi hasil
peternakan, sehingga tidak hanya mengelola produksi di hulu tapi juga di hilir
misalnya langsung menjual daging, pembuatan abon, telur asin, kerupuk
kulit atau produk bahan sepatu atau jaket dari kulit.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-130
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Sesuai permentan No. 46/Permentan/PK.210/8/2015 tentang Pedoman Budidaya


Sapi Potong yang Baik, maka peternak sapi potong disamping harus memenuhi
syarat-syarat perkandangan, pakan dan kesehatan hewan lainnya juga
diharapkan memiliki peralatan yang dibutuhkan dalam usaha budidaya sapi
potong yang mudah digunakan, dibersihkan dan tidak mudah berkarat, antara lain:
a) tempat pakan dan tempat minum; b) alat pemotong dan pengangkut rumput, c)
alat pengolah tanah; d) timbangan pakan dan timbangan sapi; e) mesin giling
butiran dan mixer (jika membuat pakan konsentrat sendiri); f) mesin pencacah
rumput (chopper); g) alat pemotong tanduk (dehorned); h) alat identitas ternak; i)
alat penerangan; j) alat pembersih kandang; k) alat desinfeksi; dan l) peralatan
kesehatan hewan. Pada peternakan sapi potong rakyat skala kecil tidak semua
peralatan tersebut dapat dipenuhi karena keterbatasan modal dan kepemilikan
bersama atau kolektif dapat menjadi salah satu solusinya tetapi dengan tatakelola
yang berbeda (Gambar 6.3)

TEMPAT ALAT ALAT ALAT


TIMBANGAN ALAT PE-
PAKAN DAN IDENTITAS PEMOTONG PENGANGKUT
PAKAN NERANGAN
MINUM TERNAK RUMPUT RUMPUT

BAK KOLEKSI
LIMBAH CAIR URINE
RUMAH TANGGA
PETERNAK SAPI
POTONG PENGERINGAN
LIMBAH PADAT
Pinjam/Sewa

CHOPPER MIXER TIMBANGAN DESINFEKTAN


(MESIN (MESIN GILING DAN DAN
Pengolahan

Pengolahan

PENCACAH) BUTIRAN) ALKESWAN DEHORNED


Pengolahan

KANDANG KOLEKTIF
T E R N A K S A P I

UNIT UNIT PENGOLAHAN


UN IT PE N G O LA H A N
PENGOLAHAN LIMBAH PADAT
LIMBAH TERPADU
LIMBAH TANAMAN KANDANG SAPI

UNIT PENGOLAHAN
LIMBAH CAIR
KANDANG SAPI

Gambar 6.3.
Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak
Beberapa peralatan untuk mmenuhi kriteria budidaya sapi potong yang baik
memiliki harga yang cukup tinggi dan tidak menjadi kebutuhan rutin rumah tangga
peternak sehingga akan lebih efisien dan efektif jika kepemilikan secara kolektif

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-131
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

atas nama kelompok. Penggunaan oleh anggota tergantung kesepakatan tetapi


untuk “maintenance” alat biasanya akan dikenakan sejenis pembayaran baik
dalam bentuk sewa atau barter. Barter dapat dilakukan dengan cara rumah
tangga peternak menyerahkan sejumlah input untuk unit produksi yang juga
dikelola oleh kelompok. Untuk itulah salah satu alasan kenapa pengembangan
sumber-sumber penerimaan rumah tangga yang bersifat jangka pendek perlu
dilakukan seperti pemanfaatan limbah kandang baik padat maupun cair yang
digunakan unit pengolahan limbah terpadu kelompok. Penerimaan dari sewa atau
barter anggota kelompok berupa peralatan dasar hanya untuk memenuhi
kebutuhan operasional seperti pembelian bahan bakar, pembayaran listrik dan
lainnya dan biaya perawatan peralatan seperti perbaikan jika terjadi kerusakan
atau penggantian dengan peralatan baru jika kerusakan tidak mampu diperbaiki.

Pemberdayaan kelompok peternak sapi potong selama ini cenderung hanya


fokus pada aspek budidaya dan sangat jarang sekali untuk mendorong mreka
menjadi pelaku industri peternakan rakyat. Kecenderungan ini menyebabkan
banyak kelompok peternak yang sering “mati suri” baik karena tidak memiliki
biaya operasional maupun pembentukannya hanya untuk tujuan mendapatkan
bantuan program. Sudah berapa banyak sumberdaya termasuk dana yang sudah
dihabiskan untuk pembinaan kelompok melalui berbagai program tetapi pasca
berakhirnya program maka kelompok peternak kembali keawalnya. Hanya sedikit
kelompok peternak yang memiliki kemandirian operasional karena pembinaan
selama ini tidak mendorong mereka mampu menjadi pelaku industri dengan
usaha dan sumber pendapatan yang terdiversifikasi. Padahal jika kita lihat dari
pohon industri ternak sapi potong (Gambar 6.4) begitu banyak industri kecil dan
menengah (IKM) yang dapat dikembangkan. Produk utama ternak sapi potong
berupa daging potensial untuk pengembangan IKM pangan baik dalam bentuk
daging segar, daging beku maupun daging olahan. IKM daging olahan dapat
dalam bentuk olahan basah seperti bakso, sosis, dan kornet, sedangkan olahan
dalam bentuk kering seperti dendeng, abon dan lainnya. Olahan pangan juga
dapat memanfaatkan produk ikutan lain seperti kulit untuk IKM kerupuk kulit dan
lemak untuk IKM mentega.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-132
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Gambar 6.4.
Pohon Industri Komoditas Sapi Potong

Hal yang sama juga dengan limbah kandang ternak sapi potong baik limbah padat
kandang (feses dan sisa hijauan pakan) maupun limbah cair (urine) untuk dikelola
dalam kawasan suatu areal pengolahan limbah terpadu (integrated waste
processing). Pengembangan IKM pangan olahan daging dan kerupuk kulit dapat
menjadi cabang usaha kelompok peternak yang dalam operasionalnya dilakukan
oleh ibu rumah tangga (isteri dan anak-anak), sementara kelompok kepala rumah
tangga (bapak) bisa fokus pada IKM produk olahan tepung tulang untuk pakan
ternak dan IKM olahan pupuk organik padat dan cair. Proses pemberdayaan
kelompok peternak ini membutuhkan perubahan paradigma seluruh stakeholder
mulai dari hanya sekedar kelompok budidaya menjadi kelompok peternak yang
berorentasi industri peternakan. Kelompok peternak sapi potong tidak hanya
mengelola budidaya tetapi mereka diarahkan untuk menjadi kelompok industri
peternakan sapi potong dengan produk yang terdiversifikasi sehingga mampu

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-133
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

memperoleh nilai tambah (value added) lebih besar dari aktivitas usaha yang
mereka lakukan (Gambar 6.5).

Gambar 6.5.
Pemberdayaan dan Kelembagaan Kelompok Peternak Sapi

Pemberdayaan kelompok peternak sapi potong rakyat berorientasi industri


selama ini tidak hanya terkendala pada kapasitas SDM dan produktivitas usaha
budidaya tetapi juga terkendala pada pembiayaan atau permodalan. Kendala
permodalan tidak hanya dalam mendorong peningkatan skala usaha atau
kepemilikan ternak sapi tetapi juga dalam diversifikasi usaha guna meningkatkan
variasi sumber-sumber pendapatan. Aksesibilitas sumber pembiayaan selama ini
tidak hanya terkendala pada sistem administrasi yang rumit tetapi juga karena
karakteristik usaha peternakan sapi potong itu sendiri yang memiliki tingkat
pengembalian investasi yang rendah atau “non-profitable” serta pendapatan yang
cenderung bersifat jangka menengah atau “yearly income”. Sistem pembiayaan
konvensional umumnya menggunakan pendekatan annuitas (cicilan) bulanan
sehingga dengan sistem produksi yang bersifat musiman atau bahkan tahunan
akan menyulitkan peternak dalam melakukan cicilan menjelang ternak sapi hasil
budidaya dipasarkan. Penggunaan sistem annuitas tertunda akan memperbesar
beban bunga cicilan yang akan ditanggung oleh peternak sapi potong pengguna
jasa layanan perbankan.

Berdasarkan kendala-kendala termasuk dalam sistem pembiayaan maka


dibutuhkan lembaga yang mampu menjadi fasilitator dan sekaligus penjamin
dalam mendapatkan sumber-sumber pembiayaan. Jika selama ini ada upaya

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-134
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

untuk memperkuat daya tawar peternak melalui pengembangan Gabungan


Kelompok Tani Ternak (Gapoktanak) tetapi peran yang dimainkan hanya terbatas
pada aspek teknis dan adminsitratif. Keberadaan dana desa (ADD) dan Badan
Usaha Milik Desa (BUMDes) pada dasarnya dapat menjadi lembaga ekonomi
desa yang potensial untuk menjadi fasilitator dan bahkan sentra jasa layanan bagi
rumah tangga dan kelompok peternak sapi potong rakyat. Bagaimana mekanisme
dan peran yang dapat dilakukan BUMDes sebagai SJL dalam pengembangan
industri peternakan sapi potong rakyat secara lengkap diuraikan dalam peran dan
kedudukan SJL.

6.2.3. Peran dan Kedudukan Sentra Jasa Layanan

Peran dan kedudukan sentra jasa layanan (SJL) mengacu pada Peraturan
Pemerintah RI No. 6 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Peternak khususnya
Bab III Pasal 10 dan 11 yaitu pelayanan peternakan dan kesehatan hewan.
Pelayanan peternakan terdiri atas: a) penyediaan dan pengelolaan lahan
penggembalaan umum; b) penyediaan benih/bibit unggul; c). penyelamatan
ternak ruminansia betina produktif dan d). penyediaan pos inseminasi buatan,
sedangkan layanan kesehatan hewan terdiri atas: a) pemeriksaan kebuntingan; b)
pengamatan dan identifikasi penyakit c) pengamanan penyakit hewan d)
pengobatan hewan sakit dan e) pemberantasan penyakit hewan (Gambar 6.6)..

Pengembalaan Pemeriksaan
Umum Kebuntingan

Penyediaan Pengamatan
Bibit Penyakit
Layanan Layanan
Peternakan Keswan
Penyelamatan Pengamanan
Betina Produktif Penyakit Hewan
Sentra
Jasa Pemberantasan
Pos Pelayanan Layanan Penyakit
IB (SJL)

Gambar 6.6. Jasa Layanan Peternakan

Pada model industri peternakan rakyat, sentra jasa layanan didorong untuk
dikelola oleh BUMDes melalui kerjasama kemitraan dengan berbagai pihak baik
pemerintah daerah maupun dunia usaha.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-135
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-136
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Keberhasilan proses industrialsasi sektor


peternakan sapi potong rakyat sangat
tergantung pada kemampuan pengambil
kebijakan dalam memposisikan sektor
peternakan itu sendiri. Karakteristik
sektor usaha sapi potong di Indonesia
yang mayoritas merupakan usaha ternak
rakyat dengan skala rumah tangga atau
usaha kecil, dipelihara secara tradisional
dengan sentuhan teknologi masih minim,
serta memiliki muti-fungsi dalam rumah
tangga. Usaha peternakan sapi potong
yang secara ekonomi merupakan usaha
sambilan juga memiliki fungsi sosial
budaya dan bahkan terkait dengan
kepercayaan dan agama. Karakteristik
dasar ini menyebabkan dalam proses
transformasi menuju industri peternakan
sapi potong akan membutuhkan sumber
daya dan energi yang besar.

Pada sisi lain, laju pertumbuhan


permintaan dan konsumsi daging sapi
terus mengalami peningkatan seiring
dengan meningkatnya jumlah penduduk,
pendapatan dan kesadaran masyarakat
akan pentingnya protein hewani asal
ternak potong ini. Meskipun kita memiliki
sumberdaya ternak kerbau yang dapat

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-137
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

menjadi bahan pangan penganti atau substitusi sempurna (perfect substitution)


ternyata laju pertumbuhan produksi tidak mampu mengimbangi laju pertumbuhan
konsumsi. Kesenjangan antara supply dan demand yang semakin tinggi
menyebakan ketergantungan terhadap produk daging impor selalu mengalami
peningkatan. Neraca perdagangan yang selalu defisit tentu saja menjadi kerugian
besar bagi devisa negara dan ancaman bagi ketahanan dan keamanan pangan
(food security and food savety) Indonesia. Setiap kebijakan selalu akan
mengalami dilema pilihan antara kebijakan yang berpihak pada industri denagn
sistem agribisnisnya atau peternakan rakyat yang lebih mengedepankan
pemerataan.

Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara yang telah menyepakati tujuan
pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs).
Target kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh PBB ini adalah tercapainya
17 tujuan dengan 159 indikator capaian pada tahun 2030 (Ginting, 2019). Konsep
SDGs dibentuk dalam konferensi PBB tahun 2015 ini menetapkan target yang
dapat diaplikasikan secara universal dan diukur melalui keseimbangan 3 (tiga)
dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. SDGs
mencakup 20 aksi yang mendorong negara untuk mengintegrasikan program
pembangunan sektor pertanian dan perdesaan secara lebih luas untuk
pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan nasional,
regenerasi masyarakat perkotaan, dan perlindungan sumberdaya (FAO, 2018).
Pada sisi lain, sistem produksi peternakan didunia secara garis besar dapat
dibagi atas sistem produksi berbasis ternak (solely livestock system) dimana 90%
bahan pakan dihasilkan “on-farm”, dan system campuran (mix farming system)
dimana pakan ternak memanfaatkan hasil samping tanaman pertanian (FAO,
1994). Selanjutnya dinyatakan oleh Steinfield and Maki-Hakkonen (1998) bahwa
sistem peternakan campuran memberikan kontribusi 53,9% dari total produksi
daging dunia, sedangkan sistem tanpa lahan hanya 36,8%. Berbasis klasifikasi
tersebut maka sesuai dengan strategi pengembangan kawasan diharapkan pada
masa akan datang akan terbentuk sentra-sentra pertumbuhan peternakan baru
dimana peternakan menyatu dengan usaha tani lainnya atau mix-farming system.

Memaksakan peternakan untuk bertransformasi menjadi industri tunggal adalah


sebuah keniscayaan yang tidak hanya mengabaikan peternakan rakyat itu sendiri
tetapi juga mengabaikan karakteristik alamiah dan potensi dasar dari kondisi
eksisting yang sudah ada. Peningkatan kontribusi usaha peternakan sapi potong

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-138
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

dalam pembangunan nasional tidak harus dengan bertransformasi menjadi


industri tetapi lebih pada bagaimana peternakan sapi potong itu berkembang dan
memberikan manfaat bagi usahatani lainnya atau dengan kata lain untuk
“berdaya guna tidak harus menjadi yang utama”. Peningkatan produktivitas
dengan hanya fokus pada teknis budidaya adalah langkah naif tanpa diiringi
dengan peningkatan peran dan daya saing usaha ternak sapi potong dalam
ekonomi rumah tangga, daerah dan nasional. Menjadikan produktivitas sebagai
respon terhadap tingginya permintaan (demand push productivity) akan jauh lebih
efektif sehingga yang perlu ditanamkan adalah perilaku industri dalam industri
peternakan rakyat itu sendiri dan bukan mentransformasi peternakan menjadi
industri.

Pendekatan SIFAS (Sustainable Integrated Farming System) yang menjadikan


teknologi tepat guna sebagai motor utama peningkatan produktivitas dan pengikat
antar komoditas usahatani rumah tangga merupakan sebuah solusi dalam
pembangunan industri peternakan sapi potong rakyat berkelanjutan. Teknologi
penghubung (interface technologies) yang berperan sebagai instrumen penguat
keterkaitan (linkage) antar komoditas usahatani memiliki potensi untuk
meningkatkan nilai tambah (value added) guna memperkokoh peran usaha ternak
dalam ekonomi rumah tangga. Selanjutnya pemerintah sebagai pemegang
amanah kedaulatan rakyat melalui kebijakan-kebijakan strategis mampu menjadi
pendorong terciptanya kondisi kondusif berkembangnya rantai nilai (value chain)
usaha pertanian dan peternakan pada wilayah perdesaan. Perguruan tinggi
sebagai pemasok teknologi diharapkan mampu secara berkelanjutan berinovasi
dan berkreasi dalam menghadirkan teknologi untuk rakyat perdesaan (technology
for people’s) yang sederhana, mudah dan murah untuk diaplikasikan tetapi tetap
memiliki daya perekat dan memberikan nilai tambah sosial dan ekonomi (social
and economic value added) bagi rumah tangga pertanian dan peternakan. .

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-139
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Adriani dan A. Novra. 2017. Peningkatan Kualitas Biourin dari Ternak Sapi yang
Mendapat Perlakuan Trychoderma Harzianum. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. Vol 21 (2): 77-84. https://www.online-journal.unja.ac.id/jiip/
article/view/4716

Astriyani, W. O. 2012. Ternak kerbau: problema pengembangan ternak Kerbau di


Indonesia. Available: https://astriani052.blogspot.com/2012/05/problema
tika-pengembangan-ternak-kerbau.html. Accessed May 30th 2012.

Aswandi, Y. G. Armando dan A. Novra, 2018. Implementasi Pencegahan


Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Desa di Sekitar Perkebunan Sawit
PT. Bahari Gembira Ria, Laporan kerjasama LPPM Unja, PT. BGR dan
Minamas Plantation, Jambi.

Diarmita, I. K, 2018. Arah Pembangunan Peternakan Indonesia, Menuju


Swasembada Protein Hewani, available: http://www.majalahinfovet.
com/2018/03/arah-pembangunan-peternakan-indonesia.html, Accessed
March 21th 2016.

Irwansyah, 2008. Krisis Pasti Berlalu, Kreativitas Daerah Antisipasi Krisis Global,
Bisnis Indonesia, 21 Oktober 2008, Jakarta.

Iswara P, A. Sedayu, J. Samosir, S. Bakhori, H. P. Aditya, 2009. Krisis Ekonomi


“di Perdesaan Krisis Terhunjam Dalam”, Media Jambi, Available:
http://media-jambi.blogspot.com.

Jatimprov.go.id 2015. Tahun Depan, Satu Sentra Peternakan Rakyat Dapat Dana
Sekitar Rp 1 Miliar. Kolom Berita dan Pengumuman. Available:
http://jatimprov.go.id/read/berita-pengumuman/tahun-depan-satu-sentra-p
eternakan-rakyat-dapat-dana-sekitar-rp-1-miliar Accessed November 26th
2015.

Maira, S. 2011. Peternakan: Makalah Ternak Kerbau, Available: https://


sri-maira.blogspot.com/2011/12/makalah-ilmu-ternak-kerbau.html
Accessed Desember 1st 2011.

Manihuruk, R., 2008. Harga TBS dan CPO di Jambi Turun, Batak Pos. Available:
http://rosenmanmanihuruk.blogspot.com/html., Accesed Sept. 12th 2008.

Muladno, 2016. Program SPR Kementan tingkatkan kesejahteraaan peternak,


Available: https://www.antaranews.com/berita/538410/program-spr-ke
mentan-tingkatkan-kesejahteraaan-peternak Accessed January 6th, 2016.

Novra, A., Firmansyah, A. Daulay dan Elmawati, 2008. Study Kelayakan


Pengembangan Wilayah Integrasi Ternak Sapi Potong Provinsi Jambi,
Laporan Dinas Peternakan Provinsi Jambi, Jambi.

Novra, A. S. Murdy dan E. Mendri, 2009. Solusi Alternatif Penanganan Dampak


Krisis Global Terhadap Keragaan Sosial Ekonomi Rumah Tangga

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-140
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Perkebunan, Laporan Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas


Nasional Batch III TA. 2009, Universitas Jambi, Jambi.

Novra, A., Noverdiman, S. Murdy, dan B. Pramusintho, 2010. Kajian Teknologi


Tepat Guna (TTG) untuk Mendukung Program SAMISAKE, Kerjasama
LPPM Unja dan BALITBANGDA Provinsi Jambi, Jambi.

Novra, A., Noverdiman, Adriani, dan S. Novianti, 2010. Pengembagan Kelompok


Mitra Pengelola “Buffer Stock” Ternak Sapi Pemerintah untuk Tujuan
Stabilisasi Harga Daging, Laporan BAPPEDA Provinsi Jambi, Jambi.

Novra, A., 2011. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit Sapi (ISS) PT.
Perkebunan Nusantara VI, Laporan PTP Nusantara VI Wilayah
Sumbar-Jambi, Jambi.

Novra, A dan B. Pramusintho, 2012. Desain Kebijakan dan Model Kelembagaan


Partisipatif Program Penanganan Pengurasan Ternak Sapi Betina
Produktif, Laporan Hibah Penelitian Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti.

Novra, A. Adriani, Suparjo, S. Novianti dan Nelson, 2013. Pengembangan


Kelompok Usaha Pelaku Integrasi Sawit Sapi berbasis Limbah di
Kecamatan Mestong, Laporan IPTEKDA-LIPI, Fakultas Peternakan
Universitas Jambi, Jambi.

Novra, A. dan Adriani, 2015. Masterplan Pengembangan Kawasan Integrasi:


Program SPR Provinsi Jambi, Laporan Kegiatan Dinas Peternakan dan
Kesehatan Hewan Provinsi Jambi, Jambi.

Novra, A. Adriani, Suparjo, S. Novianti dan Nelson, 2015. Penguatan Kelompok


Usaha Pelaku Integrasi Sawit Sapi berbasis Limbah di Kecamatan
Mestong, Laporan IPTEKDA-LIPI, Fakultas Peternakan Universitas Jambi,
Jambi

Novra, A., Suparjo, Endriani dan A. Meilin, 2015. Model Aksi Kolektif untuk
Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi “Temporary Lost Income”
Program Replanting Karet Rakyat, Hibah Penprinas MP3EI tahun 1 DPRM
Kemenristek Dikti, LPPM Universitas Jambi, Jambi.

Novra, A., A. Latief, S. Syarif dan Suparjo. 2016. Pemulihan Ekonomi Rumah
Tangga Petani Sawit Terkena Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan,
Laporan Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) Karhutla LPPM
Universitas Jambi, Jambi.

Novra, A., 2016. Rencana Pengembangan Kawasan SPR (Sentra Peternakan


Rakyat) Kabupaten Merangin, Laporan kerjasama Dinas Perikanan dan
Peternakan Kabupaten Merangin, Jambi.

Novra, A., Suparjo, Endriani dan A. Meilin, 2016. Model Aksi Kolektif untuk
Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi “Temporary Lost Income”
Program Replanting Karet Rakyat, Hibah Penprinas MP3EI tahun 2 DPRM
Kemenristek Dikti, LPPM Universitas Jambi, Jambi.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-141
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Novra, A., Suparjo, dan S. Refa, 2017. Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian
Rumah Tangga Menghadapi “Temporary Lost Income” Program
Replanting Karet Rakyat, Hibah Penprinas MP3EI tahun 3 DPRM
Kemenristek Dikti. LPPM Universitas Jambi, Jambi.
Novra A. 2019. Tatakelola Kelembagaan Ekonomi Perdesaan dalam
Implementasi Lima Prinsip Dasar SDGs Program Peremajaan Sawit
Rakyat, Makalah Seminar Nasional CSSPO-BPDP Kelapa Sawit
“Percepatan Peremajaan Perkebunan Sawit Rakyat”, Jambi 6 November
2019.

Novra, A. 2019. Memulihkan ekonomi pasca karhutla 2015 bersiap menghadapi


program peremajaan sawit 2020. Makalah Workhop Identifikasi Hasil Riset
unuk Tahap Persiapan program BioCF-ISFL (The Bio-Carbon Fund
Plus-Initiative for Sustainable Forest Lanscape Provinsi Jambi) 24
September 2019, Jambi.

Novra, A. Fatati, Mulawarman, 2019. The comparative study of geographically


and demographically on the consumption of animal protein source from
livestock. Aceh Journal of Animal Science 4 (1): 27-41.
http://jurnal.unsyiah.ac.id/AJAS/article/view/13549

Novra, A. dan B. Pramusintho, 2019. Household Behavior and Response to the


Participative Institutional Model for the Program of Handling Drainage of
Productive Cows. Buletin Peternakan 44 (3): 260-269 https://journal.ugm.
ac.id/buletinpeternakan/article/view/44968

Novra, A. Suparjo, A. Latief, A., S. Syarief dan Nelson, 2020. Pemulihan Ekonomi
Rumah Tangga Perkebunan Sawit Rakyat Terkena Dampak Kebakaran
Lahan dan Hutan, Jurnal Abdimas Mahakam, 4 (1): 1-10.
https://journal.uwgm. ac.id/index.php/abdimasmahakam/article/view/511

Pramusintho, B dan A. Novra, 2012. Redesain Sistem Distribusi Ternak Bibit


dalam Rangka Penguatan Kapasitas Kelembagaan Untuk Penanganan
Dini Pengurasan Sapi Betina Produktif, Laporan Penelitian Hibah Bersaing
DP2M Dikti.

Refita, Y, H. Siregar dan A I Suroso, 2017. Evaluasi Program Sarjana


Membangun Desa (SMD) dan Strategi Pengembangannya (Studi Kasus
Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat), Journal
of Regional and Rural Development Planning, Vol. 1 (1): 98-113.

Robiani, B. 2005. Analisis pengaruh industrialisasi terhadap pertumbuhan


ekonomi di Sumatera Selatan. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan
Indonesia, 6(1), 93-103.

Simatupang, J. 2009. Kinerja Komoditas Sawit dalam Perspektif Ekonomi Global,


Available: https://johannessimatupang.files.wordpress.com/2009/11/kiner
ja-komoditas-sawit-perspektif-global-2009 Accessed December 12th
2009.

Stamboel, K., 2009. Petani Indonesia dan Krisis Ekonomi Global, Untuk Indonesia
Yang Adil, Sejahtera, dan Bermartabat: Kategori Ekonomi, Desember
2008.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-142
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat)

Suryantini, A, A. Novra, B. Pramusintho, 2015. Farmers’ Perception toward


Integrated Farming System: A Case Study in Palm Oil Plantation and Beef
Cattle in Jambi Province, Indonesia, 2nd International Conference on
Sustainable Agriculture and Food Security: A Comprehensive Approach,
ICSAFS 2015, ScienceDirect Agriculture and Agricultural Science
Procedia 2015. Avaiable: https://www.researchgate.net/ profile/Ardi_
Novra/publication/ 332752103.

Tawaf, R. 2015. (Bukan) Swasembada Daging Sapi. Infovet Majalah Peternakan


dan Kesehatan Hewan. Available http://www.majalahinfovet.com/2015/06/
bukan-swasembada-daging-sapi.html Accessed June 08th, 2015.

_______, 2019. Membangun Industrialisasi Peternakan, PATAKA (Pusat Kajian


Pertanian Pangan dan Advokasi), Availabel: https://www.pataka.or.id/
2019/02/27/membangun-industrialisasi-peternakan/, Accessed February,
27th 2019.

Yusrizal, A. Novra, Firmansyah dan A. Daulay, 2007. Percepatan


SwasembadaDaging Sapi 2012 menuju Surplus Produksi 2017: Roadmap
Produk Unggulan Peternakan Provinsi Jambi, Laporan kerjasama
Fakultas Peternakan dan Dinas Peternakan Provinsi Jambi.

SIFAS (sustainable integrated farming system)


Halaman-143
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

Trychokompos insitu adalah bahan


campuran limbah padat kandang sapi
dan residu tanaman termasuk legume
dan rumput kering yang diolah menjadi
pupuk kompos dengan menggunakan
dekomposer agen hayati trichoderma.
Panduan produksi ini dikembangkan
untuk kapasitas 10 ton perperiode
pengolahan dengan komposisi
berdasarkan tinggi tumpukan limbah
padat kandang dan residu tanaman
(legume dan rumputan) adalah 70 - 80
berbanding 20 - 30. Sebagai contoh, jika
rasio (75:25) dan ketinggian tumpukan
bahan baku utama setiap proses
pengolahan adalah 40 cm maka tinggi
tumpukan limbah padat kandang adalah
30 cm dan sisanya residu tanaman 10
cm. Rasio bahan baku utama ini tidak
terlalu berpengaruh pada kandungan
unsur hara tetapi lebih mempengaruhi
warna dan keremahan pupuk. Semakin
tinggi komposisi residual tanaman akan
semakin terang warna dan remah
produk pupuk kompos yang dihasilkan.
Kapasitas pengolahan tergantung pada

Appendix- 1
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

luas bangunan rumah kompos dengan ukuran lebar biasanya 6 - 8 meter dan
panjang sesuai dengan kebutuhan dan luas areal lahan yang tersedia. .

Infrastrutkur Bangunan dan Peralatan

Terdapat minimal 3 (tiga) jenis bangunan yang dibutuhkan dalam produksi


tricokompos in-situ disamping bangunan kandang ternak sapi sebagai sumber
limbah padat, yaitu;

1. Pondok pengumpulan limbah padat (feses dan sisa pakan) yang berfungsi
untuk mengumpulkan limbah basah sebelum dilakukan proses pengeringan.
Bangunan ini dapat dibuat sederhana menggunakan struktur kayu dengan
atap terbuat dari rumbia atau seng, sedangkan lantai cukup tanah.

2. Pondok pengeringan yang berfungsi untuk pengeringan atau menurunkan


kadar air limbah padat sebelum dilakukan proses komposing. Bangunan dapat
dibuat dengan struktur kayu dengan atap plastik atau seng. Perlu diperhatikan
bahwa lantai pondok pengeringan yang terbuat dari coran semen sebaiknya
dibuat miring sekitar 50 dan pada bagian rendah dibuat saluran air.

3. Pondok komposing yang berfungsi sebagai tempat pengomposan dengan


lantai terbuat dari coran semen serta struktur bangunan dari kayu. Pada
bagian pinggir atau sekeliling bangunan sebaiknya dipasang batu-bata setinggi
2 lapis guna menghindari tumpahnya kompos selama pengolahan terutama
saat pengadukan.

Appendix- 2
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

4. Pondok pengayakan berfungsi sebagai tempat pemisahan antara butiran halus


dan kasar (pengayakan) biokompos kompos sebelum dilakukan pengemasan.

5. Pondok pengemasan dan penyimpanan sementara dapat dibangun terpisah


atau satu pondok pengayakan (tergantung lahan dan modal tersedia).

Peralatan yang digunakan dalam proses produksi trycokompos insitu antara lain
adalah;

1. Cangkul, sekop dan garu yang diperlukan untuk pengangkat bahan baku
limbah padat kandang dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada proses lainnya
ketiga peralatan dapat digunakan sebagai pengaduk dan perataan permukaan
kompos fermentasi.

CANGKUL SEKOP GARU

HAND DRYER GEROBAK DORONG

Appendix- 3
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

2. Gerobak dorong diperlukan sebagai alat angkut bahan baku (limbah padat)
dari kandang, tempat pengumpulan dan pengeringan serta pondok
pengomposan.
3. Hand Dryer dan traktor tangan yang digunakan untuk proses pengadukan
kompos selama proses fermentasi, tetapi jika traktor tidak tersedia maka dapat
digunakan cangkul.

HAND TRACTOR PENGAYAK KOMPOS TIMBANGAN JAHIT KARUNG

Proses Pengolahan Trychokompos Insitu

Proses produksi trycokompos-insitu dapat dikelompokkan pada 3 tahapan, yaitu


persiapan bahan baku, pengomposan dan pasca komposing. Secara ringkas
proses produksi trycokompos insitu dapat kita lihat pada Gambar A1.

Gambar A1.
Tahapan Proses Produksi Trychokompos In-situ

Appendix- 4
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

1. Tahap Persiapan

Tahap persiapan diawali mulai dari pengumpulan limbah padat kandang


sampai pada proses komposing dilaksanakan, yaitu;

a. Pengumpulan limbah kandang

Pengumpulan limbah padat kandang (basah) dilakukan setiap kali


pembersihan kandang dengan cara menumpuk limbah basah pada pondok
pengum- pulan berlantai tanah. Jangka
waktu dan volume limbah padat kandang
yang dikumpulkan tergantung pada jumlah
ternak sapi yang dipelihara serta luasan
pondok pengumpulan dan pengeringan.

b. Pengeringan limbah basah

Limbah basah yang sudah mulai berkurang


kadar airnya selanjutnya dikeringkan pada
pondok jemur. Jika pada pondok
pengumpulan yang berlantai tanah limbah
padat ditumpuk, maka pada pondok
pengeringan berlantai miring dari semen, maka limbah padat ditata agar
proses pengeringan rata. Jangka waktu pengeringan tergantung pada
kondisi cuaca (panas atau hujan) dengan kisaran waktu 8 – 14 hari.

2. Tahap Komposing

Tahap komposing diawali dengan penyediaan bahan baku utama yang terdiri
dari limbah padat kandang yang telah mengalami proses pengeringan dan
limbah tanaman (daunan dan legume) sekitar lokasi (in-situ). Langkah-langkah
lanjutan adalah:

Appendix- 5
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

a. Penyusunan bahan baku pada pondok komposing dengan menyusun rata


limbah kandang (± 20 cm) dan kemudian ditutupi dengan limbah tanaman
(daun atau legume) yang diperoleh pada lokasi terdekat (in-situ).

b. Setelah bahan baku utama tersusun, pada bagian atas limbah tanaman
ditaburkan phospat (kapur) secara merata dan selanjutnya disiram dengan
trychoderma.

c. Pembalikan dilakukan setiap 2 hari selama proses komposing yaitu 1


minggu atau 3 kali selama proses komposing. Pemballikan dapat
menggunakan traktor tangan atau secara sederhana menggunakan
cangkul.

3. Pasca Komposing

Proses komposing berlangsung selama 1 minggu dan pasca proses


komposing maka hasil pengomposan diangkut dengan menggunakan gerobak
ke pondok pengayakan dan/atau pengemasan

a. Pengayakan dilakukan untuk memisahkan butiran halus trycokompos-insitu


dengan gumpalan-gumpalan yang masih tersisa. Pengayakan
menggunakan mesin ayak dan jika tidak tersedia dapat dibuat sedehana
menggunakan konstruksi kayu dan kawat kasa (ayakan tukang
pembangunan rumah).

Appendix- 6
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

Hasil pengayakan memisahkan trycokompos butiran yang siap dikemas


atau langsung digunakan dan gumpalan yang dapat diolah kembali setelah
dilakukan proses peremahan atau dapat digunakan langsung
(non-komersial).

b. Pengemasan dilakukan terhadap trycokompos yang sudah dalam bentuk


butiran halus (hasil pengayakan) baik dalam bentuk kemasan karung 40 kg
(maupun kemasan plastik transparan 5 kg.

Pengemasan dapat pada karung yang sudah diberi merk ditujukan untuk
penjualan (komersial), sedangkan pada karung polos untuk kebutuhan
sendiri dan kelompok. Pengemasan pada plastik transparan sebagai upaya
diversifikasi produk dengan sasaran pembeli adalah rumah tangga yang
dapat dijual langsung maupun melalui toko atau kios pertanian dan
pedagang bunga hias.

Karakteristik dan Kualitas Trychokompos In-situ

Perlakuan komposisi (imbangan limbah kandang dengan limbah tanaman) dan


penyiraman urine (penyiraman dan tanpa penyiraman urine mentah) selama
proses pengomposan secara fisik menyebabkan perbedaan fisik Trychokompos
Insitu dihasilkan. Perbedaan terjadi pada warna, dimana peningkatan komposisi
penggunaan limbah tanaman menyebabkan warna kompos yang dihasilkan
semakin terang (mendekati warna coklat muda). Secara fisik perubahan warna ini
tidak menjadi indikator kualitas, tetapi dari aspek pemasaran produk akan
memberikan peluang untuk menerapkan strategi bauran pemasaran yaitu melalui
diversifikasi produk. Warna kompos yang semakin terang diperkirakan akan lebih
disukai oleh para konsumen rumah tangga dan sebaliknya para petani akan
menyukai warna yang lebih gelap. Pada sisi lain, peningkatan komposisi limbah

Appendix- 7
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

tanaman juga menyebabkan keremahan dari trychokompos yang dihasilkan


mengalami peningkatan.

Hasil analisis sidik ragam (Anova) mengindikasikan bahwa pengaruh peningkatan


komposisi legume dan limbah tanaman tidak siginifikan terhadap kandungan
unsur C tetapi berpengaruh terhadap kandungan P dan N. Penambahan
komposisi legume sampai pada taraf 30% signifikan mendorong penurunan
kandungan unsur hara P dan N sehingga dapat direkomendasikan bahwa batas
25% komposisi tinggi limbah tanaman adalah batas maksimal. Pada sisi lain
penggunaan uirne mentah selama proses penyiraman tidak memberikan
kandungan unsur hara yang berbeda signifikan dengan trychokompos insitu yang
disiram dengan air biasa. Penambahan urine mentah selama proses fermentasi
sifatnya sangat terbatas guna menghindari terjadinya kegagalan fermentasi akibat
campuran limbah yang terlalu basah. Hal ini mengindikasikan bahwa penggunaan
urine dalam budidaya sebaiknya dilakukan secara langsung dan tidak efektif
dicampur dalam trychokompos insitu.

Kandungan unsur hara P, C dan N produk trychokompos insitu yang dihasilkan


masing-masing adalah 0,15 - 0,47, 11,64 - 20,95 dan 0,97 - 2,07. Rasio C
terhadap N (CN ratio) berkisar antara 8,79 - 12,53 yang masih sesuai dengan
kisaran CN ratio yang dianjurkan untuk tanaman yaitu 12 - 15. Banyak faktor yang
mempengaruhi kandungan unsur hara termasuk komposisi penggunaan bahan
baku, jenis residu tanaman yang digunakan serta proses komposing itu sendiri
mulai dari penyiapan bahan baku, proses feremntasi selama komposing sampai
pada panen. Secara umum proses produksi trychokompos yang dilakukan
memiliki beberapa keunggulan yaitu proses komposing lebih cepat dari biasa 21
hari secara konvensional menjadi 14 - 21 hari tergantung kekeringan bahan baku,
proses pengolahan lebih efisien dari aspek tenaga kerja karena tidak perlu
pemindahan selama komposing dan produk yang dihasilkan lebih remah, bau
netral dan warna lebih cerah. Kelemahan teknik produksi ini antara lain sangat
tergantung sekali kepada musim (kondisi cuaca) dimana pada saat musim hujan
menjadi lebih lambat.

Appendix- 8
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

Penggunaan urine secara langsung


pada tanaman juga tidak dapat
dilakukan secara langsung sehingga
dibutuhkan proses pengolahan dengan
tujuan untuk meningkatkan efektivitas
penggunaannya. Hal ini sesuai dengan
pendapat BPTP Kaltim (2012) bahwa
biourine plus adalah biourine yang
sudah ditambah beberapa tanaman
biofarmaka (empon-empon), selain
mampu meningkatkan produksi,
‘biourine plus’ mampu mencegah
penyakit yang menyerang tanaman,
karena adanya empon-empon yang
ditambahkan. Kendala utama dalam
penggunaan dan pemasaran produk
biourine adalah bau menyengat dan
masih adanya sisa material padat pada
urine fermentasi sehingga dalam
perjalanan dibutuhkan upaya
pengolahan dengan sistem aerasi.

Bio-urine adalah pupuk organik dalam


bentuk cair atau pupuk cair yang diolah
melalui proses fermentasi limbah cair
kandang (urine) ternak sapi potong.
Biourine merupakan salah satu alternatif

Appendix- 9
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

pupuk cair yang mampu mengurangi pemakaian pupuk anorganik. Bio-urine


merupakan istilah populer dikalangan pengembang pertanian organik yang
diperoleh dari proses fermentasi anaerobik urine dengan nutrisi tambahan
menggunakan mikroba pengikat nitrogen dan mikroba dekomposer lainnya
sehingga kandungan nitrogen lebih tinggi dibandingkan dengan urine biasa.
Biourine plus yang dimaksud di sini adalah biourine yang sudah ditambah empon
empon sehingga selain mampu meningkatkan produksi, juga mampu mencegah
penyakit yang menyerang tanaman, karena adanya penambahan empon empon.

Selanjutnya disebut Biourine A Plus


karena dalam proses produksinya
menggunakan teknik aerasi sederhana
dengan bantuan pompa air. Aerasi adalah
proses pengelolaan air dengan cara
menggontakannya dengan udara.dengan
tujuan untuk penambahan jumlah oksigen,
penurunan jumlah karbon dioxide (CO2)
dan menghilangkan hydrogen sulfide (H2S), methan (CH4) dan berbagai senyawa
senyawa organik yang bersifat volatile (menguap) yang berkaitan untuk rasa dan
bau. Areasi secara luas biasanya digunakan untuk pengolahan air yang
mempunyai kandungan jumlah besi dan mangan tinggi sehingga memberikan
rasa pahit pada air, menghitamkan pemasakan beras dan memberikan noda
hitam kecoklat-coklatan pada pakaian yang dicuci. Penggunaannya pada proses
produksi bio-urine lebih ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi bau
menyengat urine dan menghasilkan warna yang lebih terang.

Instalasi Pengolahan Limbah Cair

Pengembangan instalasi pengolahan biourine (IPLB) dapat dilakukan dengan


menggunakan 2 sistem, yaitu sistem aerasi dengan menara dan tanpa menara

Instalasi dengan Menara

Salah satu faktor penting dalam pengolahan limbah cair kandang adalah desain
instalasi pengolahan biourine plus (IPBP) yang diawali dengan proses
penampungan (Gambar B1)

Appendix- 10
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

MENARA
SIRKULASI SALURAN
SIRKULASI

SALURAN
BAK/DRUM

PEMBUANG

BAK PENAMPUNG URINE

Gambar B1.
Instalasi Pengolahan Biourine Plus (IPBP) dengan Menara

a. Saluran dan bak penampung urine

Saluran urine terletak dalam kandang ternak sapi yang dapat dibuat dari batu
bata yang dilapisi semen. Untuk memperlancar aliran maka lantai kandang
harus didesain miring (± 50) dan agar tidak tercampur dengan air bekas
memandikan atau membersihkan kandang maka
dibutuhkan saluran pemisah. Pada saat kegiatan
memandikan ternak atau membersihkan kandang
maka saluran air menuju bak penampung ditutup
sehingga air akan mengalir pada saluran pembuang
yang telah disediakan (langsung ke lahan). Saluran
menuju bak penampungan urine kembali dibuka
kembali selepas aktivitas pemandian ternak dan
pembersihan kandang.

Bak penampung urine dapat dibuat dari batubata


yang dilapisi dengan semen atau galian tanah yang
didalamnya dimasukkan drum sebagai media
penampung urine. Jika dibuat batubata yang dilapisi
semen, ukuran disesuaikan dengan kapasitas
kandang dengan kedalaman sekitar 1 meter dan permukaan bak harus lebih
tinggi sekitar 10 cm dari permukaan tanah guna menghindari masuknya air
hujan. Penggunaan bak penampung permanen dari batubatu yang dilapisi
semen meskipun lebih mahal tetapi memiliki keunggulan yaitu lebih tahan lama

Appendix- 11
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

karena penggunaan drum akan lebih cepat rusak karena keasaman urine
dapat mempercepat proses pelapukan drum yang digunakan meskipun terbuat
dari plastik.

b. Menara Sirkulasi

Menara sirkulasi adalah media yang digunakan untuk proses sirkulasi yang
dapat dibuat dari berbagai bahan seperti kayu, besi dan coran semen.
Penggunaan besi kurang dianjurkan karena
akan cepat berkarat jika terkena cairan urine
yang mengandung asam, dan lebih
direkomendasikan menggunakan bahan
kayu atau coran semen. Jika ditinjau dari
segi biaya dan kemudahan dalam
mendapatkan bahan baku serta daya tahan
menara, maka penggunaan coran semen lebih direkomendasikan. Bangunan
menara sirkulasi didesain agar proses sirkulasi dapat berjalan lancar dan
energi yang dibutuhkan hanya untuk menaikkan urine ke tekmon pada bagian
atas meja menara. Secara ringkas, spesifikasi bangunan menara sirkulasi
adalah sebagai berikut;

 Bangunan menara terdiri dari 4 tiang dengan ketinggian lebih dari 3 meter
dan ukuran masing-masing tiang adalah 20 x 20 cm.

 Guna memperkokoh bangunan menara sebaiknya pada bagian tengah atau


ketinggian 1,5 meter dibuatkan coran pinggang dengan ukuran 15 x 20 cm.

 Pada bagian atas menara dilakukan pengecoran lantai atas dengan


ketebalan 8 cm yang berfungsi sebagai meja untuk penempatan tekmon.

 Pada lantai atas dapat dipasang tiang dan atap dengan ketinggian 1,5 meter
guna melindungi tekmon dari perubahan cuaca dan proses produksi pada
saat musim hujan.

c. Pipa Saluran Sirkulasi

Pipa saluran sirkulasi berfungsi untuk menaikkan urine dari bak/drum


fermentasi ke tekmon yang terletak diatas meja menara (menggunakan mesin
pompa) dan untuk selanjutnya memanfaatkan gravitasi, urine dari tekmon
dialirkan kembali ke drum fermentasi. Proses ini dilakukan secara berulang

Appendix- 12
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

dengan frekuensi tergantung waktu pemompaan sehingga disebut dengan


saluran sirkulasi. Khusus untuk sirkulasi urine dari tekmon ke bak penampung
dapat menggunakan 2 sistem sirkulasi yaitu;

- Sistem air jatuh dengan menggunakan pendekatan anak tangga dan dibuat
menggunakan pipa PVC 3 inchi seperti pada Gambar berikut.

- Sistem air mengalir dengan menggunakan pendekatan pipa melingkar dan


dibuat menggunakan pipa PVC yang lebih kecil (2 inchi) seperti pada
Gambar berikut.

SAMBUNGKAN

Sirkulasi ditujukan untuk mempercepat hilangnya bau urine yang akan


difermentasi dan dilakukan sebelum dan saat proses fermentasi. Selama
sirkulasi bau urine akan dilepas keudara dan memungkinkan untuk
menangkap N udara guna meningkatkan kualitas biourine yang dihasilkan.

d. Bak Fermentasi

Bak fermentasi dapat dibuat dari berbagai jenis bahan seperti bak semen,
tekmon, dan drum (plastik) bekas dengan syarat kedap udara guna
memperlancar berlangsungnya proses an-aerobik selama fermentasi.
Berdasarkan pertimbangan kapasitas, daya tahan dan biaya maka
direkomendasikan Tengki Besi IBC 1000 Liter. Tengki berbentuk segiempat
dan dikenal dengan nama baby tank ini dapat diperoleh dengan mudah

Appendix- 13
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

dengan harga relatif murah karena merupakan tenki bekas zat kimia.
Keunggulan baby tank ini adalah lebih tahan, terdapat saluran masuk (inlet)
pada bagian atas dan saluran keluar (outlet) pada bagian bawah sehingga
memudahkan untuk disambungkan
dengan pipa paralon saluran
sirkulasi.

Bak fermentasi ini dapat diletakkan


langsung pada bagian bawah menara
(dibawah) rangkaian sirkulasi jika
kapasitas produksi biourine ≤ 1000
liter perperiode (satu menara dengan satu tengki). Jika kapasitas produksi
meningkat maka beberapa (2 – 3) drum fermentasi dapat digunakan dengan
memodifikasi sambungan inlet dan outlet yang dapat dibuka dan dipindahkan
dari satu tengki ke tengki fermentasi lainnya.

Instalasi Aerasi Tanpa Menara

Sistem tanpa menara menggunakan pipa dengan diameter lebih besar guna
menghindari tumpahan saat dilakukan aerasi dan/atau pengadukan selama
proses fermentasi. Sama dengan IPLB dengan menara maka pada IPLB tanpa
menara juga menggunakan 2 pendekatan aerasi yaitu air terjun dan mengalir.

PONDOK BIO-URINE

SALURAN SIRKULASI

SALURAN
BAK/DRUM

PEMBUANG

BAK PENAMPUNG URINE

Gambar B2.
Instalasi Pengolahan Biourine Plus (IPBP) Tanpa Menara

Cara pembuatan dan penyusunan saluran sirkulasi untuk sistem air mengalir
sama dengan IPLB dengan menara tetapi membutuhkan pipa dengan diamter
lebih besar (5 - 6 inchi atau 140 - 165 mm). Bahan pembuatan saluran sirkulasi ini

Appendix- 14
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

diperkirakan menghabiskan 2 batang pipa 6 inchi, 5 buah sambungan segitiga


dan 4 sambungan L serta 2 kotak lem pipa PVC. Model ini lebih
direkomendasikan karena lebih hemat dari sisi pembiayaan antara lain tidak
butuh biaya pembuatan menara, hanya butuh pengadaan 1 bak (tanpa bak antara
dan untuk penampung dan fermentasi cukup gunakan “baby tank” yang sama)
serta hanya butuh 1 pompa air dan tidak membutuhkan tempat luas asal tetap
terlindung dari panas dan hujan. Pompa untuk penyaluran dari bak penampung
menuju baby tank fermentasi dapat menggunakan pompa yang sama tetapi diatur
dengan menggunakan 2 keran yaitu keran saluran inlet dan saluran sirkulasi.

Pemgembangan saluran sirkulasi model air terjun disajikan pada Gambar B3,
serta dilengkapi contoh hasil akhir IPBP yang ada di Fapet Farm Fakultas
Peternakan Universitas Jambi.
INLET

LUBANG

CONTOH
BAK FERMENTASI

Gambar B3.
Model Pipa Sirkulasi dan Contoh IPBP Terpasang

Proses Pengolahan Limbah Cair

Tahapan dalam proses produksi Biourine A Plus secara umum dapat dibagi
dalam 4 tahapan kegiatan yaitu penyiapan (aerasi) bahan baku urine, penyiapan
bahan fermentasi, proses fermentasi dan penanganan pasca produksi.

Penyiapan dan Aerasi Bahan Baku Urine

Penyiapan bahan baku urine melalui proses aerasi dilakukan sebelum fermentasi
dilakukan yaitu selama ±3 hari dengan frekuensi 2 kali sehari selama 15 - 20
menit. Pada saat aerasi bahan baku urine masih murni dan belum ada campuran
bahan fermentasi lainnya seperti EM-4, gula merah dan empon-empon. Proses

Appendix- 15
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

aerasi ditujukan untuk mengurangi bau menyengat urine dengan melepasnya


keudara. Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses penyiapan dan aerasi
bahan baku urine adalah sebagai berikut

a. Pengisian Baby Tank (Drum Fermentasi)

- Sebelumnya jangan lupa pasang kain kasa saringan urine pada inlet tekmon
pada bagian atas menara biourine.

- Urine pada bak penampungan didorong menggunakan mesin pompa air 1


menuju tekmon.

- Urine pada tekmon akan mengalir menuju drum fermentasi yang terbuat dari
baby tank setelah melalui saluran sirkulasi aerasi.

- Setelah baby tank penuh maka pompa air yang terdapat pada bak
penampung dimatikan.
Saringan

TEKMON
POMPA AIR 1
BAK SALURAN
PENAMPUNG SIRKULASI
DRUM
FERMENTASI

b. Proses Aerasi

- Sebelumnya buka keran outlet baby tank, keran saluran aerasi (sesuai
metode sirkulasi). Saringan

- Hidupkan mesin pompa air 2 sehingga urine TEKMON

yang terdapat dalam baby tank dapat didorong


SALURAN
SIRKULASI
ke tekmon yang ada diatas menara biourine. DRUM
FERMENTASI

- Urine dalam tekmon biarkan mengalir kembali


menuju baby tank setelah melalui saluran
sirkulasi.

- Biarkan sirkulasi berlangsung selama 15-20


POMPA AIR 2
menit dan setelah itu matikan mesin pompa.

Appendix- 16
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

- Lakukan perlakuan aerasi yang sama sebanyak 2 kali sehari selama 3 hari
berturut-turut.

Penyiapan Bahan Fermentasi

Bahan yang digunakan dalam proses produksi biourine adalah urine ternak sapi,
gula merah, empon-emponan (Jahe, Kunyit, Temulawak, Kencur, dan Lengkuas)
serta EM4 dan.

Sedangkan perlengkapan digunakan adalah penggiling empon-empon seperti


mixer serta ember untuk pengaduk campuran. Tahapan yang dilakukan dalam
proses pembuatan bahan fermentasi urine adalah;

a. Giling (mixer) empon-empon yang telah dipersiapkan satu persatu atau secara
bersamaan sampai halus

b. Gunakan air panas untuk mencairkan gula merah yang telah dihaluskan
terlebih dahulu.

c. Tambahkan EM-4 kedalam larutan gula merah dan aduk secara merata.

d. Campuran bahan fermentasi siap digunakan dan dimasukkan kedalam urine


hasil aerasi.

Proses Fermentasi

Proses fermentasi sudah dapat dimulai


pada hari ketiga proses aerasi dengan
tahapan sebagai berikut;

a. Masukkan langsung larutan EM gula


merah yang mengandung EM-4 ke
dalam urine hasil aerasi.

Appendix- 17
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

b. Masukkan empon-empon yang sudah digiling dalam kain kasa yang berfungsi
sebagai saringan dan letakkan pada saluran inlet drum fermentasi (upayakan
terendam pada saat fermentasi).

c. Mulailah aerasi terakhir sekaligus pengadukan perdana urine agar campuran


urine, larutan gula EM-4 tercampur merata serta zat-zat antioksidan dalam
empon-empon terserap urine.

d. Lakukan selama ±15 menit dan setelah itu matikan mesin pompa air dan tutup
saluran inlet dan outlet drum fermentasi agar tercipta proses an-aerob.

e. Biarkan proses fermentasi dalam kondisi an-aerob selama 3 hari dan


selanjutnya lakukan proses pengadukan ulang.

f. Proses fermentasi membutuhkan waktu sekitar ±12 hari sehingga setelah


pengadukan perdana dibutuhkan 3 kali pengadukan yaitu hari ke-3, 6 dan 9
periode fermentasi.

Pasca Fermentasi

Penyiapan bahan dan proses fermentasi masing-masing butuh waktu 3 dan 12


hari sehingga panen atau kegiatan pasca fermentasi dilakukan pada hari ke-15.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam kegiatan pasca fermentasi adalah;

a. Keluarkan bekas kain kasa (saringan empon-empon) dari saluran inlet bak
fermentasi.

b. Siapkan dirigen penampung biourine plus


dengan ukuran 20 liter atau 5 liter (sesuai
kebutuhan).

c. Alirkan biourine plus pada bak fermentasi ke


dalam dirigen dengan cara membuka keran
saluran outlet dan tutup keran setelah terisi
penuh.

d. Lakukan secara bergantian sampai semua


biourine plus dalam bak fermentasi habis.

e. Dirigen yang sudah berisi biourine plus siap untuk digunakan dan jika untuk
tujuan komersialisasi (jual) maka dapat ditambahkan merk kemasan.

Appendix- 18
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

Keunggulan dan Kendala Proses Produksi

Biourine A Plus yang dihasilkan dapat digunakan untuk pemupukan tanaman baik
baik untuk tujuan pembibitan maupun budidaya sebagai substitusi pupuk
an-organik. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh pupuk organik cair ini adalah;

a. Jangka waktu proses produksi dengan metode ini butuh waktu ±15 hari yang
lebih singkat dibanding dengan cara konvensional yang membutuhkan waktu
minimal 21 hari.

b. Bau menyengat Biourine A Plus jauh berkurang sehingga dalam penggunaan


tidak mengganggu lingkungan (pencemaran akibat bau).

c. Penggunaan pada tanaman sederhana (mudah) baik dengan penyiraman


langsung disekitar perakaran tanaman maupun dengan penyemprotan
menggunakan hand dryer.

d. Uji coba penggunaan pada tanaman sawit dan empon-empon yang


dibudidayakan kelompok memperlihatkan performa lebih baik terutama dari
daun tanaman yang lebih hijau.

e. Penggunaan secara bersamaan dengan trychoderma cair dapat mencegah


dan menganggulangi penyakit tanaman seperti jamur akar putih (JAP) pada
tanaman karet.

Beberapa kendala yang ditemui selama pelaksanaan riset dan implementasi


lapangan adalah:

a. Proses aerasi dan pengadukan selama fermentasi sering mengalami gangguan


akibat padamnya arus listrik sehingga standar waktu aerasi yang direncanakan
tidak tercapai.

b. Pada saat aerasi pertama akan menimbulkan bau yang tidak sedap diudara
terutama bagi yang belum terbiasa sehingga disarankan areal pengolahan
cukup jauh dari pemukiman.

c. Penggunaan tekmon sebagai bak antara urine ternyata cepat mengalami


kerusakan atau pengeroposan sehingga sebaiknya gunakan drum plastik tebal
atau model tanpa menara.

Appendix- 19
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

d. Pengemasan produk volume 5 liter ternyata mendorong kenaikan biaya pokok


perunit baik untuk pembelian dirigen maupun pemasangan kemasan, serta
pada cepat keropos.

e. Proses penampungan urine yang tidak terkontrol sering menyebabkan


tercampurnya urine dengan air baik air bekas mandi ternak maupun air hujan.

f. Urine yang tercampur air akan berdampak pada turunnya kualitas Biourine A
Plus yang dihasilkan.

Appendix- 20
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS

Catatan:

Appendix- 21
Lahir di Kota Payakumbuh Provinsi Sumatera Barat pada bulan
November 1968. Gelar kesarjanaan diperoleh tahun 1992 di Fakultas
Peternakan Univeritas Jambi dan mengabdi pada almamater yang sama
sebagai Staf Pengajar bidang Sosial Ekonomi Peternakan. Pada tahun
1999 menyelesaikan pendidikan strata S2 pada bidang Ekonomi
Perusahaan Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
Menyelesaikan pendidikan program doktor IPB Bogor pada tahun 2007
dengan bidang konsentrasi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.
Pengalaman mengajar disamping aktif di Fakultas Peternakan UNJA juga
pernah mengajar di Universitas Juanda Bogor dan Universitas Sahid
Jakarta, serta pada program Magister Ilmu Peternakan dan Agribisnis.
Kegiatan lain selain mengajar antara lain menjadi Ketua Program Studi
Ekonomi dan Bisnis Peternnakan (2010 - 2012), Ketua Pusat Study CSR
LPPM Unja (2014 - 2016), Ketua Pusat Unggulan Iptek Konsorsium Riset
Teknologi Reklamasi Lahan (CoE KRT-REKLA) UNJA (2014 - 2016) dan
CoE Ethnomedicine and Nutraseutical (CoE eMEDICAL) UNJA (2019 -
sekarang) serta Pendiri dan Direktur Pusat Kajian CREEDs (Center for
Regional Economics and Environmental Development Study).
Pengalaman riset terkait antara lain Roadmap Komoditas Unggulan
Ternak Sapi Potong: Swasembada Daging Sapi 2009 Menuju Surplus
Produksi 2014 (2007), Study Kelayakan Pengembangan Integrasi Ternak
Sapi Provinsi Jambi (2008), Study Kelayakan Pengembangan Mitra
Pengelola Buffer Stock Sapi Potong untuk Tujuan Stabilisasi Harga
(2009), Analisis Kelayakan Pengembangan Integrasi Sawit Sapi (ISS) PTP.
Nusantara VI (2011), Penguatan Kelompok Tani Pelaku Integrasi Sawit
Sapi (IPTEKDA-LIPI 2013 dan 2015), Pemulihan Ekonomi Masyarakat
Terkena Dampak Kabut Asap Tebal Kebakaran Hutan dan Lahan (2016),
Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian Rumah Tangga Menhadapi
“Temporary Lost Income” Program Replanting Karet (MP3EI 2014 - 2016),
dan Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Terkena Dampak Karhutla
(2016), dan Implementasi Program CSR untuk Pencegahan Kebakaran
Hutan dan Lahan Desa Sekitar PT. Bahari Gembira Ria (2018).
Penyusun Buku STRATEGI PEMASARAN DAN PROMOSI WISATA
PR OVINSI JAM BI: Desain JAM BI Tou r d e JNP Su atu Keju a r a a n
Internasional Tahunan Wisata Olah Raga Tantangan Perairan antara Dua
Taman Nasional (2011), berkontribusi sebagai penulis tamu dalam buku
BUNGA RAMPAI SISTEM INTEGRASI TANAMAN DAN TERNAK SAPI
Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Balitbangnak) Bogor
(2011), LIHAT KAMI MEMBANGUN DESA: Best Practice Pembangunan
Partisipatif (2012), AKSELERASI PEMBANGUNAN KAWASAN Seberang
Kota Jambi (SEKOJA) KOTA JAMBI (MICE Ecotourism Approach) (2012),
DAMPAK PENGEMBANGAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS PESISIR
PANTAI TIMUR JAMBI TERHADAP TAMAN NASIONAL BERBAK (2014),
ROADMAP PRODUK UNGGULAN DAERAH “BATIK” JAMBI (2015) dan
MASTERPLAN PENGEMBANGAN KAWASAN INTE GR ASI 'Sen tra
Peternakan Rakyat PROVINSI JAMBI (2016) serta lainnya.

Anda mungkin juga menyukai