PENULIS
Dr. Ir. Ardi Novra, MP
ISBN: 9786025094637
EDITOR:
Ir. M. Afdhal, MSc., PhD
Prof. Dr. Ir. H. Nurhayati, MSc.agr
Dr. Sc.agr. Ir. Tedja Kaswari, MSc
PENYUNTING:
Dr. Ir. Pahantus Maruli, MSi
PENERBIT:
Unit Publikasi Fakultas Peternakan Universitas Jambi
REDAKSI:
Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Kampus UNJA Pinang Masak Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15
Mendalo Indah - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: fapet@unja.ac.id
DISTRIBUTOR TUNGGAL
Unit Publikasi Fapet Unja Kampus UNJA Pinang Masak
Jl. Jambi - Muaro Bulian KM. 15 Mendalo Darat - JAMBI 36361
Tel. 0741-582907
Fax. 0741-582907
Email: fapet@unja.ac.id
ii
PENGANTAR
Rektor Universitas Jambi
iii
PENGANTAR
Dekan Fakultas Peternakan Universitas Jambi
Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris yang kaya akan sumber daya
alam termasuk sumber daya pendukung pengembangan sub sektor peternakan.
Ketersediaan daging yang cukup pada era orde baru dan awal reformasi mampu
memenuhi kebutuhan daging nasional sehingga tidak tergantung pada daging
impor. Pasca reformasi, situasi ini berubah dimana perubahan fungsi lahan yang
cukup signifikan menyebabkan sistem peternakan yang dikembangkan tidak
berkelanjutan dan penghargaan terhadap petani peternak semakin rendah.
Akibatnya upaya pemenuhan kebutuhan protein hewani tidak dapat dicapai dan
solusi pemerintah melalui impor daging beku juga tidak dapat menyelesaikan
persoalan harga daging dan pemenuhan kebutuhan protein hewani. Terbitnya
buku ini ‘Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat, Sustainable
Integrated Farming System (SIFAS) Approach” diharapkan dapat menjadi acuan
bagi pemangku kepentingan terkait pengembangan peternakan rakyat sehingga
Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor daging.
Buku ini selain menggambarkan kondisi peternakan rakyat dan permasalahan
yang ada juga memberikan alternatif solusi program dan kegiatan yang dapat
dilakukan guna kembali memberdayakan peternakan rakyat yang terintegrasi
dengan potensi wilayah setempat terutama dengan perkebunan sawit sehingga
dapat mengurangi biaya produksi, meningkatkan kuantitas dan kualitas daging
yang dihasilkan juga ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah
perkebunan sawit sebagai bahan pakan dan limbah peternakan sebagai pupuk di
lahan perkebunan.
Akhirnya semoga buku ini dapat dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya sebagai
acuan bagi mahasiswa dan dosen Peternakan, pengambil kebijakan dan
pemangku kepentingan lainnya untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai
negara penghasil daging yang cukup secara kualitas dan kuantitas guna
pemenuhan kebutuhan protein hewani masyarakat Indonesia.
iv
PENGANTAR
Pengamat Pembangunan Peternakan
Diantara banyak penulis buku yang diterbitkan mengenai ternak sapi potong di
Indonesia, buku yang ditulis Saudara Ardi Novra, merupakan buku yang cukup
komprehensif mengungkap semua masalah yang terjadi mengenai
pembangunan peternakan sapi potong. Penulis mampu mengungkap berbagai
persoalan aktual dan sangat spesifik, mulai dari Kebijakan dasar pembangunan
peternakan sapi potong sampai kepada masalah zooteknis yang sangat detail.
Buku ini, sangat layak dibaca berbagai lapisan masyarakat terutama pelajar,
mahasiswa dan kalangan kampus karena akan sangat bemanfaat bagi
pengembangan ilmu pengetahuan ternak sapi potong. Sedangkan bagi para
praktisi dan pengusaha sangat penting karena mereka memerlukan informasi
aktual mengenai kebijakan dan aspeksosial ekonomi lainnya tentang
pembangunan peternakan terutama berkaitan dengan berbagai alternatif
pengembangan peternakan pada masa akan agar tidak lagi konvensional.
Beberapa contoh-contoh alternatif integrasi yang aktual dan implementatif dapat
diadopsi para penentu kebijakan, khususnya pemerintah baik pusat maupun
daerah.
Saya percaya dan sangat yakin dengan kemampuan dan pengalaman Penulis
menuangkannya dalam buku ini sangat sarat dengan data-data akurat. Sehingga
sangat pantas buku ini dijadikan rujukan bagi para pihak yang memerlukannya.
Sebagai rekan sejawat di Perhimpunan Ilmuwan Sosial Ekonomi Peternakan
(PERSEPSI), saya mengucapkan selamat atas penerbitan buku ini, kiranya kami
menunggu karya-karya berikutnya yang mampu mewarnai pembangunan
peteranakn sapi potong nasional.
Wassalam dan terima kasih
v
PRAKATA
Indonesia adalah net importir daging sapi dengan trend perkembangan volume
dan nilai impor selama periode 2010 sampai 2017 terus mengalami peningkatan
dari tahun ke tahun. Ketidakberdayaan produksi domestik guna memenuhi
kebutuhan konsumen yang terus meningkat menyebabkan negara yang kaya
sumberdaya alam peternakan ini terus mengalami pengurasan devisa. Salah
satu sumber yang diduga menjadi penyebab adalah inkonsistensi dalam
kebijakan seperti yang akan disajikan pada BAB I tentang analisis kebijakan
pembangunan peternakan sapi potong sejak dicanangkannya program PSDS
2007 sampai berlangsung program UPSUS SIWAB era pemerintahan kabinet
kerja sekarang. Inkonsistensi kebijakan yang menyebabkan tidak hanya terjadi
pembangunan yang tidak fokus dan tidak berkelanjutan tetapi juga menyebabkan
pemborosan sumberdaya dan kebingungan implementasi bagi instansi teknis
dan pengambil kebijakan di daerah. Semoga pada masa akan datang, kebijakan
yang didasari oleh ego sektoral dan kekuasan dan bahkan ego keilmuan tidak
lagi terjadi seiring dengan terbentuknya pemerintahan baru terlepas dari
siapapun nanti yang terpilih sebagai nahkoda Negara Kesatuan Republik
Indonesia tercinta ini.
Kata orang bijak “menjadi berguna tidak harus menunggu jadi utama” adalah
ungkapan penuh makna yang dapat diaplikasikan dalam peningkatan peran
sektor peternakan dalam pembangunan. Posisi mayoritas usaha peternakan sapi
potong selama ini bukan sebagai sumber pendapatan (pekerjaan) utama tetapi
lebih sebagai sumber pendapatan tambahan dan malahan sebagai tabungan.
Posisi peternakan sapi potong dalam kenyataannya tidak membuat komoditas ini
merasa terabaikan karena mampu hadir sebagai solusi pemecahan masalah
dalam kehidupan masyarakat terutama rumah tangga pertanian. Pada BAB II
tentang Perkembangan Sistem Integrasi akan dijelaskan tentang peran usaha
ternak sapi potong dalam berbagai kondisi perekonomian. Usaha ternak sapi
potong bisa hadir sebagai solusi alternatif dalam krisis ekonomi 1997 dan
ekonomi global 2008, serta pasca kebakaran hutan dan lahan 2015 dan program
pengendalian karhutla berbasis pemberdayaan masyarakat sekitas kawasan
konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Bahkan peternakan sapi potong
berpotensi bisa hadir sebagai solusi pemecahan masalah kehilangan
pendapatan sementara (temporary lost income) sebelum dan selama proses
peremajaan sawit dan karet rakyat.
Buku sistem integrasi tanaman ternak berkelanjutan (Sustainable integrated
farming system atau SIFAS) ini merupakan rangkuman perjalanan panjang
kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat, serta kerjasama
penyusunan rencana program dan kegiatan beberapa lembaga terkait sejak
tahun 2007, antara lain:
1. Percepatan Swasembada Daging Sapi 2012 menuju Surplus Produksi 2017:
Roadmap Produk Unggulan Peternakan Provinsi Jambi, kerjasama dengan
Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2007)
2. Study Kelayakan Pengembangan Wilayah Integrasi Ternak Sapi Potong
Provinsi Jambi, kerjasama dengan Dinas Peternakan Provinsi Jambi (2008).
vi
3. Solusi Alternatif Penanganan Dampak Krisis Global Terhadap Keragaan
Sosial Ekonomi Rumah Tangga Perkebunan, Hibah Kompetitif Penelitian
Sesuai Strategis Nasional Bacth III, Kerjasama Kementan RI dan Dikti
(2009)
4. Kajian Teknologi Tepat Guna (TTG) untuk Mendukung Program SAMISAKE,
Kerjasama dengan BALITBANGDA Provinsi Jambi (2010)
5. Pengembagan Kelompok Mitra Pengelola “Buffer Stock” Ternak Sapi
Pemerintah untuk Tujuan Stabilisasi Harga Daging, kerjasama dengan
BAPPEDA Provinsi Jambi (2010)
6. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit Sapi (ISS) PT. Perkebunan
Nusantara VI, kerjasama dengan PTPN VI Persero Wilayah Sumbar-Jambi
(2011)
7. Redesain Sistem Distribusi Ternak Bibit dalam Rangka Penguatan Kapasitas
Kelembagaan Untuk Penanganan Dini Pengurasan Sapi Betina Produktif,
Penelitian Hibah Bersaing DP2M Dikti (2012)
8. Desain Kebijakan dan Model Kelembagaan Partisipatif Program
Penanganan Pengurasan Ternak Sapi Betina Produktif, Hibah Penelitian
Hibah Strategis Nasional DP2M Dikti (2012 - 2013).
9. Pengembangan dan Penguatan Kelompok Usaha Pelaku Integrasi Sawit
Sapi berbasis Limbah di Kecamatan Mestong, IPTEKDA-LIPI (2013 dan
2015).
10. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena Dampak
Kebakaran Hutan dan Lahan, Program Pengabdian kepada Masyarakat
(PPM) Karhutla LPPM Universitas Jambi (2016)
11. Rencana Pengembangan Kawasan SPR (Sentra Peternakan Rakyat)
Kabupaten Merangin, kerjasama dengan Dinas Perikanan dan Peternakan
Kabupaten Merangin (2016).
12. Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi
“Temporary Lost Income” Program Replanting Karet Rakyat, Hibah
Penprinas MP3EI DPRM Kemenristek Dikti (2015 - 2017).
13. Implementasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Berbasis Desa di
Sekitar Perkebunan Sawit PT. Bahari Gembira Ria, kerjasama LPPM Unja,
PT. BGR dan Minamas Plantation (2018)
Ucapan terima kasih disampaikan khusus kepada Rektor, Dekan Fakultas
Peternakan dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
(LPPM) Universitas Jambi. Teruntuk rekan-rekan staf pengajar Fapet Unja yang
selama ini telah berkerja sama dalam berbagai kegiatan penelitian, pengabdian
dan kerjasama terucap salah kompak selalu. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir.
Adriani, MSi., Dr. Ir. Yusrizal, MSc., Dr. Ir. Suparjo, MP, Dr. Firmansyah, SPt, MP.,
Ir. Sri Novianti, MP., Drs. Nelson, MSi, Ir. Abdul Latief, MSi., Ir. Suhessy Syarif,
MP dan lain-lain atas kerjasama dan dukungannya.
Ucapan terima kasih juga untuk Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan,
Kepala BAPPEDA dan BALITBANGDA Provinsi Jambi periode 2007 sampai
2016 atas kepercayaan yang telah diberikan. Terspesial untuk para petani mitra
kerjasama lapangan terutama Kelompok Tani Sumber Rezeki Desa Mestong
Kabupaten Batanghari dan Kelompok Tani Mekar Jaya Desa Dataran Kempas
vii
Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Semangat dan motivasi kalian adalah pemacu
bagi Penulis untuk dapat berkontribusi dalam lebih besar dalam
mengembangkan riset berbasis kebutuhan “At this type of event you meet people
that you wouldn’t ordinarily meet, and they can give you really interesting insights
into the kinds of things that are needed. And there are a lot of users here, as
opposed to researchers, and therefore you start thinking about the kinds of
products that we need to deliver as scientists. We essentially want to make our
research demand-driven”.
Bak kata pepatah Tidak Ada Gading yang Tak Retak karena kesempurnaan itu
hanya milik Sang Pencipta Langit dan Bumi Allah, SWT. Masih banyak
kelemahan dan kekurangan dalam tulisan ini dan untuk itu Penulis membuka luas
masukan dan kritikan.
Akhirnya, semoga isi dalam buku ini bermanfaat bagi kita semua baik dalam
pengambilan kebijakan, implementasi lapangan, dan pengembangan ilmu
pengetahuan. Sbelumnya diucapkan salam dan terima kasih atas masukan dan
kritik yang disampaikan.
viii
DAFTAR ISI
ix
4.6. Model dan Kelayakan Integrasi Sawit Sapi (ISS) BUMN
Perkebunan .......................................................................... 95
4.6.1. Analisis Potensi Pasar dan Strategi Pemasaran...... 97
4.6.2. Aspek Managemen dan Organisasi ......................... 101
4.6.3. Aspek Teknis dan Produksi ..................................... 105
4.6.4. Aspek Finansial dan Ekonomi ................................. 109
4.6.5. Kesimpulan Analisis Kelayakan ISS ........................ 113
BAB V. SIFAS: Sustainable Integrated Farming Siystem ........................ 116
5.1. Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak ................................ 117
5.2. Membangun Sistem Integrasi Berkelanjutan ....................... 119
5.2.1. Teknologi Sebagai Penghubung .............................. 120
5.2.2. Teknologi Introduksi dan Penguatan Kelembagaan. 122
5.2.3. Kebijakan Pendukung .............................................. 124
BAB VI. Kelembagaan SIFAS: Tatakelola Kolektif Industrialisasi Sapi
Potong ......................................................................................... 126
6.1. Model Kelembagaan SIFAS ................................................ 127
6.2. Peran dan Kedudukan Pelaku dalam SIFAS ...................... 129
6.2.1. Peran dan Kedudukan Rumah Tangga Peternak..... 129
6.2.2. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ............. 131
6.2.3. Peran dan Kedudukan Sentra Jasa Layanan .......... 136
BAB VII. Penutup ....................................................................................... 139
REFERENSI ................................................................................................ 142
APPENDIX 1. PANDUAN PRODUKSI: Trychokompos Insitu (Pupuk
Organik Padat) ..................................................................... 145
APPENDIX 2. PANDUAN PRODUKSI: Biourine “A” Plus (Pupuk Organik
Cair) ..................................................................................... 153
x
DAFTAR TABEL
xi
DAFTAR GAMBAR
xii
Gambar 6.1. Kebijakan Satu Pintu dalam Tatakelola Kawasan SIFAS…. 128
Gambar 6.2. Bak Koleksi Urine dan Pengeringan Limbah Padat ………. 130
Gambar 6.3. Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak ……………….. 132
Gambar 6.4. Pohon Industri Komoditas Sapi Potong ……………………. 134
Gambar 6.5. Pemberdayaan dan Kelembagaan Kelompok Peternak
Sapi ……………………………………………………………... 135
Gambar 6.6. Jasa Layanan Peternakan …………………………………… 136
Gambar 6.7. Siteplan Pengembangan Sentra Jasa Layanan …………… 137
xiii
Membangun Industri Peternakan Sapi Potong Rakyat
Indonesia merupakan negara net impor produk daging sapi dengan volume dan
nilai impor (harga CIF) pada tahun 2017 masing-masing 160.198 ton dan US $
572.029 ribu. Volume dan nilai impor daging sejenis lembu ini mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun seperti disajikan pada Gambar 1.1
Gambar 1.1.
Perkembangan Volume dan Nilai Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia (2010 - 2017)
Volume impor daging sejenis lembu mengalami peningkatan sebesar 20,04% dari
140.141 ton tahun 2010 menjadi 160.198 ton pada tahun 2017 atau mengalami
peningkatan rata-rata 2,86% (2.865 ton) setiap tahunnya. Peningkatan laju
pertumbuhan volume impor diikuti dengan kenaikan laju pertumbuhan nilai impor
yang lebih besar yaitu 48,59% dari US$ 394.99 juta tahun 2010 menjadi US$
572,03 juta pada tahun 2017 atau mengalami peningkatan sebesar 6,94% (US$
177,04 juta) setiap tahunnya. Perkembangan data impor daging ini tidak hanya
menyajikan laju pertumbuhan impor yang semakin meningkat tetapi dengan laju
pertumbuhan nilai yang lebih besar dibanding volume impor mengindikasikan
terjadinya kenaikan harga daging sapi di pasar internasional atau negara asal
daging impor..
Negara utama asal impor daging sejenis lembu di Indonesia berdasarkan data
perdagangan luar negeri Badan Pusat Statistik (BPS) adalah Australia, Amerika
Serikat dan Selandia Baru seperti disajikan pada Gambar 1.2.
Gambar 1.2.
Negara Asal Impor Daging Sejenis Lembu Indonesia Tahun 2017
Pada tahun 2017 negara asal terbesar impor daging sejenis lembu adalah
Australia dengan proporsi 53,18% atau lebih dari separo impor daging Indonesia,
kemudian diikuti Selandia Baru dan USA. Komposisi impor daging terbesar dari
Australia dan Selandia Baru ini diduga bukan karena faktor harga yang lebih
murah tetapi lebih kepada sejarah hubungan perdagangan bilateral antara kedua
negara serta faktor kedekatan wilayah dan ketersediaan daging di Australia dan
Selandia Baru. Hal ini dapat dilihat dari perkembangan harga daging (CIF)
masing-masing negara asal impor daging Indonesia pada Tabel 1.1.
Tabel 1.1.
Perkembangan Harga Daging Sejenis Lembu Negara Asal Impor Indonesia
(CIF: US$/kg).
Harga CIF (Cost Insurance, and Freight) adalah harga daging setelah
ditambahkan dengan biaya pengiriman termasuk asuransi sampai ke pelabuhan
Indonesia yang ditanggung oleh eksportir. Perbandingan harga CIF ini
mengindikasikan bahwa harga pokok pembelian daging sapi pada setiap negara
hampir sama tetapi karena biaya pengiriman dari Australia lebih murah maka
harga CIFnya juga lebih rendah. Terkait dengan perkembangan harga impor,
yang lebih menarik untuk dibahas adalah terjadinya kenaikan harga pada pasar
internasional. Selama periode tahun 2010 - 2017 setiap tahun harga daging impor
mengalami kenaikan sebesar 3,36% (US$ 0,11/kg). Kenaikan volume yang diikuti
dengan kanaikan harga impor akan menyebabkan semakin besarnya devisa
negara terkuras untuk memenuhi kebutuhan daging dalam negeri.
Gambar 1.3.
Perkembangan Harga Daging Sapi Dunia 2010 - 2019
Kenaikan harga daging sapi global (Gambar 1.3) diduga karena peningkatan
permintaan (demand) daging sapi dunia lebih besar dibanding pertumbuhan
produksi (supply). Harga daging sapi dunia sudah mulai mengalami kenaikan
sejak tahun 2010 sampai mencapai puncaknya pada tahun 2014 dimana harga
mendekati sekitar US$ 5/kg. Harga tertinggi ini tidak bertahan lama karena pada
tahun 2015 terjadi penurunan drastis sehingga mencapai tingkat harga US$ 4,061
pada tahun 2016. Trend kenaikan volume, nilai dan harga daging impor ternyata
belum mampu mendorong perbaikan kinerja peternakan sapi potong domestik
yang terlihat dari laju pertumbuhan populasi yang negatif seperti Gambar 1.4.
Gambar 1.4.
Perkembangan Populasi dan Pemotongan Ternak Sapi dan Kerbau (2010 - 2017)
Selama periode tahun 2010 - 2017 masih terjadi peningkatan pemotongan ternak
sapi domestik yang menyebabkan populasi ternak sapi mengalami penurunan
penurunan. Laju pertumbuhan pemotongan ternak sapi 2,72%/tahun diikuti
dengan laju penurunan populasi sebesar 2,35%/tahun. Peningkatan jumlah
pemotongan ternak sapi berkaitan dengan menurunnya laju pertumbuhan
pemotongan ternak kerbau. Laju penurunan pemotongan ternak kerbau
6,91%/tahun diikuti dengan laju penurunan populasi yang lebih cepat yaitu
14.32%/tahun. Banyak indikasi yang dapat kita ambil dari perkembangan kinerja
kedua jenis ternak ruminansia besar ini antara lain tekanan terhadap populasi
ternak sapi masih terus terjadi dengan semakin meningkatnya pemotongan dan
semakin langkanya ketersediaan barang substitusi sempurnanya yang berasal
dari pemotongan ternak kerbau.
Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014 yang merupakan program yang
keempat kalinya sejak dicanangkan pada tahun 1995 telah gagal dalam
pencapaiannya (Tawaf, 2015). Penyebab kegagalan karena ‘kesalahan hitung”
yang dikemukakan Mentan Suswono pada akhir masa jabatannya merupakan
manivestasi dari kontroversi yang terjadi antara ‘farming system versus sistem
agribisnis’ yang sejak lama menjadi perdebatan dalam implementasi. Pilihan
antara pengembangan farming system yang lebih dikenal dengan istilah usaha
ternak rakyat/peternakan rakyat, atau perusahaan peternakan yang menganut
konsep sistem agribisnis dalam membangun peternakan.
Program SPR baru berjalan dalam hitungan tahunan (< 2 tahun) tiba-tiba
digantikan dengan Upsus-Siwab (Upaya Khusus Percepatan Populasi Sapi dan
Kerbau Bunting). Salah satu penyebab program ini belum berjalan baik karena
masih ada tarik menarik soal jumlah SPR antara Dirjen PKH yang mencanangkan
500 ribu SPR, sementara Menteri Pertanian hanya menginginkan 50 SPR.
Program Upsus Siwab yang diluncurkan Kementan sejak 2016 mencakup dua
program utama yaitu peningkatan populasi melalui Inseminasi Buatan (IB) dan
Intensifikasi Kawin Alam (Inka). Secara teoritis menurut Ilham (2017) kerangka
pikir siklus kerja dan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan program Upsus
Siwab dimulai dari kondisi ternak betina sasaran, kondisi ternak pejantan atau
petugas, fasilitas IB, dan kemampuan peternak. Program Siwab merupakan
amanat dari Peraturan Menteri Pertanian Nomor 48/Permentan/PK.210/10/2016
tentang Upaya Khusus Percepatan Peningkatan Populasi Sapi dan Kerbau
Bunting menghadapi banyak tantangan. Salah satunya adalah penanganan
gangguan reproduksi dan IB yang membutuhkan keahlian dan dukungam fasilitas
berupa kontainer di depo Kabupaten/Kota, serta komunikasi dan harmonisasi
pelaksanaan lapangan.
kabinet baru diiringi dengan kebijakan yang lebih implementatif, terintegrasi dan
berkelanjutan. Kebijakan yang lebih mengutamakan kemakmuran stakeholder
peternakan dan bukan karena adanya ego kekuasaan, ego sektoral apalagi ego
bidang keilmuan.
Konsep ini merupakan model industri peternakan pada masa akan datang yang
menggabungkan antara konsep farming system dengan sistem agribisnis yang
berkerakyatan (Tawaf, 2019). Arah dan kebijakan pembangunan peternakan sapi
potong terlihat dari grand desain atau lebih terinci pada roadmap (peta jalan)
pengembangan sapi dan kerbau tahun 2016 - 2045.
Grand desain pengembangan sapi dan kerbau tahun 2045 dicapai melalui 4
(empat) tahapan sesuai dengan roadmap pengembangan sapi dan kerbau
(Gambar 2.1), yaitu a) swasembada dan rintisan ekspor pada tahun 2022, b)
ekspor pada tahun 2026, c) pemantapan ekspor pada tahun 2035, dan d)
lumbung pangan Asia pada tahun 2045.
Gambar 2.1.
Roadmap Pengembangan Sapi dan Kerbau
(Sumber: Dirjen PKH)
Pondasi menuju swasembada daging sapi tahun 2022 yaitu dengan percepatan
peningkatan populasi sapi, khususnya jumlah indukan sapi sebagai basis sumber
produksi melalui program Upsus Siwab 2017 dengan target kebuntingan
sapi/kerbau tiga juta ekor dari empat juta ekor asepktor (75%). Kebijakan
3. Penambahan indukan impor baik oleh pemerintah ataupun melalui peran dan
kontribusi swasta (feedlotter) yang memasukkan indukan sebagai prasyarat
impor sapi bakalan. Penambahan sapi indukan impor pengembangannya
akan difokuskan pada enam UPT Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan,
yaitu BPTU-HPT Indrapuri, Siborong-borong, Sembawa, Padang Mangatas,
Pelaihari dan BBPTU-HPT Baturraden, 39 UPTD provinsi/kabuapten/kota
dan padang penggembalaan milik pemerintah daerah.
Target bertambahnya usaha sapi skala menengah dan besar jika dimaknai
dengan peningkatan skala kepemilikan rumah tangga dan target kontirbusi usaha
peternakan rakyat 20% tahun 2045, maka ada beberapa simpulan yang bisa
diambil:
2. Peningkatan skala usaha rakyat menjadi skala menengah dan besar secara
tidak langsung akan menggeser peran usaha ternak sapi dalam rumah
tangga dari usaha sambilan atau sekedar tabungan menjadi industri atau
usaha pokok (utama) atau minimal cabang usaha.
Agenda besar pencapaian target sasaran untuk menjadi lumbung pangan Asia
tahun 2045 tidak hanya ditandai dengan peningkatan produksi, populasi dan
ekpor komoditas ternak sapi dan kerbau tetapi juga dengan perubahan struktural
pelaku usaha peternakan. Jika selama ini pemasok utama kebutuhan daging
domestik adalah usaha peternakan rakyat, maka pada tahun 2045 lebih
mengandalkan usaha ternak sapi potong skala menengah dan besar (80%) dan
sisanya 20% dari usaha peternakan rakyat (Gambar 2.2)..
Gambar 2.2.
Tahapan Transformasi Struktur Produksi Daging Sapi dan Kerbau
Hasil sensus peternakan tahun 2013 sebagai basis, maka 5,07 juta rumah tangga
peternak sapi potong dimana 66,34% mengusahakan hanya 1 - 2 ekor ternak sapi
dan 75,75% tujuan pemeliharaan rumah tangga adalah untuk dikembangbiakan
dan bukan untuk dijual. Pemeliharaan ternak sapi hanya 65,96% dari 5,07 juta
rumah tangga peternak yang mengandangkan ternaknya, sedangkan 34,14%
sengaja dilepas seperti pola peternakan di Australia (Suryamin, 2014). Survey
Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 mencatat populasi ternak sapi potong
mencapai 16,4 juta ekor, sapi perah 0,58 juta ekor dan kerbau 0,89 juta ekor yang
dijadikan sebagai Angka Tetap (Populasi Awal) untuk estimasi angka populasi
sampai sensus berikutnya tahun 2023. Jika kita asumsikan bahwa jumlah
populasi ternak sapi yang dipelihara usaha peternakan rakyat tahun 2045 adalah
8,35 juta (20% dari 41,74 juta). Artinya, dengan rata-rata kepemilikan 2 ekor maka
akan diperoleh jumlah rumah tangga peternak rakyat sekitar 4,17 juta. Suatu
angka penurunan yang sangat cukup realistis dari 5,07 juta rumah tangga tahun
2013 atau menurun sebesar 0,90 juta atau mengalami penurunan 17,75% selama
kurun waktu 2013-2045 (32 tahun) atau rata-rata menurun sekitar 0.55%/tahun.
Bak “Naik Turun Tangga”, menurun akan terasa lebih mudah dibanding dengan
naik tangga yang membutuhkan sumberdaya dan energi yang lebih besar untuk
sampai pada anak tangga terakhir. Turun dalam roadmap tidak serta merta
diartikan sebagai penurunan total jumlah rumah tangga peternak tetapi sebagian
peternak rakyat bertransformasi menjadi peternak skala menengah dan/atau
besar. Transformasi struktural inilah yang seharusnya menjadi agenda terbesar
dalam pencapaian target dan sasaran grand desain dan roadmap pengembangan
sapi dan kerbau, yaitu melalui.
Artinya bahwa tidak akan ada niat dari pemerintah untuk mengurangi atau
menghambat peternakan rakyat tetapi didorong untuk memiliki skala ekonomis
dengan tetap memotivasi timbulnya wirausaha baru. Kembali kepada naik turun
tangga maka kita abaikan cara untuk turun dan fokus pada bahasan cara naik
karena butuh energi besar dan kadang banyak ditemui kendala. Pengalaman
berbagai program dan kegiatan pada masa lalu tentu dapat menjadi rujukan agar
lebih mudah menapaki setiap anak tangga untuk mencapai tujuan utama. Agar
pada masa datang tak timbul lagi “kebijakan yang tidak bijak” dan bahkan
bernuansa “komedi”. Kebijakan yang katanya berorientasi kepada rakyat tetapi
dalam implikasinya terkesan mengabaikan peternakan rakyat, kebijakan yang
katanya berbasis pemanfaatannya potensi sumberdaya yang kaya raya tetapi
dalam skenarionya masih tetap fokus pada wilayah prioritas tertentu yang kadang
sudah eksis dan sulit dipaksakan untuk berkembang. Pada program PSDS 2014,
dari 18 provinsi sebagai sentra sapi potong telah dikelompokkan menjadi 3
kelompok daerah prioritas.
3. Kelompok III Daerah Prioritas Kawin Alam yaitu Provinsi Nusa Tenggara
Timur, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
1. Ternak sapi yang dipelihara oleh mayoritas rumah tangga peternak sapi
rakyat adalah bagian tak terpisahkan dari usahatani lainnya baik rumah
tangga petani pangan maupun perkebunan atau dengan kata lain usaha
ternak sapi bukan merupakan usaha tunggal (utama) .
2. Tujuan utama pemeliharaan ternak sapi bagi rumah tangga perdesaan bukan
untuk dijual tetapi lebih sebagai tabungan yang hanya akan dilepas untuk
memenuhi kebutuhan yang memerlukan dana besar seperti acara selamatan
(aqiqah, kitanan, pernikahan), memasuki tahun ajaran baru sekolah, dan
ibadah (haji, umroh dan lainnya) serta kebutuhan acara adat istiadat terkait
dengan budaya setempat.
4. Ternak sapi bagi rumah tangga usahatani terdiversifikasi adalah asset yang
fleksibel, sehingga ketika terjadi kelangkaan sumberdaya tenaga kerja maka
dalam rangka rasionalisasi pilihan prioritas utama adalah pelepasan ternak
sapi dibanding pelepasan asset lain seperti lahan. Kasus yang dapat
dijadikan contoh adalah pada saat musim kemarau panjang dan kebakaran
hutan dan lahan akibat elnino tahun 2015. Pada saat terjadi kelangkaan
sumber pakan hijauan ternak banyak rumah tangga yang melakukan
rasionalsasi usaha ternak dengan menjual ternak sapi karena tenaga kerja
yang tersedia tidak mampu memenuhi kebutuhan pakan ternak.
Beberapa karakteristik dan perilaku tersebut diatas tidak akan pernah terungkap
dalam data statistik termasuk dalam buku-buku teks tetapi merupakan realita
yang diyakini pasti ada pada peternakan sapi potong rakyat. Secara teoritis ilmu
ekonomi semua dapat dijelaskan yang akan berujung pada suatu kesimpulan
bahwa “rumah tangga peternak sapi potong adalah pelaku ekonomi yang
rasional” yang selayaknya jadi bahan pemikiran dalam pengambilan keputusan
atau kebijakan. Selama ini mereka hanya dianggap sebagai objek bagi kita yang
“merasa sangat tahu”, padahal peran mereka sebagai pelaku sangat menentukan
keberhasilan suatu kebijakan. Semuanya tergantung para pemegang kuasa
kebijakan, apakah akan memaksakan target skala usaha dengan mengabaikan
perilaku peternak atau tetap mengakomodir perilaku tersebut dengan mengurangi
target sasaran yang ingin dicapai.
Agenda kedua dalam transformasi dari usaha peternakan skala kecil menuju
usaha menengah dan besar adalah membangkitkan wirausaha baru dalam
bidang usaha peternakan sapi potong. Selama ini investasi dalam usaha
peternakan sapi potong masih relatif “sangat rendah” dan hanya terbatas pada
sektor jasa dan perdagangan seperti feedlot (penggemukan). Feedlot adalah
suatu sistem manajemen di mana penggembalaan ternak sapi dilakukan secara
alami pada areal terbatas yang tidak menghasilkan pakan dan pakan ternak
dipasok dari tempat lain atau stok pakan yang ada. Sejauh ini dikenal empat
sistem penggemukan yang diterapkan, yakni sistem pasture fattening, dry lot
fattening, sistem kombinasi yakni pasture dan dry lot fattening, dan sistem
kereman (penggemukan) dry lot fattening yang lebih sederhana.
waktu tertentu ternak tersebut diganti dengan ternak bakalan yang baru.
Manajemen tata laksana pemeliharaannya juga relatif lebih mudah dan lebih
sederhana, sehingga kita dapat dengan mudah melakukan pengawasan terhadap
aktivitas usaha ternak.
Pada sisi lain, investasi dalam usaha peternakan sapi untuk tujuan pembibitan
masih sangat langka dan mayoritas merupakan investasi publik yang dilakukan
terbatas hanya oleh pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah dan dunia usaha
dalam usaha pengembangbiakan ini masih sangat rendah karena membutuhkan
investasi besar dan bersifat jangka panjang (long-run investment) serta memiliki
margin keuntungan yang rendah. Hasil analisis kelayakan Balai Pembibitan
Ternak (BPT) Sapi Potong Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi
menunjukkan bahwa pada aspek finansial diperoleh tingkat pengembalian modal
(IRR) hanya 3,56% (Novra et al, .2009).
Pengembangan BPT ini meskipun masih layak bagi proyek pembangunan sektor
publik tetapi kurang diminati para pemilik modal swasta karena daya saing
investasi sektor atau proyek pembibitan sapi potong relatif lebih rendah dibanding
sektor lainnya. Padahal dari aspek ekonomi dampak pegembangan BPT Sapi
Potong melalui pola kemitraan memberikan keuntungan finansial bagi masyarakat
mitra binaan, mengurangi ketergantungan dan belanja daerah untuk pengadaan
bibit, memperkuat daya tahan ekonomi rumah tangga perdesaan melalui
diversifikasi sumber-sumber pendapatan serta dapat diintegrasikan dengan
pengembangan desa mandiri energi dan pangan, pemenuhan kebutuhan pupuk
organik substitusi pupuk komersial dan upaya transformasi sistem pemeliharaan
menuju sistem pemeliharaan ternak sapi secara intensif.
sapi bakalan dan satu sapi indukan yang diperuntukkan untuk budidaya kembali
oleh petani.
sedikit dari mereka yang bertahan jadi pengusaha peternakan sapi potong.
Banyak penyebab dari kegagalan bertahan tersebut dan tidak hanya berkaitan
dengan hal teknis misalnya kerugian usaha akibat kinerja usaha tidak mencapai
target sasaran. Sebahagian ada yang berhenti karena mendapatkan pekerjaan
baru dan bahkan karena performans yang bagus diangkat menjadi pegawai
pemerintah meskipun sebagai honorer dengan gaji yang lebih kecil.
Makna di balik semua itu adalah ternyata mereka yang sudah mencoba untuk
terjun jadi pengusaha peternakan sapi potong itu sendiri tidak percaya bahwa
usaha yang dimodali pemerintah bisa menjadi jaminan hidup. Mereka lebih
memilih pekerjaan lain meskipun untuk sementara harus mendapat gaji yang
lebih kecil tetapi lebih bisa menjamin keberlangsungan kehidupan masa depan.
Menyalahkan mereka juga “sesuatu yang salah” karena memang realitanya
seperti itu karena hal yang sama juga terjadi pada para pengusaha yang sudah
teruji memiliki naluri bisnis. Seberapa banyak para pemilik modal dinegeri ini yang
tertarik untuk investasi pada usaha peternakan sapi potong dan jika ada
mayoritas cenderung pada bisnis perdagangan dan feedlotter dibanding sektor
produksi. Padahal dari sisi ilmu ekonomi, insentif apa yang kurang dari komoditas
penghasil daging merah di negeri ini. Bukankah, harga yang tinggi dan cenderung
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun merupakan insentif untuk investasi dan
didukung dengan pangsa pasar terbuka lebar dan selalu akan meningkat seiring
meningkatnya pendapatan dan taraf hidup konsumen.
daging sapi 2014, program KUPS belum berjalan seperti yang diharapkan dan
terbukti hingga tanggal 4 Mei 2010 hanya terealisasi Rp 56,75 milyar dari plafon
alokasi anggaran Rp. 145 milyar. Menurut hasil penelitian Susanti et al (2012)
menyimpulkan bahwa realisasi pencapaian kinerja KUPS penambahan induk,
penambahan pelaku usaha pembibitan, dan penyaluran kredit sangat rendah
sehingga kredit program KUPS belum berhasil dan efektif untuk mendukung
Program Swasembada Daging Sapi (PSDS) 2014.
Rendahnya tingkat efektivitas program SMD dalam mencetak wirausaha baru dan
serapan kredit usaha peternakan bunga bersubsidi menunjukkan ada sesuatu
yang salah. Berbagai insentif kebijakan pada sektor riel yang diharapkan mampu
menggerakkan sisi supply belum bekerja secara efektif dan efisien dalam
mendukung pencapaian swasembada daging. Insentif kebijakan dianggap belum
mampu mendorong “brand image” agribisnis peternakan sebagai salah satu
ladang bisnis yang menarik dan menguntungkan. Untuk itu, pada masa akan
datang dibutuhkan arah dan kebijakan yang tidak hanya mampu menjanjikan
tingkat keuntungan atau pengembalian modal yang berdaya saing tetapi juga
mampu memberikan jaminan keberlansungan pendapatan dan kehidupan para
pelaku usaha. Berbagai usaha dapat dilakukan antara lain dengan mendorong
peningkatan nilai tambah (value added) dan diversifikasi nilai manfaat usaha
peternakan itu sendiri dengan tetap berbasis pada usaha ternak sapi potong yang
efisien dan bersandar pada potensi sumberdaya yang tersedia.
Setelah membaca dan memahami berbagai kendala yang akan dihadapi dalam
transformasi struktural peternakan sapi potong diatas, akan timbul pertanyaan
“Kita Akan Pilih yang Mana?. Jika Penulis sebagai pengambil kebijakan akan
menjawab “Saya Akan Pilih Keduanya” tetapi dengan “Syarat dan Ketentuan
Berlaku” (meminjam istilah populer dalam masyarakat bisnis jasa di Indonesia).
Menurut Tawaf (2019), terdapat dua model pendekatan pembangunan
peternakan yang digunakan selama ini yaitu sistem agribisnis yang
diintroduksikan era tahun 2000an (lahir di Amerika serikat tahun 1950an yang
berbasis korporasi) dan konsep usaha tani rakyat (farming system) yang lebih
dikenal dengan konsep ekonomi kerakyatannya (ekonomi Pancasila). Kedua
model pendekatan ini sebenarnya dapat dikombinaskan dan secara kasat mata
sebenarnya ada dalam rohnya program Sentra Peternakan Rakyat (SPR) yang
sempat dikembangkan.
Pada program SPR bukan usahanya yang diubah dari usaha tani rakyat (farming
system) menjadi agribisnis tetapi lebih ditekankan pada perubahan perilaku.
Usaha peternakan tetap sebagai usaha rakyat tetapi dalam menjalankan usaha
menerapkan kaedah-kaedah bisnis yang dilakukan secara kolektif dalam suatu
kelembagaan yang disebut SPR. Konsep SPR menawarkan jasa layanan yang
terintegrasi termasuk jasa layanan iptek produksi, reproduksi, kesehatan hewan,
pengolahan pakan dan limbah sampai pengolahan hasil pasca pemotongan.
Selain itu SPR juga didukung dengan manajemen pemasaran, akses pasar dan
pembiayaan serta lembaga keuangan mikro yang lebih terkoordinir sehingga
dapat salah satu alternatif upaya pencegahan penjualan dan pemotongan ternak
sapi betina produktif. SPR juga menawarkan partisipasi banyak stakeholder baik
para pelaku dalam sistem agribisnis (peternak, pedagang, petugas IB dan
Keswan) maupun pihak eksternal pemilik modal dan bahkan mahasiswa dan para
peneliti baik perguruan tinggi maupun lembaga litbang lainnya.
Secara umum, SPR adalah suatu aksi kolektif (collective action) para pelaku
usaha peternakan rakyat dalam suatu sistem agribisnis yang terintegrasi dan
terkoordinasi untuk mencapai tujuan bersama. Individu masyarakat secara alami
cenderung memilih aksi bersama ketika ada kesamaan dalam hal tujuan yang
ingin dicapai dan ketika merasa adanya ketidakpastian dan resiko yang dihadapi
jika bergerak sendirian (Syamsuddin et al., 2007). Pada kawasan SPR tidak
hanya berbicara tentang bisnis tetapi juga koneksitas antar pihak, riset dan
pengembangan, transfer ilmu dan teknologi serta industri pendukung (investasi
dan lembaga keuangan). Pada tataran yang lebih luas, SPR memiliki kemiripan
dengan Sains and Techno Park (STP) sebagai suatu kawasan yang dikelola multi
stakeholder, berbasis Iptek dan mengedepankan R & D serta membuka ruang
partisipasi pihak eksternal dalam satu manajemen. , .
Konsep reposisi dalam strategi pemasaran ini pada dasarnya dapat dijadikan
acuan dalam menentukan arah dan kebijakan pembangunan sub-sektor
peternakan termasuk peternakan sapi potong. Usaha peternakan sapi potong di
Indonesia mayoritas (98%) adalah usaha peternakan rakyat dengan karakteristik
skala usaha relatif kecil; merupakan usaha rumah tangga dan usaha sampingan;
menggunakan teknologi sederhana; dan bersifat padat karya berbasis organisasi
kekeluargaan (Aziz, 1993). Indikator keberhasilan industrialisasi ditentukan oleh
kinerja dari industri meskipun bukan menjadi tujuan akhir dari pembangunan
ekonomi, Industrialisasi menurut Robiani (2005) merupakan upaya mencapai
tingkat pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan, yang selanjutnya akan
menciptakan pendapatan per kapita yang tinggi. Kebijakan industrialisasi
peternakan telah mengubah mind set pejabat pemerintah dan meninggalkan
realita kondisi yang sesungguhnya yaitu meninggalkan peternakan rakyat skala
kecil/tradisional. Kesan bahwa pembangunan industri peternakan tidak lagi
pro-produsen atau peternak rakyat yang terlihat dari grand design pembangunan
sapi potong dan kerbau bahwa populasi peternakan rakyat di tahun 2045 hanya
tinggal 20% (Tawaf, 2019).
Langkah pertama dari aspek makro adalah reposisi dalam aspek kewilayahan
agar memiliki skala prioritas tertentu untuk wilayah dengan karakteristik potensi
sumberdaya alam dan pasar tertentu. Pemahaman terhadap ekonomi industri
menjadi sesuatu hal yang penting dalam membangun industri peternakan.
Ekonomi industri menelaah struktur pasar dan perusahaan yang secara relatif
lebih menekankan pada studi empiris dari faktor-faktor yang mempengaruhi
struktur pasar, perilaku pasar dan kinerja pasar. Beberapa alasan kenapa
2. Ketersediaan tenaga kerja yaitu kedukupan pasokan tenaga kerja murah dan
terampil diperlukan untuk perkembangan industri yang ditentukan
berdasarkan rasio biaya tenaga kerja terhadap total biaya produksi.
4. Fasilitas transportasi baik menggunakan mode transportasi (air, jalan, dan rel
secara kolektif) dan kebijakan transportasi pemerintah.
5. Energi termasuk ketersediaan listrik, air, angin, batubara, gas dan minyak
bumi yang akan mempengaruhi fleksibelitas dan arah penyebaran atau
desentralisasi industri.
8. Alam dan iklim seperti cuaca, curah hujan, kelembaban, topografi daerah,
fasilitas air dan drainase termasuk pembuangan produk limbah,
9. Instuisi “feeling” atau anggapan pribadi yang dimiliki oleh para pelaku industri
itu sendiri dan kadang berkaitan dengan budaya.
10. Pertimbangan strategi terutama pada era modern dimana strategi sangat
memainkan peran penting dalam penentuan lokasi industri.
Gambar 2.3.
Rumah Besar Industri Peternakan Sapi Potong
Pada sisi lain, pemeliharaan ternak sapi untuk tujuan utama pengembangbiakan
lebih tersebar merata di seluruh Indonesia dan mayoritas dilakukan oleh usaha
peternakan rakyat. Produk utama yang diharapkan adalah berupa anakan baik
jantan maupun betina sehingga teknologi produksi yang paling dibutuhkan adalah
teknologi reproduksi seperti Inseminasi Buatan (IB), INKA (intensifikasi kawin
alami), sinkronisasi birahi, pemeriksaan kebuntingan sampai pada teknologi
embrio transfer (ET). Mayoritas sistem pemeliharaan ternak adalah semi-intensif
dan bahkan ekstensif (pengembalaan) sehingga membutuhkan lahan yang lebih
luas sehingga sebenarnya tidak begitu cocok dikembangkan di daerah padat
penduduk seperti Pulau Jawa dan Bali. .
Kedua jenis usaha pemeliharaan sapi tersebut perlu didukung dengan usaha
pembibitan ternak sapi guna menghasilkan ternak sapi unggul atau pemurnian
sapi lokal. Profil usaha pembibitan umumnya adalah investasi besar, bersifat
jangka panjang serta padat tekhnologi sehingga kurang diminati oleh sektor privat
atau swasta. Intervensi pemerintah dengan mengambil alih peran dalam usaha
pembibitan telah dilakukan selama sejak lama dengan berkembangnya berbagai
Balai Pembibitan Ternak Sapi Unggul (BPTU). Peran BPTU tidak hanya
menyedikan ternak unggul (pejantan dan induk) tetapi juga menyediakan material
dan layanan jasa teknologi reproduksi seperti bahan (semen beku) dan peralatan
Inseminasi Buatan (IB), sinkronisasi birahi dan embryo transfer (ET).
Berdasarkan uraian diatas maka skema dan model tata kelola serta keterkaitan
antar pelaku dan wilayah dalam industri peternakan sapi potong di Indonesia
secara ringkas disajikan pada Gambar 2.4. Segmentasi wilayah antara Jawa-Bali
dengan wilayah lainnya dalam industri peternakan sapi potong bukan berarti
bahwa untuk wilayah Jawa-Bali seluruh usaha adalah cattle feeder begitu juga
sebaliknya. Pada wilayah luar Jawa dan Bali masih terbuka lebar untuk
pengembangan cattle feeder karena juga banyak konsumen tetapi bukan menjadi
prioritas pembangunan, begitu juga sebaliknya pada wilayah Jawa dan Bali
feeder cattle masih terbuka tetapi bukan menjadi piroritas kebijakan dalam
anggaran. Segmentasi digunakan sebagai dasar dalam menentukan fokus
kebijakan pengembangan agar penganggaran lebih fokus sesuai kebutuhan
spesifik wilayah. Penggunaan sumberdaya akan dapat lebih dioptimalkan guna
mencapai tujuan serta saling ketergantungan antar wilayah yang kita harus kita
yakini akan mampu menciptakan kebersamaan. Hal inilah yang disebut dengan
clusterisasi dimana dalam suatu wilayah industri ada spesialisasi baik dalam
komoditas, pelaku dan kebijakan..
Gambar 2.4.
Skema Pengembangan Industri Peternakan Sapi Potong
2.3.2. Reposisi Skala Mikro: Berdaya Guna Tak Harus Jadi yang Utama
Daya saing industri peternakan sapi potong nasional tidak hanya terbatas dengan
daya saing dengan komoditas sejenis produksi negara lain, tetapi lebih luas dari
itu adalah daya saing dalam komoditas usaha tani. Pelepasan ternak sapi potong
oleh rumah tangga yang dengan mudah dilakukan dan rendahnya minat usaha
dan invesasi pada usaha peternakan sapi potong selama ini tidak terlepas dari
daya saingnya yang lemah terhadap komoditas atau jenis usaha lainnya. Pada
rumah tangga perdesaan dengan usahatani terdisversifikasi akan lebih mudah
untuk mengurangi skala usaha ternak sapi dibanding usaha tani lainnya karena
tidak begitu signifikan mempengaruhi ekonomi rumah tangga. Para pelaku usaha
(pemilik modal), pilihan usaha (investasi) pada sektor pertanian lain seperti
perkebunan lebih menjanjikan dibanding usaha (investasi) pada sektor usaha
peternakan yang memberikan tingkat keuntungan atau pengembalian modal lebih
rendah. Hal yang sama juga terjadi pada penduduk usia produktif, berkerja pada
bidang atau sektor peternakan sapi potong belum menjadi pilihan prioritas karena
brand image yang sering muncul adalah kurangnya kepastian keuntungan usaha
yang dapat menjamin keberlangsungan pendapatan mereka.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa selama ini usaha peternakan sapi potong
belum memiliki “brand image” sebagai usaha yang dapat diandalkan sebagai
sumber pendapatan utama (usaha pokok dan industri), menjadi sektor usaha dan
investasi yang menarik karena menjanjikan keuntungan dan keberlanjutan
pendapatan. Hal inilah yang menjadi pertimbangan utama kenapa penegasan
kembali (reposisi) peran dan kedudukan usaha peternakan sapi potong dalam
kerangka membangun industri peternakan yang tangguh. Berdasarkan
permasalahan, kondisi eksisting, sebaran potensi sumberdaya alam dan manusia,
serta efektifitas kebijakan yang telah dilakukan, maka beberapa langkah strategis
dalam rangka reposisi peran dan kedudukan usaha peternakan sapi potong
antara lain adalah:
lain guna mendorong peningkatan nilai tambah (value added) usaha ternak
sapi potong.
5. Produk yang dihasilkan bersifat komersial dan memiliki pangsa pasar yang
masih terbuka luas serta potensial mendukung pertanian ramah lingkungan
atau pertanian ekologis terpadu.
Konsep dasar “Berdaya Guna Tanpa Harus Menjadi Utama” merupakan upaya
untuk menciotakan “brand image” usaha peternakan sapi potong sebagai suatu
cabang usaha yang memiliki kemampuan berkontribusi bagi ekonomi rumah
tangga. Peningkatan kontribusi usaha ternak sapi potong dilakukan melalui
diversifikasi sumber-sumber pendapatan sehingga upaya peningkatan skala
ternak dapat berjalan seiring dengan peningkatan nilai tambah produk sampingan
(langsung) dan produktivitas (tidak langsung). Peningkatan kontribusi terhadap
usahatani lain melalui pemanfaatan produk olahan industri atau usaha kelompok
Gambar 2.5.
Membangun Peternakan Sapi Potong Rakyat
Pendekatan pembangunan industri peternakan sapi potong rakyat seperti ini akan
efektif menciptakan “brand image” positif dan potensial diintegrasikan dengan
berbagai program prioritas pembangunan lainnya. Jaminan profitabilitas dan
keberlanjutan usaha diharapkan mampu mengubah paradigma penduduk usia
produktif untuk menjadikan usaha ternak sapi potong sebagai pilihan alternatif
kesempatan berusaha. Para pemilik modal akan lebih tertarik dan investasi dalam
butiran dan bau menyengat jauh berkurang, dan perbaikan teknologi proses
produksi dari biokompos menjadi Trychokompos Insitu yang diikuti dengan
peningkatan fasilitas Instalasi Pengolahan Limbah Padat (IPLP). Teknologi ini
mampu memperpendek waktu komposing dari awalnya 2 minggu (14 hari)
menjadi 1 minggu (7 hari) dan seiring meningkatkan fasilitas IPLP maka kapasitas
produksi persatuan waktu akan mengalami peningkatan. Hasil kegiatan dilihat
dari kondisi eksisting perkembangan usaha pengolahan limbah terpadu kelompok
sudah berkembang baik dengan kapasitas “terpasang” masing-masing jenis
produk adalah Biourine “A” Plus 4.800 liter/bulan dan Trychokompos Insitu 10
ton/bulan. Peningkatan produksi baru dapat dicapai pada bulan Agustus untuk
Biourine Aerasi Plus sedangkan untuk Trychokompos Insitu pada bulan
September. Kendala yang dihadapi adalah dari kontinuitas bahan baku karena
adanya fluktuasi pasokan limbah cair dan padat kandang seiring perubahan
populasi ternak sapi. Untuk itu dikembangkan kemitraan input bahan baku
dengan peternak sapi potong non-anggota kelompok baik dalam desa maupun
luar kawasan desa, dengan pola rantai pasok seperti Gambar 2.6.
Gambar 2.6.
Model Tatakelola Usaha Kelompok KIAT Membangun Industri Peternakan Sapi Potong
Rakyat
Perjalanan kelompok usaha pelaku integrasi sawit sapi berbasis limbah ini
sempat mengalami stagnasi akibat kekurangan bahan baku limbah ternak sapi
potong. Kemarau panjang akibat el-nino tahun 2015 menyebabkan banyak rumah
tangga yang menjual atau mengurangi populasi ternak sapi akibat kelangkaan
sumber pakan hijauan ternak sapi. Keterbatasan tenaga kerja keluarga untuk
meramban mendorong terjadinya rasionalisasi jumlah ternak anggota kelompok
dan masyarakat sekitar desa. Pada sisi lain, ternak yang dipelihara dalam
kandang kelompok sebagai sumber utama bahan baku masih terjaga populasinya
karena memanfaatkan pakan rajangan pelepah sawit yang difermentasi. Sentra
pengolahan limbah terpadu kelompok usaha Sumber Rezeki yang terletak di
Desa Baru Kecamatan Mestong Kabupaten Muaro Jambi sampai saat ini masih
operasional tetapi pemanfaatan produk kompos lebih banyak digunakan untuk
kebutuhan budidaya tanaman hortikultura. Hal ini tak terlepas dari upaya rumah
tangga petani untuk bertahan menghadapi turunnya pendapatan akibat anjolknya
harga komoditas karet (crumb rubber) dan sawit (tandan buah kosong).
2.4.2. Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Pasca Karhutla 2015
Sedikit berbeda dengan kelompok tani Sumber Rezeki, dampak kemarau panjang
dan kebakaran hutan dan lahan 2015 malah menjadi awal kebangkitan usaha
komposing kelompok tani Mekar Sari di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) Universitas Jambi dengan judul
“Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena Dampak Kebakaran
Hutan dan Lahan 2015, berhasil menginisiasi berkembangnya usaha kelompok
tani Mekar Sari. Kegiatan PPM di Desa Dataran Kempas selama enam bulan
bertujuan untuk pemulihan ekonomi rumah tangga pelaku integrasi sapi sawit
yang terkena dampak karhutla khususnya kelompok tani Mekar Jaya (PMJ). Desa
Dataran Kempas merupakan desa dengan mayoritas rumah tangga adalah petani
perkebunan sawit rakyat dengan luas areal sekitar 382 Ha dengan masa tanam
tahun 1995/1996 sehingga 1 - 3 tahun lagi memasuki masa peremajaan (umur
tanaman non-produktif 25 tahun). Pasca kejadian kebakaran lahan dan hutan
besar pada tahun 2015 perekonomian desa mengalami kemunduran drastis
akibat anjloknya produktsi tanaman sawit masyarakat. Pemulihan kembali
produktivitas tanaman sawit pasca karhutla besar 2015 diperkirakan berlangsung
2 - 3 tahun, sedangkan harga jual TBS pada saat yang hampir bersamaan
mencapai harga terendah yaitu Rp. 600/kg.
mitra utama penyerap produk kompos, dan Tim MP3EI UGM berkerjasama
dengan Puslit CSR UNJA berkontribusi dalam pengadaan timbangan dan alat
jahit karung produk kemasan.
Gambar 2.7.
Aliran Sumberdaya Pada Kelompok Mekar Jaya
Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa tindakan kolektif dilakukan mulai dari
kandang sapi kolektif kelompok, pengolahan limbah di IWP, mekanisme
tumpangsari, dan pemasaran produk. Sumber bahan baku untuk IWP berasal dari
kandang pribadi anggota kelompok dan kandang kolektif kelompok, serta tidak
menutup peluang bersumber dari para peternak sapi sekitar. Untuk itu, kandang
pribadi maupun kolektif harus dilengkapi dengan tempat untuk penampung limbah
cair dan pengeringan limbah padat. Masing-masing limbah mentah diharga Rp
300/kg untuk limbah padat dan Rp 700/liter limbah cair yang dapat dibayar tunai
atau dihitung sebagai simpanan peternak pemasok. Terkait dengan pemanfaatan
hasil pengolahan limbah sebagai contoh untuk produk TCI dapat dijual atau
digunakan untuk program tumpang sari. Jika dijual, maka pendapatan bersih
(Rp340/kg) yaitu margin antara harga jual (Rp1.100/kg) dan biaya pokok produksi
(Rp760/kg) dikali kuantitas atau volume produksi. Pendapatan bersih kemudian
didistribusikan untuk pembayaran bahan baku pemasok, biaya produksi IWP, dan
setoran tunai bagi kelompok. Jika tidak dikomersialkan dan digunakan untuk
tumpangsari maka akan dihitung sebagai bagian dari biaya budidaya. Secara
khusus, mekanisme pembagian keuntungan dalam program tumpang sari di
sekitar tegakan karet muda hasil replanting diilustrasikan dalam Gambar 2.9.
Gambar 2.9.
Mekanisme Share Cropping antara Kelompok dan Pemilik Lahan
Demplot dikembangkan pada lahan karet replanting umur 3 tahun dengan luas
total 2 ha (0,5 ha setiap komoditas) dengan perlakuan pupuk sama yaitu
menggunakan TCI 5 ton/ha. Pupuk komersial (Urea, KCl, TSP, dan Dolomite)
masih digunakan sebagai pupuk awal saat penanaman, sedangkan pemanfaatan
Biourine A Plus hanya pada tanaman jagung dan sorgum (1: 10) setelah tanaman
berumur 2 minggu selama 2 bulan dengan frekuensi setiap dua minggu. Rataan
tingkat produktivitas dan analisis biaya manfaat untuk setiap tanaman pangan
disajikan pada Tabel 2.1.
Table 2.1.
Produktivitas Tanaman Pangan Intercropping dan Estimasi Biaya dan
Penerimaan
Table 2.2.
Dampak Budidaya Intercropping Terhadap Tanaman Karet Replanting
Performans
No Variabel Satuan
Intercropping Non-Intercropping
1 Lingkar Batang
a. Awal cm 4,68 5,05
b. Akhir cm 6,53 7,41
2 Perubahan (105 hari) cm 1,85 2,86
3 Perubahan harian cm/hari 0,02 0,02
4 Pertumbuhan (105 hari) % 0,42 0,46
5 Pertumbuhan harian %/hari 0,39 0,44
Secara umum, daya substitusi tanaman pangan masih belum penuh, yaitu
rata-rata 49,07% dengan kemampuan tertinggi pada tanaman jagung (55,83%).
aya substitusi yang rendah disebabkan oleh musim tanam yang maksimum hanya
2 kali dalam satu tahun. Kondisi tanah yang berada pada ketinggian sedang dan
cukup bergelombang, dan ketersediaan air sangat bergantung pada musim.
Faktor lain terkait dengan tingkat kesuburan tanah yang mulai menurun sehingga
produktivitas tanaman pangan juga tidak optimal.
di kalangan masyarakat Melayu Jambi. Hal ini dibuktikan dari petitih yang
berkembang di kalangan masyarakat adat Melayu Jambi yang berbunyi “Ado Padi
Sagalo Jadi, Ado Ternak Sagalo Enak dan Ado Parah Sagalo Murah”(ada padi
semuanya jadi, anak ternak semuanya akan terasa enak dan ada parah semua
yang akan dibeli terasa murah). Padi adalah tanaman yang diusahakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan beras untuk dikonsumsi sehari-sehari oleh rumah
tangga. Ternak (kerbau) adalah hewan yang dipelihara untuk memenuhi
kebutuhan insidental yang membutuhkan biaya besar seperti khitanan,
pernikahan, acara adat, naik haji, membangun rumah dan bahkan kebutuhan
pendidikan anggota keluarga,
Budaya usaha tani tradisional warisan nenek moyang masyarakat Melayu Jambi
ini mulai memudar seiring perkembangan zaman. Usahatani dengan diversifikasi
sumber pendapatan rumah yang telah menciptakan ekonomi rumah tangga
perdesaan yang stabil dan tahan terhadap goncangan eksternal mulai
menghilang seiring semakin berkembangnya budaya usahatani tunggal
(monokultur). Harga komoditas perkebunan (karet dan kelapa sawit) yang
semakin membaik dan mampu menunjang ekonomi rumah tangga mendorong
berkembangnya budaya usaha tani yang cenderung monokultur dengan hanya
mengandalkan satu komoditas untuk sumber pendapatan rumah tangga petani di
perdesaan.
Kecenderungan ini sangat terlihat pasca krisis ekonomi yang melanda Indonesia
pada tahun 1998 dimana komoditas perkebunan menjadi “komoditas idola” tujuan
ekspor. Pada sisi lain, kehadiran perkebunan swasta besar tidak hanya
mendorong konversi kawasan hutan tetapi juga semakin meluasnya konversi
lahan sawah menjadi perkebunan baik karet maupun kelapa sawit. Pembebasan
lahan untuk pembangunan perkebunan besar dengan “kedok” kemitraan
inti-plasma telah menyebabkan masyarakat perdesaan secara sadar dan
sukarela menyerahkan sebagian lahannya untuk dikonversi termasuk lahan
tanaman pangan (sawah). Besarnya kontribusi perkebunan terhadap ekonomi
rumah tangga menyebabkan rumah tangga lebih fokus pada komoditas komersial
ini dan mengabaikan cabang usahatani keluarga lain termasuk peternakan sapi
potong.
Krisis ekonomi global ini menyebabkan gangguan besar pada ekonomi rumah
tangga, sementara biaya pemeliharaan tanaman perkebunan mengalami semakin
meningkat seiring naiknya harga input terutama pupuk. Anjloknya harga
komoditas (TBS dan Bokar) di tingkat petani telah menyebabkan gangguan tidak
hanya terhadap rumah tangga pertanian tetapi juga sektor ekonomi lainnya.
Aktivitas ekonomi daerah yang membaik pada saat harga TBS tinggi berbalik
setelah anjloknya harga TBS. Pendapatan rumah tangga petani sawit menurun
memperlemah daya beli, sehingga mempengaruhi sektor jasa dan transportasi.
Aktivitas perdagangan dan transportasi yang selama ini ramai menjadi menurun
berakibat pada rendahnya pendapatan rumah tangga yang menggantungkan
hidupnya kepada kedua sektor ini. Sektor jasa pembiayaan seperti perbankan
dan lembaga pembiayaan lainnya juga terganggu akibat banyaknya kredit macet
sektor perumahan dan otomotif.
Hasil analisis situasi dampak krisis terhadap ekonomi rumah tangga perkebunan
karet dan sawit oleh Novra et, al (2009) menyimpulkan bahwa a) penurunan
harga komoditas tidak diikuti dengan penurunan biaya produksi dan bahkan
sebaliknya beban biaya meningkat akibat kenaikan harga input terutama pupuk
an-organik (komersial), b) kenaikan
harga pupuk yang diikuti turunnya harga
output direspon sebagian besar rumah
tangga dengan mengurangi dosis dan
komposisi penggunaan pupuk,
penundaan waktu pemupukan dan
pemanfaatan pupuk alam seperti abu,
dan c) guna menghindari resiko dampak
negatif jangka panjang berupa gangguan pertumbuhan dan produktivitas
tanaman sebagian rumah tangga meningkatkan penggunaan pupuk kandang
sebagai suplemen pupuk komersial.
masih ada biasanya 10 buah/batang dan menurut warga ini persis seperti yang
terjadi di tahun 1997 silam.
Hal yang sama terjadi pada tanaman perkebunan berupa turun drastisnya
produktivitas sawit akibat kabut asap karena terganggunya proses fotosintesa
(Erwinsyah, 2014). Gangguan fotosintesis nutrisi menyebabkan klorofil daun
memasak makanan tidak maksimal karena tercemarnya karbondioksida yang
dibutuhkan tanaman (Biocond, 2016). Penanganan pasca karhutla adalah semua
usaha, tindakan atau kegiatan yang meliputi inventarisasi, monitoring dan
evaluasi serta koordinasi dalam rangka menangani suatu areal setelah terbakar.
Salah satu bentuk penanganan adalah rehabilitasi yaitu seluruh kegiatan dalam
rangka merehabilitasi kawasan bekas dan terdampak akibat kebakaran dengan
mempertimbangkan rekomendasi dan/atau masukan berdasarkan data dan
informasi yang diperoleh dari hasil identifikasi. Pemulihan produktivitas tanaman
kelapa sawit secara alami menurut Erwinsyah (2014) membutuhkan waktu cukup
lama bisa 2 - 3 tahun. Pemulihan menggunakan bahan kimia untuk memacu
pertumbuhan bunga disamping mahal juga belum tentu efektif sehingga tidak
direkomendasikan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah melalui penguatan
ekonomi rumah tangga petani dengan memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya
sekitar (insitu) seperti limbah tanaman pertanian dan peternakan. Menurut Novra
et al (2016) pemulihan ekonomi rumah tangga petani sawit terkena dampak
kabakaran hutan dan lahan tahun 2015 lebih krusial dibanding dengan rehabilitasi
tanaman karean membutuhkan waktu cukup lama.
Salah satu wilayah yang terkena dampak karhutla 2015 adalah Desa Dataran
Kempas di Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi
Jambi. Mayoritas rumah tangga di desa ini merupakan rumah tangga perkebunan
sawit dengan luas areal sekitar 382 Ha dengan masa tanam tahun 1995/1996 dan
sekitar 1 - 3 tahun lagi harus dilakukan peremajaan (memasuki masa
non-produktif 25 tahun). Pasca kejadian kebakaran hutan dan lahan besar pada
tahun 2015 perekonomian desa mengalami kemunduran drastis akibat anjloknya
produksi tanaman sawit, sementara untuk pemulihan tanaman sawit tua tidak
efisien. Pada tahun 2016 melalui Tim PPM Universitas Jambi mulai diinisiasi
pengembangan pupuk kompos (padat) dan pupuk cair dengan memanfaatkan
sumberdaya limbah kandang ternak sapi dan pabrik kelapa sawit (PKS). Program
PPM dengan topik Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Petani Sawit Terkena
Progam PPM program mampu memantik partisipasi pihak dunia usaha melalui
program CD atau CSR (Novra et al, 2016). Program dan kegiatan dilakukan
secara terintegrasi dengan kontribusi masing-masing pihak adalah tim PPM Unja
disamping melakukan pembinaan juga memberi dukungan finansial
pembangunan rumah dan alat pengayak kompos, PT. WKS berkontribusi dalam
perbaikan jalan produksi dan menjadi mitra utama penyerap produk kompos, dan
Tim MP3EI UGM berkerjasama dengan Puslit CSR UNJA berkontribusi dalam
pengadaan timbangan dan alat jahit karung produk kemasan. Bank Indonesia
berkomitmen memberikan bantuan modal perluasan rumah kompos dan
perbaikan kandang guna akselerasi target produksi sesuai perjanjian kerjasama
antara PMJ dan PT. WKS pada saat lounching perdana yaitu 200 ton/bulan dari
capaian produksi 50-60 ton/bulan saat ini.
Informasi terbaru, pada tahun 2019 tercatat 7 kelompok usaha yang sudah
berkembang melalui program DMPA dan menjadi mitra usaha BUMDes Gerbang
Nusantara. Produk unggulan utama adalah pupuk kompos (organik) dengan
bahan baku utama adalah limbah pabrik kelapa sawit (PKS), limbah padat
peternakan sapi potong serta daunan dan legume disekitar lokasi. Usaha pupuk
kompos dikembangkan oleh 3 kelompok tani yaitu Poktan Mekar Jaya, Karya
Trans Mandiri dan Sekawan Inti Sejahtera dengan kapasitas produksi pada tahun
2018 mencapai 12.000 ton/bulan yang dipasok sebagian besar ke PT. WKS
dengan nilai Rp 13,62 milyar. Tenaga kerja yang diserap mencapai 130 orang
yang berasal dari Desa Dataran Kempas sendiri dan desa-desa sekitar dengan
upah mencapai 3 - 4 juta/bulan. Selain sebagai pemasok utama ke PT. WKS
sebagian dari produk kompos sudah dikomersialkan dengan merk dagang “Raja
Kompos dan Ratu Kompos” serta sebagian mendukung budidaya pertanian
organik oleh kelompok usaha lainnya.
Succes Story program PPM Unja tidak terlepas dari tindak lanjut yang dilakukan
PT. Wira Karya Sakti dalam dengan program DMPA sejak tahun 2017, Program
DMPA (Desa Makmur Peduli Api) yang diinisiasi oleh Asian Pulp and Paper Sinar
Mas bertujuan membangun hubungan harmonis dengan komunitas yang berada
sekitar konsesi dan sebagai solusi jangka panjang mencegah karhutla. Bukti
keberhasilan program terlihat dari berbagai penghargaan yang diperoleh Desa
Datran Kempas antara lain a) penghargaan Proklim bagi Kelompok Masyarakat
Peduli Api (MPA) pada Kategori Program Kampung Iklim Utama dari Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI, b) penghargaan sebagai Kepala Desa
terbaik lomba Kades dan Lurah tingkat Provinsi Jambi (regional) tahun 2018 dari
Dirjend Bina Pemerintahan Desa Kemendari RI, c) penghargaan bagi TP PKK
atas partisipasi dan dukungan menjadi yang terbaik tingkat regional Provinsi
Jambi berupa tropi dan pandel dari Kemendari, dan d) perwakilan Jambi dalam
Pekan Inovasi Perkembangan Desa dan Kelurahan (Pindeskel), di Kompleks
Garuda Wisnu Kencana, Badung, Bali.
Reposisi akan lebih bermakna dan berdaya guna jika usaha ternak sapi mampu
menjadi solusi pemecahan masalah yang dihadapi petani sebagaimana
kehadiran peternakan sapi potong mengatasi masalah dampak krisis ekonomi
(1997) dan krisis ekonomi global (2008), dampak negatif asap tebal kabakaran
hutan dan lahan (2015) yang menyebabkan turunnya produktivitas tanaman
1. Konsep wilayah berbasis karakter sumber daya yang dimiliki yang umumnya
didasari atas adanya masalah-masalah ketidakseimbangan demografi suatu
daerah, tingginya biaya, turunnya taraf hidup masyarakat, ketertinggalan
pembangunan suatu daerah dengan daerah lainnya, dan adanya kebutuhan
yang sangat mendesak di daerah tertentu.
a. Wilayah yang memiliki SDM banyak namun lahan dan SDA terbatas
maka “labor surplus strategy” cukup relevan untuk diterapkan dengan
tujuan utama menciptakan lapangan kerja yang bersifat padat karya dan
mengupayakan ekspor tenaga kerja ke wilayah lain.
Pada suatu kawasan peternakan sapi potong satu rumah tangga peternak
memiliki 2 - 3 ekor sapi potong dimana satu cluster terdiri dari Gapoktan dengan
jumlah minimal ternak 300 ekor (Gambar 4.1).
INDUSTRI
RTP INFRASTRUKTUR
KONSUMEN
RTP
RTP
PERMODALAN
RTP RTP DAN USAHA
RT
RTP
TRANSPORTASI
Gambar 4.1.
Model Pengembangan Cluster
Jumlah ternak ini sudah dianggap memenuhi syarat minimal untuk disebut
sebagai skala ekonomi sehingga memerlukan layanan teknis yaitu layanan
perbibitan, budidaya, pakan, layanan kesehatan hewan dan layanan kesehatan
masyarakat veteriner. Selain itu, satu clusternya masih diperlukan layanan
bersifat ekonomi dan kelembagaan yaitu layanan infrastruktur terpadu yang
mencakup pengolahan dan pemasaran, layanan permodalan, layanan
transprortasi yaitu untuk pengangkutan ternak dan jalan usaha tani serta layanan
pendampingan (kelembagaan). Bentuk-bentuk layanan ekonomis ini dapat
menangani beberapa cluster dalam satu kawasan. Apabila cluster atau kawasan
sapi potong sudah terbentuk maka akan berjalan secara alami atau dibentuk
jaringan pemasaran kedaerah konsumen yaitu konsumen, hotel, restoran,
katering dan industri. Beberapa kriteria kawasan peternakan adalah 1) tingkat
perkembangan kawasan, 2) type kawasan, 3) potensi dasar kawasan, 4) jumlah
fasilitas layanan peternakan, 5) nisbah lahan pangan terhadap populasi penduduk,
6) kapasitas tampung ternak, 7) Indeks Konsentrasi Ternak, 8) Jarak ke sentra
pengembangan, 9) pengetahuan peternak dan lainnya.
Sejak jaman dahulu sampai saat ini dan ke depan, pola pemeliharaan ternak di
Indonesia akan tetap didominasi oleh usaha peternakan berskala kecil dengan
karakteristik sebagai berikut: 1) rata-rata kepemilikan ternak rendah 2) ternak
sebagai tabungan hidup, 3) dipelihara dalam pemukiman padat penduduk dan
dikandangkan di belakang rumah, 4) terbatas lahan pemeliharaannya sehingga
pakan harus dicari di kawasan yang seringkali jauh dari rumahnya, 5) usaha
beternak dilakukan secara turun temurun dan 6) jika tidak ada modal untuk
membeli ternak, mereka menggaduh dengan pola bagi hasil. Peternak berskala
kecil yang berjumlah 4.204.213 orang pada tahun 2011 menguasai lebih dari 98%
ternak sapi di Indonesia dengan jumlah masing-masing ternak sapi pedaging 14.8
juta ekor, sapi perah 0.597 juta ekor, kerbau 1.305 juta ekor, kambing 16.946 juta
ekor, domba 11.791 juta ekor, kuda 0.409 juta ekor, babi 7.525 juta ekor, ayam
lokal 264.340 juta ekor, dan itik 43.488 juta ekor. Jutaan peternak dan ratusan juta
ternak tersebut merupakan aset penting dalam membantu program pemerintah
menyediakan produk ternak bagi bangsa Indonesia.
Sentra Peternakan Rakyat (SPR) diilhami dari Sekolah Peternakan Rakyat yang
bertujuan untuk memberi ilmu pengetahuan kepada peternak berskala kecil
tentang berbagai aspek teknis peternakan dan nonteknis yang melandasi
terwujudnya perusahaan kolektif dalam satu manajemen yang dikelola oleh satu
manajer dalam rangka meningkatkan daya saing usahanya untuk meningkatkan
pendapatannya serta kesejahteraannya. Hasil yang diharapkan dari Sekolah
Peternakan Rakyat ini adalah a) Berdirinya perusahaan kolektif peternakan
berbadan hukum milik peternak berskala kecil yang dikelola secara profesional
dan proporsional, b) Ternak pedaging atau ternak perah atau ternak unggas yang
berkualitas dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan bagi masyarakat
Indonesia, c) Ternak bibit bersertifikat (pedaging, perah, atau unggas) untuk
memenuhi kebutuhan peternak lainnya, dan d) Kedaulatan peternak berskala
kecil dan posisi tawar yang lebih tinggi.
SPR ini berangkat dari filosofi bahwa pembangunan peternakan dan kesehatan
hewan yang mensejahterakan peternak rakyat hanya dapat diperoleh apabila
pemerintah dan para pihak melakukan berbagai upaya yang memperhatikan
prinsip satu manajemen, pengorganisasian (konsolidasi) pelaku, dan
pemberdayaan peternak dalam rangka
terwujudnya populasi ternak
berencana. SPR adalah pusat
pertumbuhan komoditas peternakan
dalam suatu kawasan peternakan
sebagai media pembangunan
peternakan dan kesehatan hewan
yang di dalamnya terdapat satu
populasi ternak tertentu yang dimiliki oleh sebagian besar peternak yang
bermukim di satu desa atau lebih, dan sumber daya alam untuk kebutuhan hidup
ternak (air dan bahan pakan). SPR mengoptimalkan pelayanan (teknis, ekonomi,
pendampingan dan pemasaran), pemanfaatan sumber dana dan sumber daya
menuju bisnis kolektif yang diinisiasi melalui Sekolah-PR.
Gambar 4.2.
Konsepsi Pengembangan Sentra Peternakan Rakyat
9. Multi produk dan komoditas: produk yang dikembangkan dalam SPR tidak
hanya komoditas utama peternakan saja melainkan bisa juga produk di luar
peternakan.
Prosedur pembentukan SPR sangat ditentukan berbagai pihak, tidak hanya Ditjen
PKH. Partisipasi dalam bentuk usulan calon lokasi SPR dari masyarakat menjadi
penting dalam keberlanjutan SPR. Persetujuan dari Pemerintah Daerah menjadi
pondasi dan dukungan atas pembentukan SPR daerah. Keterlibatan Perguruan
Tinggi dan lembaga penelitian pertanian atau lembaga sejenisnya menjadi
penting untuk mendampingi SPR dalam melakukan transfer pengetahuan dan
teknologi, serta penguatan kapasitas peternak berskala kecil. Demikian halnya
dengan keberadaan GPPT sangat menentukan dalam hal membangun
kesadaran untuk bertindak secara kolektif dari peternak rakyat yang menjadi
sasaran dalam pelaksanaan SPR.Sebagai “perpanjangan tangan” Dirjen PKH,
keberadaan manajer penting untuk menyampaikan laporan terkait segala hal
yang terjadi di lapangan.
kebutuhan hijauan pakan ternak tetap tergantung pada sumberdaya lahan. Pada
sisi lain, ketersediaan lahan secara khusus untuk peternakan sapi potong seperti
padang rumput atau pengembalaan sudah semakin sempit seiring dengan
perkembangan penduduk dan kebutuhan manusia terhadap lahan. Upaya-upaya
pemenuhan kebutuhan hijauan pakan ternak ini mendorong berbagai inovasi dan
alternatif pilihan termasuk dalam pemanfaatan limbah baik limbah tanaman
maupun industri pengolahan produk pertanian.
a. Tanaman Teh memiliki potensi limbah tanaman relatif kecil karena daun teh
adalah produk utama sehingga limbah hijauan relatif kecil dan lokasi terbatas
hanya di Kabupaten Kerinci dan milik BUMN Perkebunan.
c. Tanaman Padi Sawah luas areal sawah 113,55 ribu Ha dan luas panen
125,67 ribu Ha adalah tulang punggung ketahanan pangan daerah dan
menjadi kewajiban semua pihak untuk mempertahankannya. Perlunya
insentif bagi rumah tangga petani padi sawah merupakan syarat mutlak bagi
menjaga kelestarian lahan pangan seperti yang diamantkan Undang-undang
Menurut FAO secara garis besar sistem produksi ternak di dunia dapat dibagi
menjadi 1) sistem produksi berbasis ternak (solely livestock production system),
dimana 90% bahan pakan dihasilkan "on farm" dan penghasilan kurang dari 10%
dari kegiatan non peternakan, dan 2) sistem campuran (mix farming system),
dimana pakan ternak memanfaatkan hasil sampingan tanaman. Berbasis
klasifikasi tersebut diatas, maka sesuai strategi pengembangan kawasan
diharapkan akan tercipta sentra-sentra pertumbuhan peternakan baru, dimana
komoditas ternak menjadi unggulan (solely livestock production system) atau
komoditas ternak hanya sebagai penunjang dan atau menyatu dengan usaha tani
lainnya (mix farming system).
campuran limbah padat kandang untuk pembuatan pupuk kompos. Konsep dasar
integrasi sapi sawit lebih pada pemanfaatan sumberdaya bersama (Gambar 4.3)
dibanding dengan sekedar pemanfaatan SD lahan bersama (Gambar 4.4). Pola
Integrasi sapi sawit yang dilakukan para buruh kebun dan masyarakat sekitar
areal perkebunan kelapa sawit PTPN VI di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten
Bungo. Pemeliharaan ternak sapi hampir mendekati sistem pemeliharaan
ekstensif, dimana ternak sapi dipelihara dalam kandang koloni milik kelompok dan
pada jam tertentu dilepas atau digembalakan pada areal perkebunan sawit.
PEMELIHARAAN
PEMELIHARAAN
TANAMAN
TANAMAN
Gambar 4.3.
Pola Interaksi Tinggi Wilayah Integrasi Sapi Sawit
Gambar 4.4.
Pola Interaksi Rendah Wilayah Integrasi Sapi Sawit
Sistem integrasi seperti ini memiliki keunggulan antara lain efisien dalam tenaga
kerja sehingga seorang peternak dapat memelihara puluhan ternak sapi. Pada
sisi lain, sistem ini potensial menimbulkan konflik antara pemilik kebun
(perusahaan) dengan peternak karena adanya kekuatiran akan menurunkan
produktifitas tanaman sawit. Over grazing (pengembalaan berlebihan) tidak hanya
potensial menimbulkan kerusakan pada tanaman tetapi juga pada lahan karena
adanya injakan ternak sapi menyebabkan terganggunya akar tanaman
permukaan tanaman sawit dan pemadatan akibat injakan ternak sapi dalam
jumlah besar. Potensi kematian pada ternak sapi akibat keracunan dapat saja
terjadi karena tercemarnya rumput dari sisa pestisida dan herbisida yang
digunakan pemilik kebun untuk pengendalian gulma dan hama penyakit tanaman.
Pola ini pada dasarnya memiliki sifat keterkaitan antara tanaman dan ternak
lemah karena hanya memanfaatkan hijauan antar tanaman (HAT) sawit.
Tanaman karet tidak memiliki potensi besar dalam penyediaan pakan ternak sapi
seperti halnya perkebunan kelapa sawit karena terbatas hanya daun dan biji karet
yang jatuh. Pada sisi lain, teknologi pengolahan kedua sumber pakan potensial itu
sampai saat sekarang belum begitu efisien dan aplikatif di lapangan (masyarakat).
Untuk itu upaya pengayaan sumberdaya pakan dari areal perkebunan karet
sangat dibutuhkan baik melalui tanaman hijuan sela (tutupan areal perkebunan
tidak serapat tanaman sawit), tanaman pagar (pembatas) dan areal
pengembalaan sekitar kebun. Sebagaimana sebelumnya dijelaskan bahwa
pemilihan integrasi sapi karet lebih pada pertimbangan sosial, ekonomi dan
budaya. Pada aspek sosial ekonomi, tanaman karet merupakan komoditas
perkebunan rakyat terluas dan rumah tangga terlibat terbesar. Pada aspek sosial
budaya upaya mempertahankan pola diversifikasi tradisional (karet, kerbau dan
sawah) guna meningkatkan daya tahan ekonomi rumah tangga tetapi dengan
perubahan komoditas kerbau menjadi sapi potong. Interaksi antara komoditas
karet dan sapi masih potensial ditingkatkan dengan pola seperti Gambar 4.5.
PEMELIHARAAN
TANAMAN
Gambar 4.5.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Karet
Pola interaksi antara komoditas dalam integrasi sapi karet relatif rendah dan
kurang seimbang dimana kontribusi peternakan dalam mendukung usaha tani
Pola interaksi antara tanaman pangan terutama padi sawah dengan ternak sapi
sebagaimana pada integrasi sapi sawit akan lebih erat dibanding dengan interaksi
antara sapi dan karet. Limbah tanaman dan industri pengolahan produk pangan
menyediakan sumber pakan bagi ternak sapi dan sebaliknya ternak sapi mampu
menyediakan sumber unsur hara (pupuk organik) bagi tanaman pangan.
Komoditas tanaman pangan berdasarkan kondisi lahan budidaya dapat
diklasifikasikan dalam 2 kelompok besar yaitu tanaman pangan lahan basah
dengan komoditas tunggal padi sawah, dan tanaman pangan lahan kering
dengan komoditas lebih bervariasi seperti jagung, kedele, padi ladang, ubi-ubian
dan bahkan sorghum. Secara umum pola interaksi antar komoditas pada kedua
kelompok hampir sama tetapi dalam penanganannya akan sedikit berbeda satu
sama lainnya.
Pada integrasi sapi sawah limbah industri pengolahan dapat dioptimalkan karena
merupakan bagian dari kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat. Hal ini
berbeda dengan limbah industri pengolahan kelapa sawit yang umumnya adalah
milik perusahaan swasta sehingga membutuhkan suatu ikatan perjanjian dalam
pemanfaatannya. Artinya, terdapat 2 kelompok limbah pertanian yang dapat
a. Limbah tanaman yaitu jerami padi yang dapat dilakukan proses pengolahan
baik basah (silase) maupun kering (hay). Kedua metode pengolahan
bertujuan untuk meningkatkan stock pakan ternak sapi yang dipelihara oleh
rumah tangga peternak. Penggunaan lain dari jerami padi adalah sebagai
bahan baku dalam pengembangan pupuk organik melalui proses komposing
yang dapat dilakukan langsung pada areal persawahan maupun pada unit
pengolahan limbah terpadu milik kelompok. Pilihan dan cara pemanfaatan
jerami sangat tergantung pada ketersediaan teknologi meskipun dalam
prakteknya jerami padi yang diolah sebagai pakan ternak tetap akan berujung
pada pemanfaatan sebagai pupuk organik padat (biokompos) dan cair
(biourine).
b. Limbah industri pengolahan padi dapat berupa bekatul dan dedak yang
potensi menjadi sumber pakan konsentrat untuk ternak sapi, serta sekam
padi yang potensial sebagai bahan baku pupuk organik padat.
Pola interaksi antar komoditas dalam kawasan integrasi sapi sawah (Gambar 4.6)
menunjukkan suatu pola pemanfaatan limbah yang saling terkait satu sama
lainnya.
Gambar 4.6.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Padi
Pola interaksi yang sama juga terjadi dalam integrasi sapi dan pangan lahan
kering tetapi tidak semua komoditas pangan dapat dimanfaatkan limbah industri
pengolahan. Beberapa pola pemanfaatan limbah tanaman yang potensial dalam
integrasi sapi pangan lahan kering adalah jagung, sorghum, kedele, dan
holtikultura (sayuran).
Gambar 4.7.
Potensial Integrasi Sapi Pangan Lahan Kering
a. Pucuk tebu merupakan ujung atas batang tebu berikut 5 - 7 helai daun yang
dipotong dari tebu yang dipanen (13 - 15% bobot panen atau ±3,8 ton/ha
bahan kering) dengan daya tampung ±1,4 ST sapi/Ha/tahun.
b. Daun kletekan adalah daun tebu yang diperoleh dengan cara melepaskan 3-4
daun tebu sebelum dipanen, pada saat tebu berumur 4, 6 dan 8 bulan yang
masing-masing disebut kletekan 1, 2 dan 3.
c. Sogolan adalah tunas-tunas tebu yang diafkir yang bersama daun kletekan
merupakan sumber pakan ternak potensial didayagunakan baik secara
langsung maupun diolah dahulu.
d. Ampas Tebu adalah salah satu sisa produksi pembuatan gula, yang
merupakan hasil limbah kasar setelah tebu digiling (Serat kasar cukup tinggi
yang terdiri dari sellulosa, pentosan dan lignin sehingga dapat digunakan
sebagai sumber serat kasar ternak ruminansia dengan batas penggunaan
maksimum 25% total pakan).
f. Tetes adalah cairan kental hasil ikutan pemurnian gula yang merupakan sisa
nira yang telah mengalami proses kristalisasi.
Berdasarkan kondisi eksisting industri tebu Provinsi Jambi yang masih berupa
pengolahan tebu rakyat untuk produksi gula merah, maka hanya beberapa produk
ikutan yang tersedia yaitu ampas
tebu dan tetes. Sebagaimana
halnya kelapa sawit, maka
penyediaan sumber pakan dari
limbah tanaman tebu dapat
berlangsung sepanjang musim
tanam yaitu daun kletekan dan
sogokan sepanjang masa
pemeliharaan, pucuk tebu pada saat pasca panen dan ampas tebu dan tetes
pada pengolahan hasil (Gambar 4.8).
KEBUTUHAN PUPUK
TANAMAN
Gambar 4.8.
Pola Interaksi Wilayah Integrasi Sapi Tebu
Sistem integrasi tanaman dan ternak sapi pada skala usaha tani rakyat lebih
efektif jika dilakukan melalui aksi kolektif dengan dukungan pemerintah. Pada
bagian ini akan dibahas 2 contoh model kelayakan program pemerintah yaitu IFS
Pangan Sapi dan IFS Sawit Sapi (ISS PT. Perkebunan Nusantara VI). Salah satu
program prioritas Pemperintah Provinsi Jambi adalah pengembangan wilayah
integrasi sapi potong dengan komoditas pertanian lain. Pogram pembangunan
agribisnis ternak sapi potong dengan pendekatan Spesialisasi Terintegrasi
Agribisnis Sapi Potong (SPINTAS). SPINTAS merupakan integrasi antara
spesialisasi usaha dengan divisi tugas dan wewenang tertentu masing-masing
pihak pada suatu lokasi sentra pengembangan ternak sapi potong, dengan uraian
definsi sebagai berikut:
1. Spesialisasi menunjukkan bahwa setiap kegiatan dilakukan oleh kelompok
tertentu yang terdiri dari pengolahan limbah perkebunan/pangan menjadi
pakan ternak, usaha pembibitan (breeding), penggemukan (fattening), dan
pengolahan produk sampingan (by product).
2. Terintegrasi menunjukan bahwa usaha-usaha tersebut dilakukan pada lokasi
sentra pengembangan (cluster industries) dalam bentuk integrasi antara;
a. Integrasi usaha yaitu usaha pengolahan pakan ternak dari limbah
pertanian, usaha pembibitan dan penggemukan, dan usaha pengolahan
produk utama dan sampingan
b. Integrasi konsep pembangunan yaitu pemberdayaan masyarakat sebagai
implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (Coorporate Social
Responsibilities), sentra pembibitan perdesaan (Village Breeding Center),
peningkatan nilai tambah (value added) melalui manajemen usaha tanpa
limbah (Zero Waste Management), dan perlindungan betina produktif atau
Unit Reproduction Control (URC), serta konsep percepatan diffusi dan
pemanfaatan IPTEK.
c. Integrasi tugas dan wewenang masing-masing pihak yaitu pemerintah
daerah melalui SKPD terkait, perusahaan swasta baik perkebunan
maupun no-perkebunan, perguruan tinggi serta masyarakat peternak.
3. Agribisnis sapi potong menunjukkan bahwa cakupan kegiatan adalah dari
hulu sampai hilir yang terdiri dari;
a. Penyediaan faktor produksi seperti bibit, dan pakan ternak, dan sumber
pembiayaan investasi dan modal kerja,
b. Budidaya ternak yang tercakup dalam usaha pembibitan (breeding) dan
penggemukan (fattening) dengan hubungan dan aturan kelembagaan
yang disepakati secara bersama.
c. Penyediaan sarana dan prasarana pendukung serta faktor pendukung lain
berupa penyediaan Pos Pelayanan Terpadu (PPT) untuk pelayanan IB
dan Keswan.
d. Pemasaran dan pengolahan hasil baik langsung ke pasar (ternak hidup)
maupun melalui Rumah Potong Hewan (daging) serta langsung
Pola integrasi yang dikembangkan adalah usaha peternakan sapi potong untuk
tujuan ganda (multi objective) yaitu produksi ternak bibit dan penggemukan.
Pengembangan dilakukan pada kawasan sentra tanaman pangan dan hortikultura
dengan luas hamparan 25 Ha yang diusahakan oleh 50 rumah tangga petani atau
rata-rata setiap RTP mengusahakan 0,5 Ha tanaman pangan. Sasaran awal
kegiatan adalah 25 KK yang dibagi dalam 5 kelompok petani peternak sapi. Pada
tahap awal akan didistribusikan 105 ekor ternak sapi yang terdiri dari 50 ekor
betina, 5 ekor pejantan dan 50 ekor bakalan. Ternak betina dewasa (induk)
merupakan ternak gaduhan dan harus dikembalikan kepada pemerintah (pemilik
modal) dalam bentuk 2 ekor ternak sapi remaja Pemeliharaan untuk betina
dilakukan secara semi intensif (digembalakan pada siang hari dan dikandangkan
pada malam hari secara berkelompok). Tujuan pengandangan induk dan
dicampur pejantan secara berkelompok adalah untuk meningkatkan efektifitas
perkawinan alami, dengan tingkat kelahiran mencapai 70%.
KONSENTRAT
FERMENTASI/ HAY
Gambar 4.9.
Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Tanaman Pangan dan Sapi
1. Bantuan modal kerja dalam bentuk ternak induk sebanyak 2 ekor/RT yang
didistribusikan dalam bentuk gaduhan dengan pengembalian 2 ekor ternak
remaja (umur 1 tahun) dan untuk menjaga keberlanjutan usaha penggemukan
maka yang diserahkan hanya ternak betina..
Setiap rumah tangga sasaran kegiatan akan difasilitasi untuk mendapat kredit
melalui program kredit revitalisasi (suku bunga 7%) atau kredit UMKM (suku
bunga 14%), dengan jangka waktu pengembalian 10 tahun. Besarnya angsuran
pertahun yang diberikan tergantung besarnya fasilitas kredit, yang terdiri dari;
3. Sarana dan prasarana pengeringan ampas biogas dan kotoran dengan nilai
investasi Rp. 2 juta/KK.
Sumberdana mandiri merupakan fasilitas utama yang dibiayai sendiri oleh rumah
tangga sasaran, antara lain;
1. Pembuatan kandang dan perlengkapan dengan biaya Rp. 500 ribu/unit atau
sekitar 1 juta/RT.
Asumsi yang digunakan sebagai koefisien teknis dalam kajian kelayakan dalam
kajian kelayakan integrasi tanaman pangan dan ternak sapi adalah:
1. Harga ternak sapi induk (betina dewasa) adalah Rp. 7 juta/ekor, bakalan Rp. 5
juta/ekor, dan pejantan Rp. 10 juta/ekor.
2. PBB penggemukan 0,5 kg/hari, harga sapi hidup Rp. 20.000/kg, lama
penggemukan 240 hari, sehingga diperoleh selisih bobot 120 kg atau senilai
2,4 juta (nilai jual penggemukan 7,4 juta/ekor).
Secara ringkas profil investasi pengembangan wilayah integrasi sapi potong dan
pangan adalah;
a. Skala Usaha Awal : 105 ekor (5 pejantan, 50 ekor induk dan 50 ekor
bakalan)
Pola integrasi yang dikembangkan adalah uaha peternakan sapi potong untuk
tujuan ganda (multi objective) yaitu produksi ternak bibit dan penggemukan.
Pengembangan dilakukan pada areal sekitar perkebunan sawit baik perkebunan
rakyat maupun perusahaan. Sesuai konteks peningkatan partisipasi dunia usaha
(swasta) dalam pembangunan daerah dan pengembangan ekonomi produktif
dalam implementasi tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), maka dalam profil
investasi dilakukan analisis pada perkebunan swasta plasma. Pengembangan
Teknologi
Fermentasi
ampas
Gambar 4.10.
Aliran Sumberdaya dalam Integrasi Sawit Sapi
sumber pupuk organik baik untuk perkebunan (substitusi pupuk organik untuk
tanaman sawit dan tanaman sela) dan kebutuhan eksternal untuk kebun bibit
hijauan unggul dan hijauan pekarangan, serta penjualan jika terjadi surplus
produksi. Pembiayaan integrasi bersumber dari dana pemerintah, perusahaan
perkebunan, lembaga keuangan dengan jaminan perusahaan (avalis) dan rumah
tangga sasaran. Sumberdana pemerintah bersumber dari APBN dan/atau APBD
Provinsi dan/atau APBD Kabupaten, yang dapat digunakan untuk;
2. Pengadaan 1 ekor pejantan untuk setiap 10 ekor induk yang dipelihara oleh
ketua kelompok atau orang yang ditunjuk kelompok.
Setiap rumah tangga sasaran kegiatan akan difasilitasi untuk mendapat kredit
melalui program kredit revitalisasi (suku bunga 7%) atau kredit UMKM (suku
bunga 14%) dengan jangka waktu 10 tahun. Besarnya angsuran pertahun yang
diberikan tergantung besarnya fasilitas kredit, yang digunakan untuk;
1. Instalasi pengolahan limbah biogas dengan harga perunit Rp. 5,5 juta
ditambah kompor gas Rp. 500.000/unit untuk setiap rumah tangga.
2. Sarana dan prasarana pengeringan ampas biogas dan kotoran basah dengan
nilai investasi Rp. 12,5 juta/kelompok.
Sumberdana mandiri merupakan fasilitas utama yang dibiayai sendiri oleh rumah
tangga sasaran, antara lain;
Asumsi yang digunakan sebagai koefisien teknis dalam kajian kelayakan integrasi
tanaman sawit dan sapi ini adalah;
1. Harga ternak sapi induk (betina dewasa) adalah Rp. 7 juta/ekor, bakalan Rp. 5
juta/ekor, dan pejantan Rp. 10 juta/ekor.
2. PBB penggemukan adalah 0,5 kg/hari, harga sapi hidup Rp. 20.000/kg, lama
penggemukan 240 hari. Berdasarkan asumsi ini diperoleh selisih bobot badan
120 kg atau senilai 2,4 juta sehingga nilai jual ternak hasil penggemukan
adalah 7,4 juta/ekor.
4. Angka kematian 1% untuk ternak remaja dan dewasa serta 5% untuk anak
sapi baik jantan maupun betina.
2 liter/hari atau setara dengan Rp. 5.000 (harga subsidi Rp. 2.500/liter) atau
sekitar Rp. 912.500/tahun/RT.
6. Nilai pupuk organik dengan asumsi setiap 1 Satuan Ternak (ST) yang
dikandangkan menghasilkan 8 – 10 kg kotoran basah atau 4 – 5 kg kotoran
kering, dan jika dimanfaatkan untuk produksi biogas maka terjadi penyusutan
separo sehingga pupuk organik kering ampas biogas diperkirakan hanya
tinggal 2,5 kg/ST/hari. Hal ini berarti bahwa dalam setahun setiap 1 ST yang
dikandangkan selama penggemukan (240 hari) menghasilkan 600 kg/pupuk
organik kering, dan dengan harga jual Rp. 750/kg maka setiap tahun nilai
output mencapai Rp. 450.000/ST/tahun.
Analisis kelayakan dilakukan untuk melihat kelayakan usaha dari sisi pihak-pihak
(perusahaan, peternak dan pemerintah), dengan memasukkan nilai-nilai manfaat
tidak langsung (direct benefit). Nilai tidak langsung untuk peternak adalah nilai
substitusi biaya bahan bakar untuk kebutuhan rumah tangga, dan nilai pupuk
organik yang dihasilkan dari ampas biogas, sedangkan untuk perusahaan
memasukkan nilai penghematan tenaga kerja dan penggunaan rondap
(obat-obatan). Pada sisi perusahaan ada beberapa manfaat dan biaya yang tidak
dapat dihitung (non-applicable) yaitu peningkatan citra perusahaan (manfaat tidak
langsung) serta dampak positif atau negatif terhadap produktivitas lahan
perkebunan. Menggunakan tingkat suku bunga 14%, maka diperoleh tingkat
kelayakan usaha baik secara parsial maupun overall. Secara ringkas profil
investasi pengembangan wilayah integrasi sapi potong dan pangan adalah;
a. Skala Usaha Awal : 102 ekor (4 pejantan, 48 ekor induk dan 48 ekor
bakalan)
b. Skala Akhir (10 tahun) : Sepenuhnya asset peternak 5 ekor pejantan, 66
ekor induk, 18 ekor betina remaja, 38 ekor anak
jantan dan betina serta 67 ekor bakalan
c. Sasaran : 2 kelompok atau 24 rumah tangga
d. Wilayah integrasi : 40 Ha lahan perkebunan sawit
e. Total nilai investasi : Rp. 1,119,840,750
f. Nilai kredit total : Rp. 189.320.750
g. Nilai kredit/KK : Rp. 6.000.000
h. Bunga/jangka waktu/cicilan : 14%/10 tahun/Rp. 1.150.281 pertahun
i. Kelayakan Sisi Pemerintah : NPV = - 93,281 jt(tidak layak)
j. Kelayakan Sisi Pemrakarsa : NPV = -9,285 jt dan Net BCR = 0,97 (tidak layak)
k. Kelayakan Sisi Peternak : NPV = 621,71 jt dan Net BCR = 12,15 (layak)
l. Overall Kelayakan : NPV = 519,14 jt, Net BCR = 2,52 dan IRR =
25,80%
NPV < 0 (negatif) dan Net-BCR < 1 hanya menunjukkan bahwa tingkat
pengembalian modal perusahaan (IRR) lebih kecil dari 14%. Perusahaan
sebagai pelaksana CSR akan melihat pelaksanaan fungsi sosial dibanding
orientasi memperoleh keuntungan bisnis atau lebih mempertimbangkan
dampak pelaksanaan CSR terhadap lingkungan binaan. Peningkatan citra
perusahaan dan dengan sistem bantuan bergulir untuk pengembangan
ekonomi produktif akan meningkatkan jangkauan pelayanan akan
meningkatkan efisiensi biaya pembinaan lingkungan. Biaya implementasi
CSR akan kembali sebahagian baik dalam bentuk pengembalian ternak bibit
maupun nilai bagi hasil penggemukan, serta adanya penghematan biaya
operasional pemeliharaan perkebunan. Hal ini menunjukkan bahwa secara
finansial pengembangan CSR model ini jauh lebih layak daripada
pengembangan CSR yang bersifat tidak produktif (charity) dan jangka pendek
serta sekali habis. Hasil ini mengindikasikan bahwa pengembangan CSR
dengan sistem ini sangat layak bagi perusahaan.
3. Pada sisi kelompok peternak sasaran, maka dengan nilai NPV > 0 (positif)
dan Net-BCR > 1 maka akan sangat memberikan manfaat bagi ekonomi
rumah tangga mereka. Pada saat pengembalian ternak dengan bantuan
bergulir lunas, maka perkembangan skala usaha ternak sapi akan meningkat.
Peningkatan pendapatan dari tahun ke tahun didorong oleh peningkatan nilai
penjualan ternak hasil penggemukan non-bagi hasil (ternak sendiri hasil
pembibitan).
Ketahanan pangan dan energi merupakan pilar utama stabilitas nasional dan
ketergantungan terhadap pangan impor tidak hanya menyebabkan pemborosan
devisa tetapi juga dapat menyebabkan in-stabilitas sosial politik. Tujuan
penyediaan pangan menurut UU No. 68 Tahun 2002 harus sesuai dengan porsi
pengeluaran yaitu penyediaan pangan untuk memenuhi konsumsi seluruh rumah
tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu serta tersedianya cadangan
pangan untuk antisipasi kekurangan dan kelebihan pangan, gejolak harga dan
atau keadaan darurat. Komoditas daging sapi menjadi salah satu dari 5
komoditas strategis dalam program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (RPPK) yang menegaskan kesadaran untuk menempatkan kembali
arti penting pertanian secara proposional dan kontekstual.
Pengembangan usaha integrasi sawit dan ternak sapi didasarkan pada pemikiran
pemanfaatan sumberdaya pada suatu komoditas bagi pengembangan komoditas
lain guna mendorong terciptanya interaksi saling menguntungkan (simbiosis
mutualism). Industri persawitan baik perkebunan maupun industri pengolahan
(CPO) menyediakan sumber pakan yang sangat potensial dalam pengembangan
usaha peternakan sapi potong, dan sebaliknya limbah peternakan berupa feses
bercampur sisa pakan akan menjadi sumber pupuk organik untuk perkebunan
kelapa sawit. Lokasi pengembangan usaha integrasi sawit sapi PTPN VI di Desa
Muhajirin memiliki aksesibilitas sangat baik dengan jalan masuk sekitar 2 km dari
jalan raya Ness (jalan pengerasan) dengan jarak dari pasar sasaran potensial
(konsumen) relatif dekat yaitu Kota Jambi (±40 km), Sengeti (±18 km) dan Muaro
Bulian ± 9 km. Pada sisi lain areal pengembangan juga dekat dengan sumber
input pakan utama (pelepah sawit) yaitu areal perkebunan PTPN VI di Kabupaten
Batanghari dan Muaro Jambi.
Usaha integrasi merupakan upaya tindak lanjut himbauan Menteri Negara BUMN
(Dahlan Iskan) kepada BUMN Perkebunan agar dapat menjadi pelopor
pengembangan usaha integrasi sawit sapi. Sebagai bentuk implementasi maka
telah dibentuk suatu unit usaha tersendiri (coorporate) yang langsung berada di
bawah komando Direktur Perencanaan dan Pengembangan (Renbang).
Pembentukan struktur manajemen usaha integrasi sawit sapi berdasarkan pada
SK. No. 08/06.D1/III/2012 tanggal 27 Maret 2012 tentang Penyempurnaan
Struktur Organisasi (SO) PTP Nusantara VI (Persero). Usaha integrasi sawit sapi
potong memiliki tujuan ganda yaitu menyediakan ternak sapi siap potong melalui
unit usaha penggemukan (fattening) dan ternak sapi bibit sebar melalui unit usaha
pembibitan (breeding) serta beberapa tujuan lain, yaitu a) memanfaatkan limbah
perkebunan kelapa sawit terutama pelepah sawit sebagai sumber pakan ternak
sapi potong, b) menyediakan pupuk organik padat berupa limbah usaha ternak
sapi potong guna memenuhi kebutuhan pupuk tanaman kelapa sawit, c)
memanfaatkan areal dan bangunan eks pabrik crumb rubber milik PTPN VI untuk
pengembangan usaha produktif, d) menyediakan kesempatan kerja bagi
masyarakat sekitar lokasi pengembangan usaha integrasi sawit sapi, dan e)
membantu pemerintah daerah setempat dalam penyediaan daging ternak sapi
potong.
Pangsa produk usaha peternakan sapi potong dapat berupa pasar produk primer,
sekunder dan tertier baik untuk produk utama (ternak sapi siap potong, ternak
bibit dan daging), produk ikutan usaha peternakan (olahan limbah kandang
seperti feses dan urine) maupun produk ikutan hasil pemotongan ternak sapi
(jeroan, kulit, tanduk dan lain-lain). Pada konteks usaha integrasi sawit sapi yang
dikelola unit usaha PTPN VI maka pangsa pasar sasaran produk terbatas pada
pasar primer dengan jenis produk sebagai berikut a) ternak sapi siap potong yaitu
ternak sapi yang memenuhi syarat sebagai ternak potong terdiri dari ternak jantan
hasil penggemukan dan ternak afkir (pejantan dan induk) serta ternak betina
muda teridentifikasi majir (tidak produktif) dan b) ternak betina bibit sebar yaitu
ternak betina muda yang melalui proses seleksi bibit tidak digunakan sebagai
ternak bibit pengganti (replacement) dan peningkatan skala usaha. Beberapa
alternatif jalur pemasaran produk yang dapat ditempuh oleh manajemen usaha
integrasi ternak sawit sapi adalah:
b. Pemasaran langsung sapi siap potong kerjasama dengan RPH terdekat untuk
selanjutnya hasil pemotongan dipasarkan oleh para pedagang pengecer
pasar tradisional dan modern.
Populasi ternak sapi potong menjadi salah satu indikator perkembangan produksi
daging sapi di Provinsi Jambi dengan laju peningkatan populasi selama periode
2007 – 2011 rata-rata mencapai 6,72% pertahun. Kebutuhan daging sapi setiap
tahun rata-rata mencapai 3,86 juta kg atau setara dengan 24.846 ekor ternak sapi
siap potong yang dipenuhi melalui pemotongan ternak sapi domestik dan impor
dari wilayah provinsi lainnya. Impor untuk memenuhi kebutuhan daging sapi tidak
akan tergambar secara jelas jika melihat dari produksi dan konsumsi daging sapi
Provinsi Jambi karena umumnya impor tidak langsung dalam bentuk komoditas
daging tetapi dilakukan dalam bentuk impor sapi bakalan atau ternak sapi bibit.
Kapasitas produksi sapi siap potong yang mampu disediakan oleh usaha
peternakan sapi potong domestik baru mencapai rata-rata 16.167 ekor/tahun dan
masih jauh (65,07%) dari kebutuhan yang mencapai 24.486 ekor/tahun.
Komoditas daging sapi tergolong sebagai barang normal (normal goods) dimana
permintaan akan komoditas ini akan mengalami peningkatan seiring dengan
peningkatan pendapatan masyarakat. Pada sisi lain permintaan juga akan
mengalami peningkatan seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan
kesadaran akan pentingnya protein hewani. Selama ini peningkatan laju
pertumbuhan permintaan daging sapi belum mampu diikuti oleh laju pertumbuhan
produksi sehingga defisit produksi terhadap konsumsi semakin meningkat dari
tahun ke tahun. Guna memenuhi kebutuhan konsumsi daging sapi Provinsi Jambi
sebagian masih tergantung pada wilayah lain seperti Lampung, Bengkulu dan
bahkan Nusa Tenggara Barat (NTB). Pengadaan kebutuhan tidak langsung
dalam bentuk impor daging sapi tetapi dalam bentuk ternak sapi bakalan dan sapi
siap potong. Produksi domestik diperkirakan hanya mampu memenuhi 50 – 60%
dari kebutuhan ternak sapi potong sehingga pangsa pasar ternak sapi siap
potong dan bibit masih sangat terbuka terutam pangsa pasar ternak sapi siap
potong yang berasal dari pasar impor (non-domestik). Produksi sapi siap potong
usaha integrasi termasuk ternak sapi pejantan dan induk afkir dapat
menggantikan antara 10 – 15% pangsa pasar sapi siap potong yang bersumber
dari impor (wilayah provinsi lain).
Salah satu karakteristik dari pasar ternak sapi potong adalah harga jual yang
berfluktuasi sepanjang tahun karena sangat tergantung pada permintaan pasar.
Trend harga sapi siap potong diindikasikan dari perkembangan harga daging di
pasar dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun tetapi faktor penting yang
perlu diamati adalah fluktuasi harga daging sepanjang tahun. Harga daging ternak
sapi mengalami peningkatan pada saat-saat menjelang hari besar keagamaan
seperti menyambut bulan puasa, lebaran idul fitri dan idul adha serta memasuki
pergantian tahun seiring dengan perayaan hari besar keagamaan lain seperti
natal dan tahun baru. Pada periode-periode ini akan terjadi peningkatan signifikan
permintaan daging sapi yang akan mendorong kenaikan harga sapi siap potong di
pasar domestik. Gambaran umum perubahan harga produk daging dan ternak
sapi siap potong disajikan pada Gambar 4.11.
Gambar 4.11.
Fluktuasi dan Trend Harga Daging dan Sapi Siap Potong
Keuntungan usaha integrasi akan sangat terkait dengan kondisi harga dan
permintaan pasar sehingga dibutuhkan suatu strategi penjualan yang mencakup
dimensi waktu dan skala penjualan ternak sapi potong hasil penggemukan.
Pengadaan sapi bakalan sebaiknya dilakukan beberapa bulan (minimal 6 bulan)
sebelum memasuki puasa sehingga penjualan ternak sapi tepat waktu dimana
permintaan sedang tinggi yaitu sebelum dan awal puasa (Ramadhan), seminggu
sebelum lebaran Idul Fitri (1 Syawal) dan Idul Adha (Lebaran Haji). Strategi
pemasaran ini akan memberikan 2 (dua) keuntungan bagi usaha integrasi sawit
sapi yaitu dari pertambahan bobot badan dan selisih harga jual persatuan.
PTP Nusantara sebagai salah satu BUMN juga memiliki tanggung jawab sosial
dalam membantu pemerintah daerah setempat dalam penyediaan kebutuhan
a. Untuk memenuhi kebutuhan harian (311 hari kalender) akan disediakan 45%
dari jumlah stock ternak sapi siap potong tahunan usaha integrasi sawit sapi.
Jenis produk yang dijual diutamakan ternak sapi afkir (pejantan dan induk
serta betina non-produktif) serta sisa penjualan periode sebelumnya pada
tahun yang sama.
Jika diasumsikan stock ternak siap potong yang tersedia sepanjang tahun adalah
2.000 ekor, maka pada hari biasa dilepas 3 ekor ternak siap potong. Guna
membantu pemerintah dalam mengatasi peningkatan permintaan masyarakat
selama puasa dan lebaran akan disediakan masing-masing 350 ekor untuk
kebutuhan puasa (menjelang dan selama puasa), 400 ekor dalam menyambut
lebaran Idul Fitri dan 300 ekor menyambut lebaran haji (Idul Adha). Melalui sistem
alokasi pemasaran ini, disamping membantu pemerintah dalam pengadaan
kebutuhan ternak sapi siap potong juga untuk menghindari terjadinya over supply
yang dapat menganggu stabilitas harga pasar daging yang merugikan para
peternak sapi potong rakyat.
Produk lain yang dihasilkan dalam usaha integrasi sawit sapi adalah ternak sapi
betina bibit yaitu ternak sapi remaja yang tidak digunakan sebagai ternak bibit
pengganti (replacement) induk dan pengembangan usaha. Kelompok ternak
betina muda usaha pembibitan meskipun tidak lolos seleksi sebagai calon induk
tetapi masih tergolong ternak produktif sehingga dapat dijual sebagai ternak
betina bibit sebar. Pangsa atau pasar sasaran ternak sapi bibit yang dihasilkan
usaha integrasi akan dijual dengan beberapa alternatif yaitu penjualan internal
PTPN VI untuk program PKBL, dan penjualan eksternal baik langsung kepada
para pedagang atau peternak sapi potong maupun melalui lembaga lain yang
membutuhkan seperti pemerintah daerah (SKPD) sebagai ternak sapi bantuan
(distribusi) dan perusahaan lain yang membutuhkan ternak bibit program PKBL
atau CSR.
Gambar 4.2.
Aktivitas dalam Manajemen Fattening
diupayakan seragam baik dari sisi umur maupun bobot badan guna
menghindari ternak sapi yang tidak memperoleh pakan cukup akibat kalah
bersaing dengan ternak sapi lainnya dalam kandang koloni yang sama.
Pengamatan ternak bakalan penggemukan dilakukan secara berkala dan
yang mengalami gejala serangan penyakit akan dipindahkan ke kandang
isolasi, sedang ternak yang kalah bersaing dipindah ke unit kandang lain yang
memiliki bobot tubuh yang relatif seragam.
c. Recording ternak sapi siap potong keluar areal usaha integrasi sawit sapibaik
untuk tujuan dijual atau dipotong disesuaikan dengan capaian bobot badan
akhir (siap jual) dan jangka waktu penggemukan serta situasi permintaan
pasar. Informasi yang dicatat mencakup jumlah dan jenis ternak sapi siap
potong yang akan dijual serta bobot badan dan kondisi kesehatan ternak.
Gambar 4.13.
Prosedur Tetap atau Tahapan Usaha Pembibitan Sapi Potong
Tujuan unit usaha pembibitan adalah untuk menghasilkan bibit ternak baik betina
calon induk maupun bakalan dengan pertimbangan daya adaptasi ternak baik
terhadap iklim mikro maupun kondisi sosial ekonomi masyarakat. Pemasukan
ternak bibit dilakukan melalui 2 (dua) cara yaitu ternak bibit stock awal (tahun 1 - 4)
dan ternak pengganti (replacement) sesuai kebutuhan dan ketersediaan ternak
bibit pada unit usaha pembibitan. Untuk menentukan bibit calon induk yang
dipelihara digunakan kriteria umum dan khusus bibit Sapi Potong berdasarkan
Good Breeding Practice (GBP). dengan kriteria umum sebagai berikut a) sapi bibit
sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti kebutaan, tanduk patah, pincang,
lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung
atau cacat tubuh lainnya, b) semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat
reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan, c) sapi
bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat
kelaminnya, d) sistem perkawinan ternak sapi terdiri dari perkawinan alami dan IB
(Inseminasi Buatan).
Pada saat ini struktur pimpinan organisasi usaha integrasi sawit sapidipimpin oleh
seorang manager yang dibantu oleh seorang kepala operasional. Kepala
operasional dibantu oleh 2 (dua) orang asisten yaitu asisten kesehatan ternak dan
asisten pemeliharaan ternak yang selanjutnya melakukan koordinasi dengan
asisten administrasi dan keuangan serta perwira keamanan yang langsung
berada pada garis komando manajer. Asisten administrasi dan keuangan dibantu
oleh seorang krani yang mengkoordinir kegiatan para petugas administrasi.
Sedangkan asisten pemeliharaan ternak dibantu oleh seorang mandor dan
petugas administrasi pemeliharaan ternak. Mandor bertugas sebagai pengawas
kegiatan para operator chopper dan mixer yang dipimpin oleh seorang kepala
kerja proses pakan, dan mengawasi petugas anak kandang yang dipimpin oleh
seorang kepala kerja perawatan ternak. Organisasi bidang teknik, transaksi dan
CD yang juga dibawah koordinasi kepala operasional terdiri dari Krani teknik,
transkasi dan CD yang dibantu beberapa petugas teknis transaksi dan CD serta
Mandor Operasional yang dibantu beberapa petugas mekanik pemeliharaan
mesin, listrik, lingkungan dan CD serta operator mesin rumput.
Secara umum struktur organisasi dalam manajemen usaha integrasi sawit sapi ini
masih mengacu pada struktur organisasi yang biasa digunakan dalam usaha
perkebunan. Hal ini menyebabkan terjadinya beberapa tugas dan tanggung jawab
yang saling tumpang tindih dan menyebabkan kurangnya efisiensi usaha. Untuk
itu pada masa akan perlu adanya perubahan dalam struktur organisasi
manajemen dengan bentuk sesuai dengan jenis usaha yaitu peternakan sapi
potong tujuan ganda (fattening dan breeding) sehingga pembagian tugas dan
tanggung jawab dapat menjadi lebih jelas. Mengacu pada karakteristik usaha dan
struktur organisasi yang diterapkan pada Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU)
Sembawa, Sumatera Selatan, maka disarankan struktur organisasi manajemen
usaha integrasi sapi sawit seperti pada Gambar 4.14, Seorang top manager yaitu
manager usaha integrasi sawit sapi dibantu oleh 4 orang asisten manager yang
terdiri dari 3 orang asisten manager khusus (I, II dan III) yang secara
terspesialisasi membidangi 3 kegiatan utama usaha integrasi sawit sapi yaitu unit
usaha penggemukan, unit usaha pembibitan dan pengolahan pakan ternak sapi
potong serta asisten manager umum yang membidangi kegiatan umum dalam
bidang administrasi dan keuangan.
Gambar 4.14
Struktur Dasar Manajemen Usaha Integrasi Sawit Sapi
Ternak sapi yang dipelihara terdiri dari 2 (dua) jenis bangsa sapi yaitu Sapi Bali
dan Peranakan Ongol (PO) yang berasal dari Provinsi Lampung. Sesuai dengan
tujuan pengembangan usaha maka kelompok ternak sapi bibit terdiri dari betina
muda (calon induk) untuk tujuan usaha pembibitan (breeding) dan ternak bakalan
(jantan muda) untuk tujuan penggemukan (fattening). Pengadaan ternak bibit
dilakukan secara bertahap selama 4 (empat) tahun dengan jumlah total 8.000
Sumber utama pakan ternak sapi potong yang dibudidayakan adalah limbah
perkebunan berupa pelepah sawit dan limbah pabrik kelapa sawit (PKS) berupa
bungkil kelapa sawit. Sumber utama limbah sebagai bahan pakan ternak sapi
potong berasal dari perkebunan sawit terutama yang terdapat pada wilayah
Kabupaten Batanghari dan Muaro Jambi serta PKS milik PTPN VI yang tersebar
pada beberapa wilayah kerja perusahaan. Berdasarkan indikator asumsi dari
9.521 Ha areal perkebunan sawit setiap tahun akan mampu menghasilkan 59.906
ton pelepah sawit segar dan dengan penggunaan 80% sebagai bahan pakan
penyusuan ransum dan rataan konsumsi ternak sapi 10 kg/ekor/hari maka
pelepah sawit yang dihasilkan mampu memenuhi kebutuhan 20.516 ekor ternak
sapi potong. Pemberian pelepah sawit kepada ternak sapi potong dilakukan
setelah dilakukan perajangan dengan menggunakan beberapa unit mesin
perajang (chopper). Setiap unit chopper dioperasikan oleh 4 orang, dan
selanjutnya akan dicampur dengan bahan baku pakan lain dengan menggunakan
mixer (mesin pengaduk). Bungkil kelapa sawit dengan kandungan protein
mencapai 15% digunakan sebagai sumber protein yang dicampur langsung
dengan hasil rajangan pelepah sawit dan bahan pakan lainnya. Bungkil kelapa
sawit dibawa langsung dari sejumlah PKS yang sampai tahun 2011 tercatat ada 5
unit PKS milik PTPN VI dengan kapasitas produksi mencapai 230 ton TBS/jam.
Perolehan sumber bahan pakan utama berupa pelepah dan bungkil kelapa sawit
adalah dari unit usaha lain (perkebunan dan PKS PTPN VI) sedangkan bahan
penyusun pakan lain diperoleh melalui pembelian. Penggunaan bahan penyusun
pakan olahan sendiri sebagai bahan pakan utama diharapkan dapat
meningkatkan efisiensi usaha integrasi dan memberikan keuntungan lebih besar
pada perusahaan.
Sarana utama berupa kandang pemeliharaan dipisah antara sapi potong untuk
tujuan usaha pembibitan dan penggemukan. Pemeliharaan ternak untuk
penggemukan dilakukan secara intensif pada kandang koloni dengan kapasitas
sesuai ukuran kandang koloni. Pemeliharaan ternak sapi bibit akan dilakukan
secara semi-intesif dengan menyediakan umbaran (tempat bermain) bagi ternak
betina pada areal sekitar kandang. Kandang penggemukan merupakan
eks-pabrik crumb rubber PTPN VI yang ditata ulang untuk pemeliharaan ternak
sapi potong yang terdiri dari 35 unit kandang koloni. Kandang kelompok atau
dikenal dengan koloni/komunal merupakan model kandang dalam suatu ruangan
kandang ditempatkan sejumlah ternak, secara bebas tanpa diikat. Keunggulan
model kandang koloni dibanding kandang individu adalah efisiensi dalam
penggunaan tenaga kerja rutin terutama pembersihan kotoran kandang, Tipe
lantai yang digunakan adalah alas litter, dan pembongkaran litter lantai kandang
di lakukan apabila tinggi litter mencapai setinggi 20 cm, atau dilakukan
pembersihan sekitar 3 – 4 kali dalam setahun.
Kandang untuk ternak sapi tujuan pembibitan lebih bervariasi tergantung pada
umur dan kondisi ternak sapi yang dipelihara yang secara umum dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
Pada tahun selanjutnya juga akan dikembangkan kandang khusus untuk sapi
bunting lebih dari 6 bulan sampai melahirkan dan kandang anak (pedet) sampai
umur 1 tahun serta berbagai sarana pendukung lainnya termasuk kandang isolasi
dan karantina, kandang jepit (penimbangan, pemeriksaan kebuntingan, deteksi
penyakit dan inseminasi buatan) serta sarana bongkar muat ternak (modifikasi
lokasi bongkar muat eks-pabrik CRF).
a. Penjualan ternak sapi afkiran yaitu induk dan pejantan yang dianggap atau
hasil pengamatan sudah tidak produktif dan untuk memenuhi kebutuhan
dilakukan replacement dengan ternak sapi jantan dan betina muda hasil
seleksi (layak bibit).
b. Penjualan betina majir yaitu ternak betina muda yang awalnya disiapkan
sebagai calon induk tetapi dalam perjalanannya ternyata tidak memiliki
kemampuan reproduksi (tidak mengalami kebuntingan dan melahirkan anak).
Pada tahun awal kegiatan (4 tahun pertama), sumber utama penjualan adalah
ternak sapi siap potong hasil penggemukan yang disupplay dari luar usaha
peternakan (eksternal). Peningkatan pada tahun ke-4 karena sumber bakalan
disamping dari luar usaha sendiri juga berasal dari ternak bakalan hasil
pembibitan sendiri dan setelah tahun-tahun tersebut pengadaan bakalan mulai
dikurangi dan beralih pada bakalan yang berasal dari usaha pembibitan sendiri
(mandiri). Seluruh pedet setelah dikurangi hasil seleksi jantan muda sebagai
calon ternak sapi pejantan akan digunakan untuk penggemukan. Jantan muda
hasil seleksi akan digunakan untuk replacement (pengganti) pejantan akhir dan
sesuai perkembangan populasi induk sehingga imbangan ideal 1 : 10 dapat
dipertahankan. Komponen jenis output yang dijual setiap tahun tetap sapi siap
potong hasil penggemukan dan diikuti dengan sapi betina bibit sebar. Penjualan
pejantan dan induk hanya dilakukan setelah masa afkir dan digantikan dengan
ternak hasil pembibitan sendiri. Pemeliharaan pejantan tetap menjadi sesuatu
yang penting meskipun nantinya dalam perjalanan usaha integrasi untuk
perkembangan biakan tidak mengandalkan kawin alami tetapi lebih pada
Inseminasi Buatan (IB). Setelah tahun ke 8 proyek atau tahun 2020 pertumbuhan
volume penjualan ternak sapi masing-masing kelompok produk ternak akan
menjadi stabil dengan skala usaha antara 12.000 – 13.000 ekor dengan volume
penjualan mencapai sekitar 3.500 ekor/tahun yang terdiri dari 5 jenis produk.
Penerimaan usaha integrasi sawit sapi terdiri dari nilai penjualan produk utama
yaitu ternak sapi siap potong hasil penggemukan dan ternak sapi betina bibit
sebar hasil pembibitan. Seluruh kelompok ternak yang dijual kecuali ternak sapi
betina bibit sebar yang digunakan untuk pengembangbiakan adalah untuk tujuan
dipotong. Harga dapat mengalami perubahan karena tidak hanya tergantung
pada performance (bobot) ternak sapi, bagsa dan jenis kelamin ternak, tujuan
pembelian oleh konsumen tetapi juga sangat tergantung pada waktu penjualan
(permintaan pasar). Harga jual ternak sapi potong pada saat menjelang hari besar
keagamaan (puasa, idul fitri dan idul adha) relatif lebih tinggi dibanding hari biasa.
Untuk memudahkan analisis maka digunakan standar harga yang diperoleh dari
harga jual rata-rata tahun 2012. Penerimaan tahun 1 dan 2 proyek relatif sama
dan seluruhnya berasal dari penggemukan ternak sapi bakalan yang dipasok dari
luar. Penerimaan sedikit mengalami penurunan pada tahun ke-3 seiring dengan
Penerimaan dari kelompok sapi non-produktif baru diperoleh pada tahun ke-3
(2014) kegiatan proyek untuk ternak sapi betina muda majir dan tahun ke-5 (2018)
untuk ternak sapi induk dan pejantan afkir. Pejantan dan induk afkir selanjutnya
dilakukan penggantian (replacement) dengan cara seleksi betina dan jantan
muda hasil pembibitan sendiri sehingga tidak dibutuhkan penambahan bibit dari
luar. Hal ini berarti bahwa pemeliharaan ternak sapi betina muda hasil pembibitan
disamping untuk pengembangan usaha juga sebagai ternak pengganti induk afkir.
Proses afkir pejantan dan induk dilakukan secara bertahap dan diambil dari 25%
hasil seleksi ternak sapi remaja umur 1 – 2 tahun. Secara umum trend
penerimaan dari kelompok produk ini mengalami peningkatan dari tahun ketahun
dengan sedikit lonjakan pada tahun ke 5 dan 6 (2016 – 2017). Sumber
penerimaan lain adalah pupuk organik padat yang berasal dari limbah kandang
litter yang nilainya diprediksi dengan menggunakan asumsi bahwa setiap ekor
ternak sapi yang dipelihara dengan kandang sistem litter menghasilkan paling
sedikit 10 kg feses setiap hari. Untuk estimasi produk limbah kandang dalam satu
tahun, maka untuk ternak bibit menggunakan jumlah hari 360 sedangkan untuk
penggemukan dan bibit sebar menggunakan jumlah hari 180. Penerimaan dari
limbah kandang disebut sebagai penerimaan tersamar karena ada kemungkinan
digunakan untuk pupuk tanaman sawit milik PTPN VI sendiri (tidak ada proses
transaksi tunai).
Investasi usaha integrasi sawit sapi dilakukan secara bertahap selama beberapa
tahun sampai tercapai suatu kondisi dimana populasi dan produksi menjadi stabil
yaitu sampai tahun 2019 (tahun ke-7). Biaya investasi mencakup pengadaan
ternak sapi bibit, kandang dan sarana pendukung, mesin dan peralatan
pengolahan pakan serta kendaraan untuk operasional. Untuk pengembangan
usaha integrasi sawit sapi maka dibutuhkan investasi sebesar Rp. 75 Milyar yang
bersumber dari 20% dana sendiri atau PTPN VI (Rp. 15 Milyar) dan 80% kredit
investasi atau pinjaman (Rp. 60 Milyar). Proses pencairan dana investasi tidak
dilakukan secara langsung tetapi dilakukan secara bertahap selama 3 tahun
(tahun 2013 – 2015). Penggunaan dana investasi tidak hanya untuk menutupi
biaya investasi tetapi untuk biaya operasional. Khusus untuk dana investasi yang
bersumber dari pinjaman akan dikembalikan dalam bentuk angsuran (anuitas)
bulanan dengan besaran sesuai dengan jumlah dan jangka waktu pinjaman.
Menggunakan pendekatan anuitas biasa (ordinary annuity) maka cicilan tahunan
yang harus dibayarkan usaha integrasi sawit sapi pada tingkat suku bunga 12%
pa. Menggunakan tahapan pencairan kredit di atas, maka diharapkan pada tahun
2026 (umur proyek mencapai 15 tahun) seluruh kredit dana investasi yang
dipinjam telah lunas dikembalikan.
Ternak sapi bakalan yang dibeli tergolong dalam input tidak tetap (input variabel)
sehingga tergolong pada biaya operasional karena siklus produksi tidak sampai
pada satu periode proyek dan dapat berubah sesuai dengan kebutuhan produksi.
Komponen biaya operasional lain adalah biaya pakan yang terbagi dua kelompok
yaitu biaya pembelian dan pengolahan pakan. Pengadaan bahan pakan berupa
bungkil kelapa sawit, sludge, mineral dan garam termasuk obat-obatan ditentukan
berdasarkan harga pembelian sedangkan untuk pakan utama berupa rajangan
pelepah sawit ditentukan berdasarkan biaya operasional untuk pembuatan pakan
yang mencakup biaya bahan bakar mesin choper dan mixer serta upah tenaga
kerja (KHL). Seluruh komponen biaya sesuai dengan kebutuhan termasuk biaya
tenaga kerja yang terdiri dari tenaga kerja tetap (KHT) dan tidak tetap (KHL) serta
biaya adminsitrasi untuk kelancaran operasional usaha integrasi sawit sapi. Pada
periode 2012 – 2014 biaya pengadaan sapi bakalan mendominasi biaya
operasional dan setelah tahun 2015 seiring dengan tersedianya sapi bakalan
hasil pembibitan sendiri maka biaya operasional akan didominasi oleh biaya
pakan baik pembelian pakan maupun biaya pengolahan pelepah sawit. Mulai
pada tahun 2018 seluruh ternak sapi bakalan bersumber dari hasil pembibitan
sendiri sehingga tidak ada lagi komponen biaya pengadaan sapi bakalan untuk
tujuan penggemukan.
Tabel 4.1.
Analisis Kelayakan Finansial Usaha Integrasi Sawit Sapi PTPN VI
Net Present Value
Benefit Cost DF
Tahun Benefit (PV)
(B) (C)
B-C 12% 18% 12% 18%
0 11.841,28 18.226,53 -6.385,26 1,00 1,00 -6.385,26 -6.385,26
1 12.832,32 26.700,86 -13.868,54 0,89 0,85 -12.382,62 -11.753,00
2 15.736,03 32.223,26 -16.487,23 0,80 0,72 -13.143,52 -11.840,87
3 19.772,76 30.273,96 -10.501,20 0,71 0,61 -7.474,55 -6.391,35
4 23.602,26 22.466,28 1.135,98 0,64 0,52 721,93 585,93
5 27.502,18 20.678,45 6.823,74 0,57 0,44 3.871,97 2.982,72
6 30.287,89 21.473,91 8.813,98 0,51 0,37 4.465,43 3.264,97
7 33.424,55 21.554,69 11.869,86 0,45 0,31 5.369,32 3.726,25
8 34.685,23 20.664,49 14.020,74 0,40 0,27 5.662,74 3.730,05
9 35.371,58 20.814,10 14.557,48 0,36 0,23 5.249,57 3.282,07
10 35.685,97 20.668,06 15.017,92 0,32 0,19 4.835,37 2.869,39
11 35.634,19 20.580,07 15.054,13 0,29 0,16 4.327,70 2.437,55
12 35.446,21 20.454,21 14.992,00 0,26 0,14 3.848,07 2.057,19
13 35.154,86 20.300,27 14.854,59 0,23 0,12 3.404,29 1.727,41
14 94.289,27 20.132,51 74.156,76 0,20 0,10 15.173,94 7.308,07
NPV 17.544,41 -2.398,88
Net BCR 1,45 0,93
IRR 17,28%
Pada tingkat suku bunga 12% usaha integrasi masih layak dibiayai yang ditandai
dengan Net Present Value (NPV) positif (> 0) dan Net Benefit Cost Ratio (Net
BCR) > 1. Sebaliknya pada tingkat suku bunga 18% usaha integrasi tidak layak
untuk dibiayai karena NPV negatif (< 0) dan Net BCR < 1. Hal ini berarti bahwa
tingkat suku bunga yang layak dalam pembiayaan investasi usaha integrasi sawit
sapi berkisar antara 12% – 18% dan berdasarkan perhitungan dengan
menggunakan pendekatan interpolasi diperoleh tingkat pengembalian modal (IRR)
17,28%. Berdasarkan kepada hasil analisis finansial maka pembiayaan investasi
dengan tingkat suku kredit perbankan di bawah 17,28% layak untuk dilakukan
dan sebaliknya pada tingkat suku bunga kredit perbankan di atas 17,28% maka
investasi tidak layak untuk dilakukan.
Usaha integrasi sawit sapi memiliki dampak ekonomi baik bagi masyarakat sekitar
lokasi proyek maupun perekonomian daerah, antara lain:
d. Produk ikutan berupa limbah kandang yang digunakan sebagai pupuk organik
dapat menghemat penggunaan pupuk komersial terutama bagi usaha
perkebunan atau tanaman lainnya. Harga pupuk komersial yang semakin
meningkat dan posisi Provinsi Jambi sebagai wilayah konsumen (tidak
memiliki pabrik pupuk) juga akan menghemat belanja daerah, sedangkan
pada aspek lingkungan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat
penggunaan pupuk kimia.
7.5. Penutup
- Pada aspek komersial output utama yang dihasilkan yaitu sapi siap potong,
dan sapi betina bibit memiliki potensi pasar yang masih sangat terbuka
terutama untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik Provinsi Jambi.
- Pada aspek manajemen dan kelembagaan usaha integrasi sawit sapi cukup
layak meskipun masih membutuhkan penataan terutama terkait dengan
struktur organisasi agar lebih sesuai karakteristik usaha peternakan dan
spesifikasi unit usaha integrasi sawit sapi.
- Pada aspek teknis dan produksi usaha integrasi sawit sapi layak dilaksanakan
karena didukung oleh ketersediaan pelepah sawit sebagai bahan penyusun
pakan utama.
- Pada aspek ekonomi usaha integrasi sawit sapi mampu memberikan manfaat
berupa penyediaan lapangan kerja dan berusaha bagi masyarakat sekitar,
mendukung upaya pemerintah daerah dalam penyediaan sapi siap potong
dan mengurangi ketergantungan sapi potong terhadap daerah lain dan
bahkan mampu memberikan sumbangan terhadap penerimaan daerah (pajak
dan restribusi) serta menghemat belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan
daging sapi.
- Unit usaha integrasi sawit sapi akan segera melakukan penyusunan Prosedur
Tetap (Protap) terkait dengan penataan struktur organsiasi (kelembagaan)
agar divisi tugas dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam
manajemen usaha integrasi sawit sapi lebih jelas.
PTP Nusantara VI (Persero) sebagai pemrakarsa usaha integrasi sawit sapi akan
segera melakukan penyusunan dokumen lingkungan dalam bentuk Upaya
Pengelolaan dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup atau dokumen
UKL-UPL sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1999 tentang
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup bagi Usaha dan/atau kegiatan
yang tidak diwajibkan menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup,
Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan
Lingkungan Hidup (UPL).
Sistem berasal dari bahasa Latin (systēma) dan bahasa Yunani (sustēma) adalah
suatu kesatuan yang terdiri komponen atau elemen yang dihubungkan bersama
untuk memudahkan aliran informasi, materi atau energi untuk mencapai suatu
tujuan. Sistem juga merupakan
kesatuan bagian-bagian yang
saling berhubungan yang berada
dalam suatu wilayah serta
memiliki item-item penggerak.
Sistem adalah himpunan suatu
“benda” nyata atau abstrak (a
set of thing) yang terdiri dari
bagian–bagian atau komponen-komponen saling berkaitan, berhubungan,
berketergantungan, saling mendukung, yang secara keseluruhan bersatu dalam
satu kesatuan (unity) untuk mencapai tujuan tertentu secara efisien dan efektif”.
lingkungan luar merugikan harus ditahan dan dikendalikan, kalau tidak maka
akan menggangu kalangsungan hidup dari sistem.
Sistem integrasi tanaman dan ternak ditujukan untuk memperkuat interaksi antar
komoditas tanaman dan ternak sapi potong melalui pemanfaatan teknologi guna
mengalirkan sumberdaya potensial berupa limbah dari suatu komoditas (cabang
usaha) untuk komoditas (cabang usaha) lainnya. Aliran sumberdaya ini tidak
hanya untuk mendukung usahatani lainnya tetapi juga diharapkan mampu
memberikan nilai tambah (value added) bagi rumah tangga baik langsung
maupun tidak langsung (Gambar 5.1).
Gambar 5.1.
Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi
Ikat elemen sistem Perkuat sistem integrasi Jaga sistem yang terbentuk
integrasi melalui melalui introduksi dari gangguan lingkungan
teknologi pengolahan teknologi produksi dan eksternal melalui tata kelola
limbah sebagai kelembagaan guna kelembagan guna menjaga
penghubung (interfance) mendorong sistem harmonisasi dan
guna memperlancar integrasi berkerja efisien keberlanjutan sistem
aliran sumberdaya dan efektif integrasi
Gambar 5.2.
Tiga Komponen Menuju Sistem Integrasi Berkelanjutan
Tabel 5.1.
Daftar Teknologi Pengolahan Limbah Tersedia sebagai Penghubung (Interfance)
Sistem Integrasi Tanaman dan Ternak Sapi
Penentuan skala prioritas didasarkan pada jenis bahan baku tersedia serta
penggunaan dari masing-masing produk teknologi bagi rumah tangga peternak.
Masing-masing jenis teknologi memiliki tingkat kebutuhan berbeda antar berbagai
jenis sistem integrasi, misalnya untuk integrasi sapi sawit dan sapi sawah
Tabel 5.2.
Matrik Skala Prioritas Kebutuhan Teknologi Penghubung dalam Sistem Integrasi
Tanaman dan Ternak Sapi
Sistem integrasi sapi dan tanaman akan lebih bertahan jika diikuti dengan upaya
peningkatan daya saing komoditas ternak sapi potong terhadap komoditas
usahatani. Artinya, usaha ternak sapi potong perlu didorong agar lebih produktif
dan menguntungkan (profitable) baik melalui akselerasi populasi maupun
produksi. Teknologi introduksi sebagai bagian upaya peningkatan produktivitas
disamping teknologi pakan yang sudah melekat sebagai teknologi penghubung
disajikan Tabel 5.3.
Tabel 5.3.
Jenis Layanan Teknologi Introduksi yang Dibutuhkan dalam Peningkatan Daya
Saing Ternak Sapi dalam Sistem Integrasi
1. Unit Jasa Layanan Inseminasi Buatan (IB) yang bertugas tidak hanya
menyediakan semen beku tetapi juga melakukan IB baik pada lokasi yang
ditentukan maupun langsung pada lokasi peternakan rakyat. Petugas IB tidak
hanya dibekali dengan semen beku, alat dan peralatan IB tetapi juga
dilengkapi dengan alat komunikasi guna memudahkan peternak untuk
menghubunginya.
2. Unit Jasa Layanan Kesehatan Hewan (Keswan) yang bertugas tidak hanya
menyediakan obat, vaksin dan vitamin ternak tetapi juga memberikan
pelayanan kesehatan hewan berupa pemeriksaan dan penyuntikan (vaksin,
vitamin dan obat) jika diminta oleh peternak baik pada lokasi yang telah
ditentukan maupun langsung pada lokasi pemeliharaan (kandang ternak sapi).
Sebagaimana halnya petugas IB maka petugas keswan tidak hanya dilengkapi
alat dan bahan untuk pengobatan tetapi juga alat komunikasi guna
memudahkan peternak untuk memesan jasa layanan keswan terutama pada
kondisi penanganan segera.
3. Unit Jasa Layanan Konsultasi dan Informasi yang bertugas tidak hanya untuk
menyediakan data dan informasi dari dan untuk peternak tetapi juga
mendesain jasa layanan pelatihan teknologi dan wirausaha, fasilitasi kegiatan
magang dan penelitian serta pendampingan bagi wirausaha baru peternakan
sapi potong.
4. Unit Jasa Layanan Pemasaran Ternak yang memiliki tugas untuk kontrol
ternak masuk dan keluar (pasar ternak), pengadaan ternak sapi bibit (calon
induk dan bakalan), penjaringan dan penanganan ternak sapi betina produktif
serta pengelolaan rumah potong hewan dan kandang inap sementara ternak
sapi yang akan dijual dan sedang perawatan kesehatan.
Gambar 5.4.
Unit Usaha dan Keuangan Jasa Layanan Teknologi Introduksi
nilai-nilai manfaat (benefit values) lebih besar dan terdistribusi secara adil dan
merata diantara para pelaku sistem integrasi.
BIOPESTISIDA
BIOGAS DAN
WRC, USB, UMB
DAMPAK POSITIF
KONSENTRAT/
BIO-URINE,
SILASE, HAY,
KOMPOS
Minimalisasi sumberdaya
AMONIASI
TEKNOLOGI INTERFANCE
Pengolahan Limbah
USAHA USAHA
TANI INTERAKSI TERNAK
TANAMAN SAPI
Gambar 5.5.
Rangkaian Program Membangun Sistem Integrasi Berkelanjutan
Wilson, 1999). Model tata kelola kelembagaan program SPR (Sentra Peternakan
Rakyat) relatif lebih selaras dan sesuai digunakan dalam membangun industri
peternakan sapi potong rakyat dengan pendekatan SIFAS. Secara umum terdpat
3 (tiga) segmen kelembagaan yang perlu dikembangkan, yaitu rumah tangga
peternak sapi potong rakyat sebagai objek sasaran utama, kelompok sebagai
bentuk implementasi aksi kolektif peternak, dan sentra jasa layanan sebagai
gusus depan dari suatu kawasan terintegrasi (Gambar 6.1).
Gambar 6.1.
Kebijakan Satu Pintu Tatakelola Kawasan SIFAS
Secara umum pada suatu kawasan SIFAS terdapat 3 (tiga) pelaku utama yaitu
rumah tangga peternak sapi potong (RTP), kelompok petani peternak sapi potong
(KPT) dan sentra jasa layanan (SJL). Tatakelola kelembagaan untuk setiap
kawasan SIFAS harus didorong agar berperilaku sebagai sebuah kawasan
industri yang memiliki kemampuan untuk melindungi kepentingan seluruh pelaku
dalam kawasan tersebut. Selama ini para pengambil kebijakan cenderung lebih
pada membangun organisasi peternak dibanding melakukan penataan
kelembagaan, padahal keduanya memiliki makna yang berbeda. Kata
“kelembagaan” merupakan padanan kata Inggris institution, atau lebih tepatnya
social institution; sedangkan “organisasi” padanan dari organization atau social
Peran dan kedudukan RTP sapi potong mengacu pada Peraturan Menteri
Pertanian RI No. 46/Permentan/PK.210/8/2015 tentang Pedoman Budidaya Sapi
Potong yang Baik bahwa peternak adalah orang perseorangan Warga Negara
Indonesia atau korporasi yang melakukan usaha peternakan. Sumber daya
manusia yang terlibat dalam usaha budidaya sapi potong harus memenuhi
persyaratan antara lain: a) sehat jasmani dan rohani; b) mempunyai keterampilan
sesuai dengan bidangnya dan memahami risiko pekerjaan; c) memiliki
kemampuan dan pengetahuan di bidang usaha budidaya sapi potong; dan d)
menerapkan keselamatan dan keamanan kerja sesuai peraturan
perundang-undangan bidang ketenagakerjaan. Untuk mendapatkan SDM
tersebut maka pada usaha peternakan rakyat dengan skala kecil dan umumnya
kapasitas SDM rendah (pendidikan) maka mereka berhak untuk mendapatkan
pembinaan melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan agar mampu
menerapkan budidaya sapi potong yang baik. Peternak yang telah menerapkan
Pedoman Budidaya Sapi Potong yang Baik diberikan surat keterangan cara
budidaya sapi potong yang baik oleh dinas kabupaten/kota yang membidangi
fungsi peternakan dan kesehatan hewan. Pada konteks pengembangan kawasan
SIFAS maka kewajiban tambahan yang perlu dipenuhi oleh para peternak sapi
potong antara lain:
Kandang Sapi
Pondok
Pengeringan
Bak
Koleksi
Gambar 6.2.
Bak Koleksi Urine dan Pengeringan Limbah Padat
Faktor penting dari fasilitas kandang tambahan adalah kemiringan lantai baik
lantai kandang maupun lantai pondok pengeringan limbah padat kandang, dan
biasaya menggunakan tingkat kemiringan 5 - 7 cm tergantung pada lebar
kandang. Hal ini dilakukan agar aliran urine pada kandang bisa mengalir dan
terkumpul pada bak koleksi dan hal yang sama pondok pengeringan agar aliran
air yang membasahi tumpukan limbah padat secara alamiah bisa dikurangi dan
proses pengeringan lebih cepat.
BAK KOLEKSI
LIMBAH CAIR URINE
RUMAH TANGGA
PETERNAK SAPI
POTONG PENGERINGAN
LIMBAH PADAT
Pinjam/Sewa
Pengolahan
KANDANG KOLEKTIF
T E R N A K S A P I
UNIT PENGOLAHAN
LIMBAH CAIR
KANDANG SAPI
Gambar 6.3.
Peran dan Kedudukan Kelompok Peternak
Beberapa peralatan untuk mmenuhi kriteria budidaya sapi potong yang baik
memiliki harga yang cukup tinggi dan tidak menjadi kebutuhan rutin rumah tangga
peternak sehingga akan lebih efisien dan efektif jika kepemilikan secara kolektif
Gambar 6.4.
Pohon Industri Komoditas Sapi Potong
Hal yang sama juga dengan limbah kandang ternak sapi potong baik limbah padat
kandang (feses dan sisa hijauan pakan) maupun limbah cair (urine) untuk dikelola
dalam kawasan suatu areal pengolahan limbah terpadu (integrated waste
processing). Pengembangan IKM pangan olahan daging dan kerupuk kulit dapat
menjadi cabang usaha kelompok peternak yang dalam operasionalnya dilakukan
oleh ibu rumah tangga (isteri dan anak-anak), sementara kelompok kepala rumah
tangga (bapak) bisa fokus pada IKM produk olahan tepung tulang untuk pakan
ternak dan IKM olahan pupuk organik padat dan cair. Proses pemberdayaan
kelompok peternak ini membutuhkan perubahan paradigma seluruh stakeholder
mulai dari hanya sekedar kelompok budidaya menjadi kelompok peternak yang
berorentasi industri peternakan. Kelompok peternak sapi potong tidak hanya
mengelola budidaya tetapi mereka diarahkan untuk menjadi kelompok industri
peternakan sapi potong dengan produk yang terdiversifikasi sehingga mampu
memperoleh nilai tambah (value added) lebih besar dari aktivitas usaha yang
mereka lakukan (Gambar 6.5).
Gambar 6.5.
Pemberdayaan dan Kelembagaan Kelompok Peternak Sapi
Peran dan kedudukan sentra jasa layanan (SJL) mengacu pada Peraturan
Pemerintah RI No. 6 Tahun 2013 tentang Pemberdayaan Peternak khususnya
Bab III Pasal 10 dan 11 yaitu pelayanan peternakan dan kesehatan hewan.
Pelayanan peternakan terdiri atas: a) penyediaan dan pengelolaan lahan
penggembalaan umum; b) penyediaan benih/bibit unggul; c). penyelamatan
ternak ruminansia betina produktif dan d). penyediaan pos inseminasi buatan,
sedangkan layanan kesehatan hewan terdiri atas: a) pemeriksaan kebuntingan; b)
pengamatan dan identifikasi penyakit c) pengamanan penyakit hewan d)
pengobatan hewan sakit dan e) pemberantasan penyakit hewan (Gambar 6.6)..
Pengembalaan Pemeriksaan
Umum Kebuntingan
Penyediaan Pengamatan
Bibit Penyakit
Layanan Layanan
Peternakan Keswan
Penyelamatan Pengamanan
Betina Produktif Penyakit Hewan
Sentra
Jasa Pemberantasan
Pos Pelayanan Layanan Penyakit
IB (SJL)
Pada model industri peternakan rakyat, sentra jasa layanan didorong untuk
dikelola oleh BUMDes melalui kerjasama kemitraan dengan berbagai pihak baik
pemerintah daerah maupun dunia usaha.
Indonesia merupakan salah satu dari 189 negara yang telah menyepakati tujuan
pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals atau SDGs).
Target kebijakan pembangunan yang ditetapkan oleh PBB ini adalah tercapainya
17 tujuan dengan 159 indikator capaian pada tahun 2030 (Ginting, 2019). Konsep
SDGs dibentuk dalam konferensi PBB tahun 2015 ini menetapkan target yang
dapat diaplikasikan secara universal dan diukur melalui keseimbangan 3 (tiga)
dimensi pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi. SDGs
mencakup 20 aksi yang mendorong negara untuk mengintegrasikan program
pembangunan sektor pertanian dan perdesaan secara lebih luas untuk
pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan nasional,
regenerasi masyarakat perkotaan, dan perlindungan sumberdaya (FAO, 2018).
Pada sisi lain, sistem produksi peternakan didunia secara garis besar dapat
dibagi atas sistem produksi berbasis ternak (solely livestock system) dimana 90%
bahan pakan dihasilkan “on-farm”, dan system campuran (mix farming system)
dimana pakan ternak memanfaatkan hasil samping tanaman pertanian (FAO,
1994). Selanjutnya dinyatakan oleh Steinfield and Maki-Hakkonen (1998) bahwa
sistem peternakan campuran memberikan kontribusi 53,9% dari total produksi
daging dunia, sedangkan sistem tanpa lahan hanya 36,8%. Berbasis klasifikasi
tersebut maka sesuai dengan strategi pengembangan kawasan diharapkan pada
masa akan datang akan terbentuk sentra-sentra pertumbuhan peternakan baru
dimana peternakan menyatu dengan usaha tani lainnya atau mix-farming system.
Adriani dan A. Novra. 2017. Peningkatan Kualitas Biourin dari Ternak Sapi yang
Mendapat Perlakuan Trychoderma Harzianum. Jurnal Ilmu-Ilmu
Peternakan. Vol 21 (2): 77-84. https://www.online-journal.unja.ac.id/jiip/
article/view/4716
Irwansyah, 2008. Krisis Pasti Berlalu, Kreativitas Daerah Antisipasi Krisis Global,
Bisnis Indonesia, 21 Oktober 2008, Jakarta.
Jatimprov.go.id 2015. Tahun Depan, Satu Sentra Peternakan Rakyat Dapat Dana
Sekitar Rp 1 Miliar. Kolom Berita dan Pengumuman. Available:
http://jatimprov.go.id/read/berita-pengumuman/tahun-depan-satu-sentra-p
eternakan-rakyat-dapat-dana-sekitar-rp-1-miliar Accessed November 26th
2015.
Manihuruk, R., 2008. Harga TBS dan CPO di Jambi Turun, Batak Pos. Available:
http://rosenmanmanihuruk.blogspot.com/html., Accesed Sept. 12th 2008.
Novra, A., 2011. Study Kelayakan Usaha Integrasi Sawit Sapi (ISS) PT.
Perkebunan Nusantara VI, Laporan PTP Nusantara VI Wilayah
Sumbar-Jambi, Jambi.
Novra, A., Suparjo, Endriani dan A. Meilin, 2015. Model Aksi Kolektif untuk
Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi “Temporary Lost Income”
Program Replanting Karet Rakyat, Hibah Penprinas MP3EI tahun 1 DPRM
Kemenristek Dikti, LPPM Universitas Jambi, Jambi.
Novra, A., A. Latief, S. Syarif dan Suparjo. 2016. Pemulihan Ekonomi Rumah
Tangga Petani Sawit Terkena Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan,
Laporan Program Pengabdian kepada Masyarakat (PPM) Karhutla LPPM
Universitas Jambi, Jambi.
Novra, A., Suparjo, Endriani dan A. Meilin, 2016. Model Aksi Kolektif untuk
Kemandirian Rumah Tangga Menghadapi “Temporary Lost Income”
Program Replanting Karet Rakyat, Hibah Penprinas MP3EI tahun 2 DPRM
Kemenristek Dikti, LPPM Universitas Jambi, Jambi.
Novra, A., Suparjo, dan S. Refa, 2017. Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian
Rumah Tangga Menghadapi “Temporary Lost Income” Program
Replanting Karet Rakyat, Hibah Penprinas MP3EI tahun 3 DPRM
Kemenristek Dikti. LPPM Universitas Jambi, Jambi.
Novra A. 2019. Tatakelola Kelembagaan Ekonomi Perdesaan dalam
Implementasi Lima Prinsip Dasar SDGs Program Peremajaan Sawit
Rakyat, Makalah Seminar Nasional CSSPO-BPDP Kelapa Sawit
“Percepatan Peremajaan Perkebunan Sawit Rakyat”, Jambi 6 November
2019.
Novra, A. Suparjo, A. Latief, A., S. Syarief dan Nelson, 2020. Pemulihan Ekonomi
Rumah Tangga Perkebunan Sawit Rakyat Terkena Dampak Kebakaran
Lahan dan Hutan, Jurnal Abdimas Mahakam, 4 (1): 1-10.
https://journal.uwgm. ac.id/index.php/abdimasmahakam/article/view/511
Stamboel, K., 2009. Petani Indonesia dan Krisis Ekonomi Global, Untuk Indonesia
Yang Adil, Sejahtera, dan Bermartabat: Kategori Ekonomi, Desember
2008.
Appendix- 1
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
luas bangunan rumah kompos dengan ukuran lebar biasanya 6 - 8 meter dan
panjang sesuai dengan kebutuhan dan luas areal lahan yang tersedia. .
1. Pondok pengumpulan limbah padat (feses dan sisa pakan) yang berfungsi
untuk mengumpulkan limbah basah sebelum dilakukan proses pengeringan.
Bangunan ini dapat dibuat sederhana menggunakan struktur kayu dengan
atap terbuat dari rumbia atau seng, sedangkan lantai cukup tanah.
Appendix- 2
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Peralatan yang digunakan dalam proses produksi trycokompos insitu antara lain
adalah;
1. Cangkul, sekop dan garu yang diperlukan untuk pengangkat bahan baku
limbah padat kandang dari satu tempat ke tempat lainnya. Pada proses lainnya
ketiga peralatan dapat digunakan sebagai pengaduk dan perataan permukaan
kompos fermentasi.
Appendix- 3
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
2. Gerobak dorong diperlukan sebagai alat angkut bahan baku (limbah padat)
dari kandang, tempat pengumpulan dan pengeringan serta pondok
pengomposan.
3. Hand Dryer dan traktor tangan yang digunakan untuk proses pengadukan
kompos selama proses fermentasi, tetapi jika traktor tidak tersedia maka dapat
digunakan cangkul.
Gambar A1.
Tahapan Proses Produksi Trychokompos In-situ
Appendix- 4
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
1. Tahap Persiapan
2. Tahap Komposing
Tahap komposing diawali dengan penyediaan bahan baku utama yang terdiri
dari limbah padat kandang yang telah mengalami proses pengeringan dan
limbah tanaman (daunan dan legume) sekitar lokasi (in-situ). Langkah-langkah
lanjutan adalah:
Appendix- 5
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
b. Setelah bahan baku utama tersusun, pada bagian atas limbah tanaman
ditaburkan phospat (kapur) secara merata dan selanjutnya disiram dengan
trychoderma.
3. Pasca Komposing
Appendix- 6
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Pengemasan dapat pada karung yang sudah diberi merk ditujukan untuk
penjualan (komersial), sedangkan pada karung polos untuk kebutuhan
sendiri dan kelompok. Pengemasan pada plastik transparan sebagai upaya
diversifikasi produk dengan sasaran pembeli adalah rumah tangga yang
dapat dijual langsung maupun melalui toko atau kios pertanian dan
pedagang bunga hias.
Appendix- 7
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Appendix- 8
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Appendix- 9
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Salah satu faktor penting dalam pengolahan limbah cair kandang adalah desain
instalasi pengolahan biourine plus (IPBP) yang diawali dengan proses
penampungan (Gambar B1)
Appendix- 10
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
MENARA
SIRKULASI SALURAN
SIRKULASI
SALURAN
BAK/DRUM
PEMBUANG
Gambar B1.
Instalasi Pengolahan Biourine Plus (IPBP) dengan Menara
Saluran urine terletak dalam kandang ternak sapi yang dapat dibuat dari batu
bata yang dilapisi semen. Untuk memperlancar aliran maka lantai kandang
harus didesain miring (± 50) dan agar tidak tercampur dengan air bekas
memandikan atau membersihkan kandang maka
dibutuhkan saluran pemisah. Pada saat kegiatan
memandikan ternak atau membersihkan kandang
maka saluran air menuju bak penampung ditutup
sehingga air akan mengalir pada saluran pembuang
yang telah disediakan (langsung ke lahan). Saluran
menuju bak penampungan urine kembali dibuka
kembali selepas aktivitas pemandian ternak dan
pembersihan kandang.
Appendix- 11
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
karena penggunaan drum akan lebih cepat rusak karena keasaman urine
dapat mempercepat proses pelapukan drum yang digunakan meskipun terbuat
dari plastik.
b. Menara Sirkulasi
Menara sirkulasi adalah media yang digunakan untuk proses sirkulasi yang
dapat dibuat dari berbagai bahan seperti kayu, besi dan coran semen.
Penggunaan besi kurang dianjurkan karena
akan cepat berkarat jika terkena cairan urine
yang mengandung asam, dan lebih
direkomendasikan menggunakan bahan
kayu atau coran semen. Jika ditinjau dari
segi biaya dan kemudahan dalam
mendapatkan bahan baku serta daya tahan
menara, maka penggunaan coran semen lebih direkomendasikan. Bangunan
menara sirkulasi didesain agar proses sirkulasi dapat berjalan lancar dan
energi yang dibutuhkan hanya untuk menaikkan urine ke tekmon pada bagian
atas meja menara. Secara ringkas, spesifikasi bangunan menara sirkulasi
adalah sebagai berikut;
Bangunan menara terdiri dari 4 tiang dengan ketinggian lebih dari 3 meter
dan ukuran masing-masing tiang adalah 20 x 20 cm.
Pada lantai atas dapat dipasang tiang dan atap dengan ketinggian 1,5 meter
guna melindungi tekmon dari perubahan cuaca dan proses produksi pada
saat musim hujan.
Appendix- 12
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
- Sistem air jatuh dengan menggunakan pendekatan anak tangga dan dibuat
menggunakan pipa PVC 3 inchi seperti pada Gambar berikut.
SAMBUNGKAN
d. Bak Fermentasi
Bak fermentasi dapat dibuat dari berbagai jenis bahan seperti bak semen,
tekmon, dan drum (plastik) bekas dengan syarat kedap udara guna
memperlancar berlangsungnya proses an-aerobik selama fermentasi.
Berdasarkan pertimbangan kapasitas, daya tahan dan biaya maka
direkomendasikan Tengki Besi IBC 1000 Liter. Tengki berbentuk segiempat
dan dikenal dengan nama baby tank ini dapat diperoleh dengan mudah
Appendix- 13
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
dengan harga relatif murah karena merupakan tenki bekas zat kimia.
Keunggulan baby tank ini adalah lebih tahan, terdapat saluran masuk (inlet)
pada bagian atas dan saluran keluar (outlet) pada bagian bawah sehingga
memudahkan untuk disambungkan
dengan pipa paralon saluran
sirkulasi.
Sistem tanpa menara menggunakan pipa dengan diameter lebih besar guna
menghindari tumpahan saat dilakukan aerasi dan/atau pengadukan selama
proses fermentasi. Sama dengan IPLB dengan menara maka pada IPLB tanpa
menara juga menggunakan 2 pendekatan aerasi yaitu air terjun dan mengalir.
PONDOK BIO-URINE
SALURAN SIRKULASI
SALURAN
BAK/DRUM
PEMBUANG
Gambar B2.
Instalasi Pengolahan Biourine Plus (IPBP) Tanpa Menara
Cara pembuatan dan penyusunan saluran sirkulasi untuk sistem air mengalir
sama dengan IPLB dengan menara tetapi membutuhkan pipa dengan diamter
lebih besar (5 - 6 inchi atau 140 - 165 mm). Bahan pembuatan saluran sirkulasi ini
Appendix- 14
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Pemgembangan saluran sirkulasi model air terjun disajikan pada Gambar B3,
serta dilengkapi contoh hasil akhir IPBP yang ada di Fapet Farm Fakultas
Peternakan Universitas Jambi.
INLET
LUBANG
CONTOH
BAK FERMENTASI
Gambar B3.
Model Pipa Sirkulasi dan Contoh IPBP Terpasang
Tahapan dalam proses produksi Biourine A Plus secara umum dapat dibagi
dalam 4 tahapan kegiatan yaitu penyiapan (aerasi) bahan baku urine, penyiapan
bahan fermentasi, proses fermentasi dan penanganan pasca produksi.
Penyiapan bahan baku urine melalui proses aerasi dilakukan sebelum fermentasi
dilakukan yaitu selama ±3 hari dengan frekuensi 2 kali sehari selama 15 - 20
menit. Pada saat aerasi bahan baku urine masih murni dan belum ada campuran
bahan fermentasi lainnya seperti EM-4, gula merah dan empon-empon. Proses
Appendix- 15
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
- Sebelumnya jangan lupa pasang kain kasa saringan urine pada inlet tekmon
pada bagian atas menara biourine.
- Urine pada tekmon akan mengalir menuju drum fermentasi yang terbuat dari
baby tank setelah melalui saluran sirkulasi aerasi.
- Setelah baby tank penuh maka pompa air yang terdapat pada bak
penampung dimatikan.
Saringan
TEKMON
POMPA AIR 1
BAK SALURAN
PENAMPUNG SIRKULASI
DRUM
FERMENTASI
b. Proses Aerasi
- Sebelumnya buka keran outlet baby tank, keran saluran aerasi (sesuai
metode sirkulasi). Saringan
Appendix- 16
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
- Lakukan perlakuan aerasi yang sama sebanyak 2 kali sehari selama 3 hari
berturut-turut.
Bahan yang digunakan dalam proses produksi biourine adalah urine ternak sapi,
gula merah, empon-emponan (Jahe, Kunyit, Temulawak, Kencur, dan Lengkuas)
serta EM4 dan.
a. Giling (mixer) empon-empon yang telah dipersiapkan satu persatu atau secara
bersamaan sampai halus
b. Gunakan air panas untuk mencairkan gula merah yang telah dihaluskan
terlebih dahulu.
c. Tambahkan EM-4 kedalam larutan gula merah dan aduk secara merata.
Proses Fermentasi
Appendix- 17
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
b. Masukkan empon-empon yang sudah digiling dalam kain kasa yang berfungsi
sebagai saringan dan letakkan pada saluran inlet drum fermentasi (upayakan
terendam pada saat fermentasi).
d. Lakukan selama ±15 menit dan setelah itu matikan mesin pompa air dan tutup
saluran inlet dan outlet drum fermentasi agar tercipta proses an-aerob.
Pasca Fermentasi
a. Keluarkan bekas kain kasa (saringan empon-empon) dari saluran inlet bak
fermentasi.
e. Dirigen yang sudah berisi biourine plus siap untuk digunakan dan jika untuk
tujuan komersialisasi (jual) maka dapat ditambahkan merk kemasan.
Appendix- 18
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Biourine A Plus yang dihasilkan dapat digunakan untuk pemupukan tanaman baik
baik untuk tujuan pembibitan maupun budidaya sebagai substitusi pupuk
an-organik. Beberapa keunggulan yang dimiliki oleh pupuk organik cair ini adalah;
a. Jangka waktu proses produksi dengan metode ini butuh waktu ±15 hari yang
lebih singkat dibanding dengan cara konvensional yang membutuhkan waktu
minimal 21 hari.
b. Pada saat aerasi pertama akan menimbulkan bau yang tidak sedap diudara
terutama bagi yang belum terbiasa sehingga disarankan areal pengolahan
cukup jauh dari pemukiman.
Appendix- 19
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
f. Urine yang tercampur air akan berdampak pada turunnya kualitas Biourine A
Plus yang dihasilkan.
Appendix- 20
Panduan Produksi Teknologi Penghubung dalam SIFAS
Catatan:
Appendix- 21
Lahir di Kota Payakumbuh Provinsi Sumatera Barat pada bulan
November 1968. Gelar kesarjanaan diperoleh tahun 1992 di Fakultas
Peternakan Univeritas Jambi dan mengabdi pada almamater yang sama
sebagai Staf Pengajar bidang Sosial Ekonomi Peternakan. Pada tahun
1999 menyelesaikan pendidikan strata S2 pada bidang Ekonomi
Perusahaan Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran.
Menyelesaikan pendidikan program doktor IPB Bogor pada tahun 2007
dengan bidang konsentrasi Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan.
Pengalaman mengajar disamping aktif di Fakultas Peternakan UNJA juga
pernah mengajar di Universitas Juanda Bogor dan Universitas Sahid
Jakarta, serta pada program Magister Ilmu Peternakan dan Agribisnis.
Kegiatan lain selain mengajar antara lain menjadi Ketua Program Studi
Ekonomi dan Bisnis Peternnakan (2010 - 2012), Ketua Pusat Study CSR
LPPM Unja (2014 - 2016), Ketua Pusat Unggulan Iptek Konsorsium Riset
Teknologi Reklamasi Lahan (CoE KRT-REKLA) UNJA (2014 - 2016) dan
CoE Ethnomedicine and Nutraseutical (CoE eMEDICAL) UNJA (2019 -
sekarang) serta Pendiri dan Direktur Pusat Kajian CREEDs (Center for
Regional Economics and Environmental Development Study).
Pengalaman riset terkait antara lain Roadmap Komoditas Unggulan
Ternak Sapi Potong: Swasembada Daging Sapi 2009 Menuju Surplus
Produksi 2014 (2007), Study Kelayakan Pengembangan Integrasi Ternak
Sapi Provinsi Jambi (2008), Study Kelayakan Pengembangan Mitra
Pengelola Buffer Stock Sapi Potong untuk Tujuan Stabilisasi Harga
(2009), Analisis Kelayakan Pengembangan Integrasi Sawit Sapi (ISS) PTP.
Nusantara VI (2011), Penguatan Kelompok Tani Pelaku Integrasi Sawit
Sapi (IPTEKDA-LIPI 2013 dan 2015), Pemulihan Ekonomi Masyarakat
Terkena Dampak Kabut Asap Tebal Kebakaran Hutan dan Lahan (2016),
Model Aksi Kolektif untuk Kemandirian Rumah Tangga Menhadapi
“Temporary Lost Income” Program Replanting Karet (MP3EI 2014 - 2016),
dan Pemulihan Ekonomi Rumah Tangga Terkena Dampak Karhutla
(2016), dan Implementasi Program CSR untuk Pencegahan Kebakaran
Hutan dan Lahan Desa Sekitar PT. Bahari Gembira Ria (2018).
Penyusun Buku STRATEGI PEMASARAN DAN PROMOSI WISATA
PR OVINSI JAM BI: Desain JAM BI Tou r d e JNP Su atu Keju a r a a n
Internasional Tahunan Wisata Olah Raga Tantangan Perairan antara Dua
Taman Nasional (2011), berkontribusi sebagai penulis tamu dalam buku
BUNGA RAMPAI SISTEM INTEGRASI TANAMAN DAN TERNAK SAPI
Badan Penelitian dan Pengembangan Peternakan (Balitbangnak) Bogor
(2011), LIHAT KAMI MEMBANGUN DESA: Best Practice Pembangunan
Partisipatif (2012), AKSELERASI PEMBANGUNAN KAWASAN Seberang
Kota Jambi (SEKOJA) KOTA JAMBI (MICE Ecotourism Approach) (2012),
DAMPAK PENGEMBANGAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS PESISIR
PANTAI TIMUR JAMBI TERHADAP TAMAN NASIONAL BERBAK (2014),
ROADMAP PRODUK UNGGULAN DAERAH “BATIK” JAMBI (2015) dan
MASTERPLAN PENGEMBANGAN KAWASAN INTE GR ASI 'Sen tra
Peternakan Rakyat PROVINSI JAMBI (2016) serta lainnya.