PERTEMUAN KE-7
B. UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah ini membubarkan dan
mencabut:
1) Komisi Pengawas Haji Indonesia dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5036), dinyatakan bubar serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh
Menteri.
2) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
َ ِ َْن لقمَّلَ ْتَ َّأ َا َََّْح ا ا َ تاتَمََّق ا ا ل ر َب َْن َْتَأ تَّا ُق تل ام َهدَح ْ تَن ََ َأِاُت َ اَ تب َُ ا َّب َْ تذ َ تقح
ل َلَا ل تَ تْ َأب ْم ته َي تل ُلْت َا
تلق َحتَََّهن
“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah
seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata
(Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
A. Disyari’atkannya Qurban
B. Definisi Qurban
Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri,
sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan
diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam sebagai udhiyah. Udhiyah secara
bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha dan
seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara
istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat
mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu
(Syarh Minhaj).
C. Hukum Qurban
Hukum qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang menurut
mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah SWT berfirman:
ُل تَح تب قَب َِق ُ َِا2
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah SAW bersabda:
الَ ْ َب ن ُ ال ْ ضح ُق ل س عة ق ل ك ن ْن ْ
“Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat
shalat kami” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain: “Jika kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara
kalian hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR
Muslim).
Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan,
dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat
Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak
mendapatkan keutamaan pahala sunnah.
Adapun binatang yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak
(Al-An’aam), unta, sapi dan kambing, jantan atau betina. Sedangkan binatang selain itu
seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah SWT berfirman:
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah
kepada mereka” (QS Al-Hajj 34).
Kambing untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah
SAW menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk
beliau dan umatnya. Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik
dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
ا ا ق للا ْ أه ن ٍ اب ْن: َُلقأَبل اةسأع ْن لقأهَة ق َحهْأه َة ُسمَّل ْمه َل لقمَّلَ ى َّمص لقمَّ َل ِسَُ َا ْع َ حب
سأع اة ْن
Dari Jabir bin Abdullah, berkata “Kami berqurban bersama Rasulullah SAW di tahun
Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR Muslim).
Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup umur dan
tidak boleh cacat. Rasulullah SAW bersabda:
“Empat macam binatang yang tidak sah dijadikan qurban: 1. Cacat matanya, 2. sakit,
3. pincang dan 4. kurus yang tidak berlemak lagi “ (HR Bukhari dan Muslim).
Musinnah adalah jika pada unta sudah berumur 5 tahun, sapi umur dua tahun dan
kambing umur 1 tahun, domba dari 6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan berqurban
dengan hewan kurban yang mandul, bahkan Rasulullah SAW berqurban dengan dua
domba yang mandul. Dan biasanya dagingnya lebih enak dan lebih gemuk.
Orang yang berqurban boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman
Allah SWT:
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika
kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela
dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah
mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Hajj 36).
Waktu penyembelihan hewan qurban yang paling utama adalah hari Nahr, yaitu
Raya ‘Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijah setelah melaksanakan shalat ‘Idul Adha bagi
yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat ‘Idul Adha seperti
jamaah haji dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr.
Orang yang berqurban tidak boleh menjual sedikitpun hal-hal yang terkait dengan
hewan qurban seperti, kulit, daging, susu dll dengan uang yang menyebabkan hilangnya
manfaat barang tersebut. Jumhur ulama menyatakan hukumnya makruh mendekati
haram, sesuai dengan hadits:
“Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia tidak berqurban” (HR Hakim dan
Baihaqi).
Kecuali dihadiahkan kepada fakir-miskin, atau dimanfaatkan maka dibolehkan.
Menurut mazhab Hanafi kulit hewan qurban boleh dijual dan uangnya disedekahkan.
Kemudian uang tersebut dibelikan pada sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan
rumah tangga.
Sesuatu yang dianggap makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal
dari hewan qurban. Sesuai dengan hadits dari Ali RA:
“Rasulullah SAW memerintahkanku untuk menjadi panitia qurban (unta) dan
membagikan kulit dan dagingnya. Dan memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi
tukang jagal sedikitpun”. Ali berkata:” Kami memberi dari uang kami” (HR Bukhari).
J. Kategori Penyembelihan
Amal yang terkait dengan penyembelihan dapat dikategorikan menjadi empat
bagian. Pertama, hadyu; kedua, udhiyah sebagaimana diterangkan di atas; ketiga,
aqiqah; keempat, penyembelihan biasa. Hadyu adalah binatang ternak yang disembelih
di Tanah Haram di hari-hari Nahr karena melaksanakan haji Tamattu dan Qiran, atau
meninggalkan di antara kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan, baik dalam
haji atau umrah, atau hanya sekedar pendekatan diri kepada Allah SWT sebagai ibadah
sunnah. Aqiqah adalah kambing yang disembelih terkait dengan kelahiran anak pada
hari ketujuh sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Jika yang lahir lelaki
disunnahkan 2 ekor dan jika perempuan satu ekor.
Sedangkan selain bentuk ibadah di atas, masuk ke dalam penyembelihan biasa
untuk dimakan, disedekahkan atau untuk dijual, seperti seorang yang melakukan akad
nikah. Kemudian dirayakan dengan walimah menyembelih kambing. Seorang yang
sukses dalam pendidikan atau karirnya kemudian menyembelih binatang sebagai rasa
syukur kepada Allah SWT dll. Jika terjadi penyembelihan binatang ternak dikaitkan
dengan waktu tertentu, upacara tertentu dan keyakinan tertentu maka dapat digolongkan
pada hal yang bid’ah, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah. Apalagi jika
penyembelihan itu tujuannya untuk syetan atau Tuhan selain Allah maka ini adalah
jelas-jelas sebuah bentuk kemusyrikan.