Anda di halaman 1dari 10

AGAMA ISLAM

PERTEMUAN KE-7

Buatlah artikel/telaah pustaka yang mencakup :


1. Pengelolaan Ibadah Haji dan Umrah di Indonesia
Indonesia tercatat sebagai negara pengirim delegasi haji dan umroh terbesar di dunia.
Berdasarkan data dari Kementrian Haji Arab Saudi, jumlah total jamaah haji dan umroh
pada tahun 2011 adalah 2.927.717 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 7,5% atau 219.693
orang berasal dari Indonesia.
A. Penjelasan Umum UU No.8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah

Dalam Penjelasan UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah


dikatakan bahwa Ibadah Haji merupakan rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan
oleh setiap orang Islam yang mampu, baik secara fisik, mental, spiritual, sosial, maupun
finansial dan sekali dalam seumur hidup. Pelaksanaan Ibadah Haji merupakan rangkaian
ibadah keagamaan yang telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan
Ibadah Haji sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

B. UU 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah ini membubarkan dan
mencabut:
1) Komisi Pengawas Haji Indonesia dan Badan Pengelola Dana Abadi Umat yang
dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4845)
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5036), dinyatakan bubar serta fungsi dan tugasnya dilaksanakan oleh
Menteri.
2) Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 60, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4845) sebagaimana telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-
Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 142, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5036), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.

C. Pertimbangan UU 8 tahun 2018 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah


Undang-Undang Nomor 8 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah
diterbitkan dengan pertimbangan:
1) Bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu;
2) Bahwa salah satu jaminan negara atas kemerdekaan beribadah ialah memberikan
pembinaan, pelayanan, dan pelindungan bagi warga negara yang menunaikan ibadah
haji dan umrah secara aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat;
3) Bahwa semakin meningkatnya jumlah warga negara untuk menunaikan ibadah haji
dan umrah, perlu peningkatan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah secara
aman, nyaman, tertib, dan sesuai dengan ketentuan syariat;
4) Bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah
Haji sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2009
tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Ibadah Haji menjadi Undang-Undang sudah tidak sesuai dengan
dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat, sehingga perlu diganti;
5) Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
huruf c, dan huruf d, perlu membentuk Undang-Undang tentang Penyelenggaraan
Ibadah Haji dan Umrah;
D. Ketentuan Baru Penyelenggaraan Ibadah Haji-Umrah

Pemerintah telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang


Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang menjadi tonggak sejarah baru dalam
penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, melalui 12 perbaikan tata kelola. RUU ini telah
disahkan sebagai undang-undang.
E. Tahapan Pelaksanaan ibadah Haji dari Keberangkatan hingga Kepulangan
1. Jamaah terbang menuju Madinah. Setelah melalui penerbangan selama 9-10 jam,
jamaah akan landing (mendarat) di Bandara Internasional Pangeran Muhammad bin
Abdul Aziz Madinah.
Setibanya di Madinah, jamaah akan menetap selama delapan hari untuk melakukan
shalat arbain (40 waktu) di Masjid Nabawi. Usai melakukan arbain, jamaah menuju
Mekkah dengan mengambil miqat di Dzu Hulaifah atau lebih dikenal dengan Bir Ali.
2. Setiba di Mekkah, jamaah melaksanakan thawaf, sai umrah di Masjidil Haram.
Setelah selesai sholat dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim.
Dilanjutkan dengan sai dari shafa ke marwa dengan membaca niat di bukit shafa
menghadap kabah. Bagi jamaah laki-laki lari-lari kecil di bathul wadi ditandai
dengan lampu hijau. Setelah thawaf melakukan tahallul, umrah pun selesai. Usai
umrah jamaah akan bermukim di Mekkah hingga tanggal 8 Dzulhijjah untuk berhaji.
Tahap 3,4 dan 5
Setelah 8 Dzulhijjah, umumnya jamaah dari Mekkah menggunakan pakaian ihram
menuju Arafah untuk melakukan wukuf di Padang Arafah pada 9 Dzulhijjah.
Kemudian malamnya langsung ke Muzdalifah dan dilanjutkan ke Mina.
6. Tanggal 10 Dzulhijjah, jamaah mulai menuju Mina untuk melakukan lontar jumrah
Aqobah. Meski pemerintah Saudi telah membangun tempat lempar jumrah tiga
tingkat, sebaiknya melempar jumrah dilakukan pada pagi atau dini hari. Sebab
kondisi jamaah padat dan berdesak-desakan.
7. Sebagian jamaah berangkat ke Mekkah untuk thawaf ifadah dan sai (10 Dzulhijjah
sore-malam) di Masjidil Haram. Jamaah kembali mabit (menginap) di Mina hingga
12-13 Dzulhijjah.
8. Sebagian jamaah kembali ke Mina dan lempar tiga jumrah pada 11 dan 12 Dzulhijjah.
Lempar jumrah (Ula, Wustha dan Aqobah) pada 11 Dzulhijjah
9. Sebagian jamaah melakukan thawaf wada (thawaf perpisahan) di Masjidil Haram
Mekkah pada 12 Dzulhijjah. Thawaf wada ini dilakukan tanpa sai, sebab kegiatan ini
merupakan akhir dari rangkaian haji. Selanjutnya bersiap kembali untuk kembali
diterbangkan ke tanah air.
F. Tahapan Tata Cara Umroh
1. Ihram
Berihram dilakukan sebelum memasuki Makkah. Berihram bagi laki-laki
dilakukan dengan menggunakan pakaian ihram berwarna putih sebanyak dua lapis
yang digunakan untuk menutup aurat bagian bawah, dan yang satu lagi sebagai
penutup dada. Bagi laki-laki, kain ihram yang digunakan tidak boleh berjahit.
Ihram dimulai dengan membaca niat. Ihram sendiri mulai dilakukan di tempat
yang telah ditentukan. Bagi warga negara Indonesia, tempat miqat yang ditentukan
untuk mulai berihram adalah di daerah Bir Ali Madinah.
Sedangkan berihram bagi perempuan dilakukan dengan menutup seluruh aurat
kecuali wajah. Setelah berihram kemudian melakukan niat dan dilanjutkan dengan
mengucapkan kalimat yang berbunyi “Labbaika ‘umratan, Labbaika allahumma
labbaika, labbaika laa syariikalaka labbaika, innalhamda wa ni’mata laka wal mulka
la syariika laka”.
2. Tawaf
Merupakan tata cara umrah selanjutnya setelah ihram. Tawaf berarti
mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali putaran yang arah putarannya berlawanan
dengan arah jarum jam. Tawaf dimulai dari hajar aswad dan kembali lagi di hajar
aswad.
Selama melakukan pemberhentian di hajar aswad, anda disunnahkan untuk
mencium batu hajar aswad. Namun jika posisi anda tidak memungkinkan untuk
mencapainya, anda bisa melakukan isyarat dengan menjulurkan tangan kearah batu
hajar aswad berada kemudian menciumnya.
Selama melakukan tawaf dianjurkan untuk membaca kalimat talbinah, takbir dan
juga berdoa. Setelah melaksanakan tawaf, anda dapat melanjutkannya dengan
membaca doa “Rabbana atina fiddunya hasanah, wafil akhirati hasanah waqina
adzabannar”.
3. Sa’i
Tata cara umrah ini dilakukan dengan melakukan lari-lari kecil dari bukit Shafa
ke bukit Marwah sebanyak 7 kali. 1 kalinya dihitung setelah melakukan lari dari bukit
Shafa ke Marwah lalu kembali lagi menuju bukit Shafa.
Ketika melakukan sai dianjurkan untuk berdoa. Bunyi doanya yaitu “Inna shaffa
wal marwata min sya’airillah faman hajjal baita awi’tamaro falaa junaaha alaihi an
yasthawafa bihima wa man tathawa’a syaakirun ‘aliim”. Setelah selesai melakukan
ibadah sai, kemudian dilanjutkan dengan melaksanakan tahallul
4. Thallul
Tahallul dapat diartikan dengan memotong pendek rambut. Boleh dilakukan
pada sebagian rambut, atau seluruh bagian rambut. Tahallul dilaksanakan setelah
selesai melakukan sai. Setelah selesai melakukan tahallul, maka selesai pulalah
rangkaian ibadah umroh yang anda jalankan.
Tahallul merupakan tata cara umroh terakhir yang wajib dilaksanakan agar
ibadah umroh anda sah. Setelah melakukan tahalul maka anda dapat melepas pakaian
ihram dan melakukan hal-hal yang dilarang selama ihram tadi.

2. Pelaksanaan Udhiyah dan Tadhiyah bagi seorang Muslim


Berqurban merupakan bagian dari Syariat Islam yang sudah ada semenjak manusia
ada. Ketika putra-putra nabi Adam AS diperintahkan berqurban. Maka Allah SWT
menerima qurban yang baik dan diiringi ketakwaan dan menolak qurban yang buruk. Allah
SWT berfirman:

َ ِ ‫َْن لقمَّلَ ْتَ َّأ َا َََّْح ا ا َ تاتَمََّق ا ا ل ر َب َْن َْتَأ تَّا ُق تل ام َهدَح ْ تَن ََ َأِاُت َ اَ تب َُ ا َّب َْ تذ َ تقح‬
‫ل َلَا ل تَ تْ َأب ْم ته َي تل ُلْت َا‬
‫تلق َحتَََّهن‬

“Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putra Adam (Habil dan Qabil) menurut yang
sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan qurban, maka diterima dari salah
seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). Ia berkata
(Qabil): “Aku pasti membunuhmu!” Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya
menerima (korban) dari orang-orang yang bertaqwa” (QS Al-Maaidah 27).
A. Disyari’atkannya Qurban

Disyariatkannya qurban sebagai simbol pengorbanan hamba kepada Allah SWT,


bentuk ketaatan kepada-Nya dan rasa syukur atas nikmat kehidupan yang diberikan
Allah SWT kepada hamba-Nya. Hubungan rasa syukur atas nikmat kehidupan dengan
berqurban yang berarti menyembelih binatang.

B. Definisi Qurban

Kata qurban yang kita pahami, berasal dari bahasa Arab, artinya pendekatan diri,
sedangkan maksudnya adalah menyembelih binatang ternak sebagai sarana pendekatan
diri kepada Allah. Arti ini dikenal dalam istilah Islam sebagai udhiyah. Udhiyah secara
bahasa mengandung dua pengertian, yaitu kambing yang disembelih waktu Dhuha dan
seterusnya, dan kambing yang disembelih di hari ‘Idul Adha. Adapun makna secara
istilah, yaitu binatang ternak yang disembelih di hari-hari Nahr dengan niat
mendekatkan diri (taqarruban) kepada Allah dengan syarat-syarat tertentu
(Syarh Minhaj).

C. Hukum Qurban

Hukum qurban menurut jumhur ulama adalah sunnah muaqqadah sedang menurut
mazhab Abu Hanifah adalah wajib. Allah SWT berfirman:
‫ُل تَح تب قَب َِق ُ َِا‬2
“Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah” (QS Al-Kautsaar: 2).
Rasulullah SAW bersabda:
‫الَ ْ َب ن ُ ال ْ ضح ُق ل س عة ق ل ك ن ْن‬ ْ
“Siapa yang memiliki kelapangan dan tidak berqurban, maka jangan dekati tempat
shalat kami” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim).
Dalam hadits lain: “Jika kalian melihat awal bulan Zulhijah, dan seseorang di antara
kalian hendak berqurban, maka tahanlah rambut dan kukunya (jangan digunting)” (HR
Muslim).
Bagi seorang muslim atau keluarga muslim yang mampu dan memiliki kemudahan,
dia sangat dianjurkan untuk berqurban. Jika tidak melakukannya, menurut pendapat
Abu Hanifah, ia berdosa. Dan menurut pendapat jumhur ulama dia tidak
mendapatkan keutamaan pahala sunnah.

D. Binatang yang Boleh diqurbankan

Adapun binatang yang boleh digunakan untuk berqurban adalah binatang ternak
(Al-An’aam), unta, sapi dan kambing, jantan atau betina. Sedangkan binatang selain itu
seperti burung, ayam dll tidak boleh dijadikan binatang qurban. Allah SWT berfirman:
“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (qurban), supaya
mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzkikan Allah
kepada mereka” (QS Al-Hajj 34).
Kambing untuk satu orang, boleh juga untuk satu keluarga. Karena Rasulullah
SAW menyembelih dua kambing, satu untuk beliau dan keluarganya dan satu lagi untuk
beliau dan umatnya. Sedangkan unta dan sapi dapat digunakan untuk tujuh orang, baik
dalam satu keluarga atau tidak, sesuai dengan hadits Rasulullah SAW:
‫ا ا ق للا ْ أه ن ٍ اب ْن‬: َ‫ُلقأَبل اةسأع ْن لقأهَة ق َحهْأه َة ُسمَّل ْمه َل لقمَّلَ ى َّمص لقمَّ َل ِسَُ َا ْع َ حب‬
‫سأع اة ْن‬
Dari Jabir bin Abdullah, berkata “Kami berqurban bersama Rasulullah SAW di tahun
Hudaibiyah, unta untuk tujuh orang dan sapi untuk tujuh orang” (HR Muslim).
Binatang yang akan diqurbankan hendaknya yang paling baik, cukup umur dan
tidak boleh cacat. Rasulullah SAW bersabda:
“Empat macam binatang yang tidak sah dijadikan qurban: 1. Cacat matanya, 2. sakit,
3. pincang dan 4. kurus yang tidak berlemak lagi “ (HR Bukhari dan Muslim).
Musinnah adalah jika pada unta sudah berumur 5 tahun, sapi umur dua tahun dan
kambing umur 1 tahun, domba dari 6 bulan sampai 1 tahun. Dibolehkan berqurban
dengan hewan kurban yang mandul, bahkan Rasulullah SAW berqurban dengan dua
domba yang mandul. Dan biasanya dagingnya lebih enak dan lebih gemuk.

E. Pembagian Daging Qurban

Orang yang berqurban boleh makan sebagian daging qurban, sebagaimana firman
Allah SWT:
“Dan telah Kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi`ar Allah, kamu
memperoleh kebaikan yang banyak padanya, maka sebutlah olehmu nama Allah ketika
kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila
telah roboh (mati), maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela
dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta.
Demikianlah Kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, mudah
mudahan kamu bersyukur” (QS Al-Hajj 36).

F. Waktu Penyembelihan Qurban

Waktu penyembelihan hewan qurban yang paling utama adalah hari Nahr, yaitu
Raya ‘Idul Adha pada tanggal 10 Zulhijah setelah melaksanakan shalat ‘Idul Adha bagi
yang melaksanakannya. Adapun bagi yang tidak melaksanakan shalat ‘Idul Adha seperti
jamaah haji dapat dilakukan setelah terbit matahari di hari Nahr.

G. Tata Cara Penyembelihan Qurban

Berqurban sebagaimana definisi di atas yaitu menyembelih hewan qurban,


sehingga menurut jumhur ulama tidak boleh atau tidak sah berqurban hanya dengan
memberikan uangnya saja kepada fakir miskin seharga hewan qurban tersebut, tanpa
ada penyembelihan hewan qurban. Karena maksud berqurban adalah adanya
penyembelihan hewan qurban kemudian dagingnya dibagikan kepada fakir miskin. Dan
menurut jumhur ulama yaitu mazhab Imam Malik, Ahmad dan lainnya, bahwa
berqurban dengan menyembelih kambing jauh lebih utama dari sedekah dengan
nilainya. Dan jika berqurban dibolehkan dengan membayar harganya akan berdampak
pada hilangnya ibadah qurban yang disyariatkan Islam tersebut. Adapun jika seseorang
berqurban, sedangkan hewan qurban dan penyembelihannya dilakukan ditempat lain,
maka itu adalah masalah teknis yang dibolehkan. Dan bagi yang berqurban, jika tidak
bisa menyembelih sendiri diutamakan untuk menyaksikan penyembelihan tersebut.

H. Hukum Menjual Bagian Qurban

Orang yang berqurban tidak boleh menjual sedikitpun hal-hal yang terkait dengan
hewan qurban seperti, kulit, daging, susu dll dengan uang yang menyebabkan hilangnya
manfaat barang tersebut. Jumhur ulama menyatakan hukumnya makruh mendekati
haram, sesuai dengan hadits:
“Siapa yang menjual kulit hewan qurban, maka dia tidak berqurban” (HR Hakim dan
Baihaqi).
Kecuali dihadiahkan kepada fakir-miskin, atau dimanfaatkan maka dibolehkan.
Menurut mazhab Hanafi kulit hewan qurban boleh dijual dan uangnya disedekahkan.
Kemudian uang tersebut dibelikan pada sesuatu yang bermanfaat bagi kebutuhan
rumah tangga.

I. Hukum Memberi Upah Tukang Jagal Qurban

Sesuatu yang dianggap makruh mendekati haram juga memberi upah tukang jagal
dari hewan qurban. Sesuai dengan hadits dari Ali RA:
“Rasulullah SAW memerintahkanku untuk menjadi panitia qurban (unta) dan
membagikan kulit dan dagingnya. Dan memerintahkan kepadaku untuk tidak memberi
tukang jagal sedikitpun”. Ali berkata:” Kami memberi dari uang kami” (HR Bukhari).

J. Kategori Penyembelihan
Amal yang terkait dengan penyembelihan dapat dikategorikan menjadi empat
bagian. Pertama, hadyu; kedua, udhiyah sebagaimana diterangkan di atas; ketiga,
aqiqah; keempat, penyembelihan biasa. Hadyu adalah binatang ternak yang disembelih
di Tanah Haram di hari-hari Nahr karena melaksanakan haji Tamattu dan Qiran, atau
meninggalkan di antara kewajiban atau melakukan hal-hal yang diharamkan, baik dalam
haji atau umrah, atau hanya sekedar pendekatan diri kepada Allah SWT sebagai ibadah
sunnah. Aqiqah adalah kambing yang disembelih terkait dengan kelahiran anak pada
hari ketujuh sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Jika yang lahir lelaki
disunnahkan 2 ekor dan jika perempuan satu ekor.
Sedangkan selain bentuk ibadah di atas, masuk ke dalam penyembelihan biasa
untuk dimakan, disedekahkan atau untuk dijual, seperti seorang yang melakukan akad
nikah. Kemudian dirayakan dengan walimah menyembelih kambing. Seorang yang
sukses dalam pendidikan atau karirnya kemudian menyembelih binatang sebagai rasa
syukur kepada Allah SWT dll. Jika terjadi penyembelihan binatang ternak dikaitkan
dengan waktu tertentu, upacara tertentu dan keyakinan tertentu maka dapat digolongkan
pada hal yang bid’ah, sebagaimana yang terjadi di beberapa daerah. Apalagi jika
penyembelihan itu tujuannya untuk syetan atau Tuhan selain Allah maka ini adalah
jelas-jelas sebuah bentuk kemusyrikan.

Anda mungkin juga menyukai