0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
7 tayangan4 halaman
Senyawa alelokimia memiliki potensi sebagai alternatif bioherbisida yang ramah lingkungan untuk pengendalian gulma. Senyawa alelokimia dihasilkan oleh tanaman sebagai metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan gulma melalui berbagai mekanisme seperti menghambat fotosintesis, pertumbuhan sel, dan aktivitas enzim. Kelebihan alelokimia adalah bersifat alami sehingga tidak menimbulkan polusi lingkungan. Namun,
Senyawa alelokimia memiliki potensi sebagai alternatif bioherbisida yang ramah lingkungan untuk pengendalian gulma. Senyawa alelokimia dihasilkan oleh tanaman sebagai metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan gulma melalui berbagai mekanisme seperti menghambat fotosintesis, pertumbuhan sel, dan aktivitas enzim. Kelebihan alelokimia adalah bersifat alami sehingga tidak menimbulkan polusi lingkungan. Namun,
Senyawa alelokimia memiliki potensi sebagai alternatif bioherbisida yang ramah lingkungan untuk pengendalian gulma. Senyawa alelokimia dihasilkan oleh tanaman sebagai metabolit sekunder yang dapat menekan pertumbuhan gulma melalui berbagai mekanisme seperti menghambat fotosintesis, pertumbuhan sel, dan aktivitas enzim. Kelebihan alelokimia adalah bersifat alami sehingga tidak menimbulkan polusi lingkungan. Namun,
Peningkatan jumlah penduduk dunia menuntut sektor pertanian untuk
senantiasa meningkatkan produktivitas tanaman demi mencukupi kebutuhan pangan. Salah satu usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian adalah dengan menerapkan manajemen pengendalian gulma secara presisi. Seiring dengan berkembangnya teknologi, manajemen pengendalian gulma dalam budidaya pertanian mulai melibatkan senyawa aktif sintetik untuk mengontrol pertumbuhan gulma. Namun demikian penggunaan senyawa-senyawa tersebut menyebabkan degradasi kualitas lingkungan serta menyebabkan permasalahan kesehatan bagi manusia maupun organisme lainnya. Di sisi lain, keberadaan gulma harus tetap dikendalikan karena dapat menurunkan produktivitas tanaman. Sehingga, dibutuhkan alternatif-alternatif yang dapat meningkatkan efisiensi dan ketepatan dalam manajemen pengendalian gulma namun tetap berada di dalam koridor keberlanjutan yang ramah lingkungan. Tinjauan ini bertujuan untuk menganalisis serta mengevaluasi potensi senyawa alelokimia secara praktis dalam hal pengendalian gulma yang berkelanjutan.
II. PEMBAHASAN
A. METODE-METODE PENGENDALIAN GULMA
Perkembangan ilmu pengetahuan manusia dalam berbagai aspek telah
mempengaruhi kompleksitas dalam pengendalian gulma. Baik dimulai dari indentifikasi gulma, siklus hidup, pola sebaran dan reproduksi, dormansi biji, pemahaman akan periode kritis dari gulma dalam menyebabkan kerusakan pada tanaman, merupakan beberapa aspek yang dapat membantu dalam mencapai manajemen pengendalian gulma yang berkelanjutan. Prinsip utamanya adalah dengan menekan pertumbuhan gulma dalam agroekosistem, meningkatkan produktivitas tanaman, dan memperkecil potensi kerusakan lingkungan. Umumnya terdapat lima metode utama yang sering dilaksanakan dalam pengendalian gulma, yaitu berdasarkan pada aspek budaya, mekanis, biologis, kimiawi dan yang terakhir adalah manajemen pengendalian gulma secara terpadu.
1. Pengendalian gulma berdasasrkan aspek budaya
Pengendalian gulma berdasarkan pada aspek budaya adalah jenis
pengendalian yang paling lama dilakukan oleh manusia. Dalam metode ini, pengendalian gulma biasanya dilakukan berdasarkan prinsip pemanfaatan kemampuan tanaman budidaya untuk bersaing dengan gulma di dalam agroekosistem. Penerapannya dapat dilakukan misalnya dengan pemanfaatan residu tanaman sebagai mulsa alami, rotasi tanaman, penyesuaian waktu tanam, penggunaan tanaman dengan genotipe unggul, pola pertanaman, dan pengaturan kepadatan tanaman. Seiring dengan perkembangan teknologi, metode-metode ini mulai ditinggalkan. Walaupun demikian untuk mencapai aspek keberlanjutan, teknik-teknik yang dilakukan berdasarkan budaya ini dapat dijadikan referensi sebagai alternatif untuk diintegrasikan ke dalam manajamen pengendalian gulma modern. 2. Pengendalian gulma secara mekanik
Pengendalian gulma secara mekanik juga merupakan salah satu strategi
yang juga telah lama dilakukan. Pada prinsipnya, potensi pertumbuhan gulma ditekan semaksimal mungkin dengan cara memberikan perlakuan secara mekanik atau fisik. Salah satu metodenya adalah dengan melakukan pembajakan lahan baik dengan secara analog maupun dengan menggunakan mesin-mesin robotik. Biasanya cara ini dilakukan sebelum dilakukannya penanaman tanaman utama yang akan dibudidayakan. Di sisi lain, metode ini sebenarnya secara umum ditujukan untuk meningkatkan kesuburan lahan tanam.
3. Pengendalian gulma secara biologis
Pengendalian gulma secara biologis artinya memanfaatkan kemampuan
suatu organisme seperti bakteri, fungi, nematoda, dan serangga untuk menekan laju pertumbuhan gulma. Pada metode ini terdapat dua strategi yaitu strategi klasik dan strategi bioherbisida. Strategi klasik dilakukan dengan cara pelepasan musuh alami gulma ke dalam agroekosistem. Kemampuan reproduktif dari musuh alami ini akan menyebabkannya tetap eksis di dalam agroekosistem, sehingga dapat dilakukan mekanisme pengendalian tidak hanya terjadi dalam satu waktu. Strategi bioherbisida dilakukan berdasarkan kemampuan organisme untuk menghasilkan senyawa yang dapat menenkan laju pertumbuhan gulma. Pada dasarnya strategi ini sama dengan prinsip kerja herbisida sintetik, namun bahan aktif yang dimanfaatkan berasal dari organisme, sehingga dinilai lebih ramah lingkungan.
4. Pengendalian gulma secara kimiawi
Pengendalian gulma dengan herbisida merupakan strategi yang paling
dominan diterapkan dalam budidaya tanaman. Pada prinsipnya herbisida dapat digolongkan berdasarkan cara pengaplikasiannya (penyemprotan atau disebar di tanah), selektivitas (selektif atau non-selektif), kemampuan translokasi atau mobilitasnya (kontak atau sistemik), serta waktu aplikasi (sebelum penanaman komoditas atau sebelum kemunculan gulma atau setelah kemunculan gulma). Secara garis besar, herbisida bekerja untuk mempengaruhi proses fisiologis gulma dengan cara menekan atau menghambat sintesis biomolekul maupun struktur-struktur penting yang berperan secara langsung dalam proses pertumbuhan gulma. Pengendalian gulma dengan herbisida secara masif menyebabkan beberapa permasalahan seperti resistensi gulma terhadap senyawa aktif maupun peningkatan polusi pada lingkungan.
5. Pengendaliaun gulma secara terpadu
Pengendalian gulma secara terpadu dinilai memiliki aspek keberlanjutan
yang paling tinggi. Strategi ini umumnya mengkombinasikan beberapa strategi pengendalian yang berdasarkan budaya seperti rotasi tanaman, penggunaan kultivar resisten dan tanaman penutup, manajemen nutrisi), strategi pengendalian mekanis, biologis, dan kimiawi dengan menggunakan pestisida. Dengan memadukan dari empat strategi utama tersebut diharapkan dapat meminimalisir kekurangan masing-masing strategi, namun di sisi lain dapat mengoptimalkan kombinasi kelebihan dari berbagai strategi yang diterapan. Terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi pengendalian gulma secara terpadu yaitu ambang batas toleransi, ambang batas kerusakan, periode kritis interferensi dan kompetisi.
B. POTENSI PENGENDALIAN GULMA DENGAN PEMANFAATAN SIFAT ALELOPATI
Pengendalian gulma dengan teknik-teknik yang telah disebutkan pada
bagian sebelumnya telah terbukti mampu mengoptimalkan produktivitas tanaman dengan cara menenkan laju pertumbuhan gulma. Namun demikian, teknik tersebut masih belum bias dilepaskan dengan pemanfaatan herbisida, mengingat senyawa herbisida memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode- metode lainnya.
Di samping kemampuannya yang secara efektif mampu mengendalikan
gulma, penggunaan herbisida secara masif dalam budidaya pertanian menimbulkan problematika kompleks terutama dengan penurunan kualitas ekosistem, kesehatan organisme, polusi tanah dan badan air, timbulnya kelompok gulma yang resisten terhadap herbisida, sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk dilakukan pengendalian, kerusakan tanaman atau organisme non-target, hingga kerugias ekonomis bagi petani. Efektivitas yang tinggi pada herbisida disebabkan karena struktur molekulnya yang tidak mudah rusak akibat proses fotodegradasi, perubahan suhu, dan parameter fisik yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa herbisida memiliki nilai persistensi yang tinggi, yang juga berarti sulit untuk didegradasi di dalam lingkungan.
Fenomena ini memberi ruang pada pemanfaatan alelopati sebagai alternatif
dari penggunaan herbisida. Alelopati merupakan suatu fenomena biologis di mana suatu organisme mampu menghasilkan biomolekul yang dapat menekan laju pertumbuhan organisme lainnya, yang dalam hal ini dikhususkan pada gulma. Pada dasarnya, alelopati dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu alelopati sejati dan alelopati fungsional. Alelopati sejati adalah ketika suatu organisme menghasilkan alelokimia secara langsung untuk mempengaruhi pertumbuhan gulma, sedangkan alelopati fungsional adalah ketika hasil dekomposisi dari bagian tubuh organisme (umumnya tumbuhan) mampu menenkan pertumbuhan gulma. Kelebihan dari prinsip alelopati adalah karakter alelokimia yang merupakan senyawa alami, sehingga tidak menghasilkan polutan pada agroekosistem.
Senyawa alelopati biasanya tergolong ke dalam alkaloid, flavonoid, fenol,
tanin, sianohidrin, asam amino, peptida, terpenoid, asam-asam organik, asam benzoat, lakton tak jenuh, asam lemak, kuinon, steroid, benzokuinon, dan poliasitilin. Senyawa ini dihasilkan oleh tanaman-tanamn tertentu dalam tubuhnya sebagai metabolit sekunder yang dilepaskan pada sekitar lingkungan tumbuhnya. Senyawa-senyawa ini bekerja dengan cara menenkan proses fotosintesis, perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan, penyerapan nutrisi, pembelahan sel, menurunkan permeabilitas membran sel, menurunkan aktivitas enzim, mengganggu aktivitas metabolisme asam lemak pada gulma sebagai organisme target. Kelebihan lain dari alelopati adalah dikarenakan tanaman mensekresikan eksudat tidak hanya terdiri dari satu jenis senyawa. Hal ini menyebabkan alelopati memberikan pengaruh yang lebih tinggi daripada pengaplikasian herbisida sintetik, yang mana pada umumnya hanya terdiri dari satu atau dua senyawa aktif. Walaupun demikian dibutuhkan studi, penelitian, serta pertimbangan lebih lanjut yang lebih komprehensif terutama apabila alelokimia justru juga memberikan pengaruh terhadap tanaman komoditas. Hal ini, selain terjadi mekanisme penghambatan tumbuh gulma, juga dapat menurunkan produktivitas dalam dalam budidaya pertanian. Beberapa kandidat tanaman yang dapat dimanfaatkan sifat alelopatinya adalah tanaman obat-obatan. Hal tersebut dikarenakan keragaman jenis tanaman obat yang tinggi, sehingga dimungkinkan memiliki potensi untuk menghasilkan beragam metabolit sekunder untuk menekan pertumbuhan gulma. Sifat dan karakter masing-masing alelokimia yang dihasilkan juga dapat turut menjadi faktor penentu efisiensi dari pemanfaatannya sebagai agen pengendali gulma. Terlebih lagi, karakter utama dari sebagian besar alelokimia adalah mudah terdegradasi akibat paparan parameter-parameter fisik dalam lingkungan. Hal ini harus terus ditingkatkan, terutama perihal fungsinya sebagai substitusi terhadap herbisida sintetik yang dikenal efektif karena sifatnya yang persisten di dalam lingkungan.
III. KESIMPULAN
Alelopati memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai alternatif penggunaan
herbisida sintetik dalam manajemen pengendalian gulma. Alelokimia yang dihasilkan oleh suatu tanaman dinilai lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan herbisida sintetik, sehingga dapat digunakan untuk mendukung budidaya pertanian yang berkelanjutan. Namun sifatnya yang mudah terdegradasi menyebabkan penggunaan alelokimia dinilai kurang efisien jika dibandingkan dengan penggunaan herbisida sintetik yang lebih persisten di lingkungan. Selain itu, interaksi antara tanaman penghasil alelokimia dengan tanaman budidaya juga harus dipertimbangkan untuk mengoptimalkan produktivitas dalam budidaya pertanian.
IV. REFERENSI
Mehdizadeh, M., & Mushtaq, W. 2020. Biological Control of Weeds by Allelopathic
Compounds from Different Plants: A Bioherbicide Approach. In Natural Remedies for Pest, Disease and Weed Control. Elsevier Inc. https://doi.org/10.1016/B978-0-12-819304-4.00009-9