Anda di halaman 1dari 4

POTENSI SENYAWA ALELOKIMIA SEBAGAI BIOHERBISDA

I. PENDAHULUAN

Peningkatan jumlah penduduk dunia menuntut sektor pertanian untuk


senantiasa meningkatkan produktivitas tanaman demi mencukupi kebutuhan pangan.
Salah satu usaha untuk meningkatkan efisiensi produksi pertanian adalah dengan
menerapkan manajemen pengendalian gulma secara presisi. Seiring dengan
berkembangnya teknologi, manajemen pengendalian gulma dalam budidaya pertanian
mulai melibatkan senyawa aktif sintetik untuk mengontrol pertumbuhan gulma. Namun
demikian penggunaan senyawa-senyawa tersebut menyebabkan degradasi kualitas
lingkungan serta menyebabkan permasalahan kesehatan bagi manusia maupun
organisme lainnya. Di sisi lain, keberadaan gulma harus tetap dikendalikan karena dapat
menurunkan produktivitas tanaman. Sehingga, dibutuhkan alternatif-alternatif yang
dapat meningkatkan efisiensi dan ketepatan dalam manajemen pengendalian gulma
namun tetap berada di dalam koridor keberlanjutan yang ramah lingkungan. Tinjauan ini
bertujuan untuk menganalisis serta mengevaluasi potensi senyawa alelokimia secara
praktis dalam hal pengendalian gulma yang berkelanjutan.

II. PEMBAHASAN

A. METODE-METODE PENGENDALIAN GULMA

Perkembangan ilmu pengetahuan manusia dalam berbagai aspek telah


mempengaruhi kompleksitas dalam pengendalian gulma. Baik dimulai dari
indentifikasi gulma, siklus hidup, pola sebaran dan reproduksi, dormansi biji,
pemahaman akan periode kritis dari gulma dalam menyebabkan kerusakan pada
tanaman, merupakan beberapa aspek yang dapat membantu dalam mencapai
manajemen pengendalian gulma yang berkelanjutan. Prinsip utamanya adalah
dengan menekan pertumbuhan gulma dalam agroekosistem, meningkatkan
produktivitas tanaman, dan memperkecil potensi kerusakan lingkungan. Umumnya
terdapat lima metode utama yang sering dilaksanakan dalam pengendalian gulma,
yaitu berdasarkan pada aspek budaya, mekanis, biologis, kimiawi dan yang terakhir
adalah manajemen pengendalian gulma secara terpadu.

1. Pengendalian gulma berdasasrkan aspek budaya

Pengendalian gulma berdasarkan pada aspek budaya adalah jenis


pengendalian yang paling lama dilakukan oleh manusia. Dalam metode ini,
pengendalian gulma biasanya dilakukan berdasarkan prinsip pemanfaatan
kemampuan tanaman budidaya untuk bersaing dengan gulma di dalam
agroekosistem. Penerapannya dapat dilakukan misalnya dengan pemanfaatan
residu tanaman sebagai mulsa alami, rotasi tanaman, penyesuaian waktu tanam,
penggunaan tanaman dengan genotipe unggul, pola pertanaman, dan
pengaturan kepadatan tanaman. Seiring dengan perkembangan teknologi,
metode-metode ini mulai ditinggalkan. Walaupun demikian untuk mencapai
aspek keberlanjutan, teknik-teknik yang dilakukan berdasarkan budaya ini dapat
dijadikan referensi sebagai alternatif untuk diintegrasikan ke dalam manajamen
pengendalian gulma modern.
2. Pengendalian gulma secara mekanik

Pengendalian gulma secara mekanik juga merupakan salah satu strategi


yang juga telah lama dilakukan. Pada prinsipnya, potensi pertumbuhan gulma
ditekan semaksimal mungkin dengan cara memberikan perlakuan secara
mekanik atau fisik. Salah satu metodenya adalah dengan melakukan
pembajakan lahan baik dengan secara analog maupun dengan menggunakan
mesin-mesin robotik. Biasanya cara ini dilakukan sebelum dilakukannya
penanaman tanaman utama yang akan dibudidayakan. Di sisi lain, metode ini
sebenarnya secara umum ditujukan untuk meningkatkan kesuburan lahan
tanam.

3. Pengendalian gulma secara biologis

Pengendalian gulma secara biologis artinya memanfaatkan kemampuan


suatu organisme seperti bakteri, fungi, nematoda, dan serangga untuk menekan
laju pertumbuhan gulma. Pada metode ini terdapat dua strategi yaitu strategi
klasik dan strategi bioherbisida. Strategi klasik dilakukan dengan cara pelepasan
musuh alami gulma ke dalam agroekosistem. Kemampuan reproduktif dari
musuh alami ini akan menyebabkannya tetap eksis di dalam agroekosistem,
sehingga dapat dilakukan mekanisme pengendalian tidak hanya terjadi dalam
satu waktu. Strategi bioherbisida dilakukan berdasarkan kemampuan organisme
untuk menghasilkan senyawa yang dapat menenkan laju pertumbuhan gulma.
Pada dasarnya strategi ini sama dengan prinsip kerja herbisida sintetik, namun
bahan aktif yang dimanfaatkan berasal dari organisme, sehingga dinilai lebih
ramah lingkungan.

4. Pengendalian gulma secara kimiawi

Pengendalian gulma dengan herbisida merupakan strategi yang paling


dominan diterapkan dalam budidaya tanaman. Pada prinsipnya herbisida dapat
digolongkan berdasarkan cara pengaplikasiannya (penyemprotan atau disebar di
tanah), selektivitas (selektif atau non-selektif), kemampuan translokasi atau
mobilitasnya (kontak atau sistemik), serta waktu aplikasi (sebelum penanaman
komoditas atau sebelum kemunculan gulma atau setelah kemunculan gulma).
Secara garis besar, herbisida bekerja untuk mempengaruhi proses fisiologis
gulma dengan cara menekan atau menghambat sintesis biomolekul maupun
struktur-struktur penting yang berperan secara langsung dalam proses
pertumbuhan gulma. Pengendalian gulma dengan herbisida secara masif
menyebabkan beberapa permasalahan seperti resistensi gulma terhadap
senyawa aktif maupun peningkatan polusi pada lingkungan.

5. Pengendaliaun gulma secara terpadu

Pengendalian gulma secara terpadu dinilai memiliki aspek keberlanjutan


yang paling tinggi. Strategi ini umumnya mengkombinasikan beberapa strategi
pengendalian yang berdasarkan budaya seperti rotasi tanaman, penggunaan
kultivar resisten dan tanaman penutup, manajemen nutrisi), strategi
pengendalian mekanis, biologis, dan kimiawi dengan menggunakan pestisida.
Dengan memadukan dari empat strategi utama tersebut diharapkan dapat
meminimalisir kekurangan masing-masing strategi, namun di sisi lain dapat
mengoptimalkan kombinasi kelebihan dari berbagai strategi yang diterapan.
Terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi pengendalian gulma
secara terpadu yaitu ambang batas toleransi, ambang batas kerusakan, periode
kritis interferensi dan kompetisi.

B. POTENSI PENGENDALIAN GULMA DENGAN PEMANFAATAN SIFAT ALELOPATI

Pengendalian gulma dengan teknik-teknik yang telah disebutkan pada


bagian sebelumnya telah terbukti mampu mengoptimalkan produktivitas tanaman
dengan cara menenkan laju pertumbuhan gulma. Namun demikian, teknik tersebut
masih belum bias dilepaskan dengan pemanfaatan herbisida, mengingat senyawa
herbisida memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode-
metode lainnya.

Di samping kemampuannya yang secara efektif mampu mengendalikan


gulma, penggunaan herbisida secara masif dalam budidaya pertanian menimbulkan
problematika kompleks terutama dengan penurunan kualitas ekosistem, kesehatan
organisme, polusi tanah dan badan air, timbulnya kelompok gulma yang resisten
terhadap herbisida, sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk dilakukan
pengendalian, kerusakan tanaman atau organisme non-target, hingga kerugias
ekonomis bagi petani. Efektivitas yang tinggi pada herbisida disebabkan karena
struktur molekulnya yang tidak mudah rusak akibat proses fotodegradasi,
perubahan suhu, dan parameter fisik yang lain. Hal ini menunjukkan bahwa
herbisida memiliki nilai persistensi yang tinggi, yang juga berarti sulit untuk
didegradasi di dalam lingkungan.

Fenomena ini memberi ruang pada pemanfaatan alelopati sebagai alternatif


dari penggunaan herbisida. Alelopati merupakan suatu fenomena biologis di mana
suatu organisme mampu menghasilkan biomolekul yang dapat menekan laju
pertumbuhan organisme lainnya, yang dalam hal ini dikhususkan pada gulma. Pada
dasarnya, alelopati dapat digolongkan ke dalam dua jenis, yaitu alelopati sejati dan
alelopati fungsional. Alelopati sejati adalah ketika suatu organisme menghasilkan
alelokimia secara langsung untuk mempengaruhi pertumbuhan gulma, sedangkan
alelopati fungsional adalah ketika hasil dekomposisi dari bagian tubuh organisme
(umumnya tumbuhan) mampu menenkan pertumbuhan gulma. Kelebihan dari
prinsip alelopati adalah karakter alelokimia yang merupakan senyawa alami,
sehingga tidak menghasilkan polutan pada agroekosistem.

Senyawa alelopati biasanya tergolong ke dalam alkaloid, flavonoid, fenol,


tanin, sianohidrin, asam amino, peptida, terpenoid, asam-asam organik, asam
benzoat, lakton tak jenuh, asam lemak, kuinon, steroid, benzokuinon, dan
poliasitilin. Senyawa ini dihasilkan oleh tanaman-tanamn tertentu dalam tubuhnya
sebagai metabolit sekunder yang dilepaskan pada sekitar lingkungan tumbuhnya.
Senyawa-senyawa ini bekerja dengan cara menenkan proses fotosintesis,
perkecambahan, pertumbuhan dan perkembangan, penyerapan nutrisi, pembelahan
sel, menurunkan permeabilitas membran sel, menurunkan aktivitas enzim,
mengganggu aktivitas metabolisme asam lemak pada gulma sebagai organisme
target. Kelebihan lain dari alelopati adalah dikarenakan tanaman mensekresikan
eksudat tidak hanya terdiri dari satu jenis senyawa. Hal ini menyebabkan alelopati
memberikan pengaruh yang lebih tinggi daripada pengaplikasian herbisida sintetik,
yang mana pada umumnya hanya terdiri dari satu atau dua senyawa aktif.
Walaupun demikian dibutuhkan studi, penelitian, serta pertimbangan lebih
lanjut yang lebih komprehensif terutama apabila alelokimia justru juga memberikan
pengaruh terhadap tanaman komoditas. Hal ini, selain terjadi mekanisme
penghambatan tumbuh gulma, juga dapat menurunkan produktivitas dalam dalam
budidaya pertanian. Beberapa kandidat tanaman yang dapat dimanfaatkan sifat
alelopatinya adalah tanaman obat-obatan. Hal tersebut dikarenakan keragaman
jenis tanaman obat yang tinggi, sehingga dimungkinkan memiliki potensi untuk
menghasilkan beragam metabolit sekunder untuk menekan pertumbuhan gulma.
Sifat dan karakter masing-masing alelokimia yang dihasilkan juga dapat turut
menjadi faktor penentu efisiensi dari pemanfaatannya sebagai agen pengendali
gulma. Terlebih lagi, karakter utama dari sebagian besar alelokimia adalah mudah
terdegradasi akibat paparan parameter-parameter fisik dalam lingkungan. Hal ini
harus terus ditingkatkan, terutama perihal fungsinya sebagai substitusi terhadap
herbisida sintetik yang dikenal efektif karena sifatnya yang persisten di dalam
lingkungan.

III. KESIMPULAN

Alelopati memiliki potensi untuk dimanfaatkan sebagai alternatif penggunaan


herbisida sintetik dalam manajemen pengendalian gulma. Alelokimia yang dihasilkan
oleh suatu tanaman dinilai lebih ramah lingkungan jika dibandingkan dengan herbisida
sintetik, sehingga dapat digunakan untuk mendukung budidaya pertanian yang
berkelanjutan. Namun sifatnya yang mudah terdegradasi menyebabkan penggunaan
alelokimia dinilai kurang efisien jika dibandingkan dengan penggunaan herbisida sintetik
yang lebih persisten di lingkungan. Selain itu, interaksi antara tanaman penghasil
alelokimia dengan tanaman budidaya juga harus dipertimbangkan untuk
mengoptimalkan produktivitas dalam budidaya pertanian.

IV. REFERENSI

Mehdizadeh, M., & Mushtaq, W. 2020. Biological Control of Weeds by Allelopathic


Compounds from Different Plants: A Bioherbicide Approach. In Natural
Remedies for Pest, Disease and Weed Control. Elsevier Inc.
https://doi.org/10.1016/B978-0-12-819304-4.00009-9

Anda mungkin juga menyukai