Anda di halaman 1dari 30

1

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu
memberikan nikmat, rahmat dan kemudahan kepada penulis sehingga penulis
dapat menyelesaikan proposal skripsi ini. Shalawat serta salam juga tak lupa
penulis curahkan kepada Nabi penyempurana Agama dan manusia terbaik
sepanjang zaman yaitu Nabi Muhammad SAW beserta sahabat dan keluarganya.
Penyususnan Proposal Skripsi yang berjudul “PEMANFAATAN
APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DAN
PENGINDERAAN JAUH UNTUK PEMETAAN DAERAH RAWAN
KEKERINGAN DI KABUPATEN SUKABUMI” ini tentunya tidak terlepas
dari bantuan berbagai pihak khususnya bagi seluruh Dosen Geografi di Jurusan
Pendidikan IPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Dosen Pembimbing
Akademik penulis yang selalu memberikan ilmu yang bermanfaat serta dorongan
bagi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan Proposal Skripsi ini. Maka
dari itu, penulis menyampaikan terimakasih.
Penulis sangat menyadari berbagai kekurangan yang dimiliki baik dalam
segi isi, bahasa ataupun sistematika penulisan sehingga dalam penulisan proposal
skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, maka dari itu penulis
sangat mengharapkan adanya kritik yang membangun dan saran dari seluruh
pihak demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga proposal skripsi ini
dapat bermanfaat dan digunakan sebagaimana mestinya.
Jakarta, 07 September 2016.

Penulis.
2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................1
DAFTAR ISI........................................................................................................2
BAB I...................................................................................................................3
A. Latar Belakang Masalah............................................................................3
B. Identifikasi Masalah..................................................................................5
D. Rumusan Masalah.....................................................................................6
E. Tujuan Penelitian.......................................................................................6
BAB II..................................................................................................................8
A. Kekeringan................................................................................................8
B. Sistem Informasi Geografis (SIG)...........................................................10
C. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)......................................................13
D. Identifikasi Daerah Rawan Kekeringan..................................................16
E. Hasil Penelitian yang Relevan.................................................................19
F. Kerangka Berfikir....................................................................................22
BAB III...............................................................................................................23
A. Tempat dan Waktu Penelitian.................................................................23
B. Metode Penelitian....................................................................................24
C. Alat dan Bahan........................................................................................24
D. Variabel Penelitian..................................................................................25
E. Populasi dan Sampel...............................................................................25
F. Teknik Pengumpulan Data......................................................................25
G. Teknik Analisis Data...............................................................................26
H. Uji Ketelitian Interpretasi Citra...............................................................27
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................29
3

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Perkembangan globalisasi yang diiringi dengan fenomena perubahan iklim
telah banyak menciptakan berbagai permasalahan lingkungan di permukaan bumi.
Pada hakekatnya permasalahan lingkungan akan muncul ketika terjadi eksploitasi
tanpa adanya prinsip pembangunan berkelanjutan didalamnya, sehinga banyak
terjadi permasalahan lingkungan baik secara signifikan ataupun perlahan menjadi
perusak keseimbangan lingkungan saat ini.
Indonesia merupakan negara yang memiliki iklim tropis, menurut laporan
BMKG pada Juli 2015 beberapa wilayah di Indonesia telah mengalami hari tanpa
hujan berturut-turut sangat panjang seperti Jawa, Sulawesi Utara, NTB dab NTT.
Hal ini disebabkan oleh kondisi El Nino sehingga dapat mengakibatkan
mundurnya awal musim hujan di daerah-daerah tersebut.1
Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu wilayah yang berada di
Provinsi Jawa Barat, letaknya berada diantara Kabupaten Bogor dan Cianjur.
Keberadaan Kabupaten Sukabumi yang cukup strategis dan berdekatan dengan
kota-kota besar seperti Tangerang, Bekasi, Jakarta, Bandung dan Bogor
menyebabkan wilayah ini menjadi kawasan yang digunakan sebagai pusat
pertumbuhan industri perusahaan-perusahaan besar terutama perusahaan Air.
Struktur penggunaan lahan di Kabupaten Sukabumi antara tahun 1994-2002
mengalami perubahan pada beberapa jenis penggunaan lahan tertentu dengan
cukup besar. Jenis-jenis penggunaan lahan yang mengalami pengurangan di
Kabupaten Sukabumi dari tahun 1997-2006 antara lain hutan 12,77%, sawah
10,15% dan semak belukar 56,09% sedangkan penggunaan lahan yang mengalami
peningkatan adalah kebun 28,67%, tegalan 6,56% dan pemukiman 183,12%.2 Hal
ini mencerminkan terjadinya perubahan penggunaan yang cukup besar, lahan
yang sebelumnya merupakan wilayah terbuka hijau yang berfungsi sebagai
penyimpan cadangan air menjadi kawasan pemukiman dan industri. Contoh
beberapa perusahaan air yang besar yang berada di Kabupaten Sukabumi adalah
1
BMKG. 2015 “Press Release Kekeringan 2015”, diakses pada www.bmkg.go.id pada
tanggal 17 November 2016.
2
Abdul Muiz, 2015. “Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi”,
Thesis pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.
4

PT. Aqua Danone, Yakult, Pocari Sweat, dan Vit. Hal ini juga disebabkan oleh
keberadaan Gunung Salak sebagai Gunung yang memiliki sumber daya air yang
melimpah.
Perubahan penggunaan lahan atau alih fungsi lahan yang diakibatkan oleh
pertumbuhan industri besar dan pemukiman yang berada di Kabupaten Sukabumi
memberikan dampak negatif pada aspek lain yaitu ketersediaan air tanah bagi
masyarakat sekitar yang mulai menurun dan anehnya kawasan Sukabumi yang
notabenenya berada di kaki gunung justru mengelami kekeringan panjang pada
musim kemarau. Seperti halnya terjadi di Kecamatan Kalapanunggal, pada musim
kemarau masyarakat mengalami kekeringan yang diakibatkan berkurangnya debit
air sumur dan air tanah sehingga masyarakat mengalami kesulitan dalam
mendapatkan air bersih. Selain itu Kecamatan Kabandungan yang berada di
bawah kaki Gunung Salak justru masyarakatnya harus menggunakan jasa PAM
sebagai pemasok air bersih.
Seperti halnya juga terjadi dilansir pada kompasiana.com pada tanggal 28
Juli 2015, empat kecamatan di Kabupaten Sukabumi mengalami kesulitan
mendapatkan air bersih pada musim kemarau. Keempat kecamatan tersebut adalah
Bantargadung, Warungkiara, Ciracap dan Gegerbitung. Belasan warga mengantre
di sebuah bendungan bekas aliran sungai, sambil membawa jerigen ukuran 10 dan
20 liter, air terlihat berwarna kehijauan disekitarnya tampak berlumut dan kotor. 3
Selain itu, dilansir pada antarabogor.com pada tanggal 26 Juni 2012, 10 dari 47
kecamatan di Kabupaten Sukabumi mengalami kekurangan air bersih menjelang
musim kemarau, kata kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana
BPBD Kabupaten Sukabumi, kesepuluh kecamatan tersebut mayoritas berada di
kawasan Sukabumi Selatan.4 Hal ini juga didukung oleh berita yang dilansir oleh
jabar.pojoksatu.id yang menyatakan bahwa tak kurang dari sepuluh kecamatan di
Kabupaten Sukabumi merasakan dampak kekeringan dan sulit mencari air bersih.5
3
Dheandra Kusumah, Eksploitasi Air di Sukabumi Penyebab Kekeringan?, diakses pada
http://www.kompasiana.com/deandrakusumah/eksploitasi-air-di-sukabumi-penyebab-
kekeringan_55b71e413eafbd3d06ca2c3f tanggal 28 Juli 2015. dilihat pada 2 November 2016.
4
Aditya, Sepuluh Kecamatan di Sukabumi Rawan Air Bersih, diakses pada
http://www.antarabogor.com/berita/2012/sepuluh-kecamatan-di-sukabumi-rawan-air-bersih
tanggal 26 Juni 2012. dilihat pada 2 November 2016.
5
Faska, 10 Kecamatan di Sukabumi Krisis Air Bersih, diakses pada
http://jabar.pojoksatu.id/sukabumi/2015/09/21/10-kecamatan-di-sukabumi-krisis-air-bersih/ dilihat
pada 2 November 2016.
5

Fenomena ini memberikan daya tarik tersendiri bagi penulis yang berlatar
belakang berasal dari Kabupaten Sukabumi untuk melihat wilayah mana sajakah
di Kabupaten Sukabumi yang memiliki tingkat rawan kekeringan tinggi, sedang
dan rendah sehingga kedepannya baik pihak pemerintah maupun masyarakat
dapat mengetahui dan mencari solusi yang mampu memecahkan masalah
kekeringan yang berada di kawasannya masing-masing sehingga masyarakat tidak
lagi mengalami kesulitan khususnya dalam mendapatkan pasokan air bersih.
Kurangnya data serta berisi informasi daerah potensial kekeringan turut
berperan sebagai penghambat penyelesaian masalah kekeringan yang berada di
Kabupaten Sukabumi, sehingga saat ini sangat diperlukan peta-peta tersebut
mengingat kekeringan merupakan suatu masalah yang berdampak serius pada
hampir seluruh sektor kehidupan. Peta yang berkaitan dengan kekeringan
hendaknya merupakan perta yang bergeoreferensi. Pembuatan peta yang
bergeoreferensi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik Sistem Informasi
Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh.6 Informasi detail topografi seperti
gunung, danau, sungai, lembah dan tanag sangat diperlukan sebagai masukan
dalam perencanaan suatu wilayah, oleh karenanya peta-peta yang memperlihatkan
informasi mengenai jenis tanah, kualitas, lokasi dan lapisan tanah (bedrock)
menjadi penting. Keberadaan peta menjadi sangat umum dan penting bersama
dengan pesatnya kemajuan di dunia perencanaan.7
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas maka perlu dilakukan
penelitian mengenai potensi daerah rawan kekeringan yang berada di Kabupaten
Sukabumi, dalam hal ini penulis membuat proposal skripsi dengan judul
“Pemanfaatan Aplikasi Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh
untuk Pemetaan Daerah Rawan Kekeringan di Kabupaten Sukabumi”.

B. Identifikasi Masalah
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekeringan sangat banyak, antara lain:
curah hujan, kondisi tanah, vegetasi, penggunaan lahan dan aliran sungai. Maka
identifikasi masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
Dzulfikar Habibi Jamil, “Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten,” Skripsi pada Universitas Negeri Semarang,
Semarang, h.3, tidak dipublikasikan.
7
Eddy Prahasta. “Sistem Informasi Geografis:Konsep-konsep Dasar (Perspektif Geodesi &
Geomatika)”. (Bandung: Informatika, 2014). h. 35-36.
6

1. Masyarakat mengalami kesulitan air bersih ketika terjadi musim kemarau.


2. Kurangnya data pemetaan mengenai daerah rawan kekeringan di Kabupaten
Sukabumi yang disosialisasikan kepada masyarakat.
3. Banyaknya perubahan penggunaan lahan dari kawasan terbuka hijau menjadi
industri mengakibatkan semakin berkurangnya daerah resapan air yang
berfungsi menampung cadangan air tanah.
C. Pembatasan Masalah
Mengingat waktu dan data yang terbatas, maka masalah yang mencoba
penulis teliti adalah mengenai daerah-daerah mana sajakah di Kabupaten
Sukabumi yang memiliki tingkat rawan kekeringan. Kemudian, data yang
digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini adalah data citra yang diambil tahun
2005, 2010 dan 2015, serta faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kekeringan
di Kabupaten Sukabumi berupa curah hujan, suhu, indeks vegetasi, sungai
(drainase) dan tanah.

D. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, pertanyaan masalah
yang diangkat dalam penelitian ini adalah Bagaimana sebaran wilayah potensi
kekeringan di Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan aplikasi Sistem
Informasi Geografis dan Penginderaan jauh?

E. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui sebaran wilayah
potensi kekeringan di Kabupaten Sukabumi dengan menggunakan aplikasi Sistem
Informasi Geografis dan Penginderaan jauh.

F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Bagi Penulis
7

Penelitian ini akan membantu peneliti dalam meningkatkan


wawasan penulis mengenai manfaat penginderaan jauh dan sistem
informasi geografis dalam mengkapi kekeringan.
b. Bagi Bidang Pendidikan
Studi mengenai penginderaan jauh dan sistem informasi geografis
serta kekeringan terdapat pada mata pelajaran SMA kelas XI dan kelas
XII dalam bab Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis serta
Mitigasi Bencana, sehingga penelitian ini dapat bermanfaat sebagai
salah satu referensi pendukung dalam mengkaji bab-bab tersebut.
c. Bagi Pembaca
Penelitian ini meliputi kajian tentang rawan kekeringan, faktor-
faktor yang mempengaruhi kekeringan, serta penggunaan aplikasi
sistem informasi geografis dan penginderaan jauh. Maka penelitian ini
dapat menambah wawasan sekaligus pemahaman bagi pembaca.
d. Bagi Peneliti Lain
Penelitian diharapkan berguna sebagai bahan bandingan bagi penelitian
mengenai kerawanan kekeringan yang sudah ataupun akan dilakukan,
serta hal-hal yang tidak sempat diteliti dalam penelitian ini hendaknya
diteliti oleh peneliti lain di masa yang akan datang, penulis juga
beharap bahwa penelitian ini dapat menjadi salah satu referensi dalam
penelitian lain yang relevan.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
8

A. Kekeringan
1. Pengertian Kekeringan
Kekeringan (drought) merupakan suatu bencana alam yang terjadi
ketika ketersediaan air mengalami kekurangan untuk memenuhi kebutuhan
manusia. Kekeringan pada dasarnya adalah keadaan kekurangan pasokan
air pada suatu daerah untuk berbagai kegiatan, kelompok-kelompok dan
sektor lingkungan dalam masa berkepanjangan dapat mencapai beberapa
bulan hingga tahunan.8 Dalam pengertian lain kekeringan diartikan sebagai
hubungan ketersediaan air yang jauh dibawah kebutuhan baik untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.9
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
bencana, kekeringan dikategorikan sebagai bencana alam atau peristiwa
yang disebabkan oleh alam. Secara spesifik, kekeringan didefinisikan
sebagai ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air untuk
kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan.10
Terjadinya peristiwa kekeringan ditandai oleh beberapa gejala
antara lain11:
a. Menurunnya tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim.
Pengukuran kekeringan meterorologis merupakan indikasi pertama
adanya kekeringan.
b. Terjadinya kekurangan pasokan air permukaan dan air tanah.
Kekeringan ini diukur berdasarkan elevasi muka air sungai, waduk,
dan elevasi muka air tanah.
c. Terjadinya kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah)
sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tanaman tertentu pada
pase tertentu pada suatu wilayah yang menyebabkan tanaman menjadi
rusak/mengering.
8
Whilhite dab Svodova dalam UNDP 2011 dalam Nina Widiana Darojati, “Pemantauan
Bahaya Kekeringan dan Analisis Resiko Kekeringan di Kabupaten Indramayu”, Tesis pada
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor, Repositori Institut Pertanian Bogor. 2015.
h.1
9
Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia (Jakarta: Badan
Koordinasi Nasional Penangan Bencana, BAKORNAS PB, 2007), h.33
10
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dalam Erna Sri Adiningsih, “Tinjauan Parameter
Kekeringan Berbasis Data Penginderaan Jauh”, dalam Proseeding Seminar Nasional Penginderaan
Jauh, 2014, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional h. 212
11
Ibid. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia h. 36
9

2. Jenis-Jenis Kekeringan
Bencana kekeringan dibagi menjadi beberapa jenis12, antara lain:
a. Kekeringan Alamiah
Jenis kekeringan ini merupakan kekeringan yang murni disebabkan
oleh proses alamiah tanpa adanya campur tangan manusia.
Kekeringan ini dibagi lagi menjadi beberapa jenis, antara lain:
1) Kekeringan Meterologis, merupakan kekeringan yang berkaitan
dengan tingkat curah hujan di bawah normal dalam satu musim.
2) Kekeringan Hidrologis, merupakan kekeringan yang berkaitan
dengan kekurangan pasokan air permukaan tanan dan air tanah.
3) Kekeringan Pertanian, merupakan kekeringan yang berhubungan
dengan kekurangan lengas tanah (kandungan air dalam tanah).
4) Kekeringan Sosial Ekonomi, merupakan kekeringan yang
berkaitan dengan kondisi dimana pasokan komoditi ekonomi
kurang dari kebutuhan normal akibat terjadinya kekeringan
meteorologi, hidrologi, dan pertanian.
b. Kekeringan Antropogenik
Jenis kekeringan ini merupakan kekeringan yang disebabkan karena
ketidak-taatan manusia pada suatu peraturan, karena:
1) Kebutuhan air lebih besar dari pasokan yang direncanakan akibat
ketidaktaatan pengguna terhadap pola tanam/penggunaan air.
2) Kerusakan kawasan tangkapan air, sumber-sumber air akibat
manusia.

Berbagai jenis kekeringan diatas pada dasarnya merupakan suatu


kesenjangan antara kebutuhan manusia dengan ketersediaan air disuatu
wilayah pada waktu tertentu, sehingga dibutuhkan adanya
penanggulangan dan solusi untuk meminimalisir terjadinya bencana
kekeringan tersebut.

3. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Kekeringan

12
Ibid. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. h. 33
10

Dari data historis, kekeringan di Indonesia sangat berkaitan dengan


fenomena ENSO (El-Nino Southern Osciliation)13, namun ada beberapa
faktor lain yang mempengaruhi terjadinya kekeringan14, antara lain:
a. Curah hujan yang rendah
b. Suhu udara yang tinggi
c. Kelembapan tanah yang rendah
d. Kurangnya daerah tangkapan air
e. Minimnya sumber air
f. Topografi
g. Kurangnya ruang terbuka hijau (RTH)
h. Tutupan lahan

B. Sistem Informasi Geografis (SIG)


1. Pengertian Sistem Informasi Geografis (SIG)
Istilah sistem informasi geografis diartikan sebagai suatu sistem
berdasarkan komputer yang mempunyai kemampuan untuk menangani
data yang bereferensi geografi (gereference) dalam hal pemasukan,
manajemen data, memanipulasi dan mengalisis serta pengembangan
produk dan percetakan.15 Menurut Bakosurtanal (Badan Kordinasi dan
Pemetaan Nasional) atau yang saat ini namanya menjadi BIG (Badan
Informasi Geospasial) sistem informasi geografis adalah kumpulan
yang terorganisir dari perangkat keras komputer, perangkat lunak, data
geografi dan personal yang di desain untuk memperoleh, menyimpan,
memperbaiki, memanipulasi, menganalisis, dan menampilkan semua
bentuk informasi yang bereferensi geospasial.16 Berdasarkan
pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa sistem informasi geografis
merupakan suatu sistem komputer untuk mengolah informasi yang

13
Ibid. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia. h. 34
14
Miftahudin, “Analisis Spasial Indeks Kekeringan di Wilayah Kabupaten Subang” dalam
Skripsi pada Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor, (Bogor, 2016) h. 1.
tidak dipublikasikan.
15
Aronoff, “Geographic Information Systems: A Management Perspective Ottawa” dalam
Puji Waluyo, “Distibusi Spasial Permukaan dan Kecukupan Ruang Terbuka Hijau di Kota
Semarang” Skripsi pada Program Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan
Ekowisata Institut Pertanian Bogor, Bogor, h. 16. tidak dipublikasikan.
16
Sodikin, “Sistem Informasi Geografis & Penginderaan Jauh”, (Jakarta: tt.p, 2015), h. 199
11

bereferensi geospasial, sistem ini terdiri dari tahap input, proses


sampai dengan output.
2. Komponen Sistem Informasi Geografis (SIG)
Komponen sistem informasi geografis adalah alat-alat
pendukung yang digunakan untuk keperluan kerja dari sistem,
beberapa komponen tersebut terdiri atas:
a. Perangkat keras (Hardware)
Perangkat ini merupakan perangkat komputer yang secara fisik
terlihat yang dapat mendukung analisis geografis dan pemetaan.
Perangkat ini terdiri dari digitizer (alat untuk mengubah data
teristris menjadi data digital), Plotter (alat untuk mencetak peta
yang besar), Printer (alat untuk mencetak peta yang relatif kecil),
CPU atau Central Processing Unit (alat untuk pusat pemrosesan
data digital, VDU/ Visual Display (alat untuk menayangkan hasil
pemrosesan CPU), Disk Drive (alat untuk menghidupkan suatu
program pada CPU) dan Tape Drive (alat untuk menyimpan data
hasil pemrosesan pada CPU).
b. Perangkat Lunak (Software)
Perangkat ini berupa program-program yang mendukung kerja
SIG, seperti input data, proses data, dan output data, disamping
program kerja seperti Mapinpo, Arcview, ArcGis dan sebagainya
c. Brainware
Merupakan komponen yang bertanggungjawab sebagai pelaksana
dalam proses pengumpulan, proses, analisis, dan publikasi data
geografis.17

Seluruh komponen dalam Sistem Informasi Geografis memiliki


keterkaitan satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan selama
program tersebut sedang bekerja.

3. Cara Kerja Sistem Informasi Geografis (SIG)

17
Ibid. Sodikin. h. 200
12

Dalam sistem informasi geografis terdapat beberapa tahapan


kerja, antara lain:18
a. Tahap Perolehan Data
Sistem informasi geografis membutuhkan data masukan sebagai
sumber dalam pemetaan atau analisis informasi geografis. Data
tersebut dapat kita peroleh dari beberapa sumber antara lain data
lapangan (teristris), data peta data citra dan juga database.
b. Tahap Input Data
Setelah sumber data diperoleh baik data lapangan, data peta, data
citra ataupun database dimasukkan kedalam suatu program sistem
informasi geografis yang nantinya akan diolah dan dimanipulasi.
c. Tahap Pengolahan Manipulasi dan Analisis Data
Setelah sumber data geografis dimasukan, kemudian data tersebut
akan diolah melalui serangkaian program sistem informasi
geografis, analisis tersebut dapat berupa:
1) Klasifikasi, yaitu mengelompokkan data spasial menjadi data
spasial yang baru
2) Overlay, yaitu menganalisis dan mengintegrasikan dua atau
lebih data spasial yang berbeda.
3) Networking, yaitu analisis yang mengacu pada jaringan yang
terdiri dari garis-garis dan titik-titik yang saling terhubung.
4) Buffering, yaitu analisis yang akan menghasilkan
buffer/penyangga yang bisa berbentuk lingkaran atau polygon
yang mekingkupi suatu obyek dan luas wilayahnya.
5) Analisis tiga dimensi, yaitu analisis dengan cara data
divisualisasikan dalam bentuk tiga dimensi.
d. Tahap Output Data
Merupakan tahap keluaran yang disajikan dari hasil pengolahan,
manipulasi dan analisis data. Keluaran ini dapat berbentuk peta,
bagan, grafik, tabel, atau berupa hasil-hasil perhitungan.
Gambar 1. Ilustrasi Sub-Sistem SIG

18
Ibid. Sodikin. h. 203-206 Data Manipulation
& Analysis
13

Data
Input SIG Data
Output

Data Management

Sumber: Eddy, Prahasta (Sistem Informasi Geografis: Konsep-Konsep Dasar


(Perspektif Geodesi &Geomatika) (2014:103)

C. Penginderaan Jauh (Remote Sensing)


1. Pengertian Penginderaan Jauh
Penginderaan jauh memiliki beberapa istilah yang berbeda satu
negara dengan negara lainnya, di negara Inggris penginderaan jauh
dikenal dengan remote sensing, di Perancis dikenal dengan teledection,
di Spanyol dikenal dengan sensoria remote, di Jerman dikenal
femerkundung sedangkan di Rusia dikenal dengan distansionaya.19
Menurut Campbell penginderaan jauh diartikan sebagai suatu ilmu
untuk mendapatkan informasi mengenai permukaan bumi seperti lahan
dan air dari citra yang diperoleh dari jarak jauh sedangkan menurut
Curran, penginderaan jauh yaitu penggunaan sensor radiasi
elektromagnetik untuk merekam gambar lingkungan bumi yang dapat
diinterpretasikan sehingga menghasilkan informasi yang berguna.20
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan
bahwa penginderaan jauh adalah suatu teknik yang digunakan untuk
mengambil gambaran muka bumi dari jarak jauh dengan menggunakan
alat-alat tertentu di luar angkasa yang nantinya akan menghasilkan
19
Ibid, Sodikin. h. 1
20
Ibid. Sodikin. h. 2
14

suatu citra atau gambar yang dapat diinterpretasikan sesuai dengan


keadaan di muka bumi sesungguhnya.
2. Sistem Satelit pada Penginderaan Jauh
Pengambilan data pada penginderaan jauh menggunakan dua cara
di luar angkasa dengan menggunakan satelit yang nantinya akan
menghasilkan citra satelit dan kedua menggunakan pesawat dengan
ketinggian di atmosfer yang nantinya akan menghasilkan foto udara.
Konsep dasar penginderaan jau dengan menggunakan sensor jauh
didasarkan pada lima unsur utama, yaitu: sumber energi (transmitter),
gelombang elektromagnetik datang, objek atau target, gelombang
elektromagnetik pantul dan hambur (emisi), serta sensor (receiver).21
Gambar 2. Pengumpulan data/informasi hingga sampai ke pengguna.
citra Citra
Sumber Tenaga
Visual
Data Non Citra

Digital Citra

Obyek/ Pemakai/
Target Pemanfaat

Sumber: Sri Hartati, Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi


Geografis untuk Bidang Ilmu Kebumian: 2009

Terdapat 2 sistem satelit pada penginderaan jauh, antara lain dapat


digambarkan pada tabel 1 berikut:
Tabel 1. Perbedaan antara Sistem Pasif dan Sistem Aktif

Sistem Pasif Sistem Aktif


1. Sumber cahayanya 1. Sumber cahayanya
menggunakan sinar matahari menggunakan sinar buatan.
21
Sri Hartati. “Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi Geografis untuk
Bidang Ilmu Kebumian”. (Bandung: ITB Bandung, 2009). h. 31
15

Misalnya, Lidar dan Radar


2. Menggunakan gelombang 2. Menggunakan gelombang
makro mikro
3. Menggunakan pantukan sinar 3. Dapat beroperasi pada cuaca
matahari berawan
4. Hanya dapat beroperasi pada 4. Dapat beroperasi pada siang
siang hari dan malam hari.
Sumber: Sodikin, Sistem Informasi Geografis dan Penginderaan Jauh,
2015
3. Citra Landsat
Citra merupakan suatu data hasil perolehan pemotretan
permukaan bumi oleh satelit. Citra ini dapat dibedakan menjadi citra
foro atau foto udara dan citra non-foto.
Citra landsat merupakan citra satelit yang awalnya diperlopori
oleh NASA Amerika Serikat dengan diluncurkannya satelit
sumberdaya alam yang pertama, yang disebut ERTS-1, kemudian
satelit ini berganti nama menjadi Landsat. Perkembangan citra landsar
bertahap dari citra landsat 1 sampai dengan saat ini ada citra landsat 8,
landsat ini membawa sensor TM (Thematic Mapper) yang mempunyai
resolusi 30 x 30 m. Terdapat banyak aplikasi dari data Landsat TM
seperti pemetaan penutupan lahan, pemetaan penggunaan lahan,
pemetaan tanah, pemetaan geologi, pemetaan suhu permukaan dan
lain-lain.22 Selain citra landsat terdapat citra lainnya seperti IKONOS,
Quickbird, TERRA, IRS, SPOT 4 dan lainnya tergantung kepada nama
dan jenis satelit yang digunakan.
4. Interpretasi Citra Penginderaan Jauh
Interpretasi citra adalah kegiatan menafsir, mengkaji,
mengidentifikasi, dan mengenali obyek pada citra, selanjutnya menilai
arti penting dari obyek tersebut.23 Dalam pengertian lain interpretasi

22
Ibid. Sodikin. h. 19-21
23
Ibid. Sodikin. h. 39
16

citra (image Interpretation) merupakan sebuah kegiatan memberikan


arti pada objek yang sudah berhasil dikenali.24

D. Identifikasi Daerah Rawan Kekeringan


1. Indeks Vegetasi
Indeks vegetasi adalah indeks yang dihitung dari perbedaan nilai
reflektansi pada kanal tampak dan inframerah dekat. 25 dalam
pengertian lain disebutkan bahwa indeks vegetasi merupakan
perhitungan secara kuantitatif yang digunakan untuk menghitung
biomasa atau kondisi vegetasi yang umumnya dibuat dengan
menggunakan kombinasi beberapa band spektral.26 Selain itu, indeks
vegetasi sering diartikan sebagai suatu bentuk transformasi spektral
yang diterapkan terhadap citra multisaluran untuk menonjolkan aspek
kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan
kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi
klorofil dan sebagainya.27
Indeks vegetasi yang paling sederhana adalah rasio antara pantulan
near infrared (NIR) dan sinar merah. Untuk menghitung indeks
vegetasi terdapat banyak cara, antara lain melalui teknik NDVI
(Normalized Difference Index Vegetasi), yaitu kombinasi antara teknik
penisbahan dengan pengurangan citra.28 Indeks ini dapat dihitung
melalui suatu persamaan

NDVI = (NIR – red) / (NIR + red)

Keterangan:

24
Fajar Astuti Hermawati. “ Pengolahan Citra Digital: Konsep dan Teori”. (Surabaya:
Penerbit Andi, 2013) h. 7
25
Erna Sri Adiningsih, 2014. Tinjauan Metode Deteksi Parameter Kekeringan Berbasis
Data Penginderaan Jauh. Prosiiding pada Seminar Nasional Penginderaan Jauh Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). h. 213.
26
Rizatus Shofiyati dan Dwi Kuncoro G.P. 2007. Inderaja untuk Mengkaji Kekeringan di
Lahan Pertanian (Remote Sensing for Drought Assesment on agricultural Land), artikel pada
Jurnal Informatika Pertanian Vol 16, No. 1. h. 927
27
Danoedoro, Projo. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Andi
Offset. hal 246. dalam Dzulfikar Habibi Jamil, 2013. Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis
Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten. Skripsi pada Jurusan
Geografi Universitas Negeri Semarang. h. 20
28
Ibid. Dzulfikar Habibi Jamil. h. 20
17

NDVI `= Normalized Difference Vegetation Index


NIR = Near Infrared
red = infra merah
Dari persamaan tersebut akan terdapat jawaban berkisar antara -1
sampai +1. Nilai -1 menunjukkan bahwa pada saluran merah memiliki
nilai pantulan maksimum dan pada saluran inframerah dekat memiliki
pantulan minimum. Hal ini menunjukkan daerah non vegetasi. Begitu
sebaliknya, nilai +1 menunjukkan terjadi pantulan maksimum pada
saluran inframerah dekat dan pantulan minimum pada saluran merah,
sehingga menunjukkan area vegetasi kerapatan tinggi.29
2. Indeks Kebasahan dan Kecerahan
Indeks kebasahan adalah indeks yang digunakan untuk menghitung
kelembapan atau kebasahan tanah. Semakin tinggi kelembapan tanah
maka semakin sering tanah tersebut tergenang dan mempunyai
kerawanan yang rendah terhadap kekeringan, dan semakin rendah
kelembapan tanah, maka akan semakin jarang pula tergenang air dan
kerawanan kekeringan juga semakin tinggi. Untuk mengetahui
kebasahan tanah pada suatu tempat dengan menggunakan citra landsat
7 ETM+ dapat menggunakan formula yang merupakan pengalian,
penambahan dan pengurangan pada band 1, band 2, band 3, band 4,
band 5 dan band 7.30
Indeks kecerahan memberikan informasi bahwa permukaan cerah
dipantulkan dari permukaan kering. Semakin gelap tanah, maka
ketersediaan bahan organik lebih tingi, kelembapan tinggi dan
ketersediaan air cukup.
3. Curah Hujan
Curah hujan merupakan ketinggian air hujan yang terkumpul
dalam tempat yang datar, tidak menguap, tidak meresap dan tidak
mengalir. Semakin tinggi curah hujan suatu wilayah maka tingkat
kerawanan kekeringanya semakin rendah, sebaliknya semakin rendah

29
Ibid. Dzulfikar Habibi Jamil. h. 21.
30
Ibid. Dzulfikar Habibi Jamil. h. 22-23.
18

curah hujan maka potensi kekeringan di kawasan tersebut semakin


tinggi.
4. Penggunaan Lahan (Land Use)
Penggunaan lahan sangat berpengaruh terhadap proses
penampungan air. Daerah yang banyak terdapat pepohonan memiliki
tingkat kerawanan kekeringan lebih rendah dibandingkan dengan
daerah yang tidak banyak terdapat pepohonan ataupun sudah banyak
pemukiman dan industri.
Dalam mengidentifikasi rawan kekeringan di gunakan skoring,
nilai skor rendah diberikan pada daerah dengan tutupan lahan
didominasi oleh pepohonan sedangkan skor tinggi untuk daerah
dengan penutup lahan minim pepohonan atau tanpa pepohonan.
Tabel 2. Klasifikasi Penggunaan Lahan terhadap Kekeringan.

No Penggunaan Lahan Skor


1 Tanah terbuka, lahan terbangun (pemukiman) 4
2 Pertanian lahan kering, tegalan, sawah 3
3 Semak 2
4 Hutan, kebun campuran, perkebunan, tambak 1
5 Badan Air 0
Sumber: Fersely, 2007 dalam Dzulfikar Habibi, 2013.
5. Tanah
Tanah merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi terhadap
potensi kekeringan. Hal ini disebabkan karena tanah merupakan tempat
terjadinya infiltrasi dan perkolasi yang sangat berpengaruh terhadap
ketersediaan air permukaan yang ada di suatu wilayah. Infiltrasi
(infiltration) merupakan gerakan air ke bawah melalui permukaan
tanah ke dalam profil tanah. Infiltrasi sangat berguna bagi ketersediaan
tanah untuk tanaman dan air tanah. Sedangkan Perkolasi (percolation)
merupakan gerakan air antar lapisan di dalam tanah, gerakan air
tersebut dari permukaan masuk ke dalam lapisan tanah yang teratas.31

31
Indarto. “Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi”. (Jakarta: Bumi
Aksara, 2010) h. 35.
19

Laju infiltrasi sangat dipengaruhi oleh tekstur tanah, penutupan


lahan, kadar lengas di dalam tanah, suhu tanah, dan intensitas hujan. 32
Hal ini mengidentifikasikan unsur tanah yang mempengaruhi dari
ketersediaan air adalah tekstur, kadar lengas, suhu tanah dan juga
porositas tanah.
6. Perairan (Drainase)
Perairan (drainase) merupakan variabel khusus yang
mempengaruhi tingkat kekeringan suatu wilayah. Suatu wilayah yang
memiliki daerah aliran sungai yang besar maka kemungkinan
kekeringannya kecil. Terdapat dua fungsi besar sungai yaitu untuk
mengalirkan air dan mengangkut sedimen hasil erosi pada DAS dan
alurnya.33 Debit sungai menunjukkan ketersediaan air permukaan yang
ada di suatu wilayah, sungai sebagai pengalir air merupakan fungsi
bahwa sungai dapat membawa ketersediaan air dari satu wilayah yang
lebih tinggi ke wilayah yang lebih rendah.
7. Suhu
Kekeringan erat kaitannya dengan berkurangnya curah hujan, suhu
udara diatas normal, kelembapan tanah yang rendah dan pasokan air
permukaan.34 Suhu diatas normal dapat mengakibatkan penguapan
yang sangat tinggi dan berakibat pada ketersediaan air permukaan dan
air tanah.

E. Hasil Penelitian yang Relevan


Penelitian mengenai pemetaan wilayah kekeringan dengan menggunakan
aplikasi sistem informasi geografis dan penginderaan jauh telah dilakukan oleh
beberapa peneliti. Penelitian-penelitian tersebut baik hanya menggunakan analisis
citra satelit atau hanya menggunakan teknik overlay pada sistem informasi
geografis ataupun menggabungkan keduanya namun tempat penelitian dilakukan
di tempat yang berbeda. Dzulfikar Habibi Jamil35, penelitian ini mencoba untuk
32
Ibid. h. 36
33
H.R Mulyanto. “Sungai: Fungsi dan Sifat-Sifatnya” (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007). hal
7.
34
Muhammad Iid Mujtahidin. 2014. Analisis Spasial Indeks Kekeingan di Kabupaten
Indramayu. artikel pada jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol. 15 No. 2. h. 99
35
Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis
di Kabupaten Klaten, Skripsi pada jurusan Pendidikan Geografi Universitas Negeri Semarang
20

mengetahui sebaran daerah yang berpotensi kekeringan di Kabupaten Klaten


dengan menggunakan Er Mapper pada penginderaan jauh dan Arc. GIS pada
sistem informasi geografis dengan menggunakan citra landsat ETM + 7 dengan
teknik NDVI (Normalized Differential Vegetation Index), Indeks kebasahan, dan
indeks kecerahan serta melalukan teknik overlay. Selanjutnya Rizatus Shofiyati
dan Dwi Kuncoro G.P36, pada penelitian ini penginderaan jauh digunakan secara
time-series dapat digunakan untuk mengkaji karakteristik kondisi kekeringan
secara geografis. Penelitian ini menggunakan kombinasi perhitungan NDVI dan
Brightness temperature dari band thermal (band 6) landsar TM yang digunakan
Lertlum, kemudian mengkombinasikan kembali dengan data Sistem Informasi
Geografis dengan menggunakan scoring. Penelitian lainnya adalah Arief
Chandra Setiawan37, penelitian ini melakukan analisis wilayah rawan kekeringan
dengan menggunakan data iklim/cuaca dan data ketersediaan air yang selanjutnya
digunakan menjadi analisis deret hari kering, curah hujan dan sebaran indeks
Palmer yang kemudian dibuat peta wilayah rawan kekeringan. Selanjutnya
penelitian lain, Erna Sri Adiningsih38, dalam penelitian ini metode yang
digunakan untuk meninjau parameter kekeringan menggunakan metode indeks
vegetasi, indeks kekeringan tanah dan indeks lengas tanah. Indeks yang
dikembangkan yaitu NDVI (Normalized Difference Vegetation Index), EVI
(Enchanced Vegetation Index), VDI (Vegetation Dryness Index), TDVI
(Temperature Vegetation Dryness Index), VHI (Vegetation Health Index),
VegDRI (Vegetation Drought Response Index), SBI (Soil Brightness Index) dan
SPI (Standarlized Precipitation Index). Berbagai analisis tersebut diturunkan dari
data MODIS, NOAA-AVHRR, SPOT dan Landsat.

tahun 2013
36
Inderaja untuk Mengkaji Kekeringan di Lahan Pertanian (Remote Sensing for Drought
Assesment on Agricultural Land), Artikel pada jurnal Informatika Pertanian Volume 16 No. 1, Juli
2007.
37
Analisis Wilayah Rawan Kekeringan untuk Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Padi
Gogo di Sulawesi Tenggara, skripsi pada Program Studi Agroklimatologi Fakultas Pasca Sarjana
Institut Pertanian Bogor tahun 2000.
38
Tinjauan Metode Deteksi Parameter Kekeringan Berbasis Data Penginderaan Jauh,
Prosiding di Seminar Nasional Penginderaan Jauh Pusat Teknologi dan Data Penginderaan Jauh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) tahun 2014.
21

F. Kerangka Berfikir
Kondisi Fisik Kabupaten Sukabumi

Faktor penyebab terjadinya kekeringan: curah hujan rendah,


suhu tinggi, penggunaan lahan, drainase, kondisi tanah.
22

Analisis Tingkat Rawan Kekeringan

Citra Landsat 8 ETM 2005, 2010 dan 2015.

Cropping Citra

Pemulihan Citra

Koreksi Geometrik Koreksi Radiometrik

Penajaman Citra dengan band 321

- Overlay citra 2005, 2010 dan 2015 untuk mengetahui


perubahan indeks vegetasi yang ada
- Overlay peta penggunaan lahan, curah hujan, tanah, drainase,
dan suhu.

Ground Check

- Observasi
- Fisik - Wawancara
- Dokumentasi

Analisis

Hasil Penelitian
23

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat
yang secara administratif terletak diantara 60 57’ – 7025’ Lintang Selatan dan
106049’ -107000’ Bujur Timur dan mempunyai luas daerah 4.128 km2.39
Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian

Lokasi Penelitian Kab.


Sukabumi

Penelitian ini akan dilakukan antara bulan November 2016 sampai dengan
bulan Juni 2017.
Tabel 3.1 Kegiatan penelitian
Agustus September Oktober Desember Januari
No Kegiatan
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1 Pengajuan
Judul
2 Persetujuan
Judul
3 Penyusunan
Bab I, Bab II
39
Profil Kabupaten Sukabumi, 2015, (bps.go.id), diakses pada 29 September 2016.
24

dan Bab III


4 Seminar
Proposal
5 Revisi
Proposal
No Kegiatan Februari Maret April Mei Juni
5 Penyusunan
Bab I
Pendahuluan
6 Penyusunan
Bab II
Kajian
Pustaka
7 Penyusunan
Bab III
Metode
Penelitian
8 Penyusunan
Bab IV
Hasil
Penelitian
9 Penyusunan
Bab V
Kesimpulan
dan Saran
10 Penyusunan
Laporan
Penelitian

B. Metode Penelitian
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kuantitatif
deskriptif dengan teknik survey dan bantuan teknik sistem informasi geografis
dan penginderaan jauh. Untuk membuktikan hasilnya maka dilakukan observasi
dan wawancara dengan penentuan sampling didasarkan pada hasil pemetaan,
sampel yang diambil sebanyak 30 titik pada 3 kecamatan dengan potensi
kekeringan tertinggi.

C. Alat dan Bahan


Adapun peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Laptop, sebagai alat untuk kegiatan pemetaan dan interpretasi citra satelit.
2. Aplikasi Er Mapper 7.0, sebagai aplikasi untuk kegiatan analisis citra satelit.
25

3. Aplikasi Arc GIS 10.1 dan Arc. View 3.3, sebagai aplikasi untuk kegiatan
pemetaan secara digital.
4. GPS, untuk menemukan titik kordinat sampel di lapangan
5. Kamera, untuk kegiatan dokumentasi selama proses penelitian di lapangan.

Sedangkan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:


1. Citra Landsat 8 ETM+, perekaman 2005, 2010 dan 2015.
2. Peta RBI Kabupaten Sukabumi skala 1: 25.000
3. Peta geohidrologi Kabupaten Sukabumi.
4. Peta penggunaan lahan Kabupaten Sukabumi.
5. Peta curah hujan Kabupaten Sukabumi
6. Peta Tanah Kabupaten Sukabumi.
7. Data Suhu Kabupaten Sukabumi tahun 2005, 2010 dan 2015.

D. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 kelompok yaitu variabel dari
interpretasi citra Landsat 8 ETM+ dan variabel kondisi fisiografis yang
berpengaruh terhadap kekeringan.

1. Indeks vegetasi melalui Citra Landsat 8 ETM+


a. NDVI (Normalized Difference Vegetation Index).
b. Indeks Kebasahan (Wetness Index)
c. Indeks Kecerahan (Brightness Index)
2. Kondisi fisiografis yang berperngaruh terhadap kekeringan
a. Curah hujan
b. Kondisi geohrologi
c. Penggunaan lahan
d. Tanah

E. Populasi dan Sampel


Populasi pada penelitian ini adalah seluruh kecamatan di kabupaten
Sukabumi. Sedangkan penentuan sampel dilakukan dengan menggunakan metode
Simple Purposive sampling, yaitu penentuan dengan kriteria tertentu.

F. Teknik Pengumpulan Data


Pada penelitian ini data yang digunakan akan diperoleh meliputi:
26

1. Pengumpulan data penginderaan jauh.


Data ini beruapa citra foto dan non-foto atau data numerik. Teknik
pengambilan data penginderaan jauh berupa citra landsat 8 ETM+ yaitu
dengan cara men-download dari situs resmi USGS yaitu
www.glovis.usgs.gov. Citra landsat 8 ETM+ yang di download merupakan
perekaman pada tahun 2005, 2010 dan tahun 2015.
2. Pengumpulan data sekunder
Data sekunder dalam penelitian ini adalah curah hujan kabupaten Sukabumi
tahun 2005 sampai dengan 2015 yang diperoleh dari BMKG, peta
geohidrologi dan peta penggunaan lahan.
3. Observasi
Teknik ini digunakan untuk mengkonfirmasi hasil analisis data dengan
mengunjungi 3 Kecamatan yang memiliki tingkat rawan kekeringan tertinggi.
4. Wawancara
Teknik ini digunakan untuk membandingkan hasil dari analisis data melalui
penginderaan jauh dan sistem informasi geografis dengan keadaan yang ada
di lapangan.
5. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan peneliti untuk mendukung penelitian berupa foto-
foto mengenai kondisi lokasi penelitian serta dikumen langsung yang didapat
dari instansi pemerintahan Kabupaten Sukabumi.

G. Teknik Analisis Data


Setelah data terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah tahap analisis data,
yaitu peneliti berusaha untuk mengolah dan menganalisis data yang diperoleh.
Dalam analisis data dilakukan kombinasi antara analisis citra digital
penginderaan jauh dengan aplikasi Er Mapper dan teknik sistem informasi
geogradis dengan aplikasi Arc. GIS 10.2.

1. Teknik Interpretasi Citra Digital Penginderaan Jauh


Interpretasi merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan
maksud untuk mengidentifikasi objek dan menilai arti pentingnya objek
tersebut.40 Salah satu teknik interpretasi citra adalah dengan transformasi
40
Ibid. Dzulfikar Habibi Jamil. h. 35.
27

citra, transformasi yang digunakan pada penelitian ini digunakan dalam


mendeketeksi daerah berpotensi kekeringan berupa teknik NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index), Indeks kecerahan (Brightness
index) dan indeks kebasahan (Wetness index).
2. Teknik Sistem Informasi Geografis
a. Metode penskoran (scoring)
Yaitu pemberian skor terhadap masing-masing kelas dalam setiap
parameter. Pemberian skor ini didasarkan pada seberapa besar
pengaruh kelas tersebut terhadap kekeringan. Semakin tinggi
pengaruhnya terhadap kekeringan maka skor akan semakin tinggi.
Setelah pemberian skor, maka dilakukan interval kelas potensi
kekeringan dengan menjumlahkan skor tertinggi dikurangi jumlah skor
terendah dibagi dengan jumlah kelas yang diinginkan.
b. Metode Tumpang Tindih (Overlay)
Metode ini merupakan metode yan menggabungkan beberapa peta
biofisik yang memicu kekeringan. Metode ini akan menghasilkan
suatu informasi baru dalam bentuk luasan atau poligon yang terbentuk
dari irisan beberapa poligon dari peta-peta tersebut. Peta yang di
overlay adalah peta-peta yang sebelumnya telah di beri skor pada
setiap kelas masing-masing.

H. Uji Ketelitian Interpretasi Citra.


Metode ini digunakan untuk melihat ketelitian interpretasi citra, diperoleh
melalui survei lapangan dan wawancara. Uji ketelitian bertujuan untuk
mengetahui keakuratan hasil pengolahan citra dengan nilai ambang akurasi citra
85%, nilai tersebut digunakan sebagai nilai minimum diterima atau tidaknya
suatu interpretasi citra. Pengambilan sampel menggunakan metode sampel
purposive sampling terhadap tiga kecamatan yang dianggap memiliki tingkat
rawan kekeringan tertinggi.

Nilai keakuratan dapat diperoleh melalui perhitungan rumus sebagai


berikut:
28

+Jumlah titik benar


Tingkat Kebenaran Interpretasi= x 100 %
Jumlahtitik yang di survei
29

DAFTAR PUSTAKA
Adiningsih, Erna Sri. “Tinjauan Metode Deteksi Parameter Kekeringan Berbasis
Data Penginderaan Jauh” Makalah disampaikan pada Seminar Nasional
Penginderaan Jauh. Jakarta: Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) 2014.
Darojati, Nina Widiana, “Pemantauan Bahaya Kekeringan dan Analisis Risiko
Kekeringan di Kabupaten Indramayu”. Skripsi pada strata 1 Institut
Pertanian Bogor. Bogor: IPB, 2015
Harjadi, Prih. dkk. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di
Indonesia. Jakarta: Direktorat Mitigasi Lakhar Bakornas PB, Edisi II,
2007.
Hermawati, Fajar Astuti. Pengolahan Citra Digital: Konsep & Teori. Yogyakarta:
Andi, 2013.
Indarto. Hidrologi: Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Jakarta:
Bumi Aksara, 2010.
Jamil, Dzulfikar Habibi. “Deteksi Potensi Kekeringan Berbasis Penginderaan Jauh
dan Sistem Informasi Geografis di Kabupaten Klaten”. Skripsi pada
Strata 1 Universitas Negeri Semarang. Semarang: UNS, 2013.
Miftahudin. “Analisis Spasial Indeks Kekeringan di Wilayah Kabupaten Subang”.
Skripsi pada Strata 1 Institut Pertanian Bogor. 2016. tidak
dipublikasikan.
Muiz, Abdul. “Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Kabupaten Sukabumi”.
Thesis pada Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB,
2015.
Mujtahidin, Muhammad Iid. Analisis Spasial Indeks Kekeringan Kabupaten
Indramayu. Jurnal Meteorologi dan Geofisika, Volume 15 Nomor 2.
2014.
Mulyanto, H.R. Sungai: Fungsi dan Sifat-Sifatnya. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2007.
Prahasta, Eddy, Sistem Informasi Geografis: Konsep-Konsep Dasar (Perspektif
Geodesi & Geomatika). Bandung: Informatika, 2014.
30

Setiawan, Arief Chandra. “Analisis Wilayah Rawan Kekeringan untuk


Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Pada Gogo di Sulawesi
Tenggara”. Skripsi pada Strata 1 Institut Pertanian Bogor. Bogor: IPB,
2000.
Shofiyati, Rizatus dan Dwi Kuncoro G.P. Inderaja untuk Mengkaji Kekeringan di
Lahan Pertanin (Remote Sensing for drought Assesment on Agricultural
Land). Informatika Pertanian, Volume 16, 2007.
Sodikin, Sistem Informasi Geografis & Penginderaan Jauh (Teori dan Praktek
dengan Er Mapper dan Arc View. Jakarta: tanpa penerbit, 2015.
Soenarmo, Sri Hartati. Penginderaan Jauh dan Pengenalan Sistem Informasi
Geografis untuk Bidang Ilmu Kebumian. Bandung: ITB Bandung, 2009.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang
Penanggulangan Bencana.
Waluyo, Puji. “Distribusi Spasial Permukaan dan Kecukuran Ruang Terbuka
Hijau di Kota Semarang”. Skripsi pada Strata 1 Institut Pertanian Bogor.
2013. tidak dipublikasikan.
www.amrta-institute.org
www.meteo.itb.ac.id

Anda mungkin juga menyukai