Beliau
sebaik-baik ayah bagi anak-anaknya. Sebaik-baik suami bagi para
istrinya. Sebaik-baik kakek bagi cucu-cunya. Dan sebaik-baik sahabat
bagi para sahabatnya.
Nabi kita yang mulia ini menghormati tamu yang masuk ke rumahnya.
Kadang-kadang tamu beliau dipersilakan duduk di atas bajunya serta
diberi bantal. Jika tamunya menolak, beliau terus menawarkan hal itu
hingga ia berkenan duduk di atasnya.
Ketika Jabir bin Abdillah al-Bajali hadir di majelis Nabi SAW, ia tidak
mendapati tempat maka ia duduk di dekat pintu.
Lalu Rasulullah melipat bajunya dan memberikan kepadanya seraya
berkata, "Silakan duduk di atasnya!"
Diambillah baju itu oleh Jabir dan diletakkan di wajahnya lalu diciumnya
seraya menangis serta dikembalikannya kepada Nabi yang mulia.
"Semoga anda dimuliakan oleh Allah sebagaimana engkau
memuliakanku," katanya.
Tatkala seseorang datang ke rumah beliau karena suatu keperluan,
sedangkan beliau sedang menunaikan shalat, beliau meringankan
shalatnya untuk segera menemui tamunya. "Apakah engkau memiliki
keperluan?" kata beliau. Apabila keperluannya telah terpenuhi, beliau
lalu kembali menunaikan shalatnya.
Jika tidak bertemu dengan salah seorang dari para sahabatnya selama
sekian hari, Nabi SAW selalu menanyakannya. Bila sahabatnya itu pergi,
beliau mendoakannya. Jika sakit, beliau menjenguknya. Bila sudah
wafat dan beliau belum menshalatinya, beliau datang ke kuburannya.
Bergaul itu ada seninya. Seninya adalah menjaga etika. Etika pergaulan
yang ditanamkan Nabi SAW akan turun kepada kita, jika akhlak beliau
ada pada diri kita. Tanpa meneladani beliau, kemuliaan belum pantas
disematkan pada diri kita.
Contoh etika
pertama, peka tehadap ketimpangan sosial dan berusaha menolong subjek yang terdampak. Nabi
Musa as. memperlihatkan bahwa dirinya adalah seseorang yang peka dengan adanya ketimpangan
sosial.
Saat tiba di negeri Madyan, Musa menjumpai mata air dan ia pun menuju kesana. Ia pun menjumpai
banyak orang disana yang tengah memberikan minum binatang ternaknya. Masih di tempat yang
sama namun dibelakang keramaian orang, ia juga menjumpai dua orang gadis yang menambat hewan
ternaknya.
Musa yang merasa heran dan kasihan pun menanyakan kepada keduanya maksud dari sikap
ْ َ“ َما خapa maksud kalian berdua (menambatkan hewan ternak)?. Dua gadis itu
keduanya. طبُ ُك َما
pun menjawab “ اَل نَ ْسقِي َحتَّى يُصْ ِد َر الرِّ عَا ُء َوَأبُونَا َش ْي ٌخ َكبِي ٌرKami tidak bisa memberi minum (ternak
kami), sampai para pengembala yang lain mengembalikan (hewan ternaknya) sedangkan
ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut usia”.
Selanjutnya pada ayat ke-24, dijelaskan bahwa Musa membantu kedua gadis itu.
Kepekaan Musa as. pada ketimpangan sosial menunjukkan bahwa Musa as. memiliki rasa
keadilan sosial yang tinggi dan sikap mengayomi terhadap subjek yang tertindas. Keadilan
serta jiwa sosial seyogyanya dimiliki oleh seluruh anak muda dan diupayakan untuk diajarkan
sejak dini. Sebab dewasa ini keduanya seakan mulai dilupakan, dengan banyaknya kasus-
kasus bullying yang terjadi terutama di media sosial.