Anda di halaman 1dari 25

REFERAT

Peritonitis

Pembimbing :
dr. Bambang Yudhadi Soeprapto, Sp.B, Sp.KP

Disusun Oleh :
Fazar Halim
112018169

KEPANITERAAN KLINIK BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
PERIODE 8 FEBRUARI – 17 APRIL 2021

RUMAH SAKIT ANGKATAN UDARA DR. ESNAWAN ANTARIKSA


2021
LEMBAR PENGESAHAN

Presentasi referat dengan judul:


PERITONITIS

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik


Ilmu Bedah RSAU Dr. Esnawan Antariksa periode 8 Februari – 17 April 2021

Disusun oleh:
Fazar Halim
112018169

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Bambang Yudhadi Soeprapto, Sp.B, Sp.KP

Selaku dokter pembimbing Departemen Bedah Umum RSAU Dr. Esnawan


Antariksa

Jakarta, 5 April 2021


Pembimbing

dr. Bambang Yudhadi Soeprapto, Sp.B, Sp.KP

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas nikmat yang diberikan sehingga
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah Referat dengan judul “Peritonitis”.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas dalam Kepaniteraan Klinik
di Stase Ilmu Bedah. Dalam kesempatan kali ini, penulis mengucapkan terima
kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan
penyelesaian makalah ini, terutama kepada dr. Bambang Yudhadi Soeprapto,
Sp.B, Sp.KP selaku pembimbing atas pengarahannya selama penulis belajar
dalam Kepaniteraan Klinik. Dan kepada para dokter dan staff Ilmu Bedah RSAU
Dr. Esnawan Antariksa, serta rekan-rekan seperjuangan dalam Kepaniteraan
Klinik Ilmu Bedah. Penulis sangat terbuka dalam menerima kritik dan saran
karena penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi setiap orang yang membacanya.

Jakarta, 5 April 2021

Penulis

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UKRIDA


LEMBAR PENILAIAN
Nama  Fazar Halim
NIM 112018169
Tanggal 5 April 2021
Judul kasus Peritonitis
Skor
Aspek yang dinilai
1 2 3 4 5
Pengumpulan data          
Analisa masalah          
Penguasaan teori          
Referensi          
Pengambilan keputusan klinis          
Cara penyajian          
Bentuk laporan          
Total  
Nilai %= (Total/35)x100%  
Keterangan : 1 = sangat kurang (20%), 2 = kurang (40%), 3 = sedang (60%), 4 = baik (80%),
dan 5 =sangat baik (100%)
 
Komentar penilai

Nama Penilai
Paraf/Stempel

dr. Bambang Yudhadi Soeprapto, Sp.B, Sp.KP


BAB 1
PENDAHULUAN
Definisi

Peritonitis adalah peradangan peritoneum (membran serosa yang melapisi


rongga abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya
yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Keadaan ini biasanya terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ abdomen, perforasi saluran cerna, atau dari
luka tembus abdomen. Organisme yang sering menginfeksi adalah organisme
yang hidup dalam kolon (pada kasus ruptura appendik) yang mencakup
Eschericia coli atau Bacteroides. Sedangkan stafilokokus dan streptokokus sering
kali masuk dari luar.1,2

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri adalah keluarnya eksudat


fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah (abses) di antara perlekatan
fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa yang kelak dapat menyebabkan
terjadinya obstruksi usus.2
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum
atau bila infeksi menyebar akan menyebabkan timbulnya peritonitis generalisata.
Dengan timbulnya peritonitis generalisata, aktivitas peristaltik berkurang sampai
timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan
elektrolit hilang ke dalam lumen usus, menyebabkan terjadinya dehidrasi,
gangguan sirkulasi, oliguria, dan mungkin shock.2,3

Anatomi dan Fisiologi

Dinding perut mengandung struktur muskulo-aponeurosis yang kompleks.


Dibagian belakang struktur ini melekat pada tulang belakang sebelah atas pada
iga, dan di bagian bawah pada tulang panggul. Dinding perut ini terdiri dari
berbagai lapis, yaitu dari luar ke dalam, lapis kulit yang terdiri dari kuitis dan sub
kutis, lemak sub kutan, facies superfisial (facies camper) dan facies profunda
(fascies scarpae), kemudian ketiga otot dinding perut m. obliquus abdominis
eksterna, m. obliquus abdominis internus dan m. transversum abdominis, dan
akhirnya lapis preperitonium dan peritonium, yaitu fascia transversalis, lemak
preperitonial dan peritonium. Otot di bagian depan tengah terdiri dari sepasang
otot rektus abdominis dengan fascianya yang di garis tengah dipisahkan oleh
linea alba.1,2 Dinding perut membentuk rongga perut yang melindungi isi rongga
perut. Integritas lapisan muskulo-aponeurosis dinding perut sangat penting untuk

mencegah terjadilah hernia bawaan, dapatan, maupun iatrogenik. Fungsi lain otot
dinding perut adalah pada pernafasan juga pada proses berkemih dan buang air
besar dengan meninggikan tekanan intra abdominal.2

Gambar 1 :Tampak anterior otot dinding abdomen dan penampang


melintang otot abdomen12

Peritoneum adalah membran serosa rangkap yang terbesar di dalam tubuh.


Peritoneum terdiri atas dua bagian utama, yaitu peritoneum parietal, yang
melapisi dinding rongga abdominal dan berhubungan dengan fascia muscular,
dan peritoneum visceral, yang menyelaputi semua organ yang berada di dalm
rongga itu. Peritoneum parietale mempunyai komponen somatic dan visceral
yang memungkinkan lokalisasi yang berbahaya dan menimbulkan defans
muscular dan nyeri lepas.1,2 Ruang yang bisa terdapat di antara dua lapis ini
disebut ruang peritoneal atau cavitas peritonealis. Ruang di luarnya disebut
Spatium Extraperitoneale. Di dalam cavitas peritonealis terdapat cairan
peritoneum yang berfungsi sebagai pelumas sehingga alat-alat dapat bergerak
tanpa menimbulkan gesekan yang berarti. Cairan peritoneum yang diproduksi
berlebihan pada kelainan tertentu disebut sebagai asites (hydroperitoneum).2
Luas peritoneum kira- kira 1,8 meter2, sama dengan luas permukaan kulit orang
dewasa. Fungsi peritoneum adalah setengah bagiannya memiliki membran basal
semipermiabel yang berguna untuk difusi air, elektrolit, makro, maupum mikro
sel. Oleh karena itu peritoneum punya kemampuan untuk digunakan sebagai
media cuci darah yaitu peritoneal dialisis dan menyerap cairan otak pada operasi
ventrikulo peritoneal shunting dalam kasus hidrochepalus.3,4
Lapisan peritonium dibagi menjadi 3, yaitu:

 Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis


(tunika serosa).

 Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina


parietalis.

 Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina


parietalis.

Peritoneum viscerale berhubungan dengan parietale pada dinding abdomen


melalui suatu duplikatur yang disebut mesenterium.1,2,3
Cavitas peritonealis pada laki-laki tertutup seluruhnya tetapi pada
perempuan mempunyai hubungan dengan dunia luar melalui tuba uterina, uterus
dan vagina. Spatium Extraperitoneale dapat dibedakan menurut letaknya , di
depan (spatium praepitoneale), di belakang (spatium retroperitoneale) dan
dibawah (spatium subperitoneale). Alat yang terletak di dalam cavitas
peritoneale disebut letak intraperitoneale, seperti pada lambung, jejunum, ileum,
dan limpa. Sedangkan yang terletak di belakang peritoneum disebut
retroperitoneale seperti pada ginjal dan pancreas.1,3,4
Omentum adalah dua lapisan peritoneum yang menghubungkan lambung
dengan alat viscera lainnya seperti dengan hepar (omentum minus), dengan
colon transversum (omentum majus), dan dengan limpa (omentum
gastrosplenicum). Peritoneum dari usus kecil disebut mesenterium, dari appendik
disebut mesoappendix dari colon trnsversum dan sigmoideum disebut mesocolon
transversum dan sigmoideum. Mesenterium dan omentum berisi pembuluh darah
dan limfe serta saraf untuk alat viscera yang bersangkutan.2,3

Gambar 2. Struktur peritoneum 13

Peritoneum parietale sensitif terhadap nyeri, temperatur, perabaan dan


tekanan dan mendapat persarafan dari saraf-saraf segmental yang juga
mempersarafi kulit dan otot yang ada si sebelah luarnya. Iritasi pada peritoneum
parietale memberikan rasa nyeri lokal, namun insicipada peritoneum viscerale
tidak memberikan rasa nyeri.1,2 Peritoneum viscerale sensitif terhadap regangan
dan sobekan tapi tidak sensitif untuk perabaan, tekanan maupun temperature.4,5
Perdarahan dinding perut berasal dari beberapa arah. Dari kraniodorsal
diperoleh perdarahan dari cabang aa. Intercostalis VI – XII dan a. epigastrika
superior. Dari kaudal terdapat a. iliaca a. sircumfleksa superfisialis, a. pudenda
eksterna dan a. epigastrika inferior. Kekayaan vaskularisasi ini memungkinkan
sayatan perut horizontal maupun vertikal tanpa menimbulkan gangguan
perdarahan.1,2,3 Persarafan dinding perut dipersyarafi secara segmental oleh
n.thorakalis VI – XII dan n. lumbalis I.2
Sangat penting untuk memahami posisi dari alat-alat viscera abdomen agar
dapat segera mengetahui atau memperkirakan alat apa yang terkena tusukan pada
perut:
 Hepar merupakan suatu organ yang besar yang mengisi bagian atas
rongga abdomen.
 Kandung empedu merupakan kantong berbentuk seperti buah per
melekat pada permukaan visceral lobus kanan hepar. Ujung buntunya
(fundus) menonjol di bawah pinggir bawah hepar.
 Esophagus di daerah abdomen pendek, 1,25 cm terletak di belakang
lobus kiri hepar.
 Gaster (ventriculus) terletak pada regio hypochondriaca kiri,
epigastrica dan umbilicalis
 Duodenum terletak di regio epigastrica dan umbilicalis
 Pancreas terbentang dari regio umbilicalis sampai ke regio
hypochondriaca kiri pada lien.
 Lien terletak pada bagian atas kiri dari rongga abdomen antara
lambung dan diaphragma di regio sepanjang sumbu iga x kiri.
 Ren terletak pada dinding belakang abdomen posterior dari
peritoneum parietale di sisi kanan dan kiri columna transversalis.
 Glandula suprarenalis terletak pada dinding belakang abdomen di sisi
kana dan kiri columna vertebralis.
 Jejunum mengisi bagian atas kiri rongga abdomen dan ileum mengisi
bagian kanan bawah rongga abdomen dan rongga pelvis.
 Colon terbentang mengelilingi jejunum dan ileum, terbagi atas
caecum, colon ascendens, colon tranversum, colom desendens dan
colon sigmoid.

Epidemiologi

Hasil survey pada tahun 2008 angka kejadian peritonitis di sebagian besar
wilayah indonesia hingga saat ini masih tinggi. Di indonesia, jumlah pasien yang
menderita penyakit peritonitis berjumlah sekitar 7% dari jumlah penduduk di
indonesia atau sekitar 179.000 orang (Depkes, RI 2008). Hasil survey Jawa
Tengah tahun 2009, jumlah kasus peritonitis dilaporkan sebanyak 5.980 dan 177
diantaranya menyebabkan kematian. Jumlah penderita Peritonitis tertinggi ada di
kota semarang,yakni 970 orang (Dinkes Jateng,2009). Bedasarkan hasil survey
data di rumah sakit Roemani semarang yang dilakukan pada bulan januari
sampai bulan april 2012 terdapat 5 pasien peritonitis, dari kelima pasien tersebut
dilakukan operasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di Bagian Rekam
Medik RSUP Dr. M. Djamil Padang, pada periode 01 Januari 2013–31
Desember 2013 terdapat 144 kasus peritonitis yang dirawat inap. Kasus
peritonitis yang didata berasal dari bagian Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang.6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
Etiologi

Peritonitis bakterial diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder

1. Peritonitis primer
Merupakan peritonitis yang infeksi kumannya berasal dari penyebaran
secara hematogen. Sering disebut juga sebagai Spontaneous Bacterial
Peritonitis (SBP). Peritonitis ini bentuk yang paling sering ditemukan dan
disebabkan oleh perforasi atau nekrose (infeksi transmural) dari kelainan
organ visera dengan inokulasi bakterial pada rongga peritoneum. Kasus SBP
disebabkan oleh infeksi monobakterial terutama oleh bakteri gram negatif
( E.coli, klebsiella pneumonia, pseudomonas, proteus) , bakteri gram positif
( streptococcus pneumonia, staphylococcus). Peritonitis primer dibedakan
menjadi:
*Spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang spesifik, misalnya
kuman tuberkulosa.
* Non- spesifik Peritonitis yang disebabkan infeksi kuman yang non
spesifik, misalnya kuman penyebab pneumonia yang tidak spesifik.

2. Peritonitis sekunder
Peritonitis yang mengikuti suatu infeksi akut atau perforasi tractusi
gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada umumnya organisme tunggal
tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal. Sinergisme dari multipel
organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini. Bakterii anaerob,
khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob
dalam menimbulkan infeksi.3,4,5 Disebabkan oleh infeksi akut dari organ
intraperitoneal seperti:
 Iritasi Kimiawi : Perforasi gaster, pankreas, kandung empedu, hepar, lien,
kehamilan extra tuba yang pecah
 Iritasi bakteri : Perforasi kolon, usus halus, appendix, kista ovarii pecah,
ruptur buli dan ginjal.
 Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam
cavum peritoneal.
3. Peritonitis tersier
Biasanya terjadi pada pasien dengan Continuous Ambulatory
Peritoneal Dialysis (CAPD), dan pada pasien imunokompromise.
Organisme penyebab biasanya organisme yang hidup di kulit, yaitu
coagulase negative Staphylococcus, S.Aureus, gram negative bacili, dan
candida, mycobacteri dan fungus. Gambarannya adalah dengan
ditemukannya cairan keruh pada dialisis. Biasanya terjadi abses, phlegmon,
dengan atau tanpa fistula. Pengobatan diberikan dengan antibiotika IV atau
ke dalam peritoneum, yang pemberiannya ditentukan berdasarkan tipe
kuman yang didapat pada tes laboratorium. Juga bisa pada Peritonitis yang
mendapat terapi tidak adekuat, superinfeksi kuman, dan akibat tindakan
operasi sebelumnya.2,3

Patofisiologi

Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya


eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan
fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga
membatasi infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang,
tetapi dapat menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan
obstuksi usus.2 Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat
dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai
mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini
segera gagal begitu terjadi hipovolemia.2,5

Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen


mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan
yang tidak ada, serta muntah.2
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh
menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi
tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat
timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas
peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni
dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan
dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk
antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.1,2,4
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan
ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan
peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa
ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh
darah dan dapat bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai
terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan
nekrosis atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena
penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.5

Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan
kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air
yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi
masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum
terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini komplikasi perdarahan dan
perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum pada tifus biasanya terjadi pada
penderita yang demam selama kurang lebih 2 minggu yang disertai nyeri
kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri tekan, defans
muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.4,7
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium yang
mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteria.2,3
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan
lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur
karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin lama mukus tersebut makin
banyak, namun elastisitas dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intralumen dan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan oedem, diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan
obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran arteri terganggu
akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau
ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya
mengakibatkan peritonitis baik lokal maupun general.2,5

Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul
abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila
mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang
timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang
bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses. Rangsangan kimia
onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila perforasi terjadi dibagian
atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi perangsangan segera
sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan bila bagian
bawah seperti kolon, mula-mula tidak tidak terjadi gejala karena
mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru setelah 24
jam timbul gejala akut abdomen karena perangsangan peritonium.2,4,8

Jenis Peritonitis

 Peritonitis Aseptik.

Terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis di Inggris, dan


biasanya sekunder dari perforasi ulkus gaster atau duodenal. Peritonitis
steril dapat berkembang menjadi bakterial peritonitis dalam beberapa jam
mengikuti transmigrasi dari mikroorganisme (contohnya dari usus)

 Peritonitis bilier

Relatif jarang dari peritonitis steril dan dapat disebabkan dari


:

1. iatrogenic (ligasi duktus sistikus saat cholesistektomi)

2. kolesistitis akut

3. trauma

4. idiopatik

Bentuk lain dari peritonitis steril, ada 4 penyebab :

1. Cairan pankreas

Misalnya dari pankreatitis akut, trauma. Pankreatitis bisa disebabkan


karen proses diagnostik laparotomi pada pasien yang tidak mengalami
peningkatan serum amilase.
2. Darah.
Misalnya ruptur kista ovarium, aneurisma aorta yang pecah.

3. Urine

Misalnya intraperitoneal ruptur dari kandung kemih.

4. Meconium

Adalah campuran steril dari sel epitel, mucin, garam,, lemak, dan
bilier dimana dibentuk saat fetus mulai menelan cairan amnion.
Peritonitis mekonium berkembang lambat di kehidupan intra uteri atau
di periode perinatal saat mekonium memasuki rongga peritoneum
melalui perforasi inestinal.
 Peritonitis TB

Biasanya terjadi pada imigran atau pasien dengan imunokompromise.


Menyebar ke peritoneum melalui:

1. Secara langsung melalui limfatik nodul, regio ileocaecal atau


pyosalping TB.

Melalui darah (blood-borne) infeksi dari TB paru. Kejadian


Kejadiannya dapat secara akut (seperti peritonitis pada umumnya),
dan kronik (onsetnya lebih spesifik, dengan nyeri perut, demam,
penurunan berat badan, keringat malam, massa abdomen).
Makroskopik, ada 4 bentuk dari penyakit ini : ascitic, encysted,
plastic, atau purulent. Terapinya berdasarkan terapi anti-TB,
digabungkan dengan laparotomi (apabila di indikasikan) untuk
komplikasi intra- abdominal.
 Peritonitis Klamidia

Fitz Hugh Curtis sindroma dapat menyebabkan inflamasi pelvis dan


digambarkan oleh nyeri hipokondrium kanan, pireksia, dan hepatic rub.
 Obat-obatan dan benda asing.

Pada pemakaian isoniazid, practolol, dan kemoterapi intraperitoneal


dapat menyebabkan peritonitis akut. Bedak dan starch dapat menstimulus
perkembangan benda asing granulomata apabila benda-benda itu bertemu
pada rongga peritoneum (contohnya sarung tangan bedah).

Gejala klinis

Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri


dapat dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat hanya di satu
tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Nyeri subjektif berupa nyeri
waktu penderita bergerak seperti jalan, bernafas, batuk, atau mengejan. Nyeri
objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti palpasi, nyeri tekan lepas, tes
psoas, atau tes lain.4,5
Gejala lainnya meliputi:

 Demam, Temperatur lebih dari 380 C, pada kondisi sepsis berat dapat
hipotermia

 Mual dan muntah, Timbul akibat adanya kelainan patologis organ viseral
atau akibat iritasi peritoneum
 Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas.

Dehidrasi dapat terjadi akibat ketiga hal diatas, yang didahului dengan
hipovolemik intravaskular. Dalam keadaan lanjut dapat terjadi hipotensi,
penurunan output urin dan syok.
 Distensi abdomen dengan penurunan bising usus sampai tidak terdengar
bising usus
 Rigiditas abdomen atau sering disebut ’perut papan’, terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai
respon/antisipasi terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun
involunter sebagai respon terhadap iritasi peritoneum
 Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)

 Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi

 Tidak dapat BAB/buang angin.

Diagnosis
Pemeriksaan
Fisik
Pada pemeriksaan fisik, perlu diperhatikan kondisi umum, wajah,
denyut nadi, pernapasan, suhu badan, dan sikap baring pasien, sebelum
melakukan pemeriksaan abdomen. Gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan,
syok, dan infeksi atau sepsis juga perlu diperhatikan.1
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis, keadaan umumnya
tidak baik. Demam dengan temperatur >380C biasanya terjadi. Pasien dengan
sepsis hebat akan muncul gejala hipotermia. Takikardia disebabkan karena
dilepaskannya mediator inflamasi dan hipovolemia intravaskuler yang
disebabkan karena mual damuntah, demam, kehilangan cairan yang banyak
dari rongga abdomen. Dengan adanya dehidrasi yang berlangsung secara
progresif, pasien bisa menjadi semakin hipotensi. Hal ini bisa menyebabkan
produksi urin berkurang, dan dengan adanya peritonitis hebat bisa berakhir
dengan keadaan syok sepsis.9
Inspeksi : Pemeriksa mengamati adakah jaringan parut bekas operasi
menununjukkan kemungkinan adanya adhesi, perut membuncit dengan
gambaran usus atau gerakan usus yang disebabkan oleh gangguan pasase.
Pada peritonitis biasanya akan ditemukan perut yang membuncit dan tegang
atau distended. 1,2
Palpasi : Peritoneum parietal dipersarafi oleh nervus somatik dan
viseral yang sangat sensitif. Bagian anterir dari peritoneum parietale adalah
yang paling sensitif. Palpasi harus selalu dilakukan di bagian lain dari
abdomen yang tidak dikeluhkan nyeri. Hal ini berguna sebagai pembanding
antara bagian yang tidak nyeri dengan bagian yang nyeri. Nyeri tekan dan
defans muskular (rigidity) menunjukkan adanya proses inflamasi yang
mengenai peritoneum parietale (nyeri somatik). Defans yang murni adalah
proses refleks otot akan dirasakan pada inspirasi dan ekspirasi berupa reaksi
kontraksi otot terhadap rangsangan tekanan3,5 Pada saat pemeriksaan penderita
peritonitis, ditemukan nyeri tekan setempat. Otot dinding perut menunjukkan
defans muskular secara refleks untuk melindungi bagian yang meradang dan
menghindari gerakan atau tekanan setempat.1,5
Perkusi : Nyeri ketok menunjukkan adanya iritasi pada peritoneum,
adanya udara bebas atau cairan bebas juga dapat ditentukan dengan perkusi
melalui pemeriksaan pekak hati dan shifting dullness. Pada pasien dengan
peritonitis, pekak hepar akan menghilang, dan perkusi abdomen hipertimpani
karena adanya udara bebas tadi.8,9
Pada pasien dengan keluhan nyeri perut umumnya harus dilakukan
pemeriksaan colok dubur dan pemeriksaan vaginal untuk membantu
penegakan diagnosis. 1,7
Nyeri yang difus pada lipatan peritoneum di kavum
doglasi kurang memberikan informasi pada peritonitis murni; nyeri pada satu
sisi menunjukkan adanya kelainan di daeah panggul, seperti apendisitis,
abses, atau adneksitis. Nyeri pada semua arah menunjukkan general
peritonitis. Colok dubur dapat pula membedakan antara obstruksi usus dengan
paralisis usus, karena pada paralisis dijumpai ampula rekti yang melebar,
sedangkan pada obstruksi usus ampula biasanya kolaps. Pemeriksaan vagina
menambah informasi untuk kemungkinan kelainan pada alat kelamin dalam
perempuan. 1,2
Auskultasi : Dilakukan untuk menilai apakah terjadi penurunan suara
bising usus. Pasien dengan peritonitis umum, bising usus akan melemah atau
menghilang sama sekali, hal ini disebabkan karena peritoneal yang lumpuh
sehingga menyebabkan usus ikut lumpuh/tidak bergerak (ileus paralitik).
Sedangkan pada peritonitis lokal bising usus dapat terdengar normal.3,8

Pemeriksaan penunjang

Gambaran Radiologis

Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk


pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada
peritonitis dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu : 5,9
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke arah kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal, proyeksi AP.

Gambaran radiologis pada peritonitis yaitu :terlihat kekaburan pada cavum


abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara
bebas subdiafragma atau intraperitoneal.2,9

Gambar 3 Foto BNO pada peritonitis.8

Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah Lengkap, biasanya ditemukan leukositosis, hematocrit yang


meningkat

2. BGA, menunjukan asidosis metabolic, dimana terdapat kadar


karbondioksida yang disebabkan oleh hiperventilasi.3 Pada peritonitis
tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih dari 3
gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi
memperlihatkan granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar
diagnosa sebelum hasil pembiakan didapat.2,10

Diagnosis Peritoneal Lavage (DPL)

Teknik ini digunakan untuk mengevaluasi pasien dengan cedera intra


abdomen setelah trauma tumpul yang disertai dengan kondisi:
Hilangnya kesadaran, intoksikasi alkohol, perubahan sensori, misalnya
pada cedera medula spinalis, cedera pada costae atau processus transversus
vertebra.
Tehnik ini adalah suatu tindakan melakukan bilasan rongga perut
dengan memasukkan cairan garam fisiologis sampai 1.000 ml melalui kanul,
setelah sebelumnya pada pengisapan tidak ditemukan darah atau cairan.
Pada DPL dilakukan analisis cairan kualitatif dan kuantitatif, hal-hal
yang perlu dianalisis antara lain: kadar pH, glukosa, protein, LDH, hitung sel,
gram stain, serta kultur kuman aerob dan anaerob. Pada peritonitis bakterialis,
cairan peritonealnya menunjukkan kadar pH ≤ 7 dan glukosa kurang dari 50
mg/dL dengan kadar protein dan LDH yang meningkat.
Tehnik ini dikontraindikasikan pada kehamilan, obesitas, koagulopati
dan hematom yang signifikan dengan dinding abdomen.

Differential Diagnosis

Diagnosis banding dari peritonitis adalah apendisitis, pankreatitis,


gastroenteritis, kolesistitis, salpingitis, kehamilan ektopik terganggu.4

Penatalaksanaa
n
Konservatif
Prinsip umum pengobatan adalah mengistirahatkan saluran cerna
dengan :9

 Memuasakan pasien

 Dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal

 Pengganti cairan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara intravena

 Pemberian antibiotik yang sesuai

 Pembuangan fokus septik (apendiks) atau penyebab radang lainnya

1. Pemberian oksigen adalah vital untuk semua pasien dengan syok. Hipoksia
dapat dimonitor oleh pulse oximetri atau BGA.4

2. Resusitasi cairan, biasanya dengan kristaloid, volumenya berdasarkan


derajat syok dan dehidrasi. Penggantian elektrolit (biasanya potassium)
biasanya dibutuhkan. Pasien harus dikateterisasi untuk memonitor output
urine tiap jam. Monitoring tekanan vena sentral dan penggunaan inotropik
sebaiknya digunakan pada pasien dengan sepsis atau pasien dengan
komorbid hipovolemi terjadi karena sejumlah besar cairan dan elektrolit
bergerak dari lumen usus ke dalam rongga peritoneal dan menurunkan
cairan ke dalam ruang vaskuler.4,9
3. Analgetik, digunakan analgetik opiat intravena dan mungkin dibutuhkan
antiemetik.4
4. Antibiotik
Harus spektrum luas, yang mengenai baik aerob dan anaerob,
diberikan intravena. Cefalosporin generasi III dan metronidazole adalah
strategi primer. Bagi pasien yang mendapatkan peritonitis di RS (misalnya
oleh karena kebocoran anastomose) atau yang sedang mendapatkan
perawatan intensif, dianjurkan terapi lini kedua diberikan meropenem atau
kombinasi dari piperacillin dan tazobactam. Terapi antifungal juga harus
dipikirkan untuk melindungi dari kemungkinan terpapar spesies Candida. 4,5

Definitif

Pembedahan

1. Laparotomi

Biasanya dilakukan insisi upper atau lower midline tergantung dari lokasi
yang dikira. Tujuannya untuk :9,10
 Menghilangkan kausa peritonitis

 Mengkontrol origin sepsis dengan membuang organ yang mengalami


inflamasi atau ischemic (atau penutupan viscus yang mengalami
perforasi).
 Peritoneal lavage

Mengkontrol sumber primer dari sepsis adalah sangat penting. Re-


laparotomi mempunyai peran yang penting pada penanganan pasien
dengan peritonitis sekunder, dimana setelah laparotomi primer ber-efek
memburuk atau timbul sepsis. Re-operasi dapat dilakukan sesuai
kebutuhan. Relaparotomi yang terencana biasanya dibuat dengan membuka
dinding abdomen dengan pisau bedah sintetik untuk mencegah eviserasi.
Bagaimanapun juga, penelitian menunjukkan bahwa five year
survival rate di RS dan jangka panjang, lebih tinggi pada relaparotomi
sewaktu daripada relaparotomi yang direncanakan. Pemeriksaan ditunjang
dengan CT scan. Perlu diingat bahwa tidak semua pasien sepsis dilakukan
laparotomi, tetapi juga memerlukan ventilasi mekanikal, antimikrobial, dan
support organ. Mengatasi masalah dan kontrol pada sepsis saat operasi
adalah sangat penting karena sebagian besar operasi berakibat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas
2. Laparoskopi

Teori bahwa resiko keganasan pada hiperkapnea dan syok septik


dalam absorbsi karbondioksida dan endotoksin melalui peritoneum yang
mengalami inflamasi, belum dapat dibuktikan. Tetapi, laparoskopi efektif
pada penanganan appendicitis akut dan perforasi ulkus duodenum.
Laparoskopi dapat digunakan pada kasus perforasi kolon, tetapi angka
konversi ke laparotomi lebih besar. Syok dan ileus adalah kontraindikasi
pada laparoskopi.9

Komplikasi

1. Syok Sepsis1,10

Pasien memerlukan penanganan intensif di ICU

2. Abses intraabdominal atau sepsis abdominal persisten. 10,11

Pada tanda-tanda sepsis (pireksia, leukositosis), pemeriksaan harus


disertakan CT dengan kontras luminal (khususnya apabila terdapat
anastomosis in-situ). Re- laparotomi diperlukan apabila terdapat
peritonitis generalisata. Drainase perkutaneus dengan antobiotik pilihan
terbaik merupakan terapi pada tempat yang terlokalisir. Terapi antibiotik
disesuaikan dengan kultur yang diambil dari hasil drainase. Sepsis
abdominal mengakibatkan mortalitas sekitar 30-60%. Faktor yang
mempengaruhi tingkat mortalitas adalah :
 Usia
 Penyakit kronis
 Wanita
 Sepsis pada daerah upper gastrointestinal
 Kegagalan menyingkirkan sumber sepsis.

3. Adhesi, dapat menyebabkan obstruksi intestinal atau volvulus.

BAB 3
PENUTUP
Prognosis

Prognosis untuk peritonitis lokal dan ringan adalah baik, sedangkan pada
peritonitis umum prognosisnya mematikan akibat organisme virulen.1

Kesimpulan

Radang peritoneum yang disebut dengan peritonitis terjadi dikarenakan


adanya penyebaran infeksi dari rongga abdomen sendiri atau karena adanya
luka tumpul pada abdomen. Dibutuhkan tatalaksana yang tepat sehingga dapat
menghasilkan prognosis yang bai

DAFTAR PUSTAKA

1. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R. 2011 Buku ajar Ilmu Bedah. Edisi 3.


Jakarta : EGC.
2. Schwartz, Shires, Spencer. 2000.Peritonitis dan Abses Intraabdomen
dalam Intisari Prinsip – Prinsip Ilmu Bedah. Edisi 6. Jakarta : EGC. Hal
489 – 493
3. Schrock. T. R.. 2000.Peritonitis dan Massa abdominal dalam Ilmu
Bedah, Ed.7, alih bahasa dr. Petrus Lukmanto, EGC, Jakarta.
4. Arief M, Suprohaita, Wahyu.I.K, Wieiek S, 2000, Bedah Digestif, dalam
Kapita Selekta Kedokteran, Ed:3; Jilid: 2; p 302-321, Media Aesculapius
FKUI, Jakarta.
5. Wim de jong, Sjamsuhidayat.R, 1997.Gawat Abdomen, dalam Buku ajar
Ilmu Bedah; 221-239, EGC, Jakarta.
6. Japanesa A, zahari A, et all. Pola kasus dan penatalaksanaan peritonitis
akut di Bangsal Bedah RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan
Andalas.2016;5(1)
7. Price, Sylvia. 2005.Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
Edisi 6. Jakarta : EGC.
8. Philips Thorek, Surgical Diagnosis,Toronto University of Illnois College
of Medicine,third edition,1997, Toronto.
9. Rasad S, Kartoleksono S, Ekayuda I.1999.Abdomen Akut, dalam
Radiologi Diagnostik, Hal 256-257, Gaya Baru, Jakarta.
10. Rotstein. O. D., Simmins. R. L., 1997, Peritonitis dan Abses Intra-
abdomen dalam Terapi Bedah Mutakhir, Jilid 2, Ed.4, alih bahasa dr.
Widjaja Kusuma, Binarupa Aksara, Jakarta
11. Rosalyn Carson-De Witt MD, Peritonitis Health Article,
http://www.css/healthlinestyles.v1.01.css
12. Putz R & Pabst R. 2007. Atlas Anatomi Manusia:Sobotta,
jilid.2.Jakarta :EGC
13. Angela D, Levy MD. Anatomy of peritoneum and mesentery. Radiology
Assistant.2009.

Anda mungkin juga menyukai