Anda di halaman 1dari 3

MASALAH INDUKSI

Ketika ilmuwan melakukan aktivitas eksperimennya, kebanyakan dilakukan secara induktif,


karena ilmuwan berangkat dari sampel yang diamati, ke klaim yang sepenuhnya
umum ,meskipun sampel tersebut representatif,

Saat kita mengamati sejumlah besar obyek yang memiliki sifat A dan ternyata semua obyek
tersebut juga memiliki sifat B, secara alamiah kita akan menyimpulkan bahwa semua obyek yang
memiliki sifat A juga memiliki sifat B — termasuk obyek-obyek yang kita belum pernah amati
(atau tidak dapat kita amati). Pertanyaan yang diangkat oleh Hume adalah: Apa justifikasi
rasional terhadap inferensi (kesimpulan) seperti itu? Secara lebih umum pertanyaan ini dapat
diringkas menjadi, apa alasan untuk percaya bahwa kesimpulan kita tentang hal-hal yang
teramati dapat diperluas (dengan probabilitas) untuk mencakup hal-hal yang tidak teramati?
Pertanyaan dasar tersebut seringkali diformulasikan menggunakan kerangka temporal/waktu
sebagai berikut: Apa alasan kita untuk percaya bahwa kita dapat mengambil kesimpulan yang
dapat diandalkan tentang hal-hal yang teramati dapat mencakup hal-hal yang tidak teramati atau
hal-hal yang terjadi di masa depan (tidak teramati) berdasarkan hal-hal yang terjadi di masa
lampau (teramati)?

Hume menyimpulkan bahwa kita tidak tidak memiliki alasan yang kuat untuk percaya bahwa
bahwa kesimpulan induktif memiliki justifikasi. Jadi, masalah induksi adalah bagaimana
memberi jawaban terhadap Hume dengan mengemukakan alasan yang kuat untuk mempercayai
bahwa “prinsip induksi” (yaitu prinsip yang mengatakan bahwa hal-hal di masa depan yang tidak
teramati menyerupai hal-hal di masa lampau yang sudah teramati) benar. Jawaban tersebut
sangat dibutuhkan karena sebagian besar riset ilmiah didasarkan pada penalaran induktif —
demikian pula kesimpulan yang kita ambil tiap hari tentang apa yang menurut kita bakal terjadi
di dunia.

Dalam tulisan ini saya akan meringkas upaya yang paling signifikan untuk menyelesaikan
masalah induksi dari perspektif sekuler; yaitu tanpa memperkenalkan tema-tema ‘religius’
seperti rancangan ilahi atau pewahyuan. Secara ringkas saya juga akan menjelaskan mengapa
setiap upaya ini tidak menyelesaikan masalah.

Tanggapan Induktif yang Naif

Sebelum membahas tanggapan yang rumit/canggih, sebagai bahan pembelajaran, kita akan
membahas tanggapan populer terhadap pertanyaan Hume. Pada saat ditanya, “Apa alasan kita
untuk berpandangan bahwa prinsip induktif benar?”, kebanyakan orang yang tidak
berkecimpung dalam hal ini akan menjawab kira-kira seperti ini, “Karena telah terbukti benar di
masa lampau.”

Rincian penalaran dari tanggapan tersebut dapat digambarkan demikian. Setelah mengamati hal-
hal yang terjadi di masa lampau dan mengambil kesimpulan (pada saat itu) tentang masa depan
yang tidak teramati, kesimpulan kita selalu terbukti benar lewat observasi langsung (yaitu pada
saat kita mengamati hal-hal yang sebelumnya tidak teramati). Karena selama ini hal-hal yang
tidak teramati ternyata mirip dengan hal-hal yang teramati, maka dengan yakin kita dapat
menyimpulkan bahwa (sekurang-kurangnya ada kemungkinan) bahwa semua hal yang tidak
teramati akan menyerupai hal-hal yang teramati.

Masalah dengan jawaban ini, seperti yang dengan susah payah ditunjukkan Hume adalah bahwa
jawaban ini merupakan penalaran melingkar. Tanggapan ini sendiri merupakan penalaran
induktif — yaitu penalaran tentang masa depan berdasarkan masa lampau — dan karena itu
sudah menganggap hal yang ingin dibuktikan sebagai benar: yaitu prinsip induksi. Jadi argumen
ini menderita kesalahan penalaran melingkar. Seperti dengan ringkas dan jelas diungkapkan oleh
Hume:[1]

Mengatakan bahwa [kesimpulan bahwa masa depan akan sama dengan masa lampau] merupakan
sesuatu yang eksperimental [yaitu berdasarkan pengalaman] adalah penalaran melingkar. Karena
semua kesimpulan dari pengalaman didasarkan pada keyakinan bahwa masa depan akan
menyerupai masa lampau, dan bahwa kekuatan yang serupa akan digabung dan memiliki kualitas
yang sama. Jika andaikata ada kemungkinan perubahan dalam cara kerja alam, dan [apa yang
terjadi] di masa lampau tidak merupakan keharusan bagi masa depan, maka segala pengalaman
menjadi tidak berguna dan tidak akan menghasilkan inferensi atau kesimpulan. Karena itu tidak
mungkin argumen yang didasarkan pada pengalaman membuktikan keserupaan antara masa
lampau dan masa depan; karena semua argumen [seperti] ini didasarkan pada anggapan adanya
keserupaan itu.

Solusi Popper

Dalam bukunya Objective Knowledge, Karl Popper menulis, “Saya mungkin salah; tetapi saya
pikir saya telah memecahkan masalah filsafat utama: masalah induksi.”[6] Popper memang salah
— setidaknya dia salah kalau kita memahami bahwa dia merujuk pada masalah yang
dikemukakan di atas. Kemudian ternyata bahwa Popper sebenarnya mengakui posisi Hume
terhadap masalah ini.[7] Solusi yang diajukan Popper terkait dengan masalah yang berbeda, yaitu
masalah apakah pengalaman masa lampau memberikan justifikasi untuk mengenakan nilai
kebenaran (yaitu., ‘benar’ atau ‘salah’) pada sebuah teori ilmiah. Dengan tepat Popper
berargumen bahwa sebuah teori ilmiah (yang melibatkan prediksi tentang hal-hal yang terjadi di
masa depan) dapat ditunjukkan sebagai salah oleh pengamatan masa kini atau masa lampau.
Namun argumen Popper tidak memberikan alasan sama sekali untuk berpandangan bahwa teori-
teori ilmiah dapat ditunjukkan sebagai benar (atau kemungkiann benar) dengan menggunakan
pengamatan masa kini atau masa lampau. Malah Popper percaya bahwa tidak ada alasan sama
sekali yang bisa diberikan untuk menjustifikasi masalah ini— dan karena itu dia tidak
memberikan penghiburan bagi para ilmuwan yang bertanya-tanya apakah mereka dapat
menyimpulkan bahwa teori-teori mereka yang berbasis empiris memiliki kemungkinan benar
sejak Hume mengemukakan keberatannya.

Secara khusus, ia mengklaim bahwa sains, jika dipahami dengan benar, tidak menggunakan
kesimpulan induktif sama sekali, melainkan berjalan secara deduktif atau dengan membuat
generalisasi yang berani dan kemudian mencoba untuk memalsukan mereka (yaitu dengan
mencoba menunjukkan bahwa generalisasi yang berani itu salah).

Tes yang baik membunuh teori yang salah; kita tetap hidup untuk menebak lagi (Popper)

Justifikasi Pragmatis: Reichenbach dan Salmon

Tanggapan baru terhadap masalah Hume diajukan oleh Hans Reichenbach dan baru-baru ini
dipertahankan oleh Wesley Salmon.[8] Reichenbach mengakui keseriusan masalah ini dan
menolak upaya-upaya induktif dan deduktif untuk membuktikan prinsip induksi tetapi
mengajukan pembenaran ‘pragmatis’ terhadap induksi. Pada intinya, dia berargumen bahwa
lebih bijaksana untuk bertaruh berdasarkan penalaran induktif daripada menggunakan metode
penalaran alternatif dari pengalaman. Penalarannya adalah sebagai berikut; kalau kita memilih
menggunakan induksi, maka sekurang-kurangnya kita memiliki kesempatan untuk berhasil (yaitu
andaikata prinsip induksi benar); namun kalau kita memilih menggunakan metode alternatif,
maka kita tidak memiliki kesempatan untuk berhasil (yaitu tidak tergantung apakah prinsip
induksi benar atau tidak); karena itu kita dibenarkan untuk memilih induksi.

Sejumlah besar kritikan dapat dikemukakan kepada tanggapan Reichenbach terhadap masalah
ini.[9] Namun kelemahan fatal dari pembenaran pragmatis adalah bahwa tanggapan tersebut
hanyalah pembenaran pragmatis dan bukan pembenaran epistemik. Maksudnya, walaupun
jawaban seperti ini mendorong kita untuk menggunakan strategi tertentu (yaitu bernalar secara
induktif), jawaban itu tidak memberi indikasi tentang kemungkinan keberhasilannya (yaitu
apakah prinsip induktif benar). Karena itu, tanggapan ini menderita masalah yang sama dengan
Taruhan Pascal (Pascal’s Wager) (yang mungkin mendorong kita untuk percaya pada Tuhan,
namun kita tidak lebih paham apakah Dia benar-benar ada atau tidak). Solusi yang sebenarnya
terhadap masalah ini memerlukan pembenaran epistemik — yaitu alasan untuk percaya bahwa
induksi dapat diandalkan — namun seberapapun cerdiknya solusi Reichenbach tidak
memberikan alasan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai