Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


World Health Organitation (WHO) menetapkan diusia 65 tahun telah
menujukan gejala penuaan secara nyata dan pada saat itu seseorang sudah dapat
dikatakan lanjut usia. Proses penuaan mengakibatkan terjadinya banyak
perubahan pada struktur tubuh dan fungsi psikologi, hal ini diakibatkan karena
penurunan kekuatan otot, penurunan keseimbangan, penurunan daya tahan tubuh
dan penurunan kemampuan aerobik. Menurunnya fungsi panca indra juga
mengakibatkan menurunnya refleks pada lansia. Akibat dari penurunan-
penurunan tersebut maka lansia memiliki risiko kecelakaan terjatuh yang sangat
tinggi (Putri dkk,2014) (Suhardi dkk,2014).
Proses penuaan seseorang ditandai dari kondisi tubuh semakin menurun,
mengakibatkan keseimbangan semakin menurun dan reflek semakin menurun
(Keper,1994). Menurut Manuabe (1998) mengatakan bahwa pada usia 60 tahun,
kondisi fisik seseorang akan menurun 25% ditandai dengan penurunan kekuatan
otot, sedangkan kemampuan motorik dan sensoris menurun sekitar 60%.
Sedangkan sistem saraf lansia akan mengalami perubahan ditandai dengan
matinya sel pada otak secara kontinyu dimulai sejak usia 50 tahun, hal ini
mengakibatkan berkurangnya pasokan darah ke otak. Disamping itu berkurangnya
kecepatan konduksi saraf, hal ini disebabkan karena menurunnya kemampuan
saraf yang menyampaikan impuls dari dan ke otak (Cremer,1994). Menurut
Rabbitt (1994) menurunnya kapasitas prosessing akan berakibat lambatnya reaksi
tubuh. Akibat lainnya yang penting untuk diperhatikan adalah penurunan
kepekaan panca indra, terjadinya buta parsial, melemahnya kecepatan focus dan
semakin buramnya lensa yang ditandai dengan lensa mata semakin berwarna
kuning. Hal mempersulit membedakan warna hijau, biru dan violet. Keadaan
tersebut menyebabkan pergerakan lansia di kamar mandi semakin lamban dan
terbatas. Untuk itu diperlukan alat bantu yang berfungsi memudahkan dalam
bergerak seperti peganggan tangan atau hand grips (Gandjean, 1988). Mengingat
hal tersebut maka secara umum sangat perlu diperhatikan pemilihan bahan yang
membahayakan lansia. Seperti kemungkinan terpeleset karena menggunakan
bahan yang licin, dan sudut tajam yang dapat menyebabkan cedera. Lansia pada
umumnya menderita presbyopia atau tidak dapat melihat jarak jauh dengan jelas,
hal ini diakibatkan karena berkurangnya elastisitas lensa mata. Disamping lansia
mengalami perubahan struktur kulit yang kering dan menebal sehingga sensitifitas
kulit dalam peraba semakin berkurang dan beresiko terhadap termal yang
berlebihan.
Kerapuhan tulang atau osteoporosis termasuk penyakit gangguan metabolisme
dimana tubuh tidak mampu secara maksimal menyerap kalsium dan vitamin untuk
proses penulangan secara normal. Pada keadaan ini terjadi pengurangan masa tulang
yg mengakibatkan tulang lebih ringan dan lebih rapuh (Yatim,2000). Untuk itu di
dalam mendesain kamar mandi dan toilet lansia sudut-sudut lancip harus dihindari,
level lantai diminimalkan, tidak memilih bahan- bahan yang licin untuk
meminimalkan kemungkinan kecelakaan yang menyebabkan patah tulang. Penurunan
kekuatan tubuh lansia pada tangan sebesar 16-40%, penurunan kekuatan genggam
tanggan menurut sebesar 50% dan kekuatan lengan menurun 50% (Kamper,1994).
Keper,1994 juga mengatakan bahwa berkurangnya kekuatan dan keleluasaan gerak
pada tubuh lansia diakibatkan karena berkurangnya fungsi organ-organ pengerak,
stimulus sensor organ, motor neurons, tingkat kesegaran jasmani (VO2max) dan
penurunan kontraksi otot. Untuk itu perlu di pasang railing pada kamar mandi dan
toilet untuk membantu optimalisasi penggunaan otot lengan lansia agar dapat bergerak
secara mandiri. Menurut Zein (2015) penurunan kekuatan tubuh lansia disebabkan
karena terjadinya penurunan fungsi motoric pada kekuatan otot. Penurunan kekuatan
otot mengakibatkan kesulitan bergerak dari duduk ke posisi berdiri dan sebaliknya,
dari berdiri ke jongkok dan sebaliknya, dan sebagainya.
Keberfungsian social pada lansia dapat diukur dari kemampuan fungsional,
fungsi istumen dan fungsi eksekutif. Kemampuan fungsional adalah kemampuan
lansia yang berkaitan dengan merawat diri(personal care) seperti makan, minum dan
mandi, berpakaian, buang air besar dan kecil. Sedangkan fungsi-fungsi instrumental
seperti menggunakan telepon, berbelanja, memasak, mengerjakan pekerjaan rumah,
berkendaraan, berpergian menggunakan trasportasi umum dan mampu mengelola
keuangan. Fungsi eksekutif seperti kemampuan menganalisis, kemampuan mengambil
keputusan dan kemampuan merencanakan. Fungsi-fungsi lansia tersebut dapat
dioptimalkan berdasarkan fungsi dan tenaga yang masih tersisa sehingga tidak dapat
dibandingkan dengan usia yang masih produktif dan remaja (Vicky dan
Wibowo,2014).
Dengan melihat kecenderungan tersebut maka sejak tahun 2004, Presiden
melalui kepres RI No.52 tahun 2004, yang berisikan tentang Komisi Nasional
Lanjut Usia. Untuk menjalankan Kepres tersebut di dalam membantu presiden,
pemerintah Indonesia merasa perlu berupaya meningkatkan kesejahteraan sosial
dengan memperbaiki fasilitas-fasilitas lansia di setiap panti jompo, salah satunya
adalah fasilitas kamar mandi dan toilet. Fasilitas kamar mandi dan toilet
seharusnya mendapat pehatian yang khusus karena kecelakaan lansia paling
rentan terjadi di ruang kamar mandi dan toilet, (Habib, 2017).
Melihat begitu banyaknya presentase tingkat kecelakaan yang terjadi
terutama terhadap lansia wanita pada kamar mandi dan toilet, maka perlu
difikirkan konsep dan desain kamar mandi yang ergonomis sesuai dengan lansia
sebagai pemakainya. Upaya ini memang perlu dilakukan karena menginggat
kemampuan gerak lansia telah banyak menurun yang disebabkan oleh penurunan
kapasitas sensorik dan motorik , (Habib, 2017).
Penelitian ini didasari oleh pertimbangan bahwa masyarakat modern
khususnya di perkotaan yang sudah tergolong lansia akan cenderung melanjutkan
hidupnya di komunitas orang-orang lansia seperti panti jompo. Kedepannya panti
jompo bukan hanya dihuni oleh lansia yang tidak memiliki keturunan atau lansia
yang tingkat ekonominya lemah tetapi lansia dengan tingkat ekonomi yang
bervariasi akan banyak menjadi penghuni panti jompo. Kencenderungan seperti
itu karena dengan pemikikan yang lebih moderen para lansia akan berfikir akan
lebih nyaman hidup di lingkungan seumurnya dengan memiliki kebisaan yang
hampir sama, pemikiran yang hampir mirip, disamping lansia yg memiliki
pemikiran moderen tidak ingin merepotkan anaknya yang berkerja seharian dan
juga terkadang terjadi kesalah fahaman akibat beda pemikiran sehingga
kebanyakan nantinya memilih panti jompo untuk tempat tinggal mereka.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang termuat dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Apakah yang dimaksud dengan Ergonomi?
2. Bagaimana cara untuk mendesain interior kamar mandi dan toilet para
lansia dengan pendekatan total Ergonomi?
3. Seperti apakah visualisasi pendekatan total Ergonomic pada desain
interior kamar mandi dan toilet lansia?

1.3 Batasan Masalah


Adapun batasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Kurangnya kesejahteraan sosial terhadap kebutuhan para lansia.
2. Kurangnya penciptaan prototype desain interior, kamar mandi dan toilet
lansia yang Ergonomis.
3. Banyaknya kecelakaan para lansia yang terjadi di toilet dan kamar mandi.

1.4 Tujuan Penelitian


Adapun Tujan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Ergonomi.
2. Untuk mengetahui cara untuk mendesain interior kamar mandi dan toilet
para lansia dengan pendekatan total Ergonomi.
3. Untuk mengetahui visualisasi pendekatan total Ergonomic pada desain
interior kamar mandi dan toilet lansia.

1.5 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian penciptaan seni (P2S) adalah sebagai berikut:
1. Meningkatkan kesejahteraan sosial dengan memperbaiki fasilitas-fasilitas
lansia di setiap panti jompo.
2. Memberikan edukasi sekaligus solusi terhadap masyarakat moderen terkait
dengan desain interior kamar mandi dan toilet lansia dengan menggunakan
pendekatan total ergonomic.
3. Mampu menjawab semua masalah dan sesuai dengan tuntutan aktivitas
para lansia.

1.6 Asumsi
Adapun asumsi yang ada pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Para lansia rentan mengalami kecelakaan didalam toilet dan kamar mandi.
2. Lansia cenderung melanjutkan hidupnya di komunitas orang-orang lansia
seperti panti jompo.
3. Produk-produk yang digunakan para lansia di Indonesia masih jauh dari
Ergonomi yang layak.

1.7 Sistematika Penulisan


Adapun sistematika penulisan pada laporan penelitian ini terbagi kedalam
5 bab, yang masing-masing bab mengandung beberapa sub bab yaitu sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini berisikan tentang penguraian tentang latar belakang, rumusan
masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, asumsi serta
sistematika penulisan.
BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini berisikan penguraian tentang pengertian Pengertian Ergonomi,
manfaat Ergonomi, prinsip Ergonomi, Pengertian Musculoskeletal Disorder
(MSDs), Jenis-jenis Musculoskeletal Disorder (MSDs), Faktor Resiko Ergonomi
Terkait MSDs dan REBA.
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini bersisikan penguraian tentang tahapan penelitian, obyek penelitian,
dsubyek penelitian, jenis data penelitian, metode analisa data, idemtifikasi
kebutuhan lansia, biaya dan jadwal penelitian, mekanisme penelitian, desain
kamar mandi lansia, desain atribut kamar mandi lansia, serta kesimpulan dan
saran.
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Ergonomi

2.1.1 Pengertian Ergonomi


Istilah Ergonomi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
ergon yang artinya kerja dan nomos yang artinya aturan atau hukum. Menurut
(Panero, 2003) Ergonomi adalah sebuah teknologi perancangan kerja yang
didasarkan pada ilmu-ilmu biologi yang meliputi banyak cakupan seperti
manusia, anatomi, fisiologi, dan psikologi.
Ergonomi adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Kata
“ergonomi” berasal dari kata Yunani yaitu “ergon” berarti kerja dan “nomos”
berarti hukum alam, dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek manusia
dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi, psikologi,
engineering, manajemen dan perancangan dan desain (Nurmianto, 1996).
Ergonomi adalah ilmu, seni dan penerapan teknologi untuk menyerasikan
atau menyeimbangkan antara segala fasilitas yang digunakan baik dalam
beraktivitas maupun istirahat dengan kemampuan dan keterbatasan manusia baik
fisik maupun mental sehingga kualitas hidup secara keseluruhan menjadi lebih
baik (Tarwaka, dkk, 2004).
Fokus ergonomi melibatkan tiga komponen utama yaitu manusia, mesin
dan lingkungan yang saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Interaksi
tersebut menghasilkan suatu sistem kerja yang tidak bisa dipisahkan antara yang
satu dengan yang lainnya yang dikenal dengan istilah worksystem (Bridger,
2003).
Adapun ergonomi adalah interaksi manusia dengan sistem, profesi, prinsip,
data, dan metode dalam rangka merancang sistem tersebut agar sesuai dengan
kebutuhan, keterbatasan, serta keterampilan manusia. Ergonomic design yang baik
meniadakan keterbatasan antara pekerjaan dan pekerja sehingga tercipta
lingkungan kerja yang kondusif. Meskipun ergonomi kerja sering kali merujuk
kepada aspek fisik, ada cakupan yang lain yaitu kognitif dan organisasi. Sesuai
namanya, physical ergonomic berkaitan dengan karakteristik anatomi,
antropometri, fisiologi, dan biomekanik manusia yang berhubungan dengan
aktivitas fisik. Sedangkan physical ergonomic berkonsentrasi pada pencegahan
cedera melalui evaluasi lingkungan kerja, mulai dari postur sampai gerakan
repetitif, cognitive ergonomic terutama dikaitkan dengan fungsi otak. Sementara
itu, organizational ergonomic fokus kepada sistem sociotechnical, mencakup
struktur organisasi, kebijakan, serta proses. Beberapa topik yang relevan, seperti
komunikasi, desain jam kerja, kerja sama tim, manajemen sumber daya, dan
manajemen kualitas.

2.1.2 Manfaat Ergonomi


Ergonomi yang tidak baik adalah kontributor utama terhadap kecelakaan
kerja akut ataupun yang terbentuk seiring waktu. Kecelakaan akut akibat kurang
baiknya Ergonomi kerja misalnya cedera tulang belakang karena mengangkat
benda dengan teknik yang tidak tepat. Adapun pentingnya penerapan Ergonomi
yaitu sebagai berikut:
1. Meningkatkan Produktivitas
Makin Ergonomis workstation yang dimiliki seorang pekerja, makin
nyaman pula ia melakukan pekerjaannya. Tidak ada tekanan yang tidak
perlu, baik fisik maupun mental. Tidak ada juga postur yang kurang baik
berkat baiknya desain lingkungan kerja. Dengan demikian, pekerjaan
dapat dilakukan dengan mudah dan nyaman. Dengan menurunnya tekanan,
risiko cedera, serta meningkatnya kenyamanan dalam bekerja, umumnya
produktivitas seseorang juga turut meningkat.
2. Menghemat Biaya
Setiap kecelakaan kerja yang terjadi merupakan tanggung jawab
perusahaan. Sebab itu, penerapan prinsip ergonomi berkaitan erat dengan
penghematan biaya operasional. Melalui desain lingkungan kerja yang
Ergonomis, kita berupaya untuk menjadikan para pekerja lebih sehat dan
terhindar dari cedera. Jika dilihat dari perspektif keuangan, hal tersebut
berarti menekan kompensasi biaya yang mungkin perlu dikeluarkan oleh
perusahaan.
3. Meningkatkan Produktivitas Kerja
Dengan memperbaiki lingkungan kerja, pekerja dapat bekerja secara lebih
efisien. Selanjutnya, kualitas dari pekerjaan pun makin baik. Selain karena
pekerjaan dapat dilakukan dengan efisien, peningkatan kualitas kerja juga
didukung oleh performa karyawan yang jauh lebih sehat dan merasa
nyaman saat bekerja.
Menurut Pheasant (2003) ada beberapa manfaat ergonomi, yaitu sebagai
berikut:

1. Peningkatan hasil produksi, yang berarti menguntungkan secara ekonomi.


Hal ini antara lain disebabkan oleh:
a. Efisiensi waktu kerja yang meningkat.
b. Meningkatnya kualitas kerja.
c. Kecepatan pergantian pegawai yang relati rendah
2. Menurunnya probabilitas terjadinya kecelakaan, yang berarti:
a. Dapat mengurangi biaya pengobatan yang tinggi. Hal ini cukup berarti
karena biaya untuk pengobatan lebih besar daripada biaya untuk
pencegahan.
b. Dapat mengurangi penyediaan kapasitas untuk keadaan gawat darurat
3. Dengan menggunakan antropometri dapat direncanakan atau didesain:
a. Pakaian kerja
b. Workspace
c. Lingkungan kerja
d. Peralatan/ mesin
e. Consumer product

2.1.3 Prinsip Ergonomi


Pada dasarnya, prinsip ergonomi memungkinkan kamu mendesain
lingkungan kerja sedemikian rupa untuk mencegah terjadinya cedera. Dengan
begitu, lingkungan bisnis menjadi area yang aman dan sehat bagi para pekerja.
Adapun prinsip kerja ergonomi adalah sebagai berikut:
1. Menjaga Postur Tetap Netral
Postur netral merupakan kondisi di mana badan selaras dan seimbang,
baik saat duduk maupun berdiri, meminimalisasi tekanan pada badan dan
memastikan sendi selalu selaras. Dengan begitu, tekanan pada otot, saraf,
serta tulang pun sangat minim sehingga orang yang bersangkutan dapat
memiliki kontrol dan memproduksi kekuatan secara maksimal. Dalam
rangka memastikan bekerja dengan postur netral, kamu juga perlu
memastikan segala sesuatu berada dalam jangkauan. Jadi, kamu dapat
menghindari tarikan yang tidak perlu pada otot ketika berupaya menjangkau
sesuatu.
2. Mengurangi Kekuatan Yang Berlebihan
Mengeluarkan kekuatan berlebihan merupakan salah satu faktor risiko
dalam ergonomi. Sayangnya, kadang cukup banyak pekerjaan yang
membutuhkan kekuatan besar sehingga usaha otot meningkat dan dapat
meningkatkan kelelahan serta risiko cedera otot atau tulang. Memang ada
banyak keadaan yang memerlukan kekuatan besar. Namun, ide dari prinsip
ergonomi diharapkan pekerja menyadari hal tersebut dan berupaya
menurunkan kekuatan yang dibutuhkan, misalnya dengan memanfaatkan
alat bantu.
3. Menghindari Gerakan Yang Berlebihan
Gerakan repetitif sudah pasti menjadi salah satu faktor risiko utama dalam
ergonomi. Cukup banyak pekerjaan yang gerakannya memang berulang
serta berada dikontrol oleh target produksi per jam atau per hari. Ketika
gerakan repetitif tinggi dikombinasikan dengan kekuatan berlebihan dan
postur yang tidak netral, maka ada potensi besar sekali untuk terjadinya
musculoskeletal injury. Karena itu, bila memungkinkan gerakan berlebihan
perlu dikurangi. Sebagai catatan, suatu gerakan masuk ke dalam kategori
repetisi tinggi bila berulang dalam rentang 30 detik. Apabila gerakan
tersebut tidak dapat dikurangi, perlu dipastikan tidak ada kekuatan
berlebihan ataupun postur tidak netral selama mengerjakannya. Cara
lainnya untuk menekan potensi cedera, menerapkan rotasi dan memberikan
stretch break bagi pekerja.
4. Memberi Ruang Untuk Peregangan
Peregangan atau stretching bisa mengurangi kelelahan, juga meningkatkan
keseimbangan otot dan postur, serta memperbaiki koordinasi otot.
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penerapan Ergonomi (Anies,
2005) yaitu:

1. Kondisi fisik, mental dan sosial harus diusahakan sebaik mungkin


sehingga didapatkan tenaga kerja yang sehat dan produktif.
2. Kemampuan jasmani dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan
antropometri, lingkup gerak sendi dan kekuatan otot.
3. Lingkungan kerja harus memberikan ruang gerak secukupnya bagi tubuh
dan anggota tubuh sehingga dapat bergerak secara leluasa dan efisien.
4. Pembebanan kerja fisik dimana selama bekerja peredaran darah
meningkat 10 s/d 20 kali. Meningkatnya peredaran darah pada otot-otot
yang bekerja memaksa jantung untuk memompa darah lebih banyak.
5. Sikap tubuh dalam bekerja berhubungan dengan dengan tempat duduk,
meja kerja dan luas pandangan. Untuk merencanakan tempat kerja dan
perlengkapan yang dipergunakan, diperlukan ukuran-ukuran tubuh yang
menjamin sikap tubuh paling alamiah dan memungkinkan dilakukan
gerakan-gerakan yang dibutuhkan.
 

2.2 Musculoskeletal Disorder (MSDs)

2.2.1 Pengertian Musculoskeletal Disorder (MSDs)


Menurut NIOSH (1997) yang dimaksud Musculoskeletal Disorder adalah
sekelompok kondisi patologis yang mempengaruhi fungsi normal dari jaringan
halus sistem musculoskeletal yang mencakup sistem saraf, tendon, otot dan
struktur penunjang seperti discus intervetebral.
Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
Pertama, keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada
saat otot menerima beban statis, namun demikian keluhan tersebut akan segera
hilang apabila pembebanan dihentikan. Kedua, keluhan menetap (persistent),
yaitu keluhan otot yang bersifat menetap. Walaupun pembebanan kerja telah
dihentikan, namun rasa sakit pada otot masih terus berlanjut.
Menurut Humantech (1995), Musculoskeletal Disorder (MSDs)
diterjemahkan sebagai kerusakan trauma kumulatif. Penyakit ini terjadi karena
proses penumpukan cedera atau kerusakan kecil-kecil pada sistem
musculoskeletal akibat trauma berulang yang setiap kalinya tidak sempat
sembuh sempurna, sehingga membentuk kerusakan cukup besar untuk
menimbulkan rasa sakit.
Gangguan atau pencederaan pada sistem musculoskeletal hampir tidak
pernah langsung, tetapi lebih merupakan suatu akumulasi dari benturan-benturan
kecil maupun besar yang terjadi secara terus-menerus dan dalam waktu yang
relative lama, bisa dalam hitungan hari, bulan atau tahun, tergantung dari berat
ringannya trauma setiap kali dan setiap hari, sehingga akan terbentuk cedera
yang cukup besar yang diekspresikan sebagai rasa sakit, nyeri atau kesemutan,
pembengkakan dan gerakan yang terhambat atau gerakan minim pada jaringan
tubuh yang terkena trauma.
Pulat (1992), menjelaskan bahwa ada 2 jenis gaya dari gerakan otot yang
dipengaruhi beban kerja fisik terhadap tubuh, yaitu :
1. Gaya dinamis
Tipe ini memiliki karakteristik dimana melibatkan otot yang berkontraksi
secara ritmis dan berelaksasi. Tekanan dan relaksasi menyebabkan darah
bersirkulasi dengan baik, dimana oksigen yang dibutuhkan dan yang akan
dikeluarkan oleh tubuh juga masih efektif didapatkan.

2. Gaya statis.
Tipe ini memiliki karakteristik terjadi kontraksi yang lama, terjadi
gangguan pada aliran darah. Dimana supply oksigen dan hasil
buangannya tidak berjalan dengan baik. Tidak adanya oksigen dan
glukosa yang akan diterima menyebabkan gaya ini tidak akan bertahan
lama. Akan terjadi sakit pada sistem otot yang juga meningkatkan produk
buangan termasuk asam laktat, yang akan berakumulasi di jaringan otot.

2.2.2 Jenis-jenis Musculoskeletal Disorder (MSDs)


Musculoskeletal Disorder (MSDs) dapat disebabkan oleh berbagai faktor
resiko, baik berupa faktor tunggal maupun kombinasi dari berbagai faktor resiko
Berikut ini adalah beberapa jenis MSDs yang sering terjadi dan gejalanya,:

1. Carpal Tunnel Syndrome (CTS)


Gangguan tekanan/pemampatan pada syaraf tengah, salah satu dari tiga
syaraf yang menyuplai tangan dengan kemampuan sensorik dan motorik.
CTS pada pergelangan tangan merupakan terowongan yang terbentuk
oleh carpal tulang pada tiga sisi dan ligamen yang melintanginya. Gatal
dan mati rasa pada jari khususnya di malam hari, mati rasa yang
menyakitkan, sensasi bengkak yang tidak terlihat, melemahnya sensasi
genggaman karena hilangnya fungsi saraf sensorik.
2. Hand-Arm Vibration Syndrome (HAVS)
Gangguan pada pembuluh darah dan saraf pada jari yang disebabkan oleh
getaran alat atau bagian/permukaan benda yang bergetar dan menyebar
langsung ke tangan. Dikenal juga sebagai getaran yang menyebabkan
white finger, traumatic vasospatic diseases atau fenomena Raynaud’s
kedua. Mati rasa, gatal-gatal dan putih pucat pada jari, lebih lanjut dapat
menyebabkan berkurangnya sensitivitas terhadap panas dan dingin.
Gejala biasanya muncul dalam keadaan dingin. Getaran, durasi,
frekuensi, intensitas getaran, suhu dingin.
3. Low Back Pain
Bentuk umum dari sebagian Sakit di bagian tertentu yang dapat besar
kondisi patologis yang mempengaruhi tulang, tendon, syaraf, ligamen,
invertebral disc dari lumbar spine (tulang belakang).Mengurangi tingkat
pergerakan tulang belakang yang ditandai oleh kejang otot. Sakit dari
tingkat menengah sampai yang parah dan menjalar sampai kaki.
Sulit berjalan normal dan pergerakan tulang belakang menjadi berkurang.
Saat ketika mengendarai mobil batuk atau mengganti posisi.
4. Peripheral Nerve Entrapment Syndromes
Pemampatan atau penjepitan saraf pada tangan atau kaki (saraf sensorik,
motorik dan autonomik). Gejala secara umum pucat, terjadinya
perubahan warna dan terasa dingin pada tangan/kaki, pembengkakan,
berkurangnya sensitivitas dalam genggaman, sakit dan lemahnya refleksi
tendon. Gejala khusus tergantung jenis saraf yang kena. Saraf sensorik:
gatal, mati rasa dan sakit pada area suplai, terasa sakit dan panas, sakit
seperti tumpul atau sensasi pembengkakan yang tidak kelihatan. Saraf
motorik: lemah, kekakuan pada otot, kesulitan memegang sebuah objek.
Postur, repetisi, force/gaya, getaran dan suhu.
5. Peripheral
Neuropathy Gejala permulaan yang tersembunyi dan gatal-gatal yang
sering timbul, mati rasa, terasa sakit bila disentuh, lemahnya
membahayakan dari dysesthesias dan ketidakmampuan dalam menerima
sensasi. otot dan munculnya atrophy yang merusak jaringan saraf
motorik, melambatnya aliran konduksi saraf, berkurangnya potensi atau
amplitudo saraf sensorik dan motorik, repetisi, getaran dan suhu.
6. Tendinitis dan Tenosynovitis
Tendinitis merupakan peradangan pada tendon, adanya struktur ikatan
yang melekat pada masing-masing bagian ujung dari otot ke tulang.
Sedangkan Tenosynovitis merupakan peradangan tendon yang juga
melibatkan synovium (perlindungan tendon dan pelumasnya). Pegal,
sakit pada bagian tertentu khususnya ketika bergerak aktif seperti pada
siku dan lutut yang disertai dengan pembengkakan. Kemerah-merahan,
terasa terbakar, sakit dan membengkak ketika bagian tubuh tersebut
beristirahat.

2.3 Faktor Resiko Ergonomi Terkait MSDs


Faktor-faktor yang mempengaruhi keluhan MSDs terdiri dari
(Tarwaka, dkk, 2004) :
1. Faktor pekerjaan, meliputi: postur, beban/gaya, frekuensi, dan durasi.
2. Faktor individu, meliputi: umur, jenis kelamin, masa kerja, kebiasaan
merokok, kesegaran jasmani, dan antropometri pekerja.
3. Faktor lingkungan meliputi: tekanan, getaran, dan suhu.

2.3.1 Faktor Resiko Pada Pekerjaan


Pekerjaan fisik yang dilakukan di tempat kerja berhubungan dengan
kapasitas otot pada tubuh pekerja. Faktor fisik yang termasuk di dalamnya adalah
sebagai berikut:
1. Postur Janggal
Postur tubuh mengalami deviasi secara signifikan terhadap posisi
normal saat melakukan pekerja. Postur janggal akan meningkatkan
beban kerja dari otot sehingga merupakan pemberi kontribusi yang
signifikan terhadap gangguan otot rangka. Selain meningkatkan
tenaga yang dibutuhkan juga menyebabkan transfer tenaga otot
menuju skeletal sistem menjadi tidak efisien.
2. Beban
Force atau pengerahan tenaga merupakan jumlah usaha fisik yang
dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas atau gerakan. Pekerjaan
menggunakan tenaga besar akan memberikan beban mekanik yang besar
terhadap otot, tendon, ligamen dan sendi. Dengan adanya beban berat
dapat mengakibatkan kelelahan otot, tendon, dan jaringan lainnya, iritasi
dan inflamasi.
3. Frekuensi
Frekuensi dapat diartikan sebagai banyaknya gerakan yang dilakukan
dalam suatu periode waktu. Jika aktivitas pekerjaan dilakukan secara
berulang, maka dapat disebut sebagai repetitive. Gerakan repetitive dalam
pekerjaan, dapat dikarakteristikkan baik sebagai kecepatan pergerakan
tubuh, atau dapat diperluas sebagai gerakan yang dilakukan secara
berulang tanpa adanya variasi gerakan. Posisi/postur yang salah dengan
frekuensi pekerjaan yang sering dapat menyebabkan suplai darah
berkurang, akumulasi asam laktat, inflamasi, tekanan pada otot, dan
trauma mekanis. Frekuensi terjadi sikap tubuh yang salah terkait dengan
berapa kali terjadi repetitive motion dalam melakukan suatu pekerjaan.
Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban kerja terus
menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
4. Durasi
Durasi adalah lamanya waktu pekerja terpapar secara terus- menerus
oleh factor resiko ergonomi. Pekerjaan yang menggunakan otot yang
sama untuk durasi yang lama dapat meningkatkan potensi timbulnya
kelelahan, baik lokal atau dapat juga pada sekujur tubuh. Secara
umum dapat dikatakan, semakin lama durasi pekerjaan beresiko
tersebut, maka waktu yang diperlukan untuk pemulihan juga akan
semakin lama. Maka dapat dikatakan bahwa durasi merupakan faktor
yang berkontribusi pada faktor resiko lainnya yang besarannya sangat
tergantung dengan sifat dari faktor resiko yang memapar pekerja.

2.4 REBA
REBA (Rapid Entire Body Assessment) adalah sebuah metode yang
dikembangkan oleh Hignett, S. and McAtamney, L, untuk memberikan
secara cepat dan mudah alat analisis observasi postur pada keseluruhan
anggota tubuh (statis dan dinamis). Digunakan secara cepat untuk
menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan pergelangan
tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi
faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh pekerja. Data yang
dikumpulkan termasuk postur badan, kekuatan yang digunakan, tipe dari
pergerakan, gerakan berulang, dan gerakan berangkai. Skor akhir REBA
memberikan indikasi level resiko dari suatu pekerjaan dan tindakan yang
harus dilakukan/diambil.
REBA dapat digunakan ketika mengkaji faktor Ergonomi di tempat
kerja, dimana dalam melakukan analisis menggunakan :
1. Seluruh tubuh yang sedang digunakan
2. Postur statis, dinamis, kecepatan perubahan, atau postur yang tidak
stabil
3. Pengangkatan yang sedang dilakukan dan seberapa seringnya
Modifikasi tempat kerja, peralatan, pelatihan atau perilaku
pekerja yang bekerja mengabaikan resiko juga dimonitor.
Alasan menggunakan metode REBA adalah sebagai alat
analisis postur yang cukup sensitif untuk postur kerja yang sulit diprediksi
dalam bidang perawatan kesehatan dan industri lainnya. REBA melakukan
assessment pergerakan repetitif dan gerakan yang paling sering dilakukan
dari kepala sampai kaki. REBA digunakan untuk menghitung tingkat resiko
yang dapat terjadi sehubungan dengan pekerjaan yang dapat menyebabkan
MSDs dengan menampilkan serangkaian tabel-tabel untuk melakukan
penilaian berdasarkan postur-postur yang terjadi dari beberapa bagian tubuh
dan melihat beban atau tenaga aktivitasnya. Perubahan nilai-nilai disediakan
untuk setiap bagian tubuh yang dimaksudkan untuk memodifikasi nilai dasar
jika terjadi perubahan atau penambahan faktor resiko dari setiap pergerakan
yang dilakukan.

1. Prosedur Penilaian Metode REBA


Observasi Pekerjaan yaitu, Mengobservasi pekerjaan untuk
mendapatkan formula yang tepat dalam pengkajian faktor ergonomi
di tempat kerja, termasuk dampak dari desain tempat kerja dan
lingkungan kerja, penggunaan peralatan, dan perilaku pekerja yang
mengabaikan resiko. Jika memungkinkan, data disimpan dalam
bentuk foto atau video. Bagaimanapun juga, dengan menggunakan
banyak peralatan observasi sangat dianjurkan untuk mencegah
kesalahan parallax.
2. Memilih postur yang akan dikaji
Memutuskan postur yang mana untuk dianalisa dapat dengan
menggunakan kriteria di bawah ini:
a. Postur yang sering dilakukan
b. Postur dimana pekerja lama pada posisi tersebut
c. Postur yang membutuhkan banyak aktivitas otot atau yang banyak
menggunakan tenaga
d. Postur yang diketahui menyebabkan ketidaknyamanan
e. Postur tidak stabil, atau postur janggal, khususnya postur yang
menggunakan kekuatan
f. Postur yang mungkin dapat diperbaiki oleh intervensi, kontrol,
atau perubahan lainnya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tahapan Penelitian

Penelitian dan Penciptaan dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap


penelitian (research) dan penciptaan (design). Dimana kedua tahapan ini saling
berkaitan. Metodologi yang digunakan yaitu Research-Based Design.
ResearchBased Design atau disingkat RBD, merupakan proses penelitian
dikemukakan oleh Teemu Leinonen yang merupakan ispirasi dari teori desain
(Leinonen & Durall, 2014).

Metodologi RBD menitikberatkan pada prototype desain dengan


pendekatan solusi kreatif, ekplorasi beragam gagasan dan konsep desain,
pengujian berkelanjutan, redesain dari solusi desain. RBD lebih dekat dengan
penelitian artistik dibanding dengan penelitian eksak.
Tujuan RBD nantinya menghasilkan artefak baru dan menghasilkan
pengetahuan baru tentang proses penciptaan dari artefak dalam hal pendekatan
total Ergonomic pada desain kamar mandi dan toilet lansia., antara eksak dan
estetika yang harus saling mendukung. Pengetahuan terkait tentang ergonomic
dan desain interior kamar mandi lasia akan berkolaborasi dalam menghasilkan
menghasilkan desain kamar mandi dan toilet lansia yang bertujuan menghasilkan
solusi bagi masyarakat moderen terhadap permasalahan yang dihadapi lansia saat
beraktivitas di kamar mandi dan toilet.
Ada 4 fase metode Research-Based Design yaitu sebagai berikut:
1. Penyelidikan Kontekstual (Contextual Inquiry)
2. Desain partisipatoris (Participatory Design)
3. Desain Awal (Preliminary Design)
4. Desain Konseptual (Prototype as Hypothesis).

Pendekatan makroergonomi partisipatori dalam desain kamar mandi


mengikuti langkah-langkah dalam skema berikut:
LANGKAH 1
Perkenalan tujuan penelitian kepada manajemen dari panti jompo

LANGKAH 2
Identifikasi pasif dan aktif.

LANGKAH 3
Perancangan
FGD ke-2 sebagai usulanbaru
diskusi desain desain awal prototype
bersama

LANGKAH 4
FGD ke-1 sebagai bentuk diskusi evaluasi usulan desain awal

LANGKAH 5
Pencarian solusi dari hasil FGD ke-1

LANGKAH 6

3.1.1 Objek Penelitian


Objek pada penelitian ini adalah desain kamar mandi yang dikususkan
untuk lansia. Desain ruang kamar mandi ini terdiri dari desain tata letak, tinggi
genggaman, kloset, penampung air dan handel pintu.
3.1.2 Subyek Penelitian
Subjek pada penelitian ini adalah lansia pengguna kamar mandi Panti
Lansia Madania, Bali, dengan jenis kelamin perempuan dan laki-laki.
3.1.3 Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan
sekunder. Data primer dilakukan melalui kuesioner tertutup dan terbuka yang
dibagikan pada setiap responden lansia. Untuk data sekunder dilakukan melalui
pencarian literatur dan dokumentasi pada bidang penelitian.
3.1.4 Metode Analisaa Data
Analisis dilakukan dengan menguraikan hasil pengolahan data sehingga
dapat ditemukan akar permasalahan yang selanjutnya dievaluasi dengan
pendekatan makroergonomi untuk menghasilkan usulan perbaikan desain kamar
mandi lansia.
1. Uji Validitas
Validitas merupakan sebuah derajat ketepatan antara data yang
dikumpulkan dengan data yang terjadi pada objek, dengan
mengorelasikan antara skor item dengan total item-item (Sugiyono,
2016). Dalam melakukan uji validitas digunakan bantuan software
IBM SPSS statistik versi 24. Langkah-langkah yang digunakan
dalam melakukan uji validitas dengan bantuan software SPSS
statistik versi 24 sebagai berikut :
a. Menentukan Uji Hipotesis
H0 : Skor butir kuesioner tingkat kenyamanan valid
H1 : Skor butir kuesioner tingkat kenyamanan tidak valid
b. Menentukan Nilai r-tabel
Menggunakan tingkat
signifikansi (α) = 5%
derajat kebebasan (df)= n-2
c. Nilai r-hitung diperoleh setalah melakukan pengolahan data
yang dibantu dengan software SPSS. Hasil output SPSS
pada nilai Product Moment Correlation digunakan sebagai
nilai r-hitung.
d. Kesimpulan Untuk penilaian kriteria validasi suatu
pernyataan diambil berdasarkan :
r-hiutng > r-tabel maka H0 diterima, butir kuesioner tingkat
kenyamanan dinyatakan valid.
r-hitung < r-tabel maka H0 ditolak, butir kuesioner tingkat
kenyamanan dinyatakan valid.

2. Uji reliabilitas merupakan seberapa besar tingkat kesamaan hasil


data menggunakan objek yang sama (Sugiyono, 2012).
Kriteria pengelompokkan hasil uji reliabilitas sebagai berikut
(Dewi, 2018):

Nilai Cronbach’s Alpha Tingkat Keandalan

0,00-1,19 Reliabilitas sangat rendah


0,20-0,39 Reliabilitas rendah
0,40-0,59 Reliabilitas sedang
0,60-0,70 Reliabilitas tinggi
0,80-1,00 Reliabilitas sangat tinggi

3.1.5 Identifikasi Kebutuhan Lansia

No Keluhan Keinginan
1 Lantai kamar mandi
Perubahan jenis lantai
yang licin
2 Kamar mandi yang
Pelebaran kamar mandi
sempit
3 Tidak ada rambatan
Ditambahkan hand rail
dinding
4 Tidak tahan mandi
sambil jongkok atau Ditambahkan kursi
berdiri
5 Membutuhkan air Ditambahkan water
hangat heater
6 Lantai tidak rata Lantai rata

3.2 Biaya dan Jadwal Penelitian


1. Anggaran Biaya
Adapun anggaran biaya dalam penciptaan Seni (P2S) dengan Pendekatan
Total Pada Desain Interior Restroom Lansia yang terbagi dalam jenis
pengeluaran dan biaya yang diusulkan dapat dilihat pada Tabel 3.1
sebagai berikut:
BIAYA
NO JENIS PENGELUARAN YANG
DIUSULKAN
(Rp)
Honorarium untuk desainer partisipatoris, 10.000.000
1
drafter, dan 3D Artist

Pembelian bahan habis pakai untuk


2 pembelian ATK, fotocopy, surat
menyurat, penyusunan laporan, cetak,
penjilidan, publikasi, pulsa, internet, 8.000.000
bahan laboratorium, langganan jurnal,
bahan pembuatan kelengkapan pameran

Perjalanan untuk survei, workshop desain


2.000.000
3 partisipatoris, akomodasi-konsumsi,
transport

Sewa ruang laboratorium, kendaraan,


4 peralatan 0
penunjang
Jumlah 20.000.000

2. Jadwal Penelitian
Penelitian pertama dilakukan pada April 2021-Agustus 2021. Waktu
penelitian dapat dilihat pada Tabel 2.2 sebagai berikut:
Kegiatan dan
No April Mai Juni Juli Agustus
lingkup penelitian
1 Kontrak penelitian
2 Pengumpulan bahan
dan peralatan
3 Pelaksanaan
program dan
pengumpulan
data
4 Penulisan laporan
akhir
5 Seminar hasil,
penelitian dan
pameran

3.3 Mekanisme Penelitian


Pendekatan total ergonomi sebagai konsep ekologi interior kamar mandi
dan toilet lansia dilingkungan panti jompo Bali nantinya dapat digunakan sebagai
salah satu peraturan pemerintah di dalam pembangunan rumah jompo khususnyaa
di Bali dan umumnya di Indonesia.
Hasil atau luaran penelitian berupa desain konsep (prototype) keseluruhan
yang mencakup desain interior kamar mandi dan toilet lansia yang mencakup
beberapa unsur terdiri dari penataan dari fasilitas, jenis fasilitas, pemilihan
material, penghawaan, pencahayaan, system yang digunakan pada pintu , dan
implementasi warna yang sesuai dengan karakteristik lansia. Dimana unsur-unsur
yang akan digunakan sebagai dasar di dalam mendesain interior kamar mandi
lansia didapatkan dari penelitian review jurnal dan literature yang sudah
dilakukan sebelumnya pada tahun 2019. Desain interior kamar mandi dan toilet
ini diharapkan mampu membuka pemahaman dan menyadarkan masyarakat
bahwa pentingnya menyediakan fasilitas kamar mandi dan toilet untuk lansia yang
aman dan nyaman untuk meningkatkan kesejahteraan social dengan mendesain
fasilitas kamar mandi dan toilet lansia dengan pendekatan total Ergonomic dengan
menggunakan teknologi tepat guna dengan tidak meninggalkan nilai estetika.
Tujuan kegiatan ini adalah untuk menghasilkan desain interior kamar
mandi dan toilet lansia yang ergonomic yang dapat diterapkan pada panti-panti
jompo dan rumah tinggal tanpa meninggalkan nilai estetika untuk
mengakomodasi kehidupan social lansia di jaman modern, dan bersifat universal
di kalangan lansia.
3.3.1 Desain Kamar Mandi Lansia
Usulan gambar berikut digunakan untuk didiskusikan dengan para ahli dan
lansia. Berikut ini gambar rancangan kamar mandi lansia dalam bentuk 3D.

Gambar 3.1 Desain Kamar Mandi Lansia


3.3.2 Desain Atribut Kamar Mandi Lansia
Selain usulan rancangan gambar ruang, terdapat usulan rancangan
atribut kamar mandi lansia dalam bentuk 2D dan 3D. Usulan gambar
berikut digunakan untuk didiskusikan dengan para ahli dan lansia. Berikut
ini gambar rancangan atribut kamar mandi lansia dalam bentuk 2D dan 3D.

Gambar 3.2 Desain Atribut Kamar Mandi Lansia


3.4 Kesimpulan
Adapun Kesimpulan hasil penelitian penciptaan Seni (PS2) desain kamar
mandi lansia yang diperoleh yaitu:

1. Desain usulan untuk perbaikan kamar mandi dipanti lansia madania


untuk meningkatkan kenyamanan kamar mandi lansia berdasarkan
hasil partisipatory yaitu dengan menambahkan hand rail,
penambahan luas kamar mandi, pintu kamar mandi yang dapat
dilalui kursi roda, menggunakan kloset duduk, penggunaan lantai
yang terang, penambahan kursi untuk mandi, penambahan
pencahayaan dan fentelasi.
2. Hasil uji persepsi terdapat peningkatan nilai usulan desain kamar
mandi lansia sebesar 28 %. Dengan hasil uji wilcoxon signed rank
test diperoleh nilai Asymp. Sig (2-tailed) sebesar 0,003 < 0,05
menunjukkan bahwa hipotesis H1 diterima. Hal ini berarti terjadi
peningkatan persepsi lansia berdasarkan usulan desain yang
diberikan kepada lansia.

3.5 Saran
Hasil penelitian yang telah dilakukan perlu diperhatikan hal sebagai
berikut:
1. Desain kamar mandi lansia tersebut dapat digunakan sebagai
peneliti dalam mengembangkan lebih lanjut.
2. Penelitian selanjutnya perlu untuk memperhatikan aspek biaya.
3. Diharapkan semua pihak ikut andil dalam mendukung penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai