Nusantara. Mereka disebut juga bangsa Deutero-Melayu atau Melayu Muda dan langsung berbaur dengan penduduk sebelumnya. Bangsa Deutero-Melayu ini hidup bersama dan bahkan kawin mawin dengan penduduk asli dari bangsa dan ras yang sama yang jauh lebih dulu tiba di Nusantara, yang biasa disebut dengan bangsa Proto- Melayu. Selain melalui aktivitas perdagangan yang semakin intens pada masa ini, pembauran ini diduga mempermudah serta mempercepat penyebaran serta pertukaran hasil-hasil budaya.
Bangunan-bangunan megalitik, seperti punden berundak,
menhir, sarkofagus, dolmen, dan kubur batu, semakin berkembang masa ini sebelumnya telah dipraktikkan pada masa bercocok tanam, tetapi dalam lingkup yang masih terbatas. Karena alasan itu, yaitu berkembang pesatnya bangunan-bangunan megalitik dan alat-alat dari logam, kebudayaan masa perundagian disebut juga kebudayaan megalitik dan kebudayaan logam. Kendati demikian, kekhasan masa perundagian adalah kebudayaan logam. Sementara itu, keadaan alam pada masa perundagian sama dengan keadaan alam masa sekarang. Iklim sudah sangat stabil.
Ada beberapa jenis manusia pendukung yang hidup pada
zaman megalitikum, diantaranya yaitu:
Meganthropus paleojavanicus (Manusia berukuran besar
dan jalannya tegak) Pithecanthropus (Manusia kera) dan terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: Pithecanthropus erectus (Manusia kera yang jelannya tegak atau tegap) Pithecanthropus mojokertensis (Manusia kera yang berasal dari Mojokerto) Pithecanthropus soloensis (Manusia kera yang berasal dari Solo). Kehidupan sosial ini udah ada sejak zaman neolitikum sampai dengan zaman perunggu. Manusia pada zaman megalitikum ini udah bisa membuat dan meninggalkan kebudayaan di zaman batu besar. Megalitikum meninggalkan kebudayaan yang cukup unik dan menarik. Bahkan di zaman modern sekarang ini, kita masih bisa menemui kebudayaan tersebut. Hal terebut disebabkan adanya suku di Indonesia yang masih tetap melestarikan kebudayaan yang ada di masa atau zaman megalitikum. Ada beberapa temuan tersebut, diantaranya adalah Kapak persegi, kapak, lonjong, menhir, dolmen, kubur batu, waruga, warkobagus, puden berudak-undak, arca – arca.
Kehidupan ekonomi pada zaman ini, alat – alat yang
dipakai pada zaman megalitikum yaitu berbahan dasar dari batu. Zaman megalitikum yang sudah mulai tertata ini membuat mereka memiliki seperangkat norma yang mereka sepakati. Seperangkat norma ini berisi hak dan kewajiban yang mengikat sekelompok orang yang ada di setiap kawasan.
Jika ada yang melanggar maka, sang pemimpin juga
memiliki kewajiban untuk menegur atau memberi hukuman. Namun, untuk hukum rimba, pada zaman megalitikum ini belum juga hilang. Hukum yang kuat yang menang dan memimpin masih sangat kental di kehidupan sosial zaman ini. Jadi tidak heran jika, manusia di zaman ini sangat besar-besar dan kuat- kuat, hal tersebut sebagai salah satu cara untuk bertahan diri di tengah hukum rimba yang masih berlaku. Gerabah adalah perkakas yang terbuat dari tanah liat yang dibentuk kemudian dibakar kemudian dijadikan alat-alat yang berguna membantu kehidupan manusia. Gong nekara adalah gong perunggu buatan kebudayaan Dong Son, yang terdapat di delta Sungai Merah Vietnam Utara. Gong ini diproduksi pada sekitar 600 tahun sebelum masehi atau sebelumnya, sampai abad ketiga Masehi. Nekara tersebut berfungsi sebagai kantongan kerajaan. Selain itu juga dipakai untuk upacara keagamaan serta perlengkapan pada upacara pesta-pesta kenduri. Kapak corong adalah peralatan prasejarah yang terbuat dari perunggu dan terdapat rongga di tengahnya.
Rongga di bagian tengah itulah yang membuat peralatan
logam ini terkenal dengan nama kapak corong. Secara umum, kapak ini memiliki tiga jenis, yaitu kapak sepatu (bentuknya mirip sepatu), kapak upacara (digunakan hanya saat mengadakan ritual), dan kapak corong yang memiliki rongga seperti corong. Candrasa adalah hasil kebudayaan zaman logam yang tergolong ke dalam kapak corong, tetapi panjang satu sisinya. Di Indonesia, keterangan pertama tentang kapak yang terbuat dari perunggu diberikan oleh Rumphius pada awal abad ke-18. Kepercayaan kepada pengaruh arwah nenek moyang terhadap perjalanan hidup manusia serta upacara- upacara religius yang menyertainya semakin berkembang pada masa perundagian. Diyakini bahwa arwah nenek moyang itu akan melindungi dan menyertai perjalanan hidupnya manusia jika arwah-arwah itu selalu diperhatikan dan dipuaskan melalui upacara-upacara. Suatu tempat yang khusus dimaksudkan untuk keperluan pemujaan semacam itu adalah di Pasir Angin, sebuah bukit yang terletak di dekat Leuwiliang . Selain itu, orang yang telah meninggal diberikan penghormatan dan sesajian selengkap mungkin dengan maksud mengantar arwah dengan sebaik-baiknya ke tempat tujuannya, yaitu dunia arwah.
Dalam kaitannya dengan hal itu, penguburan orang
yang meninggal dilakukan dengan dua cara, yakni dengan cara langsung dan tidak langsung . Pada penguburan langsung , mayat langsung dikuburkan di tanah atau diletakkan dalam suatu wadah di dalam tanah. Kuburan ini dianggap sebagai kuburan sementara karena upacara yang terpenting dan yang terakhir belum dilaksanakan. Setelah semua persiapan untuk upacara disediakan, mayat yang sudah jadi rangka itu diambil, dibersihkan atau mungkin dicuci, dibungkus lagi, lalu dan dikuburkan di tempat yang disediakan. Penguburan yang kedua ini dapat dilakukan di dalam tempayan, kubur batu atau wadah dalam tanah.