Anda di halaman 1dari 5

Sekitar tahun 300 SM, gelombang kedua dari bangsa

Melayu Austronesia dari ras Mongoloid tiba di


Nusantara. Mereka disebut juga bangsa Deutero-Melayu
atau Melayu Muda dan langsung berbaur dengan penduduk
sebelumnya. Bangsa Deutero-Melayu ini hidup bersama
dan bahkan kawin mawin dengan penduduk asli dari
bangsa dan ras yang sama yang jauh lebih dulu tiba di
Nusantara, yang biasa disebut dengan bangsa Proto-
Melayu. Selain melalui aktivitas perdagangan yang
semakin intens pada masa ini, pembauran ini diduga
mempermudah serta mempercepat penyebaran serta
pertukaran hasil-hasil budaya.

Bangunan-bangunan megalitik, seperti punden berundak,


menhir, sarkofagus, dolmen, dan kubur batu, semakin
berkembang masa ini sebelumnya telah dipraktikkan
pada masa bercocok tanam, tetapi dalam lingkup yang
masih terbatas. Karena alasan itu, yaitu berkembang
pesatnya bangunan-bangunan megalitik dan alat-alat
dari logam, kebudayaan masa perundagian disebut juga
kebudayaan megalitik dan kebudayaan logam. Kendati
demikian, kekhasan masa perundagian adalah kebudayaan
logam. Sementara itu, keadaan alam pada masa
perundagian sama dengan keadaan alam masa sekarang.
Iklim sudah sangat stabil.

Ada beberapa jenis manusia pendukung yang hidup pada


zaman megalitikum, diantaranya yaitu:

Meganthropus paleojavanicus (Manusia berukuran besar


dan jalannya tegak)
Pithecanthropus (Manusia kera) dan terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
Pithecanthropus erectus (Manusia kera yang jelannya
tegak atau tegap)
Pithecanthropus mojokertensis (Manusia kera yang
berasal dari Mojokerto)
Pithecanthropus soloensis (Manusia kera yang berasal
dari Solo).
Kehidupan sosial ini udah ada sejak zaman neolitikum
sampai dengan zaman perunggu. Manusia pada zaman
megalitikum ini udah bisa membuat dan meninggalkan
kebudayaan di zaman batu besar. Megalitikum
meninggalkan kebudayaan yang cukup unik dan menarik.
Bahkan di zaman modern sekarang ini, kita masih bisa
menemui kebudayaan tersebut. Hal terebut disebabkan
adanya suku di Indonesia yang masih tetap
melestarikan kebudayaan yang ada di masa atau zaman
megalitikum. Ada beberapa temuan tersebut,
diantaranya adalah Kapak persegi, kapak, lonjong,
menhir, dolmen, kubur batu, waruga, warkobagus, puden
berudak-undak, arca – arca.

Kehidupan ekonomi pada zaman ini, alat – alat yang


dipakai pada zaman megalitikum yaitu berbahan dasar
dari batu. Zaman megalitikum yang sudah mulai tertata
ini membuat mereka memiliki seperangkat norma yang
mereka sepakati. Seperangkat norma ini berisi hak dan
kewajiban yang mengikat sekelompok orang yang ada di
setiap kawasan.

Jika ada yang melanggar maka, sang pemimpin juga


memiliki kewajiban untuk menegur atau memberi
hukuman. Namun, untuk hukum rimba, pada zaman
megalitikum ini belum juga hilang. Hukum yang kuat
yang menang dan memimpin masih sangat kental di
kehidupan sosial zaman ini. Jadi tidak heran jika,
manusia di zaman ini sangat besar-besar dan kuat-
kuat, hal tersebut sebagai salah satu cara untuk
bertahan diri di tengah hukum rimba yang masih
berlaku.
Gerabah adalah perkakas yang terbuat dari tanah liat
yang dibentuk kemudian dibakar kemudian dijadikan
alat-alat yang berguna membantu kehidupan manusia.
Gong nekara adalah gong perunggu buatan kebudayaan
Dong Son, yang terdapat di delta Sungai Merah Vietnam
Utara. Gong ini diproduksi pada sekitar 600 tahun
sebelum masehi atau sebelumnya, sampai abad ketiga
Masehi.
Nekara tersebut berfungsi sebagai kantongan kerajaan.
Selain itu juga dipakai untuk upacara keagamaan serta
perlengkapan pada upacara pesta-pesta kenduri.
Kapak corong adalah peralatan prasejarah yang terbuat
dari perunggu dan terdapat rongga di tengahnya.

Rongga di bagian tengah itulah yang membuat peralatan


logam ini terkenal dengan nama kapak corong.
Secara umum, kapak ini memiliki tiga jenis, yaitu
kapak sepatu (bentuknya mirip sepatu), kapak upacara
(digunakan hanya saat mengadakan ritual), dan kapak
corong yang memiliki rongga seperti corong.
Candrasa adalah hasil kebudayaan zaman logam yang
tergolong ke dalam kapak corong, tetapi panjang satu
sisinya. Di Indonesia, keterangan pertama tentang
kapak yang terbuat dari perunggu diberikan oleh
Rumphius pada awal abad ke-18.
Kepercayaan kepada pengaruh arwah nenek moyang
terhadap perjalanan hidup manusia serta upacara-
upacara religius yang menyertainya semakin berkembang
pada masa perundagian. Diyakini bahwa arwah nenek
moyang itu akan melindungi dan menyertai perjalanan
hidupnya manusia jika arwah-arwah itu selalu
diperhatikan dan dipuaskan melalui upacara-upacara.
Suatu tempat yang khusus dimaksudkan untuk keperluan
pemujaan semacam itu adalah di Pasir Angin, sebuah
bukit yang terletak di dekat Leuwiliang . Selain
itu, orang yang telah meninggal diberikan
penghormatan dan sesajian selengkap mungkin dengan
maksud mengantar arwah dengan sebaik-baiknya ke
tempat tujuannya, yaitu dunia arwah.

Dalam kaitannya dengan hal itu, penguburan orang


yang meninggal dilakukan dengan dua cara, yakni
dengan cara langsung dan tidak langsung . Pada
penguburan langsung , mayat langsung dikuburkan di
tanah atau diletakkan dalam suatu wadah di dalam
tanah. Kuburan ini dianggap sebagai kuburan
sementara karena upacara yang terpenting dan yang
terakhir belum dilaksanakan. Setelah semua persiapan
untuk upacara disediakan, mayat yang sudah jadi
rangka itu diambil, dibersihkan atau mungkin
dicuci, dibungkus lagi, lalu dan dikuburkan di
tempat yang disediakan. Penguburan yang kedua ini
dapat dilakukan di dalam tempayan, kubur batu atau
wadah dalam tanah.

Anda mungkin juga menyukai