Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH KELOMPOK

DETERMINAN KEBAHAGIAAN: PERILAKU


VOLITIONAL, KEHENDAK BEBAS, DAN TEORI SELF
DETERMINATION

Dosen Pengampu: Veni Agri Vici Purba, M.Psi., Psikolog

Disusun Oleh : Kelompok 7

1. Devi Novita Siadari 19900031

2. Ribka Br Bangun 19900038

3. Siska Novrida 19900043

4. Octaviani Purba 19900045

KELAS A

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN


2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa
selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada Ibu Veni Agri Vici Purba, M.Psi., Psikolog
sebagai dosen yang telah membimbing kami dalam meyelesaikan makalah mengenai
“Determinan Kebahagiaan: Perilaku Volitional, Kehendak Bebas, dan Seld Determination”
dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Medan, 22 Septermber 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................... 1


B. Rumusan Masalah ................................................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 2

A. Perilaku Volitional ................................................................................................ 2


B. Kehendak Bebas.................................................................................................... 3
C. Teori Self Determination .................................................................................... 10
D. Mini Theory Determination Diri ......................................................................... 12
E. Meningkatkan Determinasi Diri Siswa ............................................................... 15

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 18

A. Kesimpulan ......................................................................................................... 18
B. Saran ................................................................................................................... 18

DARTAR PUSTAKA ...................................................................................................... iii

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masa remaja merupakan masa perpindahan atau perubahan dari masa anak-
anak menuju masa dewasa. Secara psikologi remaja berasal dari bahasa latin
adolescere yang memiliki arti proses pertumbuhan agar dapat mencapai kematangan
hidup atau proses dalam perkembangan untuk menjadi dewasa (Ali dan Asrori, 2006,
h.9). Ketika seorang remaja yang dulunya disebut kanak-kanak dan masih sangat
bergantung kepada orang tuanya. Pada saat remaja mulai untuk belajar hidup mandiri
dan mulai belajar untuk menyelesaikan masalahanya sendiri.
Remaja juga cenderung mulai melakukan suatu hal atas kemauannya sendiri
yang disebut juga sebagai perilaku volitional. Perilaku Volitional merupakan perilaku-
perilaku yang dilakukan atas kemauan invidu itu sendiri.
Dorongan atau motivasi yang muncul dari dalam diri remaja penting untuk
menentukan arah dan perilaku. Salah satu fungsi nyata terkait dorongan ini adalah
bagaimana individu dapat mencapai tujuan atau prestasi sesuai dengan apa yang
diinginka. Prestasi terkait akademik merupakan hal yang didambakan oleh orang tua
dan guru terhadap anak. Mereka menyadari bahwa motivasi ialah hal yang krusial
untuk kesuksesan akademik, yang mana self determination memiliki hubungan yang
positif dengan pencapaian prestasi akademik dan konsep diri.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan perilaku volitional?
2. Apa yang dimaksud dengan kehendak bebas?
3. Apa yang dikamsud dengan self determination
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa itu perilaku volitional
2. Untuk mengetahui apa itu kehendak bebas
3. Untuk mengetahui self determination.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PERILAKU VOLITIONAL
Menurut Ajzen (1988), banyak sekali perilaku-perilaku yang dilakukan oleh
manusia dalam kehidupan sehari-hari dilakukan dibawah kontrol kemauan (volitional
control) pelaku. Melakukan perilaku dibawah kontrol kemauan (volitional control)
adalah melakukankegiatan perilaku atas kemauannya sendiri. Perilaku-perilaku
dibawah kontrol kemauan ini disebut dengan perilaku volitional (volitional behavior)
yang didefinisikan sebagai perilaku-perilaku yang individual-individual
menginginkannya, atau menolak untuk tidak melakukannya jika mereka memutuskan
untuk melawannya. Perilaku-perilaku volitional(volitional behavior) disebut juga
dengan istilah perilaku-perilaku yang diinginkan (willfulbehaviors). Lawan dari
perilaku atas kemauan sendiri (volitional behavior) ini adalah perilakudiwajibkan
(mandatory behavior). Perilaku diwajibkan (mandatory behavior) adalah perilakuyang
bukan atas kemauannya sendiri tetapi karena memang tuntutan atau kewajiban
darikerja. Perilaku yang diwajibkan misalnya adalah perilaku operator komputer
menggunakankomputer untuk memasukkan data.
Perilaku seseorang yang memiliki kontrol atas kemauan sendiri (volitional
control) yang tidak lengkap (Ajzen, 1991:181; Fila, 2006; Jogiyanto, 2007: 61).
Menurut Ajzen & Fishbein (1975: 16) minat seseorang dipengaruhi oleh sikap
(attitude) dan norma-norma subjektif (subjective norms). Model inilah yang disebut
dengan TRA. Kemudian dalam TRA ditambahkan sebuah konstruk yang belum ada,
yang disebut dengan kontrol perilaku persepsian (perceived behavioral control/PBC)
(Jogiyanto, 2007: 61). Oleh karenanya TPB digunakan dalam berbagai penelitian
untuk menduga minat berperilaku melalui pengujian sikap, norma subjektif
(keyakinan normat.
Perilaku volitional didasarkan asumsi, pertama, manusia melakukan sesuatu
dengan cara yang masuk akal. Kedua, manusia mempertimbangkan semua informasi.
Ketiga, secara eksplisit maupun implisit manusia memperhitungkan implikasi

2
tindakan mereka.Teori niat untuk berperilaku (Fishbein dan Ajzen, 1975) hanya
mendasarkan dan menyatakan niat berperilaku dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu
sikap berperilaku dan norma subyektif. Sehingga masih terbuka luas untuk konstruksi
pengembangan perilaku khusus. Perilaku individu secara tidak langsung juga
dipengaruhi oleh variabel eksternal yang kemudian berinteraksi pula dengan faktor-
faktor lingkungan saat menentukan perilaku. Variabel eksternal tersebut adalah
demografi, karakteristik personalitas, keyakinan mengenai obyek, sikap terhadap
obyek, karakteristik tugas, dan situasional. Sehingga niat untuk berperilaku seorang
individu akan direspon ketika faktor-faktor dikeadaan sekitarnya terefleksi untuk
mengambil tindakan individu.
Menurut Kivinen (1997a), dalam proses motivasi ada faktor kemauan
(volition) yang berperan mengarahkan seseorang dalam perilakunya. Kivinen
memberikan contoh yang menunjukkan peran motivasi dan kemauan pada perilaku
seseorang sebagai berikut:
Seorang siswa termotivasi untuk membaca buku pada malam hari. Ia
mengambil buku dan mulai membaca. Pada peristiwa tersebut, motivasi mengarahkan
perilaku siswa tersebut untuk membaca. Sedangkan kemauan untuk membaca
(volition atau will) membuat siswa tersebut tetap memilih untuk membaca, walaupun
ada acara sepakbola kegemarannya di televisi.

B. KEHENDAK BEBAS
Menurut pandangan determinisme, manusia tidak memiliki kehendak bebas
dalam menentukan prinsip-prinsip pokok moralitas di dalam hidupnya.Sedangkan
indeterminisme menganggap bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk
menentukan prinsip-prinsip pokok moralitas tersebut.
1. Pengertian Kehendak Bebas
Istilah kehendak dalan kamus Poerwadarminta berarti kemauan atau keinginan
dan harapan keras (Poerwadarminta, 1987). Menurut Lorens Bagus, istilah
kehendak ini (dalam bahasa Inggris berarti .Will; Latin, Voluntas; Yunani,
Boulema) mengacu kepada suatu potensi, fakultas, atau daya di dalam manusia
yang terlibat di dalam pengambilan keputusan.(Lorens Bagus, 1992). Kehendak
dapat juga mengandung arti menyetujui atau tidak setuju terhadap sesuatu pilihan,
hasrat atau kebenaran (Ali Mudhafir, 1992).

3
Sedangkan istilah bebas (dalam bahasa inggris bebas berarti free) mengacu
pada kemandirian atau kemampuan untuk menentukan diri dari makhluk rasional
(DogertD. Runes, 1979).
Mana kala kedua istilah itu dipadukan menjadi kehendak bebas (free will),
maka ia mengandung arti sebagai daya mahluk rohani untuk menentukan dirinya
berkenan dengan nilai-nilai yang diketahui, yang terbatas (artinya sebelumnya
tidak ditentukan nilai mana yang diambil).
Istilah kehendak bebas menurut Lorens Bagus, adalah kekuatan mahluk rohani
untuk memilih atau tidak memilih kebaikan yang terbatas. Karena itu baru ada
pertanyaan mengenai kehendak bebas mana kala sebuah nilai dipandang real,
tetapi terbatas dan karenanya tidak terikat pada ketidak-sempurnaan, maka
kehendak mutlak harus mengafirmasikan dan mencari kebaikan ini (Lorens
Bagus, 1992).
Sedangkan Runes menegaskan kehendak bebas ini dilawankan dengan faham
determinisme yang menganggap bahwa kebebasan kehendak manusia itu dalam
pengertian sebagai berikut:
Kebebasan untuk tidak ditentukan, yaitu kemerdekaan yang dinyatakan
keinginan dari kondisi anteseden, psikologis, dan fisiologis suatu kehendak
bebas dalam pengertian ini merupakan bagian yang tidak disebabkan atau
tidak dihubungkan menurut suatu cara yang seragam dengan karakter
perantara, motif-motif dan keadaan-keadaan.
Kebebasan memilih altematif yang terkandung di dalam kemampuan
menduga dari perantara untuk memilih di antara berbagai kemungkinan
alternatif tindakan.
Kebebasan menentukan diri sendiri terkandung di dalam kemerdekaan
untuk memutuskan dari paksaan atau ketidakleluasaan ekstemal, tetapi di
dalam kesesuaian dengan motif-motif batiniah dan ideal dari perantara
(Runes, 1979).
Di antara ketiga pengertian kehendak bebas di atas maka pengertian yang
ketiga lebih mengena pada masalah moral. Istilah kehendak bebas ini memang
paling intens dipergunakan dalam hubungannya dengan kegiatan etis.
Apakah manusia memiliki kehendak bebas dalam menentukan keputusan-
keputusan moral? Kalau manusia tidak memiliki kehendak bebas dalam
menentukan keputusan-keputusan moral, Dapatkah manusia itu diminta

4
pertanggungan jawab? Bagaimana hubungan antara kehendak bebas ini dengan
tanggung-jawab pribadi manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan? Kesemuanya
ini merupakan problema filosofis yang mengundang perdebatan panjang dalam
perjalanan sejarah filsafat. Oleh karena itu kita akan coba menelusuri pandangan
beberapa filsuf dari aliran filsafat yang concern terhadap peranan kehendak bebas
ini dalam eksistensi manusia.

2. Pandangan Para Filsuf Tentang Kehendak Bebas


Dunia ini penuh hal yang mengagumkan, tetapi tidak ada yang lebih
mengagumkan dari pada manusia, demikian ujar Sophocles. (Conny S., 1991).
Manusia memang tidak hanya mengagumkan, tetapi mengandung misteri yang
tidak cukup diungkap dari aspek fisiologis semata (Alexis Careel, 1987).
Kekaguman dan tabir misteri inisemakin menebal manakala kita coba
mengungkap salah satu unsur dalam aktivitas jiwa manusia, yaitu kehendak.
Berikut ini akan diketengahkan pandangan beberapa filsuf tentang kehendak.
Plato (427-347 SM);
Menurut pandanganya jiwa manusia dapat dibagi ke dalam tiga fungsi,
yaitu keinginan dan kemauan (epithymia), energik (thymos) dan rasional
(logos). Jika keinginan serta energi di bawah pimpinan rasio dapat
berkembang dengan semestinya, maka akan timbul manusia yang
harmonis dan adil (VanderWeij, 1988).
Plato menganalogikan keinginan (epithymia) ini dengan benih, petani
dan pedagang sebagai golongan yang produktif, energi (thymos)
dianalogikan dengan prajurit sebagai golongan penjaga, sedangkan
rasional (logos) dianalogikan dengan pejabat sebagai pemegang pucuk
pimpinan tertinggi. Dengan demikian terlihat jelas bahwa rasio sebagai
pemegang keputusan. Peranan akal lebih tinggi dari pada kehendak,
namun peranan kehendak selalu dibutuhkan oleh akal, terutama untuk
pendorong timbulnyacinta (eros).
Menurut Plato eros adalah daya kreatif dalam diri manusia, pencetus
kehidupan, inspirator para penemu, seniman dan genius (Van der Weij,
1988). Disini kita melihat bahwa Plato meletakkan peranan kehendak pada
bidang epistimologis.

5
Aristoteles (384 - 322 SM )
la menggantungkan problema" kehendak itu dalam keutamaan.
Keutamaan adalah perwujudan kemungkinan-kemungkinan baik dari
manusia (Vander Weij, 1988). Ini berarti bahwa manusia memiliki potensi
untuk mencapai keutamaan dan mewujudkan dalam tindakan. Bagi
Aristoteles, kebahagiaan sempurna adalah mempraktekkan keutamaan
tertinggi, yakni mewujudkan "yang paling baik" dalam diri kita, yaitu
bakat rasional kita. Dengan kata Iain, bagi Aristoteles manusia memiliki
potensi untuk berbuat baik.
Aristoteles tidak menyinggung peranan kehendak bebas dalam diri
manusia dan yang diutamakan adalah potensi dalam diri manusia untuk
mencapai keutamaan. Keutamaan dan kejelekan kedua-duanya,
merupakan sesuatu yang bisa kita. raih. Memang orang dapat terbiasa
dengan pilihan, tetapi menjadi tanggung jawabnya, bahwa ia membiasakan
diri pada yang baik itu sejak awal (Sudihardjo, 1993).
Agustinus, (354"-"430 )
Prinsip dasar etika Agustinus mehgikuti etika Plato dan Aristoteles,
yakni eudemonisme dan teleologis, artinya kebaikan diukur dari tujuan
mencari kebahagiaan, dengan mengupayakan keutamaan-keutamaan.
Keutamaan ini berasal dari Tuhan. Bagi Agustinus, kebebasan adalah
mutlak. Manusia bebas mengarahkan jiwanya menuju kebaikan tetap
(immutable good), atau kebaikan-kebaikan semu (mutable good).
Meskipun ada kebebasan manusia diberi pengetahuan mengenai
kebenaran, mengenai hukum-hukum Tuhan untuk diikuti. Tuhan yang
merupakan sumber kebaikan yang tetap, kebahagiaan abadi. Pengetahuan
tentang kebenaran yang mengarahkan pada kebahagiaan inipun
ditanamkan Tuhan dalam diri manusia dalam hatinya, (Sudihardjo, 1993).
Dengan demikian pada diri manusia terdapat kebebasan untuk berbuat dan
pada sisi yang lain dalam diri manusia tertanam pengetahuan kebenaran.
Thomas Aquinasi 1225-1274)
Seorang filsuf pada zaman pertengahan yang menginterprestasi ajaran
Aristoteles daIam konteks agama Kristiani, menurut pandangannya
manusia adalah gabungan dari dua subtansi yang tidak lengkap, yaitu
materi pertama dan jiwa. Manusia adalah tubuhnya yang hidup, bersama

6
dengan semua gejala dan aktifitasnya. Jiwa dianggap Thomas semata-mata
rohani, tunggal, prinsip hidup dari seluruh manusia dan tidak dapat mati.
Ketakjasmanian jiwa terutama tampak dari ketakjasmanian kegiatan-
kegiatan lebih tinggi, yaitu berfikir dan berkehendak (Van derWeij, 1988).
Jadi kehendak dalam pandangannya ini termasuk dalam salah satu
unsur jiwa, di samping pemikiran, yang melakukan aktifitas kejasmanian.
Kehendak ini tercipta dalam jiwa manusia karena campur tangan Tuhan.
Apa yang mendorong timbulnya tindakan pada manusia ? hasrat atau
keinginan untuk mengejar kebahagiaan itulah yang mendorong tindakan
manusia.
Namun pengejaran kebahagiaan ini oleh manusia tidak dipilih atau
ditentukan oleh manusia secara sukarela. Karena merupakan suatu potensi
dalam dirinya yang melampaui kemampuannya. Jadi manusia tinggal
mengembangkan saja. Dalam bidang Etika, corak pandangan yang
demikian ini disebut etika hukum kodrat, yang dapat mengizinkan sebuah
pluralisme moralitas. Prinsip dasar etika hukum kodrat, ini berbunyi :
"Bonum est fa ciendum et prosequendum, et malum vitandum "(Yang baik
hams dilakukan dan diusahakan, dan yang buruk dihindari). Kodrat dalam
hal- ini dimodifikasi oleh kekhasan situasi dan kondisi. Sesuatu yang
sesuai dengan kodrat berarti sesuai dengan tujuan terakhir, yaitu
kebahagiaan (Magnis S.1992).
ThomasHobbesi 1588- 1679)
Menumt pandangannya kehendak ini identik dengan nafsu. Kehendak
merupakan mata rantai terakhir dari rangkaian nafsu yang menuju
tindakan. Dalam keadaan alamiah tindakan manusia itu buas (homo
homini lupus), karena dalam keadaan perjuangan dan peperangan terus
menerus. Oleh karena itu manusia menginginkan kelangsungan hidup dan
perdamaian, maka ia mengalihkan kemauannya (kehendaknya) kepada
kemauan negara dalam suatu kontrak sosial yang membenarkan kekuasaan
yang tertinggi dan mutlak (Titus, Smith dan Nolan 1984).
Immanuel Kant (1724 - 1804 );
Membicarakan tentang kehendak bebas tapi menyinggung nama besar
Kant dapat dianggap sebagai pelecehan terhadap penulisan sejarah filsafat
barat. MenurutKant, tujuan moralitas adalah kebaikan tertinggi (summun

7
bonum), dari kebaikan tertinggi berarti kebahagiaan sempurna. Namun
menurut Kant, di dunia ini kebaikan tertinggi tidak akan pernah secara
penuh, karena adanya kejahatan. Kendati pun demikian tujuan itu wajib
dikejar oleh tindakan manusia yang bermoral. Sikap ini menimbulkan
pertanyaan, kalau kebaikan tertinggi itu tidak akan pernah tercapai di
dunia ini padahal ia wajib dikejar apakah tindakan manusia yang bermoral
itu tidak sia-sia adanya? Kant menjawab, persoalan ini dengan tegas, agar
kebaikan moral manusia ini tidak sia-sia berkait dengan kebahagiaan
sempuma, maka kita harus menerima adanya tiga postulat, yaitu kehendak
bebas, immortalitas jiwa, dan Tuhan (LiliTjahyadi, 1991).
Suatu kewajiban moral yang tidak menyertakan kebebasan. Kehendak
merupakan hal yang mustahil. Hukum moral itu mengandaikan adanya
otonomi dalam diri manusia untuk melakukan seseorang dapat dimintai
pertanggungan jawaban. Sedangkan immortalitas jiwa mengakibatkan
manusia sebagai pelaku tindakan moral bisa mencapai summum bonum
yang tidak mungkin dicapainya di dunia ini. Akhimya tuntutan mutlak
tentang hidup moral yang baik akan tidak memuaskan bila tidak ada
ganjaran yang adil dan bijaksana bagi yang baik dan jahat. Suatu perbuatan
harus mendapat ganjaran yang setimpal. Maka haruslah pada seorang
pribadi yang maha adil, yang memberikan sanksi bagi tindakan yang tidak
baik. Hanya Allah, kata Kant yang dapat menciptakan kebahagiaan
sempuma bagi manusia yang baik di alam semesta (Lili Tjahyadi, 1991).
Qadariah
Salah seorang yang menyebarkan faham ini adalah Ghailan Dimasyqi.
Istilah qadariyah iniberasal dari bahasa Arab dengan akar kata 'qadara'
yang mengandung dua arti, yaitu:
(1) Kuasa, memandang manusia berkuasa dan bebas dalam perbuatannya.
(2) Menentukan, memandang bahwa nasib manusia telah ditentukan tuhan
sejak zaman azali (Azyumardi Azra, 1987). Faham qadariah yang
dimaksud disini mengacu pada arti 'qadara' yang pertama.
Menurut Tarikh Islam, faham ini telah ada pada zaman Nabi
Muhammad saw, sebab dalam suatu hadits. belaiaupemah berkatan : "Al-
Qadariyatu majusu Hadzihi al-Ummah" (Kaum Qadariyah itu majusinya
umat Islam). Sedangkan pada perjalanan sejarah Islam berikutnya, faham

8
Qadariah ini berkaitan erat dengan Mu'tazilah. Qadariah sangat menitik
beratkan tanggung jawab manusia atas setiap perbuatannya. Mereka
menolak paham yang berpendapat bahwa Tuhan berkuasa mutlak atas
setiap perbuatan manusia. Menurut mereka, akal yang diberikan Tuhan
pada manusia, mampu membedakan atau memilih mana perbuatan yang-
baik dan mana yang buruk. Dengan kemampuan dan kebebasan itulah
manusia berkuas (qadara) menentukan nasibnya sendiri. Dengan demikian
setiap perbuatan manusia, baik atau bunik, beriman atau kufur, ditentukan
oleh manusia itu sendiri (Azyumardi Azra, 1987).
Menurut faham Qadariah ini manusia mempunyai kemerdekaan dan
kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Manusia mempunyai
qudrah atau kekuatan (kehendak bebas) untuk melaksanakan kehendaknyai
Dalam istilah Inggris faham ini dikenal dengan nama Free Will dan Free
Act. (Hamn Nasution, 1983).
Menurut Ghailan, tokoh aliran ini, manusia berkuasa atas perbuatan-
perbuatan baik atas kehendak dan kekuasaannya sendiri dan manusia
sendiri pula yang melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatarinya ;
manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas
kehendak dan kekuasaanya sendiri dan manusia sendiri pula yang
melakukan atau menjauhi perbuatan-perbuatanjahat atas kemauan dan
daya nya sendiri (Hamn Nasution, 1983).
Gerak perbuatan manusia menurut faham ini dibagi atas dua bagian;
gerak sadar (harakah ikhtiariah) dan gerak tidak sadar (harakah idhtiariah).
Secara sadar manusia memiliki kemampuan untuk membedakan kedua
atau kehendak manusia misalnya gerak tangan mengambil sesuatu sesuai
dengan perintah otak dan kemauan (dalam dunia modem terutama di
bidang medis, ditemukan adanya penyakit yang membuktikan bahwa
aritara perintah otak dan kemauan dapat terjadi perbedaannya dengan
seseorang yang mengindap penyakit syaraf tertentu ingin atau berkehendak
mengambil sesuatu, tetapi otak memberikan perintah yang lain, sehingga
benda yang diambil juga berbeda). Sedangkan gerak tidak sadar berada di
luar kontrol otak, kemauan dan kekuasaan manusia, misalnya gerak tangan
atau tubuh" ketika menggigil kedinginan atau gerak reflekslainnya.
Perbedaan gerak laku perbuatan manusia ini menimbulkan konsekuensi

9
pada tanggung Jawab moral manusia. Jika manusia bukan menciptakan
sendiri gerak sadar dalam perbuatannya, maka gugurlah tanggung jawab
atas dirinya. Bila manusia tidak memiliki kekuasaan , dan kemampuan
untuk berbuat dan tidak berbuat, tidaklah dapat diterima akal kalau
perintah dijatuhkan kepadanya untuk melakukan suatu perbuatan.

C. TEORI SELF DETERMINATION


Self Determination (determinasi diri) adalah keyakinan seseorang bahwa
orang tersebut mempunyai kebebasan atau otonomi dan kendali tentang bagaimana
mengerjakan pekerjaannya sendiri (Spreitzer, 1997). Determinasi diri adalah motivasi
intrinsik keadaan yang berasal dari dalam diri individu sendiri yang dapat mendorong
melakukan tindakan atau tujuan yang diinginkan individu. Dalam determinasi diri
menunjukkan seseorang untuk mencari pengetahuan yang baru, tantangan dalam diri
sendiri, menemukan hal-hal baru yang pada akhirnya akan diterapkan dalam kegiatan
dan tindakan seseorang yang akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan.
Teori determinasi diri menyatakan bahwa ketika perilaku mengikuti kebutuhan
akan kompetensi, otonomi, dan keterhubungan, maka individu mengalami motivasi
intrinsik, namun ketika perilaku menunjukkan keinginan pemenuhan nilai lain seperti
reputasi, uang, persetujuan, maka perilaku termotivasi secara ekstrinsik (Deci &
Ryan, 2000).
Teori determinasi diri adalah sebuah teori yang menekankan pentingnya
kebebasan individu dalam bertindak sesuai pilihannya, dan juga adanya motivasi
instrinsik dalam diri individu, sehingga ketika individu termotivasi secara ekstrinsik
dan mengharapkan penghargaan eksternal maka hasil yang diperoleh akan negatif
(Vandenbos, 2008).
Manusia memiliki kebutuhan untuk merasa kompeten, dan juga perasaan
otonomi terhadap pilihan-pilihan yang mereka ambil. Dengan kata lain, manusia
memiliki kebutuhan akan determinasi diri (needs for self-determination). Seperti
contoh ketika kita berpikir “Aku ingin melakukan ini”, dan aku bebas untuk memilih
sesuai dengan pilihanku, maka kita memiliki rasa determinasi diri yang tinggi,
sedangkan “Aku seharusnya melakukan ini”, dan diminta oleh orang lain untuk
melakukannya, maka kita tidak mempunyai determinasi diri (d’Aillyn, deCharms,
Reeve, Ryan, & Deci dalam Ormrod, 2008).

10
Dorongan atau motivasi yang muncul dari dalam diri manusia penting untuk
menentukan arah dan perilaku. Salah satu fungsi nyata terkait dorongan ini adalah
bagaimana individu dapat mencapai tujuan atau prestasi sesuai dengan apa yang
diinginkan. Saat dorongan dalam diri atau disebut dengan motivasi intrinsik ini
muncul, individu akan secara bebas terikat dengan ketertarikannya untuk menikmati
daripada sekedar untuk mendapat reward atau kepuasan atau paksaan (deci & Ryan,
1985 dalam Taylor, dkk., 2014) dan akan mendapati diri mereka sebagai agen
penyebab dari perilaku mereka sendiri (DeCharms, 1968 dalam Taylor, dkk., 2014).
Terkait dengan Human Agentic Behavior, Self-determination sendiri didefinisikan
sebagai “asal dimana perilaku muncul, dengan asprasi tinggi, tekun dalam
menghadapi tantangan, melihat banyak kemungkinan dan peluang untuk bertindak,
belajar dari kegagalan, dan lain sebagainya yang mengantarkan well-being
(Wehmeyer & Little, 2009).
Prestasi terkait akademik merupakan hal yang didambakan oleh orang tua dan
guru terhadap anak atau anak didik mereka. Mereka menyadari bahwa motivasi ialah
hal yang krusial untuk kesuksesan akademik, yang mana self-determination selama
ini dikenal sebagai sumber dari hasil yang memuaskan seperti penyelesaian tugas
sekolah, kesuksesan karir, serta kesehatan fisik dan mental (Archambault, Janosz,
Morizot, & Pagani, 2009; Guay, Ratelle, & Chanal, 2008 dalam Taylor, dkk., 2014).
Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa self-determination memiliki hubungan
yang positif dengan pencapaian prestasi akademik dan konsep diri (dalam Zheng,
dkk., 2012). Hasil penelitian ini didukung pula dengan penelitian yang dilakukan oleh
Amy, dkk. (2014), bahwa 3 aspek dari self-determination berkorelasi positif dengan
pencapaian akademik.
Dijelaskan oleh Deci dan Ryan (1980, 1985, 2000) bahwa self determination
terdiri dari 3 aspek dasar yang digunakan oleh manusia untuk mencapai kepuasan
hidup, yaitu competence, relatedness, dan aoutonomy. Berikut merupakan pengertian
dari masing-masing aspek dasar tersebut (Deci dan Ryan, 2000):
1. Competence adalah kebutuhan untuk memiliki kontrol lingkungan luar kita. Aspek ini
sama dengan konsep Bandura tentang human agency yang menjelaskan tentang
kapasitas individu untuk mengambil kontrol atau mengendalikan lingkungan dan
kualitas kehidupan mereka sendiri.

2. Relatedness adalah kebutuhan untuk merasakan kasih sayang dari orang lain.

11
3. Autonomy adalah kebutuhan untuk kebebasan akan pengalaman diri.

Ketiga aspek dasar ini merupakan penentu kepuasan diri dan pemenuhan
kebutuhan psikologi. Seorang individu tidak akan merasakan sebuah kepuasan jika
salah satu atau salah dua dari aspek tersebut tidak terpenuhi. Sehingga, dapat
diasumsikan bahwa tiga aspek dasar yang telah dipaparkan diatas adalah faktor
pendukung dari kepuasan diri. Selain itu, Deci dan Ryan (2000) menjelaskan bahwa
ketiga aspek dasar yang telah disebutkan berdasarkan teori self determination
merupakan mediator atau perantara pengembangan dari motivasi intrinsik.
Competence menjadi sebuah mediator dari pengembangan motivasi intrinsik, karena
kita akan menikmati sebuah aktivitas ketika kita merasa pandai atau cakap melakukan
aktivitas tersebut. Dari sinilah, teori self determination menjelaskan, dengan kita
memberikan suatu feedback positif dapat menambah perasaan kompeten dan
menciptakan motivasi intrinsik pada aktivitas tersebut (Vallerand & Reid, 1984 dalam
Petri & Govern, 2004). Tetapi, feedback positif saja tidak cukup, feedback positif ini
harus diterima secara sungguh-sungguh (Henderlong & Lepper, 2002) dan tidak harus
mengesampingkan otonomi dalam diri (Deci & Ryan, 2000). Dari otonomi yang ada
dalam diri akan memunculkan dorongan seperti “Kamu adalah pembaca yang hebat”
yang diartikan sebagai “Aku adalah pembaca yang hebat”. Dari kedua aspek dasar ini,
individu akan merasa berarti dalam melakukan suatu aktivitas. Selain kedua aspek
tersebut, memiliki sebuah relatedness akan mendukung perasaan keberaartian
individu dengan orang lain dalam melakukan sebuah aktivitas. Ketiga aspek inilah
yang mendukung perasaan puas dalam diri seseorang.

D. MINI THEORY DETERMINASI DIRI


Terdapat empat dasar komponen mini teori yang merupakan bagian
determinasi diri dan terkoordinasi dengan semua domain jenis perilaku manusia
dalam memenuhi basic needs. Berikut empat mini teori dari determinasi diri (Deci
dan Ryan, 2002):
1. Cognitive evalution theory Cognitive evaluation theory adalah motivasi
instrinsik yang terdapat dalam aktivitas determinasi diri. Dalam melakukan
tindakan, individu dapat bertindak secara bebas, berkelanjutan dan

12
mendapatkan pengalaman yang menarik dan menyenangkan. Terdapat 2 tipe
motivasi didalamnya:
a) Motivasi ekstrinsik yang berasal dari luar diri individu.
b) Motivasi instrinsik yang berasal dari diri sendiri individu. Fokus utama dalam
hal ini adalah penghargaan eksternal yang dapat merusak motivasi instrinsik.
Penelitian yang sudah dilakukan, penghargaan dalam bentuk barang atau
benda berwujud dapat merusak motivasi instrinsik seseorang, sedangkan
penghargaan secara verbal cenderung meningkatkan motivasi instrinsik
seseorang.
Dua hal utama yang mempengaruhi proses kognitif dari motivasi
intrinsik seseorang adalah
a) Perceived causality, merupakan hubungan individu dengan kebutuhan
akan kebebasan; ketika individu cenderung menggunakan lokus eksternal
dan tidak diberikan pilihan, maka akan merusak motivasi instrinsik.
Sedangkan ketika individu fokus terhadap lokus internal dan bertindak
sesuai pilihannya, maka itu dapat meningkatkan motivasi intrinsiknya.
b) Perceived competence, merupakan hubungan individu dengan kebutuhan
akan kompetensi, dimana ketika seseorang meningkatkan kebutuhan akan
kompetensi nya maka kompetensi seseorang itu akan dapat ditingkatkan,
sedangkan ketika seseorang mengurangi kebutuhan akan kompetensi nya
maka motivasi intrinsiknya pun akan berkurang.
Dua konteks dari CET dapat bersifat kontrol dan informasional. Bila
sebuah kejadian bersifat controlling, maka kejadian itu akan menekan siswa
untuk bertindak dengan cara tertentu, maka siswa akan merasa memiliki
kontrol dan motivasi instrinsik mereka akan hilang. Bila di pihak lain,
kejadian itu memberikan informasi yang meningkatkan sense of competence,
maka motivasi instrinsik akan meningkat, tetapi sebaliknya bila informasi
yang diberikan membuat siswa merasa kurang kompeten, maka kemungkinan
besar motivasi akan menurun. Terdapat 2 hal penting di dalam konteks ini
yaitu:
 Positive feedback sebenarnya bersifat informational tetapi jika diberikan
dalam tekanan, seperti “should do well” maka positive feedback menjadi
bersifat mengontrol , sedangkan Ryan, Mims, Koester (dalam Deci &
Ryan, 2002) mengatakan “meskipun penghargaan bersifat mengontrol,

13
tetapi jika diberikan dengan tidak mengevaluasi, maka dapat mendukung
kebebasan.
 Tindakan yang berasal dari dalam diri dan tidak dipengaruhi dari faktor
eksternal, itu akan membuat individu lebih mempunyai harga diri sehingga
akan meningkatkan competence nya. Salah satu bagian dari cognitive
evaluation theory yaitu relatedness yang merupakan keinginan untuk
membangun pertalian emosional dengan orang lain. Bila guru dan orang
tua bersikap responsive dan menunjukkan bahwa mereka peduli terhadap
kesejahteraan anak mereka, maka anak tersebut dapat menunjukkan
motivasi instrinsik, begitu juga sebaliknya.

2. Organismic integration theory


Untuk menangani berbagai perilaku yang termotivasi secara ekstrinsik.
Deci & Ryan (2002) mengonsepkan motivasi, dimulai dari tidak termotivasi,
motivasi ekstrinsik, lalu motivasi instrinsik. Mereka melabelkan jenis-jenis
motivasi yang berbeda sebagai gaya pengaturan diri. Motivasi instrinsik
menyangkut aktifitas yang bersifat autotelic, dimana aktifitas tersebut
merupakan tujuan akhir dan kesenangan individu yang telah secara bebas
memilih aktivitas tersebut.
Motivasi ekstrinsik menyangkut empat jenis perilaku yang termotivasi,
yang dimulai dari perilaku yang awalnya sepenuhnya termotivasi secara
ekstrinsik, namun kemudian dihayati dan akhirnya merasakan determinasi diri.
Pada saat yang bersamaan juga, tidak semua aktivitas atau perilaku termotivasi
secara instrinsik. Di sekolah terdapat struktur, kontrol, dan juga penghargaan
yang sifatnya ekstrinsik, yang mungkin tidak cocok dengan determinasi diri
dan motivasi instrinsik, namun dapat membantu menghasilkan perilaku yang
baik dan fungsi sosial yang diinginkan. Para motivator ekstrinsik kemudian
menjadikannya sebagai bagian dari proses pengaturan diri dan
mengembangkan sebuah subteori yang termasuk di dalam teori determinasi
diri yang lebih besar, yang dilabelkan sebagai teori integrasi organisme.
Dalam teori organisme ini mengonsepkan motivasi, yang dimulai dari yang
tidak termotivasi, lalu motivasi ekstrinsik, kemudian motivasi instrinsik
(determinasi diri) yang merupakan sebagai dari proses pengaturan diri.

14
E. MENINGKATKAN DETERMINASI DIRI SISWA
Di dalam kelas, siswa diberikan kebebasan tentang apa yang dapat mereka
lakukan dan apa yang tidak dapat mereka lakukan. Siswa juga diyakinkan bahwa
ketika di dalam kelas mereka bukan saja belajar melainkan terdapat aktivitas bermain.
Beberapa hal yang dapat digunakan agar meningkatkan perasaan determinasi siswa
adalah sebagai berikut (Ormord, 2008, p. 69-71):
1. Berikan kesempatan untuk bekerja dan membuat keputusan secara independen.
Kesempatan untuk bekerja dan membuat keputusan secara independen tidak
hanya dapat mengembangkan kemampuan untuk mengatur diri, melainkan juga dapat
meningkatkan perasaan determinasi diri siswa, hal ini dapat terlihat bila siswa
diberikan tugas-tugas sulit melalui kelompok kecil, dan juga dapat memberikan
otonomi yang besar kepada siswa dalam aktivitas ekstrakurikuler yang kita awasi
(Larson, Stefanou, perencevich, DiCintio & Turner; Swan, Mitrani, Guerrero, Cheung
& Schoener dalam Ormord, 2008).
2. Sajikan peraturan dan instruksi secara informasional, bukan mengontrol.
Peraturan dan prosedur didalam kelas diperlukan supaya siswa dapat bertindak
dan melakukan aktivias dengan benar. Peraturan dan prosedur ini harus disajikan atau
diberikan tanpa mengomunikasikan suatu pesan control (Deci; Koestner at. al; Reeve
at al dalam Ormord, 2008).
Berikut salah satu contohnya:
“Saya memberikan format khusus yang harus diikuti oleh anda mengerjakan PR
matematikamu. Jika anda menggunakan format ini, akan lebih mudah bagiku unutk
menemukan jawaban dan mengetahui bagaimana saya dapat membantumu
berkembang.”
3. Berikan kesempatan kepada siswa untuk membuat pilihan.
Mengizinkan siswa baik secara kelompok maupun individu untuk membuat
pilihan tentang beberapa atau semua hal berikut ini:
Aturan dan prosedur untuk membuat kelas berjalan lebih lancar.
Topik-topik spesifik untun projek penelitian atau penulisan.
Karya-karya sastra yang harus dibaca.
Tenggat waktu untuk mengumpulkan beberapa tugas.
Tata-tertib menyelesaikan tugas-tugas tertentu selama jam sekolah.

15
Cara-cara menguasai keterampilan tertentu atau menunjukkan bahwa
keterampilan tersebut dikuasai.
Kriteria untuk mengevaluasi tugas (Kohn, Meece; Stipek dalam Ormord,
2008).
Dengan adanya kriteria-kriteria di atas, siswa akan memperoleh rasa memiliki
akan aktivitas-aktivitas kelas (Schraw, Flowerday, & Lehman; Stefanou at. al dalam
Ormord, 2008). Selain itu, mereka akan lebih mungkin tertarik dengan apa yang
mereka lakukan, bekerja lebih rajin, dan dapat menyelesaikan tugas dengan cepat dan
efisien, serta bangga terhadap hasil karya mereka (Deci & Ryan; Lepper & Hodell;
Ross; J.C. Turner dalam Ormord, 2008).
4. Evaluasilah performa siswa dalam cara yang tidak mengendalikan.
Dalam mengevaluasi hasil kerja siswa, sebaiknya bukan sebagai hasil
keputusan (judgments) untuk mengingatkan siswa tentang bagaimana seharusnya
performa mereka, melainkan sebagai suatu informasi yang dapat membantu mereka
memperbaiki pengetahuan dan keterampilan mereka (Stipek dalam Ormord, 2008).
5. Bersikap selektif tentang kapan dan bagaimana menggunakan penguat ekstrinsik.
Salah satu masalah dengan penguat ekstrinsik (pujian, stiker, aktivitas favorit,
dan sebagainya) adalah penguat ini bisa mengurangi determinasi diri dan motivasi
instrinsik, khususnya jika siswa menganggapnya mengontrol perilaku dan membatasi
pilihan (Deci, Lepper & Hodell, Reeve dalam Ormord, 2008). Penguat ekstrinsik
dapat bermamfaat jika digunakan untuk mendorong siswa tidak hanya sebatas untuk
melakukan sesuatu, melainkan melakukannya dengan baik (Cameron dalam Ormord,
2008).
Sebagai contoh: terkadang siswa menganggap suatu topik baru membosankan
atau membuat frustasi dan membutuhkan dorongan eksternal untuk melanjutkannya
(Cameron; Deci et. al; Hidi & Harackiewicz dalam Ormord, 2008). Cara
menggunakan penguat ekstrinsik dengan tidak mengurangkan determinasi diri siswa
adalah memuji siswa dengan cara mengomunikasikan informasi, tetapi tidak
menunjukkan maksud untuk mengontrol perilaku (Deci, R.M.Ryan, Mims, &
Koestner dalam Ormord, 2008).
6. Bantulah siswa untuk menjaga agar batasan-batasan eksternal tetap berada pada
tempatnya yang sebenarnya.
Siswa akan sering menjumpai situasi seperti ujian, penentu kelulusan,
penghargaan ekstrinsik, dan juga persaingan dimana aktivitas tersebut terlihat seperti

16
mengontrol mereka. Jadi sebaiknya yang harus dilakukan adalah membantu mereka
menjaga agar kondisi-kondisi yang mengontrol itu berada pada tempat yang
sebenarnya ketika mereka terlibat dalam tugas-tugas belajar, yang penting disini
adalah mengingatkan mereka bahwa meskipun batasanbatasan itu mungkin ada, yang
terpenting adalah mereka tetap harus fokus pada nilai yang terkandung pada setiap hal
yang sedang mereka pelajari (Amabile & Hennessey; B.A. Hennessey dalam Ormord,
2008).

17
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perilaku-perilaku dibawah kontrol kemauan ini disebut dengan perilaku
volitional (volitional behavior) yang didefinisikan sebagai perilaku-perilaku yang
individual-individual menginginkannya, atau menolak untuk tidak melakukannya jika
mereka memutuskan untuk melawannya. Perilaku-perilaku volitional(volitional
behavior) disebut juga dengan istilah perilaku-perilaku yang diinginkan
(willfulbehaviors).
Istilah bebas (dalam bahasa inggris bebas berarti free) mengacu pada
kemandirian atau kemampuan untuk menentukan diri dari makhluk rasional
(DogertD. Runes, 1979). Mana kala kedua istilah itu dipadukan menjadi kehendak
bebas (free will), maka ia mengandung arti sebagai daya mahluk rohani untuk
menentukan dirinya berkenan dengan nilai-nilai yang diketahui, yang terbatas (artinya
sebelumnya tidak ditentukan nilai mana yang diambil).
Self Determination (determinasi diri) adalah keyakinan seseorang bahwa
orang tersebut mempunyai kebebasan atau otonomi dan kendali tentang bagaimana
mengerjakan pekerjaannya sendiri.

B. Saran
1. Bagi Pembaca
Setelah menyelesaikan makalah ini, kami menyadari adanya keterbatasan dalam
penyusunnannya, maka penulis dengan senang hati menerima masukan dan saran
pembaca yang membangun bagi tersusunnya makalah selanjutnya yang lebih
baik.
2. Bagi Mahasiswa
Untuk berkembangnya pembahasan tentang determinan kebahagiaan, disarankan
kepada mahasiswa yang akan menyusun makalah selanjutnya untuk mencari lebih
banyak sumber-sumber atau literatur.

18
DAFTAR PUSTAKA

Muqoddas,Fahmi. 1993. Kehendak Bebas dalam Pandangan Para Filsuf Sebuah Problem
Bidang Etika.UNISIA.No.20

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/125579-155.2%20PRA%20d%20-
%20Dinamika%20Motivasi-Literatur.pdf
http://www.academia.edu/5877211/JURNAL_hubungan_antara_self_determination_dengan_
work_engagement

iii

Anda mungkin juga menyukai