KEPERAWATAN ANAK
“Resume Materi Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak Dengan Masalah Bedah”
Disusun Oleh :
Nim : P1337420120060
2 A2 Reguler
JURUSAN KEPERAWATAN
SEMARANG
Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak Dengan Masalah Bedah
A. Hernia diafragma
B. Etiologi
Ateresia esophagus terjadi sekitar 1 dari 4.425 kelahiran hidup. Menurut
(Solidikin, 2011) Penyakit ini, secara embriologis anomaly ini terjadi akibat :
1. Diferensiasi usus depan yang tidak sempurna dalam memisahkan diri
masing-masing untuk menjadi esophagus dan trachea.
2. Perkembangan sel entodermal yang tidak lengkap sehingga
menyebabkan terjadinya atresia.
C. Patofisiologi
Pada kasus atresia esofagus, janin tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresia esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea ke fistula kemudian menuju usus. Hal ini dapat
mengakibatkan polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan
kelahiran prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion
sehingga janin dengan atresia esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan
banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau
air liur. Apabila terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung.
Udara dari trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis,
atau menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut
yang seringkali mematikan. Penelitian mengenai manipulasi manometrik
esofagus menunjukkan esofagus distal seringkali dismotil dengan peristaltik
yang jelek atau tanpa peristaltik. Hal ini akan menimbulkan berbagai derajat
disfagia setelah manipulasi yang berkelanjutan menuju refluks esofagus.
Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada astresia esofagus.
Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa.
Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder ada struktur anteroposterior
trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk
kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk
dibersihkan dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea juga dapat
kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi
refluks gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas, bahkan
apnea.
D. Klasifikasi
1. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus distal (86%, Vogt I1 1b, Gross
C)
Ini merupakan jenis yang paling sering terjadi. Esofagus bagian proksimal
berdilatasi dan dinding muscular akan menebal dan berujung pada
mediastinum superior setinggi vertebra thoracis III sampai IV. Esofagus distal
(Fistel), yang mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding posterior trakea
setinggi carina atau 1-2 cm diatasnya. Jarak antara esophagus proksimal yang
buntu dan fistula trakhenesofagus distal bervariasi mulai dari bagian yang
berpapasan hingga yang berjarak jauh. B.
2. Atresia esofagus terisolasi tanpa fistula (7%. Vogt 11, Gross A)
Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan
segmen esophagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya
berakhir setinggi mediastinum posterior sekitar vetebra thorakalis II. Esofagus
distul sangat pendek dan berakhir pada jarak yang bervariasi diatas diagframa
3. Fistula trakeoesofagus tanpa atresia (4%, Gross E)
Terdapat hubungan fistula antara esophagus yang secara anatomi cukup intak
dengan trachea. Traktus yang mempunyai fistula sepenti ini biasa sangat tipis
dengan diameter 3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling
bawah. Biasanya fistulanya hanya satu tapi pernah ditemukan dua atau tiga
fistula.
4. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal (2%, Vogt III, Gross
B)
Kelainan yang jarang ditemukan namun perlu dibedakan dari jenis terisolasi.
Fistula bukan pada ujung distal esofagus tapi berlokasi 1-2 cm điatas dinding
depan esofagus.
5. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal dan distal (<1%,
Vogt Illa, Gross D)
Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa) dan diterapi
sebagai atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran
pernapasan berulang. Jika fistula bagian proximal tidak teridentifikasi sebelum
operasi, diagnosisnya seharusnya dicurigai dari kebocoran gas banyak keluar
dari kantong atas selama membuat anastomosis dari esofagus.
E. Komplikasi
1. Anomali kongenital tambahan (jantung, ginjal, dan/atau
gastrointenstinal),
2. Apnea/henti napas
3. Dehidrasi
4. Inanition
5. Kesulitan menelan dan regurgitasi
6. Pneumonia aspirasi dan atelectasis
7. Stenosis pada sisi anastomosis
8. Striktur esofagus (komplikasi pasca bedah).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien untuk menegakkan
diagnosa post natal dan prenatal atresia esofagus adalah pemeriksaan rontgen
dan ultrasonografi.
1. Rontgen
Rontgen thorax dengan menggunakan udara sebagai kontras dapat menjadi
pemeriksaan penunjang untuk mengonfirmasi diagnosis atresia esofagus. Bila
terdapat distal TEF pada pasien, udara abdomen akan tampak pada rontgen
dan abdomen tampak distensi.
Dengan menggunakan nasogastric tube atau orogastric tube yang bersifat
radioopak dengan ukuran ukuran 8 French untuk bayi preterm dan ukuran 10
French untuk bayi aterm, dapat dilakukan pemeriksaan patensi esofagus
dengan memasukkan selang melalui hidung atau mulut hingga ke gaster.
Jarak normal menuju gaster pada bayi adalah 17 cm. Pada pasien dengan
atresia, selang akan berhenti setelah masuk dengan jarak sekitar 10 hingga 12
cm.
Walau demikian, terdapat kemungkinan inakurasi hasil karena selang dapat
menggulung di area sebelum atresia esofagus dan dipersepsikan sebagai
selang berhasil masuk. Untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan rontgen
thoraks posisi posteroanterior dan lateral untuk mengonfirmasi posisi selang
setelah pemasangan.
Gambaran rontgen juga sebaiknya memperlihatkan seluruh abdomen dengan
baik. Karena pada pasien atresia esofagus, gambaran udara di perut
menunjukkan bahwa terdapat distal fistula, dan adanya udara di usus dapat
menyingkirkan kemungkinan atresia duodenal.
Gambaran rontgen thoraks juga dapat memberikan informasi mengenai
gambaran jantung beserta posisinya, letak arkus aorta dan ada tidaknya
anomali vertebra dan tulang iga, serta memperlihatkan ada tidaknya infiltrat
pada paru.
Penggunaan kontras umumnya tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosa
atresia esofagus. Penggunaan kontras hanya sedikit meningkatkan gambaran
rontgen, dibanding besarnya peningkatan risiko pneumonitis aspirasi dan
edema paru reaktif bila menggunakan kontras.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi prenatal dapat digunakan untuk memprediksi atresia esofagus
bila ditemukan polihidramnion dan/atau fetal stomach bubble yang tidak
tervisualisasi saat pemeriksaan. Walau demikian, kedua tanda ini bersifat tidak
spesifik dan dapat juga disebabkan oleh kondisi medis lainnya, seperti
diabetes maternal, digestive tract atresia, chloride diarrhea, Pierre Robin
syndrome, dan Bartter syndrome. Sensitivitas ultrasonografi dalam
mendiagnosis atresia esofagus berkisar antara 8.9-42%, mengingat sifatnya
yang operator-dependent. Gambaran visualisasi langsung dari esofagus yang
tidak berujung atau adanya kantong yang terlihat saat janin menelan di ujung
esofagus “pouch sign” dapat terlihat sejak usia kehamilan 23 minggu, tetapi
sangat sulit untuk ditemukan.
C. Atresia ani
A. Definisi
Atresia ani adalah salah satu kelainan bawaan atau cacat lahir. Atresia ani, yang
kini dikenal sebagai malformasi anorektal (MAR) adalah suatu kelainan kongenital
yang menunjukkan keadaan tanpa anus atau dengan anus yang tidak sempurna.
Malformasi anorektal merupakan kelainan kongenital yang sering kita jumpai pada kasus
bedah anak.
B. Etiologi
C. Manifestasi Klinis
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4. Distensi terhadap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal tauce terdapat adanya membran anal
7. Perut kembung.
D. Patofisiologi
Patofisiologi atresia ani melibatkan proses embriologi dalam kandungan. Pada
embrio tahap awal, hindgut masih berupa struktur sederhana, dimana bagian kranialnya
berhubungan dengan midgut dan bagian kaudal berhubungan dengan ektoderm. Pada
bagian ektoderm terbentuk struktur yang disebut membran kloaka.
Ketika perkembangan kloaka berlanjut, bagian kaudal dari hindgut berdiferensiasi
menjadi dua sistem organ yang berbeda, yaitu sistem urogenital dan sistem anorektal.
Kelainan pemisahan kedua sistem organ ini mengakibatkan terjadinya kelainan
perkembangan kloaka.Kelainan dalam pembentukan membran kloakan juga dapat
menyebabkan terjadinya epispadia.
Rektum mengalami migrasi selama perkembangan normal dari posisi yang tinggi
menuju daerah yang lebih rendah, yang merupakan tempat anus pada saat lahir. Bila
proses migrasi ini terhenti sebelum anus mencapai posisi normalnya di daerah perineum,
terjadilah kelainan atresia ani
E. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan ini, dokter akan mengecek area sekitar alat kelamin dan bokong
bayi. Pemeriksaan fisik umumnya sudah cukup untuk memastikan diagnosis dan
menentukan tingkat keparahan atresia ani yang terjadi.
F. Komplikasi
Komplikasi utama dari atresia ani adalah konstipasi alias sembelit. Kondisi
susah buang air besar ini dapat dialami oleh penderita meski sudah menjalani
operasi.Untuk mengatasi sembelit, dokter dapat menyarankan perubahan pola makan
serta memberikan obat pencahar. Dokter juga bisa memberikan enema agar pasien
lebih mudah BAB, khususnya pada pasien dengan kondisi atresia ani yang parah.
Karena penyebabnya tidak diketahui, cara mencegah atresia ani secara khusus
juga belum tersedia hingga saat ini.Namun bagi pasangan dengan riwayat penyakit ini
dalam keluarganya, mereka disarankan untuk menjalani konseling dan tes genetik saat
ingin memiliki anak. Pasalnya, cacat lahir ini berkaitan dengan faktor keturunan.
G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Kolostomi
Jenis operasi yang dilakukan akan tergantung pada tingkat keparahan anus
imperforata serta kondisi pasien secara umum. Beberapa jenis operasi ini bisa berupa:
- Tahap ringan
Pada bayi dengan atresia ani ringan, operasi dapat menjadi solusi yang baik.
Meski begitu, operasi ini terkadang tetap bisa menimbulkan masalah pencernaan berupa
sembelit.
- Tahap sedang
Untuk bayi yang mengalami atresia ani yang lebih berat, ia membutuhkan operasi
yang lebih rumit. Penanganan ini juga umumnya disertai serangkaian perawatan
tambahan yang meliputi mengonsumsi makanan yang mengandung banyak serat dan obat
pelunak feses.
- Tahap berat
c. Anoplasty
Anoplasty dilakukan selama periode neonatal jika bayi cukup umur dan tanpa
kerusakan lain. Operasi ditunda paling lama sampai usia 3 bulan jika tidak mengalami
konstipasi. Anoplasty digunakan untuk kelainan rektoperineal fistula, rektovaginal
fistula, rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum.
2. Penatalaksanaan Nonmedis
a. Toilet Training
Toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun. Menggunakan strategi yang sama
dengan anak normal,misalnya pemilihan tempat duduk berlubang untuk eliminasi dan
atau penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak ditopang
oleh benda lain memungkinkan anak merasa aman. Menjejakkan kaki le lantai juga
memfasilitasi defekasi. 7
b. Bowel Management
D. Lung stenosis
A. Definisi Stenosis
Stenosis pulmonal merupakan salah satu dari penyakit jantung bawaan (PJB).
Stenosis Pulmonal yaitu terjadinya penyempitan pada jalan keluar ventrikel kanan
menuju paru, yakni pada daerah katup pulmonal. Stenosis pulmonal adalah cacat
(hadir pada saat kelahiran) kongenital yang terjadi karena perkembangan abnormal
jantung janin pada 8 minggu pertama kehamilan.Katup pulmonal ditemukan antara
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Ini memiliki tiga selebaran yang berfungsi
seperti pintu satu arah, memungkinkan darah mengalir ke depan ke arteri pulmonalis,
tetapi tidak mundur ke ventrikel kanan.
Dengan stenosis pulmonal, masalah dengan katup paru membuat lebih sulit bagi
selebaran untuk membuka dan memungkinkan darah mengalir ke depan dari ventrikel
kanan ke paru-paru. Pada anak-anak, masalah ini dapat mencakup:
katup yang memiliki selebaran yang sebagian menyatu bersama-sama.
katup yang telah selebaran tebal yang tidak membuka semua jalan.
daerah atas atau di bawah katup paru yang menyempit.
B. Klasifikasi
Ada empat jenis stenosis paru:
1. Stenosis paru valvular: selebaran katup menebal dan /atau menyempit
2. Stenosis supravalvular: paru-paru arteri tepat di atas katup paru menyempit
3. Subvalvular (infundibular): stenosis paru-paru otot di bawah area katup
menebal, penyempitan saluran keluar dari ventrikel kanan
4. Stenosis pulmonal perifer cabang arteri paru kiri atau kanan adalah menyempit,
atau keduanya mungkin dipersempit.
C. Etiologi
Penyebab terjadinya kelainan jantung kongenital belum dapat diketahui secara pasti
tetapi beberapa faktor diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian
kelainan jantung kongenital. Faktor tersebut adalah :
1. Faktor endogen yaitu berbagai jenis penyakit genetik (kelainan kromosom),
anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan, adanya
penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit
jantung dan kelainanbawaan.
2. Faktor eksogen yaitu riwayat kehamilan ibu : sebelum ikut program KB oral
atau suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter, (thalidmide,
dexotroamphetamine, aminopterin, jamu), ibu menderita penyakit infeksi
(rubella), pajanan sinarX
D. Patofisiologi
Penyempitan klinis yang signifikan dari katup atau pembuluh darah meningkat
tekanan proksimal penyumbatan.Gradien tekanan ini diperlukan untuk menjaga arus
di seluruh situs stenosis.Pada stenosis pulmonal, hipertrofi dari ventrikel kanan terjadi
kemudian dan mempertahankan aliran ke depan. Besarnya tekanan ventrikel kanan
dan gradien tekanan di katup paru umumnya sebanding dengan derajat
obstruksi.Dalam keadaan biasa, hipertrofi ventrikel kanan proporsional memelihara
aliran darah normal paru. Jika output normal tidak diperbarui, terjadi kemudian
jantung sisi kanan gagal. Ini terjadi pada neonatus dengan stenosis paru kritis dan
pada pasien dengan obstruksi parah yang terjadi di masa kanak-kanak atau dewasa.
Perubahan dalam geometri ventrikel kiri dan penurunan fungsi ventrikel kiri juga
dapat terjadi. Perubahan sebanding dengan derajat hipertrofi ventrikel kanan, tetapi
mereka kembali ke normal setelah gangguan pada saluran keluar ventrikel kanan
adalahlega.
E. Hirschprung/ Megacolon
A. Pengertian
Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatik
pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. ( Ngastiyah,1997;139).
Hirschprung atau megacolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus
tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi dengan berat badan lahir 3
Kg, lebih banyak laki-laki dari pada perempuan ( Arief Mansjoeer : 2000).
Penyakit hirschprung disebut juga congenital aganglionosis atau megakolon
(aganglionik megakolon) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian
tidak ada dalam kolon. (Suriadi, 2001).
Penyakit hirschprung atau megakolon congenital adalah tidak adanya selsel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon. (Cecily L. Betz, 2002; 196).
Hirschprung atau Megakolon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus
spontan( Betz,Cecily& amp; Sowden : 2010 ).
Penyakit hirschprung disebut juga congenital aganglionosis atau megakolon
(aganglionik megakolon) yaitu adanya sel ganglion parasimpatik, mulai dari spingter
ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, dapat dari kolon sampai
pada usus halus.
Jadi penyakit hirschprung adalah suatu kelainan bawaan di mana tidak terdapatnya sel
ganglion parasimpatik, mulai dari spingter ani interna kearah proksimal dengan
panjang yang bervariasi, dapat dari kolon sampai pada usus halus. Penyakit
Hirschsprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini
merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi kelumpuhan usus besar
dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (mega kolon).
B. Etiologi
a. Penyakit hirschsprung diduga sebagai defek congenital familia.
b. Penyakit hirschsprung terjadi akibat kegagalan perpindahan kraniokaudal dari
precursor sel saraf ganglion sepanjang saluran GI antara minggu kelima dan
kedua belas gestasi.
c. Sering terjadi pada anak dengan down syndrome.
d. Megakolon pada hirschprung primer disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian usus distal dengan defisiensi ganglion .
e. Tidak diketahui secara pasti kemungkinan factor genetic dan factor lingkungan.
f. Mungkin terdapat suatu kegagalan migrasi sel-sel dari puncak neural embrionik
ke dinding usus atau kegagalan dari pleksus-pleksus mienterikus dan submukosa
untuk bergerak ke kraniokaudal dalam dinding usus tersebut.
D. Patofisiologi
a. Tidak adanya sel ganglion parasimpatik otonom pada satu segmen kolon
menyebabkan kurangnya persarafan di segmen tersebut.
b. Kurangnya persarafan menyebabkan tidak adanya gerakan mendorong,
menyebabkan akumulasi isi intestinal dan distensi usus proksimal terhadap defek.
c. Semua ganglion pada intramural pleksus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltic secara normal.
d. Penyempitan pada lumen usus, tinja dan gas akan berkumpul dibagian proksimal
dan terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian kolon tersebut melebar
(megakolon).
e. Enterokolitis, inflamasi usus halus dan kolon, merupakan penyebab utama
kematian pada anak-anak dengan penyakit Hirschprung. Hal itu terjadi sebagai
akibat dari distensi intestin dan iskemia (sekunder) akibat distensi dinding usus.
E. Gambaran Klinis
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi
total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidak adaan evakuasi
mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah
dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan
yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare,
distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur
merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi
distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 :
317 ).
1) Bayi baru lahir Kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah
lahir, malas minum, distensi abdomen,dan emesis yang mengandung empedu.
2) Bayi Gagal tumbuh, kontipasi, distensi abdomen, muntah, dan diare episodik.
3) Anak-anak yang lebih besar Anoreksia, konstipasi kronis feses berbau busuk
dan berbentuk pita, distensi abdomen, peristalsis yang dapat terlihat, massa
feses dapat dipalpasi, malnutrisi atau pertumbuhan yang buruk, tanda-tanda
anemia, dan hipoproteinemia. Tanda-tanda yang memburuk yang menandakan
enterokolitis antara lain diare hebat yang tiba-tiba, diare bercampur darah,
demam, dan kelelahan yang parah
F. Komplikasi
1) Gawat pernafasan akut
2) Enterokolitis akut
3) Triktura ani pasca bedah
4) Inkontinensia jangka panjang
5) Obstruksi usus
6) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
7) Konstipasi
G. Pemeriksaan Diagnostik
1) Foto Polos Abdomen (BNO) Foto polos abdomen dapat memperlihatkan loop
distensi usus dengan penumpukan udara di daerah rektum. Pada foto polos
abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Bayangan udara dalam kolon
pada neonatus jarang dapat bayangan udara dalam usus halus. Daerah
rektosigmoid tidak terisi udara. Pada foto posisi tengkurap kadang-kadang terlihat
jelas bayangan udara dalam rektosigmoid dengan tanda-tanda klasik penyakit
Hirschsprung.
2) Enema Barium Barium enema Pemeriksaan yang merupakan standard dalam
menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah Barium Enema, dimana akan dijumpai
3 tanda khas:
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitanke arah
daerah dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Apabila dari
foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas, maka dapat dilanjutkan
dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24- 48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur denganfeces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita
yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka
barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
3) Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap dan
mencari sel ganglion pada daerah submukosa
4) Biopsi otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah
narkose. Pemeriksaan ini bersifat traumatic
5) Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dari hasil biopsi isap. Pada
penyakit ini khas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin esterase
6) Pemeriksaan aktivitas norepineprin dari jaringan biopsi usus.
7) Anal manometri (balon ditiupkan dalam rektum untuk mengukur tekanan dalam
rektum) Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum. Ano-rektal manometri
mengukur tekanan dari otot sfingter anal dan seberapa baik seorang dapat
merasakan perbedaan sensasi dari rektum yang penuh. Pada anak-anak yang
memiliki penyakit Hirschsprung otot pada rectum tidak relaksasi secara normal.
Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan mendorong. Tekanan otot
spinkter anal diukurselama aktivitas. Saat memeras, seseorang mengencangkan
otot spinkter seperti mencegah sesuatu keluar. Mendorong, seseorang seolah
mencoba seperti pergerakan usus. Tes ini biasanya berhasil pada anak-anak yang
kooperatif dan dewasa
H. Penatalaksanaan