Anda di halaman 1dari 31

TUGAS INDIVIDU

KEPERAWATAN ANAK
“Resume Materi Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak Dengan Masalah Bedah”

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anak

Dosen Pengampu : Ns. Budiyati, Skep, MKep, SpKepAn

Disusun Oleh :

Nama : Ivania Ayu Paninggar

Nim : P1337420120060

2 A2 Reguler

PRODI D III KEPERAWATAN SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SEMARANG

TAHUN AJARAN 2021/2022

SEMARANG
Asuhan Keperawatan Bayi Dan Anak Dengan Masalah Bedah

A. Hernia diafragma

A. Pengertian Hernia Diafragma


Hernia diafragmatika adalah kelainan bawaan di mana tidak terbentuknya
sebagian diafragmatika sehingga sebagian sisi perut masuk kedalam rongga
thoraks. (Evrianasari. 2018). Hernia diafragmatika kongenital, salah satu dari
malformasi hyang cukup sering pada bayi baru lahir (1/2000), paling sering
disebabkan oleh kegagalan satu atau kedua membrana pleuroperitonealis
untuk menutup. kanalis perikardioperitoneali. Dalam hal ini, rongga
peritonium dan pleura bersambung satu sama lain disepanjang dinding tubuh
posterior, Hernia ini memungkinkan visera abdomen masuk kerongga pleura.
Pada 85% 90% kasus hernia terletak disisi kiri, dan lekung usus, lambung,
limfa, dan sebagian dan hati masuk kerongga torax. Visera abdomen di dada
mendorong jantung kearah anterior dan menekan paru yang sering mnegalami
hipoplasia. Defek besar menyebabkan angka kematian yang tinggi 75% akibat
hipoplasia dan disfungsi paru. (Sadler, TW. 2009)
Hernia diafragma adalah penonjolan organ perut kedalam rongga dada melalui
suatu lubang pada diafragma. Akibat penonjolan viscera abdomen ke dalam
rongga thorax melalui suatu pintu pada diafragma. Terjadi bersamaan dengan
pembentukan system organ dalam rahim. Hernia Diafragmatika adalah
cacat lahir bawaan yang ditandai dengan adanya lubang yang abnormal pada
diafragma akibat penyatuan yang tidak sempurna dari struktur-struktur
diafragma selama perkembangan janin. Diafragma adalah struktur otot yang
memisahkan rongga dada dengan rongga perut dan mempermudah pernafasan.
Pada hernia diafragmatika, lubang yang terbentuk pada diafragma tersebut
membuat organ-organ perut dapat memasuki rongga dada, yang mana hal ini
dapat menyebabkan kesulitan bernafas yang berat, kulit berwarna kebiruan,
denyut jantung dan nafas yang cepat ketika bayi lahir.
Hernia diafragmatika adalah kondisi yang mengancam jiwa yang
membutuhkan perawatan secepatnya karena hal ini benar-benar dapat
mengganggu gerakan pernafasan normal, mengurangi pasokan oksigen
dan menyebabkan kematian pada bayi. Pada bayi-bayi seperti ini biasanya
dipasang ventilator mekanik untuk membantu pernafasan dan harus menjalani
pembedahan untuk memperbaiki diafragma. Hernia terlihat sebagai suatu
tonjolan yang hilang timbul lateral terhadap tuberculum pubikum, tonjolan
timbul apabila pasien menangis, mengejan, atau berdiri dan biasanya
menghilang secara spontan bila pasien dalam keadaan istirahat atau terlentang.

B. Klasifikasi Hernia Diafragma


Pembagian Hernia diafragmatika:
a. Traumatica atau hernia diafragma yang didapat (Acquired Diapraghmatic Hernia)
Hernia diafragma yang terjadi akibat pukulan, tembakan, dan tusukan.
b. Non-Traumatica terdiri dari :
1) Kongenital (Congenital Diapragmatic Hernia )
a. Hemia Bochdalek atau Pleuroperitoneal
Hernia Bochdalek terjadi karena kegagalan penutupan membrane
pleuroperitoneal kiri. Celah terbentuk antara pars lumbalis dan pars
costalis diafragma.
b. Hernia Morgagni atau Para sternalis
Hernia Morgagni timbul karena kegagalan bersatunya otot rusuk dan
sternal. Celah terbentuk antara perlekatan diafragma pada costae dan
sternum.
2) Akuisita
 Hernia Hiatus esophagus
Ditemukan pada I diantara 2200-5000 kelahiran dan 80-90% terjadi pada
sisi tubuh bagian kiri. Hemia hiatus yaitu sebagai hemiasi bagian lambung
ke dalam dada melalui hiatus esofagus diafragma. Terdapat dua tipe
hernia hiatus esophagus yaitu:
a. Hernia sliding,
Hernia dengan perbatasan lambung-esofagus yang bergeser dalam
rongga thoraks, terutama penderita dalam keadaan posisi berbaring.
Kompentensi sfingter esofagus bagian bawah dapat rusak dan
menyebabkan terjadinya esofangitis refluks. Kelainan ini sering
bersifat asimtomatik dan di temukan secara kebetulan sewaktu
pemeriksaan untuk mencari penyebab terjadinya berbagai gangguan
epigastrium, atau pemeriksaan rutin pada radiografi saluran
gastrointestinal.
b. Hernia paracsofagus,
Pada hernia hiatus paraesofageal (rolling hernia), bagian fundus
lambung menggulung melewati hiatus, dan perbatasan gastro-
esofagus tetap berada di bawah diafragma. Tidak di jumpai adanya
insufisiensi mekanisme sfingter esofagus bagian bawah, dan
akibatnya tidak terjadi asofangitis refluks. Penyulit pertama hemia
para-esofageal adalah stranggulasi

C. Etiologi Hernia Diafragma


Hernia diafragma terjadi oleh karena tidak terbentuknya sebagian diafragma
sehingga sebagian isi perut masuk kedalam rongga toraks. Lesi ini biasanya terdapat
pada distress respirasi berat pada masa neonatus yang disertai dengan anomali sistem
organ lain misalnya anomali sistem saraf pusat atresia esofagus, omfalokel dan lain-
lain. Pemisahan perkembangan rongga pada dada dan perut disempumakan dengan
menutupnya kanalis pleuropertioneum posteriolateral selam kehamilan minggu
kedelapan. Akibat gagalnya kanalis pleuroperikonalis ini menutup merupakan
mekanisme terjadinya hernia diafragma, pada neonatus hemia diafragma disebabkan
oleh gangguan pembentukan diafragma yang ditandai dengan gejala anak sesak nafas
terutama kalau tidur datar, dada tampak menonjol tetapi gerakan nafas tidak nyata.
Perut kempis dan menunjukkan gambaran skafoit. Post apeks jantung bergeser
sehingga kadang-kadang terletak di hemitoraks kanan. Berdasarkan penyebabnya,
hernia diafragma terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1. Hernia diafragma Kongenital, terjadi ketika diafragma tidak berkembang
sepenuhnya saat masih berada di dalam rahim. Kondisi ini menyebabkan organ
dalam perut bergerak naik ke rongga dada dan menempati ruang di mana organ
paru seharusnya berkembang faktor yang diduga dapat menyebabkan
terganggunya perkembangan organ tubuh pada janin, yaitu:
a. Kelainan genetik dan kromosom
b. Paparan bahan kimia dari lingkungan sekitar
c. Ibu yang kurang asupan nutrisi saat hamil
2. Hernia diafragma yang didapat, yaitu jenis hernia diafragma yang disebabkan
oleh cedera akibat benda tumpul atau tusukan. Kondisi ini mengakibatkan
kerusakan diafragma dan menyebabkan naiknya organ dalam perut ke rongga
dada. Beberapa kondisi yang bisa menyebabkan hernia diafragma jenis ini, yaitu:
a. Cedera benda tumpul akibat kecelakaan
b. Jatuh dan mengalami benturan keras di area dada atau perut
c. Operasi di bagian dada dan perut
d. Luka tembak atau tusuk

D. Patofiologis Hernia Diafragma


Pada usia kehamilan 2 bulan tidak ada penekanan terhadap diafragma yang
sedang berkembang baik dari rongga dada maupun dari rongga abdomen. Di
dalam rongga dada, paru belum berkembang, sedangkan di dalam rongga
abdomen usus mengambil tempat di luar abdomen yaitu di umbilikus.
Tekanan mekanik pertama yang diterima oleh diafragma adalah saat usus
kembali dari umbilikus ke intra abdomen pada minggu ke-10. Saat itu bagian-
bagian diafragma telah menempati tempat yang normal untuk menerima
penekanan sebagai konsekuensi dari perkembangan organ-organ. Hemia dapat
timbul dari gagalnya pertumbuhan diafragma yang normal atau timbul dari
daerah yang memang rawan terhadap penekanan yaitu foramen Bochadlek,
foramen. Morgagini, dan hiatus esofagus.
Diafragma terbentuk dari 3 unsur yaitu membrane pleuroperitonei, septum
transversum dan pertumbuhan dari tepi yang berasal dari tepi yang berasal dari
otot – otot dinding dada. Gangguan pembentukan itu dapat berupa kegagalan
pembentukan seperti diafragma, gangguan fusi ketiga unsure dan gangguan
pembentukan seperti pembentukan otot. Pada gangguan pembentukan dan fusi
akan terjadi lubang hernia, sedangkan pada gangguan pembentukan otot akan
menyebabkan diafragma tipis dan menimbulkan eventerasi. Para ahli belum
seluruhnya mengetahui factor yang berperan dari penyebab hernia
diafragmatik, antara factor lingkungan dan gen yang diturunkan orang tua.

E. Manifestasi Klinis Hernia Diafragma


Tanda dan gejalanya berupa :
1. Retraksi sela iga dan substernal
2. Perut kecil dan cekung
3. Suara nafas tidak terdengar pada paru karena terdesak isi perut
4. Bunyi jantung terdengar di daerah yang berlawanan karena terdorong oleh isi
perut
5. Terdengar bising usus si daerah dada
6. Gangguan pernafasan yang berat
7. Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen)
8. Takipneu (laju pernafasan yang cepat)
9. Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris)
10. Takikardia (denyut jantung yang cepat)

F. Komplikasi Hernia Diafragma


Komplikasi yang mungkin timbul pada hernia diafragma adalah gangguan
pada lambung, usus dan bahkan hati dan limpa menonjol melalui hernia. Jika
hernianya besar, biasanya paru-paru pada sisi hernia tidak berkembang secara
sempurna. Setelah lahir, bayi akan menangis dan bernafas sehingga usus segera terisi
oleh udara. Terbentuk massa yang mendorong jantung sehingga menekan paru-paru
dan terjadilah sindroma gawat pernafasan. Sedangkan komplikasi yang mungkin
terjadi pada penderita hernia diafragmatika tipe bockdalek antara lain 20% mengalami
kerusakan kongenital paru-paru dan 5-16 % mengalami kelainan kromosom. Selain
komplikasi di atas, ada pula beberapa komplikasi lainnya, yaitu:

1. Adanya penurunan jumlah alvieoli dan pembentukan bronkus.


2. Bayi mengalami distress respirasi berat dalm usia beberapa jam pertama.
3. Mengalami muntah akibat obstuksi usus.
4. Kolaps respirasi yang berat dalam 24 jam pertama
5. Tidak ada suara nafas.
6. Gangguan gerak dan koordinasi tubuh.
7. Gangguan perkembangan dan pertumbuhan pada bayi.
8. Infeksi pada paru-paru.
G. Penatalaksanaan Hernia Diafragma
1. Tindakan Medis
a. Pemeriksaan fisik
1. Pada hernia diafragmatik dada tampak menonjol, tetapi gerakan nafas
tidak nyata
2. Perut kempis dan menunjukkan gambaran scaphoid
3. Pada hernia diafragma pulsasi apeks jantung bergeser sehingga kadang
kadang terletak di hemitoraks kanan
4. Bila anak didudukkan dan diberi oksigen, maka sianosis akan berkurang
5. Gerakan dada pada saat bernafas tidak simetris
6. Tidak terdengar suara pernafasan pada sisi hernia
7. Bising usus terdengar di dada
b. Pemeriksaan penunjang
1. Foto thorax akan memperlihatkan adanya bayangan usus di daerah thorax
2. Kadang kadang diperlukan fluoroskopi untuk membedakan antara
paralisis diafragmatika dengan eventerasi .
c. Perencanaan
Apabila anak dijumpai adanya kelainan-kelainan yang bisa mengarah pada
hernia diafragma maka anak perlu segera dibawa ke doter atau rumah sakit
agar segera bisa ditangani dan mendapatkan diagnosis yang tepat. Tindakan-
tindakan yang bisa dilakukan perawat bila menemukan bayi baru lahir yang
mengalami hernia diafragmatika yaitu :
1. Berikan oksigen bila bayi tampak pucat atau biru.
2. Posisikan bayi semifowler atau fowler sebelum atau sesudah operasi agar
tekanan dari isi perut terhadap paru berkurang dan agar diafragma dapat
bergerak bebas.
3. Awasi bayi jangan sampai muntah, apabila hal tersebut terjadi, maka
tegakkan bayi agar tidak terjadi aspirasi.
4. Lakukan informed consent dan informed choice untuk rujuk bayi ke
tempat pelayanan yang lebih baik.
B. Atresia esofagus

A. Pengertian Atresia Esofagus


Esophageal Atresia atau Atresia esofagus adalah kelainan pada esofagus yang
ditandai dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan
esofagus bagian distal. Atresia esophagus merupakan kelainan kongenital
yang harus dicurigai sebagai salah satu differential diagnosis bila terdapat
neonatus yang mengalami kesulitan makan dan bernapas dalam beberapa hari
pertama lahir.

B. Etiologi
Ateresia esophagus terjadi sekitar 1 dari 4.425 kelahiran hidup. Menurut
(Solidikin, 2011) Penyakit ini, secara embriologis anomaly ini terjadi akibat :
1. Diferensiasi usus depan yang tidak sempurna dalam memisahkan diri
masing-masing untuk menjadi esophagus dan trachea.
2. Perkembangan sel entodermal yang tidak lengkap sehingga
menyebabkan terjadinya atresia.

C. Patofisiologi
Pada kasus atresia esofagus, janin tidak dapat menelan cairan amnion dengan
efektif. Pada janin dengan atresia esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan
mengalir menuju trakea ke fistula kemudian menuju usus. Hal ini dapat
mengakibatkan polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan
kelahiran prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion
sehingga janin dengan atresia esofagus lebih kecil daripada usia gestasinya.
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan
banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau
air liur. Apabila terdapat TEF distal, paru-paru dapat terpapar asam lambung.
Udara dari trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis,
atau menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut
yang seringkali mematikan. Penelitian mengenai manipulasi manometrik
esofagus menunjukkan esofagus distal seringkali dismotil dengan peristaltik
yang jelek atau tanpa peristaltik. Hal ini akan menimbulkan berbagai derajat
disfagia setelah manipulasi yang berkelanjutan menuju refluks esofagus.
Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada astresia esofagus.
Membran trakea seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa.
Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder ada struktur anteroposterior
trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala batuk
kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk
dibersihkan dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea juga dapat
kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika terjadi
refluks gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas, bahkan
apnea.

D. Klasifikasi
1. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus distal (86%, Vogt I1 1b, Gross
C)
Ini merupakan jenis yang paling sering terjadi. Esofagus bagian proksimal
berdilatasi dan dinding muscular akan menebal dan berujung pada
mediastinum superior setinggi vertebra thoracis III sampai IV. Esofagus distal
(Fistel), yang mana lebih tipis dan sempit, memasuki dinding posterior trakea
setinggi carina atau 1-2 cm diatasnya. Jarak antara esophagus proksimal yang
buntu dan fistula trakhenesofagus distal bervariasi mulai dari bagian yang
berpapasan hingga yang berjarak jauh. B.
2. Atresia esofagus terisolasi tanpa fistula (7%. Vogt 11, Gross A)
Esofagus distal dan proksimal benar-benar berakhir tanpa hubungan dengan
segmen esophagus proksimal, dilatasi dan dinding menebal dan biasanya
berakhir setinggi mediastinum posterior sekitar vetebra thorakalis II. Esofagus
distul sangat pendek dan berakhir pada jarak yang bervariasi diatas diagframa
3. Fistula trakeoesofagus tanpa atresia (4%, Gross E)
Terdapat hubungan fistula antara esophagus yang secara anatomi cukup intak
dengan trachea. Traktus yang mempunyai fistula sepenti ini biasa sangat tipis
dengan diameter 3-5 mm dan umumnya berlokasi pada daerah servikal paling
bawah. Biasanya fistulanya hanya satu tapi pernah ditemukan dua atau tiga
fistula.
4. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal (2%, Vogt III, Gross
B)
Kelainan yang jarang ditemukan namun perlu dibedakan dari jenis terisolasi.
Fistula bukan pada ujung distal esofagus tapi berlokasi 1-2 cm điatas dinding
depan esofagus.
5. Atresia esofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal dan distal (<1%,
Vogt Illa, Gross D)
Pada kebanyakan bayi, kelainan ini sering terlewati (misdiagnosa) dan diterapi
sebagai atresia proksimal dan fistula distal. Sebagai akibatnya infeksi saluran
pernapasan berulang. Jika fistula bagian proximal tidak teridentifikasi sebelum
operasi, diagnosisnya seharusnya dicurigai dari kebocoran gas banyak keluar
dari kantong atas selama membuat anastomosis dari esofagus.

E. Komplikasi
1. Anomali kongenital tambahan (jantung, ginjal, dan/atau
gastrointenstinal),
2. Apnea/henti napas
3. Dehidrasi
4. Inanition
5. Kesulitan menelan dan regurgitasi
6. Pneumonia aspirasi dan atelectasis
7. Stenosis pada sisi anastomosis
8. Striktur esofagus (komplikasi pasca bedah).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien untuk menegakkan
diagnosa post natal dan prenatal atresia esofagus adalah pemeriksaan rontgen
dan ultrasonografi.
1. Rontgen
Rontgen thorax dengan menggunakan udara sebagai kontras dapat menjadi
pemeriksaan penunjang untuk mengonfirmasi diagnosis atresia esofagus. Bila
terdapat distal TEF pada pasien, udara abdomen akan tampak pada rontgen
dan abdomen tampak distensi.
Dengan menggunakan nasogastric tube atau orogastric tube yang bersifat
radioopak dengan ukuran ukuran 8 French untuk bayi preterm dan ukuran 10
French untuk bayi aterm, dapat dilakukan pemeriksaan patensi esofagus
dengan memasukkan selang melalui hidung atau mulut hingga ke gaster.
Jarak normal menuju gaster pada bayi adalah 17 cm. Pada pasien dengan
atresia, selang akan berhenti setelah masuk dengan jarak sekitar 10 hingga 12
cm.
Walau demikian, terdapat kemungkinan inakurasi hasil karena selang dapat
menggulung di area sebelum atresia esofagus dan dipersepsikan sebagai
selang berhasil masuk. Untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan rontgen
thoraks posisi posteroanterior dan lateral untuk mengonfirmasi posisi selang
setelah pemasangan.
Gambaran rontgen juga sebaiknya memperlihatkan seluruh abdomen dengan
baik. Karena pada pasien atresia esofagus, gambaran udara di perut
menunjukkan bahwa terdapat distal fistula, dan adanya udara di usus dapat
menyingkirkan kemungkinan atresia duodenal.
Gambaran rontgen thoraks juga dapat memberikan informasi mengenai
gambaran jantung beserta posisinya, letak arkus aorta dan ada tidaknya
anomali vertebra dan tulang iga, serta memperlihatkan ada tidaknya infiltrat
pada paru.
Penggunaan kontras umumnya tidak diperlukan untuk menegakkan diagnosa
atresia esofagus. Penggunaan kontras hanya sedikit meningkatkan gambaran
rontgen, dibanding besarnya peningkatan risiko pneumonitis aspirasi dan
edema paru reaktif bila menggunakan kontras.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi prenatal dapat digunakan untuk memprediksi atresia esofagus
bila ditemukan polihidramnion dan/atau fetal stomach bubble yang tidak
tervisualisasi saat pemeriksaan. Walau demikian, kedua tanda ini bersifat tidak
spesifik dan dapat juga disebabkan oleh kondisi medis lainnya, seperti
diabetes maternal, digestive tract atresia, chloride diarrhea, Pierre Robin
syndrome, dan Bartter syndrome. Sensitivitas ultrasonografi dalam
mendiagnosis atresia esofagus berkisar antara 8.9-42%, mengingat sifatnya
yang operator-dependent. Gambaran visualisasi langsung dari esofagus yang
tidak berujung atau adanya kantong yang terlihat saat janin menelan di ujung
esofagus “pouch sign” dapat terlihat sejak usia kehamilan 23 minggu, tetapi
sangat sulit untuk ditemukan.

G. Penatalaksanaan dan Pengobatan


Atresia esofagus merupakan kedaruratan bedah sehingga pengobatannya ialah
melalui operasi. Sebelum operasi bayi harus ditidurkan telungkup untuk
mencegah isi lambung masuk ke paru. Untuk mencegah aspirasi, kantong
buntu esofagus harus tetap dipertahankan kosong dengan pengisapan yang
teratur. Pemantauan rutin terhadap suhu, respirasi, status cairan tubuh, dan
seteksi anomali kongenital lain perlu mendapat perhatian khusus. Pemberian
antibiotik pada kasus dengan risiko infeksi.
Kadang-kadang keadaan bayi memerlukan dilakukannya tindakan bedah
dalam dua tahap, yang pertama berupa pengikatan fistula serta pemasangan
pipa gastrostomi untuk pemberian makanan, sedangkan tahap kedua berupa
tindakan anastomosis kedua ujung esofagus. Makanan per oral biasanya dapat
diberikan pada hari ke 8-10 setelah pemasangan anastomosis pertama. Pada
hari ke-10 dapat pula dilakukan esofagografi untuk menilai keberhasilan
anastomosis; stenosis pada tempat anastomosis tidak jarang terjadi sehingga
memerlukan tindakan dilatasi. Motilitas abnormal esofagus bagian distal
selalu dijumpai dan acapkali merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya
refluks gastroesofagus, aspirasi, esofagitis, dan striktur.

Pengobatannya ialah melalui operasi, berikut penatalaksaannya.


1. Pasca diagnosa
a. Puasa
b. Pemeliharaan cairan parenteral dan penggantian elektrolit
c. NPT bila perlu
d. Penghisapan hidung dan faring prn
e. Terapi oksigen dilembabkan
f. Drainase kantung melalui kateter
g. Alat penghangat eksternal
h. Intubasi endotrakeal dan ventilasi bantuan dengan distres
pernapasan berat
i. Terapi antibiotik
j. Pemasangan selang gastrotomi (biasanya dilakukan pada pasien
dengan anestesi lokal praoperasi untuk memungkinkan keluarnya
udara dari lambung, kemudian menurunkan kemungkinan refluks ke
dalam fistula).
2. Pembedahan
a. Pembedahan paliatif dengan ligasi fistula dan pemasangan selang
gastrotomi, atau
b. Bedah perbaikan dengan ligasi fistula, anastomosis esofagus, dan
pemasangan gastrotomi; tipe pembedahan yang dilakukan
ditentukan oleh tipe fistual trakeoesofageal dan panjangnya esofagus
yang ada untuk anastomosis.
3. Pasca Bedah
a. Evaluasi status pernapasan
b. Selang gastrotomi disambungkan pada drainase gravitasi atau
drainase rendah, penghisapan intermiten
c. Kontinuasi kantung drain
d. Kontinuasi cairan parenteral pemeliharaan; hiperalimentasi dapat
dipesankan
e. Penggantian drainase gastrostomi dengan cairan parenteral
f. Pemantauan dan penggantian cairan dan elektrolit
g. Kontinuasi lingkungan yang hangat, lembab, dan teroksigenasi

C. Atresia ani

A. Definisi

Atresia ani adalah salah satu kelainan bawaan atau cacat lahir. Atresia ani, yang
kini dikenal sebagai malformasi anorektal (MAR) adalah suatu kelainan kongenital
yang menunjukkan keadaan tanpa anus atau dengan anus yang tidak sempurna.
Malformasi anorektal merupakan kelainan kongenital yang sering kita jumpai pada kasus
bedah anak.

Selama masa perkembangan janin, saluran pencernaan bayi akan mengalami


perkembangan. Apabila terdapat kesalahan, saluran cerna bayi tidak dapat terbentuk
dengan normal.Dalam beberapa kasus, gangguan perkembangan tersebut dapat
menyebabkan atresia ani. Pada kasus ini, usus besar bisa terhubung melalui sebuah
saluran menuju kandung kemih.Menurut penelitian, kasus malformasi anus dapat terjadi
pada satu dari antara 5.000 bayi.

B. Etiologi

Etiologi malformasi anorektal belum diketahui secara pasti. Beberapa


ahli berpendapat bahwa kelainan ini sebagai akibat dari abnormalitas perkembangan
embriologi anus, rektum dan traktus urogenital, dimana septum tidak membagi
membran kloaka secara sempurna. Terdapat beberapa faktor prognostik yang
mempengaruhi terjadinya morbiditas pada malformasi anorektal, seperti
abnormalitas pada sakrum, gangguan persarafan pelvis, sistem otot
perineal yang tidak sempurna, dan gangguan motilitas kolon.

C. Manifestasi Klinis
1. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2. Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rectal pada bayi.
3. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang salah letaknya.
4. Distensi terhadap dan adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula).
5. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam.
6. Pada pemeriksaan rectal tauce terdapat adanya membran anal
7. Perut kembung.

(Nurarif & Kusuma, 2016)

D. Patofisiologi
Patofisiologi atresia ani melibatkan proses embriologi dalam kandungan. Pada
embrio tahap awal, hindgut masih berupa struktur sederhana, dimana bagian kranialnya
berhubungan dengan midgut dan bagian kaudal berhubungan dengan ektoderm. Pada
bagian ektoderm terbentuk struktur yang disebut membran kloaka.
Ketika perkembangan kloaka berlanjut, bagian kaudal dari hindgut berdiferensiasi
menjadi dua sistem organ yang berbeda, yaitu sistem urogenital dan sistem anorektal.
Kelainan pemisahan kedua sistem organ ini mengakibatkan terjadinya kelainan
perkembangan kloaka.Kelainan dalam pembentukan membran kloakan juga dapat
menyebabkan terjadinya epispadia.
Rektum mengalami migrasi selama perkembangan normal dari posisi yang tinggi
menuju daerah yang lebih rendah, yang merupakan tempat anus pada saat lahir. Bila
proses migrasi ini terhenti sebelum anus mencapai posisi normalnya di daerah perineum,
terjadilah kelainan atresia ani

E. Pemeriksaan Penunjang

Pada pemeriksaan ini, dokter akan mengecek area sekitar alat kelamin dan bokong
bayi. Pemeriksaan fisik umumnya sudah cukup untuk memastikan diagnosis dan
menentukan tingkat keparahan atresia ani yang terjadi.

1. Rontgen dan USG


Pada pemeriksaan ini, akan dilakukan rontgen pada area perut (abdominal) guna
menentukan lokasi atresia ani. Beberapa jenis USG juga dapat membantu dalam
mendiagnosis penyakit ini, seperti USG ginjal, panggul, serta tulang
belakang.Rontgen dan USG bertujuan mengetahui secara lebih detail mengenai anus
imperforata yang dialami oleh bayi. Contohnya, untuk melihat posisi ujung saluran
usus besar dalam tubuh penderita. Dengan ini, penanganan yang tepat bisa diberikan.
2. MRI
Prosedur MRI berfungsi mendeteksi ketidaknormalan pada tulang belakang, organ
kelamin, hingga otot-otot panggul.
3. Ekokardiogram
Ekokardiogram bertujuan memeriksa ada tidaknya kelainan pada jantung, yang juga
dapat ditemukan pada penderita anus imperforata.
4. Colostogram
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengecek ada tidaknya kelainan pada usus, yang
juga mungkin dialami oleh penderita atresia ani.

F. Komplikasi
Komplikasi utama dari atresia ani adalah konstipasi alias sembelit. Kondisi
susah buang air besar ini dapat dialami oleh penderita meski sudah menjalani
operasi.Untuk mengatasi sembelit, dokter dapat menyarankan perubahan pola makan
serta memberikan obat pencahar. Dokter juga bisa memberikan enema agar pasien
lebih mudah BAB, khususnya pada pasien dengan kondisi atresia ani yang parah.
Karena penyebabnya tidak diketahui, cara mencegah atresia ani secara khusus
juga belum tersedia hingga saat ini.Namun bagi pasangan dengan riwayat penyakit ini
dalam keluarganya, mereka disarankan untuk menjalani konseling dan tes genetik saat
ingin memiliki anak. Pasalnya, cacat lahir ini berkaitan dengan faktor keturunan.

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Kolostomi

Bayi laki-laki maupun perempuan yang didiagnosa mengalami malformasi


anorektal (atresia ani) tanpa fistula membutuhkan satu atau beberapa kali operasi
untuk memperbaikinya. Kolostomi adalah bentuk operasi yang pertama dan biasa
dilakukan. Kolostomi dilakukan untuk anomaly jenis kelainan tinggi (High Anomaly),
rektovaginal fistula, rektovestibular fistula , rektouretral fistula, atresia rektum, dan
jika hasil jarak udara di ujung. distal rektum ke tanda timah atau logam di perineum
pada radiologi invertogram > 1 cm. Tempat yang dianjurkan ada 2 : transverso
kolostomi dan sigmoidostomi. Bentuk kolostomi yang aman adalah stoma laras
ganda.

Kolostomi merupakan perlindungan sementara (4-8 minggu) sebelum


dilakukan pembedahan. Pemasangan kolostomi dilanjutkan 6-8 minggu setelah
anoplasty atau bedah laparoskopi. Kolostomi ditutup 2-3 bulan setelah dilatasi
rektal/anal postoperatif anoplasty. Kolostomi dilakukan pada periode perinatal dan
diperbaiki pada usia 12-15 bulan .

Jenis operasi yang dilakukan akan tergantung pada tingkat keparahan anus
imperforata serta kondisi pasien secara umum. Beberapa jenis operasi ini bisa berupa:

- Tahap ringan

Pada bayi dengan atresia ani ringan, operasi dapat menjadi solusi yang baik.
Meski begitu, operasi ini terkadang tetap bisa menimbulkan masalah pencernaan berupa
sembelit.

- Tahap sedang

Untuk bayi yang mengalami atresia ani yang lebih berat, ia membutuhkan operasi
yang lebih rumit. Penanganan ini juga umumnya disertai serangkaian perawatan
tambahan yang meliputi mengonsumsi makanan yang mengandung banyak serat dan obat
pelunak feses.

- Tahap berat

Pada penderita atresia ani yang termasuk parah, pasien kemungkinan


memerlukan jumlah operasi yang lebih banyak.Pembedahan umumnya dilakukan
pada beberapa hari pertama setelah bayi lahir. Namun ada kalanya, operasi tidak dapat
langsung dilakukan.Sebelum menjalani operasi, prosedur kolostomi seringkali
dibutuhkan. Dokter akan membuat dua bukaan kecil untuk menghubungkan ujung
usus besar ke dinding perut sebagai saluran pembuangan.Kantong khusus kemudian
dipasang di luar lubang. Dengan begitu, kotoran pasien bisa langsung keluar melalui
lubang tersebut dan ditampung dalam kantong.

b. Diltasi Anal (Secara Digital Atau Manual)

Dilatasi anal dilakukan pertama oleh dokter, kemudian dilanjutkan oleh


perawat. Setelah itu prosedur ini diajarkan kepada orang tua kemudian dilakukan
mandiri. Klien dengan anal stenosis, dilatasi anal dilakukan 3x sehari selama 10-14
hari. Dilatasi anal dilakukan dengan posisi lutut fleksi dekat ke dada. Dilator anal
dioleskan cairan/minyak pelumas dan dimasukkan 3-4 cm ke dalam rektal. Pada
perawatan postoperatif anoplasty, dilatasi anal dilakukan beberapa minggu (umumnya
1-2 minggu) setelah pembedahan. Dilatasi anal dilakukan dua kali sehari selama 30
detik setiap hari dengan menggunakan Hegar Dilator. Ukuran dilator harus diganti
setiap minggu ke ukuran yang lebih besar. Ketika seluruh ukuran dilator dapat
dicapai, kolostomi dapat ditutup, namun dilatasi tetap dilanjutkan dengan mengurangi
frekuensi.

c. Anoplasty

Anoplasty dilakukan selama periode neonatal jika bayi cukup umur dan tanpa
kerusakan lain. Operasi ditunda paling lama sampai usia 3 bulan jika tidak mengalami
konstipasi. Anoplasty digunakan untuk kelainan rektoperineal fistula, rektovaginal
fistula, rektovestibular fistula, rektouretral fistula, atresia rektum.

d. Bedah Laparoskopik/Bedah Terbuka Tradisional


Pembedahan ini dilakukan dengan menarik rectum kepembukaan anus.
(Kurniah, 2013)

2. Penatalaksanaan Nonmedis

a. Toilet Training

Toilet training dimulai pada usia 2-3 tahun. Menggunakan strategi yang sama
dengan anak normal,misalnya pemilihan tempat duduk berlubang untuk eliminasi dan
atau penggunaan toilet. Tempat duduk berlubang untuk eliminasi yang tidak ditopang
oleh benda lain memungkinkan anak merasa aman. Menjejakkan kaki le lantai juga
memfasilitasi defekasi. 7

b. Bowel Management

Meliputi enema/irigasi kolon satu kali sehari untuk membersihkan kolon.

c. Diet Konstipasi Makanan

Disediakan hangat atau pada suhu ruangan, jangan terlalu panas/dingin.


Sayuran dimasak dengan benar.Menghindari buah-buahan dan sayuran
mentah.Menghindari makanan yang memproduksigas/menyebabkan kram, seperti
minuman karbonat, permenkaret, buncis, kol, makanan pedas, pemakaian sedotan.

d. Diet Laksatif/Tinggi Serat

Diet laksatif/tinggi serat antara lain dengan mengkonsumsimakanan seperti


ASI, buah -buahan, sayuran, jus apel danapricot, buah kering, makanan tinggi lemak,
coklat, dankafein. (Kurniah, 2013).

D. Lung stenosis

A. Definisi Stenosis
Stenosis pulmonal merupakan salah satu dari penyakit jantung bawaan (PJB).
Stenosis Pulmonal yaitu terjadinya penyempitan pada jalan keluar ventrikel kanan
menuju paru, yakni pada daerah katup pulmonal. Stenosis pulmonal adalah cacat
(hadir pada saat kelahiran) kongenital yang terjadi karena perkembangan abnormal
jantung janin pada 8 minggu pertama kehamilan.Katup pulmonal ditemukan antara
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis. Ini memiliki tiga selebaran yang berfungsi
seperti pintu satu arah, memungkinkan darah mengalir ke depan ke arteri pulmonalis,
tetapi tidak mundur ke ventrikel kanan.
Dengan stenosis pulmonal, masalah dengan katup paru membuat lebih sulit bagi
selebaran untuk membuka dan memungkinkan darah mengalir ke depan dari ventrikel
kanan ke paru-paru. Pada anak-anak, masalah ini dapat mencakup:
 katup yang memiliki selebaran yang sebagian menyatu bersama-sama.
 katup yang telah selebaran tebal yang tidak membuka semua jalan.
 daerah atas atau di bawah katup paru yang menyempit.
B. Klasifikasi
Ada empat jenis stenosis paru:
1. Stenosis paru valvular: selebaran katup menebal dan /atau menyempit
2. Stenosis supravalvular: paru-paru arteri tepat di atas katup paru menyempit
3. Subvalvular (infundibular): stenosis paru-paru otot di bawah area katup
menebal, penyempitan saluran keluar dari ventrikel kanan
4. Stenosis pulmonal perifer cabang arteri paru kiri atau kanan adalah menyempit,
atau keduanya mungkin dipersempit.
C. Etiologi
Penyebab terjadinya kelainan jantung kongenital belum dapat diketahui secara pasti
tetapi beberapa faktor diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian
kelainan jantung kongenital. Faktor tersebut adalah :
1. Faktor endogen yaitu berbagai jenis penyakit genetik (kelainan kromosom),
anak yang lahir sebelumnya menderita penyakit jantung bawaan, adanya
penyakit tertentu dalam keluarga seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit
jantung dan kelainanbawaan.
2. Faktor eksogen yaitu riwayat kehamilan ibu : sebelum ikut program KB oral
atau suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter, (thalidmide,
dexotroamphetamine, aminopterin, jamu), ibu menderita penyakit infeksi
(rubella), pajanan sinarX
D. Patofisiologi
Penyempitan klinis yang signifikan dari katup atau pembuluh darah meningkat
tekanan proksimal penyumbatan.Gradien tekanan ini diperlukan untuk menjaga arus
di seluruh situs stenosis.Pada stenosis pulmonal, hipertrofi dari ventrikel kanan terjadi
kemudian dan mempertahankan aliran ke depan. Besarnya tekanan ventrikel kanan
dan gradien tekanan di katup paru umumnya sebanding dengan derajat
obstruksi.Dalam keadaan biasa, hipertrofi ventrikel kanan proporsional memelihara
aliran darah normal paru. Jika output normal tidak diperbarui, terjadi kemudian
jantung sisi kanan gagal. Ini terjadi pada neonatus dengan stenosis paru kritis dan
pada pasien dengan obstruksi parah yang terjadi di masa kanak-kanak atau dewasa.
Perubahan dalam geometri ventrikel kiri dan penurunan fungsi ventrikel kiri juga
dapat terjadi. Perubahan sebanding dengan derajat hipertrofi ventrikel kanan, tetapi
mereka kembali ke normal setelah gangguan pada saluran keluar ventrikel kanan
adalahlega.

Dengan meningkatnya hipertrofi ventrikel kanan, ventrikel kepatuhan menurun


dengan peningkatan resultan tekanan akhir diastolik dan terkemuka sebuah
gelombang di atrium kanan.Sebagai tekanan atrium kanan meningkat, shunt dari
kanan ke kiri dapat terjadi jika foramen ovale paten atau defek septum atrium hadir;
hasil perubahan ini di desaturation arteri sistemik dan cyanosis klinis jelas. Shunting
ini dapat terjadi bahkan tanpa elevasi diukur tekanan atrium kanan dan disebabkan
penurunan kepatuhan ventrikel kanan. Semacam ke kiri kanan shunt juga dapat terjadi
pada pasien dengan terbelakang (hipoplasia) ventrikelkanan.Katup paru ditemukan
antara ventrikel kanan dan arteri paru- paru.Hal ini memiliki tiga selebaran yang
berfungsi seperti sebuah pintu satu- arah, sehingga darah mengalir maju ke arteri
paru-paru, tetapi tidak mundur ke dalam ventrikel kanan.
Dengan stenosis paru, masalah dengan katup paru mempersulit selebaran untuk
membuka dan memungkinkan darah mengalir ke depan dari ventrikel kanan ke paru-
paru. Pada anak-anak, masalah ini dapat termasuk:
a. Katup yang sebagian selebaran yang menyatu bersama-sama.
b. Katup yang memiliki selebaran tebal yang tidak membuka semua jalan.
c. Daerah di atas atau di bawah katup paru menyempit.
Stenosis kongenital paru terjadi karena pembangunan yang tidak tepat dari katup paru
dalam 8 minggu pertama pertumbuhan janin. Hal ini dapat disebabkan oleh sejumlah
faktor, meskipun sebagian besar waktu ini cacat jantung terjadi secara sporadis
(secara kebetulan), tanpa alasan yang jelas untuk pengembangannya. Beberapa
kerusakan jantung kongenital mungkin memiliki link genetik, baik yang terjadi karena
kerusakan gen, kelainan kromosom, atau pemaparan lingkungan, menyababkan
masalah jantung terjadi lebih sering pada keluarga tertentu.
E. Manifestasi Klinis
Bayi yang lahir dengan Critical Pulmonal Stenosis akan tampak sianosis segera
setelah lahir, yang makin lama sianosisnya bertambah, tidak membaik dengan
pemberian oksigen, dan memerlukan tindakan pertolongan segera untuk kelangsungan
hidupnya. Anak dengan stenosis pulmonal derajat ringan-sedang biasanya tidak
menimbulkan keluhan (asimtomatis), dan mengalami pertumbuhan dan
perkembangan secara normal. Biasanya ditemukan secara tidak sengaja karena
terdengar suara bising jantung saat dilakukan pemeriksaan auskultasi.
Berikut ini adalah gejala paling umum stenosisparu.Namun,setiap anak mungkin
mengalami gejala yang berbeda. Gejala bisa meliputi:
 Gangguan Fungsi Miokard
1. Takikardia
2. Perspirasi
3. Penurunana haluaranurine
4. Keletihan
5. Kelemahan
6. Gelisah
7. Anoreksi
8. Ekstremitas pucat dan dingin
9. Denyut nadi perifer lemah
10. Penurunan tekanan darah
11. Iramagallop
12. Kardiomegali
 Kongestiparu
1. Takipnea
2. Dispnea
3. Retraksi
4. Pernapasan cupinghidung
5. Intoleransi terhadap latihanfisik
6. Ortopnea
7. Batuk, suara serak
8. Sianosis
9. Mengi
10. Suara seperti mendengkur
 Kongesti venasistemik
1. Pertambahan beratbadan
2. Hepatomegali
3. Edemaperifer
4. Asites
5. Distensi vena leher (pada anak)
F. Komplikasi
1. Hypercontractile hipertrofi otot menghalangi sisa di infundibulum, komplikasi
inidikaitkan dengan valuloplasty bedah atau balon untuk stenosis paruparah.
2. Infundibular obstruksi: fenomena ini, yang terjadi perbaikan stenosis setelah
valvular dengan cara operasi atau valvuloplasty, telah menyebabkan
penunjukan dari ventrikel kanan bunuh diri. Beta-blockers and volume
replacement are used to treat this condition, which occurs more frequently in
relatively old patients with long-standing pulmonary stenosis. Beta-blocker
dan penggantian volume digunakan untuk mengobati kondisi ini, yang terjadi
lebih sering pada pasien yang relatif tuadenganstenosis parulama
3. Akhir Aritmia atrium
4. Persisten trepolarisasi kelainan
G. Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray dada: tes nergytic yang menggunakan nergy elektromagnetik
tidakterlihat balok untuk menghasilkan gambar dari jaringan internal, tulang,
dan organ ke film.
2. Elektrokardiogram (ECG atau EKG): tes yang mencatat aktivitas listrik
jantung, menunjukkan irama yang abnormal (aritmia atau disritmia),
danmendeteksi tegangan ototjantung.
3. Ekokardiogram (echo): prosedur yang mengevaluasi struktur dan fungsi
jantung dengan menggunakan gelombang suara direkam pada sebuahsensor
2. elektronik yang menghasilkan gambar bergerak pada jantung dan
katupjantung.
 Kateterisasi jantung: suatu kateterisasi jantung merupakan prosedur invasif yang
memberikan informasi yang sangat rinci mengenai struktur di dalam hati. Dalam
sedasi, kecil, tipis, tabung fleksibel (kateter) dimasukkan ke dalam pembuluh darah
di pangkal paha, dan dituntun ke dalam hati. Tekanan darah dan pengukuran
oksigen yang diambil dalam empat bilik jantung, serta arteri paru-paru dan aorta.
Kontras pewarna juga disuntikkan ke lebih jelas memvisualisasikan struktur
didalamhati.
H. Penatalaksanaan Medis
Pengobatan stenosis paru akan ditentukan oleh dokter berdasarkan:
a. Usia anak Anda, kesehatan secara keseluruhan, dansejarahmedis
b. Sejauhmanakondisi
c. Anak Anda toleransi untuk pengobatan spesifik, prosedur,atauterapi
d. Harapan untuk kursuskondisi
e. Anda pendapat atau preferensi
Perlakuan yang tepat yang dibutuhkan tergantung pada anatomi jantung setiap
anak.Stenosis pulmonal ringan biasanya tidak perlu dilakukan pengobatan.Namun,
stenosis pulmonal berat dan kritis memerlukan perawatan.Dalam kebanyakan kasus,
kondisi ini diobati dengan valvuloplasty balon, yang memerlukan kateterisasi jantung.
Kateter memiliki balon di ujungnya. Untuk membuka katup yang sempit, balon secara
singkat meningkat, lesu dan ditarik.Kadang-kadang, dua kateter dan balon
digunakan.Kadang- kadang, pada bayi baru lahir, pembuluh darah di tali pusat
digunakan sebagai tempat dimana kateter dimasukkan ke arah jantung.
Anak-anak yang lebih tua dapat menghabiskan satu malam di rumah sakit setelah
prosedur ini dan akan perlu istirahat pada hari berikutnya, tapi kemudian dapat
melanjutkan aktivitas normal. Bayi dengan stenosis pulmonal kritis akan tinggal
dalam ruang ICU dan akan membutuhkan beberapa waktu untuk pulih.Dalam kasus
lain juga dilakukan pembedahan, namun kasus ini jarang ditemukan. Ahli bedah
menggunakan prosedur yang disebut valvotomy untuk
memisahkan leaflet tergabung dalam katup. Pilihan lain meliputi penempatan bedah
katup yang disebut homograft paru, yang merupakan katup paru-paru dan arteri.
Katub ini dapat tumbuh dengan anak dan pegencer darah tidak diperlukan.
Subpulmonic dan stenosis pulmonal supravalvar tidak mendapatkan lebih baik dengan
pelebaran balon, dan akan memerlukan operasi jika jumlah penyumbatan sedang atau
berat.Bedah untuk stenosis subpulmonic juga melibatkan pemotongan buntalan
otot.Bedah untuk stenosis pulmonal supravalvar melibatkan memperbesar arteri paru
dengan patch.

E. Hirschprung/ Megacolon

A. Pengertian
Penyakit hirschprung adalah suatu kelainan tidak adanya sel ganglion parasimpatik
pada usus, dapat dari kolon sampai pada usus halus. ( Ngastiyah,1997;139).
Hirschprung atau megacolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus
tersering pada neonatus, dan kebanyakan terjadi pada bayi dengan berat badan lahir 3
Kg, lebih banyak laki-laki dari pada perempuan ( Arief Mansjoeer : 2000).
Penyakit hirschprung disebut juga congenital aganglionosis atau megakolon
(aganglionik megakolon) yaitu tidak adanya sel ganglion dalam rectum dan sebagian
tidak ada dalam kolon. (Suriadi, 2001).
Penyakit hirschprung atau megakolon congenital adalah tidak adanya selsel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid kolon. (Cecily L. Betz, 2002; 196).
Hirschprung atau Megakolon adalah penyakit yang tidak adanya sel – sel ganglion
dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Dan ketidak adaan ini menimbulkan
keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus
spontan( Betz,Cecily& amp; Sowden : 2010 ).
Penyakit hirschprung disebut juga congenital aganglionosis atau megakolon
(aganglionik megakolon) yaitu adanya sel ganglion parasimpatik, mulai dari spingter
ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, dapat dari kolon sampai
pada usus halus.
Jadi penyakit hirschprung adalah suatu kelainan bawaan di mana tidak terdapatnya sel
ganglion parasimpatik, mulai dari spingter ani interna kearah proksimal dengan
panjang yang bervariasi, dapat dari kolon sampai pada usus halus. Penyakit
Hirschsprung disebut juga kongenital aganglionik megakolon. Penyakit ini
merupakan keadaan usus besar (kolon) yang tidak mempunyai persarafan
(aganglionik). Jadi, karena ada bagian dari usus besar (mulai dari anus kearah atas)
yang tidak mempunyai persarafan (ganglion), maka terjadi kelumpuhan usus besar
dalam menjalankan fungsinya sehingga usus menjadi membesar (mega kolon).
B. Etiologi
a. Penyakit hirschsprung diduga sebagai defek congenital familia.
b. Penyakit hirschsprung terjadi akibat kegagalan perpindahan kraniokaudal dari
precursor sel saraf ganglion sepanjang saluran GI antara minggu kelima dan
kedua belas gestasi.
c. Sering terjadi pada anak dengan down syndrome.
d. Megakolon pada hirschprung primer disebabkan oleh gangguan peristaltik
dibagian usus distal dengan defisiensi ganglion .
e. Tidak diketahui secara pasti kemungkinan factor genetic dan factor lingkungan.
f. Mungkin terdapat suatu kegagalan migrasi sel-sel dari puncak neural embrionik
ke dinding usus atau kegagalan dari pleksus-pleksus mienterikus dan submukosa
untuk bergerak ke kraniokaudal dalam dinding usus tersebut.

C. Faktor resiko dan Klasifikasi


Penyakit ini disebabkan agang lionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding
usus, mulai dari spingterani internus kearah proksimal, 70 % terbatas di daerah
rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai seluruh
usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada anak
dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus,
gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosadinding plexus
(Budi,2010).
Berdasarkan panjang segmen yang terkena, penyakit hirschprung dapat dibedakan 2
tipe, yaitu:
1) Penyakit hirschprung segman pendek Segmen aganglionosis mulai dari anus
sampai sigmoid, ini merupakan 70 % dari kasus penyakit hirschprung dan
lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dari pada anak perempuan.
2) Penyakit hirschprung segmen panjang Kelainan dapat melebihi sigmoid,
bahkan dapat mengenai seluruh kolon atau usus halus. Ditemukan sama
banyak pada anak laki-laki maupun perempuan.

D. Patofisiologi
a. Tidak adanya sel ganglion parasimpatik otonom pada satu segmen kolon
menyebabkan kurangnya persarafan di segmen tersebut.
b. Kurangnya persarafan menyebabkan tidak adanya gerakan mendorong,
menyebabkan akumulasi isi intestinal dan distensi usus proksimal terhadap defek.
c. Semua ganglion pada intramural pleksus dalam usus berguna untuk kontrol
kontraksi dan relaksasi peristaltic secara normal.
d. Penyempitan pada lumen usus, tinja dan gas akan berkumpul dibagian proksimal
dan terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian kolon tersebut melebar
(megakolon).
e. Enterokolitis, inflamasi usus halus dan kolon, merupakan penyebab utama
kematian pada anak-anak dengan penyakit Hirschprung. Hal itu terjadi sebagai
akibat dari distensi intestin dan iskemia (sekunder) akibat distensi dinding usus.

E. Gambaran Klinis
Gejala Penyakit Hirshsprung adalah obstruksi usus letak rendah, bayi dengan
Penyakit Hirshsprung dapat menunjukkan gejala klinis sebagai berikut. Obstruksi
total saat lahir dengan muntaah, distensi abdomen dan ketidak adaan evakuasi
mekonium. Keterlambatan evakuasi meconium diikuti obstruksi konstipasi, muntah
dan dehidrasi. Gejala rigan berupa konstipasi selama beberapa minggu atau bulan
yang diikuti dengan obstruksi usus akut. Konstipasi ringan entrokolitis dengan diare,
distensi abdomen dan demam. Adanya feses yang menyemprot pas pada colok dubur
merupakan tanda yang khas. Bila telah timbul enterokolitis nikrotiskans terjadi
distensi abdomen hebat dan diare berbau busuk yang dapat berdarah ( Nelson, 2002 :
317 ).
1) Bayi baru lahir Kegagalan mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah
lahir, malas minum, distensi abdomen,dan emesis yang mengandung empedu.
2) Bayi Gagal tumbuh, kontipasi, distensi abdomen, muntah, dan diare episodik.
3) Anak-anak yang lebih besar Anoreksia, konstipasi kronis feses berbau busuk
dan berbentuk pita, distensi abdomen, peristalsis yang dapat terlihat, massa
feses dapat dipalpasi, malnutrisi atau pertumbuhan yang buruk, tanda-tanda
anemia, dan hipoproteinemia. Tanda-tanda yang memburuk yang menandakan
enterokolitis antara lain diare hebat yang tiba-tiba, diare bercampur darah,
demam, dan kelelahan yang parah
F. Komplikasi
1) Gawat pernafasan akut
2) Enterokolitis akut
3) Triktura ani pasca bedah
4) Inkontinensia jangka panjang
5) Obstruksi usus
6) Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
7) Konstipasi

G. Pemeriksaan Diagnostik

1) Foto Polos Abdomen (BNO) Foto polos abdomen dapat memperlihatkan loop
distensi usus dengan penumpukan udara di daerah rektum. Pada foto polos
abdomen dapat dijumpai gambaran obstruksi usus letak rendah, meski pada bayi
sulit untuk membedakan usus halus dan usus besar. Bayangan udara dalam kolon
pada neonatus jarang dapat bayangan udara dalam usus halus. Daerah
rektosigmoid tidak terisi udara. Pada foto posisi tengkurap kadang-kadang terlihat
jelas bayangan udara dalam rektosigmoid dengan tanda-tanda klasik penyakit
Hirschsprung.
2) Enema Barium Barium enema Pemeriksaan yang merupakan standard dalam
menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah Barium Enema, dimana akan dijumpai
3 tanda khas:
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya
bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitanke arah
daerah dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi. Apabila dari
foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas, maka dapat dilanjutkan
dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24- 48 jam barium dibiarkan
membaur dengan feces. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium yang
membaur denganfeces kearah proksimal kolon. Sedangkan pada penderita
yang bukan Hirschsprung namun disertai dengan obstipasi kronis, maka
barium terlihat menggumpal di daerah rektum dan sigmoid.
3) Biopsi isap, yakni mengambil mukosa dan submukosa dengan alat penghisap dan
mencari sel ganglion pada daerah submukosa
4) Biopsi otot rectum, yakni pengambilan lapisan otot rectum, dilakukan dibawah
narkose. Pemeriksaan ini bersifat traumatic
5) Pemeriksaan aktivitas enzim asetilkolin esterase dari hasil biopsi isap. Pada
penyakit ini khas terdapat peningkatan aktivitas enzim asetilkolin esterase
6) Pemeriksaan aktivitas norepineprin dari jaringan biopsi usus.
7) Anal manometri (balon ditiupkan dalam rektum untuk mengukur tekanan dalam
rektum) Sebuah balon kecil ditiupkan pada rektum. Ano-rektal manometri
mengukur tekanan dari otot sfingter anal dan seberapa baik seorang dapat
merasakan perbedaan sensasi dari rektum yang penuh. Pada anak-anak yang
memiliki penyakit Hirschsprung otot pada rectum tidak relaksasi secara normal.
Selama tes, pasien diminta untuk memeras, santai, dan mendorong. Tekanan otot
spinkter anal diukurselama aktivitas. Saat memeras, seseorang mengencangkan
otot spinkter seperti mencegah sesuatu keluar. Mendorong, seseorang seolah
mencoba seperti pergerakan usus. Tes ini biasanya berhasil pada anak-anak yang
kooperatif dan dewasa

H. Penatalaksanaan

1) Medik Bila belum dapat dilakukan operasi, biasanya (merupakan tindakan


sementara) dipasang pipa rectum, dengan atau tanpa dilakukan pembilasan dengan
air garam fisiologis secara teratur.
a. Bayi dengan obstruksi akut
 Pemeriksaan rectal atau memasukkan pipa rectal sering dapat
memperbaiki keadaan sementara waktu
 Mengosongkan rectum tiap hari dengan cairan NaCl 0,9 %
b. Pengobatan enterokolitis
2) Bedah Penatalaksaan operasi adalah untuk memperbaiki portion aganglionik di
usus besar untuk membebaskan dari obstruksi dan mengembalikan motilitas usus
besar sehingga normal dan juga fungsi spinkter ani internal. Pembedahan yang
dilakukan yaitu:
a. Kolostomi sementara pada bagian transisi segera setelah dipastikan diagnosis,
dikonfirmasikan dengan pemeriksaan histology sehingga akan mengurangi
adanya enterolitis
b. Anastomosis definitive bagian yang mempunyai ganglion dengan saluran
anus, dilakukan pada umur 9 sampai 12 bulan atau 6 bulan setelah kolostomi
pada anak yang lebih besar
 Prosudur Swenson
Orvar swenson dan Bill (1948) adalah yang mula-mula
memperkenalkan operasi tarik terobos (pull-through) sebagai tindakan
bedahdefinitif pada penyakit Hirschsprung. Pada dasarnya, operasi
yang dilakukan adalah rektosigmoidektomi dengan preservasi spinkter
ani. Dengan meninggalkan 2-3 cm rektum distal dari linea dentata,
sebenarnya adalahmeninggalkan daerah aganglionik, sehingga dalam
pengamatan pasca operasi masih sering dijumpai spasme rektum yang
ditinggalkan. Oleh sebab itu Swenson memperbaiki metode operasinya
(tahun 1964) dengan melakukan spinkterektomi posterior, yaitu dengan
hanya menyisakan 2 cm rektum bagian anterior dan 0,5-1 cm rektum
posterior5.
Prosedur Swenson dimulai dengan approach ke intra abdomen,
melakukan biopsi eksisi otot rektum, diseksi rektum ke bawah hingga
dasar pelvik dengan cara diseksi serapat mungkin ke dinding rektum,
kemudian bagian distal rektum diprolapskan melewati saluran anal ke
dunia luar sehingga saluran anal menjadi terbalik, selanjutnya menarik
terobos bagian kolon proksimal (yang tentunya telah direseksi bagian
kolon yang aganglionik) keluar melalui saluran anal. Dilakukan
pemotongan rektum distal pada 2 cm dari anal verge untuk bagian
anterior dan 0,5-1 cm pada bagian posterior, selanjunya dilakukan
anastomose end to end dengan kolon proksimal yang telah ditarik
terobos tadi. Anastomose dilakukan dengan 2lapis jahitan, mukosa dan
sero-muskuler. Setelah anastomose selesai, usus dikembalikan ke
kavum pelvik / abdomen. Selanjutnya dilakukan reperitonealisasi, dan
kavum abdomen ditutup.
 Prosedur Duhamel
Prosedur ini diperkenalkan Duhamel tahun 1956 untuk mengatasi
kesulitan diseksi pelvik pada prosedur Swenson. Prinsip dasar prosedur
ini adalah menarik kolon proksimal yang ganglionik ke arah anal
melalui bagian posterior rektum yang aganglionik, menyatukan
dinding posterior rektum yang aganglionik dengan dinding anterior
kolon proksimal yang ganglionik sehingga membentuk rongga baru
dengan anastomose end to side Fonkalsrud dkk,1997).
Prosedur Duhamel asli memiliki beberapa kelemahan, diantaranya
sering terjadi stenosis, inkontinensia dan pembentukan fekaloma di
dalam puntung rektum yang ditinggalkan apabila terlalu panjang. Oleh
sebab itu dilakukan beberapa modifikasi prosedur Duhamel,
diantaranya :
(1) Modifikasi Grob (1959) : Anastomose dengan pemasangan 2
buahklem melalui sayatan endoanal setinggi 1,5-2,5 cm, untuk
mencegahinkontinensia.
(2) Modifikasi Talbert dan Ravitch: Modifikasi berupa pemakaian
stapler untuk melakukan anastomose side to side yang panjang;
(3) Modifikasi Ikeda: Ikeda membuat klem khusus untuk melakukan
anastomose, yang terjadi setelah 6-8 hari kemudian.
(4) Modifikasi Adang: Pada modifikasi ini, kolon yang ditarik
transanal dibiarkan prolaps sementara. Anastomose dikerjakan
secara tidak langsung, yakni pada hari ke-7-14 pasca bedah
denganmemotong kolon yang prolaps dan pemasangan 2 buah
klem keduaklem dilepas 5 hari berikutnya. Pemasangan klem disini
lebih dititikberatkan pada fungsi hemostasi.
 Prosedur Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun
1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak
tinggi.Namunoleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan
bedah definitive Hirschsprung. Tujuan utama dari prosedur Soave ini
adalah membuang mukosarektum yang aganglionik, kemudianmenarik
terobos kolon proksimal yangganglionik masuk kedalam lumen rektum
yang telah dikupas tersebut.
 Prosedur Rehbein
Prosedur ini tidak lain berupa deep anterior resection, dimana
dilakukan anastomose end to end antara usus aganglionik dengan
rectumpada level otot levator ani (2-3 cm diatas anal verge),
menggunakan jahitan1 lapis yang dikerjakan intraabdominal
ekstraperitoneal. Pasca operasi,sangat penting melakukan businasi
secara rutin guna mencegah stenosis.

Anda mungkin juga menyukai