Anda di halaman 1dari 9

PENUGASAN BLOK 2.

6
Gangguan Metabolik dan Degeneratif
Analisis Resep

Disusun Oleh :
Kelompok Tutorial 15
Fritzienico Zachary Baskoro (20711031)

Dosen Pembimbing :
dr. Miranti Dewi Pramaningtyas, M.Sc

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2022/2023
I. Deskripsi Kasus/Resep
Kasus 6
Seorang laki-laki berusia 57 tahun datang ke puskesmas dengan keluhan sering kencing
sejak 1 bulan yang lalu. Keluhan dirasakan terutama saat malam hari, dan disertai dengan
rasa haus serta mudah lapar dan kaki serta tangannya sering merasa kesemutan. Pasien
belum pernah merasakan keluhan serupa, akan tetapi kakak kandungnya didiagnosis
menderita kencing manis. Keadaan umum pasien tampak baik, E4V5M6. Tanda vital
suhu 36,9oC, pemeriksaan fisik dalam batas normal. Pemeriksaan gula darah
menunjukkan GDP 230 mg/dl. Dokter mendiagnosis dengan diabetes melitus dan
meresepkan obat untuk 1 minggu sebagai berikut:
Puskesmas selalu sehat
Dr. Ahlan wa sahlan
SIP 123/x/2023/456
Jl. Kedamaian no 01
Yogyakarta, 26 Juni 2022

R/ Glibenklamid tab 10 mg no.XIV


∫ b.d.d.tab 1. p.c
R/ Metformin cap 500 mg no. XIV
∫ b.d.d.tab 1. d.c
R/ Vit C tab 10 mg no. VII
∫ s.d.d.tab 1.

Pro : Tn. Yulian


Usia : 57 thn
BB : 70 kg

II. Kelengkapan Resep dan Pembahasan


A. Identitas Dokter
Bagian ini terdapat pada bagian atas kertas resep, tepatnya di blanko resep.
Identitas dokter berisi nama dokter, nomor Surat izin Praktik (SIP), alamat praktik, dan
nomor telepon yang dapat dihubungi. Di bawah bagian tersebut harus dituliskan tempat
dan waktu dibuatnya resep tersebut sebagai syarat administratif. Pada blanko tersebut
tertera nama dokter Ahlan wa sahlan dengan SIP 123/x/2023/456 dan alamat di Jl.
Kedamaian no. 01 serta waktu dan tempat pembuatan resep di Yogyakarta pada 26 Juni
2022 [1].
B. Superscriptio
Bagian ini merupakan pembuka dari dokter untuk berkomunikasi dengan
apoteker. Superscriptio dapat disebut invocatio. Bagian ini terletak di bagian atas kiri dari
kertas resep dengan simbol “R/”. Tanda ini memiliki arti “ambillah” yang ditujukan
kepada apoteker. Apabila obat yang dibutuhkan lebih dari satu, dokter dapat menuliskan
R/ di bawah peresepan obat pertama. Pada kasus di atas, dokter sudah menulis R/ di awal
penulisan nama obat [1].
C. Inscriptio
Bagian ini ditulis setelah tanda R/ pada kertas resep. Pada bagian ini tertulis
informasi obat, yaitu nama obat, kekuatan atau dosis, bentuk sediaan obat, dan jumlah
obat yang diresepkan. Nama obat diperbolehkan menggunakan nama dagang. Bentuk
sediaan dapat ditulis sebelum atau sesudah nama obat. Kekuatan obat ditulis dengan
angka arab diikuti dengan satuannya sedangkan jumlah obat yang diresepkan dituliskan
dengan angka romawi pada bagian akhir dari inscriptio. Perhitungan jumlah obat harus
disesuaikan dengan dosis, frekuensi pemakaian dan lama pemakaian. Pada kasus di atas,
penulisan inscriptio sudah tertera dengan lengkap setelah penulisan nama tiap obat [1].
D. Subscriptio
Bagian ini ditulis apabila dokter menginginkan bentuk sediaan tertentu pada
resep. Bagian subscriptio ditulis apabila dokter ingin memodifikasi bentuk sediaan
obat/mencampurkan beberapa obat menjadi satu bentuk sediaan seperti puyer, serbuk
larutan, salep/krim, atau kapsul. Pada kasus di atas, dokter tidak menginginkan
modifikasi terhadap bentuk sediaan obat sehingga subscriptio tidak dituliskan [1].
E. Signatura
Bagian ini ditulis dibawah baris dengan tanda R/. Signatura memiliki arti
“tandailah”. Signatura digunakan untuk membuka bagian penggunaan obat seperti cara
pakai, frekuensi, dan dosis pemberian. Pada kasus diatas, signatura tertulis dengan tanda ∫
yang diikuti oleh cara pakai [1].
F. Tanda Tangan/Paraf
Bagian ini ditulis untuk menutup tiap obat yang diresepkan. Dokter memberikan
garis penutup lalu diberi paraf di garisnya. Hal ini dilakukan untuk memvalidasi
peresepan dari dokter yang bersangkutan dan memvalidasi pemberian obat jenis
psikotropika yang berbahaya. Pada kasus diatas, tidak terlihat adanya garis panjang
penutup tiap obat yang diresepkan dan tidak ada paraf dari dokter untuk melengkapi
peresepan [1].
G. Identitas pasien
Bagian ini terletak di bawah kiri kertas resep. Bagian ini berisi nama pasien (nama
lengkap lebih disarankan), usia, dan alamat. Pada pasien anak-anak biasanya
ditambahkan berat badan untuk memudahkan apoteker saat melakukan cross check dosis
obat yang akan diberikan. Pada kasus di atas, Identitas pasien berisi nama, usia, dan berat
badan tanpa disertai alamat pasien [1].
III. Aspek Farmakologis Obat
1. Glibenklamid
a. Farmakodinamika
Glibenklamid merupakan salah satu obat antidiabetik oral golongan
sulfonilurea. Glibenklamid masuk ke generasi II dari sulfonilurea bersama
glipizid, gliklazid, dan glimepirid. Glibenklamid disebut juga gliburid. Golongan
sulfonilurea sering disebut sebagai insulin secretagogues atau perangsang sekresi
insulin.Insulin disekresikan dari sel beta langerhans pankreas. Glibenklamid
berinteraksi dengan ATP-sensitif Channel K pada membran sel beta. Membran
mengalami depolarisasi dan kanal Ca terbuka. Ion Ca akan masuk ke sel beta,
merangsang granula insulin untuk mensekresikan insulin dengan jumlah yang
ekuivalen dengan peptida C [2].
b. Farmakokinetik
Seluruh golongan sulfonilurea baik untuk dikonsumsi 30 menit sebelum
makan. Makanan dan hiperglikemia dapat mengurangi proses absorbsi obat.
Golongan sulfonilurea golongan II memiliki masa paruh pendek sekitar 3-5 jam.
Namun, efek hipoglikemiknya selama 12-24 jam sehingga cukup diberikan sekali
sehari. Glibenklamid memiliki kekuatan 200x lebih tinggi dari tolbutamid
(sulfonilurea golongan I). Masa paruh glibenklamid sekitar 4 jam. Glibenklamid
dimetabolisme di hepar dengan dosis tunggal, hanya 25% metabolit yang
disekresi lewat urin sisanya masuk ke empedu [2].
c. Dosis dan Bentuk Sediaan
Bentuk sediaan glibenklamid di Indonesia hanya dalam bentuk tablet.
Tablet glibenklamid memiliki dua kekuatan, yaitu 2.5 mg dan 5 mg. Dosis
maksimal dari glibenklamid untuk dikonsumsi sehari adalah 15 mg. Jumlah
maksimal konsumsi tablet glibenklamid tiap bulan berjumlah sembilan puluh
tablet [3]
2. Metformin
a. Farmakodinamika
Metformin termasuk golongan obat biguanid. Metformin tidak berfungsi untuk
membantu merangsang sekresi insulin, tetapi menurunkan produksi glukosa dan
merangsang sensitivitas jaringan otot dan adiposa terhadap insulin. Produksi gula
dikurangi dengan pengaktifan enzim AMP-activated protein kinase. Metformin
menghambat proses glukoneogenesis pada ginjal, menghambat penyerapan
glukosa pada saluran cerna, Kerja metformin tidak bergantung pada sel beta
pankreas. Metformin tidak menghambat proses perubahan glukosa menjadi
lemak. Proses kerja metformin belum dijelaskan secara jelas. [4]
b. Farmakokinetik
Metformin diabsorbsi di usus lalu dialirkan lewat darah tanpa terikat
dengan protein plasma dan diekskresikan melalui urin. Metformin memiliki masa
paruh selama 2 jam. Obat diminum bersamaan saat makan. Pemberian metformin
dapat digunakan sebagai pengganti sulfonilurea apabila tidak mempan, tetapi
lebih baik penggunaannya apabila dikombinasikan [2].
c. Dosis dan Bentuk Sediaan
Dosis awal pemberian metformin adalah 2 x 500 mg. Dosis pemeliharaan
(maintenance) sebesar 3 x 500 mg. Dosis maksimal pemberian adalah 2.5 gram.
Di Indonesia, metformin tersedia dalam bentuk tablet. Kekuatannya sendiri ada
500 mg dan 850 mg. Jumlah metformin 500 mg maksimal yang bisa diresepkan
adalah 90 tablet perbulan [3].
3. Vitamin C
a. Farmakodinamika
Vitamin C memiliki fungsi sebagai kofaktor untuk beberapa reaksi
hidroksilasi dan amidiasi dengan cara elektron dipindahkan ke enzim yang ion Fe
nya harus tereduksi. Vitamin C dibutuhkan untuk mengubah residu prolin dan
lisin pada prokolagen menjadi hidroksiprolin dan hidroksilin pada sintesis
kolagen. Pembentukan oksitosin dan antidiuretik memerlukan bantuan dari
vitamin C untuk meningkatkan aktivitas enzim amidase. Vitamin C berfungsi
untuk sintesis kolagen pada jaringan. Pada pasien dengan kondisi skorbut sangat
terlihat kesulitan saat penyembuhan luka, pembentukan gigi terganggu, dan
muncul petekie dan ekimosis karena pecahnya kapiler. Perdarahan disebabkan
adanya bocor kapiler karena adhesi sel endotel yang kurang baik dan jaringan ikat
perikapiler yang terganggu sehingga mudah pecah karena adanya tekanan [2].
b. Farmakokinetik
Vitamin C diserap di saluran cerna. Kadar vitamin C pada leukosit dan
trombosit lebih tinggi daripada plasma dan eritrosit. Vitamin C terdistribusi paling
banyak ke kelenjar dan paling sedikit ke otot dan lemak. Ginjal memiliki ambang
rangsang terhadap vitamin C sebesar 1,4 mg%. Jika kadar vitamin C dalam darah
melewati ambang rangsang, ekskresi lewat urin dalam bentuk utuh dan garam
sulfat [2]
c. Dosis dan Bentuk Sediaan
Vitamin C banyak ditemukan dalam bentuk tablet 50-1500 mg dan bentuk
larutan. Bentuk sediaan injeksi juga dapat ditemukan pada larutan yang
mengandung vitamin C 100-500 mg. Kalsium dan natrium askorbat dapat
ditemukan dalam bentuk bubuk dan tablet dengan cara konsumsi per oral [2].
IV. Resep yang Benar
Puskesmas selalu sehat
Dr. Ahlan wa sahlan
SIP 123/x/2023/456
Jl. Kedamaian no 01
Yogyakarta, 26 Juni 2022

R/ Glibenklamid tab 10 mg no.XIV


∫ t.d.d.tab 1. p.c__________________A(paraf)
R/ Metformin cap 500 mg no. XIV
∫ t.d.d.tab 1. d.c__________________A(paraf)
R/ Vit C tab 10 mg no. VII
∫ s.d.d.tab 1._____________________A(paraf)

Pro : Tn. Yulian


Usia : 57 thn
BB : 70 kg
Alamat: Jl. Kaliurang Km. 14

V. Edukasi Pengobatan
A. Efek/Indikasi
1. Glibenklamid
Obat sulfonilurea dipilih berdasarkan usia saat DM timbul. Penggunaan
sulfonilurea tidak harus diberikan apabila kondisi pasien sudah membaik lewat
diet dan perubahan pola hidup. Apabila dosis maksimal glibenklamid sudah
diberikan tetapi kondisi pasien belum membaik, tidak boleh diberikan tambahan
dosis yang melewati maksimal [2].
2. Metformin
Metformin tidak dapat menggantikan peran insulin. Metformin banyak
digunakan untuk menggantikan fenformin karena sistem kerjanya sama tetapi
mengurangi risiko asidosis laktat [2].
3. Vitamin C
Pada pasien skorbut, vitamin C sangat dibutuhkan untuk meningkatkan
penyembuhan. Vitamin C mengurangi lama sakit dan beratnya sakit. Penggunaan
vitamin C perlu dipertimbangkan dosisnya, karena dosis besar pada vitamin C
juga tidak terlalu berpengaruh pada penyakit utama yang diderita pasien. Dosis
minimal untuk vitamin C adalah 150 mg [2].
B. Efek samping
1. Glibenklamid
Gangguan pencernaan dapat muncul, seperti mual, muantah, dan diare.
Gangguan ini dapat dikurangi dengan cara pengurangan dosis, memasukkan obat
bersamaan dengan makanan, dan membagi dosis. Gangguan SSP dapat terjadi
berupa vertigo, ataksia, dan sebagainya. Gejala hematologik seperti leukopenia
dan agranulositosis juga dapat terjadi [2].
2. Metformin
Mual, muntah, diare merupakan efek samping yang umum dialami.
Metformin menimbulkan starvation ketosis pada pasien dengan ketergantungan
insulin eksogen. Peningkatan kadar asam laktat pada darah meningkat pada pasien
dengan gangguan ginjal dan jantung apabila diberikan metformin. Pemberian
metformin dapat mengganggu keseimbangan cairan tubuh [2].
3. Vitamin C
Diare dapat terjadi karena terlalu banyak mengonsumsi vitamin C selama
sehari. Konsumsi vitamin C lebih dari 1 g/hari dapat menyebabkan iritasi usus
sehingga peristaltik usus meningkat. Selain itu dapat timbul uretritis non spesifik
pada uretra distal. Vitamin C sebagian dimetabolisme dan diekskresi dalam
bentuk oksalat sehingga apabila dikonsumsi terlalu banyak dapat menyebabkan
munculnya batu ginjal. Hemolisis ringan dapat terjadi karena adanya megadosis
vitamin C. Hemolisis akut dapat menyebabkan koagulasi intravaskuler dan gagal
ginjal akut sehingga menyebabkan kematian [2].
C. Instruksi pengobatan
1. Glibenklamid
Pemberian glibenklamid dengan kekuatan 2.5 mg-5 mg. Penggunaan
glibenklamid maksimal 15 mg perhari. Obat diminum tiga kali sehari. Jumlah
maksimal tablet adalah 90 tablet perbulan [3].
2. Metformin
Penggunaan metformin adalah 1-3 g perhari. Pembagiannya dibagi dalam
2-3 kali pemberian. Dosis maksimal pemberiannya adalah 2.5 gram [2].
3. Vitamin C
Pada bayi, dosis vitamin C adalah 35 mg sedangkan pada dewasa 60 mg.
Pada penyakit infeksi, kebutuhan vitamin C meningkat sebesar 300-500%.
Perokok memerlukan tambahan vitamin C sebesar 50% untuk mempertahankan
kadar normal serum [2].
D. Peringatan
1. Glibenklamid
Glibenklamid tidak boleh diberikan sebagai obat tunggal pada pasien DM,
pasien dengan insulin tidak stabil, DM kehamilan, DM berat, dan keadaan gawat.
Penggunaan obat harus hati-hati terhadap pasien yang memiliki gangguan fungsi
hepar, ginjal, dan endokrin [2].
2. Metformin
Metformin tidak boleh diberikan pada kondisi hamil, gangguan hepar
kronis, gangguan ginjal, penyakit jantung, penyakit paru dengan hipoksia kronik.
Pemberian obat harus dihentikan pada saat akan dioperasi. Fungsi ginjal harus
normal terlebih dahulu setelah operasi baru boleh diberikan obat. Terbentuknya
laktat dapat dicegah dengan cara seperti yang sudah diberikan sebelumnya [2].
3. Vitamin C
Penggunaan vitamin C tidak boleh dikonsumsi dalam mega dosis.
Megadosis vitamin C dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti oksalosis
luas, aritmia jantung, kerusakan ginjal, dan hemolisis. Gunakan vitamin C
secukupnya sesuai dosis sehingga tidak menyebabkan penyakit komplikasi lain
[2].
E. Kunjungan berikutnya
Pasien berkunjung kembali apabila obat sudah habis, terjadi efek yang
mengganggu setelah pemberian obat, atau gejala tidak mereda setelah diberikan obat.
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahmawati R, Miladiyah I, Yulianto, Rizkawati M. Peresepan & Kajian Resep. UII Press
Yogyakarta. 2022. 31-34 hal

2. FKUI, Departemen Farmakologi dan Terapeutik. Farmakologi dan Terapi Edisi 5 (Cetak
Ulang Dengan Tambahan 2012). Badan Penerbit FKUI, 2012. 490-492, 777-779 hal

3. Kementerian Kesehatan RI. 2019. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/MENKES/813/2019 tentang Formularium Nasional. Jakarta.

4. Katzung BG, Masters SB, Trevor AJ. Farmakologi Dasar & Klinik. Vol. 53, Journal of
Chemical Information and Modeling. 2013.

Anda mungkin juga menyukai