Anda di halaman 1dari 31

Case Report

ROLE OF PLASMAPHARESIS IN MYASTHENIA


CRISIS

Oleh
Willy Kurniawan, dr (WIK)

Pembimbing
dr. Bambang Pujo Semedi, SpAn. KIC

PROGRAM STUDI
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA 2022
BAB 1. Pendahuluan

Latar belakang
Kasus Myasthenia gravis merupakan kasus yang cukup sering ditemukan dan kondisi
krisis miastenia gravis dapat menyebabkan tejadinya kondisi yang mengancam nyawa dan
memerlukan bantuan ventilasi mekanis untuk mengatasi gagal nafas pada pasien
myasthenia gravis. Salah satu metode terapi yang dapat digunakan untuk pasien dengan
myasthenia gravis yang mengalami krisis myasthenia adalah dengan teknik plasmapharesis.
Selama menjalani stase ICU periode 6 Desember 2021 – 1 Januari 2022 terdapat satu
pasien yang menjalani operasi thymectomi dan mengalami krisis myasthenia gravis,yang
mendapatkan terapi konvensional tetap tidak mengalami perbaikan sehingga di putuskan
untuk dilakukan plasmapharesis.
Dari pengalaman ini maka dibuat review artikel mengenai peran plasmapharesis untuk
menangani krisis myasthenia gravis.
BAB 2. Tinjauan Pustaka

A. Myasthenia Gravis

2.1 Definisi Myasthenia Gravis

Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh antibodi yang
mengenai reseptor asetilkolin di post sinap, sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan otot
untuk berdepolarisasi dengan gambaran klasik berupa kelemahan yang berfluktuatif pada otot – otot
ekstraocular, bulbar dan otot – otot proksimal.

2.2 Epidemiologi

Angka kejadian tahunan Miastenia Gravis adalah 8 sampai 10 kasus per satu juta penduduk
dengan prevalensi 150-250 kasus per 1 juta, dan merupakan penyakit neuromuskular dengan
frekuensi terbanyak. Puncak insidensi penyakit ini bersifat bimodal, dengan puncak pertama
dijumpai pada usia 20 hingga 40 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 1:3 dan puncak kedua
pada usia diatas 50 tahun dengan perbadingan pria dan wanita 3:2.

2.3. Klasifikasi

Terdapat beberapa jenis klasifikasi Miastenia Gravis, diantaranya berdasarkan gejala klinis,
antibodi yang ditemukan pada pasien, dan riwayat MG dalam keluarga. Pada praktik sehari – hari,
penderita MG dikelompokkan ke dalam sub grup berdasarkan kriteria sebagai berikut:

1. Berdasarkan tipe gejala klinis :


- MG okular (20% dari keseluruhan MG)
- MG generalisata
2. Berdasarkan awitan usia :
- MG awitan sebelum usia 50 tahun (early onset MG)
- MG awitan lanjut mulai dan setelah usia 50 tahun (late onset MG)
3. Berdasarkan spesifisitas antibodi :
- Anti AchR Positif (85%)
- Anti-Muscle – spesific receptor tyrosine kinase (MuSK) positif (5%)
- Anti-low-density lipoprotein receptor-related protein 4 (LRP4)
- Seronegatif MG
4. Patologi dari timus
- Normal / atrofi timus
- Timitis
- Paraneoplastik yang berhubungan dengan timoma

Klasifikasi Klinis Miastenia Gravis berdasarkan Myastenia Gravis Foundation of America (MGFA)

Kelas Deskripsi
I Kelemahan motorik terbatas pada ocular
Memiliki kesulitan dalam menutup mata
Kekuatan motorik lain normal
II Kelemahan motorik derajat ringan melibatkan
otot selain ocular
Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas
pada ocular dengan berbagai derajat
IIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot
ekstremtias, batang tubuh, atau keduanya
Iib Kelemahan motorik lebih berat pada otot
orofaring, respiratorik atau keduanya
III Kelemahan motorik derajat sedang melibatkan
otot lain selain ocular
IIIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot
ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
IIIb Kelamahan motorik lebih berat pada otot
orofaring, respiratorik atau keduanya
IV Kelemahan motorik derajat berat melibatkan
otot lain selain ocular. Dapat ditemukan
kelemahan motorik terbatas pada okular
dengan berbagai derajat
IVa Kelemahan motorik lebih berat pada otot
ekstremitas, batang tubuh atau keduanya
IVb Kelemahan motorik lebih berat pada otot
orofaring, respiratorik atau keduanya
V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa
ventilasi mekanik, terkecuali dilakukan paska
operasi
2.4. Patofisiologi Myastenia Gravis

Pada kondisi miastenia gravis, aktivasi komplemen oleh antibodi menyebabkan hilangnya
lekukan membran otot post sinaps sehingga menurunkan jumlah reseptor asetilkolin. Antibodi
berikatan dengan AchR sehingga menghambat ikatan Ach-AchR. IgG dan komplemen menyebabkan
kerusakan membran sel otot sehingga menurunkan efisiensi transmisi post sinaptik. Walaupun
jumlah asetilkolin yang dilepaskan tetap, efek post sinaptik tetap minimal karena berkurangnya
jumlah dan tempat ikatan AchR. Sebagai akibatnya, tidak selalu impuls saraf diikuti dengan potensial
aksi sel otot. Kelemahan otot disebabkan gangguan transmisi neuromuskular akibat ikatan antibodi
pada protein yang penting pada taut neuromuskular. Antibodi dapat merusak, melakukan hambatan
(block), atau mengubah jumlah reseptor asetilkloin (AchR) sehingga menurunkan efek
neurotransmitter asetilkolin. Secara molekular, disfungsi tersering disebabkan gangguan reseptor
asetilkolin (AchR) tipe nikoitinik. Target antibodi lain dalam prevalensi yang lebh rendah adalah
protein muscle-specific kinase dan (MuSK) dan LPR 4.

2.5. Gejala Klinis

Gejala klinis klasik ditandai dengan kelemahan atau kelelahan yang bersifat fluktuatif, baik
yang terisolasi hanya pada otot – otot okuler (MG oculer), bulbar, maupun generalisata (MG general)

Keluhan okuler berupa ptosis atau diplopia terjadi pada sekitar 85% kasus, dan 80%
diantaranya akan berkembang menjadi MG general 2 tahun setelah gejala awal muncul. Tipikal
ptosis pada MG biasanya asimetris dan tidak pernah disertai dengan gangguan pupil. Pasien
melaporkan pandangan ganda atau kabur yang memburuk pada sore hari dan membaik bila pasien
beristirahat atau menutup satu mata.
Gejala bulbar terjadi pada 15% kasus. Pasien kadang melaporkan cairan masuk ke hidung
saat sedang minum, kelelahan saat mengunyah makanan, dan suara sengau. Flexsi leher lebih
banyak dipengaruhi daripada ekstensi. Kelemahan otot proksimal bersifat simetris.

Miastenia gravis gejala berat ditandai dengan gejala disfagia yang menyebabkan ancaman
proses menelan secara aman, dispneu dengan kapasitas vital <50% normal, head drop, serta
kelemahan eksetremitas baik proksimal atau distal sehingga menyebabkan terganggunya melakukan
aktivitas fisik dasar (activities of daily living / ADL) secara independen

2.6. Diagnosis

Diagnosis Miastenia Gravis memerlukan kombinasi dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
tes konfirmasi berupa bedside diagnostic test, test serologi, elektrofisiologi dan pencitraaan.
Beberapa uji diagnostik yang dapat mendukung diagnosis Miastenia Gravis :

2.6.1. Pemeriksaan Fisik

1. Wartenberg test
Penderita diminta untuk menatap mata tanpa kedip selama 60 detik dengan sudut 30
derajat pada suatu benda yang terletak di atas, kemudian di perhatikan kelopak mata
pasien, apabila terdapat kelemahan maka lama kelamaan akan timbul ptosis
2. Ice packed test
Dengan menempelkan es pada mata yang ptosis selama 2-5 menit makan akan terjadi
perbaikan pada ptosisnya. Sensitifitas pemeriksaan ini 84-92% dan spesifisitas 97-98%
3. Single breath counting test
Suara akan menghilang saat penderita MG disuruh berhitung dengn suara yang keras dalam
satu helaan nafas
4. Tes prostigmin
Pemberian injeksi prostigmin 0,5 – 1 mg pada penderita MG akan dapat memperbaiki gejala
klinis
5. Tes Edrophonium bromida ( Tensilon)
Edrophonium bromida (Tensilon) adalah asetilkolin esterase inhibitor kerja cepat yang bisa
dilakukan di tempat tidur. Efek terapi akan terlihat setelah 30 detik dan durasi akan berakhir
setelah 10 menit. Dosis inisial 2mg (IV). Bila pasien dapat mentoleransi dosis inisal dan
perbaikan belum secara nyata terlihat, maka bisa diberikan 8mg lagi. Hasil yang positif
dikatakan apabila terjadi perbaikan keluhan setelah 2-5 menit
2.6.2. Tes serologi

1. Asetilkolin esterase receptor antibodi (AchR Ab)


Tes ini memberikan hasil yang positif sebanyak 80-85% pada pasien dengan myasthenia gravis
general dan 50% pada pasien miastenia gravis okuler. Positif palsu pernah dilaporkan pada
pasien dengan timoma tanpa miastenia gravis dan pasien dengan Lambert Eaton Myastenic
Syndrome (LEMS)
2. Muscle Unspecified Tirosine Kinase (MuSK)
Antibodi ini ditemukan pada 8 – 10% pasien MG. Wanita muda lebih sering mengalami MG
jenis ini dengan gejala klinis yang tidak khas seperti : gejala kelemahan yang otot – otot,
orofaring, wajah dan leher disertai atrofi otot – otot bulbar, yang kadang menyerupai
gangguan saraf lain. Pada tipe ini jarang ditemukan keterlibatan otot okuler, sehingga kadang
sulit untuk menegakan diagnosis.
2.6.3. Pemeriksaan elektrodiagnostik
1. Repetitive Nerve Stimulation (RNS)
Repetitive nerve stimulation bertujuan mendeplesi vesikel ACh sehingga terjadi penurunan
CMAP (Compound muscle action potential) progresif. Hasil yang diharapkan pada penderita
MG adalah penurunan amplitudo lebih dari 10% pada frekuensi 2-3 Hz pada otot yang
diperiksa. Nilai sensitivitas dan spesifitas bervariasi bergatung dari tehnik pemeriksaan.
Sensitifitas RNS 53-100% untuk MG general dan 10-20% untuk MG okuler.
2. Single Fiber Electromyography (SFEMG)
Single fiber electromyography memiliki nilai spesifisitas yang sangat tinggi, tetapi
sensitivitasnya tidak menapai 100%. Tes ini dilakukan apabila pada RNS tidak ditemukan
decremental respon yang bermakna.

2.6.4. Pencitraan
Seluruh pasien MG harus dilakukan pemeriksaan Computer tomografi (CT) scan atau
Magnetic Ressonance Imaging (MRI) thorax untuk memastikan timoma. Foto rontgen thorax
memiliki nilai diagnostik yang lebih rendah dibandingkan CT scan atau MRI. Pencitraan diulang
apabila terdapat relaps dan MG yang sebelumnya stabil untuk menyingkirkan kemungkinan
timoma, yang bisa muncul setelah tahap lanjut MG.
2.7. Terapi Miastenia Gravis
Stratergi pengobatan pada pasien MG bersifat individual dan sangat tergantung
kepada kondisi masing-masing pasien. Terapi miastenia gravis dikelompokkan menjadi 3
macam:
1. Terapi simptomatik
Piridostigmin merupakan terapi inisial miastenia gravis, dengan onset kerja cepat (15-30
menit) dan aktifitas puncak dalam 2 jam. Namun kurang memberikan hasil yang
memuaskan pada pasien dengan MuSK positif. Dosis yang diberikan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan keluhan pasien. Dosis inisial 30-60mg setiap 4-6 jam dan dapat
dititrasi sesuai dengan respon pasien. Diminum 30 -60 menit ebelum makan pada
penderita dengan gejala bulbar. Dosis ditingkatkan dan disesuaikan dengan respon klinik
dan efek samping. Kemampuan pasien untuk menghentikan terapi merupakan indikator
kesuksesan pengonatan
2. Imunosupresan
Imunosupresan steroid atau non steroid diberikan kepada pasien yang tidak
mendapatkan hasil yang memuaskan setelah terapi piridostigmin. Kortikosteroid oral
merupakan terapi awal dalam kondisi dimana diperlukan tambahan terapi
imunosupresan (good practice point). Dalam kondisi diperlukan imunosupresant jangka
panjang, azatrioprin direkomendasikan dan dosis steroid diturunkan serendah mungkin
(level recomendation A).
3. Terapi intravena imunoglobulin dan plasma exchange
Plasma exchange direkomendasikan untuk MG dengan gejala klinis berat, krisis
miastenia dan persiapan operasi (recommendation level B). Plasma exchange dan IVIG
efektif untuk MG eksaserbasi (recommendation level A). Terapi ini diberikan pada pasien
Miastenia gravis eksaserbasi dan krisis miastenik
4. Timektomi
Timektomi diindikasikan pada pasien MG dengan Timoma ( rekomendasi level A). Pada
pasien MG tanpa timoma, timektomi dilakukan sebagai pilihan terapi menghindari atau
meminimalisir dosis dan durasi imunoterapi, atau pasien tidak menunjukkan perbaikan
klinis dengan imunoterapi dan intoleran dengan efek samping imunoterapi
(rekomendasi level B)
2.8. Prognosis
- Mortalitas pada MG yang tidak diterapi 25-31%
- Pasien dengan MG okuler dengan hiperplasia timus memiliki angka kejadian relaps lebih
tinggi daripada pasien MG dengan gangguan timus lainnya
- Pasien MG yang menderita kelainan autoimun lainnya memiliki angka kejadian relaps
cukup tinggi
- Prognosis penderita MG juga dapat dievaluasi berdasarkan manifestasi klinis
menggunakan Myasthenia Gravis Composite Score dimana perbaikan klinis pasca terapi
lebih dari tiga poin menunjukkan keluaran yang baik
2.9. Krisis Miastenik

Krisis miastenik adalah perburukan gejala yang terjadi akibat provokasi faktor –
faktor eksternal yang mengakibatkan kelemahan otot pernafasan / bulbar yang berat
sehingga membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Sebanyak 15-20% pasien MG
mengalami krisis miastenik dalam kehidupannya. Waktu rerata krisis MG 8-12 bulan
setelah onset, namun kadangkala krisis MG menjadi gejala inisial dari MG

Beberapa faktor risiko yang memperbesar kemungkinan terjadinya krisis


miastenia adalah infeksi, konsumsi obat-obatan tertentu, psikis, kelainan endokrin, atau
ketidak seimbangan hormonal. Penanganan kondisi akut membutuhkan perawatan
komprehensif yang mencakup seluruh aspek organ dan dukungan ventilasi adekuat serta
mengurangi derajat hambatan neuromuskular. Kriteria kegawatan pernafasan pada krisis
miastenik dengan menilai Vital Capacity (VC) < 1 L atau < 20-25mL/kg, Negative
insipratory force (NIF) < 20 cmH20 dan positif expiratory force (PEF) < 40 cm H20. Pada
kondisi ini dibutuhkan ventilator mekanik. Intubasi elektif pada pasien dengan impending
gagal nafas lebih bermanfaat dari pada intubasi emergemsi pada pasien gagal nafas.

2.10. Krisis kolinergik

Merupakan kelemahan neuromuskular dan gagal nafas akibat konsumsi obat


penghambat enzim ACHe secara berlebihan. Gejalanya hampir serupa dengan krisis
miastenia. Walaupun jarang, krisis kolinergik dapat disebabkan oleh penggunaan bahan
kimia rumah, pertanian, militer atau bioterorisme yang mempengaruhi kerja aseti kolin.
Gejala yang menandakan asetilkolin dalam jumlah berlebih dapat disingkat DUMBBELL :
Diaphoresis, produksi urine, miosis, Bradikardi, sekresi bronkial, emesis, lakrimasi, feses
encer (loose stool). Perburukan gejala setelah pemberian edrofonium intravena
menanandakan terjadi krisis kolinergik. Penghentian terapi sementara mengurangi gejala.
Edrofonium memiliki efek antiaritmia. Gangguan kerja otot pernafasan (interkostal dan
diafragma) dan bulbar (laring dan faring) mengancam fungsi paru – paru. Penilaian fungsi
nafas spontan dengan neuromuskular (termasuk refleks muntah dan menelan) perlu
dilakukan kontinu serta mempersiapkan aleternatif manajemen jalan nafas dan oksigenasi.

Tabel Perbedaan Krisis Miastenia dan Kolinergik


Krisis Miastenia Krisis Kolinergik
Denyut jantung Takirkadi Bradikardi
Otot Flaksid Flaksid dan fasikulasi
Pupil Normal atau midriasis Miosis
Kulit Pucat atau dingin Eritema dan hangat
Gastrointestinal Tidak ada perubahan Diare, kram perut
Sekresi Kelenjar Tidak ada perubahan Meningkat
Uji Edrophonium Membaik Memburuk

B. Peran Plasmapharesis pada kasus Miastenia Gravis


1. Definisi Plasmapharesis

Berdasarkan American Society for Apheresis (ASFA) plasmapharesis berdasarkan dari


kata plasma dan apheresis yang berarti mengeluarkan atau membuang. Plasmapharesis
merupakan suatu prosedur untuk memisahkan dan membuang komponen plasma dari
pasien. Plasma exchange merupakan suatu tindakan plasmapharesis di sertai dengan
penggantian dengan fresh frozen plasma atau albumin. Tetapi secara klinis plasmapharesis
secara umum merupakan proses plasmapharesis dan plasma exchange.

Plasmapharesis dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu centrifugasi atau filtrasi.
Melalui proses sentrifugasi proses apheresis dilakukan dengan putaran cepat dan
memisahkan komponen darah berdasarkan densitas, ukuran dan berat molekul. Teknik
sentrifugasi merupakan teknik yang lebih lama tetapi memiliki keuntungan tidak ada batas
ukuran molekul yang dapat dibuang, kerugian teknik ini dapat menyebabkan terjadinya
trombositopenia, dan karena memerlukan antikoagulan sitrat, teknik sentrifugasi
meningkatkan resiko terjadinya hipokalsemia.

Teknik filtrasi memisahkan komponen darah dengan membuat darah melalui filter
dengan ukuran pori (0,2 – 0,7 µm) dengan berat hingga 3 million Da. Proses memisahkan
dengan teknik filtrasi dilakukan dengan memberikan tekanan ke darah untuk melalui
membran sintesis yang bersifat semi permeable. Dengan teknik filtrasi diperlukan akses vena
central dan antikoagulan dengan heparin. Keuntungan teknik filtrasi resiko trombositopenia
lebih rendah dan proses plasmapharesis dapat dilakukan dengan lebih cepat.

Secara umum plasmapharesis mengganti kurang lebih 1 – 1,5 kali dari volume plasma yang
dapat diestimasikan dengan formula dibawah ini:

Estimated plasma volume ( L ) :0,07 x weight ( kg ) x ( 1−hematocrit )

Hematocrit : %(Hematocrit) / 100


Gambar di unduh dari https://touchoncology.com/haematology/journal-articles/centrifugal-
and-membrane-therapeutic-plasma-exchange-a-mini-review/

2. Indikasi Plasmapharesis
3. Akses Vaskular

Akses vaskular dan aliran darah untuk tindakan extracorporeal merupakan komponen
fundamental untuk keberhasilan prosedur plasmapharesis. Aksesn vaskular pada tindakan
plasmapharesis ditentukan oleh teknik, kondisi yang diterapi, dan lamanya durasi terapi
plasmapharesis. Tindakan plasmapharesis untuk dengan teknik sentrifugasi intermittent dan
prosedur yang singkat, akses vena perifer dapat digunakan dengan estimasi blood flow 50-90ml per
menit. Pada kejadian yang akut dan memerlukan tindakan plasmapharesis yang cepat maka
penggunan akses vena sentral lebih dipilih karena dapat memberikan estimasi blood flow >70ml
/menit. Pada kondisi kronis yang memerlukan terapi plasmapharesis jangka panjang maka AV shunt
dapat menjadi pilihan utama. Pada kondisi pasien CKD yang sudah rutin dilakukan hemodialisa maka
akses vena central dapat digunakan tindakan HD dan tindakan plasmapharesis.

4. Antikoagulan

Prosedur plasmapharesis memerlukan antikoagulan untuk mencegah terbentuknya clot di


sirkuit extracorporeal. Beberap antikoagulan yang dapat digunakakan adalah sitrat, unfractioned
heparin, dan hirudin, meskipun demikian saat ini heparin merupakan pilihan yang sering digunakan
untuk proses plasmapharesis dengan teknik filtrasi di ICU. Heparin dapat diberikan dengan loading
40-60 IU/kg IV kemudian dilanjutkan dengan dosis 20 IU / kg / jam dengan target ACT berkisar
diantara 180-220 s selama proses filtrasi. Dosis heparin pada plasmapharesis lebih tinggi
dibandingkan untuk CRRT karena pada plasmapharesis sebagian heparin ikut terbuang melalui
plasma.

5. Cairan Pengganti

Cairan pengganti pada teknik plasmapharesis dipilih berdasarkan jenis penyakit yang diterapi
dengan plasmapharesis. Volume plasma yang diekstrasi diganti dengan larutan dengan komposisi
elektrolit yang seimbang dan memiliki aktivitas tekanan osmotik. Volume cairan yang diganti harus
sama dengan cairan efluent yang didapatkan. Pada orang dewasa penggantian dengan kristaloid
dapat diberikan bila volume cairan yang diekstrasi tidak lebih dari 1000ml. Bila volume plasma yang
diekstrasi melebihi >1000ml maka cairan pengganti yang diberikan harus merupakan koloid dengan
pilihan utama adalah albumin 5%.

Pada pasien dengan thrombotic thrombocytopenia pupura, defisiensi faktor koagulasi, atau
kondisi imunodefisiensi, pilihan cairan pengganti adalah fresh frozen plasma.
6. Komplikasi plasmapharesis

Plasmapharesis secara umum ditoleransi dengan baik dan aman. Kompikasi dari
plasmapharesis dapat terjadi dengan rentang 5 – 12%. Gejala tersering berupa parasthesia,
keram otot, hipotensi dan urtikaria, dan reaksi anafilaksis. Komplikasi berat dari
plasmapharesis dilaporkan terjadi kematian 8 dari 15.000 pasien, kematian yang dilaporkan
terjadi pada kasus yang berat dan tindakan plasmapharesis bukan menjadi penyebab utama
terjadinya kematian.
6.1.Hipokalsemia

Pemberian citrat sebagai antikoagulan dapat mengikat kalsium dan dapat


menyebabkan terjadinya hipokalsemia. Pemberian Fresh frozen plasma juga mengandung
citrat sehingga dapat menyebabkan hipokalsemia bertambah berat. Pemberian albumin
sebagai cairan pengganti juga dapat menyebabkan terjadinya hipkalsemia melalui proses
sequestrasi kalsium secara langsung. Gejala yang timbul dari hipokalsemia berupa
parasthesia disekitar mulut dan ekstremitas, dizzines, keram otot, mual dan muntah.
Beberapa kasus yang berat dapat menyebabkan terjadinya prolong QT interval, aritmia,
nyeri dada, kejang dan hipotensi. Untuk mencegah terjadinya hipokalsemia dapat diberikan
calcium 10ml dengan calcium gluconas 10% setiap jam selama dilakukan tindakan
plasmapharesis.

6.2.Gangguan koagulasi dan kelainan hematologi

Depletion coagulopathy. Setelah plasmapharesis kadar faktor koagulasi turun hingga 60%
bila cairan pengganti diganti dengan plasbumin 5%. Kadar faktor koagulasi ini dapat
dipulihkan melalui dua fase; 4 jam pertama setelah plasmapharesis, terjadi peningkatan
faktor koagulasi secara cepat akibat terjadinya keseimbangan kompartemen intravaskuler
dan ekstravaskuler; beberapa hari setelah plasmapharesis terjadi peningkatan faktor
koagulasi melalui proses resintesis. Prothrombin time (PT) meningkat hingga 30% dan aPTT
meningkat hingga 2x lipat setelah plasmapharesis. aPTT dapat kembali normal dalam 4 jam
setelah plasmpharesis dan PT kembali normal dalam 24jam. Penurunan faktor koagulasi
semakin tinggi bila plasmapharesis dilakukan berulang 3-5x dalam seminggu. Penurunan
faktor koagulasi setelah plasmapharesis jarang menyebabkan terjadinya pendarahan.

Trombositopenia. Trombositopenia lebih sering terjadi pada plasmapharesis dengan teknik


sentrifugasi. Trombositopenia juga dapat terjadi karena trombosit menempel di filter. Bila
heparin digunakan sebagai antikoagulan juga dapat menyebabkan terjadinya
trombositopenia melalui proses heparin induced trombocytopenia

Hemolisis. Kejadian hemolisis sangat rendah. Dilaporkan terjadi <0,01% dari tindakan
plasmapharesis. Hemolisis dapat terjadi bila sistem sirkuit plasmapharesis di priming dengan
cairan yang bersifat hipotonis. Bila plasmpaharesis dilakukan dengan filtrasi, hemolisis dapat
terjadi bila tekanan melebih 50mmHg.

Trombosis. Trombosis dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus plasmapharesis yang diganti
dengan albumin. Pemberian albumin dapat menurunkan kadar antithrombin III (AT-III).
Kadar AT – III turun hingga 85% dari kadar AT – III awal dan membutuhkan waktu hingga 48-
72 jam setelah plasmapharesis. Insidensi trombosis memang rendah tetapi kejadian emboli
paru, miokard infark dan stroke iskemia pernah dilaporkan.

6.3.Komplikasi akibat cairan pengganti

Pemberian fresh frozen plasma sebagai cairan pengganti dapat menyebabkan timbulnya
reaksi anafilaksis, demam, kekakuan, urtikaria, pruritus, bronkospasme, hipotensi dan
edema laring. Kejadian anafilaksis pada pemberian albumin lebih jarang terjadi.

6.4.Resiko infeksi

Bila albumin digunakan sebagai cairan pengganti dapat meningkatkan terjadinya resiko
infeksi akibat menurunnya kadar immunoglobulin (Ig). Mengganti cairan plasma dengan
albumin dapat menurunkan kadar Ig hingga 60%, plasmapharesis yang dilakukan berulang –
berulang dalam waktu dekat juga dapat menyebabkan penurunan lebih jauh dari kadar Ig.
Menurunnya kadar Ig ini dapat membuat kemampuan pasien untuk melawan infeksi mejadi
menurun. Pada kasus infeksi berat yang memerlukan plasmapharesis direkomendasikan
untuk diberikan IV Immunoglobulin 400mg/kg. Ketika fresh frozen plasma diberikan sebagai
cairan pengganti resiko terjadinya transmisi virus dapat terjadi akibat komponen darah yang
diberikan. Estimasi terjadinya resiko transmisi adalah 1-2 setiap 1 juta darah yang di
transfusikan untuk HIV dan untuk virus hepatitis C. Transmisi hepatitis B terjadi 1 setiap
200.000-500.000 produk darah yang ditransfusikan

6.5.Tranfusion-related acute lung injury (TRALI)

Transfusion – related acute lung injury (TRALI) merupakan suatu kondisi yang ditandai
dengan berkembangnya gagal nafas akut dan bersifat non cardiogenic pulmonary edema,
sering kali disertai kondisi hipotensi yang muncul selama proses transfusi darah atau
beberapa jam setelah transfusi darah. Hal ini terjadi karenadanya antibody (Ab) di dalam
Fresh frozen plasma dan reaksinya dengan antigen (Ag) pada sel darah putih pasien.
Komplek Ag-Ab ini menyebabkan terjadinya aktivasi dari neutrofil dan pelepasan citokine,
yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas.

6.6.Hipotensi

Hipotensi selama proses plasmapharesis dapat terjadi karena pergantian cairan yang tidak
adekuat, episode vasovagal, reaksi anafilaksis, aritmia akibat hipocalcemia atau hipokalemia,
terlepasnya bradikinin pada pasien yang mendapatkan ACE inhibitor. Pada kasus GBS juga
daapt terjadi disfungsi autonomic.

6.7.Komplikasi lain

Hipokalemia. Albumin 5% mengandung kadar Kalium kurang dari 2mmol/l, sehingga


penggantian cairan dengan Albumin 5% dapat menurunkan kadar kalium hingga 25% dari
kadar awal.

7. Plasmapharesis in Myasthenia gravis pasien


Plasmapharesis membuang antibodi secara langsung dengan efektif pada kondisi penyakit
dengan autoimune. Plasmpaharesis mampu menormalkan kadan immunoglobulin dan
circulating immune complexes (CICs) hingga 1,7 -2 x nilai baseline. Plasmapharesis efektif
hingga 94% pada pasien dengan myasthenia gravis.
Plasmapharesis dianjurkan dilakukan hinga 3 – 5x untuk membuang plasma hingga
2-2,5ml/kg dari berat badan, plasmapharesis dilaporkan lebih efektif jika dibandingkan
dengan pemberian immunoglobulin dan memiliki biaya yang lebih murah dibandingkan
dengan terapi IV Ig.
BAB 3. Laporan Kasus

3.1. Identitas Pasien


Identitas : Ny S / 35 thn / 12900953
Alamat : Krajen Beji Jenu
Dx :
Post thymectomy dengan Video Assisted Thorakal Surgery
Krisis Myasthenia Gravis
Gagal nafas tipe 2

3.2 Evaluasi Preoperatif


1. Anamnesa : Pasien mengeluhkan sering merasa nafas terasa berat, mata terasa berat,
suara semakin sore semakin serak dan kelemahan anggota tubuh terutama sore hari
dirasakan sejak April 2020. Pada bulan Juli 2021 pasien memeriksan kan diri di RS Tuban
di sana dicurigai adanya suatu penyakit myasthenia gravis dan diberikan terapi mestinon
6x1, asam folat 1x1, meloxicam 1x1. Pasien diterapi selama 3 bulan kemudian dirujuk ke
RS DR Soetomo untuk dilakukan pemeriksaan EMG, dari hasil EMG menunjang suatu
myasthenia gravis, dilakukan pemeriksaan CT scan tampak adanya massa di
mediastinum yang dicurigai suatu thymoma. Pasien direncanakan untuk dilakukan
operasi thymectomy
RPD : Riwayat Alergi, Asma, Hipertensi dan DM disangkal
Riwayat pemberian obat : Piridostigmin 6x60mg, Prednisone 4mg/12jam

2. Pemeriksaan Fisik :
- Sistem Respirasi : airway bebas ,Nafas spontan 18 x/m, suara nafas vesikuler +/+, tidak
ada ronkhi maupun wheezing. SpO2 98% dengan O2 udara bebas.
- Sistem Kardiovaskular : Akral hangat, CRT < 2 detik, tensi 128/81 mmHg, Nadi 94 x/m
regular, tidak ada murmur dan gallop
- Sistem Neurologis : GCS 456, defisit neurologis (-), Pupil isocor 3mm/3mm, Reflelks
cahaya +/+, tidak ada kelemahan anggota gerak
- Sistem Urogenital : BAK spontan 5-7 kali/hari
- Sistem Gastrointestinal : Abdomen supel, bising usus ada
- Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan, tidak ada edema

3. Pemeriksaan Penunjang :
- Laboratorium (13 Maret 2021)
Hb 10,6 GDA 132
WBC 7.020 BUN/SK 12/0,8
Plt 240.000 Alb 3,2
Hct 32,5 SGOT/SGPT 31/21
Na/K/Cl 135/4,2/100 PPT 10,7
Swab PCR COVID (15 negatif APTT 33
Maret 2021)
Tabel 3.1 Hasil Laboratorium
- Foto Thoraks (2/11/2021)
-

Gambar 3.1 Foto Thoraks PA


Kesimpulan : Cor dan Pulmo dalam batas normal

- CT scan thorax dengan kontras (2/11/2020):

Kesimpulan :
Enhancing solid mass dengan komponen nekrotik didalamnya ukuran +/- 2,77 x 2,06 x
3,48 cm di mediastinum anterior dapat merupakan :
1. Thymoma
2. Lymphoma
Pasien dengan PS ASA 3 dengan penyuli:
- Autoimune disease (Myasthenia gravis)
- Peningkatan LFT (PT 62,1)
- Hipernatermia (150)
- Hipoalbumin (3,2)

3.3. Kondisi Durante operasi


Operasi berjalan selama 4 jam
Bleeding 50 ml
Dengan maintenance anestesi dengan Isoflurane 1-1,5vol% + Fentanyl 25mcg/jam
Didapatkan : massa tumor pada regio right tymhus, dengan ukuran 5 x 3 x 4 cm dilakukan
extended thymectomy,
Pada sisi kiri didapatkan thymic fat tidak didapatkan thymoma
Dilakukan insersi drain 20 F Hemithorax S, dan D

3.4. Kondisi Postoperatif


Tanggal 25/11/2022
Post operasi pasien turun tube in ke ICU :
B1: air way bebas, tube in dengan mode CPAP, PS 8 PEEP 5 FiO2 30, tercapai TV : 411 MV :
5,2 SpO2 100 Ftot 18x, SN vesikuler, Rh -/-, Wh -/-, terpasang WSD di hemithorax D / S
B2: AHKM, TD 100/65 HR 78x
B3: GCS 4x6, motorik 5/5
B4: BAK via kateter
B5: Abdomen soepel, BU +
B6: Oedem -/-, T 36,5

Terapi post operasi


- IVFD RL 1000ml/24jam
- Metocloperamide 10mg/8jam
- Cefazoline 1gr/12jam (1 hari)
- Ketorolac 30mg/8jam (2 hari)
- Paracetamol 1gr/8jam ( 2hari)
- Enteral :
- Mestinon 60mg/4jam
- Metilprednisolone 4mg/12jam
- Puasa

CXR post operasi di ICU tanggal 25/11/2021

Tanggal 26/11/2022
jam 08.00
Dilakukan ekstubasi
Di lakukan aff thorax drain S

CXR Tanggal 26/11/2021 post ekstubasi dan aff drain S


Tanggal 27/11/2022 jam 03.00
S: pasien mengeluh sesak dan nafas terasa berat
O: pasien takipneu RR hingga 40x, nafas tampak dangkal, pasien tampak gelisah
Dilakukan Reintubasi

CXR tanggal 27/6/2021 post intubasi


27 – November s/d 2 – Desember
Pasien selalu gagal dilakukan weaning ventilator
27-11 28-11 29-11 30-11 1-12 2-12 3-12

Mode Bilevel Bilevel Bilevel Bilevel Bilevel Bilevel Bilevel

PS 12 10 12 11 13 13 13

PEEP 5 5 5 5 5 5 5

FiO2 30 30 30 30 30 30 30

Rate 16 18 20 24 22 18 16

MV 6,6 6,7 6,5 6,7 6,9 6,7 6,5

SpO2 99 99 99 99 99 99 99

Tabel 3.1 Trend Setting Ventilator

Tanggal 3 Desember 2021


Di putuskan untuk dilakukan plasmapharesis. Plasmapharesis direncanakan dilakukan 5x
1 (3/12/2021)
2 (6/12/2021)
3 (7/12/2021)
4 (8/12/2021)
5 (9/12/2021) diruangan
Sex Perempuan Exchange volume 2600

Height 160 Compensation pct % 100%

Weight 40 Min target % 100%

Blood volume 2600ml Max plasma / cycle 250ml

Hematocrit 33,4

Max ECV 20

TBV = 65 x 40 (BB) = 2600


TPV = 100 – 33,4 (Hct %) = 66,6 x 2600 = 173.160 /100 = 1731 ml
Kebutuhan Plasbumin 5% = 1731 / 250ml = 6,92 = 7 botol

Setelah dilakukan plasmapharesis ke 1 secara klinis pasien mengalami perbaikian kondisi dan bisa di
weaning dari ventilator, pada tanggal 6 Desember pasien dilakukan plasmpharesis yang ke 2,
plasmapharesis berjalan lancar tidak ada efek samping dan komplikasi. Pasien di ekstubasi dengan
sebelumnya diberikan SA 0,5mg IM untuk mengurangi hipersalivasi karena efek dari Mistinon.
Plasmpharesis ke 3 dan ke 4 dilakukan tanggal 7 dan 8 Desember, setelah plasmapharesis ke 4
pasien bisa kembali ke low care dan plasmapharesis ke 5 dilanjutkan diruangan.
Dokumentasi klinis :
Daftar Pustaka
1. Voinov V. Plasmapharesis in myasthenia gravis. 2018
2. Nguyen TC, Kiss JE, Goldman JR, Carcilo JA. The role of plasmapharesis in critical illness.
2012.
3. Rajesh K, Birinder P, Sonia G, Gagandeeo S, Amarjit K. Therapeutic plasma exchange in
the treatment of myasthenia gravis. 2015
4. Ipe TS, Davis AR, Raval JS. Therapeutic plasma exchange in myasthenia gravis: a
systematic literature review and meta – analysis of comparative evidence. 2021
5. Akaishi T, Motomura M, Shiraishi H, etc. Preoperative risk of post – operative
myasthenic crisis (POMC): A meta analysis. Journal of the Neurological Science 407.
2019.
6. Leuzzi G, Meacci E, Cusumano G, etc. Thymectomy in myasthenia gravis: proporsal for
predictive score of postoperative myasthenic crisis. European journal of cardio-thoracic
surgery 45. 2014
7. Farmakidis C, Pasnoor M, Dimachkie MM, Barohn R. Treatment of myasthenia gravis.
Neurologic the clinic. 2018

Anda mungkin juga menyukai