Oleh
Willy Kurniawan, dr (WIK)
Pembimbing
dr. Bambang Pujo Semedi, SpAn. KIC
PROGRAM STUDI
ANESTESIOLOGI DAN TERAPI INTENSIF
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
RSUD DR. SOETOMO SURABAYA 2022
BAB 1. Pendahuluan
Latar belakang
Kasus Myasthenia gravis merupakan kasus yang cukup sering ditemukan dan kondisi
krisis miastenia gravis dapat menyebabkan tejadinya kondisi yang mengancam nyawa dan
memerlukan bantuan ventilasi mekanis untuk mengatasi gagal nafas pada pasien
myasthenia gravis. Salah satu metode terapi yang dapat digunakan untuk pasien dengan
myasthenia gravis yang mengalami krisis myasthenia adalah dengan teknik plasmapharesis.
Selama menjalani stase ICU periode 6 Desember 2021 – 1 Januari 2022 terdapat satu
pasien yang menjalani operasi thymectomi dan mengalami krisis myasthenia gravis,yang
mendapatkan terapi konvensional tetap tidak mengalami perbaikan sehingga di putuskan
untuk dilakukan plasmapharesis.
Dari pengalaman ini maka dibuat review artikel mengenai peran plasmapharesis untuk
menangani krisis myasthenia gravis.
BAB 2. Tinjauan Pustaka
A. Myasthenia Gravis
Myasthenia gravis (MG) merupakan penyakit autoimun yang disebabkan oleh antibodi yang
mengenai reseptor asetilkolin di post sinap, sehingga menyebabkan berkurangnya kemampuan otot
untuk berdepolarisasi dengan gambaran klasik berupa kelemahan yang berfluktuatif pada otot – otot
ekstraocular, bulbar dan otot – otot proksimal.
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian tahunan Miastenia Gravis adalah 8 sampai 10 kasus per satu juta penduduk
dengan prevalensi 150-250 kasus per 1 juta, dan merupakan penyakit neuromuskular dengan
frekuensi terbanyak. Puncak insidensi penyakit ini bersifat bimodal, dengan puncak pertama
dijumpai pada usia 20 hingga 40 tahun dengan perbandingan pria dan wanita 1:3 dan puncak kedua
pada usia diatas 50 tahun dengan perbadingan pria dan wanita 3:2.
2.3. Klasifikasi
Terdapat beberapa jenis klasifikasi Miastenia Gravis, diantaranya berdasarkan gejala klinis,
antibodi yang ditemukan pada pasien, dan riwayat MG dalam keluarga. Pada praktik sehari – hari,
penderita MG dikelompokkan ke dalam sub grup berdasarkan kriteria sebagai berikut:
Klasifikasi Klinis Miastenia Gravis berdasarkan Myastenia Gravis Foundation of America (MGFA)
Kelas Deskripsi
I Kelemahan motorik terbatas pada ocular
Memiliki kesulitan dalam menutup mata
Kekuatan motorik lain normal
II Kelemahan motorik derajat ringan melibatkan
otot selain ocular
Dapat ditemukan kelemahan motorik terbatas
pada ocular dengan berbagai derajat
IIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot
ekstremtias, batang tubuh, atau keduanya
Iib Kelemahan motorik lebih berat pada otot
orofaring, respiratorik atau keduanya
III Kelemahan motorik derajat sedang melibatkan
otot lain selain ocular
IIIa Kelemahan motorik lebih berat pada otot
ekstremitas, batang tubuh, atau keduanya
IIIb Kelamahan motorik lebih berat pada otot
orofaring, respiratorik atau keduanya
IV Kelemahan motorik derajat berat melibatkan
otot lain selain ocular. Dapat ditemukan
kelemahan motorik terbatas pada okular
dengan berbagai derajat
IVa Kelemahan motorik lebih berat pada otot
ekstremitas, batang tubuh atau keduanya
IVb Kelemahan motorik lebih berat pada otot
orofaring, respiratorik atau keduanya
V Membutuhkan intubasi, dengan atau tanpa
ventilasi mekanik, terkecuali dilakukan paska
operasi
2.4. Patofisiologi Myastenia Gravis
Pada kondisi miastenia gravis, aktivasi komplemen oleh antibodi menyebabkan hilangnya
lekukan membran otot post sinaps sehingga menurunkan jumlah reseptor asetilkolin. Antibodi
berikatan dengan AchR sehingga menghambat ikatan Ach-AchR. IgG dan komplemen menyebabkan
kerusakan membran sel otot sehingga menurunkan efisiensi transmisi post sinaptik. Walaupun
jumlah asetilkolin yang dilepaskan tetap, efek post sinaptik tetap minimal karena berkurangnya
jumlah dan tempat ikatan AchR. Sebagai akibatnya, tidak selalu impuls saraf diikuti dengan potensial
aksi sel otot. Kelemahan otot disebabkan gangguan transmisi neuromuskular akibat ikatan antibodi
pada protein yang penting pada taut neuromuskular. Antibodi dapat merusak, melakukan hambatan
(block), atau mengubah jumlah reseptor asetilkloin (AchR) sehingga menurunkan efek
neurotransmitter asetilkolin. Secara molekular, disfungsi tersering disebabkan gangguan reseptor
asetilkolin (AchR) tipe nikoitinik. Target antibodi lain dalam prevalensi yang lebh rendah adalah
protein muscle-specific kinase dan (MuSK) dan LPR 4.
Gejala klinis klasik ditandai dengan kelemahan atau kelelahan yang bersifat fluktuatif, baik
yang terisolasi hanya pada otot – otot okuler (MG oculer), bulbar, maupun generalisata (MG general)
Keluhan okuler berupa ptosis atau diplopia terjadi pada sekitar 85% kasus, dan 80%
diantaranya akan berkembang menjadi MG general 2 tahun setelah gejala awal muncul. Tipikal
ptosis pada MG biasanya asimetris dan tidak pernah disertai dengan gangguan pupil. Pasien
melaporkan pandangan ganda atau kabur yang memburuk pada sore hari dan membaik bila pasien
beristirahat atau menutup satu mata.
Gejala bulbar terjadi pada 15% kasus. Pasien kadang melaporkan cairan masuk ke hidung
saat sedang minum, kelelahan saat mengunyah makanan, dan suara sengau. Flexsi leher lebih
banyak dipengaruhi daripada ekstensi. Kelemahan otot proksimal bersifat simetris.
Miastenia gravis gejala berat ditandai dengan gejala disfagia yang menyebabkan ancaman
proses menelan secara aman, dispneu dengan kapasitas vital <50% normal, head drop, serta
kelemahan eksetremitas baik proksimal atau distal sehingga menyebabkan terganggunya melakukan
aktivitas fisik dasar (activities of daily living / ADL) secara independen
2.6. Diagnosis
Diagnosis Miastenia Gravis memerlukan kombinasi dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan
tes konfirmasi berupa bedside diagnostic test, test serologi, elektrofisiologi dan pencitraaan.
Beberapa uji diagnostik yang dapat mendukung diagnosis Miastenia Gravis :
1. Wartenberg test
Penderita diminta untuk menatap mata tanpa kedip selama 60 detik dengan sudut 30
derajat pada suatu benda yang terletak di atas, kemudian di perhatikan kelopak mata
pasien, apabila terdapat kelemahan maka lama kelamaan akan timbul ptosis
2. Ice packed test
Dengan menempelkan es pada mata yang ptosis selama 2-5 menit makan akan terjadi
perbaikan pada ptosisnya. Sensitifitas pemeriksaan ini 84-92% dan spesifisitas 97-98%
3. Single breath counting test
Suara akan menghilang saat penderita MG disuruh berhitung dengn suara yang keras dalam
satu helaan nafas
4. Tes prostigmin
Pemberian injeksi prostigmin 0,5 – 1 mg pada penderita MG akan dapat memperbaiki gejala
klinis
5. Tes Edrophonium bromida ( Tensilon)
Edrophonium bromida (Tensilon) adalah asetilkolin esterase inhibitor kerja cepat yang bisa
dilakukan di tempat tidur. Efek terapi akan terlihat setelah 30 detik dan durasi akan berakhir
setelah 10 menit. Dosis inisial 2mg (IV). Bila pasien dapat mentoleransi dosis inisal dan
perbaikan belum secara nyata terlihat, maka bisa diberikan 8mg lagi. Hasil yang positif
dikatakan apabila terjadi perbaikan keluhan setelah 2-5 menit
2.6.2. Tes serologi
2.6.4. Pencitraan
Seluruh pasien MG harus dilakukan pemeriksaan Computer tomografi (CT) scan atau
Magnetic Ressonance Imaging (MRI) thorax untuk memastikan timoma. Foto rontgen thorax
memiliki nilai diagnostik yang lebih rendah dibandingkan CT scan atau MRI. Pencitraan diulang
apabila terdapat relaps dan MG yang sebelumnya stabil untuk menyingkirkan kemungkinan
timoma, yang bisa muncul setelah tahap lanjut MG.
2.7. Terapi Miastenia Gravis
Stratergi pengobatan pada pasien MG bersifat individual dan sangat tergantung
kepada kondisi masing-masing pasien. Terapi miastenia gravis dikelompokkan menjadi 3
macam:
1. Terapi simptomatik
Piridostigmin merupakan terapi inisial miastenia gravis, dengan onset kerja cepat (15-30
menit) dan aktifitas puncak dalam 2 jam. Namun kurang memberikan hasil yang
memuaskan pada pasien dengan MuSK positif. Dosis yang diberikan dapat disesuaikan
dengan kebutuhan dan keluhan pasien. Dosis inisial 30-60mg setiap 4-6 jam dan dapat
dititrasi sesuai dengan respon pasien. Diminum 30 -60 menit ebelum makan pada
penderita dengan gejala bulbar. Dosis ditingkatkan dan disesuaikan dengan respon klinik
dan efek samping. Kemampuan pasien untuk menghentikan terapi merupakan indikator
kesuksesan pengonatan
2. Imunosupresan
Imunosupresan steroid atau non steroid diberikan kepada pasien yang tidak
mendapatkan hasil yang memuaskan setelah terapi piridostigmin. Kortikosteroid oral
merupakan terapi awal dalam kondisi dimana diperlukan tambahan terapi
imunosupresan (good practice point). Dalam kondisi diperlukan imunosupresant jangka
panjang, azatrioprin direkomendasikan dan dosis steroid diturunkan serendah mungkin
(level recomendation A).
3. Terapi intravena imunoglobulin dan plasma exchange
Plasma exchange direkomendasikan untuk MG dengan gejala klinis berat, krisis
miastenia dan persiapan operasi (recommendation level B). Plasma exchange dan IVIG
efektif untuk MG eksaserbasi (recommendation level A). Terapi ini diberikan pada pasien
Miastenia gravis eksaserbasi dan krisis miastenik
4. Timektomi
Timektomi diindikasikan pada pasien MG dengan Timoma ( rekomendasi level A). Pada
pasien MG tanpa timoma, timektomi dilakukan sebagai pilihan terapi menghindari atau
meminimalisir dosis dan durasi imunoterapi, atau pasien tidak menunjukkan perbaikan
klinis dengan imunoterapi dan intoleran dengan efek samping imunoterapi
(rekomendasi level B)
2.8. Prognosis
- Mortalitas pada MG yang tidak diterapi 25-31%
- Pasien dengan MG okuler dengan hiperplasia timus memiliki angka kejadian relaps lebih
tinggi daripada pasien MG dengan gangguan timus lainnya
- Pasien MG yang menderita kelainan autoimun lainnya memiliki angka kejadian relaps
cukup tinggi
- Prognosis penderita MG juga dapat dievaluasi berdasarkan manifestasi klinis
menggunakan Myasthenia Gravis Composite Score dimana perbaikan klinis pasca terapi
lebih dari tiga poin menunjukkan keluaran yang baik
2.9. Krisis Miastenik
Krisis miastenik adalah perburukan gejala yang terjadi akibat provokasi faktor –
faktor eksternal yang mengakibatkan kelemahan otot pernafasan / bulbar yang berat
sehingga membutuhkan bantuan ventilasi mekanik. Sebanyak 15-20% pasien MG
mengalami krisis miastenik dalam kehidupannya. Waktu rerata krisis MG 8-12 bulan
setelah onset, namun kadangkala krisis MG menjadi gejala inisial dari MG
Plasmapharesis dapat dilakukan dengan dua teknik, yaitu centrifugasi atau filtrasi.
Melalui proses sentrifugasi proses apheresis dilakukan dengan putaran cepat dan
memisahkan komponen darah berdasarkan densitas, ukuran dan berat molekul. Teknik
sentrifugasi merupakan teknik yang lebih lama tetapi memiliki keuntungan tidak ada batas
ukuran molekul yang dapat dibuang, kerugian teknik ini dapat menyebabkan terjadinya
trombositopenia, dan karena memerlukan antikoagulan sitrat, teknik sentrifugasi
meningkatkan resiko terjadinya hipokalsemia.
Teknik filtrasi memisahkan komponen darah dengan membuat darah melalui filter
dengan ukuran pori (0,2 – 0,7 µm) dengan berat hingga 3 million Da. Proses memisahkan
dengan teknik filtrasi dilakukan dengan memberikan tekanan ke darah untuk melalui
membran sintesis yang bersifat semi permeable. Dengan teknik filtrasi diperlukan akses vena
central dan antikoagulan dengan heparin. Keuntungan teknik filtrasi resiko trombositopenia
lebih rendah dan proses plasmapharesis dapat dilakukan dengan lebih cepat.
Secara umum plasmapharesis mengganti kurang lebih 1 – 1,5 kali dari volume plasma yang
dapat diestimasikan dengan formula dibawah ini:
2. Indikasi Plasmapharesis
3. Akses Vaskular
Akses vaskular dan aliran darah untuk tindakan extracorporeal merupakan komponen
fundamental untuk keberhasilan prosedur plasmapharesis. Aksesn vaskular pada tindakan
plasmapharesis ditentukan oleh teknik, kondisi yang diterapi, dan lamanya durasi terapi
plasmapharesis. Tindakan plasmapharesis untuk dengan teknik sentrifugasi intermittent dan
prosedur yang singkat, akses vena perifer dapat digunakan dengan estimasi blood flow 50-90ml per
menit. Pada kejadian yang akut dan memerlukan tindakan plasmapharesis yang cepat maka
penggunan akses vena sentral lebih dipilih karena dapat memberikan estimasi blood flow >70ml
/menit. Pada kondisi kronis yang memerlukan terapi plasmapharesis jangka panjang maka AV shunt
dapat menjadi pilihan utama. Pada kondisi pasien CKD yang sudah rutin dilakukan hemodialisa maka
akses vena central dapat digunakan tindakan HD dan tindakan plasmapharesis.
4. Antikoagulan
5. Cairan Pengganti
Cairan pengganti pada teknik plasmapharesis dipilih berdasarkan jenis penyakit yang diterapi
dengan plasmapharesis. Volume plasma yang diekstrasi diganti dengan larutan dengan komposisi
elektrolit yang seimbang dan memiliki aktivitas tekanan osmotik. Volume cairan yang diganti harus
sama dengan cairan efluent yang didapatkan. Pada orang dewasa penggantian dengan kristaloid
dapat diberikan bila volume cairan yang diekstrasi tidak lebih dari 1000ml. Bila volume plasma yang
diekstrasi melebihi >1000ml maka cairan pengganti yang diberikan harus merupakan koloid dengan
pilihan utama adalah albumin 5%.
Pada pasien dengan thrombotic thrombocytopenia pupura, defisiensi faktor koagulasi, atau
kondisi imunodefisiensi, pilihan cairan pengganti adalah fresh frozen plasma.
6. Komplikasi plasmapharesis
Plasmapharesis secara umum ditoleransi dengan baik dan aman. Kompikasi dari
plasmapharesis dapat terjadi dengan rentang 5 – 12%. Gejala tersering berupa parasthesia,
keram otot, hipotensi dan urtikaria, dan reaksi anafilaksis. Komplikasi berat dari
plasmapharesis dilaporkan terjadi kematian 8 dari 15.000 pasien, kematian yang dilaporkan
terjadi pada kasus yang berat dan tindakan plasmapharesis bukan menjadi penyebab utama
terjadinya kematian.
6.1.Hipokalsemia
Depletion coagulopathy. Setelah plasmapharesis kadar faktor koagulasi turun hingga 60%
bila cairan pengganti diganti dengan plasbumin 5%. Kadar faktor koagulasi ini dapat
dipulihkan melalui dua fase; 4 jam pertama setelah plasmapharesis, terjadi peningkatan
faktor koagulasi secara cepat akibat terjadinya keseimbangan kompartemen intravaskuler
dan ekstravaskuler; beberapa hari setelah plasmapharesis terjadi peningkatan faktor
koagulasi melalui proses resintesis. Prothrombin time (PT) meningkat hingga 30% dan aPTT
meningkat hingga 2x lipat setelah plasmapharesis. aPTT dapat kembali normal dalam 4 jam
setelah plasmpharesis dan PT kembali normal dalam 24jam. Penurunan faktor koagulasi
semakin tinggi bila plasmapharesis dilakukan berulang 3-5x dalam seminggu. Penurunan
faktor koagulasi setelah plasmapharesis jarang menyebabkan terjadinya pendarahan.
Hemolisis. Kejadian hemolisis sangat rendah. Dilaporkan terjadi <0,01% dari tindakan
plasmapharesis. Hemolisis dapat terjadi bila sistem sirkuit plasmapharesis di priming dengan
cairan yang bersifat hipotonis. Bila plasmpaharesis dilakukan dengan filtrasi, hemolisis dapat
terjadi bila tekanan melebih 50mmHg.
Trombosis. Trombosis dilaporkan lebih sering terjadi pada kasus plasmapharesis yang diganti
dengan albumin. Pemberian albumin dapat menurunkan kadar antithrombin III (AT-III).
Kadar AT – III turun hingga 85% dari kadar AT – III awal dan membutuhkan waktu hingga 48-
72 jam setelah plasmapharesis. Insidensi trombosis memang rendah tetapi kejadian emboli
paru, miokard infark dan stroke iskemia pernah dilaporkan.
Pemberian fresh frozen plasma sebagai cairan pengganti dapat menyebabkan timbulnya
reaksi anafilaksis, demam, kekakuan, urtikaria, pruritus, bronkospasme, hipotensi dan
edema laring. Kejadian anafilaksis pada pemberian albumin lebih jarang terjadi.
6.4.Resiko infeksi
Bila albumin digunakan sebagai cairan pengganti dapat meningkatkan terjadinya resiko
infeksi akibat menurunnya kadar immunoglobulin (Ig). Mengganti cairan plasma dengan
albumin dapat menurunkan kadar Ig hingga 60%, plasmapharesis yang dilakukan berulang –
berulang dalam waktu dekat juga dapat menyebabkan penurunan lebih jauh dari kadar Ig.
Menurunnya kadar Ig ini dapat membuat kemampuan pasien untuk melawan infeksi mejadi
menurun. Pada kasus infeksi berat yang memerlukan plasmapharesis direkomendasikan
untuk diberikan IV Immunoglobulin 400mg/kg. Ketika fresh frozen plasma diberikan sebagai
cairan pengganti resiko terjadinya transmisi virus dapat terjadi akibat komponen darah yang
diberikan. Estimasi terjadinya resiko transmisi adalah 1-2 setiap 1 juta darah yang di
transfusikan untuk HIV dan untuk virus hepatitis C. Transmisi hepatitis B terjadi 1 setiap
200.000-500.000 produk darah yang ditransfusikan
Transfusion – related acute lung injury (TRALI) merupakan suatu kondisi yang ditandai
dengan berkembangnya gagal nafas akut dan bersifat non cardiogenic pulmonary edema,
sering kali disertai kondisi hipotensi yang muncul selama proses transfusi darah atau
beberapa jam setelah transfusi darah. Hal ini terjadi karenadanya antibody (Ab) di dalam
Fresh frozen plasma dan reaksinya dengan antigen (Ag) pada sel darah putih pasien.
Komplek Ag-Ab ini menyebabkan terjadinya aktivasi dari neutrofil dan pelepasan citokine,
yang menyebabkan terjadinya peningkatan permeabilitas.
6.6.Hipotensi
Hipotensi selama proses plasmapharesis dapat terjadi karena pergantian cairan yang tidak
adekuat, episode vasovagal, reaksi anafilaksis, aritmia akibat hipocalcemia atau hipokalemia,
terlepasnya bradikinin pada pasien yang mendapatkan ACE inhibitor. Pada kasus GBS juga
daapt terjadi disfungsi autonomic.
6.7.Komplikasi lain
2. Pemeriksaan Fisik :
- Sistem Respirasi : airway bebas ,Nafas spontan 18 x/m, suara nafas vesikuler +/+, tidak
ada ronkhi maupun wheezing. SpO2 98% dengan O2 udara bebas.
- Sistem Kardiovaskular : Akral hangat, CRT < 2 detik, tensi 128/81 mmHg, Nadi 94 x/m
regular, tidak ada murmur dan gallop
- Sistem Neurologis : GCS 456, defisit neurologis (-), Pupil isocor 3mm/3mm, Reflelks
cahaya +/+, tidak ada kelemahan anggota gerak
- Sistem Urogenital : BAK spontan 5-7 kali/hari
- Sistem Gastrointestinal : Abdomen supel, bising usus ada
- Sistem Muskuloskeletal : Tidak ada deformitas, tidak ada nyeri tekan, tidak ada edema
3. Pemeriksaan Penunjang :
- Laboratorium (13 Maret 2021)
Hb 10,6 GDA 132
WBC 7.020 BUN/SK 12/0,8
Plt 240.000 Alb 3,2
Hct 32,5 SGOT/SGPT 31/21
Na/K/Cl 135/4,2/100 PPT 10,7
Swab PCR COVID (15 negatif APTT 33
Maret 2021)
Tabel 3.1 Hasil Laboratorium
- Foto Thoraks (2/11/2021)
-
Kesimpulan :
Enhancing solid mass dengan komponen nekrotik didalamnya ukuran +/- 2,77 x 2,06 x
3,48 cm di mediastinum anterior dapat merupakan :
1. Thymoma
2. Lymphoma
Pasien dengan PS ASA 3 dengan penyuli:
- Autoimune disease (Myasthenia gravis)
- Peningkatan LFT (PT 62,1)
- Hipernatermia (150)
- Hipoalbumin (3,2)
Tanggal 26/11/2022
jam 08.00
Dilakukan ekstubasi
Di lakukan aff thorax drain S
PS 12 10 12 11 13 13 13
PEEP 5 5 5 5 5 5 5
FiO2 30 30 30 30 30 30 30
Rate 16 18 20 24 22 18 16
SpO2 99 99 99 99 99 99 99
Hematocrit 33,4
Max ECV 20
Setelah dilakukan plasmapharesis ke 1 secara klinis pasien mengalami perbaikian kondisi dan bisa di
weaning dari ventilator, pada tanggal 6 Desember pasien dilakukan plasmpharesis yang ke 2,
plasmapharesis berjalan lancar tidak ada efek samping dan komplikasi. Pasien di ekstubasi dengan
sebelumnya diberikan SA 0,5mg IM untuk mengurangi hipersalivasi karena efek dari Mistinon.
Plasmpharesis ke 3 dan ke 4 dilakukan tanggal 7 dan 8 Desember, setelah plasmapharesis ke 4
pasien bisa kembali ke low care dan plasmapharesis ke 5 dilanjutkan diruangan.
Dokumentasi klinis :
Daftar Pustaka
1. Voinov V. Plasmapharesis in myasthenia gravis. 2018
2. Nguyen TC, Kiss JE, Goldman JR, Carcilo JA. The role of plasmapharesis in critical illness.
2012.
3. Rajesh K, Birinder P, Sonia G, Gagandeeo S, Amarjit K. Therapeutic plasma exchange in
the treatment of myasthenia gravis. 2015
4. Ipe TS, Davis AR, Raval JS. Therapeutic plasma exchange in myasthenia gravis: a
systematic literature review and meta – analysis of comparative evidence. 2021
5. Akaishi T, Motomura M, Shiraishi H, etc. Preoperative risk of post – operative
myasthenic crisis (POMC): A meta analysis. Journal of the Neurological Science 407.
2019.
6. Leuzzi G, Meacci E, Cusumano G, etc. Thymectomy in myasthenia gravis: proporsal for
predictive score of postoperative myasthenic crisis. European journal of cardio-thoracic
surgery 45. 2014
7. Farmakidis C, Pasnoor M, Dimachkie MM, Barohn R. Treatment of myasthenia gravis.
Neurologic the clinic. 2018