Anda di halaman 1dari 83

LAPORAN APLIKASI I

PENERAPAN TEORI “ADAPTASI CALLISTA ROY” PADA


PASIEN DENGAN MASALAH GANGGUAN SALURAN
PENCERNAAN DI RUANG LONTARA II ATAS BEDAH
DIGESTIF RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO

OLEH:

AL AMIN
P4200216036

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PENERAPAN TEORI “ADAPTASI CALLISTA ROY” PADA


PASIEN DENGAN MASALAH GANGGUAN SALURAN
PENCERNAAN DI RUANG LONTARA II ATAS BEDAH
DIGESTIF RUMAH SAKIT WAHIDIN SUDIROHUSODO

OLEH:
AL AMIN
P4200216036

Mengetahui,

Preceptor I Preseptor II

(Dr. Yuliana Syam, S.Kep.,Ns.,M.Kes) (Abdul Majid, S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.MB)

i
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim. Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah


SWT, karena atas segala karunia dan limpahan rahmatNya, sehingga laporan ini
dapat terselesaikan pada waktunya. Laporan ini dibuat sebagai salah satu tugas
Aplikasi I pada Program Studi Magister Ilmu Keperawatan (PSMIK) Fakultas
Keperawatan Universitas Hasanuddin.
Tak lupa ucapan terima kasih penulis haturkan sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang telah mendukung moril maupun materil. Khusunya kepada
Preceptor I Dr. Yuliana Syam, S.Kep.,Ns.,M.Kes dan preceptor II Abdul Majid,
S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.MB yang telah memberikan banyak bimbingan untuk
menyelesaikan laporan ini.
Sebagai manusia yang tak lupa luput dari kesalahan penulis mengucapkan
maaf yang sebesar-besarnya manakala dalam penulisan laporan ini terdapat
kesalahan baik yang disengaja maupun yang tak disengaja.
Sekian dan terima kasih atas perhatiannya. Mudah-mudahan laporan ini
dapat memberikan manfaat umumnya bagi kita semua, khususnya bagi penulis.
Aamiin
Makassar, Februari 2018
Penyusun

Penulis

ii
ABSTRAK

Al Amin. Penerapan Teori “Adaptasi Callista Roy” Pada Pasien Dengan Masalah
Gangguan Saluran Pencernaan Di Ruang Lontara II Atas Bedah Digestif Rumah Sakit
Wahidin Sudirohusodo. (Dibimbing oleh Yuliana Syam dan Abdul Majid)

Bentuk profesionalisme keperawatan salah satunya ditunjukkan dalam pemberian


asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan merupakan pendekatan ilmiah dan rasional
dalam menyelesaikan masalah keperawatan yang ada, dengan pendekatan proses
keperawatan. Pendekatan asuhan keperawatan dengan menggunakan pendekatan Teori
Model Adaptasi Roy dipandang sangat ideal untuk diterapkan dalam memberikan
pelayanan asuhan keperawatan profesional, sehingga individu mampu meningkatkan
kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku adaptif serta mampu merubah
perilaku yang inadaptif. Tujuan dari kasus ini memahami penerapan teori Adaptation
Model Sister Callista Roy dalam asuhan keperawatan sistem digestif pada masalah
saluran pencernaan.

Asuhan keperawatan pertama yaitu diagnosa yang perioritas pada sistem digestif
yaitu masalah pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh, dengan intervensi yang
diberikan makan sedikit demi sedikit dapat meningkatkn intake nutrisi. Dimana intervensi
yang dilakukan selama seminggu ini dapat membuat pasien berprilaku adaptif terhadap
pemenuhan nutrisinya sehingga karakteristik mual dan faktor-faktor yang
menyebabkan mual dapat diatasi pasien. Intervensi makanan dalam kondisi hangat
dapat menurunkan rasa mual sehingga intake nutrisi dapat ditingkatkan, membantu
memilih alternatif pemenuhan nutrisi yang adekuat, sehingga perilaku yang maladaptif
menjadi adaptif. Intervensi masalah nyeri yang dirasakan pasien yaitu, melakukan
pengkajian nyeri secara komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, dan faktor presipitasi. Observasi gejala ketidaknyamanan non verbal.
Gunakan komunikasi terapeutik untuk memahami pengalaman nyeri, penerimaan dan
respon nyeri klien yang berdampak terhadap kualitas hidup seperti tidur, aktivitas, mood,
pekerjaan, tanggung jawab. Dimana intervensi ini dilakukan selama seminggu sehingga
perilaku yang maladaptif yang dirasakan pasien dapat berubah menjadi adaptif.

Kata kunci : Teori Adaptasi Roy, Masalah saluran pencernaan.

iii
DAFTAR ISI

SAMPUL i

LEMBAR PENGESAHAN ii

ABSTAK iii

DAFTAR ISI iv

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Tujuan 3

C. Manfaat 3

BAB II TINJAUAN TEORI4

A. Konsep dan Model Teori Adaptasi Callista Roy 4

B. Konsep Teori Masalah Gangguan Pencernaan 24

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN 41

A. Gambaran kasus kelolahan 42

B. Penerapan Teori Keperawatan Roy 43

BAB III PEMBAHASAN 68

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 85

A. Kesimpulan 85

B. Saran 85

DAFTAR PUSTAKA

iv
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keperawatan sebagai pelayanan profesional, dalam aplikasinya harus

dilandasi oleh dasar keilmuan keperawatan yang kokoh, dengan demikian

perawat harus mampu berpikir logis dan kritis dalam menelaah dan

mengidentifikasi fenomena respon manusia. Banyak bentuk-bentuk

pengetahuan dan keterampilan berpikir kritis harus dilakukan pada setiap

situasi klien, antara lain dengan menggunakan model-model keperawatan

dalam proses keperawatan sesuai dengan kebutuhan (Nursalam, 2013)

Bentuk profesionalisme keperawatan salah satunya ditunjukkan dalam

pemberian asuhan keperawatan. Asuhan keperawatan merupakan pendekatan

ilmiah dan rasional dalam menyelesaikan masalah keperawatan yang ada,

dengan pendekatan proses keperawatan. Penerapan teori keperawatan yang

diperkenalkan oleh para ahli di bidang keperawatan perlu terus dikembangkan

penerapannya di lapangan atau pada praktik keperawatan. Banyak teori yang

telah diperkenalakan oleh para ahli keperawatan. Salah satunya adalah model

konsep keperawatan yang dikembangkan oleh Sister Callista Roy (Alligood &

Tomey ,2006).

Roy mengasumsikan dasar pengetahuan perawat didasarkan kepada

pemahaman individu beradaptasi dengan situasi lingkungan di sekitarnya. Roy

mengemukakan bahwa tujuan pemberian asuhan keperawatan adalah

meningkatkan adaptasi yang berkontribusi terhadap kondisi kesehatan,

kualitas hidup bahkan penerimaan dalam kematian. Teori ini menjadikan

1
adaptasi sebagai suatu pemecahan masalah dari berbagai stimulus yang

mempengaruhi fungsi seseorang dalam kehidupan (Alligood, 2010).

Masalah saluran pencernaan telah menjadi masalah global yang terus

membesar seiring dengan bertambahnya jumlah pasien dengan masalah

saluran pencernaan.Masalah saluran pencernaan masih merupakan hal yang

umum ditemukan dan merupakan faktor penting terhadap angka kesakitan dan

kematian, terutama pada negara yang belum dan sedang berkembang. Kasus

masalah saluran pencernaan juga meningkat seiring dengan meningkatnya

jumlah kasus secara umum.

Manifestasi klinis yang tidak spesifik dan kadang menyerupai beberapa

kondisi lain termasuk keganasan menyebabkan diagnosis masalah saluran

pencernaan sulit ditegakkan secara akurat. Temuan dari hasil endoskopi dan

gambaran radiologi dari berbagai stage penyakit sudah sangat banyak, namun

diagnosis tetap sulit dilakukan. Sampai saat ini belum ada metode tunggal

yang dapat mendeteksi masalah saluran pencernaan secara tepat dan akurat,

berbagai metode investigasi telah digunakan dalam diagnosis masalah saluran

pencernaan. Diagnosis yang dilakukan sejak awal, pemberian terap dan

tindakan bedah adalah hal-hal esensial dalam pencegahan terjadinya kesakitan

dan kematian akibat masalah saluran pencernaan, sehingga dibutuhkan

kombinasi penilaian klinis dan pemeriksaan berbagai modalitas. Pasien yang

telah didiagnosis masalah saluran pencernaan diberikan terapi khusus

pertimbangan tindakan bedah jika mengalami komplikasi. Pendekatan asuhan

keperawatan dengan menggunakan pendekatan Teori Model Adaptasi Roy

dipandang sangat ideal untuk diterapkan dalam memberikan pelayanan asuhan

2
keperawatan profesional, sehingga individu mampu meningkatkan

kesehatannya dengan cara mempertahankan perilaku adaptif serta mampu

merubah perilaku yang inadaptif.

Berdasarkan uraian di atas menjadi dasar ketertarikan bagi penulis

dalam menerapkan model adaptasi Roy dalam proses perawatan pasien

dengan penyakit masalah saluran pencernaan.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum

a. Memahami penerapan teori Adaptation Model Sister Callista Roy

dalam asuhan keperawatan sistem digestif pada masalah saluran

pencernaan.

2. Tujuan Khusus

a. Memahami konsep teori Adaptation Model Sister Callista Roy

b. Memahami konsep teori masalah saluran pencernaan.

c. Menganalisis penerapan konsep model teori Adaptation Model Sister

Callista Roy pada asuhan keperawatan sistem digestif pada kasus

masalah saluran pencernaan

C. Manfaat Penulisan

1. Memberikan gambaran bagi penulis untuk penerapan model teori

keperawatan menurut Sister Callista Roy.

2. Memberikan arahan dan ketajaman interpretasi bagi penulis dalam

menerapkan model teori keperawatan menurut Sister Callista Roy dalam

pemberian asuhan keperawatan.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep dan Model teori Adaptasi Callista Roy

Model adaptasi yang dikemukakan oleh Roy adalah teori yang

dikembangkan dari teori yang telah dikemukakan oleh beberapa pakar

sebelumnya. Salah satunya adalah Harry Helson yang membahas tentang

psikofisika yang kemudian dikembangkan menjadi ilmu social dan perilaku.

Helson mengemukakan bahwa adaptasi merupakan rangkaian tindakan dalam

menanggapi hal yang berbeda dari sebelumnya (positif/negatif). Sedangkan

proses adaptasi oleh Helson diartikan sebagai peran dari sebuah rangsangan

yang ada serta level dari penyesuaian diri seseorang. Dimana rangsangan itu

sendiri merupakan hal yang ikut menyebabkan terjadinya tanggapan jika

terjadi rangsangan baik dari dalam maupun dari luar tubuh seseorang

(Alligood, 2014)

Roy menggabungkan teori Helson dengan pemahaman Rapoport

mengenai system, yaitu bahwa Roy melihat manusia dalam perspektif sebagai

system adaptasi. Kemudian Roy meningkatkan model adaptasinya dari

konsep dan teori Dohrenwend, Lazarus, Mechanic, dan Selye. Dalam

meningkatkan model adaptasinya, Roy juga dibantu oleh Driever pada sub

bagian integritas diri, Martinez dan Sato pada bagian stimulus primer yang

berkaitan dengan mode-mode adaptasi, Poush-Tedrow dan Van Landingham

pada bagian mode interdependensi serta Randell pada bagian mode fungsi

peran (Alligood, 2013)

4
Model adaptasi Roy ini diterapkan pada kerangka kerja praktik

penelitian serta pendidikan keperawatan. Dalam pendidikan keperawatan,

model ini merupakan kerangka kerja kurikulum. Sebagai contoh : pada

sebagian besar peserta di Konferensi Pendidik Keperawatan di Chicago tahun

1977. Sedangkan dalam kerangka kerja praktik yaitu pada tahun 1987 pada

kurang lebih 100.000 perawat di Amerika Serikat dan Kanada. Model

adaptasi Roy ini juga menyalin beberapa konsep dari beberapa pakar

sebelumnya yaitu ciptaan Coombs dan Snygg tentang konsistensi diri dan

factor utama yang mempengaruhi konsep diri. Teori interaksi social dari

Cooley (1902) dan Sullivan. Beberapa mode selanjutnya yakni fisiologis-

fisik, fungsi peran, dan interdependensi dari ilmu biologis dan perilaku untuk

memahami manusia (Alligood, 2013)

Model konsep Teori Adaptasi Roy memberikan suatu kerangka kerja

yang efektif untuk kebutuhan adaptasi individu, keluarga dan kelompok.

(Tomey & Alligood, 2006). Teori Adaptasi Roy berasumsi bahwa dasar

pengetahuan keperawatan dibangun untuk memahami individu beradaptasi

terhadap perubahan dalam siklushidup. Hal ini memberikan sebuah kerangka

kerja dalam memberikan asuhan keperawatan bagi pasien dalam kondisi sehat,

sakit akut, kronik dan sakit terminal (Tommey & Alligood, 2006).

Menurut Roy (1984) sebagai penerima asuhan keperawatan adalah

individu, keluarga, kelompok, masyarakat yang dipandang sebagai “Holistic

adaptif system”dalam segala aspek yang merupakan satu kesatua.

System adalah Suatu kesatuan yang di hubungkan karena fungsinya sebagai

kesatuan untuk beberapa tujuan dan adanya saling ketergantungan dari setiap bagian-

5
bagiannya. System terdiri dari proses input, output, kontrol dan umpan balik (Roy,

1991), dengan penjelasan sebagai berikut.

1. Input

Roy mengidentifikasi bahwa input sebagai stimulus, merupakan kesatuan

informasi, bahan-bahan atau energi dari lingkungan yang dapat menimbulkan

respon, dimana dibagi dalam tiga tingkatan yaitu stimulus fokal, kontekstual

dan stimulus residual.

a. Stimulus fokal yaitu stimulus yang langsung berhadapan dengan seseorang,

efeknya segera, misalnya infeksi.

b. Stimulus kontekstual yaitu semua stimulus lain yang dialami seseorang baik

internal maupun eksternal yang mempengaruhi situasi dan dapat

diobservasi, diukur dan secara subjektif dilaporkan. Rangsangan ini

muncul secara bersamaan dimana dapat menimbulkan respon negatif

pada stimulus fokal seperti anemia, isolasi sosial.

c. Stimulus residual yaitu ciri-ciri tambahan yang ada dan relevan

dengan situasi yang ada tetapi sukar untuk diobservasi meliputi

kepercayan, sikap, sifat individu berkembang sesuai pengalaman yang

lalu, hal ini memberi proses belajar untuk toleransi. Misalnya

pengalaman nyeri pada pinggang ada yang toleransi tetapi ada yang

tidak.

2. Kontrol

Proses kontrol seseorang menurut Roy adalah bentuk mekanisme

koping yang di gunakan. Mekanisme kontrol ini dibagi atas regulator dan

kognator yang merupakan subsistem.

6
a. Subsistem regulator.

Subsistem regulator mempunyai komponen-komponen: input-proses

dan output. Input stimulus berupa internal atau eksternal. Transmiter

regulator sistem adalah kimia, neural atau endokrin. Refleks otonom

adalah respon neural dan brain sistem dan spinal cord yang diteruskan

sebagai perilaku output dari regulator sistem. Banyak proses fisiologis

yang dapat dinilai sebagai perilaku regulator subsistem.

b. Subsistem kognator.

Stimulus untuk subsistem kognator dapat eksternal maupun internal.

Perilaku output dari regulator subsistem dapat menjadi stimulus

umpan balik untuk kognator subsistem. Kognator kontrol proses

berhubungan dengan fungsi otak dalam memproses informasi,

penilaian dan emosi. Persepsi atau proses informasi berhubungan

dengan proses internal dalam memilih atensi, mencatat dan

mengingat. Belajar berkorelasi dengan proses imitasi, reinforcement

(penguatan) dan insight (pengertian yang mendalam). Penyelesaian

masalah dan pengambilan keputusan adalah proses internal yang

berhubungan dengan penilaian atau analisa.

3. Output.

Output dari suatu sistem adalah perilaku yang dapat di amati,

diukur atau secara subjektif dapat dilaporkan baik berasal dari dalam

maupun dari luar. Roy mengkategorikan output sistem sebagai respon

yang adaptif atau respon yang tidak mal-adaptif. Respon yang adaptif

dapat meningkatkan integritas seseorang yang secara keseluruhan dapat

7
terlihat bila seseorang tersebut mampu melaksanakan tujuan yang

berkenaan dengan kelangsungan hidup, perkembangan, reproduksi dan

keunggulan. Sedangkan respon yang maladaptif perilaku yang tidak

mendukung tujuan ini.

Roy telah menggunakan bentuk mekanisme koping untuk menjelaskan

proses kontrol seseorang sebagai adaptif sistem. Beberapa mekanisme koping

diwariskan atau diturunkan secara genetik (misal sel darah putih) sebagai

sistem pertahanan terhadap bakteri yang menyerang tubuh. Mekanisme yang

lain yang dapat dipelajari seperti penggunaan antiseptik untuk membersihkan

luka. Roy memperkenalkan konsep ilmu Keperawatan yang unik yaitu

mekanisme kontrol yang disebut Regulator dan Kognator dan mekanisme

tersebut merupakan bagian subsistem adaptasi.Dalam memelihara integritas

seseorang, regulator dan kognator subsistem diperkirakan sering bekerja

sama. Tingkat adaptasi seseorang sebagai sistem adaptasi dipengaruhi oleh

perkembangan individu itu sendiri, dan penggunaan mekanisme

koping.Penggunaan mekanisme koping yang maksimal mengembangkan

tingkat adaptasi seseorang dan meningkatkan rentang stimulus agar dapat

berespon secara positif. Untuk subsistem kognator, Roy tidak membatasi

konsep proses kontrol, sehingga sangat terbuka untuk melakukan riset tentang

proses kontrol dari subsitem kognator sebagai pengembangan dari konsep

adaptasi Roy.

Untuk pengembangan selanjutnya dari model adaptasi Roy yaitu tahun

1900 akhir dan menjelang abad ke 21 pun dilakukan. Diantaranya : asumsi

ilmiah dan filosofis dan defenisi dan tingkat penyesuaian diri yang dilakukan

8
perubahan ; penambahan mode adaptif yang kemudian dikembangkan lagi

menjadi ilmu tingkat golongan ; analisis, kritik serta sintesis. Teori adaptasi

Roy sejak dicetuskannya telah disokong oleh research di pelayanan juga

pendidikan. Sebagi contoh, di tahun 1999 Roy dengan tujuh orang dengan

pendidikan tinggi lainnya melaksanakan meta-analisis, kritik, dan sintesis dari

163 studi sehingga menghasilkan 44 jurnal yang disajikan dalam bahasa

Inggris pada lima benua. Model Roy merupakan sekumpulan landasan ilmiah.

Dimana landasan ini adalah percampuran antara landasan teori system dan

landasan teori tingkat penyesuaian diri. Pada teori sistem, yaitu sistem

penyesuaian diri manusia dianggap elemen yang bisa diberdayakan dan

terkoordinir sehingga hasil yang diinginkan dapat tercapai. (Alligood, 2014).

4 Asumsi utama dalam model adaptasi Roy antara lain :

1. Keperawatan

Keperawatan menurut Roy merupakan kegiatan pelayanan

kesehatan yang menitikberatkan pada siklus dalam kehidupan manusia

yaitu pada kegiatan interaktif baik perorangan, lingkup keluarga,

golongan, dan masyarakat pada umumnya.

2. Manusia

Manusia merupakan system yang kompleks dan mampu

menyesuaikan diri. Proses penyesuaian diri sebagai system, dimana

manusia adalah lingkup yang luas dengan berbagai elemen yang

bekerjasama untuk mencapai hasil yang berbeda.

3. Kesehatan

9
Kesehatan merupakan kegiatan yang timbal balik antara manusia

dengan tempat manusia tersebut berada. Diman kesehatan tidak

mencegah manusia dari terpaparnya penyakit hingga manusia mengalami

kematian, merasakan kesusahan, serta mencegah dari stress. Tetapi

kesehatan adalah kesanggupan manusia dalam menjalani hal-hal tersebut

secara standar.

4. Lingkungan

Lingkungan merupakan keseluruhan dari situasi dan kekuatan

yang menaungi dan memberikan efek bagi kemajuan dan tingkah laku

individu, bahkan golongan dari masyarakat.

Dalam model adaptasi Roy, manusia memiliki sistem adaptasi baik

terhadap stimulus maupun stressor. Proses adaptasi tersebut antara lain :

a. Sistem Adaptif Manusia

Manusia sebagai suatu sistem merupakan seluruh dengan bagian-

bagian yang berfungsi sebagai kesatuan untuk beberapa tujuan dan

sebagai keutuhan dalam satu ekspresi perilaku manusia yang bermakna

dan memiliki keterkaitan satu sama lain. Manusia sebagai sistem

memiliki kapasitas berpikir dan perasaan yang bersumber pada kesadaran

dan makna, dimana mereka menyesuaikan perubahan lingkungan dan

mempengaruhi lingkungan. Sistem manusia termasuk orang sebagai

individu atau dalam kelompok termasuk keluarga, organisasi,

masyarakat, dan masyarakat secara keseluruhan. Konsep Sistem

Adaptive Manusia memiliki dua dimensi yaitu orang individu yang

mengacu pada satu orang sebagai sistem adaptif manusia dan kelompok

10
yang merupakan grup mengacu pada sistem adaptif manusia sebagai

kolektif atau agregat (Roy & Andrews, 1999 dalam Fawcett, 2006).

Relasional Orang mengacu pada sistem adaptif manusia sebagai individu

yang berkaitan dalam kelompok seperti keluarga, organisasi, masyarakat,

bangsa, dan masyarakat secara keseluruhan atau kelompok orang dalam

hubungan (Hanna & Roy, 2001 dalam Fawcett, 2006)

b. Tingkat Adaptasi

Proses adaptasi merupakan cara bawaan atau diperoleh dari

berinteraksi dengan (menanggapi ke dan mempengaruhi) perubahan

lingkungan. Proses adaptasi menggambarkan tingkat terpadu,

terkompensasi dan dikompromikan. Masalah adaptasi dipengaruhi oleh

input atau stimulus yang masuk baik dari lingkungan maupun dari

dirinya sendiri. Tingkat adaptasi ditentukan oleh kombinasi efek stimulus

fokal, kontekstual dan residual (Aligood,2014)

Level penyesuaian diri adalah akibat dari ikatan tiga kelas

rangsangan, yaitu (Alligood, 2014) :

1. Rangsangan fokal ; merupakan rangsangan yang menggerakkan

seseorang untuk bertindak cepat

2. Rangsangan konstekstual ; merupakan rangsangan yang berbeda,

namun meningkatkan efek pada rangsangan fokal

3. Rangsangan residual ; merupakan hal yang berbeda yang efeknya

tidak terlihat secara gambling pada beberapa kondisi.

c. Proses Koping

11
Proses koping merupakan cara yang dilakukan seseorang baik

dari luar maupun dari dalam untuk berinteraksi dengan perubahan

lingkungan. Mekanisme koping ada yangDalamnya terdapat dimensi sub

sistem regulator yang berkaitan dengan individunya yang melibatkan

sistem syaraf, kimiawi dan hormonal sedangkan dimensi terjadi secara

intrinsik yaitu mekanisme koping yang diperoleh secara genetik dan

otomatis terjadi dalam dirinya dimana manusia melakukannya tanpa

perlu berpikir terlebih dahulu sedangkan mekanisme koping yang didapat

merupakan mekanisme koping yang diperoleh berdasarkan proses belajar

atau pengembangan strategi yang diperoleh berdasarkan pengalaman

yang dihadapi dalam hidup (roy & Andrews,1999 dalam Alogood,2014).

Didalam model Roy terdapat dua subsistem yang saling

berhubungan. Sub sistem regulator merupakan proses koping yang

melibatkan sistem syaraf, kimiawi dan hormonal sedangkan sub sistem

kognator yang melibatkan kognitif dan emosional.Persepsi dan

pengolahan informasi meliputi kegiatan perhatian selektif, coding, dan

memori . Belajar melibatkan imitasi, penguatan, dan wawasan. Proses

penilaian meliputi kegiatan seperti sebagai pemecahan masalah dan

pengambilan keputusan. Melalui emosi seseorang, pertahanan digunakan

untuk mencari bantuan dari kecemasan untuk membuat afektif penilaian

dan lampiran (Roy & Andrews, 1999 dalam Fawcett, 2006)

d. Masalah Adaptasi

12
Masalah adaptasi merupakan area masalah yang

menggambarkan adanya kesulitan berhubungan dengan indikator

adaptasi positif (Roy & Andrew,1999 dalam Aligood,2014).

e. Efektor

Merupakan proses kehidupan terpadu dimana seluruh struktur

dan fungsi dari proses kehidupan bekerja sama sebagai kesatuan dalam

pemenuhan kebutuhan manusia (Roy & Andrews,1999 dalam

Alligood,2014).

Respon klien untuk berinteraksi terhadap lingkungannya dan

adaptasi yang dilakukan dapat dilihat sebagai berikut :

1. Mode Fisiologis-Fisik (Physiologis-physical Mode)

Kaidah fisiologis- fisik bagi individu dan kelompok

merupakan hasil dari kebutuhan individu dalam kesatuan fisiologis

dan cara manusia berinteraksi dengan lingkungan sebagai mahluk

hidup. Perilaku dalam metode ini mencerminkan proses fisiologis sel,

jaringan, organ, dan sistem tubuh. Ada lima kebutuhan dasar

fisiologis dan empat pengatur dalam metode ini. Kebutuhan fisiologis

terdiri dari aktivitas dan istirahat, nutrisi, eliminasi, oksigenasi, dan

perlindungan. Proses pengaturan digambarkan seperti indera, cairan,

dan elektrolit, keseimbangan asam-basa, fungsi neurologis, dan

konsep fungsional. (Meleis, 2012)

Model konsep diri berhubungan dengan kebutuhan keutuhan

psikis dan spiritual (Roy dan Andrews, 1999) dalam (Meleis, 2012).

Konsep diri diartikan asumsi terhadap diri sendiri dan asumsi dari

13
orang lain. Selain itu mencakup pandangan integratif dari fisik dan

pribadi. Fisik diwujudkan dalam sensasi tubuh (perasaan dan

pengalaman) dan citra tubuh (melihat diri). Pribadi terdiri dari

komponen yang mandiri dan konsistensi (kontinuitas diri), Ideal diri

(harapan), dan moral etik spiritual diri (nilai) (Andrews dan Roy,

1986; Roy, 1987; Roy dan Andrews, 1999 dalam Meleis, 2012).

Harga diri adalah komponen dari konsep diri dan diartikan sejauh

mana individu menerima diri mereka (Andrews, 1991 dalam Meleis,

2012). Identitas kelompok digunakan untuk model konsep diri

berhubungan dengan kelompok, dan terdiri dari hubungan

interpersonal, kelompok citra diri, lingkungan sosial, dan budaya (Roy

dan Andrews, 1999 dalam (Meleis, 2012).

Proses fisik dan kimia merupakan hal yang terlibat dalam

fungsi dan kegiatan mahluk hidup; kebutuhan yang mendasari

merupakan keutuhan fisiologis yang terjadi ketika keutuhan dapat

dicapai melalui proses adaptasi terhadap perubahan kebutuhan.

Dalam proses ini dibagi menjadi 2 bagian yaitu kebutuhan dasar dan

kompleks. Proses kebutuhan dasar terdiri dari kebutuhan yang

berhubungan dengan oksigenasi, nutrisi, eliminasi, aktivitas dan

istirahat, dan perlindungan. Proses komplek berhubungan dengan

indera, cairan dan elektrolit, fungsi neurologis dan fungsi endokrin

(Ganzalo, 2011)

Dalam metode fisiologis, adaptasi melibatkan pemeliharaan

keutuhan fisik. Kebutuhan dasar manusia seperti nutrisi, oksigen,

14
cairan, dan pengaturan suhu termasuk dalam metode ini (Fawcett,

1984). Dalam mengkaji sebuah keluarga, perawat akan bertanya

bagaimana keluarga memfasilitasi kebutuhan fisik dan kelangsungan

hidup anggota keluarga. Fungsi dari metode konsep diri merupakan

bagaimana pemeliharaan kebutuhan dari keutuhan psikis. Persepsi

diri seseorang tentang fisik dan pribadi termasuk dalam metode ini.

Keluarga juga memiliki konsep diri sebagai unit keluarga. Penilaian

keluarga di metode ini akan mencakup sejauh mana pemahaman yang

diberikan kepada anggota keluarga, peran keluarga, nilai-nilai

keluarga, jumlah pendampingan yang diberikan kepada para anggota,

dan orientasi (sekarang atau masa depan) dari keluarga (Hanson,

1984) (Wikipedia, 2016)

1. Mode Identitas Konsep Diri-Kelompok (Self concept – Group Identity

mode)2

Adaptasi ini berfokus pada keutuhan psikologis dan spiritual dan

rasa persatuan, kehidupan yang bermakna, mencapai tujuan dalam

kehidupan. Konsep diri individu dijelaskan oleh Roy sebagai

“Kumpulan keyakinan atau perasaan yang dimiliki individu mengenai

ia dan dirinya pada waktu tertentu (Roy & Andrew,1999 dikutip

dalam Alligood, 2014, hal.128) Konsep diri Individu dibagi menjadi

perseorangan secara jasmani (persepsi diri dan gambaran diri) dan

perseorangan sebagai personal (kestabilan diri, ideal diri, nilai diri dan

spiritual diri)

15
Mode identitas kelompok merupakan pandangan anggota

kelompok terhadap diri mereka sendiri karena adanya respon dari

lingkungan sekitarnya. Mode ini terbentuk dari hubungan

interpersonal, citra diri kelompok,lingkungan sosial dan budaya

sedangkan kebutuhan dasarnya adalah integritas identitas (Roy &

Andrews, 1999 dalam Alligood, 2014).

2. Mode Fungsi Peran (Role function mode)

Model fungsi peran merupakan model sosial yang merujuk

pada peran individu dalam masyarakat, dalam mengisi kebutuhan

integritas sosial, dan mengetahui hubungan antara orang yang satu

dengan yang lain. Setiap orang memiliki peran baik peran

primer,sekunder dan tersier yang dilaksanakan dengan perilaku yang

bersifat instrumental maupun ekspresif.

Peran primer merupakan perilaku yang dimiliki seseorang

yang menentukan perilaku utama yang dipengaruhi oleh usia, jenis

kelamin, dan tingkat perkembangan. Perilaku sekunder dilakukan

untuk melengkapi tugas perkembangan dan tugas dari peran primer

sedangkan perilaku tersier dapat dipilih secara bebas dan mewakili

perilaku seseorang dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan

perannya (Alligood, 2014)

3. Mode Interdependensi (Interdependent Mode)

Mode interdependensi menitikberatkan pada ikatan yang kuat

antara manusia dan tujuan mereka, dan juga perkembangan mereka.

Ikatan interdependensi ini mengaitkan antara kehendak dan

16
kesanggupan manusia dalam upaya penerimaanya terhadap orang lain

pada beberapa sudut pandang, diantaranya rasa cinta, saling menjaga,

menghormati, dan sebagainya (Alligood, 2014)

Kebutuhan pokok dari mode ini disebut pula sebagai mutu

atau kualitas hubungan itu sendiri. Dimana terdapat dua hubungan

khusus yang menjadi kajian utamanya sebab mode ini ditujukan untuk

manusia dalam konteksnya secara perorangan.Hal pertama yaitu

ikatannya pada orang terdekat (orang yang paling berarti bagi orang

tersebut). Sedangkan yang kedua adalah support sistem, dimana

support sistem ini adalah orang lain diluar orang yang bersangkutan

dan orang dianggap paling berarti yang ternyata mempunyai andil

pada kebutuhan interdependensi orang tersebut (Alligood, 2014)

Mode interdependen lebih berfokus pada hubungan dekat

dengan orang lain dan memiliki tujuan terhadap pengembangan

struktur dan potensi adaptasi dalam hubungan ini (McEwen & Wills,

2011).

f. Output

Manusia selalu mengalami proses stimulus dari lingkungan.

Pada akhirnya stimulus yang ada menghasilkan respon baik adaptif

maupun inadaptif. Respon adaptif membuat manusia mencapai

tujuan adaptasi dan meningkatkan integritas manusia sedangkan

respon inadaptif merupakan kondisi dimana manusia gagal

mencapai tujuan adaptasi bahkan mengancam pencapaian tujuan

(Roy & Andrews,1999 dalam Alligood,2014).

17
Gambar 1: Skema Manusia Sebagai Sistem Adaptive
Input Proses Efektor Output
kontrol

Stimuli internal
Rspons :
dan external  Mekanisme  Fs. Fisiologi
Tkt. Adaptasi koping  Konsep Diri  Adaptif
 Fokal
 Regulator  Fs. Peran
 Kontextual
 Kognator  Interdependen  Maladaptif
 Residual

Umpan Balik

Sumber : Tomey and Alligood. 2013. Nursing theoriest, utilization and application.
Mosby : Elsevier.

Sumber : Roy & Andrews, (1999)


Keperawatan bertujuan untuk membantu proses adaptasi seseorang

dalam pengelolaan lingkungan dengan harapan tercapainya tingkat

kesejahteraan yang optimal. Dalam praktik keperawatan menurut Calista Roy,

proses keperawatan didefinisikan sebagai pemecahan masalah, pendekatan

yang berorientasi pada tujuan untuk memandu penyediaan perawatan yang

18
komprehensif untuk orang atau kelompok orang (Alligood, 2013). Menurut

Andrew & Roy (1991) dikutip dalam Alligood (2013) proses keperawatan

berhubungan langsung dengan pandangan seseorang sebagai sistem adaptif.

Roy melakukan konseptualisasi proses keperawatan kedalam enam simultan

yaitu: pengkajian perilaku, pengkajian stimulus, Diagnosis keperawatan,

Tujuan, Intervensi dan Evaluasi.

a. Pengkajian Perilaku

Dari perspektif roy, perilaku adalah tindakan atau reaksi terhadap

stimulus. Sebuah perilaku mungkin dapat diamati atau sebaliknya, contoh

dari perilaku yang dapat diamati adalah denyut nadi, sedangkan perilaku

yang tidak dapat diamati adalah perasaan yang dialami oleh seseorang dan

dilaporkan kepada perawat. Eksplorasi perilaku diwujudkan dalam empat

mode adaptif yang memungkinkan perawat mencapai pemahaman tentang

tingkat adaptasi saat ini dan untuk merencanakan intervensi yang akan

dilakukan. Pada awal hubungan perawat- klien, evaluasi menyeluruh

terhadap perilaku harus dilakukan dan penilaian harus berkelanjutan

(Alligood, 2013).

b. Pengkajian stimulus

Sebuah stimulus adalah setiap perubahan dalam lingkungan

internal atau eksternal yang menyebabkan terjadinya respon dalam sistem

adaptif. Rangsangan yang timbul dari lingkungan dapat diklasifikasikan

sebagai focal, kontekstual atau residual. Dalam pengkajian ini perawat

melakukan analisa terhadap perilaku subyektif dan obyektif untuk

mengkaji lebih dalam penyebab perilaku individu ( Alligood, 2013).

19
c. Diagnosis Keperawatan

Pendidikan dan pengalaman yang dimiliki oleh perawat

memungkinkan untuk membuat penilaian mengenai perawatan kesehatan

dan kebutuhan adaptif klien. Penilaian ini diungkapkan dalam sebuah

penyataan yaitu diagnosis keperawatan yang menunjukkan actual ataupun

potensial masalah yang berkaitan dengan adaptasi. Pernyataan diagnosis

mengacu pada sebuah pertmbangan mengenai stimuli yang mungkin

mengancam ataupun dapat diadaptasikan. Diagnosis keperawatan

didefinisikan sebagai proses penilaian yang dihasilkan dalam laporan

sistem adaptif ( Alligood, 2013)

d. Penetapan Tujuan

Penetapan tujuan berfokus pada mempromosikan perilaku adaptif.

Bersama perawat dan klien menyepakati tujuan dari asuhan keperawatan

yang dilakukan. Pernyataan hasil harus mencerminkan perilaku adaptif

tunggal, realistis, dan terukur. Pernyataan tujuan harus mencakup perilaku

yang akan diubah, dan waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya perubahan

perilaku ( Alligood, 2013).

e. Intervensi

Intervensi berfokus pada cara yang dilakukan agar tujuan tercapai.

Sebuah intervensi keperawatan apapun yang diambil oleh perawat

professional yang ia percaya akan mempromosikan perilaku adaptif oleh

klien. Intervensi keperawatan timbul dari basis pengetahuan yang solid dan

bertujuan mengatasi stimulus fokal. Intervensi apapun yang dilakukan

dalam pendekatan keperawatan dimaksudkan untuk mempromosikan

20
adaptasi dengan mengubah stimuli atau memperkuat proses adaptif

(Alligood, 2013).

f. Evaluasi

Evaluasi merupakan jawaban dari pertanyaan, apakah orang

tersebut bergerak kearah adaptasi?. Evaluasi mengharuskan analisis dan

penilaian untuk menentukan apakah perubahan perilaku yang dinyatakan

dalam tujuan telah dicapai oleh penerima asuhan keperawatan (Alligood,

2013)

Selanjutnya Roy mengembangkan proses internal seseorang sebagai

sistem adaptasi dengan menetapkan sistem efektor, yaitu 4 mode adaptasi

meliputi fisiologis, konsep diri, fungsi peran dan interdependensi.

1. Mode Fungsi Fisiologi

Fungsi fisiologi berhubungan dengan struktur tubuh dan fungsinya.

Roy mengidentifikasi sembilan kebutuhan dasar fisiologis yang harus

dipenuhi untuk mempertahankan integritas, yang dibagi menjadi dua

bagian, mode fungsi fisiologis tingkat dasar yang terdiri dari 5 kebutuhan

dan fungsi fisiologis dengan proses yang kompleks terdiri dari 4 bagian

yaitu :

a. Oksigenasi : Kebutuhan tubuh terhadap oksigen dan prosesnya, yaitu

ventilasi, pertukaran gas dan transpor gas (Vairo,1984 dalam Roy

1991).

b. Nutrisi : Mulai dari proses ingesti dan asimilasi makanan untuk

mempertahankan fungsi, meningkatkan pertumbuhan dan mengganti

jaringan yang injuri. (Servonsky, 1984 dalam Roy 1991).

21
c. Eliminasi : Yaitu ekskresi hasil dari metabolisme dari instestinal dan

ginjal. (Servonsky, 1984 dalam Roy 1991)

d. Aktivitas dan istirahat: Kebutuhan keseimbangan aktivitas fisik dan

istirahat yang digunakan untuk mengoptimalkan fungsi fisiologis

dalam memperbaiki dan memulihkan semua komponen-komponen

tubuh. (Cho,1984 dalam Roy, 1991).

e. Proteksi/perlindungan: Sebagai dasar defens tubuh termasuk proses

imunitas dan struktur integumen (kulit, rambut dan kuku) dimana hal

ini penting sebagai fungsi proteksi dari infeksi, trauma dan perubahan

suhu. (Sato, 1984 dalam Roy 1991).

f. The sense/perasaan: Penglihatan, pendengaran, perkataan, rasa dan bau

memungkinkan seseorang berinteraksi dengan lingkungan. Sensasi

nyeri penting dipertimbangkan dalam pengkajian perasaan. (Driscoll,

1984, dalam Roy, 1991).

g. Cairan dan elektrolit: Keseimbangan cairan dan elektrolit di dalamnya

termasuk air, elektrolit, asam basa dalam seluler, ekstrasel dan fungsi

sistemik. Sebaliknya inefektif fungsi sistem fisiologis dapat

menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit. (Parly, 1984, dalam Roy

1991).

h. Fungsi syaraf/neurologis: Hubungan-hubungan neurologis merupakan

bagian integral dari regulator koping mekanisme seseorang. Mereka

mempunyai fungsi untuk mengendalikan dan mengkoordinasi

pergerakan tubuh, kesadaran dan proses emosi kognitif yang baik

22
untuk mengatur aktivitas organ-organ tubuh (Robertson, 1984 dalam

Roy, 1991).

i. Fungsi endokrin : Aksi endokrin adalah pengeluaran horman sesuai

dengan fungsi neurologis, untuk menyatukan dan mengkoordinasi

fungsi tubuh. Aktivitas endokrin mempunyai peran yang signifikan

dalam respon stress dan merupakan dari regulator koping mekanisme

(Howard & Valentine dalam Roy,1991).

2. Mode Konsep Diri

Mode konsep diri berhubungan dengan psikososial dengan

penekanan spesifik pada aspek psikososial dan spiritual manusia.

Kebutuhan dari konsep diri ini berhubungan dengan integritas psikis antara

lain persepsi, aktivitas mental dan ekspresi perasaan. Konsep diri menurut

Roy terdiri dari dua komponen yaitu the physical self dan the personal self.

The physical self, yaitu bagaimana seseorang memandang dirinya

berhubungan dengan sensasi tubuhnya dan gambaran tubuhnya. Kesulitan

pada area ini sering terlihat pada saat merasa kehilangan, seperti setelah

operasi, amputasi atau hilang kemampuan seksualitas.The personal self,

yaitu berkaitan dengan konsistensi diri, ideal diri, moral-etik dan spiritual

diri orang tersebut. Perasaan cemas, hilangnya kekuatan atau takut

merupakan hal yang berat dalam area ini.

3. Mode Fungsi Peran

Mode fungsi peran mengenal pola-pola interaksi sosial seseorang

dalam hubungannya dengan orang lain, yang dicerminkan dalam peran

23
primer, sekunder dan tersier. Fokusnya pada bagaimana seseorang dapat

memerankan dirinya dimasyarakat sesuai kedudukannya.

4. Mode Interdependensi

Mode interdependensi adalah bagian akhir dari mode yang

dijabarkan oleh Roy. Fokusnya adalah interaksi untuk saling memberi dan

menerima cinta/kasih sayang, perhatian dan saling menghargai.

Interdependensi yaitu keseimbangan antara ketergantungan dan

kemandirian dalam menerima sesuatu untuk dirinya. Ketergantungan

ditunjukkan dengan kemampuan untuk afiliasi dengan orang lain.

Kemandirian ditunjukkan oleh kemampuan berinisiatif untuk melakukan

tindakan bagi dirinya.Interdependensi dapat dilihat dari keseimbangan

antara dua nilai ekstrim, yaitu memberi dan menerima.

B. Konsep Teori Masalah Gangguan Pencernaan

Gangguan pencernaan merupakan masalah kesehatan yang

mempengaruhi satu atau beberapa organ dari sistem pencernaan secara

bersamaan. Sistem pencernaan bertugas menerima makanan, mencerna atau

memecahnya menjadi nutrisi yang bisa diserap untuk selanjutnya disalurkan

ke seluruh tubuh melalui darah. Selain itu, sistem pencernaan juga bertugas

memisahkan dan membuang bagian dari makanan yang tidak bisa dicerna

seperti serat. Selain organ-organ tersebut, organ lainnya seperti hati, pankreas,

dan kandung empedu juga merupakan bagian dari sistem pencernaan, namun

letaknya di luar saluran pencernaan.

24
Ada banyak jenis gangguan pencernaan, dan dari kasus yang

didapatkan ada dua yaitu TBC Usus post op Ileustimy dan Tumor Gaster.

Berikut ini adalah penjelasan kondisi tersebut.

Ileus Obstruktif

1. Pengertian

Ileus adalah gangguan/hambat an pasase isi usus yang merupakan

tanda adanya obstruksi usus akut yang segera membutuhkan pertolongan

atau tindakan. Obstruksi usus atau Ileus menurut Sjamsuhidajat (1997)

adalah obstruks saluran cerna tinggi artinya disertai dengan pengeluaran

banyak aliran cairan dan elektrolit baik di dalam lumen usus bagian oral

dari obstruksi obstruksi maupun oleh muntah. Sedang menurut Carpenito

(2000), Ileostomi adalah beda pembuatan lubang antara ileum dan dinding

abdomen untuk tujuan diversi fekal. Dari pengertian di atas dapat

disimpulkan bahwa ileostomi adalah suatu keadaan dimana sisa makanan

tidak dapat keluar seperti biasa, maka dibuatlah lubang antara ileum dan

dinding abdomen untuk tujuan diversi fekal. Menurut Brunner dan

Suddarth, (2001), jenis obstruksi ada 2 tipe proses:

1. Obstruksi mekanis (Ileus Obstruksi) : terjadi obstruksi intramural atau

obstruksi mural dari tekanan pada dinding usus. Contoh kondisi yang

dapat menyebabkan obstruksi mekanis yang akut, misalnya, hernia

strangulata, perlekatan, intususepsi, tumor kronis misalnya akibat

karsinoma yang melingkari.

25
2. Obstruksi Neurogenik (Ileus Paralitik) “terjadi karena suplai saraf

Contoh: distropi otot, gangguan endokrin, ini juga bersifat sementara

sebagai akibat dari penanganan selama pembedahan.

2. Etiologi

Menurut Jong (1997) ada 6 yaitu karsinoma, diverti kulitis, striktur

rektum, stenosis anus, volvulus sigmoid dan penyakit hirschsprung, tak

jauh beda dengan Jong, Burner dan Suddarth penyebab ileus ada 5 yaitu

adesi (perlekatan), hernia, volvulus, inlusepsi, dan tumor.

3. Manifestasi Klinis

1. Nyeri tekan pada abdomen

2. Muntah

b. Konstipasi (sulit BAB).

c. Distensi abdomen.

d. BAB darah dan lendir tapi tidak ada feces dan flatus (Kapita Selekta,

2000).

4. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Jong (1997), pemeriksaan penunjang ada 2 tipe yaitu

pemeriksaan radiologik dan pemeriksaan endoskopi. Pemeriksaan

radiologik meliputi foto polos abdomen dan closed loop, sedang

pemeriksaan endoskopi meliputi rektosigmoidoskopi dan kolonoskopi.

5. Patofisiologi

Pengaruh obstruksi kolon tidak sehebat pengaruh pada obstruksi

usus halus, karena pada obstruksi kolon, keculai pada volvus, hampir tidak

pernah terjadi stragulasi, kolon merupakan alat pemompaan feses sehingga

26
secara relatif fungsi kolon sebagai alat penyerap sedikit sekali. Oleh

karena itu kehilangan cairan dan elektrolit berjalan lambat pada obstruksi

kolon distal. Gambaran klinik ini disebut obstruksi rendah, berlainan

dengan ileus usus halus yang dinamai ileus tinggi. Obstruksi kolon yang

berlarut-larut akan menimbulkan destensi yang amat besar bersamaan

katup ileosekal tetap utuh. Bila terjadi lusufisiensi katup, timbul reflek dari

kolon ke dalam ileum terminal sehingga ileum turut membesar karena itu

gejala dan tenda obstruksi rendah tergantung kompetensi valvula bauhin.

Dinding usus halus kuat dan tebal, karena itu tidak timbul distensi

berlebihan atau ruptur. Dinding usus besar tipis, sehingga mudah

mengalami distensi. Dinding sekum merupakan bagian kolon yang paling

tipis, karena itu dapat terjadi ruptur bila terlalu terenggang (Jong, 1997).

6. Komplikasi

1. Peritonitis karena absorbsi toksin dalam rongga peritonium sehinnga

terjadi peradangan atau infeksi yang hebat pada intra abdomen.

2. Perforasi dikarenakan obstruksi yang sudah terjadi selalu lama pada

organ intra abdomen.

3. Sepsis, infeksi akibat dari peritonitis, yang tidak tertangani dengan

baik dan cepat.

4. Syok hipovolemik terjadi akibat dehidrasi dan kehilangan volume

plasma. (Brunner and Suddarth, 2001)

7. Pemeriksaan Diagnostik

Adapun pemeriksaan diagnostik yang bisa dilakukan antara lain:

1. Rontgen toraks: diafragma meninggi akibat distensi abdomen

27
2. Rontgen abdomen dalam posisi telentang: mencari penyebab (batu

empedu, volvulus, hernia)

3. Pemeriksaan sinar x: Untuk menunjukan kuantitas abnormal dari gas atau

cairan dalam usus.

4. Pemeriksaan laboratorium (misalnya pemeriksaan elektrolit dan jumlah

darah lengkap) akan menunjukan gambaran dehidrasi dan kehilangan

volume plasma dan kemungkinan infeksi.

5. Pemeriksaan radiogram abdomen sangat penting untuk menegakkan

diagnosa obstruksi usus. (Doenges, Marilyn E, 2000)

8. Penatalaksanaan Medis

Dasar pengobatan obstruksi usus adalah koreksi keseimbangan

cairan dan elektrolit, menghilangkan peregangan dan muntah dengan

intubasi dan kompresi, memperbaiki peritonitis dan syok bila ada, serta

menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi

usus kembali normal.

1.      Perawatan : koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit,

menghilangkan peregangan dan muntah dengan intubasi dan kompresi,

memperbaiki peritonitis dan syok bila ada, serta menghilangkan

obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali

normal.

2.      Farmakologi : Obat antibiotik dapat diberikan untuk membantu

mengobati atau mencegah infeksi dalam perut, obat analgesic untuk

mengurangi rasa nyeri.

28
3.      Paracentesis : Prosedur ini juga disebut tekan perut atau peritoneum

atau dimasukkan obat khusus di dalam perut. Menghapus cairan

tambahan dapat membantu bernafas lebih mudah dan merasa lebih

nyaman. Cairan dapat dikirim ke laboratorium dan diperiksa untuk

tanda-tanda infeksi atau masalah lainnya

4.      Tindakan Bedah : Dengan laparoskopi, sayatan kecil (pemotongan)

akan dilakukan pada perut.

a. Kolostomi: kolostomi adalah prosedur untuk membuat stoma

(pembukaan) antara usus dan dinding perut. Ini mungkin dilakukan

sebelum memiliki operasi untuk menghapus usus yang tersumbat.

Kolostomi dapat digunakan untuk menghilangkan udara atau cairan

dari usus. Hal ini juga dapat membantu memeriksa kondisi

perawatan sebelum operasi. Dengan kolostomi, tinja keluar dari

stoma ke dalam kantong tertutup. Tinja mungkin berair, tergantung

pada bagian mana dari usus besar digunakan untuk kolostomi

tersebut. Stoma mungkin ditutup beberapa hari setelah operasi usus

setelah sembuh.

b. Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus tergantung

penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari obstruksi seperti

hernia dan perlengketan. Tindakan pembedahannya adalah

herniotomi.

c. Stent: stent adalah suatu tabung logam kecil yang memperluas

daerah usus yang tersumbat. Dengan Menyisipkan stent ke dalam

usus menggunakan ruang lingkup (tabung, panjang ditekuk tipis).

29
Stent dapat membuka usus untuk membiarkan udara dan makanan

lewat. Menggunakan stent juga untuk membantu mengurangi gejala

sebelum operasi.

Tumor Colon

1. Pengertian

Tumor (berasal dari bahasa latin, yang berarti "bengkak"), merupakan

salah satu dari lima karakteristik inflamasi. Namun, istilah ini sekarang

digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan biologikal jaringan yang

tidak normal. Pertumbuhannya dapat digolongkan sebagai ganas (malignant)

atau jinak (benign) (Brooker, 2001). Tumor kolon adalah tumor yang berada

di dalam kolon.

2. Etiologi

a. Kelainan kongenital Kelainan kongenital adalah kelainan yang dibawa

sejak lahir, benjolannya dapat berupa benjolan yang timbul sejak lahir

atau timbul pada usia kanak-kanak bahkan terkadang muncul setelah

usia dewasa. Pada kelainan ini ,benjolan yang paling sering terletak di

leher samping bagian kiri atau kanan di sebelah atas , dan juga di

tengah-tengah di bawah dagu. Ukuran benjolan bisa kecil beberapa cm

tetapi bisa juga besar seperti bola tenis. Kelainan kongenital yang sering

terjadi di daerah leher antara lain adalah hygroma colli, kista branchial,

kista ductus thyroglosus.

b. Genetik

30
c. Gender / jenis kelamin

d. Usia

e. Rangsangan fisik berulang Gesekan atau benturan pada salah satu

bagian tubuh yang berulang dalam waktu yang lama merupakan

rangsangan yang dapat mengakibatkan terjadinya kanker pada bagian

tubuh tersebut, karena luka atau cedera pada tempat tersebut tidak

sempat sembuh dengan sempurna.

f. Hormon Hormon adalah zat yang dihasilkan kelenjar tubuh yang

fungsinya adalah mengatur kegiatan alat-alat tubuh dan selaput tertentu.

Pada beberapa penelitian diketahui bahwa pemberian hormon tertentu

secara berlebihan dapat menyebabkan peningkatan terjadinya beberapa

jenis kanker seperti payudara, rahim, indung telur dan prostat (kelenjar

kelamin pria).

g. Infeksi

h. Gaya hidup

i. Karsinogenik (bahan kimia, virus, radiasi) Zat yang terdapat pada asap

rokok dapat menyebabkan kanker paru pada perokok dan perokok pasif

(orang bukan perokok yang tidak sengaja menghirup asap rokok orang

lain) dalam jangka waktu yang lama.Bahan kimia untuk industri serta

asap yang mengandung senyawa karbon dapat meningkatkan

kemungkinan seorang pekerja industri menderita kanker. Beberapa

virus berhubungan erat dengan perubahan sel normal menjadi sel

kanker. Jenis virus ini disebut virus penyebab kanker atau virus

onkogenik. Sinar ultra-violet yang berasal dari matahari dapat

31
menimbulkan kanker kulit. Sinar radio aktif sinar X yang berlebihan

atau sinar radiasi dapat menimbulkan kanker kulit dan leukemia.

3. Patofisiologi

Kelainan congenital, Genetic, Gender / jenis kelamin, Usia,

Rangsangan fisik berulang, Hormon, Infeksi, Gaya hidup, karsinogenik

(bahan kimia, virus, radiasi) dapat menimbulkan tumbuh atau

berkembangnya sel tumor. Sel tumor dapat bersifat benign (jinak) atau

bersifat malignant (ganas). Sel tumor pada tumor jinak bersifat tumbuh

lambat, sehingga tumor jinak pada umumnya tidak cepat membesar. Sel

tumor mendesak jaringan sehat sekitarnya secara serempak sehingga

terbentuk simpai (serabut pembungkus yang memisahkan jaringan tumor

dari jaringan sehat). Oleh karena bersimpai maka pada umumnya tumor

jinak mudah dikeluarkan dengan cara operasi.

Sel tumor pada tumor ganas (kanker) tumbuh cepat, sehingga

tumor ganas pada umumnya cepat menjadi besar. Sel tumor ganas tumbuh

menyusup ke jaringan sehat sekitarnya, sehingga dapat digambarkan

seperti kepiting dengan kaki-kakinya mencengkeram alat tubuh yang

terkena. Disamping itu sel kanker dapat membuat anak sebar (metastasis)

ke bagian alat tubuh lain yang jauh dari tempat asalnya melalui pembuluh

darah dan pembuluh getah bening dan tumbuh kanker baru di tempat lain.

Penyusupan sel kanker ke jaringan sehat pada alat tubuh lainnya dapat

merusak alat tubuh tersebut sehingga fungsi alat tersebut menjadi

terganggu. Kanker adalah sebuah penyakit yang ditandai dengan

pembagian sel yang tidak teratur dan kemampuan sel-sel ini untuk

32
menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan langsung

di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat

yang jauh (metastasis). Pertumbuhan yang tidak teratur ini menyebabkan

kerusakan DNA, menyebabkan mutasi di gen vital yang mengontrol

pembagian sel, dan fungsi lainnya (Tjakra, Ahmad. 1991). Adapun siklus

tumbuh sel kanker adalah membelah diri, membentuk RNA,

berdiferensiasi / proliferasi, membentuk DNA baru, duplikasi kromosom

sel, duplikasi DNA dari sel normal, menjalani fase mitosis, fase istirahat

(pada saat ini sel tidak melakukan pembelahan).

4. Manifestasi Klinis

Gejala sangat ditentukan oleh lokasi kanker, tahap penyakit dan

fungsi segmen usus tempat kanker berlokasi. Gejala paling menonjol

adalah perubahan kebiasaan defekasi. Pasase darah dalam feses adalah

gejala paling umum kedua. Gejala dapat juga mencakup anemia yang tidak

diketahui penyebabnya, anoreksia, penurunan berat badan dan keletihan.

Gejala yang sering dihubungkan dengan lesi sebelah kanan adalah nyeri

dangkal abdomen dan melena (feses hitam seperti ter). Gejala yang sering

dihubungkan dengan lesi sebelah kiri adalah yang berhubungan dengan

obstruksi (nyeri abdomen dan kram, penipisan feses, konstipasi dan

distensi) serta adanya darah merah segar dalam feses. Gejala yang

dihubungkan dengan lesi rektal adalah evakuasi feses yang tidak lengkap

setelah defekasi, konstipasi dan diare bergantian serta feses berdarah. Ada

tujuh gejala yang perlu diperhatikan dan diperiksakan lebih lanjut ke

dokter untuk memastikan ada atau tidaknya kanker, yaitu :

33
a. Waktu buang air besar atau kecil ada perubahan kebiasaan atau

gangguan.

b. Alat pencernaan terganggu dan susah menelan.

c. Suara serak atau batuk yang tak sembuh-sembuh.

d. Payudara atau di tempat lain ada benjolan (tumor).

e. Andeng-andeng (tahi lalat) yang berubah sifatnya, mejadi makin besar

dan gatal.

f. Darah atau lendir yang abnormal keluar dari tubuh.

g. Adanya koreng atau borok yang tak mau sembuh-sembuh.

5. Komplikasi

Pertumbuhan tumor dapat menyebabkan obstruksi usus parsial atau

lengkap. Pertumbuhan dan ulserasi dapat juga menyerang pembuluh darah

sekitar kolon yang menyebabkan hemoragi. Perforasi dapat terjadi dan

mengakibatkan pembentukan abses. Peritonitis dan atau sepsis dapat

menimbulkan syok.

6. Pemeriksaan Diagnostik

Bersamaan dengan pemeriksaan abdomen dan rektal, prosedur

diagnostik paling penting untuk kanker kolon adalah pengujian darah

samar, enema barium, proktosigmoidoskopi, dan kolonoskopi. Sebanyak

60% dari kasus kanker kolorektal dapat diidentifikasi dengan

sigmoidoskopi dengan biopsi atau apusan sitologi. Pemeriksaan antigen

karsinoembrionik (CEA) dapat juga dilakukan, meskipun antigen

karsinoembrionik mungkin bukan indikator yang dapat dipercaya dalam

mendiagnosa kanker kolon karena tidak semua lesi menyekresi CEA.

34
Pemeriksaan menunjukkan bahwa kadar CEA dapat dipercaya dalam

diagnosis prediksi. Pada eksisi tumor komplet, kadar CEA yang meningkat

harus kembali ke normal dalam 48 jam. Peningkatan CEA pada tanggal

selanjutnya menunjukkan kekambuhan.

7. Penatalaksanaan

a) Penatalaksanaan Medis Pasien dengan gejala obstruksi usus diobati

dengan cairan IV dan pengisapan nasogastrik. Apabila terdapat

perdarahan yang cukup bermakna, terpai komponen darah dapat

diberikan.Pengobatan tergantung pada tahap penyakit dan komplikasi

yang berhubungan. Endoskopi, ultrasonografi dan laparoskopi telah

terbukti berhasil dalam pentahapan kanker kolorektal pada periode

praoperatif. Metode pentahapan yang dapat digunakan secara luas

adalah klasifikasi Duke:

a. Kelas A – tumor dibatasi pada mukosa dan sub mukosa

b. Kelas B – penetrasi melalui dinding usus

c. Kelas C – Invasi ke dalam sistem limfe yang mengalir regional

d. Kelas D – metastasis regional tahap lanjut dan penyebaran yang

luas

Pengobatan medis untuk kanker kolorektal paling sering dalam

bentuk pendukung atau terapi ajufan. Terapi ajufan biasanya diberikan

selain pengobatan bedah. Pilihan mencakup kemoterapi, terapi radiasi

atau imunoterapi.Terapi ajufan standar yang diberikan untuk pasien

dengan kanker kolon kelas C adalah program 5-FU/ Levamesole.

Pasien dengan kanker rektal Kelas B dan C diberikan 5-FU dan metil

35
CCNU dan dosis tinggi radiasi pelvis.Terapi radiasi sekarang

digunakan pada periode praoperatif, intraoperatif dan pascaoperatif

untuk memperkecil tumor, mencapai hasil yang lebih baik dari

pembedahan, dan untuk mengurangi resiko kekambuhan. Untuk tumor

yang tidak dioperasi atau tidak dapat disekresi, radiasi digunakan

untuk menghilangkan gejala secara bermakna. Alat radiasi intrakavitas

yang dapat diimplantasikan dapat digunakan.Data paling baru

menunjukkan adanya pelambatan periode kekambuhan tumor dan

peningkatan waktu bertahan hidup untuk pasien yang mendapat

beberapa bentuk terapi ajufan.

b. Penatalaksanaan Bedah Pembedahan adalah tindakan primer untuk

kebnayakan kanker kolon dan rektal. Pembedahan dapat bersifat

kuratif atau paliatif. Kanker yang terbatas pada satu sisi dapat

diangkat dengan kolonoskop. Kolostomi laparoskopik dengan

polipektomi, suatu prosedur yang baru dikembangkan untuk

meminimalkan luasnya pembedahan pada beberapa kasus. Laparoskop

digunakan sebagai pedoman dalam menbuat keputusan di kolon;

massa tumor kemudian di eksisi. Laser Nd: YAG telah terbukti efektif

pada beberapa lesi. Reseksi usus diindikasikan ntuk kebanyakan lesi

kelas A dan semua kelas B serta lesi

c. Pembedahan kadang dianjurkan untuk mengatasi kanker koon kelas

D. Tujuan pembedahan dalam situasi ini adalah paliatif. Apabila

tumor telah menyebar dan mencakup struktur vital sekitar, operasi

tidak dapat dilakukan. Tipe pembedahan tergantung pada lokasi dan

36
ukuran tumor. Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut

(Doughty & Jackson, 1993) :

a) Reseksi segmental dengan anostomosis (pengangkatan tumor dan

porsi usus pada sisis pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus

limfatik)

b) Reseksi abdominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen

(pengangkatan tumor dan porsi sigmoid dan semua rektum serta

sfingter anal)

c) Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan

anostomosis serta reanastomosis lanjut dari kolostomi

(memungkinkan dekompresi usus awal dan persiapan usus

sebelum reseksi)

d) Kolostomi permanen atau ileostomi (untuk menyembuhkan lesi

obstruksi yang tidak dapat direseksi)

37
e) BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN

GANGGUAN SISTEM PENCERNAAN

Pada bab 3 ini, berisi tentang gambaran asuhan keperawatan pada kasus

kelolaan utama dengan menganalisis asuhan keperawatan pada pasien dengan

gangguan sistem pencernaan (Post op Ileustomy ea. Ileus obstruktif). Adapun

teori keperawatan yang digunakan pada kasus ini adalah penerapan model

adaptasi Roy.

A. Gambaran Kasus Kelolaan Utama

Pasien bernama Tn. N, umur W tahun, pendidikan SLTA, pasien belum

menikah, Tn. N beragama islam dan berasal dari Jeneponto. Tanggal masuk

Rumah Sakit 16 oktober 2017, dirawat di ruang perawatan digestif lontara 2 atas

RS. Wahidin Sudirohusodo dengan diagnosa medis Post Op Ileustomy e.c Ileus

obstruktif. Pasien mengeluh nyeri pada perut sejak beberapa minggu terakhir ,

nyeri dirasakan terus menerus pada seluruh perut dan merasa melilit. Keluhan

disertai perut membesar yang dialami sejak 2 minggu yang lalu. Muntah juga

dialami sejak 3 hari yang lalu sebanyak 3 kali, dan muntah apabila setelah makan.

Pasien juga mengeluh susah BAB walau sudah makan makanan berserat. Keluhan

ini dialami sudah sejak 6 bulan terakhir, buang air besarnya sedikit-sedikit, keras,

dan berwarna hitam seperti kotoran kambing. Nafsu makan berkurang, lemas,

berat badannya menurun sejak 6 bulan yang lalu sekitar 8 kg. Riwayat dirawat

pada awal januari 2017 di RS. Wahidin Sudirohusodo dengan sakit gastroenteritis

38
akut seminggu berikutnya di rawat lagi dengan keluhan perut membesar. Riwayat

pengobatan OAT sudah sejak 3 bulan yang lalu.

Saat dilakukan pengkajian, kesadaran pasien composmentis, dengan GCS

15 klien tampak sakit sedang, tanda-tanda vital; TD 110/ 70 mmHg, nadi 86

x/menit, pernafasan 28 x/menit, suhu 36.0 ̊C. Tidak ada riwayat alergi dari

pengakuan pasien. Mukosa bibir kering, terjadi penurunan berat badan sejak sakit

sekitar 8 kg, klien nampak kelelahan.

a. Identitas pasien

1) Nama : Tn W

2) Umur : 32 tahun

3) Agama : Islam

4) Pendidikan terakhir : SMA

5) Pekerjaan : Wiraswasta

6) Bahasa yang digunakan : Indonesia

7) Status perkawinan : Belum menikah

8) Tanggal masuk : 16 Oktober 2017

9) Tanggal dan jam pengambilan data : 01 November 2017

b. Riwayat kesehatan

1) Keluhan utama

Pasien mengeluh nyeri pada perut sejak beberapa minggu terakhir ,

nyeri dirasakan terus menerus pada seluruh perut dan merasa melilit

Riwayat kesehatan yang lalu.

2) Riwayat Riwayat dirawat pada awal januari 2017 di RS. Wahidin

Sudirohusodo dengan sakit gastroenteritis akut seminggu berikutnya di

39
rawat lagi dengan keluhan perut membesar. Riwayat pengobatan OAT

sudah sejak 3 bulan yang lalu.

B. Penerapan Teori Keperawatan

1. Pengkajian Model Adaptasi Roy

a. Pengkajian tahap 1/ pengkajian perilaku

1) Fisiologis

a) Oksigenasi

Kesadaran composmentis, Tekanan Darah :110/70 mmHg

Frekuensi Nadi : 86 x/menit, Frekuensi Napas: 28 x/menit

Suhu Badan : 36 kesan regular dan kuat. Lapang thorax

tampak simetris ki/ka dengan komplians paru simetris ki/ka.

b) Nutrisi

Saat pengkajian BB pasien 43 Kg, dengan TB = 150 cm dan

jika di lihat berdasarkan IMT pasien masuk dalam kategori

berat badan kurang dengan hasil IMT = 14,6 Kg/m2. Saat

pengkajian pasien dalam rentang diet biasa, dengan porsi

makan tidak habis, sehingga menunjukkan nafsu makan kurang

baik. Mual (+) dan muntah (+).

c) Eliminasi

Pasien BAK dengan normal, dengan konsistensi jernih

berwarna kuning. BAB dengan stoma bag post op ileustomy.

bekuan darah darah (-), serpihan batu (-), saat di palpasi tidak

ada nyeri tekan pada area suprapubik/atas simphisis pubis

40
dengan distensi kandung kemih (-). Distensi abdomen (-)

peristaltik usus 6x/mnt.

d) Aktivitas dan istirahat

Riwayat aktivitas : saat ini pasien terbaring di tempat tidur

dengan terpasang IVFD Nacl 0,9 % maitenence 28 tts/mnt

serta terpasang stoma bag dengan tingkat ketergantungan

parsial yaitu pasien dibantu sebagian oleh orang tua dan

kakaknya dalam memenuhi kebutuhan activity daily

living/ADL setiap hari. Pola tidur : selama di rumah pola tidur

pasien tidak teratur dan tidak ada gangguan tidur. Saat

pengkajian di ruang rawat pasien tidur siang dan malam,

dengan kualitas tidur 5 – 7 jam/hari

e) Integritas kulit

Terdapat luka pada abdomen post op laparatomy, luka nampak

kemerahan, Pus (+), Pendarahan jika di bersihkan, Perubahan

suhu tubuh dalam batas normal, pasien tidak memiki riwayat

menggigil.

f) Penginderaan/sensoris

Keluhan rasa nyeri/ pada luka, gatal (+), terasa panas di sekitar

area tersebut. Nyeri dirasakan secara tertusuk-tusuk, dan nyeri

dirasakan pada skala sedang yaitu skor 4-5.

g) Cairan dan elektrolit

Saat pengkajian Intake cairan pasien per hari 2000 – 2500 ml,

intae oral diet biasa sekitar 1000 ml, jumlah urine tidak dikaji ,

41
warna urine jernih kekuningan. Turgor kulit kering, pola nafas

teratur. Pemeriksaan penunjang diperoleh (30/10/17) : Na 134

mEq/L, K 3,0 mEq/L, Cl 103 mEq/L, Ureum 13 mg/dl,

creatinin 0,35 mg/dl. Pada saat pengkajian edema tungkai tidak

ada.

h) Fungsi neurologis

Saat pengkajian pasien dalam kondisi komposmentis, proses

pikir baik, orientasi isi dan daya ingat baik. Refleks patologi

tidak ditemukan. Kekuatan otot ekstremitas atas mapun bawah

baik, delirium (-), agitasi (-). Kesan tidak ada kelainan

neorulogis baik fisik maupun pada pemeriksaan penunjang.

i) Fungsi endokrin

Ginjal pasien baik. Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang

(30/01/17) diperoleh SGOT 7 u/l, SGPT 6 u/l. Pemeriksaan

GDS diperoleh 113.

2) Konsep Diri

a) Pandangan tentang fisik

Saat pengkajian ditemukan pasien merasakan

ketidaknyamanan nyeri pada area luka dan rasa

ketidaknyamanan. Pasien mengatakan akan kembali dioperasi

penutupan ileustomy. Konsep kehilangan terasa pada pasien

karena pasien saat sakit tidak dapat melanjutkan kuliahnya,

pasien mengatakan ingin sekali kuliah.

b) Pandangan tentang kemampuan personal

42
Saat pengkajian pasien terpasang stoma bag dan nampak luka

di dada hal ini membuat pasien malu untuk bersosialisasi

dengan pasien dan keluarga pasien yang lain.

3) Fungsi Peran

a) Primer

Pasien sebagai anak merasa tidak berdaya, karena sakit yang

dialaminya saat ini mengharuskan ia untuk dirawat di RS.

Sehingga ia merasa tidak dapat melanjutkan kuliahnya.

b) Sekunder

Saat ini pasien tidak dapat bertemu dengan teman – teman

karena merasa malu dengan penyakitnya.

c) Tersier

Hubungan pasien dengan keluarga, tidak ada masalah sehingga

pasien tampak cukup memperhatikan kondisi sakit yang

dialaminya saat ini. Selain itu saat ini pasien cukup mendapat

dukungan baik dari ibu dan kakaknya.

4) Interdependensi

a) Reseptive behavior (kemampuan untuk menerima)

Berdasarkan pangkajian diperoleh ; pasien cukup menerima

kondisi yang dialaminya, dan siap untuk menjalani

pengobatan serta perawatan yang diberikan.

b) Contribute behavior

Pasien sangat koperatif dengan petugas baik itu dokter

maupun perawat yang bertugas.

43
Kesimpulan :

Proses Keperawatan (pengkajian Tahap I)

Indikator Perilaku

Pengkajian Positif Negatif

1. Fisiologis Pasien bernafas dengan -


Oksigenasi spontan, tidak ada gangguan
ventilasi

Kardiovaskuler Tidak ada sionosis, irama Pasien nampak pucat, TD : 110/70


jantung teratur mmHg, HB : 8.9 g/dLPasien mengalami
intoleren aktivitas

Nutrisi - Saat pengkajian BB pasien 43 Kg,


dengan TB = 150 cm dan jika di lihat
berdasarkan IMT pasien masuk dalam
kategori berat badan kurang dengan
hasil IMT = 14,6 Kg/m2. Saat
pengkajian pasien dalam rentang diet
biasa, dengan porsi makan tidak habis,
sehingga menunjukkan nafsu makan
kurang baik. Mual (+) dan muntah (+).

Sensori - Keluhan rasa nyeri/ pada luka, gatal


(+), terasa panas di sekitar area
tersebut. Nyeri dirasakan secara
tertusuk-tusuk, dan nyeri dirasakan
pada skala sedang yaitu skor 4-5.

44
Elimcinasi Pasien BAK dengan normal, BAB dengan stoma bag post op
dengan konsistensi jernih ileustomy.
berwarna kuning, bekuan
darah darah (-), serpihan batu
(-),saat di palpasi tidak ada
nyeri tekan pada area
suprapubik/atas simphisis
pubis dengan distensi kandung
kemih (-). Distensi abdomen
(-) peristaltik usus 6x/mnt.

Aktivitas dan Pasien nampak istirahat Saat ini pasien terbaring di tempat tidur
istirahat dengan posisi telentang di dengan terpasang IVFD Nacl 0,9 %
tempat tidur, kadang-kadang maitenence 28 tts/mnt serta terpasang
pasien duduk dikursi, stoma bag dengan tingkat
mobilisasi duduk ketergantungan parsial yaitu pasien
dibantu sebagian oleh orang tua dan
kakaknya dalam memenuhi kebutuhan
activity daily living/ADL setiap hari.
Pola tidur : selama di rumah pola tidur
pasien tidak teratur dan tidak ada
gangguan tidur. Saat pengkajian di
ruang rawat pasien tidur siang dan
malam, dengan kualitas tidur 5 – 7
jam/hari

Integritas kulit Perubahan suhu tubuh dalam luka nampak kemerahan, Pus (+),
batas normal, pasien tidak Pendarahan jika di bersihkan,
memiki riwayat menggigil

Cairan dan Kebutuhan cairan IVFD NaCL -


elektrolit 0,9% 28 TPM, intake oral
1000 cc/hari dengan diet
lunak.

45
Neurologis Saat pengkajian pasien dalam -
kondisi komposmentis, proses
pikir baik, orientasi isi dan
daya ingat baik. Refleks
patologi tidak ditemukan.
Kekuatan otot ekstremitas atas
mapun bawah baik, delirium
(-), agitasi (-). Kesan tidak ada
kelainan neorulogis baik fisik
maupun pada pemeriksaan
penunjang

Konsep diri - Klien nampak rendah diri, klien merasa


malu dengan penyakitnya dan sulit
untuk bersosialisasi dengan orang lain

Fungsi peran - Seorang pemuda yang giat bekerja

Interdependensi - Klien nampak cemas dengan


penyakitnya, pasien takut penyakitnya
menular ke keluarganya, pasien juga
sedih karna tidak dapat melanjutkan
kuliah karena sakit.

Proses Keperawatan (pengkajian Tahap 2)

Stimulus
Perilaku
Fokal Konstektual Residual

1. Fisiologis
- Nutrisi
Pasien tidak nafsu makan Pasien mual saat Mual, mukosa mulut
makan akibat dari kering, penurunan
flora normal di mulut BB sejak sakit 8 kg.

46
Sensori Pasien mengeluh gatal dan Nyeri skala 4-6 Nyeri, pasien
sakit pada daerah luka di meringis
bekas operasi.

Cairan dan Klien merasa haus Terapi cairan NaCL Bibir kering, turgor
elektrolit 0.9 % 3 Kolf kulit menurun,
mukusa kering.

Interdependensi Klien mengatakan cemas Skala 5 Cemas


dengan kondisinya
murung
Klien mengatakan tidak
mengetahui tentang
penyakitnya

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium :

PEMERIKSAAN TANGGAL NILAI SATUAN

30/10/2017 3/11/2007 6/11/2007 RUJUKAN

Hematologi

Hemoglobin 8.9 12.7 12.6 12.0-16.0 g/dL

Hematocrit 25.2 40.8 40.4 37.0-48.0 %

Eritrosit 3.35 5.27 5.26 4.00-6.00 10³/uL

Leukosit 16.78 19.90 23.54 4.00-10.0 10³/uL

Trombosit 693 675 687 150-400 10³/uL

47
MCV 75.2 77.4 76.8 80.0-97.0 fL

MCH 22.1 24.1 24.0 26.5-33.5 Pg

MCHC 29.4 31.1 31.2 31.5-35.0 g/dL

Koogulasi

PT 10.6 10-14 detik

INR 0.97 -

APTT 26.2 22.0-30.0 Detik

Kimia darah

GDS 113 140 mg/dl

Fungsi Ginjal

Ureum 13 21 10-50 mg/dl

Kreatinin 0.35 0.60 L : <1.3 P : <1.1 mg/dl

Fungsi Hati

SGOT 7 24 < 38 U/L

SGPT 6 15 < 41 U/L

Albumin 2.8 3.5-5.1 Gr/dl

Imunoserologi

HbsAg Non Reactive Non Reactive

Anti HCV Non Reactive Non Reactive

Kimia Darah

Elektrolit

Natrium 134 138 136-145 mmol/l

Kalium 3.0 3.2 3.5-5.1 mmol/l

Klorida 103 106 97-111 mmol/l

48
Hasil pemeriksaan Ro Abdomen 3 Posisi (tanggal 28 Oktober 2017) :

Kesan : Meteorismus, Suspek ileus paralitik

C. Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan data hasil pengkajian, diagnosa keperawatan yang muncul

pada Tn. W adalah sebagai berikut :

1. Model Adaptasi Fisiologi

a. Nyeri kronik berhubungan dengan respon inflamasi luka.

b. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan b/d

ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien

c. kekurangan volume cairan b/d kegagalan mekanisme regulasi

2. Model adaptasi fungsi peran

a. Kecemasan berhubungan dengan Perubahan status kesehatan

49
RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN DAN EVALUASI

PENGKAJIAN RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN

Diagnosa Tujuan EVALUASI


Perilaku Stimulus Intervensi (NIC)
Keperawatan & Kriteria Hasil (NOC)

Tidak Fokal : Pasien Nyeri Kronik Setelah dilakukan tindakan 1. Lakukan pengkajian nyeri secara S : ”masih sakit sedi
efektifnya mengeluh gatal keperawatan selama 1x24 komprehensif meliputi lokasi, karakteristik, suster!”
proteksi dan dan sakit pada jam, dapat terjadi : durasi, frekuensi, kualitas, intensitas, dan O : pasien mengatakan ny
sensasi dalam daerah luka di faktor presipitasi yang dirasakan pada luka
Nyeri berkurang ditandai
mode fisiologis leher, dada, 2. Observasi gejala ketidaknyamanan non nyeri dirasakan panas, kada
dengan perubahan tingkatan
tangan dan kaki. verbal seperti ditusuk, nyeri tekan (+
nyeri dari skor 1 ke skor 4;
3. Gunakan komunikasi terapeutik untuk skala nyeri sedang/skor 4 -
Kontekstual : Ekspresi wajah rileks
memahami pengalaman nyeri, penerimaan penatalaksanaan pemberi
skala 4
Tanda vital dalam batas dan respon nyeri klien antianalgetik supp.
Residual : nyeri, normal seperti (TD = 100/80 4. Tentukan dampak dari nyeri terhadap A : nyeri sedang skala 4 – 5
pasien meringis – 120/80 mmHg, ND = 80 – kualitas hidup spt tidur, aktivitas, mood,
P : lanjutkan intervensi
100 x/mnt, RR = 16 – pekerjaan, tanggung jawab
sebelumnya.
24x/mnt, ST = 36,8ºC - 5. Jelaskan bersama pasien faktor yang dapat
37ºC) menurunkan/ memperburuk nyeri

Pasien koperatif selama 6. Kontrol faktor lingkungan yang

56
pengobatan dan perawatan mempengaruhi nyeri
7. Ajarkan teknik penatalaksanaan nyeri non
farmakologis seperti relaksasi, masase,
1) imajinasi terbimbing dll)
8. Ajarkan prinsip managemen nyeri
9. Kolaborasi dengan pemberian analgetik
secara farmakologi

Tidak Fokal : Pasien Ketidakseimban Setelah dilakukan askep 1. Mulut yang bersih dapat meningkatkan S : ”masih makan sedik
efektifnya tidak nafsu gan nutrisi selama 3 X 24 jam pasien nafsu makan. Untuk membantu memenuhi sedikit serta mual dan ada ing
nutrisi makan kurang dari akan menunjukkan kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan pasien. muntah suster!”
kebutuhan pemenuhan kebutuhan pasien 2. Informasi yang diberikan dapat memotivasi O : pasien mengatakan po
berhubungan tercukupi dengan Kriteria pasien untuk meningkatkan intake nutrisi. makannya tidak di habiska
Kontekstual :
dengan faktor hasil: 3. Penting untuk mengetahui karakteristik mual pasien mengatakan ada ra
Pasien mual saat
biologis ditandai dan faktor-faktor yang menyebabkan mual. mual dan keinginan muntah.
makan akibat a. Intake nutrisi tercukupi.
dengan : Apabila karakteristik mual dan faktor A : masalah nutrisi belu
dari flora b. Penurunan intensitas
penyebab mual diketahui maka dapat teratasi
normal di mulut terjadinya mual
menetukan intervensi yang diberikan. P : lanjutkan interven
c. Penurunan frekuensi
4. Makan sedikit demi sedikit dapat sebelumnya.
Residual : terjadinya mual
meningkatkn intake nutrisi.
Mual, mukosa

57
mulut kering, 5. Makanan dalam kondisi hangat dapat
penurunan BB menurunkan rasa mual sehingga intake
a.
sejak sakit 10 kg nutrisi dapat ditingkatkan.
6. Antiemetik dapat digunakan sebagai terapi
farmakologis dalam manajemen mual
dengan menghamabat sekres asam lambung.
7. Membantu memilih alternatif pemenuhan
nutrisi yang adekuat.
8. Dengan menimbang berat badan dapat
memantau peningkatan dan penrunan status
gizi.
Tidak Fokal : klien Kekurangan Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor nilai serum elektrolit yang abnormal S : ”terpasang selang sa
efektifnya merasa haus volume cairan keperawatan selama 3x24 2. Monitor manifestasi ketidakseimbangan pak!”
pengelolaan b/d kegagalan jam, dapat terjadi : elektrolit O : tampak bibir kering, turg
Konseptual :
cairan Volume cairan membaik 3. Pertahankan kepatenan akses IV kulit menurun, mukusa kering
terapi IVFD mekanisme
Turgor kulit baik 4. Berikan cairan sesuai indikasi A : masalah kekurang
dengan NaCL regulasi
a. 5. Pertahankan pencatatan asupan dan haluaran volume cairan belum teratasi
0.9% 3 kolf/hari
yang akurat P : lanjutkan interven
Residual : Bibir 6. Berikan suplemen elektrolit sebelumnya.
kering, turgor 7. Monitor kehilangan cairan yang kaya
kulit menurun,

58
mukusa kering. elektrolit
8. Monitor respon klien dengan terapi elektrolit
9. Minimalkan masukan makanan/minuman
dengan diuretik atau pencahar
10. Monitor tanda – tanda vital
Tidak Fokal : cemas Ansietas b/d Cemas berkurang di 1. Gunakan dengan tenang, pendekatan S : ”saya ingin melanjutk
efektifnya sedang akan pengalaman tunjukkan dengan : meyakinkan kuliah suster!”
proteksi dan ketidak pasien terhadap 2. Jelaskan status harapan klien terhadap O : pasien tampak tena
Pasien tampak rileks, pasien
sensasi dalam berdayaan ketidakberdayaa perilakunya menjelaskan masal
koperatif selama fase
mode fungsi pasien n pasien 3. Berusaha untuk memahami perspektif pasien penyakinya kepada peraw
pengobatan dan perawatan,
peran dari situasi stres setelah mendapat penjelas
pasien dapat
Kontekstual : 4. Dampingi pasien untuk memberi informasi dari perawat pasein menerim
mendemonstrasikan apa yang
pasien ingin keamanan dan menurunkan ketakutan dan siap untuk menjala
perawat ajarkan
melanjutkan 5. Sediakan informasi faktual terkait diagnosis, pengobatan sampai wak
kuliahnya pengobatan, dan prognosis memungkinkan, pasien tamp
6. Anjurkan keluarga untuk tetap mendampingi tidur pulas di tempat tidurnya
Residual: saat pasien A : ansietas ak
ini pasien di 7. Dengarkan dengan penuh perhatian ketidakberdayaannya tid
rawat dengan 8. Ciptakan lingkungan untuk memfasilitasi terjadi/ pasien tamp
TBC Usus, akan kepercayaan kooperatif
menjalani proses 9. Anjurkan mengekspresikan secara verbal P : lanjutkan interven

59
pengobatan dan perasaan, tanggapan dan ketakutatan. sebelumnya ji
perawatan 10. Identifikasi level kecemasan memungkinkan.
11. Tentukan kemampuan pengambilan
keputusan klien
12. Instruksikan pasien untuk menggunakan
teknik relaksasi
13. Nilai tanda verbal dan nonverbal kecemasan

60
MAR memandang individu sebagai sistem adaptasi holistik yang dapat

berespon terhadap berbagai stimulus baik lingkungan internal maupun lingkungan

eksternal. MAR menghubungkan konsep-konsep dengan memberikan gambaran

terintegrasi tentang keperawatan antara lain: (1) manusia atau sistem adaptif

berinteraksi dengan lingkungan dan bergerak menuju tujuan mencapai adaptasi dan

kesehatan, dan (2) proses keperawatan berdasarkan pada model yang

mempengaruhi pergerakan tersebut.

Penerapan teori keperawatan MAR terintegrasi dalam sistem manusia

sebagai sistem adaptasi yang berinteraksi dengan lingkungan baik internal maupun

eksterna, sistem tersebut bergerak sesuai situasi yang mempengaruhinya.

Pergerakan tersebut dapat dimodifikasi sesuai dengan kepentingan/tujuan dalam

mencapai adaptasi maksimal yang adaptif serta kesehatan, sehingga kualitas hidup

pasien meningkat setelah perawatan dan pengobatan yang diperoleh.

Nursing treatment yang dilakukan berdasarkan hasil pengkajian tahap

pertama maupun tahap keduan pengkajian perilaku dan pengkajian stimulus

terhadap pasien gangguan sistem pencernaan baik berupa tindakan mandiri,

pemberian pendidikan kesehatan, pelaksanaan tindakan kolaborasi serta tindakan

antisipasi sehingga mencapai suatu tujuan perilaku adaptasi.

Pengidentifikasian masalah keperawatan berdasarkan perubahan fisiologis

adaptasi atau kemampuan individu sebelum dan sesudah sakit baik yang bersumber

dari pasien atau internal factor yaitu; berupa mekanisme kompensasi tubuh

terhadap perubahan rentang sehat –sakit seperti, tekanan darah, suhu tubuh, nadi,

pernapasan dan lain – lain. Selain itu bersumber yang berasal dari diluar

63
lingkungan sekitar pasien atau ekternal faktor yaitu faktor nutrisi, cairan, peran

keluarga, mikroorganisme penyebab infeksi dan lain – lain. Selain itu faktor

mekanisme koping menjadi salah – satu faktor pengidentifikasian maslah

keperawatan terkait konsep diri, fungsi peran serta interdependensi.

Nursing treatment mempengaruhi peran perawat sebagai pemberi

pelayanan asuhan keperawatan salah satu diantaranya sebagai resercher/peneliti

dengan mengumpulkan data pengkajian perilaku adaptasi pasien serta pengkajian

stimulus respons baik fokal, kontekstual maupuan residual khususnya pada pasien

dengan gangguan saluran berkemih. Mekanisme koping dalam mencapai perilaku

adaptiif menjadi salah satu penilaian perawat dalam melaihat kemampuan adaptasi

pasien sampai pada tahap evaluasi.

Tindakan yang dilakukan berupa tindakan mandiri perawat berdasarkan

respons pasien saat itu serta berdasarkan diagnosa keperawatan yang telah

ditegakkan, seperti contoh pada diagnosa keperawatan nyeri dan kekurangan

nutrisi dari kebutuhan. Pasien dengan Post op ileustomy ea. Ileus obstruktif yang

terpasang terpasang stmba bag pertama bertujuan untuk membantu pasien untuk

mengeluarkan defekasinya karena danya sumbatan.

Pemberian pendidikan kepada pasien dengan Ileus obstruktif sangat perlu

menjadi perhatian seorang perawat profesional, karena berdasarkan riwayat pasien

dengan batu saluran kemih serta studi literatur menjelaskan pasien dengan Ileus

obstruktif usus akan beresiko mengalami infeksi dan kembuhan pada saluran

nafasnya jika tidak diobati bengan benar. Hal ini dapat terjadi jika diet/pola makan

dan gaya hidup pasien seperti kebiasaan mengkonsumsi makanan pemicu tetap

64
dikonsumsi. Tn. W termasuk dalam kategori kekambuhan. Pemberikan

pendidikan/penyuluhan bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan pasien

terhadap ketidaktahuan pasien mengenai Ileus obstruktif seperti; (1) pengertian

Ileus obstruktif , (2) akibat Ileus obstruktif (3) penyebab Ileus obstruktif dan (4)

bagaimana pengobatan Ileus obstruktif . Pemahaman pasien terhadap penyakitnya

menjadi indikasi evaluasi keberhasilan perawat dalam memberikan pendidikan

terhadap pasien khususnya pasien yang memiliki riwayat batu saluran kemih

sebelumnya. Stimulus fokal, stimulus kontekstual serta stimulus residual akan

mempengaruhi terjadinya suatu adaptasi, sehingga pemberian pendidikan pasien

dengan batu saluran kemih diharapkan mempengaruhi stimulus tersebut dengan

baik dan adaptasi yang ditunjukan pasien diharapkan adaptif.

Pelaksanaan tindakan kolaborasi juga merupakan salah tindakan dalam

mempengaruhi pasien untuk mencapai adaptasi yang adaptif. Tindakan kolaborasi

ini sangat bermanfaat dalam membantu pasien sebagai tambahan sumber energi

sehingga harapan pasien untuk mencapai adaptasi yang adaptif tercapai. Salah

satunya sumber tambahan tersebut adalah penatalaksanaan pemberian cairan

pengganti seperti infus, nutrisi/makanan dan minum. Penatalaksanaan pemberian

obat - obatan seperti pemberian obat analgetik, antibiotik, antiperdarahan dan

antipiretik termasuk dalam tambahan sumber energi yang dapat mempengaruhi

respons pasien terhadap stimulus fokal, kontekstual maupun residual untuk

mencapai perilaku adaptif.

Kegiatan lain dalam pengelolaan pasien berdasarkan model adaptasi Roy

adalah membantu pasien dalam mempertahankan sumber energi yang ada agar

65
dapat mempertahankan stimulus respons adaptif dan merubah stimulus respons

maladaptif menjadi adaptif. Sehingga kualitas hidup pasien setelah sakit dapat

meningkat dibandingkan sebelum pasien sakit. Kegiatan tersebut adalah merawat

kepatenan kateter sebelum dan sesudah operasi, mencegah infeksi/port de entery

mikroorganisme, pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi sehingga dapat

mengantisipasi kondisi yang dapat mengancam kualitas hidup pasien.

66
Gambaran kasus resume

Riwayat
Inisial Penyakit
No L/P Usia Pendidikan Status Pekerjaan Dx. Medis Penyakit Alasan MRS Jaminan
Pasien Penyerta
Keluarga

1. Tn.W L 32th SMA Belum Wiraswasta Post op TBC Nyeri daerah Tuberculosis BPJS

Kawin Ileustomy perut

ec. Ileus

Obstruktif

2. Tn. L p 47th SMP Kawin Wiraswasta Tumor Hipertensi Nyeri pada Hipertensi BPJS

gaster abdomen

67
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Pembahasan

1. Pengkajian

Pengkajian perilaku dan stimulus berdasarkan 2 kasus diatas yaitu :

Oksigenasi pada pasien dengan Post op ileustomy ec. Ileus

obstruktif menunjukan perilaku dan stimulus maladaptif akibat pengaruh

perubahan regulator fungsi ginjal sehingga menyebabkan perubahan

kognator dan berdampak pada stimulus respons maldaptasi ditandai

dengan, kemampuan komplians paru yang meningkat seperti pada pasien

dengan hiperventilasi, frekuensi pernapasan yang meningkat, tampak

kesulitan untuk bernafas akibat kompensasi tubuh kurang akan oksigen

ditandai dengan saturasi oksigen yang menurun. Pada pasien dengan

bedah urologi tidak ditemukannyan adanya perilaku dan stimulus

maladapatasi. Oksigenasi pada pasien dengan Ileus obstruktif

menunjukan perilaku dan stimulus adaptif hal ini di tunjukkan Kesadaran

composmentis, Tekanan Darah :110/60 mmHg, Frekuensi Nadi : 86

x/menit, Frekuensi Napas: 28 x/menit, Suhu Badan : 36 kesan regular

dan kuat. Lapang thorax tampak simetris ki/ka dengan komplians paru

simetris ki/ka.

Nutrisi pada pasien dengan Post op ileustomy ec. Ileus obstruktif

menunjukakan perilaku dan stimulus adaptasi yang adaptif hal ini

ditunjukan dengan pola nutrisi yang tidak adekuat selama pasien dirawat,

Nutrisi pada pasien dengan Ileus obstruktif menunjukakan perilaku dan

68
stimulus maladaptif yang ditunjukan dengan pola nutrisi yang tidak

adekuat selama pasien dirawat, saat pengkajian BB pasien 43 Kg, dengan

TB = 150 cm dan jika di lihat berdasarkan IMT pasien masuk dalam

kategori berat badan kurang dengan hasil IMT = 14,6 Kg/m2. Saat

pengkajian pasien dalam diet biasa, dengan porsi makan tidak habis,

sehingga menunjukkan nafsu makan kurang baik.

Pada pasien dengan masalah saluran pencernaan menjadi fokus

fungsi interritas kulit berdasarkan 2 kasus diatas menunjukan adanya

perubahan perilaku berdasarkan sistem regulator yang terganggu akibat

proses penyakit, hal ini menyebabkan pola maladaptif pada timbulnya

lesi pada daerah dada, leher, tangan dan pergelangan kaki. Subsistem

kognator berespon berdasarkan pengaruh lingkungan akibat dampak

regulator yang diberikan. Integritas kulit pada pasien dengan Ileus

obstruktif menunjukakan perilaku dan stimulus maladaptif yang

ditunjukkan luka terasa gatal (+), Pus (+) dan nyeri tekan pada luka,

nampak nodul eriem, krista dab erosi, Perubahan suhu tubuh dalam batas

normal, pasien tidak memiki riwayat menggigil.

Nyeri pada pasien dengan Ileus obstruktif menunjukakan perilaku

dan stimulus maladaptif yang ditunjukkan Keluhan rasa nyeri/ pada luka,

gatal (+), terasa panas di sekitar area tersebut. Nyeri dirasakan secara

tertusuk-tusuk, dan nyeri dirasakan pada skala sedang yaitu skor 4-5.

Aktivitas dan istirahat berdasarkan 2 kasus diatas, menunjukan

perilaku maladaptif yang berespon pada stimulus maladaptif ditandai

dengan susbsistem regulator dan kognator yang tidak maksimal seperti

69
pada kasus Ileus obstruktif aktivitas yang berlebihan akan menyebabkan

pasien merasa haus, sehingga keinginan untuk minum dapat dilakukan,

sedangkan pada pasien dengan kasus bedah terkait kebiasaan duduk atau

dengan mobilisasi yang kurang mempengaruhi resiko tinggi pasien

mengalami infeksi.

Pada pasien dengan masalah saluran pencernaan menjadi fokus

fungsi eliminasi berdasarkan 2 kasus diatas menunjukan adanya

perubahan perilaku berdasarkan sistem regulator yang terganggu akibat

proses penyakit, hal ini menyebabkan pola maladaptif fungsi eliminasi

berubah baik terhadap frekuensi defekasi, pola defekasi yang terjadi.

Subsistem kognator berespon berdasarkan pengaruh lingkungan akibat

dampak regulator yang diberikan. Adapun stimulus fokal terkait

koordinasi sistem perkemihan dengan sistem saraf dalam proses defekasi

baik sebelum dan sesudah operasi, stimulus kontekstual terkait respons

adaptif maupun respons maladaptif yang menjadi dasar pasien mengapa

pasien mengalami gangguan saluran defekasi. Sedangkan stimulus

residual terkait stimulus lingkungan yang menjadi dasar etiologi pasien

mengalami gangguan saluran defekasi. Pasien dengan Ileus obstruktif

perubahan perilaku dan stimulus terhadap fungsi eliminasi menunjukan

adaptasi yang adaptif, hal ini ditunjukan dengan kompensasi tubuh akibat

kerusakan fungsi pencernaan yang telah terjadi.

fungsi neorologis, fungsi endokrin, penginderaan dan cairan

elektrolit berdasarkan 2 kasus diatas menunjukan stimulus regulator

yang adaptif.

70
a. Pengkajian tahap 1 (satu)

Pengkajian model adaptasi Roy tahap pertama adalah

pengkajian perilaku pasien. Tahap ini mengidentifikasi indikator

sistem adaptasi pasien terhadap managemen koping/managemen

adapatsi dalam menstimulus kondisi pasien saat ini, serta

mempengaruhi status kesehatan pasien saat itu pula.

Subsistem regulator dan subsistem kognator menjadi

cakupan perawat dalam mengkaji pasien Ileus obstruktif

berdasarkan model adaptasi Roy. Subsistem regulator adalah

proses koping dimana individu secara otomatis berespon terhadap

stimulus dari lingkungan melalui sistem persyarafan, sistem

kimiawi/ sirkulasi dan sistem endokrin. Sedangkan subsistem

kognator membawa individu untuk berespon dan beradaptasi

dengan stimulus lingkungan melalui 4 jalur kognitif-emotif, yaitu:

(1) proses persepsi dan informasi (aktifitas: atensi, koding dan

memori selektif), (2) pembelajaran (aktifitas: imitasi,

reinforcement/penguatan, dan wawasan/pengetahuan yang dalam),

(3) pertimbangan/keputusan (aktifitas: pengambilan keputusan dan

penyelesaian masalah), dan (4) emosi (yaitu pertahanan diri secara

psikologis yang digunakan untuk membuat penilaian dan

pelengkap afektif) (Roy & Andrews, 1999).

Pengkajian fungsi pencernaan menjadi fokus utama perawat

dalam melakukan pengkajian perilaku pasien dengan Ileus

obstruktif , tanpa mengindahkan 4 mode area adaptasi Roy.

71
Pengkajian ini dimulai dengan alasan pasien dirawat, riwayat

kesehatan pasien saat ini, riwayat kesehatan masa lalu dan riwayat

kesehatan keluarga. Tn. W masuk rumah sakit dengan alasan nyeri

pada perut colostomy bag dan tampak produksi dengan konsistensi

encer berwarna kuning. Pasien mengatakan satu tahun yang lalu

pernah menjalani operasi ileutomy akibat obstruktif. Pasien

merupakan seorang anak. Pasien merupakan anak pertama dari

lima bersaudara dan keluarga pasien tidak ada yang menderita Ileus

obstruktif .

Subsistem kognator membawa individu untuk berespon dan

beradaptasi dengan stimulus lingkungan melalui 4 jalur kognitif-

emotif, yaitu: (1) proses persepsi dan informasi (aktifitas: atensi,

koding dan memori selektif), (2) pembelajaran (aktifitas: imitasi,

reinforcement/penguatan, dan wawasan/pengetahuan yang dalam),

(3) pertimbangan/keputusan (aktifitas: pengambilan keputusan dan

penyelesaian masalah), dan (4) emosi (yaitu pertahanan diri secara

psikologis yang digunakan untuk membuat penilaian dan

pelengkap afektif).

Subsistem kognator terhadap konsep diri dan

interdependensi pasien dalam berespon dan beradaptasi dengan

stimulus lingkungan menunjukan perilaku adaptif seperti (1) pasien

sangat kooperatif terhadap perawat, (2) pasein bertanya tentang

kondisinya saat ini, (3) pasien dapat mengambil keputusan terkait

perawatan dan pengobatannnya (4) selalu berfikir positif.

72
Subsistem kognator terhadap fungsi peran pasien dalam

berespon dan beradaptasi dengan stimulus lingkungan menunjukan

perilaku maladaptif seperti (1) pasien saat ini sedang terbaring

dirumah sakit, (2) pasien anak tidak dapat melanjutkan kuliahnya

(3) dukungan keluarga saat itu baik (4) merasa takut/cemas tidak

bisa menghadiri acara tersebut.

b. Pengkajian tahap 2 (dua)

Pengkajian tahap ke dua adalah pengkajian stimulus yaitu

menganalisa stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhi

perilaku klien. Stimuli yang mempengaruhi perilaku meliputi

stimulus fokal, kontekstual dan residual. Pengkajian stimuli

tersebut adalah meliputi: budaya (status sosial ekonomi, etnis dan

sistem keyakinan), keluarga (struktur dan tugas-tugas), tahap

perkembangan (usia, jenis kelamin, tugas, keturunan, dan genetik),

integritas mode adaptasi, efektivitas kognator, meliputi persepsi,

pengetahuan, dan ketrampilan, dan kondisi lingkungan (perubahan

lingkungan internal atau eksternal, pengelolaan pengobatan,

penggunaan obat, alkohol, dan merokok) (George, 1995 ; Tomey

dan Alligood, 2006).

Perawat menganalisa stimulus internal dan eksternal yang

mempengaruhi perilaku pasien. Stimuli yang mempengaruhi

perilaku meliputi stimuli fokal, kontekstual dan residual.

Tahap ke dua adalah pengkajian stimulus yaitu menganalisa

stimulus internal dan eksternal yang mempengaruhi perilaku klien.

73
Stimuli yang mempengaruhi perilaku meliputi stimulus fokal,

kontekstual dan residual. Pengkajian stimuli tersebut adalah

meliputi: budaya (status sosial ekonomi, etnis dan sistem keyakinan),

keluarga (struktur dan tugas-tugas), tahap perkembangan (usia, jenis

kelamin, tugas, keturunan, dan genetik), integritas mode adaptasi,

efektivitas kognator, meliputi persepsi, pengetahuan, dan

ketrampilan, dan kondisi lingkungan (perubahan lingkungan internal

atau eksternal, pengelolaan pengobatan, penggunaan obat, alkohol,

dan merokok) (George, 1995 ; Tomey dan Alligood, 2006).

Perawat menganalisa stimulus internal dan eksternal yang

mempengaruhi perilaku pasien. Stimuli yang mempengaruhi perilaku

meliputi stimuli fokal, kontekstual dan residual.

Analisa stimulus internal dan eksternal terhadap konsep diri

dan interdependensi yang mempengaruhi perilaku pasien

berdasarkan stimulus fokal, stimulus kontekstual dan stimulus

residual yaitu ; tidak menunjukkan perilaku maladaptif karena

semua perilaku menunjukan adapatif.

Analisa stimulus internal dan eksternal terhadap fungsi peran

yang mempengaruhi perilaku pasien berdasarkan stimulus fokal

yaitu cemas sedang akan ketidakberdayaannya sebagai anak tidak

dapat melanjutkan kuliahnya. Sedangkan stimulus residual

menjelaskan pasien saat ini terbaring di ruang rawat bedah digestif

dengan Ileus obstruktif dan akan menjalani proses pengobatan dan

perawatan.

74
2. Diagnosa keperawatan

Penentuan diagnosa keperawatan dengan menggunakan model

adaptasi roy sangat sesuai dengan pengkajian yang telah dilakukan

tahap demi tahap. Diagnosa yang ditegakkan mencerminkan masalah

perilaku maladptif yang kompleks berdasarkan respon koping pasien

saat itu. Lingkungan eksterna dan lingkungan internal menjadi acuan

penulis menetukan tujuan yang akan dicapai demi perubahan adaptasi

yang maladaptif ke arah adaptif behavior.

Kelemahan penentuan diagnosa keperawatan menurut penulis

adalah memasukan keterlibatan peran keluarga dan tahap – tahap

perkembangan keluarga dalam mempengaruhi koping pasien saat itu.

Berdasarkan tahapan – tahapan pengkajian penilaian proses koping,

subsistem regulator dan subsistem kognator hanya mencerminkan

respon individu, baik stimulus respon lingkungan.

1) Nyeri kronik b/d proses inflamasi luka.

Nyeri pada perut sejak beberapa minggu terakhir , nyeri

dirasakan terus menerus pada seluruh perut dan merasa melilit.

Keluhan disertai perut membesar yang dialami sejak 2 minggu yang

lalu

2) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan b/d

ketidakmampuan mengabsorpsi nutrien.

Saat pengkajian BB pasien 43 Kg, dengan TB = 150 cm dan jika di

lihat berdasarkan IMT pasien masuk dalam kategori berat badan

75
kurang dengan hasil IMT = 14,6 Kg/m2. Saat pengkajian pasien

dalam rentang diet biasa, dengan porsi makan tidak habis, sehingga

menunjukkan nafsu makan kurang baik. Mual (+) dan muntah (+).

3) kekurangan volume cairan b/d kegagalan mekanisme regulasi

Kemampuan sistem pencernaan dapat mengindikasikan telah

terjadi komplikasi pasca obstruksi usus. Saat pengkajian Intake

cairan pasien per hari 2000 – 2500 ml, intake oral diet biasa sekitar

1000 ml atau kurang dari kebutuhan tubuh dapat mengindikasikan

telah terjadi penurunan kemampuan untuk mengabsorsi makanan.

Membandingkan intake cairan adekuat tetapi intake peroral yang

tidak adekuat yang merupakan lini pertama terjadinya kekurangan

cairan. Observasi status urodinamik, haluaran urin, konsistensi dan

warna urin serta mempertahankan keseimbangan cairan adekuat dan

mengkaji tanda – tanda vital nadi perifer, membrane mukosa lembab

serta turgor kulit.

4) Kecemasan

Berdasarkan pengkajian diperoleh subsistem kognator

terhadap fungsi peran pasien dalam berespon dan beradaptasi dengan

stimulus lingkungan menunjukan perilaku maladaptif seperti (1)

pasien saat ini sedang terbaring dirumah sakit, (2) Pasien sebagai

anak merasa tidak berdaya, karena sakit yang dialaminya saat ini

mengharuskan ia untuk dirawat di RS, (3) dukungan keluarga saat itu

baik (4) merasa takut/cemas tidak bisa melanjutkan tidak bisa

bekerja.. Sedangkan stimulus residual menjelaskan pasien saat ini

76
terbaring di ruang rawat bedah digestif dengan post op ileustomy

dengan nyeri pada perut sejak beberapa minggu terakhir , nyeri

dirasakan terus menerus pada seluruh perut dan merasa melilit.

Keluhan disertai perut membesar yang dialami sejak 2 minggu yang

lalu dan akan menjalani proses pengobatan dan perawatan.

Hal diatas menerangkan bahwa maladaptif fungsi peran telah

terjadi. Penegakan diagnosa diatas menjelaskan terjadi pengaruh

stressor peristiwa kehidupan yaitu krisis psikososial yang

digambarkan dengan perasaan ketidakberdayaan pasien sebagai

seorang anak yang tidak dapat melanjutkan pendidikan. Hal ini dapat

memicu perubahan perilaku kearah maldaptif, sehingga dapat

merespon lingkungan eksterna dan internal maladaptif perilaku. Hal

ini dapat merubah staus kesehatan yang akan menyebabkan

penurunan kualitas hidup pasien.

B. Intervensi dan implementasi

1) Nyeri kronik

Mencatat dan dokumentasikan pengalaman nyeri pasien, serta

nyeri yang tiba – tiba hilang. nyeri pada perut sejak beberapa minggu

terakhir , nyeri dirasakan terus menerus pada seluruh perut dan merasa

melilit. Keluhan disertai perut membesar yang dialami sejak 2 minggu

yang lalu Penatalaksanaan pemberian analgetik menjadi pilihan pertama

untuk mengatasi nyeri pada luka pasien. Evalusi dan dokumentasi

pemberian obat terhadap respons nyeri setelah pemberian ditunjukan

dengan pasien merasa tenang jika sudah diberikan obat tersebut.

77
Menganjurkan pasien untuk meminta obat tersebut sebelum nyeri yang

dirasakan bertambah biasanya dilakukan pasien menjelang istirahat

malam sehingga pola tidur pasien setiap hari tidak terganggu.

Lingkungan yang nyaman dapat merespons maladaptasi stimulus

pasien ke arah adaptasi stimulus sehingga persepsi nyeri yang dirasakan

berangsung – angsur berkurang. Perawat membatasi pengunjung yang

masuk pada ruang rawat pasien selama jam kunjungan.

2) Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan b/d ketidakmampuan

mengabsorpsi nutrien.

Mulut yang bersih dapat meningkatkan nafsu makan. Untuk membantu

memenuhi kebutuhan nutrisi yang dibutuhkan pasien. Informasi yang

diberikan dapat memotivasi pasien untuk meningkatkan intake nutrisi.

Penting untuk mengetahui karakteristik mual dan faktor-faktor yang

menyebabkan mual. Apabila karakteristik mual dan faktor penyebab

mual diketahui maka dapat menetukan intervensi yang diberikan. Makan

sedikit demi sedikit dapat meningkatkn intake nutrisi. Makanan dalam

kondisi hangat dapat menurunkan rasa mual sehingga intake nutrisi dapat

ditingkatkan. Antiemetik dapat digunakan sebagai terapi farmakologis

dalam manajemen mual dengan menghamabat sekres asam lambung.

Membantu memilih alternatif pemenuhan nutrisi yang adekuaDengan

menimbang berat badan dapat memantau peningkatan dan penrunan

status gizi.

3) kekurangan volume cairan b/d kegagalan mekanisme regulasi

78
Monitor nilai serum elektrolit yang abnormal, Monitor manifestasi

ketidakseimbangan elektrolit, Pertahankan kepatenan akses IV, Berikan

cairan sesuai indikasi, Pertahankan pencatatan asupan dan haluaran yang

akurat, Berikan suplemen elektrolit, Monitor kehilangan cairan yang

kaya elektrolit, Monitor respon klien dengan terapi elektrolit

4) Kecemasan

Memberi kesempatan pasien dan keluarga untuk bertanya. Pasien

menjelaskan bahwa penyakitnya ini sudah dialami sejak 3 bulan yang

lalu. Memberi kesempatan pasien dan keluarga untuk mengekspresikan

kecemasan secara verbal. Kondisi pasien saat ini membuat

ketidakberdayaan pasien, sehingga pasien menceritakan masalah yang

sedang dialaminya kepada perawat Respon timbal balik pasien

merupakan parameter tingkat kecemasan pasien saat ini.

Memberikan informasi berulang terkait penyakit pasien serta

melibatkan peran keluarga didalam mendiskusikan masalah perawatan

dan pengobatan yang akan dijalani oleh pasien saat ini. Respons positif

akan menstimulus kognator dalam merubah perilaku maladaptif kearah

adaptif behavior.

Memberikan penguatan positif kepada pasien ketika pasien akan

menjalani pengobatan serta melibatkan peran serta keluarga dalam

mengambil setiap keputusan. Pemberian penguatan positif keluarga dapat

meningkatkan rasa percaya diri pasien untuk menjalani perawatan dan

pengobatan penyakitnya. Tn. W merasa percaya diri ketika ia dan

keluarga mendapatkan penjelasan oleh tim kesehatan bahwa perawatan

79
dan pengobatan akan segera dilakukan. Setelah 4 hari perawatan pasien

tampak tenang dan siap menjalani pengobatan.

C. Analisis Penerapan Teori Pada Kasus

1. Pengkajian

Penerapan model adaptasi Roy terkait pengkajian yang

dilakuakan menurut penulis memiliki keunggulan tersendiri, dimana

manusia dalam mencapai kesehatan optimal sangat dipengaruhi oleh

sistem adaptasi holistik yang dapat berespon terhadap berbagai

stimulus yang ada di lingkungan (internal dan eksternal). Respon ini

di tunjukakan oleh mekanisme koping pasien saat itu. Tahapan –

tahapan pengkajian ini menurut penulis secara seksama mengkaji

mekanisme koping satu demi satu sesuai dengan respon fisiologis,

konsep diri, fungsi peran dan interdependensi melalui stimulus fokal,

kontekstual dan residual berdasarkan stimulus regulator dan stimulus

kognator.

2. Penentuan Diagnosa Keperawatan dan Tujuan

Penentuan diagnosa keperawatan dengan menggunakan model

adaptasi roy sangat sesuai dengan pengkajian yang telah dilakukan

tahap demi tahap. Diagnosa yang ditegakkan mencerminkan masalah

perilaku maladptif yang kompleks berdasarkan respon koping pasien

saat itu. Lingkungan eksterna dan lingkungan internal menjadi acuan

penulis menetukan tujuan yang akan dicapai demi perubahan adaptasi

yang maladaptif ke arah adaptif behavior.

80
Kelemahan penentuan diagnosa keperawatan menurut penulis

adalah memasukan keterlibatan peran keluarga dan tahap – tahap

perkembangan keluarga dalam mempengaruhi koping pasien saat itu.

Berdasarkan tahapan – tahapan pengkajian penilaian proses koping,

subsistem regulator dan subsistem kognator hanya mencerminkan

respon individu, baik stimulus respon lingkungan melalui sistem

persyarafan, sistem kimiawi/ sirkulasi dan sistem endokrin, maupun

stimulus respon lingkungan melalui 4 jalur kognitif-emotif. Hal ini

menurut penulis kurang efektif.

3. Penentuan Intervensi, Implementasi Keperawatan dan Evaluasi

Penentuan intervensi sangat mencerminkan pengkajian yang

telah dilakuakan tahap demi tahap. Diagnosa yang ditegakkan

mencerminkan masalah perilaku maladptif yang kompleks

berdasarkan respon koping pasien saat itu. Selanjutnya pengaruh

lingkungan eksterna dan lingkungan internal menjadi acuan penulis

menetukan tujuan dan intervensi yang akan dicapai dan dilakukan

sesuai perubahan adaptasi yang maladaptif ke arah adaptif behavior.

Kelemahan penentuan intervensi, implementasi dan evaluasi menurut

penulis memasukan keterlibatan peran keluarga dan tahap – tahap

perkembangan keluarga dalam mempengaruhi koping pasien saat itu.

Berdasarkan tahapan – tahapan pengkajian penilaian proses koping,

subsistem regulator dan subsistem kognator hanya mencerminkan

respon individu, baik stimulus respon lingkungan melalui sistem

persyarafan, sistem kimiawi/ sirkulasi dan sistem endokrin, maupun

81
stimulus respon lingkungan melalui 4 jalur kognitif-emotif. Hal ini

menurut penulis kurang efektif.

4. Rekomendasi yang disarankan oleh penulis

Perlunya desiminasi secara khusus serta latihan penggunaan format

model adaptasi Roy apa bila perawat atau institusi pelayanan hendak

menggunakan teori ini sebagai acuan dalam pemberian pelayanan

keperawatan profesional.

82
BAB V
PENUTUP
Bab ini berisi tentang simpulan dan saran hasil analisis pengalaman

yang diperoleh praktikan selama menjalani praktek Aplikasi dan berperan dalam

memberikan asuhan keperawatan dengan menerapkan model konsep Roy

Adaptation pada gangguan sistem perkemihan, menerapkan hasil penelitian serta

melakukan inovasi yang bermanfaat bagi pelayanan.

A. Kesimpulan

Penyakit masalah saluran pencernaan merupakan salah satu

penyakit kronik yang dapat mempengaruhi seluruh sistem tubuh. Perubahan

tersebut dapat bersifat bio-psikososial-spiritual serta tingginya angka

mortalitas dan penurunan kualitas hidup pasien. Teori Adaptasi Roy

merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas asuhan

keperawatan pasien khususnya pasien dengan gangguan system pencernaan.

Kemampuan pasien untuk dapat beradaptasi terhadap perubahan yang

dialaminya merupakan tujuan pada model konsep ini seperti yang terjadi

ada pasien gangguan masalah saluran pencernaan.

B. Saran

Pengembangan kemampuan perawat dalam memahami dan

melaksanakan asuhan keperawatan dengan menggunakan teori adaptasi Roy

perlu ditingkatkan lebih lanjut. Pengembangan tersebut dapat dilakukan

melalui sosialisasi teori adaptasi Roy bagi perawat diruangan,

pengembangan format asuhan keperawatan dengan pendekatan model

konsep Roy dan penerapan teori tersebut dalam praktek keperawatan.

83
DAFTAR PUSTAKA

Alligood, M. . (2014). Pakar Teori Keperawatan dan Karya Mereka.


Singapore: Elsevier Pte Ltd.

Alligood, M. R. (2013). Nursing Theory: Utilization & Application (5th ed.).


Missouri: Library of Congress Cataloging.

Black & Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah, Buku 3, Edisi Bahasa
Indonesia. Singapura: Elsevier Saunder

Black, J.M., & Hawks, J.H. (2009). Medical surgical nursing clinical management for
positive outcomes (8th Ed). St Louis Missouri: Elsevier Saunders

Brunner, L & Suddarth, D. (2005). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah


(H.Kuncara, A. Hartono, M. Ester, Y.Asih, Terjemahan). (Ed.8) Vol 1 Jakarta:
EGC.

Bulechek, G.M., Butcher, H & Dochterman, J M. (2013). Nursing Intervention


Classification (NIC) sixth edition.United States of America. Elsevier.

Fawcett, J. (2006). Contemporery Nursing Knowledge : Analysis and


Evaluation of Nursing Models and Theories. Clinical Kinesiology.
Philadelphia: F.A Davis Company. http://doi.org/0803613636

Ganzalo. (2011). Sister Callista Roy - Theoretical Foundations of Nursing1.


McEwen, M., & Wills, E. M. (2011). Nursing Theories (3rd ed.). china:
Lippincott Williams & Wilkins.

Ignatavicius, D.D., & Workman, M.L. (2006) Medical surgical nursing: Critical
thinking for collaborative care (5th Ed). St Louis Missouri: Elsevier Sauders.

Meleis, A. I. (2012). Theoretical Nursing : Development & Progress (5th ed.).


Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

Moorhead, S., Johnson, M., Mass, M.L., Swanson, E. (2013), Nursing Outcomes
Classification (NOC) fifth edition, United States of America, Elsevier.

NANDA. (2016). Diagnosis keperawatan definisi dan klasifikasi 2015 – 2017. Jakarta:
EGC

84
Nursalam. (2014). Manajemen Keperawatan: Aplikasi Dalam Praktik Keperawatan
Profesional. Jakarta: Salemba Medika.

Parker, M., & Smith, M. (2010). Nursing Theories and Nursing Practice.
Philadelphia: F.A Davis Company.Wikipedia. (2016). Adaptation model
of nursing.http://www.nursing-theory.org/theories-and-models/roy-
adaptation-model.php diakses tanggal 18 oktober 2016

Roy, C. & Andrew, H. (1999). The roy adaptation model. New Jersey: Prentice Hall.

Roy., C. (1991). The Roy adaptation model: The definitive statements. Appleton &

Lange.

Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2008). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddart Edisi 8 Vol. 2. EGC; Jakarta.

Smeltzer, S. C., and Bare, B.G .(2010). Brunner and Suddarth’s Textbook of Medical
Surgical Nursing 12th edition. Lippincott company; Philadelpia USA

Sudoyo, A.W, Setiyohadi, B, Alwi, I.(2010). Ilmu penyakit dalam jilid III. edisi
kelima. Jakarta: Interna Publishing.

Sudoyo, A. W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., & Setiati, S. (Ed.). (2010).
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. (Edisi 5). Jilid II. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.

85
86

Anda mungkin juga menyukai