Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

TEORI EKONOMI MIKRO


“Koperasi dalam Teori Ekonomi Mikro Kasus Koperasi
produsen”

Dosen Pengampu :

Supardi,Dr.,SE.,MM.

Kelompok 11 :

1. Ramona Dwi Kinasih ( 222010200129)


2. Inggar Rizki Bintang Wijoyo (222010200156)
3. Mochammad Bayu Yuniarta ( 222010200182)

KELA A3
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
FAKULTAS BISNIS HUKUM DAN ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
TAHUN AKADEMIK 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-
Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Koperasi dalam Teori Ekonomi
Mikro Kasus Koperasi produsen” ini. Makalah ini merupakan laporan yang dibuat sebagai
bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada
junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh
kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh
kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis.
Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada
kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Akhir kata, semoga makalah ini dapat
bermanfat bagi kita semua, khususnya bagi penulis sendiri.

Sidoarjo, 08 Oktober 2022

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................
DAFTAR ISI..........................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan.............................................................................................
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Koperasi sebagai suatu bentuk kerjasama pasar..........................................
2.2 Keuntungan dan kerugian dari kerjasama (koperasi)..................................
2.3 Koperasi dan bentuk pasar..............................................................................
2.4 Koperasi dalam persaingan sempurna............................................................
2.5 Koperasi dalam monopsoni...............................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................................
3.2 Saran..................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam buku teks dan pengajaran ekonomi mikro, koperasi jarang mendapat jatah waktu
untuk dibicarakan. Buku teks dan pengajaran teori ekonomi se ring “ketinggalan kereta”
dengan apa yang hidup di masyarakat. Dalam ma kalah ini kita mencoba menerapkan alat-
alat analisa ekonomi mikro kepada satu (dari berbagai) bentuk koperasi, yaitu koperasi
produsen. Mengingat bahwa di Indonesia koperasi diharapkan bisa hidup berdampingan
dengan bentuk badan usaha lain, dan bahkan dicita-citakan untuk menjadi sektor utama, maka
problema pokok yang paling pertama perlu dikaji oleh “teori mikro mengenai koperasi”
adalah masalah daya hidup bentuk usaha ini di tengah-tengah badan-badan usaha lain.
Tepatnya, kita perlu menanyakan dalam situasi pasar yang bagaimana koperasi bisa hidup
dan berkembang, dan dalam situasi pasar mana ia tidak bisa. Dikatakan di sini “situasi pasar”
ka rena, seperti disebut tadi, koperasi harus bisa hidup berdampingan dengan bentuk badan
usaha lain (swasta, negara). Dan sampai saat ini mekanisme pa sar memang merupakan satu
“aturan permainan” utama dalam kehidupan ekonomi di negara kita. Jadi pertanyaan
mengenai dalam situasi pasar yang bagaimana koperasi bisa hidup merupakan pertanyaan
yang relevan.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana bentuk koperasi dalam kerjasama pasar?


2. Apa keuntungan dan kerugian kerjasama pasar?
3. Apa saja bentuk-bentuk pasar dan koperasi?
4. Apa saja kasus koperasi dalam persaingan sempurna?
5. Bagaimana kasus monopsony dalam koperasi?

1.3 Tujuan

Tujuan utama dari tulisan ini adalah mengajak rekan-rekan ekonom untuk mulai membahas
koperasi secara lebih analistis di samping secara deskriptif-kualitatif, dan sekaligus berusaha
mengintegrasikannya ke dalam teori ekonomi mikro konvensional yang biasa kita pelajari
atau kita ajarkan.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Koperasi sebagai suatu Bentuk Kerjasama Pasar

Kita bertitik tolak dari suatu perekonomian di mana mekanisme pasar domi nan, dan
menanyakan bagaimana koperasi produsen bisa timbul dari keadaan seperti itu. Koperasi di
sini dilihat sebagai suatu bentuk kerjasama sukarela antara produsen yang bersifat “longgar.
Artinya, masing-masing produsen te tap mempertahankan identitasnya sebagai pengusaha
yang independen, dan menyerahkan beberapa fungsi usaha tertentu kepada koperasi hanya
apabila ia menganggap bahwa tindakan tersebut menguntungkannya. Fungsi-fungsi usaha ini
misalnya fungsi pemasaran hasil, fungsi pembelian sarana-sarana produksi tertentu dan
sebagainya. Termasuk dalam definisi ini, adanya ke bebasan bagi produsen untuk tidak ikut
(atau keluar dari) koperasi, apabila kepentingan usahanya menuntut demikian.

Dalam konteks permasalahan seperti ini, koperasi akan timbul (dan tetap hidup) apabila
memenuhi (paling tidak) tiga syarat dasar, yaitu:

a) Masing-masing (calon) anggota melihat adanya manfaat potensial dari kerjasama


(koperasi). Ini mensyaratkan adanya keuntungan potensial yang lebih besar dengan
menjadi anggota koperasi di bandingkan dengan apabila ia bertindak sendiri.
b) Masing-masing anggota benar-benar menerima keuntungan yang lebih besar daripada
apa yang diperolehnya tanpa menjadi ang gota koperasi. Ini mensyaratkan adanya
sistem pembagian keun tungan yang menjamin bahwa masing-masing anggota benar-
benar (dan tidak hanya secara “potensial”) menerima bagian keuntung an yang lebih
besar daripada sebelum ikut koperasi.
c) Dalam jangka panjang, kelangsungan hidup koperasi bisa dipertahankan apabila :
1. Sistem pembagian keuntungan (atau manfaat) dari dalam koperasi dianggap
cukup “adil”. Ini penting (terutama un tuk jangka panjang) karena meskipun
masing-masing ang gota telah menerima bagian dari keuntungan yang lebih
besar dibanding dengan apa yang ia bisa peroleh seandai nya ia tidak menjadi
anggota koperasi, perbedaan penerima an yang terlalu menyolok antar anggota
atau adanya per aturan-peraturan yang cenderung menguntungkan anggota
anggota tertentu, bisa menjadi sumber iri hati dan perpecahan.
2. Tidak ada godaan keuntungan potensial yang lebih besar lagi bagi masing-
masing anggota apabila ia bertindak secara diam-diam di luar aturan
permainan yang disetujui bersama (misalnya, menjual dengan harga yang
lebih rendah dariPada yang ditetapkan koperasi, atau memproduksikan lebih
Banyak dari apa yang disetujui bersama).
3. Tidak ada faktor-faktor yang menimbulkan perkembangan ekstern (misalnya,
timbulnya perusahaan atau kerjasama baru di luar koperasi) yang bisa
mengikis keuntungan po tensial yang menjadi raison d’etre dari koprasi
tersebut.

Syarat (a) dan (b) seringkali bisa terpenuhi tanpa kesulitan yang ter lalu besar. Tetapi
syarat (c), yang menyangkut kelangsungan hidup koperasi, tidaklah terlalu mudah untuk bisa
terpenuhi. Karena inilah maka kasus tim bulnya koperasi (baru) lebih sering dijumpai
daripada kasus koperasi (lama) yang bisa bertahan tetap hidup dan bahkan berkembang.
Namun keadaan seperti ini sebenarnya adalah sesuatu yang diharapkan terjadi dalam sistem
pasar. Setiap bentuk usaha, apakah itu perusahaan swasta yang mandiri, atau perusahaan
negara atau koperasi, dalam sistem ini akan selalu dibebani tugas untuk
mempertanggungjawabkan ekstensinya secara ekonomis. “Rules of the game” dalam sistem
ini adalah kompetisi. Koperasi (tidak berbeda dengan bentuk-bentuk usaha lain) bisa
mempertahankan hidup dalam sistem ini apa bila ia bisa “bermain” (dengan baik) menurut
“rules of the game” yang ber laku, yaitu mampu bersaing dengan bentuk usaha lain. Apabila
tidak bisa, maka koperasi akan selalu membutuhkan perlindungan berupa peraturan peraturan
khusus yang secara efektif menghindarkan koperasi dari keharusan “bersaing untuk hidup”.
Keadaan seperti ini jelas tidak menguntungkan dari segi kepentingan masyarakat. Dalam
perekonomian yang berdasarkan sistem pasar, koperasi tidak berbeda dengan bentuk usaha
lain; ia bisa timbul atau tenggelam sesuai dengan kemampuannya sendiri untuk hidup. Ini
tentu saja tidak berarti bahwa perlindungan atau fasilitas-fasilitas khusus tidak perlu di
berikan kepada koperasi, terutama pada tahap-tahap awal perkembangannya. Tetapi ini
berarti bahwa perlindungan dan fasilitas-fasilitas khusus tersebut tidak bisa diberikan terus-
menerus. Dalam batas waktu yang wajar, koperasi harus menjadi “dewasa” dan bisa hidup
dan tumbuh atas dasar vitalitasnya sendiri.
2.2 Keuntungan dan Kerugian dari Kerjasama (koperasi)

Sebelum kita menerapkan analisa ekonomi mikro kepada masalah koperasi, perlu kiranya kita
mengingat kembali sumber-sumber utama dari keuntungan dan kerugian yang timbul dari
adanya kerjasama yang disebut koperasi, di antara para produsen.

Keuntungan (manfaat) utama dari koperasi bersumber pada :

(a) Harga jual yang lebih tinggi. Ini adalah keuntungan yang sering dianggap paling
penting dari adanya kerjasama antara produsen. Seperti yang akan dibahas lebih lanjut
nanti, kenaikan harga jual bisa diperoleh karena produsen bertindak sebagai satu front
di pasar. Tindakan bersama ini akan meningkatkan kekuatannya di pasar sehingga
bisa “memainkan” pasar. Tetapi, seperti yang akan kita jumpai nanti, tindakan ini
tidak selalu bisa menghasilkan apa yang diinginkan, terutama dalam jangka panjang.
Keuntungan yang diperoleh bisa langsung diterima oleh masing-masing anggota
berupa harga jual yang lebih tinggi, atau lewat koperasi yang akan membagikannya
dalam bentuk dividend kepada para anggotanya. Dalam makalah ini kita
kesampingkan aspek administratif ini, dan menganggap bahwa harga jual yang lebih
tinggi tersebut lang sung ditransmisikan kepada para anggotanya.
(b) Economies of scale. Bertindak secara bersama bisa menghemat biaya-biaya tertentu
atau meningkatkan efisiensi dari suatu pro ses tertentu. Pemasaran bersama bisa
menghemat biaya pema saran bagi masing-masing anggota, pembelian-pembelian
sarana sarana produksi secara bersama bisa menurunkan harga beli dan biaya-biaya
pembelian lain. Juga dalam hal ini, manfaat ini bisa langsung ditransmisikan kepada
para anggota koperasi berupa penurunan kurva biaya masing-masing atau secara tidak
langsung berupa kenaikan surplus (keuntungan) koperasi yang kemudian dibagikan
kepada para anggota. Secara administratif kedua cara tersebut berbeda, tetapi secara
analitis mempunyai hakekat yang sama. Namun yang perlu dicatat di sini (dan ini
berbeda dengan manfaat dari kenaikan harga jual) adalah bahwa economies of scale
berpengaruh hanya kepada aspek-aspek tertentu dari proses produksi total (yang
diserahkan kepada koperasi untuk dilaksana kan secara bersama), seperti pemasaran
dan pembelian input. Jadi manfaat netto-nya tergantung kepada relatif pentingnya pos
biaya yang bersangkutan di dalam struktur biaya secara keseluruhan; semakin besar
prosentase pos ini semakin besar manfaat dari eco nomies of scale dalam menurunkan
biaya per unit.
(c) External economies. Termasuk di dalam keuntungan ini misalnya kenaikan
produktivitas para anggota koperasi karena penyebaran informasi pasar dan teknologi
yang lebih baik dengan adanya Koperasi dan dengan adanya kontak yang lebih dekat
antar anggota.
(d) Manfaat-manfaat non-ekonomis. Gerakan koperasi memberi bo bot yang penting
kepada manfaat-manfaat non-ekonomis, misal nya manfaat dari pendidikan koperasi,
seperti peningkatan ke trampilan anggota, tumbuhnya semangat kekeluargaan dan
tang gung jawab sosial, dan sebagainya. Ini semua jelas penting, ter utama dalam
jangka panjangnya, tetapi sulit untuk diukur.

Di antara kerugian-kerugian atau biaya bagi produsen independen yang masuk menjadi
anggota koperasi adalah:

(a) Sumbangan kapital kepada koperasi. Ini mungkin bukan sesuatu yang hilang, tapi toh
paling tidak memberikan beban bunga yang hilang atau bunga yang harus dibayar.
(b) Biaya-biaya bagi pendirian dan operasi badan usaha koperasi itu sendiri (peralatan,
gaji pegawai, dan sebagainya). Pada analisa akhir ini semua ditanggung oleh para
anggota koperasi.
(c) Manfaat-manfaat yang hilang dari pemutusan hubungan dengan pembeli lama
(termasuk, misalnya, fasilitas kredit informal, dan sebagainya).
(d) Biaya-biaya lain, seperti kemungkinan peningktan biaya angkut karena jarak ke
kantor koperasi yang lebih jauh, kelambatan kelambatan dalam penyelesaian transaksi
karena kekakuan biro kratis dari koperasi, dan sebagainya).

Pengkajian yang lengkap mengenai proses pertimbangan seorang pro dusen untuk masuk
menjadi anggota koperasi tentulah harus mencakup ke semua faktor tersebut di atas, dan
bahkan lebih dari itu (faktor-faktor sosial politik dan psikologi, dan sebagainya). Dalam
analisa kita berikut ini kita menyoroti satu aspek ekonomis yang sering dianggap penting,
yaitu kemung kinan peningkatan harga jual, beserta konsekuensinya bagi anggota koperasi itu
sendiri. Nanti akan ditunjukkan bahwa bertitik tolak dari aspek ini bisa di tarik beberapa
kesimpulan umum yang relevan bagi penentuan “viability” koperasi dalam berbagai situasi
pasar.

Satu kesimpulan umum dari makalah ini adalah bahwa berkoperasi dengan tujuan utama
untuk memperkuat “posisi pasar” para anggotanya (sehingga bisa memperoleh harga jual
yang lebih tinggi) bukanlah landasan yang kuat bagi kelangsungan hidup koperasi dalam
jangka panjang. Ternyata bahwa eksistensi koperasi dalam jangka panjangnya justru
tergantung kepada sumber-sumber manfaat lain (economies of scale, external economies dan
pendidikan).

2.3 Koperasi dan Bentuk Pasar

Dengan konteks permasalahan seperti di atas kita sekarang menanyakan : apakah syarat-
syarat timbulnya koperasi produsen yang “viable?” Untuk menjawab ini kita perlu
membedakan lingkungan pasar di mana koperasi ter sebut kita harapkan untuk timbul dan
hidup. Akan ditentukan bahwa bentuk pasar ternyata memang sangat menentukan “viability”
dari koperasi. Di sini marilah kita bedakan dua bentuk pasar, dilihat dari segi struktur
permintaannya, yaitu:

(a) Persaingan sempurna, di mana jumlah pembeli sangat banyak dan tindakan-
tindakannya tidak mempengaruhi harga pasar (yaitu se bagai price takers), dan
(b) Monopsoni, di mana hanya ada satu pembeli sebagai price maker. (Kasus di mana ada
satu pembeli besar dan banyak pembeli kecil-kecil juga akan dikaji nanti).

Seperti yang disebut di atas, kita bertitik tolak pada keadaan di mana pada mulanya ada
banyak penjual, dan kemudian menanyakan bagaimana koprasi bisa timbul dalam kedua
bentuk pasar utama tersebut dan bagai mana syarat-syarat kelangsungan hidupnya.

2.4 Koperasi dalam Persaingan Sempurna

Dalam kasus ini kita mempunyai banyak penjual dan banyak pembeli, ma sing-masing
sebagai price-taker. Seandainya kemudian para penjual berminat untuk bergabung dalam
suatu koperasi.

Dua kasus yang mungkin terjadi adalah :

a) Keanggotaan koperasi mencakup semua penjual. Dalam hal ini yang terbentuk adalah
suatu kartel yang bertindak sebagai suatu perusahaan monopoli.
b) Keanggotaan koperasi tidak mencakup semua penjual, tetapi cu kup banyak sehingga
bisa secara bersama-sama mempengaruhi pasar. Di sini kita mempunyai kasus “price
leadership”.”

Kasus Koperasi Sebagai Kartel. Gambar 1 menunjukkan bagaimana koperasi produsen bisa
meningkatkan harga jual dan keuntungan bersamanya apabila bertindak sebagai perusahaan
monopoli.
Di pasar (gambar B), posisi keseimbangan sebelum dibentuk koperasi adalah H, dengan
harga Po dan output Qo. Setelah koperasi terbentuk, keuntungan bersama bisa ditingkatkan
apabila koperasi mengurangi penjualannya sampai Q1 yaitu posisi MR = MC bersama
(∑MC), dengan tingkat harga jual P1. Sebelum koperasi terbentuk keuntungan bersama
adalah sebesar luas area MKN dikurangi luas area HKR. Setelah koperasi didirikan,
keuntungan ada lah seluas MKN. Jadi terbukti bahwa memang ada keuntungan potensial dari
adanya koperasi produsen tersebut.

Gambar 1.A menunjukkan bahwa kenaikan harga ( Po→ P1 ) ditrans misikan langsung
kepada produsen. Tetapi kenaikan harga ini tidaklah diper oleh dengan gratis. Untuk ini
masing-masing produsen harus bersedia mengu rangi outputnya karena output bersama
(output koperasi) harus dikurang agar harga jual bisa dinaikkan. Seandainya anggota koperasi
(gambar 1A ) diharuskan oleh koperasi untuk mengurangi outputnya dari tingkat yang lama
qo menjadi q1 maka keuntungan total setelah menjadi anggota koperasi adalah P1CBA >
PoCoGD (tingkat keuntungan lama). Ini haruslah demi kian, sebab apabila tidak tentunya
perusahaan tersebut tidak mau ikut ko perasi.

Sampai tahap ini kita melihat bahwa memang ada landasan bagi kerja sama antara
produsen. Namun beberapa masalah segera timbul apabila kita melihat ke jangka yang lebih
panjang, yaitu apabila kita mempersoalkan mengenai kelangsungan hidup kerjasama tersebut
dalam lingkungan pasar seperti di atas. Ada beberapa masalah yang timbul di sini:

(a) Adanya godaan bagi anggota untuk melanggar (melebihi) quota produksi yang
ditetapkan. Dari Gambar 1. A terlihat bahwa q1 bukanlah posisi yang paling baik bagi
si produsen, apa bila harga jual adalah P1,. Posisi yang paling baik (keuntungan
maksimum) adalah pada E (dengan tingkat output q2). Ini akan meningkatkan
keuntungan dengan luas area AFE (daerah yang bergaris miring). Oleh sebab itu
godaan untuk berbuat “curang” ada, meskipun tentunya tidak semua anggota akan
melakukan nya. Tetapi apabila cukup banyak anggota yang melampaui kuotanya,
harga tidak akan bisa dipertahankan setinggi P₁, sebab ini berarti suplai di pasar
menjadi lebih besar daripada Q₁. Para anggota yang “jujur”, melihat rekan-rekannya
yang “curang”, akhirnya pun merasa bahwa tunduk pada kuota hanyalah meng
untungkan orang lain. Di sini terlihat adanya kecenderungan ke arah perpecahan dari
dalam. Dan kecenderungan seperti ini ter dapat dalam semua macam “kartel”.
Dapatkah koperasi melaku kan pengawasan yang ketat terhadap pelaksanaan sistem
kuota sejak awal? Secara teoritis dapat. Tetapi secara praktis sangat su lit melakukan
pengawasan yang ketat terhadap masing-masing anggotanya yang berjumlah begitu
banyak. Kalaupun bisa, biaya pengawasan seperti itu tentulah sangat mahal, dan besar
kemung kinan justru melebihi manfaat yang diperoleh dari sistem itu sendiri.
(b) Adanya kemungkinan produsen-produsen baru untuk masuk dalam bidang usaha ini,
karena tertarik oleh tingkat keuntungan yang tinggi. Ada dua kemungkinan di sini: (1)
mereka ikut menjadi anggota koperasi atau (2) mereka tidak menjadi anggota koperasi
dan berusaha di luar koperasi. Bila kemungkinan per tama yang terjadi, ini berarti
bahwa kuota produksi untuk setiap produsen semakin dikurangi, karena sekarang
jumlah produsen semakin banyak. Dalam hal ini masalah dalam (a) di atas menjadi
semakin parah. Apabila kemungkinan kedua yang terjadi, maka produsen-produsen
baru bisa dengan mudah merebut sebagian besar dari pembeli yang ada dengan
mengenakan harga sedikit di bawah harga jual yang ditetapkan koperasi. Pembeli
akan ber bondong-bondong meninggalkan koperasi. Jadi kemungkinan manapun yang
terjadi kecenderungan ke arah disintegrasi koperasi tetap ada karena masuknya
produsen-produsen baru. Salah satu cara untuk menghindari keadaan ini adalah
melarang masuknya produsen-produsen baru ke dalam bidang usaha tersebut (misal
nya dengan peraturan dari pemerintah). Tetapi ini bukanlah suatu penyelesaian dalam
arti sebenarnya, ataupun penyelesaian yang terbaik dari segi kepentingan umum.

Kesimpulan umum yang bisa ditarik dari pembahasan di atas adalah bahwa dalam pasar
persaingan sempurna koperasi bisa timbul tetapi kelang sungan hidupnya sulit untuk
dipertahankan dalam jangka panjang, kecuali dilandaskan kepada pengaturan yang ketat
terhadap pelaksanaan sistem kuota di dalam koperasi itu sendiri dan pelarangan masuknya
produsen-produsen baru ke dalam bidang usaha ini. Apabila koperasi tetap ingin
ditumbuhkan di dalam lingkungan pasar seperti ini, satu-satunya harapan adalah mendorong
koperasi agar bisa mengembangkan sumber-sumber manfaat kerjasama yang lain, yaitu
economies of scale, external economies dan pendidikan. Ini adalah penyelesaian dalam arti
yang sebenarnya dalam jangka panjangnya. Tetapi ini berarti bahwa koperasi harus bisa lebih
efisien daripada saingan-saingannya di pasar.

Kasus Kepemimpinan Harga (Price Leadership). Bagaimanakah apabila sejak awal tidak
semua (tetapi hanya sebagian) dari pada produsen yang ada mau ikut dalam koperasi? Bisa
diterka bahwa keadaan ini akan semakin memper lemah daya hidup koperasi. Ini bisa kita
tunjukkan dengan analisa berikut ini.

Anggap bahwa sekelompok produsen (dengan jumlah yang cukup be sar) bersetuju untuk
bertindak bersama selaku koperasi dalam penjualan out putnya. Anggap bahwa perilaku
produsen-produsen yang lain (yang tidak ikut koperasi) tidak terpengaruh oleh adanya
koperasi ini, yaitu mereka tetap bertindak sebagai penjual dalam persaingan sempurna (price
takers). Gambar 2 berikut menggambarkan interaksi antara koperasi dengan produsen-produ
sen non-koperasi.

Kurva DD’ adalah kurva permintaan total di pasar. Kurva aSn adalah kurva penawaran
dari produsen-produsen non-koperasi (yang tidak lain adalah Σ MCnya). Dari sini kita bisa
menentukan kurva permintaan khusus bagi koperasi (dd) dengan jalan mengurangkan (secara
horisontal) DD’ dengan aSn. Jadi pada perpotongan kedua kurva tersebut (k), semua
permintaan pasar di suplai oleh produsen-produsen non-koperasi, sehingga permintaan bagi
hasil produksi koperasi adalah nol (titik d). Pada tingkat harga lain, misalnya P₁, suplai dari
produsen non-koperasi adalah P₁s, dan permintaan yang tersedia bagi koperasi adalah st yang
sama dengan P₁r. Demikian seterusnya kita bisa melakukan pengurangan secara horisontal
antara DD’ dan aSn untuk ber bagai tingkat harga lain. Akhirnya kita bisa mendapatkan
kurva dd’ yang bisa diartikan sebagai kurva permintaan yang dihadapi oleh koperasi.

Dengan diketahuinya kurva dd’, kita bisa peroleh kurva mr nya. Seka rang anggap bahwa
penjumlahan dari MC para anggota koperasi adalah kurva Sk atau MCk. Maka posisi yang
paling menguntungkan bagi koperasi adalah apabila kurva mr = MCk, yaitu pada titik b.
Output koperasi adalah Q₁ dan tingkat harga yang ditetapkan koperasi adalah P₁. Harga ini
adalah lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang akan terjadi seandainya tidak ada
koperasi (yaitu Po yang merupakan perpotongan antara dd’ dan MCk). Jumlah keuntungan
bersama di dalam koperasi pun lebih besar dibanding keadaan tanpa koperasi. Tanpa
koperasi, para produsen koperasi memperoleh keun tungan bersama sebesar luas area dab
dikurangi luas area bec. Dengan adanya koprasi keuntungan bersama adalah luas area dab.

Dengan adanya koperasi, tingkat harga yang berlaku adalah P₁. Dan perlu dicatat di sini
bahwa tingkat harga ini berlaku baik bagi koperasi maupun bagi produsen non-koperasi.
Jumlah yang disuplai oleh para anggota ko perasi adalah Q, dan oleh produsen non-koperasi
adalah Q2, sehingga jumlah suplai total di pasar adalah Q3 (= Q1 + Q2). Ini persis sama
dengan jumlah total yang diminta. Oleh sebab itu ini adalah posisi keseimbangan di pasar.

Perhatikan bahwa para produsen non-koperasi “ikut beruntung” de ngan adanya koperasi,
karena merekapun bisa menikmati tingkat harga yang lebih tinggi daripada sebelum ada
koperasi (Po). Perlu dicatat bahwa Po ini adalah perpotongan antara DD’ dengan (Sk + Sn)
dan sekaligus juga perpo tongan antara MCk dn dd’. Keadaan inilah yang merupakan sumber
ketidak stabilan eksistensi koperasi itu. Sebab dalam hal ini lebih menguntungkan untuk tidak
menjadi anggota koperasi dan menjadi produsen bebas. Ada dua alasan untuk ini :

(a) Tidak perlunya membayar sumbangan kapital dan biaya-biaya ko perasi lain, dan
(yang mungkin lebih penting),
(b) Tidak perlu tunduk kepada kuota produksi yang dikenakan oleh koperasi kepada
anggotanya (ingat bahwa tanpa pembatasan pro duksi dari Qo menjadi Q₁, tidak akan
terjadi kenaikan harga (Po→P₁), dan ini hanya bisa dilaksanakan apabila masing-
masing anggota koperasi mengurangi produksinya. Posisi anggota koperasi persis
sama seperti yang ditunjukkan dalam gambar 1.A (ka sus kartel) di atas.

Jelaslah bahwa dalam kasus seperti ini, kelangsungan hidup koperasi sulit untuk
dipertahankan (dan lebih sulit daripada dalam kasus kartel di atas), kecuali apabila
pemerintah bersedia memberikan fasilitas-fasilitas khu sus atau mengenakan peraturan-
peraturan khusus untuk melindungi eksis tensi koperasi secara terus-menerus. Maka satu-
satunya jalan agar koperasi bisa tetap hidup dan tumbuh dalam lingkungan pasar seperti ini
adalah me ngembangkan manfaat dari economies of scale, external economies dan pen
didikan yang potensial bisa dipetik dari usaha koperasi.

2.5 Koperasi dalam Monopsoni

Kasus Monopsoni Penuh. Seandainya pada awalnya ada penjual yang banyak tetapi hanya
ada satu pembeli. Contoh untuk ini adalah suatu daerah peng hasil karet rakyat yang hanya
mempunyai satu pabrik prosesing (pembeli). Kemudian para penjual bergabung dalam suatu
koperasi penjualan. Dalam hal ini kita mempunyai kasus yang dikenal dengan nama bilateral
monopoly.

Kurva D adalah kurva permintaan dari perusahaan monopsoni. Karena koperasi adalah
satu-satunya penjual, maka lembaga ini memperhitungkan kurva MR yang bisa diturunkan
dari kurva D tersebut. Kurva S (= AFC) ada lah kurva suplai koperasi, yang merupakan
penjumlahan horisontal dari se mua MC para anggotanya. Dengan lain perkataan, kurva S
adalah kurva MC bersama atau MC-koperasi. Posisi keuntungan maksimum bagi koperasi
ada lah apabila MR = MC, atau titik E. Jumlah yang ditawarkan oleh koperasi ada lah Q, dan
harga yang diminta adalah Ps. Tetapi si pembeli, sebagai monop sonist, melihat pasar juga
dari seginya sendiri dan berusaha mencapai posisi yang paling menguntungkan baginya. Ia
akan melihat kurva S sebagai kurva Average Factor Cost (AFC). Dari kurva ini ia bisa
memperhitungkan kurva Marginal Factor Cost (MFC)nya, seperti yang terlihat dalam gambar
di atas Ia akan mencapai posisi yang paling baik apabila MFC = D, yaitu pada titik A. Di sini
keuntungan yang ia peroleh adalah maksimum. Jumlah yang ia ingin beli adalah Q₂ dan
harga yang ia inginkan untuk dibayar adalah Pg. Jadi masing-masing pihak menginginkan
posisi terbaiknya sendiri-sendiri, dengan menganggap bahwa seakan-akan pihak lain
berperilaku sebagai pesaing sem purna (price-taker), sedang ia sendiri sebagai price maker.
Koperasi meng inginkan harga yang lebih tinggi (Ps) dan monopsonist harga yang lebih ren
dah (PB). Di sini analisa supply-demand sendiri tidak bisa memberikan jawab an mengenai
harga kesepakatan yang akan dicapai (yang tentunya akan ter letak antara PB dan Ps).
Tingkat harga kesepakatan ini tergantung kepada kemampuan melakukan tawar-menawar
dari masing-masing pihak. Di sini terlihat peranan yang penting dari adanya manajemen
koperasi yang benar benar bisa melaksanakan keputusan dan strategi bisnis yang tepat.

Perhatikan bahwa seandainya para produsen tidak tergabung dalam ko perasi, maka harga
transaksi yang terjadi adalah PB dan volume transaksi se besar Q2. Pembeli (monoponist)
melakukan “eksploitasi” terhadap para pen jual (yang jumlahnya banyak tetapi kecil-kecil).
Seandainya dalam pasar ter sebut jumlah pembelinya juga banyak (dan kecil-kecil), artinya
pasar ber bentuk persaingan sempurna (tidak ada kekuasaan monopsonist di pihak pem beli),
maka harga yang akan terjadi di pasar adalah Po (> PB). Dan, seperti terlihat dalam kasus
kartel di atas, seandainya para pembelinya bertindak sebagai pesaing sempurna (price takers),
maka koperasi bisa “mengeksploitir” pasar dengan mengenakan harga yang diinginkannya,
yaitu Ps.

Jadi jelas bahwa dalam kasus monopsoni ada motivasi yang kuat bagi para penjual untuk
bergabung dalam koperasi. Bagaimanakah mengenai ke langsungan hidup koperasi dalam
jangka panjangnya? Dalam Gambar 4 ber ikut ini kita anggap bahwa sebelum ada koperasi
tingkat harga yang berlaku adalah PB dan setelah terbentuk koperasi tingkat harga yang
berlaku adalah P*
Kurva MFC yang baru (setelah ada kesepakatan harga pada P*) adalah garis te bal yang patah
P*RST dalam Gambar 4.B. Pembeli (monopsonist) akan mem beli sebanyak Q3, yaitu
perpotongan antara MFC dan D. Pada Gambar 4.A. ditunjukkan pengaruh dari kenaikan
harga ini bagi anggota koperasi. Keun tungan meningkat dari luas area Pabc menjadi luas
area P*edf. Yang penting untuk dicatat di sini adalah bahwa output anggota koperasi adalah
output yang menghasilkan keuntungan maksimum baginya (q3). Jadi dalam kasus ini tidak
diperlukan sistem kuota produksi. Artinya, dalam kasus monopsoni koperasi bisa
meningkatkan harga jual tanpa harus mengurangi output. Dalam hal ini tidak lagi ada
kecenderungan bagi masing-masing anggota untuk ber tindak “curang” (dalam arti melanggar
ketetapan koperasi, sebab output yang ditetapkan koperasi persis sama dengan output yang ia
akan pilih secara suka rela). Problema pengawasan terhadap tingkat produksi masing-masing
ang gota tidak diperlukan. Ini tentunya sangat meringankan pekerjaan koperasi, dan sekaligus
membuat koperasi lebih bisa bertahan.

Namun satu faktor lagi masih tetap menghantui eksistensi koperasi dalam kasus ini, yaitu
kemungkinan timbulnya produsen-produsen baru yang tertarik ke bidang usaha ini karena
adanya keuntungan yang tinggi. Apabila produsen-produsen baru ini masuk ke dalam
koperasi, maka keuntungan bagi masing-masing anggota akan berkurang, karena jumlah
keuntungan bersama yang tetap harus dibagikan kepada jumlah anggota yang menjadi lebih
ba nyak; kecuali tentu saja apabila koperasi berhasil untuk meningkatkan harga jualnya lagi
(sesuatu hal yang belum tentu bisa dilaksanakan, meskipun jum lah anggota koperasi itu
sendiri bertambah).

Apabila produsen-produsen baru tersebut tidak bergabung ke dalam koperasi, tetapi tetap
sebagai produsen yang independen, maka inipun da lam jangka panjangnya akan merongrong
kekuatan tawar-menawar (bargain ing power) koperasi dan akan menurunkan keuntungan
yang bisa diperoleh sebelumnya. Keadaan akan lebih sulit lagi apabila produsen-produsen
baru bergabung menjadi koperasi tandingan yang menyaingi koperasi lama. Si pembeli
(monopsonist) dalam hal ini bisa mempermainkan keduanya dan memperoleh harga yang
lebih rendah.

Jadi jelas bahwa masalah masuknya perusahaan-perusahaan baru (entry) masih tetap bisa
merongrong eksistensi koperasi dalam jangka panjangnya.

Namun dalam jangka pendek pun ada satu hal lagi yang perlu diper hatikan untuk
menghindari kecenderungan perpecahan dari dalam koperasi itu sendiri. Untuk menjelaskan
ini kita ambil contoh seandainya koperasi terlalu “getol” dan terlalu berhasil dalam proses
tawar-menawarnya dengan pembeli. Seandainya koperasi berhasil meningkatkan harga jual
sampai ke P** (Gambar berikut) yang terletak di atas Po

Dari Gambar 5.B. tingkat output yang dibeli oleh monopsonist adalah Q4 yaitu dimana MFC
(garis tebal patah sama dengan D). Ini berarti bahwa untuk memperoleh tingkat harga
setinggi P**, koperasi harus mengenakan kuota produksi kepada setiap anggotanya.
Mengapa? Dalam Gambar 5.A. ter lihat bahwa agar suplai total (suplai bersama) koperasi
adalah Q4, anggota koperasi harus berproduksi pada q4. Tetapi ini sebenarnya bukan posisi
yang terbaik baginya. Apabila diperbolehkan memilih, si anggota koperasi akan memilih
posisi g dengan output q5. Tetapi apabila ini diperbolehkan, maka output bersama (koperasi)
menjadi terlalu besar (yaitu Q5 dalam Gambar 5.B). Dan kalau jumlah ini toh tetap akan
dipasarkan maka harga jual akan turun. Jadi pada tingkat harga P**, koperasi harus
mengenakan sistem kuota. Dan ini, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, secara
operasional sulit dilaksanakan dan sekaligus merupakan sumber perpecahan di antara anggota
koperasi. Kuota harus diterapkan apabila harga jual “terlalu tinggi”. Bisa dibuktikan oleh
pembaca, bahwa selama harga jual di atas P (harga keseim 0 bangan persaingan sempurna),
maka selama itu pula sistem kuota terpaksa harus diterapkan. Tingkat harga yang maksimal
bisa diperoleh tanpa perlu mengenakan sistem kuota kepada para anggota koperasi adalah P,
itu sendiri. Jadi strategi harga jual yang optimal bagi koperasi adalah P (harga pasar
kompetitif) tidak lebih tidak kurang. Koperasi yang “terlalu berhasil” ter nyata bisa
menimbulkan masalah bagi dirinya sendiri!

Kasus Monopsoni Parsial. Kemungkinan lain adalah kasus di mana jumlah pembeli tidak
satu, tetapi cukup banyak dan satu di antaranya cukup besar untuk bisa mempengaruhi pasar
(price maker). Gambar 6 menunjukkan kasus ini. Kurva D adalah permintaan total di pasar
dan MR adalah kurva marginal revenue yang diturunkan darinya. Kurva S adalah kurva
suplai koperasi untuk seluruh pembeli. Seandainya pasar tersebut berbentuk persaingan
sempurna, maka harga yang akan terjadi adalah Po. Tetapi sekarang kita mempunyai satu
pembeli yang cukup besar dengan kurva permintaannya dm dan banyak pembeli-pembeli
kecil lain yang mempunyai kurva permintaan ber sama dn. Penjumlahan horisontal dari kurva
dm dan dn adalah D (kurva per mintaan total).

Bagi koperasi, posisi yang paling menguntungkan adalah apabila MR = MC-nya (= kurva
S). Harga yang diharapkan adalah Ps, dengan output QC, persis seperti dalam kasus kartel.
Sekarang bagi para pembeli, posisi yang akan dipilih bisa ditentukan sebagai berikut.
Perhatikan kurva dn (yaitu, permintaan dari semua pembeli-pembeli kecil) dan kurva S
(suplai koperasi). Selisih (horisontal) antara S dan dn menunjukkan suplai yang dihadapi oleh
pembeli besar (suplai koperasi yang tidak dibeli para pembeli kecil akan tersedia sebagai
suplai bagi pembeli besar). Apabila kita lakukan pengurangan S dengan dn untuk berbagai
tingkat harga, maka kita akan memperoleh suatu kurva suplai yang dihadapi khusus oleh
pembeli besar tersebut. Ini ditunjukkan sebagai kurva Sm. Kita akan menganggap bahwa
pembeli besar adalah “pemimpin harga” (price leader) bagi semua pembeli kecil. Artinya,
berapa pun yang ditetapkan (atau disetujui) oleh pembeli besar akan selalu diikuti oleh para
pembeli kecil.

Sekarang kita bertanya: posisi manakah yang akan dipilih oleh price leader (pemimpin
harga)? Karena si pembeli besar adalah price maker dan bukan hanya price-taker (seperti
pembeli-pembeli kecil), maka perilakunya adalah mirip dengan perilaku seorang monopsonist
penuh (yang dibahas di atas). Ia akan memilih posisi dimana MFC yang dihadapinya (yaitu
kurva MFCm dalam Gambar 6) sama (atau berpotongan) dengan kurva permintaan nya (dm)
Harga yang ia harapkan bayar adalah p * dan output yang ingin di beli Qm Para pembeli kecil
akan mengikuti tingkat harga p * ini, dan akan membeli sebanyak Qn yaitu, jumlah yang
diminta (d) pada tingkat harga ini]. Jumlah total Qm+Qn=Qt, yang persis sama dengan
jumlah yang di tawarkan oleh koperasi pada tingkat harga tersebut. Tetapi ini tentunya ha
nyalah kehendak para pembeli. Sedangkan tingkat harga yang dikehendaki oleh penjual
(koperasi) adalah seperti disebut di atas, PS. Di sini, sekali lagi, terdapat peluang untuk
melakukan tawar-menawar antara koperasi dan pem beli (khususnya, pembeli besar atau
price leader tersebut). Harga kesepakatan akan terletak di antara P* dan Ps, dan posisi
tepatnya ditentukan oleh ke mampuan tawar-menawar (bargaining power) antara kedua
pihak.

Proses selanjutnya sama dengan apa yang diuraikan mengenai kasus monopsoni penuh di
atas. Namun ada beberapa hal yang perlu dicatat di sini.

Pertama, tingkat harga P* akan terletak di atas tingkat harga yang di pilih oleh pembeli
dalam kasus monopsoni penuh (Pg), sehingga jarak ke tidak-tentuan harga (P*Ps) lebih kecil
daripada dalam kasus monopsoni penuh (PBPS). Ini secara teoritis bisa mempercepat
tercapainya suatu harga kesepakatan.
Kedua, tingkat harga P* masih akan selalu terletak di bawah harga ke seimbangan
kompetitif Po (yaitu, harga yang akan terjadi seandainya semua pihak bertindak sebagai price
takers, seperti dalam pasar persaingan sempur na). Kita ingat dalam kasus monopsoni penuh
di atas, bahwa masih meng untungkan bagi koperasi untuk memperjuangkan tingkat harga
sampai Pagar keuntungan anggota bisa ditingkatkan tanpa harus diterapkannya sistem kuota
produksi yang bisa menjadi sumber perpecahan di antara para anggota nya. Jadi dalam kasus
monopsoni parsial ini pun masih ada peluang untuk melakukan hal ini.

Ketiga, koperasi (dilihat dari segi kepentingannya sendiri) berkepen tingan untuk
menghambat terjadinya kerjasama antara para pembeli sendiri, dalam arti menghambat
pembentukan “koperasi pembelian” di antara me reka. Posisi koperasi lebih kuat dalam kasus
monopsoni parsial daripada da lam kasus monopsoni penuh.

Keempat, “ancaman” terhadap eksistensi koperasi yang berasal “dari luar” (yaitu,
timbulnya produsen-produsen baru, atau koperasi saingan) masih tetap ada dalam kasus
monopsoni parsial ini. Dari segi kepentingan koperasi itu sendiri, mereka berkepentingan
untuk menghambat masuknya atau tim bulnya produsen-produsen baru ini (termasuk
meminta “perlindungan” pe merintah dengan cara membatasi produsen-produsen baru
dengan peraturan). Dari segi kepentingan masyarakat umum, tindakan penghambatan
masuknya produsen-produsen baru ini perlu dipertimbangkan masak-masak untung ruginya.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Tiga kesimpulan pokok dari pembahasan di atas adalah sebagai berikut:

(a) Dalam bentuk pasar persaingan sempurna, koperasi masih mung kin timbul, tetapi
kelangsungan hidupnya diragukan, kecuali apa bila ditopang dengan peraturan
pemerintah yang membatasi produsen-produsen baru atau dengan pemberian fasilitas-
fasilitas khusus kepada koperasi secara terus-menerus. Secara ekonomis, koperasi
tidak “viable” (dan mungkin pula kurang diperlukan) di dalam sektor yang memang
mendekati bentuk pasar per saingan sempurna. Dalam bentuk pasar seperti ini,
“kekuatan kompetisi” begitu kuat sehingga tidak ada satu pihak yang bisa
“mengeksploitir” yang lain. Satu-satunya landasan bagi pemben tukan koperasi dalam
bentuk pasar ini adalah untuk memperoleh manfaat economies of scale, external
economies. Koperasi yang bertujuan melulu untuk memperkuat posisinya di pasar,
dalam lingkungan seperti pasar ini, tidak mempunyai alasan ekonomis bagi
ekstensinya.
(b) dengan di atas, koperasi mempunyai kemungkinan hi dup yang lebih luas di dalam
lingkungan pasar yang “tidak sem purna” (monopsonistis). Apabila di pasar hanya
terdapat seorang pembeli (monopsoni penuh) atau seorang pembeli besar sebagai
“price leader” beserta banyak pembeli-pembeli kecil lain (monop soni parsial), maka
ada alasan ekonomis yang kuat bagi para pro dusen untuk bergabung ke dalam
koperasi untuk meningkatkan “kekuatan pasar” mereka. Dalam hal ini koperasi bisa
mentarget kan untuk meningkatkan harga jualnya sampai pada tingkat “harga
kompetitif” (yaitu, tingkat harga yang akan terjadi se andainya pasar tersebut
berbentuk persaingan sempurna). Ting kat harga jual yang melebihi tingkat harga
kompetitif ini akan menimbulkan “bumerang” terhadap kelangsungan hidup kope rasi
itu sendiri. Hal ini terjadi karena tingkat harga jual yang ter lalu tinggi memerlukan
penerapan sistem kuota produksi terha dap para anggota koperasi, dan ini bisa
menjadi sumber disintegra si koperasi dari dalam. Namun selain itu, timbulnya
produsen produsen baru (khususnya yang beroperasi di luar koperasi) cenderung
merongrong eksistensi koperasi dalam jangka panjang. Sekali lagi, pembatasan
timbulnya produsen baru (baik secara terbuka atau terselubung) mungkin terpaksa
dilakukan. Dan ini mungkin bukanlah pula tindakan yang paling menguntungkan dari
segi kepentingan masyarakat umum.
(c) Kedua kesimpulan di atas menunjukkan bahwa koperasi yang melulu mengandalkan
untuk eksistensinya kepada peningkatan ke dudukan monopolistisnya di pasar akan
menghadapi berbagai kesulitan dalam jangka panjangnya. Dalam lingkungan sistem
pa sar, harapan utama bagi kelangsungan hidup suatu koperasi ada lah
kemampuannya untuk memperoleh manfaat-manfaat kerja sama yang berasal dari
adanya economies of scale, external eco nomies dan manfaat-manfaat non-ekonomis
(misalnya, pendi dikan). Tetapi ini berarti bahwa koperasi harus bisa beroperasi
secara lebih efisien daripada para produsen secara individu. Ke simpulan ini
mempunyai relevansi bagi penentuan prioritas pem binaan koperasi di tanah air.
Kuncinya nampaknya terletak pada pembinaan “daya saing” koperasi yang berasal
dari peningkatan efisiensi intern dan bukan pada ditingkatkannya kedudukan mo
nopolistisnya di pasar. Ini berlaku, dalam jangka panjang, bagi baik lingkungan pasar
persaingan sempurna maupun lingkungan pasar monopsonistis. Ini tentunya tidaklah
berarti bahwa kope rasi seharusnya sama sekali tidak perlu memperoleh dukungan,
perlindungan atau fasilitas khusus dari pemerintah, terutama pada awal
perkembangannya. Tetapi kesimpulan-kesimpulan tersebut berarti bahwa seharusnya
semua bantuan ini tidak diberikan se cara terus-menerus, dan bahwa dalam jangka
waktu yang wajar koperasi harus sudah bisa menjadi dewasa dan hidup atas kemam
puannya sendiri, dan bahwa seyogyanya bantuan-bantuan ter sebut sejak awal
diarahkan terutama kepada usaha perbaikan efisiensi intern koperasi. Dalam
perekonomian yang mengandal kan terutama pada mekanisme pasar, koperasi harus
merupakan pertama sekali suatu badan usaha ekonomi, dan baru kemudian sebagai
badan sosial. Ia harus lebih dahulu bisa dan mampu hidup sebelum bisa memikirkan
bagaimana menggunakan kehidupan tersebut untuk tujuan-tujuan sosial yang lebih
mulia.

3.2 SARAN

Penulis menyadari keterbatasan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, namun


walaupun demikian akan mencoba memberi saran yang mungkin akan dapat membangun.
Adapun saran penyusun kepada para pembaca kiranya dapat memahami isi tulisan,
masukan, kritikan, dan tanggapan guna penyempurnaan tulisan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Sadono Sukirno, Mikroekonomi Teori Pengantar, Ed.Ketiga ( PT. Raja Grafindo


Persada,2004 )

https://www.academia.edu/26482861/KOPERASI_DALAM_BERBAGAI_MACAM_STRU
KTUR_PASAR

Anda mungkin juga menyukai