Originality Assessment
27%
Overall Similarity
v 8.0.7 - WML 4
FILE - MEGA MURNI LARATMASE.DOCX
SKRIPSI
KECAMATAN BONTONOMPO
KABUPATEN GOWA
120561805
FAMIKA MAKASSAR
2022
SKRIPSI
DESA BONTOBIRAENG
KABUPATEN GOWA
diajukan untuk mendapatkan gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) dalam program Studi
Ilmu Keperawatan pada Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan (STIK) Famika Makassar
OLEH:
NIM. 120561805
MAKASSAR
2022
SURAT PERNYATAAN
Saya bersumpah bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah dibuat dan
dikumpulkan oleh orang lain untuk memperoleh gelar dari berbagai jenjang pendidikan di
Yang menyatakan,
NIM. 120561805
HALAMAN PERSETUJUAN
SKRIPSI
8 HUBUNGAN SANITASI AIR BERSIH DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA BALITA
DI DESA BONTOBIRAENG
KABUPATEN GOWA
TAHUN 2022
NIM. 120561805
Disetujui,
SKRIPSI
DI DESA BONTOBIRAENG
KABUPATEN GOWA
TAHUN 2022
NIM. 120561805
Pada Hari :
Tanggal :
Dinyatakan telah memenuhi syarat dan disetujui sebagai tugas akhir (Skripsi).
Tim Penguji :
Tim Pembimbing
Mengetahui,
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan
rahmat-Nya jualah sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul
TAHUN 2022”..
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi syarat dalam melakukan penelitian guna menyelesaikan
studi pada program studi S1 Keperawatan pada Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Famika
Makassar.
Peneliti 36 menyadari bahwa skripsi ini dapat selesai karena adanya bantuan dan kerja
sama dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan
rasa terima kasih tak terhingga kepada kedua orang tua dan saudara-saudaraku atas
segala dukungan, doa dan kasih sayang yang tak pernah pupus, serta penghormatan yang
sebesar-besarnya kepada :
S.Kep., 36 selaku pembimbing II, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan
d. Ns. Sri Wahyuni, S.Kep, M.Kep, selaku penguji I, dan Ns. Agus Salim, S.Kep., selaku
62 penguji II, yang telah memberikan saran dan masukan demi perbaikan skripsi ini.
e. Seluruh dosen dan staf STIK FAMIKA Makassar, selaku pendidik dan pembimbing
dalam penyelesaian tugas dan kewajiban baik teori maupun praktek selama pendidikan di
f. Seluruh rekan-rekan mahasiswa 18 yang selama ini telah memberikan dukungan dan
semangat kepada peneliti selama proses perkuliahan dan penyusunan skripsi, dan kepada
semua pihak yang telah berpartisipasi dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat
Peneliti menyadari bahwa proposal ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
dengan lapang dada peneliti menerima kritikan dan saran yang konstruktif demi
Akhirnya peneliti 44 mengucapkan terima kasih atas segala kebaikan dan bantuan yang
diberikan semoga mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan Yang Maha Esa.
ttd
Peneliti
SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN
JULI 2022
ABSTRAK
KECAMATAN BONTONOMPO
KABUPATEN GOWA
TAHUN 2022
Kejadian balita pendek atau biasa disebut stunting merupakan keadaan dimana balita
memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Salah
satu faktor penyebabnya adalah sanitasi air bersih yang tidak memenuhi syarat kesehatan.
Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya 8 hubungan sanitasi air bersih dengan kejadian
Gowa.
untuk kelompok kasus dan 20 responden untuk kelompok kontrol. Setelah melakukan
penelitian, data kemudian diolah dengan menggunakan komputer program SPSS versi
16.00 dengan uji statistik Odds Ratio. Berhubung hasil olah data SPSS untuk Uji Odds
Ratio tidak memenuhi syarat di penelitian ini, maka selanjutnya menggunakan uji statistik
Mann-Whitney Test.
Berdasarkan hasil penelitian dari 20 responden kelompok kasus (stunting) diperoleh
sanitasi air bersih yang tidak memenuhi syarat sebanyak 0 (0,0%) responden, dan
memenuhi syarat sebanyak 20 (50,0%) responden. Pada kelompok kontrol (normal) dari
20 responden diperoleh sanitasi air bersih yang tidak memenuhi syarat sebanyak 0 (0,0%)
Hasil uji statistik menggunakan Uji Statistik Mann-Whitney diperoleh nilai ρ = 01,0 > nilai α
= 0,05, yang berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian tidak ada 8 hubungan
sanitasi air bersih dengan kejadian stunting pada balita di desa Bontobiraeng Selatan
Disarankan bagi pemerintah desa di Bontobiraeng selatan Kec. Bontonompo Kab. Gowa
kiranya bisa mempertahankan kondisi sanitasi air bersih yang sudah digunakan oleh
masyarakat selama ini, dan meningkatkan kerjasama dengan lintas sektor untuk
MOTTO
“ Karena Masa Depan Sungguh ada dan Harapan Tidak Akan Hilang “
Amzal : 28.13
18 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
SURAT PERNYATAAN ii
HALAMAN PENGESAHAN iv
MOTTO v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR TABEL x
DAFTAR LAMPIRAN xi
ABSTRAK xii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 5
C. Tujuan Penelitian 5
D. Manfaat Penelitian 6
B. Variabel Penelitian 24
C. Hipotesis Penelitian 25
A. Desain Penelitian 26
C. Pengumpulan Data 28
D. Etika Penelitian 33
A. Hasil Penelitian 34
B. Pembahasan 42
A. Kesimpulan 46
B. Saran 46
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur Ibu dan Anak Di
Tabel 5.2 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Anak Di 11 Desa
Bontobiraeng Selatan Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa, Juni-Juli 2022 37
Tabel 5.3 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Pendidikan terakhir Ibu Di Desa
Tabel 5.5 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sanitasi Air Bersih Di Desa
Tabel 5.6 : Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Stunting Pada Balita Di
Tabel 5.7 : Analisis 8 Hubungan Sanitasi Air Bersih dengan Kejadian Stunting Pada
Tabel 5.8 : Analisis Hubungan Sanitasi Air Bersih dengan Kejadian Stunting Pada Balita
Lampiran 9. 45 Surat Izin Penelitian dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Lampiran 10. Surat Izin Penelitian dari Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu
BAB I
PENDAHULUAN
A. 33 Latar Belakang
Stunting merupakan kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang
jika dibandingkan dengan umur. 12 Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan
yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO
(RI, 2017). Stunting mempengaruhi sekitar 22,9% 19 atau 154,8 juta anak di bawah 5
tahun di seluruh dunia, di Asia sebanyak 87 juta anak, di Afrika sebanyak 59 juta anak, di
Amerika Latin dan Karibia sebanyak 6 juta anak, Jika tren saat ini berlanjut, diperkirakan
sebanyak 127 juta anak di bawah 5 tahun akan mengalami kerdil pada tahun 2025 (WHO,
2017). Prevalensi stunting nasional mencapai 27,67%, dengan angka tersebut Indonesia
menduduki peringkat kelima dunia untuk kejadian stunting (Kementrian Kesehatan RI,
Di Indonesia, data Riskesdas menunjukkan balita stunting di tahun 2013 sebanyak 37,2%
dan menurun di tahun 2018 menjadi 30,8% dimana angka ini masih di bawah angka
nasional yang diharapkan yaitu 20% (Riskesdas, 2018). Sulawesi Selatan berada di
peringkat keempat balita stunting tertinggi di Indonesia tahun 2018 dengan prevalensi
sebanyak 35,7% yang terdiri dari balita pendek 23,2% dan sangat pendek 12,5%,
sementara untuk baduta stunting di Sulawesi Selatan sebesar 33,9% yaitu sangat pendek
Sedangkan Prevalensi stunting di Kabupaten Gowa pada tahun 2018 berada di angka 40,5
persen kemudian tahun 2019 menurun diangka 36,9 persen namun target pemerintah
sehingga peran aktif tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan edukasi harus
Balita 63 stunting disebabkan oleh banyak faktor seperti faktor gizi buruk dialami ibu hamil
dan anak balita, kondisi kesehatan ibu dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta
setelah persalinan, postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang
masih remaja, asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan, tidak terlaksananya
inisiasi menyusui dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, proses
penyapihan dini yang tidak tepat, asupan nutrisi yang diperoleh bayi sejak lahir, kesakitan
pada bayi/penyakit bawaan atau yang diderita, kurangnya pengetahuan ibu mengenai
kesehatan dan gizi sebelum dan pada masa kehamilan serta setelah ibu melahirkan,
masih terbatasnya layanan kesehatan, masih kurangnya akses makanan bergizi dan
kurangnya akses ke air bersih, jamban dan sanitasi tempat tinggal yang buruk. Kondisi
diare dan kecacingan) dapat mengganggu penyerapan nutrisi pada proses pencernaan.
Beberapa penyakit infeksi yang diderita bayi dapat menyebabkan stunting. Sarana
sanitasi, perilaku penghuni dan kebiasaan cuci tangan pakai sabun oleh ibu
harus diperhatikan dalam pencegahan stunting yaitu pola makan, pola asuh, serta
perbaikan sanitasi dan akses ke air bersih. 37 Hal ini dijelaskan bahwa seringkali masalah
non kesehatan menjadi akar masalah dari tingginya stunting terutama di Indonesia (MCA
kesehatan. Menurut data World Bank (2017) cakupan orang yang menggunakan layanan
sanitasi yang dikelola di dunia masih sebesar 44,987% dari populasi. Sedangkan di
Indonesia menurut data UNICEF menyebutkan bahwa 69% air yang dikonsumsi dirumah
tangga terkontaminasi oleh feses. Nusa tenggara barat sebagai salah satu provinsi di
Indonesia memiliki rata-rata akses bawah dari rata-rata nasional yaitu 60% sedangkan di
NTB baru mencapai 53%. Hal ini mengunjukkan bahwa masih kurangnya kesadaran
Sanitasi yang tidak layak merupakan faktor penyebab terjadinya stunting yang berisiko
terhadap terjadinya penyakit infeksi. 51 Rohmah & Syahrul (2017) dan Torlesse, Cronin,
Sebayang, & Nandy (2016) melaporkan fasilitas sanitasi yang buruk dan kualitas air
minum yang tidak baik adalah sebuah kombinasi yang berisiko terjadinya stunting. Hal ini
selaras dengan penelitian yang dilakukan Prendergast & Humphrey (2014) di 137 negara
berkembang. Penyakit infeksi pada balita dapat terjadi akibat akses terhadap sumber air
bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk sehingga energi untuk pertumbuhan digunakan
untuk melawan infeksi. Proses penyerapan gizi akan terganggu sehingga akan
Hasil pemantauan Status Gizi (PSG) 2016 menunjukkan bahwa sebanyak 21,7% bayi usia
di bawah dua tahun (Baduta) mengalami stunting (tinggi badan di bawah standar/pendek)
menurut usianya. Namun, prevalensi balita stunting kembali naik menjadi 29,6% dalam
PSG 2017. Angka tersebut terdiri dari 9,8% balita dengan kategori sangat pendek dan
19,8% kategori pendek. Menurut standar WHO, suatu wilayah dikatakan mengalami
masalah gizi akut bila prevalensi bayi stunting sama/lebih dari 20%. Sehingga kasus
baduta stunting layak untuk diangkat, untuk merekomendasikan intervensi yang tepat yang
Hasil pengambilan data awal didesa Bontobiraeng Selatan menunjukkan bahwa, jumlah
KK (Februari 2022) : 958 KK, Jumlah Ibu hamil : 38 orang, Jumlah ibu menyusui : 125
orang, jumlah balita, anak : 2-6 tahun (203 orang), dan menemukan angka kejadian
stunting di kecamatan Bontonompo: 372 orang (data 2021), dan angka kejadian stunting
).
64 Berdasarkan uraian di atas calon peneliti berkeinginan untuk meneliti dengan judul
“Hubungan Sanitasi dengan kejadian stunting pada ibu dan anak balita di desa
Bontobiraeng Selatan”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, maka dirumuskan pertanyaan peneliti
apakah ada Hubungan Sanitasi dengan kejadian stunting pada ibu dan anak balita di desa
Bontobiraeng Selatan?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui apakah ada Hubungan Sanitasi dengan kejadian stunting pada ibu dan
anak balita.
2. Tujuan Khusus
a. Hubungan Sanitasi
b. Kejadian Stunting
c. Menentukan Hubungan Sanitasi dengan kejadian stunting pada ibu dan anak balita
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam ilmu keperawatan Gerontik dan
Komunitas dalam memberikan pemahaman bahwa pengaruh sanitasi dan kebiasaan ibu
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini dapat menjadi pengalaman yang berharga bagi peneliti khususnya
terjadinya stunting.
Dapat digunakan sebagai acuan serta masukan bagi puskesmas untuk meningkatkan dan
Penelitian ini dapat memberikan informasi dalam ilmu bidang keperawatan gerontik dan
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
1. Pengertian
4 Kejadian balita pendek atau biasa disebut stunting merupakan keadaan dimana balita
memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Keadaan
12 ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi
median standar pertumbuhan anak dari WHO (Kementrian Kesehatan RI, 2018). Menurut
WHO tahun 2010 balita stunting merupakan balita dengan gizi kurang bersifat kronik pada
saat perkembangan dan pertumbuhan dimulai dari gizi ibu hamil yang kurang (KEK) ketika
anak masih dalam kandungan hingga anak dilahirkan (Siti Hasanah, et al 2021).
4 Dampak yang ditimbulkan dari stunting tidak hanya dirasakan individu yang
mengalaminya saja bahkan stunting mempunyai andil dalam kesenjangan ekonomi dan
metabolisme tubuh, pertumbuhan anak yang tidak optimal, sedangkan dampak jangka
panjangnya adalah postur tubuh tidak optimal saat dewasa, meningkatnya resiko obesitas
dan penyakit tidak menular, kemampuan belajar dan performa kurang optimal pada masa
sekolah, produktivitas dan kemampuan bekerja tidak optimal (Kementrian Kesehatan RI,
2016).
Stunting dapat terjadi karena faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung stunting
yaitu nutrisi ibu saat hamil, nutrisi balita, dan penyakit infeksi, sedangkan faktor tidak
langsung dapat terjadi dari berbagai aspek salah satunya adalah water, sanitation and
hygiene (WASH), yang terdiri dari sumber air minum, kualitas fisik air minum, kepemilikan
Aspek sanitasi lingkungan dan personal hygiene berperan penting terhadap kejadian
stunting, seperti seringnya anak terkena penyakit infeksi, masih rendahnya kebiasaan
mencuci tangan pakai sabun dengan benar sehingga dapat meningkatkan kejadian diare.
Hal yang dianggap ringan seperti 23 buang air besar sembarangan bisa berdampak luas
terhadap kesehatan (Sandra, Syafiq dan Veratamala, 2017). Maka dari itu pentingnya
menggunakan jamban sehat, yaitu yang memenuhi persyaratan kesehatan tidak
2. Penyebab stunting
Kejadian stunting pada anak merupakan suatu proses komulaif menurut beberapa
penelitian, yang terjadi sejak kehamilan, masa kanak-kanak dan sepanjang siklus
kehidupan. Proses terjadinya stunting pada anak dan peluang peningkatan stunting terjadi
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak. 1 Faktor
penyebab stunting ini dapat disebabkan oleh faktor langsung maupun tidak langsung.
Penyebab langsung dari kejadian stunting adalah asupan gizi dan adanya penyakit infeksi
ketersediaan pangan, faktor budaya, ekonomi dan masih banyak lagi faktor lainnya
a. Faktor langsung
Asupan gizi yang adekuat sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh
balita. Masa kritis ini merupakan masa saat balita akan mengalami tumbuh kembang dan
tumbuh kejar. 10 Balita yang mengalami kekurangan gizi sebelumnya masih dapat
diperbaiki dengan asupan yang baik sehingga dapat melakukan tumbuh kejar sesuai
dapat mengejar keterlambatan pertumbuhannya yang disebut dengan gagal tumbuh. Balita
yang normal kemungkinan terjadi gangguan pertumbuhan bila asupan yang diterima tidak
energi balita berpengaruh terhadap kejadian balita pendek, selain itu pada level rumah
tangga konsumsi energi rumah tangga di bawah rata-rata merupakan penyebab terjadinya
2) Penyakit infeksi
Penyakit infeksi merupakan salah satu faktor penyebab langsung stunting, Kaitan antara
penyakit infeksi dengan pemenuhan asupan gizi tidak dapat dipisahkan. Adanya penyakit
infeksi akan memperburuk keadaan bila terjadi kekurangan asupan gizi. Anak balita
dengan kurang gizi akan lebih mudah terkena penyakit infeksi. Untuk itu penanganan
terhadap penyakit infeksi yang diderita sedini mungkin akan membantu perbaikan gizi
dengan diiimbangi pemenuhan asupan yang sesuai dengan kebutuhan anak balita.
10 Penyakit infeksi yang sering diderita balita seperti cacingan, Infeksi saluran pernafasan
Atas (ISPA), diare dan infeksi lainnya sangat erat hubungannya dengan status mutu
perilaku sehat (Bappenas, 2013). Ada beberapa penelitian yang meneliti tentang
hubungan penyakit infeksi dengan stunting yang menyatakan bahwa diare merupakan
salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak umur dibawah 5 tahun (Paudel et al,
2012).
1) 10 Ketersediaan pangan
Ketersediaan pangan yang kurang dapat berakibat pada kurangnya pemenuhan asupan
nutrisi dalam keluarga itu sendiri. Rata-rata asupan kalori dan protein anak balita di
Indonesia masih di bawah Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dapat mengakibatkan balita
perempuan dan balita laki-laki Indonesia mempunyai rata-rata tinggi badan masing-masing
6,7 cm dan 7,3 cm lebih 1 pendek dari pada standar rujukan WHO 2005 (Bappenas,
2011). Oleh karena itu penanganan masalah gizi ini tidak hanya melibatkan sektor
di rumah tangga dipengaruhi oleh pendapatan keluarga, pendapatan keluarga yang lebih
rendah dan biaya yang digunakan untuk pengeluaran pangan yang lebih rendah
merupakan beberapa ciri rumah tangga dengan anak pendek (Sihadi dan Djaiman, 2011).
Penelitian di Semarang Timur juga menyatakan bahwa pendapatan perkapita yang rendah
merupakan faktor risiko kejadian stunting (Nasikhah, 2012). Selain itu penelitian yang
dilakukan di Maluku Utara dan di Nepal menyatakan bahwa stunting dipengaruhi oleh
banyak faktor salah satunya adalah faktor sosial ekonomi yaitu defisit pangan dalam
Status gizi ibu saat hamil dipengaruhi oleh banyak faktor, faktor tersebut dapat terjadi
kadar hemoglobin (Hb) yang menunjukkan gambaran kadar Hb dalam darah untuk
menentukan anemia atau tidak; 2) Lingkar Lengan Atas (LILA) yaitu gambaran pemenuhan
gizi masa lalu dari ibu untuk menentukan KEK atau tidak; 3) hasil pengukuran berat badan
untuk menentukan kenaikan berat badan selama hamil yang dibandingkan dengan IMT ibu
a) Pengukuran LILA
Pengukuran LILA dilakukan pada ibu hamil untuk mengetahui status KEK ibu tersebut.
KEK merupakan suatu keadaan yang menunjukkan kekurangan energi dan protein dalam
jangka waktu yang lama (Kemenkes R.I, 2013). Faktor 17 predisposisi yang menyebabkan
KEK adalah asupan nutrisi yang kurang dan adanya faktor medis seperti terdapatnya
penyakit kronis. KEK pada ibu hamil dapat berbahaya baik bagi ibu maupun bayi, risiko
pada saat persalinan dan keadaan yang lemah dan cepat lelah saat hamil sering dialami
oleh ibu yang mengalami KEK (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012)
kejadian KEK adalah pengetahuan, pola makan, makanan pantangan dan status anemia
(Rahmaniar dkk, 2013). 17 Kekurangan energi secara kronis menyebabkan cadangan zat
gizi yang dibutuhkan oleh janin dalam kandungan tidak adekuat sehingga dapat
KEK ini dapat memprediksi hasil luaran nantinya, ibu yang mengalami KEK mengakibatkan
masalah kekurangan gizi pada bayi saat masih dalam kandungan sehingga melahirkan
bayi dengan panjang badan pendek (Najahah, 2013). Selain itu, ibu hamil dengan KEK
berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR). Panjang badan lahir
rendah dan BBLR dapat menyebabkan stunting bila asupan gizi tidak adekuat. Hubungan
antara stunting dan KEK telah diteliti di Yogyakarta dengan hasil penelitian tersebut
menyatakan bahwa ibu hamil dengan riwayat KEK saat hamil dapat meningkatkan risiko
kejadian stunting pada anak balita umur 6-24 bulan (Sartono, 2013).
b) Kadar Hemoglobin
Anemia pada saat kehamilan merupakan suatu kondisi terjadinya kekurangan sel darah
merah atau hemoglobin (Hb) pada saat kehamilan. Ada banyak faktor predisposisi dari
anemia tersebut yaitu diet rendah zat besi, vitamin B12, dan asam folat, adanya penyakit
gastrointestinal, serta adanya penyakit kronis ataupun adanya riwayat dari keluarga sendiri
Ibu hamil dengan anemia sering dijumpai karena pada saat kehamilan keperluan akan zat
makanan bertambah dan terjadi perubahan-perubahan dalam darah dan sumsum tulang
(Wiknjosastro, 2009). Nilai cut-off anemia ibu hamil adalah bila hasil pemeriksaan Hb
Akibat anemia bagi janin adalah hambatan pada pertumbuhan janin, bayi lahir prematur,
bayi lahir dengan BBLR, serta lahir dengan cadangan zat besi kurang sedangkan akibat
dari anemia bagi ibu hamil dapat menimbulkan komplikasi, gangguan pada saat persalinan
dan dapat membahayakan kondisi ibu seperti pingsan, bahkan sampai pada kematian
(Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012). Kadar hemoglobin saat ibu hamil berhubungan
dengan panjang bayi yang nantinya akan dilahirkan, semakin tinggi kadar Hb semakin
panjang ukuran bayi yang akan dilahirkan (Ruchayati, 2012). Prematuritas, dan BBLR juga
merupakan faktor risiko kejadian stunting, sehingga secara tidak langsung anemia pada
Penambahan berat badan ibu hamil dihubungkan dengan IMT saat sebelum ibu hamil.
Apabila IMT ibu sebelum hamil dalam status kurang gizi maka penambahan berat badan
seharusnya lebih banyak dibandingkan dengan ibu yang status gizinya normal atau status
gizi lebih. Penambahan berat badan ibu selama kehamilan berbeda pada masing–masing
trimester. Pada trimester pertama berat badan bertambah 1,5-2 Kg, trimester kedua 4-6 Kg
dan trimester ketiga berat badan bertambah 6-8 Kg. Total kenaikan berat badan ibu
selama hamil sekitar 9-12 Kg (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
Pertambahan berat badan saat hamil merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
status kelahiran bayi (Yongky, 2012). Penambahan berat badan saat hamil perlu dikontrol
karena apabila berlebih dapat menyebabkan obesitas pada bayi sebaliknya apabila kurang
dapat menyebabkan bayi lahir dengan berat badan rendah, prematur yang merupakan
Berat badan lahir sangat terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan jangka panjang
anak balita, pada penelitian yang dilakukan oleh Anisa (2012) menyimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara berat lahir 8 dengan kejadian stunting pada
balita di Kelurahan Kalibaru. Bayi yang lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yaitu
bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram, bayi dengan berat badan lahir
kemungkinan terjadi kemunduran fungsi intelektualnya selain itu bayi lebih rentan terkena
infeksi dan terjadi hipotermi (Direktorat Bina Gizi dan KIA, 2012).
Banyak penelitian yang telah meneliti tentang hubungan antara BBLR dengan kejadian
stunting diantaranya yaitu penelitian di Klungkung dan di Yogyakarta menyatakan hal yang
sama bahwa ada hubungan antara berat badan lahir dengan kejadian stunting (Sartono,
2013). Selain itu, penelitian yang dilakukan di Malawi juga menyatakan prediktor terkuat
Asupan gizi ibu yang kurang adekuat sebelum masa kehamilan menyebabkan gangguan
pertumbuhan pada janin sehingga dapat menyebabkan bayi lahir dengan panjang badan
lahir pendek. Bayi yang dilahirkan memiliki panjang badan lahir normal bila panjang badan
lahir bayi tersebut berada pada panjang 48-52 cm (Kemenkes R.I, 2010). Panjang badan
lahir pendek dipengaruhi oleh pemenuhan nutrisi bayi tersebut saat masih dalam
kandungan.
Penentuan asupan yang baik sangat penting untuk mengejar panjang badan yang
seharusnya. Berat badan lahir, panjang badan lahir, umur kehamilan dan pola asuh
merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian stunting. Panjang badan lahir
merupakan salah satu faktor risiko kejadian stunting pada balita (Anugraheni, 2012;
Meilyasari, 2014).
5) ASI Eksklusif
ASI Eksklusif menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012
tentang Pemberian ASI Eksklusif adalah pemberian ASI tanpa menambahkan dan atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain yang diberikan kepada bayi sejak baru
dilahirkan selama 6 bulan (Kemenkes R.I, 2012). Pemenuhan kebutuhan bayi 0-6 bulan
telah dapat terpenuhi dengan pemberian ASI saja. Menyusui Eksklusif juga penting karena
pada umur ini, makanan selain ASI belum mampu dicerna oleh enzim-enzim yang ada di
dalam usus selain itu pengeluaran sisa pembakaran makanan belum bisa dilakukan
dengan baik karena ginjal belum sempurna (Kemenkes R.I, 2012). Manfaat dari ASI
Eksklusif ini sendiri sangat banyak mulai dari peningkatan kekebalan tubuh, pemenuhan
kebutuhan gizi, murah, mudah, bersih, higienis serta dapat meningkatkan jalinan atau
Penelitian yang dilakukan di Kota Banda Aceh menyatakan bahwa kejadian stunting
disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, pemberian ASI yang tidak Eksklusif,
pemberian MP-ASI yang kurang baik, imunisasi yang tidak lengkap dengan faktor yang
paling dominan pengaruhnya adalah pemberian ASI yang tidak Eksklusif (Al-Rahmad dkk,
2013). Hal serupa dinyatakan pula oleh Arifin pada tahun 2012 dengan hasil penelitian
yang menyatakan bahwa kejadian stunting dipengaruhi oleh berat badan saat lahir,
asupan gizi balita, pemberian ASI, riwayat penyakit infeksi, pengetahuan gizi ibu balita,
pendapatan keluarga, jarak antar kelahiran namun faktor yang paling dominan adalah
pemberian ASI (Arifin dkk, 2012). Berarti dengan pemberian ASI Eksklusif kepada bayi
dapat menurunkan kemungkinan kejadian stunting pada balita, hal ini juga tertuang pada
6) MPASI
Pengertian dari MPASI menurut WHO adalah makanan/minuman selain ASI yang
mengandung zat gizi yang diberikan selama pemberian makanan peralihan yaitu pada
saat makanan/ minuman lain yang diberikan bersamaan dengan pemberian ASI kepada
bayi (Muhilal dkk, 2009). Makanan pendamping ASI adalah makanan tambahan yang
diberikan pada bayi setelah umur 6 bulan. Jika makanan pendamping ASI diberikan terlalu
dini (sebelum umur 6 bulan) akan menurunkan konsumsi ASI dan bayi bisa mengalami
terlambat akan mengakibatkan bayi kurang gizi, bila terjadi dalam waktu panjang (Al-
kecukupan gizi (AKG) yang dianjurkan kelompok umur dan tekstur makanan sesuai
merupakan faktor resiko terhadap kejadian stunting pada balita (Meilyasari, 2014).
Pemberian MP-ASI terlalu dini dapat meningkatkan risiko penyakit infeksi seperti diare hal
ini terjadi karena MP-ASI yang diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Zat
gizi seperti zink dan tembaga serta air yang hilang selama diare jika tidak diganti akan
terjadi malabsorbsi zat gizi selama diare yang dapat menimbulkan dehidrasi parah,
Untuk menentukan stunting pada anak dilakukan dengan cara pengukuran. Pengukuran
tinggi bada menurut umur dilakukan pada anak umur diatas dua tahun. Antropometri
merupakan ukuran dari tubuh sedangkan antropometri gizi adalah jenis pengukuran dari
beberapa bentuk tubuh dan komposisi tubuh menurut umur dan tingkatan gizi, yang
digunakan untuk mengetahui ketidakseimbangan energi dan protein. Antropometri
dilakukan untuk pengukuran pertumbuhan tinggi badan dan berat badan (Gibson, 2005).
membandingkan pengukuran anak dengan median, dan standar deviasi atau Z-score
adalah unit standar deviasi untuk mengetahui perbedaan Antara nilai individu dan nilai
tengah (median) populasi referent untuk umur/tinggi yang sama, dibagi dengan standar
deviasi dari nilai populasi rujukan. Beberapa keuntungan penggunaan Z-score antara lain
untuk mengidentifikasi nilai yang tepat dalam distribusi perbedaan indeks dan peredaan
umur, juga memberikan manfaat untuk menarik kesimpulan secara statistic dari
pengakuan antropometri.
Indikator antropometrik seperti tinggi badan menurut umur adalah penting dalam
mengevaluasi kesehatan dan status gizi anak-anak pada wilayah dengan banyak masalah
gizi buruk. Dalam menentukan klasifikasi gizi kurang dengan stunting sesuai dengan “Cut
off point”, dengan penilaian Z-score, dan pengukuran pada anak balita berdasarkan tinggi
4. Dampak stunting
Dampak buruk yang dapat ditimbulkan oleh masalah gizi pada periode tersebut, dalam
pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh. Sedangkan dalam jangka
panjang akibat buruk yang dapat ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan
prestasi belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan risiko tinggi
untuk munculnya penyakit diabetes, kegemukan, penyakit jantung dan pembuluh darah,
kanker, stroke, dan disabilitas pada usia tua, serta kualitas kerja yang tidak kompetitif yang
berakibat pada rendahnya produktivitas ekonomi (Kemenkes R.I, 2016)
Masalah gizi, khususnya anak pendek, menghambat perkembangan anak muda, dengan
dampak negatif yang akan berlangsung dalam kehidupan selanjutnya. Studi menunjukkan
bahwa anak pendek sangat berhubungan dengan prestasi pendidikan yang buruk, lama
pendidikan yang menurun dan pendapatan yang rendah sebagai orang dewasa. Anak-
anak pendek menghadapi kemungkinan yang lebih besar untuk tumbuh menjadi orang
dewasa yang kurang berpendidikan, miskin, kurang sehat dan lebih rentan terhadap
penyakit tidak menular. Oleh karena itu, 25 anak pendek merupakan prediktor buruknya
kualitas sumber daya manusia yang diterima secara luas, yang selanjutnya menurunkan
kemampuan produktif suatu bangsa di masa yang akan datang (UNICEF, 2012).
Stunting memiliki konsekuensi ekonomi yang penting untuk laki-laki dan perempuan di
tingkat individu, rumah tangga dan masyarakat. Bukti yang menunjukkan hubungan antara
perawakan orang dewasa yang lebih pendek dan hasil pasar tenaga kerja seperti
penghasilan 1 yang lebih rendah dan produktivitas yang lebih buruk (Hoddinott et al,
mencapai nilai yang lebih rendah, dan memiliki kemampuan kognitif yang lebih buruk
daripada anak-anak yang normal (Hoddinott et al, 2013; Prendergast dan Humphrey
2014). Efek merusak ini diperparah oleh interaksi yang gagal terjadi. Anak yang terhambat
merangkak dan berjalan, apatis dan menunjukkan perilaku eksplorasi kurang, yang
semuanya mengurangi interaksi dengan teman dan lingkungan (Brown dan Pollitt 1996).
berkaitan dengan gizi pada anak dan keluarga. Upaya tersebut oleh WHO (2010)
Memonitor strategi untuk memperkuat pertanian keluarga, dapur umum dan strategi untuk
c) Bolsa Familia Program Menyediakan transfer tunai bersyarat untuk 11 juta keluarga
d) Sitem Surveilans Pangan dan Gizi Pemantauan berkelanjutan dari status gizi populasi
28 Upaya penanggulangan stunting menurut Lancet pada Asia Pasific Regional Workshop
(2010) diantaranya:
a. 59 Perbaikan gizi masyarakat terutama pada ibu pra hamil, ibu hamil dan anak
Kejadian balita stunting dapat diputus mata rantainya sejak janin dalam kandungan
dengan cara melakukan pemenuhan 1 kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil, artinya setiap
ibu hamil harus mendapatkan makanan 15 yang cukup gizi, mendapatkan suplementasi
zat gizi (tablet Fe), dan terpantau kesehatannya. Selain itu setiap bayi baru lahir hanya
mendapat ASI saja 1 sampai umur 6 bulan (Eksklusif) dan setelah umur 6 bulan diberi
Makanan Pendamping ASI (MPASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya. 15 Ibu nifas
selain mendapat makanan cukup gizi, juga diberi suplementasi zat gizi berupa kapsul
vitamin A. 26 Kejadian stunting pada balita yang bersifat kronis seharusnya dapat dipantau
dan dicegah apabila pemantauan pertumbuhan balita dilaksanakan secara rutin dan benar.
Sanitasi total berbasis masyarakat dilatar belakangi adanya kegagalan dalam program
program pembangunan sanitasi pedesaan didapatkan hasil bahwa banyak sarana yang
dibangun tidak digunakan dan dipelihara oleh masyarakat. Banyak faktor penyebab
mengenai kegagalan tersebut, salah satu diantaranya adalah tidak adanya demand atau
STBM adalah sebuah pendekatan dalam pembangunan sanitasi pedesaan. Pendekatan ini
berawal di beberapa komunitas di Bangladesh dan saat ini sudah diadopsi secara massal
di negara tersebut. Bahkan India, di satu negara bagiannya yaitu Provinsi Maharasthra
telah mengadopsi pendekatan STBM ke dalam program pemerintah secara massal yang
disebut dengan program Total Sanitation Campaign (TSC). Beberapa negara lain seperti
Cambodja, Afrika, Nepal, dan Mongolia telah menerapkan dalam porsi yang lebih kecil.
STBM yang tertuang dalam kepmenkes tersebut menekankan pada perubahan prilaku
masyarakat untuk membangunan sarana sanitasi dasar dengan melalui upaya sanitasi
meliputi tidak BAB sembarangan, mencuci tangan pakai sabun, mengelola air minum dan
makanan yang aman, mengelola sampah dengan benar mengelola limbah air rumah
Ciri utama dari pendekatan ini adalah tidak adanya subsidi terhadap infrastruktur (jamban
keluarga), dan tidak menetapkan jamban yang nantinya akan dibangun oleh masyarakat.
Pada dasarnya program STBM ini adalah “pemberdayaan” dan “tidak membicarakan
masalah subsidi”. Artinya, masyarakat yang dijadikan “guru” dengan tidak memberikan
b) Sanitasi Lingkungan
2 Sanitasi lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitarnya, baik berupa benda
hidup, benda mati, benda nyata ataupun abstrak termasuk manusia lainnya, serta suasana
yang terbentuk karena terjadinya interaksi diantara elemen– 3 elemen di alam tersebut.
(Slamet, 1994)
Kondisi lingkungan (sanitasi) desa dan kota di Indonesia tidak dapat dikatakan baik. 2
dibangun tanpa memiliki toilet dan mereka membuang hajat di sungai-sungai dan danau.
Kantor Berita Antara menyebutkan, di Indonesia terdapat empat dampak besar kesehatan
yang disebabkan pengelolaan air, sampah dan sanitasi lingkungan yang buruk yakni,
diare, tipus, polio dan cacingan.( Depkes RI, 2008 ). Masalah penyediaan sarana air bersih
dan pengawasan pembuangan sampah serta pengelolaan air limbah di daerah pantai
masih perlu ditangani secara serius. Hal ini disebabkan karena belum teraturnya
Wilayah yang pesisir dan lautan Indonesia yang kaya dan beragam sumber daya alamnya
yang telah di manfaatkan oleh bangsa Indonesia sebagai salah satu sumber bahan
pesisir adalah suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan, apabila ditinjau dari garis
pantai wilayah pesisir memiliki dua macam batas yaitu batas sejajar garis pantai dan batas
tegak lurus garis pantai. Salah satu tujuan pengelolaan suatu wilayah pesisir adalah untuk
sebagai suatu sistem pengelolaan sumberdaya alam di suatu tempat dimana masyarakat
lokal di tempat tersebut terlibat secara aktif dalam pengelolaan sumberdaya alam yang
ini seharusnya adalah memmberikan perhatian yang sama pada masyarakat pesisir,
tidak ditekankan pada pemberian uang atau barang kepada masyarakat, tetapi dengan
Kebijakan yang ada selama ini, pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut mulai dari
pemerintah, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal. Sehingga rasa memiliki serta
pemahaman tentang kegunaan dan pelestarian hampir tidak ada sama sekali pada
pesisir dan lautan sangatlah kompleks dan beragam, sehingga dalam pengelolaan wilayah
Dalam upaya mengurangi tekanan terhadap ekosistem pesisir perlu di lakukan pola
pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan yang terintegrasi dan berwawasan
Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Sekitar ¾ bagian
tubuh kita terdiri atas air, dan tidak seorang pun dapat bertahan hidup lebih dari 4-5 hari
tanpa minum air. 20 Selain itu, air juga dipergunakan untuk memasak, mencuci, mandi
dan membersihkan kotoran yang ada disekitar rumah. Air juga dipergunakan untuk
disebarkan melalui air. Kondisi tersebut tentunya dapat menimbulkan wabah penyakit
dimana-mana. (Mubarak dan Chayatin, 2009) Ditinjau dari ilmu kesehatan masyarakat,
penyediaan sumber air bersih harus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena
Volume rata-rata 14 kebutuhan air setiap individu per hari berkisar antara 150-200
liter/35-40 galon. Kebutuhan air tersebut bervariasi dan bergantung pada keadaan iklim,
1. Sumber Air
Berdasarkan letak sumbernya, air dapat dibagi menjadi air hujan, air permukaan, dan air
tanah.
Air hujan atau air angkasa merupakan sumber utama air di bumi. Air ini dapat dijadikan
sebagai sumber air minum, tetapi air ini tidak mengandung kalsium, sehingga perlu
dilakukan penambahan kalsium. 3 Walaupun pada saat presipitasi air dapat menjadi
yang paling bersih, namun air tersebut cenderung mengalami pencemaran ketika berada
di atmosfer yang disebabkan oleh partikel debu mikroorganisme, dan gas (karbondioksida,
21 b. Air permukaan
Air permukaan yang meliputi badan-badan air semacam sungai, danau, telaga, waduk,
rawa, terjun dan sumur di permukaan adalah sebagian besar berasal dari air hujan yang
jatuh ke permukaan bumi. 3 Oleh karena keaadaan air permukaan yang terbuka, maka
air tersebut mudah terkena pengaruh pencemaranbaik oleh tanah, sampah, maupun
lainnya. Air seperti ini harus mendapat disinfeksi yang baik sebelum didistribusikan kepada
konsumen. Pembebasan tempat pengambilan air untuk penyediaan 39 air bersih sangat
penting. Tempat pengambilan air harus diletakkan diatas aliran dan sejauh mungkin dari
tempat buangan air limbah industri dan air bekas pengairan pertanian.
Air tanah berasal dari air hujan yang jatuh ke permukaan bumi lalu kemudian mengalami
perlokasi atau penyerapan ke dalam tanah dan mengalami proses filtrasi secara alamiah di
bawah tanah. 3 Hal ini membuat air tanah menjadi lebih baik dan lebih murni dibanding
sumber air lain, diantaranya air tanah biasanya bebas dari kuman penyakit dan tidak perlu
sepanjang tahun, dan atau pada saat musim kemarau sekalipun. (Mubara dan Chayatin,
2009).
Air yang diperuntukan bagi konsumsi manusia harus berasal dari sumber air yang bersih
dan aman. Berikut ini adalah 14 batasan-batasan sumber air yang bersih dan aman, yaitu :
e. Memenuhi standar minimal yang dikemukakan oleh WHO atau Departemen Kesehatan
RI.
3 Air dikatakan tercemar bila mengandung bibit penyakit, parasit, bahanbahan kimia yang
1. 2 Pengertian Jamban
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang tinja atau
kotoran manusia yang lazim disebut kakus atau wc. Pembuangan tinja yang tidak
lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik, maksudnya
Suatu jamban keluarga disebut sehat apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
f. Desainnya sederhana
g. Murah
Pembungan tinja manusia yang tidak memenuhi syarat kesehatan seringkali berhubungan
dengan kurangnya penyedian air bersih dan fasilitas kesehatan lainnya. Hal yang demikian
ini dapat menjadi sumber berbagai penyakit yang ditularkan oleh tinja seperti : kholera,
Jamban yang dapat memberi pengaruh langsung atau tidak langsung terhadap status
tertentu seperti kholera, hepatitis dan lain- lain, sedangkan hubungan tidak langsung
Lebih dari 50 jenis infeksi oleh virus, bakteri maupun mikroorganisme dapat ditularkan dan
diderita masyarakat seperti diare, kholera, penyakit saluran pernapasan jika ekstreta/tinja
dibuang tidak pada tempatnya. Oleh karena itu 3 jamban keluarga sangat dibutuhkan
menimbulkan berbagai faktor yang saling mempengaruhi. Orang akan tahu bahwa apa
yang setinggi-tingginya, maka lingkungan yang buruk harus diperbaiki. 3 Banyak faktor
yang berpengaruh terhadap kesehatan, dan salah satu diantaranya adalah pembungan
3. Pembuangan Kotoran
Pengertian dengan kotoran disini adalah feses atau najis manusia. Najis atau feses
manusia selalu dipandang sebagai benda yang berbahaya bagi kesehatan. Berikut ini
e. Tidak menyebabkan atau menimbulkan pencemaran kepada sumber sumber air minum.
Untuk menentukan letak pembuangan kotoran, terlebih dahulu kita harus memperhatikan
ada atau tidaknya sumber-sumber air terdekat. Pertimbangkan jarak yang harus diambil
antara tempat pembuangan kotoran dan sumber air, serta perhatikan bagaimana keadaan
tanah, kemiringannya, permukaan air tanah, pengaruh banjir pada musim hujan dan
Menurut Endjang (2000) bangunan kakus yang memenuhi syarat kesehatan adalah
sebagai berikut :
f. Bidang resapan
6. 3 Macam-macam Kakus
a. Pit-privacy (Cubluk)
Kakus ini dibangun dengan cara membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80 -
120 cm sedalam 2,5 - 8 m. Dindingnya diperkuat dengan batu/bata, dan dapat ditembok
ataupun tidak, agar tidak mudah ambruk. Lama pemakainnya 5-15 tahun, bila permukaan
excrete sudah mencapai ± 50 cm dari permukaan tanah, dianggap cubluk sudah penuh.
Cubluk yang sudah penuh ditimbun dengan tanah, tunggu 9-12 bulan. Isinya digali kembali
untuk pupuk.
Sedangkan lubangnya dapat dipergunakan kembali. Sementara yang penuh ditimbun, dan
untuk defaecatie dibuat cubluk yang baru. Macam kakus ini hanya baik dibuat ditempat-
tempat dimana air tanahnya letaknya dalam. Pada kakus ini harus ddiperhatikan :
cepat penuh.
9 Terdiri atas bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai tempat pembuangan
excreta. Proses pembusukannya sama seperti halnya pembusukan feces dalam air kali.
Untuk kakus ini agar berfungsi dengan baik, perlu pemasukan air setiap hari, baik sedang
dipergunakan atau tidak. Macam kakus ini hanya baik dibuat di tempat yang banyak air.
Bila airnya penuh, kelebihannya dapat dialirkan ke sistem lain, misalnya sistem riool,
Kakus ini bukanlah merupakan type kakus tersendiri tapi hanya modifikasi closetnya saja.
Pada kakus ini closetnya berbentuk angsa sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini
gunanya sebagai sumbat sehingga bau busuk dari cubluk tidak tercium di ruangan dalam
kakus. Bila dipakai, fecesnya tertampung sebentar dan bila disiram air, baru masuk ke
2) 52 Dapat ditempatkan di dalam rumah karena tidak bau sehingga pemakaiannya lebih
praktis.
Sama dengan 9 cubluk hanya ukurannya lebih kecil karena untuk pemakaian yang tidak
lama, misalnya untuk perkampungan sementara. Kerugiannya, yaitu bila air permukaan
Feces ditampunng dalam ember atau bejana lain dan kemungkinan dibuang di tempat lain,
f. Trench Latrine
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30-40 cm untuk tempat defaecatie. Tanah galiaanya
g. Overhung latrine
Kakus ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan
sebagainnya
Feces 40 ditampung dalam suatu bejana yang berisi caustic soda sehingga dihancurkan
1) Kebiasaan
a) Definisi Kebiasaan
Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan sehari-hari dan dilakukan secara berulan-
ulang dalam hal yang sama, sehingga menjadi adat kebiasaan dan ditaati oleh masyarakat
dan sudah 6 hafal perbuatan itu diluar kepala (Asih, 2010)
b) Macam-macam Kebiasaan
Seorang psikologi (Suryaningtyas, 2019) menyatakan bahwa kebiasaan itu terbagi menjadi
Kebiasaan yang bersifat otomatis sepert gerakan berjalan dan yang sejenis dengannya.
Kebiasaaan ini menyerupai dengan gerak reflek, hanya saja ada beberapa hal yang
berpakaian, dan apa yang menyerupai kebiasaan itu sendiri. Dalam hal ini, penglihatan
Kebiasaan ini berbeda dengan dua jenis yang disebutkan diatas, pendorongnya adalah
pikiran atau sesuatu yang bersifat bukan materi. Contoh kebiasaan ini seperti kebiasaan
Faktor yang mempengaruhi kebiasaan menurut Albert Bandura dalam penelitian Nunu
Nurfirdaus (2019) :
a) Lingkungan
Faktor lingkungan atau tempat tinggal (misalnya rumah) mempengaruhi kita dalam
b) Pendidikan
Pendidikan baik yang berlangsung secara formal di madrasah atau di sekolah maupun
yang berlangsung secara informal dilingkungan keluarga memiliki peranan penting dalam
mengembangkan psikososial.
c) 6 Usia
Walaupun faktor ini bukan faktor penentu tetapi usia dapat mempengaruhi kebiasaan
seseorang.
d) Jenis Kelamin
Kesadaran jenis kelamin akan dapat membantu memahami diri dan menumbuhkan
e) Sikap
Sikap bisa diartikan sebagai perasaan dan juga pikiran seseorang dalam bertingkah laku
f) Faktor-faktor yang mempengaruhi kebiasaan menurut buku “The Seven Habits Of Highly
Effective People” :
1. Pengetahuan
Elemen kebiasaan yang berkenan dengan pengetahuan individu mengenai apa yang
2. Ketrampilan
3. Keinginan
b) Seseorang, yang mana perhatian tersebut akan difokuskan untuk 6 perilaku dan tujuan
c) Mengulang-ulang dan praktik, kebiasaan terbentuk dari suatu perilaku tertentu yang
d) Menunaikan pekerjaan tanpa berfikir atau merasa, sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan akan membuat seseorang itu akan melakukan pekerjaan tanpa harus berfikir
lagi jarena pekerjaan tersebut sudah bisa dilakukan dan sudah diluar kepala.
REFERENSI
1. Jkl, L., Balita, P., Indonesia, D. I., & Literatur, S. (2021). JK3L. 02(2).
2. Ii, B. A. B. (2006). No Title. 7–23.
BAB III
A. Kerangka Konsep
4 Kejadian balita pendek atau biasa disebut stunting merupakan keadaan dimana balita
memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Keadaan
12 ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi
median standar pertumbuhan anak dari WHO (Kementrian Kesehatan RI, 2018). 4
Menurut WHO tahun 2010 balita stunting merupakan balita dengan gizi kurang bersifat
kronik pada saat perkembangan dan pertumbuhan dimulai dari gizi ibu hamil yang kurang
energi kronik (KEK) ketika anak masih dalam kandungan hingga anak dilahirkan.
Aspek sanitasi lingkungan dan personal hygiene berperan penting terhadap kejadian
stunting, seperti seringnya anak terkena penyakit infeksi, masih rendahnya kebiasaan
mencuci tangan pakai sabun dengan benar sehingga dapat meningkatkan kejadian diare.
Hal yang dianggap ringan seperti 23 buang air besar sembarangan bisa berdampak luas
terhadap kesehatan (Sandra, Syafiq dan Veratamala, 2017). Maka dari itu pentingnya
6 Kebiasaan adalah perbuatan yang dilakukan sehari-hari dan dilakukan secara berulan-
ulang dalam hal yang sama, sehingga menjadi adat kebiasaan dan ditaati oleh masyarakat
Berdasarkan hal 16 diatas, maka kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut :
Keterangan:
: Variabel Independen
: Variabel Dependen
: Garis Penghubung
B. Variabel Penelitian
a) Hubungan Sanitasi dalam penelitian ini adalah sarana dan prasarana sanitasi yang
Kriteria Objektif :
b) Kejadian Stunting dalam penelitian ini adalah hal-hal yang memicu kejadian stunting
C. Hipotesis Penelitian
Ha : Ada Hubungan Sanitasi Dengan Kejadian Stunting Pada Balita didesa 11
Ho : Tidak ada Hubungan Sanitasi dengan Kejadian Stunting Pada Balita didesa
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian adalah 43 rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa sehingga
peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian (Agus Riyanto, 2011).
Desain penelitian yang di 36 gunakan dalam penelitian ini adalah analitik melalui
pendekatan Odd Ratio yang merupakan suatu penelitian yang semua variabelnya baik
Pendekatan Odd Ratio yang 60 bertujuan untuk mengetahui pengaruh sanitasi dan
kebiasaan ibu terhadap kejadian stunting didesa Bontobiraeng Selatan, Kec Bontonompo,
Kab Gowa.
1. Popuasi
Pada penelitian ini populasinya adalah semua ibu balita didesa 11 Bontobiraeng Selatan,
2. Sampel
Sampel 65 dalam penelitian ini adalah semua ibu yang memiliki anak balita di desa
sampel teknik sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan secara 53 kebetulan
yaitu siapa saja yang bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel
(Sugiyono,2015:156).
Dalam penelitian ini untuk pengambilan sampel digunakan kriteria inklusi dan eksklusi.
a) Kriteria inklusi
1) Ibu yang memiliki anak balita
b) Kriteria Eksklusi
Instrumen 1 yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar observasi untuk variable
hubungan sanitasi, kejadian stunting. Lembar observasi di buat oleh peneliti berdasarkan
tinjauan teori.
a. Lokasi Penelitian
b. Waktu Penelitian
1) Data primer, yaitu 66 data yang diperoleh dari hasil lembar penilaian
2) Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari tempat instansi terkait dengan prosedur
sebagai berikut:
a. Peneliti mengajukan permohonan izin dari institusi yaitu STIK FAMIKA MAKASSAR
Kab.Gowa.
b. Setelah mendapat izin maka peneliti meminta data-data pasien responden dari
4. Pengolahan Data
Data sekunder yang dikumpulkan dalam penilaian akan diolah melalui prosedur
1) Editing
Pengecekan, pengkoreksian data untuk melengkapi data yang masih kurang atau kurang
lengkap.
2) Koding
Pengkodean lembar penilaian, pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah memberikan
3) Tabulasi
Setelah pemberian kode, selanjutnya dengan pengolahan data kedalam tabel menurut
4) Analisa Data
67 Data dianalisa melalui persentase dan perhitungan jumlah dengan cara sebagai
berikut:
a) Analisa Univariat
Analisa univariat dilakukan untuk mendapatkan gambaran dari tiap-tiap variabel yang
diteliti.
b) Analisa Bivariat
Analisa bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan
variabel dependen dalam bentuk tabulasi silang atara kedua variabel tersebut.
Yaitu:
Keterangan:
n: jumlah sampel
N: jumlah populasi
a. Apabila x2 hitung > dari x2 tabel, Ho ditolak atau Ha diterima, artinya ada hubungan
b. Apabila x2 hitung ≤ dari x2 tabel, H0 diterima atau Ha ditolak, artinya tidak ada
D. 41 Etika Penelitian
dengan mengajukan permohonan izin kepada instasi atau lembaga tempat penelitian.
Setelah mendapat persetujuan, maka kegiatan penelitian ini dimulai dengan menekankan
Lembar persetujuan ini berikan 7 kepada responden yang akan diteliti yang memenuhi
kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan manfaat penelitian. Bila responden
menolak, maka penelitian tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-hak
responden.
Untuk menjaga kerahasiaan peneliti tidak akan mencantumkan nama, tetapi lembar
3. Kerahasiaan (Confidentiality )
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti dan hanya kelompok data tertentu
(LEMBAR KOISIONER)
HUBUNGAN SANITASI DENGAN KEJADIAN STUNTING PADA IBU DAN ANAK BALITA
KECAMATAN BONTONOMPO
KABUPATEN GOWA
A. Pentujun 54 Pengisian
1. Isilah terlebih dahulu biodata anda pada tempat yang telah disediakan
B. Data Responden
1. No. Responden :
2. Nama (Inisial) : :
3. Umur :
4. Jenis Kelamin : :
5. Pendidikan :
6. Pekerjaan :
A. VARIABEL SANITASI
Alternative jawaban
Ya :1
Tidak : 0
NO
PERTANYAAN
YA
TIDAK
1.
2.
Apakah jarak sumber air (sumur) dengan septic tankanda kurang dari 10 meter?
3.
4.
Mengolah air bersih dengan memasak air hingga mendidih 100℃ sebelum diminum
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
Apakah jamban yang anda gunakan memiliki atap, rangka, dan dinding?
12.
Apakah lantai jamban anda terbuat dari bahan yang tidak kedap air?
13.
Apakah dijamban anda tersedia air dan sabun untuk cuci tangan?
14.
15.
16.
Apakah dapur anda mempunyai tempat pencucian piring dengan kran yang mengalir?
17.
Apakah alat yang anda gunakan saat memasak ataupun pada saat makan dalam keadaan
bersih?
18.
Apakah dirumah anda mempunyai lemari pendingin untuk menyimpan bahan makanan?
20.
21.
Apakah saluran pembuangan air limbah dari kamar mandi / dapur tertutup?
22.
23.
24.
25.
27.
28.
29.
30.
Status Responden :
Tanggal Pengisian :
B. Alamat Lengkap :
C. Nama Balita :
D. Jenis Kelamin Balita :
1. Laki-laki
2. Perempuan
E. Tanggal Lahir :
F. Umur :..........Bulan
1. Ibu kandung
2. Ayah kandung
3. Nenek/kakek/paman
4. 4. Kakak kandung
5. 5. Ibu tiri
6. 6. Ayah tiri
7. 7. Pengasuh/baby sitter
8. 8. Lainnya............
1. Tidak sekolah
2. Tidak Tamat SD
3. 68 Tamat SD
4. Tamat SMP
5. Tamat SMA
6. Tamat D1-D3
7. Tamat D4/S1-S3
J. Pada Usia Berapa Bulan Balita Anda Diberi Makanan atau Minuman Selain ASI?
1. 0 bulan
2. 1 bulan
3. 2 bulan
4. 3 bulan
5. 4 bulan
6. 5 bulan
NO
NAMA BALITA
TINGGI BADAN
BERAT BADAN
KATEGORI
UMUR BALITA/BLN
24 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
BAB V
A. Hasil Penelitian
1. Pengantar
Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Bontobiraeng Selatan Kec. Bontonompo, 16 pada
bulan Juni sampai dengan Juli 2022. Hasil penelitian diperoleh dengan menggunakan
lembar kuesioner kepada ibu dan melakukan pengukuran tinggi badan pada anak.
Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang mempunyai balita stunting (kelompok kasus)
dan ibu yang mempunyai balita tidak stunting (kelompok kontrol), dengan menggunakan
kelompok kasus dan 20 responden untuk kelompok kontrol. Setelah melakukan penelitian,
data kemudian diolah 2 dengan menggunakan komputer program SPSS versi 16.00
Berhubung hasil olah data SPSS untuk Uji Odds Ratio tidak memenuhi syarat di penelitian
ini, karena terdapat kriteria objektif yang tidak memiliki nilai yaitu kriteria tidak memenuhi
syarat untuk variabel sanitasi air bersih, sehingga hasil olah data terdapat 2 sel yang
nilainya 0, yaitu sel A dan sel B. Dengan demikian, uji statistik diganti menjadi Mann-
Whitney Test.
2. 7 Karakteristik Responden
Hasil penelitian pada tabel 5.1 menunjukkan bahwa dari 40 responden diperoleh kelompok
umur ibu yang paling banyak adalah 30-32 tahun sebanyak 12 (30,0%) responden, dan
paling sedikit adalah kelompok umur 22-35 tahun dan 36-38 tahun masing-masing
sebanyak 4 (10,0%) responden. Sedangkan kelompok umur pada anak yang paling
banyak adalah kelompok umur 54-60 tahun sebanyak 12 (30,0%) responden, dan paling
sedikit adalah kelompok umur 30-35 tahun sebanyak 2 (5,0%) responden. Hal ini 34 dapat
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kelompok Umur Ibu dan Anak Di Desa
Juni-Juli, 2022
Kelompok Umur
Frekuensi (f)
Persentase (%)
Kelompok Umur Ibu
21-23 Tahun
12,5
24-26 Tahun
20,0
27-29 Tahun
17,5
30-32 Tahun
12
30,0
33-35 Tahun
36-38 Tahun
24-29 Bulan
30-35 Bulan
36-41 Bulan
42-47 Bulan
48-53 Bulan
54-60 Bulan
2
11
12
10,0
10,0
7,5
5,0
27,5
10,0
20,0
30,0
Pada tabel 5.2 dari 40 responden diperoleh jenis kelamin laki-laki sebanyak 20 (50,,0%)
responden, dan perempuan sebanyak 20 (50,0%) responden. Hal 16 ini dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 5.2
Selatan Kecamatan
Juni-Juli, 2022
Jenis Kelamin Anak
Frekuensi (f)
Persentase (%)
Laki-Laki
20
50,0
Perempuan
20
50,0
Jumlah (n)
40
100
Pada tabel 5.3 dari 40 responden diperoleh yang berpendidikan terakhir paling tinggi
adalah Sarjana (S1) sebanyak 5 (12,5%) responden, dan pendidikan terakhir terendah
adalah SD sebanyak 3 (7,5%) responden. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.3
Juni-Juli, 2022
Frekuensi (f)
Persentase (%)
SD
7,5
SMP
22,5
SMA
23
57,5
Sarjana (S1)
12,5
Jumlah (n)
40
100
Pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa dari 40 responden diperoleh pekerjaan yang
terbanyak adalah ibu rumah tangga (IRT) sebanyak 30 (75,0%) responden, dan pekerjaan
yang paling kurang adalah PNS sebanyak 2 (5,0%) responden. Hal ini dapat dilihat pada
tabel berikut :
Tabel 5.4
Juni-Juli, 2022
Pekerjaan Ibu
Frekuensi (f)
Persentase (%)
PNS
Wiraswasta
Petani
5,0
12,5
7,5
IRT
30
75,0
Jumlah (n)
40
100
3. Data Khusus
a. Analisa Univariat
Hasil penelitian pada tabel 5.5 diperoleh data bahwa dari 40 responden diperoleh sanitasi
air bersih yang tidak memenuhi syarat sebanyak 0 (0,0%) responden, dan sanitasi air
bersih yang memenuhi syarat sebanyak 40 (100%) responden. Hal ini 34 dapat dilihat
Tabel 5.5
Selatan Kecamatan
Juni-Juli, 2022
Frekuensi (f)
Persentase (%)
Memenuhi Syarat
40
0,0
100
Jumlah (n)
40
100
2) Kejadian Stunting
Dari hasil penelitian pada tabel 5.6 menunjukkan bahwa dari 40 responden diperoleh
(normal) sebanyak 20 (50,0%) responden. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.6
Selatan Kecamatan
Juni-Juli, 2022
Kejadian Stunting
Frekuensi (f)
Persentase (%)
Stunting
Normal
20
20
50,0
50,0
Jumlah (n)
40
100
b. Analisa Bivariat
Berdasarkan analisis hubungan sanitasi air bersih dengan kejadian stunting pada balita di
tabel 5.7 bahwa dari 20 responden kelompok kasus (stunting) diperoleh sanitasi air bersih
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 0 (0,0%) responden, dan sanitasi air bersih yang
(tinggi badan anak yang normal) dari 20 responden diperoleh sanitasi air bersih yang tidak
memenuhi syarat sebanyak 0 (0,0%) responden, dan sanitasi air bersih yang memenuhi
syarat ssebanyak 20 (50,0%) responden. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5.7
Analisis Hubungan Sanitasi Air Bersih dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di Desa
Juni-Juli, 2022
Kejadian Stunting
Total
Stunting
Normal
F
Memenuhi Syarat
20
0,0
50,0
20
0,0
50,0
40
0,0
100
Jumlah (n)
20
50,0
20
50,0
40
100
Berhubung hasil olah data SPSS untuk Uji Odds Ratio tidak memenuhi syarat di penelitian
ini, karena terdapat kriteria objektif yang tidak memiliki nilai yaitu kriteria tidak memenuhi
syarat untuk variabel sanitasi air bersih, sehingga hasil olah data terdapat 2 sel yang
nilainya 0, yaitu sel A dan sel B. Dengan demikian, uji statistik diganti menjadi Mann-
Whitney Test.
Berdasarkan analisis dari 40 responden diperoleh data bahwa anak yang mengalami
stunting dengan sanitasi 7 air bersih yang memenuhi syarat sebanyak 20 responden
dengan nilai rata-rata 20,50. Sedangkan anak yang normal (tidak stunting) dengan sanitasi
air bersih yang memenuhi syarat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 20,50. Hal
Tabel 5.8
Analisis 8 Hubungan Sanitasi Air Bersih dengan Kejadian Stunting Pada Balita Di Desa
Juni-Juli, 2022
Kejadian Stunting
Frekuensi (f)
Mean Rank
Nilai ρ
Stunting
Normal
20
20
20,50
20,50
1,0
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Uji Statistik Mann-Whitney diperoleh nilai ρ =
01,0 > nilai α = 0,05, yang berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian tidak ada
8 hubungan sanitasi air bersih dengan kejadian stunting pada balita di desa Bontobiraeng
B. Pembahasan
Hasil analisis hubungan sanitasi 7 air bersih dengan kejadian stunting pada balita untuk
kelompok kasus (stunting) dari 20 responden diperoleh sanitasi air bersih yang memenuhi
Menurut asumsi peneliti, terdapat 63 beberapa faktor yang bisa menjadi penyebab anak
mengalami stunting ketika sanitasi air bersih memenuhi syarat kesehatan, diantaranya
pengetahuan ibu akan pentingnya asupan gizi ibu selama hamil. Selain itu, anak kurang
mendapatkan makanan bergizi karena faktor pendapatan keluarga yang kurang, dimana
beberapa faktor yang menjadi penyebab stunting yaitu praktek pengasuhan yang kurang
baik, termasuk kurangnya pengetahuan ibu mengenai kesehatan dan gizi sebelum dan
pada masa kehamilan, serta setelah ibu melahirkan. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013
yang dikutip oleh Alwin Dakhi (2018) menunjukkan bahwa kejadian stunting balita banyak
dipengaruhi oleh faktor pendapatan dan pendidikan orang tua yang rendah.
Pendapat 71 tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Lia Agustin dan
dengan kejadian stunting. Keluarga dengan pendapatan kurang dari upah minimum
Pada kelompok kontrol (tinggi badan anak yang normal) dari 20 responden diperoleh
sanitasi 7 air bersih yang memenuhi syarat sebanyak 20 (50,0%) responden, dengan
nilai rata-rata 20,50. Menurut asumsi peneliti, hasil penelitian tersebut memberikan makna
bahwa semakin baik sanitasi air bersih maka seseorang tidak mudah terserang penyakit,
karena salah satu faktor anak bisa mengalami stunting yaitu penyakit diare.
Menurut Wikipedia (2021), sanitasi memiliki 14 hubungan yang erat dengan bidang
kesehatan. Sarana dan prasarana 30 yang tidak layak dapat berpengaruh pada
penyebaran penyakit, seperti diare dan kolera melalui beberapa jalur penularan yang
dikenal dengan 5F, yaitu Fluids (air atau cairan), Fields (tanah), Files (lalat), Fingers
(tangan), dan Foods (makanan). Hal tersebut sesuai dengan 7 hasil penelitian yang
dilakukan oleh Siti Hasanah, dkk (2021) memberikan kesimpulan bahwa ada hubungan
signifikan antara variabel sumber air bersih, akses sanitasi, pengelolaan sampah rumah
tangga, kejadian diare dan kejadian ISPA 8 dengan kejadian stunting pada balita di
Indonesia.
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Uji Statistik Mann-Whitney diperoleh nilai ρ =
01,0 > nilai α = 0,05, yang berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian tidak ada
hubungan sanitasi air bersih dengan kejadian stunting pada balita di desa Bontobiraeng
Menurut asumsi peneliti, faktor sanitasi air bersih bukan menjadi faktor utama sehingga
anak tidak mengalami stunting, akan tetapi terdapat banyak faktor yang menjadi penyebab
sehingga anak bisa mengalami stunting, diantaranya tingkat pendidikan ibu, pengetahuan
ibu akan pentingnya makanan bergizi, dan pendapatan keluarga. Seorang ibu berperan
penting 12 selama masa kehamilan dan setelah melahirkan dalam menentukan makanan
yang kaya akan zat gizi untuk kesehatan dirinya dan anaknya.
Menurut Tubagus Guritno (2022), bahwa peran ibu merupakan kunci pemenuhan nutrisi
bagi sikecil, 42 terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK) yang merupakan
masa emas dari tumbuh kembang anak. Setelah bayi lahir, diharapkan anak diberikan ASI
eksklusif sampai umur 6 bukan dan ditunjang dengan pemberian makanan pendamping
membawa ke posyandu, dan memberikan makanan dengan cakupan gizi yang baik.
sebabkan oleh faktor multidimensi yang saling berkaitan. Terdapat 2 1 faktor yang
menyebabkan terjadinya keadaan stunting pada anak, yaitu faktor langsung (asupan gizi
balita, penyakit infeksi), dan faktor tidak langsung (ketersediaan pangan, status gizi ibu
saat hamil). Sedangkan faktor resiko anak menjadi stunting yaitu berat badan lahir rendah
(BBLR), status imunisasi, usia ibu saat melahirkan, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, jumlah
BAB VI
A. Kesimpulan
Kec. Bontonompo pada bulan Juni sampai dengan Juli 2022, yaitu :
1. Semua sanitasi air bersih sudah memenuhi syarat kesehatan yaitu sebanyak 40 (100%)
responden.
3. Hasil uji statistik menggunakan Uji Statistik Mann-Whitney diperoleh nilai ρ = 01,0 > nilai
α = 0,05, yang berarti Ho 16 diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian tidak ada 8
hubungan sanitasi air bersih dengan kejadian stunting pada balita di desa Bontobiraeng
B. Saran
1. Diharapkan menjadi sumber informasi bagi institusi pendidikan, dan 7 bagi peneliti
selanjutnya untuk meneliti faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi kejadian stunting.
2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi
pemerintah desa di Bontobiraeng selatan Kec. Bontonompo Kab. Gowa kiranya bisa
mempertahankan kondisi sanitasi air bersih yang sudah digunakan oleh masyarakat
selama ini, dan meningkatkan kerjasama dengan lintas sektor untuk melakukan
3. Diharapkan kepada orang tua lebih memperhatikan kandungan gizi asupan makanan
yang diberikan kepada anak, memperhatikan kebersihan lingkungan dan makanan, dan
perkembanan anak.
MASTER TABEL
TAHUN 2022
No.
Total
KO
Inisial
Umur (Tahun)
Pendidikan Terakhir
Pekerjaan
Inisial
Umur (Bulan)
Jenis Kelamin
Nilai Z-Skor
24 1
8
1
35
SMA
IRT
36
Perempuan
85,2
-2,6
STUNTING
PDAM
MS
AD
25
SMA
IRT
N
36
Perempuan
87,3
-2,1
STUNTING
PDAM
MS
IS
32
SD
IRT
AA
48
93,0
-2,3
STUNTING
PDAM
1
MS
HE
29
SD
IRT
MA
59
99,0
-2,3
STUNTING
PDAM
1
1
MS
SH
32
SMP
IRT
SA
51
95,8
-2,1
STUNTING
PDAM
MS
MI
32
SMA
IRT
SKL
60
97,0
-2,6
STUNTING
PDAM
MS
FI
30
SMA
IRT
MAR
48
L
92,0
-2,7
STUNTING
PDAM
MS
RE
31
SMA
IRT
AF
60
100,0
-2,1
STUNTING
PDAM
1
1
MS
HS
35
SMP
IRT
HA
36
88,0
-2,2
STUNTING
PDAM
1
8
MS
10
SA
25
SMP
IRT
NA
60
98,3
-2,4
STUNTING
PDAM
MS
11
32
SMA
IRT
AD
57
98,9
-2,1
STUNTING
PDAM
MS
12
28
SMA
IRT
AF
57
98,3
-2,2
STUNTING
PDAM
MS
13
30
SMP
IRT
41
87,2
-2,8
STUNTING
PDAM
1
1
MS
14
NU
24
SMA
IRT
AA
55
92,6
-3,1
STUNTING
PDAM
MS
15
HN
27
SMP
IRT
MA
45
92,1
-2,3
STUNTING
PDAM
MS
16
HR
31
SD
IRT
MFA
48
92,8
-2,5
STUNTING
PDAM
MS
17
KH
21
SMP
IRT
HA
25
78,0
-3,2
STUNTING
PDAM
1
MS
18
AA
28
SMP
Petani
WF
34
87,2
-2,1
STUNTING
PDAM
1
1
MS
19
NF
32
SMP
IRT
HR
36
86,2
-2,7
STUNTING
PDAM
MS
20
IS
23
SMP
Petani
AAF
34
85,8
-2,1
STUNTING
PDAM
MS
21
MS
21
SMA
IRT
DZ
24
P
84,3
-0,4
NORMAL
PDAM
MS
22
36
S1
PNS
SA
58
106,0
-0,5
NORMAL
PDAM
1
1
MS
23
SW
32
S1
Wiraswasta
AQ
57
109,6
0,4
NORMAL
PDAM
1
8
MS
24
28
SMA
IRT
SA
56
99,5
-1,7
NORMAL
PDAM
MS
25
HA
25
SMA
IRT
NF
55
103,0
-0,8
NORMAL
PDAM
MS
26
SN
23
SMA
IRT
RA
36
91,3
-1,3
NORMAL
PDAM
MS
27
HS
38
S1
PNS
NA
37
89,9
-1,5
NORMAL
PDAM
1
1
MS
28
IS
33
S1
Wiraswasta
AF
37
94,7
-0,5
NORMAL
PDAM
MS
29
RH
30
SMA
IRT
AS
38
94,6
-0,5
NORMAL
PDAM
MS
30
SR
24
SMA
IRT
MF
38
92,5
-1,3
NORMAL
PDAM
MS
31
RM
29
SMA
IRT
MA
39
96,0
-0,5
NORMAL
PDAM
1
MS
32
SA
35
SMA
IRT
42
93,3
-1,7
NORMAL
PDAM
1
1
MS
33
HSM
37
SMA
Wiraswasta
AS
43
100,3
0,1
NORMAL
PDAM
MS
34
RN
31
SMA
IRT
AN
55
104,0
-0,6
NORMAL
PDAM
MS
35
SL
26
SMA
IRT
AZ
52
L
98,3
-1,7
NORMAL
PDAM
MS
36
DA
26
SMA
IRT
SN
50
95,5
-1,9
NORMAL
PDAM
1
1
MS
37
DN
24
SMA
IRT
58
107,0
-0,3
NORMAL
PDAM
1
8
MS
38
29
SMA
Wiraswasta
44
101,2
0,0
NORMAL
PDAM
MS
39
RO
37
S1
Wiraswasta
MI
48
108,0
1,1
NORMAL
PDAM
MS
40
MI
21
SMA
IRT
AAM
24
83,1
-0,8
NORMAL
PDAM
MS
Lampiran 5
Correlations
No.1
No.2
No.3
No.4
No.5
No.6
No.7
No.8
Total
No.1
Pearson Correlation
.509
.509
1.000**
.509
.764*
.509
.764*
.843**
Sig. (2-tailed)
.133
.133
.000
.133
.010
.133
.010
.002
N
10
10
10
10
10
10
10
10
10
No.2
Pearson Correlation
.509
1.000**
.509
1.000**
.667*
1.000**
.667*
.867**
Sig. (2-tailed)
.133
.000
.133
.000
.035
.000
.035
.001
13 N
10
10
10
10
10
10
10
10
10
No.3
Pearson Correlation
.509
1.000**
.509
1.000**
.667*
1.000**
.667*
.867**
Sig. (2-tailed)
.133
.000
.133
.000
.035
.000
.035
.001
10
10
10
10
10
10
10
10
10
No.4
Pearson Correlation
1.000**
.509
.509
.509
.764*
.509
.764*
.843**
Sig. (2-tailed)
.000
.133
.133
.133
.010
.133
.010
.002
10
10
10
10
10
10
10
10
10
No.5
Pearson Correlation
.509
1.000**
1.000**
.509
.667*
1.000**
.667*
.867**
Sig. (2-tailed)
.133
.000
.000
.133
.035
.000
.035
.001
10
10
10
10
10
10
10
10
10
No.6
Pearson Correlation
.764*
.667*
.667*
.764*
.667*
1
.667*
1.000**
.906**
Sig. (2-tailed)
.010
.035
.035
.010
.035
.035
.000
.000
10
10
10
10
10
10
10
10
10
No.7
Pearson Correlation
.509
1.000**
1.000**
.509
1.000**
.667*
.667*
.867**
Sig. (2-tailed)
.133
.000
.000
.133
.000
.035
.035
.001
10
10
10
10
10
10
10
10
10
No.8
Pearson Correlation
.764*
.667*
.667*
.764*
.667*
1.000**
.667*
.906**
Sig. (2-tailed)
.010
.035
.035
.010
.035
.000
.035
.000
10
10
10
10
10
10
10
10
10
Total
Pearson Correlation
.843**
.867**
.867**
.843**
.867**
.906**
.867**
.906**
Sig. (2-tailed)
.002
.001
.001
.002
.001
.000
.001
.000
10
10
10
10
10
10
10
10
10
Keterangan :
r tabel = 0.632 untuk n = 10, sedangkan r hasil bisa dilihat di nilai Total Pearson
Correlation.
Cases
Valid
10
100.0
Excludeda
.0
Total
10
100.0
72 Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
N of Items
.796
9
Item-Total Statistics
No.1
12.5000
24.500
.813
.763
No.2
12.3000
25.789
.851
.776
No.3
12.3000
25.789
.851
.776
No.4
12.5000
24.500
.813
.763
No.5
12.3000
25.789
.851
.776
No.6
12.4000
24.711
.891
.764
No.7
12.3000
25.789
.851
.776
No.8
12.4000
24.711
.891
.764
Total
6.6000
7.156
1.000
.948
Keterangan :
Frequencies
Statistics
Pekerjaan Ibu
Kejadian Stunting
Valid
40
40
40
40
40
40
40
Missing
73 0
Frequency Table
74 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
21-23 Thn
12.5
12.5
12.5
24-26 Thn
20.0
20.0
32.5
27-29 Thn
17.5
17.5
50.0
30-32 Thn
12
30.0
30.0
80.0
33-35 Thn
10.0
10.0
90.0
36-38 Thn
10.0
10.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
SD
7.5
7.5
7.5
SMP
22.5
22.5
30.0
SMA
23
57.5
57.5
87.5
S1
5
12.5
12.5
100.0
Total
40
100.0
100.0
Pekerjaan Ibu
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
PNS
5.0
5.0
5.0
Wiraswasta
12.5
12.5
17.5
Petani
3
7.5
7.5
25.0
IRT
30
75.0
75.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
24-29 Thn
7.5
7.5
7.5
30-35 Thn
5.0
5.0
12.5
36-41 Thn
11
27.5
27.5
40.0
42-47 Thn
10.0
10.0
50.0
48-53 Thn
20.0
20.0
70.0
54-60 Thn
12
30.0
30.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Laki-Laki
20
50.0
50.0
50.0
Perempuan
20
50.0
50.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
Sanitasi Air Bersih
50 Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
40
0.0
100.0
0.0
100.0
0.0
100.0
Kejadian Stunting
Frequency
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
Valid
Stunting
20
50.0
50.0
50.0
Normal
20
50.0
50.0
100.0
Total
40
100.0
100.0
Crosstabs
Cases
Valid
Missing
Total
Percent
Percent
Percent
40
100.0%
.0%
40
100.0%
KEJADIAN STUNTING
Total
STUNTING
NORMAL
Memenuhi Syarat
Count
20
20
40
Expected Count
20.0
20.0
40.0
50.0%
50.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
% of Total
50.0%
50.0%
100.0%
Total
Count
20
20
40
Expected Count
20.0
20.0
40.0
50.0%
50.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
% of Total
50.0%
50.0%
100.0%
Chi-Square Tests
Value
Pearson Chi-Square
.a
N of Valid Cases
40
Keterangan :
Hasil olah data SPSS untuk Uji Odds Ratio tidak memenuhi syarat di penelitian ini, karena
terdapat kriteria objektif yang tidak memiliki nilai yaitu kriteria tidak memenuhi syarat untuk
variabel sanitasi air bersih, sehingga hasil olah data terdapat 2 sel yang nilainya 0, yaitu
NPAR TESTS
/MISSING ANALYSIS.
57 NPar Tests
Mann-Whitney Test
Ranks
KEJADIAN STUNTING
Mean Rank
Sum of Ranks
STUNTING
20
20.50
410.00
NORMAL
20
20.50
410.00
Total
40
Test Statisticsb
Mann-Whitney U
200.000
Wilcoxon W
410.000
Z
.000
1.000
1.000a
EXCLUDE QUOTES ON
EXCLUDE BIBLIOGRAPHY ON