STUDI AL-QUR’AN
DISUSUN OLEH :
ANAS FIRDAUS
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. KESIMPULAN ____________________________________________ 6
B. SARAN __________________________________________________ 6
BAB 1
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
BAB 2
PEMBAHASAN
A. PENGANTAR
B. PENGERTIAN AL-QUR’AN
Definisi dan pengertian Alquran adalah sebagai pedoman dan juga pembimbing
manusia agar bisa mencapai keberhasilan dunia serta di akhirat nantinya. Alquran
sendiri diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yang juga merupakan nabi
terakhir melalui Malaikat Jibril.
Al quran ditulis pada mushaf-mushaf dan lalu disampaikan kepada kita penerus umat
secara mutawatir. Sementara itu, membaca dan memahami Al quran bernilai ibadah.
C. BAGIAN-BAGIAN AL-QUR’AN
1. Surah
Al-Qur’an terdiri dari 114 surah. Masing-masing memiliki sebuah nama yang mencerminkan isi
dan kandungannya, tetapi ada juga surah yang memiliki lebih dari 1 nama. Diantaranya : Al-
Fatihah (Ummul Qura’ dan Sa’bul Masani), At-Taubah (Bara’ah), Al-Isra (Bani Israil), Fatir (Al-
Malaikah), Gafir (Al-Mu’min), Fussilat (Ha Mim As-Sajdah), Al-Insan (Ad-Dahr), Al-Mutaffifin (Al-
Tatfif) dan Al-Lahab (Al-Masad)
2. Ayat
Ayat adalah bagian terkecil yang terdapat di dalam Al-Qur’an, ayat juga merupakan komponen
dasar pada suatu surah. Dari 114 surah yang ada di dalam Al-Qur’an, terdapat 6236 ayat
berdasarkan perhitungan ahli Kuffah yang bersumber dari Abu Abdur Rahman Abdullah bin
Habib As-Sulami dari Ali bin Abi Thalib. Jumlah ayat inilah yang digunakan pada Mushaf Al-
Qur’an yang paling banyak beredar di masyarakat termasuk Mushaf Syaamil Al-Qur’an
3. Juz
Kitab suci Al-Qur’an terbagi menjadi 30 juz yang berdekatan agar mudah dibaca dalam 1 bulan
penuh. Pembagian ini dilakukai seusai dengan perintah Rasulullah Saw. Agar umatnya
membaca atau mengkhatamkan Al-Qur’an tidak lebih dari 1 bulan.
“Dari Abdullah bin Amru berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: ‘Bacalah Al-Qur’an itu dalam
1 bulan’ maka aku berkata ‘Sesungguhnya aku mampu lebih dari itu’ Dan setelah itu beliau
bersabda ‘Kalau begitu, bacalah (khatamkanlah) Al-Qur’an dalam 7 hari dan janganlah melewati
batas itu” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ad-Darimi)
4. Hizb
Hizb terdiri dari setengah juz. Setiap Hizb dibagi lagi menjadi 4 bagian yang disebut dengan
seperempat Hizb
5. Rukuk
Rukuk adalah kumpulan beberapa ayat yang sebaiknya dibaca dalam 1 rakaat shalat. Rukuk
ditandai dengan huruf ‘Ain yang diletakkan di pinggir kiri atau kanan Mushaf.
Pembagian Rukuk ini muncul atas dasar kebiasaan generasi terdahulu dalam meng-khatamkan
Al-Qur’an ketika shalat Fardu. Jika jumlah rukuk atau ‘Ain dalam Al-Qur’an terdiri dari 558 dan
dalam sehari kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an selain Al-Fatihah sebanyak 10 kali (setiap shalat
2 kali), Al-Qur’an dapat dikhatamkan di dalam shalat selama kurang dari 2 bulan (558/10=55,8
hari)
6. Manzil
Manzil adalah pembagian Al-Qur’an menjadi 7 bagian yang hampir sama, dengan tujuan untuk
memudahkan meng-khatamkan Al-Qur’an dalam waktu 7 hari. Berikut ini adalah awal tiap Manzil
tersebut:
1. Surah Al-Fatihah
2. Surah Al-Ma’idah
3. Surah Yunus
4. Surah Bani Israil atau Al-Isra
5. Surah Asy-Syu’ara
6. Surah As-Saffat
7. Surah Qaf
Ketujuh nama surah tersebut disingkat dan dirangkai menjadi sebuah akronim yaitu : FAMY
BISYAWQIN.
Pembagian Al-Qur’an menjadi 7 bagian Manzil ini juga didasarkan pada sabda Rasulullah Saw.,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan juga berdasarkan tradisi membaca para sahabat
dan generasi salafussalih setelahnya
Sejarah nuzulul qur’an terjadi pada saat Rasulullah pertama kali menerima wahyu Al-
Qur’an di gua Hira pada tahun 610 M. Pada saat pertama kali turun, surah yang dibacakan
kepada Rasulullah saw adalah surah al-alaq ayat 1 sampai 5.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan sehingga sering diperingati di malam-malam
Ramadhan. Banyak yang memperingatinya di hari ke-17 bulan Ramadhan. Masyarakat
memperingati nuzulul qur’an dengan berbagai hal seperti pengajian, makan-makan, hingga
membuat semacam perayaan adat yang berhubungan dengan Ramadhan.
Sebelum mendapatkan wahyu di gua Hira, Muhammad pada saat sudah sering melakukan
perenungan. Beliau memikirkan tentang hakikat kebenaran yang jauh dari kehidupan
masyarakat jahiliyah pada saat itu. Kebiasaan ini sudah dilakukan oleh Muhammad sejak dari
sebelum ia menikah dengan Khadijah.
Setiap bulan Ramadhan Nabi Muhammad menyendiri di gua tersebut dengan membawa
perbekalan makanan untuk beribadah. Lokasi gua Hira sendiri sangat strategis dan nyaman
dijadikan tempat beruzlah. Lalu terjadilah peristiwa besar di bulan Ramadan yang ditkamui
dengan turunnya ayat Al-Qur’an pertama sekaligus tkamu kenabian.
Peristiwa turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadan tersebut lalu dikabarkan oleh Muhammad
untuk pertama kalinya kepada istrinya Khadijah. Lalu istrinya tersebut percaya dan
membenarkan atas risalah besar yang akan diemban oleh Muhammad saw sebagai seorang
Rasul di masa akan datang.
E. PEMELIHARAAN AL-QUR’AN
Al-Quran merupakan satu-satunya kitab suci yang dijaga kemurniannya langsung oleh Allah
SWT. Dalam Alquran surah Alhijr ayat 9, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, Kami-lah
yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang akan menjaganya.”
Penegasan ini membuktikan bahwa Al-Quran senantiasa terjaga dari pemalsuan hingga akhir
zaman. Alquran merupakan kalamullah sehingga tidak mungkin akan dipalsukan oleh
makhluknya.
Dalam ulumul quran, sejarah pemeliharaan dan pemurnian al-quran terbagi menjadi tiga fase,
yaitu; pemeliharaan dan pemurnian al-quran pada masa Rasulullah, pemeliharaan dan
pemurnian al-quran pada masa Sahabat, dan pemeliharaan dan pemurnian al-quran pada masa
sekarang.
Bagaimana Al-Quran Dijaga pada Masa Sahabat ?
Pemeliharaan pada masa sahabat terjadi dalam dua tahap, yaitu;
Pertama; pemeliharaan al-qur’an pada masa Abu Bakar
Tragedi berdarah di peperangan Yamamah yang menggugurkan 70 orang sahabat yang hafidz
Qur’an dicermati secara kritis oleh Umar bin Khattab, sehingga muncullah ide brilian dari
beliau dengan mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera mengumpulkan tulisan-tulisan Al-
Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasulullah SAW.
Semula Abu Bakar keberatan dengan usul Umar, dengan alasan belum pernah dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW., tetapi akhirnya Umar Behasil meyakinkannya sehingga dibentuklah
sebuah timyang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas
suci tersebut.Abu Bakar memilih Zaid mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan,
pemahaman, dan kecerdasannya serta dia juga hadir pada saat Al-Qur’an dibacakan oleh
Rasulullah terakhir kalinya.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-hati di
bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama penulisan tersebut adalah ayat-ayat Al-
Qur’an yang dihafal oleh para sahabat dan yang ditulis atau dicatat di hadapan Nabi. Di
samping itu untuk lebih mengetahui kalau catatan yang berisi ayat Al-Qur’an benar-benar
berasal dari Nabi Muhammad SAW., maka harus menghadirkan dua orang saksi yang adil.
Dalam rentang waktu kerja tim, Zaid kesulitan terberat dialaminya pada saat tidak
menemukan naskah mengenai Ayat 128 dari Surat At-Taubah. Ayat tersebut dihafal oleh
banyak sahabat termasuk Zaid sendiri, namun tidak ditemukan dalam bentuk tulisan.
Kesulitan itu nanti berakhir ketika naskah dari ayat tersebuit ditemukan ditangan seorang
bernama Abu Khuzaimah Al-Anshari.
Hasil kerja yang beruapa mushaf Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar sampai
akhir hayatnya. Setelah itu berpindah ketangan Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar Mushaf
di ambil oleh hafsah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas diketahui bahwa Abu Bakar yang memerintahkan pertama
penghimpunan Al-Qur’an, Umar bin Khattab adalah pencetus ide yang brilian, serta Zaid bin
Tsabit adalah aktor utama yang melakukan kerja besar penulisan Al-Qur’an secara utuh dan
sekaligus menghimpunnya dalam bentuk mushaf. Pemeliharaan Al-Qur’an dimasa Abu Bakar
dinamakan pengumpulan yang kedua.
Kedua; pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan Pada masa pemerintahan
Usman, wilayah Negara Islam telah meluas sampai ke Tripoli Barat, Armenia dan
Azarbaijan. Pada waktu itu Islam sudah masuk wilayah Afrika, Syiriah dan Persia. Para
hafidz pun tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat mengenai
qiraat Al-Qur’an.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan diantara orang yang ikut menyerbu kedua kota
tersebut adalah Khuzaifah bin al-Yaman. Ia menemukan banyak perbedaan dalam cara-cara
membaca Al-Qur’an, bahkan sebagian qiraat itu bercampur dengan dengan kesalahan.
Masing-masing mempertahankan bacaannya serta menetang setiap bacaaan yang tidak
berasal dari gurunya. Melihat kedaan yang memprihatinkan ini Khuzaifah segera melaporkan
kepada Khalifah Usman tentang sesuatu yang telah dilihatnya
Usman segara mengundang para sahabat bermusyawarah mencari jalan keluar dari masalah
serius tersebut. Akhirnya dicapai suatu kesepakatan agar Mushaf Abu Bakar disalin kembali
menjadi beberapa mushaf untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang cara
membaca Al-Qur’an.Untuk terlaksananya tugas tersebut Usman menunjuk satu tim yang
terdiri dari empat orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash
dan Abdul Rahman bin Haris bin Hisyam.Hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf Al-
Qur’an standar. Tiga diantaranya dikirm ke Syam, Kufah dan Basrah, dan satu mushaf
ditinggalakan di Madinah untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal dengan al-Mushaf
al-Imam. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan dapat diselesaikan dengan tuntas
maka usman memerintahkan semua mushaf yang berbeda dengan hasil kerja panitia yang
empat ini untuk dibakar.
Dengan usahanya itu usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis
sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari perubahan dan penyimpangan sepanjang
zaman. mushaf yang ditulis dimasa usman inilah yang kemudian menjadi rujukan sampai
sekarang. (*)
F. TADWI AL-QUR’AN
Sebagian besar naskah alquran pertama dan awal abad kedua naskah dari
pertama dan awal abad kedua tersebar di seluruh dunia di perpustakaan,
museum, masjid, dan tangan swasta. Laporan yang terakumulasi dalam
sumber-sumber sastra tentang sejarah awal teks bukan tanpa masalah.
Mereka berisi kontradiksi dan kesenjangan dalam aspek-aspek tertentu
dari apa yang terjadi sebelum disebarluaskan pada masa Usman. Namun,
ada unsur-unsur tertentu yang berkaitan ̠ pada tindakan penyebaran itu
sendiri yang dapat diverifikasi.
Pertama, tidak ada keraguan bahwa pada masa Usman yang mendirikan-
standar bacaan pada alquran dengan mengirimkan salinan asli alquran
untuk berbagai kota. Kedua, adanya alasan untuk percaya bahwa pada
masa Usman, ia mendirikan adalah apa sumber mengatakan itu sejauh
aspek kerangka-morfemis termasuk perbedaan dalam konvensi ejaan
bacaan.
Perlu diketahui bahwa mushaf yang ditulis pada masa khalifah ‘Utsman bin Affan
yang dikenal dengan sebutan mushhaf ‘Utsman itu tidak menggunakan syakal dan
titik. Oleh karenanya, tulisan mushhaf itu mengandung kemungkinan untuk dibaca
dengan bentuk yang berbeda-beda. Namun demikian, rasa bahasa Arab yang masih
kental pada waktu itu mampu menghindarkan orang dari kemungkinan salah dalam
membaca. Abu Ahman al-‘Askari menceritakan bahwa mushhaf ‘Utsman tetap
dibaca orang banyak dalam bentuk tulisannya seperti yang tersebut di atas selama
empat puluh tahun lebih, yakni sampai masa khalifah ‘Abd al-Malik. Pada masa
inilah banyak terjadi kerancuan dalam membaca sebagian kata dan huruf al-Qur’an
yang ada dalam mushhaf ‘Utsman, sebagai akibat dari pencampuran orang-orang
Arab dengan orang-orang non Arab. Pencampuran ini sedikit banyak telah
mempengaruhi kemurnian bahasa Arab.
Maka pada masa khalifah ‘Abd al-Malik tahun 65 Hijriyyah sebagian penjabat
pemerintah mulai mengkhawatirkan terjadinya perubahan pada teks al-Qur’an jika
mushhaf-mushhaf yang ada tetap tidak diberi baris dan titik. Untuk itu mereka
berinisiatif untuk membuat tanda-tanda baca yang dapat menolong orang supaya
bias membaca mushhaf dengan benar. Dalam kaitan ini disebut-sebut dua nama
pejabat sebagai pihak yang berinisiatif, yakni ‘Ubaidillah ibn Ziyad (wafat 67 H) dan
Al-Hajjaj ibn al-Tsaqafi (wafat 95 H). Masing-masing dari kedua tokoh ini telah
menegaskan kepada orang-orang yang dianggap ahli dan terpercaya bentuk dan
tulisan mushhaf.
Dr. Shubhi al-Shalih berpendapat bahwa mengingat sulitnya kita untuk memastikan
siapakah diantara ketiga tokoh tersebut yang benar-benar merupakan orang pertama
dalam hal ini, maka tidak ada halangan bagi kita untuk menyatakan bahwa ketiga-
tiganya telah memberikan sahamnya masing-masing dalam memperindah tulisan al-
Qur’an dan memudahkan orang untuk membacanya.
ADVERTISEMENT
REPORT THIS AD
Satu kelompok Syiah yang ekstrim menuduh Abu Bakar, Umar, dan Utsman telah
mengubah Al Quran serta menggugurkan beberapan ayat dan suratnya. Mereka telah
mengganti dengan lafad Ummatun hiya azka min ummatin – “Satu umat yang lebih
banyak jumlahnya dari umat yang lain” (QS. An Nahl : 62), asalnya adalah,
“A’immatun hiya azka min a’immatikum- – “Imam-imam yang lebih suci daripada
imam-imam kamu.” Mereka juga menggugurkan ayat-ayat dalam surat Al Ahzab
tentang keutamaan ahlul bait, yang panjangnya sama dengan surat Al An’am dan
surat tentang kekuasaan (al-wilayah) secara total dari Al Quran.
1. B. TERTIB AYAT DAN SURAT
Sudah diterangkan bahwa susunan ayat-ayat dalam satu surat itu senantiasa
disuruhkan oleh Rasulullah saw, baik pada penulisan maupun pembacaannya.
Dan apa yang beliau tetapkan ini bukan pula dari beliau sendiri, karena setiap bulan
Ramadhan beliau tadarrus dengan Malaikat Jibril sehingga sekaligus juga
merupakan penjagaan terhadap Al Quran.
Aku (Ibnu Abbas) berkata kepada Utsman bin Affan: “Apa sebabnya kalian sengaja
(taruhkan sedemikian rupa) pada surat Baro’ah –padahal- dia itu tergolong dari Al-
Miin dan pada surat Al Anfal –padahal- dia itu dari Al Matsani lalu kalian
menjadikan keduanya dalam kelompok As-Sab’uth Thiwal dan kalian tidak saling
menuliskan batas يمِ س ِم هَّللا ِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح
ْ ِبdiantara keduanya. Berkata Utsman: “adalah Nabi
saw apabila turun atas beliau itu beberapa ayat, maka beliau memanggil sebagian
orang yang menjadi penulis beliau dan bersabda kepadanya: “Taruhlah ayat ini
disurat yang disebutkan padanya begini dan begitu!”
1. Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan
sebagain lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil
yang menunjukkan urut-urutan sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya
keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u ath-thiwal, al-hawamim dan al
mufashshal pada masa hidup Rasulullah.
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua
yang menyatakan tertib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak
bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebgaian sahabat mengenai
tertib mushaf mereka khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Al Quran
dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Utsman Al Quran dikumpulkan,
ditertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya pada satu dialek, umatpun sepakat, maka
mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu
merupakan hasil ijtihad, tentu mereka berpegang pada mushafnya masing-masing.
Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan
untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi
setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada
parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand
(Uzbekistan, negara di bagian asia tengah). Mushaf kedua terdapat di Museum al
Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota
Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli
apa adanya. Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di semua
belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda
sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang
menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk
membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.
Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan
membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy
membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad
adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam
membaca kasrah pada kata ?Warasuulihi? yang seharusnya dibaca ?Warasuuluhu?
yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.
Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk
menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk
menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata
berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik
dua horizontal seperti ?adzabun alim? dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal
untuk menandai Idgham seperti ?ghafurrur rahim?.
Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf
yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas
permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti
Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda
Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang
adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.
Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk
semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Al Quran khususnya
bagi orang selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa
Isymam, Rum, dan Mad.
Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat
dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida
(memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri
dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ?ain.
Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al Quran adalah Tajzi? yaitu tanda
pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan
penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk
menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz
dan Juz itu sendiri.
Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Quran disalin dan diperbanyak dari mushaf
utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M.
Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan)
dicetaklah Al-Qur?an untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.
Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini
semakin mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al Quran. Mushaf Al
Quran yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf
edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg
Rusia.
Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia
Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis
Jerman , Fluegel, menerbitkan Al Quran yang dilengkapi dengan pedoman yang
amat bermanfaat.
Sayangnya, terbitan Al Quran yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata
mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan
sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al
Quran dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat
dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan Al Quran yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah
cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang
memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan
pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada
tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al Quran dicetak dengan tekhnik cetak offset
yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini
dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said
Nursi.
[1] Hadits ini terdapat dalam dua kitab Shahih Al Bukhari-Muslim dengan redaksi
yang hampir sama.
I. QIRA’AT AL-QUR’AN
Istilah qira’at berasal dari bahasa Arab قراءات jamak (plural) dari قراءاة, secara etimologi
merupakan akar kata (masdar) dari قرأyang berarti membaca.
Sedangkan menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah satu mazhab pengucapan Qur’an yang
dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab
lainnya.
Dalam kajian Ilmu Tafsir, qira’at berarti: “Suatu aliran dalam melafalkan Al-Qur’an yang
dipelopori oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari
segi pengucapan huruf-huruf, atau hay’ahnya, tapi periwayatan qira’at tersebut darinya serta
jalur yang dilaluinya disepakati”.
Az-Zarqani mendefinsikan qira’at dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh
seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta
kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-
huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.
Menurut Ibn al-Jazari merumuskan bahwa qira’at ialah Ilmu yang menyangkut cara-cara
mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan
kepada penukilnya.
Sedangkan menurut al-Qasthalani ialah Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati
atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan
washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.
Menurut az-Zarkasyi, Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif
(meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.
Sedangkan Ibnu al-Jazari menjelaskan bahwa Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara
melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada
penukilnya.
Perbedaan cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu
bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber,
yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga qira’at
yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu:
1) Qira’at berkaitan dengan cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang
imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.
2) Cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada
Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.
Syaikh Abdul Fath al-Qadhy berkata bahwa qira’at adalah ilmu tentang tatacara pengucapan
kalimat-kalimat (ayat-ayat) Qur’aniyah.
Ibn al-Jaziri menegaskan bahwa qira’at ialah ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) Al-Qur’an
dan perbedaannya, dan tidak menyatakan qira’at sebagai suatu aliran dan tidak pula
menegaskan perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dalam sanad yan dilaluinya.
Kedua kriteria yang terakhir merupakan sesuatu yang sangat penting. Jika kita perhatikan,
apabila qira’at diartikan sebagai “suatu aliran”, maka dengan sendirinya tertolaklah anggapan
bahwa qira’at tujuh berasal dari Hadits Nabi berikut:
Adapun ilmu qira’at (yang benar) itu sendiri telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri,
merupakan suatu praktik sunnah yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat.
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa qira’at berkaitan dengan Hadits Nabi
tentang tujuh huruf tersebut.