Anda di halaman 1dari 17

DIROSAH ISLAMIYAH

STUDI AL-QUR’AN

DISUSUN OLEH :

ACHMAD RIZKI ABDILLAH

ANAS FIRDAUS

SEKOLAH TINGGI EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH

SYAIKHONA KHOLIL SIDOGIRI PASURUAN

TAHUN AJARAN 2020/2021


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ____________________________________________________ 1

KATA PENGANTAR ____________________________________________ 2

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG ______________________________________ 3


B. RUMUSAN MASALAH ____________________________________ 3

BAB II PEMBAHASAN

A. MEKANISME PASAR “ PERMINTAAN “ _____________________ 4


B. HUKUM DAN KURVA PERMINATAAN ______________________ 4
C. FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERMINTAAN __ 5
D. PERGESERAN KURVA PERMINTAAN ______________________ 5

BAB III PENUTUP

A. KESIMPULAN ____________________________________________ 6
B. SARAN __________________________________________________ 6

DAFTAR PUSTAKA _____________________________________________ 7


KATA PENGANTAR

BAB 1

A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
BAB 2

PEMBAHASAN

A. PENGANTAR
B. PENGERTIAN AL-QUR’AN
Definisi dan pengertian Alquran adalah sebagai pedoman dan juga pembimbing
manusia agar bisa mencapai keberhasilan dunia serta di  akhirat nantinya. Alquran
sendiri diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad yang juga merupakan nabi
terakhir melalui Malaikat Jibril.

Sedangkan menurut para ulama ialah sebagai berikut

1. MUHAMMAD ALI ASH-SHABUNI


Menurut Ash-Shabuni, Al quran didefinisikan sebagai suatu firman dari Allah Swt. yang
tidak ada tandingannya, diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW yang merupakan
penutup para nabi dan rasul melalui perantara malaikat Jibril.

Al quran ditulis pada mushaf-mushaf dan lalu disampaikan kepada kita penerus umat
secara mutawatir. Sementara itu, membaca dan memahami Al quran bernilai ibadah.

2. DR. SUBHI AS-SALIH


Menurut As-Salih, Al quran merupakan kalam Allah Swt. yang merupakan mukjizat dan
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, ditulis dalam mushaf, diriwayatkan
secara mutawatir, dan membacanya bernilai ibadah.
3. SYEKH MUHAMMAD KHUDARI BEIK
Menurut Syekh Beik, Al quran adalah firman dari Allah Swt. yang berbahasa Arab dan
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk dipahami isinya, disampaikan kepada
penerus umat secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, diawali dengan surat Al-Fatihah,
dan diakhiri dengan surat An-Naas.Secara garis besar, semua ulama dan para ahli
memiliki penjelasan yang sama mengenai apa itu pengertian Al quran. Al quran sangat
berharga dalam kehidupan kita dan menjadi tonggak berdirinya suatu peradaban, sehingga
kita harus senantiasa mempelajarinya. Itu karena, lagi, Al quran hadir sebagai petunjuk
bagi umat manusia.

C. BAGIAN-BAGIAN AL-QUR’AN

Bagian-Bagian Yang Ada di Dalam Al-Qur'an


ISLAM   21.58.00

1. Surah
Al-Qur’an terdiri dari 114 surah. Masing-masing memiliki sebuah nama yang mencerminkan isi
dan kandungannya, tetapi ada juga surah yang memiliki lebih dari 1 nama. Diantaranya : Al-
Fatihah (Ummul Qura’ dan Sa’bul Masani), At-Taubah (Bara’ah), Al-Isra (Bani Israil), Fatir (Al-
Malaikah), Gafir (Al-Mu’min), Fussilat (Ha Mim As-Sajdah), Al-Insan (Ad-Dahr), Al-Mutaffifin (Al-
Tatfif) dan Al-Lahab (Al-Masad)

2. Ayat
Ayat adalah bagian terkecil yang terdapat di dalam Al-Qur’an, ayat juga merupakan komponen
dasar pada suatu surah. Dari 114 surah yang ada di dalam Al-Qur’an, terdapat 6236 ayat
berdasarkan perhitungan ahli Kuffah yang bersumber dari Abu Abdur Rahman Abdullah bin
Habib As-Sulami dari Ali bin Abi Thalib. Jumlah ayat inilah yang digunakan pada Mushaf Al-
Qur’an yang paling banyak beredar di masyarakat termasuk Mushaf Syaamil Al-Qur’an

3. Juz
Kitab suci Al-Qur’an terbagi menjadi 30 juz yang berdekatan agar mudah dibaca dalam 1 bulan
penuh. Pembagian ini dilakukai seusai dengan perintah Rasulullah Saw. Agar umatnya
membaca atau mengkhatamkan Al-Qur’an tidak lebih dari 1 bulan.
“Dari Abdullah bin Amru berkata bahwa Rasulullah Saw. Bersabda: ‘Bacalah Al-Qur’an itu dalam
1 bulan’ maka aku berkata ‘Sesungguhnya aku mampu lebih dari itu’ Dan setelah itu beliau
bersabda ‘Kalau begitu, bacalah (khatamkanlah) Al-Qur’an dalam 7 hari dan janganlah melewati
batas itu” (HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Ad-Darimi)

4. Hizb
Hizb terdiri dari setengah juz. Setiap Hizb dibagi lagi menjadi 4 bagian yang disebut dengan
seperempat Hizb

5. Rukuk
Rukuk adalah kumpulan beberapa ayat yang sebaiknya dibaca dalam 1 rakaat shalat. Rukuk
ditandai dengan huruf ‘Ain yang diletakkan di pinggir kiri atau kanan Mushaf.
Pembagian Rukuk ini muncul atas dasar kebiasaan generasi terdahulu dalam meng-khatamkan
Al-Qur’an ketika shalat Fardu. Jika jumlah rukuk atau ‘Ain dalam Al-Qur’an terdiri dari 558 dan
dalam sehari kita membaca ayat-ayat Al-Qur’an selain Al-Fatihah sebanyak 10 kali (setiap shalat
2 kali), Al-Qur’an dapat dikhatamkan di dalam shalat selama kurang dari 2 bulan (558/10=55,8
hari)

6. Manzil
Manzil adalah pembagian Al-Qur’an menjadi 7 bagian yang hampir sama, dengan tujuan untuk
memudahkan meng-khatamkan Al-Qur’an dalam waktu 7 hari. Berikut ini adalah awal tiap Manzil
tersebut:
1. Surah Al-Fatihah
2. Surah Al-Ma’idah
3. Surah Yunus
4. Surah Bani Israil atau Al-Isra
5. Surah Asy-Syu’ara
6. Surah As-Saffat
7. Surah Qaf
Ketujuh nama surah tersebut disingkat dan dirangkai menjadi sebuah akronim yaitu : FAMY
BISYAWQIN.
Pembagian Al-Qur’an menjadi 7 bagian Manzil ini juga didasarkan pada sabda Rasulullah Saw.,
sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, dan juga berdasarkan tradisi membaca para sahabat
dan generasi salafussalih setelahnya

D. SEJARAH TURUNYA AL-QUR’AN

Sejarah nuzulul qur’an terjadi pada saat Rasulullah pertama kali menerima wahyu Al-
Qur’an di gua Hira pada tahun 610 M. Pada saat pertama kali turun, surah yang dibacakan
kepada Rasulullah saw adalah surah al-alaq ayat 1 sampai 5.
Peristiwa ini terjadi pada bulan Ramadhan sehingga sering diperingati di malam-malam
Ramadhan. Banyak yang memperingatinya di hari ke-17 bulan Ramadhan. Masyarakat
memperingati nuzulul qur’an dengan berbagai hal seperti pengajian, makan-makan, hingga
membuat semacam perayaan adat yang berhubungan dengan Ramadhan.
Sebelum mendapatkan wahyu di gua Hira, Muhammad pada saat sudah sering melakukan
perenungan. Beliau memikirkan tentang hakikat kebenaran yang jauh dari kehidupan
masyarakat jahiliyah pada saat itu. Kebiasaan ini sudah dilakukan oleh Muhammad sejak dari
sebelum ia menikah dengan Khadijah.
Setiap bulan Ramadhan Nabi Muhammad menyendiri di gua tersebut dengan membawa
perbekalan makanan untuk beribadah. Lokasi gua Hira sendiri sangat strategis dan nyaman
dijadikan tempat beruzlah. Lalu terjadilah peristiwa besar di bulan Ramadan yang ditkamui
dengan turunnya ayat Al-Qur’an pertama sekaligus tkamu kenabian.
Peristiwa turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadan tersebut lalu dikabarkan oleh Muhammad
untuk pertama kalinya kepada istrinya Khadijah. Lalu istrinya tersebut percaya dan
membenarkan atas risalah besar yang akan diemban oleh Muhammad saw sebagai seorang
Rasul di masa akan datang. 

E. PEMELIHARAAN AL-QUR’AN

Al-Quran merupakan satu-satunya kitab suci yang dijaga kemurniannya langsung oleh Allah
SWT. Dalam Alquran surah Alhijr ayat 9, Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya, Kami-lah
yang menurunkan Alquran dan Kami pula yang akan menjaganya.”
Penegasan ini membuktikan bahwa Al-Quran senantiasa terjaga dari pemalsuan hingga akhir
zaman. Alquran merupakan kalamullah sehingga tidak mungkin akan dipalsukan oleh
makhluknya.
Dalam ulumul quran, sejarah pemeliharaan dan pemurnian al-quran terbagi menjadi tiga fase,
yaitu; pemeliharaan dan pemurnian al-quran pada masa Rasulullah, pemeliharaan dan
pemurnian al-quran pada masa Sahabat, dan pemeliharaan dan pemurnian al-quran pada masa
sekarang.
Bagaimana Al-Quran Dijaga pada Masa Sahabat ?
Pemeliharaan pada masa sahabat terjadi dalam dua tahap, yaitu;
Pertama; pemeliharaan al-qur’an pada masa Abu Bakar

Tragedi berdarah di peperangan Yamamah yang menggugurkan 70 orang sahabat yang hafidz
Qur’an dicermati secara kritis oleh Umar bin Khattab, sehingga muncullah ide brilian dari
beliau dengan mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera mengumpulkan tulisan-tulisan Al-
Qur’an yang pernah ditulis pada masa Rasulullah SAW.
Semula Abu Bakar keberatan dengan usul Umar, dengan alasan belum pernah dilakukan oleh
Nabi Muhammad SAW., tetapi akhirnya Umar Behasil meyakinkannya sehingga dibentuklah
sebuah timyang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit dalam rangka merealisasikan mandat dan tugas
suci tersebut.Abu Bakar memilih Zaid mengingat kedudukannya dalam qiraat, penulisan,
pemahaman, dan kecerdasannya serta dia juga hadir pada saat Al-Qur’an dibacakan oleh
Rasulullah terakhir kalinya.
Zaid bin Tsabit melaksanakan tugas yang berat dan mulia tersebut dengan sangat hati-hati di
bawah petunjuk Abu Bakar dan Umar. Sumber utama penulisan tersebut adalah ayat-ayat Al-
Qur’an yang dihafal oleh para sahabat dan yang ditulis atau dicatat di hadapan Nabi. Di
samping itu untuk lebih mengetahui kalau catatan yang berisi ayat Al-Qur’an benar-benar
berasal dari Nabi Muhammad SAW., maka harus menghadirkan dua orang saksi yang adil.
Dalam rentang waktu kerja tim, Zaid kesulitan terberat dialaminya pada saat tidak
menemukan naskah mengenai Ayat 128 dari Surat At-Taubah. Ayat tersebut dihafal oleh
banyak sahabat termasuk Zaid sendiri, namun tidak ditemukan dalam bentuk tulisan.
Kesulitan itu nanti berakhir ketika naskah dari ayat tersebuit ditemukan ditangan seorang
bernama Abu Khuzaimah Al-Anshari.
Hasil kerja yang beruapa mushaf Al-Qur’an disimpan oleh Abu Bakar sampai
akhir hayatnya. Setelah itu berpindah ketangan Umar bin Khattab. Sepeninggal Umar Mushaf
di ambil oleh hafsah binti Umar.
Dari rekaman sejarah di atas diketahui bahwa Abu Bakar yang memerintahkan pertama
penghimpunan Al-Qur’an, Umar bin Khattab adalah pencetus ide yang brilian, serta Zaid bin
Tsabit adalah aktor utama yang melakukan kerja besar penulisan Al-Qur’an secara utuh dan
sekaligus menghimpunnya dalam bentuk mushaf. Pemeliharaan Al-Qur’an dimasa Abu Bakar
dinamakan pengumpulan yang kedua.
Kedua; pemeliharaan Al-Qur’an pada masa Usman bin Affan Pada masa pemerintahan
Usman, wilayah Negara Islam telah meluas sampai ke Tripoli Barat, Armenia dan
Azarbaijan. Pada waktu itu Islam sudah masuk wilayah Afrika, Syiriah dan Persia. Para
hafidz pun tersebar, sehingga menimbulkan persoalan baru, yaitu silang pendapat mengenai
qiraat Al-Qur’an.
Ketika terjadi perang Armenia dan Azarbaijan diantara orang yang ikut menyerbu kedua kota
tersebut adalah Khuzaifah bin al-Yaman. Ia menemukan banyak perbedaan dalam cara-cara
membaca Al-Qur’an, bahkan sebagian qiraat itu bercampur dengan dengan kesalahan.
Masing-masing mempertahankan bacaannya serta menetang setiap bacaaan yang tidak
berasal dari gurunya. Melihat kedaan yang memprihatinkan ini Khuzaifah segera melaporkan
kepada Khalifah Usman tentang sesuatu yang telah dilihatnya
Usman segara mengundang para sahabat bermusyawarah mencari jalan keluar dari masalah
serius tersebut. Akhirnya dicapai suatu kesepakatan agar Mushaf Abu Bakar disalin kembali
menjadi beberapa mushaf untuk dijadikan rujukan apabila terjadi perselisihan tentang cara
membaca Al-Qur’an.Untuk terlaksananya tugas tersebut Usman menunjuk satu tim yang
terdiri dari empat orang sahabat, yaitu Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash
dan Abdul Rahman bin Haris bin Hisyam.Hasil kerja tersebut berwujud empat mushaf Al-
Qur’an standar. Tiga diantaranya dikirm ke Syam, Kufah dan Basrah, dan satu mushaf
ditinggalakan di Madinah untuk pegangan khalifah yang kemudian dikenal dengan al-Mushaf
al-Imam. Agar persoalan silang pendapat mengenai bacaan dapat diselesaikan dengan tuntas
maka usman memerintahkan semua mushaf yang berbeda dengan hasil kerja panitia yang
empat ini untuk dibakar.
Dengan usahanya itu usman telah berhasil menghindarkan timbulnya fitnah dan mengikis
sumber perselisihan serta menjaga Qur’an dari perubahan dan penyimpangan sepanjang
zaman. mushaf yang ditulis dimasa usman inilah yang kemudian menjadi rujukan sampai
sekarang. (*)

F. TADWI AL-QUR’AN

Secara bahasa, kata Tadwin  bermakna artinya : “mengikat yang terpisah dan


mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan) pada suatu diwaan.
Dan kata “diwaan” adalah kumpulan kertas-kertas atau kitab (buku) yang biasanya
dipakai untuk mencatat keperluan tertentu, misalnya “diwaan ahlu jaisy (buku daftar
keluarga militer) yang dalam sejarah Islam untuk pertama kalinya dilakukan Umar.
Adapun “Tadwin Al-quran” adalah  pengumpulan atau tata letak penulisan al-quran yang
berbentuk lembaran atau buku (kitab).

G. NASKAH AL-QUR’AN KUNO


 Berdasarkan essay yang ditulis oleh Behnam Sadeghi setelah diuji
radiokarbon diperkirakan potongan manuskrip Alquran  yang ditulis di atas
kulit domba atau kambing diperkirakan berasal dari paruh pertama abad
ketujuh sehingga menjadikannya manuskrip alquran tertua yang pernah
ditemukan.

Berdasarkan laporan Muslim awal menegaskan bahwa sahabat yang


berbeda dari Nabi memiliki versi yang berbeda tentang alquran dan
beberapa laporan memberikan varian diklaim dari naskah-naskah kuno
mereka.

Perbedaan antara naskah ini tampaknya telah memotivasi upaya


standarisasi tulisan alquran. Seperti pada jaman Usman bin Affan, salinan
Alquran dari ”edisi yang asli” didistribusikan. Namun, komunitas muslim
tidak cukup mampu menyimpan kulit binatang selama beberapa dekade
dan memproduksi mushaf yang komplit.

Kemungkinan manuskrip tersebut merupakan salinan Alquran dari era


Usman bin Affan pada 644-656 Masehi atau masa kekhalifahan
sebelumnya. Hasil tes memberikan kemungkinan lebih dari 95 persen
manuskrip al-Qur`an itu berasal dari antara tahun 568 dan 645 Masehi.

Berdasarkan hitungan penanggalan Masehi, masa Nabi Muhammad


menerima wahyu, sejak diangkat sebagai rasul dan mendakwahkan Islam
hingga ajalnya, adalah antara tahun 610 Masehi dan 632 Masehi.

Beberapa waktu sekitar tahun 650,Usman dikatakan memiliki salinan


alquran yang dikirim untuk Kufah, Basra, di Suriah dan telah disimpan
salinannya di ̣ Madinah. Manuskrip alquran itu, meskipun usianya sudah
seribuan tahun lebih, masih dapat dilihat dan dibaca dengan jelas. Teks
alquran tersebut ditulis dengan gaya Hijazi.

Sebagian besar naskah alquran pertama dan awal abad kedua naskah dari
pertama dan awal abad kedua tersebar di seluruh dunia di perpustakaan,
museum, masjid, dan tangan swasta.  Laporan yang terakumulasi dalam
sumber-sumber sastra tentang sejarah awal teks bukan tanpa masalah.
Mereka berisi kontradiksi dan kesenjangan dalam aspek-aspek tertentu
dari apa yang terjadi sebelum disebarluaskan pada masa Usman. Namun,
ada unsur-unsur tertentu yang berkaitan ̠ pada tindakan penyebaran itu
sendiri yang dapat diverifikasi.

Pertama, tidak ada keraguan bahwa pada masa Usman yang mendirikan-
standar bacaan pada alquran dengan mengirimkan salinan asli alquran
untuk berbagai kota. Kedua, adanya alasan untuk percaya bahwa pada
masa Usman, ia mendirikan adalah apa sumber mengatakan itu sejauh
aspek kerangka-morfemis termasuk perbedaan dalam konvensi ejaan
bacaan.

Manuskrip yang hampir seabad terabaikan di Universitas Birmingham itu


merupakan bagian dari Mingana Collection, yang terdiri dari lebih 3.000
dokumen asal Timur Tengah yang dikumpulkan pada tahun 1920-an oleh
Alphonse Mingana, seorang pendeta Khaldean yang dilahirkan di dekat
Mosul di Iraq sekarang.

Pendeta Mingana melakukan perjalanan ke berbagai wilayah Timur


Tengah untuk mengumpulkan manuskrip-manuskrip lawas dengan
dukungan dana dari Edward Cadbury, anggota keluarga dinasti pengusaha
kaya bidang industri panganan coklat.

H. PENYEMPURNAAN TULISAN AL-QUR’AN

Perlu diketahui bahwa mushaf yang ditulis pada masa khalifah ‘Utsman bin Affan
yang dikenal dengan sebutan mushhaf ‘Utsman itu tidak menggunakan syakal dan
titik. Oleh karenanya, tulisan mushhaf itu mengandung kemungkinan untuk dibaca
dengan bentuk yang berbeda-beda. Namun demikian, rasa bahasa Arab yang masih
kental pada waktu itu mampu menghindarkan orang dari kemungkinan salah dalam
membaca. Abu Ahman al-‘Askari menceritakan bahwa mushhaf ‘Utsman tetap
dibaca orang banyak dalam bentuk tulisannya seperti yang tersebut di atas selama
empat puluh tahun lebih, yakni sampai masa khalifah ‘Abd al-Malik. Pada masa
inilah banyak terjadi kerancuan dalam membaca sebagian kata dan huruf al-Qur’an
yang ada dalam mushhaf ‘Utsman, sebagai akibat dari pencampuran orang-orang
Arab dengan orang-orang non Arab. Pencampuran ini sedikit banyak telah
mempengaruhi kemurnian bahasa Arab.
Maka pada masa khalifah ‘Abd al-Malik tahun 65 Hijriyyah sebagian penjabat
pemerintah mulai mengkhawatirkan terjadinya perubahan pada teks al-Qur’an jika
mushhaf-mushhaf yang ada tetap tidak diberi baris dan titik. Untuk itu mereka
berinisiatif untuk membuat tanda-tanda baca yang dapat menolong orang supaya
bias membaca mushhaf dengan benar. Dalam kaitan ini disebut-sebut dua nama
pejabat sebagai pihak yang berinisiatif, yakni ‘Ubaidillah ibn Ziyad (wafat 67 H) dan
Al-Hajjaj ibn al-Tsaqafi (wafat 95 H). Masing-masing dari kedua tokoh ini telah
menegaskan kepada orang-orang yang dianggap ahli dan terpercaya bentuk dan
tulisan mushhaf.

Perlu diperhatikan bahwa usaha penyempurnaan bentuk tulisan al-Qur’an tidaklah


berlangsung sekaligus melainkan berjalan tahap demi tahap sehingga mencapai
puncak keindahannya pada akhir abad ketiga Hijriyyah.

Adapun mengenai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar pemberian syakal


dan pada al-Qur’an, dikalangan para ulama terdahulu terdapat perbedaan pendapat.
Dalam hubungan ini ada tiga nama yang disebut-sebut oleh mereka, yakni : Abu al-
Aswad al du-ali dan nama ini yang paling popular Yahya ibn Ya’mar dan Nashr ibn
‘Ashim al-Laitisi.

Dr. Shubhi al-Shalih berpendapat bahwa mengingat sulitnya kita untuk memastikan
siapakah diantara ketiga tokoh tersebut yang benar-benar merupakan orang pertama
dalam hal ini, maka tidak ada halangan bagi kita untuk menyatakan bahwa ketiga-
tiganya telah memberikan sahamnya masing-masing dalam memperindah tulisan al-
Qur’an dan memudahkan orang untuk membacanya.

ADVERTISEMENT
REPORT THIS AD

Pada masa-masa beriktunya semakin semaraklah usaha-usaha menyempurna-kan


dan memperindah tulisan al-Qur’an sehingga pada akhirnya kita warisi mushhaf al-
Qur’an seperti yang ada pada hari ini.

Dalam kaitannya dengan percetakan al-Qur’an, Hasbi Ash-Shiddieqy menyebut


tahun 1694 Masehi sebagai tahun pertama kali al-Qur’an dicetak, yakni di kota
Hamburg (Jerman). Sedangkan Shubhi al-Shalih menyebut tahun 1530 Masehi.
Akan tetapi sebelum sempat beredar, penguasa gereja telah memerintahkannya
pemusnahannya.

1. A.  SYUBHAT YANG BATIL


Ada beberapa keraguan (syubhat) yang sengaja dihembuskan oleh para pengumbar
hawa nafsu untuk melemahkan keyakinan kepada Al Quran dan proses
pengumpulannya yang telah dilakukan secara teliti. Di sini, akan kami kemukakan
beberapa hal yang diras penting, demikian juga tanggapannya.
1. Menurut penebar syubhat itu, beberapa riwayat menunjukkan bahwa ada
beberapa bagian Al Quran yang tidak dituliskan dalam mushaf-mushaf yang ada
ditangan kita ini. Beberapa riwayat tersebut yaitu:
A. Diriwayatkan dari ‘Aisyah, dia menegaskan bahwa Rasulullah SAW pernah
mendengar seorang membaca Al Quran dimasjid, lalu berkata, “Semoga Allah
mengasihinya. Ia telah mengingatkan saya akan ayat anu dan ayat anu dari
surat anu.” Dalam riwayat lain dikatakan, “Aku telah menggugurkannya dari
ayat ini dan ini.” Juga, “Aku telah dibuat lupa terhadapnya.”[1]
Syubhat ini dapat dijawab, Teringatnya Rasulullah akan satu atau beberapa ayat
yang ia lupa atau ia gugurkan karena lupa itu hendaknya tidak menimbulkan keragu-
raguan dalam masalah pengumpulan Al Quran, karena riwayat yang menggunakan
ungkapan isqath (menggugurkan) itu telah ditafsirkan oleh riwayat lain, kuntu
unsituha (aku telah dibuat lupa terhadapnya). Ini menunjukkan bahwa yang
dimaksud dengan isqath itu adalah nasituha, sebagaimana ditunjukkan pula oleh
kata-kata adrakani (telah mengingatkan aku). Masalah lupa itu biasa saja terjadi
pada Rasulullah dalam hal yang tidak mencederai makna tabligh. Di samping itu,
ayat-ayat tersebut telah dihafal oleh Rasulullah, dicatat oleh penulis

1. Allah berfirman dalam surat AlA’la,


َ ‫سنُ ْق ِرُئ َك فَاَل تَ ْن‬
)7( ‫) ِإاَّل َما شَا َء هَّللا ُ ِإنَّهُ يَ ْعلَ ُم ا ْل َج ْه َر َو َما يَ ْخفَى‬6( ‫سى‬ َ
1. Mereka mengatakan, dalam Al Quran terdapat sesuatu yang bukan Al Quran.
Mereka berdalil dengan riwayat yang menyatakan bahwa Ibnu Mas’ud
mengingkari Surat An Nas dan Al Falaq termasuk bagian Al Quran.
 

Satu kelompok Syiah yang ekstrim menuduh Abu Bakar, Umar, dan Utsman telah
mengubah Al Quran serta menggugurkan beberapan ayat dan suratnya. Mereka telah
mengganti dengan lafad Ummatun hiya azka min ummatin – “Satu umat yang lebih
banyak jumlahnya dari umat yang lain” (QS. An Nahl : 62), asalnya adalah,
“A’immatun hiya azka min a’immatikum- – “Imam-imam yang lebih suci daripada
imam-imam kamu.” Mereka juga menggugurkan ayat-ayat dalam surat Al Ahzab
tentang keutamaan ahlul bait, yang panjangnya sama dengan surat Al An’am dan
surat tentang kekuasaan (al-wilayah) secara total dari Al Quran.

 
1. B.  TERTIB AYAT DAN SURAT
Sudah diterangkan bahwa susunan ayat-ayat dalam satu surat itu senantiasa
disuruhkan oleh Rasulullah saw, baik pada penulisan maupun pembacaannya.

Dan apa yang beliau tetapkan ini bukan pula dari beliau sendiri, karena setiap bulan
Ramadhan beliau tadarrus dengan Malaikat Jibril sehingga sekaligus juga
merupakan penjagaan terhadap Al Quran.

Hadits-hadits yang menunjukkan fadhilah surat-surat tertentu atau bahwa Rasul


saw membaca surat ini dan itu dalam suatu shalat, itu menunjukkan kepada kita
bahwa susunan dan urutan-urutan ayat dalam satu surat itu merupakan ketetapan
beliau (walaupun berdasarkan wahyu), bukan dari sahabat sendiri.
Para ulama berbeda pendapat tentang tertib surat-surat Aal Quran yang ada
sekarang:

1. Ada yang berpendapat bahwa susuna surat-surat itu berdasarkan ketetapan


(tauqifi) yang Rasulullah saw membacanya berdasarkan yang dibacakan Malaikat
Jibril sebgaimana perintah Allah kepadanya.
2. Ada dikatakan bahwa urut-urutan surat dalam mushaf adalah berdasarkan
ijtihad para sahabat. Pandangan ini didasarkan kepada adanya perselisihan
mushaf pendapat para sahabat.
Misalnya :

 Mushaf Ali disusun berdasarkan urut-urutan turunnya surat: Al ‘alaq, Al


Mudatstsir, Al Qolam, Al Muzammil, dst sampai akhir Makiyah dan selanjutnya
Madaniyah.
 Mushaf Ibnu Mas’ud dimulai dengan Al Baqarah(2), An-Nisa’(4) kemudian Ali
‘Imran(3).
 Mushaf Ubay bin Ka’ab dimulai dengan Al Fatihah, kemudian Al Baqoarah(2),
kemudian An-Nisa’(4), kemudian Ali ‘Imran(3).
َّ ‫قُ ْلتُ لِ ُع ْث َمانَ ْب ِن َعفَّانَ َما َح َملَ ُك ْم َأنْ َع َم ْدتُ ْم ِإلَى بَ َرا َءةَ َو ِه َي ِمنْ ا ْلمِِئينَ َوِإلَى اَأْل ْنفَا ِل َو ِه َي ِمنْ ا ْل َمثَانِي فَ َج َع ْلتُ ُمو ُه َما فِي ال‬
‫س ْب ِع الطِّ َوا ِل‬
ْ‫ض َمن‬ َ ‫سلَّ َم ِم َّما تَنَ َّز ُل َعلَ ْي ِه اآْل يَاتُ فَيَ ْدعُو بَ ْع‬
َ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫يم قَا َل ُع ْث َمانُ َكانَ النَّبِ ُّي‬ ْ ِ‫س ْط َر ب‬
ِ ‫س ِم هَّللا ِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح‬ َ ‫َولَ ْم تَ ْكتُبُوا بَ ْينَ ُه َما‬
‫َأْل‬ َ ْ َ َ ْ
‫سو َر ِة الَّتِي يُذ َك ُر فِي َها َكذا َو َكذا َوتَ ْن ِز ُل َعلَ ْي ِه اآْل يَةُ َواآْل يَتَا ِن فَيَقُو ُل ِمث َل ذلِ َك َوكَانَتْ ا ْنفَا ُل‬ ُّ ‫ض ْع َه ِذ ِه اآْل يَةَ فِي ال‬ َ ُ‫َكانَ يَ ْكت ُُب لَهُ َويَقُو ُل لَه‬
‫صتِ َها فَظَنَ ْنتُ َأنَّ َها ِم ْن َها فَ ِمنْ ُهنَا َك‬
َّ ِ‫شبِي َهةً بِق‬ َ ‫صتُ َها‬ َّ ِ‫آن َوكَانَتْ ق‬ ِ ‫آخ ِر َما نَ َز َل ِمنْ ا ْلقُ ْر‬ ِ ْ‫ِمنْ َأ َّو ِل َما ُأ ْن ِز َل َعلَ ْي ِه بِا ْل َم ِدينَ ِة َوكَانَتْ بَ َرا َءةُ ِمن‬
ِ ِ َّ ِ َ َّ ِ ِ ِ ‫س ْط َر‬
‫يم‬ ‫ح‬ ‫ر‬ ‫ال‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫ح‬
ْ ‫ر‬ ‫ال‬ ‫هَّللا‬ ‫م‬‫س‬ْ ‫ب‬ َ ‫ال َولَ ْم َأ ْكت ُْب بَ ْينَ ُه َما‬ ِ ‫س ْب ِع الطِّ َو‬
َّ ‫ض ْعتُ َها ِفي ال‬ َ ‫َو‬
Artinya:

Aku (Ibnu Abbas) berkata kepada Utsman bin Affan: “Apa sebabnya kalian sengaja
(taruhkan sedemikian rupa) pada surat Baro’ah –padahal- dia itu tergolong dari Al-
Miin dan pada surat Al Anfal –padahal- dia itu dari Al Matsani lalu kalian
menjadikan keduanya dalam kelompok As-Sab’uth Thiwal dan kalian tidak saling
menuliskan batas ‫يم‬ِ ‫س ِم هَّللا ِ ال َّر ْح َم ِن ال َّر ِح‬
ْ ‫ ِب‬diantara keduanya. Berkata Utsman: “adalah Nabi
saw apabila turun atas beliau itu beberapa ayat, maka beliau memanggil sebagian
orang yang menjadi penulis beliau dan bersabda kepadanya: “Taruhlah ayat ini
disurat yang disebutkan padanya begini dan begitu!”
1. Kelompok ketiga berpendapat, sebagian surat itu tertibnya bersifat tauqifi dan
sebagain lainnya berdasarkan ijtihad para sahabat. Hal ini karena terdapat dalil
yang menunjukkan urut-urutan sebagian surat pada masa Nabi. Misalnya
keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u ath-thiwal, al-hawamim dan al
mufashshal pada masa hidup Rasulullah.
Apabila membicarakan ketiga pendapat ini, jelaslah bagi kita bahwa pendapat kedua
yang menyatakan tertib surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, tidak
bersandar dan berdasar pada suatu dalil. Sebab, ijtihad sebgaian sahabat mengenai
tertib mushaf mereka khusus, merupakan ikhtiar mereka sebelum Al Quran
dikumpulkan secara tertib. Ketika pada masa Utsman Al Quran dikumpulkan,
ditertibkan ayat-ayat dan surat-suratnya pada satu dialek, umatpun sepakat, maka
mushaf-mushaf yang ada pada mereka ditinggalkan. Seandainya tertib itu
merupakan hasil ijtihad, tentu mereka berpegang pada mushafnya masing-masing.

1. C.  TANDA YANG MEMPERMUDAH MEMBACA AL QURAN


Sampai sekarang, setidaknya masih ada empat mushaf yang disinyalir adalah salinan
mushaf hasil panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit pada masa khalifah Usman
bin Affan. Mushaf pertama ditemukan di kota Tasyqand yang tertulis dengan Khat
Kufy. Dulu sempat dirampas oleh kekaisaran Rusia pada tahun 1917 M dan disimpan
di perpustakaan Pitsgard (sekarang St.PitersBurg) dan umat islam dilarang untuk
melihatnya.

Manuskrip Al Qur-an dari Andalusia Abad ke-12

Pada tahun yang sama setelah kemenangan komunis di Rusia, Lenin memerintahkan
untuk memindahkan Mushaf tersebut ke kota Opa sampai tahun 1923 M. Tapi
setelah terbentuk Organisasi Islam di Tasyqand para anggotanya meminta kepada
parlemen Rusia agar Mushaf dikembalikan lagi ketempat asalnya yaitu di Tasyqand
(Uzbekistan, negara di bagian asia tengah). Mushaf kedua terdapat di Museum al
Husainy di kota Kairo mesir dan Mushaf ketiga dan keempat terdapat di kota
Istambul Turki. Umat islam tetap mempertahankan keberadaan mushaf yang asli
apa adanya. Sampai suatu saat ketika umat islam sudah terdapat hampir di semua
belahan dunia yang terdiri dari berbagai bangsa, suku, bahasa yang berbeda-beda
sehingga memberikan inspirasi kepada salah seorang sahabat Ali bin Abi Thalib yang
menjadi khalifah pada waktu itu yang bernama Abul-Aswad as-Dualy untuk
membuat tanda baca (Nuqathu I’rab) yang berupa tanda titik.

Atas persetujuan dari khalifah, akhirnya ia membuat tanda baca tersebut dan
membubuhkannya pada mushaf. Adapun yang mendorong Abul-Aswad ad-Dualy
membuat tanda titik adalah riwayat dari Ali r.a bahwa suatu ketika Abul-Aswad
adDualy menjumpai seseorang yang bukan orang arab dan baru masuk islam
membaca kasrah pada kata ?Warasuulihi? yang seharusnya dibaca ?Warasuuluhu?
yang terdapat pada QS. At-Taubah (9) 3 sehingga bisa merusak makna.

Abul-Aswad ad-Dualy menggunakan titik bundar penuh yang berwarna merah untuk
menandai fathah, kasrah, Dhammah, Tanwin dan menggunakan warna hijau untuk
menandai Hamzah. Jika suatu kata yang ditanwin bersambung dengan kata
berikutnya yang berawalan huruf Halq (idzhar) maka ia membubuhkan tanda titik
dua horizontal seperti ?adzabun alim? dan membubuhkan tanda titik dua Vertikal
untuk menandai Idgham seperti ?ghafurrur rahim?.

Adapun yang pertama kali membuat Tanda Titik untuk membedakan huruf-huruf
yang sama karakternya (nuqathu hart) adalah Nasr bin Ashim (W. 89 H) atas
permintaan Hajjaj bin Yusuf as-Tsaqafy, salah seorang gubernur pada masa Dinasti
Daulah Umayyah (40-95 H). Sedangkan yang pertama kali menggunakan tanda
Fathah, Kasrah, Dhammah, Sukun, dan Tasydid seperti yang-kita kenal sekarang
adalah al-Khalil bin Ahmad al-Farahidy (W.170 H) pada abad ke II H.

Kemudian pada masa Khalifah Al-Makmun, para ulama selanjutnya berijtihad untuk
semakin mempermudah orang untuk membaca dan menghafal Al Quran khususnya
bagi orang selain arab dengan menciptakan tanda-tanda baca tajwid yang berupa
Isymam, Rum, dan Mad.

Sebagaimana mereka juga membuat tanda Lingkaran Bulat sebagai pemisah ayat
dan mencamtumkan nomor ayat, tanda-tanda waqaf (berhenti membaca), ibtida
(memulai membaca), menerangkan identitas surah di awal setiap surah yang terdiri
dari nama, tempat turun, jumlah ayat, dan jumlah ?ain.

Tanda-tanda lain yang dibubuhkan pada tulisan Al Quran adalah Tajzi? yaitu tanda
pemisah antara satu Juz dengan yang lainnya berupa kata Juz dan diikuti dengan
penomorannya (misalnya, al-Juz-utsalisu: untuk juz 3) dan tanda untuk
menunjukkan isi yang berupa seperempat, seperlima, sepersepuluh, setengah Juz
dan Juz itu sendiri.

Sebelum ditemukan mesin cetak, Al Quran disalin dan diperbanyak dari mushaf
utsmani dengan cara tulisan tangan. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke16 M.
Ketika Eropa menemukan mesin cetak yang dapat digerakkan (dipisah-pisahkan)
dicetaklah Al-Qur?an untuk pertama kali di Hamburg, Jerman pada tahun 1694 M.

Naskah tersebut sepenuhnya dilengkapi dengan tanda baca. Adanya mesin cetak ini
semakin mempermudah umat islam memperbanyak mushaf Al Quran. Mushaf Al
Quran yang pertama kali dicetak oleh kalangan umat islam sendiri adalah mushaf
edisi Malay Usman yang dicetak pada tahun 1787 dan diterbitkan di St. Pitersburg
Rusia.

Kemudian diikuti oleh percetakan lainnya, seperti di Kazan pada tahun 1828, Persia
Iran tahun 1838 dan Istambul tahun 1877. Pada tahun 1858, seorang Orientalis
Jerman , Fluegel, menerbitkan Al Quran yang dilengkapi dengan pedoman yang
amat bermanfaat.

Sayangnya, terbitan Al Quran yang dikenal dengan edisi Fluegel ini ternyata
mengandung cacat yang fatal karena sistem penomoran ayat tidak sesuai dengan
sistem yang digunakan dalam mushaf standar. Mulai Abad ke-20, pencetakan Al
Quran dilakukan umat islam sendiri. Pencetakannya mendapat pengawasan ketat
dari para Ulama untuk menghindari timbulnya kesalahan cetak.
Cetakan Al Quran yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah
cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang
memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan
pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada
tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al Quran dicetak dengan tekhnik cetak offset
yang canggih dan dengan memakai huruf-huruf yang indah. Pencetakan ini
dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said
Nursi.

[1] Hadits ini terdapat dalam dua kitab Shahih Al Bukhari-Muslim dengan redaksi
yang hampir sama.
I. QIRA’AT AL-QUR’AN

Istilah qira’at berasal dari bahasa Arab ‫ قراءات‬ jamak (plural) dari ‫ قراءاة‬, secara etimologi
merupakan akar kata (masdar) dari ‫ قرأ‬yang berarti membaca.

Jadi lafal ‫ قراءات‬ secara bahasa berkonotasi “beberapa pembacaan”. 

Sedangkan menurut istilah ilmiah, qira’at adalah salah satu mazhab pengucapan Qur’an yang
dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu mazhab yang berbeda dengan mazhab
lainnya. 

Dalam kajian Ilmu Tafsir, qira’at berarti: “Suatu aliran dalam melafalkan Al-Qur’an yang
dipelopori oleh salah satu imam qira’at yang berbeda dari pembacaan imam-imam yang lain, dari
segi pengucapan huruf-huruf, atau hay’ahnya, tapi periwayatan qira’at tersebut darinya serta
jalur yang dilaluinya disepakati”.

Az-Zarqani mendefinsikan qira’at dalam terjemahan bukunya yaitu : mazhab yang dianut oleh
seorang imam Qira’at yang berbeda dengan lainnya dalam pengucapan Al-Qur’an serta
kesepakatan riwayat-riwayat dan jalur-jalurnya, baik perbedaan itu dalam pengucapan huruf-
huruf ataupun bentuk-bentuk lainnya.

Menurut Ibn al-Jazari merumuskan bahwa qira’at ialah Ilmu yang menyangkut cara-cara
mengucapkan kata-kata Al-Qur’an dan perbedaan-perbedaannya dengan cara menisbatkan
kepada penukilnya.

Sedangkan menurut al-Qasthalani ialah Suatu ilmu yang mempelajari hal-hal yang disepakati
atau diperselisihkan ulama yang menyangkut persoalan lughat, hadzaf, I’rab, itsbat, fashl, dan
washl yang kesemuanya diperoleh secara periwayatan.

Menurut az-Zarkasyi, Qira’at adalah perbedaan cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur’an, baik
menyangkut huruf-hurufnya atau cara pengucapan huruf-huruf tersebut, seperti takhfif
(meringankan), tatsqil (memberatkan), dan atau yang lainnya.

Sedangkan Ibnu al-Jazari menjelaskan bahwa  Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara
melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakaanya kepada
penukilnya.

Perbedaan cara pendefenisian di atas sebenarnya berada pada satu kerangka yang sama, yaitu
bahwa ada beberapa cara melafalkan Al-Qur’an walaupun sama-sama berasal dari satu sumber,
yaitu Muhammad. Dengan demikian, dari penjelasan-penjelasan di atas, maka ada tiga qira’at
yang dapat ditangkap dari definisi diatas yaitu:

1) Qira’at berkaitan dengan cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan salah seorang
imam dan berbeda cara yang dilakukan imam-imam lainnya.

2) Cara pelafadzan ayat-ayat Al-Qur’an itu berdasarkan atas riwayat yang bersambung kepada
Nabi. Jadi, bersifat tauqifi, bukan ijtihadi.

Syaikh Abdul Fath al-Qadhy berkata bahwa qira’at adalah ilmu tentang tatacara pengucapan
kalimat-kalimat (ayat-ayat) Qur’aniyah. 

Ibn al-Jaziri menegaskan bahwa qira’at ialah ilmu cara melafalkan kalimat (kata-kata) Al-Qur’an
dan perbedaannya, dan tidak menyatakan qira’at sebagai suatu aliran dan tidak pula
menegaskan perlu adanya kesepakatan dalam periwayatan dalam sanad yan dilaluinya. 
Kedua kriteria yang terakhir merupakan sesuatu yang sangat penting. Jika kita perhatikan,
apabila qira’at diartikan sebagai “suatu aliran”, maka dengan sendirinya tertolaklah anggapan
bahwa qira’at tujuh berasal dari Hadits Nabi berikut:

‫هذا القرأن ٌأنزل على سبعة أحرف‬

Adapun ilmu qira’at (yang benar) itu sendiri telah diperkenalkan oleh Nabi Muhammad sendiri,
merupakan suatu praktik sunnah yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. 

Ada beberapa pendapat yang mengemukakan bahwa qira’at berkaitan dengan Hadits Nabi
tentang tujuh huruf tersebut.

Anda mungkin juga menyukai