Anda di halaman 1dari 16

PAPER NEUROLOGI KLINIS

“GANGGUAN GUILLAIN BARRE SYNDROME”

Disusun oleh
Kelompok 5:
Amalia Diani Puspa Sari P27228021003
Lukman Aktovianta P27228021026
Ni Putu Diah Purnama Sari P27228021033
Rissa Imara Maharani P27228021040
Yazid Qasthalani P27228021049

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Menyelesaikan


Mata Kuliah Neurologi Klinis

PROGRAM STUDI DIPLOMA III TERAPI OKUPASI


JURUSAN TERAPI OKUPASI
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SURAKARTA
TAHUN 2022
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Guillain Barre Syndrome atau dikenal dengan GBS adalah suatu syndrome klinis
yang ditandai dengan timbulnya gejala akut yang mengenai saraf perifer dan saraf kranial.
Proses penyakit ini melibatkan demielinasi dan degenerasi selubung mielin saraf perifer dan
kranial. Untuk etiologinya sendiri masih tidak diketahui, tetapi reaksi alergi atau autoimunnya
mungkin terjadi. Beberapa peneliti percaya bahwa syndrome tersebut yang biasa dikenal
dengan GBS berasal dari virus, tetapi sampai saat ini tidak ada virus yang dapat diisolasi.
Guillain Barre Syndrome ini terjadi secara merata pada semua gender dan ras. Puncak pada
syndrome ini terjadi di usia 16 hingga 25 tahun, namun dapat terjadi ada semua usia.
Setengah dari korban yang mengalami penyakit demam ringan dua sampai tiga minggu
sebelum onset, lalu biasanya infeksi demam yang berasal dari saluran pernapasan atau
gastrointestinal.
Guillain Barre Syndrome juga merupakan gangguan yang jarang terjadi karena
system kekebalan tubuh menyenrang system saraf. Gejala awal yang dirasakan adalah
kelemahan ekstrim dan disertai mati rasa. Gejala ini dengan cepat akan menyebar dan bisa
mengakibatkan kelumpuhan pada seluruh tubuh. Dalam syndrome ini, sistem kekebalan tubuh
biasanya hanya menyerang benda asing yang masuk sekarang mulai menyerang saraf-saraf
yang membawa sinyal antara tubuh dan otak. Dalam hal ini mengakibatkan selubung mielin
(pelindung saraf) menjadi rusak dan mengganggu proses signaling yang menyebabkan
kelemahan, mati rasa atau pun kelumpuhan. Meskipun obat yang dapat menyembuhkannya
tidak ada, tapia da beberapa perawatan yang bisa meringankan gejala dan mengurangi sumber
penyakitnya.
Pada beberapa orang yang terkena syndrome ini gejalanya mulai terasa pada area
lengan atau wajah dan selama gangguang berlangsung akan membuat otot menjadi lemah
hingga berubah menjadi kelumpuhan pada tungkai, lengan atau gangguan pada otot
pernapasan. Contohnya dapat diambil dari seorang actor senior Hollywood kelahiran 1 Juni
1926 yang Bernama Andy Griffith. Dia tidak menyangka sebelumnya akan terkena penyakit
langka tersebut hingga Sang dokter memvonis Andy menderita Guillain Barre Syndrome.
Sebelumnya juga dia merasakan ada yang aneh dengan kondisinya yang awalnya hanya gejala
flu berganti menjadi rasa sakit seperti terbakar yang dirasakan ke semua area tubuhnya.
Selama empat hari dokter tidak tahu mengenai penyakit yang dideritanya. Setelah melakukan
pemeriksaan pada vertebraenya, dokter menemukan hasil bahwa penyakit yang diderita Andy
adalah Guillane Barre Syndrome (GBS).
1.2 Batasan Topik
Agar terkait syndrome ini tidak melebar kemana-mana maka akan diberi batasan-
batasan topik seperti berikut ini.
1. Mengidentifikasi definisi terkait Guillane Barre Syndrome
2. Membahas terkait gejala klinis Guillane Barre Syndrome
3. Membahas permasalahan kondisi pada Guillane Barre Syndrome
4. Penatalaksanaan pada kondisi Guillane Barre Syndrome
5. Prognosis pada Guillane Barre Syndrome
1.3 Tujuan Penulisan

Dalam penyusunan karya tulis ini memiliki tujuan umum dan khusus diantaranya adalah:
1. Tujuan Umum
Mengetahui intervensi terapi okupasi terhadap pasien dengan kondisi Guillain-Barre
Syndrome
2. Tujuan Khusus
a. Membahas mengenai kondisi Guillain-Bare Syndrome dengan pendekatan terapi
okupasi
b. Mengidentifikasi dan menganalisis adanya kelebihan dan kekurangan dari beberapa
metode intervensi yang dibandingkan pada kondisi Guillain-Barre Syndrome
1.4 Sistematika Penulisan
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan facialis perifer akibat proses non supuratif,
non neoplasmatik, non degeneratif primer tetapi sangat dimungkinkan akibat dari adanya
oedema jinak pada bagian nervus facialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal
dari foramenstilomastoideus, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan
(Sidharta, 2000).
Istilah Bell’s Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus
facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa
adanya kelainan neurologik lain. Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya
akan sembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan
meninggalkan gejala sisa (Lumbantobing, 2007).
Kata Bell’s palsy pun diambil dari seorang dokter yang bernama Sir Charles Bell,
pada abad ke 19 di mana dokter Charles bell tersebut adalah orang pertama yang menjelaskan
tentang kondisi dan menghubungkan dengan kelainan pada saraf wajah.

2.2 Gejala Klinis


Onset Bell’s palsy adalah akut, sekitar satu - setengah dari kasus mencapai
kelumpuhan maksimum selama 48 jam dan hampir semua berjalan dalam waktu lima hari.
Nyeri di belakang telinga dapat mendahului kelumpuhan selama satu atau dua hari.
Terganggunya saraf facial di foramen stylomastoid dapat menyebabkan kelumpuhan di
seluruh otot ekspresi wajah. Sudut mulut jatuh, garis dan lipatan kulit juga terpengaruh, garis
dahi menghilang, lipatan palpebra melebar, dan lid margin mata tidak tertutup.
Kantong mata bawah dan punctum jatuh, disertai air mata yang menetes melewati
pipi. Makanan yang mengumpul di antara gigi, pipi dan saliva yang menetes dari sudut mulut.
Penderita juga mengeluh ada rasa tebal atau mati rasa dan terkadang mengeluh nyeri di wajah.
Jika lesi berada di saluran saraf facialis di atas chorda tympani tetapi di bawah
ganglion genikulatum, semua gejala dapat timbul ditambah kehilangan rasa di lidah 2/3
anterior di sisi yang sama dengan lesi. Jika lesi mempengaruhi saraf di otot stapedius maka
dapat terjadi hyperakustikus yaitu penderita sensitif dan merasa nyeri bila mendengar suara-
suara yang keras. Jika ganglion genikulatum terpengaruh, produksi air mata dan air liur
mungkin berkurang. Lesi di daerah ini dapat berpengaruh juga pada saraf vestibulokoklearis
yang menyebabkan tuli, tinnitus dan pusing yang berputar (dizziness).
2.3 Permasalahn Kondisi Penyakit
Penyebab GBS awalnya tidak diketahui sehingga penyakit ini mempunyai nama lain
Acute idiophatic polineuritis atau polineuritis idiopatik akut. Idiopatik berasal dari kata
“idiot” atau “tidak tahu”. Bersama jalannya waktu diketahui bahwa GBS dapat disebabkan
oleh kerusakan sistem kekebalan. Kerusakan sistem kekebalan tersebut menimbulkan
pembengkakan syaraf peripheral, sehingga mengakibatkan tidak adanya pesan dari otak untuk
melakukan gerakan yang dapat diterima oleh otot yang terserang. Apabila banyak syaraf yang
terserang, di mana salah satunya adalah syaraf sistem kekebalan, sehingga sistem kekebalan
tubuh kita pun akan kacau, dengan tidak diperintah dia akan mengeluarkan cairan sistem
kekebalan tubuh di tempat-tempat yang tidak diinginkan. Pengobatan akan menyebabkan
sistem kekebalan tubuh akan berhenti menyerang syaraf dan bekerja sebagaimana mestinya
dan gejala hilang dan bisa pulih sehat seperti semula.

Beberapa kasus menunjukkan orang mengalami gejala GBS setelah beberapa hari
atau minggu mengalami sakit dengan gejala diare atau gangguan pernapasan. Infeksi bakteri
Campylobacter jejeni bisa sebagai pemicu gejala GBS. Selain itu, GBS bisa terjadi setelah
orang tersebut mengalami flu atau infeksi virus lainnya seperti Cytomegalovirus dan virus
Epstein Barr. Walaupun sangat jarang terjadi, penyakit GBS bisa dipicu vaksinasi atau
pembedahan yang dilakukan beberapa hari atau minggu sebelum serangan penyakit tersebut.
Kasus penyakit GBS pada tahun 1976 meningkat karena penggunaan vaksin flu babi. Baru
pada tahun 2003 The Institute of Medicine (IOM) mengemukakan beberapa teori tentang
kemungkinan mengapa hai ini terjadi, tetapi belum dapat menjelaskan secara pasti.

Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada umumya lebih banyak terjadi pada orang
tua. Orang berumur 50 tahun keatas merupakan golongan paling tinggi risikonya untuk
mengalami GBS (CDC, 2012). Namun, menurut ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp S(K) mengatakan bahwa GBS dapat dialami
semua usia mulai anak-anak sampai orang tua, tapi puncaknya adalah pada pasien usia
produktif ( Mikail, 2013)

Pasien penyakit GBS biasanya merasakan sakit yang akut, terutama pada daerah
tulang belakang dan lengan dan kaki. Namun ada juga pasien yang tidak mengeluhkan rasa
sakit yang berarti meskipun mereka mengalami kelumpuhan parah. Rasa sakit muncul dari
pembengkakan dari syaraf yang terserang, atau dari otot yang sementara kehilangan suplai
energi, atau dari posisi duduk atau tidur pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau
memutar tubuhnya ke posisi nyaman. Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat
penghilang rasa sakit dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk merelokasi bagian-
bagian tubuh yang terserang dengan terapi-terapi khusus. Rasa sakit dapat datang dan pergi
dan itu sangat menyiksa bagi penderita GBS.

Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari itu
perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat GBS mulai terdeteksi. Sesuai
dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka dokter akan menentukan apa pasien
memerlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar 25% pasien GBS akan mengalami
berbagai kesulitan antara pada : sistem pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan henti
nafas, penurunan kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya akan diberi bantuan alat
ventilator untuk membantu pernafasan dalam kondisi tersebut di atas

2.4 Penatalaksanaan
Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan penyakit GBS.
Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh dengan sendirinya. Pengobatan yang
diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat
keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses penyembuhan penderita. Meskipun
dikatakan sebagian besar dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan
yang lama dan juga masih tingginya angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga
terapi tetap harus diberikan

1. Terapi Farmakologi
a. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa
preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian kortikosteroid
sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan secara signifikan. Selain itu,
pemberian metylprednisolone secara intravena yang berkombinasi dengan imunoterapi
juga tidak memberikan manfaat secara signifikan dalam waktu jangka panjang.12, 13
Sebuah studi awal mengemukakan pasien yang diberikan kortikosteroid oral
menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi
randomisasi di Inggris dengan 124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap
hari selama 15 hari dan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak
didapatkan pernedaan antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome
yang lainnya

c. Plasmaparesis
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti
autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi nonspesifik
lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang menunjukkan
efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat, minimal penggunaan alat
bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat.3,14 Dalam studi tersebut,
plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien GBS menunjukkan
penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas). Terapi ini melibatkan
penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood separators untuk
menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian
dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk
mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.1,2 Terapi ini dilakukan dengan
menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi
plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala
(minggu pertama GBS).14 Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan
kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pneumothoraks, hipotensi, sepsi,
trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama plasmaparesis penting untuk
memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar. Selain itu, perlu
juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR satu atau dua hari bila
ditemukan parameter koagulasi abnorma
d. Imunoglobulin
Intravena Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih
menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan
komplikasi yang sifatnya lebih ringan.14,13 Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon
humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam
tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga
memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag. Studi awal
untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-
Barre Syndrome Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka membandingkan
efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil
studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih
efektif dibandingkan plasmaparesis.15 Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus
GBS pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan
dengan IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi
dapat mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada
penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari.12 Efek samping yang
muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek
samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan
kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif
50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150- 200 cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri
kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada
10% kasus dan mengalami perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat
dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu
methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi meningitis
neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki, dan badan dengan
adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa
anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom hiperviskositas

2. Terapi Suportif
Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga terapi
suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya pasien GBS
dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk memungkinkan
monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih intensif. Penurunan expiratory
forced vital capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah 60
cmH2O mengindikasikan bahwa pasien memerlukan intubasi dan ventilator mekanik
sebelum terjadi hipoksemia. Setelah duaminggu penggunaan intubasi, perlu
dipertimbangan dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan bed-ridden perlu diberikan
profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau antikoagulan berupa heparin atau
enoxaprin subkutan.14,16,17 Apabila terjadi kelompuhan otot wajah dan otot menelan,
maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan menjelang masa penyembuhan untuk
mengembalikan lagi fungsi alat gerak penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan
melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi masa
penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot penderita.

2.5 Prognosis

Prognosis GBS sulit untuk diprediksi pada pasien individual dikarenakan variasi
substansial pada outcome. Prediksi akuratnya penting untuk memungkinkan dokter
menyesuaikan perawatan dan pengobatan suportif dengan kebutuhan pasien individu dan
untuk menginformasikan pasien dan kerabat tentang perjalanan klinis yang diharapkan.
Usia yang semakin tua umumnya dilaporkan sebagai indikasi prognosis buruk. Awal dari
fase penyakit merupakan penentu dari tingkat keparahan GBS. Penilaian resiko gagal
napas dapat dibantu oleh pemeriksaan neurofisiologis. Blok konduksi saraf peroneal dan
usia diatas 40 tahun merupakan predictor independent disabilitas dalam 6 bulan. Studi
terkini sedang mengembangkan suatu system yang dapat memprediksi peluang dapat
berjalan dan berdiri setelah 6 bulan, yaitu clinical scoring system (EGOS).
Meskipun pasien GBS bisa bertahan melalui fase akut penyakit dan mengalami
perbaikan seiring dengan waktu, gejala persiten adalah umum dan disabilitas jangka
panjang timbul pada hampir 15% kasus serta 5% akan mengalami kematian. Remisi bisa
terjadi pada 70% dari pasien walaupun setegah dari mereka terpengaruh hanya sedikit,
lebih baik pada pasien yang lebih muda. Sedangkan 10-20% lainnya akan mengalami
kecacatan dan kematian. Beberapa pasien GBS yang remisi akhirnya bisa menjadi CIDP.
Peluang pemulihan secara negative dipengaruhi oleh usia tua, diawali oleh gastroenteritis,
sebelumnya ada disabilitas. Hasil elektrofisiologi kerusakan aksonal, durasi fase akut
yang lebih Panjang.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Intervensi Pertama
Kasus Guillain barre syndrome merupakan kasus yang mengenai saraf perifer dan
saraf kranial yang melibatkan demielinasi dan degenerasi selubung mielin saraf perifer dan
kranial. Menurut jurnal dari University of North Dakota UND Scholarly Commons yang
berjudul An Occupational Therapist’s Guide to Guillain Barre Syndrome, pada kasus Guillain
barre syndrome kelemahan atau kelumpuhan otot, sensasi atau mati rasa, nyeri tekan,
pengheliatan kabur, kontraksi otot, jantung berdebar, tekanan darah, kesulitan pernafasan,
kesulitan menelan,pingsan, air liur, kesulitan menggerakkan otot wajah, atau Gerakan yang
tidak terkoordinasi (Mayo Clinic,2007b). Kelemahan atau kelumpuhan otot dapat menjadi
salah satu gejala penyakit yang paling melemahkan jika tidak ditangani dengan benar pada
fase awal GBS. Intervensi yang digunakan oleh Fisioterapi dan Okupasi Terapi termasuk
rentang gerak pasif (PROM) atau rentang gerak aktif (AROM) untuk memfasilitasi pegangan
dan mempertahankan kekuatan pada ekstremitas atas (UE) dan ekstremitas bawah (LE) untuk
mengurangi resiko kontraktur dan deformitas. Terapis okupasi dapat dimasukkan ke dalam
fase awal, tetapi lebih sering tidak dirujuk ke pasien dengan GBS sampai fase dataran tinggi
telah dimulai (Copperman, Forwell & Hugos, 2002)

Pada fase dataran tinggi, OT ditambahkan ke tim perawatan dan memulai penilaian.
Area yang akan dinilai oleh OT termasuk namun tidak terbatas pada hal berikut: lingkungan,
komunikasi, kenyamanan, tingkat kecemasan, dan kemampuan fungsional (Copperman,
Forwell, & Hugos, 2002). Setelah penilaian selesai, OT menetapkan tujuan dengan pasien
dengan tujuan jangka panjang adalah pemulihan penuh. Tujuan dipenuhi dengan beberapa
intervensi selama perawatan. Fokus utama selama fase dataran tinggi adalah untuk
memberikan kenyamanan dan aksesibilitas maksimal bagi pasien. Intervensi dapat mencakup
pengembangan alat komunikasi; mengadaptasi kamar rumah sakit untuk memastikan akses ke
tombol panggil perawat, TV, sakelar lampu, dan telepon; penentuan posisi; edukasi tentang
GBS; merekomendasikan kelompok pendukung; dan mengajarkan strategi pengurangan
kecemasan. Karena sifat fase dataran tinggi, pasien masih tidak stabil secara medis, dan
rehabilitasi fungsional dimulai pada fase pemulihan (Copperman, Forwell, & Hugos, 2002).

Ketika pasien memasuki fase pemulihan, rehabilitasi fungsional yang intens dapat
dimulai. Terapis okupasi dapat menggunakan intervensi berikut untuk membantu pasien
melanjutkan pekerjaan dan peran pekerjaan sebelumnya: menginstruksikan mobilitas yang
aman; pelatihan pemindahan; teknik perawatan diri yang dimodifikasi; menyediakan
pembantu dan peralatan sementara; mengadaptasi mode komunikasi; mendorong akses
masyarakat; mendorong kegiatan rutin; mengadaptasi peralatan untuk rumah, waktu luang
dan aktivitas kerja; instruksi dalam konservasi energi; dan menyediakan informasi dan
memodifikasi peran dan tugas pekerjaan (Copperman, Forwell, & Hugos, 2002). OT juga
dapat melakukan evaluasi rumah untuk memastikan lingkungan rumah yang aman dan dapat
diakses.

Intervensi ini didukung oleh jurnal dari Department of Occupational Therapy,


Vocational Program University of Indonesia dengan judul Occupational Therapy Intervention
in Functional Communication Program with Biomechanical and Rehabilitative Approach for
Guillain-Barre Syndrome Patient: A Case Study.

Terapi okupasi berperan dalam kasus GBS di area perawatan rehabilitasi. Terapi
okupasi menggunakan keahlian professional dan melibatkan pasien dalam aktivitas yang
bertujuan untuk mengembalikan kemandirian optimal dalam tiga bidang Occupational
Performance Area (OPA) meliputi Activity of Daily Living (ADL) yang di dalamnya terdapat
Instrumental Activity of DAiily Living (IADL), Productivity, dan Waktu luang. Terapi
okupasi dapat meningkatkan kinerja pasien GBS dengan kerangka acuan yang dimiliki seperti
Biomekanika dan Rehabilitasi. Kerangka acuan biomekanik digunakan untuk meningkatkan
kekuatan otot, rentang gerak sendi dan daya tahan dalam melakukan aktivitas. Sedangkan
kerangka acuan Rehabilitasi digunakan untuk membantu pasien GBS mengembalikan
kemampuan aslinya, baik fisik, mental, sosial, vokasional maupun ekonomi yang berguna
bagi individu dengan asset yang dimiliki. Salah satu kesulitan yang dialami oleh pasien GBS
di area IADL terdapat pada aktivitas komunikasi. Komunikasi adalah proses dua arah dimana
partisipan saling bertukar ide, pikiran, pesan secara lisan dan tulisan dengan tujuan agar
informasi yang disampaikan dapat dipahami. Manusia telah mengalami beragam cara
berkomunikasi. Pada 50 tahun yang lalu, orang berkomunikasi melalui surat, telegram, radio,
televisi, majalah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, teknologi sudah banyak
berkembang. Dewasa ini, orang berkomunikasi melaluiperangkat komunikasi atau gadget
seperti ponsel, komputer, tablet yang didukung oleh internet, yang memungkinkan orang
untuk menggunakan E-mail, chatroom, dan video call untuk berkomunikasi yang lebih cepat.

Selain pendukung diatas, ada pendukung kedua dari Naskah Publikasi Resiliensi Pada
Penderita Guillane Barre Syndrome. Orang-orang yan gmemiliki kelemahan otot yang parah
mungkin harus tinggal di rumah sakit rehabilitasi untuk menerima terapi fisik
berkesinambungan dan terapi pekerjaan agar fungsi motorik kembali normal. Mereka yang
tinggal di rumah, perangkat yang dapat membantu melakukan kegiatan sehari-hari tertentu
dapat digunakan sampai fungsi motorik dan kekuatan otot kembali (Inawati, 2012). Dukungan
dari lingkungan sekitar juga didapatkan oleh responden. Mulai dari lingkungan keluarga,
teman, dan tenaga medis seperti dokter dan suster. Keluarga responden terus mendukung dan
memotivasi responden untuk cepat sembuh. Mulai dari menjenguk setiap hari, menemani
hari-hari responden menjalani perawatan, menyediakan alat untuk membantu responden
latihan jalan. Dan sebagainya. Teman dan tenaga medis juga tidak ada hentinya
menyemangati responden untuk tetap menjaga semangatnya dalam menjalani perawatan.
Menurut pendapat kami, dalam intervensi yang dilakukan tentu saja memiliki
kekurangan dan kelebihan. Kekurangan dari intervensi OT dalam jurnal ini yaitu kurang
diberikan latihan-latihan untuk mendukung kesejahteraan pasien dari dalam dirinya. Hal ini
menyebabkan proses pemulihannya kurang efektif. Dalam jurnal ini memang disebutkan
intervensi OT dengan rentang gerak pasif dan aktif ROM tetapi tidak dilanjutkan dengan
latihan lainnya. Adapun kelebihan dari intervensi di jurnal ini yaitu lebih banyak
menekankan pada modifikasi lingkungan. Dimana modifikasi lingkungan itu artinya
lingkungan sekitar pasien yang dirubah agar memudahkan pasien dalam menjalankan
kehidupan sehari- hari.

3.2 Intervensi Kedua


Pada jurnal …… intervensi Terapi Okupasi pada kasus Guillain Barre Syndrome
umumnya dalam rehabilitasi yaitu untuk mendapatkan Kembali mobilitas, yang awalnya di
tempat tidur, kemudian kursi roda, dan akhirnya bisa berdiri dan berjalan. Pada GBS,
kekuatan pada ekstermutas atas biasanya kembali sebelum kekuatan pada ekstremitas bawah.
Pada taha awal proses rehabilitasi, ahli terapi memperoleh kembali kemandirian dalam
akvitias harian layaknya orang biasa seperti melakukan kebersiham, berpakaian, makan dan
mandi. Evaluasi OT awal biasanya melibatkan penilaian mobilitas sendi, kekuatan kerja
kelompok otot seperti mengangkat lengan, menggerakkan kaki melawan tahanan dan
pergerakan tubuh aatau mobilitas pada posisi yang berbeda.

Evaluasi ROM Pada Sendi


Penilaian pertama adalah evaluasi mobilitas sendi. Hal itu membantu mengidentifikasi adanya
pemendekan padaa tendon dankontraktur otot yang mungkin terjadi, sehingga program latihan dapat
disesuaikan untuk mengatasi masalah ini. Ekstremitas atas dan bawah akan diperiksa dengan posisi
duduk jika itu memungkinkan. Penilaian ROM dilakukan pada setiap sendi untuk menentukan apakah
bisa digerakkan tanpa hambatan. Pertama kali itu dilakukan secara pasif, dengan pasien dalam
keadaan relax dan terapis yang melakukan semua gerakannya (ROM pasif). Pada beberapa pasien,
misalnya pasien dengan arthritis, beberapa ROM sendi terbatas dan tidak berhubungan dengan GBS.
Penilaian awal ini memungkinkan terapis untuk menetapkan sasaran yang realistis tentang seberapa
jauh terapi pada pasien dapat dilakukan. Pasien diminta untuk menggerakkan sendinya sejauh
mungkin tanpa bantuan. Lalu gerakan aktif ini menggunakan kekuatan otot pasien sendiri untuk
menggerakkan tungkai. Setelah periode inaktivitas, gerakan aktif dan pasif dapat menurun akibat
kekauan pada kapsul sekitar sendi dan pemendekan otot dan tendon (kontraktur). Kontraktur ini
secara signifikan mengganggu fungsi di beberapa kasus.
Komponen awal pada rehabilitasi yang penting adalh meningkatkan ROM sekitar sendi dalam
proses persiapan untuk latihan penguatan. Jika terapi kupasi dilakukan dengan baik, kontraktur pada
sendi akan sangat minimal dan penguatan dapat segera dimulai. Pada pasien yang mengalami
kontraktur signifikan, gerakan pasif ROM yang terus-menerus akan menyebabkan tekanan konstan
terhadap tendon dan otot sekitar sendi untuk meregangkan jaringan dan mengurangi pemendekan.
Meskipun terdapat ROM yang utuh atau hampir utuh, latihan peregangan harus dilakukan sebagai
bagian dari program pelatihan. Hal ini akan mudah dilakukan jika tidak kontraktur. Peregangan
dilakukan dengan berhati-hati untuk mencegah cedera dengan tujuan untuk meningkatkan ROM
sedikit demi sedikit setiap harinya.

Tes Kekuatan Otot


Tes kekuatan fungsi otot dilakukan untuk memperoleh informasi dasar tentang status pasien, derajat
kekuatan otot dapat dinilai dengan menggunakan system penilai seperti berikut.
Nilai 5 Kekuatan normal
Nilai 4 Pasien mampu untuk menggerakan ekstremitas melawan gravitasi dan tahanan yang
diberikan dengan kekuatan tidak normal
Nilai 3 Pasien mampu menggerakkan ekstremitas melawan gravitasi namun tidak mampu
melawan tahanan yang diberikan
Nilai 2 Pasien tidak mampu mengangkat ekstremitas melawan gravitasi, namun jika gravitasi
dihilangkan, ekstremitas dapat digerakkan. Contoh : menggeser lengan
Nilai 1 Tidak ada gerakan esktremitas, dijumpai kontraksi otot
Nilai 0 Tidak dijumpai kontraksi otot

Jenis Latihan
Latihan tidak dapat dilakukan jika pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas setidaknya
jika gravitasi dihilangkan (nilai 2). Terapi untuk apapun dengan kelemahan yang lebih berat, hanya
terdiri dari latihan ROM pasif yang dilakukan oleh terapis. Setelah tercapai nilai 2, sejumlah latihan
dapat dilakukan dengan menggerakkan ekstremitas sejajaar dengan lantai. Ketika pasien mencapai
kekuatan nilai 3, dapat dimulai latihan dengan resistensi ringan, melawan gravitasi dan tahanan
minimal.
Latihan Resistensi Ringan
Tujuannya untuk meningkatkan stamina bukan kekuatan. Pasien akan melakukan banyak
pengulangan latihan melawan tahanan minimal. Pada pasien GBS akan melakukan latihan sampai
merasa lelah. Pengulangan latihan dengan tahanan ringan akan memperbaiki ketahanan otot dan
resistensi terhadap Lelah dan meningkatkan kapasitas oksidatif otot. Ini dikenal dengan Aerobik.

Latihan Resistensi Berat / Penguatan Otot


Tujuan dari latihan resistensi berat yaitu meningkatkan kekuatan dan bukan stamina tetapi
bentuknya tetap meningkatkan kekuatan dan stamina. Seiring dengan perbaikan kekuatan, beban yang
lebih berat dapat digunakan dengan pengulangan yang lebih sedikit.

Latihan Progresif – Resistensi


Seiring dengan perbaikan kekuatan lebih membaik, latihan dapat ditambah untuk
memaksimalkan kontraksi otot melalui ROM menyeluruh. Sebagian besar latihan dirancang untuk
menguatkan kelompok otot dan fungsi spesifik seperti ekstensi kaki (mengangkat kaki)dan fleksi
lengan (membengkokkan lengan pada siku). Tujuan mengkombinasikan dua latihan atau lebih adalah
untuk mentransfer kekuatan dari otot yang lebih kuat ke otot yang lebih lemah. Manfaat potensial dari
teknik ini, yang disebut sebagai proprioceptive neuromuscular facilitation (PNF). Teknik PNF
membantu mempertahankan ROM dari sendi yang dilatih.

Membangun Kekuatan dan Ketahanan


Seiring dengan suplai saraf membaik, latihan tambahan dapat dilakukan untuk lebih
memperbaiki kekuatan otot. Misalnya, stationary bicycle pedaling dapat digunakan, begitu juga
latihan progresif-resistif. Latihan seperti mengangkat beban, dapat digunakan untuk memperbaiki
kekuatan ekstremitas atas, dan akhirnya memungkinkan pasien untuk bergerak secara independen dari
kursi roda ke tempat tidur atau kursi biasa.

Perkembangan Untuk Berjalan


Pasien biasanya akan mulai berlatih dengan parallel bars. Pasien dapat menggunakan bars ini
ketika mencoba untuk berjalan. Perlahan-lahan pasien dapat berlatih dengan tongkat. Tongkat quad,
yang memiliki empat kaki di lantai, menyediakan stabilitas yang lebih baik dan biasanya pertama kali
digunakan. Saat pasien memiliki keseimbangan dan kekuatan yang cukup,tongkat satu kaki dapat
digunakan. Akhirnya, pasien dapat berjalan mandiri tanpa bantuan.

Activities of Daily Living


Latihan ADL pada pasien diarahlan untuk mendapatkan kembali fungsi ekstemitas atas.
Seperti pada ekstremitas bawah, fungsi ekstremitas atas biasanya kembali dengan pola proksimal ke
distal. Oleh sebab itu, penggunaan bahu,yang lebih proksimal akan lebih dahulu kembali sebelum
tangan dan jari. Selama rehabilitasi, tes kekuatan neuromuskular akan dilakukan secara reguler,setiap
minggu,untuk menilai kemajuan perbaikan kekuatan otot. Program terapi akan disesuaikan untuk
menguatkan otot-otot yang lebih lemah.
Dari intervensi diatas didukung oleh Jurnal Medik Hang Tuah Volume 9 Pada bagian
rehabilitasi medik, tujuan utamanya adalah mengurangi deficit fungsional dan kecacatan yang
diakibatkan oleh Guillane Barre Syndrome. Rehabilitasi medik pada bagian Terapi Okupasi terdiri
dari penguatan ekstremitas atas, ROM, dan latihan aktivitas sehari-hari untuk peningkatan fungsional
pasien.

Selain itu juga didukung dari Jurnal Nature Reviews Neurology dengan judul Diagnosis and
Management of Guillain Barre Syndrome. Terapi okupasi adalah langkah penting untuk menuju fase
pemulihan pada pasien. Program yang dilaksanakan harus bertujuan untuk mengurangii kecacatan
pada tahap awal pemulihan dan kemudian mengembalikan fungsi motorik-sensorik dan kondisi fisik
hingga pada tingkatan predisease. Program olahraga pada pasien GBS meliputin ROM, bersepeda
stasioner, berjalan dan latihan kekuatan otot yang telah terbukti meningkatkan fisik kebugaran,
kemampuan berjalan dan kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.

Menurut pendapat kami, dalam intervensi yang dilakukan tentu saja memiliki kekurangan dan
kelebihan. Kelebihan intervensi dalam jurnal ini yaitu lebih melibatkan kegiatan aktivitas dari diri
pasien dengan berbagai pelatihan sehingga fungsional pasien dapat kembali sesuai dengan yang
diharapkan pasien lebih cepat. Adapun kekurangan dari intervensi OT dalam jurnal ini kurang
melibatkan aspek lain dalam proses pemulihan.

3.3 Perbandingan Intervensi

Kami menganalisis dan membandingkan dua intervensi okupasi terapi untuk kasus GBS dari
dua jurnal dan beberapa jurnal pendukungnya. Untuk jurnal yang pertama sedikit disinggung
mengenai intervensi dengan ROM namun lebih menekankan pada modifikasi lingkungan. Untuk
jurnal kedua intervensi yang lebih ditekankan adalah pelatihan-pelatihan fisik untuk meningkatkan
fungsional pasien.

Menurut kami intervensi yang dirasa lebih efektif pada kasus GBS adalah dengan lebih
mengutamakan pelatihan fisik seperti meningkatkan LGS dan KO, latihan resistensi ringan dan berat
hingga pelatihan fungsional seperti ADL. Modifikasi lingkungan juga diperlukan tetapi sebagai
pendukung setelah pelatihan-pelatihan fisik dilakukan .
BAB IV
PENUTUP
4.1 kesimpulan

4.2 Saran

Diharapkan pemakalah selanjutnya dapat melakukan pembuatan paper terkait dengan lebih
lengkap dan menggunakan sumber yang menunjang. Diharapkan petugas Kesehatan memberikan
informasi kepada individu, keluarga dan masyarakat untuk menjaga kesehetan agar terhindar dari
gangguan Guillain Barre Syndrome.

Anda mungkin juga menyukai