Disusun oleh
Kelompok 5:
Amalia Diani Puspa Sari P27228021003
Lukman Aktovianta P27228021026
Ni Putu Diah Purnama Sari P27228021033
Rissa Imara Maharani P27228021040
Yazid Qasthalani P27228021049
Dalam penyusunan karya tulis ini memiliki tujuan umum dan khusus diantaranya adalah:
1. Tujuan Umum
Mengetahui intervensi terapi okupasi terhadap pasien dengan kondisi Guillain-Barre
Syndrome
2. Tujuan Khusus
a. Membahas mengenai kondisi Guillain-Bare Syndrome dengan pendekatan terapi
okupasi
b. Mengidentifikasi dan menganalisis adanya kelebihan dan kekurangan dari beberapa
metode intervensi yang dibandingkan pada kondisi Guillain-Barre Syndrome
1.4 Sistematika Penulisan
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi
Bell’s palsy merupakan suatu kelumpuhan facialis perifer akibat proses non supuratif,
non neoplasmatik, non degeneratif primer tetapi sangat dimungkinkan akibat dari adanya
oedema jinak pada bagian nervus facialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal
dari foramenstilomastoideus, yang mulainya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan
(Sidharta, 2000).
Istilah Bell’s Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk kelumpuhan nervus
facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang penyebabnya belum diketahui, tanpa
adanya kelainan neurologik lain. Pada sebagian besar penderita Bell’s Palsy kelumpuhannya
akan sembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh dengan
meninggalkan gejala sisa (Lumbantobing, 2007).
Kata Bell’s palsy pun diambil dari seorang dokter yang bernama Sir Charles Bell,
pada abad ke 19 di mana dokter Charles bell tersebut adalah orang pertama yang menjelaskan
tentang kondisi dan menghubungkan dengan kelainan pada saraf wajah.
Beberapa kasus menunjukkan orang mengalami gejala GBS setelah beberapa hari
atau minggu mengalami sakit dengan gejala diare atau gangguan pernapasan. Infeksi bakteri
Campylobacter jejeni bisa sebagai pemicu gejala GBS. Selain itu, GBS bisa terjadi setelah
orang tersebut mengalami flu atau infeksi virus lainnya seperti Cytomegalovirus dan virus
Epstein Barr. Walaupun sangat jarang terjadi, penyakit GBS bisa dipicu vaksinasi atau
pembedahan yang dilakukan beberapa hari atau minggu sebelum serangan penyakit tersebut.
Kasus penyakit GBS pada tahun 1976 meningkat karena penggunaan vaksin flu babi. Baru
pada tahun 2003 The Institute of Medicine (IOM) mengemukakan beberapa teori tentang
kemungkinan mengapa hai ini terjadi, tetapi belum dapat menjelaskan secara pasti.
Setiap orang bisa terkena GBS tetapi pada umumya lebih banyak terjadi pada orang
tua. Orang berumur 50 tahun keatas merupakan golongan paling tinggi risikonya untuk
mengalami GBS (CDC, 2012). Namun, menurut ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf
Indonesia (PERDOSSI) dr. Darma Imran, Sp S(K) mengatakan bahwa GBS dapat dialami
semua usia mulai anak-anak sampai orang tua, tapi puncaknya adalah pada pasien usia
produktif ( Mikail, 2013)
Pasien penyakit GBS biasanya merasakan sakit yang akut, terutama pada daerah
tulang belakang dan lengan dan kaki. Namun ada juga pasien yang tidak mengeluhkan rasa
sakit yang berarti meskipun mereka mengalami kelumpuhan parah. Rasa sakit muncul dari
pembengkakan dari syaraf yang terserang, atau dari otot yang sementara kehilangan suplai
energi, atau dari posisi duduk atau tidur pasien yang mengalami kesulitan untuk bergerak atau
memutar tubuhnya ke posisi nyaman. Untuk melawan rasa sakit dokter akan memberikan obat
penghilang rasa sakit dan perawat akan memberikan terapi-terapi untuk merelokasi bagian-
bagian tubuh yang terserang dengan terapi-terapi khusus. Rasa sakit dapat datang dan pergi
dan itu sangat menyiksa bagi penderita GBS.
Pasien biasanya akan melemah dalam waktu beberapa minggu, maka dari itu
perawatan intensif sangat diperlukan pada tahap-tahap saat GBS mulai terdeteksi. Sesuai
dengan tahap dan tingkat kelumpuhan pasien maka dokter akan menentukan apa pasien
memerlukan perawatan di ruang ICU atau tidak. Sekitar 25% pasien GBS akan mengalami
berbagai kesulitan antara pada : sistem pernafasan ditandai dengan sesak nafas bahkan henti
nafas, penurunan kemampuan menelan dan batuk. Pasien biasanya akan diberi bantuan alat
ventilator untuk membantu pernafasan dalam kondisi tersebut di atas
2.4 Penatalaksanaan
Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan penyakit GBS.
Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh dengan sendirinya. Pengobatan yang
diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari terapi adalah untuk mengurangi tingkat
keparahan penyakit dan untuk mempercepat proses penyembuhan penderita. Meskipun
dikatakan sebagian besar dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan
yang lama dan juga masih tingginya angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga
terapi tetap harus diberikan
1. Terapi Farmakologi
a. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan bahwa
preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi. Pemberian kortikosteroid
sebagai monoterapi tidak mempercepat penyembuhan secara signifikan. Selain itu,
pemberian metylprednisolone secara intravena yang berkombinasi dengan imunoterapi
juga tidak memberikan manfaat secara signifikan dalam waktu jangka panjang.12, 13
Sebuah studi awal mengemukakan pasien yang diberikan kortikosteroid oral
menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada kelompok kontrol. Selain itu, sebuah studi
randomisasi di Inggris dengan 124 pasien GBS menerima metylprednisone 500 mg setiap
hari selama 15 hari dan 118 pasien mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak
didapatkan pernedaan antara kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome
yang lainnya
c. Plasmaparesis
Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti
autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi nonspesifik
lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS yang menunjukkan
efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang lebih cepat, minimal penggunaan alat
bantu napas, dan lama perawatan yang lebih singkat.3,14 Dalam studi tersebut,
plasmaparesis yang diberikan dalam dua minggu pada pasien GBS menunjukkan
penurunan waktu penggunaan ventilator (alat bantu napas). Terapi ini melibatkan
penghilangan plasma dari darah dan menggunakan centrifugal blood separators untuk
menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada. Plasma kemudian
dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang berisis 5% albumin untuk
mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.1,2 Terapi ini dilakukan dengan
menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi
plasmaparesis ini lebih memberikan manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala
(minggu pertama GBS).14 Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan
kateter double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal.
Komplikasi yang mungkin terjadi antara lain: pneumothoraks, hipotensi, sepsi,
trombositopenia, hipokalsemia, dan anemia. Selama plasmaparesis penting untuk
memonitoring tekanan darah, nadi, dan jumlah cairan masuk dan keluar. Selain itu, perlu
juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan INR satu atau dua hari bila
ditemukan parameter koagulasi abnorma
d. Imunoglobulin
Intravena Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih
menguntungkan dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan
komplikasi yang sifatnya lebih ringan.14,13 Penggunaan IVIg dapat memodulasi respon
humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi autoantibody dalam
tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh komplemen dalam diredam. IVIg juga
memblok ikatan reseptor Fc dan mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag. Studi awal
untuk menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali dilakukan oleh Dutch Guillai-
Barre Syndrome Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka membandingkan
efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak ada kelompok kontrol. Hasil
studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih
efektif dibandingkan plasmaparesis.15 Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus
GBS pada anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan
dengan IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan penyakit tetapi
dapat mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal yang dapat diberikan pada
penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan selama 6 hari.12 Efek samping yang
muncul dalam penggunaan IVIg dikatakan ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek
samping dikatakan ringan dan jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan
kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan secara progresif
50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150- 200 cc/jam. Efek samping ringan berupa nyeri
kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman pada dada, dan nyeri punggung muncul pada
10% kasus dan mengalami perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat
dicegah dengan premedikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu
methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi meningitis
neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan, telapak kaki, dan badan dengan
adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat dan jarang sekali muncul berupa
anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat sindrom hiperviskositas
2. Terapi Suportif
Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga terapi
suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS. Umumnya pasien GBS
dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang pelayanan intermediet untuk memungkinkan
monitoring pernapasan dan fungsi otonom yang lebih intensif. Penurunan expiratory
forced vital capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah 60
cmH2O mengindikasikan bahwa pasien memerlukan intubasi dan ventilator mekanik
sebelum terjadi hipoksemia. Setelah duaminggu penggunaan intubasi, perlu
dipertimbangan dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan bed-ridden perlu diberikan
profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau antikoagulan berupa heparin atau
enoxaprin subkutan.14,16,17 Apabila terjadi kelompuhan otot wajah dan otot menelan,
maka perlu dipasang selang NGT untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan
penderita. Fisioterapi aktif juga diperlukan menjelang masa penyembuhan untuk
mengembalikan lagi fungsi alat gerak penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan
melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi masa
penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot penderita.
2.5 Prognosis
Prognosis GBS sulit untuk diprediksi pada pasien individual dikarenakan variasi
substansial pada outcome. Prediksi akuratnya penting untuk memungkinkan dokter
menyesuaikan perawatan dan pengobatan suportif dengan kebutuhan pasien individu dan
untuk menginformasikan pasien dan kerabat tentang perjalanan klinis yang diharapkan.
Usia yang semakin tua umumnya dilaporkan sebagai indikasi prognosis buruk. Awal dari
fase penyakit merupakan penentu dari tingkat keparahan GBS. Penilaian resiko gagal
napas dapat dibantu oleh pemeriksaan neurofisiologis. Blok konduksi saraf peroneal dan
usia diatas 40 tahun merupakan predictor independent disabilitas dalam 6 bulan. Studi
terkini sedang mengembangkan suatu system yang dapat memprediksi peluang dapat
berjalan dan berdiri setelah 6 bulan, yaitu clinical scoring system (EGOS).
Meskipun pasien GBS bisa bertahan melalui fase akut penyakit dan mengalami
perbaikan seiring dengan waktu, gejala persiten adalah umum dan disabilitas jangka
panjang timbul pada hampir 15% kasus serta 5% akan mengalami kematian. Remisi bisa
terjadi pada 70% dari pasien walaupun setegah dari mereka terpengaruh hanya sedikit,
lebih baik pada pasien yang lebih muda. Sedangkan 10-20% lainnya akan mengalami
kecacatan dan kematian. Beberapa pasien GBS yang remisi akhirnya bisa menjadi CIDP.
Peluang pemulihan secara negative dipengaruhi oleh usia tua, diawali oleh gastroenteritis,
sebelumnya ada disabilitas. Hasil elektrofisiologi kerusakan aksonal, durasi fase akut
yang lebih Panjang.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Intervensi Pertama
Kasus Guillain barre syndrome merupakan kasus yang mengenai saraf perifer dan
saraf kranial yang melibatkan demielinasi dan degenerasi selubung mielin saraf perifer dan
kranial. Menurut jurnal dari University of North Dakota UND Scholarly Commons yang
berjudul An Occupational Therapist’s Guide to Guillain Barre Syndrome, pada kasus Guillain
barre syndrome kelemahan atau kelumpuhan otot, sensasi atau mati rasa, nyeri tekan,
pengheliatan kabur, kontraksi otot, jantung berdebar, tekanan darah, kesulitan pernafasan,
kesulitan menelan,pingsan, air liur, kesulitan menggerakkan otot wajah, atau Gerakan yang
tidak terkoordinasi (Mayo Clinic,2007b). Kelemahan atau kelumpuhan otot dapat menjadi
salah satu gejala penyakit yang paling melemahkan jika tidak ditangani dengan benar pada
fase awal GBS. Intervensi yang digunakan oleh Fisioterapi dan Okupasi Terapi termasuk
rentang gerak pasif (PROM) atau rentang gerak aktif (AROM) untuk memfasilitasi pegangan
dan mempertahankan kekuatan pada ekstremitas atas (UE) dan ekstremitas bawah (LE) untuk
mengurangi resiko kontraktur dan deformitas. Terapis okupasi dapat dimasukkan ke dalam
fase awal, tetapi lebih sering tidak dirujuk ke pasien dengan GBS sampai fase dataran tinggi
telah dimulai (Copperman, Forwell & Hugos, 2002)
Pada fase dataran tinggi, OT ditambahkan ke tim perawatan dan memulai penilaian.
Area yang akan dinilai oleh OT termasuk namun tidak terbatas pada hal berikut: lingkungan,
komunikasi, kenyamanan, tingkat kecemasan, dan kemampuan fungsional (Copperman,
Forwell, & Hugos, 2002). Setelah penilaian selesai, OT menetapkan tujuan dengan pasien
dengan tujuan jangka panjang adalah pemulihan penuh. Tujuan dipenuhi dengan beberapa
intervensi selama perawatan. Fokus utama selama fase dataran tinggi adalah untuk
memberikan kenyamanan dan aksesibilitas maksimal bagi pasien. Intervensi dapat mencakup
pengembangan alat komunikasi; mengadaptasi kamar rumah sakit untuk memastikan akses ke
tombol panggil perawat, TV, sakelar lampu, dan telepon; penentuan posisi; edukasi tentang
GBS; merekomendasikan kelompok pendukung; dan mengajarkan strategi pengurangan
kecemasan. Karena sifat fase dataran tinggi, pasien masih tidak stabil secara medis, dan
rehabilitasi fungsional dimulai pada fase pemulihan (Copperman, Forwell, & Hugos, 2002).
Ketika pasien memasuki fase pemulihan, rehabilitasi fungsional yang intens dapat
dimulai. Terapis okupasi dapat menggunakan intervensi berikut untuk membantu pasien
melanjutkan pekerjaan dan peran pekerjaan sebelumnya: menginstruksikan mobilitas yang
aman; pelatihan pemindahan; teknik perawatan diri yang dimodifikasi; menyediakan
pembantu dan peralatan sementara; mengadaptasi mode komunikasi; mendorong akses
masyarakat; mendorong kegiatan rutin; mengadaptasi peralatan untuk rumah, waktu luang
dan aktivitas kerja; instruksi dalam konservasi energi; dan menyediakan informasi dan
memodifikasi peran dan tugas pekerjaan (Copperman, Forwell, & Hugos, 2002). OT juga
dapat melakukan evaluasi rumah untuk memastikan lingkungan rumah yang aman dan dapat
diakses.
Terapi okupasi berperan dalam kasus GBS di area perawatan rehabilitasi. Terapi
okupasi menggunakan keahlian professional dan melibatkan pasien dalam aktivitas yang
bertujuan untuk mengembalikan kemandirian optimal dalam tiga bidang Occupational
Performance Area (OPA) meliputi Activity of Daily Living (ADL) yang di dalamnya terdapat
Instrumental Activity of DAiily Living (IADL), Productivity, dan Waktu luang. Terapi
okupasi dapat meningkatkan kinerja pasien GBS dengan kerangka acuan yang dimiliki seperti
Biomekanika dan Rehabilitasi. Kerangka acuan biomekanik digunakan untuk meningkatkan
kekuatan otot, rentang gerak sendi dan daya tahan dalam melakukan aktivitas. Sedangkan
kerangka acuan Rehabilitasi digunakan untuk membantu pasien GBS mengembalikan
kemampuan aslinya, baik fisik, mental, sosial, vokasional maupun ekonomi yang berguna
bagi individu dengan asset yang dimiliki. Salah satu kesulitan yang dialami oleh pasien GBS
di area IADL terdapat pada aktivitas komunikasi. Komunikasi adalah proses dua arah dimana
partisipan saling bertukar ide, pikiran, pesan secara lisan dan tulisan dengan tujuan agar
informasi yang disampaikan dapat dipahami. Manusia telah mengalami beragam cara
berkomunikasi. Pada 50 tahun yang lalu, orang berkomunikasi melalui surat, telegram, radio,
televisi, majalah. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, teknologi sudah banyak
berkembang. Dewasa ini, orang berkomunikasi melaluiperangkat komunikasi atau gadget
seperti ponsel, komputer, tablet yang didukung oleh internet, yang memungkinkan orang
untuk menggunakan E-mail, chatroom, dan video call untuk berkomunikasi yang lebih cepat.
Selain pendukung diatas, ada pendukung kedua dari Naskah Publikasi Resiliensi Pada
Penderita Guillane Barre Syndrome. Orang-orang yan gmemiliki kelemahan otot yang parah
mungkin harus tinggal di rumah sakit rehabilitasi untuk menerima terapi fisik
berkesinambungan dan terapi pekerjaan agar fungsi motorik kembali normal. Mereka yang
tinggal di rumah, perangkat yang dapat membantu melakukan kegiatan sehari-hari tertentu
dapat digunakan sampai fungsi motorik dan kekuatan otot kembali (Inawati, 2012). Dukungan
dari lingkungan sekitar juga didapatkan oleh responden. Mulai dari lingkungan keluarga,
teman, dan tenaga medis seperti dokter dan suster. Keluarga responden terus mendukung dan
memotivasi responden untuk cepat sembuh. Mulai dari menjenguk setiap hari, menemani
hari-hari responden menjalani perawatan, menyediakan alat untuk membantu responden
latihan jalan. Dan sebagainya. Teman dan tenaga medis juga tidak ada hentinya
menyemangati responden untuk tetap menjaga semangatnya dalam menjalani perawatan.
Menurut pendapat kami, dalam intervensi yang dilakukan tentu saja memiliki
kekurangan dan kelebihan. Kekurangan dari intervensi OT dalam jurnal ini yaitu kurang
diberikan latihan-latihan untuk mendukung kesejahteraan pasien dari dalam dirinya. Hal ini
menyebabkan proses pemulihannya kurang efektif. Dalam jurnal ini memang disebutkan
intervensi OT dengan rentang gerak pasif dan aktif ROM tetapi tidak dilanjutkan dengan
latihan lainnya. Adapun kelebihan dari intervensi di jurnal ini yaitu lebih banyak
menekankan pada modifikasi lingkungan. Dimana modifikasi lingkungan itu artinya
lingkungan sekitar pasien yang dirubah agar memudahkan pasien dalam menjalankan
kehidupan sehari- hari.
Jenis Latihan
Latihan tidak dapat dilakukan jika pasien tidak mampu menggerakkan ekstremitas setidaknya
jika gravitasi dihilangkan (nilai 2). Terapi untuk apapun dengan kelemahan yang lebih berat, hanya
terdiri dari latihan ROM pasif yang dilakukan oleh terapis. Setelah tercapai nilai 2, sejumlah latihan
dapat dilakukan dengan menggerakkan ekstremitas sejajaar dengan lantai. Ketika pasien mencapai
kekuatan nilai 3, dapat dimulai latihan dengan resistensi ringan, melawan gravitasi dan tahanan
minimal.
Latihan Resistensi Ringan
Tujuannya untuk meningkatkan stamina bukan kekuatan. Pasien akan melakukan banyak
pengulangan latihan melawan tahanan minimal. Pada pasien GBS akan melakukan latihan sampai
merasa lelah. Pengulangan latihan dengan tahanan ringan akan memperbaiki ketahanan otot dan
resistensi terhadap Lelah dan meningkatkan kapasitas oksidatif otot. Ini dikenal dengan Aerobik.
Selain itu juga didukung dari Jurnal Nature Reviews Neurology dengan judul Diagnosis and
Management of Guillain Barre Syndrome. Terapi okupasi adalah langkah penting untuk menuju fase
pemulihan pada pasien. Program yang dilaksanakan harus bertujuan untuk mengurangii kecacatan
pada tahap awal pemulihan dan kemudian mengembalikan fungsi motorik-sensorik dan kondisi fisik
hingga pada tingkatan predisease. Program olahraga pada pasien GBS meliputin ROM, bersepeda
stasioner, berjalan dan latihan kekuatan otot yang telah terbukti meningkatkan fisik kebugaran,
kemampuan berjalan dan kemandirian dalam aktivitas kehidupan sehari-hari.
Menurut pendapat kami, dalam intervensi yang dilakukan tentu saja memiliki kekurangan dan
kelebihan. Kelebihan intervensi dalam jurnal ini yaitu lebih melibatkan kegiatan aktivitas dari diri
pasien dengan berbagai pelatihan sehingga fungsional pasien dapat kembali sesuai dengan yang
diharapkan pasien lebih cepat. Adapun kekurangan dari intervensi OT dalam jurnal ini kurang
melibatkan aspek lain dalam proses pemulihan.
Kami menganalisis dan membandingkan dua intervensi okupasi terapi untuk kasus GBS dari
dua jurnal dan beberapa jurnal pendukungnya. Untuk jurnal yang pertama sedikit disinggung
mengenai intervensi dengan ROM namun lebih menekankan pada modifikasi lingkungan. Untuk
jurnal kedua intervensi yang lebih ditekankan adalah pelatihan-pelatihan fisik untuk meningkatkan
fungsional pasien.
Menurut kami intervensi yang dirasa lebih efektif pada kasus GBS adalah dengan lebih
mengutamakan pelatihan fisik seperti meningkatkan LGS dan KO, latihan resistensi ringan dan berat
hingga pelatihan fungsional seperti ADL. Modifikasi lingkungan juga diperlukan tetapi sebagai
pendukung setelah pelatihan-pelatihan fisik dilakukan .
BAB IV
PENUTUP
4.1 kesimpulan
4.2 Saran
Diharapkan pemakalah selanjutnya dapat melakukan pembuatan paper terkait dengan lebih
lengkap dan menggunakan sumber yang menunjang. Diharapkan petugas Kesehatan memberikan
informasi kepada individu, keluarga dan masyarakat untuk menjaga kesehetan agar terhindar dari
gangguan Guillain Barre Syndrome.