Disusun Oleh:
ANGGI JULIADINA
2065190001
Pada sebuah organisasi, pasti terdapat budaya organisasi yang dianut yang membedakannya
dengan organisasi yang lainnya. Budaya organisasi merupakan satu perangkat nilai – nilai, kebaikan,
norma - norma, penuntun kepercayaan, pengertian, dan cara bertindak atau berpikir itu perlu
dibakukan, atau dipertemukan oleh setiap anggota organisasi yang dapat diterima seutuhnya oleh
lingkungannya atau merupakan suatu komitmen bersama mulai dari lapisan tingkat pimpinan
puncak, pimpinan menengah hingga kepada para bawahannya sebagai pelaksana. Banyak
kesuksesan yang bisa diraih oleh suatu organisasi karena didukung oleh suatu budaya organisasi
yang khas dan kuat tertanam dalam kegiatan operasionalnya. Demikian sebaliknya, cukup banyak
kegagalan organisasi mempertahankan kelangsungan organisasinya karena disebabkan kurang
memperhatikan budaya yang harus dikembangkan.
Keberhasilan suatu organisasi ditentukan oleh adanya beberapa faktor, baik faktor internal
maupun eksternal. Salah satu faktor internal yang turut menentukan keberhasilan organisasi itu
adalah budaya organisasi. Budaya organisasi merupakan seperangkat nilai yang menjadi pedoman
bagaimana seseorang bersikap dalam organisasi. Budaya organisasi akan memberi arah pada
aktivitas organisasi. Budaya organisasi bisa dipengaruhi oleh budaya masyarakat sekitar, pimpinan
puncak/gagasan awal pendiri organisasi, dan juga dari karyawannya sendiri. Budaya organisasi
mempunyai peran yang sangat penting dalam suatu organisasi karena budaya organisasi terbukti
dapat melakukan sejumlah fungsi, seperti menciptakan perbedaan dengan organisasi lain,
menciptakan identitas organisasi, dan memudahkan terciptanya komitmen yang luas terhadap
kepentingan bersama. Budaya organisasi dapat memberikan standar yang tepat untuk apa yang
harus dilakukan oleh karyawan. Dalam hal ini budaya organisasi berfungsi membentuk sikap dan
perilaku karyawan. Karyawan perlu memahami dan mengerti budaya organisasi tempat mereka
bekerja karena hal itu akan memberi efek yang kuat dalam keseharian mereka sebagai seorang
karyawan.
B. Rumusan Masalah
2. Apakah faktor eksternal dan internal budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja
karyawan?
3. Apa saja budaya organisasi yang diterapkan terhadap kinerja karyawan PT. Suzuki Finance
Indonesia?
4. Faktor apa saja yang melandasi berjalannya budaya organisasi pada kinerja karyawan PT.
Suzuki Finance Indonesia?
C. Indentifikasi Masalah
1. Bagaimana budaya organisasi yang ada dalam PT. Suzuki Finance Indonesia?
2. Bagaimana budaya organisasi yang bersumber dari faktor internal dan eksternal yang terdapat
dalam PT. Suzuki Finance Indonesia?
3. Apakah terdapat pengaruh antara integrasi internal dan adaptasi eksternal yang terdapat dalam
PT. Suzuki Finance Indonesia dengan kinerja dan komitmen karyawan PT. Suzuki finance
Indonesia?
D. Landasan Teori
1. Budaya Organisasi
Pengertian “Budaya organisasi adalah seperangkat asumsi atau sistem keyakinan, nilai-nilai,
norma-norma yang dikembangkan dalam organisasi yang dijadikan pedoman tingkah laku bagi
anggota-anggotanya untuk mengatasi masalah adaptasi eksternal dan internal.” Menurut Armstrong
(2010: 9), berpendapat “Budaya organisasi merupakan seperangkat nilai-nilai, keyakinan-keyakinan,
atau norma-norma yang telah lama dianut bersama oleh para anggota organisasi (karyawan),
sebagai pedoman perilaku dan memecahkan masalah-masalah organisasinya.” Sedangkan menurut
Robbins dan Judge (alih bahasa Diana Angelica, 2010: 256), mengemukakan bahwasanya “Budaya
Organisasi yaitu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota yang membedakan suatu
organisasi dari organisasi lain. Sistem makna bersama ini, bila diamati dengan lebih seksama,
merupakan seperangkat karakteristik utama yang dihargai oleh suatu organisasi.” Kesimpulan dari
pendapat diatas bahwa budaya organisasi adalah kerangka norma-norma yang terdapat dalam suatu
organisasi dan dianut oleh para anggota yang dapat menjadi ciri khas suatu perusahaan.
Schein melihat budaya organisasi dari 3 (tiga) variable dimensi budaya organisasi, yaitu
dimensi adaptasi eksternal (external adaptation tasks), dimensi integrasi internal (internal
intergration tasks) dan dimensi asumsi-asumsi dasar (basic underlying assumtions), lebih lanjut
dijelaskan sebagai berikut.
a. Dimensi Adaptasi Eksternal (External Adaptation Tasks)
Sesuai teori Edgar H. Schein, maka untuk mengetahui variable Dimensi Adaptasi Eksternal,
indikator-indikator yang akan diteliti lebih lanjut meliputi: misi, tujuan, sarana dasar, pengkuran
keberhasilan dan strategi cadangan. Pada organisasi bussines/private yang berorientasi pada
profit, misi merupakan upaya adaptasi terhadap kepentingan-kepentingan investor dan
stakeholder, penyedia barang-barang yang dibutuhkan untuk produksinya, manager, karyawan,
masyarakat, pemerintah dan konsumen. Langkah-langkah yang dapat dilakukan organisasi untuk
beradaptasi terhadap lingkungan eksternalnya dan mempertahankan kelangsungan hidup
organisasi, yakni: (Schein2004)
1. Missian and strategy, obtaining a shared understanding of core mission, primary task, and
manifest and latent functions. Memperoleh pemahaman yang dibagi berkaitan dengan misi
inti, tugas pokok, dan fungsi yang terlihat maupun tidak dari keberadaan organisasi.
2. Goals, developing consensus on goals, as derived from the core mission. Membangun
konsensus terhadap tujuan-tujuan yang berasal dari misi inti organisasi.
3. Means, developing consensus on the means to be use to attain the goals, such as the
organization structure, division of labour, reward system, and authority system.
Membangun konsensus terhadap cara-cara yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan,
seperti struktur organisasi, pengelompokan pekerja, sistem reward dan sistem kekuasaan
4. Measurement, developing consensus on the criteria to be used in measuring how well the
group is doing in fullfilling its goals, such as the information and control systems.
Membangun konsensus terhadap kriteria-kriteria yang digunakan untuk mengukur
bagaimana baiknya kelompok bekerja untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi, seperti
sistem informasi dan pengendalian.
5. Correction, developing consensus on the appropriate remedial or repair strategies to be used
if goals are not being met. Membangun konsensus terhadap ketepatan dari tindakan
perbaikan atau strategi perbaikan yang digunakan jika tujuan-tujuan tidak terpenuhi
2. Kinerja
Menurut Mahsun (2012: 25), mengemukakan bahwa: “Kinerja atau perfomance adalah
gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu kegiatan /program /kebijakan dalam
mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi yang tertuang dalam strategic planning
suatu organisasi”. Konsep utama dari kinerja yaitu sebagai kuantitas dan kualitas pencapaian
tugas-tugas, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok maupun organisasi. Kinerja dapat
diukur baik secara individu, kelompok maupun organisasi. Baik atau tidaknya suatu kinerja dapat
dilihat dari kuantitas dan kualitas pencapaian tugasnya. Teori Robbins (2006: 260) yang
mengemukakan 6 (enam) indikator untuk mengukur kinerja pegawai secara individu, yaitu:
1. Kualitas kerja diukur dari persepsi pegawai terhadap kualitas pekerjaan yang
dihasilkan serta kesempurnaan tugas terhadap keterampilan dan kemampuan
pegawai.
2. Kuantitas kerja merupakan jumlah yang dihasilkan dinyatakan dalam istilah seperti
jumlah unit, jumlah siklus aktivitas yang diselesaikan.
3. Ketepatan waktu merupakan tingkat aktivitas diselesaikan pada awal waktu yang
dinyatakan, dilihat dari sudut koordinasi dengan hasil output serta memaksimakan
waktu yang tersedia untuk aktivitas lain.
Sedangkan menurut John Miner (1988) dalam Sudarmanto (2009: 11) mengemukakan 4
(empat) dimensi yang dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam menilai kinerja individu, yaitu:
1. Kualitas, yaitu: tingkat kesalahan, kerusakan, kecermatan
Faktor yang mempengaruhi kinerja individu tenaga kerja adalah kemampuan mereka, motivasi,
dukungan yang diterima, keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan dan hubungan mereka
dengan organisasi (Mathis & Jackson, 2000). Selain itu, komitmen karyawan juga turut
berpengaruh terhadap kinerja.
3. Komitmen
Dimensi dan Indikator Komitmen Organisasional Menurut Robbins dan Judge dalam Zelvia
(2015), Komitmen organisasi adalah suatu keadaan dimana seorang karyawan memihak
organisasi tertentu serta tujuan-tujuan dan keinginannya untuk mempertahankan keanggotaan
dalam organisasi tersebut. Jadi, keterlibatan pekerjaan yang tinggi berarti memihak pada
pekerjaan tertentu seorang individu, sementara komitmen organisasional yang tinggi berarti
memihak organisasi yang merekrut individu tersebut.
Tiga dimensi terpisah komitmen organisasional adalah :
1. Komitmen afektif (affective commitment) : yaitu perasaan emosional untuk organisasi dan
keyakinan dalam nilai- nilainya.
2. Komitmen berkelanjutan (continuance commitment) : yaitu nilai ekonomi yang dirasa dari
bertahan dalam suatu organisasi bila dibandingkan dengan meninggalkan organisasi
tersebut. seorang karyawan mungkin berkomitmen kepada pemberi kerja karena ia dibayar
tinggi dan merasa bahwa pengunduran diri dari perusahaan akan menghancurkan
keluarganya.
3. Komitmen normatif (normative commitment) : yaitu kewajiban untuk bertahan dalam
organisasi untuk alasan- alasan moral atau etis.
Adapun penyelesaian masalah dalam integrasi internal perusahaan yang dapat diambil yaitu :
1. Bahasa yang sama dalam anggota organisasi dengan komunikasi yang efektif seperti mengadakan
meeting untuk menyusun strategi untuk menciptakan konsep arah tujuan yang sama. Selain itu,
adanya regulasi dan standar operasi prosedur (SOP) yang jelas dalam organisasi
2. Menciptakan batas-batas & kriteria kelompok berdasarkan unitnya, seperti kriteria apa aja yang
akan dicapai dan ditentukan secara bersama, misalkan kriteria dalam unit marketing akan
berbeda dengan kriteria dalam unit sumber daya manusia (SDM), unit penagihan/Asset &
Collection, dan juga unit lainnya.
3. Setiap kelompok harus bekerja sesuai jobdesk masing-masing yang berkaitan dengan sesuai
dengan tingkatan sosialnya & aturan. Seperti contohnya jobdesk seorang staff tentunya berbeda
dengan jobdesk seorang manager yang bertugas mengatur, mengawasi dan mengontrol kinerja
bawahannya.
4. Adanya reward dan punishment bagi karyawan. Punishment diberikan untuk karyawan yang
melanggar kedisiplinan, melakukan kecurangan dan keteledoran yang menyebabkan kerugian
perusahaan. Sedangkan reward bagi karyawan unit tertentu yang berhasil mencapai target yang
telah ditentukan.
Dari uraian tentang proses pembentukan budaya organisasi di atas kita dapat mengetahui
bahwa dampak budaya kuat terutama dirasakan oleh para manajer, yang berperan sebagai ’role
models’ aktif memperteguh pembentukan budaya kuat di kalangan segenap karyawan. Para
karyawan menerima nilai-nilai bersama melalui interaksi yang terus-menerus dengan atasan
maupun dengan sesama karyawan, sehingga ia dapat bekerja efektif dan tidak bingung pada saat
harus menghadapi berbagai masalah penting. Karyawan dan manajemen organisasi yang berbudaya
kuat, menunjukkan pola perilaku tertentu dalam menunjukkan tanggung jawab pribadi maupun
dalam hubungannya dengan sesama karyawan dan manajer. Pola-pola perilaku tertentu ini oleh
Stephen Robbins (1989: 468) dijelaskan dalam konteks sebagai berikut:
1) Inisiatif pribadi: tingkat tanggung jawab, kebebasan, dan otonomi yang dimiliki karyawan;
2) Toleransi terhadap resiko: dorongan dari pimpinan agar karyawan bertindak agresif, inovatif, dan
berani ambil resiko;
3) Kejelasan arah: organisasi menciptakan tujuan yang jelas, dan pengharapan untuk kinerja;
4) Integrasi: unit-unit kerja dalam organisasi didorong untuk bekerja secara terkooordinasi;
5) Dukungan manajemen: komunikasi yang jelas, bantuan, dan dukungan dari pimpinan kepada
bawahan;
6) Kontrol: aturan, ketentuan, dan supervisi langsung yang digunakan untuk mengendalikan perilaku
karyawan;
7) Identitas: rasa bangga karyawan sebagai anggota organisasi secara keseluruhan, tidak hanya
sebatas unit kerjanya sendiri;
8) Sistem imbalan: pembagian imbalan, termasuk penentuan dan kenaikan gaji dan promosi
berdasarkan evaluasi atas kinerja karyawan dengan kriteria yang jelas—bukan pilih kasih atau
senioritas belaka;
9) Toleransi terhadap konflik: karyawan didorong untuk mengeluarkan pendapat secara terbuka,
sehingga terjadi konflik terbuka yang konstruktif—bukan dipendam yang berdampak destruktif;
10) Pola-pola komunikasi: sejauh mana komunikasi antar karyawan dibatasi pada komunikasi formal
yang bersifat hierarkis struktural.
2) Dekat dengan pelanggan (close to the customer): peduli dan mendengarkan konsumen, karena
konsumen adalah sumber revenue perusahaan. Karyawan belajar dari para pelanggan dan peka
terhadap jajaran pengguna produk, jasa, layanan, kualitas— dapat mencapai nichemanship atau
kepekaan terhadap ceruk bisnis yang kecil sekalipun;
5) Sentuhan demi nilai dan mutu (hands-on, value-driven): penuh perhatian, teguh, dan siap
membantu demi penciptaan nilai—tidak lepas tangan—terlebih di sektor jasa, perlakuan
individual dan komunikasi informal, akrab dan gembira. Pimpinan secara teratur meluangkan
waktu untuk melihat pelaksanaan ’nilai tertinggi’,
6) Taat pada bisnis inti (stick to the knitting): fokus dan konsisten dengan bisnis dasar yang asli—
menghindari konglomerasi, tetap pada kompetensi inti dengan memisahkan yang tidak terkait
langsung. Berpegang teguh dan konsisten pada prinsip ’get back to basics’— tidak rakus dengan
akuisisi atau pencaplokan dan berpegang teguh pada prinsip ’jauhkan diri dari bisnis yang kau
tidak tahu’;
7) Bentuk sederhana dan ramping (simple form, lean staff): struktur organisasi sederhana dan
jumlah karyawan pas, struktur jabatan mendatar, jumlah pimpinan sedikit, prioritas kerja jelas,
integrasi mantap namun dinamis sesuai kebutuhan (ad hocracy), sigap dalam pemecahan
masalah dan peka terhadap masa depan—perubahan;
8) Ketat sekaligus longgar (simultaneus loose-tight properties): keseimbangan antara kontrol pusat
dan otonomi karyawan. Teguh dan tegas dalam hal kebijakan penting, namun bebas pada
penjabaran dan pelaksanaan, pimpinan mempunyai kepercayaan pada karyawan demi
kedekatan dengan konsumen. Kontrol budaya organisasi ketat namun ada kelonggaran dalam
orientasi keluar atau otonomi dalam kerangka disiplin—ikatan nilai-nilai bersama, keyakinan
untuk eksperimentasi.
H. Kesimpulan
Organisasi dan seluruh anggotanya perlu memahami budaya terkait bagaimana budaya
dapat menjadi bagian dari usaha untuk beradaptasi dengan lingkungan eksternal agar mereka
mampu menghadapi permasalahan yang dihadapi untuk mempertahankan dan mendorong kinerja
organisasi. Memahami budaya artinya memahami pentingnya membagi asumsi atau pemahaman
tentang misi dan strategi organisasi untuk mengarahkan sikap dan perilaku mereka beradaptasi
dengan lingkungan eksternal organisasi. Pada umumnya organisasi/perusahaan membagi ketentuan-
ketentuan yang dikembangkan berkaitan dengan isu-isu pertumbuhan dan kelangsungan hidup
ekonomi organsasi/perusahaan yang melibatkan bagaimana menjaga hubungan baik diantara para
stakeholders organisasi, seperti (1) investor dan pemegang saham, (2) suppliers, (3) manajer dan
karyawan, (4) komunitas dan pemerintah, dan (5) konsumen yang bersedia membayar produk dan
jasa organisasi.
Evaluasi kinerja dilakukan dengan menggunakan Key Performance Indicator (KPI) karyawan
Perusahaan dengan membandingkan tahun sebelum pandemi dengan tahun selama masa pandemi.
Dengan demikian, apabila perusahaan memiliki sumber daya manusia dengan komitmen yang tinggi
dan berpihak pada kepentingan organisasi maka akan mampu menghasilkan kinerja yang lebih baik
selain itu adanya perilaku Organizational Citizenship Behavior (OCB) yang tinggi dalam diri karyawan
akan membangun loyalitas karyawan terhadap perusahaan dan memiliki rasa kepemilikan (sense of
belonging) yang besar dalam perusahaan sehingga dapat menghasilkan kinerja yang maksimal dan
dapat mencapai tujuan perusahaan. Sebaliknya, jika komitmen dan OCB karyawan rendah maka akan
berdampak kurangnya rasa keterikatan karyawan untuk terus bertahan dalam perusahaan, sehingga
loyalitas dan tanggung jawab karyawan terhadap perusahaan rendah serta karyawan dapat
meninggalkan dan tidak bertahan lama bekerja dalam perusahaan serta dapat mempengaruhi
pencapaian kinerja perusahaan. Maka berdasarkan kesimpulan di atas, dapatlah diajukan beberapa
saran untuk penelitian selanjutnya hendaknya dapat mempertimbangkan untuk menambah faktor lain
yang berhubungan dengan kinerja karyawan, seperti faktor motivasi dan Organizational Citizenship
Behavior (OCB), dimana karyawan dengan suka rela membantu rekan kerja dan mengerjakan hal diluar
jobdseknya, terlebih di masa global pandemi Covid-19 ini.
Daftar Pustaka
https://media.neliti.com/media/publications/18104-ID-strategi-komunikasi-pembentukan-
budaya-organisasi-baitul-arqam-sebagai-sarana-pe.pdf
http://etheses.uin-malang.ac.id/1728/6/09410050_Bab_2.pdf
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/135958-T%2028091-Analisis%20pengembangan-
Literatur.pdf
https://www.slideshare.net/IceuAdinata/budaya-organisasi-24854752
https://syncore.co.id/id/Perencanaan-Analisa-Faktor-Internal-dan-Eksternal
https://docplayer.info/161869-Integrasi-internal-dan-adaptasi-eksternal-bagi-
keberlangsungan-hidup-organisasi-dengan-pendekatan-budaya.html
http://konsultasiskripsi.com/2020/04/30/masalah-adaptasi-eksternal-dan-internal-budaya-
organisasi-skripsi-dan-tesis/
https://tirtarimba.blogspot.com/2019/11/4-dimensi-dan-6-indikator-untuk.html
Mahsun, Mohamad. 2016. Pengukuran Kinerja Sektor Publik. BPFE-YOGYAKARTA:
Yogyakarta
Schein, Edgar H. with Schein, Peter, (2017), Organizational Culture and Leadeership. 5 th
Edition, Wiley.
Pendukung:(Beugelsdijk et al., 2009; Ibrahim et al., 2017; Jogaratnam, 2017; Klimas, 2016;
Mohamed et al., 2014; Roni et al., 2015)