Anda di halaman 1dari 10

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 17.29.

Tapi gadis itu masih asyik memukuli samsak besar


yang tergantung di hadapannya.

“Ngel! Mau pulang nggak? Udah hampir Maghrib loh ini,” teriak seorang lelaki paruh baya.

“Oss Senpai, ini sudah selesai.”, sahut gadis itu.

“Beresi hand protectornya! Habis ini langsung pulang ya?!”

“Oss Senpai,”

Gadis itu langsung membereskan semua perlengkapannya, kemudian berkemas untuk pulang.

“Terimakasih, Senpai. Angel pulang dulu,”

“Ya, hati-hati! Sudah gelap,”

“Oss, Senpai”

Gadis itu bergegas untuk pulang. Ia nampak terburu-buru. Ia terlalu menikmati latihannya, sampai
lupa bahwa hari Senin ada tugas-tugas yang perlu dikumpulkan. Sementara pada hari Sabtu dan
Minggu besuk, ia harus berangkat ke Karanganyar untuk mengikuti kejuaraan. Pastinya tidak akan
sempat mengerjakan tugas itu.

Sesampainya di rumah, ibunya langsung menyuguhinya dengan segudang pertanyaan. Ibunya


nampak sangat khawatir. Bagaimana tidak, anak perempuan pertamanya pulang terlalu larut. Sendiri
pula.

“Kenapa kok baru pulang? Latihan apa saja? Atau ada apa-apa di jalan waktu pulang? Apa nggak
takut jam segini baru pulang? Pulang sendiri apa dianter tadi, Ndhuk?” tanya ibu gadis itu tanpa
henti.

“Maaf, Bu. Jawabnya satu-satu ya...” jawab gadis itu sambil menghela napas.

“Hari ini latihannya banyak, Bu. Ini kan persiapan untuk Kejuaraan di Karanganyar. Alhamdulillah tadi
di jalan aman-aman saja, tapi tadi juga pulang sendiri, Bu nggak ada yang nganterin.” Jelasnya
panjang lebar.

“Ya udah istirahat dulu, jangan langsung mandi! Jangan diulangi lagi jam segini baru pulang ya,
Ndhuk!”

“Nggih, Bu.”

Angel. Semua orang disekitarnya memanggilnya dengan nama itu. Ia segera mandi dan bersiap untuk
mengerjakan tugas-tugasnya. Tak butuh waktu lama, semua tugasnya telah selesai ia kerjakan.
Untung saja materi itu masih ia kuasai. Kemudian, ia membereskan semua perlengkapannya untuk
besuk. Satu-persatu pakaian dan perlengkapan karatenya itu dimasukkan ke dalam tas hitamnya. Ia
kemudian berencana untuk berlatih lagi. Hal itu ia lakukan karena ia sangat berambisi untuk dapat
menjadi juara dalam kejuaraan kali ini. Karena dari hasil kejuaraan ini lah yang akan menentukan
siapa atlet yang akan dikirim ke luar negeri untuk mewakili Indonesia dalam Word Karate Federation
Premiere League.

Ia mengambil barbel 2 kiloannya itu, kemudian menggenggamnya dengan kuat. Ia mencoba untuk
memukul berulang kali, dengan beban barbel yang ada di tangannya. Hal itu ia lakukan agar
pukulannya dapat melejit dengan cepat seperti tanpa beban ketika ia melepaskan barbelnya nanti.
Tak hanya melatih pukulannya, ia juga melatih kakinya agar lincah dan cekat dalam menendang
musuh. Ia mengikatkan kakinya pada tiang menggunakan karet ban. Ya, alatnya seadanya. Karena ia
memang terlahir dari keluarga yang seadanya.

“Udah malem, Ndhuk. Istirahat! Besuk berangkat pagi. Awas kalo besuk malah bangun kesiangan!”
ucapan ayahnya yang datang menghampiri.

“Nggih, Pak. Cuma sebentar biar nggak kaku.” Jawab gadis itu dengan senyum Pepsodentnya.

“Tadi kan sudah latihan, sekarang waktunya istirahat. Sudah, cepat tidur, jangan kemalaman!”

“Nggih, Pak.”

Gadis itu langsung membereskan semua peralatannya. Kemudian bersantai untuk menunggu
keringatnya kering. Sebelum tidur, ia pergi memanaskan air untuk ia gunakan mandi. Tak lama
setelah mandi, gadis itu membaringkan tubuhnya di atas kasur dengan sprei berwarna biru langit
kesukaanya. Ia berdoa agar besuk semua kegiatannya dilancarkan. Perlahan matanya mulai
terpejam. Sangat nampak lelah disekujur tubuhnya. Mungkin karena latihannya hari ini sangat
ekstra.

Pukul 04.10 alarmnya sudah berbunyi. Gadis itu segera ke dapur untuk memanaskan air. Azan Subuh
pun mulai berkumandang. Gadis itu bergegas shalat dan segera mandi. Setelah mandi ia segera
sarapan dan bersiap berangkat. Tak lama setelah sarapan, mobil rombongan satu kontingennya
telah sampai di depan rumah. Angel kemudian berpamitan dengan kedua orang tuanya.

“Pak, Bu. Angel berangkat dulu nggih. Doain biar hari ini nanti jadi rezekinya Angel.”

“Ya, Ndhuk. Bapak sama Ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya.” Jawab ayahnya dengan
sangat lemah lembut.

Tibalah rombongan itu di sebuah gedung megah. Saat itu jarum jam mulai menunjuk arah barat laut.
Degup jantung gadis itu nampak sangat menggebu. Dengan menggendong ransel hitamnya, ia
bersemangat masuk menuju gedung. Ramai, riuh dan bergemuruh. Menunjukkan jiwa semangat
anak muda yang sangat membara.

Semua official dari setiap kontingen merapat ke meja administrasi. Mendaftarkan setiap atletnya
masing-masing. Kini giliran pelatihku. Tak berselang lama semua bagan pertandingan dibagikan.
Betapa kencangnya degup jantung Angel saat itu. Menerka-nerka siapa dan yang mana yang akan
jadi musuhnya nanti. Setiap atlet yang berpostur tubuh sama dengannya selalu ia pandang dari
ujung sampai ujung.

“Apa itu ya musuhku nanti?”, tanyanya dalam hati.

Jarum jam tak pernah berhenti berputar. Selalu bergerak dan berdetak. Jadwal pertandingan Angel
pun semakin dekat. Semakin mendebarkan. Ia bersiap mengenakan pakaian pertandingannya.
Merentangkan tangan dan memanaskan tubunya agar tak terjadi cidera ketika bertanding.

Kini tiba saatnya. Saat dimana setiap atlet dalam kelasnya dipanggil satu persatu untuk menuju
tatami. Ia maju dengan yakin. Dengan penuh kepercayaan dirinya ia berdiri menatap jutaan mata
yang tertuju padanya. Ia bertanding pada permainan kedua. Disebutkan bahwa lawannya berasal
dari Birawa Club Surakarta. Badannya serasa makin panas. Tak hanya sebab pemanasan yang ia
lakukan, tapi juga karna rasa berdebar dalam dadanya.

Namanya dipanggil. Ia memasuki arena pertandingan. Berada di kubu merah membuatnya semakin
panas dan percaya diri. Pertandingan dimulai! Perkelahian nampak sangat sengit. Poin poin yang
diciptakan saling bersalip-salipan. Ia unggul satu poin di sepuluh detik terakhir. Sesak di dadanya
serasa agak berkurang. Dan benar saja, sepuluh detik berlalu, namun lawannya tak mampu
menyusul poin yang ia raih. Pertandingan pertama berhasil ia selesaikan dengan mudah. Ia unggul
dalam pertandingan ini. Lawannya kalah dengan poin 5-4.

Beban dipundaknya seperti hilang separuh. Perjalanannya menuju final tak lagi panjang. Ibarat
kemenangan sudah ada di pelupuk matanya saat ini. Pertandingan kedua pun dilaluinya dengan tak
begitu sulit. Seakan semesta memang telah merancang kemenangan untuknya hari ini. Lawannya
nampak kesulitan dalam meladeni seluruh serangannya. Poin demi poin mampu ia cetak dengan tak
begitu berat. Tak hanya menang teknik, kali ini ia turut unggul dalam jangkauan serangan. Posturnya
sedikit lebih tinggi dari lawannya. Setengah permainan pertama ia berhasil mencetak poin 3-0. Poin
ini membuat perasaanya melega. Setidaknya jika ia mampu bertahan setengah permainan lagi, ia
mampu memenangkan pertandingan ini. Setengah permainan terakhir ini, lawannya tetap tak
mampu menyaingi poinnya. Permainan dimenangkannya dengan telak. Ia keluar arena pertandingan
dengan garis senyum yang merekah di bibirnya.

“Alhamdulillah, setidaknya sudah hampir perempat final,” ocehnya dalam hati sambil
membayangkan kemenangannya selanjutnya.

Kini tiba di perempat final. Musuhnya kali ini nampak agak tinggi. Namun apapun itu, tak mampu
menggoyahkan keberanian di hatinya. Pertandingan ketiga dimulai, ia melecutkan pukulannya
dengan sekuat tenaga. Berharap mrmberikan shock therapy untuk musuhnya yang menjulang tinggi
itu. Tak disangka, lawannya memang bukan atlet biasa. Lawannya sangat mahir dalam menghindar
dan membalikkan serangannya. Meski begitu, ia tetap tak menyerah. Sisa sisa tenaga ia keluarkan
semuanya.
“Brukkkk!!”

Suara itu terdengar nyaring. Ia jatuh saat akan menendang punggung lawannya. Tampak kaki
sebelah kanannya tak kuat menopang berat tubuhnya. Sepertinya sedikit terkilir. Wajahnya
memerah kesakitan. Pertandingan dihentikan sejenak. Semua mata menjadi tertuju ke arahnya.
Wasit juri yang berdiri di dekatnya turut membantu mendirikan tubuhnya yang roboh. Ia berhasil
berdiri kembali. Juri menanyakan kondisinya.

“Siap bertanding kembali?”

“Oss, siap.” Jawabnya dengan lantang

Seluruh tubuhnya mampu menahan rasa sakit yang ada di kakinya. Kecuali matanya. Memerah dan
berkaca-kaca hampir menangis. Namun ia tak gentar. Ia akan mencoba menyerang lagi dengan lebih
hati-hati dan menghemat tenaga.

Pertandingan dilanjutkan. Ia kembali menyusun strategi agar tak kalah dari lawannya. 45 detik
berlalu, namun poin keduanya masih 0-0. Sangat sengit. Ia mencoba memukulkan tangannya ke area
wajah, mengejar posisi lawan yang tak mampu diraih jangkauannya dalam sekali langkah.

“Yame!” suara wasit dengan lantang menghentikan pertandingan.

“Aka jodan tsuki, Yuko!” sambung wasit yang berdiri diantara kedua atlet itu.

Aka berarti pengguna sabuk merah. Angel menggunakan sabuk merah dalam pertandingan
perempat final ini. Artinya, tak lain dan tak bukan, ialah yang mendapat poin pertama ini. Nyalinya
agak membesar. Setidaknya usahanya dalam menahan rasa sakit di kakinya itu tak sia sia. Detik demi
detik berlalu. Hingga tersisa 8 detik terakhir. Dan poin tak kunjung bertambah. Masih 1-0. Bahkan
hingga detik terakhir pun lawannya tak mampu membalikkan poin. Ini anugerah hebat dari Tuhan
untuknya. Bagaimana tidak, di detik-detik terakhir pertandingan, ia mampu mencetak poin.
Meskipun hanya satu. Satu itu berarti sangat besar baginya. Tentu saja besar, satu angka itulah yang
membawanya pada kemenangan di pertandingan ini. Rasa sakit di kakinya seakan hilang tergantikan
rasa bahagianya hari ini. Hormat terakhir kepada lawannya itu ia lakukan dengan setulus hati.
Seakan berterima kasih karena telah memberikan kesempatan menang kepadanya.

Lagi-lagi ia meninggalkan arena dengan senyum di bibirnya. Tak berselang lama, senyumnya turut
disambut kumandang adzan dzuhur yang teramat merdu. Seluruh kegiatan dihentikan. Saatnya jeda
ishoma. Dunia memang seperti telah menorehkan kemenangan untuknya hari ini. Ia diminta untuk
istirahat di ruang medis sebelum menunaikan ibadah shalat Dzuhur. Dengan bantuan dari
pelatihnya, ia menuju ruang medis. Para tenaga medis mulai mengecek dengan menggerak-gerakkan
kakinya yang sakit tadi. Nampaknya memang benar terkilir. Sebab hanya untuk sekedar berjalan saja,
ia tertatih. Kakinya disemprotkan bius untuk mengurangi rasa sakit. Kemudian ia dipersilahkan untuk
melanjutkan aktivitas.
Senpai Eko. Panggilan akrab pelatihnya itu. Lelaki itu berjalan di samping Angel sambil mengoceh
panjang kali lebar. Tapi dengan segala kekebalan telinga Angel, ia tak memasukkannya ke dalam
pikiran sampai benar-benar dicerna. Rasa bahagianya sudah memenuhi pikiran. Masih ditambah lagi
dengan khayalannya pergi ke luar negeri untuk mengikuti event selanjutnya.

Ia menuju masjid megah yang nampak teramat teduh di samping Gedung Olahraga tempatnya
bertanding. Tak hanya sendiri, ia ke masjid bersama teman-teman dan pelatihnya. Ia bergegas
mengambil air wudhu. Perlahan nan lembut, ia membasuh bagian tubuhnya satu persatu secara
berurutan. Memasuki masjid besar itu, ia terkagum-kagum. Betapa indahnya rumah Tuhannya ini.
Membuatnya nyaman dan seakan tak sanggup meninggalkannya. Rakaat demi rakaat telah ia
tunaikan. Tak lupa untaian doa pun ia curahkan siang ini. Seakan mengadukan seluruh kejadian hari
ini kepada Tuhannya.

“Jika memang ini takdirku, permudahkanlah hamba dalam meraihnya Ya Allah. Jika ini bukan
takdirku, lapangkan hatiku dalam menerimanya. Aamiin,” rangkaian doa terakhir yang ia ungkapkan
sebelum menutup ibadahnya siang ini.

Perasaanya sudah lebih baik. Bahagianya tak lagi berlebihan. Gundahnya untuk menghadapi
pertandingan final tak lagi bergemuruh. Meski keyakinannya untuk menang masih belum goyah,
namun kelapangan hatinya untuk menghadapi kekalahan sudah ia siapkan. Ia melangkah dengan
yakin, meski kakinya masih agak tertatih. Tak terlalu parah jika ia tak banyak melakukan pergerakan
yang membahayakan engkelnya itu.

Tak lama, kemudian ia sampai lagi di GOR. Bersiap melakukan pemanasan kembali sebelum menuju
final. Kini ia melatih gerakannya dengan lebih serius. Namun sebisa mungkin menjaga staminanya
agar tak habis saat pertandingan. Ia rela menunda makannya demi pertandingan final ini. Siapa yang
tidak demam panggung saat bertanding di final. Seluruh mata memang akan tertuju pada arena
pada saat itu. Karena bagi semua orang, pertandingan final adalah pertandingan yang paling seru.
Dan tak mungkin dilewatkan.

Ia memakai kembali peralatannya. Satu demi satu. Tim medis juga datang menghampirinya.
Membawa bius semprot yang akan diberikan dulu untuk kakinya agar tak terasa sakit. Setidaknya
memang membantu. Meski tak bertahan lama. Pertandingan dimulai kembali. Ia bersiap menuju
arena pertandingan. Namanya dipanggil. Ia bergegas maju. Memberikan hormat kepada wasit juri
yang ada di arena tersebut. Kemudian maju menghormati lawannya.

“Bismillahirrahmanirahim,” doanya dalam hati.

Pertandingan dimulai. Ia mulai menyusun banyak serangan di pikirannya. Sembari sedikit menahan
sakit di kakinya, ia mulai melakukan pergerakan. Hanya berdian dan memikirkan serangan tidak akan
membuatnya menang. Ia memberikan serangannya, satu demi satu. Namun lawannya kali ini lebih
berat dari sebelumnya. Maklum, karna memang ini pertandingan final. Poin pertama tak berhasil ia
peroleh. Lawannya lebih dulu mengambil poin itu. Tak apa, bukan berarti kekalahan. Hanya satu
poin, masih ada kesempatan menyusul. Ia mencoba menyerang, namun tetap berusaha menjaga
agar cideranya tak semakin memburuk. Saat lawannya sedikit lengah karena sudah merasa diatas
angin, ia mengambil celah untuk membanting gadis di depannya itu.

“Brukkk!” suara lawannya yang terjatuh.

Angel berhasil membanting lawannya itu. Tiga poin berhasil ia cetak. Kini ia unggul dua poin dari
lawannya. Hatinya mulai tenang. Namun pikirannya kembali riuh memikirkan strategi dan mencoba
menahan sakit akibat kakinya. Detik demi detik berlalu, tak seorang pun dari kedua atlet itu yang
mampu mencetak poin kembali. Pertandingannya sangat sengit. Semuanya mampu menghindari
serangan yang diberikan lawan.Hingga di detik terakhir, poin Angel masih tetap unggul. Dan tidak
salah lagi, ia memenangkan pertandingan untuk keempat kalinya hari ini. Ia meraih juara 1. Medali
emas yang ia idam-idamkan itu, kini benar-benar akan menjadi miliknya dalam beberapa menit
kedepan.

Juri mengumumkan kemenangannya. Namanya dipanggil oleh tim administrasi yang berjaga di dekat
podium. Ia seakan lupa dengan kakinya yang sakit. Ia berlari keluar arena dan meraih tangan
pelatihnya untuk bersalaman dan berterimakasih. Pelatihnya turut terharu, dan menuntunnya
menuju podium untuk mengambil gambar. Pelatih mana yang tak bangga, bahwa anak didiknya
mampu memenangkan pertandingan yang dianggapnya sangat sengit. Mereka berdua berjalan
menuju podium. Dibelakangnya turut beberapa temannya yang ingin ikut berfoto di atas podium.
Tak ada yang tak bahagia kala itu. Apalagi Angel. Jantungnya berdegup lebih kencang. Perasaan
bahagianya turut membentuk rasa tak sabar untuk mengabarkan semuanya kepada orang tuanya.

Namanya disebut lagu di meja administrasi dekat podium untuk segera naik ke podium. Ia naik ke di
posisi tengah dan yang paling tinggi, juara 1. Ia naik dengan penuh haru dan bangga. Seakan
mengisyaratkan bahwa kerja kerasnya selama ini terbayarkan. Dan semakin jelas bayangan menuju
Kejuaraan Dunia impiannya yang akan ia jalani beberapa bulan kedepan.

Seorang lelaki muda mendekat, disampingnya turut seorang perempuan yang membawa baki berisi
kertas piagam dan medali penghargaan. Angel menerima medali paling awal. Warnanya paling
menyala diantara 2 medali lainnya. Medali emas itu kini sudah mengalung di lehernya. Dengan kata
lain, sudah jadi miliknya. Medali untuk dua juara lainnya pun sudah diberikan. Para official dan orang
tua atlet saling berbondong-bondong memfoto anaknya. Tak terkecuali teman dan pelatih Angel.
Mereka nampak ikut berbahagia. Bagi pelatihnya, ini medali emas pertama yang mampu membawa
anak didiknya menuju ke kejuaran terbesar karate di dunia. Siapa yang tak bangga.

Angel turun dari podium dengan senyum, bahkan sedikit tawa. Sakitnya benar-benar sudah tak
dirasakan lagi. Bahagianya kini jauh lebih besar.

“Dimana hpku la?” tanyanya pada salah satu temannya.

“Ini, kubawa di tasku dari tadi.” Jawab temannya.


Ia bergegas mencari nama ibunya di laman kontak. Tangannya gemetar, mungkin perasaanya
memang sedang tak karuan karena bahagia. Tak berselang lama, telfon itu diangkat oleh ibunya.

“Assalamualaikum, Ndhuk. Pie? Sudah bertanding? Sudah makan?” tanya ibunya tanpa jeda.

“Wa’alaikumusalam, Bu. Alhamdulillah sudah bertanding dan menang, Bu. Angel dapat juara satu.”
Jawabnya dengan suara hampir menangis sebab bahagia.

“Alhamdulillah Ya Allah. Selamat ya, Ndhuk. Ibu dan Bapak bahagia sekali,” jawab ibunya yang kini
juga menangis, dari telefon suaranya hampir tak jelas karena diiringi tangis bahagia.

“Sudah makan belum?” sambungnya.

“Belum, Bu. Niki baru selesai pertandingan, baru mau makan.”

“Ya sudah, dilanjut makannya. Terus istirahat ya...” nasihat ibunya yang selalu menenangkan.

“Nggih, Bu siap. Angel makan dulu nggih...”

“Ya, Ndhuk. Assalamualaikum.”

“Nggih, Bu. Wa’alaikumusalam.”

Pelatihnya menarik, mengajak menuju tribun. Tidak ada pertandingan temannya dalam waktu dekat
ini. Sehingga semuanya diminta untuk makan siang terlebih dahulu. Termasuk para senior yang turut
membantu menjadi official hari ini. Selesai makan, Angel pergi ke ruang medis. Berharap ada tenaga
medis yang mampu membantu mengurangi rasa sakitnya. Ia ke ruang medis bersama satu temannya
yang juga sudah selesai bertanding. Di sana ia diberi krim pereda nyeri otot, dan sedikit diurut oleh
tim medis. Sedikit lebih baik rasanya.

Ia segera kembali dan membantu menyiapkan pertandingan teman-temannya. Membantu mereka


melakukan pemanasan, dan melatih pengolahan teknik serangan. Satu persatu, semua atlet selesai
bertanding. Mereka pun juga pulang membawa medali. Sayangnya tak ada yang mampu membawa
medali emas selain dirinya. Bukan karena mereka tak hebat, tapi karena lawannya memang sudah
atlet yang biasa maju ke jenjang internasional. Barangkali memang bukan takdirnya.

Seluruh pertandingan dihentikan pukul 17.00. Jeda sampai pada pukul 19.00. Setelah itu
pertandingan kembali dimulai. Namun malam ini, teman satu dojonya sudah tidak ada yang
bertanding. Semua telah selesai siang tadi. Mereka pun akhirnya membereskan peralatan dan
barang-barang yang mereka bawa. Bergegas untuk segera pulang. Mereka sengaja tak menunggu
sampai acara selesai, agar di hari Minggu semua punya waktu untuk beristirahat sebelum kembali
bersekolah.

Sebelum pulang, Angel dan pelatihnya menghampiri meja administrasi. Menuliskan namanya dalam
daftar atlet yang mendapat juara satu dan akan maju mewakili Indonesia pada Word Karate
Federation Premiere League. Selepas itu, mereka kembali menuju tempat parkiran. Berdiri di dekat
bus, dan bergiliran masuk meletakkan tasnya. Mereka tak langsung pulang. Memilih aksesoris-
aksesoris yang dijual di sekitar GOR. Tak sedikit pula yang mencari pakaian karate yang dipajang rapi
di samping GOR. Angel hanya memilih membeli celana training. Setelah itu kembali menuju bus. Ia
segera mengambil hpnya, dan kembali menghubungi ibunya. Mengabarkan bahwa saat ini ia akan
segera pulang.

Tak berselang lama, mereka segera pulang. Kali ini perjalanan terasa lebih cepat dibandingkan
perjalanan berangkat. Entah karena apa, mungkin karena beban dan rasa penasaran pada diri
mereka sudah tidak lagi ada. Yang tersisa hanya rasa bahagia. Pulang membawa pengalaman
berharga, dan bahkan membawa medali di tangan mereka.

Pukul 23.12 Angel sampai di rumah. Bergegas menuju pintu dan mengetuk. Mengucap salam dan
menunggu suara orang tuanya menjawab salam. Tak butuh waktu lama, salamnya dijawab dan pintu
segera dibuka. Nampaknya memang orang tuanya, sudah menunggu kedatangannya. Angel masuk
ke rumah dan langsung memeluk kedua orang tuanya. Mengucap syukur sembari berterimakasih
kepada orang tuanya. Ibunya masih menitihkan air mata, terlihat sangat bangga terhadap anak
perempuannya ini.

Ibunya segera memintanya untuk istirahat. Tapi ibunya tampak curiga. Angel berjalan tak seperti
biasanya. Mungkin kakinya terasa sakit lagi. Digantung berjam-jam di bus dalam perjalanan pulang.

“Kakimu kenapa?” tanya ibunya penasaran.

“Itu, Bu. Tadi agak terkilir waktu bertanding di perempat final.” Jelasnya. Sebab ia memang tak
terbiasa berbohong kepada orang tuanya.

“Terus gimana? Besuk diurut ya?” jawab ibunya penuh kepanikan.

“Nggih, Bu besuk diurut saja.”

“Ya sudah, bersih bersih dulu. Tadi bapak sudah panaskan air buat mandi. Biar seger sebelum tidur,”
sahut bapaknya, memerintahkan anak gadisnya untuk mandi terlebih dahulu sebelum tidur.

“Nggih, Pak. Angel mandi dulu.”

Ia segera mandi, kemudian tidur. Perasaanya sudah sangat lega. Sakit yang ia rasakan kini terbalas.
Perih dan pedihnya latihan pun sudah terbayarkan. Ia tidur dengan nyenyak. Sudah tak ada lagi rasa
takut akan kekalahan. Tinggal rasa tanggungjawab besar, akibat ia dipercaya menjadi wakil Indonesia
dalam Word Karate Federation Premiere League tiga bulan lagi.

Satu bulan berlalu. Namun kaki Angel malah membengkak. Tak kunjung sembuh. Orang tuanya mulai
panik. Ibunya mulai gelisah. Bahkan seringkali melarangnya untuk berlatih. Tak hanya sering, bahkan
selalu. Angel pun turut bimbang. Memikirkan kakinya yang belum sembuh. Masih lagi memikirkan
restu ibunya yang nampak tak seperti dulu lagi. Wajar saja ibunya pasti khawatir akan kondisinya. Ia
juga tak bisa menyalahkan ibunya akan larangannya itu. Karena memang benar karatelah yang
menyebabkan kakinya sakit sampai saat ini.
Pelatihnya juga tak berani melatihnya dengan keras. Mengingat kondisi kakinya yang justru
membengkak. Semuanya berasa bimbang. Bagaimana kedepannya nanti. Bagaimana jika sampai
event itu terlaksana kakinya tak kunjung sembuh.

Bulan kedua setelah Angel memenangkan pertandingan pun telah berlalu. Masih ada sisa-sisa rasa
sakit di pergelangan kakinya. Ibunya kini melarangnya untuk melanjutkan kejuaraan dunia itu.
Padahal dua pekan lagi, ia harus berangkat karantina di Jakarta sebelum keberangkatan. Belum lagi
karena ia harus meninggalkan pembelajaran selama 2 pekan. Ibunya menyayangkan hal itu. Terlebih
lagi karena khawatir kakinya akan memburuk sebab latihan berat lagi.

Angel memutar otaknya dua kali lebih hebat dari biasanya. Memikirkan bagaimana mendapatkan
restu ibunya kembali. Dan bagaimana cara agar mampu menyusul pembelajaran selama dua pekan
yang ia tinggalkan untuk pergi ke Luxemburg. Ia terus berdoa dan memohon agar semuanya dapat
dipermudah. Karena dalam hati kecilnya, ia percaya kemenangan yang sudah ditakdirkan untuknya
kala itu, pasti juga seiring dengan takdirnya untuk mengikuti event Word Karate Federation Premiere
League ini.

Angel menghampiri ibunya yang sedang mengupas bawang di dapur. Sambil membantu ibunya
memasak, ia mencurahkan isi hatinya satu persatu. Menceritakan semua kebimbangan hatinya yang
selama ini ia endapkan sendiri di lubuk hatinya.

“Ibu bukannya apa-apa, Ndhuk. Ibu lebih seneng anak ibu sehat daripada jadi juara tapi kakinya
cidera. Ibu khawatir, takut nanti tambah parah. Ibu bangga kamu jadi juara, bangga kamu bisa
berprestasi. Tapi ibu khawatir, ibu mana yang ndak khawatir kalau anaknya cidera. Olahraga mu itu
berbahaya..” jawab ibunya menjelaskan perasaanya.

“Nggih, Bu. Angel paham apa yang ibu takutkan. Angel sendiri juga takut. Tapi Angel yakin ini
kesempatan yang nggak datang dua kali, Bu.”

“Ibu tetap mendoakan yang terbaik, Ndhuk. Ibu Cuma minta tolong untuk hati-hati ya, jangan
diulangi lagi kecerobohannya. Ibu juga nggak siap kalo melihat kamu kecewa karena tidak jadi
berangkat ke Luxemburg.” Jawab ibunya yang mengalah dan menampakkan bijak dan arifnya
seorang ibu.

“Nggih, Bu. Terimakasih banyak sudah mendoakan dan mendukung semua kegiatan Angel. Angel
janji akan lebih berhati-hati dan lebih bersungguh-sungguh dalam perjuangan ini, Bu.”

Dua minggu berlalu begitu cepat. Setelah percakapan dengan ibunya saat itu membuat hatinya
sedikit lebih lega. Setidaknya restu dari ibunya sudah lagi ia kantongi. Kakinya sedikit lebih baik. Porsi
latihannya pun sudah mulai ditambah. Ia semakin yakin dan yakin untuk kembali memenangkan
pertandingan ini. Kini saatnya ia berangkat menuju Jakarta untuk karantina. Semua pakaian dan
peralatan sudah ia siapkan jauh jauh hari. Mental baja pun sudah ia siapkan untuk menempa
pelatihan selama di sana. Pelatihnya jauh lebih disiplin dan lebih tegas pastinya. Semua harus
mampu ia hadapi untuk persiapan ke kejuaran impiannya.
Orang tuanya mengantarkannya menuju terminal. Semua perlengkapan, uang saku dan pakaian
sudah disiapkan oleh orang tuanya. Pelatihnya turut menghantarkannya ke terminal. Membekalinya
sejumlah nasihat dan tips tips untuk menjaga stamina. Prosesi berpamitan itu nampak sangat haru.

Anda mungkin juga menyukai