Anda di halaman 1dari 17

Khutbah I

MENYANBUT HARI LAHIRPANCASILA

‫ َأ ْشهَ ُد َأ ْن‬،‫ريم‬ ِ ‫ َوَأ ْفهَ َمنَا بِ َش ِر ْي َع ِة النَّبِ ّي ال َك‬،‫لح ْم ُد هللِ الّذي هَ َدانَا ُسب َُل ال ّسالَ ِم‬ َ ‫لح ْم ُد هللِ ْا‬
َ ‫ْا‬
‫ َوَأ ْشهَ ُد َأ ّن َسيِّ َدنَا َونَبِيَّنَا ُم َح َّمدًا‬،‫الل َواإل ْكرام‬ 0ِ ‫ ُذو ْال َج‬،‫اَل اِلَهَ ِإاَّل هللا َوحْ َدهُ ال َش ِريك لَه‬
‫بار ْك َعلَى َسيِّ ِدنا ُم َح ّم ٍد وعلى اله وأصْ حابِ ِه‬ ِ ‫صلِّ و َسلِّ ْم َو‬ َ ‫ اللّهُ َّم‬،‫َع ْب ُدهُ َو َرسولُه‬
‫ أوصيكم و نفسي بتقوى‬،‫ فيايها اإلخوان‬:‫ أما بعد‬،‫سان إلَى يَ ْو ِم الدِّين‬ ِ ْ‫عين بِإح‬ َ ِ‫َوالتَّاب‬
‫ أعوذ باهلل من الشيطان‬:‫ قال هللا تعالى في القران الكريم‬،‫هللا وطاعته لعلكم تفلحون‬
،‫ين َآ َمنُوا اتَّقُوا هللا َوقُولُوا قَ ْواًل َس ِديدًا‬ َ ‫ يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬:‫ بسم هللا الرحمن الرحيم‬،‫الرجيم‬
‫يُصْ لِحْ لَ ُك ْم َأ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم َو َم ْن ي ُِط ِع هللا َو َرسُولَهُ فَقَ ْد فَا َز فَ ْو ًزا َع ِظي ًما‬
‫ق تُقَاتِ ِه َوالَ تَ ُم ْوتُ َّن ِإالَّ َوَأ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُم ْو َن‬
َّ ‫وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّ ِذي َْن آ َمنُ ْوا اتَّقُ ْوا هللاَ َح‬.
 ‫صدق هللا العظيم‬
Sidang Jumah rahimakumullah,

Sejak tahun lalu, sesuai dengan usulan dari berbagai pihak termasuk Nahdlatul Ulama (NU),
pemerintah menetapkan tanggal 1 Juni 1945 sebagai Hari Kelahiran Pancasila melalui
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir
Pancasila. Untuk itu setiap tanggal 1 Juni bangsa Indonesia memperingatinya sebagai Hari
Lahir Pancasila.

Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia yang telah disepakati bersama oleh para
Founding Fathers kita yang terhimpun dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 18 Agustus 1945.
Oleh sebab itu bisa dimengerti mengapa Nahdlatul Ulama (NU) dalam Mukatamar ke-27
pada tahun 1984 di Situbondo memutuskan menerima Pancasila sebagai dasar negara dan
asas tunggal bagi setiap organisasi di Indonesia. Keputusan tersebut bersifat final sehingga
tidak perlu lagi diperdebatkan keabsahannya. Yang harus kita lakukan sebagai generasi
penerus adalah mengamalkan keputusan itu dengan sebaik-baiknya.

Sidang Jumah rahimakumullah,

Pernyataan bahwa kelima sila dari Pancasila secara teologis tidak bertentangan dengan ajaran
Islam dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Ketuhanan Yang Maha Esa

Sila pertama ini merujuk pada Al-Qur’an, Surah Al-Ikhlas, ayat 1 yang berbunyi sebagai
berikut:

‫قُلْ هُ َو هَّللا ُ َأ َح ٌد‬


Artinya: “Katakanlah (Muhammad), Dialah Allah, Yang Maha Esa.”
Ayat ini merupakan inti ajaran Islam yakni iman tauhid. Artinya sila pertama memberikan
jaminan bahwa negara melindungi keyakinan bahwa Allah itu esa. Selain itu setiap warga
negara Indonesia wajib memiliki keyakinan agama karena Indonesia bukan negara sekuler
dan apalagi atheis. Dengan kata lain Indonesia adalah sebuah negara yang mewajibkan
seluruh warga negara memeluk agama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Tak seorang
pun di negeri ini diperbolehkan tidak memiliki keyakinan agama atau yang disebut ateisme.
Seluruh agama yang berlaku di Indonesia menyepakati Keesaan Tuhan sesuai dengan konsep
masing-masing.

Sidang Jumah rahimakumullah,

2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab

Sila kedua ini merujuk pada Al-Qur’an, Surah An-Nisa, ayat 135 yang berbunyi sebagai
berikut:

ِ ‫ين بِ ْالقِ ْس ِط ُشهَ َداء هلِل‬ ْ ُ‫وا ُكون‬


َ ‫وا قَ َّوا ِم‬ ْ ُ‫ين آ َمن‬
َ ‫يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak
keadilan, menjadi saksi karena Allah...”

Ayat tersebut merupakan salah satu ajaran penting di dalam Islam yang menekankan
perlakuan adil terhadap sesama manusia tanpa pandang bulu. Islam menolak diskriminasi
karena setiap manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah apapaun latar belakangnya. Manusia
dipandang setara tanpa memandang etnis, ras, agama dan golongan. Di hadapan Allah, hanya
“prestasi ketakwaan” yang membedakan antara manusia satu dengan lainnya.

Berdasar pada sila kedua ini seluruh warga negara Indonesia yang manjemuk ini
mendapatkan jaminan akan kesamaan hak di depan hukum. Martabatnya sebagai manusia
dijunjung tinggi. Hal ini sejalan dengan prinsip ajaran Islam yang menekankan perlakuan adil
karena berlaku adil merupakan bagian dari ketakwaan kepada Allah SWT sebagaimana
ditegaskan dalam Surah Al Maidah, ayat 8, yang berbunyi:

‫ا ْع ِدلُوا هُ َو َأ ْق َربُ لِلتَّ ْق َوى‬


Artinya: "Berlakulah adil karena adil itu lebih dekat kepada ketakwaan kepada Allah."

Singkatnya, sila kedua dari Pancasila yang menekankan keadilan dan kebajikan demi
menjungjung tingi harkat dan martabat manusia ini sejalan dengan perintah-perintah di dalam
Al-Qur’an yang menjadi pedoman hidup bagi seluruh kaum Muslimin.

Sidang Jumah rahimakumullah,

3. Persatuan Indonesia

Sila ketiga ini merujuk pada Surah Al-Hujurat, ayat 13 sebagai berikut:

َ ‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا َخلَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوُأ ْنثَ ٰى َو َج َع ْلنَا ُك ْم ُشعُوبًا َوقَبَاِئ َل لِتَ َع‬
‫ارفُوا‬
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal.

Ayat di atas secara jelas bersesuaian dengan kondisi obyektif bangsa Indonesia yang terdiri
dari berbagai suku, ras dan golongan. Dengan kata lain negeri ini dianugerahi dengan
keberagaman yang harus dirawat dan dijaga dengan saling mengenal dan berinterkasi untuk
mewujudkan persatuan bersama. Untuk itu ditetapkanlah Bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan demi mewujudkan persatuan nasional.

Persatuan memang sangat diperlukan dan menjadi syarat mutlak untuk hidup bersama secara
damai dan bergotorng royong untuk mengisi kemerderkaan yang telah diperjuangkan para
syuhada dan pahlawan kita dengan pengorbanan harta, raga hingga nyawa. Perintah untuk
bersatu memiliki landasan teologis yang sangat kuat sebagaiamana diamanatkan dalam Al-
Qur’an, Surah Ali Imran, ayat 103 sebagai berikut:

‫ت هَّللا ِ َعلَ ْي ُك ْم ِإ ْذ ُك ْنتُ ْم َأ ْع َدا ًء‬


َ ‫ص ُموا بِ َحب ِْل هَّللا ِ َج ِميعًا َواَل تَفَ َّرقُوا ۚ َو ْاذ ُكرُوا نِ ْع َم‬ ِ َ‫َوا ْعت‬
ُ ‫ك يُبَي ُِّن هَّللا‬ ٰ
َ ِ‫ار فََأ ْنقَ َذ ُك ْم ِم ْنهَا ۗ َك َذل‬ َ َّ‫فََأل‬
ِ َّ‫ف بَي َْن قُلُوبِ ُك ْم ِإ ْخ َوانًا َو ُك ْنتُ ْم َعلَ ٰى َشفَا ُح ْف َر ٍة ِم َن الن‬
َ ‫لَ ُك ْم آيَاتِ ِه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَ ُد‬
‫ون‬
Artinya: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu
bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa
Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu
karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang
neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-
ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk .”

Kedua ayat tersebut, yakni ayat 13 dari Surah Al-Hujurat dan ayat 103 dari Surah Ali Imran,
secara jelas menginspirasi dan menjadi sumber rujukan bagi sila ketiga dari Pancasila yang
tidak bisa kita bantah.

Sidang Jumah rahimakumullah,

4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan


Perwakilan

Sila keempat ini merujuk pada Surah Asy-Syuro, ayat 38 sebagai berikut:

َ ُ‫صاَل ةَ َوَأ ْم ُرهُ ْم ُشو َر ٰى بَ ْينَهُ ْم َو ِم َّما َر َز ْقنَاهُ ْم يُ ْنفِق‬


‫ون‬ َّ ‫ين ا ْستَ َجابُوا لِ َربِّ ِه ْم َوَأقَا ُموا ال‬
َ ‫َوالَّ ِذ‬
Artinya: “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan
mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka;
dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”

Ayat di atas secara jelas menekankan agar para pemimpin melakukan musyawarah untuk
mencapai mufakat dan menjadikannya prioritas dalam megambil keputusan. Ayat ini juga
melarang dilakukannya cara-cara yang memaksakan kehendak kepada orang lain, tetapi lebih
menekankan musyawarah atau dialog yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan
meskipun dalam pelaksanaannya ada yang harus melalui perwakilan masing-masing.

Selain merujuk pada Surah Asy-Syura, ayat 38 tersebut, sila keempat ini juga sejalan dengan
kaidah fiqhiyah sebagai berikut:

 ‫َّاعيَّ ِة َمنُ ْوطٌ بِ ْال َمصْ لَ َح ِة‬


ِ ‫ف اِأْل َماِم َعلَى الر‬
ُ ُّ‫صر‬
َ َ‫ت‬
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan
kemaslahatan.”

Kaidah fiqhiyah tersebut merupakan rumusan yang ditegaskan oleh Imam Syafi’i yang
meyakini bahwa kedudukan seorang pemimpin merupakan kedudukan yang setara dengan
seorang wali terhadap anak yatim. Maksudnya adalah seorang pemimpin memiliki kewajiban
untuk memastikan bahwa kebijakan-kebijakannya beroreintasi kepada kemaslahatan rakyat
yang dipimpinnya dan bukan malah sebaliknya merugikan dan menyengsarakan mereka.

Sidang Jumah rahimakumullah,

5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

Sila kelima ini merujuk pada Surah An-Nahl, ayat 90, sebagai berikut:

ِ ‫ِإ َّن هَّللا َ يَْأ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َواِإْل حْ َس‬


‫ان‬
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan.”
Ayat tersebut menekankan bahwa keadilan dan kebajikan sosial harus selalu dijunjung tinggi
demi perdamaian dan kesejahteraan bersama sekaligus untuk melindungi bahwa orang-orang
lemah, baik secara kuantitas maupun kualitas mendapatkan jaminan bahwa mereka bisa turut
merasakan kesejahteraan bersama. Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai lapisan masyarakat
yang majemuk. Mereka harus mendapatkan perlakukan yang sama di depan negara tanpa
diskriminasi berdasarkan suka, agama maupun golongan.

Sila kelima ini sejalan dengan sistem sosial ekonomi Islam bahwa hak-hak individu diakui
dan dihormati. Namun demikian setiap individu memiliki kewajiban sosial yang harus
dilaksanakan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur bersama.

Sidang Jumah rahimakumullah,

Dari seluruh urian tersebut kita dapat meyakini bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan
aqidah, syariah, dan akhlak Islam. Untuk itu menjadi kewajiban kita bersama untuk
mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pancasila hanyalah
salah satu dari keempat pilar kebangsaan Indonesia. Untuk itu, juga merupakan kewajiban
kita bersama untuk mempertahankan dan menjaga ketiga pilar lainnya, yakni UUD 1945,
NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.
‫َج َعلَنا هللاُ َوإيَّاكم ِم َن الفَاِئ ِزين اآل ِمنِين‪َ ،‬وأ ْد َخلَنَا وِإيَّاكم فِي ُز ْم َر ِة ِعبَا ِد ِه ال ُمْؤ ِمنِي َْن ‪:‬‬
‫ين آ َمنُوا اتَّقُوا‬ ‫أعوذ باهلل من الشيطان الرجيم‪ ،‬بسم هللا الرحمن الرحيم‪ :‬يَا َأيُّهَا الَّ ِذ َ‬
‫هَّللا َ َوقُولُوا قَ ْواًل َس ِديدًا‬
‫ت و ِذ ْك ِر ال َح ِكي ِْم‪ .‬إنّهُ‬ ‫ك هللاُ لِ ْي َولك ْم فِي القُرْ ِ‬
‫آن ال َع ِظي ِْم‪َ ،‬ونَفَ َعنِ ْي َوِإيّا ُك ْم ِباآليا ِ‬ ‫با َ َر َ‬
‫تَعاَلَى َج ّوا ٌد َك ِر ْي ٌم َملِ ٌ‬
‫ك بَرٌّ َرُؤ ْو ٌ‬
‫ف َر ِح ْي ٌم‬
‫‪Khutbah II‬‬

‫اَ ْل َح ْم ُد هللِ َعل َى ِإحْ َسانِ ِه َوال ُّش ْك ُر لَهُ َعل َى تَ ْوفِ ْيقِ ِه َواِ ْمتِنَانِ ِه‪َ .‬وَأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ اِلَهَ ِإالَّ هللاُ َوهللاُ‬
‫إلى ِرضْ َوانِ ِه‪ .‬اللهُ َّم‬ ‫أن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُهُ ال َّدا ِعى َ‬ ‫ْك لَهُ َوَأ ْشهَ ُد َّ‬‫َوحْ َدهُ الَ َش ِري َ‬
‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ِو َعلَى اَلِ ِه َوَأصْ َحابِ ِه َو َسلِّ ْم تَ ْسلِ ْي ًما ِكث ْيرًا‬ ‫َ‬
‫َأ َّما بَ ْع ُد فَيا َ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُواهللاَ فِ ْي َما َأ َم َر َوا ْنتَه ُْوا َع َّما نَهَى َوا ْعلَ ُم ْوا َأ َّن هللاَ َأ َم َر ُك ْم‬
‫صلُّ ْو َن َع َ‬
‫لى‬ ‫ال تَعاَلَى ِإ َّن هللاَ َو َمآلِئ َكتَهُ يُ َ‬ ‫بَِأ ْم ٍر بَ َدَأ فِ ْي ِه بِنَ ْف ِس ِه َوثَـنَى بِ َمآل ِئ َكتِ ِه بِقُ ْد ِس ِه َوقَ َ‬
‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ ‫صلُّ ْوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُم ْوا تَ ْسلِ ْي ًما‪ .‬اللهُ َّم َ‬
‫النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّ ِذي َْن آ َمنُ ْوا َ‬
‫ك َو َمآلِئ َك ِة ْال ُمقَ َّربِي َْن‬ ‫ك َو ُر ُسلِ َ‬ ‫آل َسيِّ ِدنا َ ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَ ْنبِيآِئ َ‬‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ْم َو َعلَى ِ‬ ‫َ‬
‫َّاش ِدي َْن َأبِى بَ ْك ٍر َو ُع َمر َو ُع ْث َمان َو َعلِى َو َع ْن بَقِيَّ ِة‬ ‫ض اللّهُ َّم َع ِن ْال ُخلَفَا ِء الر ِ‬ ‫َوارْ َ‬
‫ض َعنَّا َم َعهُ ْم‬ ‫َّحابَ ِة َوالتَّابِ ِعي َْن َوتَابِ ِعي التَّابِ ِعي َْن لَهُ ْم ِباِحْ َس ٍ‬
‫ان اِلَىيَ ْو ِم ال ِّد ْي ِن َوارْ َ‬ ‫الص َ‬
‫ك يَا َأرْ َح َم الر ِ‬
‫َّاح ِمي َْن‬ ‫بِ َرحْ َمتِ َ‬
‫ت‬‫ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْنهُ ْم َو ْاالَ ْم َوا ِ‬ ‫ت َو ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫اَللهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬
‫ك ْال ُم َو ِّح ِديَّةَ‬ ‫ك َو ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َوا ْنصُرْ ِعبَا َد َ‬ ‫اللهُ َّم َأ ِع َّز ْاِإل ْسالَ َم َو ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َوَأ ِذ َّل ال ِّشرْ َ‬
‫اخ ُذلْ َم ْن َخ َذ َل ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َو َد ِّمرْ َأ ْع َدا َء ال ِّدي ِْن َوا ْع ِل‬ ‫ص َر ال ِّدي َْن َو ْ‬ ‫َوا ْنصُرْ َم ْن نَ َ‬
‫ك ِإلَى يَ ْو َم ال ِّدي ِْن‪ .‬اللهُ َّم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَالَ َء َو ْال َوبَا َء َوال َّزالَ ِز َل َو ْال ِم َح َن َوس ُْو َء ْالفِ ْتنَ ِة‬ ‫َكلِ َماتِ َ‬
‫ان ْال ُم ْسلِ ِمي َْن‬ ‫صةً َو َساِئ ِر ْالب ُْل َد ِ‬ ‫َو ْال ِم َح َن َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَ َن َع ْن بَلَ ِدنَا اِ ْن ُدونِي ِْسيَّا خآ َّ‬
‫آلخ َر ِة َح َسنَةً َوقِنَا َع َذ َ‬
‫اب‬ ‫عآ َّمةً يَا َربَّ ْال َعالَ ِمي َْن‪َ .‬ربَّنَا آتِنا َ فِى ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِى ْا ِ‬
‫اس ِري َْن‪ِ .‬عبَا َدهللاِ !‬ ‫لخ ِ‬ ‫اإن لَ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُك ْونَ َّن ِم َن ْا َ‬
‫ظلَ ْمنَا اَ ْنفُ َسنَا َو ْ‬ ‫ار‪َ .‬ربَّنَا َ‬ ‫النَّ ِ‬
‫بى َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ شآ ِء َو ْال ُم ْن َك ِر‬ ‫ان َوِإيْتآ ِء ِذي ْالقُرْ َ‬ ‫ِإ َّن هللاَ يَْأ ُم ُرنَا بِاْل َع ْد ِل َو ْاِإل حْ َس ِ‬
‫لى نِ َع ِم ِه‬‫َو ْالبَ ْغي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر ُْو َن َو ْاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكر ُْوهُ َع َ‬
‫يَ ِز ْد ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ َأ ْكبَرْ‬
Khutbah I

Hadits 'Tangan di Bawah' dan Mereka


yang Suka Dilayani

‫ َأ ْشهَ ُد َأ ْن‬،‫ريم‬ ِ ‫ َوَأ ْفهَ َمنَا بِ َش ِر ْي َع ِة النَّبِ ّي ال َك‬،‫لح ْم ُد هللِ الّذي هَ َدانَا ُسب َُل ال ّسالَ ِم‬ َ ‫لح ْم ُد هللِ ْا‬
َ ‫ْا‬
‫ َوَأ ْشهَ ُد َأ ّن َسيِّ َدنَا َونَبِيَّنَا ُم َح َّمدًا‬،‫الل َواإل ْكرام‬ 0ِ ‫ ُذو ْال َج‬،‫اَل اِلَهَ ِإاَّل هللا َوحْ َدهُ ال َش ِريك لَه‬
‫بار ْك َعلَى َسيِّ ِدنا ُم َح ّم ٍد وعلى اله وأصْ حابِ ِه‬ ِ ‫صلِّ و َسلِّ ْم َو‬ َ ‫ اللّهُ َّم‬،‫َع ْب ُدهُ َو َرسولُه‬
‫ أوصيكم و نفسي بتقوى‬،‫ فيايها اإلخوان‬:‫ أما بعد‬،‫سان إلَى يَ ْو ِم الدِّين‬ ِ ْ‫عين بِإح‬ َ ِ‫َوالتَّاب‬
‫ أعوذ باهلل من الشيطان‬:‫ قال هللا تعالى في القران الكريم‬،‫هللا وطاعته لعلكم تفلحون‬
،‫ين َآ َمنُوا اتَّقُوا هللا َوقُولُوا قَ ْواًل َس ِديدًا‬ َ ‫ يَا َأيُّهَا الَّ ِذ‬:‫ بسم هللا الرحمان الرحيم‬،‫الرجيم‬
‫يُصْ لِحْ لَ ُك ْم َأ ْع َمالَ ُك ْم َويَ ْغفِرْ لَ ُك ْم ُذنُوبَ ُك ْم َو َم ْن ي ُِط ِع هللا َو َرسُولَهُ فَقَ ْد فَا َز فَ ْو ًزا َع ِظي ًما‬
‫ق تُقَاتِ ِه َوالَ تَ ُم ْوتُ َّن ِإالَّ َوَأ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُم ْو َن‬َّ ‫وقال تعالى يَا اَيُّهَا الَّ ِذي َْن آ َمنُ ْوا اتَّقُ ْوا هللاَ َح‬.
‫صدق هللا‬
Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, Rasululllah SAW bersabda:

‫ْاليَ ُد ْالع ُْليَا َخ ْي ٌر ِم َن ْاليَ ِد ال ُّس ْفلَى‬


Artinya: “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.”

Apa yang dimaksud dengan “tangan di atas” adalah orang yang memberi, sedangkan “tangan
di bawah” adalah orang yang menerima atau meminta. Hadits ini sangat terkenal sehingga
banyak orang pernah mendengar hadits tersebut berikut penjelasannya. Banyak orang
mengutip hadits itu untuk menasihati agar kita menjauhi perbuatan meminta-minta; sekaligus
untuk mendorong agar kita lebih suka memberi dari pada meminta karena yang memberi
akan menjadi pihak yang lebih baik dari pada yang diberi. Singkatnya, hadits ini menegaskan
bahwa memberi itu lebih baik dari pada meminta. Atau, bahwa meminta itu tidak baik.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Apa yang selama ini kita pahami tentang memberi dan meminta biasanya dikaitkan dengan
barang atau hal-hal yang bersifat kebendaan. Para pengemis atau orang-orang miskin sering
dimasukkan ke dalam kelompok peminta sehingga masyarakat seringkali memandang mereka
dengan rendah. Sebaliknya, mereka orang-orang yang berkecukupan atau orang-orang kaya
biasanya dimasukkan ke dalam kelompok pemberi atau dermawan sehingga masyarakat
memandang mereka dengan penuh hormat.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,


Lewat khutbah kali ini, khatib ingin mengajukan sebuah pertanyaan, apakah betul bahwa
hadits tersebut semata-mata berkaitan dengan pinta-meminta atau beri-memberi dalam
hubungannya dengan barang atau kebendaan saja?

Hadits itu tidak semata-mata berkaitan dengan barang atau kebendaan seperti itu sebab
peminta itu sebenarnya dapat dibagi menjadi  2 (dua) macam: yakni peminta barang dan
peminta jasa. Baik peminta barang maupun peminta jasa sama-sama tidak baik dalam
pandangan Islam berdasarkan hadits di atas, yakni:

‫ْاليَ ُد ْالع ُْليَا َخ ْي ٌر ِم َن ْاليَ ِد ال ُّس ْفلَى‬


Artinya: “Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.”

Lalu pertanyaannya, siapakah orang-orang yang suka meminta jasa? Atau dengan kata lain
siapa  kelompok orang yang suka minta dilayani?

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Jika orang-orang miskin atau orang-orang dari kalangan bawah sering dianggap sebagai
orang yang suka meminta barang seperti uang, makanan, pakaian dan sebagainya, maka
orang-orang mapan atau orang-orang kuat cenderung suka meminta dilayani. Artinya mereka
adalah pihak yang suka meminta jasa orang lain. Mereka suka memerintah, atau dengan
bahasa yang sangat santun, mereka suka meminta tolong, seperti minta diambilkan ini dan
itu, atau minta dibuatkan ini dan itu. Atau minta diangkatkan barang ini dan barang itu; dan
sebagainya.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan Rasulullah SAW? Apakah beliau suka meminta
jasa orang lain dengan minta dilayani ini dan itu?

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Rasulullah SAW adalah seorang tokoh yang sangat dihormati. Ketika beliau memerintah atau
meminta tolong seseorang, tidak ada yang menolak. Bukan karena mereka takut, tapi karena
saking hormatnya kepada beliau. Namun demikian beliau lebih suka melayani diri sendiri
sebagaimana diceritakan oleh istri beliau, Aisyah, yang diriwayatkan Ahmad:

0:‫ قالت‬،‫عن عائشة أنها سُئلت ما كان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم يعمل في بيته‬
‫ َويَ ْع َم ُل َما يَ ْع َم ُل ال ِّر َجا ُل فِي بُيُوتِ ِه ْم‬،ُ‫ف نَ ْعلَه‬ ِ ‫ َويَ ْخ‬،ُ‫ان يَ ِخيطُ ثَ ْوبَه‬
ُ ‫ص‬ َ ‫"" َك‬
Artinya: ”Dari Aisyah RA, beliau ditanya apa yang dikerjakan Rasulullah SAW di rumah? 
Aisyah menjawab Rasulullah  menjahit  pekaiannya sendiri, mengesol sandalnya sendiri,  dan
melalukan apa yang biasa dilakukan laki-laki pada umumnya di rumah mereka.”

Hadits di atas menunjukkan bahwa meskipun Rasulullah SAW adalah orang yang sangat
mulia – bahkan paling mulia di dunia ini -  baik di mata Allah maupun di mata manusia,
beliau tidak segan-segan melakukan pekerjaan rumah tangga. Beliau tidak berpikir pekerjaan-
pekerjaan seperti menjahit pakaian, mengesol sandal dan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
lainnya akan menurunkan kemuliaan beliau sebagai seorang nabi dan rasul. Tentu saja tidak
sebab hanya perbuatan maksiat saja yang akan  menurunkan kemuliaan seseorang.

Pertanyaan berikutnya adalah kenapa Rasulullah SAW lebih suka melayani diri sendiri dari
pada minta tolong kepada orang lain?

Jawaban dari pertanyaan ini adalah karena tangan di atas lebih baik dari pada tangan di
bawah sebagai mana hadits di atas. Hadits tersebut sesungguhnya tidak saja berkaitan dengan
hal-hal yang bersifat barang atau kebendaan tetapi juga hal-hal yang bersifat jasa. Oleh sebab
itu, Rasulullah SAW lebih suka melayani diri sendiri dari pada dilayani. Hal ini juga
dibuktikan dengan suatu peristiwa dimana Nabi Muhammad SAW tidak bersedia menerima
tawaran jasa dari Abu Hurairah. Saat itu Abu Hurairah bermaksud membawakan barang
milik Rasululullah SAW yang baru saja beliau beli di pasar. Kepada Abu Hurairah,
Rasulullah SAW mengatakan:

ُ‫ق بِ َش ْيِئ ِه َأ ْن يَحْ ِملَه‬


ُّ ‫احبُ ال َّش ْي ِء َأ َح‬
ِ ‫ص‬َ
Artinya: "Pemilik sesuatu barang lebih berhak (pantas) membawa barang miliknya. "

Ketidak bersediaan  Rasulullah SAW untuk dilayani Abu Hurairah tersebut menunjukkan
bahwa beliau tidak suka merepotkan orang lain sementara beliau  masih mampu
melakukannya sendiri. Hal ini sekaligus merupakan bukti bahwa Rasulullah SAW adalah
orang yang sangat tawadhu’. Jadi memang kesediaan seseorang untuk melayani diri sendiri
tidak lepas dari sikap tawadhu’ yang ada pada orang tersebut.  

Sidang Jum’ah rahimakumullah,

Memperhatikan apa yang dipraktikkan Rasullah SAW dalam kehidupan sehari-hari seperti
tersebut di atas, marilah kita mencoba mengikuti jejak beliau dengan berusaha semampu kita
untuk melayani diri sendiri. Semua jerih payah yang kita lakukan yang didasarkan pada niat
untuk tidak merepotkan orang lain pasti akan dicatat sebagai amal ibadah kita masing-
masing. Tidak hanya itu, tetes-tetes keringat yang disebabkan karena melakukan aktifitas
fisik sesungguhnya memiliki dampak positif  bagi kesehatan kita sendiri. Apalagi di jaman
sekarang banyak orang mengalami berbagai  macam penyakit disebabkan karena kurangnya
gerak fisik sebagai akibat dari majunya teknologi yang serba memanjakan manusia.

Selain itu, berbagai  macam penyakit tersebut juga disebabkan banyak orang mulai tidak suka
melakukan kegiatan-kegiatan fisik dan kemudian lebih memilih menyerahkannya ke orang
lain.  Maka porsi kegiatan fisik menjadi kurang memadai. Untuk itu, marilah dengan prinsip
tangan di atas lebih baik dari pada tangan dibawah, kita lakukan sendiri hal-hal yang memang
bisa kita lakukan sendiri tanpa meminta jasa orang lain.  

Tentu saja, dalam hal ini kita harus bisa membedakan antara meminta jasa dengan membeli
jasa orang lain. Membeli jasa berarti kita memberi pekerjaan kepada orang lain, dan oleh
karena itu kita harus  membayar atau menyediakan gaji. Sudah pasti hal ini sangat mulia.
Tetapi jika hanya meminta jasa, sudah pasti ini hanya merepotkan orang lain karena sama
saja dengan meminta keringat orang lain. Rasulullah SAW tidak suka meminta baik berupa
barang maupun jasa.

Sidang Jum’ah rahimakumullah,


‫‪Mudah-mudahan uraian singkat ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi diri saya‬‬
‫‪sendiri, dan umumnya kepada jama’ah shalat Jum’at sekalian. Amin ya rabbal alamin.‬‬

‫َج َعلَنا هللاُ َوإيَّاكم ِم َن الفَاِئ ِزين اآل ِمنِين‪َ ،‬وأ ْد َخلَنَا وِإيَّاكم فِي ُز ْم َر ِة ِعبَا ِد ِه ال ُمْؤ ِمنِي َْن ‪:‬‬
‫ين آ َمنُوا اتَّقُوا‬ ‫أعوذ باهلل من الشيطان الرجيم‪ ،‬بسم هللا الرحمن الرحيم‪ :‬يَا َأيُّهَا الَّ ِذ َ‬
‫هَّللا َ َوقُولُوا قَ ْواًل َس ِديدًا‬
‫ت و ِذ ْك ِر ال َح ِكي ِْم‪  .‬إنّهُ‬ ‫ك هللاُ لِ ْي َولك ْم فِي القُرْ ِ‬
‫آن ال َع ِظي ِْم‪َ ،‬ونَفَ َعنِ ْي َوِإيّا ُك ْم بِاآليا ِ‬ ‫با َ َر َ‬
‫تَعاَلَى َج ّوا ٌد َك ِر ْي ٌم َملِ ٌ‬
‫ك بَرٌّ َرُؤ ْو ٌ‬
‫ف َر ِح ْي ٌم‬
‫‪Khutbah II‬‬

‫اَ ْل َح ْم ُد هللِ َعل َى ِإحْ َسانِ ِه َوال ُّش ْك ُر لَهُ َعل َى تَ ْوفِ ْيقِ ِه َواِ ْمتِنَانِ ِه‪َ .‬وَأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ اِلَهَ ِإالَّ هللاُ َوهللاُ‬
‫إلى ِرضْ َوانِ ِه‪ .‬اللهُ َّم‬ ‫أن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُهُ ال َّدا ِعى َ‬ ‫ْك لَهُ َوَأ ْشهَ ُد َّ‬‫َوحْ َدهُ الَ َش ِري َ‬
‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ِو َعلَى اَلِ ِه َوَأصْ َحابِ ِه َو َسلِّ ْم تَ ْسلِ ْي ًما ِكث ْيرًا‬ ‫َ‬
‫َأ َّما بَ ْع ُد فَيا َ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُواهللاَ فِ ْي َما َأ َم َر َوا ْنتَه ُْوا َع َّما نَهَى َوا ْعلَ ُم ْوا َأ َّن هللاَ َأ َم َر ُك ْم‬
‫صلُّ ْو َن َع َ‬
‫لى‬ ‫ال تَعاَلَى ِإ َّن هللاَ َو َمآلِئ َكتَهُ يُ َ‬ ‫بَِأ ْم ٍر بَ َدَأ فِ ْي ِه بِنَ ْف ِس ِه َوثَـنَى بِ َمآل ِئ َكتِ ِه بِقُ ْد ِس ِه َوقَ َ‬
‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ ‫صلُّ ْوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُم ْوا تَ ْسلِ ْي ًما‪ .‬اللهُ َّم َ‬
‫النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّ ِذي َْن آ َمنُ ْوا َ‬
‫ك َو َمآلِئ َك ِة ْال ُمقَ َّربِي َْن‬ ‫ك َو ُر ُسلِ َ‬ ‫آل َسيِّ ِدنا َ ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَ ْنبِيآِئ َ‬‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ْم َو َعلَى ِ‬ ‫َ‬
‫َّاش ِدي َْن َأبِى بَ ْك ٍر َو ُع َمر َو ُع ْث َمان َو َعلِى َو َع ْن بَقِيَّ ِة‬ ‫ض اللّهُ َّم َع ِن ْال ُخلَفَا ِء الر ِ‬ ‫َوارْ َ‬
‫ض َعنَّا َم َعهُ ْم‬ ‫َّحابَ ِة َوالتَّابِ ِعي َْن َوتَابِ ِعي التَّابِ ِعي َْن لَهُ ْم ِباِحْ َس ٍ‬
‫ان اِلَىيَ ْو ِم ال ِّد ْي ِن َوارْ َ‬ ‫الص َ‬
‫ك يَا َأرْ َح َم الر ِ‬
‫َّاح ِمي َْن‬ ‫بِ َرحْ َمتِ َ‬
‫ت‬‫ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْنهُ ْم َو ْاالَ ْم َوا ِ‬ ‫ت َو ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫اَللهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬
‫ك ْال ُم َو ِّح ِديَّةَ‬ ‫ك َو ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َوا ْنصُرْ ِعبَا َد َ‬ ‫اللهُ َّم َأ ِع َّز ْاِإل ْسالَ َم َو ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َوَأ ِذ َّل ال ِّشرْ َ‬
‫اخ ُذلْ َم ْن َخ َذ َل ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َو َد ِّمرْ َأ ْع َدا َء ال ِّدي ِْن َوا ْع ِل‬ ‫ص َر ال ِّدي َْن َو ْ‬ ‫َوا ْنصُرْ َم ْن نَ َ‬
‫ك ِإلَى يَ ْو َم ال ِّدي ِْن‪ .‬اللهُ َّم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَالَ َء َو ْال َوبَا َء َوال َّزالَ ِز َل َو ْال ِم َح َن َوس ُْو َء ْالفِ ْتنَ ِة‬ ‫َكلِ َماتِ َ‬
‫ان ْال ُم ْسلِ ِمي َْن‬ ‫صةً َو َساِئ ِر ْالب ُْل َد ِ‬ ‫َو ْال ِم َح َن َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَ َن َع ْن بَلَ ِدنَا اِ ْن ُدونِي ِْسيَّا خآ َّ‬
‫آلخ َر ِة َح َسنَةً َوقِنَا َع َذ َ‬
‫اب‬ ‫عآ َّمةً يَا َربَّ ْال َعالَ ِمي َْن‪َ .‬ربَّنَا آتِنا َ فِى ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِى ْا ِ‬
‫اس ِري َْن‪ِ .‬عبَا َدهللاِ !‬ ‫لخ ِ‬ ‫اإن لَ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُك ْونَ َّن ِم َن ْا َ‬
‫ظلَ ْمنَا اَ ْنفُ َسنَا َو ْ‬ ‫ار‪َ .‬ربَّنَا َ‬ ‫النَّ ِ‬
‫بى َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ شآ ِء َو ْال ُم ْن َك ِر‬ ‫ان َوِإيْتآ ِء ِذي ْالقُرْ َ‬ ‫ِإ َّن هللاَ يَْأ ُم ُرنَا بِاْل َع ْد ِل َو ْاِإل حْ َس ِ‬
‫لى نِ َع ِم ِه‬‫َو ْالبَ ْغي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر ُْو َن َو ْاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكر ُْوهُ َع َ‬
‫يَ ِز ْد ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ َأ ْكبَرْ‬
Khutbah I

Belajarlah kepada Ulama yang Jelas Silsilah Keilmuannya

ِ ‫ِإ َّن ْال َح ْم َد هَّلِل ِ نَحْ َم ُدهُ َونَ ْستَ ِع ْينُهُ َونَ ْستَ ْغفِ ُر ْه َونَعُو ُذ بِاهللِ ِم ْن ُشر ُْو ِر َأ ْنفُ ِسنَا َو ِم ْن َسيَِّئا‬
‫ت‬
ُ‫ َوَأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللا‬.ُ‫ي لَه‬ َ ‫ض َّل لَهُ َو َم ْن يُضْ لِ ْلهُ فَالَ هَا ِد‬ ِ ‫ َم ْن يَ ْه ِد ِه هللاُ فَالَ ُم‬،‫َأ ْع َمالِنَا‬
‫ص ِّل َعلَى َسيِّ ِدنا َ ُم َح َّم ٍد‬ َ ‫ اَللَّهُ َّم‬.ُ‫ْك لَهُ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُه‬ َ ‫َوحْ َدهُ الَ َش ِري‬
‫ اما بعـد فياايهاالحاضرون‬.‫صحْ بِ ِه َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم بِِإحْ َسا ٍن ِإلَى يَ ْو ِم ال ِّد ْي ِن‬ َ ‫َو َعلَى آلِ ِه َو‬
‫ أعوذ باهلل من‬:‫ قال هللا تعالى‬.‫از ْال ُمتَّقُ ْو َن‬ َ َ‫ص ْي ُك ْم َونَفِى بِتَ ْق َوى هللاَ فَقَ ْد ف‬ ِ ‫ اُ ْو‬،‫رحمكم هللا‬
‫ق تُقَاتِ ِه َوالَ تَ ُم ْوتُ َّن ِإالَّ َوَأنتُ ْم‬
َّ ‫الشيطان ال َّر جيم يَا َأيُّها َ الَّ ِذي َْن َءا َمنُوا اتَّقُوا هللاَ َح‬
‫ ِإنَّ َما يَ ْخ َشى هَّللا َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْال ُعلَ َما ُء‬.‫ُّم ْسلِ ُم ْو َن‬
Jamaah jumat rahimakumullah,

Adalah sebuah keniscayaan dan keharusan bagi khotib untuk selalu mengingatkan kepada diri
khotib pribadi khususnya dan para jamaah pada umumnya untuk selalu meningkatkan
ketaawaan kepada Allah SWT. Dengan ketakwaan kepada Allah SWT insyaallah kehidupan
kita di dunia dan akhirat kelak nanti akan selalu dalam perlindungan dan ridha Allah SWT.
Karena takwa merupakan sebaik-baik bekal menuju alam akhirat sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 197: 

‫وتَ َز َّو ُدوا فَِإ َّن َخي َْر ال َّزا ِد التَّ ْق َو ٰى‬ 
َ
 
“…Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa…”

Ketika takwa hadir dalam diri kita, kehidupan kita pastilah akan terkontrol. Kita akan selalu
patuh untuk melaksanakan perintah-perintah yang diberikan oleh Allah SWT. Dan ketika hati
kita tergiur untuk melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah pastilah kita akan ingat dan
merasa takut untuk melakukannya.

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Dalam mengarungi samudera kehidupan ini kita harus memiliki bekal yang cukup agar tidak
tersesat dan terjerumus kepada sesuatu yang merugikan kita sendiri. Salah satu bekal yang
sangat penting dalam kehidupan ini adalah bekal ilmu yang akan mempermudah kita dalam
beramal dan beribadah. Terlebih bekal ilmu agama. Karena ilmu agamalah yang akan
mengarahkan kita untuk tetap istiqamah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi
laranganNya.

Menuntut ilmu agama adalah wajib hukumnya bagi setiap Muslim. Kita sebagai seorang
Muslim haruslah terus berusaha untuk menambah keilmuan kita khususnya dalam bidang
agama agar ibadah yang kita lakukan setiap saat memiliki dasar dan bukan hanya karena ikut-
ikut saja.
Lalu muncul pertanyaan: kepada siapa kita harus belajar ilmu agama? Apakah kita bisa
belajar memahami sendiri Al-Qur’an dan Hadits sebagai sumber utama Agama Islam?
Jawabannya tentu saja kita harus belajar kepada orang yang sudah memiliki kemampuan di
bidangnya, yaitu para ulama. Kita haruslah belajar kepada para ulama yang jelas silsilah
keilmuannya, jelas telah teruji kealimannya. Kita tidak bisa belajar Islam langsung dari Al-
Qur’an dan Hadits. Perlu berbagai macam disiplin ilmu yang dalam memahami maksud dari
Al-Qur’an dan hadits. Hal ini sudah ditegaskan oleh Allah dalam QS An-Nahl ayat 43:

َ ‫فَا ْسَألُوا َأ ْه َل ال ِّذ ْك ِر ِإ ْن ُك ْنتُ ْم اَل تَ ْعلَ ُم‬


‫ون‬
“…Bertanyalah kepada ahli zikir (ulama) jika kamu tidak mengetahui” (An Nahl :43)

Namun, jamaah jumat rahimakumullah,

Pada era sekarang ini kita haruslah berhati-hati dalam belajar agama dan memilih ulama
untuk dijadikan pegangan serta panutan dalam melaksanakan ibadah. Sekarang banyak sekali
bermunculan “ulama instan” yang pintar dalam bebicara namun minim ilmu agamanya.
Mereka ini mengedepankan popularitas daripada kualitas keilmuannya. Dengan dukungan
media dan acara di televisi, banyak sekali saat ini para artis yang tiba-tiba menjadi dai dan
cepat dikenal oleh masyarakat melalui acara-acara agamis. Sudah mulai tampak dan nyata
sekali saat ini seperti yang pernah dikatakan oleh dai sejuta umat Almarhum KH Zainuddin
MZ bahwa banyak tontonan menjadi tuntunan dan tuntunan menjadi tontonan. Hal inilah
yang kemudian memunculkan fenomena banyak umat yang mengalami kebingungan dalam
memahami dan meyakini pemahaman agama.

Jamaah jumat rahimakumullah...

Tidak semua orang yang mengisi acara ditelevisi memiliki kemampuan agama yang
mumpuni. Terkadang yang tidak memilki kompetensi malah dijadikan rujukan dalam
beragama karena memiliki kedekatan dengan media. Sementara yang benar-benar alim malah
sama sekali tidak dijadikan panutan dalam beragama karena memang tidak terpublikasikan
oleh media. Apalagi di era digital saat ini banyak bermunculan pemahaman-pemahaman yang
keras dalam beragama yang disebarkan melalui dunia maya, internet. Hal ini perlu
diwaspadai oleh kita dan juga para generasi muda yang sekarang ini selalu mengikuti
perkembangan teknologi dan informasi. Jika tidak waspada, tidak mustahil beberapa tahun ke
depan pemahaman-pemahaman agama yang radikal akan muncul dari para generasi muda
sekarang.

Fenomena ulama instan seperti ini sudah diingatkan oleh Imam al-Ghazali dalam Kitab
Bidayatul Hidayah dengan istilah ulama su'. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa ulama su'
termasuk ulama yang dapat merusak karena memiliki niatan memanfaatkan ilmu yang
dimilikinya untuk memperkaya diri dengan materi, menyombongkan diri, membanggakan
diri dan memperbanyak pengikut setia.

Ulama seperti ini sebenarnya tertipu oleh syaitan dengan bisikan merasa paling baik dan
benar. Inilah cara syaitan zaman sekarang yang menyesatkan manusia dengan amal ibadah
yang seolah baik namun sebenarnya itu adalah perangkap syaitan untuk menjerumuskan
manusia.
Rasulullah pun mengingatkan bahwa ulama seperti inilah yang dikhawatirkan olehnya di
samping Dajjal akhir zaman. Kalau Dajjal hanya menyesatkan manusia, tapi ulama su' lebih
dari itu yaitu menipu dengan ajakan agar tidak terlalu cinta kepada dunia namun sebenarnya
Ia sendiri yang memiliki niatan keduniawian.

Jamaah jumat rahimakumullah...

Predikat ulama tidaklah bisa dicari dan disematkan sendiri. Predikat ini akan disematkan
sendiri oleh masyarakat dengan melihat kiprah, kemampuan, keikhlasan dan keistiqomahan
yang bersangkutan dalam kehidupan beragama. Seorang ulama bukanlah mereka yang palign
banyak hafalan al-Qur’an dan hadits. Ulama adalah mereka yang takut kepada Allah SWT
sebagaimana firman Allah QS Fathir: 28.

. ‫ِإنَّ َما يَ ْخ َشى هَّللا َ ِم ْن ِعبَا ِد ِه ْال ُعلَ َما ُء ِإ َّن هَّللا َ َع ِزي ٌز َغفُو ٌر‬
Artinya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”
          
Ulama adalah orang yang wajib kita hormati karena kedudukan mereka di tengah-tengah
umat sangat mulia dan tugas yang mereka emban untuk kemaslahatan Islam dan muslimin
sangatlah berat. Kalau kita tidak memercayai ulama, lalu kepada siapa kita percaya? Kalau
kepercayaan kita telah menghilang dari ulama, lalu kepada siapa kita mengembalikan semua
problem hidup kita dan mencari rujukan hukum-hukum syariat Islam?

Oleh karena itu kita haruslah ingat dan menyadari bahwa wafatnya ulama adalah merupakan
bencana bagi alam semesta. Mereka ada seperti cahaya yang menghilangkan kegelapan, dan
ketika cahaya telah padam maka kondisinya akan kembali gelap. Dan seiring berjalannya
waktu, cahaya akan benar-benar redup, hingga kehidupan akan menjadi gelap dari ilmu. Hal
ini telah disabdakan oleh Rasulullah Saw.

‫ت قَبِيلَ ٍة َأ ْي َس ُر ِم ْن‬ َ ‫ َونَجْ ٌم طُ ِم‬, ‫ َوثُ ْل َمةٌ ال تُ َس ُّد‬، ‫صيبَةٌ ال تُجْ بَ ُر‬
ُ ‫ َم ْو‬، ‫س‬ ِ ‫ت ْال َعالِ ِم ُم‬ُ ‫َم ْو‬
‫ت َعالِ ٍم‬ِ ‫َم ْو‬
“Meninggalnya ulama adalah musibah yang tak tergantikan, dan sebuah kebocoran yang tak
bisa ditambal. Wafatnya ulama laksana bintang yang padam. Meninggalnya satu suku lebih
mudah daripada meninggalnya satu orang ulama.” (HR. Thabrani).

Jamaah jumah rahimakumullah.

Menutup Khutbah ini, marilah kita bersama berdoa kepada Allah SWT, semoga negara kita
Indonesia akan senantiasa dianugerahi sosok-sosok ulama yang benar-benar alim dan dapat
memberikan pencerahan kepada kita. Bukan ulama yang menghadirkan perpecahan di
tengah-tengah umat. Bukan ulama yang mengedepankan dan mengunggulkan pendapat
sendiri dan golongan. Dan semogalah Allah akan senantiasa menurunkan ilmunya kepada
generasi selanjutnya, sehingga akan muncul kembali para ulama yang mampu membimbing
peradaban manusia sesuai dengan apa yang digariskan oleh Allah SWT. Amin.
‫آن ْال َع ِظي ِْم َونَفَ َعنِي َوإيَّا ُك ْم ِب َما ِف ْي ِه ِم َن ْاآليا َ ِ‬
‫ت َوالذ ْكر‬ ‫ك هللاُ لِ ْي َولَ ُك ْم فِ ْي ْالقُرْ ِ‬ ‫ار َ‬ ‫بَ َ‬
‫ِْال َح ِكي ِْم َوتَقَب ََّل ِمنِّي َو ِم ْن ُك ْم تِالَ َوتَهُ إنَّهُ هُ َو ال َّس ِم ْي ُع ْال َعلِ ْي ُم‬
‫‪Khutbah II‬‬

‫ص َم ِد ‪  ،‬اَلَّ ِذىْ لَ ْم يَلِ ْد َولَ ْم ي ُْولَ ْد ‪َ   ،‬ولَ ْم يَ ُك ْن لَهُ ُكفُ ًوا‬ ‫اح ِد اَأْل َح ِد ‪ ،‬اَ ْلفَرْ ِد ال َّ‬ ‫ْال َح ْم ُد هَّلِل ِ ْال َو ِ‬
‫ك لَهُ ‪َ ،‬وَأ ْشهَ ُد َأ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ‬ ‫َأ َح ٌد َأ ْشهَ ُد َأ ْن اَل ِإلَهَ ِإاَّل هَّللا ُ َوحْ َدهُ اَل َش ِري َ‬
‫صحْ بِ ِه َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم‬ ‫ار ْك َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آلِ ِه َو َ‬ ‫صلِّ َو َسلِّ ْم َو بَ ِ‬ ‫َو َرسُولُهُ ‪ ،‬اللَّهُ َّم َ‬
‫ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِسي بِتَ ْق َوى هّللا ِ تَ َعالَى َوطَا َعتِ ِه‬ ‫ان اِلَى يَ ْو ِم ْالقِيَا َم ِة‪ .‬فَيَا ِعبَا َد هللاِ ُأ ْو ِ‬ ‫بِاِحْ َس ٍ‬
‫ون َعلَى‬ ‫صلُّ َ‬ ‫ال تَ َعالَى‪ِ  :‬إ َّن هَّللا َ َو َمالِئ َكتَهُ يُ َ‬ ‫صلَّى َعلَى نَبِيِّ ِه قَ ِديْما ً فَقَ َ‬ ‫وا َأ َّن هَّللا َ َ‬ ‫َوا ْعلَ ُم ْ‬
‫صلِّ َو َسلِّ ْم َعلَى َسيِّ ِدنَا‬ ‫صلُّوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُموا تَ ْسلِي ًما‪ ،‬اَللهُ َّم َ‬ ‫ين آ َمنُوا َ‬ ‫النَّبِ ِّي يَا َأيُّهَا الَّ ِذ َ‬
‫َّحابَ ِة َأجْ َم ِعي َْن ‪َ ،‬و َع ِن‬ ‫ض اللّهُ َّم َع ْن ُك ِّل الص َ‬ ‫آل َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ‪َ ،‬وارْ َ‬ ‫ُم َح َّم ٍد َو َعلَى ِ‬
‫ين َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫ت‬ ‫ان اِلَى يَ ْو ِم ال ِّدي ِْن‪ .‬اللَّهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُم ْسلِ ِم َ‬ ‫التَّابِ ِعي َْن َو َم ْن تَبِ َعهُ ْم بِاِحْ َس ٍ‬
‫ك َس ِم ْي ٌع قَ ِريْبٌ ُم ِجيْبُ ال َّد َع َوا ِ‬
‫ت‬ ‫ت ِإنَّ َ‬‫ت اَألحْ يَا ِء ِم ْنهُ ْم َواَأْل ْم َوا ِ‬ ‫ين َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬ ‫َو ْال ُمْؤ ِمنِ َ‬
‫ك َخ ْي ُر‬ ‫ص ِر ي َْن ‪َ ،‬وا ْفتَحْ لَنَافَِإنَّ َ‬ ‫ك َخ ْي ُر النَّا ِ‬ ‫ت‪  0.‬اللّهُ َّم ا ْنصُرْ نَا فَِإنَّ َ‬ ‫اجا ِ‬ ‫اض َى ْال َح َ‬ ‫َويَا قَ ِ‬
‫َّازقِي َْن ‪َ   ،‬وارْ َح ْمنَا‬ ‫ك َخ ْي ُر الر ِ‬ ‫ك َخ ْي ُر ْال َغافِ ِري َْن ‪  ،‬وارْ ُز ْقنَا فَِإنَّ َ‬ ‫ْالفَاتِ ِحي َْن ‪َ ،‬وا ْغفِرْ لَنَافَِإنَّ َ‬
‫ك ِر ْيحًا‬ ‫َّاح ِمي َْن ‪َ ،‬وا ْه ِدنَا َونَجِّ نَا ِم َن ْالقَ ْو ِم الظَّالِ ِمي َْن‪َ ،‬وهَبْ لَنَا ِم ْن لَ ُد ْن َ‬ ‫ك َخ ْي ُر الر ِ‬ ‫فَِإنَّ َ‬
‫ك ‪َ   ،‬وا ْنصُرْ هَا َعلَ ْينَا ِم ْن‬ ‫ار ًكا َك َما ِه َي فِى ِع ْل ِم َ‬ ‫طيِّبَةً َس ِك ْينَةً ‪َ ،‬وهَبْ لَنَا ِع ْي ًشا طَيِّبًا ُمبَ َ‬ ‫َ‬
‫ك َواحْ ِم ْلنَا بِهَا َح ْم َل ْال َك َرا َم ِة َوال َّساَل َم ِة َو ْال َعافِيَ ِة فِى ال ِّد ْي ِن‬ ‫ك َو َرحْ َمتِ َ‬ ‫طفِ َ‬‫َخ َزاِئ ِن لُ ْ‬
‫ك َعلَى ُكلِّ َش ْيٍئ قَ ِد ْي ٌر ‪َ . ‬ربَّنَا آتِنَا فِي ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِي اآل ِخ َر ِة‬ ‫َوال ُّد ْنيَا َواَأْل ِخ َر ِة ِإنَّ َ‬
‫ان َوِإيتَا ِء ِذي ْالقُرْ بَى‬ ‫‪.‬عبَا َد هللاِ‪ِ ,‬إ َّن هّللا َ يَْأ ُم ُر بِ ْال َع ْد ِل َواِإْل حْ َس ِ‬ ‫ار ِ‬‫اب النَّ ِ‬ ‫َح َسنَةً َوقِنَا َع َذ َ‬
‫ُون ‪ ،‬فَ ْاذ ُكرُوا هّللا َ ْال َع ِظ ْي َم‬ ‫َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ َشا ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغ ِي يَ ِعظُ ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر َ‬
‫‪.‬يَ ْذ ُكرْ ُك ْم‪ ،‬وا ْش ُكر ُْوهُ َعلَى نَ ْع َمآِئ ِه يَ ِز ْد ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هّللا ِ َأ ْكبَرْ‬
Khutbah I

Tiga Motivasi Beribadah, Manakah yang Kita Gunakan?

ُ‫ َأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ ِإلَهَ ِإالَّ هللا‬.‫ َوَأ ْم ُرهُ ْم بِتَ ْو ِح ْي ِد ِه َوطَا َعتِ ِه‬،‫ق لِ ِعبَا َدتِ ِه‬ َ ‫الخ ْل‬
َ ‫ق‬ َ َ‫الح ْم ُد هللِ الّ ِذي َخل‬ َ
،ِ‫ق ُعبُو ِديَّةً هلل‬ ِ ‫ َأ ْك َم ُل ال َخ ْل‬،ُ‫ْك لَهُ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن َسيِّ َدنا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُه‬ َ ‫َوحْ َدهُ الَ َش ِري‬
‫ اَ َّما‬.‫صلِّ َو َسلِّ ْم َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد َو َعلَى آلِ ِه َوَأصْ َحاِب ِه‬ َ ‫ اَللَّهُ َّم‬.ُ‫طا َعةً لَه‬ َ ‫َوَأ ْعظَ َمهُ ْم‬
ُ‫ال هللا‬ َ َ‫ق تُقَاتِه َوالَتَ ُم ْوتُ َّن اِالَّ َوَأنـْتُ ْم ُم ْسلِ ُم ْو َن فَقَ ْد ق‬ َّ ‫ اِتَّقُ ْواهللاَ َح‬،‫ فَيَااَيُّهَا ْال ُم ْسلِ ُم ْو َن‬،‫بَ ْع ُد‬
‫ وقال‬.‫ُون‬ َ ‫ َأفَ َح ِس ْبتُ ْم َأنَّ َما َخلَ ْقنَا ُك ْم َعبَثا ً َوَأنَّ ُك ْم ِإلَ ْينَا اَل تُرْ َجع‬:‫الى فِي ِكتَابِ ِه ْال َك ِري ِْم‬ َ ‫تَ َع‬
ِ ‫س ِإال لِيَ ْعبُ ُد‬
‫ون‬ َ ‫ت ْال ِج َّن َواإل ْن‬ ُ ‫ َو َما َخلَ ْق‬:ً‫أيضا‬
Jamaah shalat jumat rahimakumullah,

Beribadah atau lebih tepatnya mengabdi kepada Allah adalah sebuah keniscayaan dalam
kehidupan manusia. Hal ini selaras dengan perintah yang tertuang dalam Al-Qur’an bahwa
manusia dan jin diciptakan untuk tujuan mengabdi kepada-Nya. Meskipun, baik kita
beribadah maupun durhaka sesungguhnya sama sekali tak mempengaruhi sedikit pun
keagungan Allah. Ibadah merupakan kebutuhan bagi diri manusia sendiri.

Namun apakah yang sebenarnya mendorong manusia untuk beribadah? Filsuf Muslim Abu
ʿAli al-Ḥusayn ibn ʿAbd Allah ibn Sina atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina membagi
motivasi beribadah menjadi tiga hal.

Pertama, motivasi ala pedagang. Seseorang beribadah karena didorong oleh keuntungan
timbal balik dari sesuatu yang ia keluarkan. Ia menunaikan shalat, puasa, zakat, bersedekah,
menolong sesama, atau lainnya dengan penuh pengharapan bahwa balasan surga kelak ia
dapat. Alasan seseorang rela berlapar-lapar puasa di alam fana ini adalah sebab di akhirat
nanti ia bakal kenyang; susah-susah bangun malam untuk sembahyang tahajud sebab ia tahu
ada kelezatan yang bakal diperoleh dari jerih payah itu. Segenap ibadah di dunia pun menjadi
semacam modal dan aktivitas perniagaan, dengan kenikmatan surgawi sebagai laba yang
diidam-idamkan. Logikanya, siapa yang berinvestasi maka akan menuai hasilnya. Siapa yang
menanam, akan memanen.

Dan Al-Qur’an sendiri di beberapa tempat mengabarkan bahwa siapa pun yang beriman dan
berbuat baik akan mendapatkan surga. Bahkan janji itu dideskripsikan dengan mengambil
kiasan surga yang berisi sungai-sungai mengalir, buah-buahan, juga bidadari. Ini adalah
gambar dari keuntungan yang bakal diperoleh bagi orang-orang yang bersusah payah mengisi
kehidupan dunia yang sementara ini dengan iman dan amal shalih.

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Ya kedua adalah motivasi ala budak atau buruh. Kata kunci dari dorongan beribadah ini
adalah ketakutan. Seorang hamba menjalankan ibadah kepada Allah karena dibayang-bayangi
ancaman akan siksaan api neraka. Bak seorang buruh yang takut majikannya, ia menunaikan
tugas dalam rangka menghindari penderitaan di kehidupan kelak.

Orang dengan motivasi ini biasanya beribadah untuk sekadar lepas status sebagai hamba
durhaka. Adzab-adzab yang dipaparkan dalam kitab suci menjadi pemicu kuat mengapa ia
harus melakukan “ini” dan menghindari “itu”. Baginya manusia sudah terlanjur diciptakan
dan kini manusia harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Konsekuensi dari
pelanggaran atas kewajiban tersebut sudah sangat jelas, yakni siksa api neraka.

Yang ketiga adalah motivasi orang ‘arif (mengenal Allah). Bagi orang jenis ini, beribadah
adalah sebuah keniscayaan setelah menyaksikan betapa dahsyatnya karunia yang Allah
berikan kepada alam semesta ini; setelah menghayati kebijaksanaan dan kemahasempurnaan
Allah kepada makhluk-makhluknya. Karena itu, yang menonjol dalam ibadah mereka adalah
keikhlasan yang mendalam. Bukan kenikmatan surgawi yang ia buru. Ia juga tidak risau
kalaupun harus ditempatkan di neraka. Bahkan orang-orang seperti ini umumnya merasa
tidak layak menerima ganjaran surgawi lantaran rasa fakirnya di hadapan keagungan Allah
subhanahu wata’ala. Sebab yang paling penting bagi mereka adalah menunaikan ibadah
sebagai sebuah keharusan, urusan ditempatkan di mana saja adalah hak prerogatif Allah.
Allah memiliki kekuasaan penuh atas keputusan untuk hamba-Nya yang dla’if itu.

Tipe yang terakhir ini mengingatkan kita kepada kisah seorang ulama sufi kenamaan Fudlail
ibn 'Iyadl. Dalam kitab Raudlatuz Zâhidîn ‘Abdul-Malik ‘Alî al-Kalib diceritakan, suatu hari
ia berkata, "Seandainya saya diminta memilih antara dua hal, yakni dibangkitkan lalu
dimasukkan surga atau tidak dibangkitkan sama sekali, saya memilih yang kedua."

(Baca: Malu Masuk Surga)

Fudlail malu. Ia merasa tak pantas menerima ganjaran pahala seandainya ia memang
mendapatkannya. Tentu beliau bukan sedang ingkar terhadap surga dan kebahagiaan di
dalamnya. Gejolak jiwanya lah yang mendorongnya bersikap semacam itu.

Kecintaan Fudlail yang memuncak kepada Tuhannya menghilangkan angan-angan akan


pamrih apa pun. Kebaikan yang ia lakukan tak ada bandingnya dengan anugerah-Nya yang
melimpah. Bahkan kesanggupannya berbuat baik sesungguhnya adalah secuil dari anugerah
itu sendiri.

Suatu hari seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Fudlail ibn ‘Iyâdl, “Wahai Abu Ali,
kapan seseorang mencapai tingkat tertinggi cinta kepada Allah ta'ala?"

"Ketika bagimu sama saja: Allah memberi ataupun tidak. Saat itulah kau di puncak rasa
cinta," jawab Fudlail.

Sebagaimana manusia, surga dan neraka adalah makhluk. Fudlail berpandangan, Allah adalah
hakikat tujuan hidup. Hal ini tercermin dalam tafsirnya terhadap kalimat “Innâ lillâhi wa innâ
ilaihi râji‘ûn". Kita semua hamba Allah, dan kepada-Nya pula kita kembali. Kehambaan
yang total membuahkan kesadaran bahwa diri ini tergadai hanya untuk memenuhi permintaan
Sang Tuan. Tulus murni tanpa berharap imbalan sedikit pun.

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Sudahkah kita beribadah dengan baik dalam kehidupan yang singkat ini? Kalaupun sudah
beribadah, di posisi manakah kita di antara tiga motivasi tersebut? Apakah kita beribadah
karena ingin mengejar kenikmatan, menghindari siksaan, atau karena kesadaran diri yang
penuh sebagai hamba sejati?
‫‪Ketiga motivasi tersebut tentu tidak ada yang salah karena seluruhnya mendapat pembenaran‬‬
‫‪dalam Al-Qur’an. Hanya saja, motivasi terakhir adalah motivasi yang paling menunjukkan‬‬
‫‪kedewasaan seseorang sebagai hamba. Ia tak terlalu disibukkan dengan iming-iming‬‬
‫‪kelezatan atau ancaman penderitaan layaknya kanak-kanak saat mematuhi perintah atau‬‬
‫‪larangan orang tuanya.‬‬

‫‪Semoga kita senantiasa dikarunia Allah petunjuk sehingga kita bisa terus meningkatkan‬‬
‫‪kualitas ibadah kepada-Nya. Pencapaian tertinggi tentu butuh kerja keras, karenanya kita‬‬
‫‪berdoa semoga kita bukan termasuk orang-orang malas belajar dan berusaha.‬‬

‫آن ْال َع ِظي ِْم‪َ ,‬ونَفَ َعنِى َوِإيَّا ُك ْم بِ َمافِ ْي ِه ِم ْن آيَ ِة َو ْذ ُك ِر ْال َح ِكي ِْم‬
‫ك هللا لِى َولَ ُك ْم فِى ْالقُرْ ِ‬ ‫ار َ‬
‫بَ َ‬
‫َوتَقَب ََّل هللاُ ِمنَّا َو ِم ْن ُك ْم تِالَ َوتَهُ َواِنَّهُ هُ َو ال َّس ِم ْي ُع ال َعلِ ْي ُم‪َ ،‬وَأقُ ْو ُل قَ ْولِي هَ َذا فَا ْستَ ْغفِ ُر هللاَ‬
‫ال َع ِظ ْي َم ِإنَّهُ هُ َو ال َغفُ ْو ُر الر ِ‬
‫َّحيْم‬
‫‪Khutbah II‬‬

‫اَ ْل َح ْم ُد هللِ َعل َى ِإحْ َسانِ ِه َوال ُّش ْك ُر لَهُ َعل َى تَ ْوفِ ْيقِ ِه َواِ ْمتِنَانِ ِه‪َ .‬وَأ ْشهَ ُد َأ ْن الَ اِلَهَ ِإالَّ هللاُ َوهللاُ‬
‫إلى ِرضْ َوانِ ِه‪ .‬اللهُ َّم‬ ‫أن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُهُ ال َّدا ِعى َ‬ ‫ْك لَهُ َوَأ ْشهَ ُد َّ‬ ‫َوحْ َدهُ الَ َش ِري َ‬
‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد ِو َعلَى اَلِ ِه َوَأصْ َحابِ ِه َو َسلِّ ْم تَ ْسلِ ْي ًما ِكث ْيرًا‬ ‫َ‬
‫َأ َّما بَ ْع ُد فَيا َ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُواهللاَ فِ ْي َما َأ َم َر َوا ْنتَه ُْوا َع َّما نَهَى َوا ْعلَ ُم ْوا َأ َّن هللاَ َأ َم َر ُك ْم‬
‫لى‬ ‫صلُّ ْو َن َع َ‬ ‫ال تَعاَلَى ِإ َّن هللاَ َو َمآلِئ َكتَهُ يُ َ‬ ‫بَِأ ْم ٍر بَ َدَأ فِ ْي ِه بِنَ ْف ِس ِه َوثَـنَى بِ َمآل ِئ َكتِ ِه بِقُ ْد ِس ِه َوقَ َ‬
‫صلِّ َعلَى َسيِّ ِدنَا ُم َح َّم ٍد‬ ‫صلُّ ْوا َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ُم ْوا تَ ْسلِ ْي ًما‪ .‬اللهُ َّم َ‬ ‫النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّ ِذي َْن آ َمنُ ْوا َ‬
‫ك َو َمآلِئ َك ِة ْال ُمقَ َّربِي َْن‬ ‫ك َو ُر ُسلِ َ‬ ‫آل َسيِّ ِدنا َ ُم َح َّم ٍد َو َعلَى اَ ْنبِيآِئ َ‬ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلِّ ْم َو َعلَى ِ‬ ‫َ‬
‫ْ‬
‫َّاش ِدي َْن بِى بَ ْك ٍر َو ُع َمر َو ُعث َمان َو َعلِى َو َع ْن بَقِيَّ ِة‬ ‫َأ‬ ‫ْ‬
‫ض اللهُ َّم َع ِن ال ُخلَفَا ِء الر ِ‬ ‫ّ‬ ‫َوارْ َ‬
‫ض َعنَّا َم َعهُ ْم‬ ‫ان اِلَىيَ ْو ِم ال ِّد ْي ِن َوارْ َ‬ ‫َّحابَ ِة َوالتَّابِ ِعي َْن َوتَابِ ِعي التَّابِ ِعي َْن لَهُ ْم ِباِحْ َس ٍ‬ ‫الص َ‬
‫ك يَا َأرْ َح َم الر ِ‬
‫َّاح ِمي َْن‬ ‫بِ َرحْ َمتِ َ‬
‫ت اَالَحْ يآ ُء ِم ْنهُ ْم َو ْاالَ ْم َوا ِ‬
‫ت‬ ‫ت َو ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َو ْال ُم ْسلِ َما ِ‬
‫اَللهُ َّم ا ْغفِرْ لِ ْل ُمْؤ ِمنِي َْن َو ْال ُمْؤ ِمنَا ِ‬
‫ك ْال ُم َو ِّح ِديَّةَ‬
‫ك َو ْال ُم ْش ِر ِكي َْن َوا ْنصُرْ ِعبَا َد َ‬ ‫اللهُ َّم َأ ِع َّز ْاِإل ْسالَ َم َو ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َوَأ ِذ َّل ال ِّشرْ َ‬
‫اخ ُذلْ َم ْن َخ َذ َل ْال ُم ْسلِ ِمي َْن َو َد ِّمرْ َأ ْع َدا َءال ِّدي ِْن َوا ْع ِل َكلِ َماتِ َ‬
‫ك‬ ‫ص َر ال ِّدي َْن َو ْ‬ ‫َوا ْنصُرْ َم ْن نَ َ‬
‫لوبَا َء َوال َّزالَ ِز َل َو ْال ِم َح َن َوس ُْو َء ْالفِ ْتنَ ِة َو ْال ِم َح َن‬ ‫ِإلَى يَ ْو َم ال ِّدي ِْن‪ .‬اللهُ َّم ا ْدفَ ْع َعنَّا ْالبَالَ َء َو ْا َ‬
‫صةً َو َساِئ ِر ْالب ُْل َدا ِن ْال ُم ْسلِ ِمي َْن عآ َّمةً يَا‬ ‫َما ظَهَ َر ِم ْنهَا َو َما بَطَ َن َع ْن بَلَ ِدنَا اِ ْن ُدونِ ْي ِسيَّا خآ َّ‬
‫ار‪َ .‬ربَّنَا‬ ‫اب النَّ ِ‬‫آلخ َر ِة َح َسنَةً َوقِنَا َع َذ َ‬ ‫َربَّ ْال َعالَ ِمي َْن‪َ .‬ربَّنَا آتِنا َ فِى ال ُّد ْنيَا َح َسنَةً َوفِى ْا ِ‬
‫اس ِري َْن‪ِ .‬عبَا َدهللاِ ! ِإ َّن هللاَ يَْأ ُم ُرنَا‬ ‫ظلَ ْمنَا اَ ْنفُ َسنَا َواِ ْن لَ ْم تَ ْغفِرْ لَنَا َوتَرْ َح ْمنَا لَنَ ُك ْونَ َّن ِم َن ْال َخ ِ‬
‫َ‬
‫بى َويَ ْنهَى َع ِن ْالفَحْ شآ ِء َو ْال ُم ْن َك ِر َو ْالبَ ْغي يَ ِعظُ ُك ْم‬ ‫بِاْل َع ْد ِل َو ْاِإل حْ َسا ِن َوِإيْتآ ِء ِذي ْالقُرْ َ‬
‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ َذ َّكر ُْو َن َو ْاذ ُكرُوا هللاَ ْال َع ِظ ْي َم يَ ْذ ُكرْ ُك ْم َوا ْش ُكر ُْوهُ َع َ‬
‫لى نِ َع ِم ِه يَ ِز ْد ُك ْم َولَ ِذ ْك ُر هللاِ‬
‫َأ ْكبَرْ‬

Anda mungkin juga menyukai