Anda di halaman 1dari 8

Hubungan Hukum Sopir Taksi dan Perusahaan Taksi

Kami kurang mendapat informasi yang jelas mengenai sistem yang diterapkan di
perusahaan tersebut. Apakah dengan sistem penggajian, dengan sistem bagi hasil,
ataukah dengan perjanjian pembayaran (“setoran”) sejumlah -nilai- uang tertentu.
 
Membaca keterangan Anda bahwa pengusaha berdalih sopir taksi bukanlah
karyawan/pekerja tetapi mitra pengusaha, kami berasumsi bahwa ini adalah
perjanjian kemitraan (mungkin dalam bentuk perjanjian pembayaran sejumlah uang
dari sopir taksi kepada pengusaha).
Umar Kasim dalam artikelnya Status Hukum Tenaga Kerja Tidak Tetap di
Lingkungan Instansi Pemerintah, mengatakan bahwa ada yang dinamakan
perjanjian melakukan pekerjaan atas dasar kemitraan (partnership agreement).
Bentuknya, bisa perjanjian bagi hasil, perjanjian keagenan (baik secara pribadi atau
korporasi), inti-plasma, sub-kontrak, perjanjian pembayaran (“setoran”) sejumlah -
nilai- uang tertentu, dan lain-lain.
 
Hal tersebut sesuai dengan apa yang disampaikan Agus Mulya Karsona, pengajar
Hukum Perburuhan Universitas Padjadjaran, Bandung. Dalam artikel Saat
Hubungan Kemitraan Menjadi Hubungan Kerja, Agus antara lain menjelaskan
bahwa ada perbedaan mendasar antara hubungan kemitraan dengan hubungan
kerja. Secara umum hubungan kemitraan memang tidak tunduk dengan UU
Ketenagakerjaan. Hubungan kemitraan bersifat lebih mengedepankan mutualisme di
antara para pihak. Prinsipnya, kemitraan lebih menekankan pada hubungan saling
menguntungkan. Posisi para pihak setara. Berbeda dengan posisi majikan-buruh
dalam hukum ketenagakerjaan yang sifatnya atasan-bawahan. Secara khusus Agus
juga menjelaskan bahwa:
 
Pada beberapa perusahaan pengangkutan, seperti perusahaan taksi ada perjanjian
kemitraan yang menguntungkan kedua pihak. Banyak perusahaan taksi yang tak
memberi gaji kepada sopirnya. Padahal sopir itu tetap harus menyetor sejumlah
uang tiap harinya. Nah setelah sekian tahun, nanti taksi itu menjadi miliknya si sopir.
Kalau seperti ini masih boleh. Karena ada keuntungan bagi si sopir.
 
Hubungan kemitraan akan menjadi berbeda, lanjut Agus, ketika perusahaan tak
menjanjikan apapun selain imbalan uang tiap bulan. Apalagi kalau mobil untuk
mengangkut adalah milik perusahaan.
 
Kemudian menjawab pertanyaan Anda terkait tidak adanya perjanjian sebagai mitra,
perlu diketahui bahwa tidak adanya perjanjian kemitraan tidak berakibat sopir taksi
tersebut dapat dikatakan sebagai karyawan/pekerja. Ini karena perjanjian itu sendiri
tidak disyaratkan untuk dibuat secara tertulis (lihat Pasal 1320 Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata mengenai syarat sah perjanjian).
 
Selanjutnya, Anda juga dapat menyimak artikel Saat Hubungan Kemitraan
Menjadi Hubungan Kerja mengenai putusan Pengadilan Hubungan Industrial
Jakarta antara salah satu perusahaan jasa pengangkutan vs pengemudinya.
 
Jaminan Sosial Bagi Sopir Taksi
Jika hubungan antara pengusaha dan sopir taksi adalah hubungan kemitraan,
maka Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”) dan peraturan perundang-undangan lain di bidang
ketenagakerjaan tidak berlaku. Ini karena peraturan perundang-undangan di bidang
ketenagakerjaan mengatur mengenai hal-hal sehubungan dengan pekerja dan
pengusaha.
 
Lebih spesifik, terkait dengan jaminan sosial tenaga kerja yang dituntut oleh para
sopir taksi, jika merujuk pada UU Ketenagakerjaan, maka hal ini hanya berlaku bagi
“pekerja”, sebagaimana dikatakan dalam Pasal 99 ayat (1) UU Ketenagakerjaan:
 
Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial
tenaga kerja.
 
Sedangkan, jika ini adalah perjanjian kemitraan, maka yang terjadi adalah bukan
hubungan kerja atasan bawahan yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan
perintah, melainkan kesetaraan antara para pihak dalam hubungan kemitraan
tersebut. Ini karena dalam hubungan kemitraan tidak ada unsur upah dan perintah.
Apalagi kalau memang sistem yang digunakan oleh pengusaha tersebut adalah
sistem setoran, yang berarti pengusaha tidak memberikan upah kepada sopir taksi,
tetapi sopir taksi mendapat uangnya dari apa yang ia dapatkan hari itu setelah ia
melakukan pembayaran setoran yang telah diperjanjikan.
 
Oleh karena itu, tuntutan sopir taksi tersebut tidak dapat menggunakan UU
Ketenagakerjaan atau peraturan perundang-undangan lain di bidang
ketenagakerjaan, karena terhadap perjanjian kemitraan tidak berlaku peraturan-
peraturan tersebut.
 
Akan tetapi, perlu diketahui bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (“UU BPJS”), setiap orang,
termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia,
wajib menjadi Peserta program Jaminan Sosial. [1]

 
Pemberi kerja secara bertahap wajib mendaftarkan dirinya dan pekerjanya
sebagai peserta kepada BPJS, sesuai dengan program jaminan sosial yang
diikuti dan pekerja berhak untuk mendaftarkan diri sebagai peserta program
jaminan sosial atas tanggungan pemberi kerja apabila pemberi kerja telah nyata-
nyata tidak mendaftarkan pekerjanya pada BPJS.[2]
 
Karena hubungan Anda dengan perusahaan taksi bukan hubungan kerja melainkan
hubungan kemitraan, maka tidak ada kewajiban bagi perusahaan taksi untuk
mendaftarkan Anda kepada BPJS.
 
Namun, pada dasarnya setiap orang, selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan
penerima Bantuan Iuran, yang memenuhi persyaratan kepesertaan dalam program
Jaminan Sosial wajib mendaftarkan dirinya dan anggota keluarganya sebagai
Peserta kepada BPJS, sesuai dengan program Jaminan Sosial yang diikuti.
 Oleh karena itu, Anda wajib mendaftarkan diri Anda sendiri sebagai peserta
[3]

kepada BPJS.
 
Yang mana BPJS terbagi menjadi 2 (dua) yaitu:[4]
a. BPJS Kesehatan; dan
b. BPJS Ketenagakerjaan.

 
BPJS Kesehatan menyelenggarakan program jaminan kesehatan. Sedangkan BPJS
Ketenagakerjaan menyelenggarakan program:[5]

a. jaminan kecelakaan kerja (“JKK”);


b. jaminan hari tua (“JHT”);
c. jaminan pensiun; dan
d. jaminan kematian (“JKM”).

 
Anda termasuk sebagai peserta bukan penerima upah. Mengenai program jaminan
sosial mana yang wajib Anda ikuti sebagai peserta bukan penerima upah, dapat
dilihat dalam masing-masing ketentuan peraturan perundang-undangan, antara lain
sebagai berikut:
 

a. Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian

JKK dan JKM wajib diikuti oleh peserta bukan penerima upah.
 

 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan


Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian (“PP
44/2015”)

 
Pasal 4 PP 44/2015

1. Setiap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan


dirinya dan Pekerjanya sebagai Peserta dalam program JKK dan JKM
kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Setiap orang yang bekerja wajib mendaftarkan dirinya sebagai
Peserta dalam program JKK dan JKM kepada BPJS
Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

 
Pasal 5 PP 44/2015

1. Peserta program JKK dan JKM terdiri dari:


a. Peserta penerima Upah yang bekerja pada Pemberi Kerja selain
penyelenggara negara; dan
b. Peserta bukan penerima Upah.
2. Peserta penerima Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
meliputi:
a. Pekerja pada perusahaan;
b. Pekerja pada orang perseorangan; dan
c. orang asing yang bekerja di Indonesia paling singkat 6 (enam)
bulan.
3. Peserta bukan penerima Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:

a. Pemberi Kerja;
b. Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan
c. Pekerja yang tidak termasuk huruf b yang bukan menerima Upah.

 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata


Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
Kematian, dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Bukan Penerima
Upah (“Permenaker 1/2016”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata
Cara Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan
Kematian, dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Bukan Penerima
Upah (“Permenaker 21/2017”)

 
Pasal 3 Permenaker 1/2016
Peserta Bukan Penerima Upah wajib mengikuti 2 (dua) program yaitu JKK dan
JKM dan dapat mengikuti program JHT secara sukarela.
 

b. Jaminan Hari Tua

JHT dapat diikuti secara sukarela oleh peserta bukan penerima upah.
 

 Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan


Program Jaminan Hari Tua (“PP 46/2015”) sebagaimana telah diubah
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang
Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua

 
Pasal 2 PP 46/2015

1. Setiap Pemberi Kerja selain penyelenggara negara wajib mendaftarkan


dirinya dan Pekerjanya dalam program JHT kepada BPJS
Ketenagakerjaan sesuai penahapan kepesertaan.
2. Setiap orang yang bekerja wajib mendaftarkan dirinya dalam
program JHT kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
 

 Permenaker 1/2016 sebagaimana telah diubah dengan Permenaker


21/2017

Pasal 3 Permenaker 1/2016


Peserta Bukan Penerima Upah wajib mengikuti 2 (dua) program yaitu JKK dan
JKM dan dapat mengikuti program JHT secara sukarela.
 

c. Jaminan Pensiun

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang


Penyelenggaraan Program Jaminan Pensiun (“PP 45/2015”) dan Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 29 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pendaftaran
Kepesertaan, Pembayaran dan Penghentian Manfaat Jaminan
Pensiun (“Permenaker 29/2015”), pemberi Kerja selain penyelenggara negara
wajib mendaftarkan seluruh Pekerjanya kepada BPJS Ketenagakerjaan sebagai
Peserta sesuai penahapan kepesertaan berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan.[6] Dalam hal Pemberi Kerja selain penyelenggara negara
nyata-nyata lalai tidak mendaftarkan Pekerjanya, Pekerja berhak mendaftarkan
dirinya sendiri dalam Jaminan Pensiun kepada BPJS Ketenagakerjaan sesuai
dengan penahapan kepesertaan program Jaminan Pensiun.[7]
 
Ini berarti yang wajib untuk mengikuti jaminan pensiun adalah pekerja yang bekerja
pada pemberi kerja.[8] Pekerja adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lainnya.[9] Sedangkan Pemberi
Kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan
lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja atau penyelenggara negara yang
mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah, atau imbalan dalam
bentuk lainnya.[10]
 
Hal serupa juga disebutkan dalam Pasal 2 Permenaker 29/2015 sebagai berikut:
 

1. Peserta merupakan Pekerja yang bekerja pada Pemberi Kerja selain


penyelenggara negara.
2. Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Peserta penerima
upah yang terdiri atas:
a. Pekerja pada perusahaan; dan
b. Pekerja pada orang perseorangan.

d. Jaminan Kesehatan

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan


Kesehatan (“Perpres 12/2013”), peserta Jaminan Kesehatan meliputi:[11]

1. Penerima Bantuan Iuran (“PBI”) Jaminan Kesehatan; dan


2. bukan PBI Jaminan Kesehatan.

 
Peserta bukan PBI Jaminan Kesehatan merupakan Peserta yang tidak tergolong
fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas:[12]

1. Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya;


2. Pekerja Bukan Penerima Upah dan anggota keluarganya; dan
3. bukan Pekerja dan anggota keluarganya.

 
Pekerja Bukan Penerima Upah adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha
atas risiko sendiri.[13] Pekerja Bukan Penerima Upah terdiri atas:[14]

1. Pekerja di luar hubungan kerja atau Pekerja mandiri; dan


2. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima Upah.

 
Kepesertaan Jaminan Kesehatan bersifat wajib dan mencakup seluruh
penduduk Indonesia.[15]
 
Jadi, jika hubungan Anda dengan perusahaan taksi adalah hubungan kemitraan,
maka Anda tidak bisa menggunakan ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan atau
peraturan perundang-undangan lain di bidang ketenagakerjaan. Sehingga
perusahaan taksi tidak mempunyai kewajiban untuk mendaftarkan Anda pada
program jaminan sosial. Namun, berdasarkan UU BPJS, Anda wajib mendaftarkan
diri Anda sendiri sebagai peserta kepada BPJS.
 
Anda termasuk sebagai peserta bukan penerima upah, yang salah satunya meliputi
pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja mandiri. Sebagai peserta bukan
penerima upah, Anda wajib untuk mendaftarkan diri Anda pada program Jaminan
Kesehatan, JKK dan JKM, serta Anda dapat pula mengikuti program JHT secara
sukarela.
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar hukum:

1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;


2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ;
3. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional;
4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Kecelakaan Kerja dan Jaminan Kematian;
6. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Pensiun;
7. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Program Jaminan Hari Tua sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Hari Tua;
8. Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan
Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara
dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, dan Penerima Bantuan
Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial;
9. Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan sebagaimana telah diubah pertama kali dengan Peraturan
Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan
Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan kemudian
diubah lagi kedua kalinya dengan Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013
tentang Jaminan Kesehatan dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 28 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden
Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan;
10. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 29 Tahun 2015 tentang Tata Cara
Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran dan Penghentian Manfaat Jaminan
Pensiun;
11. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Tata Cara
Penyelenggaraan Program Jaminan Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian,
dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta Bukan Penerima Upah sebagaimana
telah diubah dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 21 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1
Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Program Jaminan
Kecelakaan Kerja, Jaminan Kematian, dan Jaminan Hari Tua Bagi Peserta
Bukan Penerima Upah.

 
Putusan:
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 82/PUU-X/2012.
 

[1] Pasal 14 UU BPJS
[2] Pasal 15 ayat (1) UU BPJS jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
82/PUU-X/2012 serta Pasal 13 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (“UU SJSN”)
[3] Pasal 16 ayat (1) UU BPJS dan Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 86
Tahun 2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Kepada Pemberi
Kerja Selain Penyelenggara Negara dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja,
Pekerja, dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial
[4] Pasal 5 ayat (2) UU BPJS
[5] Pasal 6 UU BPJS
[6] Pasal 4 ayat (1) PP 45/2015
[7] Pasal 5 ayat (1) PP 45/2015
[8] Pasal 2 ayat (1) PP 45/2015
[9] Pasal 1 angka 5 PP 45/2015 dan Pasal 1 angka 5 Permenaker 29/2015
[10] Pasal 1 angka 6 PP 45/2015 dan Pasal 1 angka 6 Permenaker 29/2015
[11] Pasal 2 Perpres 12/2013
[12] Pasal 4 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan (“Perpres 19/2016”)
[13] Pasal 1 angka 8 Perpres 19/2016
[14] Pasal 4 ayat (3) Perpres 19/2016
[15] Pasal 6 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan
Atas Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan

Anda mungkin juga menyukai