Nama : ...................................................
NIM : ...................................................
Kelompok : ...................................................
PROGRAM S1 FARMASI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
TA 2022/2023
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika i
TIM PENYUSUN
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. Atas berkat dan rahmat-Nya Buku
Petunjuk Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika ini dapat diterbitkan. Praktikum
Teknologi Sediaan Fitofarmasetika bertujuan untuk memberikan pemahaman dan
keterampilan kepada mahasiswa tentang konsep preformulasi, studi sifat fisiko-kimia, studi
sifat fisik, studi kompatibilias, formulasi dan metode pembuatan serta evaluasi dan
karakteristik bentuk sediaan : uji mutu fisik sediaan fitofarmasetika.
Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika merupakan mata kuliah yang diberikan
kepada mahasiswa S1 Farmasi semester VII. Materi praktikum disusun sedemikian rupa
sehingga dapat menunjang serta sekaligus memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai
materi yang diberikan pada perkuliahan. Melalui praktikum yang terarah, diharapkan dapat
meningkatkan motivasi dan merangsang inovasi baru dari mahasiswa dalam teknis praktis.
Semoga buku Petunjuk Praktikum ini dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk proses
pembelajaran di Program Studi S1 Farmasi, Fakultas Farmasi Universitas Setia Budi.
Penyusun menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, untuk itu kritik dan saran dari
pembaca untuk perbaikan buku ini sangat diharapkan. Akhirnya penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya buku ini.
Tim Penyusun
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 1
BAB I
PEMBUATAN SIMPLISIA
TUJUAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa dapat memahami prinsip dan melakukan
pembuatan simplisia.
PENDAHULUAN
A. TINJAUAN PEMBUATAN SIMPLISIA
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai bahan obat, kecuali
dinyatakan lain berupa bahan yang telah dikeringkan. Berdasarkan Farmakope Herbal
Indonesia, simplisia adalah bahan alam yang telah dikeringkan yang digunakan utk
pengobatan dan belum mengalami pengolahan, kecuali dinyatakan lain suhu pengeringan ≤
60ºC. Simplisia segar adalah bahan alam segar yang belum dikeringkan.
Jenis simplisia :
1. simplisia nabati : simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman, atau eksudat
tanaman
Eksudat : isi bagian tanaman yang secara spontan keluar dari tanaman atau isi sel yang
dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya atau zat nabati lainnya yang dengan cara
tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum berupa zat kimia murni.
2. simplisia hewani : simplisia yang berupa hewan utuh, bagian hewan, atau zat-zat
berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni
3. simplisia mineral/pelikan : simplisia yang berupa bahan pelikan (mineral) yang belum
diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat kimia murni.
Dasar pembuatan simplisia :
1. simplisia dibuat dengan cara pengeringan
2. simplisia dibuat dengan proses fermentasi
3. simplisia pada proses pembuatan memerlukan air
4. simplisia dibuat dengan proses khusus
Tahapan pembuatan simplisia (Depkes, 1985):
1. Pengumpulan bahan baku
2. Sortasi basah
3. Pencucian
4. Perajangan
5. Pengeringan
6. Sortasi kering
7. Pengepakan dan penyimpanan
8. Pemeriksaan mutu
Berdasarkan Kemenkes RI (2015), tanaman obat sebagai bahan baku obat tradisional
harus mengalami beberapa tahap penanganan sebelum menjadi simplisia, diantaranya
budidaya, panen, dan penanganan pascapanen. Tanaman budidaya sebagai sumber bahan baku
memiliki beberapa keunggulan dibandingkan tumbuhan liar, yakni kejelasan asal-usul bahan,
kemurnian spesies, umur dan saat panen, cara panen, dan iklim yang mendukung (kondisi
tempat tumbuh). Pengelolaan pascapanen tanaman obat merupakan suatu perlakuan yang
diberikan pada hasil panen tanaman obat hingga produk siap dikonsumsi atau menjadi
simplisia sebagai bahan baku obat alam. Pengelolaan pasca panen bertujuan untuk
memproteksi bahan baku dari kerusakan fisik dan kimiawi sehingga dapat mempertahankan
mutu bahan baku/simplisia tersebut. Prosedur standar pengolahan tanaman obat menjadi
simplisia bertujuan untuk memenuhi persyaratan simplisia sebagai bahan baku obat
tradisional, terutama untuk menjamin keseragaman senyawa aktif, keamanan dan khasiat
sediaan akhir (produk).
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 2
Tanaman yang mengandung minyak atsiri dipanen pada pagi hari karena molekul
minyak atsiri masih stabil sebelum proses fotosintesis berlangsung
Daun salam yang masih muda memiliki kandungan senyawa aktif hipoglikemik lebih
tinggi dibandingkan daun tua
Rimpang dipanen pada akhir masa vegetatif atau saat daun mulai menguning (musim
kemarau)
Akar dipanen pada tanaman yang sudah tua pada akhir masa vegetatif
Daun dan herba pada umumnya dipanen saat tanaman menjelang berbunga
Bunga dipanen saat mahkota bunga mekar sempurna, kecuali cengkeh dipanen
sebelum tunas bunga membuka
Waktu panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung senyawa aktif
dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif terbentuk secara maksimal di dalam bagian
tanaman atau tanaman pada umur tertentu. Penentuan bagian tanaman yang
dikumpulkan dan waktu pengumpulan secara tepat memerlukan penelitian.
Hal-hal yang harus diperhatikan saat panen :
Hasil panen berupa daun dan bunga yang lebih rapuh atau mudah membusuk harus
ditangani dengan hati-hati
Kerusakan yang tidak semestinya harus dihindari agar tanaman yang dipotong dapat
tumbuh kembali
Kerusakan mekanis bahan yang dipanen harus dihindari untuk mencegah perubahan
kualitas bahan
Gulma atau tanaman beracun yang mungkin mencampuri bahan simplisia dan
mengurangi kemurniannya harus dibuang
Masing-masing jenis tanaman yang dipanen harus dimasukkan ke dalam wadah
terpisah
(Depkes, 1985)
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 4
dilakukan dalam bak bertimgkat yangmenerapkan konsep air mengalir. Kotoran yang melekat
pada bagian yang susah dibersihkan dapat dihilangkan dengan penyemprotan air bertekanan
tinggi atau dengan disikat. Bahan simplisia akar, umbi, batang, atau buah dan biji, dapat
dilakukan pengupasan kulit luarnya untuk mengurangi jumlah mikroba awal karena sebagian
jumlah mikroba biasanya permukaan bahan simplisia dan dengan pencucian saja belum
mampu membebaskan mikroba tersebut. Bahan yang telah dikupas dengan cara yang tepat
dan bersih kemungkinan tidak perlu dicuci lagi.
Cara sortasi dan pencucian sangat mempengaruhi jenis dan jumlah mikroba awal
simplisia. Misal jika air cuci kotor, jumlah mikroba pada permukaan bahan simplisia dapat
bertambah dan air pada permukaan bahan dapat mempercepat pertumbuhan mikroba.
4. Penirisan
Setelah bahan dicuci bersih segera ditiriskan pada rak-rak yang telah diatur
sedemikian rupa untuk mencegah pembusukan atau bertambahnya kandungan air. Penirisan
dimaksudkan untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan air di permukaan bahan dan
dilakukan sesegera mungkin sehabis pencucian.
Selama penirisan bahan dibolak-balik untuk mempercepat penguapan, dilakukan di tempat
teduh dengan aliran udara cukup agar terhindar dari fermentasi dan pembusukan. Setelah air
yang menempel di permukaan bahan menetes atau menguap, bahan simplisia dikeringkan
dengan cara sesuai.
5. Pengubahan bentuk
Beberapa jenis bahan simplisia sering harus diubah menjadi bentuk lain, misalnya
irisan, potongan, dan serutan untuk memudahkan kegiatan pengeringan, pengemasan,
penggilingan, dan penyimpanan, serta pengolahan selanjutnya. Selain itu juga dimaksudkan
untuk memperbaiki penampilan fisik dan memenuhi standar kualitas (terutama keseragaman
ukuran) serta membuat agar lebih praktis dan tahan lebih lama dalam penyimpanan.
Pengubahan bentuk dilakukan dengan hati-hati dengan pertimbangan tepat karena perlakuan
yang salah justru berakibat turunnya kualitas simplisia yang diperoleh.
Tidak semua jenis simplisia mengalami pengubahan bentuk, umumnya hanya terbatas
pada simplisia akar, rimpang, umbi, batang, kayu, kulit batang, daun dan bunga. Perajangan
dapat dilakukan dengan pisau (terbuat dari Stainless steel), alat mesin perajang khusus (misal
Rasingko) sehingga menghasilkan rajangan yang seragam. Simplisia serutan dibuat dengan
alat penyerut kayu (elektrik) yang dapat diatur ukuran ketebalannya.
Semakin tipis ukuran hasil rajangan atau serutan semakin cepat proses penguapan air,
sehingga mempercepat waktu pengeringan. Namun rajangan yang terlalu tipis dapat
menyebabkan berkurangnya atau hilangnya zat berkhasiat yang mudah menguap, sehingga
mempengaruhi komposisi, bau dan rasa yang diinginkan. Selain itu perajangan yang terlalu
tipis juga menyebabkan simplisia mudah rusak saat dilakukan pengeringan dan pengemasan.
Ukuran ketebalan simplisia harus seragam tergantung pada bagian tumbuhan yang diiris.
Ketebalan irisan simplisia impang, umbi, akar ± 3 mm, sedangkan untuk material daun
dipotong melintang dengan lebar daun ± 2 cm dan kulit batang diiris dengan ukuran 2x2 cm.
Pada umumnya rimpang diiris melintang, kecuali rimpang jahe, kunyit, dan kencur dipotong
membujur.
6. Pengeringan
Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia yang tidak mudah rusak
sehingga dapat disimpan dalam waktu yang lebih lama. Dengan mengurangi kadar air dan
menghentikan reaksi enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.
Air yang masih tersisa dalam simplisia pada kadar tertentu merupakan media
pertumbuhan kapang dan jasad renik lain. Enzim tertentu dalam sel, masih dapat bekerja,
menguraikan senyawa aktif sesaat setelah sel mati dan selama simplisia masih mengandung
kadar air tertentu.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 6
Sebelum tahun 1950, sebelum bahan dikeringkan, terhadap simplisia lebih dulu
dilakukan proses stabilisasi yaitu proses untuk menghentikan reaksi enzimatik. Cara yang
lazim pada waktu itu adalah merendam bahan dengan etanol 70% atau dengan mengaliri uap
panas. Dari hasil penelitian selanjutnya diketahui bahwa reaksi enzimatik tidak berlangsung
bila kadar air dalam simplisia kurang dari 10%.
Untuk pembuatan simplisia tertentu, proses enzimatik ini justru dikehendaki setelah
pengumpulan. Dalam hal ini, sebelum proses pengeringan bagian tanaman dibiarkan dalam
suhu dan kelembaban tertentu agar reaksi dapat berlangsung atau dengan cara lain yaitu
pengeringan perlahan-lahan. Proses enzimatik ini diperlukan karena senyawa aktif yang
dikehendaki masih dalam ikatan kompleks dan baru dipecah dari ikatan kompleksnya serta
dibebaskan oleh enzim tertentu dalam suatu reaksi enzimatik setelah tanaman mati. Pada jenis
bahan simplisia tertentu, setelah panen langsung dikeringkan. Proses ini dilakukan pada bahan
yang mengandung senyawa aktif yang mudah menguap. Penundaan proses pengeringan akan
menurunkan kadar senyawa aktif dan menurunkan mutu simplisia.
Pengeringan simplisia dilakukan dengan sinar matahari atau menggunakan suatu alat
pengering. Hal yang perlu diperhatikan adalah suhu pengeringan, kelembaban udara, aliran
udara, waktu pengeringan, dan luas permukaan bahan. Pada pengeringan bahan tidak
dianjurkan menggunakan alat dari plastik.
Cara pengeringan yang salah dapat mengakibatkan terjadinya face hardening yakni
bagian luarnya kering tetapi bagian dalam masih basah. Penyebabnya adalah :
1. Irisan/rajangan simplisia terlalu tebal sehingga panas sulit menembusnya
2. suhu pengeringan terlalu tinggi dengan waktu yang singkat
3. keadaan yang menyebabkan penguapan air di permukaan bahan jauh lebih cepat
daripada difusi air dari dalam ke permukaan bahan, sehingga bagian luar bahan
menjadi keras dan menghambat proses pengeringan selanjutnya.
Suhu pengeringan tergantung bahan simplisia dan cara pengeringannya. Suhu yang
terbaik adalah tidak melebihi 600C. Bahan simplisia yang mengandung senyawa aktif yang
tidak tahan panas atau mudah menguap harus dikeringkan pada suhu serendah mungkin,
misalnya 30-450C atau dengan cara pengeringan vakum yaitu dengan mengurangi tekanan
udara di dalam ruang atau lemari pengeringan, sehingga tekanan kira-kira 5 mmHg.
Kelembaban juga tergantung bahan simplisia, cara pengeringan, dan tahap-tahap selama
pengeringan. Kelembaban akan menurun selama berlangsungnya proses pengeringan.
Pada dasarnya dikenal dua cara pengeringan yaitu pngeringan alamiah dan buatan.
a) Pengeringan alamiah
Tergantung dari senyawa aktif yang dikandung, pengeringan alamiah dapat dilakukan
dua cara yaitu:
i. panas sinar matahari langsung. Cara ini untuk mengeringkan bagian tanaman yang
relatif keras seperti kayu, ulit kayu, biji, dsb. Cara yang banyak dipraktekkan di
Indonesia ini merupakan cara yang mudah dan murah, yang dilakukan dengan cara
membiarkan bahan yang telah dipotong-potong di udara terbuka di atas tampah-
tampah, tanpa kondisi yang terkontrol seperti suhu, kelembaban, dan aliran udara.
Dengan cara ini, kecepatan pengeringan sangat tergantung iklim dan baik dilakukan
di daerah yang udaranya panas, kelembaban rendah, tidak turun hujan. Hujan atau
cuaca yang mendung memperpanjang waktu pengeringan sehingga memberi
kesempatan pada kapang/mikroba tumbuh sebelum simplisia kering.
ii. Diangin-anginkan dan tidak dipanaskan dengan sinar matahari langsung. Cara ini
digunakan untuk mengeringkan bagian tanaman yang lunak seperti bunga, daun, dsb
dan mengandung senyawa mudah menguap.
b) Pengeringan buatan
Cara ini menggunakan alat atau mesin pengering yang suhu, kelembaban, tekanan dan
aliran udaranya dapat diatur. Prinsipnya udara dipanaskan oleh sumber panas seperti lampu,
kompor, mesin diesel, atau listrik, udara panas dialirkan dengan kipas ke dalam ruangan atau
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 7
lemari yang berisi bahan yang telah disebarkan di atas rak-rak pengering. Dengan prinsip ini
dapat diciptakan alat pengering yang sederhana, praktis, murah, dengan hasil yang cukup
baik. Cara lain yaitu dengan menempatkan bahan di atas pita atau ban berjalan dan
melewatkannya melalui suatu lorong atau ruangan yang berisi udara yang telah dipanaskan
dan diatur alirannya.
Dengan pengeringan buatan, dapat diperoleh simplisia dengan mutu lebih baik karena
pengeringan lebih merata dan waktu pengeringan akan lebih cepat tanpa dipengaruhi cuaca.
Contoh jika kita butuh 2-3 hari dengan sinar matahari untuk diperoleh simplisia kering dengan
kadar air 10-12%, dengan menggunakan alat pengering dapat diperoleh dalam waktu 6-8 jam.
Daya tahan simplisia selama penyimpanan sangat tergantung pada jenis simplisia,
kadar airnya, dan cara penyimpanannya. Beberapa simplisia dapat tahan lama dalam
penyimpanan jika kadar airnya diturunkan 4-8%, sedangkan simplisia lainnya mungkin masih
dapat tahan dengan kadar 10-12%.
7. Sortasi kering
Tujuan sortasi untuk memisahkan benda asing seperti bagian tanaman yang tidak
diinginkan dan pengotoran-pengotoran lain yang masih ada dan tertinggal pada simplisia
kering. Kegiatan sortasi kering dilakukan untuk menjamin simplisia benar-benar bebas dari
bahan asing dan simplisia yang belum kering seutuhnya. Kegiatan ini dilakukan secara
manual, simplisia yang telah bersih dari bahan asing kadang untuk tujuan tertentu (misalnya
agar memenuhi standar mutu) masih perlu dilakukan grading atau pemisahan menurut ukuran
sehingga diperoleh simplisia dengan ukuran seragam.
8. Pengemasan dan penyimpanan
a. Pengemasan dan pemberian label
Beberapa hal yang harus diperhatikan selama penyimpanan yaitu cara pengepakan,
pembungkusan, dan pewadahan, persyaratan gudang simplisia, cara sortasi, pemeriksaan
mutu, serta cara pengawetannya. Penyebab utama kerusakan simplisia adalah air dan
kelembaban.
Simplisia berupa kulit kayu, akar, kayu dan yang mengandung damar, pada umumnya
bersifat kurang menyerap uap air udara dan lebih tahan dalam penyimpanan. Beberapa
simplisia daun atau herba kering dapat menyerap uap air udara di sekitarnya hingga 10%-15%
dari bobot bahannya dan bahkan ada yang sampai 30% dari bobot bahan. Senyawa glikosida
tumbuhan mudah sekali terurai dengan kadar 8% atau lebih. Secara umum, dapat diambil
sebagai pedoman bahwa kadar air dalam simplisia seharusnya tidak lebih dari 5% bobot
bahan simplisia.
Cara pengemasan tergantung jenis simplisia dan tujuan pengemasan. Bahan dan
bentuk pengemasannya harus sesuai, dapat melindungi dari kemungkinan kerusakan simplisia
dan dengan memperhatikan segi pemanfaatan ruang untuk keperluan pengangkutan dan
penyimpanannya.
Wadah harus bersifat :
a. tidak beracun bagi bahan dan manusia yang menanganinya
b. inert, sehingga tidak menyebabkan terjadinya reaksi serta penyimpangan warna, bau,
rasa, dsb
c. mampu melindungi bahan simplisia dari cemaran mikroba, kotoran, dan serangga
d. mampu melindungi bahan simplisia dari penguapan kandungan aktif
e. mampu melindungi bahan simplisia dari pengaruh cahaya, oksigen dan uap air
Bahan pengemas seyogyanya memenuhi persyaratan berikut :
a) Bersifat inert/netral, artinya tidak bereaksi dengan simplisia yang dapat berakibat
terjadinya perubahan bau, warna, rasa, kadar air dan kandungan senyawa kimia
aktifnya
b) Mampu mencegah terjadinya kerusakan mekanis dan fisiologis
c) Mudah digunakan, tidak terlalu berat dan harga relatif murah
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 8
Bungkus yang paling lazim adalah karung goni. Sering juga karung atau kantong
plastik, peti atau drum dari kayu, atau karton dan drum atau kaleng dari besi berlapis.
Beberapa simplisia terutama berbentuk cairan dikemas dalam botol atau guci porselin.
Simplisia akar, rimpang, umbi, kulit akar, kulit batang, kayu, daun, herba, buah, biji, dan
bunga sebaiknya dikemas dalam karung plastik. Untuk bahan yang tidak tahan terhadap sinar,
misal yang mengandung vitamin, pigmen, minyak, diperlukan wadah, misalnya aluminium
foil, plastik, atau botol berwarna gelap, kaleng, dsb. Simplisia yang mudah menyerap uap air
udara perlu dibungkus rapat dengan karung atau kantong plastik, dalam peti drum atau kaleng
besi berlapis; sering kali perlu diberi kapur tohor sebagai bahan pengering. Gom dan damar
dikemas dalam wadah drum, peti yang terbuat dari karton, kayu atau besi berlapis, sedangkan
simplisia yang aroma atau baunya perlu dipertahankan, harus dikemas dalam peti kayu
berlapis timah atau kertas timah.
Kaleng atau alumunium dapat digunakan sebagai wadah simplisia kering terutama jika
diperlukan penutupan vakum. Tetapi kaleng dan alumunium bersifat korosif dan mudah
bereaksi dengan bahan yang disimpan di dalamnya, sehingga harus diberi lapisan khusus
misal lapisan oleoresin, vinil, malam, atau bahan lain. Wadah gelas tidak bereaksi (inert), tapi
penggunaannya sangat terbatas karena mudah pecah dan berat. Kertas atau karton tidak bisa
sebagai pembungkus secara sempurna sehingga biasanya perlu dilapisi lilin, damar, lak, atau
plastik. Plastik memiliki kelemahan tidak tahan panas dan mudah terjadi pengembunan uap
air di dalamnya jika suhu diturunkan. Akhir-akhir ini alumunium foil banyak digunakan
karena mudah dilipat, ringan, dapat mencegah keluar masuknya uap air dan zat yang mudah
menguap lainnya.
Penyimpanan simplisia kering biasanya dilakukan pada suhu kamar (15-300C, tetapi
dapat pula di tempat sejuk (5-15 0C), atau tempat dingin (0-50C) tergantung dari sifat dan
ketahanan simplisia.
Setelah simplisia dikemas dalam wadah atau kemasan yang sesuai langkah selanjutnya
yaitu pemberian label atau etiket. Label ditempel pada kemasan harus menunjukkan informasi
simplisia yang jelas meliputi nama ilmiah tumbuhan obat, asal bahan (tempat budidaya),
tanggal panen dan tanggal simpan, berat simplisia dan status kualitas bahan.
Dalam jangka waktu tertentu, dilakukan pemeriksaan gudang secara umum, dilakukan
pengecekan dan pengujian mutu terhadap semua simplisia.
b. Penyimpanan
Simplisia yang telah dikemas dan diberi label kemudian disimpan dalam gudang yang
telah dipersiapkan dengan berbagai pertimbangan. Tujuan penyimpanan adalah agar simplisia
tetap tersedia setiap saat bila diperlukan serta sebagai stok bila secara kuantitatif hasil panen
melebihi kebutuhan. Penyimpanan merupakan upaya untuk mempertahankan kualitas fisik
dan kestabilan kandungan senyawa aktif sehingga tetap memenuhi persyaratan mutu yang
ditetapkan. Selama dalam penyimpanan, simplisia dapat rusak dan turun kualitasnya karena
beberapa faktor internal dan eksternal berikut ini :
a. Cahaya : sinar dari panjang gelombang tertentu dapat menimbulkan perubahan
kimia pada simplisia, misal isomerisasi, polimerisasi, rasemisasi, dsb. Perubahan
warna simplisia seringkali disebabkan oleh pengaruh cahaya matahari, terutama
cahaya matahari langsung. Cahaya matahari dapat menaikkan suhu, sehingga
mempercepat terjadi reaksi kimia yang dapat mengubah susunan kimia senyawa
aktif simplisia.
b. Reaksi kimia internal : perubahan kimia dalam simplisia yang dapat disebabkan
oleh reaksi kimia intern, misal enzim, fermentasi, polimerisasi, auto-oksidasi, dsb
c. Oksigen udara : senyawa tertentu dalam simplisia dapat mengalami perubahan
kimiawi oleh pengaruh oksigen udara terjadi oksidasi dan perubahan ini dapat
berpengaruh pada bentuk simplisia, misalnya yang semula cair dapat berubah
menjadi kental atau padat, berbutir butir, dsb. Sebagian zat alam mudah teroksidasi
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 9
oleh oksigen udara menjadi zat teroksidasi. Reaksi ini dapat berjalan lebih mudah
bila simplisia mengandung enzim oksidase.
d. Dehidrasi : jika kelembaban luar lebih rendah dari simplisia, maka simplisia secara
perlahan-lahan akan kehilangan sebagian airnya sehingga makin lama makin
mengecil.
e. Absorpsi air : pada simplisia yang higroskopis dapat menyerap air dari lingkungan
sekitarnya
f. Pengotoran/kontaminasi : pengotoran dapat disebabkan oleh berbagai sumber
misalnya debu atau pasir, ekskresi hewan, bahan asing (misal minyak yang
tertumpah) dan fragmen wadah (karung goni).
g. Serangga dan tikus : serangga dapat menimbulkan kerusakan dan pengotoran pada
simplisia, baik oleh bentuk ulatnya maupun oleh bentuk dewasanya. Pengotoran
juga bisa dari sisa-sisa metamorfosa seperti cangkang telur, bekas kepompong,
anyaman benang bungkus kepompong, bekas kulit serangga, dsb. Tikus tidak saja
memakan bungkus/wadahnya tapi juga memakan simplisianya.
h. Kapang, jika kadar air simplisia masih tinggi akan mudah ditumbuhi kapang,
jamur, ragi dan jasad renik lain yang dapat menguraikan senyawa aktif atau
menghasilkan aflatoksin yang membahayakan konsumen.
8. Pemeriksaan mutu
Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu penerimaan atau pembeliannya dari
pengumpul atau pedagang simplisia. Simplisia yang diterima harus berupa simplisia murni
dan memenuhi persyaratan umum untuk simplisia seperti yang disebutkan dalam Buku
Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia, Materia Medika Indonesia, Farmakope
Herbal Indonesia (Depkes RI, 1985).
Sebelum disortir, sebaiknya simplisia diayak dan atau ditampi dulu untuk membuang
debu/pasir yang terikut padanya. Besar kecilnya lubang ayakan disesuaikan dengan ukuran
simplisia, misalnya ayakan untuk jinten hitam dan ayakan untuk kulit kina harus berbeda.
Untuk memisah-misahkan bahan organik asing, sortasi dilakukan dengan tangan. Untuk
memilih simplisia sesuai dengan besar kecilnya ukuran, atau menurut besar kecilnya bongkah,
sortasi dilakukan dengan mesin.
Cara mencegah kerusakan simplisia pada penyimpanan, terutama adalah
memperhatikan dan menjaga kekeringannya. Untuk itu pembungkusan dan pewadahan
simplisia harus disesuaikan dengan sifat-sifat fisika dan kimia simplisia masing-masing.
Simplisia yang dapat menyerap uap air udara dibungkus atau dimasukkan dalam
wadah rapat, jika perlu dalam wadah yang diberi kapur tohor untuk bahan pengering.
Simplisia yang pada waktu penerimaan belum cukup bersih dicuci dengan air bersih,
dikeringkan sampai cukup kering, dibungkus atau dimasukkan dalam wadah yang sesuai, baru
disimpan dalam gudang simplisia.
Apabila dipandang perlu simplisia yang akan disimpan dalam gudang untuk waktu
yang lama disemprot lebih dulu dengan bahan pencegah serangga yang mudah menguap dan
tidak meninggalkan sisa tinggal.
Ada jenis-jenis simplisia yang sudah diawetkan sejak proses pembuatan, misalnya
dicelupkan ke dalam air mendidih, direndam air kapur, dimasak dengan gula dan sebagainya.
Ada jenis-jenis simplisia yang disimpan dengan wadah berisi zat penyerapan air dan zat
menyerap oksigen.
2. Akar
Akar dicuci bersih, diiris tipis-tipis atau dipotong pendek-pendek sesuai dengan
ukuran akar, kemudian dijemur. Pengeringan dilakukan dengan sinar matahari atau
pengering buatan.
3. Buah
Buah yang kecil atau yang sudah agak kering sewaktu dipanen misalnya lada dan
adas, langsung dikeringkan. Buah yang agak besar dan masih basah misalnya cabe
merah, sebaiknya dibelah jadi dua atau beberapa bagian kemudian dijemur. Beberapa
buah ada yang perlu diperam sebelum dijemur.
4. Bunga atau daun
Bunga atau daun dikeringkan dengan sinar matahari, diangin-anginkan, atau
dikeringkan dengan pengering buatan.
5. Biji
Bila biji hanya tercemar oleh bahan organik asing, langsung dijemur. Selama proses
pengeringan biji yang pecah langsung dibuang hal ini untuk menghindari pencemaran
oleh kapang penghasil aflatoksin. Pengerjaan selanjutnya seperti pada kayu.
6. Kayu/herba/kulit
Diiris tipis-tipis atau dalam bongkah-bongkah. Pengeringan dengan sinar matahari.
Pengeringan dengan pengering buatan harus memperhatikan segi ekonominya.
7. Rimpang
Rimpang dicuci bersih; rimpang dengan ukuran kecil dibiarkan utuh sedang rimpang
besar diiris-iris tipis memanjang atau melintang, tergantung pada permintaan pasaran.
Pada beberapa rimpang tertentu perlu direndam air kapur atau dicelupkan air
mendidih. Pengeringan dengan sinar matahari atau pengering buatan.
8. Umbi
Umbi dicuci bersih, diiris tipis-tipis, jika perlu irisan tipis yang bergaris tengah besar
dipotong menjadi dua atau beberapa bagian. Selanjutnya pengerjaan seperti pada kayu.
9. Umbi lapis
Bila umbi lapis dalam keadaan utuh, misalnya bawang merah, maka setelah dicuci lalu
dijemur.
10. Balsam, Malam, Getah dan Gom
Biasanya tidak memerlukan proses pengeringan. Tetapi bila diperlukan berbagai jenis
gom dapat dijemur agar lebih kering.
11. Hasil pengolahan
Misalnya agar-agar, jadam, kolofonium dan sebagainya. Disimpan seperti apa adanya,
wadah disesuaikan dengan bentuk dan konsistensi simplisia. Hasil pengolahan yang
berupa bahan padat cukup disimpan dengan disertai penyerap air.
12. Hewan
a. Tubuh hewan atau bagiannya.
Dikeringkan dengan penjemuran atau pengering buatan.
b. Minyak lemak.
Pengolahan tergantung kepada bahan bakunya. Penyimpanan dalam wadah
terisi penuh dan tertutup baik.
c. Lemak dan lilin hewan
Pengolahan tergantung kepada bahan bakunya. Penyimpanan dalam wadah
yang tertutup baik.
d. Hasil olah cair
Contoh madu. Penyimpanan dalam wadah terisi penuh dan tertutup baik.
13. Minyak mineral
Biasanya pengolahan dilakukan oleh industri minyak bumi, penyimpanan dalam
wadah yang tertutup baik.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 11
PUSTAKA
Depkes RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
Kemenkes RI. 2015. Pedoman Budidaya, Panen, dan Pascapanen Tanaman Obat. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 9
BAB II
PREPARASI SIMPLISIA TANPA PENGERINGAN
TUJUAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa mampu melakukan preparasi simplisia
tanpa pengeringan yaitu dengan proses pembuatan memerlukan air dan dengan proses khusus.
2. Lidah buaya
Lidah buaya adalah daun segar Aloe vera L., suku Liliaeeae, mengandung antrakinon
total tidak kurang dari 0,20% dihitung sebagai aloin A. Identitas simplisia memiliki pemerian
berupa daun tunggal, letak spiralis, menggumpal di pangkal batang (roset akar), segar, tebal,
berisi semacam lendir atau getah sangat pahit berwarna kuning kehijauan, pangkal tumpul
sampai rata, tepi bergerigi, ujung meruncing, permukaan daun cekung atau agak rata di bagian
atas, menggembung di bagian bawah, pada daun muda sering terdapat banyak bintik berwarna
terang, dengan tepi keseluruhannya pucat atau hanya dasarnya yang pucat, dengan duri
berwarna gelap; warna hijau, bau sedikit asam dan tidak enak, khas, rasa pahit (Kemenkes RI,
2017). Panjang daun 30-80 cm, lebar 4-11 cm.
Tanaman lidah buaya lebih dikenal sebagai tanaman hias dan banyak digunakan
sebagai bahan dasar obat-obatan dan kosmetika, baik secara langsung dalam keadaan segar
atau diolah oleh perusahaan dan dipadukan dengan bahan-bahan yang lain. Untuk keperluan
pengobatan, dalam Farmakope Herbal Indonesia tercantum dalam dua bentuk yaitu ekstrak
kental daun daun lidah buaya dan ekstrak kering getah daun lidah buaya (Kemenkes RI,
2017). Sebagai bahan kosmetik, daun lidah buaya dapat digunakan sebagai gel dengan rasio
ekstrak/obat (E/O) 2:1, ekstrak kental, ekstrak kultur kalus, jus kering, fraksi polisakarida,
serbuk daun, uap air hasil destilasinya. Daun lidah buaya dan uap air hasil destilasinya
berfungsi seagai masking; ekstrak dan fraksi polisakarida berfungsi sebagai emmolient
(melembutkan dan menghaluskan kulit ) dan humectant (menahan dan menjaga kelembapan);
ekstrak berfungsi sebagai oral care; ekstrak, jus, jus kering, dan fraksi polisakaridanya
berfungsi sebagai skin conditioning (menjaga kulit pada kondisi yang baik); fraksi
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 10
polisakarida dapat berfungsi sebagai film forming (bahan yang setelah aplikasi menghasilkan
lapisan film pada kulit, rambut atau kuku) (Kemenkes RI, 2015).
Lidah buaya dengan kandungan antrakinonnya yang tinggi, memiliki efek laksatif.
Untuk kosmetik, lidah buaya dapat menyuburkan rambut. Kandungan lidah buaya di
antaranya antrakinon, flavonoid, tanin, saponin.
CARA KERJA
1. Preparasi bengkoang
Secara garis besar, proses pembuatan pati bengkuang terdiri dari penimbangan, pengupasan,
pencucian, pemarutan, pembuburan, pemerasan, pengendapan pati, pemanenan pati,
pengeringan, penepungan, dan pengayakan .
Metode 1
Umbi bengkoang diblender selama 1 menit sampai halus, kemudian diperas airnya di
atas saringan hingga dipastikan kadar air dalam umbi bengkoang habis. Dibuang ampas dari
umbi bengkoang yang tidak diperlukan, selanjutnya air hasil perasan dari umbi bengkoang
diendapkan dalam beaker glass 1000 ml dan 2000 ml semalaman (overnight) pada suhu
ruang. Supernatan dibuang setelah dipastikan sari bengkoang mengendap di bagian bawah
beaker glass. Sari bengkoang di tuang dalam loyang dan di oven pada suhu 45ºC sampai
kering selama 120 jam (5 hari). Setelah kering, sari bengkoang dikeringanginkan pada suhu
ruang selama 15 menit, kemudian di blender selama 1 menit sampai halus dan di ayak
sehingga dihasilkan sari umbi bengkoang dalam bentuk serbuk halus (Swaidatul et al, 2016).
Metode 2
Umbi bengkuang dibersihkan, diparut, dan diperas. Hasil perasan dibiarkan selama
beberapa jam sampai terbentuk endapan. Selanjutnya disaring dan airnya
dibuang. Endapan dikeringkan dalam oven suhu 500C selama 24 jam. Diperoleh serbuk
pati bengkuang yang kemudian diayak dengan pengayak mesh 120 (Warnida, 2015).
Metode 3
Bengkuang dikupas sampai bersih kemudian diparut sampai halus. Hasil parutan bengkuang
direndam dengan air selama ± 3 jam. Setelah itu disaring menggunakan saringan kain kasa
halus, diperas dan filtrat hasil saringan ditampung. Ampas bengkuang ditambah dengan
aquades dan diperas kembali. Filtrat didiamkan sampai mengendap sempurna selama ± 24
jam. Endapan amilum bengkuang yang diperoleh dikeringkan dalam oven dengan suhu 600C
selama 48 jam (2 hari). Setelah endapan kering dilanjutkan dengan menghaluskan endapan
amilum kering tersebut dengan mortar dan stamper, diperoleh serbuk amilum bengkuang
(Andina, 2012).
Metode 4
Proses ekstraksi pati bengkuang diawali dengan pengupasan umbi, pencucian umbi dengan air
mengalir dan selanjutnya dipotong-potong. Potongan umbi kemudian dihancurkan dengan
blender sampai menjadi bubur. Bubur umbi dipisahkan menggunakan kain saring agar
diperoleh ekstrak dan ampas. Hasil ekstraksi ditambahkan air dan diendapkan dalam bak
penampung selama 20 jam sampai terjadi pemisahan antara pati dan air. Air bagian atas
dibuang dan endapan dipisahkan. Selanjutnya endapan yang merupakan pati dikeringkan pada
oven dengan suhu 500C selama 6 jam. Setelah kering, pati bengkuang dihancurkan dengan
blender tanpa penambahan air hingga halus agar ukurannya seragam. Kemudian dilakukan
pengayakan dengan menggunakan saringan ukuran 60 mesh (Anwar et al, 2021).
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 11
Metode 2
Daun-daun lidah buaya dibersihkan, bila perlu dilakukan dengan pemberian
desinfektan nontoksis dan penyikatan kemudian dibilas dengan aquades dan permukaannya
dikeringkan. Daun lidah buaya dimasukkan ke dalam wadah yang sesuai dengan posisi tegak
lurus terhadap alas wadah, dan eksudatnya dibiarkan keluar selama 30 menit. Pangkal daun
lidah buaya dipotong sekitar satu cm, kemudian dikuliti hingga melampaui bagian sel
parenkim luar. Daging daun (gel) lidah buaya kemudian dibilas dengan air yang mengalir
beberapa kali. Gel lidah buaya dipanaskan (blanching) dengan perendaman pada air suling
bersuhu antara 45 - 700C selama 15 menit, kemudian ditiriskan. Gel lidah buaya segera di-
blender dan hasilnya yang berupa ekstrak kasar berbuih banyak segera dimasukkan ke dalam
lemari es. Ekstrak kasar gel lidah buaya disaring sehingga hanya didapat cairannya saja
(Padmadisastra, et al. 2003).
DAFTAR PUSTAKA
Andina. 2012. Pengaruh modifikasi amilum bengkuang (Pachyrrhizus erosus, Urban) dengan
metode hidrolisis asam terhadap karakteristik fisikokimia amilum. Skripsi.
Yogyakarta: Jurusan Farmasi Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Islam Indonesia.
Angwar. 2010. Pati Bengkuang untuk Produk Kecantikan. http://lipi.go.id/berita/pati-
bengkuang-untuk-produk-kecantikan-/4914
Anwar, S.H., Dewi, Y.C., Safriani, N. 2021. Karakterisasi sifat fisiko kimia pati bengkuang
(Pachirrhyzus erosus) dan pati ganyong (Canna edulis Kerr) modifikasi. Jurnal
Teknologi & Industri Hasil Pertanian. 26(1):25-36.
Ariyani SB dan Hidayati. 2018. Penambahan gel lidah buaya sebagai antibakteri pada sabun
mandi cair berbahan dasar minyak kelapa. Jurnal Industri Hasil Perkebunan 13(1):
11-18.
Fadilah, D. 2008. Formulasi bath gel bengkuang – madu. Skripsi. Bogor: Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 12
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan RI. 2015. Materia Kosmetika Bahan Alam Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
[Kemenkes RI] Kementerian Kesehatan RI. 2010. Suplemen 1 Farmakope Herbal Indonesia.
Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Padmadisastra,Y., Sidik, Ajizah, S. 2003. Formulasi sediaan cair gel lidah buaya (Aloe vera
Linn.) sebagai minuman kesehatan. Simposium Nasional Kimia Bahan Alam III
Bandung, 18-19 FEB 2003. Bandung.
Swaidatul MAF, Widodo, Widyarti S. 2016. Formulasi masker alami berbahan dasar
bengkoang dan jintan hitam untuk mengurangi kerutan pada kulit wajah. Jurnal Care
4 (2) : 22-27.
Suharti, Suarmin, O., Djamaan, A. 2016. Karakterisasi Pati Umbi Bengkoang (Pachyrhizus
erosus (L.)Urban). Laporan Penelitian. Padang: Fakultas Farmasi, Universitas
Andalas.
Warnida H. 2015. Formulasi gel pati bengkuang (Pachyrhizus erosus (L.) Urb) dengan
gelling agent metilselulosa. Jurnal Ilmiah Manuntung. 1(2): 121-126.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 14
BAB III
PEMBUATAN EKSTRAK
TUJUAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa memahami prinsip dan melakukan
ekstraksi
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa memahami prinsip dan melakukan
pemekatan dan pengeringan ekstrak
PENDAHULUAN
A. TINJAUAN PEMBUATAN EKSTRAK
Ekstrak adalah sediaan kering, kental, atau cair yang dibuat dengan menyari simplisia
nabati atau hewani menurut cara yang cocok, di luar pengaruh cahaya matahari langsung.
Untuk membuat ekstrak kental dan kering, hasil penyarian selanjutnya diuapkan hingga
semua atau hampir semua pelarutnya menguap, masa atau serbuk yang tersisa diperlakukan
sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan. Ekstrak kering harus mudah
digerus menjadi serbuk (Depkes RI, 1979; Depkes RI, 1995). Proses ekstraksi bahan nabati
atau bahan obat alami dapat dilakukan berdasarkan teori tentang penyarian atau ekstraksi
(Depkes RI, 1986).
Ekstraksi/penyarian adalah kegiatan penarikan zat yang dapat larut dari bahan yang
tidak dapat larut dengan pelarut cair. Proses penyarian dapat dipisahkan menjadi : pembuatan
serbuk, pembasahan, penyarian, dan pemekatan (Depkes RI, 1986).
1. Pembuatan serbuk
Penyarian merupakan peristiwa pemindahan massa. Zat aktif semula berada di dalam sel,
ditarik oleh cairan penyari sehingga terjadi larutan zat aktif dalam cairan penyari tersebut.
Pada umumnya penyarian akan bertambah baik bila permukaan serbuk simplisia yang
bersentuhan dengan cairan penyari makin luas. Dengan demikian, maka makin halus serbuk
seharusnya penyarian semakin baik. Kenyataan tidak selalu demikian. Masing-masing
simplisia peru ditetapkan derajat halus yang paling tepat untuk memperoleh hasil penyarian
yang baik (Depkes RI, 1986), misalnya akar kelembak (8/24); buah cabe (10/24); kulit kayu
manis (18/24); kulit kina (34/40); biji kola (24/34) dan lain-lain (Depkes RI, 1986).
Derajat halus serbuk dinyatakan dengan nomor pengayak. Jika derajat halus
dinyatakan dengan satu nomor, dimaksudkan bahwa semua serbuk dapat melalui pengayak
dengan nomor tersebut. Jika dinyatakan dengan dua nomor, dimaksudkan bahwa semua
serbuk dapat melalui pengayak dengan nomor terendah dan tidak lebih dari 40% melalui
pengayak dengan nomor tertinggi.
Tabel 2. Tipe mesin grinding
Tipe Mesin Grinding Milling Rotation Contoh Aplikasi
Action Speed
Pin Mill Impact 80-100 Biji strophanthus, ergot, dried
extracts
Blower mill Impact 40-110 Pulverization leaf, bark, root
Cross beater mill (disintegrator) Impact and 50-70 Leaf, bark, root
shearing
Hammer basket mill Impact 70-90 Tobbaco, leaf, root, herbal
Toothed disc mill Friction and 5-16 Dried extracts, freeze dried
shearing products, fruit, seed
Knife or cutter mill Cutting 5-18 Leaf, herb, root; bark utk
perkolasi
Hammer mill Impact 40-50 Coarse comminution of brittle,
friable subtance occuring in
large peices, such as root
1. Hammer mills
Palu adalah perangkat pemukul yangg dipasang pada rotor penggiling dan umumnya
tergantung bebas pada empat baut pembawa. Palu dilemparkan ke luar secara radial oleh
rotasinya dan menabrak material yang diberikan dari atas.
2. Pembasahan
Dinding sel tumbuhan terdiri dari selulosa. Serabut selulosa pada simplisia segar
dikelilingi air. Jika simplisia dikeringkan, lapisan air menguap, sehingga terjadi pengerutan,
sehingga terjadi pori-pori. Pori-pori pada sel tersebut diisi oleh udara.
Bila serbuk dibasahi, maka serabut selulosa tadi dikelilingi cairan penyari, sehingga
simplisia akan membengkak kembali. Pembengkakan terbesar terjadi pada pelarut yang
mengandung gugusan OH. Dan pembengkakan tersebut akan makin besar bila perbandingan
antara volume gugusan OH dan volume molekul pelarut tersebut makin besar.
Agar penyarian dapat berjalan dengan baik, maka udara yang terdapat dalam pori-pori
dihilangkan dan diganti dengan cairan penyari. Pembasahan serbuk sebelum dilakukan
penyarian dimaksudkan memberikan kesempatan sebesar-besarnya kepada cairan penyari
memasuki seluruh pori-pori dalam simplisia sehingga mempermudah penyarian selanjutnya
(Depkes RI, 1986).
Maserasi
Maserasi merupakan metode pengekstraksian serbuk simplisia dengan cara merendam
dalam cairan penyari dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar.
Cairan penyari menembus dinding sel dan masuk rongga sel yang mengandung zat aktif. Zat
aktif larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel
dengan di luar sel, maka larutan terpekat didesak ke luar. Peristiwa tersebut berulang sehingga
terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel.
Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang zat aktifnya mudah larut dalam
caairan penyari, tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari.
Biasanya perbandingan simplisia dan cairan penyari 1: 5 atau 1 : 10. Keuntungannya adalah
cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan.
Kerugiannya adalah pengerjaannya lama dan penyarian kurang sempurna.
Remaserasi merupakan modifikasi maserasi. Cairan penyari dibagi dua. Seluruh
serbuk simplisia dimaserasi dengan cairan penyari pertama, sesudah dienaptuangkan dan
diperas, ampas dimaserasi lagi dengan cairan penyari yang kedua.
4. Pemekatan/penguapan
Penguapan adalah proses terbentuknya uap dari permukaan cairan. Kecepatan
terbentuknya uap tergantung terjadinya difusi uap melalui lapisan batas di atas cairan yang
bersangkutan. Pada penguapan, terbentuk uap berjalan sangat lambat, sehingga cairan tersebut
mendidih. Selama mendidih, uap terlepas melalui gelembung-gelembung udara yang terlepas
dari cairan. Kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan pemindahan panas, sehingga
alat dirancang agar dapat memberi pemindahan panas yang maksimal kepada cairan. Untuk
itu, permukaan harus seluas mungkin, dan lapisan batas dikurangi.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 18
CARA KERJA
I. PEMBUATAN SERBUK SIMPLISIA
1. Timbang simplisia
2. Lakukan pembuatan serbuk dengan alat yang sesuai
3. Ayak dengan nomor pengayak no Mesh 60 (Kemenkes RI, 2017)
4. Timbang serbuk yang dihasilkan
5. Hitung rendemennya
*Jika memungkinkan, sisa serbuk yang tidak lolos no Mesh 60, diserbuk lagi dengan tipe alat
lain.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 19
TUGAS MAHASISWA
Carilah monografi ekstrak tanaman kelompok masing-masing di Farmakope Herbal
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Depkes RI. 1985. Cara Pembuatan Simplisia. Jakarta : Departemen kesehatan Republik
Indonesia.
Depkes RI. 1986. Sediaan Galenik. Jakarta: Departemen kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta : Direktorat
Jendral Pengawas Obat dan Makanan.
Kemenkes RI [Kementerian Kesehatan Republik Indonesia]. 2017. Farmakope Herbal
Indonesia. Edisi II. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 14
BAB IV
ANALISIS SIMPLISIA DAN EKSTRAK
TUJUAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa memahami prinsip dan melakukan analisis
simplisia dan ekstrak.
CARA KERJA
1. Susut pengeringan pada simplisia
a. Versi Farmakope Herbal Indonesia (Kemenkes RI, 2017)
Susut pengeringan adalah pengurangan berat bahan setelah dikeringkan dengan cara yang
telah ditetapkan. Kecuali dinyatakan lain, simplisia harus dalam bentuk serbuk dengan
derajat halus nomor 8, suhu pengeringan 1050C dan susut pengeringan ditetapkan sebagai
berikut: timbang saksama 1 sampai 2 g simplisia dalam botol timbang dangkal bertutup
yang sebelumnya telah dipanaskan pada suhu penetapan dan ditara. Ratakan bahan dalam
botol timbang dengan menggoyangkan botol, hingga merupakan lapisan setebal lebih
kurang 5 sampai 10 mm, masukkan dalam ruang pengering, buka tutupnya, keringkan
pada suhu penetapan hingga bobot tetap. Penimbangan dinyatakan sudah mencapai bobot
tetap apabila perbedaan dua kali penimbangan berturut-turut setelah dikeringkan atau
dipijarkan selama 1 jam tidak lebih dari 0,25% atau perbedaan penimbangan seperti
tersebut di atas tidak melebihi 0,5 mg pada penimbangan dengan timbangan analitik.
Sebelum setiap pengeringan, biarkan botol dalam keadaan tertutup mendingin dalam
eksikator hingga suhu ruang (Kemenkes RI, 2017).
Kadar susut pengeringan =
bobot bahan awal sebelum dikeringka n - bobot bahan setelah dikeringka nX 100 %
bobot bahan sebelum dikeringka n
Timbang saksama lebih kurang 10 g sampel, masukkan ke dalam wadah yang telah ditara.
Keringkan pada suhu 1050C selama 5 jam, dan timbang. Lanjutkan pengeringan dan timbang pada
selang waktu 1 jam sampai perbedaan antara dua penimbangan berturut-turut tidak lebih dari
0,25%.
4. Skrining fitokimia
1). Fenolik, Tanin, Flavonoid
Sebanyak 5 g masing-masing sampel dipanaskan dalam 100 mL air suling dan dididihkan
selama 15 menit, kemudian disaring, dan diperoleh filtrat A.
a) Fenolik dan tanin
Sebanyak 5 mL filtrat A dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan dengan
besi (III) klorida. Hasil positif fenolik ditunjukkan dengan terbentuknya warna hijau, violet, biru
sampai hitam, sedangkan hasil positif tannin ditunjukkan dengan larutan menjadi biru kehitaman
(tanin galat) atau hijau kehitaman (tanin katekol) (Farnsworth 1966).
b). Flavonoid
Metode yang digunakan adalah uji Sianidin/Shinoda/Shibata atau sering juga disebut uji
Willstatter. Sebanyak 5 mL filtrat A dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan serbuk
magnesium, asam hidroklorida pekat, dan amil alkohol. Campuran dikocok kuat dan dibiarkan
memisah. Hasil positif flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning, atau
jingga pada lapisan amil alkohol. Jingga sampai merah untuk flavon, merah sampai merah tua
flavanol, merah tua sampai magenta (merah keunguan) untuk flavanon (Farnsworth 1966).
3). Alkaloid
Sebanyak 500 mg serbuk simplisia, tambahkan 1 mL asam klorida 2 N dan 9 mL air,
panaskan di atas tangas air selama 2 menit, dinginkan, dan saring. Pindahkan masing-masing 3
tetes filtrat pada dua kaca arloji. Tambahkan 2 tetes Mayer pada kaca arloji pertama dan 2 tetes
Bouchardat pada kaca arloji kedua. Jika pada kedua percobaan tidak terjadi endapan, maka serbuk
tidak mengandung alkaloid. Jika dengan Mayer terbentuk endapan menggumpal berwarna putih
atau kuning yang larut dalam metanol dan dengan Bouchardat terbentuk endapan berwarna coklat
sampai hitam, maka ada kemungkinan terdapat alkaloid.
Lanjutkan percobaan dengan mengocok sisa filtrat dengan 3 mL amonia pekat dan 10 mL
campuran 3 bagian volume eter dan 1 bagian volume kloroform. Ambil fase organik, tambahkan
natrium sulfat anhidrat, saring. Uapkan filtrat di atas tangas air, larutkan sisa dalam sedikit asam
klorida 2N. Lakukan percobaan dengan 4 golongan larutan percobaan :
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 16
1. Golongan I : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu membentuk garam yang
tidak larut : asam siliko wolframat LP, asam fosfo molibdat LP, dan
asam fosfo wolframat LP.
2. Golongan II : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu membentuk senyawa
kompleks bebas, kemudian membentuk endapan: Bouchardat LP
(iodine-potassium iodide), Wagner LP (iodine-potassium iodide).
3. Golongan III : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu membentuk senyawa
adisi yang tidak larut : Mayer LP (potassium mercuric iodide),
Dragendorf LP (bismuth potassium iodide), Marme LP cadmium
potassium iodide).
4. Golongan IV : larutan percobaan yang dengan alkaloid tertentu membentuk ikatan asam
organik : Hager LP (picric acid).
Serbuk mengandung alkaloid jika sekurang-kurangnya terbentuk endapan dengan
menggunakan dua golongan larutan percobaan yang digunakan (Depkes RI 1980).
4). Glikosida antrakuinon
Campur 200 mg serbuk simplisia dengan 5 mL asam sulfat encer, didihkan sebentar,
dinginkan. Tambahkan 10 mL benzen, kocok, diamkan. Pisahkan lapisan benzen, saring; filtrat
berwarna kuning, menunjukkan adanya antrakinon. Kocok lapisan benzen dengan 1-2 mL natrium
hidroksida 8%, diamkan; lapisan air berwarna merah intensif dan lapisan benzen tidak berwarna
(Depkes RI, 1980).
5). Saponin
Sebanyak 0,5 g serbuk tambahkan 10 mL air panas, dinginkan dan kemudian kocok kuat-
kuat selama 10 detik; terbentuk buih yang mantap selama tidak kurang dari 10 menit, setinggi 1-
10 cm. Pada penambahan 1 tetes asam klorida 2N, buih tidak hilang (Depkes RI, 1980).
6). Amilum (khusus untuk sampel amilum)
a) Uji karbohidrat
Larutan amilum direaksikan dengan reagen Molisch (α-naftol dalam etanol atau
kloroform) dalam sebuah tabung reaksi. Setelah bercampur, sejumlah kecil asam sulfat pekat
dengan perlahan ditambahkan melalui dinding ke dalam tabung reaksi yang dimiringkan, tanpa
pengadukan, yang membentuk suatu lapisan di dasar tabung. Reaksi dikatakan positif jika
ditunjukkan adanya cincin ungu pada batas antara lapisan asam dan lapisan uji.
b) Uji amilum
Uji masing-masing 2 ml larutan amilum dengan beberapa tetes larutan iodium dalam
tabung reaksi. Catat warna yang terjadi.
PUSTAKA
Depkes RI [Departemen Kesehatan Republik Indonesia]. 1987. Analisis Obat Tradisional. Jilid I.
Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI [Departemen Kesehatan Republik Indonesia]. 1980. Materia Medika Indonesia. Jilid
IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 9-16.
Kemenkes RI [Kementerian Kesehatan Republik Indonesia]. 2017. Farmakope Herbal Indonesia.
Edisi II. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Farnsworth NR. 1966. Biological and Phytochemical Screening of Plants. Journal of
Pharmaceutical Sciences 55(3): 225-277.
BPOM RI. 2015. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik
2011. Jakarta: BPOM RI.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 14
BAB V
SEDIAAN OBAT KUMUR (MOUTHWASH)
I. TUJUAN PERCOBAAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu:
- Memahami prinsip dasar formulasi sediaan obat kumur dengan bahan aktif dari bahan
alam
- Melakukan pengujian dan mengevaluasi sifat fisik sediaan obat kumur
Cara Pembuatan
1. Semua bahan ditimbang
2. Tween 80 dicampur dengan air dengan perbandingan 1:5 dan diaduk sampai larut +
Na sakarin dan gliserin diaduk hingga homogen ---campuran 1
3. Zat aktif dicampur dg mentol lalu diaduk hingga mentol larut ----campuran 2.
4. Campuran 1 dan campuran 2 dicampur dan diaduk hingga homogen dengan stirrer
kemudian diberi pewarna hijau
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 16
BAB VI
SEDIAAN SHAMPO
I. TUJUAN PERCOBAAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu:
- Memahami prinsip dasar formulasi sediaan shampo dengan bahan aktif dari alam
- Melakukan pengujian dan mengevaluasi sifat fisik sediaan shampo
Kandungan Shampo
Pada umumnya suatu shampo terdiri dari dua kelompok utama, yaitu:
a. Bahan utama
Bahan utama yang sering digunakan adalah deterjen, yang biasanya dapat membentuk
busa, dan bersifat membersihkan.
b. Bahan Tambahan
Penambahan zat-zat ini dimaksudkan untuk mempertinggi daya kerja shampo supaya
dapat bekerja secara aman pada kulit kepala, tidak menimbulkan kerontokan, memiliki
viskositas yang baik, busa yang cukup, pH yang stabil dan dapat mengoptimalkan kerja
deterjen dalam membersihkan kotoran, sehingga menjadi sediaan shampo yang aman
dalam penggunaanya dan sesuai dengan keinginan konsumen.
Bahan-bahan tambahan yang sering digunakan dalam pembuatan shampo diantaranya:
1) Opacifying Agent
Zat yang dapat menimbulkan kekeruhan dan penting pada pembuatan shampo krim atau
shampo krim cair. Biasanya merupakan ester alkoholtinggi dan asam lemak tinggi beserta
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 18
garam- garamnya. Contoh : setil alkohol, stearil alkohol, glikol mono dan distearat,
magnesium stearat.
1) Clarifying Agent
Zat yang digunakan untuk mencegah kekeruhan pada shampo terutama untuk shampo
yang dibuat dengan sabun. Sangat diperlukan padapembuatan shampo cair atau shampo
cair jernih. Contoh : butil alkohol, isopropil alkohol, etil alkohol, metilen glikol, dan
EDTA.
3) Finishing Agent
Zat yang berguna untuk melindungi kekurangan minyak yang hilang pada waktu
pencucian rambut, sehingga rambut tidak menjadi kering dan rapuh. Contoh : lanolin,
minyak mineral.
4) Conditioning agent
Merupakan zat-zat berlemak yang berguna agar rambut mudah disisir. Contoh : lanolin,
minyak mineral, telur dan polipeptida.
5) Zat pendispersi
Zat yang berguna untuk mendispersikan sabun Ca dan Mg yang terbentuk
dari air sadah. Contoh : tween 80.
6) Zat pengental
Merupakan zat yang perlu ditambah terutama pada shampo cair jernih dan shampo krim
cair supaya sediaan shampo dapat dituang dengan baik.
Penggunaanya dalam rentang 2– 4%, contoh: gom, tragakan, metil selulosa, dan karboksi
metil selulosa (CMC).
8) Zat pembusa
Digunakan untuk membentuk busa yang cukup banyak, walaupun busa bukan merupakan
suatu ukuran dari shampo, namun adanya busa akan membuat sediaan shampo menjadi
menarik dan sangat disukai oleh para konsumen. Persyaratan tinggi busa pada umumnya
yaitu berkisar antara 1,3 – 22 cm. Contoh: dietanolamin, monoisopropanol amin.
8) Zat pengawet
Zat yang berguna untuk melindungi rusaknya shampo dari pengaruh mikroba yang dapat
menyebabkan rusaknya sediaan, seperti misalnya hilangnya warna, timbul kekeruhan, atau
timbulnya bau. Digunakan dalam rentang 1–2 %, contoh: formaldehida, hidroksi benzoat,
metyl paraben, propil paraben.
9) Zat aktif
untuk shampo dengan fungsi tertentu atau zat yang ditambahkan ke dalam shampo dengan
maksud untuk membunuh bakteri atau mikroorganisme lainnya. Contoh: Heksaklorofen,
Asam salisilat.
10) Zat pewangi,
berfungsi untuk memberi keharuman pada sediaan shampo supaya mempunyai bau yang
menarik. Digunakan dengan kadar 1–2%, contoh: Minyak jeruk, minyak mawar, dan
minyak lavender, minyak bunga tanjung.
11) Pewarna
Zat pewarna digunakan untuk memberikan warna yang menarik pada sediaan shampo.
Digunakan dengan kadar 1-2%, contoh : untuk pewarna hijau biasanya digunakan
senyawa klorofil atau ultra marin hijau.
12) Zat tambahan lain
Merupakan zat pada formula shampo yang mempunyai fungsi atau maksud tertentu,
seperti shampo anti ketombe, shampoo bayi, shampo antikerontokan, dan sebagainya. Zat
tambahan dapat berupa zat aktif anti ketombe, ekstrak tumbuhan, vitamin, protein, dan
lain-lain
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 19
Cara Pembuatan
1. Hidroksi etil selulosa (carbopol) dikembangkan dalam air panas qs hingga terbasahi
2. Nipagin dan nipasol dilarutkan dalam propilen glikol
3. Na2EDTA dilarutkan dalam aquadest qs
4. Na lauril sulfat dilarutkan dalam air hangat qs
5. Larutan nipagin dan nipasol, larutan Na2EDTA dan larutan Na lauril sulfat dicampur
dalam larutan hidroksi etil selulosa secara perlahan-lahan sambil diaduk
6. Ekstrak ditambahkan dalam campuran diatas dan ditambah TEA serta pewangi green
tea
7. Aduk ad homogen
8. Ditambah aquadest ad 100 ml
Campuran dikocok selama 20 detik dengan cara membalikkan gelas ukur tersebut
secara beraturan.
Tinggi busa yang terbentuk diamati (tinggi busa awal)
5 menit kemudian diamati kembali (tinggi busa akhir)
Rumus stabilitas busa = 100% - (% busa yang hilang)
Rumus % busa yang hilang :
Busa yang hilang = (tinggi busa awal – tinggi busa akhir) / tinggi busa awal x 100%
7. Tegangan permukaan
Sediaan shampo dibuat dalam konsentrasi 1%
Dimasukkan dalam beaker glass yang telah ditempeli kertas milimeter blok
Dimasukkan pipa kapiler dan ukur sediaan shampo yang naik pada pipa kapiler
8. Uji Stabilitas Sediaan
a. Uji sentrifugasi
Sediaan shampo 2 ml dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi
Dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit
Hasil sentrifugasi dapat diamati dengan adanya pemisahan atau tidak
b. Penyimpanan pada suhu kamar
Pengujian stabilitas sediaan meliputi kondisi fisik (bau, warna, kejernihan) dan pH
dievaluasi pada suhu kamar (28°C±2°C) selama 8 minggu dengan pengamatan setiap
2 minggu sekali
c. Penyimpanan pada suhu tinggi
Pengujian stabilitas sediaan meliputi kondisi fisik (bau, warna, kejernihan) dan pH
dievaluasi pada suhu kamar (40°C±2°C) selama 8 minggu dengan pengamatan setiap
2 minggu sekali
d. Penyimpanan pada suhu rendah
Pengujian stabilitas sediaan meliputi kondisi fisik (bau, warna, kejernihan) dan pH
dievaluasi pada suhu kamar (4°C±2°C) selama 8 minggu dengan pengamatan setiap 2
minggu sekali
e. Cycling test
Metode ini digunakan untuk melihat kestabilan suatu sediaan dengan pengaruh variasi
suhu selama waktu penyimpanan tertentu.
Sediaan obat kumur disimpan pada suhu 4°C selama 24 jam, lalu keluarkan dan
ditempatkan pada suhu 40°C selama 24 jam
Waktu selama penyimpanan 2 suhu tersebut danggap 1 siklus
Percobaan ini diulang sebanyak 6 siklus dan dievaluasi sediaannya pada awal dan
akhir tes siklus
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 24
BAB VII
SEDIAAN KAPSUL
I. TUJUAN PERCOBAAN
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu:
- Memahami prinsip dasar formulasi kapsul dengan bahan aktif dari bahan alam
- Melakukan pengujian mutu fisik sediaan kapsul
Obat yang menggunakan cangkang kapsul keras dapat dengan mudah dan cepat dibuat di
apotek.
Kerugian sediaan kapsul
Tidak bisa digunakan untuk zat yang mudah menguap
Tidak bisa digunakan untuk zat yang higroskopis
Tidak bisa untuk zat yang dapat bereaksi dengan cangkang kapsul
Balita umumnya tidak dapat menelan kapsul
Tidak dapat dibagi-bagi
Harus lebih hati-hati dalam penyimpanan.
Cara mengemas dan
menyimpan kapsul
1. Harus disimpan pada
tempat atau ruangan
dengan kondisi
kelembaban tidak boleh
terlalu rendah dan tidak
terlalu dingin
2. Wadah penyimpanan
biasanya botol plastik
dan diberi zat
pengering.
3. Bila dikemas dalam
bentuk strip atau blister
maka wadah strip atau
blister itu harus terbuat
dari alumunium foil.
Pembuatan sediaan kapsul
Terdiri atas beberapa
tahapan :
1. Pembuatan
formulasi serta
pemilihan ukuran
kapsul
2. Pengisian cangkang
kapsul
3. Pembersihan dan
pemolesan kapsul
yang telah terisi.
4. Pengemasan
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI Nomor: HK.00.05.41. 1384 tahun 2005 tentang Kriteria
dan Tata Laksana Pendaftaran Obat Tradisional, Obat Herbal Terstandar, dan Fitofarmaka, dokumen
mutu dan teknologi untuk cara pembuatan kapsul yaitu penjelasan :
1. Suhu dan kelembaban udara dalam ruangan pengisi kapsul
2. Bobot rata-rata tiap kapsul
3. Apakah dalam pengemasan ke dalam wadah akhir ditambah zat penyerap uap air.
Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI Nomor: HK.00.05.41. 1384 tahun 2005, kontrol selama
proses produksi (in process control) kapsul yaitu :
1. Sebelum pengisian kapsul adalah persyaratan mengenai bahan utama, homogenitas, dan kadar
air.
2. Selama pengisian kapsul adalah persyaratan bobot rata-rata isi tiap kapsul, waktu hancur,
pengontrolan dilakukan secara berkala;
3. Setelah selesai pengisian kapsul adalah persyaratan keseragaman bobot rata-rata kapsul, waktu
hancur, kadar air, kebocoran wadah, serta jumlah hasil yang diperoleh setiap kali pembuatan.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 26
membandingkan volume awal dengan volume akhirnya. Berat jenis ruah dan mampat
dapat ditentukan menggunakan perbandingan bobot granul dengan volume awal (berat
jenis ruah/bulk density) dan volume akhir (berat jenis mampat/tapped density)
Pemeriksaan dilakukan sebanyak 3 kali dihitung harga puratanya dan simpangan
deviasinya.
BAB VIII
PIL TETES (DRIPPING PILLS)
I. TUJUAN PERCOBAAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu:
- Memahami prinsip dasar formulasi sediaan pil tetes dengan bahan aktif dari alam
- Melakukan pengujian dan mengevaluasi sifat fisik sediaan pil tetes
4. Waktu Hancur
Pemeriksaan waktu hancur ditentukan dengan alat disintegration tester,
caranya adalah sebagai berikut : Memasukkan 6 pil pada masing-masing
tabung dari keranjang, sebagai media digunakan air dengan susu 37°C ± 2°C.
Dilakukan pengamatan terhadap pil, semua pil harus hancur
Bila 1 atau 2 pil tidak hancur sempurna pengujian diulang dengan 12 pil
lainnya, tidak kurang dari 16 dari 18 pil yang diuji harus hancur
Syarat waktu hancur pil ≤ 60 menit
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 30
BAB IX
SEDIAAN HAND SANITIZER
I. TUJUAN PERCOBAAN
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu:
- Memahami prinsip dasar formulasi sediaan hand sanitizer dengan bahan aktif dari
alam
- Melakukan pengujian dan mengevaluasi sifat fisik sediaan hand sanitizer
Karakteristik Sediaan :
- Efektif
- pH sesuai dengan pH normal kulit
- Stabil dan tidak berbau tengik
- Harus terdiri paling sedikit 60% alkohol
- Dapat mengurangi jumlah kuman di tangan (Cosmetic Dermatology : Product and
Procedures, 2010)
Menurut Product and Procedures (2010) dalam Cosmetic Dermatology hal-hal yang
harus diperhatikan dalam sediaan hand sanitizer yaitu :
- Dapat membunuh bakteri dengan cepat
- Tidak menimbulkan rasa panas pada kulit
- Tidak menimbulkan rasa lengket pada kulit
- Tidak menimbulkan reaksi alergi
- Aman digunakan oleh anak-anak
Mekanisme kerja hand sanitizer : dalam menghambat aktivitas mikroba, alkohol 50-
70% berperan sebagai pendenaturasi dan pengkoagulasi protein, denaturasi dan koagulasi
protein akan merusak enzim sehingga mikroba tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
dan akhirnya aktivitas terhenti (CDC, 2009).
Cara Pembuatan
1. Carbopol dikembangkan dalam aquadest
2. Propil paraben dilarutkan dalam propilen glikol
3. Larutan propilen glikol dimasukkan dalam carbopol aduk
4. Tambahkan TEA sebanyak 8 tetes hingga
5. Aduk sediaan hingga terbentuk massa gel
Evaluasi Sediaan
A. Pengamatan organoleptis
Penampilan pada sediaan diamati bau, warna dan kejernihan
B. Uji homogenitas
1. Sediaan dioleskan pada sekeping kaca atau bahan transparan yang cocok.
2. Diamati apakah sediaan menunjukkan suasana yang homogen
C. Uji daya menyebar
1. Timbang 0,5 g sediaan. Letakkan di tengah alat (kaca bulat).
2. Timbanglah dahulu kaca yang satunya. Letakkan kaca tersebut di atas masa
sediaan dan biarkan selama 1 menit.
3. Ukurlah berapa diameter sediaan yang menyebar (dengan mengambil panjang
rata-rata diameter dari beberapa sisi).
4. Tambahkan 50 g beban tambahan, diamkan selama 1 menit dan catatlah sediaan
yang menyebar seperti sebelumnya.
5. Teruskan dengan menambah tiap kali dengan beban tambahan 50 g dan catat
diameter sediaan yang menyebar setelah 1 menit.
6. Ulangi masing-masing 3 kali untuk tiap sediaan yang tersisa.
7. Buat grafik hubungan antara beban dan luas yang menyebar.
D. Uji daya lekat
1. Letakkan sediaan (secukupnya) di atas obyek glass yang telah ditentukan luasnya.
2. Letakkan obyek glass yang lain di atas sediaan tersebut. Tekanlah dengan beban 1
kg selama 5 menit.
3. Pasanglah obyek glass pada alat uji.
4. Lepaskan beban seberat 80 g dan cacat waktunya hingga kedua obyek glass
tersebut terlepas.
5. Ulangi sebanyak 3 kali.
6. Lakukan tes untuk formula sediaan yang lain dengan masing-masing 3 kali
percobaan.
E. Uji kemampuan proteksi
1. Ambillah sepotong kertas saring (10 x10 cm). Basahilah dengan larutan
fenolftalein untuk indikator. Setelah itu kertas saring dikeringkan.
2. Olesilah kertas tersebut pada No.1 dengan sediaan yang akan dicoba (satu lapis)
seperti lazimnya orang mempergunakan sediaan.
3. Sementara itu pada kertas saring yang lain, buatlah suatu areal (2,5 x 2,5 cm)
dengan parafin padat yang dilelehkan. Setelah kering / dingin akan didapat areal
yang dibatasi dengan parafin padat.
4. Tempelkan kertas No. 3 di atas kertas sebelumnya (kertas No.2)
5. Tetesi areal ini dengan sedikit larutan KOH 0,1 N.
6. Lihatlah sebalik kertas yang dibasahi dengan larutan fenoplatein pada waktu 15 :
30 :45 :60 detik : 3 dan 5 menit. Apakah ada noda berwarna merah / kemerahan
pada kertas tersebut.
7. Kalau tidak ada noda berarti sediaan dapat memberikan proteksi terhadap cairan
(larutan KOH).
8. Lakukan percobaan untuk sediaan yang lain.
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 33
F. Uji viskositas
1. Pasanglah Viskotester pada klemnya dengan arah horizontal / tegak lurus dengan
arah klem.
2. Rotor kemudian dipasang pada viskotester dengan menguncinya berlawanan arah
jarum jam.
3. Masukkan sampel ke dalam mangkuk, kemudian alat dihidupkan.
4. Catat berapa kekentalan sampel setelah jarum pada viskositas stabil.
G. Uji Stabilitas Sediaan
1. Uji sentrifugasi
a. Sediaan shampo 2 ml dimasukkan ke dalam tabung sentrifugasi
b. Dilakukan sentrifugasi pada kecepatan 3000 rpm selama 30 menit
c. Hasil sentrifugasi dapat diamati dengan adanya pemisahan atau tidak
2. Penyimpanan pada suhu kamar
Pengujian stabilitas sediaan meliputi kondisi fisik (bau, warna, kejernihan) dan
pH dievaluasi pada suhu kamar (28°C±2°C) selama 8 minggu dengan
pengamatan setiap 2 minggu sekali
3. Penyimpanan pada suhu tinggi
Pengujian stabilitas sediaan meliputi kondisi fisik (bau, warna, kejernihan) dan
pH dievaluasi pada suhu kamar (40°C±2°C) selama 8 minggu dengan
pengamatan setiap 2 minggu sekali
4. Penyimpanan pada suhu rendah
Pengujian stabilitas sediaan meliputi kondisi fisik (bau, warna, kejernihan) dan
pH dievaluasi pada suhu kamar (4°C±2°C) selama 8 minggu dengan
pengamatan setiap 2 minggu sekali
5. Cycling test
Metode ini digunakan untuk melihat kestabilan suatu sediaan dengan pengaruh variasi
suhu selama waktu penyimpanan tertentu.
a. Sediaan obat kumur disimpan pada suhu 4°C selama 24 jam, lalu keluarkan
dan ditempatkan pada suhu 40°C selama 24 jam
b. Waktu selama penyimpanan 2 suhu tersebut danggap 1 siklus
c. Percobaan ini diulang sebanyak 6 siklus dan dievaluasi sediaannya pada awal
dan akhir tes siklus
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 34
BAB X
MASKER PEEL OFF
I. TUJUAN :
Setelah mengikuti praktikum ini mahasiswa diharapkan mampu:
- Memahami prinsip dasar formulasi sediaan masker peel off dengan bahan aktif dari
bahan alam
- Melakukan pengujian dan mengevaluasi sifat fisik masker peel off
Cara Pembuatan
1. Ekstrak dilarutkan dengan etanol sedikit demi sedikit hingga ekstrak larut dengan
sempurna
2. PVA dikembangkan dengan aquadest hangat (80C) hingga mengembang sempurna, lalu
dihomogenkan (A)
3. HPMC dikembangkan dalam aquadest dingin dengan pengadukan yang konstan hingga
mengembang (B)
4. Nipagin dan nipasol dilarutkan dalam propilenglikol (C)
5. B ditambahkan dalam A
6. C ditambahkan dalam A
7. Aduk hingga homogen
8. Larutan ekstrak ditambahkan dalam A sedikit demi sedikit diaduk hingga homogen
9. Tambahkan aquadet hingga 100 gram
Panduan Praktikum Teknologi Sediaan Fitofarmasetika 35
Kelompok : ...................................................
Kelompok : ...................................................
Kelompok : ...................................................
Kelompok : ...................................................