Anda di halaman 1dari 81

PROPOSAL SKRIPSI

Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Kesejahteraan Psikologis


Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang
Kabupaten Mojokerto.

Oleh :

Ellsa Aviana

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADA
MOJOKERTO
2022
SKRIPSI

Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Kesejahteraan Psikologis


Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang
Kabupaten Mojokerto.

Di Ajukan Untuk Dipertanggung jawabkan Di Hadapan Dewan Penguji Guna


Untuk Memperoleh Gelar S1 Keperawatan Pada
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dian Husada Mojokerto

OLEH :
ELLSA AVIANA
NIM : 01.18.014

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DIAN HUSADA
MOJOKERTO
2022

ii
PERSETUJUAN PROPOSAL SKRIPSI

Dengan Judul:

Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Kesejahteraan Psikologis


Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto.

Oleh:

Ellsa Aviana

NIM.01.80.014

Telah disetujui untuk diujikan dihadapan penguji pada tanggal


………………………….2022

Oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

Yufi Aris Lestari, S.Kep., Ns.,M.Kes Dr. Yulianto, S.Kep., Ns., M.Mkes
NPP. 10.02.182 NPP. 10.02.045

Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Keperawatan

Nur Chasanah, S.Kp., M.Kes.


NPP. 10.02.184
PENGESAHAN PROPOSAL SKRIPSI

iii
Dengan judul:

Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Kesejahteraan Psikologis


Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto.

Oleh:

Ellsa Aviana
NIM: 01.18.014

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Proposal Skripsi/SkripsiProgram Studi


Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dian Husada Mojokerto dan
diterima untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana
Keperawatan (S.Kep) pada tanggal …………………2022

Tim Penguji

Ketua : …………….. , S.Kep., Ns., M.Kep ..................................

Anggota : 1. Yufi Aris Lestari, S.Kep., Ns.,M.Kes ..................................

2. Dr. Yulianto, S.Kep.,Ns.,M.Mkes ..................................

Mengesahkan,
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dian Husada
Ketua

H. Nasrul Hadi Purwanto, S.Kep., Ns., M.Kes.


NPP. 10.02.044

SURAT PERNYATAAN

iv
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya :

Nama : Ellsa Aviana


NIM : 01.18.014
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Tempat Tanggal Lahir : Muara Enim, 28 Juli 2000

Menyatakan bahwa proposal skripsi yang berjudul :


“Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Lansia di
Dusun Ketegan Desa Gondang KabupatenMojokerto.” adalah bukan skripsi orang
lain baik sebagian maupun keseluruhan, kecuali dalam bentuk kutipan yang telah
disebutkan sumbernya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar – benarnya.
Apabila dikemudian hari ditemukan bahwa pernyataan ini tidak benar, saya
bersedia mendapat sanksi peraturan yang telah di tetapkan

Mojokerto, 18 April 2022

Peneliti

Materai 10000

Ellsa Aviana
NIM: 01.18.014

v
KATA PENGANTAR

Syukur alhamdulilah penulis ucapkan, dengan rahmat dan hidayahnya maka


Skripsi dengan judul “Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Kesejahteraan
Psikologis Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto”
telah tersusun untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Dian Husada Mojokerto.

Ucapan terima kasih penulis ucapkan sebesar – besarnya kepada :

1. H. Nasrul Hadi Purwanto,S.Kep.,Ns.,M.Kes., selaku Ketua Sekolah Tinggi


Ilmu Kesehatan Dian Husada Mojokerto yang telah membentu pengajuan izin
di lahan penelitian.
2. Nur Chasanah,S.Kp.,M.Kes selaku Kaprodi Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
Dian Husada Mojokerto yang telah memberikan bimbingan, serta saran dalam
pembuatan Proposal Tugas Akhir

3. Yufi Aris Lestari, S.Kep., Ns.,M.Kes. selaku pembimbing I Skripsi yang telah
bersedia meluangkan banyak waktu untuk membimbing, mengarahkan,
memberikan motivasi dan semangat demi terselesaikannya proposal skripsi
ini.
4. Dr. H. Yulianto, S.Kep., Ns., M.MKes selaku pembimbing II Skripsi yang
dengan sabar membimbing, memotivasi dan mengarahkan serta banyak
meluangkan waktunya, membimbing penulis baik dalam perkuliahan maupun
dalam menyusun skripsi ini sampai selesai pada waktunya.

5. Hartin suaidah, S.Kep.,Ns.,M.Kes selaku Pembimbing Akademik yang


senantiasa memberikan semangat, motivasi serta do’a kepada peneliti
sehingga tersusunlah skipsi ini.
6. Ayah dan Mama serta keluarga yang telah dengan sabar dan penuh kasih
sayang dalam mendidik. Mengarahkan dan memberikan dukungan moral
maupun materil, sehingga penulis dapat menuntut ilmu dan menempuh
pendidikan ini dengan baik.

vi
7. Rekan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan angkatan 2018 Dian
Husada Mojokerto.
8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu baik langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian Skripsi.
9. Semua pihak yang telah memberikan bantuan moral maupun material yang
tidak dapat disebutkan satu persatu, terutama untuk para responden yang
bersedia bekerjasama dan meluangkan waktunya demi terealisasinya
penelitian ini.

Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan Skripsi ini, dengan sebaik-


baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan.
Oleh karena itu demi kesempurnaan, penulis mengharapkan adanya kritik dan
saran semua pihak, untuk menyempurnakannya.

Mojokerto, 18 April 2022

Ellsa Aviana
NIM: 01.18.014

vii
MOTTO

“Satu-satunya sumber dari pengetahuan adalah pengalaman”. – Albert


Einstein

viii
LEMBAR PERSEMBAHAN

Karya ini aku persembahkan untuk :


1. Ayah dan Mama tercinta, saya ucapkan terima kasih atas segala doa dan
kesabaran serta ketulusannya untuk membimbing saya menuju keberhasilan
saya.
2. Untuk keluarga besar yang membuat saya menjadi semangat untuk maju.
3. Untuk pembimbing Skripsi ibuYufi Aris Lestari,S.Kep.,Ns.,M.Kes dan bapak
Dr. Yulianto,S.Kep.,Ns.,M.Mkes terima kasih atas bimbingan Skripsi
sehingga saya bisa menyelesaikan Skripsi dengan baik.
4. Semua dosen dan staf Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dian Husada
Mojokerto terima kasih atas bimbingannya, semoga ilmu yang beliau berikan
dapat bermanfaat di kemudian hari.
5. Kekasih saya yang sudah menemani dan berkorban untuk membantu saya
serta teman-temankudi kampus selama 4 tahun yang selalu memberi motivasi
dan dukungan khusus dalam proses mengerjakan Skripsi hingga selesai.
6. Terima kasih teman sejawat dan se-almamater STIKES Dian Husada
Mojokerto yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

ix
DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Definisi operasional........................................................................50

x
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual....................................................................44


Gambar 3.1 Skema Penelitian ..........................................................................46
Gambar 3.2 Kerangka Kerja ............................................................................47

xi
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Pengantar Izin Penelitian……...................................................58


Lampiran 2 Surat Balasan Izin Lokasi Penelitian .................................................59
Lampiran 3 Lembar Permintaan Menjadi Responden...........................................60
Lampiran 4 Kesediaan Menjadi Responden...……...............................................61
Lampiran 5 Lembar Kuesioner Penelitian........................……………………….62

xii
DAFTAR SINGKATAN, ARTI LAMBANG, DAN ISTILAH

Daftar Singkatan

DEPKES : Departemen Kesehatan

M.Kes : Master Kesehatan

NIM : Nomor Induk Mahasiswa

Ns. : Ners

S.Kep : Sarjana Keperawatan

S1 : Sarjana

STIKES : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan

Kemenkes : Kementerian Kesehatan

WHO : World Health Organisation

Variabel : Objek penelitian, atau apa yang menjadi fokus dalam

penelitian

Variabel Independent : Variabel Bebas

Variabel Dependent : Variabel Terikat

Populasi : Seluruh subjek atau objek tertentu yang akan diteliti

Sampel : bagian dari populasi yang dianggap mewakili

populasi

Kuesioner : lembar daftar petanyaan sebagai alat untuk menilai

keadaan variable penelitian

Responden : yang menjadi sampel dalam penelitian

Daftar Arti Lambang

% : Tanda Persen
xiii
() : Tanda Kurung

, : Tanda Koma

. : Tanda Titik

/ : Tanda Garis Miring

: Tanda Hubung

: : Tanda Titik Dua

; : Tanda Titik Koma

? : Tanda Tanya

“ : Tanda Petik

< : Tanda Kurang Dari

> : Tanda Lebih Dari

xiv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dikenal sebagai makhluk holistik yaitu makhluk yang utuh

atau menyeluruh yang terdiri atas unsur biologis, psikologis, sosial dan

spiritual. Pada lansia, terdapat beberapa unsur terabaikan dan tidak terpenuhi

sehingga lansia sering merasa cemas dengan perubahan yang dialaminya.

Lanjut usia (lansia) merupakan seorang yang telah mencapai usia 60 tahun

(Kemenkes RI, 2016). Pendekatan yang harus terpenuhi pada lansia diantara

unsur diatas adalah pada aspek spiritual dan sosial. Kebutuhan spiritual

merupakan kebutuhan untuk mencari arti dan tujuan hidup, kebutuhan untuk

mencintai dan dicintai serta rasa keterikatan dan kebutuhan untuk

memberikan dan mendapatkan maaf (Rahmawati, Syadiyah, & Santika, 2014).

Berdasarkan penelitian dari (W Cristina, 2017) didapatkan hasil yang

mempengaruhi spiritualitas lansia terdapat 6 faktor konsep sehat sakit, agama,

harapan dalam hidup, keterikatan antara diri sendiri, orang lain dan

lingkungannya, kepercayaan kepada Tuhan dan makna hidup dalam dunia.

Kesejahteraan psikologis adalah sesuatu yang bersifat multidimensi

dan didefinisikan dalam berbagai bentuk . Meskipun secara umum tidak ada

definisi tunggal, ada konsensus umum di kalangan ulama bahwa sejahtera

secara psikologis individu harus memiliki suasana hati dan emosi yang positif

(misalnya senang, senang, antusias); emosi negatif yang rendah (misalnya

ketakutan, kecemasan); puas dengan kualitas hidupnya (umum; khusus seperti

xv
pekerjaan; keluarga); dan berfungsi secara positif (memiliki otonomi; makna

dan tujuan hidup) (Hupert & So, 2013; Diener et al., 2010).

Populasi lansia semakin meningkat dari tahun ke tahun menurut WHO, di

kawasan Asia Tenggara populasi lansia sebesar 8 persen atau sekitar 142 juta

jiwa. Pada tahun 2000 jumlah lansia sekitar 5,300,000 7,45% dari total

polulasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah lansia meningkat 9,77% dari

total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah lansia mencapai

28,800,000 11,34 % dari total populasi (Kemenkes RI, 2013). Lansia di

Indonesia meningkat pada tahun 2017, yakni menjadi 23,1juta. Peningkatan

8,97% dari jumlah penduduk di Indonesia di mana lansia perempuan lebih

banyak sekitar satu persen yakni 9,47%, pada pola serupa juga terjadi jika

kita melihat distribusi penduduk lansia menurut karakteristik demografi yang

mereka miliki, baik jenis kelamin, tipe daerah maupun kelompok umur

dimana lansia Indonesia didominasi oleh lansia perempuan, umur 60-69 tahun

(BPS, 2017).

Persentase lansia di Jawa Timur telah mencapai 11,80% dari keseluruhan

penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa Jawa Timur termasuk daerah dengan

struktur penduduk menuju tua (ageing population). Struktur penduduk yang

menuju tua tersebut merupakan salah satu indikator keberhasilan pencapaian

pembangunan manusia. Hal ini menunjukkan adanya peningkatan usia

harapan hidup yang merupakan salah satu indikator pencapaian (Soeweno,

2016). Saat ini jumlah lansia di Kota Surabaya mencapai 46.577 lansia, dan

meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang hanya sebesar 42.000 lansia

(Dinkes RI, 2011).


xvi
Seiring dengan peningkatan jumlah lansia dan perubahan-perubahan

fisik, psikologis, spiritual yang terjadi pada lansia karena tingginya harapan

hidup, masalah social dan kesehatan pada lansia juga meningkat. Masalah

kesehatan yang muncul berupa fisik maupun psikologis. Masalah fisik seperti

mudah jatuh, mudah lelah serta penurunan kemampuan melihat dan

mendengar. Masalah psikologis yang sering terjadi demensia, kecemasan,

gangguan tidur, dan depresi. Salah satu masalah psikologis yang dihadapi

lansia saat ini adalah depresi (Soejono, 2010).

Hasil studi mengatakan bahwa fungsi kognitif lansia mulai menurun

ketika berusia 60 tahun, akan tetapi saat ini banyak ditemukan penurunan

fungsi kognitif pada individu mulai usia 50 tahun ke atas, Penurunan fungsi

kognitif dapat dicegah dengan sering melakukan kontak atau interaksi social

(Mongisidi R, 2013). Melakukan banyak interaksi sosial dan mengikuti

kegiatan sosial dapat membantu lansia mengenal dan mengingat sesuatu.

Pemenuhan kebutuhan spiritual dengan baik menjadi solusi kedua dari

permasalahan, karena dengan keyakinan spiritual yang tinggi dapat

mempertahankan keharmonisan dan kepuasan batin (Basri, 2016). Berjuang

untuk menjawab atau mendapatkan kekuatan ketika sedang menghadapi stres

emosional, keterasingan sosial, bahkan ketakutan menghadapi ancaman

kematian. Sehingga kebutuhan spiritual pada lansia menjadi faktor

pendukung yang dominan. Berdasarkan fenomena dan permasalahan tersebut

perlu dilakukan penelitian tentang Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan

Kesejahteraan Psikologis Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang

Kabupaten Mojokerto.

xvii
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Pernyataan Masalah

Tingkat spiritualitas yang rendah bisa memperburuk kesejahteraan

psikologis pada lansia. Mengasah jiwa spiritual dapat meningkatkan

kesejahteraan psikologis dan menghidupkan peran sebagai makhluk yang

memiliki kewajiban mengenal Tuhannya.

1.2.3 Pertanyaan Masalah

1. Bagaimana tingkat spiritualitas pada lansia di Dusun Ketegan Desa


Gondang Kabupaten Mojokerto ?

2. Bagaimana Tingkat Kesejahteraan psikologis pada lansia di Dusun

Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto ?

3. Bagaimana hubungan antara tingkat spiritualitas dengan kesejahteraan

psikologis pada lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten

Mojokerto ?

1.2.4 Batasan Ruang Lingkup Masalah

Pada penelitian ini ruang lingkup masalah ditujukan pada seluruh lansia

yang berada di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui hubungan antara tingkat spiritualitas dengan kesejahteraan

psikologis pada lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto.

xviii
1.3.2 Tujuan Khusus

1. untuk mengetahui tingkat spiritualitas pada lansia di Dusun Ketegan

Desa Gondang Kabupaten Mojokerto.

2. untuk mengetahui tingkat kesejahteraan psikologis pada lansia di Dusun

Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto.

3. untuk mengetahui hubungan antara tingkat spiritualitas dengan

kesejahteraan psikologis pada lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang

Kabupaten Mojokerto.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

1. Penelitian ini dapat dijadikan landasan pengembangan ilmu

keperawatan khususnya bidang ilmu keperawatan gerontik dalam

mengetahui hubungan tingkat spiritualitas dengan kesejahteraan

psikologis.

2. Penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian lanjutan yang

dilakukan oleh pihak lain yang tertarik untuk meneliti fenomena dengan

topik kesejahteraan psikologis.

1.4.2 Praktis

1. Bagi Mahasiswa

Hasil studi ini diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan mahasiswa tentang Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan

Kesejahteraan Psikologis Pada Lansia.

xix
2. Bagi masyarakat lansia

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan

pengetahuan pada lansia bahwa tingkat spiritualitas dapat mempengaruhi

kesejahteraan psikologis pada lansia.

3. Bagi Institusi pendidikan

Studi kasus ini di harapkan dapat menambah kepustakaan insitusi

sehingga menambah kelengkapan kepustakaan dan dapat sebagai wacana bagi

instusi dalam pengembangan serta peningkatan mutu pendidikan di masa yang

akan datang.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spiritualitas

2.1.1 Definisi Spiritualitas

Menurut Nelson, (2009:367) dalam Witono (2012:130) spiritual adalah

kata sifat dalam bahasa Indonesia sebagai kata serapan dari bahasa Inggris. Kata

bendanya, spirit, berasal dari bahasa Latin spiritus atau spiritualis yang artinya

berdekatan dengan kata roh atau ruh, yang pengertian bahasanya adalah nafas.

Spiritualitas berasal dari bahasa Inggris yang berarti segala sesuatu yang bukan

jasmani, tidak bersifat duniawi dan bukan cara-cara yang bersifat materialistik

(Syamsudin & Azman, 2012:113). Mac Donald (2001) menjelaskan kata spiritual

itu sendiri bisa berarti sesuatu yang berhubungan dengan spirit, yang suci, dan

xx
fenomena atau makhluk supranatural. Spiritualitas adalah proses dari keberadaan

manusia dan kekuatan besar dalam mencari makna dan tujuan dari hidup.

Emmons (1999) mengemukakan bahwa definisi khas spiritualitas

mencakup pencarian makna, untuk kesatuan, untuk keterhubungan, transendensi,

dan merupakan potensi tertinggi yang dimiliki manusia. Secara eksplisit,

Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik

motivasional (motivational trait), kekuatan emosional umum yang mendorong,

mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Namun menurut

Skalla & McCoy (2006) Spiritualitas tidak hanya bergantung pada kepemilikan

terhadap agama atau sebuah kepercayaan yang diinginkan.

Makna spiritual dapat dimaknai sebagai transendensi yang merupakan

capaian tertinggi dalam perkembangan individu, sebagai motivasi yang

mendorong individu dalam mencari makna dan tujuan hidup, sebagai ciri

kemanusiaan yang membedakan individu dengan makhluk yang lainnya, dan

sebagai dimensi kemanusiaan yang dapat menjadi indikator kesehatan individu

(Ingersol & Bauer, 2004).

Menurut Riyadi (2014:15) dalam Istiani dan Zaduqisti (2017:194) kata

spiritual merupakan sifat dasar manusia, yakni makhluk yang secara mendasar

dekat dengan Tuhannya yang setidaknya selalu mencoba berjalan kearahNya.

Sifat ini menunjuk kepada sosok manusia yang dekat dan sadar akan diri dan

Tuhannya. Selain itu istilah spiritual mengait pendekatan manusia pada Tuhannya

yang berasal dari kesadaran diri untuk mendekatan diri pada TuhanNya.

xxi
Berdasarkan definisi yang disebutkan beberapa tokoh di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa spiritualitas masih didefinisikan sebagai energi atau modal

alamiah utama manusia yang mengarahkan manusia pada makna dan tujuan hidup

sekaligus dapat menjadi standar kesehatan individu. Selain itu spiritulitas juga

melekat pada kesadaran Ilahiah.

Artikel Haidar Baghir dalam website Mizan pada kolom dari CEO/Haidar

Baghir yang juga diterbitkan di Harian Kompas tanggal 9 September 2016

menyatakan bahwa, “Dari spiritualitas lahir moralitas dan rahmat (cinta kasih)

bagi alam semesta.” Aspek pengalaman melibatkan perasaan adanya harapan,

cinta, hubungan, kedamaian,hati, dan kenyamanan. dan dukungan. Hal tersebut

merefleksikan kualitas sumber-sumber spiritualitas dari dalam diri seseorang.

Tischler (2002) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu hal yang berhubungan

dengan perilaku atau sikap tertentu dari seorang individu. Menjadi seorang

spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi dan penuh kasih.

Spiritualitas juga diartikan sebagai sesuatu yang kompleks dan multidimensional

dari pengalaman manusia.

Anandarajah & Hight (2001) mengatakan aspek perilaku dari spiritualitas

melibatkan cara seseorang melakukan sesuatu yang terlihat secara kasat mata

(praktik keagamaan) yang merupakan manifestasi dari keyakinan spiritual

seseorang dan kondisi spiritual dalam diri orang tersebut. Spiritualitas dapat

memanggil kita melampaui kebutuhan diri sendiri dan kepedulian terhadap orang

lain. Sementara agama bertujuan untuk mendorong dan memberi makan

kehidupan spiritual dan spiritualitas seringkali merupakan aspek menonjol dari

partisipasi religius adalah mungkin untuk mengadopsi bentuk luar dari ibadah dan
xxii
doktrin keagamaan tanpa memiliki hubungan yang kuat dengan yang transenden

(McGinn, 1993. 7, p. 2 dalam Underwood & Tersi, 2002).

Dari pandangan beberapa tokoh diatas kondisi spiritualitas dapat menjadi

indikator dari seberapa besar perasaan cinta kasih yang dimiliki seseorang selain

dapat mempengaruhi komunikasi dan dapat menjadi tolak ukur kualitas hubungan

seseorang dengan orang-orang disekitarnya. Pada artikel Mutakhir pole dalam

(2009) dalam Ratnakar dan Nair (2012).

Menyarankan untuk tetap menjaga definisi spiritualitas ini tetap

bervariasi, dan mengarah pada tujuan, nilai dan pemberian makna, baik dan etis,

transendensi, aktualisasi diri dan lain-lain yang bersifat duniawi. Spiritualitas

mempunyai aspek kognitif, pengalaman dan perilaku. Ross, (1995) dalam

Prasetyo (2016:20) aspek kognitif atau filosofi meliputi pencarian arti, tujuan dan

kebenaran dalam kehidupan serta keyakinan dan nilai kehidupan seseorang.

Spiritualitas menurut Elkins dkk. (1998) adalah cara individu memahami

keberadaan maupun pengalaman yang terjadi pada dirinya. Di sisi lain seseorang

yang dikatakan cerdas secara spiritual adalah seseorang yang memiliki

kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai-nilai

hidup. Bukan hanya dalam teoritis-spekulatif, melainkan dalam tataran perilaku

konkrit, yaitu dalam hamparan tantangan nyata dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Delaney (2005) spiritualitas adalah fenomena, multidimensional

yang secara universal dialami oleh individu sebagai konstruksi sposial yang terus

dikembangkan oleh individu selama rentang kehidupnya. Fenomena

multidimensional yang dimaksudkan adalah gejala sosial yang terjadi dan dialami

xxiii
oleh masyarakat yang dapat diterangkan serta dinilai dari berbagai dimensi secara

ilmiah. Seseorang yang memiliki spiritualitas tinggi apabila memiliki suatu

hubungan integral dengan orang lain berdasar rasa hormat yang mendalam pada

kehidupan, berpengalaman dalam berhubungan serta penghormatan untuk

lingkungan dan kepercayaan bahwa bumi itu suci. Hal yang mengandung makna

bahwa tidak ada yang saling menyakiti dan harus saling menghormati.

Berdasarkan beberapa definisi diatas spiritual dapat diartikan sebagai modal

alamiah yang dimiliki oleh semua manusia yang akan bekerja aktif dengan

kesadaran untuk merasakan dimensi transenden. Spiritualitas menyimpan esensi

semesta dengan sensorinya dan mengental dalam bentuk iman, mengarahkan

manusia pada sikap dan tindakan yang bijaksana. Spiritualitas juga merupakan

alat yang dirancang khusus bagi manusia untuk selalu rindu kepada Tuhannya dan

berkeinginan untuk terus-menerus menyembah-Nya dan menebarkan cinta kasih

di dunia.

2.1.2 Faktor Yang Mempengaruhi Spiritual

Beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan spiritual seseorang menurut

Taylor, (1997); Carven & Hirnle (1996); Hamid (2000) dalam Yusuf, Nihayati,

Iswari & Okviasanti (2016:51), yaitu:

a. Tahap perkembangan

Perkembangan bahasa, sifat dan ciri kepribadian telah dimulai sejak

berfungsinya panca indera. Sejak bayi dilahirkan apa yang didengar, dilihat,

dicium, dan diraba akan disimpan dalam memori dan akan terus berkembang

xxiv
dalam menjalani tahap tumbuh kembang berikutnya. Konsep baik dan buruk,

boleh atau tidak, pantas atau tidak, sudah mulai dipelajari pada fase ini,

termasuk konsep spiritualitas seseorang.

b. Peranan keluarga penting dalam perkembangan spiritual individu

Setiap manusia menginginkan anak dan keturunannya menjadi lebih unggul

dari dirinya. Berbagai upaya dilakukan untuk mendidik, mengajari,

mempertahankan dan meningkatkan konsep sukses dalam hidup. Ada begitu

banyak yang diajarkan keluarga tentang Tuhan, kehidupan beragama, berperilaku

kepada orang lain, bahkan kehidupan untuk diri sendiri. Oleh karena itu keluaga

merupakan lingkungan terdekat dan dunia pertama di mana individu mempunyai

pandangan, pengalaman terhadap dunia yang diwarnai oleh pengalaman dengan

keluarganya.

c. Latar belakang etnik dan budaya

Etnik adalah seperangkat keadaan atau kondisi spesifik yang dimiliki oleh

sekelompok masyarakat tertentu. Kelompok ini akan membangun sebuah budaya

sosial sesuai dengan ide, gagasan, dan hasil karya yang diperoleh dari pengalaman

belajar dan tata karma yang dikembangkan. Budaya merupakan suatu yang

kompleks, menyeluruh dari unsur pengetahuan, seni, kepercayaan, moral hokum,

maupun adat istiadat. Budaya ini yang akan dijalani dan diajarkan kepada generasi

berikutnya.

Sikap, keyakinan dan nilai dipengaruhi oleh latar belakang etnik dan sosial

budaya. Pada umumnya seseorang akan mengikuti tradisi agama dan spiritual

keluarga.

xxv
d. Pengalaman hidup sebelumnya

Pengalaman hidup baik yang positif maupun negative dapat memepengaruhi

spiritual seseorang dan sebaliknya juga dipengaruhi oleh bagaimana seseorang

mengartikan secara spiritual pengalaman tersebut.

e. Krisis dan perubahan

Krisis dan perubahan dapat menguatkan atau bahkan melemahkan keadaan

spiritual seseorang. Tergantung sikap positif atau negative yang biasa

dikembangkan. Krisis dialami seseorang ketika menghadapi penyakit,

penderitaan, proses penuaan, kehilangan bahkan kematian. Toth (1992) dalam

Craven & Hirnle (1996) menyatakan perubahan dalam kehidupan dan krisis yang

dihadapi tersebut merupakan pengalaman spiritual yang bersifat fiskal emotional.

f. Terpisah dari ikatan spiritual

Menderita sakit terutama yang bersifat akut, seringkali membuat individu

merasa terisolasi dan kehilangan kebebasan pribadi dan system dukungan sosial.

Kebiasaan hidup sehari-hari juga berubah, antara lain tidak dapat mengahdiri

acara resmi, mengikuti kegiatan keagamaan atau tidak dapat berkumpul dengan

keluarga atau teman dekat yang bisa memberikan dukungan setiap saaat

diinginkan.

g. Isu moral terkait dengan terapi

Pada kebanyakan agama, proses penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan

utnuk menunjukkan kebesaran-Nya. Kpercayaan ini akan membangun sebuah

model kepercayaan kesehatan, menentukan upaya mencari pengobatan, dan

semangat untuk mengubah pola hidup sehat.

xxvi
Isu moral terkait dengan terapi ini masih terus berjalan meskipun sudah ada

pemisahan dan orientasi yang tegas dari pengobatan modern dan pengobatan

paradoksial berlawanan arah dengan pengobatan modern. Pengobatan modern

berbasis pada penemuan obat-obat baru, radiasi dan pembedahan. Pengobatan

paradoksial berbasis pada kombinasi pikiran (mind), tubuh (body), spirit dengan

unsur keajaiban (miracle). Kenyataannya semua jenis pengobatan ini terus

berjalan dan tetap berkembang sesuai karakter masyarakat dengan tokoh yang

mengembangkan.

Spiritualitas tidak hanya dipengaruhi dari kondisi individu sendiri akan tetapi

juga sangat bergantung pada lingkungan keluarga dan lingkungan sosial ia

tinggal. Selain itu situasi spiritual dalam ranah kesehatan dan keilmuan yang

sedang terjadi sangat mempengaruhi spiritualitas seseorang.

2.1.3 Perkembangan Spiritual

Perkembangan spiritual menurut Yusuf, Nihayati, Iswari & Okviasanti

(2016:53) ada dalam beberapa masa, yaitu :

e. Masa bayi

Perkembangan spiritual dimulai sejak bayi. Menurut Harber (1987)

menjelaskan perkembangan spiritual bayi merupakan dasar untuk perkembangan

spiritual selanjutnya. Seluruh komponen panca indra merupakan komponen awal

untuk mengenal arti spiritual yang wajib diberi stimulasi untuk mengukir memori

terbaik. Pada fase oral bayi mengembangkan sikap percaya atau tidak kepada

orang-orang yang mengasuhnya. Bayi yang dikembangkan dengan suasana

penunh percaya, toleransi, rasa aman, dan penuh peneriman maka ia akan belajar

xxvii
sabar, percaya diri, menghargai orang lain dan mengembangkan kasih sayang.

Apabila stimulus yang diberikan pengasuh atau orangtua bayi merupakan stimulus

yang kurang baik seperti tidak segera memberi asi saat ia menangis karena haus

dapat memunculkan sifat-sifat yang berseberangan dari kepribadian orang yang

tingkat spiritualnya tinggi seperti mudah marah, merasa bersalah, dan suka

berkelahi.

f. Masa anak awal

Usia anak awal yakni (usia 18 bulan sampai 3 tahun) stimulasi pertumbuhan

dan perkembangan sangat penting untuk diperhatikan. Dimana kemampuan

kognitif telah berkembang lebih besar. Anak mulai bisa menirukan ucapan orang-

orang disekitarnya. Baik bagi anak bila sudah diajarkan untuk membaca bacaan

do’a-do’a

Pada usia pra sekolah (3 sampai 6 tahun) berhubungan erat dengan kondisi

psikologis dominannya yaitu super-ego. Super-ego harus diperkuat untuk menjadi

penyeimbang antara tututan kebutuhan yang dibawa sejak lahir (id) dan

tuntutan kebutuhan yang sesuai dengan usia perkembangan (ego). Anak mulai

memahami kebutuhan sosial, norma dan harapan, serta berusaha menyesuaikan

dengan norma keluarga. Anak sudah mampu membandingkan salah dan benar

bahkan dapat membandingkan nora yang dimiliki keluarganya dengan keliuarga

lain. Pada masa perkembangan ini penting bagi orang tua untuk mengenalkan

Tuhan yang abstrak dan mulai mengajarkan ritus seperti saling memberi dan

memaafkan sebagai suntikan pemahaman bahwa hidup harus saling berbagi yang

biasanya dilakukan oleh orang tua.

xxviii
g. Usia sekolah

Usia sekolah (usia 6-12 tahun) merupakan masa yang paling banyak

mengalami peningkatan kualitas kognitif pada anak. Pada fase ini sudah bisa

dilakukan pengevaluasian pemikiran dan respon terhadap lingkungan sosial yang

mengindentifikasikan sikap anak yang mewakili dimensi spiritual mereka seperti

daya emosional dalam berkomunikasi dengan orang lain.

h. Remaja

Masa remaja (12-18 tahun) merupakan masa dimana seseorang belum dapat

mengambil keputusan dan tindakan secara mandiri karena amsih bergantung pada

kelompok.hal ini menjadikan remaja kerap mendapatkan permasalahan yang

membuat orang tuanya tetap harus mengkontrol dan membimbingnya untuk tetap

belajar merasakan dunia spiritualnya sendiri lewat didikan yang mengarahkan

kemandirian dan pertanggungjawaban yaitu konsekuensi yang di dapat setelah

melakukan berbagai hal.

i. Dewasa muda

Kisaran usia 18 sampai 25 tahun adalah masa seseorang mempraktikkan

seluruh potensi intelektual, bakat, minat dan dan ketrampilan yang telah di

rancang semasa remaja. Merupakan masa dimana berbagai faktor pendidikan,

kemampuan, dan kemauan menjadi penentu keberhasilan. Pada usia ini spiritual

bukanlah titik tuju utama yang didalami oleh seseorang, tetapi orang pada usia ini

lebih fokus pada masalah pekerjaan, pendidikan, kemandirian ekonomi dan

membuat keputusan-keputusan yang mereka pikir lebih mengarahkan pada

kemapanan untuk kehidupan dimasa selanjutnya. Peran orang tua pada masa ini
xxix
pun tetap penting untuk menguatkan prinsip dan batasan-batasan mengenai

banyak hal serta norma-norma yang perlu untuk tetap diingat.

j. Dewasa pertengahan

Dewasa pertengahan dikategorikan dalam usia 25 sampai 38 tahun. Masa ini

dapat pula di sebut sebagai masa klimakterium atau masa-masa kritis dalam

kehidupan manusia. Seluruh aktifitas, pengambilan keputusan dan rancangan-

rancangan tentang keluarga dan atau rumah tangga, pendidikan anak, keuangan,

bisnis, pekerjaan dan peran sosial tidak lagi dianggap sebagai percobaan. Pada

tahap ini diperlukan adanya keseimbangan antara pertumbuhan dan

perkembangan fisik, psikis, dan pemberdayaan peran sosial. Spiritual seseorang

pada masa dewasa pertengahan sudah menggunakan keyakinan moral, agama dan

etik sebagai dasar dari sistem nilai. Pengevaluasian berbagai hal seperti

merencanakan kehidupan yang dialami secara mandiri yang dilaksanakan

berdasarkan kepercayaan dan nilai spiritual.

k. Dewasa akhir

Pada usia sekitar 38-56 tahun. Usia ini merupakan puncak pertumbuhan fisik

manusia. Setelah itu perlahan semua kondisi fisik akan menurun. Kondisi ini akan

berpengaruh terhadap peran dan hubungan dirinya dengan lingkungan. Pada usia

ini memiliki hubungan yang lebih intim dengan alam, manusia, dan Tuhan Lazim

terjadi. Mereka pada usia dewasa akhir orang cenderung meningkatkan kualitas

hidup mengingat waktu yang dimiliki dengan introspeksi dan mengkaji kembali

dimensi spiritualnya.

l. Lanjut usia
xxx
Usia 56 tahun sampai kematian merupakan periode akhir dalam rentang

kehidupan manusia. Terjadi berbagai problematika yang diakibatkan oleh

penurunan fungsi fisiologis dan gangguan psikologis. Kondisi seperti ini

menyebabkan seorang lanjut usia menjadi mudah tersinggung merasa lemah,

membutuhkan perhatian dan penghargaan dari keluarga. Dalam kondisi mental

dan fisik seperti ini orang sangat membutuhkan keterbiasaan diri mengelolah

kemampuan spiritualitas untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi.

Menurut Nugroho (2000), ketika seseorang menua maka terjadi beberapa

perubahan pada lanjut usia diantaranya perubahan fisik, perubahan mental,

perubahan psikososial. Secara spesifik, perubahan fisik mencakup perubahan sel,

sistem persarafan, sistem pendengaran, sistem penglihatan, sistem kardiovaskuler,

sistem pengaturan temperatur tubuh, sistem respiritualrasi, sistem gastrointestinal,

sistem genitourinaria, sistem endokrin, sistem kulit (integumentary system),

sistem muskulosletal (Musculosceletal system). Penyakit dalam tubuh pasien

lanjut usia seringkali juga mempengaruhi seluruh dirinya, termasuk pikiran,

perasaan, emosi, dan pusat kepribadiannya (Kinasih & Wahyuningsih, 2012).

Karakteristik spiritual menunjukkan bahwa pengenalan faktor alam yang tidak

nampak, tidak dapat di raba akan memepengaruhi perilaku. Karakteristik spiritual

di bangun oleh agama, keyakinan, intuisi, pengetahuan, cita yang tulus, rasa

memiliki, rasa berhubungan dengan alam semesta, penghormatan pada kehidupan

dan pemberian kekuatan abadi (Yusuf, Nihayati, Iswari, Okviasanti, 2016).

Karakteristik spiritual tergambarkan pada hubungan dengan diri snediri, orang

lain, alam, dan hubungan dengan Tuhan (Kozier, Erb, Blais & Wilkinson, 1995;

Grimm, 1991; Pulchalski, 2004).

xxxi
Fase-fase perkembangan spiritual manusia di atas menunjukan proses pencapaian

pengalaman spiritual yang dialami manusia. Pada masa bayi hingga remaja

perkembangan spiritual masih sampai pada tahap bimbingan dari orang tua,

namun pada masa dewasa awal hingga lanjut usia perkembangan spiritual sudah

mulai di dasari oleh kesadaran akan kebutuhannya pada Tuhan sebagai causa

prima atau kebenaran absolut. Meskipun pada masa perkembangannya manusia

dengan kategori usia remaja ke bawah kesadaran manusia tidak sebesar seperti

pada fase dewasa tetap saja seluruh tahap perkembangan manusia tidak lepas dari

cakupan spiritual.

2.1.4 Aspek spiritual

Ungureanu dan Sandberg (2010) dalam Syamsuddin & Azman (2012:117)

menemukan beberapa aspek spiritualitas dan religiusitas sebagai coping strategy

pada pasangan dalam menghadapi kehidupan perkawinan. Bahwa spiritualitas dan

agama memberikan efek positif pada pasangan dengan keyakinan agama yang

kuat, seperti kelanggengan kehidupan perkawinan, membantu dalam pengambilan

dengan dukungan spiritual memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengatasi

peristiwa-peristiwa kehidupan yang penuh dengan stress. Agama juga dapat

mencegah efek-efek buruk dari konflik rumah tangga serta memediasi terjadinya

rekonsiliasi atau rujuk kembali.

Smith (1994) merangkum sembilan aspek spiritualitas yang diungkapkan oleh

Elkins, dkk. (1998) menjadi empat aspek sebagaimana berikut:

a. Merasa yakin bahwa hidup sangat bermakna. Hal ini mencakup rasa

memiliki misi dalam hidup.

xxxii
b. Memiliki sebuah komitmen terhadap aktualisasi potensi-potensi positif

dalam setiap aspek kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran bahwa nilai-

nilai spiritual menawarkan kepuasan yang lebih besar dibandingkan nilai-

nilai material, serta spiritualitas memiliki hubungan integral dengan

seseorang, diri sendiri, dan semua orang.

c. Menyadari akan keterkaitan dalam kehidupan. Hal ini mencakup kesadaran

akan musibah dalam kehidupan dan tersentuh oleh penderitaan orang lain.

d. Meyakini bahwa berhubungan dengan dimensi transendensi adalah

menguntungkan. Hal ini mencakup perasaan bahwa segala hal dalam hidup

adalah suci.

Spilika dalam Dale dan Daniel (2011) membagi konsep spiritualitas kedalam 3

bentuk yakni :

a. Bentuk spiritualitas yang berorientasi pada Tuhan (God-oriented), artinya

pemikiran, pandangan maupun praktek spiritualitasnya bersandar pada

teologis atau atas wahyu dari Tuhan. Ini dapat ditemukan pada hampir

semua bentuk praktek agama-agama yang dilembagakan, seperti Islam,

Kristen, Yahudi, Hindu, Budha dll.

b. Bentuk spritualitas yang berorientasi pada dunia/alam (world oriented),

yakni bentuk spiritualitas yang didasarkan pada harmoni manusia dengan

ekologi dan alam. Mungkin The Secret, yang banyak sekali menyinggung

perihal harmoni alam dengan pikiran. manusia, bahwa alam adalah medan

magnet yang akan merespon segala pikiran manusia, karena itulah manusia

diwajibkan untuk senantiasa mengembangkan pemikiran positif agar alam

xxxiii
semesta memberikan umpan-balik yang positif juga menuju kehidupan

yang maslahat secara batiniah.

c. Spiritualistik humanistik.

Yang mendasarkan bentuk spiritualnya pada optimalisasi potensi kebaikan

dan kreativitas manusia pada puncak pencapain termasuk dalam hal ini

pencapaian prestasi.

Underwood & Teresi (2002) menyebutkan sebelas aspek spiritual yang

kemudian dikembangkannya menjadi skala. Aspek-aspek tersebut adalah:

1. Connection

Beberapa orang sering merasakan interaksi dengan transenden dan

menganggapnya sebagai aktifitas yang diperlukan dalam hidup, hal ini

semacam sebuah keterlibatan aktif dengan Ilahi dalam menyelami seluk-

beluk kehidupan yang tidak hanya dilakukan pada saat-saat stres saja. “Social

support dari Ilahi” dapat dirasakan dalam bentuk instrumental atau emosional

(Underwood, 2002).

2. Joy, transcendent sense of self

Pengalaman spiritual dalam beribadah dalam aspek ini seperti bernyanyi dan

berbicara dengan keras dan pergerakan tubuh dapat menjadi komponen

pengalaman yang kuat yang menghubungkan pengalaman kognitif dengan

perasaan spiritual. Aspek ini menunjukan momen transendensi diri yang

bersifiat religious atau spiritual tetapi dapat menunjukkan perasaan

keterhubungan dengan Ilahi pada mereka yang tak memiliki sifat religious.

Yang artinya tanpa melakukan ritual peribadatan manusia tetap menjadi

makhluk spiritual (Underwood, 2006).


xxxiv
3. Strength and comfort

Kenyamanan diasosiasikan dengan perasaan aman dalam kondisi yang

berbahaya atau dalam kondisi yang rentan terkena masalah dan perasaan-

perasaan yang umum tentang keselamatan. Kekuatan yang dimaksudkan

disini adalah kekuatan yang memungkinkan seseorang menjadi berani untuk

keluar dari situasi yang sulit dan melakukan sesuatu yang biasanya mereka

merasa tidak percaya diri untuk melakukannya (Underwood, 2006)

4. Peace

Kedamaian dalam aspek ini merupakan bentuk keadaan mengenai kedamaian

yang ada di dalam batin. Rasa damai ini memiliki dimensi transenden yang

mungkin bisa dikatakan terpengaruh oleh suatu hal namun kedamaian yang

dimaksudkan disini adalah kedamaian yang tidak dipengaruhi oleh situasi

maupun perasaan (Underwood, 2006).

5. Divine help

Aspek ini menggambarkan pengharapan campur tangan Ilahi terhadap

individu seperti ilham, wahyu, petunjuk, atau bimbingan kepada dirinya dan

menggambarkan tentang perasaan batin individu bahwa kekuatan Ilahi telah

menapaki dirinya dan kehidupannya. Bimbingan yang diartikan dalam aspek

ini digambarkan paling mirip dengan kata “dorongan” dari Tuhan dan lebih

jarang pada tindakan yang dramatis (Underwood, 2006).

6. Divine guidance

Divine guidance merupakan pengalaman merasakan di bimbing atau

diarahkan oleh Tuhan. Perasaan mengenai adanya sentuhan langsung dari

Tuhan sebanyak beberapa kali sepanjang hari untuk melakukan satu hal dari

xxxv
pada melakukan hal yang lain. Umumnya, aspek ini bukan ditimbulkan oleh

tanggapan atas realitas terhadap prinsip namun lebih pada perasaan ingin

membiarkan diri sendiri di dorong Tuhan atau putus asa atas realitas. Dengan

kata lain divine guidance ini adalah berbagai tingkah laku individu yang

secara tidak kasat mata digerakkan oleh transenden di mana saat tingkah laku

itu berlangsung juga disadari dan dirasakan oleh individu (Underwood,

2006).

7. Perception of divine love

Ini adalah aspek yang menjelaskan tentang apakah seseorang benar-benar

merasakan cinta dari Tuhan secara langsung atau hanya secara konseptual

memahami bahwa sesungguhnya Tuhan menyayangi manusia saja tanpa

merasakannya. Cinta Ilahi baik secara langsung atau melalui hal yang lain

dapat menjadi pengalaman yang menguatkan dan dapat menambah rasa

percaya diri, hargadiri serta kebebasan bertindak (Underwood, 2006).

8. Awe

Kekaguman atau awe adalah pusat utama dari kehidupan spiritual.

Kekaguman ini muncul dari fungsi inderawi ataupun batiniah manusia saat

menyaksikan keindahan ciptaan Tuhan. Bahkan dengan perasaan kagum

tersebut individu dapat memperoleh pengalaman spiritual yang memotong

batasan perasaan orang tentang transenden tanpa menghubungkan diri dengan

religiusitas. Kekaguman ini dapat menjadi kendaraan yang akan

mengarahkannnnya pada pemahaman ketauhidan dan atau realitas transenden

(Underwood, 2006).

9. Thankfulness, appreciation

xxxvi
Rast (1984) dalam Underwood (2002) menyatakan terimakasih dianggap

sebagai komponen utama spiritualitas oleh banyak orang. Karena hal itu

merupakan hubungan potensial antara syukur dan keadaan hidup, kehidupan

eksternal atau stressor mungkin mengubah perasaan terimakasih responden,

namun beberapa orang mencari berkah dalam situasi yang paling

menyeramkan.

10. Compassionate love; compassion and mercy

Kasih sayang (compassion) adalah komponen utama dalam tradisi

spiritual. Aspek ini juga menggambarkan tentang cinta yang berpusat pada

kebaikan orang lain dan secara umum tidak berkonotasi pada diri sendiri

(Underwood,2006).

Sedangkan belas kasih (mercy) bermanfaat ketika orang lain berada dalam

keraguan, tidak memberatkan ketika berurusan dengan kesalahan orang lain,

bermurah hati, menggambarkan pengalaman spiritual batin yang dapat terlihat

dalam kehidupan sehari-hari. Rasa belas kasihan yang dirasakan bukan hanya

kesadaran kognitif bahwa belas kasih adalah sebuah sikap dengan kualitas

yang baik. Dasar penerimaan terhadap orang lain ini tidak sama dengan

pemaafan, yang mana ini didasarkan pada respon terhadap tindakan tertentu

(Underwood, 2006). Vanier (1999) dalam Underwood (2002) menulis contoh

dari sikap seorang dengan rasa belas kasih ketika mengahadapi mereka yang

kurang mampu berkembang dan menunjukkan tanggapan yang penuh

pemikiran.

11. Union and closeness

xxxvii
Lotfi (1998) dalam Underwood (2002) Penyatuan (union) dan kedekatan

(closeness) adalah konsep kunci dalam tradisi Muslim dan mungkin lebih

relevan bagi mereka yang mencari kedekatan dengan Ilahi.

Seluruh aspek-aspek yang diusung oleh Underwood maupun Dale &

Daniels serta Elkins merupakan sebuah pengetahuan dalam bentuk

pengalaman yang mengarahkan individu menjalani kehidupan suatu bentuk

rasa kesadaran spiritual manusia tentang ketuhanan yang dibungkus

oleh transendensi. Spiritualitas mewakili segala perasaan mengenai

kesadaran semesta yang mengantarkan manusia pada suatu Dzat luar biasa

yang mengendalikan seluruh alam semesta. Perasaan terhubung dengan

transenden berfungsi sebagai tali penghubung untuk mengukur seberapa intim

interaksi ndividu dengan transenden yang terwujud melalui perubahan positif

dalam kehidupan sehari-hari.

2.1.5 Dimensi Spiritual

Menurut Pasiak (2012) dalam Yusuf, Nihayati, Iswari, Okviasanti (2016:63)

ada 4 dimensi spsiritualitas manusia, yaitu:

a. Makna hidup

Spiritualitas merupakan penghayatan intrapersonal yang bersifat

unik, ditunjukkan dalam hubungan sosial (interpersonal) yang

bermanfaat, menginspirasi dan mewariskan sesuatu yang bernilai bagi

kehidupan manusia.

b. Emosi Positif

Manifestasi spiritual berupa kemampuan mengelola pikiran dan

perasaan dalam hubungan interpersonal sehingga seseorang memiliki nilai

xxxviii
kehidupan yang mendasari kemampuan bersikap dengan tepat.

c. Pengalaman spiritual

Manifestasi spiritual di dalam diri seseorang berupa pengalaman

spesifik dan unik terkait hubungan dirinya dengan Allah SWT dalam

pelbagai tingkatannya.

d. Ritual

Manifestasi spiritual berupa tindakan terstruktur, sistematis,

berulang, melibatkan aspek motorik, kognisi dan afeksi yang dilakukan

menurut suatu tata cara tertentu baik individual maupun komunal.

Dari empat dimensi spiritual diatas dapat digolongkan bahwa

makna hidup dan dan ritual adalah dimensi yang berorientasi ke luar, hal

ini dapat berdampak pada kehidupan seseorang dalam beraktifitas

dilingkungannya. Sedangkan emosi positif dan pengalaman spiritual

berorientasi kedalam dapat mempengaruhi sifat dan kepribadian

seseorang.

2.1.6 Tingkat Spiritualitas

Menurut Hasan, (2006) dalam Rani, (2011), tingkat spiritualitas

manusia ada tujuh tingkatan dari yang bersifat egoistik maupun yang suci

secara spiritual, yang dinilai bukan oleh manusia, namun langsung oleh

Allah SWT, yaitu:

1. Nafs Ammarah

Pada tahap ini, orang yang nafsunya didominasi godaan yang

mengarah pada kejahatan. Pada tahap ini orang yang tidak dapat

xxxix
mengontrol dirinya dan tidak memiliki moralitas atau rasa kasih. Dendam,

kemarahan, ketamakan, gairah seksual, dan iri hati adalah sifat seseorang

yang muncul pada tahap ini. Pada tahap ini kesadaran dan akal manusia

dikalahkan oleh hawa nafsu.

2. Nafs Lawwamah

Orang yang berada pada tahap ini mulai memiliki kesadaran

terhadap perilaku- perilakunya dan dapat membedakan yang baik maupun

benar, dan menyesali kesalahan- kesalahannya. Akan tetapi masih belum

ada kemampuan untuk mengubah gaya hidupnya. Sebagai langkah awal,

mencoba untuk mengikuti kewajiban agamanya, seperti sholat, berpuasa,

membayar zakat dan mencoba berperilaku baik. Nafsu manusia selalu

mengajak hal-hal dalam kejahatan maupun perilaku keji. Pada tahap ini,

ada tiga hal yang dapat menjadi bahaya, yaitu kemunafikan, kesombongan

dan kemarahan. Mereka tidak akan bisa bebas dari godaan setiap kali

beraktifitas.

3. Nafs Mulhiman ( The inspireda self )

Pada tahap ini, seseorang akan merasakan ketulusan dalam

beribadah yang benar- benar termotivasi dari cinta dan kasih sayang, serta

adanya pengabdian dan nilai-nilai moral. Tahap ini merupakan dari awal

praktik sufisme seseorang, meskipun seseorang belum tentu terbebas dari

keinginan maupun ego pada tahap ini, namun pada tahap ini motivasi dan

pengalaman spiritual terdahulu dapat mengurangi untuk pertama kalinya.

Pada tahap ini adalah kelembutan, kasih sayang, kreativitas dan perilaku

xl
tindakan moral merupakan perilaku yang umum. Secara keseluruhan orang

yang berada pada tahap ini, memiliki emosi yang matang dan menghargai

serta dihargai orang.

4. Nafs Muthma’innah

Pada tahap ini, seseorang merasakan kedamaian dalam hidupnya

serta pergolakan pada tahap awal telah lewat. Kebutuhan dan ikatan lama

sudah tidak dibutuhkan oleh seseorang. Pada tahap ini kepentingan

seseorang mulai lenyap membuat lebih dekat dengan TuhanNya. Pada

tingkat ini seseorang akan membuat pikirannya terbuka, bersyukur, dapat

dipercaya, dan penuh kasih sayang. Ketika seseorang menerima segala

kesulitan maupun cobaan dihadapi dengan kesabaran dan ketakwaan,

maupun ketika seseorang mendapatkan sebuah kenikmatan dapat dikatakan

seseorang telah mencapai tingkat jiwa yang tenang. Dari segi perkembangan

tahap ini memasuki dalam periode transisi. Seseorang sudah mulai dapat

melepaskan semua belenggu dalam dirinya sebelumnya dan telah mulai

melakukan integrasi kembali pada semua aspek universal kehidupan.

Seseorang telah merasakan kedamaian, kebahagiaan, kegembiraan

dalam beragama seperti diberi surga di atas dunia. Setiap kata-kata yang

diucapkan bersumber pada Al-Qur’an dan Hadist maupun kata-kata suci

lainnya. Ibadah dan pengabdiannya menghasilkan pada perkembangan

spiritualnya.

5. Nafs Radhiyah

xli
Pada tahap ini seseorang tidak hanya tenang dengan dirinya

sendiri, namun juga tetap bahagia dan tegar melewati keadaan sulit,

musibah atau cobaan dalam kehidupannya. Menyadari kesulitan yang

datang dari Allah untuk memperkuat dan memperkokoh imannya.

Keadaan bahagia itu sendiri tidak bersifat hedonistik atau materalistik, dan

berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi pada

hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle) dan

penghindaran rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada tingkat

mencintai dan bersyukur kepada Allah berarti seseorang tersebut telah

mencapai tahap perkembangan spiritual ini. Namun hanya sedikit orang

yang dapat mencapai tahap spiritual ini.

6. Nafs Mardhiyah

Pada tahap ini, ketika seseorang mengalami kesulitan akan

merasakan kebahagiaan, musibah atau cobaan dalam kehidupannya.

Menyadari akan segala kesulitan yang diberikan dari Allah untuk

memperkuat imannya. Keadaan bahagia itu sendiri tidak bersifat hedonistik

atau materalistik, dan berbeda dengan hal yang biasa dialami oleh seseorang

yang berbeda dengan hal yang biasa dialami seseorang yang berorientasi

pada hal yang sifatnya duniawi, pemenuhan kesenangan (pleasure principle)

dan penghindaran rasa sakit (paint principle). Ketika seseorang sampai pada

tingkat mencintai dan bersyukur kepada Allah berarti seseorang tersebut

telah mencapai tahap perkembangan spiritual ini.

Namun sedikit orang yang dapat mencapai tahap ini. dalam segala

kejadian maupun cobaan adalah atas tindakan Allah yang mencintai mereka

xlii
dalam setiap situasi. Ketakwaan, kepasrahan, kesabaran, kesyukuran, dan

cinta kepada Allah SWT adalah cobaan dari Allah untuk menanggapinya

dengan cepat ketika hamba-Nya kembali kepada-Nya.

7. Nafs Safiyah

Seseorang yang telah mencapai tahap akhir ini telah mengalami

transedensi diri yang utuh. Tidak ada nafas yang tersisa, hanya penyatuan

dengan Allah. Pada tahap ini seseorang telah menyadari Kebenaran,

“Tidak Ada Tuhan Selain Allah”, dan hanya keilahian yang ada, dan setiap

indera manusia atau keterpisahan adalah ilusi semata.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa, dalam mengembangkan

spiritual seseorang untuk menempuh tahap-tahap perkembangan yaitu

dengan suatu cara, sarana atau siasat yang berdasarkan ajaran Islam.

2.1.7 Indikator tingkat spiritualitas

Indikator spiritual menurut Burkhandt, (1993) dalam Nilamastuti, (2016)

meliputi:

1. Hubungan dengan diri sendiri

Hubungan diri sendiri merupakan kekuatan yang timbul dari diri

seseorang untuk membantu menyadari makna dan tujuan hidup, seperti

meninjau pengalaman hidup sebagai pengalaman positif, kepuasan hidup,

optimis terhadap masa depan, dan tujuan hidup yang jelas.

2. Hubungan dengan orang lain

xliii
Hubungan dengan orang lain terdapat hubungan harmonis dan tidak

harmonis. Keadaan harmonis sendiri meliputi pembagian waktu,

pengetahuan dan sumber, mengasuh anak, mengasuh orang tua dan

mengasuh orang-orang yang sakit, serta meyakini kehidupan dan kematian.

Sedangkan kondisi yang tidak harmonis yaitu konflik dengan orang lain.

Hubungan dengan orang lain lahir dari kebutuhan akan keadilan dan

kebaikan, menghargai kelemahan dan kepekaan orang lain, rasa takut akan

kesepian, keinginan dihargai dan diperhatikan, dan lain sebagainya.

Dengan demikian apabila seseorang mengalami kekurangan ataupun

mengalami stres, maka orang lain dapat memberi bantuan psikologis dan

sosial.

3. Hubungan dengan alam

Harmoni merupakan gambaran hubungan seseorang dengan alam yang

meliputi pengetahuan tentang tanaman, pohon, margasatwa, iklim dan

berkomunikasi dengan alam serta melindungi alam tersebut.

4. Hubungan dengan Tuhan

Hubungan dengan Tuhan meliputi agama dan luar agama. Keadaan ini

menyangkut sembahyang dan berdoa, keikutsertaan dalam kegiatan ibadah,

perlengkapan keagamaan, serta bersatu dengan alam. Disimpulkan bahwa

ketika seseorang telah terpenuhi kebutuhan spiritualnya, apabila sudah mampu

merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya di dunia

atau pada kehidupan, mengembangkan arti suatu penderitaan serta meyakini

hikmah dari satu kejadian atau penderitaan, menjalin hubungan yang positif

xliv
maupun dinamis, membina integritas personal dan merasa diri sendiri

berharga, merasakan kehidupan yang terarah dan melakukan hubungan antar

manusia yang positif.

2.1.8 Pengukuran Tingkat Spiritualitas

Alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat spiritual

pada individu adalah Daily Spiritual Experience Scale (DSES), untuk

mengukur pengalaman spiritual yang biasa dilakukan setiap hari. DSES

terdiri dari 15 item, termasuk konstruksi seperti rasa takut, rasa syukur,

pengampunan, rasa persatuan dengan transenden, cinta kasih, dan keinginan

untuk kedekatan dengan Allah. Prosedur ini adalah untuk menghasilkan

model dua faktor: Faktor 1 ditetapkan sebagai hubungan vertikal (Tuhan atau

Transenden), yang terdiri dari 12 item (misalnya, Pertemuan pada agama atau

spiritualitas). Faktor 2 dicirikan sebagai hubungan horizontal (manusia atau

orang lain), yang terdiri dari tiga item (misalnya, Saya merasa peduli tanpa

pamrih pada orang lain). Skala diukur pada 6 jenis skala Likert: 6 = berkali-

kali sehari, 5 = setiap hari, 4 = hampir setiap hari, 3 = beberapa hari, 2 =

sekali-sekali, dan 1 = tidak pernah atau hampir tidak pernah, dengan skor:

Rendah = 15-39, Sedang = 40-64, Tinggi = 65-90 (Underwood, 2002 dalam

Nilamastuti, 2016).

Kriteria tersebut menjelaskan apabila seseorang merasakan

pengalaman spiritual dengan skala seringkali (>1 kali/hari) dalam kehidupan

sehari-harinya maka tingkat spiritualitasnya tinggi dan juga begitu sebaliknya.

Pengalaman spiritualitas yang dirasakan seseorang setiap hari (1 kali/hari)

dan hampir setiap hari (5-6 kali/minggu) maka sudah jelas tingkat

xlv
spiritualitasnya akan tinggi, jika pengalaman spiritualitas yang dirasaka

seseorang kadang-kadang (3-4 kali/minggu ) dan jarang ( 1 – 2 kali/minggu )

maka tingkat spiritualitas dari seseorang tersebut sedang. Apabila seseorang

mengalami pengalaman spiritualitas hampir tidak pernah (< 1 kali/minggu)

makan tingkat spiritualitasnya rendah (Permatasari, 2017).

xlvi
2.2 Kesejahteraan Psikologis atau Psychological Well Being (PWB)

2.2.1 Definisi Kesejahteraan Psikologis

Kesejahteraan psikologis adalah kebahagiaan yang muncul karena terpenuhinya

seluruh kebutuhan primer seseorang berdasakan hasil pergulatan individu dengan

dinamika hidupnya. Pengalaman-pengalaman individu baik yang negatif maupun

posistif menjadikan individu tersebut mampu mengaktualisasikan dirinya. Kebahagiaan

dalam arti ini diukur berdasarkan keseimbangan antara afek positif dan negatif

(Bardburn; Diener & Larsen, dalam Widyasinta, 1997). Menurut Ryff (1989)

kesejahteraan psikologis seseorang dalam dimensi keterarahan hidup tercermin dari

sejauh mana ia memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan hidup dan memiliki

makna terhadap hidup yang sekarang dijalaninya dan masa lalu.

Kesejahteraan hakikatnya merupakan kondisi dimana individu mencapai

kebahagian dan keselarasan hidup dalam seluruh dimensi, baik dilihat dari dimensi

fisik, intelektual, sosial, spiritual, mental, okupasional (Michalos dalam Singh & Arora,

2010; Kitko, 2001).

2.2.2 Dimensi Kesejahteraan Psikologis

Ryff dan Singer (2006) mengemukakan enam dimensi dari kesejahteraan psikologis
yaitu :

1. Penerimaan diri (self-acceptance)

Penerimaan diri merupakan salah satu karakter dari individu yang

mengaktualisasikan dirinya dimana mereka dapat menerima dirinya apa adanya,

memberikan penilaian yang tinggi pada individualitas dan keunikan diri sendiri.

Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri

47
apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, menghargai dan

menerima berbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri yang baik maupun

yang buruk.

Selain itu, orang yang memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat

merasakan hal yang positif dari kehidupannya di masa lalu (Ryff, 1995) Sebaliknya,

seorang dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri apabila

ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah

terjadi pada kehidupannya di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu

dari dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri

(Ryff, 1995).

2. Hubungan positif dengan orang lain ( positive relations with others )

Dimensi penting lain dari kesejahteraan psikologis adalah kemampuan

individu untuk membina hubungan yang positif dengan orang lain. Sehingga mampu

untuk membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain.

Selain itu, individu tersebut memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain,

dapat menunjukkan empati, afeksi, dan intimitas, serta memahami prinsip memberi

dan menerima dalam hubungan antar pribadi (Ryff, 1995). Sebaliknya, Ryff (1995)

mengemukakan bahwa seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif

dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan

dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, peduli, dan terbuka dengan orang lain,

terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak

berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang

lain.

48
3. Otonomi ( autonomy )

Dimensi otonomi menyangkut kemampuan untuk menentukan nasib sendiri

(self-determination), bebas dan memiliki kemampuan untuk mengatur perilaku

sendiri. Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik

antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self determining) dan

mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan

orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam mengahadapi tekanan

sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri

dengan standar personal (Ryff, 1995). Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki

otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi

dari orang lain, berpegangan pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan

penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial (Ryff, 1995).

4. Penguasaan lingkungan (enviromental mastery)

Kemampuan individu untuk memilih, menciptakan dan mengelola lingkungan

agar sesuai dengan kondisi psikologisnya dalam rangka mengembangkan diri.

Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan

kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan berbagai aktifitas

eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan

situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya,

serta mampu memilih dan menciptkan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan

nilai-nilai pribadi. Sebaliknya, seseorang yang memiliki penguasaan lingkungan yang

kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa

tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya,

kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya, dan kurang

memiliki kontrol terhadap lingkungan (Ryff, 1955).

49
5. Tujuan hidup (Purpose in life)

Adanya tujuan hidup yang jelas merupakan bagian penting dari karakteristik

individu yang memiliki kesejahteraan psikologis. Kondisi mental yang sehat

memungkinkan individu untuk menyadari bahwa ia memiliki tujuan tertentu dalam

hidup yang dijalaninya serta mampu untuk memberikan makna pada kehidupannya.

Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup memiliki

rasa keterarahan (directedness) dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu

dan masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki

tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup. Sebaliknya, seseorang yang kurang

memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, memiliki sedikit tujuan hidup,

kehilangan rasa keterarahan dalam hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan

tujuan hidup, serta tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya di masa lalu

(Ryff, 1995)

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Bagaimana individu memandang dirinya berkaitan dengan harkat manusia

untuk selalu tumbuh dan berkembang. Seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi

yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang

berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang

selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru,

memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan

peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat

berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki pengetahuan yang bertambah

(Ryff, 1995). Sebaliknya, seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang

50
baik akan merasa dirinya mengalami stagnasi, tidak melihat peningkatan dan

pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta

merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang baik (Ryff,

1995).

2.2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Menurut Ryff dan Singer (1996) ada faktor-faktor yang mempengaruhi kesejahteraan

psikologis seseorang, yaitu :

1. Usia

Dimensi hubungan positif dengan orang lain mengalami peningkatan seiring

dengan bertambahnya usia. Sebaliknya dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi

memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia.

2. Jenis Kelamin

Penelitian Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria,

wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan

orang lain dan dimensi pertumbuhan

3. Status Sosial Ekonomi

Perbedaan kelas sosial mempengaruhi kondisi kesejahteraan psikologis seorang

individu. Mereka yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih

positif terhadap diri sendiri dan masa lalunya, memiliki rasa keterarahan dalam hidup

dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

51
4. Budaya

Dari hasil penelitian tentang kesejahteraan psikologis yang dilakukan di Korea

selatan menunjukkan bahwa responden di korea selatan memiliki skor yang lebih tinggi

pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi

penerimaan diri. Hal itu disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif

dan saling ketergantungan. Menurut Ryff & Keyes (2002) kebahatmgiaan adalah

outcome variable dari kesejahteraan psikologis.

5. Dukungan Sosial

Dukungan sosial merupakan gambaran ungkapan prilaku suportif (mendukung)

yang diberikan seseorang individu kepada individu lain yang memiliki keterikatan dan

cukup bermakna dalam hidupnya. Dukungan sosial dari orang-orang yang bermakna

dalam kehidupan seseorang dapat memberikan peramalan akan well-being seseorang

(Robinson 1983; Lazarus 1993). Dukungan sosial yang diberikan bertujuan untuk

mendukung penerima dalam mencapai tujuan dan kesejahteraan hidup. Adanya

interaksi yang baik dan memperoleh dukungan dari rekan kerja akan mengurangi

munculnya konflik dan perselihan ditempat kerja (Chaiprasit,2011). Davis (dalam

Robinson & Andrew, 1991) menemukan bahwa orang-orang yang memperoleh

dukungan sosial memiliki kesejahteraan psikologis yang lebiih tinggi. Bahwa dukungan

sosial dari lingkungan sekitar individu akan sangat mempengaruhi kesejahteraan

psikologis yang dirasakan oleh individu tersebut. Dukungan sosial dapat membantu

perkembangan pribadi yang lebih positif maupun memberikan dukungan pada individu

dalam berhadapan dengan masalah-masalah di kehidupannya. Jaringan sosial yang baik

dan menjaga kualitas hubungan sosial dengan lingkungan akan mengurangi munculnya

52
konflik dan meningkatkan kesejahteraan psikologis dalam hidup. (Wang & Kanungo,

2004).

2.2.4 Pengukuran Kesejahteraan Psikologis

Ryff’s Psychological Well-Being Scale (RPWB) merupakan alat ukur yang

dikembangkan oleh Carol Ryff pada tahun 1989. Alat ukur ini didasarkan pada 6

dimensi yang menerangkan aspek-aspek dari positive functioning psychology (Ryff,

1989), dimana keadaan positive functioning psychology seseorang dapat pula

menjelaskan kesejahteraan psikologisnya (psychological well-being). Versi asli dari

alat ukur ini berjumlah 20 aitem dari setiap dimensi yang ada, sehingga total aitem

dari versi asli alat ukur ini berjumlah 120 aitem. Seiring bertambahnya waktu Ryff

membuat beberapa versi berbeda dari alat ukur ini, dimana aitem dari tiap-tiap

dimensinya berjumlah 14,9, dan 3 aitem. Dalam pengujian psikometrik kali ini

peneliti menggunakan versi alat ukur dengan 9 aitem tiap dimensinya ( total

berjumlah 54 aitem). Alat ukur ini berbahasa asli yaitu Bahasa Inggris, sebelum

pengujian psikometrik, alat ukur ditranslasi terlebih dahulu kedalam Bahasa

Indonesia. Proses translasi dibantu oleh 2orang ahli dalam bidang Bahasa Inggris,

dimana translator memberikan penilaian pada hasil terjemahan dan memberikan saran

perbaikan, selanjutnya hasil terjemahan alat ukur diberikan pada 2 orang calon

partisipan sebagai pengujian apakah bahasa yang digunakan, telah dipahami

maksudnya oleh partisipan nantinya (face validity). Prosedure pengisian dilakukan

dengan memilih salah satu dari 6 pilihan jawaban (Skala Likert), yaitu : (1) Sangat

Tidak Setuju, (2) Tidak Setuju, (3) Cukup Tidak Setuju, (4) Cukup Setuju, (5) Setuju,

(6) Sangat Setuju.

The Oxford Happines Questionairre (OHQ) merupakan alat ukur yang

digunakan untuk mengukur kebahagiaan personal (personal happiness). Alat ukur ini

53
merupakan pengembangkan dari The Oxford Happiness Inventory (OHI).

Dikembangkan oleh Peter Hills dan Michael Argyle (1998). Tidak hanya mengukur

dalam kebahagiaan personal namun alat ukur ini juga menggambarkan tingkat

kepuasan hidup seseorang (Hills, 2002). Total aitem berjumlah 29 dan termasuk

dalam skala Likert. Terdapat 6 pilihan jawaban, yaitu : (1) Sangat Tidak Setuju, (2)

Tidak Setuju, (3) Cukup Tidak Setuju, (4) Cukup Setuju, (5) Setuju, (6) Sangat setuju.

Tingkat relibilitas alat ukur ini yakni 0.92 dan tingkat validasi 0.26 s/d 0.69 dengan ρ

< 0.001. OHQ digunakan sebagai alat ukur pembandingan dikarenakan kesamaan

pengujian dengan RPWB, yakni sama-sama digunakan untuk well-being

2.3 Hubungan Spiritualitas dan Kesejahteraan Psikologis atau Psychological Well

Being (PWB)

Kesejahteraan psikologis adalah suatu kondisi seseorang yang bukan hanya

bebas dari tekanan atau masalah-masalah mental saja, tetapi lebih dari itu yaitu kondisi

seseorang yang mempunyai kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di

masa lalu (self-acceptance), pengembangan atau pertumbuhan diri (personal growth),

keyakinan bahwa hidupnya bermakna dan memiliki tujuan (purpose in life), memiliki

kualitas hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), kapasitas

untuk mengatur kehidupannya dan lingkungannya secara efektif (environmental

mastery), dan kemampuan untuk menentukan tindakan sendiri (autonomy)(Ryff 1989).

Spiritualitas merupakan refleksi keilahian dalam konsep sufi yang meyakini

bahwa dalam diri manusia ada natur ketuhanan yang disebut lahut. Untuk mencapai

dimensi transenden manusia perlu mengaktifkan bakat spiritualnya. Menjadi spiritual

tidak hanya membutuhkan diri sendiri, menjadi spiritual juga membutuhkan keberadaan

orang lain, alam sekitar dan pendekatan yang tekun kepada Ilahi. Individu yang bisa

54
menjalin hubungan positif dengan orang lain biasanya cukup baik dalam mengelola

emosi.

Lingkungan berisi alam dan kehidupan manusia. Hubungan interpersonal yang

akan berperan sebagai output dari spiritual seperti memperhalus rasa jiwa spiritual

dengan tindakan saling menghargai, saling mencintai, saling memaafkan, saling

memahami perbedaan, dan lain sebagainya. Apabila seluruh dimensi kesejahteraan

psikologis terpenuhi, seseorang tidak hanya sekedar dikatakan sejahtera namun juga

dikatakan memiliki spiritual yang tinggi. Pada dimensi kesejahteraan psikologis terdapat

kesadaran tentang autonomy, pertumbuhan pribadi, penerimaan diri (self acceptance),

sedangkan dengan spiritual orang menggunakan kesadarannya untuk dapat mengenal diri

dan hidup harmoni dalam kehidupan.

Saat seseorang mampu hidup harmoni dengan kehidupan, yang ada di dalam

dirinya adalah penerimaan tentang realitas termasuk penerimaan diri (self acceptance)

sendiri. Diri yang rela akan menjadi subyek dan obyek bagi divine. Dimana penerimaan

tersebut tumbuh karena diri mendapatkan kekuatan (strength) dan kenyamanan

(comfort) yang timbul dari aspek spiritual connection. of divine love. Dengan spiritual

diri menyadari adanya intervensi dan transenden yang mengendalikan seluruh kinerja

semesta beserta isinya ini termasuk dalam aspek divine guidance. Spiritual menjadikan

seorang bisa menerima kehendak realitas.

Pertumbuhan pribadi (Personal growth) saling berhubungan dengan aspek

connection. Ada tiga alat ukur dari aspek tersebut yaitu: strenght and comfort, perception

of divine love, divine help, dan divine guidance merupakan aspek- aspek yang mewakili

keterhubungan manusia dengan Ilahi. Mendekat pada Ilahi adalah konsep kunci dalam

tradisi Muslim (Lotfy, 1998). Bagi kaum Muslim tujuan hidup adalah beribadah kepada

55
Allah subhanahu wa ta’ala. Kesempatan melihat Dzat Allah adalah nikmat yang tiada

tara. Seseorang yang ingin menjadi pribadi yang lebih baik dalam konsep tradisi muslim

adalah menjadikan Allah pemilik dimensi transenden sebagai tujuan dari hidupnya.

Semakin ia dekat dengan transenden ia akan merasakan kedamaian (peace) di dalam

hatinya.

Menjadi spiritual sama halnya dengan mengimplementasikan dimensi- dimensi

kesejahteraan psikologis. Seperti yang dikatakan Nelson (2009) spiritualitas yang sehat

dapat menjadikan hidup seseorang begitu bermakna, punya tujuan mulia, berintegrasi

tinggi dan penuh tanggung jawab atau membuat hidup berkah, bahagia, dan sentosa.

Orang yang telah menempuh perjalanan spiritual memiliki kepribadian tidak bergantung

pada selain Allah. Seorang spiritual memelihara berhubungan baik dengan Allah,

memelihara hubungan baik dengan sesama manusia, dan memelihara berhubungan baik

dengan alam. Spiritual mendorong manusia untuk menata diri maupun mengenal diri.

Mengenal diri menjadikan seseorang lebih autonomy yang berarti tidak mudah

dipengaruhi oleh hal-hal lain di luar diri. Mengetahui apa-apa yang perlu untuk ada atau

di cari dan membatasi keinginan-keinginan yang semu. Menjadi pendorong pertumbuhan

pribadi seseorang. Proses mengenal diri inilah yang menjadi outuput dari aspek

connection menuju pribadi autonomy.

Terlatih menghadapi diri sendiri memudahkan diri untuk memyesuaikan diri

dengan lingkungan. Spiritualitas yang matang akan mengantarkan seseorang bisa

menempatkan diri pada tempat yang sesuai atau pas dan melakukan apa yang seharusnya

dilakukan, serta mampu menemukan hal-hal yang ajaib (Aman, 2013).

56
2.4 Lansia

2.4.1 Definisi Lansia

Manusia lanjut usia (manula) merupakan populasi penduduk yang berumur tua

dengan kelompok usia 60 tahun atau lebih (Bustan, 2012). Menurut (Fatmah, 2015) lansia

merupakan proses alamiah yang terjadi secara berkesinambungan pada manusia dimana

ketika menua seseorang akan mengalami beberapa perubahan yang pada akhirnya akan

mempengaruhi keadaan fungsi dan kemampuan seluruh tubuh.

Istilah manusia usia lanjut belum ada yang mematenkan sebab setiap orang memiliki

penyebutannya masing-masing seperti manusia lanjut usia (manula), manusia usia lanjut

(lansia), usia lanjut (usila), serta ada yang menyebut golongan lanjut umur (glamur)

(Maryam, 2013).

2.4.2 Proses Menua

Proses menua merupakan proses fisiologis tubuh pada setiap manusia (Darmojo,

2014). Proses menua ini ditandai dengan proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk

memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya sehingga tubuh

tidak mampu mempertahankan dirinya terhadap infeksi serta tubuh tidak mampu

memperbaiki kerusakan yang diderita (Azizah, 2011).

Penuaan akan mengakibatkan penurunan kondisi anatomis dan sel akibat

menumpuknya metabolit dalam sel. Metabolit bersifat racun terhadap sel sehingga bentuk

dan komposisi pembangun sel akan mengalami perubahan. (Azizah, 2011). Seiring dengan

meningkatnya usia, sistem kerja pada jantung dan pembuluh darah pun akan mengalami

perubahan dari segi struktur dan fungsinya. Perubahan pada lansia khususnya sistem kerja

pada jantung meliputi perubahan pada ventrikel kiri dan katup jantung yang mengalami

penebalan dan membentuk tonjolan, jumlah sel pacemaker mengalami penurunan yang mana

57
implikasi klinisnya akan menimbulkan disritmia pada lansia, kemudian terdapat arteri dan

vena yang menjadi kaku ketika dalam kondisi dilatasi sehigga katup jantung tidak kompeten

yang akibatnya akan menimbulkan implikasi klinis berupa edema pada ekstremitas

(Stanley & Beare, 2016).

Lansia dapat mengalami perubahan struktur pada jantung. Ketebalan dinding ventrikel

cenderung meningkat akibat adanya peningkatan densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat

elastis. Sehingga dapat berdampak pada kurangnya kemampuan jantung untuk berdistensi.

Pada permukaan di dalam jantung seperti pada katup mitral dan katup aorta akan mengalami

penebalan dan penonjolan di sepanjang garis katup. Obstruksi parsial terhadap aliran darah

selama denyut sistole dapat terjadi ketika pangkal aorta mengalami kekakuan sehingga akan

menghalangi pembukaan katup secara sempurna (Stanley & Beare, 2016).

Perubahan struktural dapat mempengaruhi konduksi sistem jantung melalui

peningkatan jumlah jaringan fibrosa dan jaringan ikat. Dengan bertambahnya usia, sistem

aorta dan arteri perifer menjadi kaku. Kekakuan ini terjadi akibat meningkatnya serat kolagen

dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Proses perubahan akibat penuaan ini

akan menyebabkan terjadinya ateriosklerosis yaitu terjadinya peningkatan kekakuan dan

ketebalan pada katup jantung (Stanley & Beare, 2016).

Proses penuaan ini mampu menjadikan lansia mengalami perubahan fungsional dari

sudut pandang sistem kardiovaskuler. Dimana perubahan utama yang terjadi adalah

menurunnya kemampuan untuk meningkatkan keluaran sebagai respon terhadap peningkatan

kebutuhan tubuh. Seiring bertambahnya usia denyut dan curah jantung pun mengalami

penurunan, hal itu terjadi karena miokardium pada jantung mengalami penebalan dan sulit

untuk diregangkan. Katup-katup yang sulit diregangkan inilah yang dapat menimbulkan

58
peningkatan waktu pengisian dan peningkatan tekanan diastolik yang diperlukan untuk

mempertahankan preload yang adekuat (Stanley & Beare, 2016).

2.4.3 Karakteristik dan Klarifikasi Lansia

1. Karakteristik Lansia

Menurut (Maryam, 2013) karakteristik lansia disebutkan menjadi 3

diantaranya adalah:

1) Seseorang yang berusia lebih dari 60 tahun (sesuai dengan Pasal 1 ayat (2) UU

No.13 tentang kesehatan)

2) Variasi lingkungan tempat tinggalnya

3) Masalah dan kebutuhan lansia yang beragam

2. Klasifikasi Lansia

Menurut Word Health Organization (WHO), klasifikasi lansia dibedakan

menjadi 4 kelompok usia diantaranya adalah :

1) Usia Pertengahan (Middle Age): Usia 45-59 Tahun

2) Usia Lansia (Elderly): Usia 60-74 Tahun

3) Usia Lansia Tua (Old): Usia 75-90 Tahun

4) Usia Sangat Tua (Very Old): Usia Diatas 90 Tahun

59
2.5 KERANGKA KONSEP

Faktor Faktor spiritualitas


Lansia
kesejahteraan
1. Tahap
psikologis perkembangan
2. Keluarga
1. Usia
3. Latar belakang
2. Jenis
etnik dan budaya
kelamin
4. Krisis dan
3. Status sosial perubahan
Kesejahteraan Tingkat
ekonomi 5. Perpisahan
psikologis Spiritualitas
4. Budaya 6. Isu moral
5. Dukungan
sosial (Taylor et al, 1997)

Tingkat spiritualitas

1. Ammarah
2. Lawwamah
3. Mulhiman
4. Muthma’innah
5. Radhiyah
6. Mardhiyah
7. Safiyah
keterangan :
(Hasan, 2006)
1. = Diteliti
Dukungan
2. = Diteliti spiritualitas
3. = Berpengaruh 1. Hubungan
dengan diri
sendiri
2. Hubungan
dengan sesama
3. Hubungan
dengan
lingkungan
4. Hubungan
dengan tuhan

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan


Kesejahteraan Psikologis Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang
Kabupaten Mojokerto.

60
2.6 HIPOTESIS PENELITIAN

Ada hubungan antara spiritualitas dengan kesejahteraan psikologis pada lansia di

Dsn. Ketegan Ds. Gondang Mojokerto

61
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode analisis

regresi linier sederhana. Menurut Arikunto (2010) penelitian kuantitatif adalah

penelitian yang banyak menggunakan angka-angka, mulai dari pengumpulan data,

penafsiran terhadap data serta penampilan dari hasilnya.

Metode analisis regresi linier sederhana merupakan metode penelitian yang

digunakan untuk menggambarkan masalah yang sedang terjadi pada masa sekarang

atau yang sedang berlangsung, bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang sedang

terjadi sebagaimana mestinya pada saat penelitian dilakukan. Penelitian ini

merupakan penelitian yang mendeskripsikan suatu gejala atau fenomena yang terjadi

di PKK Cenderawasih I Dusun Ponjen Desa Kencong.

Rancangan Penelitian

Tingkat Spiritualitas Kesejahteraan psikologis

Gambar 3.1 Skema penelitian

62
3.2 Kerangka kerja

Populasi
Semua lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten
Mojokerto yang berjumlah 38

Sampel
Sebagian lansia di Dsn. Ketegan Ds. Gondang Kabupaten
Mojokerto yang berjumlah 35

Sampling
Probability Sampling dengan jenis Random Sampling

Pengumpulan Data
Kuesioner untuk tingkat spiritualitas (DSES) dan kuesioner tingkat
kesejahteraan psikologis ( RPWB)

Analisa Data
Setelah data terkumpul dilakukan Editing, Coding, Scoring, dan
Tabulating menggunakan Uji Korelasi Spearman.

Hasil dari pembahasan

Kesimpulan Saran

Gambar 3.2 kerangka kerja penelitian Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan


Kesejahteraan Psikologis Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten
Mojokerto.

63
3.3 Sampling Desain

3.3.1 Populasi

Populasi dalam penelitian dengan judul Hubungan Tingkat Spiritualitas

Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang

Kabupaten Mojokerto adalah semua lansia yang ada di Dusun Ketegan Desa Gondang

Kabupaten Mojokerto dengan jumlah 38 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah sebagain dari keseluruhan obyek yang diteliti, yang dianggap

mewakili seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di

Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto. Kriteria dalam penelitian ini

adalah :

Kriteria inklusi responden dalam penelitian ini:

1. Semua lansia yang bersedia menjadi responden

2. Semua lansia yang hadir pada saat penelitian

Kriteria eksklusi responden dalam penelitian ini:

1. Lansia yang tidak bersedia menjadi responden

2. Lansia yang tidak hadir atau izin saat pengumpulan data dilakukan

Berdasarkan perhitungan besar sampel menggunakan rumus :

N
n= 2
N . d +1

Keterangan :

n = jumlah sampel

N = jumlah seluruhlansia

64
d2 = tingkat signifikan (0,05)

Berdasarkan rumus tersebut maka diperoleh jumlah sampel sebagai berikut :

N 38
n= = 2
=35 responden
N . d +1 ( 38 ) . 0,05 +1
2

Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini ( n = 35)

3.3.3 Teknik Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan Probability Sampling

dengan jenis Random Sampling.

probability sampling adalah setiap subjek dalam populasi mempunyai kesempatan

untuk terpilih atau tidak terpilih sebagai sampel. Simple random sampling adalah

pemilihan sampel dengan cara menyeleksi sampel secara acak, cara ini merupakan

jenis probabilitas yang paling sederhana (Nursalam, 2015).

3.4 Identifikasi Variabel

Menurut Arikunto (2010) variabel adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan

objek penelitian. Azwar (2006) mengemukakan identifikasi variabel merupakan

langkah penetapan variabel-variabel utama dalam penelitian dan penentuan

fungsinya masing-masing. Dalam penelitian ini, terdapat dua variabel yang akan

diteliti, yaitu:

3.4.1 Variabel Independent

Variabel X (Bebas) dalam penelitian ini adalah Tingkat Spiritualitas pada lansia

3.4.2

Variabel Dependent

65
Variabel Y (Terikat) dalam penelitian ini adalah Kesejahteraan Psikologis pada

lansia

3 .5 Definisi Operasional

Tabel 3.1 Definisi Operasional Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan

Kesejahteraan Psikologis Pada Lansia di Dusun. Ketegan Desa.Gondang, Mojokerto.

Variabel Definisi Indikator Instrumen Skala Skor

Operasional / Alat

Ukur

Independen : Keyakinan 1.Vertikal Kuesioner Ordinal 1.Nilai 15-

Tingkat seseorang (hubungan DSES 40 =

Spriritualitas dengan dengan tuhan) (Daily Tingkat

Tuhan, 2.Horizontal Spiritual spiritualitas

lingkungan, (hubungan Experienc rendah

diri sendiri dengan e Scale) 2.Nilai 41-

dan orang manusia) 65 Tingkat

lain. spiritualitas

sedang

3.Nilai 66-

88 = tingkat

spiritualitas

tinggi

66
Dependent : Kesejahteraa 1. Penerimaan Kuesioner Ordinal Skor untuk

Kesejahteraan n psikologis diri RPWB pertanyaan

Psikologis adalah 2. Hubungan (Ryff’s kesejahteraa

kematangan positif dengan Psycholog n Psikologis

psikologis, orang lain ical Well- Lansia

dan sosial 3. Otonomi Being 1.Sangat

yang proses 4. Penguasaan Scale) Setuju = 5

terbentuknya lingkunan 2.Setuju = 4

melalui 5. Tujuan hidup 3.Netral = 3

lingkungan, 6. Pertumbuhan 4.Tidak

kondisi pribadi Setuju = 2

ekonomi, 5.Sangat

dalam suatu Tidak

kurun waktu Setuju = 1

tertentu.

Baik : Jika

nilai skor

13-18

Cukup :

Jika nilai

skor 7-12

Kurang :

Jika nilai

67
skor 0-6

3.6 Pengumpulan data


3.6.1 Proses pengumpulan data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subyek dan proses

pengumpulan data karakteristik yang diperlukan dalam suatu penelitian (Nursalam,

2003).

1. Proses pengumpulan data

Setelah didapatkan jumlah sampel yang sesuai, kemudian peneliti melakukan

Informed Concent pada lansia. Sebelum peneliti memberikan kuesioner terkait tingkat

spiritualitas untuk melihat nilai tingkat spiritualitas peneliti lebih dahulu

memperkenalkan identitas dan menjelaskan tujuan peneliti. Setelah itu peneliti

menjelaskan cara pengisian kuesioner. Setelah data terkumpul peneliti mengolah data

tersebut.

2. Instrumen

Instrument dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner

3. Waktu dan tempat

Pengumpulan data dilaksanakan pada bulan April 2022 di Dusun Ketegan Desa

Gondang Kecamatan Gondang Kabupaten Mojokerto.

3.6.2 Analisa Data

Analisa data merupakan bagian yang sangat penting untuk mencapai tujuan

dimana pokok penelitian adalah menjawab pertanyaan – pertanyaan peneliti dalam

mengungkap fenomena (Nursalam, 2013). Setelah jawaban terkumpul maka

68
dilakukan pengolahan data melalui tahapan editing, coding, scoring, dan

tabulating.

1. Editing

Jawaban responden melalui kuesioner diperiksa kembali apakah terdapat kekeliruan

dalam pengisian.

2. Coding

Setelah proses editing selesai, selanjutnya dilakukan coding dengan member kode

terhadap kuesioner yang sudah terkumpul dengan menggunakan angka. Hal ini

dimaksudkan agar lebih mudah melakukan tabulasi dan analisa data. Setiap kategori

yang berbeda di beri kode yang berbeda.

a. Usia (Menurut WHO)

Usia pertengahan (middle age) 45 -59 tahun = Kode 1

Lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun = Kode 2

Lanjut usia tua (old) 75 – 90 tahun = Kode 3

Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun = Kode 4

b. Jenis Kelamin

Laki – laki = Kode 1

Perempuan = Kode 2

c. Pendidikan

Tidak Sekolah = Kode 1

SD = Kode 2

69
SMP = Kode 3

SMA = Kode 4

Perguruan Tinggi = Kode 5

d. Pekerjaan

PNS = Kode 1

Wiraswasta = Kode 2

Petani/Buruh = Kode 3

Tidak Bekerja = Kode 4

Lain-lain = Kode 5

3. Scoring

Scoring dilakukan setelah kuesioner terkumpul dari responden dan peneliti. Kuesioner

ini terdiri dari 21 pertanyaan, mencakup 16 pertanyaan Kesejahteraan Psikologis, 15

pertanyaan tentang Tingkat Spiritualitas. Untuk variabel tingkat spiritualitas kuesioner

ini menggunakan skala ordinal dengan skor nilai 15-40 = tingkat spiritualitas rendah,

nilai 41-65 = tingkat spiritualitas sedang, nilai 66-88 = tingkat spiritualitas tinggi.

4. Tabulating

Pada tabulasi ini, data disajikan dalam bentuk tabel yang terdiri dari beberapa baris

dan kolom yang digunakan untuk memaparkan sehingga mudah dibaca dan di

mengerti. Untuk menganalisis Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Kesejahteraan

Psikologis Pada Lansia di Dusun. Ketegan Desa.Gondang, Kabupaten Mojokerto.

menggunakan uji korelasi spearman yang bertujuan untuk melihat hubungan antar

variabel. Taraf signifikansi yang digunakan pada uji korelasi spearman 0,05. Yang

artinya jika hasil analisis penelitian didapatkan nilai ρ < 0,05 maka hipotesa diterima

yang berarti ada hubungan antara tingkat spiritualitas dengan kesejahteraan pada

lansia di Dusun Ketegann Desa Gondang Kabupaten Mojokerto. dan jika ρ > 0,05

70
hipotesa ditolak artinya tidak ada hubungan tingkat spiritualitas dengan kesejahteraan

psikologis pada lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto.

3.7 Etika Penelitian

1. Informed Consent (Lembar Persetujuan)

Lembar persetujuan diberikan pada subjek yang akan diteliti. Kemudian peneliti

menjelaskan maksud dan tujuan penelitian yang akan dilakukan, serta dampak yang

mungkin terjadi selama maupun sesudah pengumpulan data. Jika responden bersedia

diteliti, maka memperbolehkan responden untuk menandatangani persetujuan, jika

responden menolak untuk diteliti, tidak akan memaksa dan tetap menghormati hak-

haknya.

2. Anonimity (Tanpa Nama)

Untuk menjaga kerahasiaan identitas subjek, peneliti tidak akan mencantumkan nama

subjek pada lembar pengumpulan data (kuisioner) yang diisi oleh subjek. Lembar

tersebut hanya diberi nomor dengan kode tertentu.

3. Confidentiality (Kerahasiaan)

Kerahasiaan informasi yang diberikan oleh subjek dijamin oleh peneliti. Hanya

kelompok data tertentu saja yang akan disajikan sebagai hasil riset.

71
Daftar pustaka

Hills, Petter & Michael Argyle. 2002. The Oxford Happiness Questionnaire: A Compact
Scale for The Measurement of Psychological Well-Being. Personality and
Individual Difference. 33(2002): 1073-1082
Ryff, Carol D. 1989. Happiness is Everything, or is it ? Exploration on the Meaning of
Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology. Vol. 57,
No. 6, 1069-1081
Nelson, James. (2009). Psychology, Religion, and Spirituality. Valpariso, USA: Springer
Science + Bussiness Media, LLC.
Syamsuddin, & Azman, A. (2012). Memahami Dimensi Spiritualitas dalam Praktek
Pekerjaan Sosial (Understanding the Dimension of Spirituality in Social Work
Practice). 17(2), 114.
Witono, T. (2012). Spiritualitas dan agama dalam usaha kesejahteraan sosial di Indonesia.
Jurnal Ilmu Kesejahteraan Sosial. 1(1), 119-139
Ingersoll, R. Elliott & Bauer, Ann L. (2004). An Integral Approach to Spiritual Wellness in
School Counseling Settings. Journal Professional School Counseling: ASCA. 7:5.
Anandarajah G, Hight E (2001). Spirituality and medicalpractice: Using the HOPE questions
as a practical tool for spiritual assessment. Am Family Physician, 63, 81-9.
McGinn, B. (1993). The letter and the spirit: spirituality as an academic discipline. Christian
Spirituality Bulletin. l(2):2-9.
Underwood, L. G., & Teresi, J. A., (2002). The Daily Spiritual Experience Scale:
Development, Theoretical Description, Reliability, Explanatory Factor Analysis,
and Preliminary Construct Validity Using Health-Related Data. 24(1), 22-23.
Kozier, B., Erb., K., & Wilkinson, J.M. (1995). Fundamental of Nursing; Concept, Process
and Practice, edisi 5. Redwood City; Addison-Wesley.
Pasiak. (2012). Spiritualitas dan Integrasi Spiritualitas dalam Pendidikan Kedokteran.
disampaikan pada Seminar Pemantapan Ekspresi Kecerdasan Spiritual melalui
Pendekatan Agama dari Filsafat dan Pendidikan. Komisi Imtak Graha Masyarakat
Ilmiah Kedokteran & FMI. Fakultas Kedokteran Unair.
Ryff, Carol D. (1989). Happiness Is Everything, or Is It? Explorations on the Meaning of
Psychological Well-Being. Journal of Personality and Social Psychology. 57(6),
1069-1081. American Psychological Association, Inc.
Ryff. C dan Corey Lee M. Keyes. (1995). The structure of psychological well- being
revisited. Journal of Personaity & Social Psychology, 69(4), 719-727.

72
Aman, Saifuddin. (2013). Tren Spiritualitas Milenium Ketiga. Cetakan Pertama.
Tangerang: Ruhama.

Azwar, Zainul (2010). Metode penelitian.

Nursalam. 2013. Metode Penelitian Ilmu Keperawatan Pendekatan Praktis (Edisi 4).
Jakarta:Salemba Medi
Dinkes RI (2011) Jumlah Lansia Di Surabaya. Available at:
http://dinkes.surabaya.go.id/portal/berita/anggaran-pmt-lansia-meningkat- empat-
kali/.
Kemenkes RI (2013) ‘Populasi lansia diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2020’,
Artikel, (021), pp. 1–2.
Kemenkes RI (2016) Elderly Condition in Indonesia. Available at: https://doi.org/ISSN
2442-7659

Rahmawati, Syadiyah, & Santika, 2014 (2014) ‘Gambaran Kebutuhan Spiritual pada Lansia
yang Beragama Islam di Desa Sraturejo kecamatan Baureno Kabupaten
Bojonegoro’.
BPS (2017) ‘Data Lanjut usia tahun 2017’.

Soeweno (2016) ‘Hubungan antara Religious Involvement dan Depresi pada Lansia di Panti
Werdha’.

Soejono (2010) ‘Hubungan Pelaksanaan Keperawatan Spiritual terhadap Kepuasan Spiritual


pasien di Rumah Sakit Ibnu Sina, Makasar’, pp. 0–10.
Mongisidi R, Tumewah R, K. M. (2013) ‘Profil Penurunan Fungsi Kognitif Pada Lansia Di
Yayasan-Yayasan Manula Di Kecamatan Kawangkoan’, E- clinic ; Jurnal Ilmiah
Kedokteran Klinik, 1(1), pp. 3–6.
Basri, Z. (2016) Hubungan Kebutuhan Spiritual dengan Kualitas Hidup pada Lansia, Z.
Basri. Semarang.

73
Lampiran 1

SURAT PENGANTAR IZIN PENELITIAN

74
Lampiran 1
SURAT BALASAN IZIN LOKASI PENELITIAN

75
Lampiran 3
LEMBAR PERMINTAAN MENJADI RESPONDEN

Kepada Yth :
Bapak/Ibu/Sdr/i Calon Responden
Di Tempat

Dengan hormat,

Saya yang bertanda tangan dibawaah ini, mahasiswa S1 Keperawatan Stikes Dian

Husada Mojokerto.

Nama : Ellsa Aviana

NIM : 0118014

Akan mengadakan penelitian dengan judul “Hubungan Tingkat Spiritualitas


Dengan Kesejahteraan Psikologis Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang
Kabupaten Mojokerto’’
Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan tidak akan

menimbulkan akibat buruk bagi Bapak/Ibu/Sdr/i sebagai responden. Kerahasiaan informasi

yang diberikan akan dijaga dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian.

Apabila Bapak/Ibu/Sdr/i menyetujui maka dengan ini saya mohon kesediaan

responden untuk menandatangani lembaran persetujuan dan menjawab pertanyaan-

pertanyaan yang saya ajukan dalam lembaran kuesioner.

Atas perhatian Bapak/Ibu/Sdr/i sebagai responden, saya ucapkan terima kasih.

Mojokerto, 2022
Hormat saya

Ellsa Aviana
Nim : 01.18.014

76
Lampiran 4
KESEDIAAN MENJADI RESPONDEN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama :

Usia :
Jenis Kelamin :
Pendidikan :
AlamatRumah :
Setelah mendapat keterangan dari peneliti dan mengetahui manfaat dan resiko
penelitian yang berjudul “Hubungan Tingkat Spiritualitas Dengan Kesejahteraan Psikologis
Pada Lansia di Dusun Ketegan Desa Gondang Kabupaten Mojokerto”. Saya menyatakan
SETUJU / TIDAK SETUJU *) diikutsertakan menjadi responden dalam penelitian, dengan
catatan apabila sewaktu-waktu merasa dirugikan dalam bentuk apapun berhak membatalkan
persetujuan ini.

Saya percaya informasi yang saya berikan terjamin kerahasiaanya.

Mojokerto, Februari 2022

Responden

Keterangan

*) Coret yang tidak perlu

77
Lampiran 5

Kuesioner Penelitian

Nama : ……………………….
Usia : ……………………….
Jenis kelamin : ……………………….
Pendidikan : ……………………….
Pekerjaan : ……………………….
Alamat rumah : ……………………….

Kuesioner ini menggunakan alat ukur RPWB (Ryff’s Psychological Well-Being

Scale). Kami mohon kerjasama Anda untuk mengisi sejumlah pernyataan dengan jujur

dan apa adanya. Setiap orang dapat memiliki jawaban yang berbeda. Tidak ada jawaban

yang di anggap salah, oleh karena itu Anda tidak perlu khawatir pada jawaban yang Anda

berikan. Pilih salah satu jawaban yang sesuai dengan keadaan Anda dan berilah tanda (√)

pada jawaban yang sesuai dengan pilihan Anda. Pilihan jawaban tersedia sebanyak lima

buah, yaitu:

STS : Sangat tidak setuju

TS : Tidak setuju

N : Netral

S : Setuju

SS : Sangat Setuju

78
Skala 1

No. Pernyataan STS TS N S SS

Tuntutan sehari-hari sering kali membuat saya patah


1.
semangat.
Menurut saya pengalaman baru sangatlah penting,
2.
karena akan berdampak positif bagi diri saya.
Sangat sulit bagi saya menjaga hubungan dekat dengan
3. seseorang sampai-sampai membuat saya kecewa dan
putus asa.
Secara umum saya adalah orang yang percaya diri dan
4.
cukup baik.
Saya merasa tidak terlalu cocok dengan orang-orang
5.
yang berada di lingkungan sekitar saya.
Aktifitas sehari-hari saya seringkali terasa remeh/biasa-
6.
biasa saja dan tidak penting untuk saya lakukan.
Tanggung jawab saya sehari-hari sudah saya atur
7.
dengan cukup baik.
Sebagai seorang manusia saya mengalami banyak
8. perubahan dalam diri saya seiring dengan berjalannya
waktu.
Saya tidak meyakini apa yang sudah saya kerjakan
9.
dalam hidup ini telah saya selesaikan dengan baik
Walaupun ada kebaikan dan keburukan dalam diri
10
saya, saya tetap mencintai diri saya.
Saya merasa tidak nyaman bila berada pada situasi
11 yang tidak seperti biasanya yang mengharuskan saya
mengubah kebiasaan lama saya.
Orang-orang menilai saya ini orangnya loman,dan
12 senang bersilaturahmi kepada sanak keluarga maupun
tetangga.
Saya kurang mampu mengatur hidup saya, dan ini
13
membuat saya tidak puas
Bagi saya hidup adalah proses belajar yang terus
14
berkelanjutan.
Saya tidak mempunyai banyak pengalaman dalam
15 hubungan yang baik dan saling percaya dengan orang
lain.
Apa yang menurut orang lain penting belum tentu
16
penting untuk saya

79
Skala 2

Kuesioner ini menggunakan alat ukur DSES (Daily Spiritual Experience Scale). Pernyataan
memiliki pilihan jawaban yang berbeda mohon di baca dengan seksama.

No Pertanyaan Sangat Sering Kadang- Hampir Tidak


. Sering kadang Tidak Sama
Pernah Sekali
1 Saya percaya Tuhan itu ada, dan
saya merasakan keberadaan Tuhan.
2 Saya merasa bahwa segala sesuatu
yang ada dan terjadi di dunia ini
saling berkaitan
3 Saat saya beribadah atau sekedar
menyebut Asma Allah di waktu
lain, kesusahan dan beban pikiran
saya sehari-hari menjadi
hilang/berkurang.
4 Hanya Tuhan yang membuat
saya lebih kuat dalam menjalani
hidup, maka dari itu saya selalu
taat beribadah kepadaNya
5 Menjalankan ibadah seperti
yang diperintahkan dalam
agama saya membuat hati saya
senantiasa nyaman.
6 Sesungguhnya di dalam batin saya,
saya merasakan ketenangan dan
ketentraman.
7 Saya selalu berdoa kepada Tuhan
sebelum memulai aktifitas sehari-
hari saya
8 Saya merasa di bimbing/di tuntun
oleh Tuhan dalam kegiatan sehari-
hari.
9 Saya merasa segala kenikmatan
yang saya peroleh adalah bentuk
kasih sayang Tuhan secara
langsung.
10 Saya merasakan kasih sayang Tuhan
melalui banyak hal lain
11 Segala sesuatu yang ada di dunia ini
indah, dan itu semua ciptaan Tuhan.
12 Saya merasa bersyukur atas karunia
Tuhan.
13 Saya menerima dan dapat
memaklumi orang lain ketika
mereka melakukan sesuatu yang
menurut saya salah

80
14 Saya mempunyai keinginan untuk
lebih dekat kepada Tuhan.

Tidak
Bisa di Sangat dekat
dekat Sangat
katakan sekali
sama dekat
dekat
sekali
Secara umum sedekat apakah
15.
anda dengan Tuhan?

81

Anda mungkin juga menyukai