Anda di halaman 1dari 4

6.

Revitalitas Merek dan Krisis Merek

Revitalisasi Merek

Revitalisasi merek merupakan penguatan kembali posisi merek yang telah mengalami
masa-masa sulit dalam lingkungan pasar. Tindakan revitalisasi disebabkan adanya
perubahan selera dan preferensi konsumen, munculnya pesaing dan baru serta semua
perkembangan yang terjadi yang mempengaruhi peruntungan merek dalam lingkungan
pasar.
Revitalisasi dimaksudkan untuk menggairahkan kembali atau memberikan energi baru
pada suatu merek demi menambah ekuitasnya. Misalnya, setelah sekian lama hilang dari
peredaran, bisa saja sebuah merek muncul kembali dengan gebrakan baru untuk
menjadikannya hot lagi di pasar. Gebrakan yang bersifat taktikal seperti lewat perubahan
konsep komunikasi dan perbaikan produk.
Langkah pertama yang dilakukan dalam merevitalisasi merek adalah memahami
sumber-sumber apa dari ekuitas merek yang bisa dipakai. Lalu memutuskan apakah
perusahaan akan mempertahankan positioning yang sama atau menciptakan positioning
baru.
contoh :

Merek sigaret keretek tangan (SKT) kedua dari Sampoerna ( sampoerna hijau ) sempat
"tidur" selama 32 tahun di pasar akibat kerancuan strateginya. Sampoerna Hijau bisa
dibilang terlalu "dekat" dengan kakak kandungnya, Dji Sam Soe, sehingga konsumen
pada saat itu menilai merek ini tidak memiliki diferensiasi yang jelas.

Kesuksesan Sampoerna Hijau pun baru nampak setelah ia melakukan strategi


rejuvenasi (peremajaan) merek. Setelah merevolusi besar-besaran strategi dan taktik
pemasaran, serta memperjelas identitas mereknya pada 1990an, merek ini lantas bangkit
dan berhasil menjadi salah satu merek papan atas, tidak hanya bagi Sampoerna, tapi juga
di Indonesia.

Selain itu juga muncul karakter Geng Hijau, yang sengaja diciptakan untuk
menghubungkan antara Sampoerna Hijau dan target pasarnya. Geng Hijau sepertinya
menjadi "duta" dalam program rejuvenasi merek yang terkenal dengan slogan citra (tag
line): Asyiknya rame-rame ini.

Tak bisa dipungkiri, lewat Geng Hijau dan sejumlah aktivitas below the line yang
kuat, Sampoerna Hijau menjadi merek yang benar-benar rame dan menghangatkan
suasana persaingan di industri rokok SKT.

Hasil program peremajaan merek ini tentunya masih terasa hingga sekarang untuk
Sampoerna Hijau. Penjualannya pun dikabarkan terus meningkat.

Sumber : http://multiline-jatimbali.blogspot.com/2009/12/revitalisasi-merek.html

Krisis Merek

Brand crisis atau krisis merek bisa diibaratkan sebagai ujian. Merek dites seberapa
mampu mereka menghadapi segala ujian di pasar. Apabila bisa menangani ujian dengan
baik, maka merek itu akan tetap hidup, bahkan lebih baik daripada sebelumnya dan
Sebaliknya. Banyak faktor yang memengaruhi terjadinya krisis merek, selain kelalaian
dari merek itu sendiri, krisis merek biasanya juga disebabkan oleh faktor eksternal.

Krisis begitu dekat dengan merek, dan jelas ini amat tidak disukai. Karena itu, apabila
konsumen sampai mengetahui sebuah merek telah mengalami krisis, maka merek
tersebut sudah menemui ambang pintu kehancuran. Krisis merek bisa melumpuhkan
perusahaan, lalu sakit-sakitan, akhirnya mati. Namun, kematian hanya berlaku jika
pemasar tidak memiliki kepekaan terhadap krisis atas merek yang dikembangkannya.

Manajer pemasaran harus mengandaikan bahwa pada masa-masa tertentu, beberapa


jenis krisis merek akan muncul. Pada umumnya, semakin ekuitas merek dan citra
perusahaan yang kuat menjadi mantap, khususnya dengan respek kredibilitas dan
kepercayaan perusahaan, semakin besar kemungkinan perusahaan itu dapat menenangkan
badai.

Dari segi ketangkasan, semakin lama perusahaan menanggapi krisis pemasaran,maka


semakin besar kemungkinan konsumen membentuk kesan negatif sebagai akibat dari
liputan media atau omongan-omongan yang tidak menyenangkan. Tindakan yang tangkas
juga harus muncul bersama dengan kejujuran. Semakin jujur tanggapan yang dilakukan
perusahaan maka semakin kecil konsumen membentuk kaitan-kaitan yang negatif.

Contoh :

1. Pada 7 Maret 2007 pesawat Garuda Indonesia GA 200 berjenis Boeing 737-400 tiba-
tiba mengagetkan pasar penerbangan. Tak disangka, pendaratan pesawat—dari
Jakarta—di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pagi itu berakhir naas. Malang tak
dapat ditolak dan nasi sudah menjadi bubur. Pesawat itu terbakar, meledak, hingga
menewaskan puluhan penumpangnya.

Lantas, apa yang dilakukan manajemen Garuda Indonesia ketika itu? Secara sistematis
penanganan krisis langsung berjalan. Setiap petugas (dalam penanganan krisis)
langsung mengendalikan urusannya tanpa diperintah. Meski demikian, maskapai pelat
merah tersebut secara periodik menyiarkan perkembangan atas kecelakaan itu melalui
satu pintu.

Hal yang lebih menarik juga ditunjukkan oleh Garuda Indonesia pada kecelakaan
sebelumnya. Pada 2002, tiba-tiba dua mesin pesawat Boeing 737-300 jurusan
Ampenan-Yogyakarta mati. Berkat kepiawaian sang pilot, pesawat akhirnya berhasil
mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah. Atas kejadian itu,
manajemen langsung menginformasikan kronologinya secara terbuka.

Apa respons pasar? Krisis itu justru berbuah simpati. Garuda Indonesia mendapat
pujian dari pasar atas penanganan-penanganan krisis yang cepat dan benar. Jika tidak,
mungkin Garuda Indonesia sudah dicap sebagai merek yang buruk dan dihindari.
Buktinya, sampai sekarang maskapai penerbangan ini masih menjadi pilihan utama
pasar perjalanan udara di Indonesia.

Tak disangka Toyota Motor Corporation mengumumkan akan menarik kembali


(recall) mobil-mobilnya di Amerika Serikat dan Eropa, menyusul ditemukannya
masalah pada pedal gas. Tidak jelas berapa juta unit mobil yang akan ditarik dan
diperbaiki, tetapi di mata konsumen itu adalah bukti atas janji yang diberikan.
Honda juga melakukan hal yang sama. Februari 2010, Honda menarik lebih dari 437
unit mobilnya dalam berbagai tipe di Amerika Serikat dan Jepang karena mengalami
kelainan pada sistem kantung udara (airbags) yang bisa membahayakan penumpang.
Kantung udara itu menghasilkan tekanan internal berlebihan yang kemungkinan bisa
menimbulkan serpihan.
Rupanya tren ”menarik kembali” mobil akibat ada permasalahan pada produk juga
diikuti Volkswagen. VW sedikitnya menarik 200 ribu mobil di Brazil dan 20 ribu unit
di Meksiko akibat ketidakcukupan pelumas pada bantalan roda belakang. Roda
belakang dapat terkunci jika bantalan roda belakang itu digunakan terus-menerus.

Sumber : http://www.marketing.co.id/brand-crisis/

Anda mungkin juga menyukai