Anda di halaman 1dari 41

SUMBER DALIL

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas

Mata Kuliah Ushul Fiqih

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Nurol Aen, MA.

Disusun Oleh:

Dede Wahyu Purnama

KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM

PROGRAM DOKTORAL

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI (UIN) GUNUNG DJATI

BANDUNG

2022
KATA PENGANTAR

Maha suci Allah, tiada kata yang pantas kita ucapkan selain puji dan syukur
kehadirat Ilahi Rabbi, dengan Rahmat dan Hidayah-Nya sampai saat ini kita masih
dapat merasakan nikmat-Nya. Shalawat serta salam semoga terlimpah curah kepada
Nabi kita Muhammad Rasulullah SAW, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
pengikutnya hingga akhir zaman. Amin.

Adapun maksud dan tujuan Pembuatan makalah ini adalah sebagai upaya
untuk mendukung Proses Pembelajaran dan melengkapi salah satu mata kuliah Ushul
Fiqih. Berbagai kendala dan kesulitan yang hampir mematahkan semangat penulis
dalam menyelesaikan makalah ini dapat teratasi berkat petunjuk serta nasehat dari
dosen. Walaupun demikian, penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan kelemahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran
yang sifatnya membangun.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada


semua pihak yang telah membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini, dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandung, 22 Oktober 2022

     

      Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1

A. Latar Belakang......................................................................................1

B. Rumusan Masalah.................................................................................1

C. Tujuan Masalah.....................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................2

A. Sumber Dalil yang Pertama Akal.........................................................2

B. Sumber Dalil yang Kedua Al Qur’an....................................................18

C. Sumber Dalil yang Ketiga As Sunnah..................................................27

D. Sumber Dalil yang Keempat Ijma.........................................................30

BAB III PENUTUP...........................................................................................36

Kesimpulan........................................................................................................37

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................37

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mayoritas ulama senantiasa mendasarkan pandangannya dalam istinbath
al-ahkam, secara berurutan pemakaiannya, pada al-Qur'an, al Sunnah, al-ijma, dan
al-qiyds, baik secara langsung maupun tidak. Se muanya merupakan sumber-
sumber dalil dalam hukum Islam Sumber dalil yang utama adalah al-Qur'an dan
al-Sunnah, sedangkan al-ijma dan al-qiyas, pada kenyataannya, adalah prinsip-
prinsip tambahan.
Dari urutan sumber-sumber dalil di atas jelas bahwa peranan dalil wahyu
(al-Quran dan al-Sunnah) lebih besar dari segala-galanya, sedang kan peranan
dalil akal berada di bawah peranan dalil Dasar urutan seperti ini sering
dikembalikan kepada surat al-Nisa (4) ayat 59.

Berbeda dengan pandangan mayoritas ulama di atas. Abd al-Jabbar


mendasarkan pandangannya dalam istinbdth al-ahkam pada dalil akal sebagai
urutan pertama, sebelum al-Qur'an, al-Sunnah, dan al-ijma. Pandangannya yang
demikian ini tidak lepas dari pandangan teologi Mu'tazilah yang dianut nya.
Sebagaimana diketahui, dalam teologi Mu'tazilah peranan akal amat tinggi dan
penting dalam penyelesaian berbagai persoalan teologi Hal itu relevan pula
dengan sumber dalil lain yang digunakannya.
Rumusan Masalah

1. Bagaimana maksud sumber dalil yang pertama akal?


2. Bagaimana maksud sumber dalil yang kedua Al Qur’an?
3. Bagaimana maksud sumber dalil yang ketiga As Sunnah?
4. Bagaimana maksud sumber dalil yang keempat Ijma?
Tujuan Masalah
1. Mengetahui maksud dari sumber dalil yang pertama akal.
2. Mengetahui maksud dari sumber dalil yang kedua Al Qur’an.
3. Mengetahui maksud sumber dalil yang ketiga As Sunnah.
4. Mengetahui maksud sumber dalil yang keempat Ijma.

1
BAB II
PEMBAHASAN
1. AKAL
Kata ini sudah menjadi bahasa Indonesia la berasal dari bahasa Arab, akal
menurut bahasa adalah "menahan dan melarang" "Akal" diartikan demikian
karena akal menahan dan melarang pemiliknya untuk tidak menyimpang ke jalan
yang salah Dalam bahasa Indonesia, kata akal ini kadang-kadang berkonotasi baik
dan ka dang-kadang berkonotasi tidak baik. Oleh karena itu, "akal" diartikan 1.
alat berpikir, daya pikir (untuk mengerti dsb), pikiran, ingatan 2. daya upaya,
ikhtiar, jalan (cara) untuk melakukan sesuatu, 3. tipu daya, muslihat, kecerdikan,
kelicikan.1

Menurut Lisan al-'Arab, al- aql berarti menahan dan al-'aqil adalah orang
yang menahan diri dan mengekang hawa nafsu. Selain itu, al-'aql mengandung arti
kebijaksanaan, lawan dari lemah pikiran Selanjutnya, diterangkan pula bahwa
al-'agi mengandung arti kalbu (al qalb) Di samping itu, bahwa 'aqala juga
mengandung arti memahami.2

Dalam pada itu menurut Harun Nasution, kata 'aqala dilihat dari arti
ashnya adalah mengikat dan menahan, dan orang yang aqil di zaman Jahiliah,
yang dikenal dengan hamiyyat atau darah panasnya, adalah orang yang dapat
menahan amarahnya dan oleh karenanya dapat mengambil sikap dan tindakan
yang berisi kebijaksanaan dalam mengatasi masalah yang dihadapinya.

Di dalam al-Quran, kata benda al- aql tidak dijumpai, Kata ini dijumpai di
dalam al-Qur an hanya dalam bentuk kata kerjanya, yaitu 'aqaluh dalam satu ayat,
ta qilun dalam 24 ayat, na'qil satu ayat, ya qiluha satu ayat, dan ya'qilun 22 ayat.
Kata-kata itu datang dalam arti paham dan mengerti. Akan tetapi, timbul
pertanyaan, apakah pengertian dan pemahaman itu dilakukan melalui akal yang
berpusat di kepala? Di dalam surat al Hajj ayat 46 dijelaskan bahwa pemahaman
dan pengertian dilakukan melalui kalbu yang berpusat di dada Sebagaimana
terlihat di dalam ayat berikut:

1
Taqiy al-Din Abiy al-Abbas Ahmad Ibn Taymiyyah al-Haraniy, kitab al-Radd ‘ala al-
Manthiqiyin, hlm. 196
2
WJS.Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Baai Pustaka, Jakarta,1986,hm.23

2
‫ون‬
َ ُ‫ان يَ ْس َم ع‬ َ ‫ون هِبَ ا َْأو‬
ٌ ‫آذ‬ َ ُ‫َي ْع قِل‬ ‫وب‬
ٌ ُ‫ون هَلُ ْم ُق ل‬َ ‫ض َف تَ ُك‬ ِ ‫َأ َف لَ ْم يَ ِس ريُ وا يِف اَأْل ْر‬
ٰ ‫هِب‬
ِ‫الص ُد ور‬
ُّ ‫وب الَّ يِت يِف‬
ُ ُ‫الْ ُق ل‬ ‫ِن َت ْع َم ى‬ َ ْ‫ فَ ِإ نَّ َه ا اَل َت ْع َم ى اَأْل ب‬Fۖ ‫َ ا‬
ْ ‫ص ُار َو لَ ك‬
Artinya: maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka
mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai
telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah
mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.
Dalam ayat di atas, tidak dijelaskan bahwa akal adalah daya pikir yang
berpusat di kepala Al- aql malahan dikatakan sama dengan al-qalb yang berpusat
di dada. Menurut Izutsu, sebagaimana dikutip oleh Harun Nasution, kata al- aql
seperti di atas mengalami perubahan arti dalam filsafat Islam setelah pengaruh
filsafat Yunani masuk ke dalam pemikiran Islam. Dalam pandangan para filosof
muslim, kata al- aql mengandung arti yang sama dengan nous. Kata nous dalam
filsafat Yunani mengandung arti daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia.
Dengan demikian, kata Izutsu, pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui
al-'aql di dada tetapi melalui al-'aql di kepala.3

Berdasarkan pandangan para filosof muslim, akal adalah salah satu daya
dari jiwa (al-nafs atau al-ruh) yang terdapat di dalam diri manusia Al-Kindi (796-
873 M) dan Ibn Miskawayh (941-1030 M), misalnya, ber pendapat bahwa pada
jiwa manusia terdapat tiga daya, yaitu daya bernafsu yang ada di perut, daya
berani yang ada di dada, dan daya berpikir yang ada di kepala Daya tertinggi
adalah daya berpikir dan daya terendah adalah daya bernafsu Daya berani
mengambil posisi di antara keduanya Dalam pemikiran kedua filosof di atas jelas
kelihatan adanya pengaruh Plato.4

Seperti halnya para filosof muslim, kaum Mu'tazilah juga meng artikan
akal dengan daya Abu al-Huzayl, seorang tokoh Mu'tazilah misalnya mengartikan
akal dengan "daya untuk memperoleh pengeta buan, dan juga daya yang membuat
seseorang dapat memperbedakan antara dirinya dan benda lain dan antara benda-
benda satu dari yang lain" Di samping itu akal mempunyai daya untuk
mengabstrakkan ben da-benda yang ditangkap pancaindera."

3
Prof. Dr Harun Nasution, opcit. Hlm.8
4
Ibid, hlm. 8-9

3
Dalam pandangan kaum Mu'tazilah, akal di samping mempunyai daya
untuk memperoleh pengetahuan juga mempunyai daya untuk mem perbedakan
antara kebaikan dan kejahatan Akal. dengan kata lain, mempunyai fungsi dan
tugas moral Sejalan dengan ini, menurut L Gardet dan M M Anawati sebagaimana
yang dikutip oleh Harun Na sution, akal, dalam pendapat Mu'tazilah, adalah
"petunjuk jalan bagi manusia menjadi pencipta perbuatannya"

Berdasarkan hal tersebut, akal bukanlah otak, tetapi akal adalah daya,
sebagai yang digambarkan di dalam al-Qur an, memperoleh pe ngetahuan dengan
memperhatikan alam sekitarnya Menurut Harun Nasution, akal dalam pengertian
inilah yang dikontraskan dalam Islam dengan wahyu yang membawa pengetahuan
dari luar diri manusia, yaitu dari Tuhan.

Pandangan para filosof muslim dan umumnya kaum Mu'tazilah,


tampaknya, tidak sejalan dengan pandangan 'Abd al-Jabbar Akal, dalam
pandangan 'Abd al-Jabbar, bukanlah daya Akan tetapi, akal, melalui definisinya
yang jami mani, adalah himpunan pengetahuan tertentu, yang bila telah dimiliki
oleh seseorang mukallaf, maka menjadi sahlah pemikirannya, pengambilan
dalilnya, dan pelaksanaan kewajiban yang ditetapkan kepadanya 5

Dalam definisi ini terdapat tiga hal yang perlu dicatat Pertama, hal yang
berkaitan dengan bentuk definisi dan berkisar pada sesuatu yang bisa disebut
sebagai bentuk kondisional (al-shighat al-syar thiyyat). Sebab bagian pertama dari
definisi tersebut, yakni yang ber kaitan dengan substansi akal, berposisi sebagai
antecedent (syarith, muqaddam), sedangkan bagian kedua yang dimulai dari
kalimat "apabila "berposisi sebagai hipotesis (al-taly, al-masyruth) Kedua, adalah
yang berkaitan dengan definisi akal dan muatannya dalam bentuk "himpunan
pengetahuan tertentu, sedangkan yang ketiga adalah sesuatu yang menegaskan

5
Abd al-Jabbar,opcit., jid XI, hlm.275; Lihat Husniy Zaynah, op.cit., hlm 31; bunyi teks mengenai
definisi akal adalah sebagai berikut:
ِ ِ ٍ ‫َأن الْع َقل هو ِعبارةٌعن مُج لَ ٍة ِمن الْعلُوِم خَمْصو‬ ِ
َ ‫ت يِف ْ الْ ُم َكلَّف‬
ُ‫ص َّح مْنه‬ ْ َ‫صل‬
َ ‫ميَت َح‬.
َ ‫صة‬َ ْ ُ ْ ُ َ ْ ْ َ َ َ َ ُ َ َ َّ ‫ا ْعلَ ْم‬
ِ ِ ِ ‫النَ ْ أِل‬
‫ف‬ َ ِّ‫ض ُر َواْ ْست ْداَل ْل َواْلقيَ ُام بِاَ َداء َما ُكل‬
Artinya: Ketahuilah, bahwa sesungguhnya akal adalah himpunan pengetahuan tertentu, yang bila
telah dimiliki oleh seorang mukalaf, maka menjadi sahlah pemikirannya, pengambilan dalilnya,
dan pelaksanaan kewajiban yang telah ditetapkan kepadanya.

4
pada adanya hubungan yang kuat antara akal dan kewajiban sebagaimana terlihat
dalam definisi di atas.

Definisi akal yang dirumuskan oleh 'Abd al-Jabbar ini sangat berkaitan
dengan persoalan taklif Dalam pada itu ia menegaskan bah wa, "seorang mukallaf
harus mampu menggunakan alat dan akal dan bisa mengambil hal-hal yang
bermanfaat serta menjauhi yang madarat" "Hal yang demikian itu dikarenakan
'Abd al-Jabbar menempatkan definisi tersebut di bawah tujuan pemikirannya yang
berupaya menempatkan ke mampuan seorang mukallaf yang menggunakan
akalnya agar dengan be gitu kewajiban (taklif) yang ditetapkan kepadanya
menjadi sah Karena tanpa akal, kewajiban tersebut tidak bisa diketahui.

Selain itu, yang berpengaruh terhadap tujuan pemikiran Abd al Jabbar


adalah persoalan-persoalan yang berkaitan dengan karakter akai Pemikirannya itu
terpengaruh oleh definisi yang dipergunakan oleh gu runya, Abu Aliy, bahwa akal
yang kadang-kadang memasuki persoalan "taklif mà là yuthaq", serta kritiknya
terhadap para filosof yang menga takan bahwa akal itu adalah potensi Dalam
bantahannya itu, dia menga takan bahwa, "apabila yang dimaksud dengan akal
adalah sesuatu yang tanpa itu penetapan dalil (istidlál) dan pemikiran tidak
dipandang benar dalam bentuknya yang bisa menghasilkan pengetahuan, maka
dalam hal ini akal bisa diidentikkan dengan kemampuan (qudrat) yang dengan itu
per buatan bisa dilakukan. Kendati kalimat seperti itu keliru, namun dari segi arti
ia bisa dibenarkan. Akan tetapi jika yang dimaksud dengan akal adalah
kemampuan dalam pengertian yang sesungguhnya, yaitu kemampuan untuk
mengetahui berbagai hal yang bisa diperoleh oleh aqil (orang yang memiliki akal),
maka pengertian seperti itu mengandung konsekwensi bahwa seseorang itu bisa
disebut berakal ('aqi), sekalipun dia tidak mengetahui. Oleh sebab itu, dalam
pengertian tersebut akal ditempatkan sebagai sesuatu yang mendahului perbuatan.
Kalau hal itu tidak mungkin, katanya, maka pengertian tersebut adalah jelas
keliru.

Hanya saja, kita tidak tahu persis dari mana kiranya 'Abd al Jabbar bisa
sampai pada kesimpulan bahwa, "seseorang itu bisa saja disebut tahu padahal
sebelumnya dia tidak memiliki pengetahuan apa pun" . Diduga, hal itu

5
disebabkan Abd al-Jabbar tidak terpengaruh oleh pandangan para filosof
peripatetik yang membedakan akal dalam akal potensial (al-aql bi al-quwwat) dan
akal aktual (al-'aql bi al fil). Akal potensial adalah akal yang belum mempunyai
gambaran tentang segala perwujudan yang ada. Ketika akal telah memiliki gam
baran tentang yang mavjud, maka ia disebut akal aktual. Akibatnya, "Abd al-
Jabbar tidak berhasil membedakan pengertian kemampuan yang ia sebut sebagai
"sesuatu yang darinya suatu perbuatan dilakukan"6

Kemudian siapakah orang yang berakal ('aqil)? Dalam pandangan "Abd al-
Jabbar, orang berakal adalah orang "yang tidak ada kondisi apa pun dalam dirinya
kecuali bahwa dia mengetahui pengetahuan pengetahuan tertentu (himpunan
pengetahuan tertentu), yang dengan itu cara bertindaknya berbeda dengan dari
cara bertindak orang gila" . Orang berakal, katanya, bisa membedakan yang
bermanfaat dan yang madarat, lalu memilih yang bermanfaat serta menghindari
yang madarat karena diduga bahwa dalam yang pertama itu terdapat manfaat yang
langsung bisa dinikmati yang menjadi acuan bagi pemilihannya tersebut Dengan
demikian, "kalau orang yang berakal tidak memilih yang ber manfaat tersebut,
maka hal itu menunjukkan bahwa orang tersebut kurang mampu dalam
membedakan sesuatu dan lainnya.

Di sini, kemampuan membedakan sesuatu (al-tamylz) merupakan kiasan


terhadap akal berdasarkan pengertian yang berlaku pada masa Abd al-Jabbar
Agaknya, terdapat unsur-unsur dan justifikasi-justifikasi yang perlu dijelaskan di
sini sehingga Abd al-Jabbar mengalami "kebimbangan sekalipun berkali-kali
dipungkirinya Gejolak itulah yang men dorongnya melahirkan konsep tentang
"kemampuan yang tersembunyi (al-qudrat al-kaminat), suatu kemampuan yang
terbentuk secara berta hap hingga tingkatnya yang sempurna di dalam orang yang
berakal.

Ketika seseorang memilih sesuatu yang bermanfaat pada saat akalnya


sudah sempurna dan hal itu dianggap sebagai bukti bagi ke beradaan akal pada
dirinya, maka tidak bisa tidak, akan terdapat salah satu pengertian di antara dua
kemungkinan berikut: orang tersebut su dah sempurna akalnya sejak kecil, dan ini

6
Husniy Zaynah, op.cit., hlm.34

6
jelas mustahil dalam pandang an 'Abd al-Jabbar, atau dia mencapai kesempurnaan
akal secara bertahap akibat dari proses transformasi yang dimulai sejak dia kecil
Yang dise but terakhir ini merupakan kesimpulan yang tak mungkin bisa ditolak.

Akan tetapi, kemungkinan tersebut memunculkan asumsi tentang


keberadaan akal pada diri anak kecil dalam bentuknya yang berbeda dari yang
dikemukakan oleh Abd al-Jabbar Dengan kata lain, Abd al Jabbar seakan-akan
bermaksud membatasi penggunaan istilah tersebut dengan "adanya kesiapan atau
kemampuan pada anak kecil, yang kon dusif untuk berubah menjadi akal pada
kondisi-kodisi tertentu”.

Dalam skala luas, 'Abd al-Jabbar setuju bahwa akal adalah alat dengan
pengertian yang dibatasinya sebagai berikut suatu alat bisa disebut sebagai alat
dalam perbuatan bila ia menghubungkan perbuatan yang dilakukan sebelumnya
dengan perbuatan lainnya (yang dilakukan sesudahnya)".7

Cacat yang kadang-kadang bisa menimpa alat tersebut terbagi menjadi dua
"Hilangnya sifat yang karena itu ia bisa disebut alat", semisal mabuk yang
menyebabkan hilangnya akal Cacat ini disebut ca cat kwalitas yang temporal,
yang menyebabkan hilangnya efektifitas akal karena cacat lain yang bersifat
relatif dan kwantitas Cacat tersebut ti dak berpengaruh terhadap perbuatan
sebagaimana halnya kecilnya tangan dan jari-jari terhadap tulisan. Kalau kecilnya
tangan dan jari diakui sebagai tidak berpengaruh terhadap hasil tulisan, maka
cacatnya akal juga tidak berpengaruh apa pun terhadap ilmu orang yang berakal
Bila cacatnya akal ini dilihat dari perspektif perbandingan antara berbagai
individu yang berbeda pada saat yang sama, maka hal itu menginterpretasikan
perbedaan-perbedaan individual dan bukan berarti buruknya distribusi (pemberian
akal yang pilih kasih).

Pertanyaannya sekarang adalah, apakah mungkin konsepsi 'Abd al-Jabbar


ini dipergunakan untuk melihat cacat akal dari perspektif per bedaan berbagai
kondisi yang ada pada diri satu orang saja, yang terjadi pada waktu yang berbeda-
beda? Jawabannya, jelas dapat. Sebab, "orang yang tidak berakal kadang-kadang
dapat mengetahui dan membedakan berbagai perbuatan".
7
Ibid., hlm. 222

7
Secara sepintas pandangan 'Abd al-Jabbar ini berkontradiktif de ngan
pandangannya terdahulu. Akan tetapi, kontradiksi tersebut akan sangat terbatas
lingkupnya sepanjang kita tahu bahwa yang dimaksud dengan "orang yang tidak
berakal" tersebut adalah anak kecil, berdasarkan pendapatnya yang menyatakan
bahwa, "anak kecil itu tidak mem punyai akal dan kemampuan untuk memilih,
membedakan, dan meng aplikasikan keduanya (akal dan kemampuannya)8
Dengan demikian. 154 tampak jelas bahwa anak kecil itu memiliki tugas penting
dari fungsi fungsi akal, sekali pun posisinya hanya sebagai ganti akal dan meru
pakan kiasan baginya, yaitu kepandaian membedakan sesuatu (al tamyiz).

Lebih lanjut, demikian menurut Abd al-Jabbar, akal itu uni versal dan satu.
Universal dalam pengertian bahwa seorang berakal pasti mengakui apa yang
ditetapkan oleh semua orang berakal lainnya yang tercerminkan dalam
penjumlahan angka yang hasilnya pasti sama dengan yang dibuat oleh orang
berakal yang mana pun Dengan begitu, maka akal itu universal dan historis
(diakronik) yang "tidak akan pernah hi lang dari seluruh zaman", seperti akalnya
Ibn Sina.9

Konsep 'Abd al-Jabbar dan para mutakallimin tentang akal, se dikit banyak
masih terpengaruh oleh konsep akal universalnya Plato yang berkembang di
kalangan para filosof waktu itu. Sesuatu yang uni versal, bagi Mu'tazilah, adalah
sesuatu yang diberikan dalam bentuk oleh Hikmah Ilahiah yang ma'qulat kepada
akal manusia Dengan demikian, akal itu satu karena adanya ijmd (konsensus)
orang-orang yang berakal untuk meyakini sesuatu yang mereka sepakati itu, tanpa
adanya jma lainnya, sekalipun dalam jumlah mayoritas Sebab yang demikian itu
kadang-kadang dihasilkan oleh adat kebiasaan dan bukan dari pemikiran yang ada
sebelumnya "10

Tidaklah terlalu sulit untuk memahami korelasi yang ada dalam


pandangan tersebut di atas, yakni korelasi pengetahuan dengan keya kinan yang
kemudian membentuk ijma di kalangan umat manusia Akan tetapi, hal itu belum
sampai mengantarkan kita pada apa yang disebut intersubyeksi. Sebab, obyek

8
Ibid., hlm. 298; dan jilid XIV, hlm 442
9
Husniy Zaynah,loc.cit
10
Abd al-Jabar,op.cit., jilid XVI hlm. 12

8
pengetahuan tidak dibentuk melalui ijma' yang terdiri atas konsepsi-konsepsi yang
membentuk realitas, tapi melalui kesesuaian realitas yang tersusun dari satuan-
satuan yang mem punyai sosok sendiri-sendiri Hanya saja, sejenis intersubyeksi
pasti akan masuk ke dalam sistem berpikir 'Abd al-Jabbar ketika dia melihat
adanya keharusan bagi penetapan tolok ukur bagi keyakinan yang tidak sesuai
dengan realita.

Dengan demikian, alasan bagi adanya sifat universal akal ini ada lah
ukuran statistik, yakni ijmd seluruh orang berakal Sejumlah kecil orang boleh-
boleh saja menolak ijmd tersebut dan mereka ini dapat di ibaratkan orang
perorang yang menolak sesuatu yang diketahuinya ber dasar keterpaksaan.

Sepanjang ijma yang bisa menjamin suatu kepastian dan bisa memberi
landasan bagi suatu keuniversalan itu muncul dari orang-orang yang berakal
dengan berbagai perbedaan kondisi mereka, semisal adanya pengikut dualisme,
maka kita mesti melihat, dalam hubungannya dengan syarat tercapainya ijma,
keharusan adanya keterbebasan dari nilai-nilai partikular (individual). Dengan
demikian, maka kaidah-kaidah tentang yang benar dan salah ditempatkan pada
sifat universal akal. Oleh karena itu, terungkaplah karakter kesalahan, yang
kadang-kadang bercorak negatif semisal ketidaksampaian pencapaian wawasan
yang dimiliki oleh masyarakat pada umumnya, seperti yang dialami oleh kaum
Sofis dan Khawarij Kadang-kadang pula bercorak posisitf, seperti ketergantungan
terhadap keyakinan-keyakinan individual (partikular) dalam bentuk tak lid atau
tradisi warisan, atau keyakinan-keyakinan sesat yang bermotif mencari
kedudukan, memperoleh manfaat, dan menghindari madarat.11

Ketergantungan terhadap nilai-nilai warisan dan kepercayaan-keper ayaan


sesat, serta ketidakmampuan pencapaian wawasan umum tersebut berada dalam
lingkup di bawah lingkaran akal lebih lanjut, dalam pandangan Abd al-Jabbar,
realitas yang ma'qul berfungsi memberikan pengertian, sedangkan akal berfungsi
memikirkan pengertian tersebut. Realita dan akal bertemu dalam suatu keserasian
yang membentuk pengetahuan yang mumkin dan yang satu. yaitu pengetahuan
yang sesuai dengan realita. Dengan demikian, pengetahuan harus sesuai dengan

11
Abd al-Jabar,op.cit., jilid XVI hlm. 111 dan 120

9
kenyataan (realita) Akan tetapi, bahwa realitas itu harus ma'qul belum
memberikan jaminan bahwa pengetahuan itu sesuai dengan akal seperti yang
muncul sesudah Revolusi Kantian (revolusi yang dilahirkan oleh teori-teori Kant)

"Ilmu". dalam pandangan al-Jurjāniy, adalah "keyakinan yang kuat yang


sesuai dengan realita (kenyataan)" Definisi seperti ini nampaknya belum
dipandang cukup oleh Abd al-Jabbar sehingga mendefinisikannya dengan
"pengertian (makna), yang menimbulkan keyakinan pada orang yang memiliki
ilmu tentang apa yang ada pada dirinya sendiri " Dengan demikian, maka
pengertian (makna) tersebut, menurut Abd al Jabbar, adalah sejenis keyakinan (i
tiqdd). Artinya, setiap ilmu itu. pada dasarnya, adalah suatu keyakinan Akan
tetapi, tidak semua keyakinan itu bisa disebut ilmu Keyakinan, bisa saja lahir dari
pemikiran kognitif, atau juga nafsu, yang kemudian disebut zhann Keyakinan
adalah sifat ilmu dari sudut "bahwa ia mirip dengan ikatan tali dan hasil yang
diakibatkannya (yakni kesimpulan kesimpulan), yang kadang-kadang sejalan
dengan kenyataan dan kadang-kadang tidak Itulah sebabnya maka Abd al-Jabbar
men syaratkan adanya keyakinan pada diri orang yang memiliki ilmu, guna
membedakannya dari sekedar keyakinan Di samping itu, dia juga me negaskan
bahwa ilmu itu memberikan kejelasan, pembuktian, dan ke sadaran manakala
"orangnya berpikir sesudah dia mengalami keraguan "

Dalam pandangan Abd al-Jabbar, ilmu itu terbagi dalam bagian-bagian,


sebagaimana berikut:

a Al-'Ilm al-Dharuriy

Yaitu penginderaan atau pengetahuan langsung yang mengantar kan akal


pada pengetahuan (menjadi tahu) tanpa perantaraan dalil dan bukti-bukti (burhan)
Disebut al-dharuriy (kemestian) karena "ketidak mungkinan menafikannya dari
semua segi Artinya, kita pasti memiliki ilmu jenis ini dan tidak mungkin bagi kita
untuk tidak memilikinya seba gaimana ketidakmungkinan kita untuk
menafikannya dengan menyo dorkan dalil-dalil. Prinsipnya, al ilm al-dharuriy
bukanlah suatu kemampuan manusia, sebagaimana olim al-maktab melainkan
merupakan perbuatan Tuhan pada diri kita Dalam al-ilm al-dhoráry tidak terdapat
dua hal yang bertentangan, kecuali salah satu di antaranya pasti salah Karena itu,

10
ia tidak memerlukan hujjat Sebab di situ tidak ada dalil bagi pengingkarannya,
yang kemudian bisa kita kemukakan untuk itu Ini merupakan prinsip yang
menjadi landasan semua pengetahuan Jadi kalau sesuatu itu bisa diketahui dengan
al-dharariy, maka kebutuh an akan adanya pembuktian menjadi gugur Di situ
tidak boleh ada kekaburan dan ia tidak pula bisa dilenyapkan oleh keyakinan
madzhab madzhab sesat sebagaimana kebodohan kaum Khawarij terhadap
keburuk an membunuh orang-orang Islam.12

Al-'Ilm al-Dharuriy dibagi menjadi dua al-mudrakat dan al badihiyyat

1 Al-Mudrakat terbagi pula menjadi dua, yakni yang bisa diketa hui melalui
pencerapan indrawi (al-idrak al-hissiy), dan yang bisa diketahui melalui informasi
dan adat (al-ikhtiyar wa al-'ddat) yang berkembang di masyarakat.

1.1. Idrak ialah metoda ilmu yang dipergunakan manakala orang yang menalar
(mudrik) itu berakal dan kesangsian akan sesuatu yang ditemukannya menjadi
hilang dari dirinya.
Ilmu yang diperoleh melalui pencerapan inderawi ini menghimpun
"berbagai gambaran yang jelas". " seperti yang dikemukakan oleh Rene
Descartes (1598-1650 M), dan berubah menjadi "potensi" penalaran,
sebagaimana dikemukakan oleh David Hume (1711-1778), yang tidak dapat
ditundukkan oleh kemauan diri kita la, kata 'Abd al-Jabbar, merupakan contoh
ideal dan pangkal akhir bagi keyakinan dalil-dalil kita. Dengan demikian,
terlihat bahwa perolehan ilmu dalam pandang an 'Abd al-Jabbar adalah
merupakan perpaduan antara perolehan ilmu dalam aliran Rasionalisme Rene
Descartes (1598-1650 M) dan aliran Empirisme David Hume (1711-1778 M)
yang datang lebih kemudian
Lebih lanjut, menurut Abd al-Jabbar, pengetahuan-penge tahuan itu
diperoleh melalui indera sebagaimana adanya dan dalam bentuknya yang
paling khas Bentuk obyek penalaran (al-mudrak) memiliki peranan yang
sangat penting dalam memudahkan penalaran terhadap benda-benda yang
diindera Seseorang dapat membedakan warna-warna yang terpisah dengan
lebih jelas daripada warna-warna yang bercampuraduk dan dapat

12
Ibid., jilid XII,hlm. 42, 153, 254, dan 283

11
membedakan hal-hal yang bertentang an secara lebih baik daripada
membedakan hal-hal yang tidak berten tangan "13
Dalam pencerapan inderawi (al-idrak al-hissiy) tidak boleh ada kesalahan
Yang ada hanyalah kekaburan yang menghalangi munculnya keyakinan
dalam diri orang yang melakukan pengamatan Akan tetapi, kalau tidak boleh
ada kesalahan, lantas dari manakah munculnya keka buran tersebut?
Pada hakikatnya, menurut Abd al-Jabbar, akal tidak memikirkan berbagai
hal secara langsung, tetapi melalui indera. Hanya di situ terda pat kesan
adanya penalaran "akali" yang menyusul pencerapan inderawi Berbeda dari
binatang yang bisa membedakan beberapa benda melalui inderanya, maka
kita melakukan pembedaan tersebut melalui akal kita " Dengan demikian,
tampak jelas bahwa kekaburan itu muncul dari kesa lahan baca akal terhadap
rangsangan-rangsangan yang diterimanya
1.2. Al-Ikhtiyar wa al-'Adat Sebutan paling tepat untuk jenis pengetahuan ini
adalah "pengetahuan yang diperoleh lewat pengalaman atau, meminjam
istilah Bertrand Russel, adalah knowledge by acquain tance Yaitu
pengetahuan yang kita peroleh melalui pengamatan indera kita terhadap
benda-benda dan orang-orang lain, serta melalui kontak kita dengan dunia di
luar diri kita

2. Al-Badihiyyat (pengetahuan aksiomatik): ialah pengetahuan yang dicerap


manusia secara langsung tanpa perantaraan pengamatan inderawi Sebab, memang
dimungkinkan mengetahui sesuatu ketika memikirkan persoalan lain Al-
Badihiyyat bisa dibedakan dari al-mudrakat dengan, bahwa dalam al-mudrakat
pengetahuan orang orang yang mengetahui tidak berbeda satu sama lain.

Al-Badihiyyat ini dibagi menjadi dua al-istibthäniyyat dan al'agliyyat

2.1. Al-Badihiyyat al-Istibthamiyyat, adalah ilmu yang berkaitan dengan


kesadaran dan emosi seseorang Atau, sebagaimana yang diung kapkan oleh 'Abd
al-Jabbar, adalah ilmu manusia yang khusus di miliki seseorang dalam kondisi
tertentu, misalnya karena dia adalah seorang yang memiliki kemauan keras,
kepercayaan yang tinggi, jiwa yang stabil, dan otak yang cerdas Jelas, bahwa

13
Ibid., jilid XII,hlm. 45, dan 56

12
pengetahuan ini tidak mungkin bisa diperoleh seseorang melalui cara penalaran
karena dari segi kekuatan dan kejelasannya ia setara dengan keadaan diri orang
itu.

2.2. Al-Badihiyyat al-'Aqliyyat, adalah bagian paling penting dari "himpunan


pengetahuan-pengetahuan tertentu yang khusus dimiliki oleh akal Itu sebabnya,
maka Abd al-Jabbar menyebutnya dengan kamal al aql (sempurna akal)

Jenis pengetahuan ini pertama-tama ditemukan dalam akal Akan tetapi,


tidak terjadi sebelum adanya pengetahuan yang diperoleh me lalui penalaran,
sebagaimana yang dikatakan oleh Ibn Sina, saat dia me negaskan bahwa inti yang
bersifat akal pada diri seorang anak adalah "kekosongannya dari semua bentuk
yang aqliyyat" Dalam pandangan Ibn Sina ini kita temukan adanya al-ma'qulat al-
badihiyyat yang men dahului indera dan pengalaman dan muncul dari "pancaran
ilahi yang terus menerus"14

Jika menurut Abd al-Jabbar al-badihiyyat tersebut tidak men dahului


penalaran, maka ia tidak terbentuk darinya, sebagaimana hal nya dengan
pengetahuan-pengetahuan lain yang diperoleh melalui pe nalaran. Sebab,
pengetahuan yang diperoleh melalui penalaran, tidak bisa tidak, pasti terpisah-
pisah (mufashshal),15 atau merupakan bagian-bagian Sebaliknya, ilmu yang
diperoleh melalui badihiyyat pasti bersifat mujmal atau kulliy (universal)
Misalnya, ketika kita melihat batu, maka kita pun tahu bahwa batu tersebut ada,
dan mus tahil ia tidak ada, atau berada di dua tempat pada waktu yang bersamaan.

Yang juga tergolong dalam al-badihiyyat al-'aqliyyat adalah pengetahuan


tentang wajibnya sesuatu yang wajib (wujub al-wajib), bu ruknya sesuatu yang
buruk (qubh al-qabih), dan baiknya sesuatu yang baik (husn al-hasan) secara
mujmal atau kulliy Misalnya, pengetahuan tentang "bohong itu tidak berguna",
atau "tidak ada perlunya memperta hankan bahaya pada sesuatu yang buruk"
Sebab, cara untuk mengetahuinya diperoleh melalui istidlál dengan analogi yang
terdiri atas al muqaddimat al-kubra (premis mayor) dari kejelasan yang ada pada
ke burukan berbohong.

14
Husniy Zaynah,op.cit., hlm. 64
15
Abd Al-Jabbarop.ci, jilid XII,lm.66

13
Al-Badihiyyat al-aqliyyat tidak dipandang penting kecuali jika ia
dimungkinkan untuk sampai pada obyek yang juz iy dan berkaitan dengannya
Artinya, tidaklah bisa dipastikan bahwa pengetahuan tentang buruknya ke-zhalim-
an itu adalah penting, sejauh tidak ditemukan cara untuk mengetahuinya secara
detil tentang keburukan ke zhalim-an itu sendiri melalui pengetahuan dan
pengalaman " Dengan demikian, dapat dipahami secara jelas bahwa, al-badihiyyat
al 'aqliyyat itu seakan-akan hanya pengalaman semata yang berbeda dari pendapat
Ibn Sina yang menempatkannya sebagai pendahulu pengetahuan.

Dalam bidang psikologi, sikap 'Abd al-Jabbar yang empiristik ini


membantah teori yang menggambarkan akal sebagai "tabularasa" (lembar kertas
yang putih),atau mengeliminasi perananTuhan, dalam kaitanya dengan al-ilm al-
darury, sebagai semata-mata Dzat yang hanya mencipakan potes itu saja.

b. Al-Ilm al Muktasab ialah pengetahuan yang diperoleh melalui pikiran


atau ingatan, semisal orang yang berpikir tentang benda benda untuk mengetahui
Tuhan Dengan demikian, pengetahuan tentang Tuhan, menurut Abd al-Jabbar,
adalah pengetahuan muktasab.

Lalu, bagaimanakah hubungan antara akal dengan wahyu menurut Abd al-
Jabbar? Hubungan antara keduanya, menurutnya, tidak bisa disamakan
pengertiannya dengan hubungan yang selama ini dipahami para filosof la tidak
bisa disamakan dengan pengkompromian dua jalan yang mengantarkan pada
tujuan yang sama, mengapa ?

Menurut Abd al-Jabbar, manusia itu adalah makhluk yang ber akal dan
memiliki kemampuan untuk menentukan pilihan dan karena hikmah dan keadilan
Allahlah mengharuskan mereka mengemukakan dalil yang tepat agar kewajiban
yang dibebankan kepadanya menjadi sah Dalam pandangannya dalil tersebut,
secara garis besar, ada dua dalil 'aqliy dan dalil sam'iy Begitu pula taklif
(kewajiban) pun ada yang aqliy dan ada yang sam'iy

Ditegaskan bahwa kewajiban aqliy atau pencarian dalil aqliy se bagai


suatu tanggung jawab langsung manusia yang bersifat individual Itu sebabnya,
maka 'Abd al-Jabbar menegaskan batalnya semua pemikiran yang bertujuan

14
menghapuskan atau meremehkan tanggung jawab tersebut. Dengan demikian,
harus ada kegiatan berpikir untuk menemukan dalil tentang adanya Tuhan yang
merupakan kewajiban aqliyyat pertama bagi manusia Karena itu, pendapat yang
mengatakan bahwa mengetahui Tuhan bisa dilakukan dengan al-'ilm al-dharuriy
adalah keliru " Selain itu. Abd al-Jabbar mengajukan argumen bahwa adalah tidak
mungkin dipandang baik celaan Tuhan terhadap orang yang tidak mau berpikir
kalaulah bukan karena berpikir dan mengetahui itu didasarkan atas ikh tiar orang
yang berpikir.

Karena ma'rifat kepada Allah melalui dalil aqliy adalah tanggung jawab
individual pertama, maka 'Abd al-Jabbar menyerang dengan sengit pandangan
yang membolehkan taklid. "Taklidnya orang yang menga takan ke-qadim-an alam
tidaklah lebih baik daripada taklidnya orang yang mengatakan tentang ke-hadis-
annya", demikian katanya Selain itu, kepada kelompok mayoritas pun tidak
dibenarkan sebab tidak ada jamin an sama sekali bagi ketidaksesatannya orang
banyak Dengan demikian, bagi 'Abd al-Jabbar, tidak ada alternatif lain kecuali
melaku kan kegiatan berpikir dan memikul tanggung jawab Sesungguhnya pan
dangan seperti ini sama sekali tidak berbeda dengan pandangan para pengikut
Asy'ariy yang mengatakan bahwa, "tidaklah sah Islam seseorang kecuali ketika
dia sampai pada usia balignya berada dalam keadaan ragu dan tidak hanya
membenarkan saja apa yang diterima nya"

Akan tetapi, menggunakan akal dalam kaitannya dengan berpikir tentang


dalil-dalil tentang adanya Tuhan, sama sekali tidak ada nilainya kecuali yang
bersumber dari pemikiran yang menerima ketentuan syara', sebagaimana tidak
diakuinya keabsahan dalil sam'iy yang tidak ditopang oleh akal. Itu sebabnya,
maka 'Abd al-Jabbar menegaskan bahwa ber pikir itu wajib hukumnya Bahkan, ia
merupakan kewajiban yang per tama, karena kewajiban akal (al-taklif al-'aqliy) itu
mendahului kewa jiban sam'iy (al-taklif al-sam'iy). Seseorang memang harus
terlebih da hulu mengetahui Tuhan (ma'rifat Allah), baru sesudah itu mengetahui
dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh-Nya be rupa
hukum-hukum syara' Kalaupun kemudian nash menetapkan kewa jiban-kewajiban
itu, maka hal itu hanya merupakan penegasan atau konfirmasi.

15
Allah memberi tahu kita tentang kewajiban ma'rifat kepada-Nya melalui
dua jalan. Yang pertama, dari arah manusia itu sendiri, yakni Dia memberi tahu
kita melalui al-'ilm al-dharuriy bahwa kita wajib mengetahui sesuatu yang
membahayakan dalam derajat yang memungkinkan kita bisa menghindarinya.
Kedua, dari arah Tuhan, dalam arti baliwa Allah tidak akan mungkin menciptakan
dalil-dalil (petunjuk-petunjuk) kecuali untuk orang yang berakal. Sebab, kalau
tidak demikian itu pasti bertentang an dengan kebijaksanaan dan keadilan Tuhan
Jadi, kalau ternyata Tuhan menciptakan dalil-dalil dan kemudian menciptakan
alam yang memberi ke saksian tentang dalil-dalilnya maka dengan sendirinya
berpikir itu wajib bu kumnya bagi orang yang berakal.16

Sebagaimana telah disebut di atas 'Abd al-Jabbar mendasarkan


pandangannya dalam istinbáth al-ahkám pada dalil akal, sebagai urutan pertama,
sebelum al-Qur'an, al-Sunnah, dan al-ijma.17 Melihat urutan seperti ini jelas bahwa
peranan akal lebih tinggi dan penting dari dalil Halil lainnya Dasar
pertimbangannya, karena dengan akallah manusia mengetahui al-Qur an, al-
Sunnah, dan al-ijmd', dengan akal manusia apat membedakan antara yang baik
dan yang buruk Selain itu, Allah SWT juga tidak akan berbicara kecuali kepada
manusia berakal Semua pandangan di atas menurutnya, dapat dijadikan argumen
(hujjat) setelah manusia terlebih dahulu mengetahui Allah (ma'rifat Allah) dengan
kekuatan nalar akalnya

Lebih lanjut, Abd al-Jabbar berpandangan bahwa mukallaf yang berakal


wajib mengetahui dua kewajiban Pertama, kewajiban yang dapat diketahui oleh
akal (al-wajibat al-'aqliyyat) seperti kewajiban berterima kasih atas nikmat Tuhan,
mengembalikan titipan orang lain, membayar utang, dan lain sebagainya. Para
fuqaha memasukkan pembahasan dua contoh di atas, mengembalikan titipan
orang lain dan membayar utang. ke dalam bidang syari'ah, bagian muamalah Hal
itu menunjukkan bahwa dalam pandangan 'Abd al-Jabbar ada sebagian masalah
16
Ibid., hlm 510
17
Bunyi teks mengenai urutan sumber dalil adalah sebagai berikut:
َّ‫عرفَة هللا تعالى اَل تنُا َ ُل ِأال‬ ِ ‫ َوال ِكتَا‬,‫ ُح َّجةُ ال َعق ِل‬,ٌ‫ َأ َّن ال َّدالَلَةَ َأربَ َعة‬:‫فَعلَم‬
ِ ‫ َواِأل ج َم‬,‫ َو ُسنَّ ِة‬,‫ب‬
ِ ‫ َو َم‬,‫اع‬
ِ ‫بِ ُح َّج ِةال َع‬
‫قل‬
Artinya: Ketahuilah bahwa sungguh dalil itu ada empat: akal, al-Kitab, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
Adapun pengetahuan tentang Allah SWT. Tidak dapat diperolehkecuali dengan akal

16
syari'ah yang dapat diketahui oleh akal tanpa bantuan wahyu Kedua, kewajiban
yang hanya dapat diketahui oleh wahyu atau syara' Kewajiban terakhir ini sebagai
telah disebut dalam al-Kitab terbagi kepada dua Yaitu, per tama kewajiban iqrar bi
al-syahadatayn, yaitu pengakuan terhadap adanya Allah SWT dan pengakuan
terhadap Nabi Muhammad SAW se bagai utusan Allah SWT, dan kedua
menjalankan kewajiban salat, puasa haji dan ibadah-ibadah lainnya Menurutnya,
kedua kewajiban di atas dapat dipandang baik oleh Allah SWT, setelah mukallaf
berakal terlebih dahulu mengetahui ilmu tentang Allah, ke-Mahaesaan-Nya, dan
keadil an-Nya dengan kekuatan nalar akalnya Dengan demikian, akal dalam
pandangan 'Abd al-Jabbar dapat mencapai ma'rifat Allah (mengetahui Allah) dan
mengetahui kewajiban aqliy Oleh sebab itu, tidak menghe rankan apabila akal ini
ditempatkan pada urutan pertama, di atas wahyu. dalam urutan sumber dalil di
antara dalil-dalil lainnya.

Dalam pada itu, akal, menurut kaum Mu'tazilah, dapat mengeta hui
sebagian perbuatan baik dan sebagian perbuatan buruk, sedangkan sebagian
perbuatan baik dan sebagian perbuatan buruk lainnya dapat diketahui wahyu. Abu
Ishaq menyebut ketidakadilan sebagai contoh dari kejahatan yang dapat diketahui
akal, dan ia sebut zina sebagai contoh dari kejahatan yang tidak dapat diketahui
akal Sehubungan dengan contoh terakhir di atas, ia menyatakan bahwa "jika
sekiranya kita tidak percaya kepada wahyu yang dibawa Nabi Muhammad,
kejahatan yang terkandung dalam zina, akan lenyap" Di antara contoh perbuatan
baik yang tidak dapat diketahui akal adalah penyembelihan binatang untuk
keperluan tertentu

Sejalan dengan pendapat kaum Mu'tazilah di atas, akal dalam pandangan


Abd al-Jabbar juga tidak dapat mengetahui semua yang baik dan buruk, halal dan
haram Akal, baginya, hanya dapat mengetahui garis besar kewajiban-kewajiban,
ia tidak sanggup mengetahui perin ciannya, baik masalah hidup manusia di dunia
ini maupun masalah hidup manusia di akhirat nanti Untuk mengetahui perincian
tersebut, katanya, maka diperlukan Rasul untuk menjelaskan apa yang telah
diketahui oleh akal dalam garis besarnya. Di samping itu, menurutnya, bahwa
sekalipun akal dapat mengetahui kewajiban menjauhi perbuatan madarat Akan
tetapi, ada perbuatan-perbuatan yang tidak dapat diketahui oleh akal, apakah

17
membawa kebaikan atau kemadaratan Untuk mengetahui per buatan tersebut,
maka diperlukan wahyu.18

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa sekalipun 'Abd al-


Jabbar menempatkan dalil akal pada urutan pertama, namun tidak berarti bahwa ia
menjadikannya sebagai hdkim terhadap al-Qur'an dan mendahulukan dalil-
dalilnya daripada dalil-dalil al-sam Dalam menetapkan berbagai persoalan hukum,
ia tetap berpegang kepada dalil dalil al-sam.

Pada pembicaraan tentang kewajiban aqliy, kita telah mengetahui bahwa


pengetahuan dan pembuktian adanya Tuhan merupakan kewajiban aqliy yang
pertama dan paling penting di antara kewajiban-kewajiban lainnya Sebab,
kewajiban-kewajiban yang lain, seperti kewajiban mengetahui dalil-dalil syara',
baru dapat dilaksanakan sesudah seseorang mengetahui Tuhan.

Jika manusia, dengan akalnya, mengetahui bahwa Tuhan itu Mahaesa,


maka ia akan mengetahui bahwa al-Qur'an itu hujjat Demikan juga, jika manusia
mengetahui bahwa Tuhan mengutus Rasul dengan benar, maka ia akan
mengetahui al-Sunnah itu hujjat Selanjutnya, jika diketahui bahwa Rasul
bersabda: "Umatku tidak akan sepakat di dalam kesalahan", maka diketahui pula
bahwa ijma' itu hujjat19

2. AL-QUR`AN

Sebagaimana disinggung di atas, dalil itu ada yang aqliy dan sam'iy Bila sesuatu
sudah bisa diketahui melalui dalil aqliy, kezhalim-an misalnya, maka tidak
diperlukan dalil lain (sam'ty) Akan tetapi, bila tidak bisa diketahui dengan aqliy,
maka dalil lain diperlukan Dalil sam'iy dibutuhkan dalam kaitannya dengan
rincian kewajiban"aqliy yang bersifat global. Sebaliknya, mengetahui dalil sam 'iy
hanya bisa dilakukan melalui khabar yang disampaikan Rasul Karena itu, di
utusnya Rasul merupakan suatu kemestian Dengan demikian, kenabian, dalam
nisbatnya dengan akal, adalah hujjat penyempurna dalil yang de ngan itu taklif
menjadi baik Diutusnya Nabi, sekalipun merupakan per tolongan Allah, tetap

18
Abd al-Jabbar.Syarh al ushuln al khamsat, op.cit hlm 567-565
19
Dr. Nashr Hamid AbuZaydloc.cit

18
mengharuskan adanya kegiatan berpikir pada diri mukallaf yang melalui itu
kebebasan memilihnya dipelihara.

Dalil-dalil al-sam'ty yang disampaikan Rasul, antara lain, bisa berupa al-
Qur'an, Sunnah al-Rasul, dan bisa pula berupa al-ijma.

2.1. Pengertian Al-Qur'an dan Kemu'jizatannya

Al-Qur'an, menurut bahasa berarti "bacaan" atau yang dibaca Ia


mengandung himpunan ajaran agama terbaik yang memang harus di baca dan
dikaji oleh orang yang mengaku dirinya beriman kepada Allah SWT.

Dalam pandangan 'Abd al-Jabbar, al-Qur'an adalah kalam dan wahyu


Allah SWT yang diturunkannya kepada Nabi Muhammad SAW sebagai bukti atas
kenabiannya. Ia merupakan nikmat Tuhan terbesar dan Dia menjadikannya
sebagai petunjuk bagi manusia guna menda patkan hukum halal dan haram yang
tidak diketahui oleh akal manusia. Oleh sebab itu, kita wajib mengimani
kandungan al-Quran Selain tu, semua ulama telah bersepakat bahwa al-Quran itu
sebagai hujjat (argumentasi) yang berisikan larangan dan perintah yang wajib
ditaati oleh manusia, yang secara berangsur-angsur turun dan datang dari Allah
SWT.

Menurut Abd al-Jabbar, sebagai bukti bahwa al-Qur'an itu da tang dari
Allah SWT ditandai dengan adanya tantangan yang ditujukan kepada orang Arab
yang terkenal kefasihannya. Hal itu diungkapkannya dalam firman-Nya:

ِ ‫َأن يَْأ تُوا مِبِثْ ِل َٰه َذ ا الْ ُق ْر‬


َ ُ‫آن اَل يَْأ ت‬
‫ون‬ ْ ‫ِن َع لَ ٰى‬ ُّ ‫س َو ا جْل‬ ‫اج تَ َم َع ِ ِإْل‬ ‫ِئ‬
ُ ْ‫ت ا ن‬ ْ ِ‫قُ ْل لَ ن‬
‫ض ظَ ِه ًري ا‬ٍ ‫ض ُه ْم ل َِب ْع‬ َ ‫مِبِثْ لِهِ َو لَ ْو َك‬
ُ ‫ان َب ْع‬
Artinya: Katakanlah "Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk
membuat yang serupa Al-Qur'an ini, niscaya mereka tidak akan dapat membuat
yang serupa dengan dia, sekalipun sebagian mereka menjadi pembantu bagi
sebagian yang lain" (al-Isra' 88)
Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa manusia dengan segala
kemampuannya tidak mungkin mencapai ketinggian fashahat al-Qur'an, baik
dilakukannya secara individu maupun kelompok Tuhan, demikian kata 'Abd al-
Jabbar, menjadikan mukjizat Nabi sesuai dengan yang ter baik menurut

19
pandangan-Nya Sesuatu yang tidak baik yang didorong oleh keinginan hawa
nafsu kaumnya Nabi. Tuhan tidak menjadikannya mukjizat Antara lain, seperti
permintaan orang kafir kepada Nabi agar padang pasir yang mereka diami
memancarkan mata air, dan permintaan mereka kepada Nabi agar Tuhan beserta
malaikat-Nya dihadirkan-Nya di depan mereka Atas permintaan mereka kepada
Nabi tersebut, Tuhan menjawab dengan firman-Nya:

ۗ ‫ت ِإ اَّل بَ َش ر ا ر ُس و اًل‬
ُ ‫ان َر يِّب َه ْل ُك ْن‬
َ ‫قُ ْل ُس ْب َح‬
َ ً
Artinya Katakanlah ... Maha Suci Tuhanku, bukankah aku ini hanya seorang
manusia yang menjadi rasul ?" (al-Isra 93)
Permintaan orang-orang kafir tersebut tidak dikabulkan oleh Tuhan karena
hal tersebut di luar batas pengetahuan Nabi Hanya Allahlah, demikian kata 'Abd
al-Jabbar, yang Maha Mengetahui mana yang lebih maslahat bagi mereka Dalam
pandangan Allah hanya al-Qur anlah yang lebih cocok untuk dijadikan mukjizat
bagi mereka itu Ketika mereka ternyata lemah, tidak sanggup membuat al-Qur an,
kemudian Allah menantang mereka untuk membuat sepuluh surat dari al-Qur an,
sebagaimana firman-Nya:

ٍ ‫ قُ ل فَ ْأ تُوا بِع ْش رِ س و ٍر مِثْ لِهِ م ْف َت ر ي‬Fۖ ‫ون ا ْف َت ر اه‬


ِ‫ات َو ْاد عُ وا َم ن‬ ََ ُ َُ َ ْ ُ َ َ ُ‫َْأم َي ُق ول‬
َ ‫ون اللَّ هِ ِإ ْن ُك ْن تُ ْم‬
َ‫ص ادِقِني‬ ِ ‫اس تَ طَ ْع تُ ْم ِم ْن ُد‬ ْ
ْ َ‫فَ ِإ مَّلْ يَ ْس تَ ِج يبُ وا لَ ُك ْم ف‬
َ ‫اع لَ ُم وا َأ مَّنَ ا ُأنْ ز‬
ِ‫ِل بِع ِْل ِم اللَّ ه‬
Artinya Katakanlah (Kalau demikian), maka datangkanlah sepuluh surat
yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu
sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang
benar. Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu
maka ketahuilah, se sungguhnya al-Quran itu diturunkan dengan ilmu Allah"
(Hüd 13 dan 14).
Untuk membuat sepuluh surat pun, ternyata mereka tidak sang gup
Selanjutnya, Allah menantang mereka untuk membuat sebuah surat saja dari al-
Quran, sebagaimana firman-Nya:

20
‫ور ٍة ِم ْن مِثْ لِهِ َو ْاد عُ وا‬ ‫ٍ مِم‬ ‫يِف‬ ‫َو ِإ ْن ُك ْن تُ ْم‬
ُ ‫َر يْ ب َّ ا َن َّز لْ نَ ا َع لَ ٰى َع ْب دِنَا فَ ْأ تُوا ب‬
َ ‫ِس‬
َ‫ص ادِقِني‬َ ‫ون اللَّ هِ ِإ ْن ُك ْن تُ ْم‬ ِ ‫ِم ْن ُد‬ ‫ُش َه َد اءَ ُك ْم‬
Artinya: Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang al Qur'an yang Kami
wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang
semisal al-Qur an itu (al-Baqarah 23)
Tantangan Allah kepada orang-orang kafir untuk membuat satu surat yang
menyamai surat al-Quran ini pun ternyata tidak dapat mereka penuhi. Hal ini
menjadi bukti bahwa al-Qur an adalah mukjizat dari Allah yang terkandung di
dalamnya fashahat dan sastra yang tinggi serta merupakan bukti atas kebenaran
kerasulan Muhammad SAW.

Tantangan Allah SWT tersebut di atas tidak terbatas hanya diper untukkan
bagi manusia yang hidup semasa Nabi Akan tetapi, tantangan itu berlaku juga
bagi manusia yang hidup pada masa sekarang, bahkan berlaku juga bagi manusia
sepanjang zaman.20

Menurut Abd al-Jabbar, tantangan Allah tersebut ternyata tidak dapat


dipenuhi oleh orang-orang kafir Sebagai tindak kelanjutannya, mereka
menggunakan kekerasan Sikap tidak terpuji ini menunjukkan keburukan dan
ketidakmampuan mereka Jika mereka mampu mema tahkan tantangan Allah
tersebut dengan cara yang lebih mudah, maka mereka pasti tidak akan
menggunakan yang lebih sulit seperti kekerasan tersebut.21

2.2. Kemakhlukan al-Qur'an dan Hukumnya

Menurut Abd al-Jabbar, al-Qur'an sebagai kalam Allah SWT, yang antara
lain berisikan perintah dan larangan, tidaklah qadim tetapi baru (hadis) Orang
yang berpendapat bahwa al-Qur'an itu qadim adalah tidak mengerti, demikian
katanya Adanya ayat atau huruf yang dahulu dan yang kemudian dalam susunan
al-Qur'an menunjukkan bahwa ia tidak qadim Karena yang qadim tidak didahului
oleh sesuatu yang lain Sebagai contoh adalah huruf hamzat dalam firman Allah
SWT al-hamd It Allah didahulukan atas huruf lam Demikian pula, huruf lam
didahu lukan atas huruf al-ha dan seterusnya Semua itu menunjukkan
20
Abd AlJabbar, utasyabih al-quranopcit,375
21
Abd AlJabbar, Syarh Ushul AlKhamsat opcit,588

21
adanya.yang dahulu dan yang kemudian dalam susunan al-Quran Dalam pada itu
'Abd al-Jabbar menyebut ayat yang menunjuk akan baharunya al Qur'an, antara
lain, ayat berikut ini

ٍ
‫ون‬ ْ ‫ِك ٍر ِم ْن َر هِّبِ ْم حُمْ َد ث ِإ اَّل‬
َ ُ‫اس تَ َم عُ وهُ َو ُه ْم َي ْل َع ب‬ ِ ‫َم ا يَْأ ت‬
ْ ‫ِيه ْم ِم ْن ذ‬

Artinya Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur an pun yang baru
(diturunkan) dari Tuhan mereka, melainkan mereka mendengarnya, sedang
mereka bermain-main (al-Anbiya 2)
Kata dzikir di atas dimaksudkan adalah al-Qur an yang secara tegas Tuhan
menyebutnya baru (hadis). Menurut Abd al-Jabbar, kata dzikir yang bermakna al-
Qur'an itu diperjelas oleh ayat lain yang ber bunyi:

َ ُ‫الذ ْك َر َو ِإ نَّا لَ هُ حَلَ افِظ‬


‫ون‬ ِّ ‫ِإ نَّا حَنْ ن َن َّز لْ نَ ا‬
ُ
Artinya Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya
Kami benar-benar memeliharanya (al-Hijr: 9)
Dalam ayat di atas ditegaskan bahwa al-Qur'an itu diturunkan, kata 'Abd
al-Jabbar, mesti baharu Petunjuk lain yang menguatkan barunya al-Qur'an, yaitu
bahwa jika al-Qur'an itu gadim, maka tidak di butuhkan Pemelihara (Allah SWT)
yang memeliharanya.

Dalam ayat lain Alah SWT berfirman:

‫يِن‬ ‫هِب‬
َ ‫ِيث كِتَ ابًا ُم تَ َش ا ً ا َم ثَ ا‬ ْ ‫اللَّ هُ َن َّز َل‬
ِ ‫َأح َس َن ا حْلَ د‬

Artinya Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Quran yang
serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang ulang (al-Zumar 23)
Dalam ayat di atas didapatkan beberapa kata yang menunjukkan
baharunya al-Quran, antara lain seperti kata nazzala yang berarti menu runkan
Kata itu menunjukkan bahwa al-Qur'an mengalami perpindahan tempat, yang
tadinya di atas menjadi di bawah. Menurut logika, setiap yang mengalami
perpindahan tempat adalah baharu. Dengan demikian ayat di atas memberikan

22
indikasi bahwa al-Qur'an itu baharu. Jika demikian, maka ketentuan-ketentuan
hukum halal dan haram yang terkandung di dalam al-Qur'an juga baharu.

Jika al-Qur'an itu kalam, maka ia termasuk perbuatan Tuhan Dalam


pandangan 'Abd al-Jabbar, perbuatan Tuhan mempunyai hubungan erat dengan
al-'adl atau keadilan Tuhan. Jika disebut Tuhan adil.maka berarti semua perbuatan
Tuhan bersifat baik. Tuhan tidak berbuat buruk, dan tidak melupakan apa yang
wajib dikerjakan-Nya " Dengan demikian, Tuhan tidak membiarkan manusia
hidup dalam ketidaktahuan mengenai hukum halal dan haram Tuhan dengan
keadilan-Nya memberikan informasi mengenai hukum halal dan haram dalam al-
Qur'an yang tidak diketahui oleh akal manusia itu.

Hukum-hukum yang terkandung dalam al-Qur'an, umumnya, bersifat garis


besarnya saja, tidak sampai kepada perincian yang kecil-kecil Kebanyakan
penjelasan al-Qur an berada dalam al Sunnah. Sekalipun demikian, ketentuan-
ketentuan hukum yang terda pat di dalam al-Qur'an cukup lengkap Jadi, ia
merupakan pokok-pokok atau garis besar yang lengkap Memang, hukum-hukum
salat, zakat, puasa, haji dan sebagainya sudah jelas dalam al-Qur'an Na mun, al-
Qur'an sendiri tidak menjelaskannya dengan tuntas, yang menjelaskannya adalah
al-Sunnah. Demikian pula, tentang perkawin an, jual beli, qishash, dan lain-
lainnya.

Secara garis besar, al-Qur'an, berisikan perintah dan larangan melakukan


suatu perbuatan Perintah ini terbagi kepada dua wajib dan sunnah, demikian juga
larangan terbagi kepada dua haram dan makruh Hal-hal yang berada di luar
kategori wajib, sunah, haram, dan makruh, seperti mubah, tidak termasuk dalam
ruang lingkup perintah dan larang an di atas karena mubah adalah perbuatan yang
tidak terkait dengan pa hala dan dosa.22

2.3. Dalalat dan Takwil dalam al-Qur'an

Menurut jumhur al-'ulama', al-Qur'an, dilihat dari segi dalálat (petunjuk)-


nya atas makna yang dikehendaki, terbagi kepada dua ba gian, yaitu lafah yang
jelas maknanya dan lafzh yang tidak jelas maknanya . Suatu lafzh dikatakan jelas
22
Abd Al-Jabbar, AlMajmu Fiy al-Muhth bi al-Taklif. Al-Mathba at al
Kasulkiyat,Beirut,1965,hlm.3.

23
maknanya, apabila di dalam memahaminya tidak diperlukan penjelasan atau bukti
lain dari luar lafsh-nya Sebaliknya, suatu lafah dikatakan tidak jelas maknanya
apabila di dalam memahaminya diperlukan penjelasan atau bukti lain (qarinat)
dari luar lafzh-nya. Jadi, jelas atau tidaknya makna suatu lafzh banyak bergan
tung kepada perlu atau tidaknya penjelasan atau bukti lain dari luar lafzh-nya.

Sejalan dengan pendapat di atas, 'Abd al-Jabbar juga membagi lafzh al-
Qur'an kepada dua. Pertama, lafah yang tidak menerima takwil dan kedua lafzh
yang menerima takwil. Lafzh yang tidak menerima takwil, yakni lafah yang tidak
membutuhkan penjelasan atau garinat dari luar lafzh-nya, antara lain, lafzh al-
khash, seperti syat (seekor kambing) dan lafah al-'adad, seperti salasat (tiga) dan
lafzh yang menerima tak wil yakni lafzh yang membutuhkan penjelasan atau
qarinat dari luar lafsh-nya, antara lain, seperti alfazh al-'am dan alfazh al-
musytarak23

Dalam pada itu 'Abd al-Jabbar mengajukan konsep takwil yang


berlandaskan akal ataupun wahyu (al-sam iy) Rujukan yang bersifat al sam ty
kemungkinan terdapat di dalam al-Qur'an ataupun al-Sunnah, sedangkan rujukan
yang bersifat akal tentunya memerlukan ijtihad Da lam hal ini ijtihad bukanlah
semata-mata hasil pemikiran (rasionalitas). tetapi juga mempertimbangkan sisi
religiositas (keberagamaan).

Apabila terjadi pertentangan antara akal dengan wahyu, maka wahyu harus
ditakwilkan sesuai dengan konteks (qarinat)-nya atau ber dasarkan pertimbangan
kaidah-kaidah Dengan cara inilah setiap konflik yang terjadi antara akal dengan
wahyu dapat diatasi oleh 'Abd al-Jabbar.

Dalam al-Qur'an, selain terdapat ayat-ayat mutasydbihar ada juga ayat-


ayat muhkamat Ayat-ayat muhkamat ini telah dihukumkan oleh Allah maksud
maksudnya secara khusus sesuai dengan pengertian ba hasa, batasan-batasan
istilah atau dengan pembuktian rasio Jadi ayat ayat muhkamdi itu adalah ayat-ayat
yang maksudnya jelas dan sesuai dengan makna lahir Sebaliknya, ayat-ayat
mutasydbihat adalah ayat ayat yang pengertiannya tidak begitu jelas karena

23
Abd Al-Jabbar, al-Mughniy fiy Abwab al-tawhid wa aladl, op.cit.

24
berdasarkan pertim bangan bahasa (lughat) atau urf pengertiannya di luar makna
lahir,24

Menurut Abd al-Jabbar, sekalipun muhkam dan mutasyabih ada segi-segi


perbedaannya, namun ada juga segi-segi persamaannya Me ngenai persamaannya,
baik muhkam maupun mutasyábih kedua-duanya tidak mungkin dijadikan dalil
kecuali setelah lebih dahulu seseorang mengetahui dan meyakini keesaan dan
keadilan Tuhan Segi perbedaan nya, muhkam hanya mengandung satu pengertian
tertentu sehingga dapat mudah dipahami dengan cepat Berbeda halnya dengan
mutasyabih, ia memerlukan pemikiran dan pandangan kritis sehingga
pengertiannya da pat sejalan dengan muhkam atau dalil akal.

Sebagaimana telah disebut di atas takwil adalah produk ijtihad yang


diperankan oleh kerja akal dan muatan wahyu Sejalan dengan itu, Abd al-Jabbar
pertama-tama menempatkan ayat-ayat muhkamar sebagai rujukan untuk menak
wilkan ayat-ayat mutasyabihat25 Setiap ayat m tasyabihat bahkan juga hadis yang
kelihatan mengandung makna yang bertentangan dengan prinsip rawhid dan
keadilan Tuhan, ia takwilkan sejalan dengan makna yang terdapat di dalam ayat-
ayat muhkamar Da lam hal ini, tolok ukur yang digunakan 'Abd al-Jabbar untuk
menentu kan muhkam dan mutasyabih"" adalah prinsip tawhid dan keadilan
Tuhan.

Menurut Abd al-Jabbar, di antara dalalat al-Qur án yang me merlukan


takwil adalah alfazh al-'am dan alfazh al-musytarak Semua ulama bersepakat
bahwa dalálat al-'am mengandung satuan-satuan yang banyak Namun demikian,
Allah tidak menghendaki seluruh satuan itu Yang dikehendaki, umumnya, hanya
sebagian saja. Oleh karena itu, un tuk mengetahui sebagian dalálat al-'am itu
diperlukan takhshish.

Menurut Abd al-Jabbar dan jumhür ulama berpendapat bahwa dalálat


al-'am yang mencakup semua satuan-satuannya adalah zhanni yat Sebab,
umumnya nash-nash yang datang dengan shighat al-'âm itu dimaksudkan hanya
sebagian satuannya saja. Menurut mereka, karena dalálat al-'am ini zhanniyat

24
Abd Al-Jabbar, Mutasyabih –Qr’an, op. cit., hlm. 19
25
Abd Al-Jabbar, Syarh al –Ushul al-Khamsat op. cit. hlm. 607

25
maka dapat di-takhshish dengan dalil zhan niy, seperti khabar al-wahid atau al-
qiyas, baik yang demikian itu sebelum di-takhshish maupun sesudahnya. 26
Berbeda dengan pendapat di atas, kebanyakan ulama Hanafiyah berpendirian
bahwa dalálat al-'am yang mencakup seluruh satuannya adalah gath'iyyat, selama
tidak ada dalil yang mengeluarkan satuannya. Karena dalálat al- ám itu dicip takan
untuk menunjuk seluruh satuannya. Menurut mereka, karena dalálat al-'ám ini
qath'iyyar, maka tidak dapat di-rakhshish oleh dalil zhanniy seperti khabar al-
wahid atau al-giyás la dapat di-takhshish atau di-nasakh dengan dalil yang gath'iy
Karena dalálat al-'am kepada seluruh satuannya itu adalah qath 'iyyat.27

Sependapat dengan jumhur al-'ulama' di atas, 'Abd al-Jabbar berpendapat


bahwa dalálat al-'ám dapat di-takhshish oleh khabar al-wahid dan al-qiyás Bahkan
lebih jauh mereka pun sama-sama berpendapat bahwa dalálat al-'am tersebut dapat
di-rakhshish oleh dalil akal. Sebagai contoh firman Allah dalam surat al-Ra'd ayat
16, yang berbunyi:

‫ار‬ ِ ‫ِق ُك ِّل َش ْي ٍء َو ُه َو الْ َو‬


ُ ‫اح ُد الْ َق َّه‬ ُ ‫قُ ِل اللَّ هُ َخ ال‬

Artinya: katakanlah "Allah adalah Pencipta segala sesuatu"

Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu
Kemudian keumuman ayat itu di-fakhshish oleh akal yang menjelaskan bahwa
sekalipun Allah Pencipta segala sesuatu, namun la bukan Pencipta diri-Nya
sendiri.

Dari uraian di atas terlihat bahwa dalil akal dalam pandangan Abd al-
Jabbar sejajar dengan dalil qath'iy yang digunakan oleh ulama Hanafiyah dalam
men-takhsish dalalat al-'am Demikian pula. dalil akal ini sejajar pula dengan
khabar al-wahid dan al-qiyás yang digunakan oleh jumhur al-'ulama dalam men-
takhshish daldlar al am. Namun demikian, perlu dicatat bahwa dalil akal yang
men-lakh shish dalálat al-'am ini, sebelumnya, terlebih dahulu harus mengeta hui
Allah (ma'rifat Allah) dengan ke-Mahaesaan-Nya dan ke Mahaadilan-Nya.

26
Ibid, hlm. 89
27
Muhammad Adib Shalih, TAfsir al-Nushush.al Maktrab al-Islamy. Beirut, Jilid II 1984, hlm. 108-
110

26
Lafzh al-musytarak ialah lafzh yang mempunyai dua arti atau le bih yang
berbeda-beda.28 Misalnya lafah "al-'ayn" dapat berarti mata untuk melihat, mata
air, matahari, dan mata-mata. Jika dalam lafch al musytarak tidak ada qarinat yang
menunjukkan kepada arti yang sebe narnya, maka para ulama berbeda pendapat
Menurut ulama Hanafiyah lafzh al-musytarak itu tidak dapat digunakan untuk
seluruh arti yang banyak itu dalam satu pemakaian Sebaliknya, menurut 'Abd al-
Jabbar dan ulama Syafi'iyah pada umumnya, bila tidak ada qarinat yang
menunjukkan kepada arti yang dikehendaki, maka lafah al-musytarak itu
hendaklah diartikan kepada seluruh artinya selama arti-arti itu dapat di gabungkan
antara yang satu dengan yang lainnya Pemakaian arti-arti tersebut seluruhnya
dapat dibenarkan karena tidak ada qarinat yang menjelaskannya dan hal itu di luar
kemampuan manusia (taklif má lá yuthaq)

3. AL-SUNNAH

Bagi kaum Mu'tazilah, Tuhan wajib berbuat yang baik bahkan yang
terbaik bagi manusia, yaitu apa yang disebut dengan al-shalah wa al-ashlah Paham
ini dalam pandangan 'Abd al-Jabbar dekat hubungan nya degan ajaran luthf atau
rahmat Tuhan Tuhan, demikian kata Abd al-Jabbar, wajib menurunkan lutfh bagi
manusia. Yang dimaksud lutfh ialah semua hal yang akan membawa manusia
kepada ketaatan dan yang akan menjauhkan manusia dari maksiat. Dengan
demikian, Tuhan berke wajiban, umpamanya mengirim Rasul atau Nabi, untuk
membawa petun juk bagi manusia.29

Sebagaimana telah disebut di atas kemampuan akal manusia ter batas


dalam hal mengetahui segala yang baik dan buruk serta kewajiban secara rinci.
Allah SWT mengetahui bahwa kemaslahatan manusia ter gantung kepada wahyu
yang dibawa oleh para Rasul Sehubungan dengan itu, kata 'Abd al-Jabbar,
pengiriman Rasul menurut akal menjadi satu keharusan dan hal ini erat
hubungannya dengan keadilan dan luthf (rahmat) Tuhan.

Dalam pandangan 'Abd al-Jabbar, ajaran yang disampaikan oleh Rasul


tidaklah bertentangan dengan akal Karena ajaran wahyu meru pakan rincian

28
Muhammad Adib Shalih,op.cit.,hlm. 134
29
Abd Al-Jabbar,Syarh al-Ushul aKhamsat, p. cit., hlm. 563

27
(tafshil) apa yang telah diketahui akal secara global (mujmal). Dengan demikian,
fungsi wahyu adalah untuk merinci apa yang telah diketahui oleh akal secara
global Jadi, menurutnya, tidak mungkin terjadi pertentangan antara akal dengan
wahyu karena antara yang mujmal dengan yang tafshil tidak dikenal adanya
pertentangan.

Kebenaran Nabi Muhammad SAW sebagai rasul dibuktikan oleh mukjizat


serta ditandai dengan sifat-sifat kepribadiannya. Setiap rasul dipelihara oleh
Tuhan (ma'shum) Dengan pengertian bahwa rasul-rasul itu tidak mungkin
melakukan kesalahan dalam hal penerimaan wahyu dan penyampaian risalah
Selain itu, ia terpelihara dari dosa besar dan dosa kecil Oleh sebab itu, para rasul
merupakan rahmat dan maslahat bagi manusia Jika demikian halnya, maka para
rasul harus berkepribadian yang khusus dan terpuji Sehubungan dengan itu, para
rasul tidak mung kin keliru, lupa, berdusta, menyembunyikan wahyu yang
diterimanya, dan tidak menyampaikan risalah kepada umatnya. Dengan demikan,
se mua khabar yang dibawa oleh rasul pasti benar, baik itu berupa perkataan,
perbuatan, taqrir (pernyataan) maupun hal-ihwal Nabi Muhammad SAW.

Dalam pandangan 'Abd al-Jabbar, khabar yang dibawa oleh Nabi dapat
dijadikan dalil, baik itu al-Qur'an maupun al-Sunnah Al Sunnah, hadis dan al-
khabar adalah kata-kata yang mengandung arti yang sama dalam pandangan
kebanyakan ulama hadis dan 'Abd al Jabbar.

Al-Sunnah sebagai sumber dalil ketiga, setelah dalil akal dan al Qur'an, 30
cukup banyak ditunjukan oleh al-Qur'an, di antaranya adalah surat al-Hasyr ayat
7.

‫اك ْم َع ْن هُ فَ ا ْن َت ُه وا‬
ُ ‫ول فَ ُخ ُذ وهُ َو َم ا َن َه‬
ُ ‫الر ُس‬
َّ ‫اك ُم‬
ُ َ‫َو َم ا آت‬

Artinya Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah...

Maksud ayat di atas bersifat umum yang menyatakan bahwa segala apa
yang diperintahkan oleh Nabi wajib dikerjakan dan segala apa yang dilarangnya

30
Abd Al-Jabbar, Syarh al-Ushul al-Kamsatop.cit, hlm. 88

28
wajib ditinggalkan Jadi, tugas Nabi itu hanya memerintah yang baik dan melarang
yang buruk saja Dengan demikian, menjadi pe tunjuk bahwa hadis merupakan
salah satu sumber ajaran Islam.

Dalam surat Ali Imran ayat 32 Allah SWT menegaskan:

‫ِين‬ ُّ ِ‫ فَ ِإ ْن َت َو لَّ ْو ا فَ ِإ َّن اللَّ هَ اَل حُي‬Fۖ‫ول‬


َ ‫ب الْ َك افِر‬ َّ ‫قُ ْل َأطِيعُ وا اللَّ هَ َو‬
َ ‫الر ُس‬

Artinya Katakanlah "Taatilah Allah dan Rasul-Nya, jika kamu berpaling, maka
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir"
Ayat ini mengandung perintah untuk taat kepada Allah SWT dan Rasul-
Nya Taat kepada Allah itu dengan cara mengikuti sunnah nya Jadi menurut ayat di
atas, yang wajib diikuti bukan hanya yang tertulis dalam al-Qur'an saja, tapi juga
apa yang tertulis dalam hadis Nabi SAW.

Dalam surat al-Nisa ayat 80 Allah SWT menyatakan

َ‫اع اللَّ ه‬
َ َ‫ول َف َق ْد َأط‬
َ ‫الر ُس‬
َّ ‫ِع‬
ِ ‫َم ْن يُط‬

Artinya Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati


Allah

Berdasarkan ayat ini, ketaatan kepada Rasulullah merupakan manifestasi


dari ketaatan kepada Allah. Hal ini berarti, ketaatan kepada apa yang ditetapkan
oleh Rasulullah yang tertulis dalam hadisnya meru pakan manifestasi dari
ketaatan kepada Allah juga.

Dalam surat al-Ahzab ayat 21 Allah SWT menyatakan

َ‫ان َي ْر ُج و اللَّ هَ َو الْ َي ْو م‬


َ ‫ِم ْن َك‬ ْ ِ‫ول اللَّ ه‬ ‫ان لَ ُك ْم يِف‬
َ ‫ُأس َو ةٌ َح َس نَ ةٌ ل‬ ِ ‫َر ُس‬ َ ‫لَ َق ْد َك‬
‫ِري ا‬
ً ‫َك ث‬ َ‫ا آْل ِخ َر َو ذَ َك َر اللَّ ه‬
Artinya Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan dia banyak menyebut Allah.

29
Menurut ayat ini, tingkah laku kehidupan Nabi merupakan suri tauladan
bagi orang-orang yang beriman yang pernah bertemu dengan nya. Bagi orang-
orang yang tidak pernah bertemu dengannya cukup mempelajari dari hadis-
hadisnya 31

Dari ayat-ayat di atas didapat petunjuk bahwa hadis merupakan sumber


ajaran Islam di samping dalil akal dan dalil al-Quran sebagai sumber utamanya
Hadis ini berfungsi sebagai penjelas bagi al-Qur an Oleh sebab itu wajar bila hadis
sebagai penjelas ini menempati urutan sumber ajaran Islam setelah al-Qur'an.

Menurut Abd al-Jabbar, ilmu yang kita ketahui ada kalanya dida patkan
dengan perantaraan akal, seperti satu adalah separuh dari dua dan tiap-tiap yang
terjadi pasti ada yang menjadikannya Adakalanya juga ilmu yang didapatkan itu
melalui perantaraan panca indra, seperti si Ahmad mengatakan begitu dan berbuat
begini. Perkataan si Ahmad ini didapati dengan indra kuping, sedang
pekerjaannya didapati dengan in dra mata Dan adakalanya juga ilmu yang kita
dapatkan itu dengan khabar dari orang yang mendengar atau melihatnya.

Sehubungan dengan itu, kata 'Abd al-Jabbar, tidak semua khabar yang kita
dapatkan benar. Sebagian ada yang benar dan sebagian lagi ada yang salah (dusta)
Karena itu, menjadi kewajiban kita untuk me neliti kebenaran khabar yang
disampaikan kepada kita oleh para perawi.

Hadis-hadis Rasul di-khabar-kan kepada kita sekarang tidak diperoleh lagi


dengan penglihatan atau pendengaran kita. Akan tetapi, diperoleh melalui khabar
dari para perawi hadis. Dalam pandangan 'Abd al-Jabbar, khabar yang diberitakan
oleh para perawi hadis itu ada yang diketahui kebenarannya dan kedustaannya
Ada juga khabar yang tidak diketahui kebenarannya dan kedustaannya.

4. AL-IJMA'

Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau kesatuan pendapat


tentang sesuatu hal, Pada masa ulama salaf dan sampai masa Imam al-Syafi'iy,
definisi ijma secara formal belum dirumuskan secara lengkap oleh para ulama.
Dalam periode ini, misalnya, Imam al-Syafi'iy menerima ijmá dari masyarakat

31
Abu al-Husayn al-Bashriy, op.cit. hlm349-355

30
luas dan hampir-hampir menolak ijmd para ulama Ulama berikutnya, Abu Bakr
al-Jashshash, menyebutkan jenis-jenis ijmd yang sama seperti yang telah
ditunjukkan oleh Imam al-Syafi'iy, yaitu ijmd masyarakat dan ijma para ulama.32

Pada periode pasca al-Syafi'iy, periode klasik, pandangan al Syafi'iy


tersebut di atas justru menjadi sebaliknya ijmá masyarakat dipersempit dan ijmd"
para ulama diakui keberadaannya di kalangan para ulama sendiri. Karena itu,
definisi ijmd dimulai dengan pengajuan masalah mengenai kompetensi untuk
berperan serta dalam ijma tersebut.

Masalah pendefinisian ijma secara formal muncul dan berkembang


sepenuhnya di kalangan masyarakat pada dasawarsa terakhir abad ke-4 Hijriah
setelah kepemimpinan Islam terpecah menjadi kepemimpin an politik dan agama
Karena perpecahan ini, selanjutnya jmd masyarakat digeser ke latar belakang,
kemudian ijma para ulama men dominasi bidang hukum, terutama masalah-
masalah yang menimbulkan perbedaan pendapat di antara para ulama Kata ummat
yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi SAW pada periode ini, tidak lagi ditafsirkan
dengan masyarakat secara umum, tetapi ditafsirkannya dengan lebih spesifik lagi,
yaitu para ulama masyarakat ahli hukum Islam.

Menjelang akhir abad keempat Hijriah berbagai definisi ijma, secara


formal dirumuskan oleh para ulama ahli hukum 33 Abu al-Husaiyn al-Bashriy,
misalnya, mendefinisikan ijma dengan ungkapan sebagai berikut:

‫اع ٍة َعلَي َْأم ٍر ِم َن اْالُُم ْو ِرِأَّمافِ ْع ٍل َْأو َت ْر ٍك‬ ِ ٌ ‫اِِّت َف‬


َ َ‫اق م ْن مَج‬
Artinya Kesepakatan dari satu kelompok (jamaah) mengenai suatu masalah
tertentu baik yang berhubungan dengan tuntutan un tuk melakukan ataupun
tuntutan untuk meninggalkan sesuatu.
Definisi Abu al-Husayn al-Bashriy di atas pada gilirannya dijadikan
seperangkat acuan untuk menetapkan ijma Dalam pandangannya ijma tidak berarti
bahwa semua orang yang hidup semasa dengan Nabi. SAW. para mukallaf, serta
semua orang yang tidak mengerti tentang berbagai masalah ijtihad harus terlibat

32
Abu Bakr al-Jashshash,Ushul al-Fiqh.Dar al-Kutub al-Mshriyyat, Kairo, 1968, hlm. 278
33
Ahmad Hasan, The Doctrine of Ijma in Islam. Islamic Research Institute, Islamabad, hlm. 81.

31
Menurutnya yang harus terlibat dalam ijmd tersebut hanyalah kelompok mujtahid
sekalipun mereka ti dak terkenal.

Ulama lain, semisal al-Ghazaliy, mendefinisikan ijma dengan:


Artinya. Kesepakatan khusus dari seluruh masayarakat (umat) Muhammad SAW
mengenai suatu masalah yang berkaitan dengan agama.
Menurut al-Amidiy, definisi ijmd', sebagaimana dikemukakan oleh al-
Ghazaliy, yang menetapkan kesepakatan dari seluruh masyarakat muslim sejak
kedatangan Islam sampai hari kiamat telah mendapat ke caman keras dari para
ahli hukum Islam Karena ijmd seperti ini, menu rut mereka, dalam prakteknya
tidak mungkin dapat dijalankan.34

Dalam pandangan Abd al-Jabbar, md didefinisikan sebagai berikut:


Artinya: Tercapainya kesepakatan sebagian orang dengan sebagian yang lainnya.
Berdasarkan definisi ini, kata 'Abd al-Jabbar, hal yang penting dalam ma
adalah tercapainya kesepakatan orang banyak dalam satu masalah yang dianggap
sebagai obyek kesepakatan mereka Kesepakatan tersebut, menurutnya, tidak
berarti kesepakatan seluruh umat Muhammad SAW, tetapi kesepakatan orang
banyak yang khusus memiliki pengetahuan tentang konsep ijma dan mengetahui
kedudukannya yang sesungguhnya.35

Lebih lanjut, kata 'Abd al-Jabbar, suatu masalah dapat dinya takan sebagai
ijma' pada saat kesepakatan orang banyak terjadi secara dan dicapai karena tidak
adanya paksaan Kesepakatan tersebut bisa dicapai seketika atau pun bertahap
serta bisa menyangkut berbagai tindakan.

Dalam tindakannya, kesepakatan orang banyak sama seperti kesepakatan


sebagian orang dalam hal tidak menunjukkan kebenaran. Atas dasar ini, kiranya,
dapat dipahami bahwa 'Abd al-Jabbar secara tidak langsung tidak menerima hadis
Nabi SAW yang umumnya dijadikan landasan ijma' oleh jumhur al-'ulama, yaitu
hadis Nabi SAW:

34
Al-Amidiy, al-Ihkam fiy Ushul al Ahka,Kairo, Jild I, 1914, hlm. 281
35
Ibid

32
‫اِ َّن اللَه الَجُيْ ِم ُع‬:‫ال‬
َ َ‫صلَّى اهللَ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم ق‬
َ ُ‫َع ْن ابْ ِن عُ َمَر اَ َّن َر ُس ْو َل اهلل‬
‫ضاَل لَِة َر َواهُ الرِت ْ ِم ِد ْي‬
َ ‫اَُمىِت َعلَى‬
Artinya: Dari Ibn 'Umar bahwa Rasulullah SAW bersabda "Sesungguhnya
Allah tidak menyetujui umatku berbuat kesesatan" HR al-Tirmidziy

Berdasarkan hadis ini, menurut Abd al-Jabbar, kebenaran ijma umat tidak
mutlak bisa diperoleh Ijma' mereka bisa benar dan bisa pula salah Jadi, kebenaran
ijma' itu bergantung pada bukti atau indikasi (dalalah) yang diajukan oleh peran
serta orang yang melakukan ijma.36

Sebagaimana diketahui kelompok itu terdiri atas individu-in dividu yang


dapat melakukan kesalahan dalam keputusan mereka Jadi, bagaimana bisa
kesalahan dianggap tidak mungkin dalam kelompok ? 'Abd al-Jabbar menyatakan
salah bagi orang yang menganalogikan tin dakan-tindakan individu kepada
tindakan-tindakan kelompok yang dinyatakan sempurna oleh Nabi. Tindakan-
tindakan individu mungkin mengandung kesalahan karena tidak ada ketentuan
yang meyatakan in fallibitas individu. Juga tidak benar, dalam hal ijma, jika
sesuatu sifat dimiliki individu-individu, maka dengan sendirinya ia juga dimiliki
oleh seluruh kelompok.37

Abd al-Jabbar tidak sependapat dengan umumnya ulama yang


berpemikiran bahwa keberadaan (jmd sebagai sumber dalil adalah untuk mengisi
kesenjangan wahyu dan melindungi masyarakat agar tidak jatuh dalam kesalahan
setelah terhentinya wahyu Menurutnya, adillat al-sam dan dalil al-'aql sudah
cukup untuk memenuhi kebutuhan itu, baik masyarakat setuju atau tidak Kaum
muslimin dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka dengan menggunakan al-
Qur'an dan al-Sunnah sebagaimana yang dilakukan banyak masyarakat beragama
Islam di masa lampau la percaya bahwa ijmá hanya dapat dibenarkan dengan
dasar dalil al-Qur'an dan al-Sunnah saja.

Di antara dalil al-Qur'an yang dijadikan dasar kehujjahan ijma" adalah


surat al-Baqarah (2) ayat 143
36
Abd Al Jabar, al Muny Fiy ABwab al-0Tawhid a-adl, op.cit.
37
Ahmad hasan, op.cit.hlm. 218

33
‫ون‬
َ ‫اس َو يَ ُك‬
ِ َّ‫ُأم ةً َو َس طً ا لِتَ ُك ونُوا ُش َه َد اءَ َع لَ ى الن‬
َّ ‫اك ْم‬ َ ‫َو َك َٰذ ل‬
ُ َ‫ِك َج َع ْل ن‬
‫يد ا‬
ً ‫ول َع لَ ْي ُك ْم َش ِه‬
ُ ‫ۗ الر ُس‬
َّ
Artinya Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu. (umat Islam), umat
yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar
Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Dalam pandangan Abd al-Jabbar, pengertian kata ummat dalam di atas
tidak dimaksudkan seluruh manusia Jika kata ummat dimak yat sudkan seluruh
manusia, maka orang kafir dan orang fasik juga termasuk di dalamnya.
Menurutnya, kata ummat itu harus diartikan khusus, yaitu hanya orang-orang
mukmin yang terpuji dan terpilih dari umat manusia tersebut yang dapat
melakukan ijma.

Para ulama berselisih pendapat dalam penetapan, apakah masalah kidah


tercakup dalam hal-hal yang ditetapkan ijmd ataukah tidak Menurut jumhur
al-'ulama, masalah akidah ditetapkan atas dasar ketentuan syari'ah Oleh sebab itu,
menurut mereka, masalah ini ter masuk dalam jma Seperti masalah apakah Allah
dapat dilihat dengan mata kepala di akhirat nanti ataukah tidak.

Berbeda dengan pendapat di atas, 'Abd al-Jabbar dan Abu al Husayn al-
Bashriy berpendapat bahwa masalah akidah, seperti bahwa Allah Mahabijaksana
dan Mahaadil, dan juga bahwa Muhammad adalah seorang Rasul, tidak dapat
ditetapkan dengan ijmd Justru ijmd itu endiri didasarkan kepercayaan bahwa
Allah dan Rasul-Nya telah merestui otoritas ijmid, dan sesuatu yang mereka restui
adalah benar Dalam pandangan mereka masalah akidah adalah masalah kajian
akal semata-mata.

Namun demikian, 'Abd al-Jabbar dan mayoritas ulama berpenda pat bahwa
masalah-masalah yang berhubungan dengan syari'ah, yang tidak terdapat dalil
(qath'iy) tentangnya, dapat ditetapkan oleh ke sepakatan hasil ijtihad para ulama.
Secara khusus, masalah duniawi. seperti, perlengkapan angkatan bersenjata,
politik, pertanian, dan seba gainya, dalam pandangan Abd al-Jabbar ada dua
pendapat. Pertama, má tidak merupakan otorita dalam masalah seperti itu sebab ia
tidak Debih utama dibandingkan pendapat Nabi Pendapat beliau bersifat otoritatif

34
dalam masalah-masalah hukum syara', tapi tidak dalam masalah-masalah yang
menyangkut manfaat-manfaat duniawi (mashalih l-dunya) Beliau sendiri biasa
bermusyawarah dengan para sahabat da am soal-soal perang, terkadang beliau
menerima nasihat mereka dan erkadang mengesampingkannya. Karena itu ijmd
tidak bisa dianggap ebagai otorita dalam masalah-masalah seperti itu Kedua, ijmd
adalah torita dalam masalah-masalah duniawi jika ia disetujui oleh orang orang
yang kompeten dan dapat diandalkan (ahl al-ijtihad wa aladalat). Ini adalah karena
bukti-bukti verbal, yakni al-Quran dan al Sunnah (al-dala il al-sam'iyyat) yang
membenarkan ijma tidak mene tapkan pokok-pokok soal yang khusus untuk ijmd
Keputusan Nabi da lam masalah-masalah peperangan dapat dikatakan benar jika
beliau men dapat ilham dari wahyu Ilahi. Tapi jika keputusan tersebut berdasarkan
pendapat pribadi Beliau dan ternyata salah, Beliau tidak bersikeras
mempertahankannya "Beliau akan dikoreksi oleh wahyu atau oleh para sahabat.
Ini juga berlaku dalam ijma Begitu ijmd ditetapkan, maka tidak mungkin ada
kesalahan Pendapat Nabi dan Ijma' itu identik dalam infallibitasnya Pendapat di
atas, pada gilirannya, diikuti oleh al-Raziy dan al-Amidiy serta para pengikut
lainnya.38

Itulah di antara pokok-pokok pikiran Al-Qadhiy Abd al-Jabbar tentang


ijmd sebagai sumber dalil keempat setelah dalil akal, al-Qur'an, dan al-Sunnah,
yang jelas berbeda dengan pendapat jumhur al-'ulama.

38
Abd Al-Wahhab Khallaf,Ilm UShul al –Fiqh, op. cit hlm. 27

35
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam ijtihad ini, sumber dalil yang digunakan oleh "Abd al Jabbar adalah
akal, al-Qur'an, al-Sunnah, dan al-ijma Keempat sumber dalil ini dijadikan
landasan berpikir untuk mempelajari berbagai persoalan yang dihadapinya,
baik persoalan teologi maupun persoalan syari'ah. Dalam penerapannya
keempat sumber ini menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari
unsur yang lainnya.
Berbeda dengan pandangan di atas, jumhur al-'ulama' mendasari
pandangannya dalam istinbath al-ahkam pada sumber dalil al-Qur'an, al-
Sunnah, al-ijma, dan sejumlah sumber dalil lainnya, seperti al-qiydı, al-
istihsán, al-istishlah, dan sebagainya. Melihat urutan seperti ini jelas bahwa
peranan akal hampir tidak berfungsi. 'Abd al-Jabbar justru sebaliknya, ia
menempatkan dalil akal pada urutan pertama sebelum al Qur'an, al-Sunnah,
dan al-ijma' dalam mendasari pandangan istinbath al-ahkâm-nya Dengan
demikian, pandangan 'Abd al-Jabbar, sama de ngan umumnya kaum
Mu'tazilah, yang menempatkan dalil akal pada kedudukan yang tinggi bila
dibandingkan dengan sumber-sumber dalil lainnya.
Dalam pandangan 'Abd al-Jabbar, akal ini dapat mengetahui yang baik dan
yang buruk. Selain itu, Allah SWT tidak akan berbicara kecuali dengan
manusia berakal Semua pandangan di atas, menurutnya, dapat dijadikan
argumen (hujjat) setelah manusia terlebih dahulu mengetahui Allah (maʼrifat
Allah) dengan akalnya, sebagaimana yang diketahui dalam ajaran al-tawhid
wa al-'adl yang menjadi inti dari ajaran teologi yang dianutnya.
Menurut jumhur al-'ulama', akal tidak sanggup mengetahui kewajiban-
kewajiban, baik secara global maupun secara terperinci, kecuali
diinformasikan oleh wahyu. Bagi Abd al-Jabbar justru sebaliknya, akal dapat
mengetahui garis besar kewajiban-kewajiban. Namun demikian, ia pun
mengakui bahwa akal tidak sanggup mengetahui perinciannya, kecuali sedikit.

36
Untuk mengetahui perincian tersebut, maka diperlukan informasi dari wahyu
yang dibawa oleh rasul. Di sini terlihat bahwa fungsi wahyu dalam pandangan
'Abd al-Jabbar hanyalah untuk merinci apa yang telah diketahui oleh akal
secara global. Dalam pada itu, akal, menurutnya, juga tidak sanggup untuk
mengetahui apakah perbuatan itu mengandung maslahat atau madarat. Untuk
itu wahyulah yang menjelaskannya

DAFTAR PUSTAKA

Aen, I. N. (1998). Disertasi Konsep Mushawwibat Al-Qadhi ‘Abd Al-Jabbar dan


Relevansi dengan Dasar Teologinya. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah.

Abd Habib Sa'diy, Maws at al-Ijma' fiy al-Fiqh al-Islamiy Maktabat al-Kubrá,
Mesir, 1969

Matondang, Ali Yakub, Tafsir Ayat-ayat Kalam Menurut Al-Qadhiy Abd al-
Jabbar Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1987.

Al-Mubarakfuniy, Abu al-'Ula, Muhammad Abd al-Rahman ibn 'Abd al Rahim,


Tuhfat al-Ahwadziy Syarh Jámi al-Turmudziy. Al Maktabat al-
Salafiyyat, Medinah, Juz IV, 1967.

Praja, Juhaya S., Filsafat Hukum Islam. Piara, Bandung, 1993.

Al-Qardhawiy, Yusuf, al-Ijtihad fiy al-Syari'at al-Islamiyyat ma'a Nazharát


Tahliyyat fiy al-Ijtihad al-Mu'dshir. Dar al-Qalam, Kuwait

Al-Qaththan, Manna, Mabáhis fiy 'Ulum al-Quran. Mansyurat al Ashr al-Hadis,


Riyad, 1973

Al-Rawiy, Abd al-Sattar, al-'Aql wa al-Huriyyat: Dirdsat fiy Fikr al Qadhiy Abd
al-Jabbar. Al-Mu'assasat li al-Dirasat wa al-Nasyr, Beirut, 1980
al-Umm Al-Mathba'at al-Amiriyyat, Kairo, Juz VII, 1325 H.

37
Al-Thabariy, Tarikh al-Thabariy Dar al-Ma'arif, Kairo, Juz VIII, 1963. Al-
Tirmidziy, Sunan al-Tirmidziy Maktab Dahlan, Indonesia, Jilid 111,

Al-Tirmisiy, Muhammad Mahfuzh ibn Abd Allab, Manhaj Dzawiy al Nazhar


Ahmad ibn Sa'd ibn Nabhan, Surabaya, 1974

Al-Zuhayliy, Wahbah, al-Wasith fiy Ushal al-Fiqh al-Islamiy. Al Mathba'at


al-'Ilmiyyat, Damsyiq, 1968.

38

Anda mungkin juga menyukai