Anda di halaman 1dari 23

PERAN KEPOLISIAN DALAM MENGATASI KONFLIK

HORIZONTAL ANTARA ORGANISASI KEPEMUDAAN


YANG BERDAMPAK PADA TINDAK PIDANA

DI SUSUN OLEH

KHAIRUNNISA RAMADHANI PRAMITA ( 22111027 )


DEBY ARVITA (22111033)
GANANG AULIA BUDIARTO (22111025)

DOSEN PENGAJAR

Adi Putra,.S.H.,M.H.

PROGRAM STUDI FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS DHARMAWANGSA MEDAN

TA . 2022 /2023.

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan Tugas
Karya Ilmiah ini yang berjudul “Peran Kepolisian Dalam Mengatasi Konflik
Horizontal Antara Organisasi Pemuda Yang Berdampak Pada Tindak Pidana”.
Makalah ini kami buat dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata kuliah
Bahasa Belanda . Dalam membuat makalah ini, dengan keterbatasan ilmu yang
kami miliki kami berusaha mencari sumber data dari berbagai sumber informasi.
Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran dari semua pihak yang selalu membangun, kami selalu harapkan demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga penyusun makalah ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi para pembaca. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih.

Medan 21 Des. 22

Tim Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……...………………..…………………………….2

 DAFTAR ISI……………………………………………………………….3

 BAB I PENDAHULUAN

 Latar Belakang Masalah……………………………………............4

 Rumusan Masalah…………………………………………...……..6

BAB II PEMBAHASAN

 peran POLRI yang dimainkan dalam penyelesaian konflik, sudah sejalan


dengan mekanisme hukum yang sudah ditetapkan ?......................7

 Akibat hukum anggota secara perseorangan dan organisasi kepemudaan


berbadan hukum atas terjadinya konflik?.........................................10

 Upaya dan Hambatan yang Dialami Kepolisian dalam Penyelesaian


Konflik Antar Organisasi Kepemudaan?.............................................15

BAB III PENUTUP

 Kesimpulan………………………………………………….............20

 Saran………………………………………………………..……….21

DAFTAR PUSTAKA..........................................................…………................23

3
Bab 1
Pendahuluan
Latar Belakang
Sejak manusia ada, sejarah konflik sudah ada mulai dari Konflik sosial, konflik
komunal, konflik horizontal, kekerasan, tawur antar warga, antar suku,
penganiayaan, pembunuhan, pembakaran, kerusuhan, perampokan, penjarahan,
ketidakadilan, politik uang dan korupsi sudah merasuk pada kehidupan sebagian
masyarakat di Indonesia. Konflik sosial membuat korban menjadi trauma, adanya
pengungsian dan penderitaan yang berkepanjangan. Peristiwa-peristiwa tragis
tersebut tidak bisa dilepaskan dari masalah-masalah yang sudah melilit kelompok-
kelompok masyarakat.

Konflik adalah sesuatu yang wajar dan biasa ditemui dalam bersosial di
masyarakat seperti apa yang diakatakan oleh Ramlan Surbakti, bahwakonflik
mengandung definisi benturan, seperti perbedaan pendapat, persaingan, serta
pertentangan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun
kelompok dengan kelompok, hingga pemerintah dengan individu /kelompok.1
Konflik terjadi karena perbedaan dan kelangkaan kekuasaan, perbedaan dan
kelangkaan posisi sosial, dalam masyarakat serta posisi sumber daya atau karena
disebabkan sistem nilai dan penilain yang berbeda. Konflikpun tidak hanya terjadi
pada individu saja tetapi juga dapat terjadi pada atau antar organisasi.2

Terhadap peristiwa konflik yang terjadi antar organisasi kemasyarakatan atau


organisasi kepemudaan apabila perbuatan tersebut merugikan orang lain
menganggu ketertiban dan/atau bertentangan dengan hukum pidana, sudah tentu
pihak-pihak yang melakukannya harus dimintai pertanggungjawaban pidana
sebagai akibat dari konflik yang terjadi Atas dasar itu khusus terhadap peristiwa

1
Anam Miftakhul Huda dan Vembita Sapna Key. “Model Guyup Rembug Dalam Penyelesaian
Konflik : Pada Konflik Antara Forpak Dengan Karang Taruna Di Desa Sidodadi”. dalam Jurnal
Translitera, Edisi 4, 2016, halaman 2-3.
2
Ibid hal 3

4
konflik yang terjadi antar organisasi kepemudaan di tengah-tengah masyarakat
oleh karena itu sangat diperlukan fungsi Kepolisian untu menindak pihak-pihak
yang mengganggu ketertiban dan keamanan di masyarakat dan melindungi
kepentingan hukum masyarakat sesuai Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepentingan hukum yang
wajib dilindungi itu ada 3 (tiga) macam, yaitu sebagai berikut:

a. Kepentingan hukum perorangan (indivudale belangen), misalnya


kepentingan hukum terhadap hak hidup (nyawa), kepertingan hukum atas
tubuh, kepentingan hukum akan hak milik benda, kepentingan hukum
terhadap harga diri dan nama baik, kepentingan hukum terhadap rasa
susila dan lain sebagainya.

b. Kepentingan hukum masyarakat (sociale of maatschappelijke belangen),


misalnya kepentingan hukum terhadap keamanan dan ketertiban umum,
ketertiban berlalu lintas di jalan raya, dan lain sebagainya.

c. Kepentingan hukum Negara (staatsbelangen), misalnya kepentingan


hukum terhadap keamaan dan keselamatan Negara, kepentingan hukum
terhadap Negara-negara sahabat, kepentingan hukum terhadap martabat
kepala Negara dan wakilnya, dan lain sebagainya3.

Negara Indonesia berdasarkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia Tahun


1945 menjelaskan dengan tegas, bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum
(rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Hal itu
berarti bahwa Republik Indonesia ialah Negara hukum yang demokratis
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga
Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, serta wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak 2 ada kecualinya 4.

3
M. Syamsudin. 2015. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim. Jakarta: Kencana, halaman 17
4
Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad Santosa, 1986, KUHAP;
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan PeraturanPeraturan Pelaksanaan, Jakarta,
Penerbit Djambatan, hlm. 95

5
Rumusan masalah

1. Apakah peran POLRI yang dimainkan dalam penyelesaian konflik,


sudah sejalan dengan mekanisme hukum yang sudah ditetapkan ?

2. Bagaimana akibat hukum anggota secara perseorangan dan organisasi


kepemudaan berbadan hukum atas terjadinya konflik?

3. Apakah Upaya dan Hambatan yang Dialami Kepolisian dalam


Penyelesaian Konflik Antar Organisasi Kepemudaan?

6
Bab 2

Pembahasan

1. Apakah peran POLRI yang dimainkan dalam penyelesaian konflik,


sudah sejalan dengan mekanisme hukum yang sudah ditetapkan

Pokok bahasan dari konsep pencegahan konflik sosial ini, yang disebabkan
dari benturan kepentingan selanjutnya disebut Konflik, adalah perseteruan
dan / atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat
atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang
mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu
stabilitas nasional menghambat pembangunan nasional (cf. Pasal 1 angka 1
UU No. 10 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial) .

Untuk itu, Kepolisian dalam mengemban tugas dan wewenang dengan


mengembangkan strategi Kepolisian, sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma
hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia; dan Dalam melaksanakan tugas dan
wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), 11 POLRI mengutamakan
tindakan pencegahan” . Dengan mengacu pada strategi penanganan Konflik sosial
oleh Pemerintah, kerangka regulasi yang ada mencakup 3 (tiga) strategi:

1. Pertama, kerangka regulasi dalam upaya Pencegahan Konflik seperti regulasi


mengenai kebijakan dan strategi pembangunan yang sensitif terhadap Konflik
dan upaya Pencegahan Konflik.

2. Kedua, kerangka regulasi bagi kegiatan Penanganan Konflik pada saat terjadi
Konflik yang meliputi penghentian kekerasan dan pencegahan jatuhnya
korban manusia ataupun harta benda.

7
3. Ketiga, Kerangka regulasi bagi penanganan pasca konflik, yaitu ketentuan
yang berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum serta
kegiatan pemulihan, reintegrasi, dan rehabilitasi. Untuk memberdayakan
tugas menjaga keamanan dalam negeri dan memelihara ketertiban masyarakat
dari gangguan yang akan ditimbulkan oleh konflik kekerasan, maka
diperlukan strategi “pencegahan konflik sosial”.

Oleh karena penanganan konflik sosial sangat kuat dengan dimensi


kolektivitas, maka peran penegakan hukum dan ham yang dijalankan oleh
POLRI dibantu oleh TNI, dan Pemerintah sedapat mungkin dipadukan dengan
peran-peran POLRI dengan strategi Perpolisian Masyarakat (Community
Policing) dengan mengedepankan penyelesaian masalah (problem solving),
yakni peran pengamanan dan penertiban masyarakat, serta peran
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat. Polisi selain
menangani terhadap kejahatan (repressive policing), polisi harus lebih besar
perhatiannya terhadap penanganan masalah konflik sosial dan sumbersumber
konflik, dengan menganalisa problemproblem sosial sebagai masalah
(problem oriented policing).

Dengan menganalisis dan pemecahan masalah secara dini timbulnya


penyimpangan sosial dan konflik sosial agar dapat dicegah secara dini.
POLRI sebagai garda terdepan dalam menjaga keamanan dan ketertiban
masyarakat, tugasnya di tengah-tengah masyarakat obyeknya antara lain
masyarakat dalam wilayah tertentu yang didiami oleh masyarakat tersebut.

Maka potensi yang ada di masyarakat harus diupayakan pemanfaatannya agar


dapat didayagunakan dalam rangka untuk mencapai tugas pokok POLRI.
Dalam menjalankan perannya POLRI wajib memiliki keahlian dan
ketrampilan secara profesional, sejalan dengan perintah Pasal 30 ayat (4)
UUDNRI Tahun 1945 dan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara
yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan

8
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri. Sedangkan Pasal 30 ayat (3) UUDNRI Tahun 1945 Tentara Nasional
Indonesia yang selanjutnya disingkat TNI, terdiri dari Angkatan Darat,
Angkatan Laut, dan Angkatan Udara, adalah alat negara yang bertugas
mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan
Negara.

Oleh karena rakyat Indonesia sebagian terbesar juga tunduk pada hukum adat,
sebagaimana negara modern yang mengindahkan instrumen internasional,
maka kehidupan hukum juga mengindahkan budaya Indonesia, sebagaimana
dimaklumi pada kearifan lokal, gotong royong, kebersamaan, musyawarah
mufakat dengan norma-norma yang terkandung nilai-nilai luhur, menjunjung
tinggi martabat hak asasi manusia.

9
2. Bagaimana akibat hukum anggota secara perseorangan dan organisasi
kepemudaan berbadan hukum atas terjadinya konflik

konflik antar kelompok masyarakat, dalam hal ini tentulah yang dimaksud konflik
antar Ormas OKP yang berujung pada bentrokan yang tidak jarang merugikan
masyarakat yang tinggal di tempat terjadinya bentrokan tersebut. Untuk setiap
orang atau barang siapa sebagai subjek hukum yang merugikan orang lain sudah
sepatutnya menerima konsekuensi (akibat hukum) dari perbuatannya tersebut.
Subjek hukum baik perorangan maupun dalam bentuk badan hukum (OKP) baru
dapat dikenakan suatu akibat hukum apabila memang terbukti telah melakukan
perbuatan pidana.

Pemahaman perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban


pidana. perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya
perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Terkait dapatnya orang yang melakukan
perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada tindakan orang itu dalam
melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan.

Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban pidana (akibat hukum


secara pidana) mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang
perbuatan pidana. sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana
tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Adalah dirasakan tidak adil
jika tiba-tiba seseorang harus bertanggungjawab atas suatu tindakan, sedang orang
itu sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.5

Perbuatan pidana itu sendiri identik dengan suatu perbuatan kejahatan. Kejahatan
merupakan suatu fenomena yang kompleks yang dapat dipahami dari berbagai sisi
yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai
komentar tentang suatu peristiwa kejahatan yang berbeda satu dengan yang lain.
Dalam pengalaman kita ternyata tak mudah untuk memahami kejahatan itu
sendiri.Terdapat 2 (dua) unsur tindak pidana yaitu unsur subjektif dan objketif
dari tindak pidana. unsur objektif antara lain: perbuatan orang, akibat yang

5
Mahrus Ali. 2015. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika hal 77

10
kelihatan dari perbuatan itu atau mungkin keadaan tertentu yang menyertai
perbuatan. Sedangkan unsur subjektif yaitu orang yang mampu
bertanggungjawab, adanya kesalahan. Perbuatan harus dilakukan dengan
kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau
dengan keadaan mana perbuatan dilakukan.6 Tujuan untuk mengetahui adanya
tindak pidana, harus terlebih dahulu dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan pidana tentang perbuatanperbuatan yang dilarang dan disertai dengan
sanksi. Rumusan-rumusan tersebut menentukan beberapa unsur atau syarat yang
menjadi ciri atau sifat khas larangan tersebut sehingga dengan jelas dapat
dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk
kepada sifat perbuatan saja, yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau
dilanggar.

Begitu pula dengan peristiwa konflik antar OKP di Kota Medan, barulah dapat
seseorang maupun OKP sebagai badan hukum dapat dikenakan sanksi pidana atau
akibat hukum apabila memang dalam kejadian konflik tersebut disertai dengan
perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana. Tujuan dari penerapan
akibat hukum bagi anggota secara perseorangan dan organisasi kepemudaan
berbadan hukum atas terjadinya konflik tersebut ialah tidak lain demi adanya
perlindungan hukum bagi masyarakat secara umum.

1. Akibat Hukum Bagi Individu/anggota OKP Manusia adalah subjek utama


hukum pidana sekaligus objeknya. Untuk itulah dari manusia hukum
berasal dan dijalankan, sehingga terletak pada manusia pula supremasi
hukum ditegakkan. Sebagaimana diuraikan sebelumnya, unsur pertama
tindak pidana adalah perbuatan manusia. Pada dasarnya yang dapat
melakukan tindak pidana adalah manusia sendiri. Ini dapat disimpulkan
berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

6
Ismu Gunadi W dan Jonaedi Efendi. 2011. Cepat dan Mudah Memahami Hukum Pidana. Jakarta:
Prestasi Pustaka, halaman 44.

11
1. Rumusan delik dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata: barang
siapa yang…”. Kata “barang siapa” ini tidak dapat diartikan lain dari pada
“orang”.

2. Dalam Pasal 10 KUHP disebutkan jenis-jenis pidana yang dapat dikenakan


kepada tindak pidana. pada dasarnya, jenis-jenis pidana tersebut hanya bisa
dikenakan kepada manusia.

3. Dalam pemeriksaan perkara dan juga sifat dari hukum pidana yang dilihat,
ada atau tidaknya kesalahan terdakwa memberi petunjuk bahwa yang dapat
dipertanggungjawabkan itu adalah manusia.

4. Pengertian kesalahan yang dapat berupa kesengajaan dan kealpaan merupakan


sikap dalam batin manusia.

Dikaitkan dengan konflik antar OKP, disebutkan apabila konflik antar OKP
tersebut mengakibatkan orang lain merasa dirugikan, hal itu harus diproses
secara hukum dalam artian pihak yang merugikan orang lain itu harus
dikenakan akibat hukum.

2. Akibat Hukum Bagi OKP sebagai badan hukum Berkaitan dengan akibat
hukum bagi OKP sebagai badan hukum Organisasi Kepemudaan
bersangkutan sebagai badan hukum tidak dapat ikut
dipertanggungjawabkan secara hukum atas terjadinya konflik antar
anggota OKP. Sebenarnya organisasi dibuat untuk kebaikan tetapi anggota
yang ada di dalamnya yang menyalah/menyalahi aturan.

Biasanya juga perseorangan tersebut diluar dari organisasi melakukan


jambret, begal, memakai narkoba dan lain sebagainya. Sehingga sampai
sekarang belum ada bentuk akibat hukum yang konkret secara peraturan
perundang-undangan yang dapat diterapkan kepada OKP sebagai badan
hukum atas peristiwa konflik yang terjadi antar anggotanya dengan organisasi
lainnya.

12
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang
Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang. Ormas Kepemudaan
yang saat terjadinya konflik antar OKP terbukti melakukan tindakan
kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak
fasilitas umum dan fasilitas sosial dapat dikenakan sanksi administrative
dan/atau pidana sebagaimana ketentuan Pasal 60 ayat (2). Selanjutnya sanksi
administratif yang dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 61 ayat (3),
berupa:

a. pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri; atau

b. pencabutan status badan hukum oleh menteri yang menyelenggarakan


urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Lebih lanjut Pasal 80A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 menjelaskan:


“Pencabutan status badan hukum Ormas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
61 ayat (1) huruf c dan ayat (3) huruf b sekaligus dinyatakan bubar”. Sesuai
dengan kaidah hukum tersebut maka dapatlah dikatakan apabila saat konflik
antar OKP terjadi ada tindakan kekerasan-kekerasan, mengganggu ketertiban
umum maupun pengrusakan, OKP tersebut dapat dikenakan akibat hukum
berupa pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri, pencabutan status
badan hukum OKP dan sampai pada pembubaran OKP yang bersangkutan.

Konflik OKP yang merugikan masyarakat sebagaimana disebut di atas harus


diproses secara hukum melalui penegakan hukum dari pihak Kepolisian.
Tindakan penegakan hukum harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku
sebagaimana amanah undang-undang.

Tegaknya hukum bertujuan untuk terciptanya kedamaian dan ketentraman


serta cita-cita bangsa Indonesia. Negara Indonesia merupakan negara yang
sedang berkembang tentunya tidak terlepas dari pengaruh perkembangan
zaman. Pada masa perkembangan saat ini tidak hanya membawa pengaruh
besar pada Negara Indonesia melainkan juga berdampak pada perkembangan

13
masyarakat, perilaku masyarakat, maupun pergeseran budaya (culture) dalam
masyarakat, terlebih lagi setelah masa reformasi kondisi ekonomi bangsa ini
yang semakin terpuruk. Sehingga tidak hanya mengalami krisis ekonomi di
masyarakat saja, namun juga berdampak pada krisis moral pada masyarakat.7

7
Marwan Busyro. “Tinjauan Kriminologis Terhadap Preman yang Melakukan Kejahatan (Studi
Kasus Polsek Batangtoru)”. dalam Doktrina: Journal Of Law¸Volume 2, Nomor 2, Oktober
2019.hal 100

14
3. Upaya dan Hambatan yang Dialami Kepolisian Resor Kota Besar
Medan dalam Penyelesaian Konflik Antar Organisasi Kepemudaan

Negara hukum adalah negara yang komposisinya diatur oleh hukum sehingga
semua kekuasaan pemerintah didasarkan pada hukum, rakyat tidak boleh
bertindak sewenang-wenang sesuai dengan kehendak mereka sendiri, yang
bertentangan dengan hukum. Saat ini tingkat kejahatan di Indonesia sangat tinggi
dan jenis kejahatan berkembang dengan istilah kejahatan luar biasa. Peran dan
fungsi Polisi Nasional sebagai aparatur negara yang menyediakan jasa keamanan
dengan tujuan melindungi martabat dan martabat manusia sehingga masyarakat
dapat melaksanakan produktivitasnya dengan aman, yang merupakan hak semua
warga negara.8

Masalah tugas pokok Kepolisian sebagai penegak hukum, pelayan, pelindung dan
pengayom masyarakat, yang tujuan untuk memelihara keamanan, dan ketertiban
pada masyarakat. Maka permasalahan mengenai peristiwa konflik antar OKP
yang sangat dekat dengan pelanggaran hukum dan tindak criminal (seperti
penganiayaan dan pengrusakan). Karena kejahatan adalah salah satu tanggung
jawab penting yang diemban oleh pihak kepolisian. Diperlukan suatu tindakan
yang tepat untuk dapat mengatasi permasalahan masyarakat yang sedari dulu
melekat dalam kehidupan masyarakat. Hal tersebut juga sesuai dengan tugas
pokok Kepolisian yang diuraikan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002, yang menyebutkan: Tugas pokok Kepolisian Negara Republik
Indonesia adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat

b. menegakkan hukum dan

c. memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

8
Ali Azhar, dkk. “Produktivitasnya Dengan Aman, Yang Merupakan Hak Semua Warga Negara”.
dalam Res Nullius Law Journal, Volume 2, Nomor 2, Juli 2020, halaman 158-159.

15
Dikaitkan dengan tugas pokok kepolisian di atas maka perlu adanya tindakan atau
upaya penanggulangan yang harus dilakukan oleh pihak Kepolisian terhadap
peristiwa konflik antar Ormas OKP yang terjadi.

1. Upaya Pihak Kepolisian menanggulangi konflik antar OKP

a. Upaya Preventif

Kriminalitas tidak dapat dihilangkan dari muka bumi ini, tetapi dapat dikurangi
melalui tindakan-tindakan pencegahan (preventif). Upaya penanggulangan
preventif merupakan suatu upaya atau tindakan yang diambil untuk mengurangi
atau menghilangkan kemungkinan terjadinya suatu kejadian yang tidak diinginkan
di masa depan.

Upaya preventif ini sering diartikan sebagai upaya pencegahan sebelum terjadinya
kejahatan, tentu dalam hal ini yang dimaksud ialah pencegahan sebelum
terjadinya bentrok/konflik antar kelompok/Ormas OKP Diketahui upaya preventif
atau pencegahan yang pernah dilakukan oleh pihak Polrestabes Medan guna
penyelesaian konflik antar organisasi kepemudaan di Kota Medan ialah dalam
bentuk penyuluhan ataupun seminar yang dilakukan oleh pihak HUMAS.

Upaya berupa penyuluhan ini sudah sering dilakukan untuk meminimalisirkan


atau mencegah terjadinya konflik antar OKP. Usaha pemberantasan kejahatan
telah dan terus dilakukan oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat,
karena setiap orang mendambakan kehidupan bermasyarakat yang tenang dan
damai. Namun, di negara manapun kejahatan dapat saja terjadi, sepanjang dalam
negara itu manusia-manusia yang mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan
tidak jarang bentrok satu dengan yang lain. Mencegah kejahatan (mencegah
terjadinya konflik) berarti menghindari masyarakat dari jatuhnya korban.
Penderitaan serta kerugian-kerugian lainnya.9

b. Upaya Persuasif
9
Atika. “Penanggulangan Premanisme Menurut Pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota
Palembang”. dalam Jurnal Intizar, Volume 19, Nomor 2, 2013.hal 255

16
Pihak kepolisian memfasilitasi mediasi untuk menyelesaikan dengan cara damai
melalui memanggil masing pihak yang berseteru untuk bertemu dan selalu
didamping oleh pihak kepolisian. Proses hukum terus berjalan berdasarkan
pengaduan dari pihak Ormas yang dirugikan.Konflik yang terjadi di Sumatera
Utara misalnya antara Pemuda Pancasila dengan Ikatan Pemuda Karya dipicu
karena adanya kesalah-pahaman antar anggota, namun hal tersebut tidak diakui
sebagai konflik antar organisasi.

Setiap yang muncul selalu dilimpahkan kepada pihak kepolisian untuk menempuh
proses hukum. Setiap terjadinya konflik, pimpinan Ormas dipertemukan untuk
dimediasi oleh kepolisian untuk mencapai kata damai dan tersebut tidak
meluas.Upaya persuasif yang pernah dilakukan oleh pihak Polrestabes Medan
guna penyelesaian konflik antar organisasi kepemudaan juga ialah dalam bentuk
restorative justice, dengan prinsip mengupayakan perdamaian guna kepentingan
para pihak anggota OKP yang berselisih.

c.Upaya Represif

Pelaksanaan upaya hukum termasuk hukum pidana merupakan sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan
penegakan hukum itu sendiri. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat pada umumnya, sehingga kebijakan tindakan penegakan
hukum termasuk dalam bidang kebijakan sosial. Segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat, sebagai suatu masalah yang termasuk
masalah kebijakan hukum. Maka menggunakan hukum pidana sebenarnya
merupakan keharusan10.

Undang-undang memberikan kewenangan kepada pejabat tertentu untuk


melakukan pembatasan terhadap kebebasan dan kemerdekaan seseorang
dalam berbagai bentuk kegiatan. Pembatasan kebebasan dan kemerdekaan
ini ada yang bersifat sementara, ada pula yang bersifat terhitung lama,

10
Marwan Busyro. “Tinjauan Kriminologis Terhadap Preman yang Melakukan Kejahatan (Studi
Kasus Polsek Batangtoru)”. dalam Doktrina: Journal Of Law¸Volume 2, Nomor 2, Oktober
2019.hal 100

17
bergantung pada bagimana aturan hukum menentukan dan mengaturnya.
Pembatasan kebebasan dan kemerdekaan ini merupakan suatu tindakan
atau upaya paksa yang harus dilakukan dalam rangka mengikuti perintah
undang-undang.

Kitab UndangUndang Hukum pidana telah menentukan adanya beberapa


tindakan atau upaya paksa yang dapat dilakukan sehubungan dengan
terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Sebelum
dijatuhinnya hukuman dalam bentuk sanksi pidana, pihak Kepolisian
melalui perintah undang-undang dapat melakukan upaya paksa terlebih
dahulu kepada para pelaku tindak pidana/kejahatan (sepert halnya kepada
pelaku konflik/bentrokan). Upaya paksa kepada pelaku ini berbagai
macam baik itu penangkapan, penahanan, penggeledahan, maupun
penyitaan.

Upaya paksa atau represif tersebut tentu harus dilandaskan pada hukum
yang berlaku sesuai kewenangan yang diberikan oleh norma hukum
kepada pihak Kepolisian, dalam hal ini dapat dilihat dalam Pasal 7 ayat (1)
KUHAP, yang menyebutkan: Penyidik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak


pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal


diri tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

18
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan


pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan hlain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dilihat dari ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf d KUHAP di atas memang
pihak Kepolisian dalam hal ini berhak untuk melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan juga penyitaan. Apabila memanng upaya
preventif dan upaya represif tidak dapat lagi diindahkan, maka upaya
terakhir upaya represif yang harus dilakukan.

Kewenangan pihak kepolisian tersebut untuk melakukan upaya apaksa


berupa penangkapan, penahahan, penggeledahan dan penyitaan dipertegas
dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Upaya represif ini
dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remedium) agar terciptanya
tujuan dari pemidanaan itu sendiri.

Secara umum dapat dikatakan bahwa sasaran yang hendak dituju oleh
hukum pidana adalah melindungi kepentingan masyarakat dan
perseorangan dari tindakan-tindakan yang tidak menyenangkan akibat
adanya suatu pelanggaran oleh seseorang. Hukum pidana tidak hanya
menitikberatkan kepada perlindungan masyarakat, tetapi juga individu
perseorangan, sehingga tercipta keseimbangan dan keserasian.

19
Bab 3

Penutup

Kesimpulan

1. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam ayat


(1), 11 POLRI mengutamakan tindakan pencegahan” . Dengan mengacu pada
strategi penanganan Konflik sosial oleh Pemerintah, kerangka regulasi yang ada
mencakup 3 (tiga) strategi:

1. Pertama, kerangka regulasi dalam upaya Pencegahan Konflik seperti regulasi


mengenai kebijakan dan strategi pembangunan yang sensitif terhadap Konflik
dan upaya Pencegahan Konflik.

2. Kedua, kerangka regulasi bagi kegiatan Penanganan Konflik pada saat terjadi
Konflik yang meliputi penghentian kekerasan dan pencegahan jatuhnya
korban manusia ataupun harta benda.

3. Ketiga, Kerangka regulasi bagi penanganan pasca konflik, yaitu ketentuan


yang berkaitan dengan tugas penyelesaian sengketa/proses hukum serta
kegiatan pemulihan, reintegrasi, dan rehabilitasi. Untuk memberdayakan
tugas menjaga keamanan dalam negeri dan memelihara ketertiban masyarakat
dari gangguan yang akan ditimbulkan oleh konflik kekerasan, maka
diperlukan strategi “pencegahan konflik sosial”.

2.Akibat hukum anggota secara perseorangan dan organisasi kepemudaan


berbadan hukum atas terjadinya konflik dapat diterapkan apabila pada saat
terjadinya konflik/bentrokan terdapat perbuatan pidana di dalamnya baik itu
berupa pengrusakan fasilitas umum maupun milik pribadi dan juga berupa
penganiayaan baik kepada anggota OKP lainnya yang terlibat bentrok
ataupun kepada masyarakat sekitar kebetulan berada di tempat kejadian.
Akibat hukum bagi perorangan saat konflik jika melakukan pengrusakan
dapat merujuk pada ketentuan Pasal 170 ayat (1) dan Pasal 406 ayat (1)

20
KUHP, sedangkan jika melakukan penganiayaan dikenakan Pasal 351 ayat
(1), (2), (3) jo Pasal 354 KUHP. Sanki kepada anggota OKP secara
perorangan dapat juga merujuk pada Pasal 82A ayat (1) Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2017.

Sedangkan akibat hukum bagi OKP sebagai badan hukum apabila konflik itu
terjadi tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum,
atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial, dapat dilakukannya
pencabutan surat keterangan terdaftar oleh Menteri, pencabutan status badan
hukum OKP dan sampai pada pembubaran OKP yang bersangkutan, sesuai
ketentuan Pasal 60 ayat (2), Pasal 61 ayat (3) dan Pasal 80A Undang-Undang
Ormas.

3. Upaya Kepolisian dalam penyelesaian konflik antar organisasi kepemudaan


terdapat 3 (tiga) langkah, yang pertama berupa upaya preventif dalam bentuk
penyuluhan ataupun seminar yang dilakukan oleh pihak HUMAS. Kemudian
upaya persuasif yaitu dalam bentuk restorative justice, dengan prinsip
mengupayakan perdamaian guna kepentingan para pihak anggota OKP yang
berselisih. Terakhir upaya represif atau upaya paksa yaitu dengan melakukan
penangkapan dan penahanan kepada anggota OKP yang diduga terlibat tindak
pidana dan ketika terjadi konflik melakukan perbuatan pidana seperti kekerasan,
penganiayaan atau perusakaan fasilitas umum.

Saran

Seharusnya akibat hukum anggota secara perseorangan dan organisasi


kepemudaan berbadan hukum atas terjadinya konflik saling berkaitan, dalam
artian dikarenakan sudah seringnya terjadi konflik antar anggota OKP yang tidak
jarang berpotensi perbuatan pidana baik dalam bentuk perusakan fasilitan publik
atau mengakibatkan rusaknya rumah-rumah warga, belum lagi adanya korban dari
perkelahian atau pengeroyokan dalam peristiwa konflik tersebut. Maka untuk itu
bagi konflik yang terbukti terdapat tindak pidana di dalamnya, harus juga

21
melibatkan tanggungjawab OKP sebagai badan hukum. Jangan sampai seolah-
olah OKP bersangkutan lepas tangan dari perbautan yang dilakukan oleh para
anggotanya. Karena jelas konflik dan bentrokan yang dilakukan individuindividu
tersebut mengatasnamakan OKP yang berkepentingan

22
Daftar pustaka

 Anam Miftakhul Huda dan Vembita Sapna Key. “Model Guyup Rembug
Dalam Penyelesaian Konflik : Pada Konflik Antara Forpak Dengan
Karang Taruna Di Desa Sidodadi”. dalam Jurnal Translitera, Edisi 4, 2016,
halaman 2-3.
 M. Syamsudin. 2015. Konstruksi Baru Budaya Hukum Hakim. Jakarta:
Kencana, halaman 17
 Abdul Hakim G. Nusantara, Luhut M.P. Pangaribuan, Mas Achmad
Santosa, 1986, KUHAP; Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
PeraturanPeraturan Pelaksanaan, Jakarta, Penerbit Djambatan, hlm. 95
 Mahrus Ali. 2015. Dasar-Dasar Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika hal
77
 Ismu Gunadi W dan Jonaedi Efendi. 2011. Cepat dan Mudah Memahami
Hukum Pidana. Jakarta: Prestasi Pustaka, halaman 44.
 arwan Busyro. “Tinjauan Kriminologis Terhadap Preman yang Melakukan
Kejahatan (Studi Kasus Polsek Batangtoru)”. dalam Doktrina: Journal Of
Law¸Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019.hal 100
 Ali Azhar, dkk. “Produktivitasnya Dengan Aman, Yang Merupakan Hak
Semua Warga Negara”. dalam Res Nullius Law Journal, Volume 2,
Nomor 2, Juli 2020, halaman 158-159.
 Atika. “Penanggulangan Premanisme Menurut Pandangan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kota Palembang”. dalam Jurnal Intizar, Volume 19,
Nomor 2, 2013.hal 255
 Marwan Busyro. “Tinjauan Kriminologis Terhadap Preman yang
Melakukan Kejahatan (Studi Kasus Polsek Batangtoru)”. dalam Doktrina:
Journal Of Law¸Volume 2, Nomor 2, Oktober 2019.hal 100

23

Anda mungkin juga menyukai