Anda di halaman 1dari 7

Daftar isi……………………………………………………………………………...

Bab I Pendahuluan………………………………………………………….....2

Bab II  Tujuan............................................... ……………….…..4

Bab III Teknik Pembuatan.................................................................... 6

Bab IV Pengemasan ..................................... ……………….…..7

Bab V Label......................................................... …………………...9
BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang

Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) merupakan komoditas multifungsi yang saat ini dicanangkan
sebagai minuman kesehatan nasional. Prospek pasar dan peluang pengembangan temulawak
masih terbuka karena kandungan kimianya yang berkhasiat. Kandungan minyak atsiri,
kurkuminoid, xanthorrhizol dan pati di dalam rimpang temulawak memungkinkan komoditas ini
digunakan secara luas di dalam penyembuhan berbagai penyakit seperti sebagai anti kolesterol,
antioksidan, penanggulangan penyakit hati, gangguan pencernaan, dan lain-lain. Sebagai obat
anti kolesterol dan penanggulangan penyakit hati, rimpang temulawak dapat dibuat menjadi
berbagai jenis produk dalam bentuk kapsul, tablet dan minuman penyegar. Balai Penelitian
Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) sebagai instansi di bawah Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian telah melepas tiga varietas unggul
temulawak. Varietas unggul tersebut yaitu Cursina 1, Cursina 2 dan Cursina 3, diharapkan dapat
berperan penting dalam rangka meningkatkan produksi, konsumsi dan perdagangan temulawak.
Kebutuhan temulawak sebagai bahan baku obat tradisional di Jawa Tengah dan Jawa Timur
tahun 2003 menduduki peringkat pertama dilihat dari jumlah serapan industri obat tradisional.
Untuk mendukung kebutuhan pasokan bahan baku industri obat IOT (Industri Obat Tradisional),
IKOT (Industri Kecil Obat Tradisional) dan farmasi pada tahun 2005-2010, dibutuhkan temulawak
yang berkualitas melalui pengembangan usaha pertanian primer dari tanaman temulawak yang
mengacu penerapa GAP dan SOP. Kecamatan sentra produksi temulawak utama di Kota
Semarang adalah Kecamatan Tembalang dan Banyumanik. Luas panen dan produksi
temulawak di Kecamatan Tembalang tahun 2008 berturut-turut adalah 50 Ha dan 1.100 ton,

sedangkan di Kecamatan Banyumanik berturut-turut adalah 54 Ha dan 540 ton. Berdasarkan


hasil penelitian oleh Institut Pertanian Bogor, komoditas temulawak di Kota Semarang memiliki
mutu terbaik dibandingkan komoditas temulawak dari daerah lain di Indonesia. Halini dapat
dijadikan peluang bagi Kota Semarang, khususnya Kecamatan Tembalang untuk
mengembangkan usaha temulawak. Untuk meningkatkan nilai tambah dari komoditas
temulawak, diperlukan terobosan dalam pengembangan produk, mulai dari produk primer
(rimpang segar) menjadi produk sekunder (simplisia, ekstrak, minyak) dan produk tertier (produk
jadi hasil formulasi berupa suplemen makanan dan minuman dalam bentuk cair (sirup), padat
(pil, kapsul) dan formula obat herbal terstandar, fitofarmaka dan kosmetika). Pengolahan hasil
telah dilakukan oleh petani temulawak di Kelurahan Bu-lusan Kecamatan Tembalang. Sub
sistem ini merupakan mesin pemberi nilai tambah (added value)yang utama dalam agribisnis
pada umumnya atau bagi petani khususnya. Salah satu produk olahan temulawak yang
dikembangkan  oleh petani adalah simplisia dan minuman instan temulawak. Simplisia adalah
bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum menga-lami pengolahan
apapun juga dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat
dimanfaatkan terutama untuk pembuatan jamu serbuk, jamu gendong atau jamu ramuan pribadi
yang dikonsumsi dengan cara diseduh atau direbus. Pengolahan temulawak merupakan salah
satu upaya yang dilakukan petani untuk memperpanjang umur simpan hasil panen dan
meningkatkan nilai tambah produk. Namun selama proses pengolahan temulawak, kandungan
kimia dalam 436 temulawak dapat berubah atau menurun mutunya. Salah satu parameter mutu
temulawak adalah kandungan bahan aktifnya yaitu kadar minyak atsiri, xanthorizol, dan
kurkumin. Kandungan kadar bahan aktif ini dapat terpengaruh selama tahap pascapanen yaitu
selama penjemuran/pengeringan bahan menjadi simplisia. Penelitian ini dilakukan untuk
mempelajari pengaruh beberapa cara

pengeringan terhadap kualitas simplisia temulawak yaitu dengan melihat tampilan fisik dan
kandungan bahan aktif temulawak.
Bab II
Tujuan
Setelah mengikuti praktikum ini siswa diharapkan mampu membuat :
1. Simplisia mulai dari proses hingga pengemasannya.

2. Kemasan primer dan kemasan sekunder

3. Label pada kemasan simplisia.

Untuk menjalin keseragaman senyawa aktif, keamanan, ataupun kegunaannya maka simplisia
harus memenuhi persyaratan minimal. Untuk memenuhi persyaratan minimal itu, ada
beberapa faktor yang berpengaruh antara lain:

a. Bahan baku simplisia

b. Proses pembuatan simplisia termasuk cara penyimpanan bahan baku simplisia

c. Cara pengemasan simplisia


Bab III
Teknik Pembuatan
Alat dan Bahan

Alat

1.    Pisau

2.    Telanan

3.    Bak plastik

Bahan

1.    Temulawak

2.    Plastik

Cara kerja

a.    Mencuci temulawak

b.    Menimbang bobot basah

c.     Memotong tipis-tipis pada  bagian samping temulawak

d.    Mengeringkan temulawak sampai menjadai simplisia

e.    Menimbang bobot kering

f.      Menghitung rendimen simplisia


Bab IV
Pengemasan
Sirnplisia dapat rusak, mundur atau berubah mutunya karena berbagai faktor luar dan
dalam, antara lain :
1. Cahaya : Sinar dari panjang gelombang tertentu dapat menimbulkan
perubahan kimia pada simplisia, misalnya isomerisasi, polimerisasi, rasemisasi dan
sebagainya.
2. Oksigen udara : Senyawa tertentu dalam simplisia dapat mengalami perubahan
kimiawi oleh pengaruh oksigen udara terjadi oksidasi dan perubahan ini dapat
berpengaruh pada bentuk simplisia, misalnya, yang semula cair dapat berubah menjadi
kental atau padat, berbutir-butir dan sebagainya.
3. Reaksi kimia intern : perubahan kimiawi dalam simplisia yang dapat disebabkan
oleh reaksi kimia intern, misalnya oleh enzim, polimerisasi, oto-oksidasi dan sebagainya.

4. Dehidrasi : Apabila kelembaban luar lebih rendah dari simplisia, maka


simplisia secara perlahan-lahan akan kehilangan sebagian airnya sehingga rnakin lama
makin mengecil (kisut).

5. Penyerapan air : Simplisia yang higroskopik, misalnya agar-agar, bila disimpan


dalam wadah yang terbuka akan menyerap lengas udara sehingga menjadi kempal basah
atau mencair.
6. Pengotoran : Pengotoran pada simplisia dapat disebabkan oleh berbagai
sumber, misalnya debu atau pasir, ekskresi hewan, bahan-bahan asing (misalnya minyak
yang tertumpah) dan fragmen wadah (karung goni).
7. Serangga : Serangga dapat menitnbulkan kerusakan dan pengotoran pada
simplisia, baik oleh bentuk ulatnya maupin oleh bentuk dewasanya. Pengotoran tidak
hanya berupa kotoran serangga, tetapi juga sisa-sisa metamorfosa seperti cangkang telur,
bekas kepompong, anyaman benang bungkus kepompong, bekas kulit serangga dan
sebagainya.
8. Kapang : Bila kadar air dalam simplisia terlalu tinggi, maka simplisia
dapat berkapang. Kerusakan yang timbul tidak hanya terbatas pada jaringan simplisia,
tetapi juga akan merusak susunan kimia zat yang dikandung dan malahan dari kapangnya
dapat mengeluarkan toksin yang dapat mengganggu kesehatan.
Dari penjelasan diatas, pengemasan primer kali ini menggunakan botol kaca dengan volume
250 ml dan kemasan sekunder dari kotak kardus.
BAB. V

LABEL
.

Anda mungkin juga menyukai