Anda di halaman 1dari 5

Nama Widya Eka Lestari

Nit 22082300

Memoar Luka Dalam Novel "Jerit Rindu dari Lingko Bukit Rengge Lomba"
Karya Endang Moerdopo

Endang Moerdopo, Jerit Rindu Dari Lingko Bukit Rangge Komba, pertama kali diterbitkan
pada tahun 2018 oleh penerbit Pustakapedia. Ketika Endang Moerdopo tiba di Aceh pada tahun 2004
silam, tsunami dahsyat baru saja meluluhlantahkan provinsi yang populer disebut Tanah Rencong itu.
Endang datang ke Aceh untuk membantu Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) untuk
membantu korban bencana mengatasi trauma mereka melalui keahliannya dalam terapi tari, serta
mengumpulkan data untuk tesis masternya di bidang sosiologi. Selama berada di Aceh, Endang yang
kini mengajar ilmu kesejahteraan sosial dan menjadi direktur sekolah pascasarjana di Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik Widuri.

Gambar 1 : Endang Moerdopo


Sembelum masuk kedalam pemabahasan, Satar Punda ialah salah satu Desa di Kecamatan
Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur. Posisinya persis berbatasan dengan Kecamatan Reo,
Kabupaten Manggarai. Luas daerah Desa Satar Punda dekat 21,66 km2, dengan jumlah penduduk per
31 Agustus 2021 sebanyak 2.417 jiwa, serta tersebar di kampung Satar Teu, Lengko Lolok, Luwuk,
Serise, Tumbak, Lada, Watu Roga, Golo Koe, serta Lengko Tong. Secara hawa serta topografi, Desa
Satar Punda sama dengan daerah Manggarai pada biasanya ialah beriklim tropis serta subtropis dengan
topografi dikelilingi bukit, dataran, sungai dan terdapat wilayah yang berhadapan langsung dengan
tepi laut Kebanyakan penduduk di Desa Satar Punda berprofesi selaku petani serta peternak, sebagian
yang lain terutama yang tinggal di daerah pesisir bekerja sebagai nelayan. Zona pertanian yang
dibesarkan masyarakat sebagian besar merupakan lahan-lahan kering yang ditanami tumbuhan
palawija semacam padi, kacang-kacangan, jagung dan pula tumbuhan umur panjang seperti jambu
mete, pisang dan kelapa. Ada pula lahan-lahan basah, seperti sawah, misalnya, jumlah dan sebarannya
terbatas, salah satunya di Luwuk. Selain mengelola lahan pertanian, sumber perekonomian masyarakat
di Satar Punda juga dari zona peternakan,yaitu beternak sapi dan babi dan juga ternak kecil ayam
misalnya. Ada pula wanita tidak hanya beraktifitas di kebun serta ladang, juga menenun songke, nama
untuk kain khas adat orang Manggarai Raya yang sudah diwariskan leluhur.
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Nasional mencatat terdapat 45 konflik tambang yang
berlangsung di selama sejauh 2020. Dampaknya 714.692 Ha mengalami kehancuran lingkungan.
Jumlah konflik itu bertambah ekstrem dibandingkan 2019, ialah 11 konflik di 2019. Konflik
pertambangan itu terdiri dari kasus pencemaran lingkungan, permasalahan perampasan lahan,
permasalahan kriminalisasi masyarakat penolak tambang, serta permasalahan pemutusan ikatan kerja.
Akumulasi investasi zona pertambangan serta perkebunan skala besar senantiasa menimbulkan
terbentuknya konflik. Untuk memahami pemicu terbentuknya konflik pertambangan, butuh diketahui
terlebih dulu kalau dalam aktivitas pertambangan ada yang disebut The Principle of Social Justice.
Prinsip tersebut pada intinya mewajibkan seluruh orang berhak atas persamaan untuk mengakses
kesejahteraan, kesehatan, keadilan, privasi, dan peluang, tanpa memandang status hukum, politik,
ekonomi, dan keadaan lain. Ada pula kelima prinsip tersebut yakni ialah, Access (mendapatkan akses),
Equity (ketidakberpihakan), Diversity (Keanekaragaman), Participation (Penyertaan/partisipasi),
Human right (Hak Asasi Manusia). Prinsip tersebut wajib dipenuhi untuk meraih keadilan sosial.
Prinsip tersebut sudah berkembang jadi filosofi, teori hukum, bahkan telah menjadi naluri. Adapun
yang dimaksud dengan the principle of social justice dalam hal pemanfaatan sumber daya (kekayaan)
alam mengutip Rachman Wiriosudarmo (5/112020) dalam Kuliah Khusus Pertambangan yang
diselenggarakan oleh Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (PUSHEP), sebagai prinsip dalam
kaitan kemanfataan. Dalam hal kekayaan alam yang dimiliki oleh suatu wilayah yang dikembangkan
dengan biaya sosial maka setiap orang harus mendapat kemanfaatan. Pemerintah adalah pihak yang
berkewajiban memberikan kemanfaatan tersebut kepada masyarakat. Apabila pemerintah gagal
memberikan kemanfaatan, maka masyarakat akan menuntut kemanfaatan itu dari pengembang
kekayaan alam Konflik tidak terjadi begitu saja tapi ada penyebabnya. Ada faktor struktural dan ada
faktor kontekstual serta faktor yang mendorong konflik itu sendiri. Dari situ terlihat pemicu
banyaknya konflik pertambangan. Faktor struktural terdiri atas kebijakan pemerintah yang liberal dan
ekstrativist (intervionist measures). Kebijakan yang liberal akan menyebabkan konflik antar korporasi
dan masyarakat. Hal itu disebabkan karena kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh korporasi
terlampu bebas sementara peran pemerintah tidak hadir. Di sisi lain, konflik terjadi karena pemerintah
lebih banyak fokus pada pendapatan finansial sehingga kepentingan masyarakat terabaikan.
Dari kasus di atas nyatanya endang mampu memuat kasus itu dalam satu novel yang baik, novel
ini sendiri adalah peradaptasian dari kasus di atas, apa yang terlintas di pikiran kita mengenai hak ?
Perampasan Lahan, bahkan tanah kita sendiri yang benar benar dirusak oleh orang yang tidak
bertanggung jawab ? barangkali anda sama dengan saya merasakan hal yang menyayat hati, Kisah
dramatis ini tertuang dalam novel Jerit Rindu Dari Lingko Bukit Rengge Komba, yang bercerita
tentang warga Desa Serese yang berjuang melawan para pengusaha tambang yang telah merenggut
kekayaan alam desanya. Pada mulanya, para pengusaha tambang itu dengan sopan memberikan
kerjasama dengan orang-orang Desa Serese, yang dipimpin oleh tetua adat Tua Seno. kisah ini adalah
salah satu kisah yang menurut hemat penulis menyayat hati, apalagi kita tau di kalimantan sedang
maraknya pengrusakan lahan dan hal hal yang menyebabkan alam tanah dayak sendiri menjadi
semakin tidak layak di huni, Pertambangan dan hal hal yang berkaitan dengan masyarakat adat, adalah
sesuatu yang sama kisahnya dengan novel yang penulis ulas hari ini, kesamaan perampasan hak dalam
bentuk tambang dan hal hal yang menggusur masyarakat di tanah kita sendiri adalah refleksi
kekejaman kapitalisme yang tidak melihat keharmonisan antara alam dan manusia ? jika penulis
bertanya.

Mampukah kita bertahan tanpa alam ? yang bahkan kita tahu bahwa alam tanpa kita akan baik baik
saja ?, alam tanpa manusia akan selalu baik baik saja, manusia tanpa alam, apa jadinya ?

Endang Moerdopo adalah seorang pengarang Indonesia yang lahir di Yogyakarta pada 5 April
1968, Selain menulis novel Jerit Rindu dari Lingko Bukit Rengge Lomba. Endang Moerdopo juga
adalah salah seorang perempuan Indonesia yang memiliki ketertarikan dan kecintaan mendalam
terhadap tokoh Pahlawan Perempuan Aceh Laksamana Keumalahayati. Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan, Prof. Dr. Meutia Hatta Swasono dalam sambutan pada novel ini
menyebutkan bahwa Endang Moerdopo berhasil meramu fakta sejarah yang yang selama ini
terpendam menjadi suatu karya sastra yang bertema sejarah, yaitu sejarah Pahlawan Perempuan Aceh
Laksamana Keumalahayati.

Beberapa karyanya adalah sebagai berikut :


INDENTITAS KARYA TAHUN
Perempuan Keumala 2008
E Moerdopo
Grasindo
LAKSAMANA MALAHAYATI YANG PEREMPUAN 2018
KEUMALA
E Moerdopo
Grasindo
JERIT RINDU DARI LINGKO BUKIT RENGGE KOMBA 2018
E Moerdopo
Pustakapedia
TERAPI TARI BALI : METODE INTERVENSI SOSIAL 2013
E Moerdopo
Bidik Phronesis
TERAPI TARI BALI 2013
E Moerdopo
Universitas Indonesia

Kelebihan novel menurut penulis dalam buku ini adalah pemakaian bahasa yang sederhana, hal
ini membuat pembaca lebih nyaman dalam menginterpretasikan makna cerita, selain penggunaan
bahasa yang sederhana, dalam novel ini merefleksikan kekhawatiran sosial sehingga novel ini
menyatu dengan orang orang yang merasa kekayaan sumber daya alamnya terus menerus di gerus
habis habisan, novel ini juga dibubuhi dengan cerita cinta sehingga dalam novel ini seorang pembaca
tidak merasa cepat bosan dengan isi dalam novel ini, hal ini juga merupakan kelebihan yang mencolok
dari novel ini yang mampu membawakan romansa dan perjuangan dalam satu koridor yang sama.
Kekurangan novel ini menurut hemat penulis adalah tata penulisan yang cukup berantakan, namun hal
tersebut memang sering terjadi di dalam novel novel yang ada, beberapa faktor adalah karena terlalu
terburu buru dalam penulisan di novel sehingga typo dan hal hal lain tidak diperhatikan secara
mendetail.
Sebagai kesimpulan novel ini adalah novel yang menurut hemat penulis adalah novel yang sarat
akan pesan moral dan tentu juga berkesan di hati penulis sendiri, selain sarat akan pesan moral, novel
ini adalah adaptasi kisah nyata yang membuat novel ini menjadi salah satu novel yang cocok
dimasukkan dalam katalog memori penulis sebagai novel yang paling menyayat hati. lebih dan
kurangnya dalam ulasan yang penulis berikan, penulis meminta maaf, sebab yang kurang hanyalah
saya, dan yang lebih adalah yang di atas, akhir kata penulis ucapkan terimakasih, semoga kita selalu
diberkati dari pada yang diatas.
Kita memang pernah salah. Tapi kita menyadari bahwa kita salah, oleh karenanya saat ini kita
harus berjuang untuk memperbaiki kesalahan agar menjadi benar. Maka sekarang kita bangkit,
bertahan untuk selalu benar … – [Mama Flora] dalam novel Jerit Rindu dari Lingko Bukit Rengge
Lomba

Anda mungkin juga menyukai