“FIQIH MUAMALAT”
Makalah ini diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah pendidikan agama
islam
Dosen : Fuji Kusuma Adynata, Lc.
Disusun Oleh :
Segala puji bagi allah yang senantiasa memberikan anugrah, hidayah serta taufiq
nya kepada kita. Alhamdulillah atas izinnya kami sebagai penulis bisa menyusun
sebuah makalah untuk memenuhi tugas pendidikan agama islam ini. Makalah ini
kami susun bertujuan untuk memberikan argumen tentang fiqih nikah serta hal
hal apa saja yang bisa di pelajari oleh umat muslim. Dengan ini semoga pembaca
dapat mengambil manfaatnya dari isi makalah yang kami susun ini. Mohon maaf
apabila makalah yang kami susun ini banyak kekurangannya. Terimakasih.
Penyusun,
ii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR...........................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................2
3.1 Simpulan....................................................................................9
3.2 Saran...........................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................10
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Allah Swt telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain,
supaya mereka tolong menolong, tukar menukar keperluan dalam segala urusan
kepentingan hidup masing masing, baik dengan jalan jual beli, sewa menyewa, bercocok
tanam, atau perusahaan yang lain lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun
untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masarakat menjadi teratur
dan subur, pertalian satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan
tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-
masing jangan sampai tersia sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran
dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu, agama memberikan peraturan
dengan sebaik baiknya, karena dengan peraturan muamalat, maka kehidupan manusia jadi
terjamin pula dengan sebaik baiknya sehingga pebantahan dan dendam mendendam tidak
akan terjadi.
Nasihat lukman hakim kepada anaknya, ”Wahai anak ku! Berusahalah untuk
menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal, sesungguhnya orang yang berusaha
dengan jalan yang halal itu tidak lah mendapat kemiskinan, keculi apabila dia telah
dihinggapi oleh tiga macam penyakit: (1) tipis kepercayaan agamanya, (2) lemah akalnya,
(3) hilang kesopanannya.’’
Jadi, yang dimaksud dengan muamalat ialah tukar menukar barang atau sesuatu yang
memberi manfaat dengan cara yang di tentukan, seperti jual beli, sewa menyewa ,upah
mengupah, pinjam meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.
1
BAB II
PEMBAHASAN
Jual beli adalah perkara yang diperbolehkan berdasarkan al Kitab, as Sunnah, ijma serta
qiyas :
“Tidaklah dosa bagi kalian untuk mencari keutaman (rizki) dari Rabbmu..” (Al Baqarah :
198, ayat ini berkaitan dengan jual beli di musim haji)
“Dua orang yang saling berjual beli punya hak untuk saling memilih selama mereka tidak
saling berpisah, maka jika keduianya saling jujur dalam jual beli dan menerangkan keadaan
barang-barangnya (dari aib dan cacat), maka akan diberikan barokah jual beli bagi
keduanya, dan apabila keduanya saling berdusta dan saling menyembunyikan aibnya maka
akan dicabut barokah jual beli dari keduanya”. (Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Nasa’i,
dan shahihkan oleh Syaikh Al Bany dalam shahih Jami no. 2886)
Para ulama telah ijma (sepakat) atas perkara (bolehnya) jual beli, adapun qiyas yaitu dari satu
sisi bahwa kebutuhan manusia mendorong kepada perkara jual beli, karena kebutuhan
manusia berkaitan dengan apa yang ada pada orang lain baik berupa harga atau sesuaitu yang
dihargai (barang dan jasa) dan dia tidak dapat mendapatkannya kecuali dengan menggantinya
dengan sesuatu yang lain, maka jelaslah hikmah itu menuntut dibolehkannya jual beli untuik
sampai kepada tujuan yang dikehendaki
Hutang piutang hukumnya sangat fleksibel tergantung bagaimana situasi dan keadaan
yang terjadi. Dalam agama Islam, disebutkan ada beberapa dalil tentang hukum piutang dan
selama bertujuan baik untuk membantu atau mengurangi kesusahan maka hukumnya jaiz atau
boleh. Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam surat Al-Baqarah ayat 245
yang artinya:
“ Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya dijalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan
2
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-
Nya lah kamu dikembalikan.” (QS Al-Baqarah [2] : 245)
Bahkan di jaman sekarang ini, banyak orang yang memanfaatkan hutang piutang dengan
mengambil riba. hukum riba dalam islam sangat diharamkan karena tidak sesuai dengan
syari’at Islam. Bahkan Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 275 yang artinya:
“….Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharapkan riba….” (QS Al-Baqarah
[2] : 275)
Allah juga berfirman dalam surat Ali-Imran ayat 130 yang artinya:
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba…” (QS Ali-Imran [3] :
130)
Dari dua firman Allah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Allah sangat mengharamkan
riba dan memerintahkan hamba-Nya untuk menjauhi riba.
Hutang piutang berbeda dengan kredit, karena dalam sistem kredit ada tambahan yang harus
dibayar. Sedangkan dalam hutang piutang tidak ada, jumlah yang dikembalikan harus sama
dengan jumlah yang dipinjam dan jika ada tambahan maka dinamakan riba dan hukumnya
haram.
Dalam Islam, ada contoh hutang piutang yang dilakukan oleh Rasulullah Shallalluhu ‘Alaihi
Wasallam. Pada saat itu, beliau pernah berhutang kepada seseorang Yahudi dan Beliau
melunasi hutangnya dengan memberikan sebuah baju besi yang telah Beliau gadaikan.
Seperti yang diriwayatkan dalam Hadist Al-Bukhari no. 2200 yang berbunyi:
“ Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak
tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya.” (HR Al-Bukhari no. 2200)
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah
berhutang, namun itu tidak diartikan bahwa Beliau sangat gemar berhutang. Karena
Rasulullah sendiri sangat menghindari kegiatan berhutang kecuali dalam keadaan mendesak
atau terpaksa. Hal ini dijelaskan dalam hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah Radhiallahu
‘Anhaa yang berbunyi:
“ Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih,
Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku
berlindung kepada-Mu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dari berhutang.”
Berhutang sendiri bukanlah merupakan dosa dan bukan perbuatan yang tercela jika seseorang
yang berhutang tersebut menggunakan apa yang dihutangnya sesuai dengan kebutuhannya.
Namun, dalam hal ini Islam juga tidak membenarkan untuk gemar berhutang dan tidak bisa
mengendalikan diri untuk selalu berhutang. Hendaknya anda mengetahui hukum tidak
membayar hutang agar tidak mudah melakukan hutang.
Karena hal tersebut akan mengarahkan kepada perbuatan yang munkar. Orang yang terlilit
hutang secara otomatis akan menjadi orang yang ingkar janji dan selalu berdusta.
3
Agama Islam telah menyediakan jalur alternatif untuk melakukan hutang piutang dengan
aman. Seperti kisah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yaitu menggadaikan barang
yang Beliau miliki.
bagaimanakah hukum gadai dalam Islam? Sebelumnya definisi gadai dalam bahasa arab
disebut Ar-Rahn yang artinya penetapan dan penahanan. Sedangkan secara istilah gadai
adalah sebuah harta yang dijadikan jaminan pinjaman atau hutang yang bertujuan bisa
dijadikan sebagai alat pembayaran dengan nilai sebagian atau seharga harta tersebut,jika
hutang tidak dapat dilunasi.
Jadi, pada dasarnya hukum pegadaian dalam Islam adalah boleh, sebagaimana dalam al-quran
Q.S Al-Baqarah: 283 yang artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak
secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang
tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi, jika sebagian kamu
mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan
amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah SWT tuhannya, dan
janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian ( Q.S Al-Baqarah: 283).
Dalam sistem ekonomi Islam, hutang-piutang dicapai dengan kesepakatan dua belah
pihak atau yang dikenal dengan istilah akad. Dalam kasus di atas, tergolong ke dalam akad
tautsiqat, yaitu akad yang bertujuan memberikan jaminan kepercayaan kepada pelaku akad
dan mengamankan orang yang berhutang tersebut atas utangnya, seperti akad kafalah,
hiwalah, dan rahm (gadai).
Dalam arti lain barang yang menjadi jaminan tersebut bukanlah tujuan utama, hanya sebagai
penjamin atas pinjaman yang diterima pelaku akad tersebut. Adapun sifat dari akad ini ialah
tambahan (‘aqd ziyadah).
Menurut ketentuan, barang yang menjadi jaminan tersebut tidak dapat dimanfaatkan oleh
pemberi pinjaman karena bersifat amanah bagi murtahin (yang memberi utang). Kecuali bila
ada kesepakatan di antara keduanya, ada ulama yang berpendapat boleh, namun ada pula
yang tidak.
فيركب ما أعد للركوب،فإن كان دابة أو بهيمة فله أن ينتفع بها نظير النفقة عليها فإن قام بالنفقة عليها كان له حق االنتفاع
ويأخذ لبن البهيمة كالبقر والغنم ونحوها،كاالبل والخيل والبغال ونحوها ويحمل عليها
“Jika barang gadai berupa hewan tunggangan atau binatang ternak, maka murtahin boleh
memanfaatkannya sebagai ganti dari biaya yang dia keluarkan untuk itu. Orang yang
menanggung biaya, dia berhak untuk memanfaatkan barang itu.
4
Dia boleh menaikinya jika itu hewan tunggangan seperti kuda, onta, atau bighal. Dan boleh
dipakai untuk ngangkut barang. Dia juga boleh mengambil susunya jika hewannya bisa
diperah, seperti kambing atau sapi.”
ُلَبَنُ ال َّد ِّر يُحْ لَبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َوالظَّ ْه ُر يُرْ َكبُ بِنَفَقَتِ ِه ِإ َذا َكانَ َمرْ هُونًا َو َعلَى الَّ ِذى يَرْ َكبُ َويَحْ لِبُ النَّفَقَة
Susu hewan perah bisa diperah sebagai ganti biaya perawatan ketika dia digadaikan.
Punggung hewan tunggangan boleh dinaiki sebagai ganti biaya perawatan ketika dia
digadaikan. Kewajiban bagi yang menunggangi dan yang memerah susunya untuk
merawatnya.”
Sedangkan, hak milik dan perawatannya tetap menjadi tanggung jawab pihak yang berhutang
(rahin). Jika barang gadai tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang memberi pinjaman, maka
dapat diartikan bahwa ada keuntungan (tambahan) yang diperolehnya. Seperti pernyataan
dalam dalil berikut ini.
“Setiap utang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.”
(HR. Baihaqi)
وما دام ذلك كذلك فإنه ال يحل،عقد الرهن عقد يقصد به االستيثاق وضمان الدين وليس المقصود منه االستثمار والربح
وكل قرض جر نفعا فهو ربا، النه قرض جر نفعا، ولو أذن له الراهن،للمرتهن أن ينتفع بالعين المرهونة
“Akad rahn adalah akad yang tujuannya untuk menjamin kepercayaan dan jaminan utang.
dan bukan untuk dikembangkan atau diambil keuntungan. Jika seperti itu aturannya, maka
tidak halal bagi murtahin untuk memanfaatkan barang yang digadaikan, meskipun diizinkan
oleh rahin. Karena berarti utang yang memberikan adanya keuntungan. Dan semua utang
yang memberikan keuntungan, statusnya riba.”
Pihak yang berhutang tersebut wajib mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu yang
telah disepakati. Jika melanggar ketentuan tersebut, maka pihak yang berhutang harus
menerima konsekunsinya. Dalam hukum ekonomi syariah tidak ada tambahan dari arah yang
tidak jelas atau yang dikenal dengan riba. Sebab hukum riba menurut Islam ialah haram.
Sebagaimana yang tertuang dalam dalil di bawah ini.
Allah ta’ala berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu
dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
5
(Qs. Ali Imron [3]: 130)
ْأ
ٍ “ يَا َأيُّهَا الَّ ِذينَ َآ َمنُوا اَل تَ ُكلُوا َأ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل ِإاَّل َأ ْن تَ ُكونَ تِ َجا َرةً ع َْن ت ََرHai orang-orang yang
اض ِم ْن ُك ْم
beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”
Dua belah pihak dalam akad ini atau lainnya harus mencapai kesepakatan dimana keduanya
harus saling ridha. Seperti yang tertulis dalam hadits di bawah ini.
Dari Abu Said al-Khudri, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
(HR. Ibn Majah 2269, Ibn Hibban 4967 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth)
Itulah hukum jaminan hutang dalam Islam yang dapat Anda ketahui. Semoga bermanfaat!
Allahu a’lam.
Al-Kafalah atau jaminan adalah merupakan salah satu kontrak di dalam Islam yang
bukan sahaja bertujuan untuk membantu saudara sesama Islam di dalam kesusahan malah
juga menjamin hak pemberi pinjaman untuk mendapatkan pembayaran balik.
Sebutan lazim ini yaitu post dated check, namun disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariah.
Hawalah disyari'atkan dalam Islam dan dibolehkan olehnya karena adanya masalahat,
butuhnya manusia kepadanya serta adanya kemudahan dalam bermuamalah.
Dalam hawalah juga terdapat bukti sayang kepada sesama, memaafkan, mempermudah
muamalah mereka, membantu memenuhi kebutuhan mereka, membayarkan utangnya dan
menenangkan hati mereka.
6
2.7 Aneka Kerjasama (Syarikah)
Dalam Islam di perbolehkan syirkah atau bekerjasama. Pengertian syirkah adalah suatu
akad antara dua pihak atau lebih, yang bersepakat untuk melakukan suatu usaha/bisnis
dengan tujuan memperoleh keuntungan.
Rukun syirkah ada tiga: pihak-pihak yang bersirkah, obyek yang di sirkah (dikerjasamakan),
dan shigat atau ijab qabul perjanjian syirkah. Sedangkan syirkah secara garis besar terbagi
dua yaitu Syirkah amlak dan Syirkah akad. Bedanya jika amlak kerjasama tanpa ada unsur
pengelolaan sedangkan syirkah akad ada unsur pengelolaan untuk tujuan memperoleh
keuntungan
Jika dilihat dari sudut pandang hukum bernegara, arti hibah dapat dipermasalahkan jika
wujud pemberiannya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat
bernilai.
Dalam hal itu, maka pengertian prosedur hibah dan pemberiannya harus disertai dengan
bukti-bukti ketetapan hukum resmi secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga,
termasuk oleh orang-orang yang termasuk ahli waris di kemudian hari.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1666 dan pasal 1667
dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak dapat
ditarik kembali, baik berupa harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih
hidup.
Berikut ini pasal-pasal di dalam KUH Perdata terkait penjelasan mengenai ketentuan
penerapan hibah di Indonesia.
Pada sisi pemahaman Islam, dikenal dengan istilah rukun atau syarat hibah, yang mana
ketentuannya sebagai berikut.
7
Ketentuan hibah di mata hukum negara
Sebagaimana negara memiliki aturan dalam pengertian dan pemberian hibah, berikut adalah
ketentuan yang harus dipenuhi perihal pemberlakuannya menurut hukum negara.
1. Harta berupa tanah dan bangunan harus disertai dengan akta dari pejabat pembuat
akta tanah (PPAT), yaitu berupa akta hibah.
2. Harta tanah tidak dikenai PPh jika diberikan dari orang tua kepada anak kandung.
3. Harta tanah dikenai PPh sebesar 2,5% dari harga tanah berdasarkan nilai pasar (jika
dilakukan sesama saudara kandung).
4. Harta berupa harta atau barang bergerak harus dilakukan dengan akta notaris.
5. Harta adalah objek yang diberikan saat pemberi masih hidup.
6. Harta yang diberikan saat pemberi sudah meninggal dunia disebut wasiat. Wasiat
dapat dibuktikan dengan surat yang diakui secara perdata.
7. Harta harus diberikan pada penerima yang sudah ada atau sudah lahir, tidak bisa
diberikan kepada penerima yang belum lahir.
8. Pemberian harta bersifat final dan tidak bisa ditarik kembali.
secara bahasa (etimologi), riba dalam bahasa Arab bermakna kelebihan atau tambahan
(az-ziyadah). Kelebihan atau tambahan ini konteksnya umum, yaitu semua tambahan
terhadap pokok utang dan harta.
Untuk membedakan riba dengan tambahan keuntungan dari jual beli, pokok utang dan harta
(ra’sul mal) ini sendiri lantas dibagi menjadi dua yaitu: ribhun (laba) dan riba.
Ribhun (laba) didapatkan dari muamalah jual beli yang hukumnya halal. Sedangkan riba
adalah hasil dari adanya syarat tambahan pada kegiatan utang piutang barang (kredit) yang
waktu akhir pelunasannya tidak tentu.
Secara makna istilah (terminologi) riba adalah kelebihan/tambahan dalam pembayaran utang
piutang/jual beli yang disyaratkan sebelumnya oleh salah satu pihak.
8
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam seperti
yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum peradilan, hukum perdata,
hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum politik, hukum penggunaan harta, dan
hukum pemerintahan
Ruang lingkup fiqih muamalah adalah seluruh kegiatan muamalah manusia berdasarkan
hukum-hukum islam yang berupa peraturan-peraturan yang berisi perintah atau larangan
seperti wajib,sunnah,haram,makruh dan mubah.hokum-hukum fiqih terdiri dari hukum-
hukum yang menyangkut urusan ibadah dalam kaitannya dengan hubungan vertikal antara
manusia dengan Allah dan hubungan manusia dengan manusia lainnya.
Dalam Islam, transaksi utama dalam kegiatan usaha adalah transaksi riil yang menyangkut
suatu obyek tertentu, baik obyek berupa barang ataupun jasa. Kegiatan usaha jasa yang
timbul karena manusia menginginkan sesuatu yang tidak bisa atau tidak mau dilakukannya
sesuai dengan fitrahnya manusia harus berusaha mengadakan kerjasama di antara mereka.
3.2 Saran
Semoga kita dapat mengetahui (dari makalah ini) tentang harta dan dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari karena sebagian orang masih ada yang
tidak mengetahui akan harta, kedudukan harta bagi manusia dan pembagian harta, agar
mereka yang belum tahu menjadi paham akan arti harta dalam kehidupan dan harta juga
bukanlah yang utama untuk dicari atau dimiliki selamanya karena ketika manusia mati akan
meninggalkan hartanya tidak dibawa kealam kubur satu persen pun, kecuali mereka atau
orang yang memanfa’atkan harta dengan sebaik-baiknya demi kemajuan syariat Islam, atau
tidak melanggar aturan harta dalam hokum syara’.
Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih kurang dari sempurna, maka dari itu
untuk menyempurnakan makalah ini dan makalah selanjutnya kami meminta koreksi dan
kritikan dari para pembaca terutama dosen pembimbing dari mata kuliah Fiqh Muamalah.
9
DAFTAR PUSTAKA
10