DOSEN PEMBIMBING
Erwatul Efendi, S.Pd., M.Pd.
KELAS PAI 7 B
i
KATA PENGANTAR
Penulis
ii
DAFTAR ISI
SAMPUL ..........................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ...........................................................................................6
B. Saran ......................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA
iii
BAB I
PANDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Modernisasi merupakan gejala sosial yang terjadi di masyarakat dunia, maupun di Indonesia
bahkan umat Islam. Umat Islam tidak bisa mengelak dari pasangnya arus modernisasi yang
semakin merata baik di negara-negara besar maupun negara kecil sekalipun, negara kaya
maupun negara miskin, negara yang terletak di jalur lalu lintas internasional maupun regional.
Dewasa ini manusia semakin mengalami perubahan sosial yang sangat cepat. Perubahan
yang hampir merambah berbagai sektor kehidupan. Mulai dari bidang ekonomi, hukum, politik
dan bahkan agama. Perubahan pada masyarakat di dunia ini merupakan gejala yang normal,
yang pengaruhnya menjalar dengan cepat ke bagianbagian lain dari dunia, antara lain berkat
adanya komunikasi moderen. Penemuan-penemuan baru di bidang teknologi, terjadinya
revolusi, modernisasi dan seterusnya yang terjadi di suatu tempat, dengan cepat dapat diketahui
oleh masyarakat lain yang letaknya jauh dari tempat tersebut.
Pandangan sebagian masyarakat mengenai masyarakat pedesaan yang masih primitif
atau tertinggal itu adalah masyarakat yang statis, tidak maju, dan tidak berubah adalah
pandangan yang kurang tepat. Pandangan tersebut muncul akibat pengamatan yang dilakukan
hanya sepintas saja, kurang mendalam, dan kurang meneliti, karena tidak mungkin ada suatu
masyarakat yang tidak mengalami perubahan, hanya saja mungkin perubahan yang berjalan
relatif lambat atau mungkin sangat lambat. Intinya bahwa tidak ada suatu masyarakat pun yang
tidak mengalami perubahan.
Perubahan-perubahan dalam masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial, norma-norma
sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam
masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan lain sebagainya. Modernisasi pun
pada hakikatnya merupakan suatu proses perubahan atau pembaharuan. Pembaharuan mencakup
bidang-bidang yang sangat banyak, tergantung dari bidang mana yang akan diutamakan oleh
penguasa. Jika individu atau masyarakat terbuka terhadap hal-hal baru, maka ada kecenderungan
proses modernisasi itu akan berjalan dengan cepat.
Proses kehidupan masyarakat modren sangat luas yang kadang-kadang tidak dapat di
tetapkan batas-batasnya secara mutlak. Namun dalam kehidupan masyarakat Barat kemoderenan
itu mencakup pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah paham-paham, adat-istiadat,
institusi-institusi lama dengan susunan baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern.
Dalam pandangan Islam kehidupan masyarakat modern harus di sesuaikan dengan Al-
Qur’an dan Hadis yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia yang meliputi kepercayaan,
peribadatan dan pergaulan antara manusia . Dalam kehidupan masyarakat modern, Islam telah
memberikan kebebasan tetapi tidak di biarkan liar, nilai-nilai harga diri dan kehormatan yang
1
harus di junjung tinggi dan tidak dapat di rendahkan oleh siapapun. Karena itu, kehidupan
masyarakat modern di dalam Islam tidak dapat di identikkan dengan kehidupan masyarakat
modern di dunia Barat.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian modernisasi pemikiran dalam Islam ?
2. Seberepa penting akan kesadaran perlunya modernisasi pemikiran Islam ?
3. Bagaimana latar belakang timbulnya modernisasi pemikiran Islam ?
C. TUJUAN
1. Siswa dapat mengetahui pengertian modernisasi pemikiran dalam Islam
2. Siswa dapat mengetahui kesadaran perlunya medernisasi pemikiran Islam
3. Siswa dapat mengetahui latar belakang timbulnya modernisasi pemikiran Islam
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
nilai agama-agama yang ada di Indonesia. Menjaga keseimbangan antara hak beragama dan
komitmen kebangsaan menjadi tantangan bagi setiap warga negara. Moderasi beragama
merupakan perekat antara semangat beragama dan komitmen berbangsa. Di Indonesia, beragama
pada hakikatnya adalah ber-Indonesia dan ber-Indonesia itu pada hakikatnya adalah beragama.
Moderasi beragama menjadi sarana mewujudkan kemaslahatan kehidupan beragama dan
berbangsa yang harmonis, damai dan toleran bagi bangsa Indonesia yang maju. Kata moderasi
dalam KBBI berasal dari bahasa latin moderatio, yang berarti kesedangan (tidak kelebihan dan
tidak kekurangan). Maka, ketika kata moderasi disandingkan dengan kata beragama, menjadi
moderasi beragama, istilah tersebut berarti merujuk pada sikap mengurangi kekerasaan, atau
menghindari keekstreman dalam praktik. Moderasi beragama merupakan konsep yang
diharapkan dapat diimplementasikan oleh seluruh umat beragama di Indonesia sehingga tercipta
kerukunan intraumat beragama, antarumat beragama dan antarumat beragama dengan
pemerintah.
Penguatan moderasi beragama menjadi salah satu indikator utama sebagai upaya
membangun kebudayaan dan karakter bangsa. Moderasi beragama juga menjadi salah satu
prioritas di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024
Kementerian Agama. Dalam konteks keIndonesiaan, moderasi beragama dapat dijadikan sebagai
strategi kebudayaan untuk merawat Indonesia yang damai, toleran dan menghargai keragamaan.
Moderasi Beragama adalah cara hidup untuk rukun, saling menghormati, menjaga dan
bertoleransi tanpa harus menimbulkan konflik karena perbedaan yang ada. Dengan penguatan
moderasi beragama diharapkan agar umat beragama dapat memposisikan diri secara tepat dalam
masyarakat multireligius, sehingga terjadi harmonisasi sosial dan keseimbangan kehidupan
sosial.
Keberhasilan Moderasi Beragama dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat terlihat
dari tingginya empat indikator utama berikut ini serta beberapa indikator lain yang selaras dan
saling bertautan:
Pertama, Komitmen kebangsaan. Penerimaan terhadap prinsip-prinsip berbangsa yang
tertuang dalam konstitusi: Pancasila, UUD 1945 dan regulasi di bawahnya
Kedua, Toleransi. Menghormati perbedaan dan memberi ruang orang lain untuk
berkeyakinan, mengekspresikan keyakinannya, dan menyampaikan pendapat. Menghargai
kesetaraan dan sedia bekerjasama
Ketiga, Anti kekerasan. Menolak tindakan seseorang atau kelompok tertentu yang
menggunakan cara-cara kekerasan, baik secara fisik maupun verbal, dalam mengusung
perubahan yang diinginkan
Keempat, Penerimaan terhadap tradisi. Ramah dalam penerimaan tradisi dan budaya
lokal dalam perilaku keagamaannya, sejauh tidak bertentangan dengan pokok ajaran agama
Urgensi moderasi beragama dalam kehidupan beragama dan berbangsa antara lain:
memperkuat esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, mengelola keragaman tafsir
4
keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan, merawat Keindonesiaan dalam
bingkai NKRI.
Namun disamping itu juga ada tantangan dalam implementasi moderasi beragama, antara
lain: berkembangnya cara pandang, sikap dan praktik beragama yang berlebihan (ekstrem), yang
mengesampingkan martabat kemanusiaan; berkembangnya klaim kebenaran subyektif dan
pemaksaan kehendak atas tafsir agama serta pengaruh kepentingan ekonomi dan politik
berpotensi memicu konflik; berkembangnya semangat beragama yang tidak selaras dengan
kecintaan berbangsa dalam bingkai NKRI.
Tantangan dalam implementasi moderasi beragama tersebut sangat bersinggungan
dengan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) di Indonesia. Kebebasan Beragama dan
Berkeyakinan (KBB) sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak mendasar
yang melekat dalam diri setiap manusia. Setiap individu memiliki kebebasan untuk memilih dan
menjalankan agama atau keyakinannya sesuai hati nurani masing-masing tanpa harus dihantui
oleh rasa takut mendapatkan ancaman, tekanan, paksaan dari luar dirinya, serta juga bebas dari
adanya perlakuan diskriminatif—baik itu dilakukan oleh kelompok-kelompok mayoritas
keagamaan dalam masyarakat atau bahkan oleh negara.
Di Indonesia, kebebasan beragama dan berkeyakinan dijamin penuh oleh konstitusi dan
sejumlah konvensi yang telah diratifikasi dan disahkan oleh pemerintah Indonesia menjadi
undang-undang. Dalam UUD 1945 pasca amandemen pasal 28E ayat (1) ditegaskan bahwa
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya”. Pasal 28E ayat (2) juga
menegaskan “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran
dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Sedangkan, pasal 28I ayat (1) dalam konstitusi
berbunyi “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum
dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang
tidak dapat dikurang dalam keadaan apapun”. Dalam pasal yang sama pada ayat (2) juga masih
menekankan semangat serupa “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang
bersifat diskriminatif itu”.
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) memiliki landasan yuridis yang cukup
kuat dalam hukum di Indonesia. Pentingnya perlindungan dan pemenuhan hak mengenai
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) ini sepenuhnya dapat dimengerti mengingat
Indonesia adalah negara yang majemuk terdiri dari banyak agama dan aliran kepercayaan yang
hidup di tengah-tengah masyarakat. Selain itu, Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB)
juga dipandang dapat mendorong sebuah kehidupan yang harmonis karena berperan penting
dalam mengangkat dan menghormati martabat manusia. Dengan sikap saling menghormati satu
sama lain atas nama kemanusiaan, keharmonisan dalam konteks kehidupan antar umat beragama
5
dan berkeyakinan akan menjadi landasan utama bagi terwujudnya kerukunan dalam masyarakat
yang majemuk seperti di Indonesia.
Kerukunan yang dimaksud adalah dalam konteks dipenuhinya hak Kebebasan Beragama
dan Berkeyakinan (KBB). Mengingat Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB),
dipandang dapat mendorong terciptanya kerukunan sosial karena mengangkat dan menghormati
martabat manusia. Selain itu, juga mengingat bahwa keharmonisan dan kerukunan umat
beragama dan berkeyakinan bukan kondisi stagnan, tetapi bersifat dinamis dan sangat
dipengaruhi serta tergantung dari berbagai faktor. Selain faktor internal dan relasional dari
pemeluk-pemeluk agama untuk selalu menjaga keharmonisan dan kerukunan dalam
hubungannya dengan pemeluk agama lainnya, juga sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal
seperti perubahan kondisi sosial, politik dan ekonomi.
6
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Modernisasi pemikiran islam adalah sebuah Gerakan, aliran dan paham yang ingin
merekontruksi Kembali nilai-nilai yang terkandung dalam Islam untuk dapat disesuiakan dengan
kebutuhkan-kebutuhan dan relevansi umat Islam di zaman modern ini atau suatu upaya
menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk menyesuaikan dengan perkembangan
zaman dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia modern yang sedang berlansung.
Kesadaran perlunya modernisasi agama sangatlah dibutuhkan dan penting untuk
mengikuti perkembangan zaman, baik itu dalam ilmu pengetahuan, ilmu teknologi, maupun
pemersatu bangsa karena adanya sikap toleransi yang tinggi dalam beragama.
Modernisasi pemikiran islam terjadi setelah runtuhnya tiga kerajaan, yang menyadari
bahwa ia merasa tertinggal baik itu dalam ilmu pengetahuan. Maka oleh hal itu umat Islam
menyadari bahwa modernisasi sangatlah dibutuhkan
B. SARAN
Setelah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, kami harapkan saran dan kritik dari
Bapak pembimbing dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga
makalah ini bermanfaat untuk saya pribadi dan teman-teman sekalian.
7
DAFTAR PUSTAKA
Murodi. tt. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Karya Toha Putra
Syaukani, Ahmad. 2001. Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, cet-2 .Bandung:
Pustaka Setia.
Yatim, Badri. 2008.Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada.
https://kesbangpol.kulonprogokab.go.id/detil/615/moderasi-beragama-memperkuat-kerukunan-
umat-beragama-di-kabuapten-kulon-progo