Anda di halaman 1dari 24

MODUL XIII

Prof. Dr. Abdul Razak, S.H., M.H. Dr. Andi Bau Inggit AR, S.H., M.H.
Prof. Dr. Marthen Arie, S.H., M.H. Ariani Arifin, S.H., M.H.
Prof. Dr. Marwati Riza, S.H., M.Si. Dian Utami Mas Bakar, S.H., M.H.
Dr. Anshory Illyas, S.H., M.H. Ruslan Hambali, S.H.,M.H.

PROGRAM STUDI SARJANA HUKUM ADMINISTRASI NEGARA


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
TAHUN 2020

DAFTAR ISI

Halaman Judul i

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 1


Daftar Isi ii

KEGIATAN BELAJAR I
LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN PERADILAN ADMINISTRASI

1. Pendahuluan 1
a. Sub-CPMK 1
b. Materi Pembelajaran 1
2. Penyajian 1
Latar Belakang Pembentukan Peradilan Administrasi 1
3. Penutup 6
Penugasan 6
Daftar Pustaka 7

KEGIATAN BELAJAR II
KOMPETENSI PTUN

1. Pendahuluan 8
a. Sub-CPMK 8
b. Materi Pembelajaran 8
2. Penyajian 8
Kompetensi PTUN 8
3. Penutup 12
Penugasan 12
Daftar Pustaka 13

KEGIATAN BELAJAR III


SENGKETA TUN

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 2


1. Pendahuluan 14
a. Sub-CPMK 14
b. Materi Pembelajaran 14
2. Penyajian 14
Sengketa PTUN 14
3. Penutup 21
Penugasan 21
Daftar Pustaka 21

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 3


KEGIATAN BELAJAR I
LATAR BELAKANG PEMBENTUKAN PERADILAN ADMINISTRASI

1. Pendahuluan
a. Sub-CPMK
Mampu menganalisis kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran yang akan dibahas pada modul ini ialah tentang latar
belakang pembentukan peradilan administrasi.

2. Penyajian
Latar Belakang Pembentukan Peradilan Administrasi
Dalam usaha menapai tata kehidupaan yang adil dan makmur sebagaimana
dicitacitakan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, membuat pemerintah
berperan aktif dalam kehidupan masyarakat.1 Di negara-negara yang telah maju,
konsep tentang welfare state telah berkembang sedemikian rupa sehingga peranan
pemerintah bertambah besar untuk mewujudkan welfare state. Oleh karena itu
diperlukan kleincahan yang lebih besar daripada dalam suatu negara di aman
pemerintah hanya bersikap sebagai polisi dan hanya bertindak atas permintaan
perorangan atau apabila ada kepentingan yang dilanggar. Akan tetapi dilain pihak,
terhadap kebebasan bertindak dan mengatur yang bertambah besar daka negara
ini, perlu dipikirkan cara-cara yang tepat agar dapat dipelihara keseimbangan
anatara kepentingan umum dan kepentingan warga negara.2
Urgensi mengadakan suatu Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disingkat
Peradilan TUN) tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan intern terhadap
pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku
bagi (dan harus dipegang teguh oleh) suatu negara hukum. Akan tetapi, yang
benar-benar berfungsi sebagai badan peradilan yang secara bebas dan objektif
diberi wewenang menilai dan mengadili pelaksanaan hukum administrasi negara
itu yang dilakukan oleh pejabat eksekutif. Pembentukan Peradilan TUN juga

1
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN 2004,
Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 1.
2
Baharuddin Lopa, et.al, Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1989, hlm. 9.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 1


diartikan sebagai kecenderungan tekad pemerintah untuk melindungi hak-hak
asasi warga negara terhadap kekuasaa pemerintah dalam melaksanakan urusan
pemerintahan; sebagai negara yang sedang membangun, soal campur tangan
pemerintah yang lebih besar dalam kegiatan-kegiatan kehidupan masyarakat
merupakan masalah di negara- negara berkembang di mana wewenang bertindak
dan mengatur kehidupan masyarakat dalam pembangunan dirasakan sebagai
pelanggaran hak asasi warga negara.3 Padahal seharusnya tidak demikian.
Campur tangan yang sangat aktif dalam kegiatan masyarakat harus dipandang
sebagai konsekuensi konsep welfare state dimana negara diberikan tanggung
jawab untuk mewujudkan kesejahteraan umum.
Berbagai sarjana yang menguraikan urgensi pembentukan Peradilan
Administrasi Negara, dapat disebutkan antara lain sebagai berikut:
1. M. Prodjohamidjojo (1993; 11-12) mengatakan bahwa urgensi mengadkan
Peradilan Administrasi Negara, yaitu;
a. Sebagai pengawasan intern terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi
Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dan dipegang dalam
suatu negara hukum.
b. Melaksanakan fungsi peradilan sebagai judicial control yang secara
bebas dan objektif diberi wewenang menilai dan mengadili
pelaksanaan Hukum Administrasi Negara yang diterapkan oleh
pejabat.
2. J. Prakoso (1988; 58), menyebutkan urgensi pembentukan Peradilan
Administrasi Negara adalah : Urgensi pembentukan Peradilan Administrasi
Negara juga diartikan sebagai kecenderungan tekad pemerintah melindungi
hak-hak asasi warga negara terhadap kekuasaan pemerintah dalam
melaksanakan urusan pemerintahan; sebagai negara yang sedang membangun,
soal campur tangan pemerintah yang lebih besar dalam kegiatan-kegiatan
kehidupan masyarakat, mungkin dirasakan sebagai pelanggaran hak asasi
warga negara. Namun haruslah diakui bahwa dengan adanya Peradilan
Administrasi Negara bukanlah merupakan jaminan bagi warga negara, bahwa
kepentingan umum dan kepentingan warga negara menjadi seimbang.

3
Martiman Prodjohamidjojo, Loc.Cit.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 2


3. Saleh K.W (1976;138) mengatakan bahwa; Urgensi mengadakan suatu
Peradilan Administrasi antara lain untuk memberikan perlindungan hukum
kepada rakyat terhadap tindakan-tindakan melawan hukum yang dilakukan
oleh penguasa. Perlindungan hukum tersebut berupa suatu kesempatan bagi
rakyat untuk melakukan gugatan kepada pejabat atau badan pemerintah yang
melakukan tindakan merugikan itu.
4. Prajudi Atmosudirdjo dalam Saleh K.W. (1976;138) mengatakan bahwa:
Urgensi pembentukan Peradilan Administrasi adalah untuk ikut membantu
mengembangkan dan membangun administrasi negara yang bekerja secara
rechtsmatig, wetmatig, plichtmatig dan doelmatig.
5. Urgensi pembentukan Peradilan Administrasi, yaitu;
a. Untuk memberikan jaminan dan kepastian hukum penyelesaian
masalah-masalah hukum yang timbul akibat penyelenggaraan fungsi
pemerintahan yang bersifat eksekutif yang selama ini berada diluar
kompotensi peradialan umum.
b. Mendorong terciptanya aparatur pemerintahan yang bersih, jujur dan
berwibawa sebagai syarat mutlak terwujudnya negara hukum yang
sesungguhnya.
c. Memberikan perlindungan hukum tidak hanya untuk kepentingan
individu, tetapi juga untuk kepentingan umum dan kepentingan Badan
atau Pejabat TUN itu sendiri.
d. Mendorong agar Badan atau Pejabat TUN mengedepankan cara-cara
penerbitan keputusan TUN yang sesuai dengan prosedur dan
mekanisme yang ditetapkan dalam peraturan dasarnya.
Menyadari peran aktif pemerintah dalam kehidupan masyarakat, maka
pemerintah perlu mempersiapkan langkah untuk menghadapi kemungkinan
timbulnya benturan atau perselisihan. Perselisihan antara dua kepentingan
yang berbeda, antara badan atau pejabat tata usaha negara dengan warga
masyarakat.4 Oleh karena itu, dirasa penting dan semakin mendesak untuk
membentuk Peradilan TUN.
Peradilan merupakan salah satu pilar utama dalam suatu negara yang
menyatakan diri sebagai negara hukum yang demokratis dengan segala
4
Ibid.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 3


karakterisnya yang berbeda antara satu negara dengan negara lainnya. Bahka
peradilan diserahi tugas yang sangat mulia sebagai pengawal utama tegaknya
konstitusi dan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat. Begitu pentingnya peranan Peradilan Administrasi dalam
mendorong terciptanya aparatur pemerintahan yang bersih, jujur dan
berwibawa, negara yang menganut paham negara hukum yang berbasis pada
prinsip–prinsip rechtsstaat, memasukkan Peradilan Administrasi sebagai salah
satu unsur negara hukum.
S.F. Marbun5 menyatakan bahwa; dalam konsep negara hukum Indonesia,
hak rakyat terhadap negara tidak diletakkan sebagai yang utama, demikian
pula kewajiban rakyat terhadap negara tidak dijadikan sebagai yang utama.
Tetapi antara hak dan kewajiban rakyat terhadap negara diletakkan dalam
posisi yang seimbang, serasi dan selaras, sehingga atas dasar itu tercipta
hubungan yang rukun antara rakyat dengan pemerintah.
Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa atas dasar keserasian hubungan
(antara rakyat dengan pemerintah) yang berdasarkan asas kerukunan dan asas
gotong royong sebagai prinsip, maka dapatlah ditarik elemen-elemen atau
ciri-ciri negara hukum Pancasila:6
1. keserasian hubungn antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan.
2. hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan
negara.
3. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir.
4. keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Selanjutnya dikatakan bahwa berdasarkan elemen-elemen di atas maka
perlindungan hukum bagi rakyat terhadap pemerintah (sebagai peran yang
diemban oleh Peradilan Administrasi) adalah:
1. usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa (upaya preventif) atau
sedapat mungkin mengurangi terjadinya sengketa; dalam hubungan ini

5
SF Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997, hlm. 76.
6
Philipus. M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Cetakan I, Bina Ilmu,
Surabaya, 1987, hlm.89-90

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 4


sarana perlindungan hukum yang preventif patut diutamakan daripada
sarana perlindungan yang represif.
2. usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa (hukum) antara pemerintah
dan rakyat dengan cara musyawarah.
3. penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir,
peradilan hendaklah merupakan “ultimatum remedium (jalan terakir)”
dan peradilan bukan forum konfrontasi sehingga peradilan haruslah
mencerminkan suasana damai dan tenteram-terutama melalui hukum
acaranya.
Tujuan pembentukan suatu peradilan pada hakikatnya sangat terkait dengan
dasar
falsafah negara yang dianutnya. Artinya dalam suatu negara yang menganut
dasar falsafah liberalisme-individualistis, maka tujuan pembentukan
peradilannya juga adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
berbagai kepentingan masyarakatnya yang bersifat individualistis. Jadi
perlindungan hukum terhadap warga masyarakat pada dasarnya adalah
perlindungan hukum terhadap kebebasan individu. Perlindungan itu diperoleh
melalui hak yang diberikan kepada warga masyarakat untuk menuntut
dan/atau menggugat pihak-pihak yang melanggar haknya melalui proses
peradilan.
Di Indonesia yang merupakan negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD NRI
1945) yang berdasarkan falsafah Pancasila, disamping menjamin dan
menjunjung tinggi hak-hak perseorangan, juga menjunjung tinggi dan
menjamin harkat dan matabat masyarakat pada umumnya. Falsafah negara
Pancasila meletakkan hak dan kewajiban warga masyarakat dalam
keseimbangan, keserasian dan keselarasan dengan kepentingan perseorangan
dan kepentingan umum.
Oleh karenanya secara filosofis, tujuan pembentukan Peradilan
Administrasi adalah untuk memberikan perlindungan hukum terhadap
hak-hak perseorangan dan hak-hak masyarakat, bahkan juga memberikan
perlindungan hukum secara seimbang terhadap tindakan hukum pemerintah
yang wetmatig dan rechtmatig . Dengan tujuan yang demikian diharapkan
akan tercipta keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara kepentingan

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 5


perseorangan dengan kepentingan warga masyarakat termasuk kepentingan
pemerintah.
Itulah alasannya sehingga Prajudi Atmosudirdjo melalui tulisannya pada
makalah BPHN tahun 1977, menjelaskan bahwa tujuan pembentukan
peradilan administrasi (di Indonesia) adalah; untuk menegmbangkan dan
memelihara administrasi negara yang tepat menurut hukum (rechtmatig) atau
tepat menurut undang-undang (wetmatig) atau tepat secara fungsional
(efektif) dan/atau berfungsi secara efisien.
Sjachran Basah juga mengemukakan tujuan pembentukan peradilan
administrasi ; adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan kepastian
hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi negara dalam arti
terjaganya keseimbagan kepentingan masyarakat dengan kepentingan
individu. Untuk administrasi negara akan terjaga ketertiban, ketenteraman dan
keamanan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, demi terwujudnya
pemerintahan bersih dan berwibawa dalam kaitan negara hukum berdasarkan
Pancasila.7
SF. Marbun mengatakan tujuan Peradilan Administrasi dapat pula
dirumuskan; secara preventif untuk mencegah tindakan-tindakan administrasi
negara yang melawan hukum dan merugikan, sedangkan secara represif
ditujukan terhadap tindakan-tindakan administrasi negara yang melawan
hukum dan merugikan rakyat perlu dan harus dijatuhi sanksi. Selain itu
dikatakannya bahwa tujuan peradilan administrasi dapat juga dirumuskan
yaitu; untuk memberikan perlindungan hukum bagi warga atas tindakan
administrasi negara yang melawan hukum, merugikan dan memberikan
perlindungan hukum bagi administrasi negara sendiri yang bertindak benar
sesuai dengan hukum sertamelakukan pengawasan (kontrol) terhadap
tidakan-tindakan administrasi negara baik secara preventif maupun represif.8

3. Penutup
Penugasan

7
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Cetakan I,
Alumni, Bandung, 1985, hlm. 154.
8
S.F. Marbun, Op.CIt., hlm.27.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 6


Peserta mata kuliah diwajibkan untuk membuat ringkasan mengenai urgensi
perlunya sebuah peradilan administrasi dalam satu essay.

Daftar Pustaka

Baharuddin Lopa, et.al, Peradilan Tata Usaha Negara, Sinar Grafika, Jakarta, 1989.
Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU PTUN
2004, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005.
Philipus. M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia. Cetakan I, Bina
Ilmu, Surabaya, 1987.
SF Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997.
Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia,
Cetakan I, Alumni, Bandung, 1985.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 7


KEGIATAN BELAJAR II
KOMPETENSI PTUN

1. Pendahuluan
a. Sub-CPMK
Mampu menganalisis kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran yang akan dibahas pada modul ini ialah tentang kompetensi
PTUN.

2. Penyajian
Kompetensi PTUN
Pengertian dan Pembagian Kompetensi

Pada umumnya dalam hukum acara dikenal adanya kompetensi


(kewenangan) suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili suatu
perkara. Kompetensi tersebut dibedakan atas kompetensi relatif dan kompetensi
absolut.

1. Kompetensi Relatif

Kompetensi relatif adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu


perkara sesuai dengan wilayah hukumnya.
2. Kompetensi absolut

Kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan sesuai dengan objek atau


materi atau pokok sengketanya.

Kompetensi Pengadilan Administrasi Negara

1. Kompetensi Relatif

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 8


Kompetensi relatif Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan Administrasi
Negara) tersebut dapat dikaitkan dengan kedudukan pengadilan itu sendiri
(Pasal 6 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1986 bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara
berkedudukan di kotamadya atau ibukota kabupaten, dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten) dan selanjutnya dapat pula
dikaitkan dengan tempat kedudukan para pihak (Pasal 54 UU No. 5 Tahun
1986).

Pasal 54
(1) Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan tergugat.
(2) Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan
berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan, gugatan
diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
(3) Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum
Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukummnya meliputi tempat kediaman penggugat
untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
(4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara
yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan
dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman penggugat.
(5) Apabila penggugat dan tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri,
gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
(6) Apabila tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di luar
negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

Pada dasarnya, gugatan diajukan di tempat kedudukan tergugat, dan bilamana


tergugat lebih dari satu badan/pejabat Tata Usaha Negara, gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu
badan/Pejabat Tata Usaha tersebut. Untuk membantu dan memudahkan
masyarakat pencari keadilan bersengketa di Pengadilan Tata Usaha Negara, maka
apabila tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum pengadilan
tempat kediaman Penggugat, maka Penggugat dapat memasukkannya ke
pengadilan di wilayah hukum tempat tinggal Penggugat, untuk selanjutnya
diteruskan kepada pengadilan yang bersangkutan.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 9


Dalam hal-hal tertentu, gugatan dapat diajukan ke pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat, sedangkan bilamana penggugat
dan tergugat berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
Demikian pula bilamana tergugat berkedudukan di dalam negeri dan penggugat di
luar negeri, gugatan diajukan kepada pengadilan di tempat kedudukan tergugat.

2. Kompetensi Absolut

Kompetensi absolut berhubungan dengan kewenangan pengadilan tata usaha


Negara mengadili suatu sengketa menurut obyek atau materi atau pokok sengketa.
Meskipun badan/pejabat tata usaha Negara dapat digugat di pengadilan tat usaha
Negara, tetapi tidak semua tindakannya dapat diadili oleh pengadilan tata usaha
Negara. Tindakan badan/pejabat tata usaha Negara yang dapat digugat di
pengadilan tata usaha Negara diatur dalam Pasal 1 butir (3) dan Pasal 3 UU
Nomor 5 tahun 1986, sedangkan tindakan selebihnya menjadi kompetensi
peradilan umum atau peradilan (tata usaha) militer. Kompetensi absolut
Pengadilan Tata Usaha Negara (Pengadilan Administrasi Negara) adalah
“sengketa tata usaha Negara”. Sedangkan yang dimaksud dengan “Sengketa Tata
Usaha Negara” menurut Pasal 1 butir (4) UU No. 5 tahun 1986 adalah:
“Sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku”.
Namun, sengketa TUN yaitu akibat timbulnya KTUN, harus juga
memperhatikan ketentuan Pasal yang mengecualikan beberapa jenis KTUN
sebagai objek gugatan di PTUN sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 dan Pasal
49 UU No. 5 Tahun 1986. Keputusan yang dikecualikan tersebut yaitu:

Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang- undang ini :
Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 10


d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana atau Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia;
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil
pemilihan umum.

Pasal 49
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa
Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu
dikeluarkan :
a. dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau keadaan luar
biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
b. dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Pasal 47 UU No. 5 tahun 1986, kompetensi absolut Pengadilan Tata


Usaha Negara yaitu memeriksa, memutus, dan menyelesaikan Sengketa Tata
Usaha Negara. Kewenangan tersebut berada di peradilan di tingkat pertama,
dalam hal Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara tidak diberi kewenangan oleh
atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara
administratif (melalui upaya administratif) Sengketa Tata Usaha Negara tersebut.
Yang dimaksud dengan upaya administratif dapat dilihat pada Penjelasan Pasal 48
ayat (1) UU No. 5 tahun 1986, yaitu:

“suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata
apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Prosedur
tersebut dilaksanakan di lingkungan pemerintahan sendiri atau terdiri atas dua
bentuk dalam hal penyelesaian itu harus dilakukan oleh instansi atasan atau
instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, maka
prosedur tersebut dinamakan "banding administratif'”.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 11


Kompetensi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara

Kompetensi absolut Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yaitu:

1. bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara
di tingkat banding.

2. bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan


terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha
Negara di dalam daerah hukumnya.

3. bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat


pertama sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48.
Pasal 48 UU No. 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa:
(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi
wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk
menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu,
maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi
dan/administratif yang tersedia.
(2) Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika
seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.

3. Penutup
Penugasan
Buatlah analisis singkat berdasarkan kasus berikut:
“Ketua Komisi Pemilihan Umum Kota Makassar, menerbitkan Keputusan mengenai
hasil pemilihan kepala daerah. Namun, banyak pihak yang tidak sepakat terhadap
hasil tersebut sehingga ingin menggunggat di PTUN.”

Pertanyaan:

1. Apakah gugatan tersebut sudah benar di ajukan ke PTUN?


2. Jika benar, maka seharusnya gugatan itu diajukan di PTUN wilayah mana?

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 12


Daftar Pustaka

Peraturan Perundang-undangan: Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan


Tata Usaha Negara.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 13


KEGIATAN BELAJAR III
SENGKETA TUN

1. Pendahuluan
a. Sub-CPMK
Mampu menganalisis kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Materi Pembelajaran
Materi pembelajaran yang akan dibahas pada modul ini ialah tentang sengketa
TUN.

2. Penyajian
Sengketa TUN
Pengertian

Dalam Bab I Pasal 1 angka 4 UU No. 5 tahun 1986 disebutkan bahwa:

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata
Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Unsur-unsur Sengketa Tata Usaha Negara

1. Sengketa dalam bidang Tata Usaha Negara

Pengertian “sengketa” di sini dapat dilihat dalam Penjelasan Pasal 1 angka


4 UU No. 5 Tahun 1986 ditegaskan bahwa:

“Istilah "sengketa" yang dimaksudkan disini mempunyai arti khusus


sesuai dengan fungsi Peradilan Tata Usaha Negara yaitu menilai
perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum”.
Pengertian “Tata Usaha Negara” dapat dilihat pada Pasal 1 angka 1 UU
No. 5 Tahun 1986, yaitu:

“Tata Usaha Negara adalah Administrasi Negara yang melaksanakan


fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat
maupun di daerah”.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 14


Sedangkan yang dimaksud dengan “urusan pemerintahan” ialah kegiatan
yang bersifat eksekutif. (Penjelasan Pasal 1 angka 1 UU No. 5 Tahun
1986).

2. Orang atau badan hukum perdata

Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 jo. UU No. 9 Tahun 2004 tidak


memberikan penjelasan mengenai pengertian orang dan badan hukum.
Oleh karena itu, pengertian tentang orang dan badan hukum haruslah
dilihat dari ketentuan-ketentuan dari bidang lain, yaitu hukum perdata dan
hukum dagang.

a. Orang

Dalam Buku I Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata)


tentang orang, yang dimaksudkan dengan “orang” tidak hanya
manusia biasa, tetapi juga badan hukum. Manusia dan badan hukum
dapat mempunyai atau menjadi pendukung hak dan kewajiban.

Setiap orang yang cakap akan mempunyai hak-hak, ia adalah subyek


hukum. Tetapi, tiak setiap orang cakap akan melakukan
perbuatan-perbuatan hukum. Pada umumnya, hanya orang-orang yang
sudah dewasa secara sah. Perbuatan-perbuatan hukum yang dapat
dilakukan oleh orang yang bewlum dewasa merupakan pengecualian.

b. Badan Hukum Perdata

Yang dimaksud dengan badan hukum perdata adalah badan atau


perkumpulan atau organisasi atau koperasi dan sebagainya yang
didirikan menurut ketentuan-ketentuan hukum perdata atau peraturan
lain yang merupakan badan hukum karena dalam pergaulan hukum ia
dianggap sebagai subyek hukum. (Martiman Prodjohamidjojo,
2005:18).

Keberadaan sebagai badan hukum yang sah harus dilihat pada


perundang-undangan atau anggaran dasar atau akta pendirian yang
bersangkutan. Contoh: sebuah Perseroan Terbatas (PT) baru sah jika
didirikan dengan akta notaris dan akta itu telah mendapat pengesahan

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 15


oleh Menteri Kehakiman, kemudian dilakukan pendaftaran di
kepaniteraan Pengadilan Negeri serta pengumuman di dalam Berita
Negara RI dan ditempatkan di dalam bagian Tambahan Berita Negara
RI.

3. Badan atau pejabat Tata Usaha Negara

a. Pusat

b. Daerah

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, dikatakan


bahwa Badan atau Pejabat tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di
pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.

Makna Pejabat Tata Usaha Negara dalam Sengketa TUN berdasarkan


kajian Puslitbang terhadap Studi Tentang Putusan MA RI Tahun
2005-2011, maka kesimpulannya adalah secara normatif sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 angka 8 UU Peradilan TUN, maka
Badan/Pejabat TUN adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam perkembangannya, ukuran untuk dapat disebut sebagai Badan atau
Pejabat TUN adalah pada fungsi yang dilaksanakan, yakni pelaksanaan
fungsi pemerintahan, bukan ditentukan oleh nama sehari-hari ataupun
kedudukan strukturalnya dalam salah satu lingkungan kekuasaan negara.
Pejabat TUN yang ideal haruslah dimaknai sebagai siapapun yang
melaksanakan fungsi pemerintahan, oleh karenanya harus tunduk pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku, asas-asas umum
pemerintahan yang baik, maupun etika pemerintahan.

4. Keputusan Tata Usaha Negara

Dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 disebutkan bahwa Putusan


Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata
Usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 16


Dalam rumusan di atas, UU No. 5 tahun 1986 menggunakan istilah
“putusan”.

Dari rumusan di atas, maka dapat ditemukan unsurnya, yaitu:

1) Penetapan tertulis

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 dikatakan


bahwa istilah “penetapan tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan
bukan kepada bentuk keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan itu memang diharuskan
tertulis, namun yang disyaratkan tertulis bukanlah bentuk formalnya
seperti surat keputusan pengangkatan dan sebagainya.

Pernyataan tertulis itu diharuskan untuk kemudahan dari segi


pembuktian. Oleh karena itu, sebuah memo atau nota dapat memenuhi
syarat tertulis tersebut dan akan merupakan suatu Keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara menurut UU No. 5 tahun 1986 apabila
sudah jelas:

- Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang


mengeluarkannya;

- Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu; dan

- Kepada siapa tulisan tu ditujukan dan apa yang ditetapkan di


dalamnya.

2) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, dikatakan


bahwa Badan atau Pejabat tata Usaha Negara adalah Badan atau
Pejabat di pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat
eksekutif.

3) Tindakan hukum Tata Usaha Negara

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, dikatakan


bahwa tindakan hukum Tata Usaha Negara adalah perbuatan hukum
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 17


ketentuan hukum Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak
atau kewajiban pada orang lain.

4) Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 2 UU No. 5 Tahun 1986 dikatakan


bahwa yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" dalam
undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat
secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah,
serta semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di
tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat
secam umum.

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan dari UU ini, maka dapat


diketahui bahwa terdapat dua kategori yang dimaksud dengan
peraturan perundang-undangan, yaitu:

a) semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang


dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta

b) semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di


tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat
mengikat secara umum.

5) Bersifat konkrit, individual, dan final

Bersifat konkrit

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, dikatakan


bahwa bersifat konkrit artinya obyek yang diputuskan dalam
Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi berwujud,
tertentu atau dapat ditentukan.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986


memberikan contoh, umpamanya keputusan mengenai rumah si A,
izin usaha bagi si B, pemberhentian si A sebagai pegawai negeri.

Bersifat individual

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 18


Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, dikatakan
bahwa bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara itu
tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal
yang dituju. Kalau yang dituju itu lebih dari seorang, tiap-tiap nama
orang yang terkena keputusan itu disebutkan.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986


memberikan contoh, umpamanya keputusan tentang pembuatan atau
pelebaran jalan dengan lampiran yang menyebutkan nama-nama orang
yang terkena keputusan tersebut.

Bersifat final

Dalam Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986, dikatakan


bahwa bersifat final artinya sudah definitif dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum. Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final
karenanya belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada
pihak yang bersangkutan.

Selanjutnya, Penjelasan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986


memberikan contoh, umpamanya keputusan pengangkatan seorang
pegawai negeri memerlukan persetujuan dari Badan Administrasi
Kepegawaian Negara.

6) Menimbulkan Akibat Hukum

Keputusan Tata Usaha Negara yang tertuju kepada orang atau badan
hukum perdata tertentu menimbulkan akibat hukum, artinya
menimbulkan suatu perubahan dalam suasana hubungan hukum yang
telah ada, karena penetapan tertulis selalu menimbulkan akibat hukum.

Jika ia tidak menimbulkan akibat hukum, maka ia bukan suatu


penetapan tertulis sebagaimana dimaksud oleh Pasal 1 angka 3 UU
No. 5 Tahun 1986.

Sebagai suatu tindakan hukum, penetapan tertulis mampu


menimbulkan suatu perubahan dalam hubungan yang telah ada,

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 19


umpamanya melahirkan hubungan hukum baru, menghapuskan
hubungan yang telah ada, menetapkan status, dan sebagainya.

Suatu penetapan tertulis itu melahirkan suatu wewenang bagi badan


atau pejabat tata usaha negara yang lain untuk berbuat sesuatu untuk
menyebabkan diubahnya atau dicabutnya wewenang yang pernah
dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara. (Indroharto, dalam
Martiman Prodjohamidjojo, 2005:26).

7) Seseorang atau Badan Hukum Perdata

Mengenai pengertian orang dan badan hukum perdata dapat dilihat


pada uraian sebelumnya dari buku ini.

5. Berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang berlaku

Dalam Penjelasan UU No. 6 tahun 1986, Pasal 1 angka 2 disebutkan


bahwa:

Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" dalam


undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara
umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama
pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta semua
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat secam umum.

Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan dari UU ini, maka dapat diketahui
bahwa terdapat dua kategori yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan, yaitu:

1) semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang


dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik
di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, serta

2) semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di


tingkat pusat maupun di tingkat daerah, yang juga bersifat mengikat
secara umum.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 20


3. Penutup
Penugasan

Buatlah analisis singkat berdasarkan kasus berikut:


“Rektor Universitas (swasta) memecat mahasiswa dengan menerbitkan Surat
Keputusan tentang Pemberhentian Sebagai Mahasiswa (drop out). Para mahasiswa
yang dipecat merasa dirugikan dan ingin mengajukan ke PTUN”

Pertanyaan:

1. Apakah gugatan tersebut termasuk dalam sengketa TUN?


2. Jika jawaban nomor 1 adalah iya maka berikan penjelasan dengan
menguraikan unsur-unsur sengketa TUN-nya berdasarkan kasus!

Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5


Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Modul XIII Hukum Administrasi Negara 21

Anda mungkin juga menyukai