DIMENSI-DIMENSI ORGANISASI
Oleh :
Kelompok 3
1. MONICA YERNITA HUTAGAOL (1961201228)
2. ASTI ASMO DIWATI PARDOSI (1961201212)
3. FATMA WIDIA HUTAHAEAN (1961201027)
4. M.ZULFAHMI (1961201089)
Kelas : Desain Organisasi 3.1
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS LANCANG KUNING
2019/2020
DAFTAR ISI
BAB.1. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................,........................1
B. RumusanMasalah.................................................................1
C. Tujuan...................................................................................2
BAB.2. PEMBAHASAN
A. Dimensi Struktur Organisasi
1. Kompleksitas...................................,.........................3,4,5
2.Formalisasi.................................................................6,7,8
3.Sentralisasi.................................................................9,10,11
B. Studi kasus
1.1. Latar Belakang Masalah..................................12,13,14,15
1.2. RumusanMasalah............................................16
1.3. Maksud dan Tujuan Penelit.............................16
1.3.1. Maksud
Penelitian.......................................................
1.3.2. Tujuan Penelitian........................................................
1.4. Kegunaan Penelitian.................................................17
1.4.1. Kegunaan Teoritis...........................................17
1.4.2. Kegunaan Praktis........................................... 17
Bab 3. PENUTUP..................................................................18, 19
A. Kesimpulan...........................................,.........................18,19
Daftar Pustaka...........................................,.............................20
xxi
Bab 1
Pendahuluan
A. Latar Belakang
Organisasi mempunyai batasan-batasan tertentu (boundaries), dengan
demikian seseorang yang mengadakan hubungan interaksi dengan pihak
lainnya tidak atas kemauan sendiri, mereka dibatasi oleh aturan-aturan
tertentu. Organisasi merupakan suatu kerangka hubungan berstruktur
didalamnya dan berisi wewenang, tanggung jawab dan pembagian tugas untuk
menjalankan sesuatu fungsi tertentu.
Sistem adalah sejumlah satuan yang berhubungan antarsatu dengan
lainnya sedimikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan yang biasanya
berusaha mecapai tujuan tertentu. Sesuatu dapat dinamakan sistem bila
terjadi hubungan atau interrelasi dan interpendensi baik internal maupun
eksternal antar subsistem. Jadi organisasi adalah bentuk suatu sistem yang
didalamnyamemepunyai struktur yang berbeda antara satu organisasi dengan
yang lainnya.
Setiap organisasi mempunyai struktur yang berbeda yang dapat
mempengaruhi sikap dan perilaku anggotanya. Sebagaimana diketahui bahwa
tujuan pengorganisasian antara lain adalah: membagi pekerjaan yang harus
dilakukan menjadi departemen-departemen dan jabatan yang terperinci,
membagi-bagi tugas dan tanggung jawab berkaitan dengan masing-masing
jabatan, mengordinasikan berbagai tugas organisasi, mengelompokkan
pekerjaan-pekerjaan ke dalam unit-unit, membangun hubungan di kalangan
individu, kelompok dan departemen, menetapkan garis garis wewenang
formal, mengalokasikan dan memberikan sumber daya organisasi.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian dimensi struktur organisasi ?
2. Apakah kompleksitas itu ?
3. Apa saja bentuk diferensiasi kompleksitas ?
4. Apakah formalisasi itu ?
5. Apakah sentralisasi itu ?
1
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dimensi struktur organisasi
2. Mengetahui arti 3 dimensi struktur organisasi
3. Mengetahui langkah-langkah formalisasi
2
Bab 2
PEMBAHASAN
1. Kompleksitas
Kompleksitas merupakan faktor yang memiliki pengaruh besar terhadap
struktur organisasi. Kompleksitas juga membawa pengaruh pada perilaku
individu di dalam organisasi, kondisi-kondisi struktural dalam organisasi,
proses-proses yang terjadi di dalam organisasi, serta hubungan antara
organisasi dengan lingkungannyaKompleksitas merupakan sesuatu yang
pertama-tama dirasakan oleh individu ketika memasuki suatu organisasi.
Kompleksitas pada umumnya dapat ditemui terutama dalam organisasi besar,
seperti dalam perusahaan besar, negara, angkatan bersenjata, universitas dan sebagainya.
Namun sebenarnya, pada organisasi yang sederhanapun kompleksitas ini dapat ditemukan.
Misalnya dalam organisasi tingkat desa seperti PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga),
secara sangat jelas menunjukkan adanya kompleksitas ini, apalagi sebuah organisasi besar.
2. Formalisasi
Formalisasi merujuk pada tingkat sejauh mana pekerjaan di dalam
organisasi itu distandarisasikan, ukurannya adalah banyaknya aturan-aturan
tertulis (writtenregulations) Jika formalisasi rendah, perilaku para pegawai
relatif tidak terprogram, karena kebijakan dari seseorang di dalam
pekerjaannya berbanding terbalik dengan jumlah perilaku yang diprogramkan
lebih dahulu oleh organisasi, maka makin besar standarisasi, makin sedikit
pula jumlah masukan mengenai bagaimana suatu pekerjaan(jobdesc) harus
dilakukan oleh seorang pegawai.
Standarisasi bukan hanya menghilangkan kemungkinan para pegawai
untuk berperilaku secara lain, tetapi juga menghilangkan kebutuhan bagi para
pegawai untuk mempertimbangkan alternatif.
Arti penting formalisasi organisasi menggunakan formalisasi karena
keuntungan yang diperoleh dari pengaturan perilaku para pegawai.
Standarisasi perilaku akan mengurangi keanekaragaman dan juga mendorong
koordinasi. Makin besar formalisasi, makin sedikit pula kebijaksanaan yang
diminta dari pemegang jabatan, yang berarti penghematan. Hal ini relevan
karena kebijaksanaan memerlukan biaya.
Menurut Robbins (1990:95-7), tujuan atau manfaat formalisasi adalah :
1. Konsistensi dan keseragaman, yaitu untuk mencapai output-output yang tidak
berubah-ubah kualitasnya. Hal ini penting bagi organisasi yang melakukan
produksi massal.
2. Meningkatkan koordinasi, untuk tugas-tugas yang membutuhkan koordinasi
tinggi di antara anggota organisasi, formalisasi merupakan cara yang efektif
dan biasa dipakai organisasi.
3. Penghematan biaya secara ekonomis, buku-buku manual pekerjaan di
berbagai perusahaan besar biasanya dibuat untuk menghemat biaya. Jika
perusahaan tidak memiliki manual, katakanlah di bidang akunting, maka
6
perusahaan tersebut harus membayar jauh lebih mahal tenaga kerja
profesional yang akan menjalankan tugas itu.
Sebab, tanpa adanya manual dibutuhkan pengetahuan dan keterampilan yang
tinggi dari pelaksana, sehingga gaji dan fasiitas yang harus disediakan lebih
besar. Namun dengan prosedur-prosedur dan penjelasan terperinci dalam
buku manual, perusahaan dapat memperkerjakan seseorang yang lebih rendah
kualifikasi teknis dan pendidikannya untuk mengerjakan tugas yag sama.
Didalamformalisasi memerlukan beberapa teknik dalam pelaksanaannya,
diantaranya :
a. Seleksi (selection)
Organisasi memilih pegawainya bukan secara acak, tetapi melalui
sebuah rintangan yang dirancang untuk membedakan para individu yang
mungkin dapat berprestasi dengan baik dan mereka yang mungkin tidak
berhasil. Proses seleksi yang efektif dirancang untuk menentukan apakah calon
pekerja cocok bagi organisasi. Yang dilakukan dalam proses seleksi adalah
mencoba menghindari diperkerjakannya orang-orang yang tidak cocok; yaitu
para individu yang tidak dapat menerima norma-norma organisasi.
Seleksi harus diakui sebagai salah satu teknik yang paling banyak
digunakan organisasi untuk mengontrol kebijakan terhadap
pegawainya. Apakah penerimaan pegawai itu menyangkut pegawai yang tidak
terampil atau yang profesional, organisasi menggunakan proses seleksi untuk
menyaring orang yang tepat dan mengeluarkan mereka yang berpikir dan
bertindak dengan cara-cara yang dianggap oleh manajemen kurang baik.
Seleksi untuk para profesional dapat dilakukan dengan kebebasan lebih besar
daripada seleksi pegawai tidak terampil, karena profesionalisasi dari para
profesional mengurangi kebutuhan bagi organisasi untuk mengidentifikasi
orang-orang yang akan tidak berguna bagi organisasi. Sebagian dari tugas ini
telah dilakukan oleh universitas dan asosiasi yang mengeluarkan ijazah dari
para profesional tersebut. Tetapi, semua anggota baru harus memenuhi
persyaratan minimum dari organisasi mengenai pegawai yang dapat diterima,
dan proses seleksi tersebut merupakan salah satu mekanisme yang populer
untuk mencapai tujuan ini.
7
b. Persyaratan Peran / Jabatan (rolerequirement)
Para individu di dalam organisasi mempunyai peran. Setiap pekerjaan
membawa serta harapan mengenai bagaimana si pemegang peran seharusnya
berperilaku. Analisis tugas menetapkan pekerjaan yang harus dilakukan dalam
organisasi dan menguraikan tentang perilaku pegawai yang dibutuhkan untuk
melaksanakan pekerjaan tersebut.
c. Peraturan, Prosedur, dan Kebijakan (rules, procedures, policies)
Peraturan merupakan pernyataan eksplisit yang ditujukan kepada
seorang pegawai tentang apa yang harus atau tidak boleh dilakukan. Prosedur
adalah rangkaian langkah yang saling berhubungan satu sama lain secara
sekuensial yang diikuti pegawai dalam melaksanakan tugasnya. Kebijaksanaan
adalah pedoman yang menetapkan hambatan terhadap pengambilan
keputusan yang dibuat oleh para pegawai. Masing-masing merupakan teknik
yang digunakan organisasi untuk mengatur perilaku para anggotanya.
Peraturan tidak memberi kesempatan kepada para pegawai untuk membuat
pertimbangan atau mengambil kebijakan-kebijakan. Peraturan menetapkan
pola perilaku tertentu dan spesifik yang disyaratkan.
Prosedur ditetapkan untuk memastikan terjadinya standardisasi proses
kerja. Suatu masukan akan diproses dengan cara yang sama, keluarannya juga
selalu sama setiap hari. Jika kita bertanya kepada seorang pegawai bagian
pembayaran apa yang dikerjakannya, maka jawabannya kemungkinan besar
akan sesuai deskripsi yang telah dibuatkan prosedurnya mengenai aktivitas-
aktivitas yang dilakukan.
Kebijakan memberikan kebebasan yang lebih besar dibandigkan
peraturan. Kebijakan memberi kesempatan kepada para pegawai untuk
menggunakan keleluasaan yang terbatas dan tidak menetapkan perilaku
tertentu dan spesifik dari pegawai. Keleluasaan tersebut diciptakan dengan
memasukkan istilah-istilah yang menunjuk pada pertimbangan-pertimbangan
(seperti “yang terbaik”, “memuaskan”, dan “bersaing”), yang diserahkan
kepada pegawai untuk diinterpretasikan sendiri. Kebijakan tidak harus tertulis
untuk mengontrol keleluasaan.
d. Pelatihan (training)
Banyak organisasi memberi pelatihan kepada pegawai dengan maksud
untuk memasukkan perilaku dan sikap pekerja yang diinginkan kepada para
8
pegawai. Pegawai baru kerap disyaratkan untuk mengikuti program
orientasi agar terbiasa dengan tujuan, sejarah, filsafat, dan peraturan
organisasi,kebijakanpersonalia.
yang relevan, misalnya jam kerja, prosedur pembayaran, persyaratan
lembur dan tunjangan lainnya. Pelatihan ada yang
bersifatonthejobtraining (misalnya pemagangan, pendampingan (coaching),
atau penugasan-penugasan yang bersifat studi), adapula yang bersifat off the
jobtraining (ceramah, demonstrasi, simulasi, atau instruksi terpogram).
Pelatihan juga sebagai sarana untuk mengajarkan dan
menanamkan externalized behaviors kepada para anggota organisasi.
e. Ritual (rituals)
Ritual digunakan sebagai teknik formalisasi terhadap para anggota yang
diperkirakan akan mempunyai dampak yang kuat dan lama terhadap
organisasi. Yang pasti termasuk dalam kelompok ini adalah para individu yang
berambisi untuk menduduki posisi manajemen tingkat senior dan mereka juga
memutuskan untuk mencari status aktif di dalam sebuah kelompok atau juga
para pimpinan yang memilih untuk menjadikan pekerjannya sebagai profesi.
Pada proses ritual , tidak cukup bahwa sesorang memiliki kualifikasi
teknis yang dibutuhkan untuk suatu jabatan. Ia juga harus memenuhi standar-
standar normatif atau kepribadian yang sesuai untuk jabatan tersebut.
Ancaman yang biasanya mendasari ritual adalah bahwa para anggotanya harus
membuktikan mereka dapat dipercaya dan setia pada organisasi sebelum
mereka dapat “dilantik”, sedangkan “proses pembuktian” merupakan
ritualnya.
3. Sentralisasi
Sentralisasi adalah yang paling problematis dari ketiga komponen.
Sentralisasi dinyatakan sebagai sejauh mana kekuasaan formal dapat membuat
kebijaksanaan-kebijaksanaan dikonsentrasikan pada satu individu sebuah unit,
atau suatu tingkat (biasanya pada tingkat tinggi dalam organisasi). Dengan
demikian pegawai (biasanya berada di bagian bawah organisasi) hanya
memperoleh masukan yang minim dalam pekerjaan mereka.
Istilah sentralisasi merujuk kepada tingkat dimana pengambilan
keputusan dikonsentrasikan pada suatu titik tunggal di dalam organisasi.
9
Konsentrasi yang tinggi menyatakan adanya spesialisasi yang tinggi,
sedangkan konsentrasi yang rendah menunjukkan adanya desentralisasi.
Menurut Hatch (1997:168), kesulitan dalam mengukur tingkat
sentralisasi adalah terletak pada beragamnya jenis keputusan di dalam
organisasi itu sendiri. Artinya, suatu organisasi bisa bersifat sentralistis dalam
satu hal, dan desentralistis.
dalam hal lain. Suatu organisasi umumnya bersifat desentralis (work-
relateddecision), tetapi cenderung sentralistis berkenaan dengan keputusan-
keputusan strategis. Akibatnya kita kadang-kadang kesulitan menentukan
tingkat sentralisasi yang sesungguhnya dalam sebuah organisasi.
Tingkat kontrol yang dimiliki seseorang dalam seluruh proses
pengambilan keputusan dapat digunakan sebagai sebuah ukuran mengenai
sentralisasi. Kelima langkah dalam proses pengambilan keputusan adalah
sebagai berikut:
1. Mengumpulkan informasi untuk diteruskan kepada pengambil keputusan
mengenai apa yang dapat dilakukan.
2. Memproses dan menginterpretasikan informasi tersebut untuk memberi saran
kepada pembuat keputusan mengenai apa yang harus dilakukan.
3. Membuat pilihan mengenai apa yang hendak dilakukan
4. Memberi wewenang kepada orang lain mengenai apa yang hendak dilakukan
5. Melaksanakan apa yang harus dilakukan.
11
Kelebihan Desentralisasi :
a. Harus meningkatkan motivasi staff
b. Keputusan yang dibuat lebih dekat dengan pelanggan
c. Konsisten dengan bertujuan untuk menyanjung hirarki
d. Cara yang baik untuk melatih dan mengembangkan manajemen junior
Kekurangan Desentralisasi :
a. Pengambilan keputusan tidak selalu strategis
b. Sulit untuk mencapai kontrol keuangan yang ketat atau risiko biaya
B. Studi kasus
1.1. Latar Belakang Masalah
Beralihnya sistem pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi,
menuntut pembangunan yang merata di setiap daerah, sehingga
pembangunan yang tadinya dilaksanakan secara terpusat diberikan kepada
daerah untuk mengaturnya.
Kebijakan pemerintah di bidang otonomi daerah pada dasarnya
dimaksudkan untuk menata ulang hubungan antara pusat dan daerah dalam
berbagai segi yang menyangkut urusan penyelenggaraan pemerintahan.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa: “Otonomi
diberikan pada daerah secara luas untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan
peran serta masyarakat”.
Disisi lain masyarakat mulai mempertanyakan atas nilai yang mereka
peroleh atas pelayanan yang diberikan oleh instansi pemerintah. Walaupun
anggaran yang dikeluarkan pemerintah meningkat dari tahun ke tahun,
nampaknya masyarakat belum puas atas kinerja yang dilakukan oleh
pemerintah. Dalam menjalankan tugas (fungsi) otonomi daerah, pemerintah
daerah otonom melaksanakan:
(1) Pemerintahan daerah secara efektif dan efisien,
(2) Pembangunan daerah yang merata ke seluruh bagian wilayah, dan
12
(3) Memberikan pelayanan kepada masyarakat (publik) secara tepat, cepat,
murah dan bermutu. (Rahardjo Adisasmita, 2011: 35)
Melaksanakan sistem pemerintahan yang efektif dan efisien,
dimaksudkan melaksanakan kinerja secara baik dan benar sehingga
terwujudnya goodgovernance. Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika
organisasi yang bersangkutan mampu melaksanakan tugas-tugas dalam rangka
mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada standar yang tinggi dengan biaya
yang rendah. Secara teknis, kinerja yang baik bagi suatu organisasi dicapai
ketika administrasi dan penyediaan jasa oleh organisasi yang bersangkutan
dilakukan pada tingkat yang ekonomi, efisien, dan efektif.
Konsep ekonomi, efisien dan efektivitas saling berhubungan satu sama
lain dan tidak dapat dimaknai secara terpisah atau sendiri-sendiri. Konsep
ekonomi memastikan bahwa biaya input yang digunakan dalam
operasionalisasi organisasi dapat diminimalkan. Konsep efisien memastikan
bahwa output yang maksimal dapat
13
Adapun jumlah dan nilai temuan serta Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil
pemeriksaan (TLRHP) pemerintah daerah kabupaten bandung adalah sebagai
berikut:
Dari daftar tabel diatas, pada tahun 2013 terdapat temuan pada
pemerintah daerah Kabupaten Bandung sebanyak 173 senilai 1.167.767,18
juta rupiah dan mendapatkan rekomendasi sebanyak 409 dengan nilai
15.487,35 juta rupiah. Namun hasil dari rekomendasi yang telah ditindaklanjuti
dengan penyetoran/penyerahan aset ke negara/daerah atau perusahaan
negara/daerah, baru sebesar 10.856,95 juta rupiah.
Dalam melaksanakan kinerjanya, pemerintah daerah harus mematuhi
ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat kelompok temuan
atas ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan berdasarkan
pemeriksaan laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten bandung adalah
sebagai berikut:
Dari hasil pemeriksaan atas LKPD Kabupaten Bandung tahun 2012
mengungkapkan 16 kasus senilai 2.241,03 juta rupiah sebagai akibat adanya
ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Dari total temuan
pemeriksaan atas LKPD tersebut, sebanyak 8 kasus merupakan temuan yang
berdampak finansial yaitu temuan ketidakpatuhan terhadap ketentuan
perundang-undangan yang mengakibatkan kerugian daerah dan kekurangan
penerimaan senilai 2.085,88 juta rupiah. Adapun sisanya merupakan temuan
penyimpangan administrasi, dan ketidakhematan sebanyak 8 kasus senilai
155,15 juta rupiah.
Selain itu, ada pula kasus penggelapan dana pada pemerintahan
kabupaten bandung seperti kegiatan pemuktahiran data kependudukan di
tingkat RT dan RW se-Kabupaten Bandung sebesar Rp 1 miliar lebih yang
dilakukan oknum pegawai Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil
(Dinsosdukcasip) Kabupaten Bandung. Lebih lanjut ditegaskan, terjadinya kasus
korupsi yang dilakukan PNS itu merupakan pertanda lemahnya pengawasan
yang dilakukan pimpinan internal eksekutif.
Untuk mencegah temuan dan kasus atas kinerja pemerintah mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun, maka perlu adanya pengawasan secara
internal pada entitas tersebut. Dalam Inpres Nomor 4 Tahun 2011, Pemerintah
Kabupaten Bandung diinstruksikan untuk meningkatkan akuntabilitas
keuangan negara/daerah, mengefektifkan pengawasan intern, mempercepat
penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), dan
mengintensifkan peran APIP/Inspektorat.
14
Menurut Tahria Kepala BPKP Jawa Barat), dana yang dikelola pemerintah
kabupaten Bandung cukup besar (2 Trilliunan), sehingga diperlukan
pengelolaan yang lebih baik lagi agar jangan sampai terjadi anggapan bahwa
sistem pengendalian intern masih lemah. Hal ini dapat dilihat juga dari Laporan
Keuangan Pemerintah Kabupaten Bandung yang masih dalam opini Wajar
Dengan Pengecualian (WDP) belum Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 mengenai
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang menyatakan bahwa Pemerintah
Daerah perlu mengadakan suatu Pengawasan Intern atas penyelenggaraan
pemerintah daerah. Pengawasan intern dilakukan sebagai upaya menunjang
dan memperrkuat efektivitas pelaksanaan Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah (SPIP). Pengawasan Intern ini dibedakan atas pengawasan yang
bersifat akuntansi dan administratif.
Pengawasan akuntansi meliputi rencana organisasi dan semua cara dan
prosedur yang terutama menyangkut dan berhubungan langsung dengan
pengamanan harta benda dan dapat dipercayainya catatan keuangan
(pembukuan). Sedangkan Pengawasan administratif meliputi rencana
organisasi dan semua cara dan prosedur yang terutama menyangkut efisiensi
usaha dan ketaatan terhadap kebijaksanaan pimpinan perusahaan dan pada
umumnya tidak langsung berhubungan dengan pembukuan (akuntansi). Guna
menanggulangi kemungkinan terjadinya penyimpangan pengelolaan keuangan
daerah, maka perlu adanya pengawasan untuk memperkecil
timbulnyapenyimpangan tersebut.
Pengawasan Intern berarti pendayagunaan aparatur Negara dalam
memberantas adanya unsur kecurangan atau penyelewengan dengan
diadakannya pengawasan intern dalam rangka mengawasi kinerja pengelolaan
pemerintah daerah sehingga tercipta goodgovernance.
Pengawasan yang dimaksud disini adalah pengawasan yang dilakukan
oleh aparat pengawas secara intern yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan
tugas umum pemerintahan dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan
kebijakan yang berlaku. Pengawasan ini dilaksanakan dengan tujuan untuk
tercapainya efektifitas dan efisiensi dari kegiatan operasional, keandala
Laporan Keuangan di sektor pemerintahan, serta ketaatan dengan peraturan
dan perundangan yang berlaku.
Pengawasan intern di Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung dilakukan
oleh Inspektorat Kabupaten Bandung yang merupakan aparat pengawasan
intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Bupati Kabupaten
15
Bandung. Fungsi dari Inspektorat adalah melakukan pengawasan
terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi
Satuan Kerja Perangkat Daerah yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah. Sebagaimana dimaksud pada Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2008 pasal 47 ayat (1) harus dilakukan pengawasan intern atas
penyelenggaraan tugas dan fungsi instansi pemerintah termasuk akuntabilitas
keuangan negara dan pembinaan penyelenggaraan SPIP oleh aparat
pengawasan intern pemerintah. Pada pasal 48 ayat (2) aparat pengawasan
intern pemerintah melakukan pengawasan intern melalui audit, engawasan
intern melalui audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan
lainnya.
Berdasarkan penelitian terdahulu dari Almanda Primadona (2013),
bahwa tingkat pengawasan intern terhadap pegawai pada Pemerintah Kota
Bandung sudah baik dan berpengaruh terhadap kinerja para pegawainya
karena selalu dimonitor dan dikontrol oleh pimpinannya. Selain itu, Rina
Tresnawati (2012) menyatakan bahwa pengendalian internal mempunyai
pengaruh positif terhadap kinerja pada Dinas Pendapatan Daerah Kota
Bandung.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya antara lain objek
penelitian dilakukan pada pemerintah daerah Kabupaten Bandung. Populasi
penelitian tidak hanya terpaku pada Dinas, penelitian ditujukan pada Satuan
Kerja Perangkat Daerah yang diawasi kinerjanya oleh inspektorat dalam
pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka perlu adanya
pengawasan atas pelaksanaan kegiatan pemerintah agar dapat tercapainya
pembangunan yang efektif, efisien, dan ekonomi. Oleh karena itu, penulis
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai“Pengaruh Pengawasan Intern
Pemerintah Terhadap Kinerja Pengelolaan Keuangan Pemerintah Daerah”.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana pengawasan intern pada pemerintah daerah?
b. Bagaimana kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah?
c. Bagaimana pengaruh pengawasan intern pemerintah terhadap kinerja
pengelolaan keuangan pemerintah daerah?
16
1.3. Maksud dan Tujuan Penelitian
1.3.1. Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan informasi
mengenai pengaruh pengawasan intern pemerintah terhadap kinerja
pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat serta
investor terhadap kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah serta
terwujudnya goodgovernance.
1.3.2. Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian pada rumusan masalah, maka maksud dan tujuan
dalam penelitian adalah sebagai berikut:
a. Untuk mengetahui pengawasan intern pada pemerintah daerah
b. Untuk mengetahui kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah.
c. Untuk mengetahui pengaruh pengawasan intern pemerintah terhadap kinerja
pengelolaan keuangan pemerintah daerah.
1.4. Kegunaan Penelitian
1.4.1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi dalam
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam Ilmu Akuntansi
Pemerintahan 16
1.4.2. Kegunaan Praktis
Bagi Pemerintah Daerah penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi supaya dapat meningkatkan keyakinan masyarakat serta investor
terhadap pemerintah daerah dengan adanya pengawasan intern pemerintah
terhadap kinerja pengelolaan keuangan pemerintah daerah yang dilakukan
guna mewujudkan goodgovernance di Indonesia
17
Bab 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
Elemen utama struktur organisasi adalah kompleksitas, formalisasi, dan
sentralisasi. Kompleksitas terdiri dari diferensiasi horizontal, diferensiasi
vertikal, dan diferensiasi spasial.
Penyebab terjadinya diferensiasi horizontal adalah berkembangnya
beragam unit dalam organisasi berdasarkan orientasi pekerjaan, sifat tugas-
tugas didalamnya, serta latar pendidikan dan pelatihan yang dibutuhkan untuk
melaksanakan tugas-tugas tersebut. Diferensiasi horizontal melahirkan
spesialisasi dan departementasi. Spesialisai merujuk pada pengelompokkan
aktivitas tertentu yang dilakukan seorang individu dalam organisasi.
Entuknyaadadua macam: spesialisasi fungsional dan spesialisasi social.
Departementasi merujuk pada pengelompokan berdasarkan spesialisasi-
spesialisasi yang ada dalam sebuah organisasi, baik spesialisasi fungsional
maupun social. Pembagian departemen- departemen dalam organisasi dapat
dilakukan berdasarkan jumlah orang, fungsi, produk, atau jasa, klien, geografis,
atau proses.
Diferensiasi vertikal adalah gambaran lapisan-lapisan hierarki dalam
organisasi. Organisasi dalam jumlah anggota yang sama tidak mesti memiliki
diferensiasi vertikal yang sama. Faktor yang menentukan adalah rentang
kendali ( span ofcontrol). Rentang kendali menunjukan tentang berapa orang
dikendalikan atau berada di bawah pengawasan seorang supervisor atau
manajer.
Diferensiasi spasial menggambarkan sejauh mana fasilitas dan personel
organisasi tersebar secara geografis. Masalah diferensiasi spasial ini makin
penting dipertimbangkan oleh pengelola organisasi dewasa ini, mengingat
kecenderungan globalisasi pasar untuk berekspansi ke wilayah-wilayah baru
yang sebelumnya tidak menjadi wilayah operasional organisasi.
Formalisasi adalah menyangkut jumlah atau banyaknya aturan tertulis
(writtenrules) dalam suatu organisasi. Formalisasi dalam organisasi dapat
dilakukan dengan dua pola: (1) melalui aturan, prosedur, dan sanksi-sanksi
regulatif yang disusun oleh pengelola organisasi atau (2) melalui rekrutmen
terhadap tenaga-tenaga profesional yang telah terdidik dengan nilai-nilai,
norma, dan pola perilaku sesuai profesi mereka
18.
Sentralisasi didefinisikan sebagai sajauh mana otoritas formal untuk
memuat pilihan-pilihan bebas terkonsentrasi pada seseorang, sebuah unit,
atau suatu level, biasanya berposisi tinggi dalam organisasi), sedimikian rupa
sehingga para pegawai (biasanya berposisi rendah dalam organisasi) hanya
dimungkinkan memberikan input yang seminimal mungkin dalam pekerjaan.
Sentralisasi diukur melalui partisipasi anggota dalam tahap-tahap pengambilan
keputusan. Alternatif lain ukuran sentralisasi adalah: (1) proporsi pekerjaan-
pekerjaan dimana para pelaksananya berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan dan jumlah areal atau bidang dimana mereka berpartisipasi; (2)
indeks pengukuran yang menetapkan di mana pusat (locus) pengambilan
keputusan berkaitan dengan kebijakan-kebijakan besar maupun spesifik; (3)
tingkat sharing informasi diantara unit-unit, dan derajat partisipasi dalam
perencanaan jangka panjang.
19
Daftar Pustaka
Robbins, P. Stephen. 1994. Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi. Edisi
Ketiga. Jakarta: Arcan.
Kusdi. 2009. Teori Organisasi dan Administrasi. Jakarta: SalembaHumanika.
Zainal, Rivai Veithzaldkk.Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Edisi Keempat.
Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Hatch, M. J. 1997. OrganizationTheory: Modern, Symbolic, andPost-modern
Perspective.
20
SEKIAN DAN TERIMAKASIH