Anda di halaman 1dari 10

LARANGAN KORUP DAN KOLUSI

DISUSUN OLEH :

Kelompok 8

DONA SANTIKA 2001020126


MUHAMMAD IQBAL 1901020087

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA TAHUN 2022
KEPEMIMPINAN DAN SUPERVISI PENDIDIKAN
A.           Pengertian Korupsi, Kolusi, Nepotisme

a)         Pengertian korupsi
Kata korupsi berasal dari bahasa inggris , yaitu corruption, yang artinya
penyelewengan atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya, untuk
kepentingan pribadi atau orang lain.
b)        Pengertian kolusi
Kata kolusi berasal dari bahasa inggris , yaitu collution, artinya :  kerja sama rahasia
untuk maksud tidak terpuji
c)      Pengertian nepotisme
Kata nepotisme berasal dari bahasa inggris, yaitu nepotism, artinya : kecenderungan
untuk mengutamakan ( menguntungkan ) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan ,
pangkat di lingkungan pemerintah, atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri
untuk memegang pemerintahan.
Dengan pengertian menurut bahasa tersebut, dapat disimpulkan bahwa Korupsi,
Kolusi, Nepotisme adalah tingkah laku, baik dilakukan sendiri atau bersama-sama yang
berhubungan dengan dunia pemerintahan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara
Kriteria KKN adalah sebagai berikut :
·         Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok.
·         Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk sebagai berikut :
·         Pengeluaran fiktif
·         Manipulasi harga pembelian atau kontrak
·         Menerima suap untuk memenangkan yang bathil
Penyebab atau sumber KKN tersebut antara lain sebagai berikut :

·         Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang , hal ini menyangkut harga , kualitas
dan komisi.
·         Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan penyelundupan
administratif.
·         Perpajakan yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan pajak .
·         Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa
pungutan liar atau suap.

Berdasarkan apa yang disebutkan diatas, maka kriteria korupsi dapat diformulasikan
sebagai suatu tindakan berupa penyelewengan hak , kedudukan, wewenang, atau jabatan yang
dilakukan untuk mengutamakan kepentingan dan keuntunga  pribadi , menyalahgunakan
amanat rakyat dan bangsa, memperturutka hawa nafsu serakah untuk memperkaya diri dan
mengabaikan kepentingan umum.
            Kriteria kebijakan atau tindakan apakah itu nepotisme atau tidak, memang tidak selalu
harus dilihat dari perspektif ada tidaknya hubungan darah atau kekerabatan seseorang dengan
pihak tertentu. Islam memberikan petunjuk mengenai pemilihan dan pengangkatan seseorang
untuk menjabat  suatu kedudukan atas dasar pertimbangan kapabilitas ( kemampuan dan rasa
tanggung jawab) , profesionalitas ( keahlian ) dan moralitas
            Ketiga kriteria yang telah disebutkan tadi dibenarkan oleh islam sebagaimana
disebutkan dalam Al-Quran Surah Taha ayat 29-34,berkenaan dengan pengangkatan Harun
saudara kandung Nabi Musa menjadi Nabi untuk mendampinginya dalam mengamban risalah
kenabian.
‫ونذكرك كثير انك كنت بنا‬  ‫واشركه في امرى ( كي نسبحك كثيرا‬  ‫اشدد به ازري‬  ‫هارون اخى‬  ‫واجعل لي وزيرامن اهلى‬
‫ولقد مننا عليك مرة اخرى‬  ‫قال قد اوتيت سؤلك يا موسى‬  ‫بصيرا‬

"Dan kami jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku (yaitu) Harun, saudaraku,
teguhkanlah kekuatanku dengan (adanya) dia, dan jadikanlah dia teman dalam urusanku,
agar kami banyak bertasbih kepada-Mu, dan banyak mengingat-Mu. Sesungguhnya Engkau
Maha melihat (keadaan) kami. Dia berfirman „Sungguh telah diperkenankan permintaanmu,
wahai Musa ! Dan sungguh, Kami telah memberi nikmat kepadamu pada kesempatan yang
lain (sebelum ini)". (Thaha/20 ; 29-34)

B.            Tindak Pidana Korupsi Perspektif Hukum Islam

Tindak pidana korupsi sejatinya adalah salah satu tindak pidana yang cukup tua
usianya. Hal ini dapat ditelusuri melalui sejarah klasik Islam yaitu pada masa Rasulullah
sebelum turunnya surat Ali Imran ayat 161. Saat itu, kaum muslimin kehilangan sehelai kain
wol berwarna merah pasca perang. Kain wol yang sebagai harta rampasan perang itu pun
diduga telah diambil sendiri oleh Rasulullah Saw. Untuk menghindari keresahan kalangan
muslim saat itu, Allah pun menurunkan surat Ali Imran ayat 161 yang berbunyi:
ۡ َ‫>>>>>>ل ي‬ ‌َّۚ ‫ َو َم>>>>>>ا َك>>>>>>انَ لِنَبِ ٍّى َأن يَ ُغ‬  
‫س َّما‬ َ ُ‫>>>>>>و َم ۡٱلقِيَ ٰـ َم ِۚ‌ة ثُ َّم ت‬
ٍ ۬ ‫>>>>>>وفَّ ٰى ڪُ>>>>>>لُّ ن َۡف‬ ۡ َ‫ت بِ َم>>>>>>ا غَ>>>>>> َّل ي‬
ِ ‫>>>>>>أ‬ ۡ ُ‫ل َو َمن يَ ۡغل‬

َ‫ َك َسبَ ۡت َوهُمۡ اَل ي ُۡظلَ ُمون‬ 


Artinya: “Tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang.
Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia
akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi
pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka
tidak dianiaya.” (QS. Ali ‘Imran (3) : 161)
Tindak pidana korupsi sangat identik dengan penyalahgunaan jabatan yang
didefinisikan sebagai perbuatan khianat dalam perspektif Islam. Karena jabatan yang telah
disandang oleh seseorang adalah sebuah kepercayaan dari rakyat yang telah terlanjur
menaruh harapan padanya. Atau jabatan yang langsung dibebankan atas nama negara yang
tentunya bertujuan untuk menjalankan berbagai program yang bermuara kepada
kesejahteraan rakyat. Terlebih lagi jika amanat itu menyentuh pada ranah hukum seperti
pegawai pada bidang kepolisian, kejaksaan, kehakiman, dll yang berbasis kepada keadilan
yang diinginkan oleh semua pihak. Amanat yang telah diemban itulah yang tentunya wajib
untuk dilaksanakan sebaik-baiknya. Allah swt berfirman dalam beberapa ayat mengenai
keajiban menjalankan amanat, yaitu:

  َ‫وا ٱهَّلل َ َوٱل َّرسُو َل َوتَ ُخونُ ٓو ْا َأ َم ٰـنَ ٰـتِ ُكمۡ َوَأنتُمۡ ت َۡعلَ ُمون‬
ْ ُ‫وا اَل تَ ُخون‬
ْ ُ‫يَ ٰـَٓأيُّہَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
Artinya:  “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. al-Anfal (8) : 27)
Amanat tentunya adalah sebuah kepercayaan yang wajib untuk dipelihara dan
disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Allah swt berfirman:

 ‫ل ِإ َّن ٱهَّلل َ نِ ِع َّما يَ ِعظُ ُكم بِ ۤۗ ِ‌ۦه ِإ َّن ٱهَّلل َ َكانَ َس ِمي ۢ َعا‬
‌ِۚ ‫وا بِ ۡٱل َع ۡد‬
ْ ‫اس َأن ۡح ُك ُم‬ ِ َّ‫ت ِإلَ ٰ ٓى َأ ۡهلِهَا َوِإ َذا َح َكمۡ تُم بَ ۡينَ ٱلن‬ ْ ‫ِإ َّن ٱهَّلل َ يَ ۡأ ُم ُر ُكمۡ َأن تَُؤ ُّد‬
ِ ‫وا ٱَأۡل َم ٰـنَ ٰـ‬
‫صي ۬ ًرا‬
ِ َ‫ب‬
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS.
an-Nisa (4) : 58)
Ayat-ayat tersebut menunjukkan adanya kewajiban menyampaikan amanat dan
memelihara amanat yang telah dibebankan kepada orang yang dipercayanya. Sehingga
apabila kewajiban yang tidak ditunaikan, tentunya terdapat keharaman dan hukuman yang
mengiringinya.
Seperti beberapa jenis, tipologi atau etimologi mengenai korupsi yang telah
disebutkan di atas, maka salah satu dari tipologi itu adalah suap menyuap, yaitu perbuatan
dengan memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada orang yang memiliki kekuasaan agar
dapat memengaruhinya atau memenuhi keinginannya. Al-Qur’an menjelaskan mengenai
keharaman melakukan suap atau korupsi dan juga sabda Rasulullah saw mengenai pelaku
suap menyuap, yaitu:
۬ ْ ُ‫ڪل‬ ُ ‫وا بِهَٓا ِإلَى ۡٱل ُحڪ َِّام لِت َۡأ‬
ْ ُ‫ َواَل ت َۡأ ُكلُ ٓو ْا َأمۡ َوٲلَ ُكم بَ ۡينَ ُكم بِ ۡٱلبَ ٰـ ِط ِل َوتُ ۡدل‬   
َ‫اس بِٱِإۡل ۡث ِم َوَأنتُمۡ ت َۡعلَ ُمون‬ ِ َّ‫ٲل ٱلن‬ ِ ‫وا فَ ِريقًا ِّم ۡن َأمۡ َو‬
Artinya : “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara
kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu
dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”  (QS. al-Baqarah (2) : 188)
)‫( رواه احمد وابو داود والترمذى وابن ماجه عن ابن عمر‬   ‫لعنة هللا عليه الرشى والمرتشى‬
Artinya :  “Allah melaknat orang yang menyuap dan memberi suap” (HR. Ahmad, Abu
Daud, Turmudzi, dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
Tindak pidana korupsi pun dikategorikan sebagai perbuatan penipuan (al-gasysy)
yang secara tegas disabdakan oleh Rasulullah saw bahwa Allah mengharamkan surga bagi
orang-orang yang melakukan penipuan. Rasulullah saw bersabda:
“ Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn Yasar berkata :aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “
seorang hamba yang dianugerahi jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya, maka
Allah menghrmakannya masuk surga.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hadis lain juga disabdakan mengenai tindak pidana korupsi yang termasuk
dalam kategori penipuan yaitu:
) ‫(رواه ابو داود والحاكم عن بريدة‬  ‫من استعملناه على عمل فرزقناه رزقا فما اخذ بعد ذلك فهو غلول‬
Artinya : “ Barang siapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu aku beri
gajinya, maka sesuatu yng diambil di luar gajinya itu adalah penipuan (haram).” (HR. Abu
Daud, Hakim dari Buraidah)
Kata “ghulul” dalam teks hadis tersebut adalah penipuan, namun dalam sumber lain
diartikan bahwa “ghulul” adalah penggelapan yang berkaitan dengan kas negara atau baitul
mal. Dalam al-Qur’an sendiri, terdapat kata “‫ومن يغلل‬ “ yang diartikan sebagai perbuatan
berkhianat atas harta rampasan perang
Secara umum, korupsi dalam hukum Islam lebih ditunjukkan sebagai tindakan
kriminal yang secara prinsip bertentangan dengan moral dan etika keagamaan, karena itu
tidak terdapat istilah yang tegas menyatakan istilah korupsi. Dengan demikian, sanksi pidana
atas tindak pidana korupsi adalah takzir, bentuk hukuman yang diputuskan berdasarkan
kebijakan lembaga yang berwenang dalam suatu masyarakat.
Hadis-hadis yang disebutkan di atas pun tidak secara tegas menyebutkan bentuk
sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku korupsi. Nash-nash tersebut hanya menunjukkan
adanya keharaman atas perbuatan korupsi yang meliputi suap menyuap, penyalahgunaan
jabatan atau kewenangan, dsb.
Sehingga ayat dan hadis di atas hanya menunjukkan kepada sanksi akhirat. Hal ini
mengingat bahwa syariat Islam memang multidimensi, yaitu meliputi dunia dan akhirat.
Untuk menjerat para koruptor agar dapat merasakan pedihnya sanksi pidana, maka dapat
dijatuhi sanksi takzir sebagai alternatif ketika sebuah kasus pidana tidak ditentukan secara
tegas hukumannya oleh nash.
Bila dilihat lebih lanjut, tindak pidana korupsi agak mirip dengan pencurian. Hal ini
jika kita melihat bahwa pelaku mengambil dan memperkaya diri sendiri dengan harta yang
bukan haknya. Namun, delik pencurian sebagai jarimah hudud, tidak bisa dianalogikan
dengan suatu tindak pidana yang sejenis. Karena tidak ada qiyas dalam masalah hudud.
Karena hudud merupakan sebuah bentuk hukuman yang telah baku mengenai konsepnya
dalam al-Qur’an.
Kemudian terdapat perbedaan antara delik korupsi dan pencurian. Dalam tindak
pidana pencurian, harta sebagai objek curian berada di luar kekuasaan pelaku dan tidak ada
hubungan dengan kedudukan pelaku. Sedangkan pada delik korupsi, harta sebagai objek dari
perbuatan pidana, berada di bawah kekuasaannya dan ada kaitannya degan kedudukan
pelaku. Bahkan, mungkin saja terdapat hak miliknya dalam harta yang dikorupsinya.
Mengingat dapat dimungkinkan pelaku memiliki saham dalam harta yang dikorupsinya.

C.           Sangsi tindak pidana Korupsi Dalam Perspektif Islam.

Islam sebagai sistem nilai memegang peranan penting untuk memberikan


pencerahan nila, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak dengan
memanfaatkan potensi baik setiap individu, yaitu hati nurani. Lebih jauh islam tidak hanya
berkomitmen dengan upaya pensalehan individu, akan tetapi jungan pensalehan social.
Dalam pensalehan social ini islam mengembangkan semangat untuk mengubah
kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati. Pada dasarnya islam
mengembangkan semongat control social. Dalam bentuk lain, islam juga mengembangkan
bentuk peraturan perundangan yang tegas, sistim yang mengembangkan bentuk peraturan
perundangan yang tegas, sistem pengawasan administrative dan managerial yang ketat. Oleh
sebab itu dalam memberikan dan menetapkan hukuman bagi pelaku korupsi seharusnya tidak
pandang bulu, apakah ia adalah seorang pejabat ataukah lainnya. Tujuan hukuman tersebut
adalah memberikan rasa jera guna menghentikan kejahatan yang telah ia lakukan, sehingga
dapat diciptakan rasa dama, dan rukun dalam masyarakat.
Ta’zir ialah hukuman terhadap terpidana yang tidak ditentukan secara tegas bentuk
sangsinya didalam nash. Hukuman ini dijatuhkan unutk memberikan pelajaran terhadap
terpidana agar ia tidak mengulangi kejahatan yang pernah ia lakukan, jadi jenis hukumannya
disebut dengan Uqubah Mukhayyarah (hukuman pilihan). 

Penerapan Ta’zir bagi pelaku korupsi.

Hukuman ta’zir dapat diterapkan kepada pelaku korupsi. Dapat diketahui bahwa
korupsi termasuk dalam salah satu jarimah yang tidak disebutkan oleh nash secara tegas, oleh
sebab itu ia tidak termasuk dalam jenis jarimah yang hukumannya adalah had dan qishash.
Korupsi sama halnya seperti hukum Ghasab, meskipun harta yang dihasikan sipelaku korupsi
melebihi dari nashab harta curian yang hukumannya potong tangan. Tidak bisa disamakan
dengan hukuman terhadap pecuri yaitu potong tangan, hal ini disebabkan oleh masuknya
syubhat. Akan tetapi disamakan atau diqiyaskan pada hukuman pencurian yang berupa
pencurian pengambilan uang hasil curian.
Dalam korupsi ada tiga unsur yang dapat dijadikan pertimbangan bagi hakim dalam
menentukan besar hukuman, yaitu :
·                Perampasan harta orang lain.
·                Penghianatan atau penyalahgunaan wewenang.
·                Kerjasama atau kongkalikong dalam kejahatan.
Ketiga unsur tersebut telah jelas dilarang dalam syari’at islam. Selanjutnya
tergantung kepada kebijaksanaan akal sehat keyakinan dan rasa keadilan hakim yang
didasarkan pada rasa keadilan masyarakat untuk menentukan hukuman bagi pelaku korupsi.
Meskipun seorang hakim diberi kebebasan untuk mengenakan ta’zir, akan tetapi dalam
menentukan hukuman seorang hakim hendaknya memperhatikan ketentuan umum perberian
sangsi dalam hokum pidana islam yaitu.
·                Hukuman hanya dilimpahkan kepada orang yang berbuat jarimah, tidak boleh
orang yang tidak berbuat jahat dikenai hukuman.

·                Adaya kesengajaan seseorang dihukum karena kejahatan apabila ada unsur


kesengajaan untuk berbuat jahat, tidak ada kesengajaan berarti karena kelalaian,
salah, atau lupa. Meskipun demian karena kelalaian salah atau lupa tetap diberikan
hukuman, meskipun bukan hukuman kejahatan, melainkan untuk kemaslahatan yang
bersifat mendidik.
·                Hukuman hanya akan dijatuhkan apabila kejahatan tersebut secara meyakinkan
telah diperbuatnya.
·                Berhati-hati dalam menentukan hukuman, membiarkan tidak dihukum dan
menyerahkannya kepada allah apabila tidak cukum bukti.
Batas minimal hukuman ta’zil tidak dapat ditentukan, akan tetapi adalah semua
hukuman menyakitkan bagi manusia, bisa berupa perkataan, tindakan atau diasingkan.
Terkadang seseorang dihukum ta’zir dengan memberinya nasehat atau teguran, terkadang
juga seorang dihukum ta’zir dengan mengusirnya dengan meninggalkannya sehingga ia
bertaubat.
Uraian tersebut menegaskan bahwa hukuman jarimah ta’zir sangatlah bervariasi
mulai dari pemberian teguran sampai pada pemenjaraan dan pengasingan.
Mengenai Uqubah sendiri dibagi menjadi dua yaitu :
·           Pidana atas jiwa (Al-Uqubah Al-Nafsiyah), yaitu hukuman yang berkaitan dengan
kejiwaan seseorang, seperti peringatan dan ancaman.
·           Pidana atas badan (Al-Uqubah Al-Badaniyyah), yaitu hukuman yang dikenakan pada
bagan manusia seperti hukuman mati atau hukuman dera, dan lain sebagainya.
·           Pidana atas harta (Al-Uqubah Al-Maliyah), yaitu hukuman yang dijatuhkan atas harta
kekayaan seseorang, seperti diyat, denda, dan perampasan.
·           Pidana atas kemerdekaan, yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada kemerdekaan
manusia seperti hukuman pengasingan (Al-Hasb) atau penjara (Al-Sijn).

D.           Upaya yang Dapat Ditempuh dalam Pemberantasan Korupsi

Ada beberapa upaya yang dapat ditempuh dalam memberantas tindak korupsi di
Indone-sia, antara lain sebagai berikut :

·            Upaya Pencegahan (Preventif)


1. Menanamkan semangat nasional yang positif dengan mengutamakan
pengabdian pada bangsa dan negara melalui pendidikan formal, informal dan
agama.
2. Melakukan penerimaan pegawai berdasarkan prinsip keterampilan
teknis.
3. Para pejabat dihimbau untuk mematuhi pola hidup sederhana dan
memiliki tang-gung jawab yang tinggi.
4. Para pegawai selalu diusahakan kesejahteraan yang memadai dan ada
jaminan masa tua.
5. Menciptakan aparatur pemerintahan yang jujur dan disiplin kerja yang
tinggi.
·         Upaya penindakan (kuratif).
Upaya penindakan, yaitu dilakukan kepada mereka yang terbukti melanggar dengan
dibe-rikan peringatan, dilakukan pemecatan tidak terhormat dan dihukum pidana. Beberapa
contoh penindakan yang dilakukan oleh KPK :
1. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple
Rostov Rusia milik Pemda NAD (2004).
2. Menahan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, EM. Ia diduga
melekukan pungutan liar dalam pengurusan dokumen keimigrasian.
3. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada
Pemda DKI Jakarta (2004).
·         Upaya edukasi masyarakat/mahasiswa.
1. Memiliki tanggung jawab guna melakukan partisipasi politik dan
kontrol sosial terkait dengan kepentingan publik.
2. Tidak bersikap apatis dan acuh tak acuh.
3. Melakukan kontrol sosial pada setiap kebijakan mulai dari
pemerintahan desa hingga ke tingkat pusat/nasional.
4. Membuka wawasan seluas-luasnya pemahaman tentang
penyelenggaraan peme-rintahan negara dan aspek-aspek hukumnya.
5. Mampu memposisikan diri sebagai subjek pembangunan dan berperan
aktif dalam setiap pengambilan keputusan untuk kepentingan masyarakat luas.
·         Upaya edukasi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).
1. Indonesia Corruption Watch (ICW) adalah organisasi non-pemerintah
yang meng-awasi dan melaporkan kepada publik mengenai korupsi di
Indonesia dan terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk
memberantas korupsi melalui usaha pemberdayaan rakyat untuk terlibat
melawan praktik korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di
tengah-tengah gerakan reformasi yang meng-hendaki pemerintahan pasca-
Soeharto yg bebas korupsi.

BAB III
PENUTUP
A.            Kesimpulan

·         Korupsi ialah perilaku yang buruk yang tidak legal dan tidak wajar untuk memperkaya diri
·         Haram hukumnya melakukan korupsi, kolusin dan nepostisme, tetapi khusus nepotisme
haram hukumnya jika yang diserahi jabatan tidak profesional, tidak memiliki kapabilitas dan
tidak mempunyai moralitas yang sesuai dengan ajaran Al-Quran dan Hadits.
·         Korupsi mengakibatkan kurangnya pendapatan Negara dan kurangnya kepercayaan terhadap
pemerintah.
·         Agama Islam mengakui adanya hak milik pribadi yang berhak mendapat perlindungan dan
tidak boleh diganggu gugat.
·         KKN diharamkan karena bertentangan dengan ajaran Al-Quran, Hadits, dan tujuan syariat,
selain itu juga bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan, pula karena
merugikan orang lain, masyarakat dan negara.

Merangkai kata untuk perubahan memang mudah. Namun, melaksanakan rangkaian


kata dalam bentuk gerakan terkadang teramat sulit. Dibutuhkan kecerdasan dan keberanian
untuk mendobrak dan merobohkan pilar-pilar KKN yang menjadi penghambat utama
lambatnya pembangunan di Indonesia. KKN yang telah terlalu lama menjadi wabah yang
tidak pernah kunjung selesai, karena pembunuhan terhadap wabah tersebut tidak pernah tepat
sasaran ibarat “ yang sakit kepala, kok yang diobati tangan “. Pemberantasan KKN seakan
hanya menjadi komoditas politik, bahan retorika ampuh menarik simpati. Oleh sebab itu
dibutuhkan kecerdasan masyarakat sipil untuk mengawasi dan membuat keputusan politik
mencegah makin mewabahnya penyakit kotor KKN di Indonesia.

B.            Saran
Sikap untuk menghindari korupsi seharusnya ditanamkan sejak dini. Dan
pencegahan KKN dapat dimulai dari hal yang kecil. Undang-undang yang harus dapat
dipergunakan dengan sebaik-baiknya. Agar KKN tidak lagi menjadi budaya di negara ini.
Dengan adanya penjelasan di makalah ini semoga kita semua memahami betul akan
bahayanya korupsi dan kolusi jika masih tetap menyebar luas di tanah air ini. Dan semoga
kita semua terhindar dari apa yang namanya korupsi, kolusi dan perbuatannya yang lainnya
yang dilarang oleh Agama Islam.

Anda mungkin juga menyukai