Anda di halaman 1dari 14

Dalam Mata Kuliah

KEBIJAKAN DAN REGULASI TRANSPORTASI AIR


Dosen Pengampu : Dr. Ir. Johny Malisan, DESS

Oleh :
Kelompok 5
1. M. Ardwiansyah NIM :
2. Jovanka Kalangie NIM :
3. Prakosa Trinorosimo NIM : 22C606005002
4. Tri Andri Bairhamzah NIM : 21C606001149
5. Nurul Syahida NIM :

KEBIJAKAN PENERAPAN B-30


SEKTOR TRANSPORTASI LAUT

KELOMPOK 5 10/31/22 [Course title]


DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................................................................ 2


1.1. LATAR BELAKANG ........................................................................................................................ 2
1.2. DASAR HUKUM ........................................................................................................................... 3
BAB II. KEBIJAKAN PENERAPAN B-30 SEKTOR TRANSPORTASI LAUT .......................................................... 4
2.1. BIO DIESEL B30 ............................................................................................................................ 4
2.1.1. Biodiesel .............................................................................................................................. 4
2.1.2. Bahan Baku ......................................................................................................................... 4
2.1.3. Teknologi Produksi .............................................................................................................. 5
2.1.4. Spesifikasi Biodiesel ............................................................................................................ 6
2.2. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN B30 ............................................................................................... 7
2.3. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN B30 ........................................................................................... 9
2.3.1. Kelebihan : .......................................................................................................................... 9
2.3.2. Kekurangan : ....................................................................................................................... 9
2.4. IMPLEMENTASI B30 .................................................................................................................... 9
BAB III. PENUTUP ...................................................................................................................................... 12
3.1. KESIMPULAN ............................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................................................................... 13

1
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau
dengan total wilayah 735.355 mil persegi. Indonesia menempati peringkat keempat dari 10
negara berpopulasi terbesar di dunia (sekitar 220 juta jiwa). Tanpa sarana transportasi yang
memadai maka akan sulit untuk menghubungkan seluruh daerah di kepulauan ini. Kebutuhan
transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat aktivitas ekonomi, sosial,
dan sebagainya.

Biaya kebutuhan bahan bakar di kapal merupakan komponen yang tertinggi dalam
pengoperasian kapal. Salah satu upaya untuk mengurangi biaya kebutuhan bakar bakar ini
adalah dengan menggunakan alternatif bahan bakar biodiesel yang dapat menghemat biaya
operasional kapal, dan mengurangi emisi kapal. Bahan bakar nabati dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan energi sebagai pengganti fosil. Salah satu bahan bakar nabati yang dapat
digunakan untuk pengganti solar yaitu biodiesel 30% (B30). Minyak kelapa sawit berpotensi
besar untuk dijadikan bahan baku pembuatan biodiesel karena mempunyai rendemen sebanyak
28%. Indonesia sebagai produsen terbesar minyak kelapa sawit atau CPO (Crude Palm Oil) di
dunia mempunyai visi mewujudkan Indonesia menggunakan sumber energi baru terbarukan
(pengganti fosil) sebanyak 25% pada tahun 2025 dalam rangka konservasi energi dan
diversifikasi energi [1]. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian ESDM menggalakkan
Program Mandatori BBN (bahan bakar nabati) melalui Peraturan Menteri ESDM No. 32 Tahun
2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan Bakar Lain
sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12 Tahun 2015.
Program mandatori biodiesel B30 mewajibkan penggunaan 70% solar dan 30% biodiesel sejak
awal 2020.

Keunggulan lainya yaitu dapat mengurangi emisi gas hdirokarbon dan karbon monooksida,
lubrikasi tinggi, tidak beracun sehingga aman dalam penyimpanan dan proses transportasi,
mudah terurai oleh mikroorganisme, tidak minumbulka emisi SOx karena tanpa kandungan
sulfur, angka cetane tinggi dibandingkan solar [2].

2
1.2. DASAR HUKUM

Melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2006, Indonesia mulai mengembangkan bahan
bakar nabati sebagai bahan bakar alternatif, yang disusul dengan dikeluarkannya
UndangUndang Nomor 30 Tahun 2007 tentang energi. Biofuel sebagai salah satu sumber energi
terbarukan sebenarnya sudah mulai dikembangkan sejak tahun 2005, diawali dengan program
tanaman jarak pagar. Namun, program biofuel dengan menggunakan jarak pagar dihentikan
pada tahun 2008 karena harganya tidak layak untuk dijual dibandingkan dengan harga solar
(Simandjuntak, 2014). Di sisi lain, biodiesel dari minyak sawit terus berkembang. Pesatnya
perkembangan biodiesel terjadi pada tahun 2016, ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan
wajib pencampuran biodiesel dengan minyak solar menjadi 20% atau B-20, terjadi peningkatan
kapasitas produksi biodiesel menjadi 6,9 juta KL per tahun. Kemudian sejak tahun 2020,
Indonesia meningkatkan pencampuran biodiesel menjadi 30% atau B-30 (Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral, 2015).

Guna mengurangi emisi gas rumah kaca dan meningkatkan ketahanan energi nasional
melalui diversifikasi energi, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) melaksanakan pengembangan bahan bakar biodiesel dengan mewajibkan penggunaan
campuran biodiesel 30% atau B30 pada kendaraan bermesin diesel (Mandatori B30). Menteri
ESDM, Ignasius Jonan mengungkapkan bahwa Mandatori B30 merupakan langkah konkret
Pemerintah untuk terus mengembangkan industri kelapa sawit, menyejahterakan petani kelapa
sawit, serta menjamin ketersediaan dan kestabilan harga BBM dalam negeri. Peningkatan
pencampuran biodiesel dengan bakan bakar minyak jenis solar dilaksanakan karena melihat
keberhasilan implementasi Program B20 dan selaras dengan target pencampuran biodiesel yang
tertuang pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2015. Penerapan B30 juga diharapkan
dapat semakin mengurangi laju impor BBM sehingga meningkatkan devisa negara.

3
BAB II. KEBIJAKAN PENERAPAN B-30 SEKTOR TRANSPORTASI LAUT

2.1. BIO DIESEL B30


Berdasarkan tinjauan bahan baku produksi, istilah biodiesel merujuk pada bahan bakar
motor diesel yang berasal dari sumber hayati atau “bio” yang terdiri dari ester alkil (metil, etil-,
atau propil-) rantai panjang. Biodiesel diproduksi melalui konversi minyak nabati maupun lemak
hewani dengan alkohol menjadi ester asam lemak. Apabila digunakan alkohol jenis metanol
maka akan menghasilkan ester metil asam lemak (EMAL) atau fatty acid methyl esters (FAME).
Biodiesel dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel dalam bentuk murni ataupun
dicampurkan dalam minyak solar dengan variasi persentase. Pemerintah Indonesia
mensyaratkan penggunaan 30% biodiesel dalam campurannya dengan minyak solar, dikenal
dengan sebutan teknis B30.

2.1.1. Biodiesel
Biodiesel adalah bahan bakar nabati untuk aplikasi mesin/motor diesel berupa ester metil
asam lemak (fatty acid methyl ester, FAME) yang terbuat dari minyak nabati atau lemak hewani
dan memenuhi standar mutu yang disyaratkan, di Indonesia spesifikasi teknis biodiesel diatur
dalam SK Dirjen EBTKE No. 189.K/10/DJE/2019. Struktur generik molekul FAME ditampilkan
pada Gambar 2.1 dan biodiesel murni dinotasikan sebagai B100, sedangkan campuran biodiesel
dinotasikan dengan Bxx yang menyatakan persentase biodiesel dalam campurannya dengan
minyak solar. Biodiesel (B100) memiliki sifat-sifat fisika dan kimia yang „mirip‟ dengan minyak
solar sehingga campuran biodiesel (Bxx) dapat digunakan langsung pada motor diesel tanpa
modifikasi atau dengan modifikasi minor.

2.1.2. Bahan Baku


Sumber utama bahan baku minyak lemak biodiesel di Indonesia adalah kelapa sawit (Elaeis
guineensis) dengan total produksi 42 juta ton per tahun [4], sumber tanaman potensial lainnya
juga dapat dikembangkan sebagai bentuk diversifikasi bahan baku seperti kelapa (Cocos
nucifera), nyamplung (Calophyllum inophyllum), malapari/kranji (Pongamia pinnata), jarak
pagar (Jathropa curcas), dan lainnya. Gambar 2.1 menampilkan bagian-bagian tanaman
penghasil minyak.

4
Gambar 2.1 Sumber Hayati untuk Baku Biodesel

2.1.3. Teknologi Produksi


Produk biodiesel di Indonesia merujuk pada biodiesel generasi 1 yang diproduksi melalui
reaksi transesterifikasi menggunakan metanol dan katalis basa seperti sodium methylate (Na-
methylate), natrium hidroksida (NaOH), ataupun kalium hidroksida (KOH). Produk utama dari
reaksi ini adalah biodiesel dengan produk ikutan (by-product) berupa gliserol. Reaksi
transesterifikasi diperlihatkan pada gambar berikut.

Gambar 1. Diagram Alir Proses Produksi Biodiesel

Kandungan asam lemak minyak nabati akan menentukan pemilihan reaksi yang digunakan,
esterifikasi atau transesterifikasi. Apabila hasil pengujian asam lemak bebas minyak nabati

5
menunjukkan bahwa kandungan yang tinggi (> 5%), maka perlu dilakukan reaksi esterifikasi dan
dilanjutkan dengan reaksi transesterifikasi. Namun, apabila kandungan asam lemak bebas dalam
minyak nabati rendah (< 5%), maka cukup dipilih reaksi transesterifikasi.

2.1.4. Spesifikasi Biodiesel


Spesifikasi biodiesel merujuk pada SK Dirjen EBTKE No. 189.K/10/DJE/2019 tentang Standar
dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Nabati (Biofuel) Jenis Biodiesel sebagai Bahan Bakar Lain
yang Dipasarkan di Dalam Negeri [5]. Spesifikasi ini perlu dipenuhi produsen hingga ke titik
serah.

Tabel 1. Perkembangan Standar Biodiesel di Indonesia

6
2.2. PERKEMBANGAN KEBIJAKAN B30

Salah satu dukungan kebijakan pemerintah terkait pemakain Biofuel berbasis kelapa sawit
adalah penggunaan B30, dimana saat ini sudah banyak didistribusikan dan di implementasi oleh
berbagai industri, instansi dan kementerian. Implementasi bahan bakar nabati di Indonesia
didorong adanya kebijakan mandatori pencampuran biodiesel dengan minyak solar (BXX) dan
pendanaan melalui subsidi selisih harga biodiesel dengan minyak solar (Pemerintah Indonesia,
2018). Salah satu diantara regulasi terkait kebijakan implementasi bahan bakar nabati mulai dari
undang-undang sampai dengan petunjuk teknis, salah satunya yaitu Keputusan direktur jenderal
MIGAS nomor 0234.K/10/DJM.S/2019 dengan Judul Regulasi : Standar dan mutu (spesifikasi)
bahan bakar minyak jenis solar campuran biodiesel 30% (B-30) yang dipasarkan di dalam negeri
dengan kategori regulasi Standardisasi bahan bakar nabati.

Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif ketika menjadi pembicara
pada "3rd Palm Biodiesel Conference" bahwa implementasi biodiesel di Indonesia berjalan
sukses dan telah menjadikan Indonesia sebagai pionir dalam pemanfaatan biodiesel dengan
penerapan B30 pada tahun 2020. Nilai ekonomi dari implementasi B30 pada tahun 2021
mencapai lebih dari US$4 miliar dan berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) hingga
25 juta CO2e.

Salah satu referensi yang kami dapat jika dilihat dari hasil penelitian terdahulu terkait
penggunaan B30, adalah kelemahan dari penggunaan bahan bakar tersebut dari segi yang sudah
digunakan di beberapa alutsista pertahanan baik pada TNI Angkatan Laut maupun Angkatan
Darat seperti untuk KRI, Truck dan Bus yaitu untuk penggunaan pada tank dan alutsista darat
belum terlalu dioptimalkan karena melihat kendala yang dialami dari penggunaan B30 kepada
mesin-mesin alutsista. Untuk itu, dalam mendukung penggunaan biofuel pada alutsista,
dilakukan pemilihan atau pensortiran pada alat transportasi dan alutsista yang digunakan serta
peningkatan segi kualitas terhadap produksi “B30” yang dicocokan dengan model atau jenis
kendaraannya. Ketersediaan logistik bahan bakar B30 dalam mendukung unsur KRI sangat
penting agar dapat mendukung pertahanan di wilayah laut dan dapat mengatasi adanya
pelanggaran di laut. Selain melalui kesiapan dukungan logistik, diperlukan juga survey secara
berkala terhadap uji klinis dan kualitas dari bahan bakar B30. Standar dan mutu (spesifikasi)
bahan bakar minyak jenis minyak solar dengan campuran biodiesel 30% (B30) ditetapkan dalam

7
SK Dirjen Migas No. 146.K/10/DJM/2020 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar
Minyak Jenis Minyak Jenis Solar yang Dipasarkan dalam Negeri. Toleransi persentase BBN jenis
biodiesel dan BBM jenis minyak solar telah diatur dalam SK Dirjen Migas No.
0262.K/10/DJM.S/2018 yaitu sebesar ± 5% dari pencampuran BBN jenis biodiesel. Sebagai
contoh, untuk pencampuran B30, rentang pencampuran yang diizinkan adalah 28,5%-31,5%).
Secara umum, biodiesel bersifat mudah terdegradasi (biodegradable), sehingga lebih aman dan
ramah lingkungan jika dibandingkan dengan penggunaan solar. Dalam rangka mendukung
kemampuan pangkalan TNI terhadap ketersediaan bahan bakar B30, maka perlu dilakukan
pengecekan atau survey berkala terhadap kualitas dan hasil uji klinis bahan bakar B30 agar
mempunyai kualitas yang baik.

Berdasarkan artikel The Jakarta Post1 pada 29 Maret 2022, Menteri Energi Arifin Tasrif
juga mengatakan bahwa pemerintah akan melanjutkan kebijakan B30 – 30% biodiesel berbasis
minyak sawit sampai pada tahun 2022 dan mencari solusi untuk menjaga kesenjangan harga
antara CPO dan harga biofuel. Setelah Indonesia menerapkan kebijakan mandatori B30, awal
tahun 2020 lalu, maka produksi biodiesel nasional terus bertambah. Melalui kebijakan ini,
Indonesia juga berhasil menjaga kestabilan supply dan demand kelapa sawit secara
global. Pemerintah Indonesia juga mengajak Pemerintah Malaysia agar tetap menjaga
keseimbangan ini, agar harga sawit di pasar dunia tetap menguntungkan.

8
2.3. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN B30

2.3.1. Kelebihan :
• Dapat menjadi energi alternatif pengganti BBM.

• Meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi serta nilai tambah industri kelapa sawit.

• Hanya pada biosolar saja, manfaat dari B30 ini juga meningkatkan performa mesin. FAME
yang bersifat detergency mampu membersihkan mesin kendaraan maupun industri.

• Menurut Ahli Konversi Energi dari Fakultas Teknik dan Dirgantara ITB Tri Yuswidjajanto
Zaenuri, mengatakan bahwa campuran solar dengan minyak sawit yang diproses secara
biodiesel dapat meningkatkan cetane number ( Kompas.com 13/1/2020 ).

• Membuat performa mesin lebih baik lagi, selain itu hasil pembakarannya juga menghasilkan
lebih sedikit CO (karbon monoksida). Hasilnya emisi juga lebih rendah ( Kompas.com
13/1/2020 ).

2.3.2. Kekurangan :
• Memperpendek usia filter solar.

• Mudah membeku saat terpapar udara dingin karena masih bersifat lemak jenuh, hal ini
membuat kendaraan atau mesin diesel bakal susah distarter, terutama saat pagi atau
malam hari didaerah yang bersuhu rendah.

2.4. IMPLEMENTASI B30


Penetapan program pemerintah sesuai regulasi dengan aturan tentang pentahapan
mandatori program B30 yang selaras dengan program B20 sesuai Peraturan Menteri Energi dan
Sumber Daya Mineral No. 12 tahun 2015 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral No. 32 tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan dan Tata
Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Peraturan pemerintah tentang
B30 Biosolar ditetapkan target pentahapan pencampuran biosolar untuk sektor terkait (KESDM,
2019)

9
Gambar 2. Penerapan Biosolat untuk Sektor Terkait.

Target pemerintah dalam mengimplementasikan mandatori B30 untuk mendistribusikan


biosolar ke beberapa sektor sebagai upaya pemerintah melakukan akselerasi melalui strategi
bauran energi nasional pada tahun 2025 dengan kadar bauran Energi Baru Terbarukan (EBT)
sebesar 23 persen dengan memperhatikan potensi sangat tinggi di Indonesia sesuai wujud
komitmen pemerintah mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dari BAU pada
tahun 2030 (KESDM, 2019). Keberhasilan program B20 telah berdampak terhadap sektor yang
menjadi target capaian ekonomi yang baik.

Kebijakan implementasi bahan bakar nabati di Indonesia didorong oleh regulasi dan sangat
bergantung dengan subsidi. Terdapat 17 regulasi terkait standar yang mendukung implementasi
bahan bakar nabati yang berjenis biodiesel di Indonesia. Banyaknya regulasi dalam utilisasi
minyak nabati di Indonesia membuat berbagai stakeholders terlibat. Dalam studi yang berfokus
pada standardisasi minyak nabati jenis biodiesel ini, keterlibatan stakeholders dalam
pengembangan dan penerapan standar minyak nabati di Indonesia dibagi menjadi 2 kategori,
yaitu: standardisasi minyak nabati dan standardisasi keberlanjutan minyak nabati

Selain itu, untuk menjamin kualitas dan meningkatkan keberterimaan minyak nabati jenis
biodiesel, pemerintah melakukan road test penggunaan B-30 di kendaraan. Hal ini juga ditujukan
untuk mengkonfirmasi spesifikasi mutu produk biodiesel, minyak solar dan B-30 yang diusulkan
oleh Komite Pengembangan Standar Bioenergi yang dikoordinasikan oleh Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral. Harmonisasi standar minyak nabati juga menjadi perhatian dalam

10
kompatibilitas pada mesin kendaraan dikarenakan produsen otomotif untuk kendaraan
bermesin diesel di Indonesia didominasi oleh pabrikan Jepang

Keberlangsungan kebijakan implementasi minyak nabati jenis biodiesel di Indonesia yang


sangat bergantung dengan subsidi perlu dikaji lebih jauh terkait model bisnisnya, agar target
penggunaan bahan bakar nabati sebesar 11,6 juta kL pada tahun 2025 dapat tercapai. Hal
tersebut dikarenakan subsidi yang digunakan untuk implementasi B30 berasal dari pungutan
ekspor produk minyak kelapa sawit dan turunannya sehingga jika terdapat permasalahan
ekspor, maka rentan berpengaruh terhadap pemberian subsidi ke B30. Selain itu, dengan adanya
penggunaan minyak nabati jenis biodiesel yang berimplikasi terhadap berkurangnya impor
minyak fosil, seharusnya penghematan devisa dapat digunakan untuk mengoptimalkan
pemanfaatan minyak nabati.

11
BAB III. PENUTUP

3.1. KESIMPULAN

Dengan adanya program Mandatori B30 dari pemerintah sesuai dengan Peraturan Menteri
ESDM No. 32 Tahun 2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga BBN sebagai Bahan
Bakar Lain sebagaimana telah diubah terakhir kali dengan Peraturan Menteri ESDM No. 12
Tahun 2015. Bahwa diharapkan moda kapal dapat menggunakan biodiesel B30 untuk
mendapatkan manfaat peningkatan daya mesin kapal, menurunkan emisi dan tidak memberikan
dampak negatif pada mesin kapal.

Secara garis besar manfaat ekonomi dan sosial dari implementasi Program Mandatori B30
sebagai berikut:

No. Manfaat Nilai Manfaat Program B30 Tahun


2020
1 Volume yang digunakan 9,59 juta KL
= 60,31 juta barel/tahun
= 165,24 ribu barel/day
2 Penghematan devisa USD 5,13 milyar
= Rp 63,39 triliun
3 Peningkatan nilai tambah (CPO menjadi Rp 13,82 triliun
biodiesel)
4 Mempertahankan tenaga kerja (petani On farm: 1,2 juta orang
sawit) Off farm: 9.055 orang
5 Pengurangan emisi GRK dan peningkatan 14,25 juta ton CO2 ~ 52.010 bus kecil
kualitas lingkungan

12
DAFTAR PUSTAKA

[1] Lia Laila, Listiana Oktavia, “Kaji Eksperimen Angka Asam dan Viskositas Biodiesel Berbahan Baku
Minyak Kelapa Sawit dari PT Smart Tbk”, Jurnal Teknologi Proses dan Inovasi Industri, Vol. 2, No. 1, Juli
2017

[2] Endah Kusuma Rastini, Jimmy, Abdurrahman,”Pembuatan Biodiesel dari Minyak Kelapa pada Suhu
Ruang dengan Variasi Katalis Basa dan Waktu Pengadukan”, SENIATI ISSN 2085-4218 ITN Malang, 13 Juli
2022

[3] Syarif, Mukhamad Irfan. Analisis Program B30 Biosolar Di Indonesia: Model Input Output. Diss.
UNIVERSITAS AIRLANGGA, 2020.

13

Anda mungkin juga menyukai