Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kebijakan pendidikan terkini yang diterapkan adalah dalam rangka
menghadapi kompetisi pada era globalisasi. Kunci menghadapi dan memenangkan
kompetisi pada era ini pada dasarnya terletak pada kualitas Sumber Daya Manusia
(SDM). SDM yang berkualitas pada gilirannya dapat dicapai bila peserta didik dan
lulusan setiap jenjang pendidikan di negeri ini memiliki kompetensi yang memadai.
Sementara diantara kunci sukses dalam menghadapi era ini adalah dengan menguasai
bahasa internasional, yaitu bahasa Inggris, sebagaimana ungkapan ”Kuasailah bahasa,
dan genggamlah dunia”.
Barangkali aksioma diatas sulit terbantahkan, mengingat bahasa Inggris
sebagai bahasa internasional memerankan bagian yang sangat penting. Selain
digunakan sebagai bahasa komunikasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
pun banyak disampaikan menggunakan media bahasa Inggris. Oleh sebab itu,
penguasaan seseorang terhadap bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi mutlak
diperlukan.
Pada tahun 2010 yang lalu diperkirakan jumlah orang yang menggunakan
bahasa Inggris sebagai bahasa asing atau bahasa kedua akan melebihi jumlah penutur
aslinya (Melvia A. Hasman, 2000). Belum lagi pada tahun 2003 telah diberlakukan dua
perjanjian pasar bebas, yaitu AFTA (Asean Free Trade Area) dan AFLA (Asean Free
Labour Area), sementara pada tahun 2020 akan diberlakukon Perjanjian WTO.
Dampak dari berlakunya pasar bebas tersebut, tentunya persaingan hidup
menjadi ketat dan kompetitif. Hanya SDM yang memiliki kecakapan hidup (life skill)
dan kompetensi global, termasuk menguasai bahasa Inggris secara aktif yang akan
survive dan sanggup menghadapi berbagai tantangan. Sebaliknya, bagi mereka yang
tidak memiliki kecakapan hidup dan kompetensi global akan dilindas oleh ganasnya

1
roda globalisasi.
Oleh sebab itu, secara substansi sebenarnya tugas utama guru adalah
menyiapkan peserta didik yang sanggup menghadapi tantangan zamannya. Dan sesuai
dengan tantangan global saat ini, seharusnya kemampuan berbahasa Inggris secara aktif
(speaking) merupakan salah satu pilihan utama yang harus dikuasi oleh peserta didik.
Namun, ironisnya kenyataan di lapangan justru kemampuan berbicara
(speaking) tidak banyak mendapatkan perhatian. Kondisi ini diperparah dengan adanya
kenyataan bahwa kemampuan berbicara (speaking) tidak diujikan dalam Ujian Akhir
Sekolah Berstandar Nasional atau dalam UN. Yang terjadi selanjutnya, banyak guru
yang memberi porsi secara berlebihan pada kemampuan membaca (reading), sementara
kemampuan speaking peserta didik justru terabaikan. Keadaan ini menjadikan mereka
enggan berkomunikasi dalam bahasa Inggris.
Kondisi seperti itu justru terjadi di sekolah dimana peneliti saat ini sedang
mengabdi, yaitu SMPN 3 Watulimo Trenggalek. Pembelajaran bahasa Inggris banyak
difokuskan pada reading, dengan alasan karena reading banyak mendominasi soal-soal
ujian, baik Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional maupun UN. Namun disisi lain,
kemampuan berbicara tidak banyak mendapatkan perhatian yang cukup.
Pembelajaran kemampuan speaking disajikan sebatas pada penjelasan-
penjelasan mengenai fungsi ungkapan-ungkapan bahasa, tanpa memberikan kesempatan
kepada peserta didik untuk memperaktikkan ungkapan-ungkapan itu. Lebih parah lagi,
bahasan-bahasan itu dikemas dalam bentuk soal-soal latihan. Tidak lain, tujuannya
adalah mengkondisikan peserta didik pada soal-soal UN. Faktor yang demikian ini
menjadikan kemampuan berbicara peserta didik dalam bahasa Inggris lemah.
Guna meningkatkan kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris peserta didik
Kelas VII/A SMPN 3 Watulimo Trenggalek, peneliti menggunakan Rote Play sebagai
bentuk kegiatan pembelajaran bahasa Inggris di kelas. Role play adalah sejenis
permainan gerak yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur
senang (Jill Hadfield, 1 986). Dalam Role Play peserta didik dikondisikan pada situasi
tertentu di luar kelas, meskipun saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas, dengan
menggunakan bahasa Inggris. Selain itu, Role Play sering kali dimaksudkan sebagai

2
suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di
luar kelas dan memainkan peran orang lain saat menggunakan bahasa Inggris (Basri
Syamsu, 2000).
Dalam Role Play peserta didik diperlakukan sebagai subyek pembelajaran,
secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab dalam
bahasa Inggris) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai
dari lingkungan yang berpusat pada diri peserta didik (Departemen Pendidikan Nasional
Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pendidikan Lanjutan
Pertama, 2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran bahasa menjelaskan bahwa dalam
pembelajaran bahasa, peserta didik akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan
menggunakan bahasa dengan melakukan berbagai kegiatan bahasa. Bila mereka
berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari
(Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran peserta didik harus aktif. Tanpa adanya
aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi (Sardiman, 2001).
Sementara itu, sesuai dengan pengalaman peneliti manfaat yang dapat diambil
dari Role Play adalah: Pertama, Role Play dapat memberikan semacam hidden
practise, dimana peserta didik tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan terhadap
materi yang telah dan sedang mereka pelajari. Kedua, Role play melibatkan jumlah
peserta didik yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar. Ketiga, Role Play dapat
memberikan kepada peserta didik kesenangan karena Role Play pada dasarnya adalah
permainan. Dengan bermain peserta didik akan merasa senang karena bermain adalah
dunia peserta didik. Masuklah ke dunia peserta didik, sambil kita antarkan dunia kita
(Bobby DePorter, 2000).
Oleh karena itu, penulis mencoba merencanakan dan melakukan Penelitian
Tindakan Kelas (Classroom Action Research (CAR) dengan judul; “Upaya
meningkatkan kemampuan berbicara bahasa Inggris Peserta didik Kelas VII/A SMPN 3
Watulimo Trenggalek melalui alternatif pembelajaran Role Play yang efektif dan
menyenangkan.”

3
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah diatas, maka dalam Classroom Action Research
ini peneliti mengajukan rumusan masalah sebagai berikut ;
 Apakah dengan menerapkan model Role Play, kemampuan speaking peserta didik
kelas VII/A SMPN 3 Watulimo Trenggalek semakin meningkat.....?

C. Tujuan Penelitian
Mengacu pada rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah ;
 Meningkatkan kemampuan speaking peserta didik melalui Role Play di kelas VII/A
SMPN 3 Watulimo Trenggalek.

D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian tindakan kelas ini diharapkan ada beberapa manfaat yang
dapat diperoleh, baik manfaat secara praktis maupun teoritis.
1. Manfaat secara praktis yaitu :
a. Bagi penulis dan dewan guru dapat mengembangkan model pembelajaran yang
efektif, efisien dan menyenangkan yang dapat melibatkan peseta didik secara
aktif, dan kreatif dalam proses pembelajaran bahasa Inggris untuk meningkatkan
kompetensi komunikatif (speaking) mereka.
b. Bagi Peserta didik dapat meningkatkan kemampuan speaking peserta didik,
meningkatkan rasa senang dan motivasi belajar, meningkatkan kepercayaan diri
dalam berkomunikasi, meningkatkan kompetensi komunikatif dan prestasi
belajar bahasa Inggris, dan dapat meningkatkan keaktifan, kreativitas dan hasil
belajar yang lebih tinggi.
c. Bagi sekolah dan lembaga pendidikan lain sebagai bahan referensi yang
memperkaya khazanah keilmuan, khususnya yang terkait dengan metode,
pendekatan, dan strategi pembelajaran bahasa Inggris di kelas.
2. Sedangkan manfaat secara teoritisnya adalah hasil penelitian dapat dijadikan
sebagai sumbangan pemikiran bagi para pendidik dalam melaksanakan proses
pembelajaran kepada peserta didik di dalam kelas.

4
E. Hipotesa
Hipotesa dari Classroom Action Research ini ialah bahwa penggunaan
pendekatan Role Play dapat meningkatkan kemampuan speaking peserta didik,
khususnya peserta didik kelas VII/A SMPN 3 Watulimo Trenggalek.

F. Sistematika Penelitian
Sebagai gambaran isi secara keseluruhan dari penelitian ini dan untuk
memudahkan proses penyelesaiannya, maka terlebih dahulu akan penulis sampaikan
sitematika pembahasannya, sebagaimana berikut:
Bab I: Pedahuluan meliputi; Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Hipotesa, dan Sistematika Penulisan.
Bab II Kerangka Teoritik, yang memuat tentang; Hakikat Berbicara, Berbicara
sebagai Ilmu dan Seni, Hakikat Role Play dengan sub pembahasan; 1) Penggunaan
Role Play, 2) Manfaat Role Play, 3) Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam Role Play.
Bab III: Metodologi Penelitian: yang memuat tentang: Pendekatan dan Jenis
Penelitian, Setting penelitian, Fokus Penelitian, Desain Penelitian Jenis dan Sumber
Data Penelitian.
Bab IV: Pembahasan Hasil Penelitian; meliputi: Siklus I, Siklus II, Siklus III,
dan Analisis Siklus I, II, III.
Bab V: Penutup, terdiri dari; Kesimpulan dan Saran-saran.

5
BAB II
KERANGKA TEORITIK

A. Hakikat Berbicara
Ujaran (speech) merupakan suatu bagian yang integral dari keseluruhan
personalitas atau kepribadian, mencerminkan lingkungan sang pembicara, kontak-
kontak sosial, dan pendidikannya. Aspek-aspek lain seperti cara berpakaian atau
mendandani pengantin, adalah bersifat eksternal, tetapi ujaran sudah bersifat inheren,
pembawaan. (Tarigan,1996:15)
Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-
kata untuk mengekspresikan, menyatakan serta menyampaikan pikiran, gagasan dan
perasaan. Sebagai perluasan dari batasan ini dapat kita katakan bahwa berbicara
merupakan suatu sistem tanda-tanda yang dapat didengar (audible) dan yang kelihatan
(visible) yang memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi
maksud dan tujuan gagasan-gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan. Lebih jauh lagi,
berbicara merupakan suatu bentuk perilaku manusia memanfaatkan faktor-faktor fisik,
psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif, secara luas
sehinga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial.
(Tarigan,1996:15)
Dengan demikian maka berbicara itu lebih daripada hanya sekedar pengucapan
bunyi atau kata-kata. Berbicara adalah suatu alat untuk mengkomunikasikan gagasan-
gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan sang
pendengar atau penyimak. Berbicara merupakan instrument yang mengungkapkan
kepada penyimak hampir-hampir secara langsung apakah sang pembicara memahamai
atau tidak, baik bahan pembicaraanya maupun para penyimaknya: apakah dia bersikap
tenang, serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat dia mengkomunikasikan
gagasan-gagasannya; dan apakah dia waspada serta antusias atau tidak. (Paulston,
1975:3–4).

6
B . Berbicara sebagai seni dan ilmu
Wilayah ‘berbicara” biasanya dibagi menjadi dua bidang umum, yaitu :
1. Berbicara terapan atau berbicara fungsional (the speech arts).
2. Pengetahuan dasar berbicara (the speech sciences) (Paulston, 1975:6).
Dengan perkataan lain, berbicara dapat ditinjau sebagai seni dan juga ilmu.
Dilihat dari sudut pandang seni, maka berbicara diletakkan pada penerapannnya sebagai
alat komunikasi dalam masyarakat sebagai berikut: (1) Berbicara di muka umum, (2)
Semantik: Pemahaman makna kata, (3) Diskusi kelompok, (4) Argumentasi, (5) Debat,
(6) Prosedur parlementer, (7) Penafsiran lisan, (8) Seni drama.
Sementara kalau kita memandang berbicara sebagai ilmu maka hal-hal yang
perlu ditelaah antara lain: (1) Mekanisme bicara dan mendengar, (2) Latihan dasar bagi
ujaran dan suara, (3) Bunyi-bunyi bahasa, (4) Bunyi-bunyi dalam rangkaian ujaran, (5)
Vowel-vowel, (6) Diftong-diftong, (7) Konsonan-konsonan, (8) Patologi ujaran.
(Paulston, 1954:9)
Dalam berbicara ini peneliti meneliti Seni Drama dalam meningkatkan
kemampuan berbicara (khususnya Bahasa Inggris). Dengan demikian peneliti
memandang berbicara sebagai seni dalam hal ini, yaitu penekanan diletakkan pada
penerapan sebagai alat komunikasi dalam masyarakat.
C. Hakikat Role Play
Menurut Gillian Porter Ladousse (1987:5) ‘role play’ berasal dari kata ‘role’
yang artinya ambil bagian dalam sebuah kegiatan khusus dan ‘play’ yang artinya
peranan itu diambil/dipakai dalam sebuah lingkungan dimana peserta didik dapat
mengembangkan sepenuhnya daya cipta dan bermain. Sekelompok peserta didik
bermain peran di dalam kelas dengan baik sama halnya dengan sekolompok anak yang
sedang bermain sekolah-sekolahan, perawat dan dokter, atau Star wars. Keduanya
secara tidak sadar mengaktualisasikan dan dengan bermain peran mereka mencobakan
pengetahuan dunia nyatanya dan mengembangkan kemampuannya untuk berinteraksi
dengan masyarakat. Kegiatan ini sangat menyenangkan dan tidak merusak pribadi
peserta didik atau anak tersebut. Bermain peran ini akan dapat menumbuhkan
kepercayaan diri daripada merusaknya.

7
Pernyataan yang hampir sama diungkapkan oleh Joanna Budden dalam
http://www.teachingenglish.org.uk/think/speak/role_play.shtml (10 Oktober 2006),
tentang Role Play bahwa Role Playis any speaking activity when you either put yourself
into somebody else's shoes, or when you stay in your own shoes but put yourself into an
imaginary situation, yang artinya adalah kegiatan berbicara dimana pemain dapat
berperan menjadi orang lain atau dapat berperan menjadi dirinya sendiri tetapi
berimajinasi dalam berbagai situasi.
Dengan demikian, Role Play adalah suatu kegiatan berbicara dimana pemain
dapat berperan sebagai orang lain maupun dirinya sendiri dalam berbagai situasi
imajinatif yang mampu mengembangkan kemampuan daya cipta dan bermain
sepenuhnya.
1. Penggunaan Role Play
Secara luas disetujui bahwa belajar terjadi bila kegiatan-kegiatannya menyenangkan
dan dapat diingat. Jeremy Harmer yang dikutip oleh Gillian Porter Ladousse
(1987 : 6) menegaskan, penggunaan Role Playdigunakan dengan alasan sebagai
berikut; a) menyenangkan dan memotivasi, b) peserta didik yang diam mendapat
kesempatan untuk mengekspresikan diri mereka ke arah kemajuan, lingkungan di
dalam kelas dan di luar kelas menjadi tak terbatas serta menawarkan kesempatan
penggunaan bahasa secara luas. Selain itu para peserta didik yang mendapat
kesempatan menggunakan Bahasa Inggris bisa mengulang Bahasa Inggrisnya dalam
situasi yang nyaman. Situasi nyata dapat tercipta dan para peserta didik
mendapatkan keuntungan dari latihan. Kesalahan apapun yang mereka buat tidak
membebani.
2. Manfaat Role Play
a. Banyak macam pengalaman bisa dibawa kedalam kelas lewat Role Play.
Rentangan fungsi dan struktur bahasa dan luasnya kosakata yang diperkenalkan
melaju/berkembang tanpa batas. Melalui Role Play kita bisa melatih peserta didik
mengembangkan ketrampilan berbicara dalam berbagai situasi.
b. Role Play meletakkan peserta didik pada berbagai situasi yang bermanfaat untuk
mengembangkan bahasa dalam memperlicin hubungan sosial.

8
c. Beberapa orang sedang belajar Bahasa Inggris untuk tujuan kehidupanya;
khususnya bagi orang yang akan bekerja atau bepergian ke luar negeri.
d. Role Play membantu kebanyakan peserta didik pemalu dengan menyediakannya
sebuah topeng. Beberapa peserta didik pendiam mungkin mempunyai kesulitan
dalam berinteraksi dan beraktivitas lainnya. Dengan Role Playpeserta didik
terbebas oleh karena mereka tidak merasa pribadinya terlibat.
e. Alasan terpenting menggunakan Role Playtidak lain adalah kegembiraan. Sekali
peserta didik memahami dengan apa yang diharapkan, mereka menikmati
imajinasinya.
Akhirnya, Role Playmerupakan salah satu dari seluruh teknik komunikasi
yang mengembangkan peserta didik lancar berbahasa, yang memajukan interaksi di
dalam kelas, dan yang meningkatkan motivasi. Role Playjuga tidak hanya
mendorong peserta didik belajar bersama rekan seusianya, tetapi juga meningkatkan
kebersamaan guru dan peserta didik untuk bertanggung jawab terhadap proses
belajar. Role Playmungkin merupakan teknik yang paling fleksibel dan guru-guru
yang segera mengunakan Role Playdapat mempertemukan kebutuhan–kebutuhan
yang tak terbatas dengan latihan bermain peran secara efektif dan tepat.
3. Hal–hal yang perlu diperhatikan dalam Role Play
a. Siap untuk berhasil
Role Playdi tingkat dasar. Mencoba memikirkan bahasa yang akan
peserta didik gunakan. Peserta didik mungkin perlu ekstra dukungan untuk
memiliki bahasa tersebut. Ketika mereka sedang bermain peran, peserta didik
merasa telah dilengkapi dengan bahasa yang memadai. Untuk tingkat lebih
tinggi, peserta didik tidak perlu banyak dukungan tetapi mereka perlu waktu
masuk dalam peranan itu.
b. Peranan Guru
Beberapa kemungkinan peranan guru, yakni a) Fasilitator, peserta didik
mungkin membutuhkan kosakata baru dari guru, b) Penonton: guru mengamati,
memberi komentar dan nasehat pada akhirnya, c) Partisipan: kadang-kadang ikut
ambil peranan pada permainan tersebut

9
c. Bawalah situasi kegiatan menjadi hidup.
Bermain peran dengan mengambil cerita dan juga properti yang nyata,
misalnya berperan sebagai pemilik pizza dengan pelanggannya. Hal ini akan
membuat pembelajaran lebih menyenangkan dan mudah diingat.
d. Tetap nyata dan relevan.
Cobalah menjaga peranan peserta didik untuk bermain senyata mungkin.
Walaupun itu sulit peserta didik diajak untuk membayangkan kegiatan tersebut
terjadi di jantung kota di Inggris.
e. Feed in language.
Saat peserta didik macet mendapatkan kata atau frasa, guru memberikan
bantuan berperan seolah-olah sebagai kamus berjalan. Jika tidak guru bisa
mengijinkan peserta didik untuk minta timeout guna mencari arti kata di kamus.
Adalah pokok atau fundamen menyuapi peserta didik dengan bahasa yang
dibutuhkan. Dengan demikian, peserta didik akan mempelajari kosakata dan
tatabahasa alam lingkungan yang mudah diingat dan alami.
f. Pembetulan kesalahan.
Ada banyak cara untuk membenarkan kesalahan ketika menggunakan
teknik bermain peran. Beberapa peserta didik senang dibenarkan langsung
setelah permainan selesai. Kalimat yang salah bisa ditulis dipapan tulis untuk
dikoreksi bersama. Ada 3 cara dalam pembetulan kesalahan, yakni: 1) Self-
Correction Jika alat perekaman seperti video atau audiocasette ada, peserta didik
diberi kesempatan mendengarkan hasil tampilannya dan merenungkan bahasa
yang telah digunakan. Mereka mungkin dengan mudah memeriksanya, 2) Peer–
correction. Teman sekelasnya bisa mengoreksi kesalahan temannya. Hati-hati
untuk tetap menjaga bahwa koreksi teman sebaya merupakan pengalaman positif
dan menguntungkan untuk keterlibatan semua peserta didik, dan 3) Buat catatan
kesalahan-kesalahan yang umum demi keberhasilan pelajaran berikutnya agar
peserta didik tidak kehilangan motivasi setelah dibetulkan. Negosiasi dengan
peserta didik terlebih dulu bagaimana mereka ingin dikoreksi.

10
g. Gunakan imajinasimu dan bersenanglah.
Bermain peran yang paling sukses yang saya lakukan tahun lalu bersama
dengan sekelompok remaja. Kelas dibagi dengan kelompok berpasangan dengan
memerankan skater boy yang akhirnya mempertemukan mantan teman
wanitanya diakhir konser. Hasilnya sangat lucu dan saya terkejut ketika mereka
semua ikut ambil peranan. Akhirnya, Role Playbisa menjadi kegiatan yang
menyenangkan. Anda mungkin terkejut dengan hasil akhirnya.
Dalam Role Play(Bermain Peran), pemain diminta untuk melakukan
peran tertentu dan menyajikan "permainan peran" dan melakukan "dialog-dialog"
tertentu yang menekankan pada karakter, sifat atau sikap yang perlu dianalisa.
Bermain peran haruslah mengungkapkan suatu masalah atau kondisi nyata yang
akan dipergunakan bahan diskusi atau pembahasan materi tertentu. Dengan
demikian, setelah selesai melakukan peran, langkah penting adalah analisis dari
bermain peran tersebut. Para pemain diminta untuk mengemukakan peran dan
perasaan mereka tentang peran yang dimainkan, demikian pula dengan peserta
yang lain.
Menerapkan Role Play dalam kelas dapat menambah variasi, perubahan
dan kesempatan menghasikan bahasa dan juga memberikan banyak kesenangan.
Role Playjuga dapat menjadi bagian dari kelas secara menyeluruh. Jika guru
yakin bahwa kegiatan akan berlangsung dan dukungan penting tersedia akan
membawa keberhasilan. Bagaimanapun juga jika guru tidak yakin akan
kesahihan bermain peran maka dia jatuh ke dalam keinginannya tersebut. Oleh
karena itu berpikirlah positif dan terus lakukan memungkinkan anda
mendapatkan kejutan yang menyenangkan.

11
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

A. Pendekatan dan Jenis Penelitian


1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif
dalam bentuk Classroom Action Research. Pendekatan kualitatif digunakan untuk
menjelaskan data yang bukan angka secara deskriptif dan naratif.
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (Classroom Action
Research) dengan jenis penelitian partisipan. Dinamakan penelitian partisipan
karena peneliti terlibat langsung dalam proses penelitian sejak awal sampai dengan
hasil penelitian berupa laporan penelitian.
Aqib (2009: 21) menyebutkan bahwa terdapat 4 model PTK (Classroom
Action Research) yaitu : 1) Model Kurt Lewin, 2) Model Kemmis dan Mc. Taggart,
3) Model John Elliot, dan 4) Model Dave Ebbutt. Namun demikian, model yang
dipilih untuk digunakan dalam penelitian ini adalah model Kurt Lewin, dimana
dalam setiap siklus terdapat kegiatan utama yang terdiri dari ; Perencanaan
(Planning), Tindakan/Tindakan (Action), Pengamatan (Observation), dan Refleksi
(Reflective).

B. Setting penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian PTK ( Classroom Action Research ) ini dilaksanakan di SMPN 3
Watulimo Trenggalek. Lokasi ini dipilih karena peneliti merupakan salah satu staf
pengajar di sekolah tersebut.
2. Subyek Penelitian
Sesuai dengan judul Classroom Action Research diatas, maka subjek

12
penelitian adalah semua peserta didik kelas VII/A SMPN 3 Watulimo Trenggalek
yang berjumlah 31 peserta didik
3. Waktu
Penelitian ini, mulai tahap perencanaan sampai tahap penyusan laporan
dilaksanakan dalam kurun waktu 3 bulan, yaitu mulai bulan Januari sampai Maret
2011.
C. Fokus Penelitian
Karena subyek Classroom Action Research ini adalah peserta didik, maka
peneliti akan meneliti peningkatan kemampuan speaking peserta didik kelas VII/A
SMPN 3 Watulimo Trenggalek dengan model pembelajaran role play.
Peserta didik dapat dikatakan tuntas dalam belajar, bilamana telah sesuai
dengan standar ketuntasan belajar sebagaimana yang termaktub dalam standar
kompetensi pada kurikulum KTSP. Adapun ketuntasan peserta didik, dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu :
a. Ketuntasan Perorangan
Seorang peserta didik dikatakan berhasil (mencapai ketuntasan), jika telah mencapai
atau menguasai standar kompetensi dan komptensi dasar. Dan bagi peserta didik yang
belum menguasai standar standar kompetensi dan kompetensi dasar dilakukan remidi
sebelum melanjutkan pokok bahasan berikutnya.
b. Ketuntasan Klasikal
Klasikal atau suatu kelas dikatakan telah berhasil (mencapai ketuntasan belajar), jika
paling sedikit 85% dari jumlah dalam kelompok atau kelas tersebut telah mencapai
ketuntasan perorangan. Apabila sudah terdapat 85% dari banyaknya peserta didik
yang mencapai tingkat ketuntasan belajar maka kelas yang bersangkutan dapat
melanjutkan pada satuan pembelajaran berikutnya. Apabila banyaknya peserta
didik dalam kelas yang mencapai tingkat ketuntasan belajar kurang dari 85%
maka:
1. Peserta didik yang belum menguasai standar kompetensi dan komptensi dasar
harus diberikan program perbaikan mengenai bagian-bagian bahan pelajaran yang
belum dikuasai.

13
2. Peserta didik yang telah mencapai taraf penguasaan 65% atau lebih dapat
diberikan program pengayaan.
3. Bila ketuntasan peserta didik lebih dari 85% maka pembelajaran yang
dilaksanakan peneliti dapat dikatakan berhasil. Tetapi bila ketuntasan belajar
peserta didik kurang dari 85% maka pengajaran yang dilaksanakan peneliti belum
berhasil.

D. Desain Penelitian
Karena Penelitian ini merupakan Classroom Action Research, maka
pelaksanaannya dilakukan dengan cara bersiklus. Tiap siklus dilakukan perubahan
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Perencanaan dan langkah-langkah pembelajaran yang sama juga disusun dan
dilaksanakan pada setiap siklus, namun dengan tema yang berbeda. Adapun tema
untuk siklus I adalah Asking And Giving Opinion; siklus II bertema Like And
Dislike; dan tema Clarification dipilih untuk siklus III.
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan pada setiap tindakan mulai siklus I
hingga siklus III adalah:
1. Kegiatan Awal Pembelajaran, meliputi ;
a. Mengkondisikan peserta didik kearah pembelajaran yang kondusif.
b. Mengadakan apersepsi.
c. Menyampaikan tujuan pembelajaran.
2. Kegiatan inti pembelajaran, meliputi ;
a. Membagi peserta didik kedalam enam kelompok kecil yang lima kelompok
berjumlah 6 anak, sedangkan yang satu kelompok berjumlah 7 anak.
b. Memberikan penjelasan tentang setiap peran dan gaya yang akan membuat
para peserta didik mempunyai gambaran tentang peran tersebut.
c. Membimbing peserta didik dalam berlatih role play.
d. Menugaskan setiap kelompok untuk memainkan peran tentang tema yang telah
ditenyukan sebelumnya.

14
e. Mendiskusikan kekurangan dan kelebihan role play dari masing-masing
kelompok.
3. Kegiatan Akhir Pembelajaran, yaitu Menutup kegiatan pembelajaran.
E. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Data adalah hasil pencatatan penelitian, baik berupa fakta atau angka
(Moeleong, 1991:20). Adapun jenis data dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
 Data yang berupa bilangan atau angka-angka disebut data kuantitatif.
 Data yang berbentuk bukan bilangan atau angka-angka disebut kualitatif
Sementara dalam Classroom Action Research ini jenis data yang digunakan
adalah data kualitatif. Sedangkan sumber datanya adalah hasil pengamatan pelaksanaan
Role Play secara langsung ketika proses belajar dan hasil test peserta didik serta hasil
dari wawancara secara langsung terhadap peserta didik ketika setelah Role Play pada
siklus I, II, dan III.

15
BAB IV
PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

Supaya dalam penelitian ini, peneliti mendapatkan hasil yang sesuai dengan harapan
maka peneliti menggunakan model siklus. Adapun pelaksanaan dari siklus-siklus
tersebut adalah sebagai berikut:
A. Siklus I
A.1. Tahap Perencanaan (Planning)
Pada siklus I terdiri dari 6 siklus kecil (enam kali pertemuan), dan setiap
siklus kecil berlangsung selama 80 menit ( satu kali pertemuan). Pada siklus ini
materi yang diberikan adalah “Asking And Giving Opinion” Adapun langkah-
langkah yang ditempuh antara lain:
1. Membuat setting Role Play agar tampak sebagaimana mestinya. Misalnya,
menjelaskan kepada peserta didik peran apa yang akan dimainkan. Di sini,
peneliti melakukan persiapan-persiapan yang berkaitan dengan setting Role
Play dan atributnya.
2. Menjelaskan tujuan dan aturan permainan.
3. Memberikan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play,
membimbing cara pengucapkannya beberapa kali dan sekaligus menjelaskan
penggunaannya. Ini dilakukan dengan maksud agar peserta didik merasa
percaya diri menggunakan ungkapan-ungkapan itu dalam Role Play.
A.2. Tahap Pelaksanaan (Action)
Peserta didik diminta memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan
dan aturan permainan. Adapun tahap-tahapnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peneliti membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play, misalnya
menata kelas, membuat atribut dan menceriterakan kepada peserta didik
peran yang akan dimainkan.
2. Peneliti menjelaskan tujuan dan aturan permainan.
3. Peneliti menuliskan ungkapan-ungkapan atau kosa kata yang perlu dipakai

16
dalam Role Play di papan tulis, sekaligus dijelaskan fungsinya.
4. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menirukan
cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang akan dipakai.
5. Peneliti meminta peserta didik mempraktikan Role Play sesuai dengan
kelompoknya masing-masing.
Peneliti selanjutnya memantau jalannya Role Play sambil memberikan
bantuan kepada peserta didik. Untuk kesalahan-kesalahan yang bersifat umum,
artinya dilakukan hampir seluruh peserta didik, peneliti menjelaskan kembali
secara klasikal. Sementara kesalahan yang bersifat individu atau kelompok,
peneliti langsung memberikan penjelasan pada individu atau kelompok itu.
A.3. Tahap Pengamatan (Observation)
Pada saat pelaksanaan tindakan, peneliti dibantu oleh satu orang
pengamat untuk membantu mengamati jalannya proses pembelajaran Role Play
dengan bantuan instrumen–instrumen yang telah disediakan. Di samping itu
peneliti juga mengambil dokumentasi, pengambilan gambar saat tampil, juga
merekam suara meraka. Hal ini dilakukan untuk keperluan perbaikan pada siklus
berikutnya.
Hasil pengamatan pada siklus I ini, ditemukan 65 % dari jumlah 31
peserta didik memiliki kemampuan speaking yang sudah baik, sementara sisanya
35 % masih memiliki kemampuan speaking yang rendah.
A.4. Tahap Refleksi (Reflective)
Sementara itu, hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama
pelaksanaan siklus I sebagaimana di bawah ini:
1. Pada awal pelaksanaan siklus I tampaknya sebagian besar peserta didik
masih merasa canggung (tidak percaya diri) melakukan praktik bahasa
(bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris). Kondisi yang demikian ini
terjadi karena peserta didik belum terbiasa melakukan Role Play.
Kemungkinan lain, kurangnya penekanan pada latihan melafalkan
ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang dipakai dalam Role Play sehingga
peserta didik merasa malu. Masalah ini (percaya diri peserta didik) akan

17
mendapat perhatian peneliti untuk pelaksanaan siklus berikutnya. Keadaan
seperti ini banyak dipengaruhi oleh ketidak biasaan mereka berbicara dalam
bahasa Inggris sehingga mereka enggan melakukannya. Pada pelaksanaan
siklus selanjutnya agar keadaan ini tidak terulang lagi peserta didik banyak
dibekali cara melafalkan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play,
dan peserta didik sering diingatkan agar mereka tidak canggung dan ragu-
ragu lagi.
2. Sebagian besar peserta didik merasa sulit beradaptasi dengan Setting Role
Play yang dipersiapkan sepenuhnya oleh peneliti. Keadaan ini akan
mendapat perhatian peneliti pada pelaksanaan siklus berikutnya. Misalnya,
dengan memberitahukan terlebih dahulu tentang setting Role Play untuk
pertemuan berikutnya, kemudian memberi penugasan kepada peserta didik
untuk membuat persiapan-persiapan setting Role Play sebagaimana yang
dikehendaki.
B. Siklus II
B.1 Tahap Perencanaan (Planning)
Pada siklus II juga terdiri dari 6 siklus kecil (enam kali pertemuan), dan
setiap siklus kecil berlangsung selama 80 menit ( satu kali pertemuan). Pada siklus
ini materi yang diberikan adalah “Like And Dislike”
Langkah-langkah yang ditempuh pada perencanaan siklus sedang II
adalah:
1. Memberikan setting Role Play terlebih dahulu untuk perternuan berikutnya,
dan memberikan penugasan kepada peserta didik untuk mempersiapkan
setting itu.
2. Menjelaskan dan menegaskan kembali kepada peserta didik tujuan dan
aturan permainan agar peserta didik tidak lagi melihat pekerjaan teman-
temannya. Melainkan bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris untuk
mendapatkan dan memberi informasi.
3. Melatih peserta didik melafalkan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam
Role Play beberapa kali, dan sekaligus menjelaskan kegunaannya serta

18
memberikan contoh agar mereka menjadi jelas dan percaya diri disamping
untuk meningkatkan fluency peserta didik.
B.2. Tahap Pelaksanaan (Action)
Peserta didik diminta memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan dan aturan
permainan. Adapun tahap-tahapnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peserta didik membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play
sebagaimana yang telah diberitahukan terlebih dahulu dan ditugaskan oleh
peneliti. Peserta didik tampaknya lebih mudah beradaptasi dengan setting
yang telah mereka persiapkan sendiri.
2. Peneliti menjelaskan tujuan dan aturan permainan. Pada bagian ini peneliti
juga memberi motivasi kepada peserta didik agar lebih percaya diri.
3. Peneliti menuliskan di papan tulis ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang
dipakai dalam Role Play, sekaligus dijelaskan oleh peneliti fungsinya.
4. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menirukan
cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata beberapa kali hingga
peserta didik merasa jelas. Selanjutnya setelah peserta didik merasa jelas.
5. Peneliti meminta peserta didik mempraktikan Role Play seesuai dengan
kelompoknya masing-masing.
Peneliti selanjutnya memantau jalannya Role Play, dan masih memberikan
bantuan kepada peserta didik. Untuk kesalahan-kesalahan yang bersifat umum,
kesalahan itu dijelaskan kembali secara klasikal. Sementara kesalahan yang
bersifat individu atau kelompok, dijelaskan pada saat kesalahan itu terjadi.
Namun demikian, koreksi yang diberikan tidak menjadikan peserta didik down.
B.3. Tahap Pengamatan (Observation)
Pada tahap pengamatan siklus II ini, peneliti juga dibantu oleh satu
orang pengamat untuk membantu mengamati jalannya proses pembelajaran Role
Play dengan bantuan instrumen–instrumen yang telah disediakan.
Hasil pengamatan pada siklus II ini, ditemukan 78 % dari jumlah 31
peserta didik memiliki kemampuan speaking yang baik, sementara sisanya 28 %
masih memiliki kemampuan speaking yang rendah.

19
Dari hasil di atas jelas bahwa kegiatan pembelajaran Role Play yang
dilakukan pada siklus II ini telah mengalami peningkatan. Dari semula 65 %
peserta didik yang memiliki kemampuan speaking yang baik menjadi 78 %
peserta didik yang memiliki kemampuan speaking baik.
B.4. Tahap Refleksi (Reflective)
Hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama pelaksanaan siklus II
adalah sebagai berikut:
1. Rasa percaya diri peserta didik selama pelaksanaan siklus sedang II tampak
lebih baik dibandingkan pada siklus sebelumnya.
2. Jumlah peserta didik yang menggunakan bahasa daerah saat mereka
memperaktikkan Role Play berkurang. Untuk menyuruh temannya
mengulang, misalnya, peserta didik menggunakan ungkapan "What?"
3. Ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam Role Play, mereka tidak ragu lagi
menggunakannya walaupun pronounciation-nya masih belum baik. Ini
dikarenakan peserta didik sudah mulai terkondisi betul dengan permainan
Role Play.
4. Aksen dan artikulasi speaking bahasa asing peserta didik semakin nampak
kelihatan. Berbeda ketika pada siklus I, aksen dan artikulasi peserta didik
masih banyak yang menggunakan bahasa ibu.

C. Siklus III
C.1 Tahap Perencanaan (Planning)
Pada siklus III ini masih juga terdiri dari 6 siklus kecil (enam kali
pertemuan), dan setiap siklus kecil berlangsung selama 80 menit (satu kali
pertemuan). Namun pada siklus ini materi yang diberikan adalah “Clarification”.
Langkah-langkah yang diberikan pada perencanaan siklus III sebagai
berikut:
1. Memberikan setting Role Play terlebih dahulu untuk perternuan berikutnya,
dan memberikan penugasan kepada peserta didik untuk mempersiapkan
setting itu.

20
2. Menjelaskan dan menegaskan kembali kepada peserta didik tujuan dan aturan
permainan agar peserta didik tidak lagi melihat pekerjaan teman-temannya.
Melainkan bertanya dan menjawab dalam bahasa Inggris untuk mendapatkan
dan memberi informasi.
3. Melatih peserta didik melafalkan ungkapan-ungkapan yang dipakai dalam
Role Play beberapa kali, dan sekaligus menjelaskan kegunaannya serta
memberikan contoh agar mereka menjadi jelas dan percaya diri disamping
untuk meningkatkan performance peserta didik.
4. Memainkan Role Play dalam kelompok besar. Ini dimaksudkan agar rasa
percaya diri dan fluency peserta didik lebih meningkat. Dengan cara ini
peserta didik dapat menentukan pasangannya secara bergantian, dan dengan
cara ini pula peserta didik dapat melatih rasa percaya diri mereka kepada
teman-temannya. Disamping itu, mereka juga dapat mengukur fluency mereka
dibanding dengan teman-temannya.
C.2. Tahap Pelaksanaan (Action)
Peserta didik diminta memperaktikkan Role Play sesuai dengan tujuan dan aturan
permainan. Adapun tahap-tahapnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Peserta didik membuat persiapan-persiapan sebagai setting Role Play
sebagaimana yang telah dilakukan pada siklus sebelumnya.
3. Peneliti menjelaskan tujuan dan aturan permainan. Pada bagian ini peneliti
juga memberi motivasi kepada peserta didik agar lebih percaya diri.
4. Peneliti menuliskan di papan tulis ungkapan-ungkapan dan kosa kata yang
dipakai dalam Role Play, sekaligus dijelaskan oleh peneliti fungsinya.
5. Peneliti juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menirukan
cara melafalkan ungkapan-ungkapan dan kosa kata beberapa kali hingga
peserta didik merasa jelas. Selanjutnya setelah peserta didik merasa jelas.
6. Peneliti meminta peserta didik mempraktikan Role Play dengan kelompok
besar.

21
Peneliti selanjutnya masih tetap memantau jalannya Role Play sambil
memberikan bantuan kepada peserta didik.
C.3 Tahap Pengamatan (Observation)
Dari hasil pengamatan pada siklus III ini, maka diperoleh data 88 % dari
sejumlah 31 peserta didik telah memiliki kemampuan speaking yang baik.
Sementara sisanya 12 % masih menunjukkan kemampuan yang rendah, meskipun
sudah sedikit ada perkembangannya di bandingkan sebelum menggunakan Role
Play.
Dengan demikian, kesimpulan sementara peneliti bahwa penggunaan
Role Play dalam proses pembelajaran sangat bahasa Asing, khususnya bahasa
Inggris sangat membantu meningkatkan kemampuan speaking peserta didik.
C.4 Tahap Refleksi (Reflective)
Hasil refleksi yang diperoleh di lapangan selama pelaksanaan siklus
sedang III adalah sebagai berikut:
1. Selama pelaksanaan siklus III, keberanian dan rasa percaya diri peserta didik
benar benar tampak. Fluency mereka juga tampak lebih baik dibandingkan
siklus sebelumnya karena ungkapan-ungkapan yang dipakai sudah banyak
dikenal oleh peserta didik. Demikian pula pada accuracy peserta didik,
karena materi yang dipilih merupakan materi Role Play yang dimainkan
pada kelompok besar, sehingga peserta didik dapat melakukan praktik
bahasa (bertanya dan menjawab melalui Role Play).
2. Pada akhir pelaksanaan siklus III penggunaan bahasa daerah sudah tampak
berkurang. Misalnya jika mereka mengatakan sesuatu yang salah, mereka
mengucapkan "I'm sorry" atau minimal "Sorry", dan bukannya "Eh" dalam
bahasa daerah. Jika mereka meminta perhatian orang lain, mereka
mengatakan "Excuse me!", bukan "Lhe" dalam bahasa daerah. Dan begitu
seterusnya untuk ungkapan-ungkapan seperti, "Thank you", "That's OK".
Peserta didik begitu fasih menggunakannya karena mereka sudah terbiasa.
3. Aksen dan artikulasi speaking bahasa asing peserta didik sudah semakin
benar-benar kelihatan. Hanya beberapa peserta didik yang masih sering

22
kelupaan menggunakan aksen dan artikulasi bahasa ibu.
D. Analasis Siklus I, II, dan III
Dari data-data yang diperoleh melalui pelaksanaan siklus I, II, dan III dengan
menggunakan model pembelajaran Role Play terbukti dapat meningkatan kemampuan
speaking peserta didik.
Pada Siklus I dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa kegiatan
pembelajaran dengan menggunakan model Role Play belum menunjukkan hasil yang
maksimal. Terbukti prosentase peserta didik yang kemampuan speaking bahasa
Inggrisnya baik baru mencapai 65% dari jumlah total 31 peserta didik kelas VII/A
SMPN 3 Watulimo Trenggalek. Dengan demikian, peserta didik yang yang
kemampuan speaking bahasa Inggrisnya baru mencapai 20 peserta didik.
Sementara pada Siklus II didapatkan data bahwa dari 31 peserta didik yang
kemampuan speaking bahasa Inggrisnya menunjukkan peningkatan menjadi 24
peserta didik. Berarti prosentase kenaikan kemampuan speaking bahasa Inggrisnya
adalah 78%. Dari hasil siklus ini jelas bahwa kegiatan pembelajaran melalui Role Play
juga telah mengalami peningkatan, dari yang semula 65% menjadi 78%, namun belum
mencapai angka minimal dari sesuai standar ketuntasan pada KTSP, yaitu 85%.
Dan pada Siklus III didapatkan data bahwa dari 31 peserta didik yang memiliki
kemampuan speaking bahasa Inggris sudah mencapai 88%. Ini berarti ada 27 peserta
didik yang telah memiliki kemampuan speaking bahasa Inggris baik.
Dengan demikian,dapat di tarik kesimpulan bahwa penggunaan Role Play
dalam proses pembelajaran bahasa Inggris di kelas VII/A SMPN 3 Watulimo
Trenggalek dapat meningkatkan kemampuan speaking peserta didik.

23
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil Classroom Action Research yang telah dilaksanakan oleh peneliti
selama kurun waktu tiga bulan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut;
1. Dalam memberikan Role Play sebagai kegiatan pembelajaran bahasa Inggris, guru
sebaiknya memperhatikan level Peserta didik, utamanya pada pemilihan materi.
Role Play yang terlalu tinggi bagi Peserta didik dapat mempengaruhi psikologi
Peserta didik. Setting, tujuan dan aturan permainan dalam Role Play harus
disampaikan agar dapat menumbuhkan rangsangan tersendiri bagi Peserta didik.
Peserta didik akan lebih bergairah bermain Role Play karena mereka sadar dan
menganggap itu suatu kebutuhan. Jika perlu Peserta didik juga dapat diberdayakan
misalnya, dalam pembuatan setting Role Play. Karena Role Play yang baik adalah
Role Play yang mampu memberdayakan sekaligus membuat Peserta didik aktif.
Dengan cara demikian Peserta didik akan terlatih melakukan praktik-praktik
bahasa, saling berinteraksi menggunakan bahasa Inggris bersama teman-temannya
tanpa mereka sadari sebelumnya.
2. Role Play dalam pembelaran bahasa Inggris telah memberikan satu nuansa
sekaligus paradigma baru, sehingga pembelajaran lebih efektif dan menyenangkan.
Hal ini terbukti dengan adanya perubahan yang signifikan terhadap prosentase
kemampuan speaking peserta didik. yang cenderung selalu meningkat, mulai
siklus I sampai siklus III. Pada siklus I kemampuan speaking peserta didik baru
mencapai 65%, namun setelah sampai pada siklus III kemampuan speaking peserta
didik telah mencapai 86% dari total 31 peserta didik yang ada di kelas VII/A
SMPN 3 Watulimo Trenggalek.
B. Saran-saran
Guru sebaiknya dalam melakukan pengajaran bahasa Inggris di kelas tidak

24
harus selalu berorientasi pada perolehan hasil UN sebagai tujuannya. Ada yang lebih
menantang, bagaimana membekali peserta didik dengan berbagai Life Skill yang lebih
menjanjikan bagi kehidupannya kelak, yang sangat dibutuhkan pada era globalisasi.
Life Skill itu tidak lain adalah keterampilan berbicara dalam bahasa Inggris.
Dan untuk dapat memenuhi tujuan itu, guru sebaiknya lebih kreatif, inovatif, dan
menjadikan pembelajaran tampak lebih hidup, nyata serta lebih bermakna, dan salah
satunya melalui Role Play. Belajar adalah proses, dan proses butuh kesabaran dan
pengorbanan.

25

Anda mungkin juga menyukai