Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH KIMIA KIMIA KOORDINASI

LIGAN FIELD THEORY

OLEH :
NAMA : SYARIF
NIM : 1803112223
KELAS : KIMIA-C
DOSEN PENGAMPU :DR. EMRIZAL MAHIDIN
TAMBOESAI., M.Si., MH

JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS RIAU
PEKANBARU
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Teori medan kristal dan teori orbital molekul digabungkan menjadi teori
medan ligan oleh Griffith dan Orgel. Pada teori ikatan valensi, senyawa kompleks
dapat terjadi karena adanya orbital hibridisasi dari senyawa kompleks tersebut
yang melibatkan adanya interaksi ikatan kovalen antara ligan dan atom pusat
sehingga pada teori ini dapat menggambarkan bentuk geometri dari suatu senyawa
kompleks. Namun, pada senyawa kompleks yang memiliki sifat kemagnetan
orbital hibridisasi yang terbentuk terlalu dipaksakan dan bergantung pada fakta
sifat kemagnetan senyawa kompleks tersebut. Selain itu juga, teori ikatan valensi
tidak dapat menjelaskan warna dan kestabilan dari suatu senyawa kompleks.
Untuk melengkapi teori ikatan valensi, maka lahirlah teori medan kristal yang
dimana menjelaskan sejumlah besar fakta tentang senyawa kompleks, namun pada
teori tersebut memiliki kelemahan yang serius, yaitu anggapan interaksi antara ion
pusat dengan ligan-ligannya hanya merupakan interaksi elektrostatik yang mana
anggapan tersebut tidak tepat. Dari kelemahan teori medan Kristal (CFT),
terciptalah teori baru yaitu teori medan ligan (LFT). Teori medan ligan (LFT)
merupakan gabungan antara teori medan kristal dan teori orbital molekul.
BAB II

PEMBAHASAN

Konsep dari teori orbital molekul berguna dalam memahami reaktivitasnya


senyawa koordinasi Salah satu cara dasar penerapan konsep MOT untuk
koordinasi kimia ada di Ligand Field Theory. Teori medan ligan melihat efek
atom donor energi orbital d di kompleks logam. Pada saat ligand mengikat atom
pusat maka akan terjadi interaksi antara ligand dan atom pusat yang menyebabkan
meningkatnya energy orbital d pada atom pusat, hal tersebut yang akan
difokuskan dalam bab ini. Efek meningkatnya orbital d pada atom pusat
tergantung pada ligand yang membentuk geometri senyawa kompleks dengan
atom pusat, ligand yang dapat membentuk geometri senyawa kompleks
tetrahedral dengan atom pusat akan memiliki efek yang berbeda dengan ligand
yang dapat membentuk geometri senyawa kompleks octahedral dengan atom
pusat, karena keduanya akan berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan
orbital d.

Misalkan suatu senyawa kompleks dengan bentuk geometri octahedral,


diasumsikan semua enam ligannya terletak disepanjang sumbu x, y, dan z.

Ada 2 orbital d yang akan berinteraksi sangat kuat dengan ligan tersebut,
yaitu orbital dx2, dy2, dan dz2. Bersama-sama, orbital atom pusat dengan orbital
ligan keduanya berinteraksi dan akan membentuk ikatan baru dan orbital
antibonding. Berikut adalah kelima orbital d :
Logam biasanya memiliki elektron d yang jauh lebih tinggi energinya
daripada atom donor (seperti oksigen, sulfur, nitrogen atau fosfor). Oleh karena
itu kombinasi orbital antibonding akan lebih dekat ke orbital d atom pusat, karena
keduanya memiliki energy yang relative tinggi. Sedangkan kombinasi orbital
bonding akan lebih dekat dengan orbital ligan, karena keduanya memiliki energy
yang relative rendah.

Orbital dx2-y2 dan dz2 pada senyawa kompleks bentuk geometri


octahedral, keduanya akan dinaikkan energi yang relatif tinggi dengan ikatan
sigma yang berinteraksi dengan orbital donor. Jika orbital d dari atom pusat telah
terisi elektron, maka dimungkinkan skema diagram orbitalnya sebagai berikut :

 Diasumsikan enam ligan semuanya terletak di sepanjang sumbu x, y dan z


 Orbital dx222-y dan dz2 terletak disepanjang sumbu ikatan
 Kedua orbital ini akan dinaikkan energinya yang relatif tinggi 22 -y dan dz
 Orbital ini seperti tingkat antibonding
 Orbital ini terkadang disebut juga sebagai orbital “eg”
 Sedangkan tiga orbital d lainnya, dxy , dxz dan dyz , semuanya terletak di
antara ligan atau terletak di antara sumbu ikatan. Orbital ini akan berinteraksi
secara lemah dengan electron donor pada ligand
 Ketiga orbital tersebut lebih seperti orbital nonbonding, dan biasanya disebut
orbital "t2g".
Konfigurasi elektron suatu logam bisa "spin tinggi" atau "spin rendah",
tergantung pada seberapa besar pemisahan energi antara dua pasang orbital d.
Perbedaan antara kasus spin tinggi dan kasus spin rendah akan mempengaruhi
sifat kemagnetan suatu senyawa kompleks. Suatu senyawa kompleks yang
memiliki spin rendah maka senyawa tersebut diamagnetic karena tidak adanya
interaksi dengan magnet, sebaliknya suatu senyawa kompleks yang memiliki spin
tinggi maka senyawa tersebut para magnetic dan akan tertarik ke medan magnet.
karena elektron tidak berpasangan mempengaruhi sifat magnetik suatu material.
Ternyata K4[Fe(CN)6] bersifat diamagnetik. Jadi, cukup jelas bahwa Senyawa
kompleks tersebut memiliki spin rendah dan perbedaan energy (splitting energy)
antara dua tingkat orbital d relatif besar pada kasus ini. Selain mempengaruhi sifat
magnetik, apakah kompleks itu memiliki spin tinggi atau rendah juga
mempengaruhi reaktivitas. Senyawa dengan elektron berenergi tinggi adalah
umumnya lebih labil, artinya melepaskan ligan lebih mudah. Oleh karena itu :

 Konfigurasi elektron mempengaruhi sifat magnetik


 Konfigurasi elektron mempengaruhi labilitas (seberapa mudah ligan
dilepaskan)

Ada beberapa faktor yang menentukan besarnya splitting energy orbital d


dan apakah elektron dapat menempati orbital energi yang lebih tinggi daripada
berpasangan. Sebagian didasarkan pada kekuatan medan ligand dan juga
bergantung pada muatan pada ion logam, dan apakah logam berada di tempat
baris pertama, kedua atau ketiga dari logam transisi 6 pada tabel periodik.
Semakin tinggi muatan pada logam, semakin besar splitiing energi orbital dny.

Misalnya, Fe (II) biasanya memiliki spin tinggi dikarenakan splitting


energinya kecil antara tingkat orbital d, sehingga elektron dapat lebih mudah
menempati tingkat yang lebih tinggi daripada berpasangan dengan elektron
yangtingkat energinya lebih rendah. Di sisi lain, Fe (III) biasanya memiliki spin
rendah dikarenakan splitting energinya tinggi antara tingkat orbital d. Dalam hal
ini, energy yang dibutuhkan lebih sedikit untuk elektron berpasangan di tingkat
bawah daripada naik ke tingkat yang lebih tinggi. Sehingga dapat diasumsikan :
 Kasus spin tinggi dan spin rendah menyebabkan elektron valensi pada suatu
logam apakah berpasangan atau tidak
 Logam transisi baris ke-2 dan ke-3 biasanya berputar rendah
 Logam transisi baris pertama biasanya berputar tinggi
 Namun, logam transisi baris 1 akan berputar rendah jika sangat positif
(biasanya 3 atau lebih)

Mengapa logam transisi baris kedua dan ketiga membentuk ikatan yang
begitu kuat? Dan obligasi kekuatannya sangat rumit. Secara umum, ada ikatan
kovalen yang lebih besar antara logam transisi baris kedua dan ketida dengan
ligannya karena peningkatan tumpangtindih orbitalnya, selain itu semua proton
pada inti atom yang menarik electron ligan lebih kuat.

Adapun yang membuat logam transisi baris kedua dan ketiga lebih rendah
spin dan energy untuk memasangkan elektronnya, dikarena logam transisi baris
kedua dan ketiga memiliki orbital lebih besar sehingga ada lebih banyak ruang
untuk dua elektron dalam satu orbital, dengan sedikit tolakan. Akibatnya, elektron
jauh lebih mungkin berpasangan dibanding untuk menempati tingkat energi
berikutnya. Oleh karena itu dapat diasumsikan :

 Logam transisi baris ke-2 dan ke-3 memiliki ikatan yang lebih kuat, yang
menyebabkan splitting energinya lebih besar antara tingkat orbital d
 Logam transisi baris ke-2 dan ke-3 memiliki orbital yang lebih menyebar,
yang mengarah ke pasangan yang lebih rendah energi
BAB III

PENUTUP

Teori medan ligan melihat efek atom donor energi orbital d di kompleks
logam. Pada saat ligand mengikat atom pusat maka akan terjadi interaksi antara
ligand dan atom pusat yang menyebabkan meningkatnya energy orbital d pada
atom pusat, hal tersebut yang akan difokuskan dalam ini.

Konfigurasi elektron suatu logam bisa "spin tinggi" atau "spin rendah",
tergantung pada seberapa besar pemisahan energi antara dua pasang orbital d.
Perbedaan antara kasus spin tinggi dan kasus spin rendah akan mempengaruhi
sifat kemagnetan suatu senyawa kompleks. Suatu senyawa kompleks yang
memiliki spin rendah maka senyawa tersebut diamagnetic karena tidak adanya
interaksi dengan magnet, sebaliknya suatu senyawa kompleks yang memiliki spin
tinggi maka senyawa tersebut para magnetic dan akan tertarik ke medan magnet.
DAFTAR PUSTAKA

Miessler, G. L. 2008. Inorganic Chemistry fifth edition . Pearson Education, Inc.,


New Jersey.

Anda mungkin juga menyukai