Dosen Pengampu:
Dr. Muliadi S. Si., M. Si
Zulkifli I Tuara S. Pd., M. Si
Kelompok III
Arsyad (03291711050)
Teori medan Kristal (Crystal Field Theory) dikemukakan oleh Hans Bethe, seorang pakar
fisika, pada tahun 1929 dan J.H. Van Vlekck pada tahun 1923, menurut teori ini ikatan antara
logam/atom pusat dengan ligan dalam kompleks adalah murni elektrostatik. Logam transisi
sebagai atom pusat dianggap sebagai ion positif yang dikelilingi oleh ligan yang bermuatan
negatif atau molekul netral yang mempunyai pasangan elektron bebas. Medan listrik yang
ditimbulkan oleh ligan akan mempengaruhi elektron-elektron pada ion pusat dan medan
listrik yang ditimbulkan oleh ion pusat juga mempengaruhi electron pada ligan-ligan yang
mengelilinginya. Elektron-elektron pada ion pusat yang paling dipengaruhi oleh medan
listrik yang ditimbulkan oleh ligan adalah elektron pada orbital d, karena elektron d tersebut
yang sangat berperan dalam membentuk ion kompleks. Teori Medan Kristal (CFT) muncul
sebagai koreksi dan perbaikan dari teori ikatan valensi(VBT) karena kelemahan-kelemahan
yang dimiliki teori ini. Teori Medan Kristal (CFT) terutama membahas pengaruh ligan yang
tersusun berbeda-beda di sekitar ion pusat terhadap energi dari orbital d.
Menurut teori medan Kristal atau crystal field theory (CFT), ikatan antar atom pusat dan
ligand dalam kompleks berupa ikatan ion, hingga gaya - gaya yang ada hanya berupa gaya
elektrostatik dari percobaan - percobaan yang diperoleh bahwa ada ligan yang menghasilkan
medan listrik yang kuat dan yang disebut strong ligan field,ada ligan yang sebaliknya dan
disebut weak ligan field.
Menurut medan Kristal atau crystal field theory (CFT),ikatan antar atom pusat dan ligan
dalam kompleks berupa ikatan ion,hingga gaya yang ada hanya berupa gaya elektrostatik.Ion
kompleks tersusun dari ion pusat yang dikelilingi oleh ion - ion lawan atau molekul - molekul
yang mempunyai momen dipol parmanen.
Medan listrik dari ion pusat akan mempengaruhi ligand - ligand sekelilingnya.sedang
medan gabungan dan ligand – ligand akan mempengaruhi elektron - elektron dari ion pusat
pengaruh ligan ini terutama mengenai elektron d dari ion pusat dan ion kompleks dari logam -
logam transisi.pengaruh ligan tergantung dari jenisnya,terutama pada kekuatan medan listrik
dan kedudukan geometri ligand – ligand dalam kompleks.
Bentuk koordinasi ikatan π yang lain adalah ikatan ligan ke logam. Hal ini terjadi
apabila orbital simetri- π p atau orbital π pada ligan terisi. Ia bergabung dengan orbital dxy,
dxz dan dyz logam, dan mendonasikan elektron-elektronnya, sehingga menghasilkan ikatan
simetri-π antara ligan dengan logam. Ikatan logam-ligan menguat oleh interaksi ini, namun
orbital molekul anti-ikatan dari ikatan ligan ke logam tidak setinggi orbital molekul anti-
ikatan dari ikatan σ. Ia terisi dengan elektron yang berasal dari orbital d logam dan menjadi
Homo kompleks tersebut. Oleh karena itu, ΔO menurun ketika ikatan ligan ke logam terjadi
Orbital d ada 5 macam yaitu dxy, dxz, dyz, dx2-y2dan dz2.Orbital dx2-y2 terkonsentrasi
sepanjang sumbu x dan y, sedangkan orbital dz2terkonsentrasi sepanjang sumbu z. Ketiga
orbital d yang lain yaitu dxy, dxz, dyz terkonsentrasi di antara sumbu x, y dan z serta membentuk
sudut sebesar 45º.
Pada ion bebas tanpa pengaruh ligan (dxy, dxz, dyz, dx2-y2dan dz2) mempunyai energi yang
sama (terdegenerasi). Terdapatnya muatan negatif ligan yang di tempatkan di sekitar ion
logam, mengakibatkan orbital akan tetap terdegenerasi tetapi energinya kan meningkat. Hal
ini terjadi karen adanya gaya tolak menolak antar medan negatif dari ligan dengan elektron
pada ion logam. Medan listrik yang dihasilkan oleh ligan tergantung pada letak ligan
tersebut di sekeliling ion pusat. Jadi medan ligan dalam struktur oktahedral maupun tetra
hedral akan berbeda satu sama lain.
Di dalam ion bebas kelima orbital bersifat degen erate artinya mempunyai energy yang
sama dan elektron dalam orbital ini selalu memenuhi hukum multiplicity yang
maksimal.teori medan Kristal terutama membicarakan pengaruh ligan yang tersusun secara
berbeda – beda disekitar ion pusat terhadap energi dari orbital d .pembagian orbital d
menjadi dua golongan yaitu orbital eg atau dj dan orbital t2g atau de mempunyai arti penting
dalam hal pengaruh ligan terhadap orbital – orbital tersebut.
Dengan adanya ligand disekitar ion pusat orbital d tidak lagi degenerate, orbital d ini terbagi
menjadi beberapa orbital dengan energi berbeda. Dikatakan juga orbital d ini mengalami
splitting. Bila kelima orbital d sama dengan dan medan ligand mempengaruhi kelimanya
dengan cara yang sama maka kelima orbital d ini akan tetap degenerate pada energy level yang
lebih tinggi. Kenyataannya kelima orbital d tidak sama, yaitu ada orbital eg dan t2g. Disamping
itu medan ligand tergantung dari letaknya disekitar ion pusat, artinya apakah strukturnya
oktahedral, tetrahedral, atau planar segi empat.Uraian atau splitting dari orbital d oleh ligan,
tegantung dari strukturnya dan berbeda untuk struktur oktahedral dan tetrahedral.
Orbital d dapat dibedakan menjadi 2 : orbital yang terdapat pada sumbu atom, yaitu dx2-
y2 dan dz2 disebut orbital eg ; dan orbital yang berada di antara sumbu atom, yaitu dxy, dxz dan
dyz disebut orbital t2g.
Dalam struktur oktahedral, 6 ligan menempati titik-titik sudut bangun oktahedral yang
terdapat pada sumbu atom. Secara keseluruhan 5 orbital pada subkulit d mengalami tolakan
oleh ligan-ligan sehingga tingkat energinya naik.
Orbital eg karena jaraknya lebih dekat mengalami tolakan yang lebih kuat (oleh ligan)
dibanding orbital t2g, sehingga terjadi splitting yaitu pembelahan orbital d menjadi 2 bagian
yang berbeda tingkat energinya (eg memiliki tingkat energi yang lebih tinggi dibanding t2g).
Perbedaan tingkat energi antara eg dengan t2g disebut ∆o (10 Dq), yang besar kecilnya
dipengaruhi oleh kekuatan medan ligan. Jika medan ligan kuat maka ∆o besar, sedang jika
medan ligan lemah ∆o kecil.
Jika ∆o besar, maka orbital eg tidak terisi elektron sebelum orbital t2g terisi penuh,
keadaan ini disebut spin rendah. Jika ∆o kecil, maka tingkat energi eg dan t2g dianggap sama
elektron tidak berpasangan sebelum masing-masing orbital terisi satu elektron, keadaan ini
disebut spin tinggi. Contoh :
Perbedaan energi antara distribusi elektron yang sebenarnya dan bahwa untuk semua
elektron di medan seragam disebut energi stabilisasi medan kristal (CFSE).
1. Splitting Pada Kompleks Oktahedral
Medan listrik dari ion pusat akan mempengaruhi ligan- ligan sekelilingnya,sedang
medan gabungan dari ligan – ligan akan mempengaruhi ion pusat.pengaruh ligan ini
terutama mengenai elektron d dari ion pusat seperti kita ketahui ion kompleks dari
logam - logam transisi.pengaruh ligand tergantung dari jenisnya, terutama pada
kekuatan medan listrik dan kedudukan geometri ligand - ligand dalam kompleks.
Dengan adanya ligand disekitar ion pusat orbital d tidak lagi degenerate, orbital d
ini terbagi menjadi beberapa orbital dengan energy bebrbeda.dikatakan juga orbital d
ini mengalami splitting.
Sebagai akibat dari interaksi logam-ligan ini, kelima orbital d dalam kompleks
octahedral terbelah menjadi 2 set tingkat energi: tingkat yang lebih tinggi dengan 2
orbital (dx2-y2 dan dz2 ) yang energinya sama dan tingkat energi yang lebih rendah
dengan 3 orbital yang berenergi sama (dxy, dxz, dan dyz). Lima orbital d yang semula
degenerate akan mengalami pemisahan (spilitting) menjadi 2 kelompok orbital
dengan tingkat energi yang berbeda. Pembelahan medan kristal (splitting ) merupakan
selisih energi antara dua set orbital d dalam atom logam jika ada ligan.besarnya
bergantung pada logam dan jenis ligan. Apabila orbital-orbital d tersebut
dilambangkan dengan garis-garis mendatar maka pemisahannya dapat ditunjukkan
dengan gambar
Gambar. splitting d dalam medan kristal untuk oktahedral simetri.
-1
Spektrum tunggal yang menunjukan ikatan luas yang dipusatkan di 20.300 cm
yang sesuai langsung dengan ∆ o. Energi yang terkait dengan ikatan ini dihitung
sebagai berikut :
E = hv = hc ∆ = hcv = 6,63 X 10-27 erg sec X 3.00 X 1010 cm / sec X 20,300 cm-1
Kami tidak dapat mengubah energi per molekul ini menjadi kj mol -1 dengan
konversi berikut :
-12
= 4,04 X 10 erg / molecule X 6.02 X 1023 molecule / mole X 10 -7
J / erg X 10-3
kJ / J = 243 kJ / mol
Energi ini (243 kj mol-1) cukup besar untuk menimbulkan efek ketika sebuah ion
logam yang dikelilingi oleh enem ligan
Elektron d akan menempati orbital t2g.∆ o = perbedaan energi orbital t2g dan eg ion
ini akan menangkap sekuanta radiasi dan mengubah energi tersebut,energi eksitasi
elektron dari t2g ke eg,dari spektrum tampak,maka ion [Ti (H2O)6]3+ bertangungjawab
pada λ = 20300 cm-1 yang dihubungkan ke energi sekitar = 243 kJ / mol
menghasilkan warna unggu.
Pada gambar di atas nampak bahwa orbital dx 2-y2 dan dz2 tedapat pada sumbu-sumbu
x, y dan z sedangkan orbital dxy, dxz dan dyz terdapat antara sumbu-sumbu. Karena ligan-
ligan terdapat pada sumbu x, y dan z maka pengaruh ligan pada orbital eg lebih besar
daripada untuk orbital t2g. Setelah terjadi uraian atau spliting orbiltal eg mempunyai
energi lebih tinggi daripada orbital t 2g. Pada pengisian elektron, orbital t 2g akan mengisi
lebih dahulu daripada orbital eg. Perbedaan antara orbital eg dan obital t 2g biasanya
dinyatakan dengan Δo atau 10 Dq. Karena pada splitting tidak terjadi kehilangan energi,
maka energi orbital eg menjadi 0,6 Δo lebih tinggi sedangkan obital t2g menjadi 0,4 Δo
lebih rendah dari pada enegi kompleks hipotesis. Besarnya Δo untuk bermacam-macam
kompleks berkisar antara 30-60kcal/mol. Ao artinya Δ oktahedral, untuk membedakan
dengan Δt (tetrahedral) yang akan dibahas selanjutnya.
Elektron akan mengisi orbital d yang energinya rendah, jadi pada orbital t2g. Teori
elektrostatik sederhana tidak mengenal adanya orbital d yang mempunyai energi
berbeda di dalam kompleks. Karena itu, teori ini menyatakan bahwa elektron d
terhadap orbital d merupakan hipotesis yang degenerate. Kenyataannya elektron d tadi
menempati orbital t2g yang mempunyai energi 0,4 Δo lebih rendah dari orbital
hipotesis yang degenerate. Jadi, kompleks akan 0,4 Δo lebih stabil dari pada senyawa
elektrostatik yang sederhana. Dengan kata lain elektron d dan juga kompleks sebagai
keseluruhan, mempunyai energi lebih rendah sebagai hasil penempatan elektron pada
orbital t2g, suatu orbital yang relatif jauh dari ligand. Energi sebesar 0,4 Δo disebut
crystal field stabilization energi (CFSE) dari kompleks. Pengisian elekton pada orbital
d, dipengaruhi oleh kekuatan medan dari ligand. Untuk ligand yang kekuatan
medannya besar atau strong ligand field, splitting yang terjadi menghasilkan
perbedaan energi yang besar, akibatnya elektron akan mengisi penuh energi yang
rendah sebelum mengisi orbital yang energinya tinggi.
1. Muatan ion logam. Makin banyak muatan ion,makin besar pula harga 10 Dq
nya,karena makinbanyak muatan ion logam maka makin besar pula untuk
menarik ligan lebih dekat.Akibatnya pengaruh ligan makin kuat sehingga
pembelahan orbital makin besar.
2. Jenis Ion pusat Logam logam yang terletak pada satu periode, harga 10
dqnya tidak terlalu berbeda. Untuk satu golongan, Semakin kebawah,
harganya akan semakin besar.
3. Ligan Semakin kuat ligannya, maka 10 dq juga akan semakin besar. Jika 10
dq kecil, makaligannya adalah ligan lemah. Ligan yang kuat dapat
menggantikan ligan yang lebih lemah.Harga 10 dq dapat memberikan
beberapa informasi mengenai warna kompleks, serta sifat kemagnetan
kompleks. Untuk mengeksitasi elektron dari tingkat dasar ke tingkat yang
lebih atas, diperlukan energi. Energi yang diserap memilikipanjang
gelombang tertentu. Sedangkan, warna kompleks yang tampak adalah
warnakomplementer yang panjang gelombangnya diserap untuk eksitasi
electron.
4. Perhitungan CFSE Crystal field st Hans Bethe abilizationenergy (Bidang
kristal energi abilisasi Hans Bethe) berubah – ubah sesuai dengan struktur
dan jenis ion kompleks. Perbedaan energi orbital t2g dan eg Hans Bethe
untuk kompleks tetrahedral 4/9 kali untuk kompleks octahedral orbital t2g
mempunyai energi 0,27 ∆ lebih rendah dari pada kompleks hipotesis, bila ∆
adalah ∆ , untuk kompleks tetrahedral : CFSE = (0,27y – 0,18x) ∆. y
merupakan jumlah elektron di orbital e dan x merupakan jumlah elektron di
orbital t2g. Pada gambar splitting oktahedral terlihat bahwa orbital t2g
mempunyai energi 0,4 Io dan energi pada orbital eg adalah 0,6 Io sehingga
untuk menghitung CFSE = (0,4 x – 0,6 y) Io. Dimana x = jumlah elektron di
orbital t2g dan y = jumlah elektron di orbital eg. Contoh jumlah elektron d =
7, t2g = 5 dan eg = 2.
CFSE = (0,4 x – 0,6 y) Io
= (0,4 . 5 – 0,6 . 2 ) Io
= (2 – 1,2 ) Io
= 0,8 Io
Jadi dengan kata lain CFSE dapat dihitung dengan rumus umum, yaitu :
CFSE = energi pada t2g.x –(energi dari eg .y)
Berikut ini dicantumkan tabel nilai umum CFSE pada kompleks oktahedral,
tetrahedral dan planar segiempat
B. Orbital σ
Pertama perhatikan ikatan M-L dan interaksi orbital s, p, d atom pusat dan orbital ligan
dengan mengasumsikan logamnya di pusat koordinat dan ligan di sumbu-sumbu koordinat.
Karena ikatan σ tidak memiliki simpul sepanjang sumbu ikatannya, orbital s logam (a1g, tidak
terdegenerasi) orbital px, py, pz (t1u, terdegenerasi rangkap tiga) dan orbital dx2-y2, dz2 (eg,
terdegenerasi rangkap dua) akan cocok dengan simetri (tanda +,-) dan bentuk orbital σ ligan.
Urutan tingkat orbital molekul dari tingkat energi terendah adalah ikatan (a1g<t1u<eg) <
non-ikatan (t2g) < anti-ikatan (eg*<a1g*<t1u*). Misalnya, kompleks seperti [Co(NH3)6]3+, 18
elektron valensi, 6 dari kobal dan 12 dari amonia, menempati 9 orbital dari bawah ke atas,
dan t2g adalah HOMO dan eg* adalah LUMO. Perbedaan energi antara kedua tingkat
tersebut berkaitan dengan pembelahan medan ligan splitting. Jadi set eg (dx2-y2, dz2) dan ligan
di sudut oktahedral dari membentuk orbital σ tetapi set t2g (dxy, dyz, dxz) tetap non-ikatan sebab
orbitalnya tidak terarahkan ke orbital σ.
Aplikasi senyawa kompleks sangat beragam dan banyak sekali karena penelitian tentang
senyawa kompleks terus berkembang dan perkembangannya sangat pesat sekali sejalan
dengan perkembangan IPTEK.
Kobalt merupakan salah satu logam unsur transisi dengan konfigurasi elektron 3d7 yang
dapat membentuk kompleks. Kobalt yang relatif stabil berada sebagai Co(II) ataupun Co(III).
Namun dalam senyawa sederhana Co, Co(II) lebih stabil dari Co(III). Ion – ion Co 2+ dan ion
terhidrasi [Co(H2O)6]2+ stabil di air. Kompleks kobalt dimungkinkan dapat terbentuk dengan
berbagai macam ligan, diantaranya sulfadiazin dan sulfamerazin. Sulfadiazin dan
sulfamerazin merupakan ligan yang sering digunakan untuk obat antibakteri. Keduanya
merupakan turunan dari sulfonamid yang penggunaannya secara luas untuk pengobatan
infeksi yang disebabkan oleh bakteri Gram-positif dan Gram negatif tertentu, beberapa
jamur, dan protozoa.
Salah satu keistimewaan dari reaksi kompleks adalah reaksi pergantian ligan melalui efek
trans. Reaksi pergantian ligan ini terjadi dalam kompleks oktahedral dan segi empat. Ligan –
ligan yang menyebabkan gugus yang letaknya trans terhadapnya bersifat labil, dikatakan
mempunyai efek trans yang kuat.
Untuk mengetahui kemampuan senyawa kompleks dengan ligan- ligan feroin berinteraksi
dengan gas NO2, maka perlu dilakukan penelitian meliputi sintesis dan karakterisasi senyawa
kompleks Co(II) menggunakan ligan bipiridin dan sianida serta mempelajari interaksinya
dengan gas NO2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman reaksi
subtitusi kompleks melalui efek trans dan hasilnya digunakan sebagai acuan dalam
pemanfaatan senyawa kompleks sebagai absorben gas NOx, sehingga dapat mengurangi
dampak negatif pencemaran lingkungan seperti polusi udara.
Berbagai senyawa kompleks yang mempunyai struktur planar N4, telah terbukti
mempunyai kemampuan untuk mereduksi oksigen dengan 4-elektron transfer proses. Proses
logam yang berkarat karena oksidasi pada permukaan logam adalah proses yang sangat
familier. Proses respirasi biologis pada makhluk hidup dimana terjadi perubahan oksigen
menjadi air pada hemoglobin adalah proses yang penting. Proses reduksi oksigen yang
langsung menjadi air tanpa hasil samping adalah proses sempurna 4-elektron transfer (O2 +
H+ + 4e- → H2O) pada hemoglobin.
Disamping itu hasil pengujian menunjukkan pula bahwa larutan senyawa kompleks bebas
pirogen dan steril. Hasil uji pada binatang percobaan tikus putih menunjukkan kandungan
senyawa kompleks di dalam darah mencapai puncaknya pada 5 menit setelah penyuntikan.
Sedangkan ekskresi radiofarmaka kedua kompleks di dalam urin menunjukkan adanya
keradioaktifan sekitar 41% dan 38,5 % dalam bentuk perenat, 186ReO4 -, setelah 20 jam
penyuntikan. Hasil biodistribusi dan pencitraan (imaging) menggunakan kamera gamma
terhadap mencit dan tukus putih normal menunjukkan bahwa senyawa kompleks 186Re-
HEDP dan 186Re-EDTMP terakumulasi cukup nyata di tulang.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi IPTEK dalam bidang kedokteran nuklir
sangat didukung oleh perkembangan iptek di bidang radiofarmaka. Dengan perkembangan
iptek radio farmaka telah berhasil dilakukan diagnosa dini dan terapi terhadap penyakit
kangker menggunakan radio nuklida yang sesuai. Penyakit kangker telah menghantui
masyarakat dunia karena banyak menyebabkan kematian. Kedokteran nukilr telah
menerapkan deteksi ini, berbagai macam kanker dan cara terapi yang efektif dengan
memanfaatkan radiasi dari radio isotop yang diberikan kadalam tubuh atau sel kanker tang
bersangkutan.
Radio isatop yang dapat digunakan untuk terapi kanker diantaranya adalah Ytrium-90
(90Y) yang merupakan radio isotop pemancar sinar β dengan energi 2,28 Mev dan waktu
paro (T1/2) 64,1 jam. Itrium-90 yang digunakan untuk terapi dapat diperoleh dari hasil
peluruhan stronsium-90 (90Sr) dapat dipisahkan dari induknya 90Sr (campuran 90Sr - 90Y )
yang merupakan radio nuklir dan hasil belah 235U. Metode pemisahan yang telah
dikembangkan saat ini adalah metode ekstraksi pelarut dan kromatografi kolm dengan
menggunakan penukar ion.
Pemupukan dalam kegiatan budidaya tebu memegang peranan yang teramat penting,
selain dapat meningkatkan produksi biomassanya, pupuk juga dapat meningkatkan
keragaman dan kualitas hasil yang diperoleh. Masalah utama penggunaan pupuk N pada
lahan pertanian adalah efisiensinya yang rendah karena kelarutannya yang tinggi dan
kemungkinan kehilangannya melalui penguapan, pelindian dan immobilisasi. Untuk itu telah
dilakukan penelitian peningkatan efisiensi pemupukan N dengan rekayasa kelat urea-humat
pada jenis tanah yang mempunyai tekstur kasar (Entisol) dengan menggunakan tanaman tebu
varietas PS 851 sebagai tanaman indikator.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelapisan urea dengan asam humat yang berasal
dari Gambut Kalimantan sebesar 1% menghasilkan pupuk urea yang lebih tidak mudah larut
daripada yang dilapisi asam humat dari Rawa Pening. Dengan pelepasan N yang lebih lambat
diharapkan keberadaan N di dalam tanah lebih awet dan pemupukan menjadi lebih efisien.
Pupuk urea-humat telah diaplikasikan ke tanah Psamment (Entisol) yang kandungan pasirnya
tinggi (tekstur kasar) untuk mewakili jenis-jenis tanah yang biasa ditanami tebu dengan
tekstur yang paling kasar. Respons tanaman tebu varietas PS 851 menunjukkan kinerja
pertumbuhan yang lebih baik di tanah Vertisol.
Rekayasa kelat urea-humat secara fisik dan kimia terbukti meningkatkan efisiensi
pemupukan N pada tanaman tebu. Penelitian ini memperlihatkan bahwa memang efisiensi
pemupukan N pada tanah Entisol dan Vertisol rendah, bahkan di Entisol lebih rendah (hanya
sekitar 25 %). Aplikasi pupuk urea-humat pada tanah Vertisol dan Entisol terbukti
meningkatkan efisiensi pemupukan N hingga 50 %. Di tanah Entisol bahkan efisiensi
pemupukan yang lebih tinggi dicapai pada dosis pupuk yang lebih rendah.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Eddy Setyo Mudjajanto dari Institut Pertanian
Bogor (IPB), menemukan banyak penggunaan zat pewarna rhodamin B dan metanil yellow
pada produk makanan industri rumah tangga. Rhodamin B dan metanil yellow sering dipakai
untuk mewarnai kerupuk, makanan ringan, terasi, kembang gula, sirup, biskuit, sosis,
makaroni goreng, minuman ringan, cendol,manisan, gipang, dan ikan asap. Makanan yang
diberi zat pewarna ini biasanya berwarna lebih terang.
D. Spektra
Banyak kompleks logam transisi memiliki warna yang khas. Hal ini berarti ada absorpsi
di daerah sinar tampak dari elektron yang dieksitasi oleh cahaya tampak dari tingkat energi
orbital molekul kompleks yang diisi elektron ke tingkat energi yang kosong. Bila perbedaan
energi antar orbital yang dapat mengalami transisi disebut ∆Ε, frekuensi absorpsi ν diberikan
oleh persamaan ∆Ε = h ν. Transisi elektronik yang dihasilkan oleh pemompaan optis
(cahaya) diklasifikasikan secara kasar menjadi dua golongan. Bila kedua orbital molekul
yang memungkinkan transisi memiliki karakter utama d, transisinya disebut transisi d-d atau
transisi medan ligan, dan panjang gelombang absorpsinya bergantung sekali pada
pembelahan medan ligan. Bila satu dari dua orbital memiliki karakter utama logam dan
orbital yang lain memiliki karakter ligan, transisinya disebut transfer muatan. Transisi
transfer muatan diklasifikasikan atas transfer muatan logam ke ligan (metal (M) to ligand (L)
charge-transfers (MLCT)) dan transfer muatan ligan ke logam (LMCT).
Karena analisis spektra kompleks oktahedral cukup mudah, spektra kompleks ini telah
dipelajari dengan detail beberapa tahun. Bila kompleks memiliki satu elektron d, analisisnya
sangat sederhana. Misalnya, Ti dalam [Ti(OH2)6]3+ adalah ion d1, dan elektronnya menempati
orbital t2g yang dihasilkan oleh pembelahan medan ligan oktahedral. Kompleksnya bewarna
ungu akibat absorpsi pada 492 nm (20300 cm -1) (Gambar 6.13) berhubungan dengan
pemompaan optis elektron d ke orbital eg. Namun, dalam kompleks dengan lebih dari satu
elektron d, ada interaksi tolakan antar elektron, dan spektrum transisi d-d memiliki lebih dari
satu puncak. Misalnya kompleks d3 [Cr(NH3)6]3+ menunjukkan dua puncak absorpsi d-d pada
400 nm (25000 cm-1), menyarankan bahwa komplkesnya memiliki dua kelompok orbital
molekul yang memungkinkan transisi elektronik dengan probabilitas transisi uang besar. Hal
ini berarti, bila tiga elektron di orbital t2g dieksitasi ke orbital eg, ada perbedaan energi karena
interaksi tolakan antar elektron.
Besarnya parameter pembelahan medan ligan ∆0 ditentukan oleh identitas ligan. Suatu
aturan empiris yang disebut deret spektrokimia telah diusulkan oleh kimiawan Jepang Rutaro
Tsuchida. Aturan ini dibangun dari data empiris yang dikumpulkan bila diukur spektra
kompleks yang memiliki atom pusat, bilangan oksidasi dan bilangan koordinasi, dsb sama.
Penting dicatat bahwa ligan dengan sifat akseptor π memiliki posisi yang tinggi dalam deret
ini.
Walaupun ∆0 menjadi lebih besar dalam urutan ini, urutan ini bergantung pada identitas
atom pusat dan bilangan oksidasinya. Yakni, ∆o lebih besar untuk logam 4d dan 5d daripada
logam 3d dan menjadi lebih besar dengan meningkatnya bilangan oksidasi. Besarnya ∆ 0
berhubungan erat dengan posisi spektrum elektromagnetik, dan merupakan faktor kunci
dalam menentukan posisi ligan dalam deret spektrokimia. Ligan donor π (halogen, aqua, dsb.)
membuat panjang gelombang absorpsi lebih besar, dan ligan akseptor π (karbonil, olefin,
dsb.) memperpendek panjang gelombang absorpsi dengan kontribusi dari ikatan π.
Oxtoby, D. W., H. P. Gillis, Norman H. N., dan Suminar. 2001. Prinsip-prinsip Kimia Modern
Edisi Keempat Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Miessler, G. L. and Tarr, D. A. (2003), Inorganic Chemistry 3rd edition, New Jersey: Pearson
Prentice Hall