Anda di halaman 1dari 17

Kata pengantar

Assalamu alaikaum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah swt atas limpahan Rahmat, Taufiq dan Hidayah-Nya maka makalah
ini dapat tersusun sedemikian rupa.

Penyusunan makalah ini merupakan langkah awal kami dengan beranjak pada pepatah “tak ada
gading yang tak retak” sebab “ kalau tak retak bukanlah gading”. Apabila ada kesalahan maka
kesalahan itulah yang dapat menjadi lilin penerang menuju perbaikan demi tercapainya
kesempurnaan.

Apabila ada kritik dan saran yang ada relevansinya dengan kesempurnaan makalah ini maka akan
kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Wassalam

Tegal, 20 Februari 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Paru – paru merupakan salah satu organ vital bagi kehidupan manusia yang berfungsi pada
sistem pernapasan manusia. Bertugas sebagai tempat pertukaran oksigen yang dibutuhkan
manusia dan mengeluarkan karbondiksida yang merupakan hasil sisa proses pernapasan yang
harus dikeluarkan dari tubuh, sehingga kebutuhan tubuh akan oksigen terpenuhi. Udara
sangat penting bagi manusia, tidak menghirup oksigen selama beberapa menit dapat
menyebabkan kematian. Itulah peranan penting paru – paru. Cabang trakea yang berada
dalam paru – paru dinamakan bronkus, yang terdiri dari 2 yaitu bronkus kanan dan bronkus
kiri. Organ yang terletak di bawah tulang rusuk ini memang mempunyai tugas yang berat,
belum lagi semakin tercemarnya udara yang kita hirup serta berbagai bibit penyakit yang
berkeliaran di udara. Ini semua dapat menimbulkan berbagai penyakit paru – paru. Salah
satunya adalah penyakit yang terletak di bronkus yang dinamakan bronchitis. Bronkitis
(Bronkitis inflamasi-Inflamation bronchi) digambarkan sebagai inflamasi dari pembuluh
bronkus. Inflamasi menyebabkan bengkak pada permukaannya, mempersempit pembuluh dan
menimbulkan sekresi dari cairan inflamasi. Penyakit bronchitis terbagi menjadi 2 yaitu
bronchitis akut dan kronis.

  Bronkitis kronik ditandai dengan batuk dan produksi sputum yang berlebihan (ekspektorasi)
dengan disertai rasa kelelahan/lemah dan tidak nyaman akibat batuk kronik berdahak
tersebut. Penyakit ini menimbulkan dampak baik fisik maupun psikis yang tidak sederhana
kepada yang penderitanya dengan efek samping pada kualiti hidupnya. Penderita dengan
bronkitis kronis mengalami eksaserbasi yang cukup sering sepanjang tahunnya, terutama pada
saat musim penghujan atau musim dingin pada negara dengan 4 musim. Data setiap tahunnya
di Poliklinik PPOK RS Persahabatan, menunjukkan kunjungan meningkat 3-4 kali pada bulan
November sampai dengan Februari dibandingkan bulan-bulan lainnya. Kejadian eksaserbasi
merupakan episode perburukan gejala respirasi yang berulang mengakibatkan penurunan
fungsi paru, perburukan kualiti hidup dan peningkatan kebutuhan perawatan medis
(kunjungan ke dokter, penambahan medikasi, emergensi, rawat inap, dll). Dengan kata lain
eksaserbasi akut bronkitis kronis adalah penyebab utama rawat inap dan kematian pada
penderita bronkitis kronis. Lima puluh persen penderita bronkitis kronis mengalami episodik
eksaserbasi > 2 kali dalam setahunnya dengan seperlimanya membutuhkan rawat inap pada
eksaserbasi tersebut dan sebagiannya membutuhkan perawatan di ICU. Banyak pula penderita
bronkitis kronis dnegan rawat inap membutuhkan ulang (readmission) karena gejala yang
menetap dan berkepanjangan. Penyebab tersering dari eksaserbasi adalah infeksi virus
pernapasan dan infeksi bakteri, penyebab lainnya seperti polusi lingkungan, gagal jantung
kongestif, emboli paru, pemberian oksigen yang tidak tepat, obat-obatan seperti narkotik dan
lain-lain. Menurut SKRT Tahun 1992, bersamaan dengan empisema dan asma, bronkitis
kronik menduduki tempat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dengan proporsi
sebesar 5,6% dari semua kematian.
1.2 Rumusan Masalah
  Rumusan masalah pada makalah ini yaitu
1.2.1 apa yang dimaksud dengan bronkitis kronik?
1.2.2 Bagaimana Etiologi dan pathogenesis dari bronkitis kronik?
1.2.3 Bagaimana tata laksana terapi penyakit bronkitis kronik?
1.2.4 Bagaimana tata laksana terapi pada contoh kasus Bronkitis Kronik?

1.3 Tujuan
  Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu
1.3.1 Untuk mengetahui defenisi dari bronkitis kronik.
1.3.2 Untuk mengetahui Etiologi dan patogenesis bronkitis kronik.
1.3.3 Untuk mengetahui tata laksana terapi penyakit bronkitis kronik.
1.3.4 Untuk mengetahui tata laksana terapi pada contoh kasus Bronkitis Kronik.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Defenisi Bronkitis kronik

Bronkhitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial. Peradangan tidak meluas
sampai alveoli. Bronkhitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut dan kronik. Bronkhitis akut
mungkin terjadi pada semua usia, namun bronkhitis kronik umumnya hanya dijumpai pada
dewasa. Pada bayi penyakit ini dikenal dengan nama bronkhiolitis. Bronkhitis akut umumnya
terjadi pada musim dingin, hujan, kehadiran polutan yang mengiritasi seperti polusi udara, dan
rokok.

Bronkitis kronik adalah kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.

  Bronkitis kronis adalah suatu kondisi peningkatan pembengkakan dan lendir (dahak atau
sputum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran udara). Obstruksi jalan napas terjadi pada
bronkitis kronis karena pembengkakan dan lendir ekstra menyebabkan bagian dalam tabung
pernapasan lebih kecil dari normal. Diagnosis bronkitis kronis dibuat berdasarkan gejala batuk
yang menghasilkan lendir atau dahak di hampir setiap hari, selama tiga bulan, selama dua tahun
atau lebih (setelah penyebab lain untuk batuk telah dikeluarkan).

  Bronkitis kronik merupakan penyakit saluran napas yang sering didapat di masyarakat. Penyakit
ini menjadi masalah kesehatan oleh karena sifatnya yang kronis dan persisten dan progresif.
Infeksi saluran nafas merupakan masalah klinis yang sering dijumpai pada penderita bronkitis
kronik yang dapat memperberat penyakitnya. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk dan
produksi sputum yang berlebihan (ekspektorasi) dengan disertai rasa kelelahan/lemah dan tidak
nyaman akibat batuk kronik berdahak tersebut. Eksaserbasi infeksi akut akanbronkitis kronik
yang dapat memperberat penyakitnya. Eksaserbasi infeksi akut akan mempercepat kerusakan
yang telah terjadi, disamping itu kuman yang menyebabkan eksaserbasi juga berpengaruh
terhadap mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Semakin sering terjadi eksaserbai, maka
mortalitas juga akan dan morbiditas penyakit ini. Semakin sering terjadi eksaserbasi, maka
mortalitas juga akan semakin meningkat.
2.2.1 Epidemologi dan Etiologi

Bronkitis kronis adalah penyakit non spesifik yang terutama mempengaruhi orang dewasa.
Antara 10% dan 25% dari populasi orang dewasa 40 tahun atau lebih tua menderita bronkitis
kronis, yang mengakibatkan substansial perawatan kesehatan dengan biaya yang tinggi dan
kehilangan berat badan. Penyakit ini begitu umum bahwa bronkitis akut dan bronchitis kronik
eksaserbasi akut terdapat sekitar 14 juta kunjungan dokter per tahun di Amerika Serikat. Mirip
dengan bronkitis akut kondisi dingin, iklim lembab dan adanya konsentrasi udara yang tinggi
dengan zat asing dapat mendukung penyakit Bronkitis kronis. Ini terjadi lebih umum pada pria
dibandingkan pada wanita.

  Bronkitis kronis adalah hasil dari beberapa faktor; itu yang paling menonjol diantaranya
merokok; ekspos terhadap debu kerja, asap, dan pencemaran lingkungan; dan infeksi bakteri (dan
mungkin virus). Pengaruh masing-masing faktor dan lain-lain, baik sendiri atau dalam kombinasi,
memberikan kontribusi untuk bronkitis kronis tidak diketahui. Asap rokok adalah agen iritasi
terkenal dan diyakini menjadi faktor dominan dalam etiologi bronchitis kronik. Studi dari paru-
paru pada individu merokok dan tidak merokok individu jelas telah menunjukkan peningkatan
yang substansial dalam jumlah makrofag alveolar, serta adanya peradangan bronkial, pada
individu yang merokok. Meskipun mayoritas pasien yang menderita bronkitis kronis memiliki
merokok positif, tidak ada riwayat merokok dapat diidentifikasi dalam sebanyak 10% dari pasien.
Temuan ini menunjukkan bahwa ada iritasi saluran napas tambahan, baik sendiri atau lebih
mungkin dalam kombinasi, bertanggung jawab untuk pathogenesis bronkitis kronis.

2.2.1.1 Tanda, Diagnosis & Penyebab

Tanda Bronkhitis memiliki manifestasi klinik sebagai berikut :


· Batuk yang menetap yang bertambah parah pada malam hari serta biasanya disertai sputum.
Rhinorrhea sering pula menyertai batuk dan ini biasanya disebabkan oleh rhinovirus.
· Sesak napas bila harus melakukan gerakan eksersi (naik tangga, mengangkat beban berat).
· Lemah, lelah, lesu.
· Nyeri telan (faringitis).
· Laringitis, biasanya bila penyebab adalah chlamydia.
· Nyeri kepala.
· Demam pada suhu tubuh yang rendah yang dapat disebabkan oleh virus influenza, adenovirus
ataupun infeksi bakteri.
· Adanya ronchii.
· Skin rash dijumpai pada sekitar 25% kasus
  Diagnosis bronkhitis dilakukan dengan cara: Tes C- reactive protein (CRP) dengan sensitifitas
sebesar 80-100%, namun hanya menunjukkan 60-70% spesifisitas dalam mengidentifikasi infeksi
bakteri. Metodediagnosis lainnya adalah pemeriksaan sel darah putih, dimana dijumpai
peningkatan pada sekitar 25% kasus. Pulse oksimetri, gas darah arteri dan tes fungsi paru
digunakan untuk mengevaluasi saturasi oksigen di udara kamar. Pewarnaan Gram pada sputum
tidak efektif dalam menentukan etiologi maupun respon terhadap terapi antibiotika.

Penyebab bronkhitis kronik berkaitan dengan penyakit paru obstruktif, merokok, paparan
terhadap debu, polusi udara, infeksi bakteri.

2.2.1.2 Faktor Risiko

Penularan bronkhitis melalui droplet. Faktor risiko terjadinya bronkhitis adalah sebagai berikut:
· Merokok.
· Infeksi sinus dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan atas dan menimbulkan batuk
kronik.
· Bronkhiektasi.
· Anomali saluran pernapasan.
· Foreign bodies.
· Aspirasi berulang

2.2.2 Patogenesis

Temuan patologis utama pada bronkitis kronik adalah hipertrofi kelenjar mukosa bronkus dan
peningkatan jumlah dan ukuran sel-sel goblet, dengan infiltraasi sel-sel radang dan edema
mukosa bronkus. Pembentukan mukus yang meningkat mengakibatkan gejala khas yaitu batuk
kronis. Batuk kronik yang disertai peningkatan sekresi bronkus tampaknya mempengaruhi
bronkiolus kecil sehingga bronkiolus tersebut rusak dan dindingnya melebar. Faktor etiologi
utama adalah merokok dan polusi udara yang lazim di daerah industri. Polusi udara yan terus
menerus juga merupakan predisposisi infeksi rekuren karena polusi memperlambat aktivitas silia
dan fagositsis, sehingga timbunan mukus menigkat sedangkan mekanisme pertahanannya sendiri
melemah. Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis1.

Berbagai faktor risiko untuk terjadinya bronkitis kronis (merokok, polusi udara, infeksi berulang,
dll) menimbulkan kondisi inflamasi pada bronkus. Perubahan patologi yang terjadi pada trakea,
bronki dan bronkiolus terus sampai ke saluran napas kecil (diameter 2-4 mm) berupa infiltrasi
permukaan epitel jalan napas, kelenjar duktus, kelenjar-kelenjar dengan eksudat inflamasi (sel
dan cairan) yang didominasi oleh sel T limfosit (CD8+), makrofag dan neutrofil. Proses inflamasi
kronik itu berhubungan dengan metaplasia sel goblet dan sel squamosa dari epitelium,
peningkatan ukuran epitelepitel kelenjar, peningkatan banyak otot polos dan jaringan penunjang
pada dinding jalan napas, serta degenerasi tulang rawan jalan napas. Semua perubahan patologi
itu bertanggung jawab terhadap gejala pada bronkitis kronis yaitu batuk kronik dan produksi
sputum berlebihan seperti yang dijelaskan sebagai definisi bronkitis kronis dengan kemungkinan
berkombinasi dengan masalah jalan napas perifer dan emfisema.

2.2.2.1 Komplikasi

Komplikasi jarang terjadi kecuali pada anak yang tidak sehat. Komplikasi meliputi antara lain
PPOK, bronkhiektasis, dilatasi yang bersifat irreversible dan destruksi dinding bronkhial.

2.2.2.2 Klasifikasi Bronkitis Kronik 

Berdasarkan klinis dibedakan menjadi 3 :


- Bronkitis kronis ringan (simple chronic bronchitis), ditandai dengan batuk berdahak dan
keluhan lain yang ringan.
- Bronkitis kronis mukopurulen (chronic mucupurulent bronchitis), ditandai dengan batuk
berdahak kental, purulen (berwarna kekuningan).
- Bronkitis kronis dengan penyempitan saluran napas (chronic bronchitis with obstruction),
ditandai dengan batuk berdahak yang disertai dengan sesak napas berat dan suara mengi.

2.2.2.3 Kontribusi Infeksi Terhadap Perjalanan klinis Bronkitis Kronik:


Ø Eksaserbasi infeksi akut mempercepat kerusakan yang telah terjadi.
Ø Kuman yang menyebabkan eksaserbasi berpengaruh pada morbiditas dan mortalitas.
Ø Terjadi kolonisasi.
Ø Infeksi saluran napas berulang pada anak merupakan faktor predisposisi terhadap terjadinya
bronkitis kronik.

   Bronkitis kronik eksaserbasi akut ditandai dengan bertambahnya batuk dengan produksi sputum
yang purulent/mukopurulent atau sputum berwarna kuning/hijau dan adanya peningkatan
dyspnoe dan/atau bertambahnya volume sputum. Semakin sering terjadi fase eksaserbasi akan
menyebabkan semakin cepatnya perburukan faal paru. Kebanyakan eksaserbasi akut dipercaya
oleh karena infeksi, tetapi paparan allergen, polutant dan merokoksigaret dapat berperan dalam
perburukan bronkitis kronik. Organisme patogen tersering adalah H.Influeza, pneumococcus dan
M.Catarrhalis, organisme partogen seperti klebsiella, mycoplasma, legionella dan gram negatif
lainnya jarang.

BKEA diklasifikasikan dalam 3 tingkatan keparahan:


ü Eksaserbasi type I :peningkatan sesak, peningkatan volume sputum dan purulensi sputum
ü Eksaserbasi type II :adanya dua dari tiga gejala diatas
ü Eksaserbasi type III :adanya satu dari tiga gejala ditambah salah satu dari (demam 37,5,
38,50C; sakit tenggorokan dan hidung berlendir dalam 5 hari, bertambahnya wheezing atau
batuk).

Menurut literature lain Bronkitis kronik eksaserbasi akut ditandai dengan 3 kriteria klinis
mayor yaitu 
- peningkatan purulensi sputum (batuk dengan produksi sputum yang purulent/mukopurulent atau
sputum berwarna kuning/hijau)
- peningkatan dyspnoe
- peningkatan volume sputum

Semakin sering terjadi fase eksaserbasi akan menyebabkan semakin cepatnya perburukan faal
paru.
Terdapat tambahan kriteria minor dari gejala BKEA, diantaranya :
- infeksi saluran pernafasan atas selama 5 hari
- peningkatan wheezing
- peningkatan batuk
- demam tanpa sumber yang jelas
- peningkatan 20% dari respiratory rate atau heart rate.

a. Dimana Derajat BKEA dapat dilihat pada table berikut :


· Derajat 1 (Mild) : bila terdapat 1 dari kriteria mayor dan 1 kriteria minor
· Derajat 2 ( Moderate ) : bila terdapat dua dari 3 kriteria mayor
· Derajat 3 ( Severe ) : bila terdapat 3 kriteria mayor

2.3.1 Outcome
Tanpa adanya komplikasi yang berupa superinfeksi bakteri, bronkhitis akut akan sembuh dengan
sendirinya, sehingga tujuan penatalaksanaan hanya memberikan kenyamanan pasien, terapi
dehidrasi dan gangguan paru yang ditimbulkannya. Namun pada bronkhitis kronik ada dua tujuan
terapi yaitu: pertama, mengurangi keganasan gejala kronik kemudian yang kedua menghilangkan
eksaserbasi akut dan untuk mencapai interval bebas infeksi yang panjang.

2.3.2.1 Terapi Non Farmakologi


Terapi Non Farmakologi yang dapat dilakukan yaitu sebagai berikut :
· Melakukan senam fisik atau senam asma
· Banyak minum air putih
· Makan teratur
· Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh
· Hiruplah uap air panas sekali sehari
2.3.2.2 Terapi Farmakologi

a. Bronkodilator
  Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan dengan
klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas
lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).

Macam - macam bronkodilator :


- Golongan antikolinergik: digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir ( maksimal 4 kali perhari)
- Golongan agonis beta – 2: bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya
digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk
mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta – 2: kombinasi kedua golongan obat ini akan
memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
- Golongan xantin: dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak
(pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan
jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.

b. Antiinflamasi
  Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intravena, berfungsi
menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk
inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.

c. Antibiotika
  Untuk batuk yang menetap > 10 hari diduga adanya keterlibatan Mycobacterium pneumoniae
sehingga penggunaan antibiotika disarankan. Untuk anak dengan batuk > 4 minggu harus
menjalani pemeriksaan lebih lanjut terhadap kemungkinan TBC, pertusis atau sinusitis.

d. Antioksidan
  Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N - asetilsistein.
e. Mukolitik
  Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan
eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi
eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

  Untuk pasien yang secara konsisten menunjukkan keterbatasan klinis di aliran udara, tantangan
terapi bronkodilator (seperti albuterol aerosol) harus dipertimbangkan. Tes fungsi paru dapat
dilakukan sebelum dan setelah pemberian aerosol β2-agonis untuk menentukan lebih objektif
kecenderungan pasien untuk mendapatkan keuntungan dari tambahan Terapi aerosol. Namun,
penilaian laboratorium ini, sering dilakukan pada saat-saat kesehatan yang lebih baik, tidak
mungkin secara akurat memprediksi pasien potensi manfaat dari aerosol β2 selama bronkitis
kronis eksaserbasi akut.

  Albuterol adalah paling sering digunakan, 1-2 puff dari inhaler meteran-dosis tiga sampai empat
kali setiap hari. Peran surfaktan aerosol juga telah dinilai pada pasien bronkitis kronis adalah
stabil dan menunjukkan hasil yang menggembirakan sehubungan dengan peningkatan fungsi paru
dan transportasi dahak oleh silia (yaitu, clearance). Peran surfaktan sebagai kendaraan pembawa
untuk obat aerosol lainnya juga muncul menjanjikan dan kemungkinan besar akan terus
dievaluasi.

  Penggunaan antimikroba untuk bronkitis kronis adalah kontroversial. Banyak evaluasi


komparatif, termasuk terkontrol placebo. Studi administrasi antibiotik dengan pengobatan akut
dan kronis dari bronchitics kronis, telah menyarankan manfaat klinis yang pasti, sedangkan
penelitian lain yang sejenis tidak memiliki. Antibiotik yang paling sering dipilih memiliki
variabel dalam kegiatan vitro terhadap sputum umum isolat H. influenzae, S. pneumoniae, M.
catarrhalis, dan M. pneumoniae.

  Secara umum, hasil ini yang bertentangan muncul independen yang antibiotik digunakan atau
rejimen dibandingkan. Disparitas yang lebar yang ada dalam hasil dari studi ini, dikombinasikan
dengan kesulitan dalam pengakuan dan kurangnya kriteria diagnostik standar untuk bronkitis
kronis eksaserbasi akut, berfungsi sebagai dasar untuk besar kontroversi seputar keadaan
penggunaan antibiotik. Ini Lebih rumit pemilihan antibiotik adalah meningkatkan resistensi dari
bakteri patogen umum untuk agen lini pertama. Sebagai Sebanyak 30% sampai 40% dari H.
influenzae dan 95% dari M. catarrhalis menghasilkan beta-laktamase. Selain itu, hingga 30% dari
S. pneumoniae isolate menunjukkan resistensi terhadap penisilin (konsentrasi hambat minimum
[MIC] = 0,1-2 mg / L), dengan sekitar 14% dari isolat yang sangat tahan (MIC> 2 mg / L) .
Selain itu, resistensi Pneumonia meningkat karena kejadian dari macrolide resistensi adalah
sekitar 20%. Meskipun ini perubahan kerentanan bakteri, dianjurkan untuk memulai terapi
dengan agen lini pertama pada pasien yang kurang terpengaruh. Skema ini diuraikan dalam Tabel
2. dapat digunakan sebagai panduan awal dalam pemilihan antibiotic berdasarkan beratnya
penyakit (kelas I sampai IV). Pedoman ini cukup konsisten, yang baru-baru ini diterbitkan oleh
Canadian Thoracic dan Penyakit Infeksi Societies.

  Terlepas dari antibiotik yang dipilih, perhatian terhadap ukuran hasil yang telah ditentukan
harus dipantau ketat di setiap pasien untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan terapi
Antibiotik oral intervensi. Dengan spektrum antibakteri yang lebih luas (misalnya, cefixime,
amoksisilin-klavulanat, fluoroquinolones, atau azalides) yang memiliki lebih kuat dalam kegiatan
vitro terhadap isolat sputum umumnya tidak diperlukan sebagai terapi awal karena respon klinis
sering muncul independen dari patogen di kerentanan vitro untuk banyak pasien.

  Sebuah hasil klinis pemilihan obat mengarahkan variabel penting dan kriteria untuk mulai
antibiotik pada pasien individu adalah periode bebas infeksi ketika bronchitics kronis berhenti
antibiotik. Sebenarnya panjang periode waktu bebas infeksi, serta perubahan dalam jumlah
kunjungan praktek dokter dan rumah sakit dengan penerimaan rejimen antibiotik tertentu, sangat
penting untuk mengidentifikasi, bila memungkinkan, untuk setiap pasien. Regimen antibiotik
yang dihasilkan pada periode bebas infeksi terpanjang mendefinisikan "rejimen pilihan" untuk
pasien khusus untuk eksaserbasi akut masa depan penyakit mereka.

  Antibiotik harus dipilih yang efektif terhadap bertanggung jawab patogen, yang menunjukkan
risiko paling interaksi obat, dan yang dapat diberikan dengan cara yang mempromosikan
kepatuhan. Antibiotik yang biasa digunakan dalam pengobatan pasien dan mereka dewasa
masing mulai dosis diuraikan dalam Tabel 3. Dosis antibiotik harus disesuaikan sesuai kebutuhan
untuk efek klinis yang diinginkan dan kejadian terendah efek samping yang dapat diterima.
Sebuah sering digunakan strategi klinis untuk meningkatkan durasi periode bebas gejala
menggabungkan regimen antibiotik dosis tinggi menggunakan batas atas dosis harian yang
direkomendasikan antibiotik untuk jangka waktu 10 sampai 14 hari.

  Secara tradisional, ampisilin telah dianggap sebagai obat pilihan untuk pengobatan eksaserbasi
akut bronkitis kronis. Sayangnya, kebutuhan untuk dosis harian beberapa ulangi (empat kali
sehari), peningkatan kejadian efek samping gastrointestinal, dan meningkatnya
  Insiden penisilin-tahan β-laktamase-memproduksi strain bakteri (lihat Tabel 2 dan 3) telah
membatasi kegunaan biaya-efektif antibiotik aman dan sangat ini. Seperti yang dinyatakan
sebelumnya, sistem klasifikasi yang diusulkan diuraikan dalam Tabel 2 menawarkan Pilihan
pertama pengobatan lini kedua untuk bronkitis kronis eksaserbasi akut yang diarahkan oleh status
klinis awal pasien. Rekomendasi perawatan ini dapat digunakan untuk memulai terapi di pasien
dengan kelas I sampai IV penyakit.
  Nilai erythromycins ketika Mycoplasma terlibat adalah dipertanyakan, sedangkan nilai, jika ada,
dari eritromisin baru Analog azitromisin atau klaritromisin sebagai agen lini pertama dalam
pengobatan pasien ini tidak diketahui. Azitromisin harus dipertimbangkan macrolide/azalide
sebagai pilihan ketika mempertimbangkan obat dalam spektrum antibakteri aktivitas vitro,
karakteristik jaringan distribusi, dan kurangnya berbasis interaksi metabolism obat-obat ini.
Sebaliknya, fluoroquinolones telah muncul sebagai alternatif agen yang efektif, terutama ketika
patogen gram negatif yang terlibat atau pasien lebih klinis atau sakit berat (lihat Tabel 2).
Meningkatkan resistensi patogen dipilih untuk ciprofloxacin mungkin memerlukan penggunaan
analog yang lebih baru dengan yang lebih besar dalam aktivitas antibakteri vitro, termasuk
penisilin-toleran atau tahan S. pneumoniae (misalnya, gatifloksasin). Biaya peningkatan
fluoroquinolones mungkin sebanding oleh kemungkinan keunggulan fluoroquinolones di awal
jelas mereka tingkat keberhasilan dan periode lebih lama.

  Waktu bebas infeksi Pada pasien yang sejarah menunjukkan eksaserbasi berulang penyakit yang
mungkin timbul dari peristiwa tertentu (misalnya, itu adalah musiman atau terkait dengan musim
dingin), percobaan antibiotik profilaksis mungkin akan bermanfaat. Jika tidak ada perbaikan
klinis tepat dicatat melalui jangka waktu (2-3 bulan per tahun selama 2 sampai 3 tahun), lebih
lanjut upaya terapi profilaksis dapat dihentikan. Demikian pula, uji antibiotik-pasien tertentu
dapat dilakukan pada individu mengalami eksaserbasi akut, berfokus pada mendefinisikan
periode bebes infeksi. Meskipun kurang diinginkan, metode penilaian klinis mungkin
membedakan pasien yang akan mendapatkan keuntungan dari profilaksis terapi antibiotik dari
mereka tidak.

  Sementara Terapi yang dianjurkan untuk Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut (BKEA) adalah
dengan antibiotika oral, tetapi harus mencapai konsentrasi yang tinggi di jaringan, ditolerensi
dengan baik, berspektrum luas dan mempunyai onset kerja yang cepat. Kondisi diatas ini
dipenuhi oleh ciprofloxacin, inhibitor fluroquinolonegyrase yang spetrum anti bakterinya
mencakup gram negatif dan gram positif. Salah satu standard di dalam pengobatan terhadap
BKEA adalah amoxycilin, sering dikombinasi dengan asam klavulanat. Dalam membandingkan
antara terapi standard menggunakan amoxycilin dengan ciprofloxacin. Ciprofloxacin sangat baik
untuk mengatasi penderita BKEA walaupun hanya diberikan per oral denga dosis 2 x 500 mg per
hari selam 7 hari. Efektifitas pengobatan ciprofloxacul sedikit lebih baik dibanding amoxycilin
yang diberikan dengan dosis 3 x 500 mg. Selain itu Keuntungan dari ciprofloxacin dalam
resistensi tidak mudah terjadi.
2.3.3 Terapi Pendukung
· Stop rokok, karena rokok dapat menggagalkan mekanisme pertahanan tubuh.
· Bronkhodilasi menggunakan salbutamol, albuterol.
· Analgesik atau antipiretik menggunakan parasetamol, NSAID.
· Antitusiv, codein atau dextrometorfan untuk menekan batuk.
· Vaporizer

2.3.4 KIE

KIE (Konseling, Informasi, Edukasi) yang dilakukan pada pasien yaitu


· Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit bronkhitis kronik yang diderita
· Memberitahukan kepada pasien mengenai obat-obat yang diberikan
· Memberitahukan kepada pasien mengenai terapi non farmakologi yang harus dijalankan oleh
pasien untuk menunjang terapi farmakologi
· Menerangkan tentang bahaya dan keburukan merokok sehingga pasien mau berhenti merokok
· Memberikan edukasi tentang self medication terhadap pasien jikalau sesaknya kambuh
· Memberikan nasihat pada pasien agar segera melaporkan ke dokter atau apoteker jika ada
keluhan dalam menggunakan obat sehingga tidak memperparah sakit yang dideritanya.
· Menekankan pada pasien untuk kembali datang dan memeriksakan diri jika setelah diberi obat
justru muncul gejala lain yang diakibatkan oleh obat agar segera ditangani dengan tepat.

2.3.5 Monitoring
Monitoring yang dilakukan yaitu mencakup :
3 Monitoring fungsi paru secara periodik
4 Monitoring dispnea dan frekuensi eksaserbasi
5 Memantau bising mengi, Volume dan purulen sputum, reaksi obat bantu nafas
6 Memantau efek samping obat yang mungkin terjadi
7 Memantau kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi

2.4 Contoh Kasus Bronkitis Kronik


Kasus :

Ny HA. Umur 26 Th, BB 50 kg, TB 165 cm datang ke Puskesmas dengan keluhan batuk. Di
mengaku alergi dingin dan debu serta sering sekali menderita flu. Ny. HA 5 tahun terakhir
didiagnosa Asma oleh dokter dan mendapat pengobatan Salbutamol. Selama 3 bulan terakhir dia
mengalami batuk berdahak dan sering sekali flu. Saat ini Ny. HA kehilangan selera makan dan
tidak enak badan, dada sesak dan bunyi mengi.
Hasil pemeriksaan fisik: TD: 135/90 mmHg, Suhu 380 C, Nadi 130 x/menit.
Hasil uji fungsi paru: FEV: 60%
Karakteristik Sputum: Purulen dan ada peningkatan volume.
Tentukan permasalahan pasien dan bagaimana tatalaksana terapinya.

Jawab:
· Data pasien
Nama : Ny. HA
Umur : 26 th
BB : 50 kg
TB : 165 cm
· Riwayat penyakit : asma 5 th terakhir
· Riwayat pengobatan : salbutamol
· Pengobatan saat ini : - (tidak ada)
· Hasil leb : pemeriksaan fisik:
TD : 135/90 mmHg
Denyut nadi : 130/menit
Suhu badan : 38oC
Hasil uji Fungsi Paru : FEV : 60 %
· Permasalahan pasien : batuk berdahak selama 3 bulan terakhir dan sering sekali flu, setiap batuk
dada terasa sesak dan bunyi mengi.
· Gejala dan tanda:

  Gejala meliputi :
- Sering flu
- Hilangnya selera makan
- Dada sesak
- Bunyi mengi
- Tidak enak badan
Tanda :
- FEV1 60 %
- Peningkatan volume sputum
- Batuk dengan Mengeluarkan dahak purulen
· Dapat di simpulkan pasien ini menderita penyakit Bronkitis Kronik Tipe II (FEV1 60 %,
peningkatan volume sputum dan karakterisik sputum purulen) dan Eksaserbasi Type 1
(Peningkatan sesak, peningkatan volume sputum dan purulensi sputum).
· Tata laksana terapi:
Non farmakologi:
1. Melakukan senam fisik atau senam asma
2. Banyak minum air putih
3. Makan teratur
4. Diet kaya dengan buah dan sayuran dan rendah lemak jenuh

Drug of choice (Farmakologi):


Ambroksol 30 mg 3 x 1 sehari (Mukolitik)
Ciprofloxasin (Antibiotik) 2 x 500 mg selama 14 hari, 3 strip @ Rp 5.000,- Harga Rp 15.000,-
Salbutamol (Bronkodilator) inhalasi (100 mcg) 3-4 kali sehari 2 semprot

· KIE:
1. Hindari asap rokok
2. Hindari debu
3. Hindari makan makanan berlemak
4. Hindari mengkonsumsi alkohol
5. Memakai pakaian yang longgar
6. Kurangi mengkonsumsi natrium (garam)
7. Memakai masker saat bepergian
8. Memakai jaket pada saat malam hari
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

  Berdasarkan pembahasan Bronkitis Kronik diatas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu
sebagai berikut :

a. Bronkitis kronik merupakan penyakit saluran napas yang sering didapat di masyarakat.
Penyakit ini menjadi masalah kesehatan oleh karena sifatnya yang kronis dan persisten dan
progresif. Infeksi saluran nafas merupakan masalah klinis yang sering dijumpai pada penderita
bronkitis kronik yang dapat memperberat penyakitnya.

b. Epidemologi, Etiologi dan Patogenesis Penyakit Bronkitis Kronik yaitu :


-Bronkitis kronis adalah penyakit non spesifik yang terutama mempengaruhi orang dewasa.
Antara 10% dan 25% dari populasi orang dewasa 40 tahun atau lebih tua menderita bronkitis
kronis, yang mengakibatkan substansial perawatan kesehatan dengan biaya yang tinggi dan
kehilangan berat badan.
-Bronkitis kronis adalah hasil dari beberapa faktor; itu yang paling menonjol di antaranya
merokok; ekspos terhadap debu kerja, asap, dan pencemaran lingkungan; dan infeksi bakteri (dan
mungkin virus).
-Patogenesis Pada bronkitis kronis, dinding bronkus menebal, dan jumlah lendir disekresi sel
goblet pada permukaan epitel lebih besar pada bronkus kecil dan bronkus besar nyata meningkat.

c. Terapi yang dilakukan pada penyakit bronkitis kronik terbagi menjadi terapi farmakologi dan
terapi non farmakologi. Terapi farmakologi yang dilakukan yaitu berdasarkan dengan tipe
bronkitis kronik yang di alami oleh pasien.

d. Contoh Kasus pada penyakit bronkitis kronik ini merupakan Bronkitis Kronik Tipe II (FEV1
60 %, peningkatan volume sputum dan karakterisik sputum purulen) dan Eksaserbasi Type 1
(Peningkatan sesak, peningkatan volume sputum dan purulensi sputum) dengan Drug of Choice
yang di berikan Codiopront cum expectorant 1-0-1 sehari, Ciprofloxasin 2 x 500 mg selama 14
hari, dan Salbutamol inhalasi (100 mcg) 3-4 kali sehari 2 semprot

3.2 Saran
Saran yang dapat kami sampaikan dalam makalah ini yaitu Apabila dalam penulisan makalah ini
masih benyak terdapat banyak kekurangan, mohon kritik dan saranya yang bersifat membangun.
DAFTAR PUSTAKA

Davey, Patrick, 2006. At a Glance Medicine, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal; 89

Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan, 2005, Pharmaceutical Care Untuk
Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan, Departemen Kesehatan RI.

Joseph T. DiPiro, 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition, Medical


Publishing Division, USA.

Mansjoer, Arif, dkk., ed. 2005. Kapita Selekta Kedokteran jilid 1 edisi ke-3 . Jakarta: Media
Aesculapius. Hal ; 224

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI)., 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK):
Pedoman diagnostic dan Penatalaksanaan di Indonesia.

Soegito, 2004, Pengobatan Bronkitis Kronik Eksaserbasi Akut Dengan Ciprofloxacin


Dibandingkan Dengan Co Amoxyclav, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.

West, John B., 2003. Pulmonary Pathophysiology, The Essential Sixth Edition. USA: Lippincott
Williams & Wilkins, a Wolters Kluwers Company. Hal : 156-59

Anda mungkin juga menyukai