Anda di halaman 1dari 33

Referat

Masalah Psikiatrik pada Penyakit Autoimun

Oleh :
Selvia Rahayu, S.Ked 04054822022090
Nanda Maharani Saqadifa, S.Ked 04054822022154

Pembimbing :
dr. M. Zainie Hassan A. R. Sp.KJ (K-CLP)

BAGIAN DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN JIWA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RS ERNALDI BAHAR PALEMBANG
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Masalah Psikiatrik pada Penyakit Autoimun

Oleh:
Selvia Rahayu, S.Ked 04054822022090
Nanda Maharani Saqadifa, S.Ked 04054822022154

Telah diterima sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa Periode 12 November sampai dengan 27
November 2020 RS. Ernaldi Bahar Palembang, Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya.

Palembang, November 2020

dr. M. Zainie Hassan A. R. Sp.KJ (K-CLP)

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkah dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang
berjudul “Masalah Psikiatrik pada Penyakit Autoimun” ini dapat diselesaikan
tepat waktu. Referat ini ditujukan untuk memenuhi tugas ilmiah yang merupakan
bagian dari sistem pembelajaran kepaniteraan klinik, khususnya di Departemen
Ilmu Kesehatan Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RS Ernaldi
Bahar Palembang.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada dr.
M. Zainie Hassan A. R. Sp.KJ (K-CLP) selaku pembimbing yang telah
membantu memberikan bimbingan dan masukan sehingga referat ini dapat selesai.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karenaitu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan referat ini,
semoga bermanfaat.

Palembang, November 2020

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN..............................................................................ii
KATA PENGANTAR..........................................................................................iii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................3
2.1.Penyakit Autoimun.........................................................................3
2.2.Hubungan Penyakit Autoimun dengan Psikososial....................4
2.3.Gangguan Psikiatrik yang terjadi karena penyakit autoimun. 11
2.4.Tatalaksa........................................................................................14
Kerangka Konsep................................................................................................25
BAB III KESIMPULAN....................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................27

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Gejala psikiatrik kerap dijumpai pada kasus-kasus penyakit autoimun.


Gejala psikiatrik yang dijumpai pada penyakit-penyakit autoimun pun bervariasi.
Seringkali pasien akan mengeluhkan adanya gangguan mood, gangguan cemas,
gangguan kognitif, delirium, gangguan tidur, bahkan hingga psikosis.1
Hubungan antara proses imunologis dan gangguan mental memang telah
lama menjadi sorotan para dokter berabad-abad silam, jauh sebelum sistem imun
ditemukan dan dipahami. Observasi awal mengenai hubungan keduanya
dilakukan oleh Hipocrates pada 400 BC, yang menemukan bahwa kejadian
psikosis dapat dijumpai baik pada awal demam akut, ataupun saat demam
menurun.2 Lalu pada tahun 1895, sebuah bukti lanjutan yang mendukung dugaan
adanya hubungan antara proses imunologis dan gangguan mental ditemukan.
Seorang ahli penyakit dalam, William Osler, mencatat bahwa kasus-kasus LES
seringkali disertai dengan kejadian gangguan jiwa seperti psikosis. Ia menjadi
orang pertama yang membuktikan adanya keterlibatan otak dalam penyakit
autoimun, sehingga menimbulkan gejala-gejala psikiatrik. Setelahnya banyak
ilmuwan yang melanjutkan pengamatan tersebut hingga akhirnya keterkaitan
antara penyakit autoimun dan gejala-gejala psikiatrik menjadi jelas dan berbasis
bukti.3
Berdasarkan etiologinya, gejala-gejala psikiatrik pada penyakit autoimun
dapat terjadi akibat beberapa macam faktor penyebab. Yang pertama, gejala-
gejala psikiatrik ini dapat timbul sebagai akibat dampak langsung atau dampak
tidak langsung dari adanya gangguan di sistem syaraf pusat (SSP) pada
penyakitpenyakit autoimun. Penyebab berikutnya adalah obat-obatan yang
digunakan dalam tatalaksana pasien autoimun, dimana beberapa obat dapat
memicu timbulnya gejala-gejala psikiatrik.1 Selain kedua hal di atas, keluhan atau
gejala psikiatris pada pasien dapat merupakan dampak psikologis langsung akibat
menderita penyakit autoimun tersebut

1
Penyakit-penyakit autoimun yang diketahui sering disertai gejala-gejala
psikiatrik adalah Multiple Sclerosis (MS), Lupus Eritematosus Sistemik (LES),
Sindroma Sjogren, Artritis Temporal, Tiroiditis Hashimoto, dan Miastenia Gravis.
Penyakit-penyakit seperti yang disebutkan di atas memberikan gejala-gejala
psikiatrik yang bervariasi pula. Misalnya saja pada pasien MS yang kebanyakan
menderita depresi dan penurunan fungsi kognitif. Pasien LES kerap mengalami
psikosis dan kejang, termasuk di dalamnya adalah gejala halusinasi dan paranoid.
Sementara pasien Sindroma Sjögren kebanyakan akan mengalami gangguan
kognitif.1

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Penyakit Autoimun


Autoimunitas, yang telah dikenal sejak tahun-tahun awal abad ke-20,
adalah kegagalan suatu organisme untuk mengenali bagian-bagian penyusunnya
sebagai diri, yang menghasilkan serangkaian respons imunologis terhadap sel dan
jaringannya sendiri, yang diduga merupakan hasil dari suatu hilangnya toleransi
imunologis ke sel imun autoreaktif.2
Mekanisme autoimunitas sangat kompleks; melibatkan sejumlah imunosit
dan mediator permukaan sel dan serum yang diekspresikan. Cedera akut dan
potensi kerusakan yang diakibatkan oleh proses ini pada organ atau sistem tertentu
menghasilkan berbagai penyakit terkait autoimun yang lebih dari 150 terdaftar
oleh American Autoimmune Related Diseases Association, mempengaruhi sekitar
3% dari populasi. Secara umum, faktor-faktor predisposisi untuk pengembangan
autoimunitas termasuk pengaruh genetik, infeksi, neoplastik dan lingkungan.2,4

2.1.2 Faktor Risiko


Beberapa teori menunjukkan bahwa autoimun terjadi akibat sistem
kekebalan yang terlalu aktif menyerang tubuh. Faktor risiko yang dapat
meningkatkan kejadian autoimun yaitu:5
- Genetik
Gangguan tertentu seperti lupus dan  multiple sclerosis  (MS) cenderung
diturunkan dalam keluarga.
- Berat Badan
Kelebihan berat badan atau obesitas meningkatkan risiko terkena
rheumatoid arthritis atau psoriatic arthritis ini bisa jadi karena lebih
banyak berat badan membuat tekanan lebih besar pada persendian atau
karena jaringan lemak membuat zat yang mendorong peradangan. 
- Merokok

3
Penelitain telah mengaitkan merokok dengan sejumlah penyakit autoimun
termasuk diantaranya LES, rheumatoid arthritis, hipertiroidisme, dan MS
- Obat-obatan tertentu
Obat tekanan darah atau antibiotik tertentu dapat memicu lupus yang
diinduksi. Obat khusus yang digunakan untuk menurunkan kolesterol,
(statin) dapat memicu miopati yang diinduksi statin. Miopati adalah
penyakit autoimun langka yang menyebabkan kelemahan otot. 

2.1.3 Manifestasi Klinis


Terlepas dari jenis penyakit autoimun yang bervariasi, banyak gejala yang
serupa. Gejala umum penyakit autoimun meliputi:5
- Kelelahan
- Bengkak dan nyeri sendi
- Terdapat masalah kulit
- Masalah pencernaan (sakit perut)
- Demam berulang
- Kelenjar yang membengkak

2.2 Hubungan Penyakit Autoimun dengan Psikososial


Psikososial adalah suatu kondisi yang terjadi pada individu yang
mencakup aspek psikis dan sosial atau sebaliknya. Psikososial menunjuk pada
hubungan yang dinamis antara faktor psikis dan sosial, yang saling berinteraksi
dan memengaruhi satu sama lain. Psikososial sendiri berasal dari kata psiko dan
sosial. Kata psiko mengacu pada aspek psikologis dari individu (pikiran, perasaan
dan perilaku) sedangkan sosial mengacu pada hubungan eksternal individu dengan
orang-orang di sekitarnya. Istilah psikososial berarti menyinggung relasi sosial
yang mencakup faktor-faktor psikologis. Masalah-masalah psikososial yaitu
berduka, keputusasaan, ansietas, ketidak berdayaan, risiko penyimpangan perilaku
sehat, gangguan citra tubuh, koping tidak efektif, koping keluarga tidak efektif,
sindroma post trauma, penampilan peran tidak efektif. 9

4
Sebagian besar studi epidemiologi telah menemukan hubungan umum
antara autoimunitas dan gangguan psikotik.10,11 Pada penelitian di Denmark risiko
psikosis meningkat 45% setelah diagnosis penyakit autoimun. 12 Penelitian lain
menemukan bahwa penyakit autoimun nonneurologis meningkatkan risiko 43%
yang dapat berkembang menjadi gangguan psikotik.13 Individu dengan gangguan
psikotik memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami penyakit autoimun
sekitar 50%.14 Penyakit autoimun dan psikosis tidak hanya terkait pada tingkat
individu. Memiliki kerabat tingkat pertama dengan skizofrenia dapat
meningkatkan risiko penyakit autoimun sebesar 6%,14 dan riwayat keluarga
autoimun dapat meningkatkan risiko skizofrenia dan psikosis non-afektif sebesar
10%.15

Multiple Sclerosis
Multiple sclerosis (MS) adalah penyakit autoimun yang berhubungan
dengan banyak gejala neuropsikiatri, seperti depresi dan kecemasan. 16 Telah
ditemukan bahwa sebanyak 4% pasien dengan MS mengalami psikosis17,
prevalensi yang jauh lebih tinggi daripada populasi umum. Penelitian di Denmark
menemukan bahwa penderita MS meningkatkan risiko skizofrenia hingga
44%.12,15 Dua studi didapatkan peningkatan risiko skizofrenia hingga 30% pada
individu dengan riwayat keluarga MS; Namun, peneliti tidak menemukan
hubungan pada tingkat individu15, dan sebuah penelitian dari Taiwan menemukan
kecenderungan peningkatan risiko skizofrenia pada mereka dengan diagnosis
MS.10 Gejala multiple sclerosis mungkin disalah artikan sebagai bagian dari
gangguan psikotik pasien, sehingga mempersulit diagnostik, dan gejala psikotik
pada pasien dengan multiple sclerosis mungkin tidak terdiagnosis karena
dianggap delirium yang berhubungan dengan eksaserbasi multiple sclerosis akut.2
Penelitian lain melaporkan bahwa dimensi anger expression-in
(kecenderungan untuk menangani kemarahan dengan menjaganya tetap di dalam)
secara independen memprediksi kualitas hidup yang lebih buruk pada pasien
multiple sclerosis. Anger expression-in adalah prediktor yang lebih berpengaruh
terhadap kualitas hidup pada penderita multiple sklerosis wanita. 19 Pada pasien

5
multiple sclerosis didapatkan proses bicara yang lambat, tidak bisa aktivitas
multitasking, memori yang menurun, sindroma afasia (jarang), gangguan tidur dan
mood.20

Lupus
Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun lain yang
diketahui memiliki masalah neuropsikiatri tingkat tinggi, seperti depresi dan
kecemasan, terjadi di antara 21% dan 95% pasien. Namun, diperkirakan hanya 13-
38%, yang secara langsung disebabkan oleh SLE, sedangkan sisanya diperkirakan
karena komplikasi pengobatan. 21
Mengenai psikosis pada SLE, prevalensinya
berkisar antara 2,3 sampai 11%.22 Sebuah studi dari Inggris yang terdiri dari 458
pasien dengan SLE, menemukan hanya 2,3% yang mengalami psikosis, sementara
prevalensi psikosis yang lebih tinggi telah ditemukan pada populasi penelitian
Karibia kulit hitam (366 pasien, 7% dengan psikosis) 22 dan di populasi Brasil (520
pasien, 11% dengan psikosis).23 Pada pasien yang mengalami psikosis, ini adalah
salah satu gejala awal SLE, hal ini dapat ditemukan pada 60% pasien. 24 Pada
penelitian lain menemukan bahwa adanya peningkatan risiko skizofrenia di antara
pasien SLE.10
Tak satu pun dari studi epidemiologi lain yang menemukan hubungan
yang signifikan antara gangguan psikotik dan SLE. dikarenakan jumlah kasus
yang tersedia sangat kecil pada semua studi tersebut, sehingga membatasi
signifikansi temuan. Dapat disimpulkan, penelitian skala besar dengan jumlah
kasus yang lebih banyak telah dapat menemukan hubungan antara SLE dan
gangguan psikotik, sementara penelitian yang lebih kecil ditemukan tidak adanya
hubungan.12,13,15
Menurunnya rasa percaya diri pada penderita lupus dikarenakan
ketidakpuasan pada penampilan fisik mengakibatkan perubahan citra tubuh
menjadi negatif. Para penderita lupus sulit untuk menerima kondisi sakit tersebut,
namun penderita lupus menyadari bahwa mereka harus berjuang untuk sembuh.
Para penderita lupus merasa bahwa dokter, keluarga dan kerabat belum dapat
memahami kondisi sakit yang dialami sehingga menimbulkan kelelahan. Harga

6
diri yang rendah, depresi bahkan membayangkan kematian terjadi pada penderita
lupus. Penderita lupus yang merasa kesepian, tak berdaya karena penyakitnya, dan
mengalami stres yang berkepanjangan, bahkan depresi, mereka akan sulit untuk
mengelola emosinya. Penderita lupus yang sulit mengelola emosi, maka kesehatan
fisiknya pun sulit untuk pulih kembali. Kondisi sakit lupus membuat pasien
khawatir tidak dapat memiliki keturunan dan juga menjalankan perannya sebagai
istri maupun ibu. Di sisi lain, penderita lupus juga khawatir jika suami/calon
suami tidak dapat menerima sakit lupus yang dideritanya.25

Autoimmune Thyroid
Graves’ disease, penyebab paling umum dari hipertiroidisme, juga
diketahui berhubungan dengan masalah neuropsikiatri, dan beberapa pasien
didapatkan gangguan psikotik.27 Dalam studi epidemiologi, penyakit Graves dan
tirotoksikosis berhubungan dengan peningkatan risiko skizofrenia.12,13,15 Prevalensi
telah ditemukan meningkat di antara individu dengan skizofrenia11,15, meskipun
temuan ini belum didapatkan hasil yang sama pada beberapa penelitian 12 namun
sebagian besar penelitian menunjukkan hubungan positif penyakit Graves
tirotoksikosis dengan gangguan psikotik.19
Tidak ada penelitian yang dapat menunjukkan hubungan yang signifikan
antara tiroiditis autoimun dan skizofrenia pada tingkat individu 15,28, tetapi satu
penelitian di Denmark menemukan peningkatan insiden di antara orang tua dan
saudara kandung pasien skizofrenia.28
Kecemasan yang dialami oleh subjek hipertiroid, dapat dijelaskan melalui
mekanisme adanya proliferasi reseptor adrenergik yang membuat seltarget sensitif
terhadap katekolamin,sehingga meningkatkan komponen-komponen yang
menciptakan kecemasan. Selain itu, peningkatan hormontiroid akan meningkatkan
aktivitas CNS, merangsang syaraf simpatis dan meningkatkan epinefrin dan
kortisol yang memacu kecemasan. Pada pasien hipertiroid dapat mudah marah,
disebabkan karena aktivitas kelenjar tiroid yang berlebihan akan memacu
proliferasi reseptor adrenergik, dan meningkatkan efek katekolamin sehingga
subjek tidak rileks dan lebih sensitif. Sementara itu, gangguan tidur yang dialami

7
subjek hipertiroid, terjadi melalui mekanisme peningkatan metabolisme tubuh,
penggunaan oksigen dengan cepat, curah jantung meningkat, perasaan berdebar-
debar, dan tidak rileks, sehingga tidur tidak nyenyak. Mekanisme lain karena
peningkatan produksi panas dan keringat yang menyebabkan gelisah dan sering
terbangun ketika tidur.29

Diabetes Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit yang ditandai dengan adanya
antibodi glutamic acid decarboxylase (GAD). Autoantibodi ini telah dikaitkan
dengan masalah neurologis.30 Namun, hasil yang bertentangan telah ditemukan
mengenai hubungan antara diabetes tipe 1 dan gangguan psikotik. Dua penelitian
di Denmark menemukan peningkatan risiko skizofrenia saat menderita diabetes
tipe I,12,15 dan satu penelitian menemukan peningkatan risiko diabetes tipe 1
setelah didiagnosis dengan skizofrenia.14 Didapatkan hasil penelitian kohort yang
berbeda di Swedia31, Taiwan11 maupun dalam metaanalisis baru-baru ini13, dan
sebuah penelitian Finlandia bahkan menemukan hubungan negative.24 Singkatnya,
tampaknya tidak ada hubungan yang jelas antara Diabetes tipe 1 dan psikosis.19
Prevalensi gangguan perilaku pasien DM tipe-1 dijumpai kemungkinan
gangguan psikososial 45,8%,paling banyak adalah gangguan internalisasi
(33,3%). Kemungkinan gangguan mental emosional 41,7%.Lama sakit lebih dari
5 tahun dan pernah mengalami komplikasi memiliki risiko lebih besar
mengalamigangguan mental emosional.33
Masalah timbul ketika remaja harus dihadapkan dengan berbagai kesulitan
dari aspek medis, bersamaan dengan proses membentuk identitas, membangun
kepercayaan diri, menjalin hubungan dengan teman dan lawan jenis. Memiliki
penyakit kronik dapat merupakan faktor stres yang dapat meningkatkan risiko 2-6
kali lipat lebih besar terjadinya masalah psikososial dibandingkan anak sehat.
Masalah terbanyak yang dihadapi pasien DM tipe 1 adalah pada aspek emosional
dan perilaku dengsn presentase sebesar 15%.26 Berbagai alasan dapat dipikirkan
menjadi penyebab.35

8
Tata kelola DM tipe-1 memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan,
terutama perubahan besar gaya hidup. Dimulai dari pengaturan makan, pemberian
terapi, dan evaluasi berkala, yang harus diterapkan sepanjang waktu, baik di
dalam maupun di luar rumah, pada lingkungan keluarga maupun pada saat
bersosialisasi dengan teman. Terdapat beberapa penelitian yang menghubungkan
aspek psikologis pasien DM tipe-1 dengan fungsi neurokognitif. Anak dengan
DM tipe-1 memiliki kelemahan kognitif ringan dan memengaruhi keseluruhan
fungsi intelektual. Dininya awitan penyakit merupakan prediktor terkuat yang
memengaruhi performa neuropsikologis, dalam hal ini atensi dan fungsi eksekutif.
Dikatakan bahwa tingginya kadar gula darah pada penderita DM tipe-1 dapat
mengganggu mielinisasi dan regulasi neurotransmitter pada saat periode
perkembangan otak sehingga mengurangi kemampuan anak untuk mengatasi
berbagai masalah, termasuk masalah psikososial.34

Rheumathoid Arthritis
Penyakit yang secara konsisten berhubungan negatif dengan skizofrenia
adalah rheumatoid arthritis (RA). Efek "protektif" yang jelas dari skizofrenia pada
rheumatoid arthritis ini telah diteliti sejak tahun 1950-an. Hubungan negatif antara
keduanya telah didukung oleh studi epidemiologi, bahwa terdapat penurunan
risiko skizofrenia pada pasien dengan RA13 dan sebaliknya.11,14 Namun, beberapa
penelitian tidak menemukan hubungan15,35, dan mengenai hubungan pada risiko
psikosis setelah diagnosis RA, terdapat lebih banyak kontroversi dan studi baru di
Taiwan menemukan peningkatan risiko skizofrenia pada individu dengan riwayat
RA.
RA cenderung kurang terdiagnosis pada mereka yang menderita gangguan
psikotik, dan sejalan dengan ini, penelitian di Swedia dan Denmark menunjukkan
hubungan negatif dapat ditemukan dengan penyakit muskuloskeletal lainnya. 33,34
Hasil penelitian Triana (2015) membuktikan 17 dari 32 responden mengalami
cemas karena penyakit rheumatoid arthritis. Kecemasan dapat mempengaruhi
penyakit individu. Kecemasan merupakan gejala awal yang dapat mengganggu
pengobatan individu sehingga menggangu proses perawatan. Kecemasan

9
merupakan kondisi psikologis yang ditandai dengan ketegangan, kegelisahan,
kekhawatiran sebagai reaksi terhadap adanya sesuatu yang mengancam individu. 30
Sedangkan penelitian dari Mudjaddid (2017) yaitu sebanyak 35,9% penderita
mengalami gangguan depresi karena penyakit RA.39
Rheumatoid Arthritis(RA) merupakan penyakit kronik sistemik yang
biasanya sering disertai depresi dengan prevalensi 20-30. Menyatakan bahwa
adanya hubungan yang signifikan antara derajat aktivitas penyakit RA dengan
depresi. Depresi pada penderita RA juga merupakan faktor resiko terjadinya
penyakit kardiovaskuler dan infark miokard, serta penderita dapat cenderung ingin
bunuh diri.40

Ensefalitis autoimun
Ensefalitis autoimun memiliki peran dalam menimbulkan penyakit mental.
Sebagai kelompok, penyakit ini ditandai dengan adanya neuronal surface
antibodies (NSAb) dan gejala berupa perubahan kejiwaan dan kognitif, kejang
dan gangguan gerakan, dengan bagian otak yang paling sering terkena adalah
sistem limbik. Antibodi yang paling banyak dibahas dalam gangguan psikotik
adalah N-methyl-Daspartate receptor (NMDA-R). Telah dilaporkan bahwa
sebanyak 74% pasien yang menderita ensefalitis NMDA-R mengalami gejala
psikotik41,42 dan penelitian yang lebih kecil baru-baru ini menemukan bahwa 13%
awalnya dirawat di rumah sakit dengan diagnosis psikiatrik. 43 Beberapa penelitian
telah menyelidiki frekuensi antibodi NMDA-R pada skizofrenia, tetapi sejauh ini
sebagian besar hanya memiliki akses ke serum bukan CSF, sebagian besar tidak
memiliki kelompok kontrol yang sehat, dan hasilnya sangat bervariasi (56).19
2.3. Gangguan Psikiatrik
2.3.1. Gangguan Psikiatrik Yang Terjadi Karena Penyakit Autoimun
Sistem saraf pusat dapat dipengaruhi oleh proses autoimun, misalnya
dalam multiple sclerosis dan, baru-baru ini, autoimun limbik ensefalitis,
tampaknya tidak ada alasan mengapa autoimunitas seharusnya tidak menjadi dasar
yang mungkin untuk beberapa gangguan kejiwaan.4,6 Terjadinya berbagai sindrom
kejiwaan dalam perjalanan beberapa penyakit fisik autoimun, seperti lupus

10
erythematosus sistemik dan sindrom antifosfolipid, juga menunjukkan adanya
hubungan.4
Penyakit autoimun dengan komorbiditas ansietas yang tinggi antara lain
inflammatory bowel disease, multiple sclerosis, rheumatoid arthritis, dan SLE. 2,7
Ansietas berhubungan dengan aktivitas dan durasi penyakit SLE. Depresi sering
terjadi pada pasien rheumatoid artritis (RA) dengan prevalensi 13-42%. Depresi
pada pasien RA sering terjadi pada wanita dan usia muda. 8 Terdapat berbagai
penyakit autoimun yang berhubungan dengan psikosis yaitu celiac disease,
multiple sclerosis, SLE, penyakit Grave, diabetes mellitus tipe 1, rheumatoid
arthritis, dan ensefalitis autoimun.2
Beberapa gangguan tidur yang memiliki dasar patogenesis imunologi
antara lain adalah narkolepsi dan penyakit anti-IgLON5. Penyakit
neuroimunologis yang disertai gangguan tidur adalah multiple sclerosis, Sindroma
Guillain-Barre, dan Sindroma Neurologis Paraneoplastik. 6 Tabel 1 di bawah
menampilkan daftar penyakit tersebut beserta area otak yang terganggu, dan
gejala gangguan tidur yang muncul.
Tabel 1. Penyakit Autoimun dengan Gangguan Tidur

Multiple sclerosis merupakan pemyakit autoimun yang sering disertai


gangguan tidur. Hampir sebagian besar pasien MS mengalami gangguan tidur,
dan kebanyakan dialami oleh pasien wanita. Gangguan tidur yang paling umum
diderita oleh pasien MS adalah insomnia. Sebanyak kurang lebih 40% penderita
MS mengalami insomnia, termasuk diantaranya adalah insomnia onset tidur,
fragmentasi nokturnal akibat durasi lama dan sering terbangun di malam hari,
serta terbangun lebih cepat. Insomnia pada pasien MS lebih sering dijumpai pada

11
pasien dengan usia lanjut, pasien yang sudah lama mengidap MS, pasien MS tipe
primer yang progresif, dan pasien MS dengan disabilitas berat.6
2.3.2. Gangguan Psikiatrik Yang Terjadi Karena Obat-obatan Penyakit
Autoimun
Sejak akhir 1940-an, kortikosteroid telah digunakan untuk mengobati
masalah medis seperti rheumatoid arthritis, alergi, asma, dan penyakit
dermatologis. Efek samping kejiwaan seperti mood swing yang parah, mudah
tersinggung, energi yang meningkat, jam tidur yang berkurang (3 jam setiap
malam), racing thoughts, dan pressured speech juga dapat terjadi.46
Patofisiologi kelainan ini kurang dapat dipahami tetapi pada penyakit
seperti Cushing syndrome atau Addison disease ini terjadi karena kelainan
hypothalamo-pituitaryadrenal axis yang berpotensi menyebabkan gangguan mood
dengan mengganggu jalur kortisol saat sintetis steroid diaktifkan oleh reseptor
glukokortikoid kemudian menekan sekresi kortisol oleh kelenjar adrenal.
Sehingga membuat ketidakseimbangan antara stimulasi glukokortikoid dengan
stimulasi reseptor mineralokortikoid yang menyebabkan gangguan kognitif dan
gangguan emosional.46
Lewis dan Smith meninjau 79 kasus psikosis yang diinduksi steroid
dilaporkan pada 71% dari 79 kasus, tetapi hanya 14% yang memiliki gangguan
psikotik tanpa bukti perubahan suasana hati yang signifikan atau delirium. Mereka
menemukan bahwa depresi muncul pada 40,5%, mania pada 28%, mania dan
delirium pada 7,5%, dan delirium pada 10% kasus. Studi lain menemukan bahwa
mania dan hipomania paling sering dilaporkan (dalam 35% kasus), diikuti oleh
gejala depresi pada 28% dan reaksi psikotik pada 24% kasus. Sebagian besar dari
pasien ini mengalami gejala < 2 minggu sejak pemberian steroid dan lebih khusus
lagi 3 atau 4 hari setelah dimulainya terapi kortikosteroid, meskipun gejala dapat
muncul kapan saja, termasuk setelah penghentian terapi. Gejala dapat berlangsung
dari beberapa hari hingga tiga minggu atau lebih. Dalam kebanyakan kasus,
delirium biasanya sembuh dalam beberapa hari dan psikosis dalam seminggu,
meskipun depresi atau gejala manik dapat berlangsung hingga 6 minggu setelah
penghentian steroid.47

12
Gangguan kejiwaan, terutama depresi, sering terjadi pada penderita
multiple sclerosis (MS). Keduanya dikaitkan dengan psikososial akibat dari
penyakit kronis, progresif, pelumpuhan otak bahkan terjadi demielinasi otak.
Selain itu, obat-obatan seperti kortikosteroid dan mungkin interferon (IFN) juga
memiliki efek depresogenik. Efek samping psikiatri, terutama depresi, banyak
dilaporkan dengan IFN-α dan IFN-β. Beberapa pasien, terutama mereka yang
memiliki riwayat depresi, mungkin berisiko lebih tinggi untuk mengalami depresi
bila diberikan IFN-β. Namun belum dapat sepenuhnya dipastikan adanya
hubungan antara pemberian IFN-β dan depresi atau bunuh diri, serta adakah
remisi komplit dari komplikasi kejiwaan setelah penghentian pemberian IFN.48
Menurut Patten dkk IFN dapat menyebabkan depresi atau memperburuk depresi
yang sudah ada sebelumnya. Ada hubungan antara episode depresi dan
penghentian terapi IFN, tetapi pengobatan IFN tidak dikaitkan dengan upaya
bunuh diri. IFN b-1a dapat menginduksi depresi, terutama pada awal terapi. 49
Menurut Jafar pemberian IFN beta 1b pada multiple sclerosis harus hati-hati
karena dapat menyebabkan depresi dan bunuh diri.50
Kasus depresi dan ide bunuh diri dimulai dengan peningkatan dosis IFN
beta-1a. Pada penelitian Lana dkk didapatkan pasien laki-laki berusia 21 tahun
dengan MS dan tidak memiliki riwayat MS gangguan afektif, pasien tersebut
diberi IFN beta-1a dengan dosis 11 µg tiga kali seminggu, kemudian dosis
ditingkatkan menjadi 22 µg tiga kali seminggu. Hasilnya didapatkan adanya
peningkatan kekhawatiran, mudah tersinggung dan perasaan putus asa serta
pikiran untuk bunuh diri. Mood dapat membaik dengan cepat setelah penghentian
IFN beta-1a. Kasus ini menunjukkan bahwa penderita MS dapat menjadi depresi
dan muncul pikiran untuk bunuh diri jika diobati dengan IFN beta-1a dosis
tinggi.51
Methotrexate merupakan obat yang sering diberikan pada pasien
Rheumatoid Arthritis. Relaps mood primer pada bipolar dapat terjadi tanpa faktor
pencetus, lebih sering terjadi setelah peristiwa kehidupan yang penuh tekanan atau
penghentian mood stabilizer medications. Relaps mood sekunder dapat
disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti penyakit fisik, penyalahgunaan zat, dan

13
pengobatan. Ketika penyakit mental disertai penyakit fisik, hal ini dapat
mempersulit dalam pemilihan obat yang sesuai untuk kedua kondisi tersebut.
Sampai saat ini belum ada laporan bahwa methotrexate, obat imunosupresif dan
sitotoksik, memicu episode manik pada pasien dengan gangguan afektif bipolar.52
Gangguan psikiatri jarang disebabkan karena pemberian methotrexate, namun
gangguan psikiatri dan kognitif akibat pemberian methotrexate pernah dilaporkan
pada penelitian Copeland dkk pada tahun 1996.53

2.4. Tatalaksana
a. Psikoterapi
Psikoterapi adalah suatu proses formal yang melibatkan interaksi 2 orang
atau lebih. Dalam interaksi ini ada yang disebut penolong (terapis) dan ada yang
disebut yang ditolong (klien). Tujuan interaksi antara terapi dengan klien dalam
psikoterapi adalah mengupayakan perubahan atau penyembuhan. Perubahan yang
dimaksud adalah perubahan dalam pikiran, perasaan, dan perilaku, Ada suatu
kebiasaan, akibat dari tindakan profesional yang dilakukan oleh penolong dengan
latar belakang ilmu perilaku dan teknik-teknik yang dikembangkannya.44
Kondisi Dasar Psikoterapi
Adapun kondisi dasar proses dalam psikoterapi adalah: 45
- Kesempatan bagi klien untuk belajar kembali.
- Klien mengalami kembali, tidak sekedar membicarakan pengalamannya.
- Hubungan yang menyembuhkan
- Motivasi, keyakinan, dan harapan klien perlu ada dalam tiap sesi terapi.

Intervensi Dasar
Psikoterapi merupakan intervensi dasar dengan tahapan sebagai berikut: 45
- Bertanya
Dalam bentuk pertanyaan terbuka, observasi atas gesture dan ekpresi
klien.
- Penjelasan
Meminta penjelasan kepada klien

14
- Eksklamasi
Gerakan klien yang menyatakan suatu kondisi
- Kofrontasi
Tidak dilakukan di awal sesi
- Interpretasis
Biasanya dalam aliran psikoanalisa

Ketrampilan Terapis
Komunikasi yang dilakukan terapis antara lain: 45
- Komunikasi verbal
- Komunikasi nonverbal antara lain penggunaan waktu, penggunaan tubuh,
suara, dan penggunaan lingkungan.

Ketrampilan Komunikasi Dasar


Ketrampilan komunikasi dasar menjadi hal yang penting dalam psikoterapi,
yaitu antara lain45
- Memperhatikan sungguh-sungguh melalui konsentrasi
- Bertanya dengan pertanyaan terbuka
- Mendengarkan dengan pasif
- Mendengarkan dengan aktif
- Meringkas isi
- Meringkas perasaan
Dapat dilakukan beberapa kali dalam 1 sesi, meringkas cerita pengalaman
klien yang bermakna, dan adanya refleksi perasaan klien, dilakukan interpretasi
dari cerita klien, dan diakhir melakukan kesimpulan netral. 45

Fungsi dan Peran Terapis/Analis


Terapis sebagai orang yang menjalankan proses terapi memliki fungsi dan
peran, yaitu: 45
- Menafsirkan dan menganalisa proyeksi klien
- Analis membantu klien dlm mencapai kesadaran diri, kejujuran, kefektifan

15
dalam melakukan hubungan personal, dalam menangani secara realistis,
serta dalam memperoleh kendali atas tingkah yang impulsif dan irasional
- Analis membangun hubungan kerja dengan klien, kemudian banyak
mendengar dan menafsirkan
- Perhatian khusus pada penolakan-penolakan klien
- Klien berbicara, analis mendengarkan dan berusaha untuk mengetahui
kapan harus membuat penafsiran untuk mempercepat proses penyingkapan
hal-hal yang tak disadari
- Analis mendengarkan kesenjangan-kesenjangan dan pertentangan pada
cerita klien
- Mengartikan mimpi dan asosiasi bebas yang dilaporkan klien
- Mengamati klien secara cermat selama proses terapi berlangsung
- Peka terhadap isyarat-isyarat yang menyangkut perasaan-perasaan klien
terhadap analis
- Mengorganisasikan proses-proses terapeutik
- Merumuskan masalah klien
- Fungsi utama analis adalah mengajarkan arti proses terhadap klien
sehingga klien mampu memperoleh pemahaman terhadap masalahnya,
mengalami peningkatan kesadaran atas cara- cara untuk berubah

16
Klien dan Terapi
Suatu hubungan yang berlangsung 4-5x dalam seminggu selama 3-5 th,
waktu selama 1 jam, perlu ada kesepakatan biaya/pembayaran, klien harus
komitmen untuk datang saat jadwal sesi terapi, komitmen untuk aktif berbicara
(klien sepakat bersedia untuk berbicara karena informasi penting untuk proses
terapi), komitmen masalah terpecahkan, lalu terapi selesai, dan klien mendapatkan
insight. 45

Tujuan psikoterapi
Dalam proses terapi, ada tujuan yang akan dicapai oleh terapi terhadap
proses dengan klien, antara lain: 45
1. Memperkuat motivasi melakukan hal yang benar.

2. Mengurangi emosi dengan mengkspresikan perasaan (katarsis); klien diajak


mengalami kembali, bukan membicarakan saja.
3. Mengembangkan potensi

4. Mengubah kebiasaan

5. Mengubah struktur kognitif

6. Meningkatkan pengetahuan dan kapasitas untuk mengambil keputusan yang


tepat (seperti konseling)
7. Meningkatkan pengetahuan diri (insight).

8. Meningkatkan hubungan antarpribadi

9. Mengubah lingkungan sosial individu

10. Mengubah proses somatik (rasa sakit) dan meningkatkan kesadaran tubuh
(relaksasi,latihan fisik, dan lain-lain).
11. Mengubah status kesadaran untuk mengembangkan kesadaran, kontrol, dan
kreativitas diri (meditasi, mengartikan mimpi,dan lain-lain).

17
Tahap Psikoterapi
Dalam psikoterapi, ada beberapa tahapan umum yang harus dilakukan,
yaitu: 45
Wawancara awal
Dalam tahap ini, terapis membangun jalinan hubungan (rapport) dengan
klien. Proses yang dilakukan adalah penggalian masalah klien. Perlu adanya
penjelasan tentang aturan-aturan dan pentingnya membangun komitmen dengan
klien.

Proses terapi
Proses terapi sangat tergantung aliran dari terapis yang melakukan terapi.
Dalam proses terapi terjadi suatu hubungan teraupetik yang memiliki tujuan.
Adapun tujuan terapiutik yaitu: 45
- Membentuk kembali struktur karakter individual dengan membuat
kesadaran yang tak disadari
- Menekankan dimensi afektif.
- Proses difokuskan pada upaya mengalami kembali pengalaman masa
anak-anak
- Pengalaman masa lalu direkonstruksi, dibahas, dianalisis, dan ditafsirkan
dengan sasaran merekonstruksi kepribadian

Tindakan
Sebelum proses terapi berakhir, penting untuk menjelaskan kepada klien
atas tindakan yang dilakukan untuk menyelesaikan masalahnya. Terjadi proses
kesimpulan dan kesepakatan tindakan dari klien dari pertemuan yang dilakukan.45

Mengakhiri terapi
Sebelum sesi terapi berakhir, perlu disampaikan sejak beberapa waktu
sebelum berakhir agar klien dapat bersiap-siap. 45
b. Medikamentosa46
INSOMNIA
- Kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur atau kualitas tidur yang

18
buruk

- Faktor risiko berupa adanya gangguan organik (seperti gangguan


endokrin, penyakit jantung), adanya gangguan psikiatrik seperti gangguan
psikotik, gangguan depresi, gangguan cemas, dan gangguan akibat zat
psikoaktif

- Gangguan terjadi minimal 3 kali seminggu selama minimal 1 bulan


- Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan
pekerjaan.

Intervensi Psikososial dan medikamentosa:


- Pasien diberikan penjelasan tentang faktor risiko yang dimilikinya dan
pentingnya untuk memulai pola hidup yang sehat dan mengatasai masalah
yang menyebabkan insomnia.
- Untuk obat-obatan, pasien dapat diberikan Lorazepam 0,5-2mg atau
Diazepam 2-5 mg pada malam hari. Pada orang yang berusia lanjut atau
mengalami gangguan medik umum diberikan dosis minimal efektif.
- Memberikan pemahaman kepada pasien dan keluarga agar mereka dapat
memahami tentang insomnia dan menghindari faktor pemicu insomnia.

GANGGUAN CEMAS DAN DEPRESI


- Biasanya pasien datang dengan keluhan fisik seperti nafas pendek/cepat,
berkeringat, gelisah, gangguan tidur, mudah lelah, jantung berdebar,
gangguan lambung, diare atau bahkan sakit kepala yang disertai dengan
rasa cemas atau khawatir berlebihan.
- Adanya gejala seperti menurunnya minat dalam melakukan aktivitas,
semangat menurun, merasa sedih/ murung, nafsu makan berkurang atau
meningkat berlebihan, sulit berkonsentrasi, kepercayaan diri yang
menurun, pesimis.

- Keluhan biasanya sering terjadi, berlangsung lama

Intervensi Psikososial dan medikamentosa:

19
- Edukasi pasien dan keluarga gejala cemas dan depresi dapat menganggu
produktivitas pasien, keluarga perlu memahami bahwa hal ini bukan
karena pasien malas atau tidak mau mengerjakan tugasnya, melainkan
karena gejala penyakitnya itu sendiri sehingga pasien mudah lelah serta
hilang energi.

- Perlunya dukungan dari keluarga agar pasien mampu dan dapat mengatasi
gejala penyakitnya.
- Pengobatan biasanya berlangsung lama, diperlukan dukungan keluarga
untuk memantau agar pasien melaksanakan pengobatan dengan benar.
- Lakukan penentraman (reassurance) dalam komunikasi terapeutik, dorong
pasien untuk mengekspresikan pikiran perasaan tentang gejala dan riwayat
gejala.
- Beri penjelasan adanya pengaruh antara factor fisik dan psikologi,
termasuk bagaimana faktor perilaku, psikologis, dan emosi berpengaruh
mengeksaserbasi gejala somatik yang mempunyai dasar fisiologik.

- Bicarakan dan sepakat rencana pengobatan dan follow up bagaimana


menghadapai gejala dan dorong untuk kembali aktivitas normal.
- Ajarkan teknik relaksasi (teknik nafas dalam)
- Anjurkan untuk berolahraga teratur atau melakukann aktivitas yang
disenangi serta menerapkan perilaku hidup sehat.

- Ajarkan untuk selalu berpikir positif dan manajemen stress dengan baik.
- Untuk gejala kecemasan atau depresi dapat diberikan antidepresan dosis
rendah, dapat dinaikkan apabila tidak ada perubahan yang signifikan
setelah 2-3 minggu: fluoksetin 1x 10-20 mg/hari atau sertraline 1x25-50
mg/hari atau amitriptilin 1x25-50 mg/hari atau imipramine 1-2x 10-25
mg/hari. Catatan: amitriptilin dan imipramine tidak boleh diberikan pada
pasien dengan penyakit jantung, dan pemberian berhati-hati untuk pasien
lansia karena efek hipotensi ortostatik (dimulai dengan dosis minimal
efektif).
- Pada pasien dengan gejala kecemasan yang lebih dominan dan atau

20
dengan gejala insomnia dapat diberikan kombinasi fluoksetin atau
sertraline dengan antianxietas benzodiazepine. Obat-obatan
antianxietasjenis benzodiazepine yaitu diazepam 1x 2-5 mg atau
lorazepam 1-2x 0,5-1 mg atau klobazam 2x 5-10 mg atau alprazolam 2x
0,25-0,5 mg. Setelah 2-4 minggu benzodiazepine ditappering-off perlahan,
sementara antidepresan diteruskan hingga 4-6 bulan sebelum tapering off.

GANGGUAN PSIKOTIK
- Halusinasi (terutama halusinasi dengar) merupakan gangguan persepsi
(persepsi palsu), tanpa adanya stimulus sensori eksternal. Halusinasi dapat
terjadi pada setiap panca indra, yaitu halusinasi dengar, lihat, cium, raba
dan rasa.
- Waham (delusi) merupakan gangguan pikiran yaitu keyakinan yang salah,
tidak sesuai dengan realita dan logika, namun tetap dipertahankan dan
tidak dapat dikoreksi dengan cara apapun serta tidak sesuai dengan budaya
setempat. Contoh: waham kejar, waham kebesaran, waham kendali,
waham pengaruh.
- Perilaku kacau atau aneh
- Gangguan proses pikir (terlihat dari pembicaraan yang kacau dan tidak
dimengerti)
- Agitatif
- Isolasi sosial (social withdrawal)
- Perawatan diri yang buruk
Intervensi psikososial dan medikamentosa:
- Sampaikan informasi penting bagi pasien dan keluarga bahwa agitasi dan
perilaku aneh merupakan gejala gangguan mental, yang juga termasuk
penyakit medis.
- Episode akut sering mempunyai prognosis yang baik, tetapi perjalanan
penyakit jangka panjang sulit diprediksi. Pengobatan perlu dilanjutkan
meskipun setelah gejala mereda.
- Gejala-gejala dapat hilang timbul. Diperlukan antisipasi dalam

21
menghadapi kekambuhan. Obat merupakan komponen utama dalam
pengobatan. Minum obat secara teratur akan mengurangi gejala-gejala dan
mencegah kekambuhan.
- Dukungan keluarga penting untuk ketaatberobatan (compliance) dan
rehabilitasi
- Bicarakan rencana pengobatan dengan anggota keluarga dan minta
dukungan mereka. Terangkan bahwa minum obat secara teratur dapat
mencegah kekambuhan. Informasikan bahwa obat tidak dapat dikurangi
atau dihentikan tiba-tiba tanpa persetujuan dokter. Informasikan juga
tentang efek samping yang mungkin timbul dan cara penanggulangannya.
- Dorong pasien untuk melakukan fungsinya dengan seoptimal mungkin di
pekerjaan dan aktivitas harian lain.
- Dorong pasien untuk menghargai norma dan harapan masyarakat
(berpakaian, berpenampilan dan berperilaku pantas)
- Menjaga keselamatan pasien dan orang yang merawatnya pada fase akut
yaitu keluarga dan teman harus menjaga pasien, pastikan kebutuhan dasar
(makan dan minum), jangan sampai mencederai pasien.
- Meminimalisir stress dan stimuli yitu jangan mendebat pikiran psikotik
(boleh tidak stuju dengan keyakinan pasien, tetapi jangan mencoba untuk
membantah bahwa pikiran itu salah). Sedapat mungkin hindari konfrontasi
dan kritik.
- Selama masa gejala-gejala menjadi lebih berat, istirahat dan menghindari
stress.
- Agitasi yang berbahaya untuk pasien, keluarga dan masyarakat
memerlukan rawat inap atau pengamatan ketat di tempat yang aman.
- Berikan obat antipsikotik, haloperidol 2-3x 2-5mg/hari atau risperidon 2x
1-3mg/hari atau korpromazin 2-3x 100-200 mg/hari. Untuk haloperidol
dan risperidon dapat digabungkan dengan benzodiazepine (diazepam 2-3x
5 mg, lorazepam 1-3x 1-2 mg) untuk mengurangi agitasi dan memberikan
efek sedasi. Benzodiazepin dapat ditappering-off setelah 2-4 minggu.
Catatan bahwa klorpromazin memiliki efek samping hipotensi ortostatik.

22
- Intervensi sementara untuk gaduh gelisah dapat diberikan injeksi intra
muscular haloperidol kerja cepat (short acting) 5 mg, dapat diulangi dalam
30 menit sampai 1 jam, jika belum ada perubahan yang signifikan, dosis
maksimal 30 mg/hari atau dapat juga diberikan injeksi intra muscular
klorpromazin 2-3x 50 mg. Untuk pemberian haloperidol dapat diberikan
tambahan injeksi intra muscular diazepam untuk mengurangi dosis
antipsikotiknya dan menambah efektivitas terapi. Setelah stabil segera
rujuk ke RS/RSI
- Untuk pasien psikotik kronis yang tidak taat berobat, dapat
dipertimbangkan untuk pemberian injeksi depo (jangka panjang)
antipsikotik seperti haloperidol decanos 50 mg atau fluphenazine decanos
25 mg. Berikan injeksi intra muscular ½ ampul selama 2 minggu,
selanjutnya injeksi 1 ampul untuk 1 bulan. Obat oral jangan diberhentikan
dahulu selama 1-2 bulan, sambil dimonitor efek samping, lalu obat oral
turunkan perlahan.
- Jika timbul efek samping ekstrapiramidal seperti tremor, kekakuan,
akinesia, dapat diberikan triheksifenidil 2-4x 2 mg, jika timbul dystonia
akut berikan injeksi diazepam atau difenhidramin, jika timbul akatsia
(gelisah, mondar-mandir tidak bisa berhenti bukan akibat gejala) turunkan
dosis antipsikotik dan berikan beta-blocker, propranolol 2-3x 10-20 mg.
- Lakukan kunjungan rumah (home visit), kunjungan rumah dilakukan
sesuai indikasi untuk memastikan kepatuhan dan kesinambungan
pengobatan,melakukan asuhan keperawatan, dan melakukan pelatihan bagi
pelaku rawat.

23
KERANGKA KONSEP

Penyakit Autoimun:
 Multiple Sclerosis
Manifestasi Klinis
 SLE
 Autoimmune Thyroid
 Diabetes Tipe 1
 Rheumathoid Arthritis
 Ensefalitis autoimun
Kualitas hidup

 Depresi
 Cemas
 Penurunan kualitas tidur
 Gejala psikosis

Tatalaksana
 Psikoterapi
 Medikamentosa

24
BAB III
KESIMPULAN

Autoimun merupakan suatu respon imun terhadap antigen jaringan sendiri


yang terjadi akibat kegagalan mekanisme normal yang berperan untuk
mempertahankan self tolerance atau dapat diartikan sebagai kegagalan pada
toleransi imunitas sendiri. Penyakit autoimun terjadi ketika respon autoimun atau
respon sistem kekebalan tubuh mengalami gangguan kemudian menyerang
jaringan tubuh itu sendiri sehingga memunculkan kerusakan jaringan atau
gangguan fisiologis, padahal seharusnya sistem imun hanya menyerang organisme
atau zat-zat asing yang membahayakan tubuh. Ada banyak macam-macam
penyakit autoimun, diantaranya yaitu multiple sclerosis, SLE, autoimmune
thyroid, diabetes tipe 1, rheumathoid arthritis, dan ensefalitis autoimun.
Timbulnya manifestasi klinis dapat menyebabkan ketidakpuasan pada
penampilan fisik sehingga dapat menurunkan rasa percaya diri pasien dengan
autoimun. Para penderita autoimun sulit untuk menerima kondisi sakit tersebut,
penderita merasa bahwa dokter, keluarga dan kerabat belum dapat memahami
kondisi sakit yang dialami sehingga menimbulkan kelelahan, harga diri yang
rendah, depresi bahkan membayangkan kematian. Keadaan psikologis tertentu,
seperti kesepian, gangguan tidur, depresi, dan perasaan tak berdaya dapat
membawa dampak yang negatif terhadap sistem imun, sehingga diperlukan
tatalaksana baik berupa psikoterapi maupun medikamentosa. Tatalaksana
medikamentosa tergantung dari gejala yang dialami pasien, namun dukungan
keluarga dan orang-orang terdekat sangat penting bagi pasien autoimun supaya
kondisi mereka dalam keadaan lebih baik, sehingga diharapakan dapat
menurunkan aktivitas penyakit, mengontrol faktor psikososial dan klinis serta
meningkatkan kualitas hidup.

25
DAFTAR PUSTAKA
1. Weiss DB, Dyrud J, House RM, Beresford TP. Psychiatric manifestations
of autoimmune disorders. Curr Treat Options Neurol. 2005;7:413–7.
2. Jeppesen R, Benros ME. Autoimmune diseases and psychotic disorders.
Front Psychiatry. 2019;10(131).
3. Scofield RH, Oates JC. The place of William Osler in the description of
systemic lupus erythematosus. Am J Med Sci. 2009;338(5):409–12.
4. Davison K. Autoimmunity in psychiatry. Br J Psychiatry.
2012;200(5):353–5.
5. Orbai, AM. What Are Common Symptoms Of Autoimmune Disease. John
Hopkins Medicine. 2020
6. Iranzo A. Sleep and neurological autoimmune disease.
Neuropsychopharmacology. 2020;45:129–40.
7. Zielinski MR, Systrom DM, Rose NR. Fatigue, sleep, and autoimmune
and related disorders. Front Immunol. 2019;10(August):1–26.
8. Pryce C, Fontana A. Depression in Autoimmune Diseases. Curr Top
Behav Neurosci. 2017;31:139–54.
9. Nanda. Diagnosa Keperawatan :Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku
Kedokteran : EGC. 2012
10. Wang L dkk. Autoimmune diseases are associated with an increased risk
of schizophrenia:anationwide population-based cohort study. Schizophr
Res. 2018. 202:297-302.
11. Chen S dkk. Prevalence of autoimmune diseases in in-patients with
schizophrenia:nationwide population-based study. Br J Psychiatry, 2012.
200(5):374-380.
12. Benros M dkk. Autoimmune diseases and severe infections as riskfactors
for schizophrenia: a 30-year population-based register study. Am J
Psychiatry, 2011. 168(12):1303-1310.
13. Cullen A dkk. Associations between non-neurological autoimmune
disordersand psychosis: a meta-analysis.Biol Psychiatry, 2018. 85:35–48.
14. Benros M dkk. A nationwide study on the risk of autoimmunediseases in
individuals with a personal or a family history ofschizophrenia and related
psychosis.Am J Psychiatry, 2014. 171:218–26.
15. Eaton W dkk. Autoimmunediseases, bipolar disorder, and non-affective
psychosis.Bipolar Disord, 2010. 12:638–46.
16. Murphy R dkk. Neuropsychiatric syndromes of multiple sclerosis.J
Neurol. Neurosurg Psychiatry. 2017. 88:697–708.
17. Marrie R dkk. CIHR team in the epidemiology and impact of comorbidity
onmultiple sclerosis. differences in the burden of psychiatric
comorbidityin MS vs the general population. Neurology. 2015. 85:1972–
1979.
18. Labiano F, Mitchell A, Moreno G. Impact of anger on the health-related
quality of life of multiple sclerosis patients. Multiple Sclerosis, 2015.
21(5), 630-641.
19. Astiny D, Arpandy R, Estiasari, R. Multipel sklerosis tumefaktif. Neurona.
2016. 33 (3): 176-182.

26
20. Tay SH, Mak A. Diagnosing and attributing neuropsychiatric eventsto
systemic lupus erythematosus: time to untie the Gordian knot?.
Rheumatology, 2016. 56:114–124.
21. Flower C dkk. The spectrumof neuropsychiatric lupus in a black caribbean
population: a reportof the Barbados National Lupus Registry. Lupus, 2017.
26:1034–1041.
22. Appenzeller S, Cendes F, Costallat LTL. Acute psychosis insystemic lupus
erythematosus. Rheumatol Int, 2008. 28:237–243.
23. Pego-Reigosa JM, Isenberg DA. Psychosis due to systemic
lupuserythematosus: characteristics and long-term outcome of this
raremanifestation of the disease. Rheumatology (Oxford), 2008. 47:1498–
502.
24. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus
Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011.
25. Laeli S, dan Karyono. pengalaman sakit pada penderita lupus :
interpretative phenomenological analysis. Jurnal Empati, Agustus 2016,
Volume 5(3), 566-571.
26. Golub D, Rodack V. Antipsychotics in hyperthyroid-related psychosis:
casereport and systematic review.Neuro Endocrinol Lett.(2018) 39:65–74.
27. Eaton W dkk, Association of schizophrenia and autoimmune diseases:
linkageof danish national registers. Am J Psychiatry, 2006. 163:521–8.
28. Mutalazimah dkk. Kajian patofisiologis gejala klinis dan
psikososialsebagai dampak gangguan fungsi tiroidpada wanita usia
produktif. Jurnal Kesehatan, 2013. ISSN 1979-7621, Vol. 6, No. 1,:1-14
29. Baizabal C, Alonso JM. Cerebellar disease associated withanti-glutamic
acid decarboxylase antibodies: review. J Neural Transm. 2017. 124:1171–
82.
30. Cremaschi L, Kardell M, Johansson V, Isgren A, Sellgren CM,
AltamuraAC, et al. Prevalences of autoimmune diseases in schizophrenia,
bipolarI and II disorder, and controls.Psychiatry Res.2017 258:9–14.
31. Juvonen H dkk. Incidence of schizophrenia in a nationwide cohort of
patientswith type 1 diabetes mellitus. Arch Gen Psychiatry, 2007.64:894–
899.
32. Rahmawati dkk. Gangguan Perilaku Pasien Diabetes Melitustipe-1 di
Poliklinik Endokrinologi Anak RumahSakit Cipto Mangunkusumo..Sari
Pediatri, 2007. 9(4): 264-269
33. Medise B dkk. Gambaran Masalah Psikososial pada Remaja dengan
Thalassemia Mayor dan Diabetes Mellitus Tipe-1. Sari Pediatri, 2020.
22(2): 83-91
34. King KM, King PJ, Nayar R, Wilkes S. Perceptions of adolescent patients
of the “lived experience” of type 1 diabetes. Diabetes Spectr 2017;30:23-
35
35. Marrie RA, dkk. Increased burden of psychiatric disorders in rheumatoid
arthritis.ArthritisCare Res, 2018.70:970–978.
36. Sellgren C, Frisell T, Lichtenstein P, Landen M, Askling J. The
associationbetween schizophrenia and rheumatoid arthritis: a nationwide

27
population-based swedish study on intraindividual and familial risks.
Schizophr Bull, 2014.40:1552–1559.
37. Triana, W. Hubungan Intensitas Nyeri dengan Tingkat Kecemasan Pada
Pasien Artritis Reumatoid di Rumah Sakit Daerah Dr. Soebandi
Kabupaten Jember. Jember: FK Universitas Jember. 2015.
38. Mudjaddid, E, dkk. Hubungan Derajat Aktivitas Penyakit dengan Depresi
pada Pasien Artritis Reumatoid. Jurnal Penyakit Dalam Indonesia, 2017.
4(4),194-198
39. Sunar I dkk. Disease Activity (Rheumatoid Arthritis Disease Activity
Index-5) In Patients With Rheumatoid Arthritis And Its Association With
Quality Of Life, Pain,Fatigue, And Functional And Psychological
Status.ArchRheumatol, 2015. 30(2),144-149.
40. Irani SR dkk. N-methyl-D-aspartate antibody encephalitis: temporal
progression of clinical andparaclinical observations in a predominantly
non-paraneoplastic disorder ofboth sexes. Brain J Neurol. 2010 133:1655–
16567.
41. Kayser MS, Titulaer MJ, Gresa-Arribas N, Dalmau J. Frequency
andcharacteristics of isolated psychiatric episodes in anti–N-Methyl-d -
aspartate receptor encephalitis.JAMA Neurol.(
42. Baumgartner A, Rauer S, Hottenrott T, Leypoldt F, Ufer F, Hegen H,et al.
Admission diagnoses of patients later diagnosed with
autoimmuneencephalitis.J Neurol. 2018 266:124–132. doi:
10.1007/s00415-018-9105-3
43. Sharf, Richard S. Theories of Psychotherapy and Counseling Concepts and
Cases 5th Ed. California: Brooks/Cole Publishing Company. 2012.
44. Susilawati dkk. Bahan Ajar Psikoterapi. Bali: FK Universitas Udayana.
2017.
45. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Pelayanan Kesehatan Primer.
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017
46. Brown ES and Chandler PA. Mood and Cognitive Changes During
Systemic Corticosteroid Therapy. Primary Care Companion J Clin
Psychiatry 3:1, 2000
47. Janes M, Kuster S, Goldson TM, Forjuoh SM. Steroid induced Psychosis.
Department of Family and Community Medicine. 2019
48. Goeb J dkk. Psychiatric side effects of interferon-β in multiple sclerosis.
European Psychiatry. 2006. 21:186–193.
49. Patten S dkk. The relationship between depression and interferon beta-1a
therapy in patients with multiple sclerosis. Multiple Sclerosis. 2005. 11:
175-181.
50. Jafar Y. Tatalaksana Multiple Sclerosis. CDK-250/, 2017. 44(3):180-184
51. Lana-Peixoto , Teixeira, Haase V. Beta-1a-Induced Depression and
Suicidal Ideation in Multiple Sclerosis. Arq Neuropsiquiatr, 2002. 60(3-
B):721-724
52. Hariram J dan Jegan Y. Contribution of methotrexate in precipitation of
manic episode in bipolar affective disorder explored: a case report. Ther
Adv Psychopharmacol. 2013 3(4): 251–254.

28
53. Levenson, J. Psychiatric issues in rheumatology. Primary Psychiatry.
2006. 13(11): 23–27.

29

Anda mungkin juga menyukai