Oleh :
112019021
Pembimbing :
BAB I..........................................................................................................................................................3
1.1 Neuroanatomi..............................................................................................................................3
1.2 Penyakit Neuron Motorik Bawah.................................................................................................4
1.3 Neuropati Perifer.........................................................................................................................6
BAB II...........................................................................................................................................................7
2.1 Sindrom Guillain-Barre..........................................................................................................................7
2.2 Epidemiologi..........................................................................................................................................8
2.3 Etiologi.................................................................................................................................................10
2.4 Patofisiologi.........................................................................................................................................10
2.5 Klasifikasi Sindrome Guillain Barre......................................................................................................11
2.6 Manifestasi Klinis.................................................................................................................................13
2.7 Diagnosis.............................................................................................................................................15
2.8 Pemeriksaan Penunjang....................................................................................................................188
2.9 Tatalaksana........................................................................................................................................199
2.10 Prognosis.........................................................................................................................................221
Daftar
pustaka………………………………………………………………………………………………………………………………….22
1.1 Neuroanatomi
Gerakan volunteer diarahkan oleh “ kehendak” sadar dengan menggunakan sejumlah besar
mekanisme motorik dibawah sadar. Mempertahankan tonus dan koordinasi agonis, antagonis,
sinergis, dan fiksasi kelompok otot yang tepat, melibatkan nucleus motoric medulla spinal,
serebelum, batang otak, thalamus, ganglia basalis, dan korteks motoric serebelum. Traktus
kortikospinal dan neuronnya yang membantu aktivitas motoric volunteer dikenal sebagai
neuron motorik atas . Neuron motorik bawah adalah sel kornu anterior selain radiks saraf
motorik dan saraf motorik perifernya, atau neuromuscular dan otot-ototnya. Destruksi neuron
motoric atas menyebabkan kehilangan kendali volunteer, tetapi tidak kehilangan gerakan total.
Nukleus motoric ganglia basal, thalamus, dan batang otak mempunyai traktusnya sendiri yang
menginervasi sel kornu anterior dan menyebabkan gambaran gerakan stereotype yang
sederhana atau kompleks. Destruksi medulla spinalis membiarkan gerakan reflex stereotype
sederhana, utuh, yang dikoordinasi oleh reflex spinal local dibawah tingkat lesi. Destruksi
neuron motoric bawah menyebabkan kehilangan keseluruhan gerak karena neuron tersenut
merupakan jalur terakhir yang menimbulkan aktivitas otot.1
Kelemahan yang disebabkan oleh penyakit unit motoric bawah berbeda kualitasnya
dengan kelemahan yang disebabkan oleh lesi traktus kortiko spinal sentral . Lesi traktus
kortikospinal sering tidak begitu banyak menyebabkan ketidakmampuan menggerakkan
ekstremitas sebagaimana kehilangan gerakan terampil. Traktus kortikospinal memungkinkan
aktivitas motoric halus , dan fungsinya paling baik diuji dengan meminta pasien melakukan
gerakan bergantian dengan sangat cepat pada ekstremitas bagian distal. Disfungsi ringan
menyebabkan gerakan lambat , kaku. Disfungsi berat menyebabkan sikap badan yang
abnormal dan kaku, yang tidak berespon terhadap tindakan gerak sadar. Biasanya sikap badan
pada penyakit kortiko spinal terdiri dari lengan bawah dengan fleksi pada siku dan
pergelangan, serta adduksi dekat dada, dengan ekstensi dan adduksi kaki. Penyakit unit
motoric bawah menyebabkan kehilangan kekuatan progesif dengan hipotonia dan tidak
menimbulkan kelainan sikap badan. Fungsi paling baik diuji dengan mengukur kekuatan
Setiap bagian neuron motoric ( sel kornu anterior) di medulla spinalis dan batang otak
membentuk satu akson termielinasi yang meluas ke bagian-bagian otot. Sesudah bercabang
banyak, setiap akson yang berakhir diujung sinaps dengan satu serabut otot. Akson terminal
presinaps melepaskan asetilkolin, yang melewati celah sinaps , melekat pada reseptor pada
bagian membrane otot, memulai kontraksi pada otot, dan diinaktifkan oleh asetilkolinesterase.
Unit motoric bawah terdiri dari komponen ini. Penyakit neuromuscular merupakan penyakit
dari setiap komponen unit motoric. 1 Distribusi kelemahan otot dapat mengarah kepenyakit
yang spesifik. Penyakit yang mengenai setiap komponen unit motoric dapat dilihat pada tabel
1.1 dibawah ini:
Enterovirus Becker
Limb-girdle
Heksan Sentronukleus
Obat-obatan
Taut Neuromuskular
Miastenia gravis
Neonatal sementara
Kongenital
Botulisme
Aminoglikosida
Tabel 1.1 Penyakit unit motorik bawah pada bayi dan anak1
Penyakit saraf perifer utama pada masa kanak-kanak adalah (1) syndrome guillaine barre ,
(2) neuropati sensoris motoric herediter (penyakit Charcot-Marie-Tooth), dan (3) paralisis tick.
Neuropati perifer yang disebabkan oleh diabetes mellitus, alkoholisme, gagal ginjal kronik,
amyloid, pemajanan terhadap toksin industry logam, vaskulitis, (sering sebagai mononeuritis
multipleks) atau remote effect neoplasma merupakan penyebab yang lazim dari kelemahan dan
kehilangan sensoris pada dewasa, tetapi jarang pada bayi dan anak.1
BAB II
ILMU KESEHATAN ANAK RSUD TARAKAN 6
PEMBAHASAN
Sindrom guillain barre sekarang ini telah menjadi penyebab paling umum dari flaccid
paralysis akut dengan angka kejadian tahunan 0,6-4 kasus per 100.000 populasi setelah
menurunnya jumlah kasus polio di seluruh dunia. Berdasarkan sumber lainnya menyebutkan
angka insiden rata-rata peneoitian berkisar 0,5-2 kasus dalam 100.000 individu dewasa,
sedangkan insiden pada anak ditemukan lebih sedikit berkisar Antara 0,4-1,3 kasus per
100.000 anak-anak. Insiden ini bertambah seiring bertambahnya usia sangat jarang ditemukan
pada usia dibawah dua tahun , dan terbanyak usia 60 tahun atau lebih.4,5 Selain itu, dua per tiga
kasus pasien sindrom guillain barre biasanya melaporkan adanya infeksi Campylobacter
jejuni, Cytomegalovirus, Epstein-Barr virus, dan Mycoplasma pneumonia sebagai agen
pemicu. Diantara banyaknya infeksi mikroba , hanya C.Jejuni yang merupakan penyebab
utama gastroenteritis yang ada hampir diseluruh dunia, yang secara tegas ditetapkan sebagai
agen penyebab dari sindrom guillain barre. Hampir 25-40% pasien dengan sindroma guillain
2.2 Epidemiologi
Untuk memastikan kejadian sebenarnya dari sindrom guillain barre dikarenakan
keterbatasannya tes yang tersedia untuk diagnosis. Angka kejadian sindrom guillain barre
hampir diseluruh dunia dan disemua kelompok umur, tetapi terdapat peningkatan seiring
bertambahnya usia dan pada orang tua. Namun sindrom ini jarang terjadi pada massa bayi dan
jarang terjadi pada anak-anak dibawah usia dua tahun. Sebuah studi yang dilakukan pada
pediatric dari 61 jumlah kasus sindroma guillain barre di argentina Antara tahun 1994 sampai
1996 mennunjukkan rentang usia yang terbanyak Antara 14bulan sampai 14 tahun. 6 Setelah
kultur sampel feses dilakukan untuk melihat pathogen enteric, Campylobacter diidentifikasi 2-
7 kalilipat lebih tinggi dari pada bakteri lainnya seperti Salmonella atau shigella spp.Di
Amerika Serikat , 2,4 juta kasus C.jejuni termasuk spesise lain yang ditemukan setiap tahun
menunjukkan bahwa itu adalah pathogen enteric yang ditemukan umum pada kasus sindroma
gullain barre. Jalur penularan pathogenesis infeksi ini kemungkinan besar melalui permukaan
atau bagian daging yang telah terkontaminasi oleh tinja. Ada juga beberapa sumber lain
termasuk hewan peliharaan dan hewan lainnya , air dan susu yang tidak diolah dengan benar ,
dan kontaminasi limbah , yang sudah terninfeksi dari C.jejuni , dan sebagian besar berada di
Negara berkembang dengan iklim tropis, lihat pada gambar 2.1.3
Gambar 2.1 : Transmisi dan transisi Campylobacter jejuni. Ayam merupakan reservoir alami
dari C. jejuni dimana ia berkoloni di lapisan mukosa saluran pencernaan dan dapat berpindah
antar ayam melalui jalur fecal- oral . C. jejuni dapat mencemari air, dan mungkin membentuk
hubungan dengan protozoa. Manusia yang menghadapi air yang terkontaminasi,
mengkonsumsi unggas, yang kurang matang, dan susu yang tidak terpasteurisasi infeksi.
Bakteri berada dilapisan epitel saluran pencernaan manusia dan menyebabkan peradangan dan
diare. Kadang-kadang antibody yang diproduksi melawan bakteri meniru gangliosida saraf
2.3 Etiologi
Pada sebagian besar kejadian sindrom guillain barre , terdapat infeksi yang mendahului
beberapa minggu sbelumnya. Infeksi pada saluran pernafasan dan saluran pencernaan adalah
yang paling sering ditemui. Organisme yang paling sering adalah Campylobacter jejuni,
diikuti oleh Cytomegalovirus, dan Epstein-Barr virus. Penyebab lain yang lebih jarang adalah
HIV , Mycoplasma pneumonia , dan Varicella Zoster. Kepustakaan lainnya menyebutkan
bahwa kemungkinan hipersensitifitas lambat dengan T cell mediated antigangliosida
antibody.7,8
2.4 Patofisiologi
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi
terjadinya demielinisasi akut pada sindrom guillain barre masih belum diketahui dengan pasti.
Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini
adalah melalui mekanisme imunologi. Bukti-bukti bahwa bahwa imunopatogenesa merupakan
mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
Proses demyelinisasi saraf tepi pada sindrom guillain barre dipengaruhi oleh respon
imunitas selular dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai pristiwa sebelumnya , yang
paling sering adalah infeksi virus.7 Selain itu penelitian lain pun menyatakan bahwa
patofisiologi dari sindrom guillain barre disebabkan oleh respon imun, yang meliputi inflamasi
dan produksi antibody , terhadap infeksi sebelumnya.6 Vaksin juga dianggap terlibat dianggap
terlibat sebagai sebuah faktor pencetus. Beberapa bukti menduga bahwa vaksin flu babi yang
ILMU KESEHATAN ANAK RSUD TARAKAN 10
digunakan pada saat musim influenza pada tahun 1976 menyebabkan peningkatan insiden
sindrom guillain barre. Namun hingga saat ini belum terdapat penelitian ataupun consensus
yang menyatakan vaksin meningkatkan resiko sindrom guillain barre. Patofisiologi pada
penyakit sindrom guillain barre memang masih belum jelas dan belum sepenuhnya dapat
dimengerti , tetapi berbagai bukti penelitian eksperimental dan penemuan klinis
mendemonstrasikan bahwa pada guillain barre sindrom terjadi interaksi sinergi yang kompleks
Antara system imunitas humoral dan selular terhadap antigen yang terdapat pada saraf perifer.
Infeksi yang terjadi dapat mencetuskan sebuah respon autoimun yang mengakibatkan produksi
antibody terhadap sebuah agen infektif dengan epitope yang serupa dengan saraf gangliosida
perifer penjamu. Fenomena ini disebut sebagai mimikri molecular post-infeksi.4
Neuropati akson motoric akut (AMAN) lebih sering terjadi di jepang dan cina,
diantara orang orang muda dan musim panas . ini memiliki hubungan dengan infeksi
sebelumnya oleh Campylobacter jejuni. Gambaran klinis mirip dengan AIDP tetapi reflex
tendon dapat dipertahankan. Seperti AIDP, neuropati aksonal motoric akut diyakini sebagai
ILMU KESEHATAN ANAK RSUD TARAKAN 11
gangguan IgG dan komplemen-mediated. Tes elektrofisiologi dapat membedakan dari varian
lain sebagai saraf motoric selektif dan keterlibatan aksonal. Proses patologis AMAN
melibatkan pengikatan antibody terhadap antigen ganglionsida pada membrane sel akson,
invasi makrofag, peradangan dan kerusakan aksonal.7
Neuropati Aksonik Motorik dan Sensorik Akut (AMSAN) adalah varian sindrom
guillain barre dimana kedua motor dan serat sensorik terlibat. AMSAN adalah sindrom
guillain barre yang paling parah dan terkait pemulihan yang berkepanjangan atau bahkan
parsial. Gambaran klinis mirip dengan AMAN tetapi juga melibatkan gejala sensorik. Proses
patologis yang mendasari mirip dengan AMAN ( yaitu antibody kerusakan aksonal mediasi).
Acute Motor Axonal Bentuk murni dari neuropati aksonal , 67% pasien seropositive
Neuropathy (AMAN) untuk Campylobacteriosis , elektrofisiologi menunjukkan absen /
turunnya saraf motoric dan saraf sensorik , penyembuhan lebih
cepat, sering terjadi pada anak, merupakan tipe SGB yangsering
di Cina dan Jepang.
Acute Motor Sensory Degenerasi myelin dari serabut saraf motoric dan sensorik , mirip
Axonal Neuropathy dengan AMAN hanya tipe ini juga mempengaruhi sensorik, sering
(AMSAN) kali terdapat pada dewasa.
Miller Fisher Syndrome Merupakan kelainan yang jarang dijumpai, berupa trias ataxia,
(MFS) areflexia, dan oftalmoplegia, dapat terjadi gangguan
proprioseptif , resolusi dalam waktu 1-3 bulan.
Acute Panautonomic Varian yang paling jarang dari SGB, mempengaruhi system
Neuropathy (APN) simpatis dan parasimpatis, gangguan kardiovaskular (hipotensi,
takikardi, hipertensi, disaritmia) , gangguan penglihatan berupa
pandangan kabur, kekeringan pada mata dan anhidrosis,
penyembuhan bertahap dan tidak sempurna, sering dijumpai juga
dengan gangguan sensorik.
GBS merupakan penyakit trifasik yang ditandai dengan sebuah fase akut, fase plateau
dengan durasi waktu yang bervariasi, dan sebuah fase pemulihan yang dapat mencapai waktu
beberapa minggu hingga berbulanbulan. Gejala inisial biasanya mulai muncul diantara 1-4
minggu setelah terjadinya penyakit pernafasan atau saluran cerna. Fase yang pertama ditandai
dengan gejala yang progresif dan cepat, yang dapat berlangsung dalam hitungan jam atau
minggu. Pada kasus GBS tipikal, kelemahan ekstremitas bilateral progresif yang cepat
merupakan gejala utama dari kebanyakan pasien.4 Kelemahan ini biasanya dideskripsikan
sebagai ‘ascending’ (menjalar ke atas), dimulai dari ekstremitas bawah distal, namun dapat
juga dimulai dari lokasi yang lebih proksimal pada tungkai atau lengan. Hal ini dapat
bermanifestasi sebagai gangguan berjalan seperti menolak berjalan, berjalan dengan langkah
yang lebar, atau kesulitan saat berlari atau memanjat tangga. Sebagian kecil pasien datang
dengan keluhan paraparesis, yang dapat menetap selama perjalanan penyakit berlangsung.
Sebagian lainnya dapat mengalami keterlibatan nervus kranialis yang menyebabkan
kelemahan pada otot wajah, otot motorik mata, atau otot bulbar, seperti pada sindrom Miller
Fisher, yang kemudian dapat meluas melibatkan ekstremitas atas. Faseakut biasanya akan
bertambah berat dengan puncaknya pada dua minggu setelah onset dimulai. Instabilitas
otonom, termasuk disritmia jantung, hipotensi ortostatik, hipertensi, ileus paralitik, dan
disfungsi kandung kemih transien juga termasuk gejala yang umum dan dapat terjadi
2.7 Diagnosis
Diagnosis sindrom guillain barre tetap ditegakkan berdasarkan karakteristik klinis dan
pemeriksaan penunjang tambahan, bahkan setelah hampir satu abad setelah publikasi pertama
dari Georges Charles Guillain dan Jean-Alexandre Barré. Namun sindrom guillain barre tidak
memiliki karakteristik klinis yang patognomonik, dan hingga saat ini tidak ada biomarker
yang dapat membedakan sindrom guillain barre dengan gangguan yang menyerupai sindrom
guillain barre. Kriteria diagnostik sindrom guillain barre yang akurat sangatlah penting,
terutama pada fase awal perjalanan penyakit, masa dimana penatalaksanaan spesifik paling
efektif dan pasien membutuhkan monitoring untuk mencegah komplikasi yang mengancam
nyawa. Sejak tahun 1990, banyak penelitian menunjukkan variabilitas sindrom guillain barre
yang tinggi sehingga untuk membuat sebuah kriteria diagnosis yang dapat mencakup semua
jenis pasien sindrom guillain barre merupakan sebuah tantangan tersendiri. Kriteria diagnosis
pertama dipublikasikan pada tahun 1981 dan dimodifikasi oleh Asbury dan Cornblath pada
tahun 1990.9 Walaupun pada awalnya ditujukan untuk kepentingan penelitian, kriteria tersebut
mungkin masih merupakan kriteria yang paling luas digunakan dalam praktek klinis hingga
saat ini, lihat tabel 2.2 dibawah ini.
Arefleksia
Progresivitas tanda dan gejala setiap harinya, dapat mencapai hingga 4 minggu
Disfungsi otonom
Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) yang mendukung kuat diagnosis GBS
Pada umumnya, fase progresif berlangsung selama dua sampai tiga minggu
sejak timbulnya gejala awal sampai gejala menetap yang dikenal sebagai “titik nadir”.
Pada fase ini timbul nyeri, kelemahan bersifat progresif dan gangguan sensorik.
Derajat keparahan gejala bervariasi dan tergantung seberapa berat serangan yang
muncul pada penderita. Penatalaksanaan secepatnya akan mempersingkat transisi
menuju fase penyembuhan, dan mengurangi resiko kerusakan fisik yang permanen.
Fase progresif akan diikuti oleh fase plateau yang stabil dimana tidak didapati
baik perburukan ataupun perbaikan gejala. Serangan telah berhenti namun derajat
kelemahan tetap ada sampai dimulai fase berikutnya, yaitu fase penyembuhan. Pada
pasien biasanya didapati nyeri hebat akibat peradangan saraf serta kekakuan otot dan
sendi. Keadaan umum penderita sangat lemah dan membutuhkan istirahat, perawatan
khusus, serta fisioterapi. Terapi ditujukan terutama dalam memperbaiki fungsi yang
hilang atau mempertahankan fungsi yang masih ada. Pengawasan terhadap tekanan
darah, irama jantung, pernafasan, nutrisi, keseimbangan cairan, serta status generalis
Fase yang terakhir adalah fase penyembuhan dimana terjadi perbaikan dan
penyembuhan spontan. Sistem imun berhenti memproduksi antibodi yang
menghancurkan mielin, dan gejala berangsur-angsur menghilang, penyembuhan saraf
mulai terjadi. Terapi pada fase ini ditujukan terutama pada terapi fisik, untuk
membentuk otot pasien dan mendapatkan kekuatan dan pergerakan otot yang normal
dan optimal. Kadang masih didapati nyeri, yang berasal dari sel-sel saraf yang
beregenerasi. Lama fase ini juga bervariasi, dan dapat muncul relaps. Kebanyakan
penderita mampu bekerja kembali dalam 3-6 bulan, namun pasien lainnya tetap
menunjukkan gejala ringan sampai waktu yang lama setelah penyembuhan. Derajat
penyembuhan tergantung dari derajat kerusakan saraf yang terjadi pada fase infeksi.
2.8.2 Elektromielografi
Studi konduksi saraf biasanya menunjukkan hasil yang normal pada fase awal
guillain barre sindrom. Abnormalitas mulai muncul pada >90% kasus guillain barre
sindrom dalam dua minggu setelah onset kelemahan motorik muncul. Studi konduksi
saraf dapat membantu membedakan antara subtipe polineuropati demielinisasi dengan
neuropati aksonal, dan dapat berkaitan dengan prognosis penyakit. Untuk
meningkatkan ketepatan diagnosa, dibutuhkan pemeriksaan pada setidaknya empat
saraf motorik, tiga saraf sensorik, gelombang F, dan refleks H. Pada polineuropati
demielinisasi inflamatorik akut, studi konduksi saraf menunjukkan tanda terjadinya
demielinisasi berupa pemanjangan latensi motorik distal, penurunan kecepatan
konduksi saraf, pemanjangan lantensi gelombang F, peningkatan dispersi temporal,
dan blokade konduksi.8 Sedangkan pada sub-tipe guillain barre sindrom neuropati
aksonal ditemukan penurunan amplitudo motorik, sensorik, atau keduanya.4
2.8.3 MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-
kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan gambaran
Cauda Equine yang bertambah besar.7,11
2.9 Tatalaksana
Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk guillain barre sindrom,
pengobatan terutama secara simptomatis. Tujuan utama pengobatan adalah mengurangi
gejala , mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan, dan memperbaiki prignosisnya.
Penderita pada stadium awal perlu dirawat dirumah sakit untuk terus dilakukan observasi
tanda-tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera dirawat di rumah sakit, untuk
Gagal nafas adalah penyebab utama kematian pada penderita sindroma guillain
barre. Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan supportif dan fisioterapi. Bilaperlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat bantu nafas (ventilator) bila vital
capacity turun dibawah 50%.
2.9.2 Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi seputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan otot sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen) maka fisioterapi aktif bias dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
2.9.3 Imunoterapi
2.9.3.3 Kortikosteroid
Pada pasien dengan guillain barre sindrom ringan , dapat diberikan terapi supportif
dengan pemantauan ketat dan persiapan bila pasien secara klinis mengalami perburukan .
plasmaferesis diindikasikan pada kasus yang non-ambulatory , atau yang penyakitnya
berlangsung secara agresif. Derajat sakit guillain barre sindrom didasarkan pada skala
disabilitas dari Hughes. Pada guillain barre sindrom berat pasien memiliki skala >4. Lihat
pada tabel 2.4 dibawah.9
0 Sehat
2 Dapat berjalan tanpa bantuan tongkat, namun tidak dapat melakukan pekerjaan
manual
6 Kematian
1. Behrman RE, Kliegman RM. Nelson esensi pediatric. Edisi 4. Wahab SA, Muttaqin H,
Dany F,dkk. Jakarta: EGC;2010. Hal 870-75.
2. Salehiomran MR, Nikkhah A, Mahdavi M. Prognosis of guillain-barre syndrome in
children. Iran J Child Neurol. 2016;10(2):38-41.
3. Khisan KN, Roopanshi N. Role of Campylobacter jejuni Infection in the Pathogenesis
of Guillain-Barré Syndrome: An Update . BioMed Research International. 2013;1-13.
4. Reynaldo G, Desiree A. Efektivitas Immunoterapi dalam Tatalaksana Guillain-Barré
Syndrome pada Anak. Jurnal kedokteran meditek. 2019;25(3):107-114.
5. Winer BJ. An Update in Guillain-Barré Syndrome. Autoimmune Diseases. 2014:1-7.
6. Bloch SA, Akhavan M, Avarello J. Weakness and the Inability to Ambulate in a 14-
Month-Old Female: A Case Report and Concise Review of Guillain-Barre Syndrome.
Case Reports in Emergency Medicine. 2012:1-5.
7. Fitriany J, Heriyani N. Sindrome guillain barre. JKed N Med.2018;1(1):54-62.
8. William WH, Myron JL, Judith MS, Robin RD. Current diagnosis and Treatment in
Pediatrics. International edition 18th. North America :Lange Medical Books, McGraw-
Hill;2007. Hal 767-70.
9. Lukito V, Mangunatmadja I, Pudjiadi AH, Puspandjono TM. Plasmaferesis Sebagai
Terapi Sindrom Guillain-Barre Berat pada Anak. Saripedia. 2010;11(6):448-55.
10. Marcdante KJ, Kliegman RM, Jenson HB, Behrman RE. Nelson ilmu kesehatan anak
esensial. Edisi 6. Ikatan dokter anak Indonesia. Singapura: Elsavier;2014. Hal 749-51.
11. Burns TM. Guillain-Barre Syndrome. Seminars in neurology .2008;28:152-167.
12. Hassan R, Alatas H, Latif A, dkk. Buku kuliah ilmu kesehatan anak. Edisi 11.
Jakarta:percetakan info medika Jakarta;2007.hal 883-84.