Anda di halaman 1dari 20

PANDUAN PELAYANAN TB DOTS

RSIA BUNDA CIPUTAT

TANGERANG SELATAN
TAHUN 2022
DAFTAR ISI

BAB I DEFINISI…………………………………...........................................................…...................................3
Pengertian Tuberkulosis ( TBC )…………………………………......................................................................3
Tuberkulosis ( TBC ) pada kehamilan ........................…………………………………....................................4
Gejala Penyakit TBC .....................................................................................………………………………….5
Penyebab Penyakit TBC pada janin .............................................................…………………………………..5
Efek penyakit TBC pada janin .......................................................................………………………………….5
Pengaruh Tuberkulosis pada persalinan .....................................................……………………………………
6
Pengaruh Tuberkulosis pada bayi ................................................................
…………………………………..6
BAB II RUANG LINGKUP ............................................................................................………………………
7
KLARIFIKASI KASUS TBC .................................................................................…………………………………
7
DIAGNOSIS TUBERKULOSIS ..........................................................................………………………………..13
BAB III TATA LAKSANA ...............................................................................................……………………
13
Tata laksana TB pada kehamilan ..................................................................
………………………………..13
Wanita Hamil .................................................................................................………………………………14
Kehamilan .................................................................................................…………………………………..14
Ibu menyusui dan bayinya .......................................................................………………………………….…
15
Penderita TB pengguna kontrasepti ........................................................………………………………….…15
Penderita TB dengan infeksi HIV / AIDS ...................................................……………………………….……
15
Penderita TB dengan hepatitis akut ........................................................……………………………….
…….16
Penderita TB dengan kelainan hati kronik ..............................................
……………………………………..16
Penderita TB dengan gagal ginjal .............................................................
…………………………………….16
Penderita TB dengan Diabetes Melitus ....................................................……………………………………17
Penderita TB yang perlu mendapat tambahan Kortikosteroid ...............
……………………………………..17
Indikasi operasi ..........................................................................................
…………………………………..17
BAB IV DOKUMENTASI ................................................................................................
………………….23
KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK BUNDA CIPUTAT
NOMOR: 014-K/SK-DIR/RSIABC/I/2023
TENTANG
PANDUAN PELAYANAN TB DOTS
DI RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK BUNDA CIPUTAT

DIREKTUR RUMAH SAKIT IBU DAN ANAK BUNDA CIPUTAT

Menimbang : a. Bahwa dalam upaya mendukung program pemerintah dalam rangka


menurunkan morbiditas dan mortalitas pada kasus TB di Indonesia
maka di pandang perlu untuk membentuk TIM pelayanan TB DOTS di
Rumah Sakit Ibu dan Anak Bunda Ciputat.
b. Bahwa nama-nama yang tercantum dalam tim pelayanan TB DOTS
ditetapkan melalui Surat Keputusan Kepala Rumah Sakit Ibu dan Anak
Bunda Ciputat.

Mengingat : 1. Undang - undang Republik Indonesia No. 36 Tahun 2009 tentang


Kesehatan.
2. Kebijakan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tentang Sasaran
MD's Bidang Kesehatan.
3. Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 364/MENKES/SK/V/2003 tentang
Pedoman Penanggulangan Tuberculosis (TB).
4. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 1278/MENKES/SK
XI1/2009 tentang pedoman Penatalaksanaan Kolaborasi Penanganan
Tuberculosis dan HIV.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.
1389/MENKES/SK/1X/2005 tentang Komite Ahli Gerakan Terpadu
Penanggulangan Tuberculosis (TB).

MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN DIREKTUR RSIA BUNDA CIPUTAT TENTANG PANDUAN
PELAYANAN DAN TIM TB DOTS DI RSIA BUNDA CIPUTAT;
Pertama : Bahwa RSIA Bunda Ciputat melaksanakan pelayanan program TB mencakup
penemuan, pelayanan laboratorium dan mendiagnosa TB bagi pasien yang
dicurigai.
Kedua : Apabila terdapat pasien yang dinyatakan menderita penyakit TB maka anak
dirujuk ke rumah sakit yang melayani program TB DOTS

Ketiga : Keputusan ini berlaku terhitung sejak tanggal ditetapkan, apabila di


kemudian hari terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, maka akan
diadakan perbaikan atau perubahan seperlunya.

Ditetapkan di Tangerang Selatan,


Pada tanggal 30 Januari 2023

dr. Siti Muliana, MM


Direktur RSIA Bunda Ciputat
LAMPIRAN
KEPUTUSAN KEPALA RUMAH SAKIT RSIA BUNDA CIPUTAT
NOMOR : 014-K/SK-DIR/RSIABC/I/2023
TANGGAL : 30 januari 2023
TENTANG : PANDUAN PELAYANAN TUBERCULOSIS ( TBC ATAU TB )

BAB I
DEFINISI

A. Pengertian Tuberkulosis (TBC)


Tuberkulosis (TBC atau TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Mikobakterium tuberkulosa. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga
memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ
paru-paru dibandingkan bagian lain tubuh manusia.
Penyakit TBC dapat menyerang siapa saja (tua, muda, laki-laki, perempuan, miskin, atau
kaya) dan dimana saja. Setiap tahunnya, Indonesia bertambah dengan seperempat juta
kasus baru TBC dan sekitar 140.000 kematian terjadi setiap tahunnya disebabkan oleh TBC.
Bahkan, Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan masalah TBC di dunia. Survei
prevalensi TBC yang dilakukan di enam propinsi pada tahun 1983-1993 menunjukkan
bahwa prevalensi TBC di Indonesia berkisar antara 0,2 – 0,65%. Sedangkan menurut
laporan Penanggulangan TBC Global yang dikeluarkan oleh WHO pada tahun 2004, angka
insidensi TBC pada tahun 2002 mencapai 555.000 kasus (256 kasus/100.000 penduduk),
dan 46% diantaranya diperkirakan merupakan kasus baru.

B. Tuberkulosis (TBC) Pada Kehamilan


Di Indonesia, kasus baru tuberkulosis hampir separuhnya adalah wanita dan menyerang
sebagian besar wanita pada usia produktif. Kira-kira 1-3% dari semua wanita hamil
menderita tuberkulosis. Pada kehamilan terdapat perubahan-perubahan pada sistem
hormonal, imunologis, peredaran darah, sistem pernafasan, seperti terdesaknya diafragma
ke atas sehingga paru-paru terdorong ke atas oleh uterus yang gravid menyebabkan
volume residu pernafasan berkurang. Pemakaian oksigen dalam kehamilan akan
bertambah kira-kira 25% dibandingkan diluar kehamilan, apabila penyakitnya berat atau
prosesnya luas dapat menyebabkan hipoksia sehingga hasil konsepsi juga ikut menderita.
Dapat terjadi partus prematur atau kematian janin.

Prognosis bagi wanita hamil dengan penyakit tuberculosis yang aktif telah mengalami
perbaikan yang luar biasa selama waktu 30 tahun terakhir ini. Beberapa preparat
tuberculosis urutan pertama tidak terlihat memberikan efek yang merugikan bagi janin.
Penyakit tuberculosis yang aktif selalu dapat diobati paling tidak dengan dua .macam
preparat tuberculosis. Dalam suatu tinjauan (Snider,dkk 1980) tidak menemukan frekuensi
cacat lahir pada anak-anak yang ibunya mendapatkan pengobatan isoniazid, ethambutol
maupun rifampisin selama kehamilannya. Kelainan auditorius dan vestibuler yang ringan
pernah ditemukan pada terapi dengan streptomisin. Kalau isoniazid digunakan selama
kehamilan, piridoksin harus pula diberikan sebagai suplemen untuk mengurangi
kemungkinan neurotoksisitas yang potensial pada janin.
Bayi dari wanita yang menderita tuberculosis, mempunyai berat badan lahir rendah, 2 x
lipat meningkatkan persalinan premature, kecil masa kehamilan, dan meningkatkan
kematian perinatal 6 kali lipat.

Jika seorang wanita positif tuberculosis, riwayat penyakit harus dianamnesis dengan cermat
dan pemeriksaan fisik yang lengkap harus dilakukan dengan melakukan foto thorks dan
bagian abdomen dilindungi ketika pemeriksaan kardiologi itu dilakukan. Jika hasilnya
negative, pengobatan tidak diberikan sampai sesudah persalinan bayi, yaitu dengan
pemberian isoniazid selama satu tahun sebagai tindakan profilaksis. Bayi yang lahir dari ibu
dengan tuberculosis cukup rentan terhadap penyakit tersebut. Karena itu bayi harus
diisolasi segera dari ibunya yang dicurigai tuberculosis aktif. Karena adanya risiko untuk
terjadinya.

C. Gejala Penyakit TBC


Kehamilan tidak banyak memberikan pengaruh terhadap cepatnya perjalanan penyakit ini,
banyak penderita tidak mengeluh sama sekali. Keluhan yang sering ditemukan adalah
batuk-batuk yang lama, badan terasa lemah, nafsu makan berkurang, berat badan
menurun, kadang-kadang ada batuk darah, dan sakit sekitar dada.

D. Penyebab Penyakit TBC


Tingginya angka penderita TBC di Indonesia dikarenakan banyak faktor, salah satunya
adalah iklim dan lingkungan yang lembab serta tidak semua penderita mengerti benar
tentang perjalanan penyakitnya yang akan mengakibatkan kesalahan dalam perawatan
dirinya serta kurangnya informasi tentang proses penyakitnya dan pelaksanaan perawatan
dirumah kuman ini menyerang pada tubuh manusia yang lemah dan para pekerja di
lingkungan yang udaranya sudah tercemar asap, debu, atau gas buangan.
E. Efek Penyakit TBC Pada Janin
Jika kuman TB hanya menyerang paru, maka akan ada sedikit risiko terhadap janin.Untuk
meminimalisasi risiko,biasanya diberikan obat-obatan TB yang aman bagi kehamilan seperti
Rifampisin, INH dan Etambutol. Kasusnya akan berbeda jika TB juga menginvasi organ lain
di luar paru dan jaringan limfa, dimana wanita tersebut memerlukan perawatan di rumah
sakit sebelum melahirkan. Sebab kemungkinan bayinya akan mengalami masalah setelah
lahir. Penelitian yang dilakukan oleh Narayan Jana, KalaVasistha, Subhas C Saha,
Kushagradhi Ghosh, 1999 tentang efek TB ekstrapulmoner tuberkuosis, didapatkan hasil
bahwa tuberkulosis pada limpha tidak berefek terhadap kahamilan, persalinan dan hasil
konsepsi. Namun juka dibandingkan dengan kelompok wanita sehat yang tidak mengalami
tuberculosis selama hamil mempunyai resiko hospitalisasi lebih tinggi (21% : 2%), bayi
dengan APGAR skore rendah segera setelah lahir (19% : 3%), berat badan lahir rendah
(<2500 )
Selain itu, risiko juga meningkat pada janin, seperti abortus, terhambatnya pertumbuhan
janin, kelahiran prematur dan terjadinya penularan TB dari ibu ke janin melalui aspirasi
cairan amnion (disebut TB congenital). Gejala TB congenital biasanya sudah bisa diamati
pada minggu ke 2-3 kehidupan bayi,seperti prematur, gangguan napas, demam, berat
badan rendah, hati dan limpa membesar. Penularan kongenital sampai saat ini masih
belum jelas,apakah bayi tertular saat masih di perut atau setelah lahir.

F. Pengaruh tuberkulosis pada persalinan.


Setengah dari jumlah kasus yang dilaporkan selama proses persalinan terjadi infeksi pada
bayi yang disebabkan karena teraspirasi secret vagina yang terinfeksi kuman tuberculosis.

G. Pengaruh tuberkulosis pada bayi


Bakteriemia selama kehamilan dapat menyebabkan infeksi plasenta, sehingga janinpun
dapat terinfeksi, kalaupun ada, kejadian ini jarang tetapi fatal. Pada setengah kasus infeksi
didapatkan penyebaran hematogen pada hati atau paru melalui vena umbilikalis, setengah
kasus lagi infeksi pada bayi disebabkan aspirasi secret vagina yang terinfeksi selama proses
persalinan. Infeksi neonatal tidak mungkin terjadi jika ibunya yang menderita tuberculosis
aktif telah berobat minimal 2 minggu sebelum bersalin atau kultur BTA mereka negative.
BAB II
RUANG LINGKUP

Klasifikasi Kasus TB :
1. Letak anatomis penyakit
• Tuberkulosis paru, yaitu kasus TB yang mengenai parenkim paru. Tuberkulosis milier
diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya terletak di dalam paru.
• Tuberkulosis ekstraparu, yaitu kasus TB yang mengenai organ lain selain paru seperti
pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus), abdomen,
traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput otak.1,2
2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
• Tuberkulosis paru BTA positif, yaitu apabila : Minimal satu dari sekurang-kurangnya
dua kali pemeriksaan dahak menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang
memenuhi syarat quality external assurance(EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan
dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari. Saat ini di Indonesia sudah memiliki
beberapa laboratorium yang memenuhi syarat EQA. Pada negara atau daerah yang
belum memiliki laboratorium dengan syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah:
Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau satu hasil pemeriksaan
dahak BTA positif dan didukung hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan
gambaran TB yang ditetapkan oleh klinisi, atau satu hasil pemeriksaan dahak BTA
positif ditambah hasil kultur M. tuberculosis positif.
• Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila: Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil
kultur positif. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada laboratorium
yang memenuhi syarat EQA. Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan
dahak BTA negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan
prevalens HIV> 1% atau pasien TB dengan kehamilan ≥ 5%ATAU :
• Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negaif di daerah yang belum memiliki
fasilitas kultur M.tuberculosis
• Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan disertai salah satu di bawah ini:
- Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai HIV, atau
- Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau prevalens HIV rendah), tidak
menunjukkan perbaikan setelah pemberian antibiotik spektrum luas (kecuali
antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti fluorokuinolon dan
aminoglikosida).
Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran
radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial (dalam 2
bulan) menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat
akan lebih mendukung. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan
telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang tidak ada
perubahan gambaran radiologi.

3. Riwayat pengobatan sebelumnya


Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi obat atau
MDR. Pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe
berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:
• Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu bulan. Pasien
dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di
manapun.
• Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan, dengan hasil
dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di manapun, terdiri
dari :
• Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
• Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah berobat dan putus
berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif.
• Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan dahak tetap
positif satu kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama
pengobatan
• Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan ke register lain untuk
melanjutkan pengobatannya.
• Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas, seperti yang
tidak diketahui riwayat pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak
diketahui hasil pengobatannya, dan kembali diobati dengan BTA negatif.

Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan
bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.

Gejala Klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala lokal dan gejala sistemik. Bila
organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai
organ yang terlibat). Gejala respiratori terdiri dari batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak napas,
dan nyeri dada. Sedangkan gejala sistemik terdiri dari demam, malaise, keringat malam,
anoreksia dan berat badan menurun. Pada TB ekstraparu gejala tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak nyeri dari
kelenjar getah bening. Pada meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Sedangkan pada
pleuritis TB terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang rongga
pleuranya terdapat cairan.

Pemeriksaan Fisik
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan
(awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.
Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik suara napas melemah, ronki basah,
tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum.

Pemeriksaan Bakteriologi
Bahan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah dahak, cairan pleura,
liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urine, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH). Untuk pemeriksaan dahak dilakukan pengambila dahak 2 kali dengan minimal satu
kali dahak pagi hari. Pemeriksaan mikroskopis biasa menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen
dan mikroskopis fluoresens menggunakan pewarnaan auramin-rhodamin.

Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala


International Union Against Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:
• Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
• Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan
• Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
• Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
• Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3

Pemeriksaan identifikasi M.tuberculosis dapat dilakukan dengan cara biakan (pada egg base
media, yaitu Lowenstein-Jensen, Ogawa, dan Kudoh; pada agar base media yaitu Middle
Brook, Mycobacterium growth indicator tube test, BACTEC), melalui uji molekular seperti PCR-
Based Methods of IS6110 Genotyping. Uji kepekaaan yang dapat digunakan antara lain hain
test (uji kepekaan terhadap R dan H), molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R), dan
gene x-pert (uji kepekaan untuk R).

Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar yang dapat digunakan adalah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas
indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik, atau CT-Scan. Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif adalah:
• Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
• Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
• Bayangan bercak milier
• Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif:


• Fibrotik
• Kalsifikasi
• Schwarte atau penebalan paru.

Luluh paru (destroyed lung):


• Terdapatnya gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut dengan luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari
atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi
atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
• Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktivitas proses penyakit.
Luas proses yang tampak pada foto toraks dapat dinyatakan sebagai berikut ini:
• Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru, dengan luas tidak lebih
dari volume paru yang terletak di atas chondrostenal junction dari iga kedua dan prosesus
spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak
dijumpai kavitas.
• Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

Pemeriksaan Penunjang Lain :


• Analisa cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada pasien
efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis TB adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan eksudat, serta pada
analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa rendah.
• Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau autopsi.
• Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator spesifik untuk TB. Laju endap
darah (LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan
pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal tidak
menyingkirkan TB. Limfosit juga kurang spesifik.
BAB III
TATA LAKSANA

A. Tata Laksana TB pada Kehamilan


Bakteri TB berbentuk batang dan mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam.
Karena itu disebut basil tahan asam (BTA). Kuman TB cepat mati terpapar sinar matahari
langsung,tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat gelap dan lembap. Dalam
jaringan tubuh, kuman ini dapat melakukan dormant (tertidur lama selama beberapa
tahun). Penyakit TB biasanya menular pada anggota keluarga penderita maupun orang di
lingkungan sekitarnya melalui batuk atau dahak yang dikeluarkan si penderita. Hal yang
penting adalah bagaimana menjaga kondisi tubuh agar tetap sehat.
Seseorang yang terpapar kuman TB belum tentu akan menjadi sakit jika memiliki daya
tahan tubuh kuat karena sistem imunitas tubuh akan mampu melawan kuman yang masuk.
Diagnosis TB bisa dilakukan dengan beberapa cara, seperti pemeriksaan BTA dan rontgen
(foto torak). Diagnosis dengan BTA mudah dilakukan,murah dan cukup reliable.
Kelemahan pemeriksaan BTA adalah hasil pemeriksaan baru positif bila terdapat kuman
5000/cc dahak. Jadi, pasien TB yang punya kuman 4000/cc dahak misalnya, tidak akan
terdeteksi dengan pemeriksaan BTA (hasil negatif). Adapun rontgen memang dapat
mendeteksi pasien dengan BTA negatif, tapi kelemahannya sangat tergantung dari keahlian
dan pengalaman petugas yang membaca foto rontgen. Di beberapa negara digunakan tes
untuk mengetahui ada tidaknya infeksi TB, melalui interferon gamma yang konon lebih baik
dari tuberkulin tes.
Diagnosis dengan interferon gamma bisa mengukur secara lebih jelas bagaimana beratnya
infeksi dan berapa besar kemungkinan jatuh sakit. Diagnosis TB pada wanita hamil
dilakukan melalui pemeriksaan fisik (sesuai luas lesi), pemeriksaan laboratorium (apakah
ditemukan BTA?), serta uji tuberkulin.
Uji tuberkulin hanya berguna untuk menentukan adanya infeksi TB, sedangkan penentuan
sakit TB perlu ditinjau dari klinisnya dan ditunjang foto torak. Pasien dengan hasil uji
tuberkulin positif belum tentu menderita TB. Adapun jika hasil uji tuberkulin negatif, maka
ada tiga kemungkinan, yaitu tidak ada infeksi TB, pasien sedang mengalami masa inkubasi
infeksi TB, atau terjadi anergi. Kehamilan tidak akan menurunkan respons uji tuberkulin.
Untuk mengetahui gambaran TB pada trimester pertama, foto toraks dengan pelindung di
perut bisa dilakukan, terutama jika hasil BTA-nya negatif

Wanita hamil
Gejala TBC adalah dimulai dengan batuk-batuk ringan, tetapi lama-lama tambah hebat
hingga keluar darah sedikit-sedikit. Gejala-gejala lainnya adalah: penderita tampak pucat,
badan lemah semakin kurus, suhu badan naik dan kalau malam hari mengeluarkan
keringat. Menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya sebagai daya pertahanan alam.
Menjuhi sumber penularan. Selain itu bagi yang biasa ke dokter, dapat juga minta
penyuntikan vaksin BCG. Seorang ibu yang menderita TBC paru-paru, sebaiknya tidak
menyusui anaknya selama belum sembuh.
Seseorang yang menderita penyakit tertentu, di samping TB, memerlukan pengobatan yang
berhati-hati sehingga tidak terjadi kesalahan pemberian obat.
b. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan Tuberkolosis (TB) pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua Obat Anti Tuberkolosis
(OAT) aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada
kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta.
Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan
yang menetap pada bayi yang yang akan dilahirkan.
Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting
artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan
terhindar dari kemungkinan tertular TB.

c. Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada
umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan
bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan
dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya

d. Penderita TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang penderita TB
sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung
estrogen dosis tinggi (50 mcg).

e. Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksana pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti
penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya dengan penderita
TB yang tidak disertai HIV/AIDS.
Prinsip pengobatan penderita TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB.
Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan
standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip
Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan penderita TB-HIV
sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan
pengobatan secara teratur.
Penderita TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT
(Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

f. Penderita TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb
sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan
sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H)
selama 6 bulan.

g. Penderita TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan
bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali,
pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita
dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat
dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE.

h. Penderita TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
dengan dosis standar pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal
ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai
faal ginjal. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita dengan gagal ginjal adalah
2HRZ/4HR.

i. Penderita TB dengan Diabetes Melitus


Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral
anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin
dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan
dengan anti diabetes oral. Pada penderita Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi
retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat
memperberat kelainan tersebut.
j. Penderita TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa penderita
seperti:
Meningitis TB
TB milier dengan atau tanpa meningitis
TB dengan Pleuritis eksudativa
TB dengan Perikarditis konstriktiva.

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan
kemajuan pengobatan.

k. Indikasi operasi
Penderita-penderita yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah:
4) Untuk TB paru:
Penderita batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif.
Penderita dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi
secara konservatif.
Penderita MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

5) Untuk TB ekstra paru:


Penderita TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya penderita TB tulang yang
disertai kelainan neurologik.
Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada wanita hamil tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk wanita hamil,
kecuali streptomisin karena dapat menembus barier placenta dan dapat
menyebabkan permanent ototoxic terhadap janin dengan akibat terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada janin tersebut.
Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat
penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkannya terhindar dari kemungkinan penularan TB.

Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya paduan pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi
tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus menyusu. Pengobatan pencegahan
dengan INH dapat diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya selama 6
bulan. BCG diberikan setelah pengobatan pencegahan.

Wanita penderita TB pengguna kontrasepsi.


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga
dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang wanita penderita TB seyogyanya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis
tinggi (50 mcg).

Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS


Prosedur pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti
penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya

Penderita TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan TB
sangat diperlukan dapat diberikan SE selama 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan
dilanjutkan dengan RH selama 6 bulan, bila hepatitisnya tidak menyembuh seharus dilanjutkan
sampai 12 bulan.

Penderita TB dengan penyakit hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan TB. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT harus dihentikan.
Pirazinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan obat yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH
atau 2HES/10HE atau 9RE.

Penderita TB dengan gangguan ginjal


Isoniazid, Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan dengan dosis normal pada penderita-
penderita dengan gangguan ginjal. Hindari penggunaan Streptomisin dan Etambutol kecuali
dapat dilakukan pengawasan fungsi ginjal dan dengan dosis diturunkan atau interval
pemberian yang lebih jarang. Paduan OAT yang paling aman untuk penderita dengan
gangguan ginjal adalah 2RHZ/6HR.

Penderita TB dengan Diabetes Melitus


Diabetesnya harus dikontrol. Perlu diperhatikan bahwa penggunaan Rifampisin akan
mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu
ditingkatkan. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena mempunyai komplikasi
terhadap mata.

Penderita-penderita TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa penderita
seperti :TB meningitis, TB milier dengan atau tanpa gejala-gejala meningitis, TB Pleuritis
eksudativa,TB Perikarditis konstriktiva. Prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari,
kemudian diturunkan secara bertahap 5-10 mg . Lama pemberian disesuaikan dengan jenis
penyakit dan kemajuan pengobatan.
Pengobatan atau Tindak Lanjut Bagi Penderita :
6. Penderita Yang Sudah Sembuh
Penderita dinyatakan sembuh bila penderita telah menyelesaikan pengobatannya
secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) paling sedikit 2 (dua) kali
berturut-turut hasilnya negatif (yaitu pada AP dan/atau sebulan sebelum AP, dan pada
satu pemeriksaan follow-up sebelumnya).
Tindak lanjut: Penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan
diri dengan mengikuti prosedur tetap.

7. Pengobatan Lengkap
Adalah penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tapi tidak
ada hasil, pemeriksaan ulang dahak 2 kali berturut-turut negatif.
Tindak lanjut: Penderita diberitahu apabila gejala muncul kembali supaya memeriksakan
diri dengan mengikuti prosedur tetap. Seharusnya terhadap semua penderita BTA
positif harus dilakukan pemeriksaan ulang dahak sesuai dengan petunjuk.

8. Pindah
Adalah penderita yang pindah berobat ke daerah kabupaten/kota lain.
Tindak lanjut : Penderita yang ingin pindah, dibuatkan surat pindah (Form TB.09) dan
bersama sisa obat dikirim ke UPK yang baru. Hasil pengobatan penderita dikirim kembali
ke UPK asal, dengan formulir TB.10.

9. Defaulted atau Drop Out


Adalah penderita yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum
masa pengobatannya selesai.
Tindak lanjut: lacak penderita tersebut dan beri penyuluhan pentingnya berobat secara
teratur. Apabila penderita akan melanjutkan pengobatan, lakukan pemeriksaan dahak.
Bila positif mulai pengobatan dengan kategori-2 ; bila negatif sisa pengobatan kategori-1
dilanjutkan.

10. Gagal
Penderita BTA positif yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada satu bulan sebelum akhir pengobatan atau pada akhir pengobatan.
Tindak lanjut : Penderita BTA positif baru dengan kategori 1 diberikan kategori 2 mulai
dari awal.

Penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2 dirujuk ke UPK spesialistik
atau berikan INH seumur hidup.

Penderita BTA negatif yang hasil pemeriksaan dahaknya pada akhir bulan ke 2 menjadi
positif.
Tindak lanjut: berikan pengobatan kategori 2 mulai dari awal :

l. Tata Laksana Tuberkulosis dalam persalinan.


11. Bila proses tenang, persalinan akan berjalan seperti biasa, dan tidak perlu
tindakan apa-apa.
12. Bila proses aktif, kala I dan II diusahakan mungkin. Pada kala I, ibu hamil
diberi obat-obat penenang dan analgetik dosis rendah. Kala II diperpendek
dengan ekstraksi vakum/forceps.
13. Bila ada indikasi obstetrik untuk sectio caesarea, hal ini dilakukan dengan
bekerja sama dengan ahli anestesi untuk memperoleh anestesi mana yang
terbaik.

m. Tata Laksana tuberkulosis dalam masa nifas


14. Usahakan jangan terjadi perdarahan banyak : diberi uterotonika dan
koagulasia.
15. Usahakan mencegah adanya infeksi tambahan dengan memberikan
antibiotika yang cukup.
16. Bila ada anemia sebaiknya diberikan tranfusi darah, agar daya tahan ibu
kuat terhadap infeksi sekunder.
17. Ibu dianjurkan segera memakai kontrasepsi atau bila jumlah anak sudah
cukup, segera dilakukan tubektomi,
n. Penanganan Bayi Baru Lahir Yang Sehat dari Ibu yang menderita Tuberkulosis
Bayi baru lahir yang sehat dari ibu yang menderita tuberkulosis, harus
dipisahkan dengan segera setelah lahir sampai pemeriksaan bakteriologi ibu
negatif dan bayi sudah mempunyai daya tahan tubuh yang cukup. 50% bayi
baru lahir dari ibu yang menderita tuberkulosis aktif, menderita tuberkulosis
pada tahun pertamanya, maka kemoprofilaksis dengan isonizid 1 tahun dan
vaksinasi BCG harus segera dilakukan sebelum menyerahkan bayi pada ibunya.
Pendapat ini masih diperdebatkan, tetapi keputusan akhir dilakukan dengan
pertimbangan lingkungan sosial ibu, ibu dapat dipercaya dapat mengobati diri
sendiri dan bayinya yang baru lahir.
Vaksin BCG termasuk golongan kuman hidup yang dilemahkan dari M.bovon
yang telah dikembangkan 50 tahun yang lalu. Semua BBL dari ibu yang TBC
aktif atau reaktif harus divaksinasi pada hari pertama kelahiran dengan dosis
0,1 ml intracutan pada regio deltoid jika divaksinasi. Efek sampingnya dapat
membesar dan terjadi ulkus. Setelah 6 bulan papul merah tadi dapat mengecil,
berlekuk dengan jaringan parut putih seumur hidup. Untuk mengurangi waktu
pemisahan ibu yang menderita tuberkulosis aktif dengan bayinya, dapat
diberikan INH dan BCG segera setelah bayi lahir, bayi dipulangkan ke ibunya
jika INH profilaksis telah diberikan sampai tes tuberkulin positif. Dua syarat
menggunakan cara pengobatan ini adalah kuman tuberkulosis ibu sensitiv
terhadap INH dan penderita dapat dipercaya bisa dan mampu memberikan
obat tersebut pada ibunya.

o. Cara pemberian ASI pada wanita dengan tuberculosis


Pemberian ASI dari ibu yang meminum obat tuberculosis selama kehamilan
dan tetap diteruskan setelah persalinan tidak berbahaya bagi bayi. Wanita
yang tenderita tuberculosis dapat menyusui bayinya dengan menggunakan
master sehingga dapat mencegah terjadinya penularan pada bayi.

BAB IV
DOKUMENTASI

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang sangat penting dalam sistem
informasi penanggulan TB. Semua unit pelaksana pengobatan TB harus melaksanakan suatu
sistem pencatatan dan pelaporan yang baku. Untuk itu pencatatan dibakukan berdasarkan
klasifikasi dan tipe penderita serta menggunakan formulir yang sudah baku pula.
Pencatatan yang dilaksanakan di unit pelayanan kesehatan meliputi beberapa item/formulir
yaitu :
18. Kartu pengobatan TB
19. Register laboratorium TB
20. Formulir pindah penderita TB
21. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan
Cara pengisian formulir sesuai dengan buku pedoman penanggulan TB Nasional (P2TB)
Jika memungkinkan data yang ada dari formulir TB01 dimasukkan ke dalam formulir register TB
Catatan :
- Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk kepentingan
pencatatan pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru
- Bila seorang pasien ekstraparu pada beberapa organ, maka dicatat sebagai ekstraparu pada
organ yang penyakitnya paling berat

Anda mungkin juga menyukai