Anda di halaman 1dari 34

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Kehamilan
2.1.1 Definisi Kehamilan
Kehamilan adalah kondisi dimana seorang wanita memiliki
janin yang sedang tumbuh di dalam tubuhnya atau di dalam rahim.
Kehamilan pada manusia berkisar 40 minggu atau 9 bulan di hitung
dari awal periode menstrusi terakhir sampai melahirkan. Kehamilan
sendiri merupakan suatu proses yang perlu perawatan khusus agar
dapat berlangsung dengan baik. Resiko kehamilan sendiri bersifat
dinamis karena pada ibu hamil yang bersifat normal secara tiba-tiba
dapat beresiko tinggi (Katmini, 2020).
2.1.2 Tanda dan Gejala Kehamilan
Tanda hamil adalah perubahan fisiologi yang timbul selama
hamil. Ada tiga tanda kehamilan, yaitu tanda dugaan hamil, tanda
kemungkinan hamil dan tanda pasti hamil
a. Tanda diduga hamil
1) Amenorea, amenorea penting di ketahui untuk memastikan
hari pertama haid terakhir (HPHT) dan di gunakan untuk
perkiraan usia kehamilan dan tafsiran persalinan.
2) Mual dan muntah (emesis gravidarum) terjadi pada 3 bulan
pertama kehamilan sering terjadi pada pagi hari tapi tidak
terlalu
3) Mengidam
4) Mamma tegang dan membesar, disebabkan oleh pengaruh
estrogen dan progesteron yang merangsang duktuli dan
alveoli di mammae
5) Sering kencing, terjadi karena pada bulan-bulan pertama
kehamilan kandung kemih tertekan oleh uterus yang
membesar
6) Obstipasi, terjadi karena tonus otot menurun yang di
sebabkan oleh pengaruh hormon progesterone
7) Pigmentasi kulit (kehitaman) oleh pengaruh hormon
kortikosteroid plasenta yang dijumpai pada muka, areola
mammae, leher dan dinding perut
8) Epulis, hipertrofi palilla gingivae (gusi bengkak) sering
terjadi pada trimester pertama (Setiawati, 2020)
b. Tanda kemungkinan hamil (belum pasti)
1) Pembesaran perut : Terjadi akibat pembesaran uterus. Hal
ini terjadi pada bulan keempat kehamilan
2) Tanda hegar : tanda hegar adalah pelunakan dan dapat
ditekannya isthimus uteri
3) Tanda goodel : adalah pelunakan serviks. Pada wanita tidak
hamil serviks seperti ujung jidung, sedangkan pada wanita
hamil melunak seperti bibir
4) Tanda chadwick : perubahan warna menjadi keunguan pada
vulva dan mukosa vagina termasuk juga portio dan serviks
5) Tanda piscaseck : merupaka pembesaran uterus yang tidak
simetris. Terjadi karena ovum berimplantasi pada daerah
dekat dengan kornu sehingga daerah tersebut berkembing
lebih dulu
6) Teraba ballotement : ketukan yang mendadak pada uterus
menyebabkan janin bergerak dalam cairan ketuban yang
dapat dirasakan oleh tangan pemeriksa. Hal ini harus ada
pada pemeriksaan kehamilan karena perabaan bagian seperti
bentuk janin saja tidak cukup karena dapat saja merupakan
myoma uteri
7) Pemeriksaan tes biologi kehamilan (planotest) positif :
pemeriksaan ini adalah untuk mendeteksi adanya human
Chorionic Gonaddotropin (hCG) yang di produksi oleh
sinsiotropblastik sel selama kehamilan, hormon direksi ini
peredaran darah ibu (pada plasma darah) dan di eksresi pada
urin ibu (Walyani, 2017)
c. Tanda pasti hamil
1) Dapat di catat dan di dengar bunyi jantung janin dengan
beberapa cara
2) Dapat dirasakan gerakan janin dan ballottement
3) Pada pemeriksaan dengan sinar rontgen tampak kerangka
janin
4) Dengan USG dapat diketahui ukuran kantong janin,
panjangnya dan diperkirakan tuanya kehamilan
5) Tes kehamilan positif (pada kehamilan muda) (Setiawati
2020)
2.1.3 Tanda Bahaya Dalam Kehamilan
Ada 10 tanda bahaya selama periode antenatal adalah :
1. Perdarahan pervaginam
Perdarahan tidak normal yang terjadi pada awal
kehamilan
(perdarahan merah, banyak atau perdarahan dengan nyeri),
kemungkinan abortus, mola atau kehamilan ektopik.
2. Sakit kepala yang hebat, menetap yang tidak hilang.
3. Perubahan visual secara tiba – tiba (pandangan kabur)
4. Nyeri perut hebat
Nyeri yang tidak normal apabila nyeri yang hebat,
menetap dan tidak hilang setelah beristirahat, hal ini
kemungkinan karena appendisitis, kehamilan ektopik, abortus,
penyakit radang panggul, gastritis, penyakit kantung empedu,
abrupsio plasenta, infeksi saluran kemih dll.
5. Bengkak pada muka atau tangan
6. Bayi bergerak kurang dari seperti biasanya Ibu hamil akan
merasakan gerakan janin pada bulan ke 5 atau sebagian ibu
merasakan gerakan janin lebih awal. Jika bayi tidur
gerakannya akan melemah. Bayi harus bergerak paling sedikit
3 x dalam periode 3 jam.
7. Demam dan kejang
8. Kenaikan berat badan tidak bertambah Umumnya kenaikan
berat badan selama hamil yaitu 11,5-16 kg selama hamil dan
selama seminggu naik 0,5 kg.
9. Mual muntah berlebihan
10. Ketuban pecah dini
Ketuban yang pecah sebelum usia kehamilan 37
minggu dapat mengakibatkan kelahiran premature atau
ketuban pecah setelah 37 minggu dan diperiksa belum ada
pembukaan dapat mengakibatkan infeksi intrapartum
(Fatimah & Nuryaningsih, 2016)
2.1.4 Antenatal Care
Antenatal Care adalah suatu pelayanan yang diberikan
oleh tenaga kesehatan profesional dan memiliki kompetensi yang
terdiri dari beberapa program untuk meningkatkan kesehatan
umum ibu, mendeteksi dini penyakit yang dialami ibu selama
masa kehamilan, mendeteksi dini komplikasi yang menyertai
selama masa kehamilan, mendeteksi risiko kehamilan. Salah satu
program antenatal care adalah mempersiapkan proses persalinan
menuju “well born baby and well health mother”, mempersiapkan
perawatan serta proses laktasi bayi, dan membantu ibu
pulih secara optimal hingga berakhakhir masa nifas (Fatkhiyah et
al., 2019; Marniyati et al ., 2016).
2.1.5 Tujuan dan manfaat antenatal care
Pelayanan antenatal care merupakan salah satu program
dari KIA (Kesehatan Ibu dan Anak) yang dipercaya mampu
menurukan angka kesakitan dan kematian pada ibu dan anak.
Selain itu, tujuan lain dari ANC adalah mencegah, mendeteksi,
dan mengatasi masalah kesehatan selama masa kehamilan yang
mampu memberikan dampak buruk bagi ibu dan janin sehingga
proses persalinan dapat berjalan lancar (Marniyati et al.,
2016;Rachmawati et al., 2017).
Adapun manfaat dari antenatal care bagi ibu hamil
adalah untuk mendeteksi adanya penyakit, komplikasi, dan risiko-
risiko yang timbul selama masa kehamilan serta membantu ibu
dalam proses persalinan secara alami sehingga bayi dapat lahir
dalam keadaan normal dan sehat (Fatkhiyah & Izzatul, 2019).
2.1.6 Standar pelayanan antenatal care
Pelayanan antenatal care dikatakan berhasil jika telah
memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Standar
pelayanan antenatal care telah mengalami perbaikan sebanyak 3
kali, bermula dari 7T, kemudian menjadi 10T, dan terakhir menjadi
14T (Suhartini & Sipatuhar, 2020).
Standar pelayanan antenatal care yang ditetapkan
pemerintah, terdiri dari:
1. Timbang berat badan
2. Mengukur tekanan darah
3. Mengukur tinggi fundus uteri
4. Pemberian imunisasi TT (Tetanus Toxoid) lengkap
5. Pemberian tamblet Fe (zat besi) minimal 90 tablet selama masa
kehamilan
6. Tes terhadap penyakit menular seksual
7. Temu wicara dalam rangka persiapan rujukan
8. Penilaian status gizi (mengukur lingkar lengan atas)
9. Menentukan presentasi janin dan denyut jantung janin (DJJ)
10. Test laboratorium ( rutin dan khusus)
11. Pemeriksaan Hb, VDRL (Veneral Disease Research Lab),
protein urine, dan urine reduksi
12. Perawatan payudara dan senam hamil
13. Pemberian obat malaria
14. Pemberian kapsul minyak yodium (obat gondok)
2.2 Ketuban Pecah Dini (KPD)
2.2.1 Definisi Ketuban Pecah Dini (KPD)
Ketuban pecah dini merupakan keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum persalinan. Pecahnya selaput ketuban
berkaitandengan perubahan proses biokimia yang terjadi dalam
kolagen matriks ekstraselular amnion, korion, dan apoptosis
membran janin (Jannah, 2018).
Ketuban pecah dini adalah pecahnya selaput ketuban
sebelum terjadi proses persalinan yang dapat terjadi pada usia
kehamilan cukup waktu atau kurang waktu (Cunningham et al.
2018).
Ketuban pecah dini merupakan keadaan pecahnya selaput
ketuban sebelum terjadinya persalinan, yang berkaitan dengan
adanya perubahan pada proses biokimia yang terjadi dalam
kolagen matriks ekstraselular amnion, korion, dan apoptosis
membran janin (Sarwono Prawirohardjo 2017).
Ketuban pecah dini atau ketuban pecah sebelum waktunya
(KPSW) sering disebut dengan premature repture of the membrane
(PROM) didefinisikan sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum
waktunya melahirkan. Pecahnya ketuban sebelum persalinan atau
pembukaan pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara
kurang dari 5 cm. Hal ini dapat terjadi pada kehamilan aterm
maupun pada kehamilan preterm. KPD yang memanjang adalah
KPD yang terjadi lebih dari 12 jam sebelum waktu melahirkan.
Pada keadaan ini dimana risiko infeksi ibu dan anak meningkat.
Ketuban pecah dini merupakan masalah penting dalam masalah
obstetri yang juga dapat menyebabkan infeksi pada ibu dan bayi
serta dapat meningkatkan kesakitan dan kematian pada ibu dan
bayi (Rohmawati and Fibriana 2018).
2.2.2 Epidemiologi
Epidemiologi ketuban pecah dini (KPD) atau premature
rupture of membrane (PROM) dilaporkan sebesar 8%. Secara
Global, Insidensi KPD dilaporkan sebesar 8%. Pada suatu
penelitian yang dilakukan di Swedia, kejadian KPD paling banyak
terjadi pada usia gestasi 34-46 minggu. Sedangkan pada penelitian
di Cina, kejadian KPD ditemui pada sebanyak 4.000.000
persalinan setiap tahunnya (Liu J, Feng Z 2016; Ranzcog 2017).
Di Indonesia, menurut data dari Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia, angka kematian ibu dan neonatus di Indonesia
pada tahun 2015 masing- masing adalah 305 per 100.000 kelahiran
hidup dan 32 per 1.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan
Indonesia 2018).
Salah satu penyebab mortalitas ibu dan neonatus adalah
kejadian ketuban pecah dini. Hingga saat ini belum ada data yang
dapat menunjukkan secara pasti angka kejadian KPD secara
nasional. Dalam suatu penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. dr.
R.Kandou Manado dilaporkan bahwa dari 3.810 persalinan di
rumah sakit tersebut terdapat 1,54% atau 59 kasus KPD. Sebanyak
72% kasus KPD terjadi pada usia kehamilan lebih dari 37 minggu,
dengan sebagian besar ibu berada pada rentang usia 20-24 tahun
(Lowing J, Lengkong R 2015).
Insidensi KPD berkisar antara 8-10% dari semua
kehamilan. Pada kehamilan aterm, insidensinya bervariasi antara 6-
19%. Sedangkan pada kehamilan preterm, insidensinya 2% dari
semua kehamilan. Hampir semua KPD pada kehamilan preterm
akan lahir sebelum aterm atau persalinan akan terjadi dalam satu
minggu setelah selaput ketuban pecah. Sekitar 85% morbiditas dan
mortalitas perinatal disebabkan oleh prematuritas. KPD
berhubungan dengan penyebab kejadian prematuritas dengan
insidensi 30-40% (Syarwani, Tendean, and Wantania
2020).
2.2.3 Klasifikasi
KPD terbagi atas dua, yaitu PROM (Premature Rupture of
The Membranes) ketuban pecah di usia kehamilan >37 minggu,
penyebabnya karena melemahnya membran amnion secara
fisiologis dan PPROM (Preterm Premature Of The Membrane)
Ketuban pecah dini yang terjadi di usia kehamilan <37 minggu
(Beckman 2010).
2.2.4 Etiologi
Pada dasarnya mekanisme yang mengawali ketuban pecah
dini belum bisa dipastikan secara jelas, karena kejadian KPD
merupakan sindroma yang dapatberhubungan dengan berbagai
faktor. Ketuban pecah dini memiliki hubungan dengan hal-hal
seperti Infeksi intra uterine disebabkan oleh mikroorganisme yang
ditemukan maupun menyebar di uterus. Temuan patologis berupa
bakteri dalam cairan ketuban dikenal sebagai invasi mikroba dari
rongga amnion. Mayoritas kolonisasi tersebut baru bisa terdeteksi
melalui analisis cairan ketuban. KPD dapat disebabkan oleh infeksi
beberapa macam flora vagina seperti Streptokokus grup B,
Stafilokokus aureus, Trichomonas vaginalis melalui proses sekresi
protease sehingga membrean pada selaput ketuban terdegradasi dan
akhirnya selaput ketuban melemah kekuatannya (Sualman 2015).
Mekanisme penyebab infeksi bakteri dikarenakan aktivitas
enzim fosfolipase A2 yang merangsang pelepasan prostaglandin,
sel interleukin Endoktoksin bakteri, produksi enzim proteolitik
yang menyebabkan lemahnya selaput ketuban, lepasnya radikal
bebas dan reaksi peroksidase yang merusak selaput ketuban,
peningkatan jumlah lisolesitin dalam cairan amnion yang dapat
mengaktivasi fosfolipid A2, dan Ascending infection oleh bakteri
(Setiawati 2020).
Selain itu penyebab lain juga dikarenakan serviks yang
inkompetensi. Inkompetensi serviks ialah kelainan pada otot-otot
leher rahim berupa terlalu lemah dan lunak sehingga dapat
membuka di tengah-tengah fase kehamilan karena tidak mampu
menahan desan dari janin yang tumbuh semakin membesar.
Serviks yang inkompeten dinilai dari adanya ketidakmampuan
serviks uteri untuk
mempertahankan kehamilan. Pada kebanyakan kasus, kelainan ini
diakibatkan oleh trauma bedah pada serviks pada konisasi,
produksi eksisi loop elektrosurgical, dilatasi berlebihan serviks
pada terminasi kehamilan atau laserasi obstetrik sehingga
menyebabkan kehilangan kehamilan pada trimester kedua
(Sarwono Prawirohardjo 2017).
Manuaba menambahkan penyebab inkompetensi serviks
dapat berupa laserasi sebelumnya melalui ostium uteri atau
merupakan suatu kelainan kongenital pada serviks yang
memungkinkan terjadinya dilatasi berlebihan tanpa perasaan
nyeri dan mules dalam masa kehamilan trimester kedua atau awal
trimester ketiga yang diikuti dengan robekan selaput janin serta
keluarnya hasil konsepsi (Manuaba 2010).
Peingkatan tekanan intrauterin secara berlebihan dapat
menyebabkan terjadinya ketuban pecah dini. Contohnya pada
kasus kehamilan kembar dengan dua janin atau lebih yang
menyebabkan ketegangan pada rahim secara berlebihan. Hal ini
terjadi karena jumlah kandungan yeng lebih dari 1 membuat isi
rahim lebih besar dan selaput ketuban relatif kecil, di sisi bawah
tidak ada yang menahan sehingga akhirnya selaput ketuban
menjadi tipis dan mudah pecah (Sarwono Prawirohardjo 2017).
Paritas, wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan
pernah mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan sebelumnya
dengan jarak kelahiran yang terlalu dekat diyakini lebih berisiko
akan mengalami ketuban pecah dini pada kehamilan
berikutnya (Nugroho 2012).
Terjadinya pecah ketuban juga dapat disebabkan oleh efek
fisik yang berhubungan dengan kontraksi prematur dan prolaps
selaput ketuban dengan adanya dilatasi servik prematur, sama
halnya dengan peningkatan tekanan intrauterine seperti dalam
kasus polihidramnion. Kelainan jaringan ikat tertentu (misalnya
pada sindrom (Ehlers-Danlos) dapat menyebabkan kelemahan
selaput ketuban secara intrinsik. Selain itu, faktor status sosial
ekonomi yang rendah, ibu dengan BMI yang rendah (<19,8
kg/m2), defisiensi nutrisi (contohnya tembaga, vitamin C), dan
riwayat konisasi serviks dikaitkan dengan kejadian ketuban pecah
dini preterm, merokok selama kehamilan, sirklase serviks, riwayat
kontraksi prematur, dan oversistensi uterus seperti pada
polihidramnion dan kehamilan ganda juga dihubungkan dengan
ketuban pecah dini preterm (Mercer 2016)
2.2.5 Patofisiologi
Pada ketuban pecah dini terjadi perubahan-perubahan
seperti penurunan jumlah jaringan kolagen dan terganggunya
struktur kolagen, serta peningkatan aktivitas kolagenolitik.
Degradasi kolagen tersebut terutama disebabkan oleh matriks
metaloproteinase (MMP). MMP merupakan suatu grup enzim yang
dapat memecah komponen-komponen matriks ekstraseluler. MMP
diproduksi oleh amnion, korion, dan desidua. MMP-1 dan MMP-8
berperan dalam degradasi
kolagen tipe I dan III, MMP-2 dan MMP-9 berperan dalam
memecah kolagen tipe IV. Pada selaput ketuban juga diproduksi
penghambat metaloproteinase atau Tissue Inhibitor of
Metalloproteinase (TIMP). TIMP-1 menghambat aktivitas MMP-1,
MMP-8, MP-9 dan TIMP-2 menghambat aktivitas MMP-2
(Thorell et al. 2015).
MMP-1, MMP-2, MMP-3, MMP-8 dan MMP-9 ditemukan
dalam konsentrasi yang lebih tinggi dalam cairan amnion dari
kehamilan dengan KPD preterm, sedangkan TIMP ditemukan
dalam konsentrasi rendah dalam cairan amnion dari wanita dengan
KPD. Maymon dkk. Menyebutkan bahwa KPD preterm (dengan
atau tanpa infeksi) dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi
MMP-1 di
cairan amnion sedangkan KPD aterm dikaitkan dengan
peningkatan konsentrasi MMP-8 (Tchirikov et al. 2017).
Melemahnya selaput ketuban diakibatkan dari ketidak
seimbangan antara Matrix Metalloproteinase (MMP) dan Tissue
Inhibitor Of Metalloproteinase (TIMP) melalui degradasi kolagen
dan peningkaan sitokin lokal oleh Tumor Necrosis Factor (TNF-α)
melalui proses apoptosis. Aktivasi MMP dan TNF-α telah
menunjukkan kerja yang bersifat sinergis atau saling
mempengaruhi untuk menyebabkan terjadinya pecah ketuban
(Cunningham et al. 2018).
Secara fisiologis, selama kehamilan terjadi proses
remodelling jaringan dalam bentuk perubahan pada matriks
interseluler dan perubahan tipe dan komposisi kolagen. Tujuan
proses remodelling adalah untuk menyesuaikan perubahan tekanan
dan volume selaput ketuban selama berkembangnya kehamilan.
Perubahan ini justru dapat menyebabkan pelemahan struktur
selaput ketuban yang bisanya lebih nampak pada daerah internal os
servikal (Mercer 2016).
Pada jaringan reproduktif, estradiol dan progesteron dapat
meminimalisir proses remodelling matriks ektraseluler. Kedua
hormon tersebut dapat meningkatkan konsentrasi TIMP dan
menurunkan konsentrasi MMP-1 serta MMP- 3 pada fibroblas
serviks. Konsentrasi progesteron yang tinggi menyebabkan
penurunan produksi kolagenase. Desidua dan plasenta
memproduksi hormon relaxin yang berfungsi untuk mengatur
pembentukan jaringan ikat, yang mana aktivitasnya berlawanan
dengan efek inhibisi oleh progesteron dan estradiol melalui
peningkatan aktivitas MMP-3 dan MMP-9 pada selaput ketuban
(Mercer 2016)
Penyebab lain ketuban pecah dini yakni terjadinya infeksi
pada saluran genitalia. Secara anatomi, organ reproduksi wanita
baik eksterna maupun interna, lebih rentan terpapar infeksi. Hal ini
terjadi karena lubang vagina letaknya sangat dekat dengan lubang
anus, selain itu juga dipengaruhi oleh proses hormonal yang terjadi
pada saat menstruasi dan kehamilan (Sari 2017).
Beberapa mikroorganisme yang sering dihubungkan sebagai
penyebab ketuban pecah dini adalah Neisseria gonorrhoeae,
Chlamydia trachomatis, Trichomonas Vaginalis, dan group B β-
hemolytic streptococcus. Pada pemeriksaan kultur cairan amnion
setelah ketuban pecah kebanyakan memberikan hasil yang positif
sebesar 25-35% dan dari hasil evaluasi histologi juga menunjukkan
adanya reaksi inflamasi akut dan kontaminasi bakteri pada
koriodesidua (Mercer 2016).
Selaput ketuban sangat kuat pada kehamilan muda. Pada
trimester ketiga selaput ketuban mudah pecah. Melemahnya
kekuatan selaput ketuban ada hubungannya dengan pembesaran
uterus, kontraksi Rahim, dan gerakan janin. Pada trimester terakhir
terjadi perubahan biokimia pada selaput ketuban. Ketuban pecah
dini pada kehamilan prematur disebabkan oleh adanya faktor-
faktor eksternal, misalnya infeksi menjalar dari vagina. Ketuban
pecah dini prematur sering terjadi pada polihidramnion,
inkompeten serviks, solusio plasenta (Sarwono Prawirohardjo
2017).

2.2.6 Gambaran Klinis


Gambaran klinis dari ketuban pecah dini dapat berupa
keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina , aroma air
ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak mungkin cairan
tersebut masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan
bergaris warna merah, jika duduk atau berdiri, kepala lainnya yang
sudah terletak di biasanya mengganjal atau menyumbat kebocoran
untuk sementara, demam, bercak vagina yang banyak, nyeri parut,
denyut jantung janin bertambah cepat merupakan tanda-tanda
infeksi yang terjadi (Sepduwiana 2017).
Selain itu menurut Nugroho,T (2012), Tanda yang terjadi
adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina, aroma
air ketuban berbau manis dan tidak seperti bau amoniak, berwarna
pucat, cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus
diproduksi sampai kelahiran. Tetapi, bila anda duduk atau berdiri,
kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya “mengganjal”
atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara. Sementara itu,
demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung
janin bertambah cepat merupakan tanda- tanda infeksi yang terjadi.
2.2.7 Diagnosis
Penilaian awal dari ibu hamil yang datang dengan keluhan
KPD aterm harus meliputi 3 hal yaitu konfirmasi diagnosis,
konfirmasi usia gestasi dan presentasi janin, dan penilaian
kesejahteraan maternal dan fetal. Beberapa cara yang dapat
dilakukan untuk mendiagnosis KPD adalah:
a. Anamnesis dan pemeriksaan fisik (termasuk pemeriksaan
spekulum)
KPD aterm didiagnosis secara klinis pada anamnenis
spasien dan visualisasi adanya cairran amnion pada
pemeriksaan fisik. Dari anamnesis perlu diketahui waktu dan
kuantitas dari cairan yang keluar, usia gestasi, dan taksiran
persalinan, riwayat KPD sebelumnya, dan faktor risiko.
Pemeriksaan digital vagina yang terlalu sering dan tanpa
indikasi sebaiknya dihindari karena hal ini akan meningkatkan
risiko infeksi neonatus. Spekulum yang digunakan dilubrikasi
terlebih dahulu dengan lubrikan yang dilarutkan dengan cairan
yang steril dan sebaiknya tidak menyentuh serviks.
Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk menilai adanya
servisitis, prolaps tali pusat, atau prolaps bagian terbawah
janin;
menilai dilatasi dan pendataran serviks, mendapatkan sampel
dan mendiagnosis KPD aterm secara visual (POGI 2016).
Jika cairan amnion terlihat jelas mengalir dari serviks,
tidak diperlukan lagi pemeriksaan lainnya untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Jika diagnosis tidak dapat
dikonfirmasi, lakukan tes pH dari forniks posterior vagina (pH
cairan amnion biasanya ~ 7.1- 7.3 sedangkan sekret vagina ~
4.5 – 6) dan cari arborization of fluid dari forniks posterior
vagina. Jika tidak terlihat adanya aliran cairan amnion, pasien
tersebut dapat dipulangkan dari rumah sakit, kecuali jika
terdapat kecurigaan yang kuat ketuban pecah dini. Semua
presentasi bukan kepala yang datang dengan KPD aterm harus
dilakukan pemeriksaan digital vagina untuk menyingkirkan
kemungkinan adanya prolaps tali pusat (POGI 2016).
Pemeriksaan dalam vagina perlu dipertimbangkan pada
kehamilan kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak
perlu dilakukan, karena pada saat pemeriksaan dalam, jari
pemeriksa akan mengakumulasi segmen bawah rahim dengan
flora vagina yang normal dimana mikroorganisme tersebut bisa
dengan cepat berubah menjadi pathogen. Jadi pemeriksaan
dalam vagina hanya dilakukan kalua KPD sudah dalam
persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi
sesedikit mungkin (Nugraha 2015)
b. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium
Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa
warna, konsentrasi, bau dan pHnya. Tes lakmus atau tes
nitrazin, cairan ketuban biasanya memiliki kisaran pH 7,0-
7,3 yang mana lebih basa dari pH normal vagina sehingga
akan mengubah kertas lakmus merah menjadi biru (Romero
and Mazor 2015).
Uji konfirmasi kedua untuk mendapati arborisasi
(ferning). Cairan dari forniks vagina posterior diusapkan di
slide kaca dan dibiarkan mengering selama 10 menit. Cairan
ketuban menunjukkan pola ferning halus, berbeda dengan
lendir serviks kering yang menunjukkan pola arborisasi
yang tebal dan lebar (Susanto et al. 2020).
2) Pemeriksaan ultrasnonografi (USG)
Pemeriksaan penunjang dengan USG membantu
dalam menentukan usia kehamilan, letak janin, berat janin,
letak plasenta serta jumlah air ketuban dalam kavum uteri.
Pada kasus ketuban pecah dini terlihat jumlah cairan
ketuban yang sedikit (Manuaba, 2009). Wanita yang
mengalami KPD preterm sekitar 50-70% menunjukan
gambaran oligohidroamnion dengan tidak adanya “single
pocket” cairan ketuban yang lebih dari 2 cm dan indeks
cairan amnion (AFI) ≤5 cm (Alexander et al, 2000)
2.2.8 Komplikasi
Adapun pengaruh KPD terhadap ibu dan janin menurut
(Sunarti, 2017) yaitu:
1. Prognosis ibu
Komplikasi yang dapat disebabkan KPD pada ibu yaitu
infeksi intrapartal dalam persalinan, infeksi puerperalis/masa
nifas, dry labour/partus lama, perdarahan post partum,
meningkatkan tindakan operatif obstetric (khususnya SC),
morbiditas dan mortalitas maternal.
2. Prognosis janin
Komplikasi yang dapat disebabkan KPD pada janin itu
yaitu prematuritas (sindrom distes pernapasan, hipotermia,
masalah pemberian makanan neonatal),retinopati premturit,
perdarahan intraventrikular,enterecolitis netroticing, gangguan
otak dan resiko cerebral palsy, hyperbilirubinemia, anemia,
sepsis, prolapse funiculi/penurunan tali pusat, hipoksia dan
asfiksia sekunder pusat,prolapse uteri, persalinan lama, skor
APGAR rendah, ensefalopati, cerebral palsy, perdarahan
intracranial, gagal ginjal, distress pernafasan), dan
oligohidromnion (sindrom deformitas janin, hypoplasia
paru,deformitas ekstremitas dan pertumbuhan janin, hypoplasia
paru,defermitas ekstremitas dan pertumbuhan janin terhambabat),
morbiditas dan mortalitas perinatal (Marni dkk, 2016)
2.3 Persalinan
2.3.1 Pengertian Persalian
Persalinan (labor) merupakan serangkain kejadian yang
dimulai dengan sangat kuat beraturan sampai dilahirkannya hasil
fertilisasi (janin, plasenta, ketuban, dan cairan ketuban) yang
berasal di dalam rahim ke dunia luar melewati alur lahir ataupun
melewati alur lain, dengan pertolongan atau dengan kemampuan
sendiri (Asuhan Persalinan & Managemen Nyeri Persalinan, 2019).
Persalinan merupakan sistem kelahiran yang terjadi di
kandungan genap bulan (37-42 minggu), berjalan selama durasi 18-
24 jam, tidak ada masalah terhadap ibu ataupun terhadap janin
(Asuhan Persalinan & Managemen Nyeri Persalinan, 2019)
2.3.2 Tanda-Tanda Awal Persalinan
Sebelum terjadinya proses persalinan, beberapa minggu
sebelum itu perempuan telah masuk “bulannya” ataupun
“minggunya” serta “harinya” yang dikenal dengan kala permulaan.
Ini memperlihatkan ciri- ciri antara lain :
a. Lightening
Di minggu ke 36 di kehamilan yang pertama terjadi
penyusutan perut yang disebabkan oleh kepala bayi telah masuk
ke PAP yang diakibatkan karena : penegangan braxton hicks,
tegangnya otot, tegangnya ligamentum rotundum serta posisi
berat janin kepala munuju ke posisi bawah
b. Terjadinya his permulaan
Semakin matang umur kandungan keluarnya progesteron
serta estrogen makin menurun akhirnya oksitosin bisa
mengakibatkan penegangan, yang biasa dikenal dengan his
buatan, ciri his buatan yakni terasa ngilu kecil disebelah bawah,
munculnya tak beraturan, tidak ada perkembangan serviks,
waktunya singkat, tak meningkat bila melakukan aktivitas
2.3.3 Tanda-tanda persalinan
a. Munculnya his persalinan yaitu kontraksi permulaan seperti ciri-
cirinya antara lain: Nyeri berputar mulai di punggung menjalar
ke fundus daerah depan, beraturan, semakin lama semakin
berkurang selangnya serta semakin kokoh kekuatannya, kalau
dibawa beraktivitas semakin meningkat kokoh, serta memiliki
hubungan dengan perataan ataupun pembukaan serviks.
b. Bloody show (keluarnya lendir disertai darah melewati
kemaluan) bersama kontraksi awal, muncul transformasi di
serviks yang mengakibatkan perataan serta pembukaan, lendir
yang ada di kanalis servikalis terlepas, kapiler pembuluh darah
terpecah, yang menimbulkan darah berkurang.
c. Melalui perataan dan terbukanya lendir yang berasal di canalis
servikalis keluar disertai bersama darah kecil. Perdarahan yang
kecil ini disebabkan oleh lepasnya lapisan janin di sebelah
bawah bagian bawah uterus sehingga sebagian kapiler terpisah.
d. Pengeluaran cairan Disebabkan karena terpecahnya ketuban
ataupun lapisan ketuban sobek. Kebanyakan ketuban akan
terpecah menjelang terjadinya pembukaan 10 tapi terkadang
ketuban terpecah di pembukaan awal,yang dikenal sebagai
ketuban pecah dini
2.3.4 Tahap Persalinan
Tahap-tahap persalinan dibagi menjadi 4 kala yaitu :
a. Kala I biasanya disebut stadium pendataran dan dilatasi serviks
dimulai sejak terjadinya kontraksi uterus dan pembukaan
serviks hingga mencapai pembukaan lengkap (10 cm). Kala I
berlangsung 18- 24 jam dan terbagi menjadi 2 fase yaitu:
1) Fase laten
Dimulai sejak awal kontraksi pembukaan serviks kurang
dari 4 cm dan berlangsung hingga 8 jam.
2) Fase aktif
Dimulai sejak awal kontraksi pembukaan serviks dari 4
ke 10 cm dengan kecepatan 1 cm atau lebih perjam hingga
pembukaan lengkap.
b. Kala II disebut juga sebagai stadium ekspulsi janin, dimulai
dengan pembukaan lengkap dari serviks dan berakhir ketika
janin sudah lahir.
c. Kala III disebut juga sebagai stadium pemisahan dan ekspulsi
plasenta, dimulai segera setelah janin lahir, dan berakhir
dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban janin.
d. Kala IV dimulai setelah lahirnya plasenta dan berakhir dua jam
setelah lahirnya plasenta. Pada kala IV dilakukan pemantauan
15 menit pada jam pertama setelah kelahiran plasenta, 30
menit pada jam kedua setelah kelahiran plasenta (Kurniarum,
Ari 2016 dan Prawirohardjo 2018).

2.3.5 Mekanisme Persalinan


a. Engagement (Penurunan kepala)
Pada primigravida, masuknya kepala ke dalam pintu atas
panggul biasanya sudah terjadi pada bulan terakhir dari
kehamilan, tetapi pada multigravida biasanya baru terjadi pada
permulaan persalinan.
b. Fleksi
Pada awal persalinan, kepala bayi dalam keadaan fleksi
yang ringan. Dengan majunya kepala, fleksi juga akan
bertambah. Pada pergerakan ini, dagu dibawa lebih dekat kearah
dada janin sehinggaubun-ubun kecil lebih rendah dari ubun-
ubun besar. Ini diseabkan karena adanya tahanan dari dinding
serviks, dinding pelvis, dan lateral pelvis. Dengan adanya fleksi,
diameter suboccipito bregmatika (9,5 m) menggantikan diameter
suboccipito frontalis (11 cm) sampai di dasar panggul, biasanya
kepala janin berada dalam keadaan fleksi maksimal
c. Rotasi Dalam (Putaran faksi dalam)
Putaran faksi dalam adalah pemutaran dari bagian depan
sehingga bagian terendah dari bagian depan memutar ke depan
ke bawah symphisis. Pada presentasi belakang kepala bagian
terendah adalah daerah ubun-ubun kecil dan bagian ini akan
memutar ke depan ke bawah symphysis. Putaran gaksi dalam
mutlak diperlukan untuk kelahiran kepala, karena putaran faksi
merupakan suatu usaha untuk menyesuaikan posisi kepala
dengan bentuk jalan lahir khususnya bentuk bidang tengah dan
pintu bawah panggul (Nurhayati, Eka 2019 dan Kurniarum, Ari
2016).
d. Ekstensi
Sumbu jalan lahir pada pintu bawah panggul mengarah ke
depan di atas, sehingga kepala harus mengadakan ekstensi untuk
dapat melewati pintu bawah panggul. Dalam rotasi UUK akan
berputar ke arah depan, sehingga di dasar panggul UUK berada
di bawah simphyisis, dengan subokcciput sebagai hipomoklion
kepala mengadakan gerakan defleksi untuk dapat dilahirkan.
Pada saat ada his vulva akan lebih membuka dan kepala janin
makin tampak. Perineum menjadi makin lebar dan tipis, anus
membuka dinding rektum. Dengan kekuatan his dan kekuatan
mengejan, maka berturut-turut tampak bregmatika, dahi, muka,
dan akhirnya dagu dengan gerakan ekstensi (Nurhayati, Eka
2019 dan Kurniarum, Ari 2016).
e. Rotasi Luar (Putaran faksi luar)
Putaran faksi luar terjadi karena ukuran bahu
menempatkan diri dalam diameter anteroposterior dari pintu
bawah panggul (Nurhayati, Eka 2019 dan Kurniarum, Ari 2016)
2.4 Bayi Baru Lahir
2.4.1 Pengertian Bayi Baru Lahir
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dari
kehamilan 37 minggu sampai 42 minggu dengan berat badan lahir
2500 gram sampai dengan 4000 gram menangis spontan kurang
dari 30 detik setelah lahir dengan nilai APGAR antara 7-10
(Wagiyo,2016: 411).
Bayi baru lahir normal adalah bayi yang lahir dengan umur
kehamilan lebih dari atau sama dengan 37 minggu dengan berat
2500-4000 gram (Armini, dkk. 2017).
2.4.2 Perawatan Bayi Baru Lahir
1. Pemberian ASI
2. Menjaga bayi tetap hangat
3. Perawatan tali pusat
Tali pusat atau Umbilical cord adalah saluran kehidupan
bagi janin selama dalam kandungan, dikatakan saluran kehidupan
karena saluran inilah yang selama 9 bulan 10 hari menyuplai zat –
zat gizi dan oksigen janin. Tetapi begitu bayi lahir, saluran ini
sudah tak diperlukan lagi sehingga harus dipotong dan diikat atau
dijepit.
a. Selalu cuci tangan dengan sabun dan air bersih mengalir
sebelum dan sesudah memegang bayi
b. Jangan memberikan apapun pada tali pusat
c. Rawat tali pusat terbuka dan kering
d. Bila tali pusat kotor atau basah, cuci dengan air bersih dan sabun
mandi dan keringkan degan kain bersih.
2.4.3 Klasifikasi Bayi Baru Lahir
Neonatus dikelompokkan menjadi dua kelompok (Juwita &
Prisusanti,2020), yaitu:
1) Neonatus menurut masa gestasinya
Gestasi atau dapat disebut dengan umur kehamilan
merupakan waktu dari konsepsi yang dihitung dari ibu hari
pertama haid terakhir (HPHT) pada ibu sampai dengan bayi
lahir (Novieastari et al., 2020).
a. Bayi kurang bulan: bayi yang lahir <259 hari (37 minggu)
b. Bayi cukup bulan: bayi yang lahir antara 259–293 hari (37
minggu 42 minggu).
c. Bayi lebih bulan: bayi yang lahir >294 hari (>42 minggu).
2) Neonatus menurut berat badan saat lahir
Bayi lahir ditimbang berat badannya dalam satu jam
pertama jika bayi lahir di fasilitas kesehatan dan jika bayi lahir
di rumah maka penimbangannya dilakukan dalam waktu 24 jam
pertama setelah kelahiran.
a. Bayi berat badan lahir rendah: bayi yang lahir dengan berat
badan <2,5 kg.
b. Bayi berat badan lahir cukup: bayi yang lahir dengan berat
badan antara 2,5 kg–4 kg.
c. Bayi berat badan lahir lebih: bayi yang lahir dengan berat
badan >4 kg.
2.4.4 Ciri-Ciri Bayi Lahir Normal
a. Berat badan 2500-4000 gram,
b. Panjang badan lahir 48-52 cm,
c. Lingkar dada 30-38 cm,
d. Lingkar kepala 33-35 cm
e. Frekuensi jantung 120-160 kali/ menit,
f. Pernapasan 40 – 60 kali/ menit,
g. Kulit kemerah-merahan dan licin karena jaringan subkutan
cukup,
h. Rambut lanugo tidak terlihat, rambut kepala biasanya telah
sempurna,
i. Kuku agak panjang dan lemas,
j. Genetalia : Pada bayi perempuan labia mayora sudah menutupi
labia minora, pada bayi laki-laki testis sudah turun, skrotum
sudah ada,
k. Reflek hisap dan menelan sudah terbentuk dengan baik,
l. Reflek moro/ gerak memeluk bila dikagetkan sudah baik,
m. Eliminasi baik, mekonium akan keluar dalam 24 jam pertama,
mekonium berwarna hitam kecokelatan.
2.4.5 Kunjungan Pada Neonatus
a. 1 (satu) kali pada umur 6-48 jam;
b. 1 (satu) kali pada umur 3-7 hari; dan
c. 1 (satu) kali pada umur 8-28 hari
2.5 Asfiksia
2.5.1 Pengertian Asfiksia
Asfiksia neonatorum adalah suatu kondisi yang terjadi
ketika bayi tidak mendapatkan cukup oksigen selama proses
kelahiran (Mendri & Sarwo prayogi, 2017).
Asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi yang tidak dapat
bernapas spontan dan teratur, sehingga dapat menurunkan O2 dan
makin meningkatnya CO2 yang menimbulkan akibat buruk dalam
kehidupan lebih lanjut (Jumiarni & Mulyati, 2016).
2.5.2 Etiologi
Pengembangan paru-paru neonatus terjadi pada menit-
menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernapasan
teratur, bila terjadi gangguan pertukaran gas atau pengangkutan
oksigen dari ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin atau neonatus.
Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau
segera setelah kelahiran. Penyebab kegagalan pernapasan pada
bayi yang terdiri dari: faktor ibu, faktor plasenta, faktor janin dan
faktor persalinan (Jumiarni & Mulyati, 2016).
Faktor ibu meliputi hipoksia pada ibu yang terjadi karena
hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia
dalam, usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun,
gravida empat atau lebih, sosial ekonomi rendah, setiap penyakit
pembuluh darah ibu yang mengganggu pertukaran gas janin
seperti: kolesterol tinggi, hipertensi, hipotensi, jantung, paru-paru /
TBC, ginjal, gangguan kontraksi uterus dan lain-lain. Faktor
plasenta meliputi solusio plasenta, perdarahan plasenta, plasenta
kecil, plasenta tipis, plasenta tidak menempel pada tempatnya.
Faktor janin atau neonatus meliputi tali pusat menumbung, tali
pusat melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir,
gemeli, IUGR, premature, kelainan kongenital pada neonatus dan
lain- lain. Faktor persalinan meliputi partus lama, partus dengan
tindakan, dan lain- lain (Jumiarni & Mulyati, 2016).
2.5.3 Patofsiologi Asfiksia
Menurut Safrina, (2013) dalam Lia Yulianti (2015), segera
setelah lahir bayi akan menarik nafas yang pertama kali
(menangis), pada saat ini paru janin mulai berfungsi untuk
resoirasi. Alveoli akan mengembang udara akan masuk dan cairan
yang ada di dalam alveoli akan meninggalkan alveoli secara
bertahap. Bersamaan dengan ini arteriol paru akan mengembang
dan aliran darah ke dalam paru meningkat secara memadai
(Yulianti, 2015).
Bila janin kekurangan O2 dan kadar CO2 bertambah
timbulah rangsangan terhadap nervus vagus sehingga DJJ (denyut
jantung janin) menjadi lambat. Jika kekurang O2 terus berlangsung
maka nervus vagus tidak dapat dipengaruhi lagi. Timbulah kini
rangsangan dari nervus simpatikus sehingga DJJ menjadi lebih
cepat dan akhirnya ireguler dan menghilang. Janin akan
mengadakan pernafasan intrauterine dan bila kita periksa kemudian
terdapat banyak air ketuban dan mekonium dalam paru, bronkus
tersumbat dan terjadi atelektasis.
Bila janin lahir, alveoli tidak berkembang. Jika berlanjut,
bayi akan menunjukan pernafasan yang dalam, denyut jantung
terus menurun, tekanan darah bayi juga mulai menurun dan bayi
akan terlihat lemas. Pernafasan makin lama makin lemah sampai
bayi memasuk periode apneu sekunder. Selama epneu sekunder,
denyut jantung, tekanan darah dan kadar O2 dalam darah (PaO2)
terus menurun. Bayi sekarang tidak dapat berekasi terhadap
rangsangan dan tidak akan menunjukan upaya pernafasan secara
spontan (Yulianti 2017)
2.5.4 Asuhan Kebidanan Bayi Baru Lahir Asfiksi
Untuk semua bayi baru lahir, lakukan penilaian awal
dengan menjawab 4 pertanyaan :
1. Sebelum bayi lahir Apakah kehamilan cukup bulan?
2. Apakah air ketuban jernih, tidak bercampur mekonium?
Segera setelah bayi lahir, sambil meletakkan bayi di atas
kain bersih dan kering yang telah disiapkan pada perut bawah ibu,
segera lakukan penilaian berikut:

1) Apakah bayi menangis atau bernafas/tidak megap-megap?


2) Apakah tonus otot bayi baik/bayi bergerak aktif?
Dalam bagan alur manajemen bayi baru lahir dapat dilihat
alurpelaksanaan bayi baru lahir mulai persiapan, penilaian dan
keputusan serta alternatif tindakan yang sesuai dengan hasil
penilaian keadaan bayi baru lahir. Untuk bayi baru lahir cukup
bulan dengan air ketuban jernih yang langsung menangis atau
bernafas spontan dan bergerak aktif cukup dilakukan manajemen
bayi baru lahir normal. Jika bayi kurang bulan (≤37 minggu/259
hari) atau bayi lebih bula (≥ 42 minggu/283 hari) dan atau air
ketuban bercampur mekonium dan atau tidak bernafas atau megap-
megap dan atau tonus otot tidak baik lakukan manjemen bayi baru
lahir dengan asfiksia.
Jika bayi baru lahir tidak mulai bernafas memadai (setelah
tubuhnya dikeringkan dan lendirnya dihisap) berikan rangsangan
taktil secara singkat. Pastikan posisi bayi diletakkan dalam posisi
yang benar dan jalan nafasnya telah bersih. Rangsangan taktil
harus dilakukan secara lembut dan hati-hati sebagai berikut :
(1) Dengan lembut, gosok punggung, tubuh, kaki atau tangan
(ekstremitas) satu atau dua kali.
(2) Dengan lembut, tepuk atau sentil telapak kaki bayi (satu atau
dua kali).

Proses menghisap lendir, pengeringan, dan merangsang


bayi tidak berlangsung lebih dari 30 sampai 60 detik dari sejak
lahir hingga proses tersebut selesai. Jika bayi terus mengalami
kesulitan bernafas, segera mulai tindakan ventilasi aktif terhadap
bayi
Ventilasi Tekanan Positif (VTP) merupakan tindakan
memasukkan sejumlah udara kedalam paru dengan tekanan positif,
membuka alveoli untuk bernafas secara spontan dan teratur.
1. Bila bayi tidak menangis atau megap-megap. Warna kulit
bayi bitu atau pucat, denyut jantung kurang dari 100 kali per
menit, lakukan langkah resusitasi dengan melakukan
Ventilasi Tekanan Positif (VTP).
2. Sebelumnya periksa dan pastikan bahwa alat resusitasi (balon
resusitasi dan sungkup muka) telah tersedia dan berfungsi
baik.
3. Cuci tangan dan gunakan sarung tangan sebelum memegang
atau memeriksa bayi.
4. Selimuti bayi dengan kain kering dan hangat, kecuali muka
dan dada bagian atas, kemudian letakkan pada alas dan
lingkungan yang hangat.
5. Periksa ulang posisi bayi dan pastikan kepala telah dalam
posisi setengah tengadah (sedikit ekstensi).
6. Letakkan sungkup melingkupi dagu, hidung dan mulut
sehingga terbentuk semacam pertautan antara sungkup dan
wajah.
7. Tekan balon resusitasi dengan dua jari atau dengan seluruh
jari tangan (bergantung pada ukuran balon resusitasi).
8. Lakukan pengujian pertautan dengan melakukan ventilasi
sebanyak dua kali dan periksa gerakan dinding dada.
9. Bila pertautan baik (tidak bocor) dan dinding dada
mengembang, maka lakukan ventilasi dengan menggunakan
oksigen (bila tidak tersedia oksigen gunakan udara ruangan).
10. Pertahankan kecepatan ventilasi sekitar 40 kali per detik
dengan tekanan yang tepat sambil melihat gerakan dada (naik
turun) selama ventilasi.
11. Bila dinding dada naik turun dengan berarti ventilasi berjalan
secara adekuat.
12. Bila dinding dada tidak naik, periksa ulaang dan betulkan
posisi bayi, atau terjadi kebocoran lekatan atau tekanan
ventilasi kurang.
Lakukan ventilasi selama 2 x 30 detik atau 60 detik,
kemudian lakukan Penilaian segera tentang upaya bernafas

2.6 Nifas
2.6.1 Pengertian Nifas
Masa nifas (Postpartum) adalah dimulai setelah persalinan
selesai dan berakhir ketika alat-alat kandungan kembali seperti
keadaan sebelum hamil yang berlangsung selama 6 minggu
(Kemenkes RI, 2018: 4)
Masa Nifas (puerperium) merupakan masa setelah
kelahiran plasenta dan berakhir ketika alat alat kandungan kembali
seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas ini berlangsung 6
minggu (Nulhakim & Yuliana, 2020: 5)
2.6.2 Tujuan Asuhan Masa Nifas
Asuhan nifas bertujuan untuk :
a. Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun
psikologisnya.
b. Memberikan KIE pada klien untuk menyediakan nutrisi sesuai
kebutuhan berdasarkan anjuran bidan, mengatasi anemia,
mencegah infeksi pada alat-alat kandungan dengan
memperhatikan kebersihan diri, mengembalikan kesehatan
umum dengan pergerakan otot (senam nifas) untuk
memperlancar peredaran darah.
c. Melaksanakan screening yang komprehensip (menyeluruh),
mendeteksi masalah, mengobati atau merujuk bila terjadi
komplikasi pada ibu maupun bayinya.
d. Memberikan pendidikan kesehatan tentang, keluarga berencana,
menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan perawata
bayi yang sehat.
e. Memberikan pelayanan KB.
f. Mendukung dan memperkuat keyakinan ibu, serta
memungkinkan ibu untuk mampu melaksanakan perannya
dalam situasi keuaraga dan budaya khusus.
g. Memepercepat involusi alat kandung.
h. Melancarkan pengeluaran lochea, pengurangi infeksi perenium.
i. Meningkatkan kelancaran peredarahan darah sehingga
mempercepat fungsi hati dan pengeluaran sisa metabolisme
(Dewi, 2020)
2.6.3 Tahapan Masa Nifas
a. Periode pasca salin segera (immediate postpartum) 0-24 jam
Masa 2 jam setelah plasenta lahir sampai dengan 24 jam. Pada
masa ini sering terdapat banyak masalah, misalnya perdarahan
karena atonia uteri. Oleh sebab itu, tenaga kesehatan harus
dengan teratur melakukan pemerikasan kontraksi uterus,
pengeluaran lochea, tekanan darah, dan suhu.
b. Periode pasca salin awal (early post partum) 24 jam – 1 minggu
Pada periode ini tenaga kesehatan memastikan involusi uteri
dalam keadaan normal, tidak ada perdarahan, lochea tidak
berbau busuk, tidak ada demam, ibu cukup mendapatkan
makanan dan cairan, serta ibu dapat menyusui bayinya dengan
baik.
c. Periode pasca salin lanjut (late postpartum) 1 mingu – 6 minggu
Pada periode ini tenaga kesehatan tetap melakukan perawatan
dan pemeriksaaan sehari-hari serta konseling KB (Hartati &
Wilujeng, 2019:2).
2.6.4 Perubahan Fisiologis Pada Masa Nifas
a. Perubahan Sistem Reproduksi
1) Uterus
Perubahan fisiologis yang terjadi pada masa nifas
adalah involusi. Pengertian involusi adalah kembalinya uterus
pada ukuran, tonus dan posisi sebelum hamil.
2) Serviks
Setelah persalinan serviks menganga, setelah 7 hati
dapat dilalui 1 jari, setelah 4 minggu rongga bagian luar
kembali normal (Wahyuningsih, 2020).
3) Vulva dan vagina
a) Vulva dan vagina mengalami penekanan serta peregangan
yang sangat besar selama proses melahirkan bayi, dan
dalam beberapa hari pertama sesudah proses tersebut,
kedua organ ini tetap berada dalam keadaan kendur.
b) Setelah 3 minggu vulva dan vagina kembali kepada
keadaan tidak hamil.
c) Setelah 3 minggu vulva dan vagina secara berangsur-
angsur akan muncul kembali sementara labia menjadi
lebih menonjol (Astutik, 2015: 60)
4) Pengeluaran lochea
Lochea adalah cairan secret yang berasal dari
kavum uteri dan vagina selama masa nifas. Lochea
mempunyai bau amis (anyir), meskipun tidak terlalu
menyengat dan volumenya berbeda pada setiap wanita.
Akibat involusio uteri, lapisan luar desidua yang
mengelilingi situs plasenta akan menjadi nekrotik. Desidua
yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan.
Pencampuran antara darah dan desidua inilah yang
dinamakan lochea. Lochea mengalami perubahan karena
proses involusio. Perbedaan masing-masing lochea dapat
dilihat sebagai berikut:
a) Lochea rubra (Cruenta), keluar pada hari 1-3 pasca
persalinan, berwarna merah mengandung darah dan sisa-
sisa selaput ketuban, jaringan dan desidua, verniks
caseosa, lanugo dan mekoneum.
b) Lochea sanguinolenta, keluar pada hari ke 3-7 pasaca
persalinan, berwarna merah kuning dan berisi darah
lendir.
c) Lochea serosa, keluar pada hari ke 7-14 pasca persalinan,
berwarna kecoklatan mengandung lebih banyak serum
dan lebih sedikit darah, juga terdiri dari leukosit dan
robekan laserasi plasenta.
d) Lochea alba, keluar sejak 2-6 minggu pasca persalinan,
berwarna putih kekuningan mengandung leukosit,
selaput lender serviksdan serabut jaringan yang mati
(Simanullang, 2017: 22)
5) Perenium
a) Segera setelah melahirkan, perineum menjadi kendur
karena sebelumnya teregang oleh tekanan kepala bayi
yang bergerak maju.
b) Pada masa nifas hari ke 5, tonus otot perineum sudah
kembali seperti keadaan sebelum hamil, walaupun tetap
lebih kendur daripada keadaan sebelum melahirkan.
Untuk mengembalikan tonus oto perineum, maka pada
masa nifas perlu dilakukan senam nifas (Astutik, 2015:
60).
2.7 Retensio Plasenta
2.7.1 Pengertian Retensio Plasenta
Retensio plasenta adalah tertahannya plasenta atau belum
lahirnya plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi
lahir. Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya
plasenta hingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi
lahir.Plasenta tersebut harus segera dikeluarkan karena dapat
menimbulkan bahaya perdarahan dan dapat menyebabkan infeksi
karena dianggap benda asing. (Handayani, 2017)
Retensio plasenta merupakan kondisi perlengketan plasenta
atau belum lahir lebih dari 30 menit setelah bayi lahir karena
elastisitas uterus yang menurun dan kontraksi. Faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian retensio plasenta antara lain paritas, usia,
jarak kehamilan, anemia, kondisi social ekonomi, rahim yang
besar, Riwayat komplikasi pada kehamilan sebelumnya. (Mila Sari,
2022).
2.7.2 Etiologi
a. Sebab fungsional
1) Faktor maternal
a) Usia lanjut
b) Multiparitas

2) Faktor uterus
a) Bekas SC (sering plasenta tertanam pada jaringan
cicatrix uterus)
b) Bekas pembedahan uterus
c) Anomali uterus
d) His yang kurang adekuat (penyebab utama)
e) Pembentukan contraction ring (lingkaran kontraksi pada
bagian bawah perut)
f) Bekas kuretase (yang terutama dilakukan setelah
abortus)
g) Bekas pengeluaran plasenta secara manual
h) Bekas endometritis
i) Tempat melekatnya yang kurang baik/implantasi cornual
(contoh: di sudut tuba)
j) Kelainan bentuk plasenta (ukuran plasenta terlalu kecil)
(Hardiana, 2019)
2.7.3 Patofisiologi
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi.
Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini
pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel myometrium tidak
retraksi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan
kontraksi yang berlangsung continue, myometrium menebal secara
progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga
mengecil. Pengecilan mendadak ini disertai dengan mengecilnya
daerah tempat perlekatan plasenta.
2.7.4 Penangan Retensio Plasenta Menurut Tingkatan
Sebelum melakukan penanganan sebaiknya mengetahui beberapa
hal dari tindakan retensio plasenta :
1. Di tempat Bidan yaitu setelah dapat memastikan keadaan umum
pasien segera memasang infus dan memberikan cairan, merujuk
penderita ke pusat fasilitas dengan fasilitas cukup untuk
mendapatkan penanganan yang lebih yang lebih baik,
memberikan transfusi proteksi dengan antibiotik;
mempersiapkan plasenta manual dengan legeartis dalam
pengaruh narkosa.
2. Tingkat Polindes yaitu penanganan retensio plasenta dari desa
sebelum persiapan donor darah yang tersedia dari warga
setempat yang telah dipilih dan dicocokkan dengan donor darah
pasien. Diagnosis yang dilakukan stabilisasi dan kemudian
lakukan plasenta manual untuk kasus adhesive simpleks berikan
uterotonika antibiotika serta rujuk untuk kasus berat
3. Tingkat Puskesmas yaitu diagnosis lakukan stabilisasi kemudian
lakukan plasenta manual untuk resiko rendah rujuk kasus berat
dan berikan uterotonika antibiotika.
4. Tingkat Rumah Sakit yaitu diagnosis stabilisasi plasenta manual
histerektomi transfusi uterotonika antibiotika kedaruratan
komplikasi. Tingkat Rumah Sakit yaitu diagnosis stabilisasi
plasenta manual histerektomi transfusi uterotonika antibiotika
kedaruratan komplikasi.
2.7.5 Komplikasi Retensio Plasenta
Plasenta yang terlalu melekat, walaupun jarang dijumpai,
memiliki makna klinis yang cukup penting karena morbiditas dan
kadang-kadang mortalitas yang timbulkannya komplikasi meliputi:
1. Perforasi uterus
2. Infeksi
3. Inversion uteri
4. Syok (hipovolemik)
5. Perdarahan postpartum
6. Subinvolution
7. Histerktomi
2.7.6 Prosedur atau Langkah-langkah penatalaksanaan retensio plasenta
1. Petugas lapor dokter puskesmas
2. Petugas melakukan inform consent
3. Petugas melakukan sarung tangan steril, sebaiknya sarung
tangan Panjang
4. Petugas mendesinfeksi genetalia eksterna
5. Pasang infus (larutan Ringer Laktat/ Nacl 0,9 % ) dan pasang
kateter
6. Drip oxitosin 10 IU dalam 500 ml larutan Ringer Laktat / Nacl
0,9 % sampai uterus berkontraksi
7. Jika plasenta tidak lepas lakukan tindakan manual plasenta
8. Jepit tali pusat dengan klem lalu regangkan tali pusat sejajar
lantai
9. Masukan satu tangan secara obstetri kedalam vagina dengan
menelusuri tali pusat sampai pangkal talu pusat
10. Tangan penolong yang satu menahan fundus uteri, sambil
menahan fundus masukan tangan ke kavum uteri sehingga
mencapai tempat implantasi plasenta
11. Setelah tangan mencapai pinggir plasenta yang sudah lepas,
maka buka tangan seperti memberi salam dengan punggung
tangan menghadap dinding uterus
12. Kemudian menggunakan sisi kelingking lepaskan plasenta
dengan Gerakan kekanan dan kekiri
13. Setelah plasenta lepas lakukan eksplorasi untuk memastikan
tidak ada sisa plasenta, kemudian pegang keseluruhan
plasentan dan keluarkan
14. Lakukan masase pada fundus dan periksa kelengkapan
plasenta
15. Tempatkan plasenta pada tempat yang sudah disiapkan
16. Rapihkan alat dan rendam pada larutan klorin 0,5%
17. Mencuci tangan kedalam larutan klorin dan melepaskan sarung
tangan secara terbalik
18. Mencuci tangan dengan teknik 7 langkah
19. Evaluasi
a. Periksa kembali tanda vital ibu
b. Catat kondisi ibu dan buat laporan Tindakan
c. Lanjutkan pemantauan ibu hingga 2 jam pasca Tindakan
20. Lakukan pencatatan

Anda mungkin juga menyukai